Pedang Naga Hitam Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

AKAN tetapi, hidup di samping ayahnya, di antara para pembantu dan anak buah ayahnya yang terdiri dari orang-orang kasar, Ma Goat merasa jemu dan ia seringkali meninggalkan rumah ayahnya dan pergi merantau di sekitar daerah lembah.

Pada suatu pagi yang sejuk dan cerah, terdengar suara suling melengking-lengking naik turun dalam irama yang indah sekali. Suara suling ini datang dari tepi sungai. Lengkingannya yang nyaring itu terbawa angin sampai jauh. Akan tetapi, suara suling yang amat merdu dan sepantasnya di dengar dengan hati kagum, ternyata membuat orang-orang di sekitar tempat itu ketakutan.

Mereka yang sedang melakukan perjalanan di tepi sungai, segera mengambil jalan memutar tidak berani lewat di tempat dari mana suara suling itu datang. Bahkan perahu-perahu yang tadinya meluncur di pinggir sungai, segera di dayung ke tengah, menjauhi pantai. Di antara mereka, ada yang berbisik ketakutan, “Suling maut…!”

Ada sebuah perahu kecil ditumpangi tiga orang laki-laki tidak menjauhi pantai, bahkan merapat. Agaknya penumpang perahu itu tidak pernah mendengar tentang Suling maut dan mereka tertarik sekali oleh suara suling yang amat merdu itu. Ketika mereka mendekatkan perahu ke tepi, tiga orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu terkagum-kagum melihat seorang gadis duduk di atas batu besar yang menonjol ke sungai.

Gadis itu mengenakan pakaian berwarna merah muda dan rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan terurai ke belakang punggungnya. Gadis itu cantik bukan main dan ia sedang meniup sebatang suling hitam mengkilap.

Tiga orang laki-laki itu terpesona. Gadis cantik meniup suling demikian indahnya . Bagaikan seorang bidadari saja. Tiga orang itu menahan perahu dengan dayungnya dan mereka memandang kea rah gadis itu sambil tersenyum-senyum kagum.

“Nona, tiupan sulingmu demikian indah merdu, wajahmu demikian cantik, apakah engkau seorang bidadari dari surga?” Tanya seorang.

“Nona manis, bagaimana kalau engkau ikut dengan kami di perahu ini dan memainkan sulingmu di sini?” tanya yang kedua.

“Jangan khawatir, nona manis. Kami adalah tiga orang yang kaya dan kami akan memberi hadiah yang besar kepadamu!” kata orang ketiga.

Gadis itu adalah Ma Goat. Sepasang matanya berkilat memandang kepada tiga orang itu ketika memandang ucapan mereka. Jarak dari batu dimana ia duduk dan perahu itu kurang lebih sepuluh meter. Tiupan sulingnya berhenti perlahan-lahan, kemudian ia meniup sulingnya yang diarahkan kepada tiga orang di atas perahu itu. Kelihatan sinar lembut meluncur dari sulingnya dan terdengar tiga orang laki-laki itu memekik sekali lalu tubuh mereka roboh.

Dua orang terjungkal keluar dari perahu dan yang seorang roboh di atas perahu itu dapat di lihat betapa wajahnya berubah menghitam dan dia tewas seketika! Perahu itupun terbawa arus sungai, hanyut malang melintang tanpa kemudi.

Ma Goat tidak peduli lagi dan terdengar pula lengking sulingnya yang tadi terhenti sejenak. Baginya seolah tidak pernah ada apa-apa padahal baru saja ia membunuh tiga orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak berdosa. Akan tetapi baginya, tiga orang itu telah bersalah, yaitu mengganggunya dengan ucapan yang di anggapnya kurang ajar dan menghinanya.

Sebuah perahu kecil lewat. Perahu itu di tumpangi seorang pemuda yang berpakaian sederhana. Pemuda itupun mendengar lengking suara suling dan dia tertarik dengan hati kagum. Di dayungnya perahunya ke tepi dan tibalah perahunya di dekat batu besar dimana gadis itu duduk meniup sulingnya.

Pemuda itu adalah Cian Han Sin yang sedang melakukan perjalanan pulang ke selatan. Han Sin memang suka akan kesenian. Biarpun dia sendiri tidak pandai meniup suling, akan tetapi dia dapat menikmati bunyi musik yang merdu dan tiupan suling itu luar biasa sekali. Bukan hanya merdu dan indah, akan tetapi juga mengandung getaran yang membuat dia tertegun.

Peniup suling seperti itu bukan orang biasa, pikirnya. Dari suara tiupannya jelas menunjukkan bahwa peniupnya memiliki tenaga khi-kang yang amat kuat. Dan diapun semakin terheran melihat bahwa peniupnya seorang gadis muda yang cantik sekali.

Ma Goat juga melihat perahu yang menghampiri tempat ia duduk itu. Dan ia melihat seorang pemuda yang gagah dan tampan. Dahinya lebar, alisnya berbentuk golok dan matanya yang bersinar lembut itu mengandung kekuatan tersembunyi. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum ramah, dagunya berlekuk membayangkan kejantanan dan kulit muka dan lehernya putih, pakaiannya sederhana, namun bersih.

Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi ia ingin melihat bagaimana sikap pemuda itu. Kalau ternyata hanya seorang pemuda ceriwis kurang ajar dan mata keranjang, ia tidak segan untuk membunuhnya. Maka iapun menyudahi tiupan sulingnya dan pura-pura tidak melihat pemuda itu.

“Alangkah indah tiupan sulingmu, nona. Sungguh aku merasa kagum sekali. Akan tetapi sayang…“ Han Sin menahan ucapannya.

Ma Goat merasa heran bahwa ia tidak marah mendengar ucapan itu. Bahkan ia merasa girang, akan tetapi juga penasaran karena kalimat yang memuji dengan sopan itu disambung kata-kata yang meragukan. Pemuda itu memuji tiupan sulingnya, sama sekali tidak menyinggung kecantikannya seperti para pria lain yang memujinya.

Ia menoleh dan kini memandang Han Sin penuh perhatian. Seorang pemuda sederhana, mungkin seorang pemuda dari selatan yang miskin. Akan tetapi wajahnya tampan menarik dan sinar matanya itu demikian lembut dan kuat.

“Akan tetapi apanya yang sayang…?” Ma Goat bertanya dengan suara mendesak.

Han Sin merasa bahwa dia telah kelepasan bicara. Mengapa dia menjadi lancang dan usil? Terpaksa dia harus memberi penjelasan atau gadis itu tentu akan tersinggung dan marah. “Maaf, nona. Aku tadi mengatakan sayang, karena lagu yang kau mainkan dengan suling itu mengandung kedukaan yang menyayat hati, seperti orang yang sudah kehilangan semangat hidup. Sungguh tidak sesuai dimainkan oleh seorang gadis muda seperti nona yang sepatutnya memiliki semangat hidup yang besar...“

Ma Goat tertarik sekali. Pemuda ini ternyata bukan ngawur belaka, melainkan agaknya memiliki pengetahuan tentang lagu dan sifatnya. memang tadi ia memainkan lagu 'Hancurnya sebuah hati'. Ratap tangis seorang gadis yatim piatu yang merindukan kekasih yang meninggalkannya.

“Seorang peniup suling haruslah pandai memainkan lagu apa saja. Apa kau kira aku hanya dapat memainkan lagu sedih saja? Dengarkan yang ini!”

Ma Goat lalu meniup lagi sulingnya dan sekali ini, sebuah lagu merdu yang gembira penuh semangat melengking dari sulingnya. Dan sekali lagi Han Sin terpesona. Bukan main gadis ini. Benar-benar mahir dan telah menguasai kesenian itu. Kesedihan yang tadi tidak berbekas lagi dan kini suara suling itu membayangkan gadis-gadis sedang menari-nari dan bersenda gurau dengan dengan penuh kegembiraan.

Atau lebih tepat lagi, karena ada pula suara seperti air mengucur, seakan-akan ada beberapa orang bidadari sedang bermain-main dan mandi di telaga sambil tertawa-tawa gembira. Setelah Ma Goat menyelesaikan lagu yang gembira dan bersemangat itu, Han Sin kembali merasa kagum. Dia bangkit berdiri di perahunya dan merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat.

“Bukan main! Aku harus mengakui bahwa selamanya belum pernah aku mendengar tiupan suling sedemikian indahnya seperti yang nona mainkan...“

Ma Goat tersenyum manis, sikap dan ucapan pemuda ini menggembirakan hatinya. Pujian itu demikian jujur dan tulus, sama sekali tidak ada sifat menjilat seperti pujian para pria yang pernah di dengarnya.

“Apa yang kau tangkap dalam lagu tadi...?“ Tanyanya sambil tersenyum.

“Lagu yang amat menggembirakan. Mendengar tiupan suling tadi, aku melihat beberapa orang bidadari sedang bersenda gurau dan aku mendengar berpercik dan mancurnya air seolah para bidadari sedang bersenda gurau. Matahari pagi dengan cerahnya menghidupkan segala sesuatu, terdengar kicauan burung-burung diantara ranting dan dahan pohon yang penuh daun menghijau dan di hias bunga beraneka warna yang semerbak mengharum…“

Sekarang Ma Goat yang memandang kagum. “Sobat, engkau seorang seniman...!” serunya.

“Ah, aku hanya seorang kelana yang bodoh, nona...“

“Akan tetapi penilaianmu terhadap lagu-laguku tepat sekali. Memang tadi aku memainkan 'Tujuh bidadari di Telaga Barat'. Begitu mendengar lagu itu, engkau sudah dapat menebaknya dengan tepat! Ma Goat merasa gembira sekali sehingga ia melompat turun dari atas perahu dan setelah gadis itu berdiri, Han Sin melihat betapa gadis itu tidak hanya memiliki wajah cantik saja, juga ia memiliki bentuk tubuh yang ramping padat menggairahkan.

“Bukan aku pandai menebak, nona. Akan tetapi adalah suara sulingmu yang menggambarkan keadaan sedemikian jelasnya...“

“Sobat, siapakah namamu, dan darimana engkau datang dan apa yang membawamu ke tempat ini...?“

Han Sin tersenyum. Gadis itu menghujamkan pertanyaan kepadanya. “Nona, namaku Cian Han Sin, aku datang dari selatan dan yang membawaku sampai ke sini adalah keinginan untuk meluaskan pengalaman...“

Pada saat itu, dua orang laki-laki datang berlarian dan melihat mereka, Ma Goat cepat menegur.

“Heiii, kalian berlarian seperti di kejar setan! Ada apakah?”

Dua orang laki-laki setengah tua itu begitu melihat siapa yang menegur mereka, segera memberi hormat sambil membungkuk dalam.

“Celaka, nona. Ada seorang kakek memaksa hendak bertemu dengan ketua. ketika kami mencegahnya, dua orang pengikutnya mengamuk dan kami yang belasan orang jumlahnya tidak mampu menandingi mereka yang lihai sekali. Teman-teman kini masih berusaha untuk melawan mereka…“

“Hemmm, dimana mereka?“ Tanya Ma Goat.

“Di Lereng bukit, nona...“

“Cepat melapor kepada ayah, biar aku yang menghajar mereka! kata Ma Goat dan setelah kedua orang anak buahnya itu berlari pergi, Ma Goat menoleh kepada Han Sin yang masih berdiri di atas perahunya.

“Namaku Ma Goat dan aku senang sekali bertemu dan berkenalan denganmu, Cian Han Sin. Selamat tinggal...!“ Ma Goat lalu berkelebat dan melompat jauh, berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Han Sin tertegun. Bukan main, gadis itu selain cantik jelita, pandai meniup suling, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi gadis itu pergi untuk menemui lawan yang tangguh. Dia menjadi tertarik, juga khawatir kalau-kalau gadis yang serba bisa itu akan terancam bahaya, maka diapun menambatkan perahunya pada akar pohon, kemudian dia meloncat ke daratan dan cepat berlari menuju kearah bukit di depan.

Ma Goat berlari cepat dan sebentar saja tibalah ia di lereng Kui-san dan ia melihat belasan orang anak buah ayahnya mengeroyok dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang lihai sekali. Seorang kakek berusia enam puluhan tahun duduk bersila di atas batu sambil menonton perkelahian itu. Dua orang yang di keroyok itu bertangan kosong, sedangkan belasan orang anak buah Te-kwi-pai semua bersenjata pedang atau golok.

Akan tetapi mereka itu seperti sekelompok semut melawan dua ekor jangkrik saja. Mereka menyerang, akan tetapi ternyata dua orang itu agaknya memang tidak ingin membunuh sehingga para pengeroyok itu tidak mengalami luka-luka berat dan mereka segera bangkit lagi.

Melihat ini, Ma Goat segera melompat ke dalam pertempuran dan membentak, “kalian semua mundurlah! biar aku menghadapi dua ekor tikus ini...!“

Mendengar suara nona mereka, para anggota Te-kwi-pai menjadi girang dan mereka segera berlompatan kebelakang. Kini Ma Goat berdiri tegak di depan dua orang itu memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi ia sama sekali tidak mengenal mereka, maka ia menjadi marah sekali. Ia tidak perlu bertanya lagi karena tadi sudah dapat keterangan cukup jelas.

Dua orang ini bersama kakek itu hendak naik ke puncak untuk mencari ayahnya. Menurut peraturan, tak seorangpun orang boleh naik ke puncak maka anak buah ayahnya melarang dan terjadi pertempuran. Setelah memandang dengan sinar mata tajam dan bersinar kemarahan. Ma Goat lalu membentak,

“Dua ekor tikus darimana berani membikin kacau tempat kami...!“ dan ia sudah menerjang dengan hebatnya, menggunakan sulingnya menyerang kepada dua orang itu. Serangannya cepat bukan main dan suling itu menyambar bagaikan sebatang pedang. Sinar hitam menyambar kearah leher kedua orang itu.

Akan tetapi dua orang itu bukan orang-orang lemah. Melihat sinar hitam menyambar dahsyat, mereka sudah mengelak dengan loncatan yang ringan kebelakang. Akan tetapi suling di tangan Ma Goat mengejar dan menyerang lagi dengan dahsyat. Dua orang itu terkejut dan sambil mengelak lagi, tangan mereka bergerak ke punggung dan mereka telah mencabut senjata mereka, yaitu masing-masing memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

Ma Goat tidak menjadi jerih, bahkan semakin marah karena dua kali serangannya dapat di elakkan lawan. Ia membawa suling ke depan bibirnya dan dua kali meniup. Sinar hitam meluncur cepat kearah dua orang itu. Akan tetapi mereka agaknya sudah waspada. Mereka menggerakkan pedang menangkis dan jarum-jarum halus yang di lepas melalui tiupan suling itupun runtuh ke atas tanah.

Ma Goat menjadi marah sekali. Tubuhnya menerjang ke depan, sulingnya bergerak menjadi gulungan sinar hitam menyerang kearah dua orang lawannya. Akan tetapi dua orang itu menyambut dengan pedang mereka dan terjadilah pertandingan yang amat seru.

Ternyata dua orang yang memegang pedang itu lihai bukan main. Biarpun permainan suling Ma Goat amat berbahaya, namun mereka dapat menahan serangan itu bahkan membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah hebatnya. Dan perlahan-lahan Ma Goat terdesak oleh dua batang pedang itu, dan akhirnya ia hanya mampu memutar suling untuk melindungi hanya mampu memutar suling untuk melindungi dirinya tanpa membalas!

Cerita silat serial sepasang naga lembah iblis episode pedang naga hitam jilid 25 karya kho ping hoo

Sejak tadi Han Sin mengintai dan kini melihat betapa gadis itu terdesak dan terancam bahaya, dia tidak tinggal diam lagi. “Dua orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda, sungguh tidak tahu malu...!“ bentak Han Sin dan dia sudah menerjang ke dalam pertempuran itu. Biarpun dia bertangan kosong, akan tetapi karena dia mengerahkan sin-kangnya, begitu kedua tangannya mendorong, dua orang pengeroyok itu terhuyung-huyung ke belakang seperti di sambar angin yang amat kuat. Hampir saja kedua orang ini terpelanting roboh.

Dua orang itu terkejut akan tetapi juga marah sekali. Mereka adalah dua orang yang telah memiliki ilmu silat yang tinggi, maka tidak mungkin mereka dapat di buat terhuyung dan hamper terpelanting seperti itu. Keduanya sudah melompat bangun lagi, akan tetapi Ma Goat yang juga terkejut akan tetapi girang sekali melihat pemuda dalam perahu yang baru saja di kenalnya dat ang membantu, segera menerjang kearah seorang di antara mereka.

Sulingnya menyambar-nyambar dan orang itu segera menangkis dengan pedangnya. Segera kedua orang itu sudah terlibat dalam pert andingan yang hebat. Orang kedua juga penasaran, akan tetapi sebelum dia dapat membantu temannya mengeroyok gadis itu, Han Sin sudah melompat ke depan orang itu.

Melihat pemuda yang datang membantu gadis itu dan tadi hampir saja merobohkannya, orang kedua yang berkumis penjang itu menjadi marah dan dia segera menyerang Han Sin dengan pedangnya. Serangannya cepat dan bertenaga, akan tetapi Han Sin mudah saja mengelak sambil mundur. Lawannya mendesak dan sekali Han Sin menggerakkan kedua tangannya, tangan kanan sudah menotok kearah siku kanan orang itu dan tangan kirinya menyambar.

Di lain saat, pedang itu telah dapat di rampas dari tangan pemiliknya. Orang itu terbelalak dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, Han Sin tersenyum, tidak membalas serangannya tadi melainkan menekuk pedang itu dengan kedua tangannya.

“Krekk!” Pedang itu patah menjadi dua potong dan Han Sin melemparkannya ke atas tanah. Melihat ini, si kumis panjang itu melangkah mundur dan menjadi jerih.

Sementara itu, setelah kini hanya menghadapi seorang lawan, Ma Goat mengamuk dan dapat mendesak lawannya dengan sulingnya. Ia memang masih menang setingkat kalau melawan satu orang saja dan lawannya kini hanya mampu menangkis dengan pedangnya. Ma Goat menyerang dengan ganas sekali. Ketika sulingnya menyambar dahsyat kearah kepala lawan, lawannya itu menggerakkan pedang ke atas untuk menangkis.

“Traangg…!“ Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu dan suling itu terpental ke bawah terus menyerang dada. Lawannya menurunkan pedang untuk menangkis, akan tetapi mendadak suling tidak jadi menyerang pedang melainkan menyambut lengan lawan dengan menghantam ke arah siku.

“Dukkk…!“ siku itu terkena hantaman suling menjadi lumpuh seketika dan pedangnya terlepas dari pegangan. Biarpun lawan sudah tidak berdaya, Ma Goat menyerang terus dengan sulingnya secara bertubi-tubi. Lawannya menjadi gugup, berloncatan ke belakang dan hanya mampu mengelak ke kanan kiri, Ma Goat tidak memberi kesempatan lagi, terus mendesak dengan pukulan-pukulan maut. Suling yang menyambar-nyambar cepat itu, sekali saja mengenai kepala tentu akan menamatkan hidup orang itu.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan lawan Ma Goat itu, tiba-tiba kakek yang sejak tadi hanya duduk bersila dan menonton pertandingan menggerakkan tubuhnya dan tubuh yang tadi bersila itu telah melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan meluncur turun ke arah Ma Goat yang sedang mendesak lawannya.

Pada saat itu, Ma Goat sudah berhasil menyapu kaki lawannya dengan kakinya sehingga lawannya terpelanting jatuh dan ia sudah menggerakkan sulingnya yang menyambar kearah kepala lawan. Akan tetapi suling itu tertahan di udara oleh tangan kakek yang melayang di atasnya. Ma Goat terkejut sekali dan melangkah ke belakang. Kakek itu pun meloncat turun di depannya.

Begitu memandang bahwa yang menahan serangannya tadi seorang kakek yang tadi duduk bersila, Ma Goat menjadi marah. Ia maklum bahwa kakek itu yang mendatangkan kekacauan bersama dua orang pengikutnya, maka tanpa banyak cakap lagi iapun menggerakkan sulingnya, menusuk dengan totokan kearah dada kakek itu.

“Ha-ha-ha, engkau ganas sekali...!“ kakek itu tertawa dan tidak mengelak, melainkan mengangkat tangan kirinya ke depan dada sehingga suling itu mengenai telapak tangannya.

“Tukkk!” Ma Goat terkejut merasakan betapa totokannya mengenai daging lunak. Akan tetapi ketika ia menarik sulingnya, ia tidak mampu melakukan itu karena sulingnya seperti telah melekat pada telapak tangan lawan. Selagi ia mengerahkan tenaga untuk menarik lepas sulingnya, kakek itu lalu mendorongkan tangannya ke depan sambil membentak dan seperti sehelai daun kering di terbangkan angin, tubuh Ma Goat terlempar ke belakang!

Tenaga dorongan itu kuat bukan main dan membuat Ma Goat merasa kehilangan tenaganya. Ia tentu akan roboh terpelanting kalau saat itu tidak ada orang yang menolongnya. Han Sin sudah cepat berkelebat dan menerima tubuh yang telentang itu ke atas kedua lengannya, kemudian menurunkannya dengan lunak, sehingga Ma Goat tidak terbanting.

Gadis itu berkilat matanya dan tentu ia akan marah sekali, mungkin akan membunuh orang yang berani menyentuh tubuhnya, bahkan memondongnya. Akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menolongnya adalah Han Sin, ia tidak marah, dan tersenyum dengan muka berubah kemerahan.

“Terima kasih atas bantuanmu...!“ katanya singkat kepada Han Sin.

Pada saat itu muncul Pak-te-ong Ma Giok. Pemunculannya membuat dua orang pengikut kakek tadi terkejut sekali. Bagaikan pandai menghilang saja Pak-tek-ong tahu-tahu berdiri di situ dengan tongkat kepala naga di tangan kanan, tubuhnya tinggi besar, kepalanya botak dan jubahnya dari kulit biruang, pakaiannya terbuat dari sutera halus.

“Siapa berani naik ke Kwi-san membikin kacau?” suaranya tenang namun mengandung wibawa.

Melihat ayahnya, Ma Goat segera berlari menghampiri dan memegang lengan ayahnya. “Ayah…!” katanya manja. “Tiga orang itulah yang menjadi pengacau, harap ayah sendiri turun tangan memberi hajaran...!”

Dua orang kakek itu kini sudah berdiri saling berhadapan. Pak-te-ong memandang penuh perhatian. Kakek itu usianya sebaya dengan dia, pakaiannya hanya merupakan kain yang di belit-belitkan tubuhnya yang pendek gendut, rambutnya yang hitam panjang di kuncir ke belakang dan selebihnya dibiarkan awut-awutan. Mukanya bundar dengan sepasang mata yang lebar, hidungnya pesek dan mulutnya juga lebar, akan tetapi yang menonjol adalah sepasang telinganya yang seperti telinga gajah.

“Hemmm, kiranya See-thian-mo (Iblis dunia barat) yang berani main-main di sini!” kata Pak-te-ong sambil tersenyum dan dia tidak kelihatan marah.

“Ha-ha-ha!” kakek pendek gendut itu tertawa gembira. “Pa-te-ong, lama tidak berjumpa dan sekali bertemu, engkau telah menjadi tokoh besar, bahkan mendirikan Te-kwi-pai di Kwi-san. Jadi nona ini puterimu? Ha-ha-ha dulu ia masih ingusan, sekarang telah menjadi gadis yang cantik dan ilmunya itu boleh juga walaupun muridmu yang satu itu benar-benar mengejutkan dan mengagumkan hatiku!” Dia menuding kearah Han Sin.

Pak-te-ong menoleh dan memandang kearah yang di tunjuk oleh kakek yang berjuluk See-thian-mo itu. Han Sin juga memandang kepada Pak-te-ong dengan hati berdebar. Kiranya kakek ini ayah dari ma Goat? Dia masih ingat benar, kakek ini adalah orang yang pernah mengejar Cu Sian di dalam hutan dan dia pernah menghadangnya untuk memberi kesempatan kepada Cu Sian melarikan diri. Dia pernah bertanding beberapa jurus dengan kakek ini sebelum dia melarikan diri setelah Cu Sian dapat meloloskan diri.

“See-thian-mo, dia bukan muridku!” Pak-te-ong berseru akan tetapi alisnya berkerut karena dia merasa pernah melihat pemuda itu, akan tetapi dimana.

“Bagus! Kalau begitu aku boleh membunuhnya!” kata See-thian-mo dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah melompat ke depan Han Sin dan menyerang dengan dorongan telapak tangan kanannya kearah dada pemuda itu.

“Wuutttt… plaakkk…!“

Han Sin menangkis dari samping dengan tangan kirinya dan See-thian-mo mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa ada kekuatan dahsyat yang membuat tubuhnya terpental. Juga Han Sin merasa betapa kuatnya pukulan itu, mengandung tenaga yang berhawa dingin. See-thian-mo menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh besar dunia kang-ouw bagian barat. Setelah dia dikeluarkan dari kalangan para pendeta lama, dia lalu malang melintang di dunia kang-ouw dan mendapat julukan See-thian-mo.

Baru ketika pasukan Sui melakukan serangan dan pembersihan di daerah barat, terpaksa dia menyembunyikan diri. Kini, berhadapan dengan seorang pemuda yang mampu menandingi tenaga sin-kangnya, dia menjadi penasaran sekali. Dia harus mampu membunuh pemuda ini, apalagi disaksikan oleh Pak-te-ong, datuk utara yang dahulu pernah menjadi rekannya karena mereka memiliki kedudukan setingkat. Keduanya di akui sebagai datuk besar di dunia hitam.

“Orang muda, tidak biasa aku membunuh orang tanpa nama. Karena itu, beritahukan namamu agar engkau tidak akan mati tanpa nama...!“ kata See-thian-mo dan tangan kanannya sudah mengeluarkan seuntai tasbih dari balik bajunya. Tasbih ini luar biasa, bijinya hitam dan besar-besar, sebesar ibu jari kaki, ketika berada di tangannya bergerak sedikit saja tasbih itu mengeluarkan suara trak-trik nyaring sekali!

Han Sin mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata dengan suara lembut, “Lo-cian-pwe, namaku adalah Cian Han Sin, akan tetapi aku tidak mempunyai permusuhan apapun denganmu. Karena itu akupun tidak ingin bertanding denganmu...“

"Trakk-traakk-trikkkk...!”

See-thian-mo menggerak-gerakkan tasbihnya dan berkata, “Engkau tidak ingin bertanding masa bodoh, akan tetapi aku harus membunuhmu karena engkau telah berani menantangku, Cian Han Sin! Bersiaplah untuk menerima kematianmu...!”

Ma Goat sudah melangkah ke depan dan sambil bertolak pinggang ia membentak, “See-thian-mo kakek tidak tahu malu! Cian Han Sin tidak bersalah! Adalah dua orang pengikut mu yang mengeroyokku dan melihat aku di keroyok, Cian Han Sin turun tangan membantuku. Kalau engkau memang gagah, hayo lawanlah aku sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa, jangan mengganggu Cian Han Sin yang tidak bersalah!”

Ma Goat menuding-nudingkan sulingnya kearah muka kakek gendut pendek itu yang menjadi serba salah. Mukanya berubah merah sekali. Belum pernah dia di hina orang seperti itu, apalagi penghinanya hanya seorang gadis muda. Dua orang pengikutnya tadi adalah murid-muridnya dan mereka sudah memandang ke arah Ma Goat dengan sikap mengancam.

“Goat-ji (Anak Goat), jangan kurang ajar kau! See-thian-mo, lupakan saja sikap dan kata-kata anakku, ia memang manja dan keras kepala...!“ kata Pa-te-ong yang merasa tidak enak dengan sikap anaknya itu.

“Aih, ayah…!“ Ma Goat memmrotes ayahnya.

“Diam kau!“ Pak-te-ong membentak marah dan Ma Goat bersungut-sungut sambil membanting-banting kakinya, hampir menangis.

Han Sin dapat menduga bahwa kakek yang berjuluk see-thian-mo ini tentu lihai sekali, apalagi senjatanya berupa tasbih itu. Maka diapun tersenyum mengejek dan berkata, “seorang seperti lo-cian-pwe seharusnya malu menghadapi aku seorang pemuda yang bertangan kosong menggunakan senjata! Akan tetapi kalau lo-cian-pwe memang seorang datuk yang tidak tahu malu, silahkan maju. Aku tidak takut melawanmu, biarpun aku tidak suka bermusuhan denganmu tanpa sebab...“

Mendengar ucapan pemuda itu, tentu saja see-t mhian-mo merasa malu dan mukanya berubah merah, matanya yang besar itu melotot. Di depan orang banyak dia seperti mendapat tantangan. “Ha-ha-ha, Cian Han Sin, kematianmu sudah di depan mata dan engkau masih berani membuka mulut besar. Untuk membunuhmu tidak perlu aku mengeluarkan senjataku...!”

Dia lalu menyimpan kembali tasbih ke dalam saku bajunya, kemudian dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya maju menerjang Han Sin dengan pukulan kedua tangannya.

“Haaiiitttt…!” Tangan kiri itu menyambar ke arah dada Han Sin, sedangkan tangan kanannya menyambar kearah perut. Kedua tangan terbuka jari-jarinya. Angin yang dingin menyambar kearah tubuh Han Sin. Akan tetapi pemuda ini yang sudah dapat menduga bahwa lawannya berbahaya sekali, cepat menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak lalu dari samping dia membalas serangan lawan dengan tamparan tangan kanan. Akan tetapi dengan mudah See-thian-mo menangkis tamparan ini dan menyerang lagi dengan dahsyatnya.

Mula-mula Han Sin memainkan Lo-hai-kun, diselingi dengan Hek-liong-kun. Karena dia tidak berniat untuk melukai lawannya, maka dia menggunakan kedua ilmu silat ini hanya untuk membela diri. Akan tetapi tidak demikian sengan See-thian-mo. Setiap serangannya di tujukan untuk membunuh lawan. Dia akan merasa malu sekali kalau tidak dapat merobohkan pemuda itu dengan tangan kosong, maka serangannya semakin dahsyat dan hawa dingin yang keluar dari keluar pukulannya semakin terasa.

Semua orang menonton pertandingan itu dengan hati kagum. Juga Ma Goat memandang dengan hati kagum bukan main. Dalam pertemuannya yang pertama dengan Han Sin, hatinya memang sudah tertarik oleh sikap dan pembawaan Han Sin yang lain daripada pemuda-pemuda lain yang pernah di jumpainya. Dan sekarang, ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang demikian lihainya sehingga mampu menandingi kakek itu. Timbul perasaan kagum dan sayang dalam hatinya yang biasanya sekeras batu dan belum pernah merasa tertarik kepada pria.

Pak-te-ong juga terkejut bukan main. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian See-thian-mo seimbang dengan tingkatannya, akan tetapi pemuda itu ternyata mampu mengimbangi Datuk barat itu. Dia mengingat-ingat siapa adanya pemuda yang lihai itu. Diingatnya siapa saja di antara orang-orang yang pernah dilawannya, yang memiliki kepandaian tinggi dan masih demikian muda. Tiba-tiba dia teringat ketika dia mengejar pengemis muda itu, dia dihadang seorang pemuda yang lihai sekali. Setelah bentrok beberapa jurus pemuda itu lalu melarikan diri. Inilah pemuda itu! Tidak salah lagi.

“Keparat, engkaulah pemuda itu! mampuslah di tanganku!” Dia membentak dan dia lalu meloncat ke depan lalu menyerang Han Sin dengan pukulan mautnya.

Han Sin terkejut dan cepat mengelak ke samping. Akan tetapi See-thian-mo menyambutnya dengan pukulan dahsyat sehingga terpaksa dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali.

“Ayah, mengapa melakukan pengeroyokan...?” Ma Goat memprotes ayahnya.

“Diam kau! Pemuda ini adalah musuhku!” jawab Pak-te-ong yang cepat menyerang lagi.

Han Sin menjadi repot dan terdesak. kalau dua orang datuk itu maju mengeroyoknya. Terpaksa dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Bu-tek-cin-keng. Pak-te-ong memiliki ilmu pukulan ampuh yang di sebut Tian-ciang (Tangan Halilintar) yang mengandung hawa panas bagaikan halilintar menyambar. Sedangkan See-thian-mo memiliki ilmu pukulan yang tidak kalah hebatnya, yaitu Swat-ciang (Tangan salju) yang mengandung hawa dingin membeku.

Karena penasaran belum juga dapat merobohkan pemuda yang mereka keroyok itu, pada suatu saat Pa-te-ong dan see-thian-mo melakukan penyerangan dari kanan kiri. Mereka mengeluarkan ilmu simpanan mereka itu dan memukul dengan dorongan tangan kanan. Angin dingin sekali menyambar dari pukulan See-thian-mo sedangkan dari tangan Pak-te-ong menyambar hawa panas...

Pedang Naga Hitam Jilid 25

AKAN tetapi, hidup di samping ayahnya, di antara para pembantu dan anak buah ayahnya yang terdiri dari orang-orang kasar, Ma Goat merasa jemu dan ia seringkali meninggalkan rumah ayahnya dan pergi merantau di sekitar daerah lembah.

Pada suatu pagi yang sejuk dan cerah, terdengar suara suling melengking-lengking naik turun dalam irama yang indah sekali. Suara suling ini datang dari tepi sungai. Lengkingannya yang nyaring itu terbawa angin sampai jauh. Akan tetapi, suara suling yang amat merdu dan sepantasnya di dengar dengan hati kagum, ternyata membuat orang-orang di sekitar tempat itu ketakutan.

Mereka yang sedang melakukan perjalanan di tepi sungai, segera mengambil jalan memutar tidak berani lewat di tempat dari mana suara suling itu datang. Bahkan perahu-perahu yang tadinya meluncur di pinggir sungai, segera di dayung ke tengah, menjauhi pantai. Di antara mereka, ada yang berbisik ketakutan, “Suling maut…!”

Ada sebuah perahu kecil ditumpangi tiga orang laki-laki tidak menjauhi pantai, bahkan merapat. Agaknya penumpang perahu itu tidak pernah mendengar tentang Suling maut dan mereka tertarik sekali oleh suara suling yang amat merdu itu. Ketika mereka mendekatkan perahu ke tepi, tiga orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu terkagum-kagum melihat seorang gadis duduk di atas batu besar yang menonjol ke sungai.

Gadis itu mengenakan pakaian berwarna merah muda dan rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan terurai ke belakang punggungnya. Gadis itu cantik bukan main dan ia sedang meniup sebatang suling hitam mengkilap.

Tiga orang laki-laki itu terpesona. Gadis cantik meniup suling demikian indahnya . Bagaikan seorang bidadari saja. Tiga orang itu menahan perahu dengan dayungnya dan mereka memandang kea rah gadis itu sambil tersenyum-senyum kagum.

“Nona, tiupan sulingmu demikian indah merdu, wajahmu demikian cantik, apakah engkau seorang bidadari dari surga?” Tanya seorang.

“Nona manis, bagaimana kalau engkau ikut dengan kami di perahu ini dan memainkan sulingmu di sini?” tanya yang kedua.

“Jangan khawatir, nona manis. Kami adalah tiga orang yang kaya dan kami akan memberi hadiah yang besar kepadamu!” kata orang ketiga.

Gadis itu adalah Ma Goat. Sepasang matanya berkilat memandang kepada tiga orang itu ketika memandang ucapan mereka. Jarak dari batu dimana ia duduk dan perahu itu kurang lebih sepuluh meter. Tiupan sulingnya berhenti perlahan-lahan, kemudian ia meniup sulingnya yang diarahkan kepada tiga orang di atas perahu itu. Kelihatan sinar lembut meluncur dari sulingnya dan terdengar tiga orang laki-laki itu memekik sekali lalu tubuh mereka roboh.

Dua orang terjungkal keluar dari perahu dan yang seorang roboh di atas perahu itu dapat di lihat betapa wajahnya berubah menghitam dan dia tewas seketika! Perahu itupun terbawa arus sungai, hanyut malang melintang tanpa kemudi.

Ma Goat tidak peduli lagi dan terdengar pula lengking sulingnya yang tadi terhenti sejenak. Baginya seolah tidak pernah ada apa-apa padahal baru saja ia membunuh tiga orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak berdosa. Akan tetapi baginya, tiga orang itu telah bersalah, yaitu mengganggunya dengan ucapan yang di anggapnya kurang ajar dan menghinanya.

Sebuah perahu kecil lewat. Perahu itu di tumpangi seorang pemuda yang berpakaian sederhana. Pemuda itupun mendengar lengking suara suling dan dia tertarik dengan hati kagum. Di dayungnya perahunya ke tepi dan tibalah perahunya di dekat batu besar dimana gadis itu duduk meniup sulingnya.

Pemuda itu adalah Cian Han Sin yang sedang melakukan perjalanan pulang ke selatan. Han Sin memang suka akan kesenian. Biarpun dia sendiri tidak pandai meniup suling, akan tetapi dia dapat menikmati bunyi musik yang merdu dan tiupan suling itu luar biasa sekali. Bukan hanya merdu dan indah, akan tetapi juga mengandung getaran yang membuat dia tertegun.

Peniup suling seperti itu bukan orang biasa, pikirnya. Dari suara tiupannya jelas menunjukkan bahwa peniupnya memiliki tenaga khi-kang yang amat kuat. Dan diapun semakin terheran melihat bahwa peniupnya seorang gadis muda yang cantik sekali.

Ma Goat juga melihat perahu yang menghampiri tempat ia duduk itu. Dan ia melihat seorang pemuda yang gagah dan tampan. Dahinya lebar, alisnya berbentuk golok dan matanya yang bersinar lembut itu mengandung kekuatan tersembunyi. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum ramah, dagunya berlekuk membayangkan kejantanan dan kulit muka dan lehernya putih, pakaiannya sederhana, namun bersih.

Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi ia ingin melihat bagaimana sikap pemuda itu. Kalau ternyata hanya seorang pemuda ceriwis kurang ajar dan mata keranjang, ia tidak segan untuk membunuhnya. Maka iapun menyudahi tiupan sulingnya dan pura-pura tidak melihat pemuda itu.

“Alangkah indah tiupan sulingmu, nona. Sungguh aku merasa kagum sekali. Akan tetapi sayang…“ Han Sin menahan ucapannya.

Ma Goat merasa heran bahwa ia tidak marah mendengar ucapan itu. Bahkan ia merasa girang, akan tetapi juga penasaran karena kalimat yang memuji dengan sopan itu disambung kata-kata yang meragukan. Pemuda itu memuji tiupan sulingnya, sama sekali tidak menyinggung kecantikannya seperti para pria lain yang memujinya.

Ia menoleh dan kini memandang Han Sin penuh perhatian. Seorang pemuda sederhana, mungkin seorang pemuda dari selatan yang miskin. Akan tetapi wajahnya tampan menarik dan sinar matanya itu demikian lembut dan kuat.

“Akan tetapi apanya yang sayang…?” Ma Goat bertanya dengan suara mendesak.

Han Sin merasa bahwa dia telah kelepasan bicara. Mengapa dia menjadi lancang dan usil? Terpaksa dia harus memberi penjelasan atau gadis itu tentu akan tersinggung dan marah. “Maaf, nona. Aku tadi mengatakan sayang, karena lagu yang kau mainkan dengan suling itu mengandung kedukaan yang menyayat hati, seperti orang yang sudah kehilangan semangat hidup. Sungguh tidak sesuai dimainkan oleh seorang gadis muda seperti nona yang sepatutnya memiliki semangat hidup yang besar...“

Ma Goat tertarik sekali. Pemuda ini ternyata bukan ngawur belaka, melainkan agaknya memiliki pengetahuan tentang lagu dan sifatnya. memang tadi ia memainkan lagu 'Hancurnya sebuah hati'. Ratap tangis seorang gadis yatim piatu yang merindukan kekasih yang meninggalkannya.

“Seorang peniup suling haruslah pandai memainkan lagu apa saja. Apa kau kira aku hanya dapat memainkan lagu sedih saja? Dengarkan yang ini!”

Ma Goat lalu meniup lagi sulingnya dan sekali ini, sebuah lagu merdu yang gembira penuh semangat melengking dari sulingnya. Dan sekali lagi Han Sin terpesona. Bukan main gadis ini. Benar-benar mahir dan telah menguasai kesenian itu. Kesedihan yang tadi tidak berbekas lagi dan kini suara suling itu membayangkan gadis-gadis sedang menari-nari dan bersenda gurau dengan dengan penuh kegembiraan.

Atau lebih tepat lagi, karena ada pula suara seperti air mengucur, seakan-akan ada beberapa orang bidadari sedang bermain-main dan mandi di telaga sambil tertawa-tawa gembira. Setelah Ma Goat menyelesaikan lagu yang gembira dan bersemangat itu, Han Sin kembali merasa kagum. Dia bangkit berdiri di perahunya dan merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat.

“Bukan main! Aku harus mengakui bahwa selamanya belum pernah aku mendengar tiupan suling sedemikian indahnya seperti yang nona mainkan...“

Ma Goat tersenyum manis, sikap dan ucapan pemuda ini menggembirakan hatinya. Pujian itu demikian jujur dan tulus, sama sekali tidak ada sifat menjilat seperti pujian para pria yang pernah di dengarnya.

“Apa yang kau tangkap dalam lagu tadi...?“ Tanyanya sambil tersenyum.

“Lagu yang amat menggembirakan. Mendengar tiupan suling tadi, aku melihat beberapa orang bidadari sedang bersenda gurau dan aku mendengar berpercik dan mancurnya air seolah para bidadari sedang bersenda gurau. Matahari pagi dengan cerahnya menghidupkan segala sesuatu, terdengar kicauan burung-burung diantara ranting dan dahan pohon yang penuh daun menghijau dan di hias bunga beraneka warna yang semerbak mengharum…“

Sekarang Ma Goat yang memandang kagum. “Sobat, engkau seorang seniman...!” serunya.

“Ah, aku hanya seorang kelana yang bodoh, nona...“

“Akan tetapi penilaianmu terhadap lagu-laguku tepat sekali. Memang tadi aku memainkan 'Tujuh bidadari di Telaga Barat'. Begitu mendengar lagu itu, engkau sudah dapat menebaknya dengan tepat! Ma Goat merasa gembira sekali sehingga ia melompat turun dari atas perahu dan setelah gadis itu berdiri, Han Sin melihat betapa gadis itu tidak hanya memiliki wajah cantik saja, juga ia memiliki bentuk tubuh yang ramping padat menggairahkan.

“Bukan aku pandai menebak, nona. Akan tetapi adalah suara sulingmu yang menggambarkan keadaan sedemikian jelasnya...“

“Sobat, siapakah namamu, dan darimana engkau datang dan apa yang membawamu ke tempat ini...?“

Han Sin tersenyum. Gadis itu menghujamkan pertanyaan kepadanya. “Nona, namaku Cian Han Sin, aku datang dari selatan dan yang membawaku sampai ke sini adalah keinginan untuk meluaskan pengalaman...“

Pada saat itu, dua orang laki-laki datang berlarian dan melihat mereka, Ma Goat cepat menegur.

“Heiii, kalian berlarian seperti di kejar setan! Ada apakah?”

Dua orang laki-laki setengah tua itu begitu melihat siapa yang menegur mereka, segera memberi hormat sambil membungkuk dalam.

“Celaka, nona. Ada seorang kakek memaksa hendak bertemu dengan ketua. ketika kami mencegahnya, dua orang pengikutnya mengamuk dan kami yang belasan orang jumlahnya tidak mampu menandingi mereka yang lihai sekali. Teman-teman kini masih berusaha untuk melawan mereka…“

“Hemmm, dimana mereka?“ Tanya Ma Goat.

“Di Lereng bukit, nona...“

“Cepat melapor kepada ayah, biar aku yang menghajar mereka! kata Ma Goat dan setelah kedua orang anak buahnya itu berlari pergi, Ma Goat menoleh kepada Han Sin yang masih berdiri di atas perahunya.

“Namaku Ma Goat dan aku senang sekali bertemu dan berkenalan denganmu, Cian Han Sin. Selamat tinggal...!“ Ma Goat lalu berkelebat dan melompat jauh, berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Han Sin tertegun. Bukan main, gadis itu selain cantik jelita, pandai meniup suling, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi gadis itu pergi untuk menemui lawan yang tangguh. Dia menjadi tertarik, juga khawatir kalau-kalau gadis yang serba bisa itu akan terancam bahaya, maka diapun menambatkan perahunya pada akar pohon, kemudian dia meloncat ke daratan dan cepat berlari menuju kearah bukit di depan.

Ma Goat berlari cepat dan sebentar saja tibalah ia di lereng Kui-san dan ia melihat belasan orang anak buah ayahnya mengeroyok dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang lihai sekali. Seorang kakek berusia enam puluhan tahun duduk bersila di atas batu sambil menonton perkelahian itu. Dua orang yang di keroyok itu bertangan kosong, sedangkan belasan orang anak buah Te-kwi-pai semua bersenjata pedang atau golok.

Akan tetapi mereka itu seperti sekelompok semut melawan dua ekor jangkrik saja. Mereka menyerang, akan tetapi ternyata dua orang itu agaknya memang tidak ingin membunuh sehingga para pengeroyok itu tidak mengalami luka-luka berat dan mereka segera bangkit lagi.

Melihat ini, Ma Goat segera melompat ke dalam pertempuran dan membentak, “kalian semua mundurlah! biar aku menghadapi dua ekor tikus ini...!“

Mendengar suara nona mereka, para anggota Te-kwi-pai menjadi girang dan mereka segera berlompatan kebelakang. Kini Ma Goat berdiri tegak di depan dua orang itu memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi ia sama sekali tidak mengenal mereka, maka ia menjadi marah sekali. Ia tidak perlu bertanya lagi karena tadi sudah dapat keterangan cukup jelas.

Dua orang ini bersama kakek itu hendak naik ke puncak untuk mencari ayahnya. Menurut peraturan, tak seorangpun orang boleh naik ke puncak maka anak buah ayahnya melarang dan terjadi pertempuran. Setelah memandang dengan sinar mata tajam dan bersinar kemarahan. Ma Goat lalu membentak,

“Dua ekor tikus darimana berani membikin kacau tempat kami...!“ dan ia sudah menerjang dengan hebatnya, menggunakan sulingnya menyerang kepada dua orang itu. Serangannya cepat bukan main dan suling itu menyambar bagaikan sebatang pedang. Sinar hitam menyambar kearah leher kedua orang itu.

Akan tetapi dua orang itu bukan orang-orang lemah. Melihat sinar hitam menyambar dahsyat, mereka sudah mengelak dengan loncatan yang ringan kebelakang. Akan tetapi suling di tangan Ma Goat mengejar dan menyerang lagi dengan dahsyat. Dua orang itu terkejut dan sambil mengelak lagi, tangan mereka bergerak ke punggung dan mereka telah mencabut senjata mereka, yaitu masing-masing memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

Ma Goat tidak menjadi jerih, bahkan semakin marah karena dua kali serangannya dapat di elakkan lawan. Ia membawa suling ke depan bibirnya dan dua kali meniup. Sinar hitam meluncur cepat kearah dua orang itu. Akan tetapi mereka agaknya sudah waspada. Mereka menggerakkan pedang menangkis dan jarum-jarum halus yang di lepas melalui tiupan suling itupun runtuh ke atas tanah.

Ma Goat menjadi marah sekali. Tubuhnya menerjang ke depan, sulingnya bergerak menjadi gulungan sinar hitam menyerang kearah dua orang lawannya. Akan tetapi dua orang itu menyambut dengan pedang mereka dan terjadilah pertandingan yang amat seru.

Ternyata dua orang yang memegang pedang itu lihai bukan main. Biarpun permainan suling Ma Goat amat berbahaya, namun mereka dapat menahan serangan itu bahkan membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah hebatnya. Dan perlahan-lahan Ma Goat terdesak oleh dua batang pedang itu, dan akhirnya ia hanya mampu memutar suling untuk melindungi hanya mampu memutar suling untuk melindungi dirinya tanpa membalas!

Cerita silat serial sepasang naga lembah iblis episode pedang naga hitam jilid 25 karya kho ping hoo

Sejak tadi Han Sin mengintai dan kini melihat betapa gadis itu terdesak dan terancam bahaya, dia tidak tinggal diam lagi. “Dua orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda, sungguh tidak tahu malu...!“ bentak Han Sin dan dia sudah menerjang ke dalam pertempuran itu. Biarpun dia bertangan kosong, akan tetapi karena dia mengerahkan sin-kangnya, begitu kedua tangannya mendorong, dua orang pengeroyok itu terhuyung-huyung ke belakang seperti di sambar angin yang amat kuat. Hampir saja kedua orang ini terpelanting roboh.

Dua orang itu terkejut akan tetapi juga marah sekali. Mereka adalah dua orang yang telah memiliki ilmu silat yang tinggi, maka tidak mungkin mereka dapat di buat terhuyung dan hamper terpelanting seperti itu. Keduanya sudah melompat bangun lagi, akan tetapi Ma Goat yang juga terkejut akan tetapi girang sekali melihat pemuda dalam perahu yang baru saja di kenalnya dat ang membantu, segera menerjang kearah seorang di antara mereka.

Sulingnya menyambar-nyambar dan orang itu segera menangkis dengan pedangnya. Segera kedua orang itu sudah terlibat dalam pert andingan yang hebat. Orang kedua juga penasaran, akan tetapi sebelum dia dapat membantu temannya mengeroyok gadis itu, Han Sin sudah melompat ke depan orang itu.

Melihat pemuda yang datang membantu gadis itu dan tadi hampir saja merobohkannya, orang kedua yang berkumis penjang itu menjadi marah dan dia segera menyerang Han Sin dengan pedangnya. Serangannya cepat dan bertenaga, akan tetapi Han Sin mudah saja mengelak sambil mundur. Lawannya mendesak dan sekali Han Sin menggerakkan kedua tangannya, tangan kanan sudah menotok kearah siku kanan orang itu dan tangan kirinya menyambar.

Di lain saat, pedang itu telah dapat di rampas dari tangan pemiliknya. Orang itu terbelalak dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, Han Sin tersenyum, tidak membalas serangannya tadi melainkan menekuk pedang itu dengan kedua tangannya.

“Krekk!” Pedang itu patah menjadi dua potong dan Han Sin melemparkannya ke atas tanah. Melihat ini, si kumis panjang itu melangkah mundur dan menjadi jerih.

Sementara itu, setelah kini hanya menghadapi seorang lawan, Ma Goat mengamuk dan dapat mendesak lawannya dengan sulingnya. Ia memang masih menang setingkat kalau melawan satu orang saja dan lawannya kini hanya mampu menangkis dengan pedangnya. Ma Goat menyerang dengan ganas sekali. Ketika sulingnya menyambar dahsyat kearah kepala lawan, lawannya itu menggerakkan pedang ke atas untuk menangkis.

“Traangg…!“ Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu dan suling itu terpental ke bawah terus menyerang dada. Lawannya menurunkan pedang untuk menangkis, akan tetapi mendadak suling tidak jadi menyerang pedang melainkan menyambut lengan lawan dengan menghantam ke arah siku.

“Dukkk…!“ siku itu terkena hantaman suling menjadi lumpuh seketika dan pedangnya terlepas dari pegangan. Biarpun lawan sudah tidak berdaya, Ma Goat menyerang terus dengan sulingnya secara bertubi-tubi. Lawannya menjadi gugup, berloncatan ke belakang dan hanya mampu mengelak ke kanan kiri, Ma Goat tidak memberi kesempatan lagi, terus mendesak dengan pukulan-pukulan maut. Suling yang menyambar-nyambar cepat itu, sekali saja mengenai kepala tentu akan menamatkan hidup orang itu.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan lawan Ma Goat itu, tiba-tiba kakek yang sejak tadi hanya duduk bersila dan menonton pertandingan menggerakkan tubuhnya dan tubuh yang tadi bersila itu telah melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan meluncur turun ke arah Ma Goat yang sedang mendesak lawannya.

Pada saat itu, Ma Goat sudah berhasil menyapu kaki lawannya dengan kakinya sehingga lawannya terpelanting jatuh dan ia sudah menggerakkan sulingnya yang menyambar kearah kepala lawan. Akan tetapi suling itu tertahan di udara oleh tangan kakek yang melayang di atasnya. Ma Goat terkejut sekali dan melangkah ke belakang. Kakek itu pun meloncat turun di depannya.

Begitu memandang bahwa yang menahan serangannya tadi seorang kakek yang tadi duduk bersila, Ma Goat menjadi marah. Ia maklum bahwa kakek itu yang mendatangkan kekacauan bersama dua orang pengikutnya, maka tanpa banyak cakap lagi iapun menggerakkan sulingnya, menusuk dengan totokan kearah dada kakek itu.

“Ha-ha-ha, engkau ganas sekali...!“ kakek itu tertawa dan tidak mengelak, melainkan mengangkat tangan kirinya ke depan dada sehingga suling itu mengenai telapak tangannya.

“Tukkk!” Ma Goat terkejut merasakan betapa totokannya mengenai daging lunak. Akan tetapi ketika ia menarik sulingnya, ia tidak mampu melakukan itu karena sulingnya seperti telah melekat pada telapak tangan lawan. Selagi ia mengerahkan tenaga untuk menarik lepas sulingnya, kakek itu lalu mendorongkan tangannya ke depan sambil membentak dan seperti sehelai daun kering di terbangkan angin, tubuh Ma Goat terlempar ke belakang!

Tenaga dorongan itu kuat bukan main dan membuat Ma Goat merasa kehilangan tenaganya. Ia tentu akan roboh terpelanting kalau saat itu tidak ada orang yang menolongnya. Han Sin sudah cepat berkelebat dan menerima tubuh yang telentang itu ke atas kedua lengannya, kemudian menurunkannya dengan lunak, sehingga Ma Goat tidak terbanting.

Gadis itu berkilat matanya dan tentu ia akan marah sekali, mungkin akan membunuh orang yang berani menyentuh tubuhnya, bahkan memondongnya. Akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menolongnya adalah Han Sin, ia tidak marah, dan tersenyum dengan muka berubah kemerahan.

“Terima kasih atas bantuanmu...!“ katanya singkat kepada Han Sin.

Pada saat itu muncul Pak-te-ong Ma Giok. Pemunculannya membuat dua orang pengikut kakek tadi terkejut sekali. Bagaikan pandai menghilang saja Pak-tek-ong tahu-tahu berdiri di situ dengan tongkat kepala naga di tangan kanan, tubuhnya tinggi besar, kepalanya botak dan jubahnya dari kulit biruang, pakaiannya terbuat dari sutera halus.

“Siapa berani naik ke Kwi-san membikin kacau?” suaranya tenang namun mengandung wibawa.

Melihat ayahnya, Ma Goat segera berlari menghampiri dan memegang lengan ayahnya. “Ayah…!” katanya manja. “Tiga orang itulah yang menjadi pengacau, harap ayah sendiri turun tangan memberi hajaran...!”

Dua orang kakek itu kini sudah berdiri saling berhadapan. Pak-te-ong memandang penuh perhatian. Kakek itu usianya sebaya dengan dia, pakaiannya hanya merupakan kain yang di belit-belitkan tubuhnya yang pendek gendut, rambutnya yang hitam panjang di kuncir ke belakang dan selebihnya dibiarkan awut-awutan. Mukanya bundar dengan sepasang mata yang lebar, hidungnya pesek dan mulutnya juga lebar, akan tetapi yang menonjol adalah sepasang telinganya yang seperti telinga gajah.

“Hemmm, kiranya See-thian-mo (Iblis dunia barat) yang berani main-main di sini!” kata Pak-te-ong sambil tersenyum dan dia tidak kelihatan marah.

“Ha-ha-ha!” kakek pendek gendut itu tertawa gembira. “Pa-te-ong, lama tidak berjumpa dan sekali bertemu, engkau telah menjadi tokoh besar, bahkan mendirikan Te-kwi-pai di Kwi-san. Jadi nona ini puterimu? Ha-ha-ha dulu ia masih ingusan, sekarang telah menjadi gadis yang cantik dan ilmunya itu boleh juga walaupun muridmu yang satu itu benar-benar mengejutkan dan mengagumkan hatiku!” Dia menuding kearah Han Sin.

Pak-te-ong menoleh dan memandang kearah yang di tunjuk oleh kakek yang berjuluk See-thian-mo itu. Han Sin juga memandang kepada Pak-te-ong dengan hati berdebar. Kiranya kakek ini ayah dari ma Goat? Dia masih ingat benar, kakek ini adalah orang yang pernah mengejar Cu Sian di dalam hutan dan dia pernah menghadangnya untuk memberi kesempatan kepada Cu Sian melarikan diri. Dia pernah bertanding beberapa jurus dengan kakek ini sebelum dia melarikan diri setelah Cu Sian dapat meloloskan diri.

“See-thian-mo, dia bukan muridku!” Pak-te-ong berseru akan tetapi alisnya berkerut karena dia merasa pernah melihat pemuda itu, akan tetapi dimana.

“Bagus! Kalau begitu aku boleh membunuhnya!” kata See-thian-mo dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah melompat ke depan Han Sin dan menyerang dengan dorongan telapak tangan kanannya kearah dada pemuda itu.

“Wuutttt… plaakkk…!“

Han Sin menangkis dari samping dengan tangan kirinya dan See-thian-mo mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa ada kekuatan dahsyat yang membuat tubuhnya terpental. Juga Han Sin merasa betapa kuatnya pukulan itu, mengandung tenaga yang berhawa dingin. See-thian-mo menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh besar dunia kang-ouw bagian barat. Setelah dia dikeluarkan dari kalangan para pendeta lama, dia lalu malang melintang di dunia kang-ouw dan mendapat julukan See-thian-mo.

Baru ketika pasukan Sui melakukan serangan dan pembersihan di daerah barat, terpaksa dia menyembunyikan diri. Kini, berhadapan dengan seorang pemuda yang mampu menandingi tenaga sin-kangnya, dia menjadi penasaran sekali. Dia harus mampu membunuh pemuda ini, apalagi disaksikan oleh Pak-te-ong, datuk utara yang dahulu pernah menjadi rekannya karena mereka memiliki kedudukan setingkat. Keduanya di akui sebagai datuk besar di dunia hitam.

“Orang muda, tidak biasa aku membunuh orang tanpa nama. Karena itu, beritahukan namamu agar engkau tidak akan mati tanpa nama...!“ kata See-thian-mo dan tangan kanannya sudah mengeluarkan seuntai tasbih dari balik bajunya. Tasbih ini luar biasa, bijinya hitam dan besar-besar, sebesar ibu jari kaki, ketika berada di tangannya bergerak sedikit saja tasbih itu mengeluarkan suara trak-trik nyaring sekali!

Han Sin mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata dengan suara lembut, “Lo-cian-pwe, namaku adalah Cian Han Sin, akan tetapi aku tidak mempunyai permusuhan apapun denganmu. Karena itu akupun tidak ingin bertanding denganmu...“

"Trakk-traakk-trikkkk...!”

See-thian-mo menggerak-gerakkan tasbihnya dan berkata, “Engkau tidak ingin bertanding masa bodoh, akan tetapi aku harus membunuhmu karena engkau telah berani menantangku, Cian Han Sin! Bersiaplah untuk menerima kematianmu...!”

Ma Goat sudah melangkah ke depan dan sambil bertolak pinggang ia membentak, “See-thian-mo kakek tidak tahu malu! Cian Han Sin tidak bersalah! Adalah dua orang pengikut mu yang mengeroyokku dan melihat aku di keroyok, Cian Han Sin turun tangan membantuku. Kalau engkau memang gagah, hayo lawanlah aku sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa, jangan mengganggu Cian Han Sin yang tidak bersalah!”

Ma Goat menuding-nudingkan sulingnya kearah muka kakek gendut pendek itu yang menjadi serba salah. Mukanya berubah merah sekali. Belum pernah dia di hina orang seperti itu, apalagi penghinanya hanya seorang gadis muda. Dua orang pengikutnya tadi adalah murid-muridnya dan mereka sudah memandang ke arah Ma Goat dengan sikap mengancam.

“Goat-ji (Anak Goat), jangan kurang ajar kau! See-thian-mo, lupakan saja sikap dan kata-kata anakku, ia memang manja dan keras kepala...!“ kata Pa-te-ong yang merasa tidak enak dengan sikap anaknya itu.

“Aih, ayah…!“ Ma Goat memmrotes ayahnya.

“Diam kau!“ Pak-te-ong membentak marah dan Ma Goat bersungut-sungut sambil membanting-banting kakinya, hampir menangis.

Han Sin dapat menduga bahwa kakek yang berjuluk see-thian-mo ini tentu lihai sekali, apalagi senjatanya berupa tasbih itu. Maka diapun tersenyum mengejek dan berkata, “seorang seperti lo-cian-pwe seharusnya malu menghadapi aku seorang pemuda yang bertangan kosong menggunakan senjata! Akan tetapi kalau lo-cian-pwe memang seorang datuk yang tidak tahu malu, silahkan maju. Aku tidak takut melawanmu, biarpun aku tidak suka bermusuhan denganmu tanpa sebab...“

Mendengar ucapan pemuda itu, tentu saja see-t mhian-mo merasa malu dan mukanya berubah merah, matanya yang besar itu melotot. Di depan orang banyak dia seperti mendapat tantangan. “Ha-ha-ha, Cian Han Sin, kematianmu sudah di depan mata dan engkau masih berani membuka mulut besar. Untuk membunuhmu tidak perlu aku mengeluarkan senjataku...!”

Dia lalu menyimpan kembali tasbih ke dalam saku bajunya, kemudian dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya maju menerjang Han Sin dengan pukulan kedua tangannya.

“Haaiiitttt…!” Tangan kiri itu menyambar ke arah dada Han Sin, sedangkan tangan kanannya menyambar kearah perut. Kedua tangan terbuka jari-jarinya. Angin yang dingin menyambar kearah tubuh Han Sin. Akan tetapi pemuda ini yang sudah dapat menduga bahwa lawannya berbahaya sekali, cepat menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak lalu dari samping dia membalas serangan lawan dengan tamparan tangan kanan. Akan tetapi dengan mudah See-thian-mo menangkis tamparan ini dan menyerang lagi dengan dahsyatnya.

Mula-mula Han Sin memainkan Lo-hai-kun, diselingi dengan Hek-liong-kun. Karena dia tidak berniat untuk melukai lawannya, maka dia menggunakan kedua ilmu silat ini hanya untuk membela diri. Akan tetapi tidak demikian sengan See-thian-mo. Setiap serangannya di tujukan untuk membunuh lawan. Dia akan merasa malu sekali kalau tidak dapat merobohkan pemuda itu dengan tangan kosong, maka serangannya semakin dahsyat dan hawa dingin yang keluar dari keluar pukulannya semakin terasa.

Semua orang menonton pertandingan itu dengan hati kagum. Juga Ma Goat memandang dengan hati kagum bukan main. Dalam pertemuannya yang pertama dengan Han Sin, hatinya memang sudah tertarik oleh sikap dan pembawaan Han Sin yang lain daripada pemuda-pemuda lain yang pernah di jumpainya. Dan sekarang, ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang demikian lihainya sehingga mampu menandingi kakek itu. Timbul perasaan kagum dan sayang dalam hatinya yang biasanya sekeras batu dan belum pernah merasa tertarik kepada pria.

Pak-te-ong juga terkejut bukan main. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian See-thian-mo seimbang dengan tingkatannya, akan tetapi pemuda itu ternyata mampu mengimbangi Datuk barat itu. Dia mengingat-ingat siapa adanya pemuda yang lihai itu. Diingatnya siapa saja di antara orang-orang yang pernah dilawannya, yang memiliki kepandaian tinggi dan masih demikian muda. Tiba-tiba dia teringat ketika dia mengejar pengemis muda itu, dia dihadang seorang pemuda yang lihai sekali. Setelah bentrok beberapa jurus pemuda itu lalu melarikan diri. Inilah pemuda itu! Tidak salah lagi.

“Keparat, engkaulah pemuda itu! mampuslah di tanganku!” Dia membentak dan dia lalu meloncat ke depan lalu menyerang Han Sin dengan pukulan mautnya.

Han Sin terkejut dan cepat mengelak ke samping. Akan tetapi See-thian-mo menyambutnya dengan pukulan dahsyat sehingga terpaksa dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali.

“Ayah, mengapa melakukan pengeroyokan...?” Ma Goat memprotes ayahnya.

“Diam kau! Pemuda ini adalah musuhku!” jawab Pak-te-ong yang cepat menyerang lagi.

Han Sin menjadi repot dan terdesak. kalau dua orang datuk itu maju mengeroyoknya. Terpaksa dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Bu-tek-cin-keng. Pak-te-ong memiliki ilmu pukulan ampuh yang di sebut Tian-ciang (Tangan Halilintar) yang mengandung hawa panas bagaikan halilintar menyambar. Sedangkan See-thian-mo memiliki ilmu pukulan yang tidak kalah hebatnya, yaitu Swat-ciang (Tangan salju) yang mengandung hawa dingin membeku.

Karena penasaran belum juga dapat merobohkan pemuda yang mereka keroyok itu, pada suatu saat Pa-te-ong dan see-thian-mo melakukan penyerangan dari kanan kiri. Mereka mengeluarkan ilmu simpanan mereka itu dan memukul dengan dorongan tangan kanan. Angin dingin sekali menyambar dari pukulan See-thian-mo sedangkan dari tangan Pak-te-ong menyambar hawa panas...