Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KIM CU memandang dengan alis berkerut. Hatinya terasa panas sekali melihat betapa rumah gubuk nenek yang menjual ikan itu telah habis menjadi abu dan semakin panas rasa hatinya ketika ia mengenal lima orang Twa-to Ngo-houw yang kini datang bersama seorang nenek.

Ia memperhatikan nenek itu. Usianya masih belum tua benar, paling banyak empatpuluh dua tahun, akan tetapi, wajahnya seperti nenek-nenek tua yang sudah keriputan! Tubuhnya memang masih padat berisi seperti seorang gadis saja, akan tetapi, mukanya nampak tua sekali walaupun dilapisi bedak tebal dan pemerah pipi dan bibir.

Wanita ini pesolek, pakaiannya mewah, dan sikapnya genit, karena matanya melirik-lirik dan mulutnya bergerak-gerak ke arah senyum genit, juga ketika melangkah lenggangnya dibuat-buat sehingga pinggulnya menari-nari. Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang ujungnya sembilan batang. Rambutnya panjang dikuncir dan dibiarkan berjuntai di atas pundak terus ke depan. Rambut inilah yang nampak menggelikan. Cara mengatur rambut itu seperti seorang gadis remaja saja!

Melihat betapa semua penduduk menggigil ketakutan, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka mau mengaku, diam-diam Kim Cu merasa terharu dan juga kagum. Bagaimana lemah pun, penduduk dusun ini sungguh memiliki kesetiaan dan tidak ada yang mau memberitahu bahwa ia pergi ke Lok-yang! Agaknya, wanita itu sudah marah dan tidak sabar lagi. Telah beberapa buah rumah dibakarnya, akan tetapi tak seorangpun di antara penduduk dusun itu mau membuka mulut.

“Kalian mengira aku menggertak saja, ya? Ingin melihat seorang di antara kalian mampus?” Ia mengangkat cambuknya dan terdengar suara meledak-ledak ketika ia menggerakkan cambuknya di udara.

Terdengar sembilan kali ledakan nyaring disusul bentakannya, “Aku menghitung sampai tiga! Kalau tidak ada yang mengaku, berarti akan ada sembilan orang yang tewas di ujung cambukku! Satu... dua...”

“Iblis betina yang kejam, engkau mencari Hek-liong-li? Inilah aku, jangan engkau memaksa penduduk dusun tidak berdosa, yang memang tidak tahu aku berada di mana!”

Wanita itu adalah Kiu-bwe Mo-li, satu di antara pembantu utama Hek-sim Lo-mo, usianya memang baru empatpuluh tahun lebih, akan tetapi karena ia terlalu menurutkan nafsu dan menjadi seorang wanita gila lelaki, maka wajahnya sudah penuh keriput seperti seorang nenek-nenek berusia enampuluh tahun lebih! Ketika ia membalikkan tubuh dan melihat siapa yang bicara, ia lalu tertawa genit seperti orang yang melihat sesuatu yang amat lucu.

“Hi-hi-hi-hik, engkau yang berjuluk Hek-liong-li? Heh-heh-hik-hik-hik! Kiranya hanya seorang bocah yang masih ingusan!” Tiba-tiba muka yang penuh tawa itu berbalik menjadi beringas dan ia menoleh ke arah Twa-to Ngo-houw lalu membentak, “Dan kalian tidak mampu membunuh anak perempuan ingusan ini! Sungguh tak tahu malu memakai nama Twa-to Ngo-houw! Hayo bunuh anak ini, hendak lihat sampai di mana kelihaiannya!”

Twa-to Ngo-houw sudah merasakan kelihaian Kim Cu, maka mereka tidak berani memandang ringan. Juga mereka tidak berani membangkang terhadap perintah Kiu-bwe Mo-li yang mereka kenal baik sebagai seorang atasan yang amat kejam dan ringan tangan. Selain itu, mereka juga malu. Biarlah wanita iblis itu melihat sendiri kelihaian Hek-liong-li.

Boan Ke lalu mengeluarkah bentakan nyaring yang juga menjadi isyarat bagi empat orang adiknya dan mereka lalu mencabut golok masing-masing dan menerjang Kim Cu dengan golok di tangan. Kembali, seperti kemarin, Kim Cu dikeroyok oleh lima orang yang kini bergerak dengan nekat dan besar hati karena di situ terdapat Kiu-bwe Mo-li yang tentu tidak akan membiarkan mereka kalah.

Sekali ini, biarpun mulutnya masih dihias senyum yang amat manis, namun di dalam hatinya Kim Cu sudah marah sekali. Orang-orang macam ini amatlah jahatnya, membakari rumah rakyat yang tidak berdosa, bahkan mungkin saja penjahat-penjahat seperti mereka itu membunuhi orang-orang tanpa dosa seenaknya.

Orang-orang seperti ini harus dibasmi, karena kalau dibiarkan hidup hanya akan menyebar kejahatan dan menyengsarakan rakyat. Maka, ketika melihat lima orang itu mengeroyoknya, iapun segera memainkan ilmu silatnya yang luar biasa, yaitu Bi-jin-kun yang amat indah, yang membuat tubuhnya seperti menari-nari, lemah gemulai namun juga amat berbahaya karena dalam setiap gerakan kaki dan tangannya terkandung tenaga sinkang lembut yang amat berbahaya, kaki dan tangan itu seakan-akan merupakan empat buah senjata terbuat dari baja yang amat ampuh dan siap membunuh.

Tubuh Kim Cu atau Hek-liong-li adalah tubuh seorang wanita yang sedang mekar dan matang, ramping dan lembut. juga lemas sekali, maka ketika ia memainkan Ilmn Silat Bi-jin-kun yang indah itu, ia seolah-olah menari-nari, namun hebatnya, gulungan sinar golok lima orang itu tidak pernah dapat menyentuhnya. Apalagi menyentuh bagian tubuhnya, baru menyentuh ujung pakaiannya pun sukar!

Hal ini adalah karena kedua kaki wanita cantik dan gagah itu selalu memainkan Liu-seng-pouw, yaitu langkah-langkah ajaib yang membuat semua serangan luput dari sasaran. Kedua kakinya bergerak dengan lincah dan indahnya, bergeser ke depan, belakang, kanan dan kiri, kadang-kadang melompat, kadang-kadang kedua kaki terpentang lebar dan tubuh merendah. Karena gerakan ini dilakukan dengan lincah dan gesit, dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, maka tubuhnya seperti berkelebatan di antara lima gulungan sinar golok.

Dari gurunya, Huang-ho Kui-bo, Hek-liong-li mendapatkan pelajaran bermacam-macam ilmu silat, baik tangan kosong maupun silat senjata seperti memainkan golok, tombak, rantai, dan terutama sekali pedang dan tongkat. Akan tetapi, sampai kini ia tidak pernah menyimpan senjata dan hanya mengandalkan kaki tangan saja, untuk melindungi dirinya dan karena kini ia menghadapi pengeroyokan, lima orang yang cukup berbahaya maka ia memainkan ilmu silat pilihannya, yaitu Bi-jin-kun dengan dibantu langkah-langkah ajaib Liu-seng-pouw.

Sejak tadi Kiu-bwe Mo-li berdiri dan memperhatikan gerakan gadis berjuluk Dewi Naga Hitam yang dikeroyok oleh lima orang pembantunya itu dan mengertilah ia mengapa Twa-to Ngo-houw sampai kalah. Ternyata Hek-liong-li memang lihai bukan main dan melihat gerakan kaki gadis itu, wajah Kiu-bwe Mo-li berubah agak pucat. Ia pernah melihat langkah-langkah dan gerakan kaki seperti itu!

Pandang matanya seperti melekat pada kedua kaki gadis cantik itu, mengikuti semua gerakannya. Ia pernah melihatnya, akan tetapi lupa lagi di mana. Begitu indah gerakan kaki itu, begitu gesit dan ringan, dan begitu luar biasa karena gerakan kaki, setiap perubahan membuat kedudukan tubuh gadis itu sukar untuk dapat tercium sinar golok, biarpun ada lima batang golok yang menyambar-nyambar mengeroyoknya. Akan tetapi ia tidak ingat lagi siapa yang pernah memainkan langkah-langkah ajaib seperti itu.

Kemudian ia mengalihkan perhatiannya dari gerakan kaki Hek-liong-li kepada gerakan tangannya, tubuhnya yang lemah gemulai dalam gerakan seperti, orang menari-nari dengan indahnya. Dan melihat gerakan silat seperti orang menari ini, Kiu-bwe Mo-li seperti tersentak kaget.

“Bi-jin-kun...! Kalau begitu... itu Liu-seng-pouw dari... bibi guru Huang-ho Kui-bo...!” bisiknya kepada diri sendiri dan ia terkejut bukan main. Gadis berpakaian hitam ini memainkan silat-silat sakti dari bibi gurunya yang amat lihai. Bibinya itu amat lihai, lebih lihai dari mendiang gurunya, dan bibinya, Huang-ho Kui-bo, pernah menjadi datuk sepanjang Sungai Huang-ho, ditakuti oleh semua orang golongan kang-ouw.

Akan tetapi, sudah bertahun-tahun lamanya, bibinya itu lenyap dari dunia ramai. Orang mengira bahwa ia mengundurkan diri karena sudah tua dam mungkin sudah mati. Karena itu, ketika Kiu Lo-mo muncul menguasai dunia kang-ouw, Huang-ho Kui-bo juga tidak kelihatan. Dan kini, tiba-tiba saja ia melihat seorang gadis yang lihai sekali memainkan Bi-jin-kun dan Liu-seng-pouw, ilmu-ilmu yang menjadi andalan Huang-ho Kui-bo!

Lima orang Twa-to Ngo-houw masih mengeroyok dan mereka yang merasa penasaran sekali, menyerang dengan ganasnya. Lima batang golok itu membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata dan tubuh Hek-liong-li dikepung oleh gulungan sinar, seolah-olah tidak mungkin dapat keluar lagi dengan selamat.

Namun, Hek-liong-li yang ingin cepat merobohkan lima orang pengeroyoknya yang ia tahu adalah manusia-manusia yang jahat sekali, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking panjang dan ia merobah gerakannya. Kini tubuhnya menyambar dengan ganas, menyelinap di antara gulungan sinar golok, kedua tangannya yang kini tiba-tiba berubah menjadi merah itu menyambar-nyambar dan terdengarlah teriakan-teriakan susul menyusul diikuti robohnya tiga orang di antara Twa-to Ngo-houw.

Orang pertama terpelanting roboh dengan luka di dahinya, tertusuk jari-jari tangan kiri Hek-liong-li dan di dahinya itu hanya nampak ada tapak tiga jari kemerahan, namun begitu terpelanting roboh dia berkelojotan dan tewas seketika! Orang kedua roboh terjungkal, kelihatannya tidak terluka karena tangan kanan Hek-liong-li tadi mencengkeram ke dadanya, akan tetapi kalau bajunya dibuka, akan nampak dadanya sebelah kiri luka akibat cengkeraman itu dan luka itupun berbekas telapak tangan merah yang mengerikan. Dia roboh dan tewas seketika. Adapun orang ketiga, roboh dengan lehernya tertotok tiga buah jari yang meninggalkan tanda bekas kemerahan pula, dan dia pun terjungkal dan tewas.

Melihat ini, Kiu-bwe Mo-li terbelalak. Ia pernah mendengar bahwa bibi gurunya, Huang-ho Kui-bo, pernah menciptakan sebuah ilmu yang mengerikan, yang disebut Hiat-tok-ciang (Tangan Racun Darah). Inikah ilmu itu? Sungguh mengerikan dan berbahaya sekali. Melihat tiga di antara lima orang pembantunya itu roboh dan tewas, Kiu-bwe Mo-li tidak dapat tinggal diam lagi. Tubuhnya melayang ke depan, cambuk ekor sembilan di tangannya digerakkan dan terdengarlah suara ledakan nyaring berkali-kali.

“Tar-tar-tar-tarrr...” Cambuk itu meledak-ledak dan sembilan ekornya menyambar-nyambar ke arah jalan darah maut di tubuh Hek-liong-li!

Gadis ini terkejut bukan main dan cepat ia terpaksa menggulingkan dirinya ke atas tanah dan ketika cambuk itu mengejarnya, iapun bergulingan sampai jauh sambil menyambar sebatang golok di antara tiga batang golok lawannya yang telah tewas. Tahulah ia bahwa nenek itu berbahaya sekali dilawan dengan tangan kosong, maka melihat adanya sebatang pohon tumbuh tak jauh dari situ, tubuhnya mencetat ke atas, goloknya menyambar dan ia sudah membabat putus sebatang cabang pohon yang besarnya selengan orang dan panjangnya sama dengan tinggi tubuhnya.

Cepat ia membersihkan ranting dan daun, dan di tangannya kini terdapat sebatang tongkat yang baik. Golok itupun ia lemparkan ke atas tanah. Tongkat merupakan senjata kedua yang disukanya di samping pedang. Memang gurunya, Huang-ho Kui-bo, terkenal sekali dengan ilmu tongkatnya dan nenek itu ke manapun ia pergi selalu ia membawa sebatang tongkat hitam berbentuk ular dan ia lihai sekali memainkan tongkatnya itu. Tentu saja Hek-liong-li sudah mewarisi ilmu tongkat ular yang amat hebat itu dan kini ia merasa kuat setelah memegang sebatang tongkat dari cabang pohon.

Dua orang wanita itu kini berdiri dan saling berhadapan, saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang sedang saling menilai sebelum keduanya bergebrak dalam perkelahian mati-matian. Hek-liong-li atau Lie Kim Cu memandang penuh perhatian. Senyumnya tak pernah meninggalkan mulutnya sehingga lesung pipit menghias pipinya, membuat ia nampak manis sekali.

Diam-diam ia menilai wanita yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang sebetulnya belum tua benar, belum pantas disebut nenek. Usianya baru empat puluh tahun lebih, namun wajahnya sudah penuh keriput dan tubuhnya sudah mulai kempot dan bagaikan setangkai bunga yang selalu kepanasan dan kekurangan siraman air, ia nampak jauh lebih tua dari pada usia sebenarnya. Hal ini adalah karena ia terlampau menurutkan.nafsu-nafsunya, ia gila lelaki dan biarpun ia hendak menutupi ketuaannya dengan sikap pesolek dan genit, namun tetap saja ia nampak tua.

Pakaiannya mewah, rambutnya tersisir rapi dan mengkilap oleh minyak, pakaiannya yang berkembang dan berwarna-warni itu terbuat dari sutera halus, dan dengan potongan yang mencetak tubuhnya yang mulai peyot. Dari pakaiannya, tersiar bau yang wangi menyolok hidung karena minyak wangi sebotol penuh dituangkannya habis-habisan di pakaiannya.

Rambutnya masih hitam dan panjang, dikuncir tebal, dan dibiarkan tergantung di atas punggungnya, ujungnya diikat dengan pita merah, seperti rambut seorang gadis remaja! Akan tetapi rambut dengan kuncir seperti ini bukan sekedar untuk bersolek, melainkan di samping itu, rambut ini dapat dipergunakan sebagi senjata yang amat ampuh!

Cambuk berekor sembilan yang berada di tangannya itu amat ampuh, setiap ekor cambuk itu mengandung racun dan di samping senjata ini, iapun pandai mempergunakan segala macam senjata rahasia beracun seperti jarum dan paku. Memang Kiu-bwe Mo-li seorang ahli racun, mewarisi ilmu tentang racun dari subonya yang sudah meninggal dunia.

Gurunya itu berjuluk Jeng-tok Kui-bo (Iblis Betina Seribu Racun) dan gurunya itu masih terhitung su-ci (kakak seperguruan) dari Huang-ho Kui-bo! Akan tetapi, gurunya itu lebih ahli tentang racun, adapun mengenai ilmu silat, kabarnya bibi gurunya itu jauh lebih lihai. Dan untuk memperlengkapi ilmu silatnya, selain dari mendiang gurunya, Kiu-bwe Mo-li juga belajar ilmu silat dari bermacam guru.

“Hek-liong-li, sebelum kita bertanding, aku ingin bicara dulu denganmu,” kata Kiu-bwe Mo-li setelah beberapa lamanya mereka saling pandang dengan sinar mata penuh penilaian.

“Mau bicara apa lagi? Bicaralah!” kata Hek-liong-li dengan sikap tenang.

“Aku telah melihat ilmu silatmu. Engkau pandai memainkan ilmu langkah Liu-seng-pouw dan ilmu silat Bi-jin-kun, juga kalau tidak salah, engkau merobohkan tiga orang anak buahku dengan Hiat-tok-ciang. Masih ada hubungan apakah engkau dengan Huang-ho Kui-bo?”

Hek-liong-li mengerutkan alisnya. Makin yakinlah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan tangguh yang telah mengenal ilmu silatnya, bahkan mengenal pula nama gurunya. “Sebelum kujawab pertanyaanmu, katakanlah dulu siapa engkau dan mengapa engkau bertanya tentang Huang-ho Kui-bo,” katanya dengan sikap angkuh.

”Aku disebut Kiu-bwe Mo-li, dan Huang-ho Kui-bo adalah bibi guruku.”

Kim Cu mengangguk-angguk dan senyumnya sinis. “Hemm, engkau tentu murid mendiang Jeng-tok Kui-bo, bukan? Su-bo pernah bercerita tentang kau dan gurumu bahkan memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap engkau yang katanya amat jahat, keji dan licik, seorang tokoh sesat yang sudah menumpuk banyak dosa.”

Kiu-bwe Mo-li, tidak marah, bahkan tertawa dengan suara genit dan dibuat-buat. “Heh-heh-hi-hi-hik! Kata-katamu menggelikan hatiku, Hek-liong-li. Engkau mengatakan aku tokoh sesat yang jahat. Dan siapakah bibi guru Huang-ho Kui-bo? Seorang malaikat yang suci? Heh-heh, ia adalah datuk nomor satu kaum sesat di sepanjang Sungai Huang-ho sebelum ia menghilang!”

“Tidak kusangkal, akan tetapi su-bo telah mengundurkan diri, bertapa untuk menebus dosanya, bahkan dengan keras berpesan kepadaku agar aku tidak terjeblos ke dalam dunia kaum sesat, bahkan aku harus menentang mereka,” kata Hek-liong-li.

“Hemm, Hek-liong-li. Engkau adalah murid bibi guruku sendiri, dengan demikian engkau masih terhitung su-moiku (adik seperguruanku). Oleh karena itu, tidak semestinya kita bermusuhan. Kalau tadi engkau sudah terlanjur membunuh tiga orang anak buahku, sudahlah, kuhabiskan sampai di sini saja. Mari kita bekerja sama dan kalau aku yang membawamu, engkau tentu akan diterima dengan baik sekali oleh Beng-cu kami dan mendapatkan kedudukan yang baik.”

“Kiu-bwe Mo-li, dengan membujuk aku mengikuti jejakmu, engkau menambah dosamu saja. Sebaiknya kalau engkau yang mendengar nasihatku, tinggalkan duniamu yang hitam, kembalilah ke jalan benar agar dosa-dosamu tertebus dengan perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia lain.”

Wajah yang tertutup bedak tebal itu berkerut dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar marah, cambuk di tangannya bergoyang-goyang dan telunjuk kiri Kiu-bwe Mo-li menunjuk ke arah muka Hek-liong-li. “Hek-liong-li, agaknya engkau memang sudah bosan hidup! Hari ini engkau akan mati di bawah cambukku!”

Kiu-bwe Mo-li berteriak marah dan tubuhnya bergerak cepat sekali, dan terdengar bunyi meledak-ledak ketika cambuknya sudah terayun ke atas, kemudian dari atas setelah mengeluarkan suara seperti ledakan kecil lalu menyambar ke bawah. Sembilan ekor ujung cambuk itu menjadi satu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Hek-liong- li. Setiap ekor cambuk itu sudah merupakam senjata yang ampuh, apa lagi sekarang menjadi satu maka kekuatan yang terkandung dalam serangan ini juga hebat sekali.

Si Dewi Naga Hitam tidak gentar menghadapi serangan ini. Iapun tidak berani memandang ringan karena ia memang pernah mendengar dari subonya tentang Jeng-tok Kui-bo, si ahli racun dan muridnya ini yang kabarnya amat jahat melebihi gurunya, pandai ilmu silat dan ahli tentang racun. Melihat sambaran cambuk yang demikian cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin pukulan dan suara bercuitan, ia lalu menggeser kakinya ke kanan, membalik lalu menangkis turunnya sinar cambuk hitam itu dengan tongkatnya, menangkis dari samping, bukan dari bawah sehingga ia tidak mengadu tenaga secara langsung.

“Takkkk!” Pertemuan antara tongkat dam cambuk itu membuat keduanya meloncat ke belakang karena merasa lengan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba tongkat di tangan Liong-li menyambar, bergerak seperti seekor ular berjalan, tidak meluncur dengan lurus melainkan, berlenggang-lenggok sehingga sukar diduga ke mana tongkat itu akan menyerang! Ternyata kemudian bahwa ujung tongkat itu menyerang ke arah perut Kiu-bwe Mo-li.

Wanita ini cepat mengelak ke samping, akan tetapi sebelum cambuknya membalas serangan lawan, tongkat itu sudah membalik dan ujung yang lain menghantam ke arah kepala Kiu-bwe Mo-li. Wanita inipun maklum akan kelihaian lawannya yang muda, maka ia tidak memandang ringan dan bersikap hati-hati. Maka kecepatan gerakan tongkat itu tidak mengejutkannya dan iapun cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, dan kini cambuknya menyambar ke depan, ujungnya terpencar menjadi sembilan ekor seperti ular-ular kecil panjang hidup, sembilan ekor ujung cambuk itu meledak-ledak dan beterbangan ke depan, menyerang ke arah jalan darah Liong-li dengan totokan-totokan maut!

Cambuk di tangan wanita ini memang berbahaya sekali, lihai bukan main. Setiap ujung dari sembilan ekor itu bukan saja dapat melakukan totokan pada jalan darah yang di antaranya ada yang mematikan, akan tetapi juga masing-masing ujung mengandung racun yang amat kuat. Tidak mengherankan apa bila ia terkenal sekali dengan senjatanya ini dan dijuluki Kiu-bwe Mo-li (lblis Betina Ekor Sembilan).

Namun, Hek-liong-li telah mewarisi ilmu tongkat yang amat hebat dari subonya. Senjata tongkat merupakan senjata utama subonya, di samping pedang, dan begitu ada tongkat di tangannya, Liong-li merasa seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Tongkat itu menjadi hidup di kedua tangannya, dan menghadapi “pengeroyokan” sembilan ekor ujung cambuk di tangan Kiu-bwe Mo-li, ia tidak menjadi. gentar atau gugup.

Tongkatnya digerakkan secara aneh dan istimewa, dan ke mana pun ujung cambuk menyambar, selalu bertemu dengan tongkat! Bahkan Liong-li mampu melakukan serangan balasan dengan tak kalah dahsyatnya! Tongkat di tangannya itu, walaupun hanya sebatang cabang pohon namun kini seolah-olah hidup. Senjata sederhana ini dapat membabat, memukul, menusuk, dan kalau diputar menjadi seperti perisai besar yang melindungi seluruh tubuh Liong-li!

Terjadilah perkelahian yang amat seru antara kedua orang wanita itu. Kiu-bwe Mo-li adalah seorang di antara para pembantu utama Hek-sim Lo-mo, pembantu yang dipercaya karena di samping Tok-gan-liong Yauw Ban, ia merupakan pembantu yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi dan amat diandalkan oleh Hek-sim Lo-mo. Karena itulah, ketika datuk itu mendengar akan munculnya Hek-liong-li di Lok-yang, dia mengutus Kiu-bwe Mo-li untuk mencari dan membunuh gadis lihai itu.

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 11 karya kho ping hoo

Kini, setelah bertemu dengan Hek-liong-li, Kiu-bwe Mo-li tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang yang masih terhitung adik seperguruannya, akan tetapi ternyata bahwa su-moi yang masih amat muda itu telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga sukar baginya untuk mendesak dengan cambuknya. Hal ini membuat Kiu-bwe Mo-li menjadi penasaran sekali dan ia mengerahkan seluruh tenaganya, memutar cambuknya dan menghujankan serangan-serangan maut dengan senjata istimewa itu.

Gerakan tongkat di tangan Liong-li makin lama semakin mantap. Kalau tadi ia masih nampak repot karena harus mengimbangi kecepatan sembilan ekor ujung cambuk, kini agaknya ia sudah mampu menangkap inti gerakan senjata lawan dan ia bergerak lebih tenang dan mantap, bahkan kini dapat membalas serangan lebih gencar dengan tongkatnya.

Tongkat panjang merupakan senjata yang biarpun hanya sebatang, namun memiliki dua ujung yang dapat dipergunakan secara bergantian untuk menyerang atau menangkis, bahkan bagian tengahnya dapat pula melindungi tubuh sebagai perisai. Tongkat yang dimainkan Liong-li penuh dengan tenaga sin-kang sehingga tongkat itu dalam gerakannya mengeluarkan suara menderu-deru disertai angin yang menyambar-nyambar.

“Syuuuttt...!” Tongkat menusuk ke arah dada Kiu-bwe Mo-li. Ketika iblis betina ini mengelak dengan miringkan tubuh dan siap untuk membalas serangan, tiba-tiba tongkat itu membalik.

“Wuuuttt!!” Kini ujung lain dari tongkat itu menghantam dari atas ke arah ubun-ubun kepala Kiu-bwe Mo-li. Tentu saja wanita ini terkejut bukan main oleh kecepatan gerakan lawan. Ia melompat ke belakang dan kembali tongkat datang menyerang dengan putaran yang membuat ujung tongkat membentuk gulungan sinar melebar seperti payung. Kiu-bwe Mo-li terpaksa mundur lagi sambil memutar cambuknya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya. Cambuk itu diputar menjadi gulungan sinar hitam yang menjadi semacam perisai yang amat kuat.

Melihat betapa jagoan mereka sampai sekian lamanya belum mampu mengalahkan Hek-liong-li, bahkan sempat pula terdesak, Boan Ke dan Su Leng, dua orang di antara kelima Twa-to Ngo-houw yang masih hidup, menjadi penasaran sekali. Mereka berdua merasa bersedih karena kematian tiga orang saudara mereka dan mengharapkan agar Kiu-bwe Mo-li dapat membalaskan kematian itu dan merobohkan Hek-liong-li.

Akan tetapi Si Dewi Naga itu agaknya masih terlampau kuat bagi Kiu-bwe Mo-li, maka dua orang anggauta Twa-to Ngo-houw, yang sejak tadi nonton, menjadi kecewa dan marah. Mereka selama ini mengandalkan kelihaian Kiu-bwe Mo-li dan nama besar Hek-sim Lo-mo, akan tetapi setelah bertemu lawan tangguh, ternyata Kiu-bwe Mo-li tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda!

Dan wanita genit itu selalu menyombongkan dirinya sebagai pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo yang katanya tak pernah terkalahkan oleh siapapun juga kecuali Hek-sim Lo-mo! Mereka menjadi kecewa dan penasaran, lalu tanpa minta ijin lagi mereka lalu terjun ke dalam medan pertempuran itu dan mengeroyok Liong-li. Namun gadis ini sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan dengan penuh semangat ia menyambut dua batang golok dari dua orang lawan baru itu dengan tongkatnya.

Tingkat kepandaian dua orang dari Twa-to Ngo-houw ini memang masih jauh sekali dibandingkan tingkat Kiu-bwe Mo-li, apa lagi dengan tingkat Liong-li. Maka, masuknya dua orang ini sebagai pengeroyok, sama sekali tidak merepotkan Liong-li, bahkan membuat Kiu-bwe Mo-li menjadi terhalang gerakan cambuknya, walaupun diam-diam wanita ini merasa lega bahwa dalam keadaan terdesak tadi ia mendapat bantuan. Kini ia menjadi agak longgar, tidak terdesak lagi dan iapun melakukan serangan dengan lebih ganas, mengandalkan bantuan dua orang anak buahnya itu.

Liong-li menggerakkan tongkatnya dengan lebih cepat lagi, kini mendesak kepada dua orang dari Twa-to Ngo-houw karena ia memang berniat untuk membasmi lima orang tukang pukul yang sudah mendatangkan banyak kesengsaraan kepada rakyat dusun itu. Akan tetapi, Kiu-bwe Mo-li telah mendahuluinya. Wanita ini maklum bahwa kalau sampai dua orang pembantunya itu roboh dan ia harus sendirian saja menghadapi Liong-li, keadaannya akan menjadi berbahaya sekali.

Harus diakuinya di dalam hati bahwa ilmu kepandaian gadis yang masih terhitung sumoinya ini amat lihai dan ia merasa kewalahan. Ilmu tongkat itu aneh dan juga amat kuat. Maka, selagi masih ada dua orang pembantunya, ia harus menekan sedemikian rupa agar dapat merobohkan Liong-li. Maka, iapun cepat menggerakkan tangan kirinya dan belasan batang paku beracun menyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari gadis itu!

Liong-li sudah mendengar dari subonya akan keahlian Jeng-tok Kui-bo dan muridnya itu dalam menggunakan senjata rahasia beracun. Oleh karena itu, sejak tadi ia sudah siap siaga, sudah menduga bahwa kalau terdesak, tentu wanita itu akan mempergunakan senjata rahasia beracun itu. Maka, begitu Kiu-bwe Mo-li menggerakkan tangan kirinya, iapun cepat melompat tinggi ke atas sambil memutar tongkatnya. Ketika ia melihat sinar hitam menyambar ke bawah kakinya, ia lalu memukulnya dengan tongkat dan mengarahkan senjata rahasia itu kepada Boan Ke dan Su Leng, dua orang Twa-to Ngo-houw itu.

“Aduhhhh...!” Su Leng dan Boan Ke terguling. Su Leng yang terkena paku beracun tepat pada pelipisnya itu langsung berkelojotan dan tewas, sedangkan Boan Ke yang cepat mengelak akan tetapi masih terkena pundak kirinya, merasa betapa pundak itu nyeri, panas dan gatal.

Diapun marah bukan main, apa lagi mengingat bahwa yang melukainya adalah paku yang dilepas oleh Kiu-bwe Mo-li. Celaka, pikirnya, atasan yang amat diandalkan itu bahkan telah mencelakainya dengan paku beracun itu! Dia menjadi nekat dan dengan golok besarnya, dia menubruk ke arah Liong-li, hendak mengadu nyawa dengan gadis yang amat lihai itu! Akan tetapi, tubrukan yang dahsyat ini dapat dielakkan oleh Liong-li sehingga Boan Ke terbuyung ke depan.

Pada saat itu, kembali Kiu-bwe Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan kini jarum-jarum halus yang belasan batang banyaknya menyambar-nyambar ke arah Liong-li. Gadis ini terkejut. Jarum-jarum itu lembut dan lebih berbahaya dibandingkan paku-paku tadi, maka iapun cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh. Pada saat itu, Kiu-bwe Mo-li maklum bahwa kalau dilanjutkan, hanya akan merugikan dirinya, maka melihat lawan bergulingan, ia mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri secepatnya!

“Kiu-bwe Mo-li pengecut!” bentakan ini keluar dari mulut Boan Ke yang merasa penasaran dan marah melihat betapa atasannya itu meninggalkannya setelah keadaan berbahaya. Dengan nekat dia menggerakkan goloknya menyerang Liong-li.

“Singgg...!” Golok itu menyambar ganas. Liong-li miringkan tubuhnya sehingga bacokan mengenai tempat kosong dan pada saat berikutnya, tongkatnya menyambar ke arah tengkuk lawan.

“Kekkk!!” Tubuh Boan Ke terjungkal, goloknya terlepas dan dia merintih-rintih kesakitan. Akan tetapi, dia masih marah kepada Kiu-bwe Mo-li yang melarikan diri meninggalkannya. “Kiu-bwe Mo-li pengecut besar!” Dia masih mengeluarkan teriakan marah.

Liong-li memandang ke kanan kiri, mencari ke mana perginya musuh utamanya, yaitu Kiu-bwe Mo-li, akan tetapi tidak melihat bayangan orang itu. Selagi ia hendak pergi, terdengar Boan Ke, orang pertama Twa-to Ngo-houw berseru memanggilnya.

“Hek-liong-li...!”

Kim Cu menahan langkahnya dan membalik, lalu menghampiri orang itu yang disangkanya telah mati. Kuat juga orang ini yang terpukul tengkuknya masih belum juga tewas. Setelah dekat ia melihat bahwa keadaan orang itu sudah parah, dan kematian hanya soal waktu saja, waktu yang tidak lama lagi. Akan tetapi daya tahan Boan Ke memang cukup kuat sehingga dia masih mampu bicara, walaupun untuk itu dia harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya.

“Engkau mau apa?” tanya Liong-li.

“Hek-liong-li, ia Kiu-bwe Mo-li, seorang pengecut besar... ia meninggalkan aku. Ia hanyalah pembantunya... yang berkuasa adalah Beng-cu, Hek-sim Lo-mo... kau cari mereka, kau basmi mereka... Lo-mo berada di Lok-yang... kalau dia tidak berada disana, tentu... dia di rumah ahli pembuat pedang Thio Wi Han, di dusun Gi-ho-cung... kaki gunungbFu-niu-san... dia telah... telah mendapatkan mustika naga... ahhhh...”

Orang pertama dari Twa-to Ngo-houw itupun terkulai dan tewas. Liong-li memandang kepadanya, lalu kepada empat orang saudaranya yang sudah lebih dulu tewas, dan wanita muda ini menarik napas panjang.

Ah, kenapa manusia harus melakukan semua kejahatan itu, menjadi seorang penjahat, mengandalkan keberanian dan kenekatan, menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, untuk mencuri, merampok, menipu, bahkan membunuh? Kenapa mereka melakukan itu semua sehingga akhirnya tewas dalam keadaan seperti ini?

Kembali ia menarik napas panjang, teringat akan nasib dirinya. Demikian banyaknya peristiwa hebat sebagai akibat kejahatan manusia menimpa dirinya. Ia, puteri seorang bangsawan, seorang pejabat tinggi pemerintah yang ketika kecilnya hidup serba kecukupan, terhormat dan mulia, setelah dewasa harus mengalami banyak sekali hal yang amat pahit, penghinaan-penghinaan dan kesengsaraan, banjir air mata, kehilangan ayah bunda dan keluarga sehingga kini hidup sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi!

“Tidak!” katanya kepada diri sendiri mengusir kelesuan karena duka melanda batinnya. “Aku masih punya ini!” Ia meluruskan kedua lengannya, “dan punya ini lagi!” Ditendangkan kedua kakinya bergantian, “dan dengan kaki tanganku ini, aku akan memerangi semua penjahat, menantang kejahatan dan menikmati kehidupan ini! Enyahlah duka dan keluh kesah!”

Ia meraba kedua pipinya yang terasa halus, “Engkau masih muda, Kim Cu, masih banyak kesempatan untuk menikmati hidup, melupakan masa lampau yang banyak kepahitan.”

Setelah berkata demikian iapun melompat dan dengan wajah berseri iapun berlari cepat menuju ke Lok-yang. Ia akan mencari Kiu-bwe Mo-li di sana, dan kalau ternyata Hek-sim Lo-mo merajalela dan menyebar banyak kaki tangan untuk melakukan kejahatan, ia akan menentang dan membasmi Hek-sim Lo-mo dengan komplotannya! Dan hatinya tertarik sekali mendengar Hek-sim Lo-mo telah memperoleh mustika naga!

Dan datuk sesat itu pergi ke dusun Gi-ho-cung di kaki Gunung Fu-niu-san untuk menemui ahli pembuat pedang Thio Wi Han? Hemm, menarik sekali! Bukankah subonya pernah bercerita bahwa mustika naga dari Gunung Emas, yaitu Kim-san Liong-cu itu juga dapat dibuat menjadi pedang yang ampuh?

Tidak sukar bagi Liong-li untuk mencari tempat kediaman Hek-sim Lo-mo yang bagi semua orang kang-ouw disebut Beng-cu (Pemimpin Rakyat). Akan tetapi ketika ia tiba di sana, benar saja seperti pemberitahuan orang pertama dari Twa-to Ngo-houw sebelum tewas, Hek-sim Lo-mo tidak berada di tempatnya.

Rumah yang menjadi tempat tinggal Hek-sim Lo-mo besar dan megah, seperti rumah seorang hartawan besar. Rumah besar itu dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan selalu ada belasan orang yang bertugas jaga di pinta gerbang, seperti rumah tinggal seorang pembesar tinggi yang penting saja. Hanya bedanya, kalau para penjaga rumah pembesar adalah perajurit-perajurit jaga yang mengenakan pakaian perajurit.

Maka para penjaga di pintu gerbang rumah Hek-sim Lo-mo adalah orang-orang yang mengenakan pakaian yang ringkas, pakaian ahli silat dan sikap itu galak dan congkak. Ketika belasan orang kasar ini melihat seorang gadis cantik menghampiri pintu gerbang, mereka tercengang dan sambil menyeringai dan menjual lagak mereka berlumba untuk menyambut.

“Hendak mencari akukah, nona manis?”

“Siapakah namamu, sayang?”

“Aduh cantiknya, sudah bersuamikah, atau masih perawan?”

“Kalau janda, mari ikut aku saja, tanggung puas dan senang!”

Melihat wajah-wajah kasar menyeringai kepadanya dan mendengar kata-kata rayuan kasar dan kurang ajar itu, Liong-li hanya tersenyum. Senyumnya manis bukan main sehingga belasan orang laki-laki itu menjadi semakin tergila-gila dan masing-masing mendapatkan suatu harapan penuh khayal, seolah-olah senyum manis gadis itu ditujukan khusus kepada setiap orang dari mereka!

Tentu saja sikap para pria ini tidak mengejutkan hati Liong-li. Ia sudah terbiasa oleh rayuan-rayuan halus kasar seperti itu dari kaum pria dan ia memandang rendah semua itu, maklum akan kepalsuan yang tersembunyi di balik nafsu berahi itu.

“Kalian baik sekali,” katanya dan senyumnya melebar, memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara berbaris, dan lidahnya yang jambon menjilat bibirnya yang merah basah. “Akan tetapi aku ingin bertemu dengan Kiu-bwe Mo-li dan Hek-sim Lo-mo.”

Mendengar betapa ringannya gadis cantik jelita itu menyebut nama besar kedua orang tokoh yang mereka takuti itu, para penjaga itubsaling pandang dengan mata terbelalak. Kepala jaga, seorang laki-laki berperut gendut sekali, kepalanya juga bundar dan bulat, matanya sipit, segera melangkah maju dan dia tidak berani main-main lagi, walaupun suaranya masih mengandung rayuan.

“Nona yang cantik manis, siapakah engkau dan apakah engkau mengenal betul dua orang yang namanya kau sebutkan tadi?”

“Tentu saja aku mengenal mereka. Aku seorang tamu dan ingin sekali bertemu mereka. Harap kalian suka berbaik hati untuk melaporkan ke dalam dan mengundang Mo-li dan Lo-mo keluar untuk menemui aku!”

Si gendut itu mengerutkan alisnya. Gadis ini sungguh lancang sekali, bicara tentang Beng-cu seolah-olah datuk itu seorang teman baiknya saja! Ah, jangan-jangan gadis ini memang “teman” Beng-cu. Biarpun Beng-cu selama ini tidak pernah kelihatan suka bermain-main dengan wanita, akan tetapi siapa tahu? Gadis ini cukup cantik, bahkan menarik sekali dan kiranya pantas kalau berhasil menundukkan hati datuk yang ditakuti itu.

“Nanti dulu, nona,” kata si gendut yang masih meragu karena dia tidak tahu siapa gadis ini, kawan ataukah lawan dari Beng-cu. “Tidak semudah itu untuk menemui Kiu-bwe Mo-li, apa lagi Beng-cu kami. Apakah engkau ini sahabat mereka? Katakan dulu apa keperluanmu agar kami dapat melapor ke dalam.”

Pada hal kedua orang yang disebut oleh gadis itu tidak berada di rumah, akan tetapi dia ingin tahu siapa gadis ini dan apa keperluannya mencari Beng-cu dengan sikap yang demikian lancang. Liong-li masih tersenyum. Ia tidak perlu banyak bicara dengan orang-orang seperti mereka ini, yang hanya anak buah rendahan saja. Sebaiknya ia berterus terang untuk menarik perhatian agar mereka segera melapor ke dalam.

“Ketahuilah bahwa aku datang untuk menghajar Kiu-bwe Mo-li karena ia melarikan diri ketika kami berkelahi, dan aku hendak menegur Hek-sim Lo-mo agar dia tidak melanjutkan tindakan jahat yang dilakukan anak buahnya. Kalau mereka tidak menurut, akan kubasmi gerombolan penjahat yang dipimpinnya.”

Mendengar ucapan itu, belasan orang penjaga saling pandang, dan ketika seorang di antara mereka tertawa, semua orang ikut pula tertawa. Ucapan Liong-li itu terdengar lucu oleh mereka. Si gendut juga tertawa bergelak sampai perutnya bergelombang. “Ha-ha-ha, nanti dulu, nona manis. Siapakah engkau dan apakah engkau yakin benar bahwa engkau tidak gila?”

“Aku disebut Hek-liong-li dan...”

Belasan orang itu terbelalak. Tentu saja mereka sudah mendengar nama Dewi Naga Hitam yang menggemparkan Lok-yang beberapa waktu yang lalu, bahkan mereka sudah mendengar bahwa Beng-cu mengutus Kiu-bwe Mo-li untuk mencari dan membunuh Hek-liong-li. Tak mereka sangka bahwa orangnya secantik dan semuda ini sungguhpun mereka sudah mendengar berita angin bahwa yang namanya Hek-liong-li adalah seorang wanita muda yang cantik.

Kini mereka memandang gadis berpakaian serba hitam itu dengan mata terbelalak. Berbeda kini nampaknya. Kalau tadi pakaian hitam yang mencetak bentuk tubuh yang menggairahkan itu indah, kini keindahan itu mengandung sesuatu yang mengerikan.

“Bagus! Kami harus menangkapmu!” bentak si gendut ketika mendengar wanita cantik itu memperkenalkan diri sebagai Hek-liong-li dan tanpa ragu lagi diapun menubruk. Teman-temannya juga bergerak, berlumba untuk menubruk tubuh yang padat mulus itu, bukan saja untuk mencari jasa terhadap Beng-cu, juga mereka ingin sekali merasakan hangatnya tubuh yang menggairahkan itu...

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 11

KIM CU memandang dengan alis berkerut. Hatinya terasa panas sekali melihat betapa rumah gubuk nenek yang menjual ikan itu telah habis menjadi abu dan semakin panas rasa hatinya ketika ia mengenal lima orang Twa-to Ngo-houw yang kini datang bersama seorang nenek.

Ia memperhatikan nenek itu. Usianya masih belum tua benar, paling banyak empatpuluh dua tahun, akan tetapi, wajahnya seperti nenek-nenek tua yang sudah keriputan! Tubuhnya memang masih padat berisi seperti seorang gadis saja, akan tetapi, mukanya nampak tua sekali walaupun dilapisi bedak tebal dan pemerah pipi dan bibir.

Wanita ini pesolek, pakaiannya mewah, dan sikapnya genit, karena matanya melirik-lirik dan mulutnya bergerak-gerak ke arah senyum genit, juga ketika melangkah lenggangnya dibuat-buat sehingga pinggulnya menari-nari. Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang ujungnya sembilan batang. Rambutnya panjang dikuncir dan dibiarkan berjuntai di atas pundak terus ke depan. Rambut inilah yang nampak menggelikan. Cara mengatur rambut itu seperti seorang gadis remaja saja!

Melihat betapa semua penduduk menggigil ketakutan, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka mau mengaku, diam-diam Kim Cu merasa terharu dan juga kagum. Bagaimana lemah pun, penduduk dusun ini sungguh memiliki kesetiaan dan tidak ada yang mau memberitahu bahwa ia pergi ke Lok-yang! Agaknya, wanita itu sudah marah dan tidak sabar lagi. Telah beberapa buah rumah dibakarnya, akan tetapi tak seorangpun di antara penduduk dusun itu mau membuka mulut.

“Kalian mengira aku menggertak saja, ya? Ingin melihat seorang di antara kalian mampus?” Ia mengangkat cambuknya dan terdengar suara meledak-ledak ketika ia menggerakkan cambuknya di udara.

Terdengar sembilan kali ledakan nyaring disusul bentakannya, “Aku menghitung sampai tiga! Kalau tidak ada yang mengaku, berarti akan ada sembilan orang yang tewas di ujung cambukku! Satu... dua...”

“Iblis betina yang kejam, engkau mencari Hek-liong-li? Inilah aku, jangan engkau memaksa penduduk dusun tidak berdosa, yang memang tidak tahu aku berada di mana!”

Wanita itu adalah Kiu-bwe Mo-li, satu di antara pembantu utama Hek-sim Lo-mo, usianya memang baru empatpuluh tahun lebih, akan tetapi karena ia terlalu menurutkan nafsu dan menjadi seorang wanita gila lelaki, maka wajahnya sudah penuh keriput seperti seorang nenek-nenek berusia enampuluh tahun lebih! Ketika ia membalikkan tubuh dan melihat siapa yang bicara, ia lalu tertawa genit seperti orang yang melihat sesuatu yang amat lucu.

“Hi-hi-hi-hik, engkau yang berjuluk Hek-liong-li? Heh-heh-hik-hik-hik! Kiranya hanya seorang bocah yang masih ingusan!” Tiba-tiba muka yang penuh tawa itu berbalik menjadi beringas dan ia menoleh ke arah Twa-to Ngo-houw lalu membentak, “Dan kalian tidak mampu membunuh anak perempuan ingusan ini! Sungguh tak tahu malu memakai nama Twa-to Ngo-houw! Hayo bunuh anak ini, hendak lihat sampai di mana kelihaiannya!”

Twa-to Ngo-houw sudah merasakan kelihaian Kim Cu, maka mereka tidak berani memandang ringan. Juga mereka tidak berani membangkang terhadap perintah Kiu-bwe Mo-li yang mereka kenal baik sebagai seorang atasan yang amat kejam dan ringan tangan. Selain itu, mereka juga malu. Biarlah wanita iblis itu melihat sendiri kelihaian Hek-liong-li.

Boan Ke lalu mengeluarkah bentakan nyaring yang juga menjadi isyarat bagi empat orang adiknya dan mereka lalu mencabut golok masing-masing dan menerjang Kim Cu dengan golok di tangan. Kembali, seperti kemarin, Kim Cu dikeroyok oleh lima orang yang kini bergerak dengan nekat dan besar hati karena di situ terdapat Kiu-bwe Mo-li yang tentu tidak akan membiarkan mereka kalah.

Sekali ini, biarpun mulutnya masih dihias senyum yang amat manis, namun di dalam hatinya Kim Cu sudah marah sekali. Orang-orang macam ini amatlah jahatnya, membakari rumah rakyat yang tidak berdosa, bahkan mungkin saja penjahat-penjahat seperti mereka itu membunuhi orang-orang tanpa dosa seenaknya.

Orang-orang seperti ini harus dibasmi, karena kalau dibiarkan hidup hanya akan menyebar kejahatan dan menyengsarakan rakyat. Maka, ketika melihat lima orang itu mengeroyoknya, iapun segera memainkan ilmu silatnya yang luar biasa, yaitu Bi-jin-kun yang amat indah, yang membuat tubuhnya seperti menari-nari, lemah gemulai namun juga amat berbahaya karena dalam setiap gerakan kaki dan tangannya terkandung tenaga sinkang lembut yang amat berbahaya, kaki dan tangan itu seakan-akan merupakan empat buah senjata terbuat dari baja yang amat ampuh dan siap membunuh.

Tubuh Kim Cu atau Hek-liong-li adalah tubuh seorang wanita yang sedang mekar dan matang, ramping dan lembut. juga lemas sekali, maka ketika ia memainkan Ilmn Silat Bi-jin-kun yang indah itu, ia seolah-olah menari-nari, namun hebatnya, gulungan sinar golok lima orang itu tidak pernah dapat menyentuhnya. Apalagi menyentuh bagian tubuhnya, baru menyentuh ujung pakaiannya pun sukar!

Hal ini adalah karena kedua kaki wanita cantik dan gagah itu selalu memainkan Liu-seng-pouw, yaitu langkah-langkah ajaib yang membuat semua serangan luput dari sasaran. Kedua kakinya bergerak dengan lincah dan indahnya, bergeser ke depan, belakang, kanan dan kiri, kadang-kadang melompat, kadang-kadang kedua kaki terpentang lebar dan tubuh merendah. Karena gerakan ini dilakukan dengan lincah dan gesit, dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, maka tubuhnya seperti berkelebatan di antara lima gulungan sinar golok.

Dari gurunya, Huang-ho Kui-bo, Hek-liong-li mendapatkan pelajaran bermacam-macam ilmu silat, baik tangan kosong maupun silat senjata seperti memainkan golok, tombak, rantai, dan terutama sekali pedang dan tongkat. Akan tetapi, sampai kini ia tidak pernah menyimpan senjata dan hanya mengandalkan kaki tangan saja, untuk melindungi dirinya dan karena kini ia menghadapi pengeroyokan, lima orang yang cukup berbahaya maka ia memainkan ilmu silat pilihannya, yaitu Bi-jin-kun dengan dibantu langkah-langkah ajaib Liu-seng-pouw.

Sejak tadi Kiu-bwe Mo-li berdiri dan memperhatikan gerakan gadis berjuluk Dewi Naga Hitam yang dikeroyok oleh lima orang pembantunya itu dan mengertilah ia mengapa Twa-to Ngo-houw sampai kalah. Ternyata Hek-liong-li memang lihai bukan main dan melihat gerakan kaki gadis itu, wajah Kiu-bwe Mo-li berubah agak pucat. Ia pernah melihat langkah-langkah dan gerakan kaki seperti itu!

Pandang matanya seperti melekat pada kedua kaki gadis cantik itu, mengikuti semua gerakannya. Ia pernah melihatnya, akan tetapi lupa lagi di mana. Begitu indah gerakan kaki itu, begitu gesit dan ringan, dan begitu luar biasa karena gerakan kaki, setiap perubahan membuat kedudukan tubuh gadis itu sukar untuk dapat tercium sinar golok, biarpun ada lima batang golok yang menyambar-nyambar mengeroyoknya. Akan tetapi ia tidak ingat lagi siapa yang pernah memainkan langkah-langkah ajaib seperti itu.

Kemudian ia mengalihkan perhatiannya dari gerakan kaki Hek-liong-li kepada gerakan tangannya, tubuhnya yang lemah gemulai dalam gerakan seperti, orang menari-nari dengan indahnya. Dan melihat gerakan silat seperti orang menari ini, Kiu-bwe Mo-li seperti tersentak kaget.

“Bi-jin-kun...! Kalau begitu... itu Liu-seng-pouw dari... bibi guru Huang-ho Kui-bo...!” bisiknya kepada diri sendiri dan ia terkejut bukan main. Gadis berpakaian hitam ini memainkan silat-silat sakti dari bibi gurunya yang amat lihai. Bibinya itu amat lihai, lebih lihai dari mendiang gurunya, dan bibinya, Huang-ho Kui-bo, pernah menjadi datuk sepanjang Sungai Huang-ho, ditakuti oleh semua orang golongan kang-ouw.

Akan tetapi, sudah bertahun-tahun lamanya, bibinya itu lenyap dari dunia ramai. Orang mengira bahwa ia mengundurkan diri karena sudah tua dam mungkin sudah mati. Karena itu, ketika Kiu Lo-mo muncul menguasai dunia kang-ouw, Huang-ho Kui-bo juga tidak kelihatan. Dan kini, tiba-tiba saja ia melihat seorang gadis yang lihai sekali memainkan Bi-jin-kun dan Liu-seng-pouw, ilmu-ilmu yang menjadi andalan Huang-ho Kui-bo!

Lima orang Twa-to Ngo-houw masih mengeroyok dan mereka yang merasa penasaran sekali, menyerang dengan ganasnya. Lima batang golok itu membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata dan tubuh Hek-liong-li dikepung oleh gulungan sinar, seolah-olah tidak mungkin dapat keluar lagi dengan selamat.

Namun, Hek-liong-li yang ingin cepat merobohkan lima orang pengeroyoknya yang ia tahu adalah manusia-manusia yang jahat sekali, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking panjang dan ia merobah gerakannya. Kini tubuhnya menyambar dengan ganas, menyelinap di antara gulungan sinar golok, kedua tangannya yang kini tiba-tiba berubah menjadi merah itu menyambar-nyambar dan terdengarlah teriakan-teriakan susul menyusul diikuti robohnya tiga orang di antara Twa-to Ngo-houw.

Orang pertama terpelanting roboh dengan luka di dahinya, tertusuk jari-jari tangan kiri Hek-liong-li dan di dahinya itu hanya nampak ada tapak tiga jari kemerahan, namun begitu terpelanting roboh dia berkelojotan dan tewas seketika! Orang kedua roboh terjungkal, kelihatannya tidak terluka karena tangan kanan Hek-liong-li tadi mencengkeram ke dadanya, akan tetapi kalau bajunya dibuka, akan nampak dadanya sebelah kiri luka akibat cengkeraman itu dan luka itupun berbekas telapak tangan merah yang mengerikan. Dia roboh dan tewas seketika. Adapun orang ketiga, roboh dengan lehernya tertotok tiga buah jari yang meninggalkan tanda bekas kemerahan pula, dan dia pun terjungkal dan tewas.

Melihat ini, Kiu-bwe Mo-li terbelalak. Ia pernah mendengar bahwa bibi gurunya, Huang-ho Kui-bo, pernah menciptakan sebuah ilmu yang mengerikan, yang disebut Hiat-tok-ciang (Tangan Racun Darah). Inikah ilmu itu? Sungguh mengerikan dan berbahaya sekali. Melihat tiga di antara lima orang pembantunya itu roboh dan tewas, Kiu-bwe Mo-li tidak dapat tinggal diam lagi. Tubuhnya melayang ke depan, cambuk ekor sembilan di tangannya digerakkan dan terdengarlah suara ledakan nyaring berkali-kali.

“Tar-tar-tar-tarrr...” Cambuk itu meledak-ledak dan sembilan ekornya menyambar-nyambar ke arah jalan darah maut di tubuh Hek-liong-li!

Gadis ini terkejut bukan main dan cepat ia terpaksa menggulingkan dirinya ke atas tanah dan ketika cambuk itu mengejarnya, iapun bergulingan sampai jauh sambil menyambar sebatang golok di antara tiga batang golok lawannya yang telah tewas. Tahulah ia bahwa nenek itu berbahaya sekali dilawan dengan tangan kosong, maka melihat adanya sebatang pohon tumbuh tak jauh dari situ, tubuhnya mencetat ke atas, goloknya menyambar dan ia sudah membabat putus sebatang cabang pohon yang besarnya selengan orang dan panjangnya sama dengan tinggi tubuhnya.

Cepat ia membersihkan ranting dan daun, dan di tangannya kini terdapat sebatang tongkat yang baik. Golok itupun ia lemparkan ke atas tanah. Tongkat merupakan senjata kedua yang disukanya di samping pedang. Memang gurunya, Huang-ho Kui-bo, terkenal sekali dengan ilmu tongkatnya dan nenek itu ke manapun ia pergi selalu ia membawa sebatang tongkat hitam berbentuk ular dan ia lihai sekali memainkan tongkatnya itu. Tentu saja Hek-liong-li sudah mewarisi ilmu tongkat ular yang amat hebat itu dan kini ia merasa kuat setelah memegang sebatang tongkat dari cabang pohon.

Dua orang wanita itu kini berdiri dan saling berhadapan, saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang sedang saling menilai sebelum keduanya bergebrak dalam perkelahian mati-matian. Hek-liong-li atau Lie Kim Cu memandang penuh perhatian. Senyumnya tak pernah meninggalkan mulutnya sehingga lesung pipit menghias pipinya, membuat ia nampak manis sekali.

Diam-diam ia menilai wanita yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang sebetulnya belum tua benar, belum pantas disebut nenek. Usianya baru empat puluh tahun lebih, namun wajahnya sudah penuh keriput dan tubuhnya sudah mulai kempot dan bagaikan setangkai bunga yang selalu kepanasan dan kekurangan siraman air, ia nampak jauh lebih tua dari pada usia sebenarnya. Hal ini adalah karena ia terlampau menurutkan.nafsu-nafsunya, ia gila lelaki dan biarpun ia hendak menutupi ketuaannya dengan sikap pesolek dan genit, namun tetap saja ia nampak tua.

Pakaiannya mewah, rambutnya tersisir rapi dan mengkilap oleh minyak, pakaiannya yang berkembang dan berwarna-warni itu terbuat dari sutera halus, dan dengan potongan yang mencetak tubuhnya yang mulai peyot. Dari pakaiannya, tersiar bau yang wangi menyolok hidung karena minyak wangi sebotol penuh dituangkannya habis-habisan di pakaiannya.

Rambutnya masih hitam dan panjang, dikuncir tebal, dan dibiarkan tergantung di atas punggungnya, ujungnya diikat dengan pita merah, seperti rambut seorang gadis remaja! Akan tetapi rambut dengan kuncir seperti ini bukan sekedar untuk bersolek, melainkan di samping itu, rambut ini dapat dipergunakan sebagi senjata yang amat ampuh!

Cambuk berekor sembilan yang berada di tangannya itu amat ampuh, setiap ekor cambuk itu mengandung racun dan di samping senjata ini, iapun pandai mempergunakan segala macam senjata rahasia beracun seperti jarum dan paku. Memang Kiu-bwe Mo-li seorang ahli racun, mewarisi ilmu tentang racun dari subonya yang sudah meninggal dunia.

Gurunya itu berjuluk Jeng-tok Kui-bo (Iblis Betina Seribu Racun) dan gurunya itu masih terhitung su-ci (kakak seperguruan) dari Huang-ho Kui-bo! Akan tetapi, gurunya itu lebih ahli tentang racun, adapun mengenai ilmu silat, kabarnya bibi gurunya itu jauh lebih lihai. Dan untuk memperlengkapi ilmu silatnya, selain dari mendiang gurunya, Kiu-bwe Mo-li juga belajar ilmu silat dari bermacam guru.

“Hek-liong-li, sebelum kita bertanding, aku ingin bicara dulu denganmu,” kata Kiu-bwe Mo-li setelah beberapa lamanya mereka saling pandang dengan sinar mata penuh penilaian.

“Mau bicara apa lagi? Bicaralah!” kata Hek-liong-li dengan sikap tenang.

“Aku telah melihat ilmu silatmu. Engkau pandai memainkan ilmu langkah Liu-seng-pouw dan ilmu silat Bi-jin-kun, juga kalau tidak salah, engkau merobohkan tiga orang anak buahku dengan Hiat-tok-ciang. Masih ada hubungan apakah engkau dengan Huang-ho Kui-bo?”

Hek-liong-li mengerutkan alisnya. Makin yakinlah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan tangguh yang telah mengenal ilmu silatnya, bahkan mengenal pula nama gurunya. “Sebelum kujawab pertanyaanmu, katakanlah dulu siapa engkau dan mengapa engkau bertanya tentang Huang-ho Kui-bo,” katanya dengan sikap angkuh.

”Aku disebut Kiu-bwe Mo-li, dan Huang-ho Kui-bo adalah bibi guruku.”

Kim Cu mengangguk-angguk dan senyumnya sinis. “Hemm, engkau tentu murid mendiang Jeng-tok Kui-bo, bukan? Su-bo pernah bercerita tentang kau dan gurumu bahkan memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap engkau yang katanya amat jahat, keji dan licik, seorang tokoh sesat yang sudah menumpuk banyak dosa.”

Kiu-bwe Mo-li, tidak marah, bahkan tertawa dengan suara genit dan dibuat-buat. “Heh-heh-hi-hi-hik! Kata-katamu menggelikan hatiku, Hek-liong-li. Engkau mengatakan aku tokoh sesat yang jahat. Dan siapakah bibi guru Huang-ho Kui-bo? Seorang malaikat yang suci? Heh-heh, ia adalah datuk nomor satu kaum sesat di sepanjang Sungai Huang-ho sebelum ia menghilang!”

“Tidak kusangkal, akan tetapi su-bo telah mengundurkan diri, bertapa untuk menebus dosanya, bahkan dengan keras berpesan kepadaku agar aku tidak terjeblos ke dalam dunia kaum sesat, bahkan aku harus menentang mereka,” kata Hek-liong-li.

“Hemm, Hek-liong-li. Engkau adalah murid bibi guruku sendiri, dengan demikian engkau masih terhitung su-moiku (adik seperguruanku). Oleh karena itu, tidak semestinya kita bermusuhan. Kalau tadi engkau sudah terlanjur membunuh tiga orang anak buahku, sudahlah, kuhabiskan sampai di sini saja. Mari kita bekerja sama dan kalau aku yang membawamu, engkau tentu akan diterima dengan baik sekali oleh Beng-cu kami dan mendapatkan kedudukan yang baik.”

“Kiu-bwe Mo-li, dengan membujuk aku mengikuti jejakmu, engkau menambah dosamu saja. Sebaiknya kalau engkau yang mendengar nasihatku, tinggalkan duniamu yang hitam, kembalilah ke jalan benar agar dosa-dosamu tertebus dengan perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia lain.”

Wajah yang tertutup bedak tebal itu berkerut dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar marah, cambuk di tangannya bergoyang-goyang dan telunjuk kiri Kiu-bwe Mo-li menunjuk ke arah muka Hek-liong-li. “Hek-liong-li, agaknya engkau memang sudah bosan hidup! Hari ini engkau akan mati di bawah cambukku!”

Kiu-bwe Mo-li berteriak marah dan tubuhnya bergerak cepat sekali, dan terdengar bunyi meledak-ledak ketika cambuknya sudah terayun ke atas, kemudian dari atas setelah mengeluarkan suara seperti ledakan kecil lalu menyambar ke bawah. Sembilan ekor ujung cambuk itu menjadi satu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Hek-liong- li. Setiap ekor cambuk itu sudah merupakam senjata yang ampuh, apa lagi sekarang menjadi satu maka kekuatan yang terkandung dalam serangan ini juga hebat sekali.

Si Dewi Naga Hitam tidak gentar menghadapi serangan ini. Iapun tidak berani memandang ringan karena ia memang pernah mendengar dari subonya tentang Jeng-tok Kui-bo, si ahli racun dan muridnya ini yang kabarnya amat jahat melebihi gurunya, pandai ilmu silat dan ahli tentang racun. Melihat sambaran cambuk yang demikian cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin pukulan dan suara bercuitan, ia lalu menggeser kakinya ke kanan, membalik lalu menangkis turunnya sinar cambuk hitam itu dengan tongkatnya, menangkis dari samping, bukan dari bawah sehingga ia tidak mengadu tenaga secara langsung.

“Takkkk!” Pertemuan antara tongkat dam cambuk itu membuat keduanya meloncat ke belakang karena merasa lengan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba tongkat di tangan Liong-li menyambar, bergerak seperti seekor ular berjalan, tidak meluncur dengan lurus melainkan, berlenggang-lenggok sehingga sukar diduga ke mana tongkat itu akan menyerang! Ternyata kemudian bahwa ujung tongkat itu menyerang ke arah perut Kiu-bwe Mo-li.

Wanita ini cepat mengelak ke samping, akan tetapi sebelum cambuknya membalas serangan lawan, tongkat itu sudah membalik dan ujung yang lain menghantam ke arah kepala Kiu-bwe Mo-li. Wanita inipun maklum akan kelihaian lawannya yang muda, maka ia tidak memandang ringan dan bersikap hati-hati. Maka kecepatan gerakan tongkat itu tidak mengejutkannya dan iapun cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, dan kini cambuknya menyambar ke depan, ujungnya terpencar menjadi sembilan ekor seperti ular-ular kecil panjang hidup, sembilan ekor ujung cambuk itu meledak-ledak dan beterbangan ke depan, menyerang ke arah jalan darah Liong-li dengan totokan-totokan maut!

Cambuk di tangan wanita ini memang berbahaya sekali, lihai bukan main. Setiap ujung dari sembilan ekor itu bukan saja dapat melakukan totokan pada jalan darah yang di antaranya ada yang mematikan, akan tetapi juga masing-masing ujung mengandung racun yang amat kuat. Tidak mengherankan apa bila ia terkenal sekali dengan senjatanya ini dan dijuluki Kiu-bwe Mo-li (lblis Betina Ekor Sembilan).

Namun, Hek-liong-li telah mewarisi ilmu tongkat yang amat hebat dari subonya. Senjata tongkat merupakan senjata utama subonya, di samping pedang, dan begitu ada tongkat di tangannya, Liong-li merasa seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Tongkat itu menjadi hidup di kedua tangannya, dan menghadapi “pengeroyokan” sembilan ekor ujung cambuk di tangan Kiu-bwe Mo-li, ia tidak menjadi. gentar atau gugup.

Tongkatnya digerakkan secara aneh dan istimewa, dan ke mana pun ujung cambuk menyambar, selalu bertemu dengan tongkat! Bahkan Liong-li mampu melakukan serangan balasan dengan tak kalah dahsyatnya! Tongkat di tangannya itu, walaupun hanya sebatang cabang pohon namun kini seolah-olah hidup. Senjata sederhana ini dapat membabat, memukul, menusuk, dan kalau diputar menjadi seperti perisai besar yang melindungi seluruh tubuh Liong-li!

Terjadilah perkelahian yang amat seru antara kedua orang wanita itu. Kiu-bwe Mo-li adalah seorang di antara para pembantu utama Hek-sim Lo-mo, pembantu yang dipercaya karena di samping Tok-gan-liong Yauw Ban, ia merupakan pembantu yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi dan amat diandalkan oleh Hek-sim Lo-mo. Karena itulah, ketika datuk itu mendengar akan munculnya Hek-liong-li di Lok-yang, dia mengutus Kiu-bwe Mo-li untuk mencari dan membunuh gadis lihai itu.

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 11 karya kho ping hoo

Kini, setelah bertemu dengan Hek-liong-li, Kiu-bwe Mo-li tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang yang masih terhitung adik seperguruannya, akan tetapi ternyata bahwa su-moi yang masih amat muda itu telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga sukar baginya untuk mendesak dengan cambuknya. Hal ini membuat Kiu-bwe Mo-li menjadi penasaran sekali dan ia mengerahkan seluruh tenaganya, memutar cambuknya dan menghujankan serangan-serangan maut dengan senjata istimewa itu.

Gerakan tongkat di tangan Liong-li makin lama semakin mantap. Kalau tadi ia masih nampak repot karena harus mengimbangi kecepatan sembilan ekor ujung cambuk, kini agaknya ia sudah mampu menangkap inti gerakan senjata lawan dan ia bergerak lebih tenang dan mantap, bahkan kini dapat membalas serangan lebih gencar dengan tongkatnya.

Tongkat panjang merupakan senjata yang biarpun hanya sebatang, namun memiliki dua ujung yang dapat dipergunakan secara bergantian untuk menyerang atau menangkis, bahkan bagian tengahnya dapat pula melindungi tubuh sebagai perisai. Tongkat yang dimainkan Liong-li penuh dengan tenaga sin-kang sehingga tongkat itu dalam gerakannya mengeluarkan suara menderu-deru disertai angin yang menyambar-nyambar.

“Syuuuttt...!” Tongkat menusuk ke arah dada Kiu-bwe Mo-li. Ketika iblis betina ini mengelak dengan miringkan tubuh dan siap untuk membalas serangan, tiba-tiba tongkat itu membalik.

“Wuuuttt!!” Kini ujung lain dari tongkat itu menghantam dari atas ke arah ubun-ubun kepala Kiu-bwe Mo-li. Tentu saja wanita ini terkejut bukan main oleh kecepatan gerakan lawan. Ia melompat ke belakang dan kembali tongkat datang menyerang dengan putaran yang membuat ujung tongkat membentuk gulungan sinar melebar seperti payung. Kiu-bwe Mo-li terpaksa mundur lagi sambil memutar cambuknya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya. Cambuk itu diputar menjadi gulungan sinar hitam yang menjadi semacam perisai yang amat kuat.

Melihat betapa jagoan mereka sampai sekian lamanya belum mampu mengalahkan Hek-liong-li, bahkan sempat pula terdesak, Boan Ke dan Su Leng, dua orang di antara kelima Twa-to Ngo-houw yang masih hidup, menjadi penasaran sekali. Mereka berdua merasa bersedih karena kematian tiga orang saudara mereka dan mengharapkan agar Kiu-bwe Mo-li dapat membalaskan kematian itu dan merobohkan Hek-liong-li.

Akan tetapi Si Dewi Naga itu agaknya masih terlampau kuat bagi Kiu-bwe Mo-li, maka dua orang anggauta Twa-to Ngo-houw, yang sejak tadi nonton, menjadi kecewa dan marah. Mereka selama ini mengandalkan kelihaian Kiu-bwe Mo-li dan nama besar Hek-sim Lo-mo, akan tetapi setelah bertemu lawan tangguh, ternyata Kiu-bwe Mo-li tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda!

Dan wanita genit itu selalu menyombongkan dirinya sebagai pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo yang katanya tak pernah terkalahkan oleh siapapun juga kecuali Hek-sim Lo-mo! Mereka menjadi kecewa dan penasaran, lalu tanpa minta ijin lagi mereka lalu terjun ke dalam medan pertempuran itu dan mengeroyok Liong-li. Namun gadis ini sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan dengan penuh semangat ia menyambut dua batang golok dari dua orang lawan baru itu dengan tongkatnya.

Tingkat kepandaian dua orang dari Twa-to Ngo-houw ini memang masih jauh sekali dibandingkan tingkat Kiu-bwe Mo-li, apa lagi dengan tingkat Liong-li. Maka, masuknya dua orang ini sebagai pengeroyok, sama sekali tidak merepotkan Liong-li, bahkan membuat Kiu-bwe Mo-li menjadi terhalang gerakan cambuknya, walaupun diam-diam wanita ini merasa lega bahwa dalam keadaan terdesak tadi ia mendapat bantuan. Kini ia menjadi agak longgar, tidak terdesak lagi dan iapun melakukan serangan dengan lebih ganas, mengandalkan bantuan dua orang anak buahnya itu.

Liong-li menggerakkan tongkatnya dengan lebih cepat lagi, kini mendesak kepada dua orang dari Twa-to Ngo-houw karena ia memang berniat untuk membasmi lima orang tukang pukul yang sudah mendatangkan banyak kesengsaraan kepada rakyat dusun itu. Akan tetapi, Kiu-bwe Mo-li telah mendahuluinya. Wanita ini maklum bahwa kalau sampai dua orang pembantunya itu roboh dan ia harus sendirian saja menghadapi Liong-li, keadaannya akan menjadi berbahaya sekali.

Harus diakuinya di dalam hati bahwa ilmu kepandaian gadis yang masih terhitung sumoinya ini amat lihai dan ia merasa kewalahan. Ilmu tongkat itu aneh dan juga amat kuat. Maka, selagi masih ada dua orang pembantunya, ia harus menekan sedemikian rupa agar dapat merobohkan Liong-li. Maka, iapun cepat menggerakkan tangan kirinya dan belasan batang paku beracun menyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari gadis itu!

Liong-li sudah mendengar dari subonya akan keahlian Jeng-tok Kui-bo dan muridnya itu dalam menggunakan senjata rahasia beracun. Oleh karena itu, sejak tadi ia sudah siap siaga, sudah menduga bahwa kalau terdesak, tentu wanita itu akan mempergunakan senjata rahasia beracun itu. Maka, begitu Kiu-bwe Mo-li menggerakkan tangan kirinya, iapun cepat melompat tinggi ke atas sambil memutar tongkatnya. Ketika ia melihat sinar hitam menyambar ke bawah kakinya, ia lalu memukulnya dengan tongkat dan mengarahkan senjata rahasia itu kepada Boan Ke dan Su Leng, dua orang Twa-to Ngo-houw itu.

“Aduhhhh...!” Su Leng dan Boan Ke terguling. Su Leng yang terkena paku beracun tepat pada pelipisnya itu langsung berkelojotan dan tewas, sedangkan Boan Ke yang cepat mengelak akan tetapi masih terkena pundak kirinya, merasa betapa pundak itu nyeri, panas dan gatal.

Diapun marah bukan main, apa lagi mengingat bahwa yang melukainya adalah paku yang dilepas oleh Kiu-bwe Mo-li. Celaka, pikirnya, atasan yang amat diandalkan itu bahkan telah mencelakainya dengan paku beracun itu! Dia menjadi nekat dan dengan golok besarnya, dia menubruk ke arah Liong-li, hendak mengadu nyawa dengan gadis yang amat lihai itu! Akan tetapi, tubrukan yang dahsyat ini dapat dielakkan oleh Liong-li sehingga Boan Ke terbuyung ke depan.

Pada saat itu, kembali Kiu-bwe Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan kini jarum-jarum halus yang belasan batang banyaknya menyambar-nyambar ke arah Liong-li. Gadis ini terkejut. Jarum-jarum itu lembut dan lebih berbahaya dibandingkan paku-paku tadi, maka iapun cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh. Pada saat itu, Kiu-bwe Mo-li maklum bahwa kalau dilanjutkan, hanya akan merugikan dirinya, maka melihat lawan bergulingan, ia mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri secepatnya!

“Kiu-bwe Mo-li pengecut!” bentakan ini keluar dari mulut Boan Ke yang merasa penasaran dan marah melihat betapa atasannya itu meninggalkannya setelah keadaan berbahaya. Dengan nekat dia menggerakkan goloknya menyerang Liong-li.

“Singgg...!” Golok itu menyambar ganas. Liong-li miringkan tubuhnya sehingga bacokan mengenai tempat kosong dan pada saat berikutnya, tongkatnya menyambar ke arah tengkuk lawan.

“Kekkk!!” Tubuh Boan Ke terjungkal, goloknya terlepas dan dia merintih-rintih kesakitan. Akan tetapi, dia masih marah kepada Kiu-bwe Mo-li yang melarikan diri meninggalkannya. “Kiu-bwe Mo-li pengecut besar!” Dia masih mengeluarkan teriakan marah.

Liong-li memandang ke kanan kiri, mencari ke mana perginya musuh utamanya, yaitu Kiu-bwe Mo-li, akan tetapi tidak melihat bayangan orang itu. Selagi ia hendak pergi, terdengar Boan Ke, orang pertama Twa-to Ngo-houw berseru memanggilnya.

“Hek-liong-li...!”

Kim Cu menahan langkahnya dan membalik, lalu menghampiri orang itu yang disangkanya telah mati. Kuat juga orang ini yang terpukul tengkuknya masih belum juga tewas. Setelah dekat ia melihat bahwa keadaan orang itu sudah parah, dan kematian hanya soal waktu saja, waktu yang tidak lama lagi. Akan tetapi daya tahan Boan Ke memang cukup kuat sehingga dia masih mampu bicara, walaupun untuk itu dia harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya.

“Engkau mau apa?” tanya Liong-li.

“Hek-liong-li, ia Kiu-bwe Mo-li, seorang pengecut besar... ia meninggalkan aku. Ia hanyalah pembantunya... yang berkuasa adalah Beng-cu, Hek-sim Lo-mo... kau cari mereka, kau basmi mereka... Lo-mo berada di Lok-yang... kalau dia tidak berada disana, tentu... dia di rumah ahli pembuat pedang Thio Wi Han, di dusun Gi-ho-cung... kaki gunungbFu-niu-san... dia telah... telah mendapatkan mustika naga... ahhhh...”

Orang pertama dari Twa-to Ngo-houw itupun terkulai dan tewas. Liong-li memandang kepadanya, lalu kepada empat orang saudaranya yang sudah lebih dulu tewas, dan wanita muda ini menarik napas panjang.

Ah, kenapa manusia harus melakukan semua kejahatan itu, menjadi seorang penjahat, mengandalkan keberanian dan kenekatan, menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, untuk mencuri, merampok, menipu, bahkan membunuh? Kenapa mereka melakukan itu semua sehingga akhirnya tewas dalam keadaan seperti ini?

Kembali ia menarik napas panjang, teringat akan nasib dirinya. Demikian banyaknya peristiwa hebat sebagai akibat kejahatan manusia menimpa dirinya. Ia, puteri seorang bangsawan, seorang pejabat tinggi pemerintah yang ketika kecilnya hidup serba kecukupan, terhormat dan mulia, setelah dewasa harus mengalami banyak sekali hal yang amat pahit, penghinaan-penghinaan dan kesengsaraan, banjir air mata, kehilangan ayah bunda dan keluarga sehingga kini hidup sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi!

“Tidak!” katanya kepada diri sendiri mengusir kelesuan karena duka melanda batinnya. “Aku masih punya ini!” Ia meluruskan kedua lengannya, “dan punya ini lagi!” Ditendangkan kedua kakinya bergantian, “dan dengan kaki tanganku ini, aku akan memerangi semua penjahat, menantang kejahatan dan menikmati kehidupan ini! Enyahlah duka dan keluh kesah!”

Ia meraba kedua pipinya yang terasa halus, “Engkau masih muda, Kim Cu, masih banyak kesempatan untuk menikmati hidup, melupakan masa lampau yang banyak kepahitan.”

Setelah berkata demikian iapun melompat dan dengan wajah berseri iapun berlari cepat menuju ke Lok-yang. Ia akan mencari Kiu-bwe Mo-li di sana, dan kalau ternyata Hek-sim Lo-mo merajalela dan menyebar banyak kaki tangan untuk melakukan kejahatan, ia akan menentang dan membasmi Hek-sim Lo-mo dengan komplotannya! Dan hatinya tertarik sekali mendengar Hek-sim Lo-mo telah memperoleh mustika naga!

Dan datuk sesat itu pergi ke dusun Gi-ho-cung di kaki Gunung Fu-niu-san untuk menemui ahli pembuat pedang Thio Wi Han? Hemm, menarik sekali! Bukankah subonya pernah bercerita bahwa mustika naga dari Gunung Emas, yaitu Kim-san Liong-cu itu juga dapat dibuat menjadi pedang yang ampuh?

Tidak sukar bagi Liong-li untuk mencari tempat kediaman Hek-sim Lo-mo yang bagi semua orang kang-ouw disebut Beng-cu (Pemimpin Rakyat). Akan tetapi ketika ia tiba di sana, benar saja seperti pemberitahuan orang pertama dari Twa-to Ngo-houw sebelum tewas, Hek-sim Lo-mo tidak berada di tempatnya.

Rumah yang menjadi tempat tinggal Hek-sim Lo-mo besar dan megah, seperti rumah seorang hartawan besar. Rumah besar itu dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan selalu ada belasan orang yang bertugas jaga di pinta gerbang, seperti rumah tinggal seorang pembesar tinggi yang penting saja. Hanya bedanya, kalau para penjaga rumah pembesar adalah perajurit-perajurit jaga yang mengenakan pakaian perajurit.

Maka para penjaga di pintu gerbang rumah Hek-sim Lo-mo adalah orang-orang yang mengenakan pakaian yang ringkas, pakaian ahli silat dan sikap itu galak dan congkak. Ketika belasan orang kasar ini melihat seorang gadis cantik menghampiri pintu gerbang, mereka tercengang dan sambil menyeringai dan menjual lagak mereka berlumba untuk menyambut.

“Hendak mencari akukah, nona manis?”

“Siapakah namamu, sayang?”

“Aduh cantiknya, sudah bersuamikah, atau masih perawan?”

“Kalau janda, mari ikut aku saja, tanggung puas dan senang!”

Melihat wajah-wajah kasar menyeringai kepadanya dan mendengar kata-kata rayuan kasar dan kurang ajar itu, Liong-li hanya tersenyum. Senyumnya manis bukan main sehingga belasan orang laki-laki itu menjadi semakin tergila-gila dan masing-masing mendapatkan suatu harapan penuh khayal, seolah-olah senyum manis gadis itu ditujukan khusus kepada setiap orang dari mereka!

Tentu saja sikap para pria ini tidak mengejutkan hati Liong-li. Ia sudah terbiasa oleh rayuan-rayuan halus kasar seperti itu dari kaum pria dan ia memandang rendah semua itu, maklum akan kepalsuan yang tersembunyi di balik nafsu berahi itu.

“Kalian baik sekali,” katanya dan senyumnya melebar, memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara berbaris, dan lidahnya yang jambon menjilat bibirnya yang merah basah. “Akan tetapi aku ingin bertemu dengan Kiu-bwe Mo-li dan Hek-sim Lo-mo.”

Mendengar betapa ringannya gadis cantik jelita itu menyebut nama besar kedua orang tokoh yang mereka takuti itu, para penjaga itubsaling pandang dengan mata terbelalak. Kepala jaga, seorang laki-laki berperut gendut sekali, kepalanya juga bundar dan bulat, matanya sipit, segera melangkah maju dan dia tidak berani main-main lagi, walaupun suaranya masih mengandung rayuan.

“Nona yang cantik manis, siapakah engkau dan apakah engkau mengenal betul dua orang yang namanya kau sebutkan tadi?”

“Tentu saja aku mengenal mereka. Aku seorang tamu dan ingin sekali bertemu mereka. Harap kalian suka berbaik hati untuk melaporkan ke dalam dan mengundang Mo-li dan Lo-mo keluar untuk menemui aku!”

Si gendut itu mengerutkan alisnya. Gadis ini sungguh lancang sekali, bicara tentang Beng-cu seolah-olah datuk itu seorang teman baiknya saja! Ah, jangan-jangan gadis ini memang “teman” Beng-cu. Biarpun Beng-cu selama ini tidak pernah kelihatan suka bermain-main dengan wanita, akan tetapi siapa tahu? Gadis ini cukup cantik, bahkan menarik sekali dan kiranya pantas kalau berhasil menundukkan hati datuk yang ditakuti itu.

“Nanti dulu, nona,” kata si gendut yang masih meragu karena dia tidak tahu siapa gadis ini, kawan ataukah lawan dari Beng-cu. “Tidak semudah itu untuk menemui Kiu-bwe Mo-li, apa lagi Beng-cu kami. Apakah engkau ini sahabat mereka? Katakan dulu apa keperluanmu agar kami dapat melapor ke dalam.”

Pada hal kedua orang yang disebut oleh gadis itu tidak berada di rumah, akan tetapi dia ingin tahu siapa gadis ini dan apa keperluannya mencari Beng-cu dengan sikap yang demikian lancang. Liong-li masih tersenyum. Ia tidak perlu banyak bicara dengan orang-orang seperti mereka ini, yang hanya anak buah rendahan saja. Sebaiknya ia berterus terang untuk menarik perhatian agar mereka segera melapor ke dalam.

“Ketahuilah bahwa aku datang untuk menghajar Kiu-bwe Mo-li karena ia melarikan diri ketika kami berkelahi, dan aku hendak menegur Hek-sim Lo-mo agar dia tidak melanjutkan tindakan jahat yang dilakukan anak buahnya. Kalau mereka tidak menurut, akan kubasmi gerombolan penjahat yang dipimpinnya.”

Mendengar ucapan itu, belasan orang penjaga saling pandang, dan ketika seorang di antara mereka tertawa, semua orang ikut pula tertawa. Ucapan Liong-li itu terdengar lucu oleh mereka. Si gendut juga tertawa bergelak sampai perutnya bergelombang. “Ha-ha-ha, nanti dulu, nona manis. Siapakah engkau dan apakah engkau yakin benar bahwa engkau tidak gila?”

“Aku disebut Hek-liong-li dan...”

Belasan orang itu terbelalak. Tentu saja mereka sudah mendengar nama Dewi Naga Hitam yang menggemparkan Lok-yang beberapa waktu yang lalu, bahkan mereka sudah mendengar bahwa Beng-cu mengutus Kiu-bwe Mo-li untuk mencari dan membunuh Hek-liong-li. Tak mereka sangka bahwa orangnya secantik dan semuda ini sungguhpun mereka sudah mendengar berita angin bahwa yang namanya Hek-liong-li adalah seorang wanita muda yang cantik.

Kini mereka memandang gadis berpakaian serba hitam itu dengan mata terbelalak. Berbeda kini nampaknya. Kalau tadi pakaian hitam yang mencetak bentuk tubuh yang menggairahkan itu indah, kini keindahan itu mengandung sesuatu yang mengerikan.

“Bagus! Kami harus menangkapmu!” bentak si gendut ketika mendengar wanita cantik itu memperkenalkan diri sebagai Hek-liong-li dan tanpa ragu lagi diapun menubruk. Teman-temannya juga bergerak, berlumba untuk menubruk tubuh yang padat mulus itu, bukan saja untuk mencari jasa terhadap Beng-cu, juga mereka ingin sekali merasakan hangatnya tubuh yang menggairahkan itu...