Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEPASANG NAGA PENAKLUK IBLIS JILID 10

TIBA-TIBA terdengar jerit wanita, “Ayaaahh...!” Seorang gadis berusia kurang lebih lima belas tahun datang berlari-lari dan iapun menubruk ayahnya yang disiksa itu. “Ayahhh...! Ia merangkul ayahnya, lalu memandang kepada si tinggi kurus yang menyiksa, “Jangan... jangan pukuli ayahku! Sekeranjang ikan itu untuk membeli obat karena aku sakit...“

Si tinggi kurus memandang gadis itu dan dia menyeringai. “Hemm, ini anakmu, ya? Hemm, manis juga!”

Memang gadis itu cukup manis, dengan tubuh yang mulai menjadi dewasa, bagaikan setangkai bunga yang sedang mulai mekar.

“Sudahlah, kulupakan sekeranjang ikan itu, asal anakmu mau menemani aku, semalam!” Dia lalu menangkap pergelangan tangan anak perempuan itu dan menariknya bangkit berdiri. “Hayo, manis, ikut bersama aku, heh-heh!”

“Tidak...! Lepaskan aku...!” Gadis itu meronta, akan tetapi tak mampu menarik lepas tangannya.

“Ah, jangan... jangan ganggu anakku. Biarlah besok akan kuganti sekeranjang ikan itu!” Nelayan yang sudah payah itu bangkit dan mencoba untuk melindungi anaknya. Akan tetapi sebuah tendangan membuat dia terjungkal kembali.

Kim Cu melihat ini semua dan alisnya berkerut. Ia merasa heran mengapa sedemikian banyaknya orang yang berada di situ, tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani mencampuri, seolah-olah semua orang takut belaka kepada si tinggi kurus itu. Padahal melihat gerakan-gerakannya, orang itu hanya memiliki kemampuan silat yang biasa saja. Demikian pengecutkah semua orang itu sehingga membiarkan saja orang disiksa, diperas, dan kemudian bahkan anak perempuannya hendak diganggu?

Dengan beberapa langkah saja Kim Cu sudah berada di depan si tinggi kurus dan suaranya terdengar lantang ketika ia membentak, “Lepaskan gadis itu!”

Si tinggi kurus yang tadinya sudah hendak pergi sambil menyeret gadis yang meronta-ronta, terkejut mendengar bentakan ini, terkejut dan heran karena sama sekali tidak disangkanya akan ada orang berani membentaknya seperti itu. Dan dia lebih heran lagi melihat bahwa yang membentaknya itu hanyalah seorang wanita! Akan tetapi, ketika melihat wajah dan bentuk tubuh wanita muda yang membentaknya, hilanglah rasa marahnya dan dia menyeringai lebar, memandang wajah yang cantik jelita itu dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki. Tentu saja wanita ini jauh lebih menarik dari pada gadis muda yang ditangkapnya.

“Eh? Engkau melarangku? Hemm, engkau tidak mengenal aku siapa, tentu kau datang dari luar daerah, nona manis. Kau suruh aku melepaskan gadis ini? Baiklah, ia kulepaskan. Lihat, sudah kubebaskan dara yang masih terlalu muda ini. Pergilah kamu dan ajak ayahmu!” katanya kepada anak perempuan yang segera lari menghampiri ayahnya.

Kini si tinggi kurus kembali menghadapi Kim Cu dan menyeringai penuh kagum. “Dan setelah ia kubebaskan, engkau harus menjadi penggantinya, nona manis. Semalam menemaniku, engkau tidak akan kecewa, heh-heh!”

Semua orang kini memandang dengan hati tertarik dan tegang. Mereka semua memang takut kepada orang ini, bukan takut kepada orangnya, melainkan kepada kekuasaan yang berdiri di belakangnya. Si tinggi kurus itu adalah seorang di antara orang-orang anak buah Twa-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Besar), yaitu lima orang bekas bajak-bajak sungai yang amat kejam dan namanya ditakuti semua orang.

Sejak beberapa tahun ini, Twa-to Ngo-houw tidak lagi menjadi bajak sungai, akan tetapi mereka memeras dari semua pedagang dan nelayan untuk memberi “bagian keuntungan” kepada mereka sebagai “balas jasa” karena Twa-to Ngo-houw merasa telah melindungi mereka dari ancaman kejahatan! Karena sudah kerap kali terjadi orang yang membangkang disiksa bahkan ada pula yang dibunuh, akhirnya peraturan semacam pajak paksaan ini terpaksa diterima oleh semua orang.

Twa-to Ngo-houw sendiri berhenti menjadi bajak setelah mereka ditundukkan dan takluk kepada Beng-cu, yaitu Hek-sim Lo-mo! Mereka memungut “pajak” itupun untuk disetorkan kepada Beng-cu, akan tetapi tentu saja tidak sebesar yang diambilnya secara paksa dari para pedagang dan nelayan itu. Biasa, seperti selalu berlaku dalam kehidupan orang-orang yang menjadi hamba nafsu mementingkan diri sendiri, penyalahgunaan kekuasaan terjadi di mana-mana. Korupsi merajalela.

Melihat seorang wanita asing berani menegur si kurus yang kini malah jelas ingin mengganggunya, semua orang merasa khawatir, akan tetapi tidak ada yang begitu berani mati untuk mencampurinya.

Sementara itu, Kim Cu yang mendengar ucapan si tinggi kurus, tetap tersenyum manis, lalu berkata dengan suara merdu, “Bagaimana engkau dapat mengajak aku bersenang-senang kalau kedua lenganmu patah tulangnya?”

“Ehh?” Si tinggi kurus memandangi kedua lengannya. “Kedua lenganku sama sekali tidak patah, heh-heh!” Dia tertawa memperlihatkan deretan gigi panjang dan kuning tak terpelihara.

“Sekarang belum, akan tetapi aku akan mematahkan kedua lenganmu sebagai hukuman atas kekejamanmu terhadap nelayan tua dan anak perempuannya tadi,” kata pula Kim Cu sikapnya tetap tenang.

Semua orang terbelalak dan merasa semakin tegang dan khawatir. Semua menghentikan pekerjaan mereka dan menonton peristiwa yang akan terjadi di depan mata mereka. Tentu saja ada banyak di antara mereka yang mengharapkan bahwa wanita cantik itu bukan hanya berani bicara saja, melainkan juga mempunyai kekuatan untuk membuktikan sikap dan kata-katanya.

Si tinggi kurus menjadi marah, akan tetapi karena dia menghadapi seorang wanita cantik yang dia harapkan akan dapat menghiburnya malam itu, dia menahan kemarahannya. Tentu saja dia memandang rendah wanita cantik ini, yang kelihatan begitu lemah dan sama sekali tidak kelihatan kasar seperti wanita kang-ouw kebanyakan. Tidak ada senjata padanya, juga gerak geriknya lemah gemulai, lembut dan halus, tidak seperti wanita kang-ouw yang biasanya kelihatan kokoh kuat dan kejantan-jantanan.

“Ha-ha, jangan main-main di sini, nona manis. Marilah, kalau hendak main-main, nanti dikamarku, ha-ha-ha!”

“Plakkk!” Tiba-tiba suara ketawa itu terhenti karena tangan kiri Kim Cu telah menyambar dengan amat cepatnya, menampar pipi kanan orang itu. Demikian kuat tamparannya sehingga seketika pipi itu bengkak, membiru dan mulutnya mengeluarkan darah karena selain bibir kanan pecah, juga semua gigi yang berada di sebelah kanan mulutnya rontok dan tanggal semua!

Dengan mata berapi saking marahnya dia meludahkan gigi dan ludah merah, lalu membentak dengan suara yang kurang jelas karena mulutnya membengkak, tangan kirinya sudah mencengkeram ke depan, ke arah dada Kim Cu! Serangan yang berbahaya dan juga kurang ajar, seolah hendak dicengkeramnya buah dada wanita itu.

Kim Cu bersikap tenang saja, seperti membiarkan buah dadanya dicengkeram, akan tetapi setelah tangan orang itu mendekati dadanya, tiba-tiba lengan kanannya membacok dari dalam keluar, menangkis lengan kiri si tinggi kurus.

“Krekkk!” lengan kiri itu seketika lumpuh karena tulang lengannya patah dibacok tangan Kim Cu yang dimiringkan!

“Aughhhhh...!” Si tinggi kurus mengaduh-aduh, akan tetapi karena dia seorang yang biasanya ditaati dan tidak pernah dilawan, maka dia tidak tahu diri, tidak mau tahu bahwa wanita yang dilawannya jauh lebih lihai darinya. Tangan kanannya mencabut sebatang golok dari pinggang dan seperti orang gila mengamuk, dia membacokkan goloknya ke arah kepala wanita itu! Dengan amat mudah, Kim Cu miringkan tubuhnya dan ketika golok menyambar lewat, kembali ia membacokkan tangan yang dimiringkan ke arah lengan kanan lawan.

“Krekkk!” Kembali ada tulang lengan patah, sekali ini lengan kanan si tinggi kurus. Golok itu terlepas dan si tinggi kurus sambil mengaduh-aduh dan menangis karena kesakitan, memutar tubuh dan menjerit-jerit memanggil kawan-kawannya yang sedang mengumpulkan hasil pungutan pajak di bagian lain tak jauh dari situ. Tiga orang datang berlari-lari dan mereka mencabut golok, langsung mengeroyok Kim Cu.

Wanita ini tersenyum. “Wah, ada tiga ekor monyet lain lagi yang ingin merasakan patah lengannya!” katanya dan tiba-tiba tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan di antara tiga orang pengeroyoknya dan segera terdengar teriakan-teriakan kesakitan, tiga batang golok beterbangan dan merekapun mengaduh sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri karena lengan kanan itu telah patah tulangnya!

Kini tanpa dikomando lagi, empat orang jagoan itu lalu melarikan diri dari tempat itu seperti dikejar setan! Setelah mereka pergi, barulah terdengar orang bersorak dengan gembiranya. Semua dendam sakit hati mereka terhadap anak buah Twa-to Ngo-houw yang selama ini mereka pendam dan mereka tahan di lubuk hati, kini sedikit banyak telah terobati dengan melihat empat orang anak buah Twa-to Ngo-houw itu mendapat hajaran keras sampai tulang lengan mereka patah-patah! Wanita tua penjual ikan dan udang tadi segera menghampiri Kim Cu dengan wajah berseri.

“Nona boleh mengambil semua udang ini, kuberikan kepadamu, nona!” katanya.

Kim Cu menggeleng kepala dan mengeluarkan uang. “Jangan, bibi. Engkau bukan orang kaya untuk memberi hadiah. Aku hanya minta tolong agar engkau suka menunjukkan di mana ada warung yang mau menggorengkan udang ini untukku.”

Seorang nelayan muda datang menghampiri. “Nona, kiranya tidak akan ada orang yang mau atau berani membantumu. Ketahuilah, bahkan kami mengharap agar engkau suka cepat-cepat pergi sekarang juga dari sini, nona. Demi... demi keselamatanmu sendiri. Kami tidak ingin melihat nona celaka!”

Kim Cu memandang ke sekeliling dan kiranya banyak orang sudah berkumpul di situ dan semua orang mengangguk. Kini suasana menjadi gaduh karena banyak orang membujuk agar ia cepat pergi.

“Kenapa?” tanya Kim Cu walaupun ia sudah menduga.

“Mereka tadi anak buah Twa-to Ngo-houw, nona. Dan tentu sebentar lagi lima orang yang amat lihai itu akan datang atau orang-orangnya akan datang untuk mencelakai nona. Mereka tak mungkin tinggal diam saja melihat empat orang anak buah mereka dihajar tadi.”

“Biarlah kalau mereka datang. Akan kuhajar satu demi satu! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Twa-to Ngo-houw itu.”

“Akan tetapi, nona, Twa-to Ngo-houw bukan pemimpin pertama. Mereka hanya anak buah dari Beng-cu!” kata seorang pedagang yang agaknya lebih tahu akan urusan dunia kang-ouw.

Kim Cu tersenyum. “Kalau begitu, biarlah Beng-cu itu yang datang, aku akan menghadapinya dengan kepalanku!” Dengan gaya lucu Kim Cu mengepal tinju kanannya dan mengangkatnya ke atas. Semua orang merasa lucu akan tetapi khawatir. Kepalan itu kecil sekali, nampak lemah!

“Nona, kuharap engkau tidak berkata demikian,” kata orang yang biasa melakukan perjalanan sebagai pedagang dan yang sudah banyak mendengar itu. “Agaknya nona belum mengenal siapa itu Beng-cu. Kabarnya, seluruh penjahat di Propinsi He-nan dan Shan-tung sudah takluk kepadanya dan menjadi anak buahnya. Dan pernah aku mendengar bahwa beng-cu itu berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang memiliki kesaktian seperti iblis sendiri.”

Kim Cu tertarik. Pernah ia mendengar dari subonya tentang Kiu Lo-mo, Sembilan Iblis Tua yang kabarnya turun ke dunia ramai dan yang merupakan sembilan orang datuk sesat yang amat lihai. Kalau Beng-cu itu seorang di antara mereka, sungguh ia harus berusaha menentangnya! Bukankah ia dengan susah payah mempelajari semua ilmu untuk menentang orang-orang jahat seperti mereka yang pernah menghancurkan kehidupannya dan membinasakan orang tuanya?

“Kalau begitu, biarlah Hek-sim Lo-mo sendiri datang, aku tidak takut!” katanya.

Mendengar ini, semua orang menjadi ketakutan, wajah mereka berubah pucat karena mereka tidak mengira bahwa nona ini demikian keras kepala. Bagaimana mungkin akan melawan semua datuk jahat yang mempunyai banyak anak buah dan juga kabarnya amat kejam dan berilmu tinggi itu?

Takut kalau terbawa-bawa, maka semua orang mulai mengundurkan diri cepat-cepat sehingga tempat itu menjadi sunyi! Perahu-perahu ditinggalkan, bahkan barang-barang dagangan yang tadinya sedang diangkut ke dalam perahu, kini ditinggalkan dan perahu-perahu ada yang bergegas meninggalkan tempat itu.

Melihat ini, Kim Cu mengerutkan alisnya. Betapa penakutnya rakyat jelata. Kalau rakyat jelata bersatu menghadapi para penjahat, kiranya tidak akan ada penjahat yang hidup di dunia ini. Tidak akan ada yang mampu melawan kekuatan rakyat apabila mereka bersatu. Berapa sih jumlahnya penjahat? Kalau dikeroyok oleh rakyat jelata, mereka itu akan dilindas habis! Sayang persatuan itu tidak ada, seperti nampak dalam sikap para penduduk dusun Cia-siang-teng ini.

“Nona, mari kubantu nona untuk masak udang-udang itu,” terdengar suara lirih.

Kim Cu menengok dan ia tersenyum girang. Kiranya masih ada orang yang berani mendekatinya dan tinggal di situ, yaitu bukan lain adalah nenek penjual ikan dan udang tadi!

“Bibi, apakah engkau tidak ikut pergi seperti yang lain? Engkau berani menghadapi ancaman Twa-to Ngo-houw?”

Nenek itu mengerutkan alisnya. “Nona, apa lagi yang perlu kutakuti? Mereka itu paling banyak hanya dapat membunuhku dan aku tidak takut mati. Suami dan anak tunggalku juga sudah tewas setelah mereka pukuli. Biarlah mataku yang tua ini melihat mereka mendapat lawan yang tangguh seperti nona, yang akan menghajar mereka yang jahat itu! Mari, nona, mari ikut dengan aku ke rumahku dan aku akan membuatkan udang bakar yang lezat untukmu.”

Kim Cu membantu nenek itu membawa udang dan ikan, lalu mereka berdua menuju ke rumah nenek itu, sebuah rumah gubuk terpencil di tepi sungai. Nenek itu hidup seorang diri dan keadaan gubuknya miskin sekali sehingga Kim Cu merasa terharu.

Sebaliknya, nenek itu nampak gembira sekali. “Nona, udang besar seperti ini paling enak kalau dibakar dalam tanah liat, kemudian dagingnya dimakan dengan kecap dan saus. Biar kubuatkan sausnya, dan tolong kau carikan tanah liat di tepi sungai sebelah sana!”

Kim Cu juga merasa gembira. Ia merasa seperti menjadi keponakan nenek itu dan iapun cepat mencarikan tanah liat. Ia membantu nenek itu, atas petunjuk nenek itu, untuk membungkus udang-udang besar itu, lima ekor banyaknya, dengan tanah liat, kemudian tanah liat itu dibakar di dalam api membara, api arang yang panas.

“Setelah tanah liatnya mengering dan pecah-pecah, baru boleh diangkat. Jangan lupa untuk membolak-balik bungkusan udang itu, nona,” pesan sang nenek yang sibuk membuatkan bumbu-bumbu, dan juga menanak nasi.

Setelah tanah liat yang membungkus udang-udang itu kering dan pecah-pecah, udang bakar itu diangkat dari api. Nenek itu lalu mengupas tanah liat yang sudah kering dan bersama tanah liat itu, terkupas pula kulit udang! Kini yang tinggal hanyalah daging udang yang putih kemerahan, berbau sedap dan nampak menantang mulut sehingga Kim Cu terpaksa harus menelan air liurnya.

Nasipun sudah matang dan kini ditemani oleh sang nenek, Kim Cu makan dan harus diakuinya bahwa selama hidupnya belum pernah ia merasakan makan nasi sedemikian nikmat dan lezatnya. Bakar udang itu memang lezat bukan main. Gurih dan manis, dan tidak berbau amis. Daging udang sebesar empu jari kaki itu terasa kenyal dan gurih, apa lagi diberi bumbu kecap dan saus. Sedap bukan main, dan ada rasa manis aseli dari daging itu. Tanpa disadari, Kim Cu makan lebih banyak dari biasanya.

Baru saja mereka selesai makan dan Kim Cu mencuci tangannya dengan daun jeruk untuk mengusir sisa bau amis, terdengar suara gaduh dan ketika ia menengok, ternyata ada lima orang laki-laki menunggang kuda datang ke tempat itu bersama dua di antara empat orang anak buah Twa-to Ngo-houw yang dihajarnya tadi.

Melihat mereka, nenek itu nampak berubah pucat wajahnya dan iapun menyelinap ke dalam gubuknya sambil berkata, “Masa bodoh, nona. Itu Twa-to Ngo-houw sendiri muncul!”

“Jangan khawatir, bibi, aku akan menghajar mereka untuk membalas sakit hatimu kehilangan suami dan anak,” jawab Kim Cu yang sudah bangkit berdiri dan menanti mereka di pekarangan gubuk itu yang terbuka dan luas.

Sunyi di sekitarnya. Rumah-rumah para tetangga tertutup pintu dan jendelanya, akan tetapi Kim Cu dapat menduga bahwa banyak mata penduduk mengintai dari tempat persembunyian mereka. Iapun berdiri tegak dan dengan sikap tenang menanti datangnya lima orang penunggang kuda itu sambil memandang penuh perhatian.

Mereka memang menyeramkan. Lima orang laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan pantas kalau disebut Lima Harimau. Usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun, dengan pakaian yang mentereng, tubuh yang kokoh kuat dan ada sebatang golok besar terselip di punggung masing-masing. Golok telanjang itu besar dan mengkilat tajam.

Juga kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilihan yang tinggi dan kuat. Dua orang anak buah mereka itu ikut berlari kecil di samping kuda dan melihat Kim Cu, keduanya segera menuding dengan tangan yang masih sehat karena sebelah lengan yang lain dibalut dan patah tulangnya.

“Itulah ia...!”

Dengan gerakan yang cekatan sekali lima orang itu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan kini dua orang anak buah yang lengannya digantung sebelah itu mengurus lima ekor kuda, dibawa ke bawah pohon-pohon, sedangkan lima orang itu melangkah lebar dan dengan sikap mengancam menghampiri Kim Cu yang masih berdiri tegak dan tenang. Puluhan pasang mata dari para penduduk dusun itu mengintai dari tempat persembunyian mereka.

Mereka menahan napas dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran. Bagaimana mungkin nona yang cantik jelita itu akan mampu menandingi Lima Harimau Bergolok Besar itu? Seorang saja di antara mereka berlima sudah merupakan seorang lawan yang amat kuat, dan para penduduk dusun itu pernah melihat seorang di antara mereka, yang rambut kepalanya botak dan merupakan orang termuda di antara mereka, setahun yang lalu menawan seorang wanita muda dari luar daerah yang kebetulan berkunjung bersama suaminya di dusun itu.

Tentu saja sang suami dibantu oleh belasan orang temannya, melakukan perlawanan. Terjadilah perkelahian, namun si kepala botak itu merobohkan si suami bersama belasan orang temannya. Mereka semua terluka dan si botak itu melarikan isteri orang seenaknya saja! Baru orang yang termuda itu saja demikian kejam dan lihai, apa lagi kini mereka berlima datang semua!

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 10 karya kho ping hoo

Orang termuda dari Twa-to Ngo-houw memang seorang laki-laki mata keranjang yang suka mempermainkan wanita mana saja yang menarik hatinya, tidak perduli ia itu perawan, janda ataukah isteri orang. Kini, melihat betapa gadis yang menurut pelaporan anak buah tadi telah melukai empat orang anak buah, ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan manis, tentu saja seketika dia tertarik dan timbul gairahnya.

“Ha-ha-ha, twako, berikan gadis ini kepadaku dan biarkan aku yang akan menghukumnya!” katanya sambil meloncat ke depan menghadapi Kim Cu.

Orang pertama dari Twa-to Ngo-houw bernama Boan Ke, bermuka hitam bopeng dan melihat Kim Cu, diapun memandang rendah. Tentu akan memalukan kalau Twa-to Ngo-houw, lima jagoan yang merajalela di sepanjang Sungai Kuning daerah itu, kini harus mengeroyok seorang gadis! Maka, mendengar permintaan adiknya termuda, si botak yang bernama Su Leng, diapun mengangguk.

Memang sebaiknya kalau gadis yang telah lancang melukai empat orang anak buahnya ini diserahkan kepada Su Leng, biar adik keempat ini menyiksa dan mempermainkannya sampai mati untuk menghukumnya. Maka diapun mengangguk sambil tertawa, dan tiga orang adiknya yang lainpun ikut tertawa. Mereka berempat tidak memiliki kesukaan yang sama dengan Su Leng, akan tetapi mereka akan bergembira melihat betapa gadis itu akan dipermainkan dan ditundukkan oleh adik mereka yang termuda.

Dengan lagak yang membuat hati Kim Cu merasa jijik dan juga geli, kini Su Leng menghampiri Kim Cu. Dipandangnya wanita itu dari kepala sampai ke kaki dan hatinya girang bukan main karena dia mendapat kenyataan betapa wanita ini memang cantik jelita, berkulit mulus dengan tubuh padat dan menggairahkan. Dia menyeringai lebar.

“Nona manis, engkaukah yang telah main-main dengan empat orang anak buah kami tadi?”

Kim Cu tersenyum, demikian manisnya senyum ini sehingga Su Leng hampir saja jatuh terkulai karena tubuhnya terasa lemas seketika! “Benar, aku yang telah menghajar empat ekor anjing peliharaanmu itu!”

Biarpun ia tersenyum dan nada suaranya merdu dan halus, namun isi kata-katanya menusuk perasaan sehingga Su Leng mengerutkan alisnya dan kemarahan menyelinap di hatinya, membuat dia bicara dengan suara kasar.

“Nona, siapakah sebenarnya engkau? Siapa namamu?”

“Namaku tidak perlu kalian ketahui dan sebaiknya kalian lekas menggelinding pergi dari sini dan jangan mengganggu aku dan penduduk dusun ini lebih lanjut!”

Su Leng kini tertawa bergelak, merasa lucu bahwa seorang gadis cantik jelita dan lemah begini berani mengeluarkan ucapan demikian besar dan mengusir mereka, Twa-to Ngo-houw! “Aih, nona manis. Agaknya engkau belum mengenal siapa kami, ya?”

“Tentu saja aku mengenal kalian,” kata Kim Cu dan memperlebar senyumnya sehingga nampak deretan giginya yang teratur rapi dan berkilauan putih seperti mutiara. “Kalian adalah Lima Anjing Bergolok Tumpul, benarkah?”

Lima orang itu menjadi merah mukanya dan Su Leng membentak marah. “Perempuan sombong! Aku akan mempermainkan kamu sampai habis-habisan, kemudian kau akan kuserahkan kepada empat orang anak buah kami tadi agar kau disiksa sampai mampus!”

Berkata demikian, Su Leng sudah menubruk ke depan, tangan kiri mencengkeram ke arah rambut kepala, tangan kanan mencengkeram dada! Su Leng masih belum mengeluarkan goloknya karena dia masih memandang ringan lawannya. Pula, dia ingin menangkap wanita itu hidup-hidup, dalam keadaan tidak terluka agar dia akan dapat mempermainkan dan menikmatinya sepuas hatinya sebelum menyerahkan wanita itu kepada empat orang anak buahnya. Gerakannya cepat dan kedua tangannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat ketika dia menubruk ke depan itu.

Namun, bagi Kim Cu, kecepatan dan kekuatan serangan itu bukan apa-apa, bahkan baginya nampak lamban dan lemah. Kalau ia menghendaki, tentu segebrakan saja ia akan mampu merobohkan orang ini dan sekaligus membunuhnya. Tingkat kepandaian Kim Cu jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian lima orang jagoan ini.

Dengan kecepatan kilat, kedua tangan Kim Cu bergerak menyambut dan mendahului lawan dengan menotok ke arah kedua siku. Totokan itu tidak nampak saking cepatnya dan tiba-tiba saja Su Leng merasa betapa kedua lengannya menjadi lemas kehilangan tenaga, dan pada saat itu, tangan kiri Kim Cu menampar ke depan, dengan punggung tangannya ia menghajar ke arah hidung Su Leng.

“Prakkk!” Tamparan itu demikian kuatnya sehingga Su Leng merasa kepalanya terputar dan untuk menjaga agar lehernya tidak patah, diapun mengikuti dengan tubuhnya yang berpusing. Ketika putaran tubuhnya terhenti, empat orang kakaknya melihat betapa muka itu penuh darah dan ternyata hidung Su Leng telah remuk!

Su Leng mengeluarkan suara aneh. Dia memaki-maki kalang kabut, akan tetapi karena bukit hidungnya remuk dan lubangnya tersumbat, suaranya bindeng dan tidak karuan sehingga terdengar lucu dan aneh. Dia lalu mencabut goloknya dan dengan kemarahan meluap dia sudah menyerang Kim Cu dengan golok itu. Golok besar di tangannya itu memang berbahaya sekali.

Golok itu besar dan berat, juga amat tajam, dan di tangan Su Leng, golok itu seperti hidup, menyambar-nyambar dan bentuk goloknya lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung! Kemarahan dan sakit hati membuat gerakan golok di tangan Su Leng lebih dahsyat lagi dari pada biasanya.

Kini, nafsu berahinya yang timbul karena melihat kecantikan Kim Cu lenyap sama sekali, terganti nafsu amarah dan kebencian yang bagaikan api berkobar-kobar dan satu-satunya niat di hatinya kini hanyalah mencincang tubuh wanita yang telah membikin remuk hidungnya itu!

Namun, hujan serangan golok itu disambut dengan tenang saja oleh Kim Cu. Ia segera mempergunakan Liu-seng-pouw (Langkah Bintang Cemara), satu di antara ilmu yang dipelajarinya dari Huang-ho Kui-bo. Liu-seng atau bintang Liu (semacam cemara) adalah kedudukan enam bintang yang letaknya segi tiga melingkar dan ketika ia mempergunakan langkah ajaib ini, maka tubuhnya nampak selalu menyelinap di antara sambaran golok!

Dengan langkah ajaib ini, golok di tangan Su Leng tidak pernah mengenai sasaran, bahkan tak pernah mampu menyentuh ujung baju Kim Cu sama sekali. Enak saja gadis itu melangkah ke depan belakang, ke kanan dan ke kiri sesuai dengan kedudukan kelompok Bintang Liu. Hebatnya, ia bukan saja mampu menghindarkan semua serangan golok, bahkan ia masih sempat memutar tubuhnya dan beberapa kali ia berada di belakang lawan! Hal itu membuat Su Leng penasaran sekali. Dia mempercepat gerakan goloknya, namun sia-sia belaka, bahkan tiba-tiba terdengar Kim Cu membentak nyaring.

“Anjing busuk, pergilah!” Ucapan ini disusul sebuah tendangan kilat yang mengenai pinggul Su Leng, membuat tubuh si botak ini terlempar dan terpelanting, lalu jatuh terbanting dengan keras. Karena dia terbanting dengan kepala lebih dulu, maka kepalanya benjol besar dan diapun menjadi pening tujuh keliling, sampai lama tidak mampu bangkit berdiri, hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang berputaran. Bintang-bintang nampak menari-nari di depan matanya!

Empat orang kakak Su Leng menjadi terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana mungkin adik mereka itu dengan golok di tangan demikian mudah dirobohkan oleh gadis yang tidak terkenal, bahkan yang bertangan kosong itu? Tanpa menanti komando, empat orang itu mencabut golok masing-masing dan merekapun mengepung Kim Cu dari empat penjuru dan mulailah mereka menyerang dan mengeroyok!

Kim Cu maklum bahwa kalau empat orang itu maju berbareng, ia harus lebih waspada. Bagaimanapun juga, empat batang golok yang berat dan bergerak cepat menyambar-nyambar dari empat penjuru itu tidak boleh dibuat main-main. Iapun cepat memainkan ilmu silat tangan kosong yang disebut Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik), satu di antara ilmu yang dipelajarinya dari subonya.

Bi-jin-kun merupakan ilmu silat yang gerakannya lemas, halus dan indah sekali. Seorang wanita yang kurang cantik sekalipun akan nampak menarik kalau pandai bermain silat ini, apa lagi seorang wanita seperti Kim Cu! Ia memang sudah cantik jelita dan manis, maka begitu ia bersilat Bi-jin-kun, ia nampak seperti seorang bidadari sedang menari-nari dengan lemah gemulai dan amat indahnya!

Empat orang pengeroyoknya terbelalak kagum dan mereka seperti menghadapi seorang wanita yang menari-nari amat indah. Anehnya, tarian itu bukan sembarang tarian, melainkan mengandung gerakan yang amat cekatan dan lemas, ditunjang tenaga yang amat kuat. Dari manapun datangnya golok yang menyambar, selalu dapat dielakkan oleh wanita cantik itu, dengan gerakan yang amat indah pula, seolah-olah mengejek empat orang pengeroyoknya.

Kim Cu terus memainkan ilmu silat aneh itu dan selain gerakannya indah sekali, juga ia tersenyum-senyum dan melirik-lirik penuh daya pikat! Ini memang merupakan keharusan dalam memainkan ilmu silat ini, dan akibatnya memang luar biasa sekali. Empat orang itu kini kelihatan bingung, gerakan mereka kacau balau. Biarpun mereka berempat bukan laki-laki mata keranjang macam Su Leng, namun melihat wanita yang menari-nari demikian indah dan cantiknya, entah bagaimana, mereka merasa betapa tenaga mereka berkurang, bahkan gerakan mereka menjadi lemas. Senyum dan kerling mata wanita itu seperti mengelus perasaan mereka!

Memang inilah kehebatan Bi-jin-kun ciptaan Huang-ho Kui-bo. Bukan hanya gerakan ilmu silatnya yang lihai, juga mengandung daya pikat yang luar biasa, yang dapat mengacaukan gerakan lawan, membuyarkan pemusatan perhatian sehingga akan mudah mengalahkan lawan yang sudah kacau itu.

Tiba-tiba Kim Cu mempercepat gerakannya dan kini tubuhnya lenyap menjadi bayang¬bayang yang berkelebatan ke empat penjuru. Terdengar teriakan berturut-turut dan empat orang itupun satu demi satu roboh terkena tendangan atau tamparan tangan Kim Cu yang kecil halus namun mengandung tenaga sinkang ampuh itu! Mereka bergulingan dan menjauhkan diri, lalu berloncatan bangkit.

Su Leng juga sudah berdiri dan memandang dengan mata terbelalak melihat betapa empat orang kakaknya juga roboh oleh wanita itu, dengan menderita benjol-benjol atau matang biru, bahkan seorang di antara mereka patah tulang pundaknya!

Boan Ke, orang pertama dari Twa-to Ngo-houw, memandang dengan muka pucat dan dia berkata, “Apakah... apakah engkau yang bernama Hek-liong-li dari... dari Lok-yang itu?”

Kim Cu tersenyum. Tak disangkanya bahwa nama julukannya yang baru saja dikenal orang di Lok-yang itu demikian cepatnya sampai di tempat ini dan mereka ini mengenalnya. Ia mengangguk. “Benar, aku adalah Hek-liong-li, lalu kalian mau apa?”

Boan Ke dan empat orang adiknya menjadi pucat. Mereka memang sudah mendengar nama itu, bahkan mereka dipesan oleh atasan mereka untuk mencari gadis dengan julukan Dewi Naga Hitam itu, akan tetapi tadi sama sekali mereka tidak menyangka bahwa mereka berhadapan dengan Hek-liong-li. Baru setelah mereka merasakan kelihaian gadis berpakaian serba hitam itu, timbul dugaan bahwa jangan-jangan gadis berpakaian hitam yang amat lihai ini adalah orang yang dicari oleh atasannya! Dan ternyata memang benar!

“Hek-liong-li, kalau benar engkau seorang gagah, jangan kau lari. Tunggu, kami akan segera datang kembali untuk membuat perhitungan denganmu!” kata Boan Ke dan dia bersama empat orang adiknya lalu berloncatan menuju ke lima ekor kuda mereka, meloncat ke atas punggung kuda dan tanpa bicara apa-apa lagi mereka melarikan kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu!

Kasihan dua orang anak buah mereka itu yang terpaksa harus berlari-lari dengan lengan dibalut dan digantung karena kedua orang ini ketakutan setengah mati ditinggal oleh pimpinan mereka.

Kim Cu tidak mengejar, hanya berdiri mengikuti mereka dengan pandang matanya sambil tersenyum mengejek. Dan tak lama kemudian, bermunculanlah para penduduk dusun itu. Mereka tadi menonton dari tempat persembunyian mereka dan dengan penuh kekaguman, akan tetapi juga dengan penuh ketegangan. Mereka melihat betapa nona berpakaian hitam itu benar-benar dapat mengalahkan Twa-to Ngo-houw dan membuat mereka yang kejam dan jahat seperti setan itu melarikan diri terbirit-birit!

“Hidup Hek-liong-li...!” Teriak beberapa orang di antara mereka yang tadi mendengar juga percakapan di antara Twa-to Ngo-houw dan wanita cantik itu dan kini orang-orang dusun itu menjatuhkan diri berlutut di depan Kim Cu.

Sementara itu nenek penjual ikan tadi keluar dari dalam gubuknya dan langsung ia merangkul Kim Cu sambil menangis! Begitu terharu hati wanita ini sehingga ia menangis. “Terima kasih... terima kasih, nona...” katanya setelah ia dapat menguasai dirinya dan ikut pula menjatuhkan diri berlutut.

Kim Cu merasa tidak enak. “Harap kalian suka bangkit berdiri dan jangan berlutut seperti itu.” Ia mengerti betapa hebat penderitaan orang-orang ini, tanpa ada yang mampu membela atau melindungi mereka, maka kini melihat ada orang berani menentang, bahkan telah menghajar para penindas mereka, penduduk dusun ini menjadi kegirangan. Sekarang katakanlah, siapa orang yang disebut Beng-cu dan menjadi atasan dari Twa-to Ngo-houw tadi?”

Orang yang tadi pernah bercerita tentang Beng-cu, yaitu orang yang biasa melakukan perjalanan sebagai pedagang, lalu maju mendekat. “Seperti yang telah saya ceritakan tadi, nona. Beng-cu itu kabarnya bernama atau berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, juga mempunyai banyak anak buah yang lihai.”

“Di mana dia tinggal?” Kim Cu bertanya cepat. Ia berpendapat bahwa semua kekejaman yang terjadi dan dilakukan oleh anak buah Beng-cu itu baru akan dapat terhenti kalau kepalanya atau pimpinannya yang paling tinggi dibinasakan.

“Kabarnya di Lok-yang, nona. Kami sendiri tidak mengetahui...”

“Ahhh...!” Kim Cu benar-benar tercengang karena tidak pernah disangkanya bahwa seorang di antara Kiu Lo-mo berada di Lok-yang, kota yang baru saja ia tinggalkan. Kota di mana ia untuk pertama kali memperlihatkan kepandaiannya dan nama julukannya dikenal orang.

“Kalau begitu aku akan mencarinya di Lok-yang. Kalian jangan khawatir, aku akan mencari dan membinasakan iblis jahat itu!”

Berkata demikian, sekali berkelebat tubuh gadis itu telah lenyap dan ketika semua orang memandang, ternyata ia telah berada jauh dari situ, berlari seperti terbang cepatnya. Semua orang terbelalak, lalu mereka kembali menjatuhkan diri berlutut ketika nenek itu berseru,

“Ia tentu Kwan-im Pouw-sat yang datang menolong kita...”

Ketika malam tiba, Kim Cu bermalam di sebuah hutan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah mendaki bukit di depan. Di balik bukit itulah kota Lok-yang. Ia akan kembali ke kota itu, mencari Beng-cu yang berjuluk Hek-sim Lo-mo itu! Akan tetapi ketika ia tiba di puncak bukit dan memandang ke belakang, ia terkejut bukan main melihat asap keluar dari sebuah dusun, di tepi sungai.

Dari atas nampak jelas. Tentu ada rumah terbakar! Hatinya merasa tidak enak karena ia mengenal dusun itu sebagai dusun yang ditinggalkannya! Jangan-jangan terjadi sesuatu di sana! Maka, tanpa meragu lagi, iapun turun gunung dan berlari cepat kembali ke dusun itu!

Apa yang dikhawatirkan memang terjadi. Ia melihat para penduduk dusun ketakutan dan mereka berkumpul di tepi sungai. Ada dua buah rumah orang terbakar, ada pula yang telah habis dan menjadi abu. Sekelompok orang, dikepalai seorang nenek yang pakaiannya pesolek, sedang membentak-bentak semua orang dusun.

“Hayo katakan! Sekali lagi, katakan siapa yang tahu ke mana perginya setan cilik itu! Hek-liong-li datang untuk membantu kalian, bukan? Tentu ia memberitahu kalian ke mana ia pergi! Hayo, kalau tidak ada yang mau mengaku, akan kubakar semua rumah di dusun ini, dan akan kubunuh semua orang yang berada di sini...!”



Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 10

SEPASANG NAGA PENAKLUK IBLIS JILID 10

TIBA-TIBA terdengar jerit wanita, “Ayaaahh...!” Seorang gadis berusia kurang lebih lima belas tahun datang berlari-lari dan iapun menubruk ayahnya yang disiksa itu. “Ayahhh...! Ia merangkul ayahnya, lalu memandang kepada si tinggi kurus yang menyiksa, “Jangan... jangan pukuli ayahku! Sekeranjang ikan itu untuk membeli obat karena aku sakit...“

Si tinggi kurus memandang gadis itu dan dia menyeringai. “Hemm, ini anakmu, ya? Hemm, manis juga!”

Memang gadis itu cukup manis, dengan tubuh yang mulai menjadi dewasa, bagaikan setangkai bunga yang sedang mulai mekar.

“Sudahlah, kulupakan sekeranjang ikan itu, asal anakmu mau menemani aku, semalam!” Dia lalu menangkap pergelangan tangan anak perempuan itu dan menariknya bangkit berdiri. “Hayo, manis, ikut bersama aku, heh-heh!”

“Tidak...! Lepaskan aku...!” Gadis itu meronta, akan tetapi tak mampu menarik lepas tangannya.

“Ah, jangan... jangan ganggu anakku. Biarlah besok akan kuganti sekeranjang ikan itu!” Nelayan yang sudah payah itu bangkit dan mencoba untuk melindungi anaknya. Akan tetapi sebuah tendangan membuat dia terjungkal kembali.

Kim Cu melihat ini semua dan alisnya berkerut. Ia merasa heran mengapa sedemikian banyaknya orang yang berada di situ, tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani mencampuri, seolah-olah semua orang takut belaka kepada si tinggi kurus itu. Padahal melihat gerakan-gerakannya, orang itu hanya memiliki kemampuan silat yang biasa saja. Demikian pengecutkah semua orang itu sehingga membiarkan saja orang disiksa, diperas, dan kemudian bahkan anak perempuannya hendak diganggu?

Dengan beberapa langkah saja Kim Cu sudah berada di depan si tinggi kurus dan suaranya terdengar lantang ketika ia membentak, “Lepaskan gadis itu!”

Si tinggi kurus yang tadinya sudah hendak pergi sambil menyeret gadis yang meronta-ronta, terkejut mendengar bentakan ini, terkejut dan heran karena sama sekali tidak disangkanya akan ada orang berani membentaknya seperti itu. Dan dia lebih heran lagi melihat bahwa yang membentaknya itu hanyalah seorang wanita! Akan tetapi, ketika melihat wajah dan bentuk tubuh wanita muda yang membentaknya, hilanglah rasa marahnya dan dia menyeringai lebar, memandang wajah yang cantik jelita itu dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki. Tentu saja wanita ini jauh lebih menarik dari pada gadis muda yang ditangkapnya.

“Eh? Engkau melarangku? Hemm, engkau tidak mengenal aku siapa, tentu kau datang dari luar daerah, nona manis. Kau suruh aku melepaskan gadis ini? Baiklah, ia kulepaskan. Lihat, sudah kubebaskan dara yang masih terlalu muda ini. Pergilah kamu dan ajak ayahmu!” katanya kepada anak perempuan yang segera lari menghampiri ayahnya.

Kini si tinggi kurus kembali menghadapi Kim Cu dan menyeringai penuh kagum. “Dan setelah ia kubebaskan, engkau harus menjadi penggantinya, nona manis. Semalam menemaniku, engkau tidak akan kecewa, heh-heh!”

Semua orang kini memandang dengan hati tertarik dan tegang. Mereka semua memang takut kepada orang ini, bukan takut kepada orangnya, melainkan kepada kekuasaan yang berdiri di belakangnya. Si tinggi kurus itu adalah seorang di antara orang-orang anak buah Twa-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Besar), yaitu lima orang bekas bajak-bajak sungai yang amat kejam dan namanya ditakuti semua orang.

Sejak beberapa tahun ini, Twa-to Ngo-houw tidak lagi menjadi bajak sungai, akan tetapi mereka memeras dari semua pedagang dan nelayan untuk memberi “bagian keuntungan” kepada mereka sebagai “balas jasa” karena Twa-to Ngo-houw merasa telah melindungi mereka dari ancaman kejahatan! Karena sudah kerap kali terjadi orang yang membangkang disiksa bahkan ada pula yang dibunuh, akhirnya peraturan semacam pajak paksaan ini terpaksa diterima oleh semua orang.

Twa-to Ngo-houw sendiri berhenti menjadi bajak setelah mereka ditundukkan dan takluk kepada Beng-cu, yaitu Hek-sim Lo-mo! Mereka memungut “pajak” itupun untuk disetorkan kepada Beng-cu, akan tetapi tentu saja tidak sebesar yang diambilnya secara paksa dari para pedagang dan nelayan itu. Biasa, seperti selalu berlaku dalam kehidupan orang-orang yang menjadi hamba nafsu mementingkan diri sendiri, penyalahgunaan kekuasaan terjadi di mana-mana. Korupsi merajalela.

Melihat seorang wanita asing berani menegur si kurus yang kini malah jelas ingin mengganggunya, semua orang merasa khawatir, akan tetapi tidak ada yang begitu berani mati untuk mencampurinya.

Sementara itu, Kim Cu yang mendengar ucapan si tinggi kurus, tetap tersenyum manis, lalu berkata dengan suara merdu, “Bagaimana engkau dapat mengajak aku bersenang-senang kalau kedua lenganmu patah tulangnya?”

“Ehh?” Si tinggi kurus memandangi kedua lengannya. “Kedua lenganku sama sekali tidak patah, heh-heh!” Dia tertawa memperlihatkan deretan gigi panjang dan kuning tak terpelihara.

“Sekarang belum, akan tetapi aku akan mematahkan kedua lenganmu sebagai hukuman atas kekejamanmu terhadap nelayan tua dan anak perempuannya tadi,” kata pula Kim Cu sikapnya tetap tenang.

Semua orang terbelalak dan merasa semakin tegang dan khawatir. Semua menghentikan pekerjaan mereka dan menonton peristiwa yang akan terjadi di depan mata mereka. Tentu saja ada banyak di antara mereka yang mengharapkan bahwa wanita cantik itu bukan hanya berani bicara saja, melainkan juga mempunyai kekuatan untuk membuktikan sikap dan kata-katanya.

Si tinggi kurus menjadi marah, akan tetapi karena dia menghadapi seorang wanita cantik yang dia harapkan akan dapat menghiburnya malam itu, dia menahan kemarahannya. Tentu saja dia memandang rendah wanita cantik ini, yang kelihatan begitu lemah dan sama sekali tidak kelihatan kasar seperti wanita kang-ouw kebanyakan. Tidak ada senjata padanya, juga gerak geriknya lemah gemulai, lembut dan halus, tidak seperti wanita kang-ouw yang biasanya kelihatan kokoh kuat dan kejantan-jantanan.

“Ha-ha, jangan main-main di sini, nona manis. Marilah, kalau hendak main-main, nanti dikamarku, ha-ha-ha!”

“Plakkk!” Tiba-tiba suara ketawa itu terhenti karena tangan kiri Kim Cu telah menyambar dengan amat cepatnya, menampar pipi kanan orang itu. Demikian kuat tamparannya sehingga seketika pipi itu bengkak, membiru dan mulutnya mengeluarkan darah karena selain bibir kanan pecah, juga semua gigi yang berada di sebelah kanan mulutnya rontok dan tanggal semua!

Dengan mata berapi saking marahnya dia meludahkan gigi dan ludah merah, lalu membentak dengan suara yang kurang jelas karena mulutnya membengkak, tangan kirinya sudah mencengkeram ke depan, ke arah dada Kim Cu! Serangan yang berbahaya dan juga kurang ajar, seolah hendak dicengkeramnya buah dada wanita itu.

Kim Cu bersikap tenang saja, seperti membiarkan buah dadanya dicengkeram, akan tetapi setelah tangan orang itu mendekati dadanya, tiba-tiba lengan kanannya membacok dari dalam keluar, menangkis lengan kiri si tinggi kurus.

“Krekkk!” lengan kiri itu seketika lumpuh karena tulang lengannya patah dibacok tangan Kim Cu yang dimiringkan!

“Aughhhhh...!” Si tinggi kurus mengaduh-aduh, akan tetapi karena dia seorang yang biasanya ditaati dan tidak pernah dilawan, maka dia tidak tahu diri, tidak mau tahu bahwa wanita yang dilawannya jauh lebih lihai darinya. Tangan kanannya mencabut sebatang golok dari pinggang dan seperti orang gila mengamuk, dia membacokkan goloknya ke arah kepala wanita itu! Dengan amat mudah, Kim Cu miringkan tubuhnya dan ketika golok menyambar lewat, kembali ia membacokkan tangan yang dimiringkan ke arah lengan kanan lawan.

“Krekkk!” Kembali ada tulang lengan patah, sekali ini lengan kanan si tinggi kurus. Golok itu terlepas dan si tinggi kurus sambil mengaduh-aduh dan menangis karena kesakitan, memutar tubuh dan menjerit-jerit memanggil kawan-kawannya yang sedang mengumpulkan hasil pungutan pajak di bagian lain tak jauh dari situ. Tiga orang datang berlari-lari dan mereka mencabut golok, langsung mengeroyok Kim Cu.

Wanita ini tersenyum. “Wah, ada tiga ekor monyet lain lagi yang ingin merasakan patah lengannya!” katanya dan tiba-tiba tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan di antara tiga orang pengeroyoknya dan segera terdengar teriakan-teriakan kesakitan, tiga batang golok beterbangan dan merekapun mengaduh sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri karena lengan kanan itu telah patah tulangnya!

Kini tanpa dikomando lagi, empat orang jagoan itu lalu melarikan diri dari tempat itu seperti dikejar setan! Setelah mereka pergi, barulah terdengar orang bersorak dengan gembiranya. Semua dendam sakit hati mereka terhadap anak buah Twa-to Ngo-houw yang selama ini mereka pendam dan mereka tahan di lubuk hati, kini sedikit banyak telah terobati dengan melihat empat orang anak buah Twa-to Ngo-houw itu mendapat hajaran keras sampai tulang lengan mereka patah-patah! Wanita tua penjual ikan dan udang tadi segera menghampiri Kim Cu dengan wajah berseri.

“Nona boleh mengambil semua udang ini, kuberikan kepadamu, nona!” katanya.

Kim Cu menggeleng kepala dan mengeluarkan uang. “Jangan, bibi. Engkau bukan orang kaya untuk memberi hadiah. Aku hanya minta tolong agar engkau suka menunjukkan di mana ada warung yang mau menggorengkan udang ini untukku.”

Seorang nelayan muda datang menghampiri. “Nona, kiranya tidak akan ada orang yang mau atau berani membantumu. Ketahuilah, bahkan kami mengharap agar engkau suka cepat-cepat pergi sekarang juga dari sini, nona. Demi... demi keselamatanmu sendiri. Kami tidak ingin melihat nona celaka!”

Kim Cu memandang ke sekeliling dan kiranya banyak orang sudah berkumpul di situ dan semua orang mengangguk. Kini suasana menjadi gaduh karena banyak orang membujuk agar ia cepat pergi.

“Kenapa?” tanya Kim Cu walaupun ia sudah menduga.

“Mereka tadi anak buah Twa-to Ngo-houw, nona. Dan tentu sebentar lagi lima orang yang amat lihai itu akan datang atau orang-orangnya akan datang untuk mencelakai nona. Mereka tak mungkin tinggal diam saja melihat empat orang anak buah mereka dihajar tadi.”

“Biarlah kalau mereka datang. Akan kuhajar satu demi satu! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Twa-to Ngo-houw itu.”

“Akan tetapi, nona, Twa-to Ngo-houw bukan pemimpin pertama. Mereka hanya anak buah dari Beng-cu!” kata seorang pedagang yang agaknya lebih tahu akan urusan dunia kang-ouw.

Kim Cu tersenyum. “Kalau begitu, biarlah Beng-cu itu yang datang, aku akan menghadapinya dengan kepalanku!” Dengan gaya lucu Kim Cu mengepal tinju kanannya dan mengangkatnya ke atas. Semua orang merasa lucu akan tetapi khawatir. Kepalan itu kecil sekali, nampak lemah!

“Nona, kuharap engkau tidak berkata demikian,” kata orang yang biasa melakukan perjalanan sebagai pedagang dan yang sudah banyak mendengar itu. “Agaknya nona belum mengenal siapa itu Beng-cu. Kabarnya, seluruh penjahat di Propinsi He-nan dan Shan-tung sudah takluk kepadanya dan menjadi anak buahnya. Dan pernah aku mendengar bahwa beng-cu itu berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang memiliki kesaktian seperti iblis sendiri.”

Kim Cu tertarik. Pernah ia mendengar dari subonya tentang Kiu Lo-mo, Sembilan Iblis Tua yang kabarnya turun ke dunia ramai dan yang merupakan sembilan orang datuk sesat yang amat lihai. Kalau Beng-cu itu seorang di antara mereka, sungguh ia harus berusaha menentangnya! Bukankah ia dengan susah payah mempelajari semua ilmu untuk menentang orang-orang jahat seperti mereka yang pernah menghancurkan kehidupannya dan membinasakan orang tuanya?

“Kalau begitu, biarlah Hek-sim Lo-mo sendiri datang, aku tidak takut!” katanya.

Mendengar ini, semua orang menjadi ketakutan, wajah mereka berubah pucat karena mereka tidak mengira bahwa nona ini demikian keras kepala. Bagaimana mungkin akan melawan semua datuk jahat yang mempunyai banyak anak buah dan juga kabarnya amat kejam dan berilmu tinggi itu?

Takut kalau terbawa-bawa, maka semua orang mulai mengundurkan diri cepat-cepat sehingga tempat itu menjadi sunyi! Perahu-perahu ditinggalkan, bahkan barang-barang dagangan yang tadinya sedang diangkut ke dalam perahu, kini ditinggalkan dan perahu-perahu ada yang bergegas meninggalkan tempat itu.

Melihat ini, Kim Cu mengerutkan alisnya. Betapa penakutnya rakyat jelata. Kalau rakyat jelata bersatu menghadapi para penjahat, kiranya tidak akan ada penjahat yang hidup di dunia ini. Tidak akan ada yang mampu melawan kekuatan rakyat apabila mereka bersatu. Berapa sih jumlahnya penjahat? Kalau dikeroyok oleh rakyat jelata, mereka itu akan dilindas habis! Sayang persatuan itu tidak ada, seperti nampak dalam sikap para penduduk dusun Cia-siang-teng ini.

“Nona, mari kubantu nona untuk masak udang-udang itu,” terdengar suara lirih.

Kim Cu menengok dan ia tersenyum girang. Kiranya masih ada orang yang berani mendekatinya dan tinggal di situ, yaitu bukan lain adalah nenek penjual ikan dan udang tadi!

“Bibi, apakah engkau tidak ikut pergi seperti yang lain? Engkau berani menghadapi ancaman Twa-to Ngo-houw?”

Nenek itu mengerutkan alisnya. “Nona, apa lagi yang perlu kutakuti? Mereka itu paling banyak hanya dapat membunuhku dan aku tidak takut mati. Suami dan anak tunggalku juga sudah tewas setelah mereka pukuli. Biarlah mataku yang tua ini melihat mereka mendapat lawan yang tangguh seperti nona, yang akan menghajar mereka yang jahat itu! Mari, nona, mari ikut dengan aku ke rumahku dan aku akan membuatkan udang bakar yang lezat untukmu.”

Kim Cu membantu nenek itu membawa udang dan ikan, lalu mereka berdua menuju ke rumah nenek itu, sebuah rumah gubuk terpencil di tepi sungai. Nenek itu hidup seorang diri dan keadaan gubuknya miskin sekali sehingga Kim Cu merasa terharu.

Sebaliknya, nenek itu nampak gembira sekali. “Nona, udang besar seperti ini paling enak kalau dibakar dalam tanah liat, kemudian dagingnya dimakan dengan kecap dan saus. Biar kubuatkan sausnya, dan tolong kau carikan tanah liat di tepi sungai sebelah sana!”

Kim Cu juga merasa gembira. Ia merasa seperti menjadi keponakan nenek itu dan iapun cepat mencarikan tanah liat. Ia membantu nenek itu, atas petunjuk nenek itu, untuk membungkus udang-udang besar itu, lima ekor banyaknya, dengan tanah liat, kemudian tanah liat itu dibakar di dalam api membara, api arang yang panas.

“Setelah tanah liatnya mengering dan pecah-pecah, baru boleh diangkat. Jangan lupa untuk membolak-balik bungkusan udang itu, nona,” pesan sang nenek yang sibuk membuatkan bumbu-bumbu, dan juga menanak nasi.

Setelah tanah liat yang membungkus udang-udang itu kering dan pecah-pecah, udang bakar itu diangkat dari api. Nenek itu lalu mengupas tanah liat yang sudah kering dan bersama tanah liat itu, terkupas pula kulit udang! Kini yang tinggal hanyalah daging udang yang putih kemerahan, berbau sedap dan nampak menantang mulut sehingga Kim Cu terpaksa harus menelan air liurnya.

Nasipun sudah matang dan kini ditemani oleh sang nenek, Kim Cu makan dan harus diakuinya bahwa selama hidupnya belum pernah ia merasakan makan nasi sedemikian nikmat dan lezatnya. Bakar udang itu memang lezat bukan main. Gurih dan manis, dan tidak berbau amis. Daging udang sebesar empu jari kaki itu terasa kenyal dan gurih, apa lagi diberi bumbu kecap dan saus. Sedap bukan main, dan ada rasa manis aseli dari daging itu. Tanpa disadari, Kim Cu makan lebih banyak dari biasanya.

Baru saja mereka selesai makan dan Kim Cu mencuci tangannya dengan daun jeruk untuk mengusir sisa bau amis, terdengar suara gaduh dan ketika ia menengok, ternyata ada lima orang laki-laki menunggang kuda datang ke tempat itu bersama dua di antara empat orang anak buah Twa-to Ngo-houw yang dihajarnya tadi.

Melihat mereka, nenek itu nampak berubah pucat wajahnya dan iapun menyelinap ke dalam gubuknya sambil berkata, “Masa bodoh, nona. Itu Twa-to Ngo-houw sendiri muncul!”

“Jangan khawatir, bibi, aku akan menghajar mereka untuk membalas sakit hatimu kehilangan suami dan anak,” jawab Kim Cu yang sudah bangkit berdiri dan menanti mereka di pekarangan gubuk itu yang terbuka dan luas.

Sunyi di sekitarnya. Rumah-rumah para tetangga tertutup pintu dan jendelanya, akan tetapi Kim Cu dapat menduga bahwa banyak mata penduduk mengintai dari tempat persembunyian mereka. Iapun berdiri tegak dan dengan sikap tenang menanti datangnya lima orang penunggang kuda itu sambil memandang penuh perhatian.

Mereka memang menyeramkan. Lima orang laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan pantas kalau disebut Lima Harimau. Usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun, dengan pakaian yang mentereng, tubuh yang kokoh kuat dan ada sebatang golok besar terselip di punggung masing-masing. Golok telanjang itu besar dan mengkilat tajam.

Juga kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilihan yang tinggi dan kuat. Dua orang anak buah mereka itu ikut berlari kecil di samping kuda dan melihat Kim Cu, keduanya segera menuding dengan tangan yang masih sehat karena sebelah lengan yang lain dibalut dan patah tulangnya.

“Itulah ia...!”

Dengan gerakan yang cekatan sekali lima orang itu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan kini dua orang anak buah yang lengannya digantung sebelah itu mengurus lima ekor kuda, dibawa ke bawah pohon-pohon, sedangkan lima orang itu melangkah lebar dan dengan sikap mengancam menghampiri Kim Cu yang masih berdiri tegak dan tenang. Puluhan pasang mata dari para penduduk dusun itu mengintai dari tempat persembunyian mereka.

Mereka menahan napas dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran. Bagaimana mungkin nona yang cantik jelita itu akan mampu menandingi Lima Harimau Bergolok Besar itu? Seorang saja di antara mereka berlima sudah merupakan seorang lawan yang amat kuat, dan para penduduk dusun itu pernah melihat seorang di antara mereka, yang rambut kepalanya botak dan merupakan orang termuda di antara mereka, setahun yang lalu menawan seorang wanita muda dari luar daerah yang kebetulan berkunjung bersama suaminya di dusun itu.

Tentu saja sang suami dibantu oleh belasan orang temannya, melakukan perlawanan. Terjadilah perkelahian, namun si kepala botak itu merobohkan si suami bersama belasan orang temannya. Mereka semua terluka dan si botak itu melarikan isteri orang seenaknya saja! Baru orang yang termuda itu saja demikian kejam dan lihai, apa lagi kini mereka berlima datang semua!

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 10 karya kho ping hoo

Orang termuda dari Twa-to Ngo-houw memang seorang laki-laki mata keranjang yang suka mempermainkan wanita mana saja yang menarik hatinya, tidak perduli ia itu perawan, janda ataukah isteri orang. Kini, melihat betapa gadis yang menurut pelaporan anak buah tadi telah melukai empat orang anak buah, ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan manis, tentu saja seketika dia tertarik dan timbul gairahnya.

“Ha-ha-ha, twako, berikan gadis ini kepadaku dan biarkan aku yang akan menghukumnya!” katanya sambil meloncat ke depan menghadapi Kim Cu.

Orang pertama dari Twa-to Ngo-houw bernama Boan Ke, bermuka hitam bopeng dan melihat Kim Cu, diapun memandang rendah. Tentu akan memalukan kalau Twa-to Ngo-houw, lima jagoan yang merajalela di sepanjang Sungai Kuning daerah itu, kini harus mengeroyok seorang gadis! Maka, mendengar permintaan adiknya termuda, si botak yang bernama Su Leng, diapun mengangguk.

Memang sebaiknya kalau gadis yang telah lancang melukai empat orang anak buahnya ini diserahkan kepada Su Leng, biar adik keempat ini menyiksa dan mempermainkannya sampai mati untuk menghukumnya. Maka diapun mengangguk sambil tertawa, dan tiga orang adiknya yang lainpun ikut tertawa. Mereka berempat tidak memiliki kesukaan yang sama dengan Su Leng, akan tetapi mereka akan bergembira melihat betapa gadis itu akan dipermainkan dan ditundukkan oleh adik mereka yang termuda.

Dengan lagak yang membuat hati Kim Cu merasa jijik dan juga geli, kini Su Leng menghampiri Kim Cu. Dipandangnya wanita itu dari kepala sampai ke kaki dan hatinya girang bukan main karena dia mendapat kenyataan betapa wanita ini memang cantik jelita, berkulit mulus dengan tubuh padat dan menggairahkan. Dia menyeringai lebar.

“Nona manis, engkaukah yang telah main-main dengan empat orang anak buah kami tadi?”

Kim Cu tersenyum, demikian manisnya senyum ini sehingga Su Leng hampir saja jatuh terkulai karena tubuhnya terasa lemas seketika! “Benar, aku yang telah menghajar empat ekor anjing peliharaanmu itu!”

Biarpun ia tersenyum dan nada suaranya merdu dan halus, namun isi kata-katanya menusuk perasaan sehingga Su Leng mengerutkan alisnya dan kemarahan menyelinap di hatinya, membuat dia bicara dengan suara kasar.

“Nona, siapakah sebenarnya engkau? Siapa namamu?”

“Namaku tidak perlu kalian ketahui dan sebaiknya kalian lekas menggelinding pergi dari sini dan jangan mengganggu aku dan penduduk dusun ini lebih lanjut!”

Su Leng kini tertawa bergelak, merasa lucu bahwa seorang gadis cantik jelita dan lemah begini berani mengeluarkan ucapan demikian besar dan mengusir mereka, Twa-to Ngo-houw! “Aih, nona manis. Agaknya engkau belum mengenal siapa kami, ya?”

“Tentu saja aku mengenal kalian,” kata Kim Cu dan memperlebar senyumnya sehingga nampak deretan giginya yang teratur rapi dan berkilauan putih seperti mutiara. “Kalian adalah Lima Anjing Bergolok Tumpul, benarkah?”

Lima orang itu menjadi merah mukanya dan Su Leng membentak marah. “Perempuan sombong! Aku akan mempermainkan kamu sampai habis-habisan, kemudian kau akan kuserahkan kepada empat orang anak buah kami tadi agar kau disiksa sampai mampus!”

Berkata demikian, Su Leng sudah menubruk ke depan, tangan kiri mencengkeram ke arah rambut kepala, tangan kanan mencengkeram dada! Su Leng masih belum mengeluarkan goloknya karena dia masih memandang ringan lawannya. Pula, dia ingin menangkap wanita itu hidup-hidup, dalam keadaan tidak terluka agar dia akan dapat mempermainkan dan menikmatinya sepuas hatinya sebelum menyerahkan wanita itu kepada empat orang anak buahnya. Gerakannya cepat dan kedua tangannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat ketika dia menubruk ke depan itu.

Namun, bagi Kim Cu, kecepatan dan kekuatan serangan itu bukan apa-apa, bahkan baginya nampak lamban dan lemah. Kalau ia menghendaki, tentu segebrakan saja ia akan mampu merobohkan orang ini dan sekaligus membunuhnya. Tingkat kepandaian Kim Cu jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian lima orang jagoan ini.

Dengan kecepatan kilat, kedua tangan Kim Cu bergerak menyambut dan mendahului lawan dengan menotok ke arah kedua siku. Totokan itu tidak nampak saking cepatnya dan tiba-tiba saja Su Leng merasa betapa kedua lengannya menjadi lemas kehilangan tenaga, dan pada saat itu, tangan kiri Kim Cu menampar ke depan, dengan punggung tangannya ia menghajar ke arah hidung Su Leng.

“Prakkk!” Tamparan itu demikian kuatnya sehingga Su Leng merasa kepalanya terputar dan untuk menjaga agar lehernya tidak patah, diapun mengikuti dengan tubuhnya yang berpusing. Ketika putaran tubuhnya terhenti, empat orang kakaknya melihat betapa muka itu penuh darah dan ternyata hidung Su Leng telah remuk!

Su Leng mengeluarkan suara aneh. Dia memaki-maki kalang kabut, akan tetapi karena bukit hidungnya remuk dan lubangnya tersumbat, suaranya bindeng dan tidak karuan sehingga terdengar lucu dan aneh. Dia lalu mencabut goloknya dan dengan kemarahan meluap dia sudah menyerang Kim Cu dengan golok itu. Golok besar di tangannya itu memang berbahaya sekali.

Golok itu besar dan berat, juga amat tajam, dan di tangan Su Leng, golok itu seperti hidup, menyambar-nyambar dan bentuk goloknya lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung! Kemarahan dan sakit hati membuat gerakan golok di tangan Su Leng lebih dahsyat lagi dari pada biasanya.

Kini, nafsu berahinya yang timbul karena melihat kecantikan Kim Cu lenyap sama sekali, terganti nafsu amarah dan kebencian yang bagaikan api berkobar-kobar dan satu-satunya niat di hatinya kini hanyalah mencincang tubuh wanita yang telah membikin remuk hidungnya itu!

Namun, hujan serangan golok itu disambut dengan tenang saja oleh Kim Cu. Ia segera mempergunakan Liu-seng-pouw (Langkah Bintang Cemara), satu di antara ilmu yang dipelajarinya dari Huang-ho Kui-bo. Liu-seng atau bintang Liu (semacam cemara) adalah kedudukan enam bintang yang letaknya segi tiga melingkar dan ketika ia mempergunakan langkah ajaib ini, maka tubuhnya nampak selalu menyelinap di antara sambaran golok!

Dengan langkah ajaib ini, golok di tangan Su Leng tidak pernah mengenai sasaran, bahkan tak pernah mampu menyentuh ujung baju Kim Cu sama sekali. Enak saja gadis itu melangkah ke depan belakang, ke kanan dan ke kiri sesuai dengan kedudukan kelompok Bintang Liu. Hebatnya, ia bukan saja mampu menghindarkan semua serangan golok, bahkan ia masih sempat memutar tubuhnya dan beberapa kali ia berada di belakang lawan! Hal itu membuat Su Leng penasaran sekali. Dia mempercepat gerakan goloknya, namun sia-sia belaka, bahkan tiba-tiba terdengar Kim Cu membentak nyaring.

“Anjing busuk, pergilah!” Ucapan ini disusul sebuah tendangan kilat yang mengenai pinggul Su Leng, membuat tubuh si botak ini terlempar dan terpelanting, lalu jatuh terbanting dengan keras. Karena dia terbanting dengan kepala lebih dulu, maka kepalanya benjol besar dan diapun menjadi pening tujuh keliling, sampai lama tidak mampu bangkit berdiri, hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang berputaran. Bintang-bintang nampak menari-nari di depan matanya!

Empat orang kakak Su Leng menjadi terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana mungkin adik mereka itu dengan golok di tangan demikian mudah dirobohkan oleh gadis yang tidak terkenal, bahkan yang bertangan kosong itu? Tanpa menanti komando, empat orang itu mencabut golok masing-masing dan merekapun mengepung Kim Cu dari empat penjuru dan mulailah mereka menyerang dan mengeroyok!

Kim Cu maklum bahwa kalau empat orang itu maju berbareng, ia harus lebih waspada. Bagaimanapun juga, empat batang golok yang berat dan bergerak cepat menyambar-nyambar dari empat penjuru itu tidak boleh dibuat main-main. Iapun cepat memainkan ilmu silat tangan kosong yang disebut Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik), satu di antara ilmu yang dipelajarinya dari subonya.

Bi-jin-kun merupakan ilmu silat yang gerakannya lemas, halus dan indah sekali. Seorang wanita yang kurang cantik sekalipun akan nampak menarik kalau pandai bermain silat ini, apa lagi seorang wanita seperti Kim Cu! Ia memang sudah cantik jelita dan manis, maka begitu ia bersilat Bi-jin-kun, ia nampak seperti seorang bidadari sedang menari-nari dengan lemah gemulai dan amat indahnya!

Empat orang pengeroyoknya terbelalak kagum dan mereka seperti menghadapi seorang wanita yang menari-nari amat indah. Anehnya, tarian itu bukan sembarang tarian, melainkan mengandung gerakan yang amat cekatan dan lemas, ditunjang tenaga yang amat kuat. Dari manapun datangnya golok yang menyambar, selalu dapat dielakkan oleh wanita cantik itu, dengan gerakan yang amat indah pula, seolah-olah mengejek empat orang pengeroyoknya.

Kim Cu terus memainkan ilmu silat aneh itu dan selain gerakannya indah sekali, juga ia tersenyum-senyum dan melirik-lirik penuh daya pikat! Ini memang merupakan keharusan dalam memainkan ilmu silat ini, dan akibatnya memang luar biasa sekali. Empat orang itu kini kelihatan bingung, gerakan mereka kacau balau. Biarpun mereka berempat bukan laki-laki mata keranjang macam Su Leng, namun melihat wanita yang menari-nari demikian indah dan cantiknya, entah bagaimana, mereka merasa betapa tenaga mereka berkurang, bahkan gerakan mereka menjadi lemas. Senyum dan kerling mata wanita itu seperti mengelus perasaan mereka!

Memang inilah kehebatan Bi-jin-kun ciptaan Huang-ho Kui-bo. Bukan hanya gerakan ilmu silatnya yang lihai, juga mengandung daya pikat yang luar biasa, yang dapat mengacaukan gerakan lawan, membuyarkan pemusatan perhatian sehingga akan mudah mengalahkan lawan yang sudah kacau itu.

Tiba-tiba Kim Cu mempercepat gerakannya dan kini tubuhnya lenyap menjadi bayang¬bayang yang berkelebatan ke empat penjuru. Terdengar teriakan berturut-turut dan empat orang itupun satu demi satu roboh terkena tendangan atau tamparan tangan Kim Cu yang kecil halus namun mengandung tenaga sinkang ampuh itu! Mereka bergulingan dan menjauhkan diri, lalu berloncatan bangkit.

Su Leng juga sudah berdiri dan memandang dengan mata terbelalak melihat betapa empat orang kakaknya juga roboh oleh wanita itu, dengan menderita benjol-benjol atau matang biru, bahkan seorang di antara mereka patah tulang pundaknya!

Boan Ke, orang pertama dari Twa-to Ngo-houw, memandang dengan muka pucat dan dia berkata, “Apakah... apakah engkau yang bernama Hek-liong-li dari... dari Lok-yang itu?”

Kim Cu tersenyum. Tak disangkanya bahwa nama julukannya yang baru saja dikenal orang di Lok-yang itu demikian cepatnya sampai di tempat ini dan mereka ini mengenalnya. Ia mengangguk. “Benar, aku adalah Hek-liong-li, lalu kalian mau apa?”

Boan Ke dan empat orang adiknya menjadi pucat. Mereka memang sudah mendengar nama itu, bahkan mereka dipesan oleh atasan mereka untuk mencari gadis dengan julukan Dewi Naga Hitam itu, akan tetapi tadi sama sekali mereka tidak menyangka bahwa mereka berhadapan dengan Hek-liong-li. Baru setelah mereka merasakan kelihaian gadis berpakaian serba hitam itu, timbul dugaan bahwa jangan-jangan gadis berpakaian hitam yang amat lihai ini adalah orang yang dicari oleh atasannya! Dan ternyata memang benar!

“Hek-liong-li, kalau benar engkau seorang gagah, jangan kau lari. Tunggu, kami akan segera datang kembali untuk membuat perhitungan denganmu!” kata Boan Ke dan dia bersama empat orang adiknya lalu berloncatan menuju ke lima ekor kuda mereka, meloncat ke atas punggung kuda dan tanpa bicara apa-apa lagi mereka melarikan kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu!

Kasihan dua orang anak buah mereka itu yang terpaksa harus berlari-lari dengan lengan dibalut dan digantung karena kedua orang ini ketakutan setengah mati ditinggal oleh pimpinan mereka.

Kim Cu tidak mengejar, hanya berdiri mengikuti mereka dengan pandang matanya sambil tersenyum mengejek. Dan tak lama kemudian, bermunculanlah para penduduk dusun itu. Mereka tadi menonton dari tempat persembunyian mereka dan dengan penuh kekaguman, akan tetapi juga dengan penuh ketegangan. Mereka melihat betapa nona berpakaian hitam itu benar-benar dapat mengalahkan Twa-to Ngo-houw dan membuat mereka yang kejam dan jahat seperti setan itu melarikan diri terbirit-birit!

“Hidup Hek-liong-li...!” Teriak beberapa orang di antara mereka yang tadi mendengar juga percakapan di antara Twa-to Ngo-houw dan wanita cantik itu dan kini orang-orang dusun itu menjatuhkan diri berlutut di depan Kim Cu.

Sementara itu nenek penjual ikan tadi keluar dari dalam gubuknya dan langsung ia merangkul Kim Cu sambil menangis! Begitu terharu hati wanita ini sehingga ia menangis. “Terima kasih... terima kasih, nona...” katanya setelah ia dapat menguasai dirinya dan ikut pula menjatuhkan diri berlutut.

Kim Cu merasa tidak enak. “Harap kalian suka bangkit berdiri dan jangan berlutut seperti itu.” Ia mengerti betapa hebat penderitaan orang-orang ini, tanpa ada yang mampu membela atau melindungi mereka, maka kini melihat ada orang berani menentang, bahkan telah menghajar para penindas mereka, penduduk dusun ini menjadi kegirangan. Sekarang katakanlah, siapa orang yang disebut Beng-cu dan menjadi atasan dari Twa-to Ngo-houw tadi?”

Orang yang tadi pernah bercerita tentang Beng-cu, yaitu orang yang biasa melakukan perjalanan sebagai pedagang, lalu maju mendekat. “Seperti yang telah saya ceritakan tadi, nona. Beng-cu itu kabarnya bernama atau berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, juga mempunyai banyak anak buah yang lihai.”

“Di mana dia tinggal?” Kim Cu bertanya cepat. Ia berpendapat bahwa semua kekejaman yang terjadi dan dilakukan oleh anak buah Beng-cu itu baru akan dapat terhenti kalau kepalanya atau pimpinannya yang paling tinggi dibinasakan.

“Kabarnya di Lok-yang, nona. Kami sendiri tidak mengetahui...”

“Ahhh...!” Kim Cu benar-benar tercengang karena tidak pernah disangkanya bahwa seorang di antara Kiu Lo-mo berada di Lok-yang, kota yang baru saja ia tinggalkan. Kota di mana ia untuk pertama kali memperlihatkan kepandaiannya dan nama julukannya dikenal orang.

“Kalau begitu aku akan mencarinya di Lok-yang. Kalian jangan khawatir, aku akan mencari dan membinasakan iblis jahat itu!”

Berkata demikian, sekali berkelebat tubuh gadis itu telah lenyap dan ketika semua orang memandang, ternyata ia telah berada jauh dari situ, berlari seperti terbang cepatnya. Semua orang terbelalak, lalu mereka kembali menjatuhkan diri berlutut ketika nenek itu berseru,

“Ia tentu Kwan-im Pouw-sat yang datang menolong kita...”

Ketika malam tiba, Kim Cu bermalam di sebuah hutan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah mendaki bukit di depan. Di balik bukit itulah kota Lok-yang. Ia akan kembali ke kota itu, mencari Beng-cu yang berjuluk Hek-sim Lo-mo itu! Akan tetapi ketika ia tiba di puncak bukit dan memandang ke belakang, ia terkejut bukan main melihat asap keluar dari sebuah dusun, di tepi sungai.

Dari atas nampak jelas. Tentu ada rumah terbakar! Hatinya merasa tidak enak karena ia mengenal dusun itu sebagai dusun yang ditinggalkannya! Jangan-jangan terjadi sesuatu di sana! Maka, tanpa meragu lagi, iapun turun gunung dan berlari cepat kembali ke dusun itu!

Apa yang dikhawatirkan memang terjadi. Ia melihat para penduduk dusun ketakutan dan mereka berkumpul di tepi sungai. Ada dua buah rumah orang terbakar, ada pula yang telah habis dan menjadi abu. Sekelompok orang, dikepalai seorang nenek yang pakaiannya pesolek, sedang membentak-bentak semua orang dusun.

“Hayo katakan! Sekali lagi, katakan siapa yang tahu ke mana perginya setan cilik itu! Hek-liong-li datang untuk membantu kalian, bukan? Tentu ia memberitahu kalian ke mana ia pergi! Hayo, kalau tidak ada yang mau mengaku, akan kubakar semua rumah di dusun ini, dan akan kubunuh semua orang yang berada di sini...!”