Pedang Naga Hitam Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG NAGA HITAM JILID 24
Karya
Kho Ping Hoo
Cerita silat serial sepasang naga lembah iblis episode pedang naga hitam jilid 24 karya kho ping hoo

BIASANYA, kalau ada dua pemuda memperebutkan gadis dan saling menantang, kepala suku tidak menentang bahkan dengan gembira menganjurkan mereka untuk bertanding. Akan tetapi sekali ini, Tarsukai mengerutkan keningnya dan membentak,

”Camuka, lupakah engkau dengan siapa engkau berhadapan...? Pemuda yang menjadi pasangan Loana dalam pesta ini adalah Cu Sian, tamu kehormatan kita! Jangan bersikap kurang ajar terhadap tamu...!”

Akan tetapi Cu Sian sudah cepat menghampiri Tarsukai dan berkata sambil tersenyum. “Paman Tarsukai, jangan sungkan dan jangan khawatir, aku menerima tantangan pemuda itu...!“ Tanpa menanti jawaban, Cu Sian sudah meloncat dan tubuhnya melayang seperti seekor burung saja ke atas panggung dan tiba di depan Camuka.

Semua orang tertegun kagum. Belum pernah ada orang yang dapat melompat seperti terbang saja. Akan tetapi Camuka yang sudah penasaran dan marah itu tidak merasa gentar. Bagaimana dia dapat merasa takut berhadapan dengan pemuda kerempeng seperti itu. Sekali banting tentu tidak akan dapat bangun kembali, atau sekali terkam pemuda itu tentu tidak akan mempu berkutik lagi. Akan dia perlihatkan kepada semua orang, terutama sekali kepada Loana, betapa kuat dan gagah perkasanya dia!

Sambil tersenyum mengejek, Camuka segera menanggalkan bajunya bagian atas dan melemparkannya ke bawah panggung. Nampak dada bidang dan penuh otot melingkar-lingkar, sepasang lengan yang panjang dan kokoh kuat. Akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang tamu kehormatan, maka dia tidak berani bersikap kasar dan berkata dengan lantang.

“Sobat, tanggalkan bajumu agar kita dapat mulai bertanding...!”

Cu Sian tersenyum lebar dan bertolak pinggang, agaknya tubuh atas telanjang yang kokoh kuat itu tidak membuatnya khawatir sama sekali. “Menanggalkan baju? Untuk apa? Seperti hendak mandi saja! Tidak, aku tidak perlu menanggalkan bajuku, aku akan menghadapi dan melawanmu dengan pakaian lengkap. Engkau yang bernama Camuka, bukan...? Dengar, Camuka, kalau engkau dapat menagkap ujung bajuku ini saja, aku sudah mengaku kalah...!”

Semua orang terlongong mendengar ini. Alangkah bodohnya dan lancangnya pemuda itu. Bertanding gulat tanpa melepaskan bajunya sama dengan sudah kalah sebelum bertanding! Kalau bertelanjang baju, lawan tidak akan mudah menangkap. Akan tetapi kalau berbaju tentu itu mudah di tangkap sehingga memudahkan lawan untuk membantingnya. Apalagi menantang untuk di tangkap ujung bajunya dan akan mengaku kalah kalau bajunya sampai dapat di tangkap!

Camuka menjadi girang sekali. Sedikitnya, dia tadinya bersikap hati-hati karena diapun sudah mendengar bahwa pemuda ini lihai dan merupakan seorang pendekar dari selatan. Akan tetapi mendengar pemuda ini menantangnya dan akan mengaku kalah kalau ujung bajunya dapat di tangkap, tentu saja hal itu akan memudahkannya untuk mendapat kan kemenangan.

Sementara itu, Loana dan Hailun, sudah duduk lagi di dekat ayah mereka. Kedua orang gadis itu tidak saling menyapa, bahkan dari pandang mata mereka terdapat perasaan tidak senang, terutama sekali padang mata Hailun. Dan kini mereka melihat kearah panggung dimana pemuda yang kini menjadi perebutan di antara mereka itu telah siap untuk bertanding melawan Camuka. Dari tempat duduk mereka itu memang dapat menonton pertandingan dengan jelas dan tidak terhalang dan ini memang sudah di atur sebelumnya.

Han Sin yang masih merasa penasaran dan marah kepada sahabatnya, juga terpaksa tidak mencampuri dan hanya duduk menonton. Dalam hatinya dia memaki-maki karena di anggapnya Cu Sian mencari perkara saja. Akan tetapi sama sekali dia tidak mengkhawatirkan akan keselamatan Cu Sian karena dia maklum bahwa sahabatnya itu memiliki kepandaian yang cukup lihai untuk membela diri, dan dia dapat menduga bahwa Camuka hanya seorang pemuda yang memiliki tenaga otot besar saja.

Camuka kini memasang kuda-kuda, dengan kedua kaki di pentang lebar, kedua lutut di tekuk sehingga dia seperti setengah berjongkok, kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka siap mencengkram atau menangkap.

“Nah, sobat, aku telah siap! Apakah engkau sudah siap...?”

Cu Sian sejak tadi mengikuti gerak-gerik Camuka dengan pandang matanya. Dia berdiri santai seenaknya dan berkata sambil tersenyum memandang rendah. “Aku sudah siap sejak tadi! Mulailah...!”

Camuka mengeluarkan bentakan panjang melengking, kemudian tubuhnya sudah menerjang cepat sekali ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri untuk mencengkram lawan. Semua orang memandang dengan hati tegang karena mereka sudah akan tahu akan ketangkasan dan kekuatan Camuka. Akan tetapi, ternyata terkaman itu hanya mengenai tempat kosong!

Hampir tak dapat diikuti dengan mata, gerakan Cu Sian tadi yang sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi Camuka yang gagal serangannya itu sudah cepat mengejar dan menubruk lagi bagaikan seekor harimau menerkam domba. Sekali lagi Cu Sian mengelak, kini meloncat ke samping kiri tubuh Camuka.

Melihat bayangan lawan berkelebat ke sebelah kirinya, tangan kiri Camuka cepat menyambar bagaikan gerakan seekor ular untuk mencengkram apa saja, bagaikan baju atau badan lawan. Serangan ini cepat sekali bagaikan lanjutan dari terkamannya yang luput. Melihat tangan itu meluncur seperti ular, Cu Sian lalu menangkis dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga.

“Dukkk…!” Lengan Camuka terpental dan dia meringis karena merasa betapa tulang lengannya seolah bertemu dengan sepotong baja yang membuat dia kesakitan. Akan tetapi dia menggulingkan tubuhnya di atas panggung. Bagaikan seekor trenggiling tubuh itu menggelinding kearah Cu Sian dan setelah dekat, tubuh itu mencelat ke atas dan kedua tangannya sudah menyambar lagi dengan cepatnya, kini mencengkram kearah kedua kaki Cu Sian.

Tubuh Cu Sian tentu akan terbanting kalau kedua kakinya dapat di tangkap oleh sepasang tangan yang kuat itu. Akan tetapi kembali tangkapan itu itu luput karena tiba-tiba tangkapan itu luput karena tiba-tiba kedua kaki itu telah lenyap dari pandang mata Camuka. Kiranya Cu Sian sudah melompat ke atas dan ketika tubuhnya turun kembali kedua kakinya menekan kedua pundak Camuka.

“Bresss…!” Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Camuka terdorong roboh. Akan tetapi dia dapat menggulingkan tubuhnya lagi dan melompat berdiri. Matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, mukanya kemerahan dan diapun menyerang lagi dengan cepat dan mengerahkan seluruh tenaganya. Setiap kali Cu Sian mengelak, Camuka menyambung serangannya dengan terkaman lain, susul menyusul dengan amat cepatnya.

Semua orang tahu bahwa sekali saja Cu Sian dapat di terkam, tentu dia akan di banting dan di tekuk sehingga tidak mampu melepaskan diri lagi. Akan tetapi, semua serangan susul menyusul itu tidak pernah berhasil. Kalau tidak di elakkan, tentu di tangkis. Camuka merasa seolah dia menyerang sebuah bayangan sehingga dia menjadi pusing sendiri.

Han Sin mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang karena dia maklum bahwa Cu Sian yang nakal itu sengaja mempermainkan lawannya. Kalau Cu Sian menghendaki, tentu dengan mudah sekali dia akan dapat mengalahkan lawannya dan menyudahi pertandingan itu. Dia mengerling kearah Loana dan merasa heran sekali, Loana menonton dengan wajah berseri, mulut tersenyum dan nampak gembira bukan main. Sebaliknya Hailun duduk dengan wajah cemberut. Benarkan Loana telah berbalik hati, dan jatuh oleh rayuan Cu Sian, kini menganggumi dan mencinta Cu Sian...?

Pada saat itu, Camuka yang sudah menjadi pening dan penasaran sekali, menyerang dengan nekat sekali. Dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, yanag kanan mencakar kearah dada. Cu Sian mengelak ke kanan dan dari sudut itu tiba-tiba tubuh Cu Sian merendah dan kakinya mencuat dan menyapu kearah kedua kaki Camuka. Camuka tidak sempat menghindarkan diri dan tubuhnya segera roboh terpelanting. Ketika dengan cepat Camuka berguling dan hendak meloncat bangun, tiba-tiba kaki kiri Cu Sian sudah menyambar.

“Dukkk...!“ ujung kaki itu tepat mengenai leher Camuka dan pemuda Mongol itu terpelanting lagi. Dia mencoba untuk bengkit, akan tetapi Cu Sian cepat mengenai leher Camuka dan pemuda mongol itu terpelanting lagi. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi Cu Sian cepat menggerakkan kedua tangan. Jari tangan kanan dan kirinya sudah menotok ke pundak yang telanjang itu dan seketika tubuh Camuka terkulai, tidak mampu lagi menggerakkan kedua lengannya.

Kedua lengan tangan merupakan senjata terpenting bagi seorang pegulat. Kalau kedua lengannya sudah tidak mampu berbuat sesuatu. Demikianlah, Camuka yang jatuh lagi menelungkup tidak mampu berbuat sesuatu dan ketika Cu Sian menginjak punggungnya dengan kaki kiri, dia hanya mampu mengerang dan terengah-engah, merasa seolah-olah yang menginjaknya itu kaki gajah yang amat berat!

Tepuk tangan menyambut kemenangan Cu Sian ini. Sambil tersenyum bangga Cu Sian lalu cepat menotok kedua pundak Camuka membebaskannya dan pemuda tinggi besar itu bangkit berdiri sambil menyeringai menahan rasa nyeri dan malu. Akan tetapi dengan sikap gagah dia membungkuk kepada Cu Sian dan berkata lantang.

“Aku Camuka mengaku kalah!” Dan dengan lesu diapun melompat turun dari atas panggung.

Di bawah tepuk tangan yang memujinya Cu Sian melenggang kembali ke tempat kehormatan. mengangguk kepada Tarsukai dan menyambutnya dengan tepuk tangan pula. Cu Sian segera mengambil tempat duduk di antara Loana dan Hailun, dan sama sekali tidak memperdulikan Han Sin yang memandang kepadanya dengan wajah muram. Loana menyambutnya dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.

“Wah, engkau memang hebat, Cu Sian!” kata gadis ini sambil memegang tangan Cu Sian.

Cu Sian tertawa dan ketika menengok ke kiri dan melihat Hailun berwajah muram, dia pun tetap tertawa kecil. Akan tetapi pada saat itu, tepuk tangan tak terdengar lagi dan orang-orang mencurahkan perhatian kepada seorang pemuda yang sudah naik ke panggung.

Pemuda ini bukan main adalah Sabutai, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang tampan dan bertubuh tinggi tegap. Sabutai sebaya dengan Camuka, juga sama gagahnya, bahkan lebih tangguh karena dalam pemilihan jago gulat tahun lalu, Sabutai inilah yang menjadi juara setelah mengalahkan Camuka dalam pertandingan yang seru dan seimbang. Sabutai memberi hormat kepada Tarsukai dan dengan lantang dia berseru,

“Saya Sabutai, menantang sobat Cian Han Sin yang tadi menjadi pasangan Hailun menari...!” Singkat saja ucapannya itu, akan tetapi terdengar lantang dan merupakan tantangan langsung.

Tarsukai yang mendengar ini tersenyum kepada Han Sin, "Engkau di tantang dan kalau engkau meramaikan pesta ini agar lebih meriah, kami merasa senang sekali...“

Akan tetapi Han Sin cepat berdiri dan menjura kepada kepala suku itu. “Tidak, paman! Sabutai adalah putera paman Temugu, dan masih keponakan paman sendiri. Untuk apa aku menandinginya...? Aku hanya seorang tamu, dan aku tidak ingin merampas gadis manapun karena bukan itu tujuan kunjuganku ke sini...!”

Sambil berkata demikian, Han Sin mengerling ke arah Cu Sian. Cu Sian bangkit berdiri dan sekali meloncat dia sudah tiba pula di atas panggung, berhadapan dengan Sabutai.

“Sabutai, kalau engkau menantang kakak ku Han Sin, biar akulah yang mewakilinya. Dia adalah sahabatku dan juga aku menjadi pengawalnya...“

Sabutai nampak jerih. Dia sudah menyaksikan kehebatan pemuda ini ketika membuat Camuka tidak berdaya. “Cu Sian, aku hanya menantang pemuda yang menjadi sainganku menjadi pasangan Hailun! Aku tidak mempunyai urusan denganmu!” jawab Sabutai tegas.

“Akan tetapi dia tidak ingin merampas Hailun darimu. Dia tidak mencintai Hailun...“

“Aku akan tetap menantang dia kalau dia tidak berani, dia harus mengatakan sendiri...!” Sabutai berkata kukuh.

Sementara itu, Tarsukai sudah memandang Han Sin dengan sinar mata tajam penuh selidik, “Cian Han Sin, benarkah engkau tidak menanggap Hailun sebagai pasanganmu...?”

“Tidak sama sekali, paman...“

Tarsukai menjadi merah mukanya. Sudah jelas bahwa puterinya itu tadi diajak menari oleh Han Sin dan dia sudah mengharapkan puetrinya akan berjodoh dengan Han Sin. Dengan marah dia bertanya langsung kepada Hailun. “Hailun, apakah engkau mengharapkan Cian Han Sin sebagai pasanganmu...“

Hailun memandang kepada ayahnya, lalu memandang kearah Cu Sian yang masih berdiri di panggung, dan ia menggelengkan kepalanya. Kemarahan Tarsukai menghilang ketika dia mendapat jawaban yang menyakinkan dari Hailun dengan gelengkan kepalanya. Kalau puterinya tidak mencinta Han Sin, andaikata pemuda itu meminang puterinya, tetap saja tidak akan diberikannya. Maka diapun lalu meneriaki Sabutai yang masih berhadapan dengan Cu Sian.

“Sabutai, engkau tidak berhak menantang Han Sin karena dia tidak ingin merebut Hailun. Ini hanya kesalah pahaman belaka. Maka, turunlah dari atas panggung...!”

Mendengar ini, Sabutai mengangguk dan melompat turun, hatinya lega karena Hailun ternyata tidak mencinta pemuda yang menjadi pasangannya menari tadi. Cu Sian juga berjalan dengan langkah gagah kembali ke tempatnya dan segera di sambut oleh Loana. Mereka nampak marah dan Hailun yang nampak muram. Setelah pesta itu dibubarkan, Han Sin segera menghadap Tarsukai dan berkata,

“Paman Tarsukai, aku ingin bicara empat mata dengan paman, kalau paman menyetujui...“

Tarsukai memandang kepada Han Sin dengan penuh selidik. “Hemmm, ada urusan apakah, Han Sin? Apakah tidak dapat kita bicarakan di sini saja...?”

“Tidak, paman. Urusan ini bagiku amat penting, dan kerana urusan inilah saya datang ke utara ini. Ada sesuatu yang ingin ku tanyakan kepada paman...“

Tarsukai segera bangkit berdiri dan mengajak Han Sin pergi ke sebuah kemah lain yang kosong. Setelah mereka duduk berhadapan, kepala suku Yakka Mongol itu bertanya. “Nah, apakah yang hendak kau tanyakan, Han Sin...?”

“Sebelumnya harap memaafkan apabila aku terlalu merepotkan paman, akan tetapi bagiku, yang ku tanyakan ini penting sekali. Ketika terjadi pertempuran antara pasukan kerajaan Sui dan para suku bangsa di utara sepuluh tahun yang lalu, apakah paman juga ikut memimpin kelompok Suku Yakka melakukan pertempuran melawan Pasukan Sui...?”

“Hemm, pertanyaanmu aneh, Han Sin. Tentu saja aku memimpin bangsaku melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi hal itu telah lama sekali berlalu dan kini hubungan antara kami dan pejabat di Shan-si telah menjadi baik. Mengapa kau tanyakan...?”

“Begini, paman. Kalau paman memimpin dalam pertempuran, tentu paman mengetahui siapa yang menjadi panglima pasukan sui pada saat itu?”

“Panglimanya amat terkenal, yaitu Panglima Cian Kauw Cu yang pandai dan gagah perkasa, terkenal oleh bangsa kami sebagai panglima naga hitam karena pedangnya begitu hebat bagaikan seekor naga hitam yang mengamuk...“

“Nah, inilah yang hendak kutanyakan, paman. Bukankah Panglima Cian Kauw Cu itu tewas dalam suatu pertempuran...? Tahukah paman tentang peristiwa kematiannya itu...?”

Tarsukai tertawa, “Ha-ha-ha, engkau bertanya kepada orang yang tepat, Han Sin. Justeru ketika itu aku memimpin pasukanku, bekerjasama dengan bangsa Turki, bertempur melawan pasukan yang di pimpin oleh Panglima Naga Hitam itu. Walaupun akhirnya kami mengakui keunggulan pasukan sui, akan tetapi kami gembira karena panglima naga hitam tewas dalam pertempuran dahsyat itu...“

“Apakah paman melihat sendiri robohnya panglima itu?” Tanya Han Sin dengan jantung berdebar tegang.

“Ah, tidak. Akan tetapi aku tertarik sekali mendengar tentang tewasnya panglima naga hitam itu, maka aku lalu mengumpulkan anak buahku yang mengetahui atau melihat robohnya sang panglima. Di antara anak buahku, kebetulan ada yang bertempur, tak jauh dari terjadinya peristiwa itu..."

“Kalau Panglima naga hitam terkenal tinggi ilmu kepandaiannya, bagaimana dia dapat tewas dalam pertempuran...?”

“Ah, sukar merobohkan panglima itu dan aku sendiri pernah merasakan kelihaiannya. Pedangku patah-patah dan terpaksa aku melarikan diri. Dia roboh karena ada penyerang gelap dari belakangnya yang melepas anak panah sehingga robohlah sang panglima besar itu, bukan oleh musuh, melainkan oleh orangnya sendiri...“

Han Sin tertarik sekali dan jantungnya berdebar semakin keras. “Oleh orangnya sendiri? apa maksud paman?”

“Menurut kenyataan panglima itu roboh oleh anak panah yang di lepas dari belakang, maka siapa lagi kalau bukan anak buahnya sendiri yang menyerangnya dari belakang?"

“Akan tetapi, tahukah paman siapa penyerang gelap itu?”

“Hal itu tidak ada yang melihatnya, hanya menurut anak buahku, ketika panglima itu roboh, ada perwira sui lain yang berjongkok mendekatinya. Seorang panglima pula, dan masih muda. Tidak lebih dari tiga puluh tahun. Dialah yang berjongkok dekat panglima naga hitam yang roboh itu dan dia pula yang mengangkatnya pergi. Hanya itu yang kami ketahui..."

Biarpun tidak banyak keterangan itu, akan tetapi sudah membuat Han Sin merasa yakin bahwa pembunuh ayahnya seorang perwira sui, ketika itu berusia tiga puluh tahun lebih. Dia harus menyelidikinya di kota raja, di antara para perwira tinggi yang dulu membantu ayahnya.

“Banyak terima kasih atas keterangan paman. Dan sekarang aku hendak berpamit. Besok pagi-pagi aku akan meninggalkan tempat ini dan kembali ke selatan...“

“Aih, mengapa demikian tergesa-gesa? Tidak senangkah engkau tinggal dengan kami disini, Han Sin...?”

“Bukan begitu, paman. Akan tetapi aku sudah tinggal di sini selama hampir tiga pekan dan selama ini paman sekeluarga bersikap ramah dan baik kepadaku. Aku berterima kasih sekali, paman. Akan tetapi masih banyak urusan yang harus ku kerjakan...“

“Cu Sian juga pergi bersamamu?”

"Kalau dia terserah kepada dia saja, paman. Kami hanya sahabat yang kebetulan melakukan perjalanan bersama. Kalau dia menghendaki tinggal di sini selamanya, terserah, bukan urusanku...“

Tarsukai menghela napas panjang. “Han Sin, tadinya aku sungguh mengharapkan agar engkau dan Cu Sian dapat tinggal di sini selamanya dan menjadi mantu-mantuku, agar kalian dapat membantuku melatih ilmu silat kepada anak buahku...“

Han Sin tersenyum, “Aku belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan perkawinan, paman. Entah kalau Cu Sian. Maafkan kalau aku mengecewakan hati paman yang baik...“

Demikianlah, Han Sin kembali ke kemahnya dan dengan hati mendongkol dia melihat Cu Sian sudah tidur mendengkur di atas kasur. Ingin sekali dia menyeret pemuda itu dan memakinya sebagai seorang pemuda mata keranjang yang telah mempermainkan cinta dan menghancur hati Hailun, atau mungkin pemuda itu demikian gila untuk menguasai kedua kakak beradik itu. Menegur, dia menahan kemarahannya. Untuk apa dia menegur? Bukan urusannya. Kalau dua orang gadis itu mau di permainkan Cu Sian, apa dayanya?

Dengan hati mengkal Han Sin lalu tidur di atas permadani. Hatinya gelisah. Peristiwa itu membuat dia merasa kehilangan. Kehilangan seorang sahabat yang selama ini amat di kagumi dan di sayangnya. Akan tetapi sahabatnya itu ternyata hanya seorang pemuda hidung belang yang lemah terhadap kecantikan wanita. Orang semacam itu tidak pantas dijadikan sahabat. Akan tetapi dia merasa kehilangan.

********************

Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin bangun dari tidurnya, pertama-tama yang dilakukannya adalah menoleh kearah kasur dimana Cu Sian tidur. Dalam tidurnya tadi dia bermimpi tentang Cu Sian yang naik kuda memboncengkan Loana dan Hailun melarikan diri!

Dan hatinya terkejut ketika dia tidak melihat Cu Sian diatas kasurnya. Pemuda itu telah pergi! Jangan-jangan dia pergi melarikan dua orang gadis kakak beradik itu seperti yang terjadi dalam mimpinya. Kalau benar demikian, dia akan melakukan pengejaran dan dia akan mencegahnya!

Dia cepat berkemas, membuntal pakaiannya dan sambil menggendong pakaiannya dia keluar dari kemah itu. Pagi masih sepi karena pagi itu dingin sekali. Hanya kelihatan beberapa api unggun di nyalakan orang di beberapa tempat. Tiba-tiba seorang pemuda menghampirinya sambil menuntun kuda. Kuda itu sudah lengkap dengan pelananya dan ada bungkusan di atas pelana kuda. Orang itu ternyata adalah Sabutai!

“Eh, engkau Sabutai...?“ Tanya Han Sin, hatinya tegang, khawatir akan mendengar lenyapnya dua orang gadis itu, dilarikan oleh Cu Sian. “Ada apakah, Sabutai...?”

“Sobat, Han Sin, engkau hendak pergi sekarang? Sepagi ini?“ Tanya Sabutai dan nada suaranya terdengar ramah sekali sehingga Han Sin merasa heran. Baru kemarin dalam pesta tari pemuda ini menantangnya untuk bertanding memperebutkan Hailun!

“Benar, Sabutai. Aku hendak pergi sekarang dan aku sudah berpamit malam tadi kepada paman Tarsukai...“

“Aku sudah tahu, Han Sin justeru sepagi ini aku mencarimu atas perintah paman Tarsukai semalam untuk menyerahkan kuda dan perbekalan ini kepadamu...“ Sabut ai menyerahkan kendali kuda kepada Han Sin.

“Ah, untuk apa semua ini, Sabutai. Sampaikan terima kasihku kepada Paman Tarsukai. Selama tiga pekan aku tinggal di sini diperlakukan sebagai seorang sahabat dan tamu yang sudah lebih dari cukup. Akan tetapi aku tidak dapat menerima hadiah kuda dan perbekalan ini..."

“Akan tetapi, Han Sin. Paman Tarsukai sudah sepatutnya memberi hadiah kepadamu. Bukankah engkau telah menyelamatkan Loana dan Hailun?”

Han Sin tersenyum. “Sabutai, hal itu tidak perlu di bicarakan lagi. Menolong siapa saja yang berada dalam kesulitan merupakan tugas kewajiban kita yang mempelajari ilmu-ilmu untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Bukan mengharapkan balas jasa dan hadiah. Hadiah hanya akan merendahkan perbuatan kita...“

“Ah, Han Sin. Engkau seorang gagah perkasa sejati! Aku kagum kepadamu dan maafkanlah sikapku semalam yang berani menantangmu...“

Han Sin menatap wajah pemuda mongol itu sambil tersenyum. “Engkau tidak perlu minta maaf. Engkau tidak bersalah dan memang sudah sepantasnya kalau engkau membela nama dan kehormatan gadis yang engkau cintai. Nah, selamat tinggal, Sabutai...“

Han Sin segera meninggalkan Sabutai yang masih berdiri termenung dan mengikuti bayangan Han Sin dengan pandang mata kagum. Begitu keluar dari perkampungan suku Yakka, Han Sin lalu berlari cepat menuju ke selatan. Akan tetapi, baru kurang lebih satu li dia berlari, tiba-tiba dia menahan larinya dan berhenti.

Matanya bersinar-sinar ketika dia melihat Cu Sian duduk di atas sebuah batu di tepi anak sungai sambil melamun dan memandang ke sungai membelakanginya. Semua kemarahan yang di tahan-tahannya sejak malam tadi seperti hendak meledak ketika dia mendapat kesempatan bertemu dan berdua saja dengan Cu Sian. Dadanya terasa panas dan dia segera menghampiri Cu Sian dengan marah.

“Sian-te…!” panggilnya tidak ramah, bahkan seperti bentakan marah.

Cu Sian terkejut dan menoleh, Ketika melihat siapa yang membentaknya itu, diapun cepat meloncat turun dari atas batu. “Eh, kiranya engkau, Sin-ko? Wah, sepagi ini engkau sudah membawa buntalan pakaian, engkau hendak pergi ke manakah, Sin-ko...?“ Sikap dan suara Cu S ian masih seperti biasa, ramah dan gembira, bahkan dia tersenyum-senyum.

“Kemana aku hendak pergi bukan urusanmu! Tidak perlu kau tahu! Aku hanya ingin mengatakan bahwa sama sekali tidak ku sangka engkau seorang pemuda tidak tahu malu dan mata keranjang!”

Cu Sian membelalakan mata dan memandang heran. “Eh-eh, apa alasannya engkau mengatakan demikian, Sin-ko?”

“Jangan berpura-pura bersih! Apa yang kau lakukan semalam di tempat pesta? Engkau menggandeng Loana, bahkan memperebutkannya dengan Camuka!”

Cu Sian mengerutkan alisnya dan mulut itu tersenyum mengejek. “Aha, jadi engkau cemburu dan iri hati, ya? Sin-ko, engkau pernah menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa engkau hanya mau berjodoh dengan seorang wanita yang sempurna tanpa cacat sedikit pun. Seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi ternyata baru bertemu dengan Loana saja engkau sudah tergila-gila, bertekuk lutut dan mencintanya. Ha-ha, dimana dewi khayalanmu itu, Sin-ko?”

Han Sin semakin menjadi marah. Pemuda remaja ini malah mengejeknya! Cu Sian, engkau pemuda tak tahu malu! Engkau sudah akrab dengan Hailun, akan tetapi masih juga merayu Loana, memburukkan diriku! Engkau ternyata seorang pemuda mata keranjang, hidung belang yang tidak tahu malu. Tidak sudi lagi aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda macam engkau! Selamat tinggal...!“

Han Sin membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat bayangan berkelebat dan Cu Sian telah berdiri di depannya, bertolak pinggang dan sikapnya angkuh sekali.

“Sin-ko, mengapa engkau marah-marah seperti gila? Begitu besarkah cintamu kepada Loana sehingga membutakan matamu? Sepatutnya engkau berterima kasih kepadaku yang telah membuka matamu untuk melihat gadis macam apa Loana itu, begitu ku rayu lalu meninggalkanmu!”

“Cukup, mulai saat ini aku tidak sudi berteman denganmu, tidak sudi bicara lagi denganmu...!“ Han Sin lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat dan marah.

Khawatir kalau Cu Sian akan mengejar dan membayanginya, Han Sin memasuki hutan lalu mengerahkan ilmunya berlari cepat. Akhirnya dia merasa bahwa Cu Sian tidak mengejarnya. Dia lalu meninggalkan hutan itu menuju ke barat mencari sungai Kuning karena dia bermaksud kembali ke selatan melalui air.

Keterangan yang diperolehnya dari Tarsukai amat berharga dan untuk menyelidiki siapa pembunuh ayahnya, dia harus pergi ke kota raja. Pembunuh ayahnya tentulah seorang perwira yang pada waktu itu membantu ayahnya memimpin pasukan yang berperang melawan pasukan Turki dan Mongol.

********************

Nama julukan Pak-te-ong semakin terkenal di daerah utara sebagai seorang datuk baru yang menguasai daerah di sepanjang lembah Huang Ho. Hampir semua gerombolan perampok dan bajak sungai yang besar-besar telah di tundukkan, ketuanya di bunuh kalau tidak mau menakluk sehingga Pak-te-ong Ma Giok kini menjadi ketua dari mereka semua.

Semua nama perkumpulan gerombolan yang di taklukan itu dihilangkan dan mereka semua menjadi anggota dari perkumpulan baru yang di dirikan oleh pak-te-ong dengan nama Te-kwi-pai (perkumpulan iblis bumi) yang berpusat di Kwi-san (Bukit iblis), di lembah Huang ho. Dalam waktu singkat saja Te-kwi-pai telah menjadi sebuah perkumpulan yang anggotanya tidak kurang dari tiga ratus orang!

Dan semua penjahat yang bergerak di daerah lembah Huang ho utara, semua tidak ada yang tidak tunduk kepada Te-kwi-pai. Dan setiap kali mereka mendapatkan 'rejeki' hasil perampokan atau pembajakan, yang dilakukan oleh perorangan, mereka tentu menyerahkan sebagian hasil itu kepada Te-kwi-pai. Ini sudah merupakan peraturan tidak tertulis dan siapa yang melanggar tentu akan ketahuan dan tidak di ampuni lagi.

Dari hasil yang berlimpah ini, terutama sekali dari pemungutan 'pajak jalan' bagi para saudagar, baik yang melakukan perjalanan lewat darat maupun sungai, sebentar saja Pak-te-ong Ma Giok telah membangun sebuah gedung besar di puncak bukit iblis. Di situ dia tinggal bersama seorang gadis, yaitu puteri tunggalnya bernama Ma Goat, yang berusia delapan belas tahun.

Pak-te-ong Ma Giok sudah tidak mempunyai ist eri lagi. Ibu Ma Goat telah meninggal beberapa tahun yang lalu sehingga Ma Goat merupakan keluarga satu-satunya. Tentu saja dia amat menyayang dan memanjakan puterinya ini yang semenjak kecil dia gembleng sendiri sehingga kini menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi.

Ma Goat memang seorang gadis yang cantik sekali. Wajahnya yang bulat itu sesuai dengan namanya. Nama Ma Goat berarti bulan dan memang ia cantik seperti bulan purnama, Sepasang matanya tajam berkilat dan setitik tahi lalat hitam di dagu kirinya menambah daya tariknya.

Akan tetapi, biarpun dia cantik dan nampak lemah gemulai, orang-orang takut kepadanya karena dalam hal kekejaman, ia tidak kalah dibandingkan ayahnya. Tangannya ringan sekali membunuh orang yang dianggap bersalah kepadanya, dan ia membunuh sambil tersenyum manis. Sama sekali tidak kelihatan kejam, akan tetapi sekali sulingnya menyambar dengan gerakan indah, tentu ada orang yang tewas didepannya.

Kemanapun ia pergi, ia selalu membawa sulingnya, sebatang suling kecil berwarna hitam mengkilap, kedua ujungnya di hias emas dan suling itu terselip di ikat pinggangnya, Karena kejamnya ia menggunakan sulingnya untuk membunuh orang yang di anggap bersalah kepadanya.

Ma Goat di juluki Suling Maut oleh ratusan anak buah Te-kwi-pai, dan karena anak buah Te-kwi-pai itu datang dari berbagai golongan di dunia kang-ouw, maka julukan suling maut inipun sebentar saja terkenal di dunia persilatan daerah utara...

********************

Pedang Naga Hitam Jilid 24

PEDANG NAGA HITAM JILID 24
Karya
Kho Ping Hoo
Cerita silat serial sepasang naga lembah iblis episode pedang naga hitam jilid 24 karya kho ping hoo

BIASANYA, kalau ada dua pemuda memperebutkan gadis dan saling menantang, kepala suku tidak menentang bahkan dengan gembira menganjurkan mereka untuk bertanding. Akan tetapi sekali ini, Tarsukai mengerutkan keningnya dan membentak,

”Camuka, lupakah engkau dengan siapa engkau berhadapan...? Pemuda yang menjadi pasangan Loana dalam pesta ini adalah Cu Sian, tamu kehormatan kita! Jangan bersikap kurang ajar terhadap tamu...!”

Akan tetapi Cu Sian sudah cepat menghampiri Tarsukai dan berkata sambil tersenyum. “Paman Tarsukai, jangan sungkan dan jangan khawatir, aku menerima tantangan pemuda itu...!“ Tanpa menanti jawaban, Cu Sian sudah meloncat dan tubuhnya melayang seperti seekor burung saja ke atas panggung dan tiba di depan Camuka.

Semua orang tertegun kagum. Belum pernah ada orang yang dapat melompat seperti terbang saja. Akan tetapi Camuka yang sudah penasaran dan marah itu tidak merasa gentar. Bagaimana dia dapat merasa takut berhadapan dengan pemuda kerempeng seperti itu. Sekali banting tentu tidak akan dapat bangun kembali, atau sekali terkam pemuda itu tentu tidak akan mempu berkutik lagi. Akan dia perlihatkan kepada semua orang, terutama sekali kepada Loana, betapa kuat dan gagah perkasanya dia!

Sambil tersenyum mengejek, Camuka segera menanggalkan bajunya bagian atas dan melemparkannya ke bawah panggung. Nampak dada bidang dan penuh otot melingkar-lingkar, sepasang lengan yang panjang dan kokoh kuat. Akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang tamu kehormatan, maka dia tidak berani bersikap kasar dan berkata dengan lantang.

“Sobat, tanggalkan bajumu agar kita dapat mulai bertanding...!”

Cu Sian tersenyum lebar dan bertolak pinggang, agaknya tubuh atas telanjang yang kokoh kuat itu tidak membuatnya khawatir sama sekali. “Menanggalkan baju? Untuk apa? Seperti hendak mandi saja! Tidak, aku tidak perlu menanggalkan bajuku, aku akan menghadapi dan melawanmu dengan pakaian lengkap. Engkau yang bernama Camuka, bukan...? Dengar, Camuka, kalau engkau dapat menagkap ujung bajuku ini saja, aku sudah mengaku kalah...!”

Semua orang terlongong mendengar ini. Alangkah bodohnya dan lancangnya pemuda itu. Bertanding gulat tanpa melepaskan bajunya sama dengan sudah kalah sebelum bertanding! Kalau bertelanjang baju, lawan tidak akan mudah menangkap. Akan tetapi kalau berbaju tentu itu mudah di tangkap sehingga memudahkan lawan untuk membantingnya. Apalagi menantang untuk di tangkap ujung bajunya dan akan mengaku kalah kalau bajunya sampai dapat di tangkap!

Camuka menjadi girang sekali. Sedikitnya, dia tadinya bersikap hati-hati karena diapun sudah mendengar bahwa pemuda ini lihai dan merupakan seorang pendekar dari selatan. Akan tetapi mendengar pemuda ini menantangnya dan akan mengaku kalah kalau ujung bajunya dapat di tangkap, tentu saja hal itu akan memudahkannya untuk mendapat kan kemenangan.

Sementara itu, Loana dan Hailun, sudah duduk lagi di dekat ayah mereka. Kedua orang gadis itu tidak saling menyapa, bahkan dari pandang mata mereka terdapat perasaan tidak senang, terutama sekali padang mata Hailun. Dan kini mereka melihat kearah panggung dimana pemuda yang kini menjadi perebutan di antara mereka itu telah siap untuk bertanding melawan Camuka. Dari tempat duduk mereka itu memang dapat menonton pertandingan dengan jelas dan tidak terhalang dan ini memang sudah di atur sebelumnya.

Han Sin yang masih merasa penasaran dan marah kepada sahabatnya, juga terpaksa tidak mencampuri dan hanya duduk menonton. Dalam hatinya dia memaki-maki karena di anggapnya Cu Sian mencari perkara saja. Akan tetapi sama sekali dia tidak mengkhawatirkan akan keselamatan Cu Sian karena dia maklum bahwa sahabatnya itu memiliki kepandaian yang cukup lihai untuk membela diri, dan dia dapat menduga bahwa Camuka hanya seorang pemuda yang memiliki tenaga otot besar saja.

Camuka kini memasang kuda-kuda, dengan kedua kaki di pentang lebar, kedua lutut di tekuk sehingga dia seperti setengah berjongkok, kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka siap mencengkram atau menangkap.

“Nah, sobat, aku telah siap! Apakah engkau sudah siap...?”

Cu Sian sejak tadi mengikuti gerak-gerik Camuka dengan pandang matanya. Dia berdiri santai seenaknya dan berkata sambil tersenyum memandang rendah. “Aku sudah siap sejak tadi! Mulailah...!”

Camuka mengeluarkan bentakan panjang melengking, kemudian tubuhnya sudah menerjang cepat sekali ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri untuk mencengkram lawan. Semua orang memandang dengan hati tegang karena mereka sudah akan tahu akan ketangkasan dan kekuatan Camuka. Akan tetapi, ternyata terkaman itu hanya mengenai tempat kosong!

Hampir tak dapat diikuti dengan mata, gerakan Cu Sian tadi yang sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi Camuka yang gagal serangannya itu sudah cepat mengejar dan menubruk lagi bagaikan seekor harimau menerkam domba. Sekali lagi Cu Sian mengelak, kini meloncat ke samping kiri tubuh Camuka.

Melihat bayangan lawan berkelebat ke sebelah kirinya, tangan kiri Camuka cepat menyambar bagaikan gerakan seekor ular untuk mencengkram apa saja, bagaikan baju atau badan lawan. Serangan ini cepat sekali bagaikan lanjutan dari terkamannya yang luput. Melihat tangan itu meluncur seperti ular, Cu Sian lalu menangkis dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga.

“Dukkk…!” Lengan Camuka terpental dan dia meringis karena merasa betapa tulang lengannya seolah bertemu dengan sepotong baja yang membuat dia kesakitan. Akan tetapi dia menggulingkan tubuhnya di atas panggung. Bagaikan seekor trenggiling tubuh itu menggelinding kearah Cu Sian dan setelah dekat, tubuh itu mencelat ke atas dan kedua tangannya sudah menyambar lagi dengan cepatnya, kini mencengkram kearah kedua kaki Cu Sian.

Tubuh Cu Sian tentu akan terbanting kalau kedua kakinya dapat di tangkap oleh sepasang tangan yang kuat itu. Akan tetapi kembali tangkapan itu itu luput karena tiba-tiba tangkapan itu luput karena tiba-tiba kedua kaki itu telah lenyap dari pandang mata Camuka. Kiranya Cu Sian sudah melompat ke atas dan ketika tubuhnya turun kembali kedua kakinya menekan kedua pundak Camuka.

“Bresss…!” Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Camuka terdorong roboh. Akan tetapi dia dapat menggulingkan tubuhnya lagi dan melompat berdiri. Matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, mukanya kemerahan dan diapun menyerang lagi dengan cepat dan mengerahkan seluruh tenaganya. Setiap kali Cu Sian mengelak, Camuka menyambung serangannya dengan terkaman lain, susul menyusul dengan amat cepatnya.

Semua orang tahu bahwa sekali saja Cu Sian dapat di terkam, tentu dia akan di banting dan di tekuk sehingga tidak mampu melepaskan diri lagi. Akan tetapi, semua serangan susul menyusul itu tidak pernah berhasil. Kalau tidak di elakkan, tentu di tangkis. Camuka merasa seolah dia menyerang sebuah bayangan sehingga dia menjadi pusing sendiri.

Han Sin mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang karena dia maklum bahwa Cu Sian yang nakal itu sengaja mempermainkan lawannya. Kalau Cu Sian menghendaki, tentu dengan mudah sekali dia akan dapat mengalahkan lawannya dan menyudahi pertandingan itu. Dia mengerling kearah Loana dan merasa heran sekali, Loana menonton dengan wajah berseri, mulut tersenyum dan nampak gembira bukan main. Sebaliknya Hailun duduk dengan wajah cemberut. Benarkan Loana telah berbalik hati, dan jatuh oleh rayuan Cu Sian, kini menganggumi dan mencinta Cu Sian...?

Pada saat itu, Camuka yang sudah menjadi pening dan penasaran sekali, menyerang dengan nekat sekali. Dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, yanag kanan mencakar kearah dada. Cu Sian mengelak ke kanan dan dari sudut itu tiba-tiba tubuh Cu Sian merendah dan kakinya mencuat dan menyapu kearah kedua kaki Camuka. Camuka tidak sempat menghindarkan diri dan tubuhnya segera roboh terpelanting. Ketika dengan cepat Camuka berguling dan hendak meloncat bangun, tiba-tiba kaki kiri Cu Sian sudah menyambar.

“Dukkk...!“ ujung kaki itu tepat mengenai leher Camuka dan pemuda Mongol itu terpelanting lagi. Dia mencoba untuk bengkit, akan tetapi Cu Sian cepat mengenai leher Camuka dan pemuda mongol itu terpelanting lagi. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi Cu Sian cepat menggerakkan kedua tangan. Jari tangan kanan dan kirinya sudah menotok ke pundak yang telanjang itu dan seketika tubuh Camuka terkulai, tidak mampu lagi menggerakkan kedua lengannya.

Kedua lengan tangan merupakan senjata terpenting bagi seorang pegulat. Kalau kedua lengannya sudah tidak mampu berbuat sesuatu. Demikianlah, Camuka yang jatuh lagi menelungkup tidak mampu berbuat sesuatu dan ketika Cu Sian menginjak punggungnya dengan kaki kiri, dia hanya mampu mengerang dan terengah-engah, merasa seolah-olah yang menginjaknya itu kaki gajah yang amat berat!

Tepuk tangan menyambut kemenangan Cu Sian ini. Sambil tersenyum bangga Cu Sian lalu cepat menotok kedua pundak Camuka membebaskannya dan pemuda tinggi besar itu bangkit berdiri sambil menyeringai menahan rasa nyeri dan malu. Akan tetapi dengan sikap gagah dia membungkuk kepada Cu Sian dan berkata lantang.

“Aku Camuka mengaku kalah!” Dan dengan lesu diapun melompat turun dari atas panggung.

Di bawah tepuk tangan yang memujinya Cu Sian melenggang kembali ke tempat kehormatan. mengangguk kepada Tarsukai dan menyambutnya dengan tepuk tangan pula. Cu Sian segera mengambil tempat duduk di antara Loana dan Hailun, dan sama sekali tidak memperdulikan Han Sin yang memandang kepadanya dengan wajah muram. Loana menyambutnya dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.

“Wah, engkau memang hebat, Cu Sian!” kata gadis ini sambil memegang tangan Cu Sian.

Cu Sian tertawa dan ketika menengok ke kiri dan melihat Hailun berwajah muram, dia pun tetap tertawa kecil. Akan tetapi pada saat itu, tepuk tangan tak terdengar lagi dan orang-orang mencurahkan perhatian kepada seorang pemuda yang sudah naik ke panggung.

Pemuda ini bukan main adalah Sabutai, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang tampan dan bertubuh tinggi tegap. Sabutai sebaya dengan Camuka, juga sama gagahnya, bahkan lebih tangguh karena dalam pemilihan jago gulat tahun lalu, Sabutai inilah yang menjadi juara setelah mengalahkan Camuka dalam pertandingan yang seru dan seimbang. Sabutai memberi hormat kepada Tarsukai dan dengan lantang dia berseru,

“Saya Sabutai, menantang sobat Cian Han Sin yang tadi menjadi pasangan Hailun menari...!” Singkat saja ucapannya itu, akan tetapi terdengar lantang dan merupakan tantangan langsung.

Tarsukai yang mendengar ini tersenyum kepada Han Sin, "Engkau di tantang dan kalau engkau meramaikan pesta ini agar lebih meriah, kami merasa senang sekali...“

Akan tetapi Han Sin cepat berdiri dan menjura kepada kepala suku itu. “Tidak, paman! Sabutai adalah putera paman Temugu, dan masih keponakan paman sendiri. Untuk apa aku menandinginya...? Aku hanya seorang tamu, dan aku tidak ingin merampas gadis manapun karena bukan itu tujuan kunjuganku ke sini...!”

Sambil berkata demikian, Han Sin mengerling ke arah Cu Sian. Cu Sian bangkit berdiri dan sekali meloncat dia sudah tiba pula di atas panggung, berhadapan dengan Sabutai.

“Sabutai, kalau engkau menantang kakak ku Han Sin, biar akulah yang mewakilinya. Dia adalah sahabatku dan juga aku menjadi pengawalnya...“

Sabutai nampak jerih. Dia sudah menyaksikan kehebatan pemuda ini ketika membuat Camuka tidak berdaya. “Cu Sian, aku hanya menantang pemuda yang menjadi sainganku menjadi pasangan Hailun! Aku tidak mempunyai urusan denganmu!” jawab Sabutai tegas.

“Akan tetapi dia tidak ingin merampas Hailun darimu. Dia tidak mencintai Hailun...“

“Aku akan tetap menantang dia kalau dia tidak berani, dia harus mengatakan sendiri...!” Sabutai berkata kukuh.

Sementara itu, Tarsukai sudah memandang Han Sin dengan sinar mata tajam penuh selidik, “Cian Han Sin, benarkah engkau tidak menanggap Hailun sebagai pasanganmu...?”

“Tidak sama sekali, paman...“

Tarsukai menjadi merah mukanya. Sudah jelas bahwa puterinya itu tadi diajak menari oleh Han Sin dan dia sudah mengharapkan puetrinya akan berjodoh dengan Han Sin. Dengan marah dia bertanya langsung kepada Hailun. “Hailun, apakah engkau mengharapkan Cian Han Sin sebagai pasanganmu...“

Hailun memandang kepada ayahnya, lalu memandang kearah Cu Sian yang masih berdiri di panggung, dan ia menggelengkan kepalanya. Kemarahan Tarsukai menghilang ketika dia mendapat jawaban yang menyakinkan dari Hailun dengan gelengkan kepalanya. Kalau puterinya tidak mencinta Han Sin, andaikata pemuda itu meminang puterinya, tetap saja tidak akan diberikannya. Maka diapun lalu meneriaki Sabutai yang masih berhadapan dengan Cu Sian.

“Sabutai, engkau tidak berhak menantang Han Sin karena dia tidak ingin merebut Hailun. Ini hanya kesalah pahaman belaka. Maka, turunlah dari atas panggung...!”

Mendengar ini, Sabutai mengangguk dan melompat turun, hatinya lega karena Hailun ternyata tidak mencinta pemuda yang menjadi pasangannya menari tadi. Cu Sian juga berjalan dengan langkah gagah kembali ke tempatnya dan segera di sambut oleh Loana. Mereka nampak marah dan Hailun yang nampak muram. Setelah pesta itu dibubarkan, Han Sin segera menghadap Tarsukai dan berkata,

“Paman Tarsukai, aku ingin bicara empat mata dengan paman, kalau paman menyetujui...“

Tarsukai memandang kepada Han Sin dengan penuh selidik. “Hemmm, ada urusan apakah, Han Sin? Apakah tidak dapat kita bicarakan di sini saja...?”

“Tidak, paman. Urusan ini bagiku amat penting, dan kerana urusan inilah saya datang ke utara ini. Ada sesuatu yang ingin ku tanyakan kepada paman...“

Tarsukai segera bangkit berdiri dan mengajak Han Sin pergi ke sebuah kemah lain yang kosong. Setelah mereka duduk berhadapan, kepala suku Yakka Mongol itu bertanya. “Nah, apakah yang hendak kau tanyakan, Han Sin...?”

“Sebelumnya harap memaafkan apabila aku terlalu merepotkan paman, akan tetapi bagiku, yang ku tanyakan ini penting sekali. Ketika terjadi pertempuran antara pasukan kerajaan Sui dan para suku bangsa di utara sepuluh tahun yang lalu, apakah paman juga ikut memimpin kelompok Suku Yakka melakukan pertempuran melawan Pasukan Sui...?”

“Hemm, pertanyaanmu aneh, Han Sin. Tentu saja aku memimpin bangsaku melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi hal itu telah lama sekali berlalu dan kini hubungan antara kami dan pejabat di Shan-si telah menjadi baik. Mengapa kau tanyakan...?”

“Begini, paman. Kalau paman memimpin dalam pertempuran, tentu paman mengetahui siapa yang menjadi panglima pasukan sui pada saat itu?”

“Panglimanya amat terkenal, yaitu Panglima Cian Kauw Cu yang pandai dan gagah perkasa, terkenal oleh bangsa kami sebagai panglima naga hitam karena pedangnya begitu hebat bagaikan seekor naga hitam yang mengamuk...“

“Nah, inilah yang hendak kutanyakan, paman. Bukankah Panglima Cian Kauw Cu itu tewas dalam suatu pertempuran...? Tahukah paman tentang peristiwa kematiannya itu...?”

Tarsukai tertawa, “Ha-ha-ha, engkau bertanya kepada orang yang tepat, Han Sin. Justeru ketika itu aku memimpin pasukanku, bekerjasama dengan bangsa Turki, bertempur melawan pasukan yang di pimpin oleh Panglima Naga Hitam itu. Walaupun akhirnya kami mengakui keunggulan pasukan sui, akan tetapi kami gembira karena panglima naga hitam tewas dalam pertempuran dahsyat itu...“

“Apakah paman melihat sendiri robohnya panglima itu?” Tanya Han Sin dengan jantung berdebar tegang.

“Ah, tidak. Akan tetapi aku tertarik sekali mendengar tentang tewasnya panglima naga hitam itu, maka aku lalu mengumpulkan anak buahku yang mengetahui atau melihat robohnya sang panglima. Di antara anak buahku, kebetulan ada yang bertempur, tak jauh dari terjadinya peristiwa itu..."

“Kalau Panglima naga hitam terkenal tinggi ilmu kepandaiannya, bagaimana dia dapat tewas dalam pertempuran...?”

“Ah, sukar merobohkan panglima itu dan aku sendiri pernah merasakan kelihaiannya. Pedangku patah-patah dan terpaksa aku melarikan diri. Dia roboh karena ada penyerang gelap dari belakangnya yang melepas anak panah sehingga robohlah sang panglima besar itu, bukan oleh musuh, melainkan oleh orangnya sendiri...“

Han Sin tertarik sekali dan jantungnya berdebar semakin keras. “Oleh orangnya sendiri? apa maksud paman?”

“Menurut kenyataan panglima itu roboh oleh anak panah yang di lepas dari belakang, maka siapa lagi kalau bukan anak buahnya sendiri yang menyerangnya dari belakang?"

“Akan tetapi, tahukah paman siapa penyerang gelap itu?”

“Hal itu tidak ada yang melihatnya, hanya menurut anak buahku, ketika panglima itu roboh, ada perwira sui lain yang berjongkok mendekatinya. Seorang panglima pula, dan masih muda. Tidak lebih dari tiga puluh tahun. Dialah yang berjongkok dekat panglima naga hitam yang roboh itu dan dia pula yang mengangkatnya pergi. Hanya itu yang kami ketahui..."

Biarpun tidak banyak keterangan itu, akan tetapi sudah membuat Han Sin merasa yakin bahwa pembunuh ayahnya seorang perwira sui, ketika itu berusia tiga puluh tahun lebih. Dia harus menyelidikinya di kota raja, di antara para perwira tinggi yang dulu membantu ayahnya.

“Banyak terima kasih atas keterangan paman. Dan sekarang aku hendak berpamit. Besok pagi-pagi aku akan meninggalkan tempat ini dan kembali ke selatan...“

“Aih, mengapa demikian tergesa-gesa? Tidak senangkah engkau tinggal dengan kami disini, Han Sin...?”

“Bukan begitu, paman. Akan tetapi aku sudah tinggal di sini selama hampir tiga pekan dan selama ini paman sekeluarga bersikap ramah dan baik kepadaku. Aku berterima kasih sekali, paman. Akan tetapi masih banyak urusan yang harus ku kerjakan...“

“Cu Sian juga pergi bersamamu?”

"Kalau dia terserah kepada dia saja, paman. Kami hanya sahabat yang kebetulan melakukan perjalanan bersama. Kalau dia menghendaki tinggal di sini selamanya, terserah, bukan urusanku...“

Tarsukai menghela napas panjang. “Han Sin, tadinya aku sungguh mengharapkan agar engkau dan Cu Sian dapat tinggal di sini selamanya dan menjadi mantu-mantuku, agar kalian dapat membantuku melatih ilmu silat kepada anak buahku...“

Han Sin tersenyum, “Aku belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan perkawinan, paman. Entah kalau Cu Sian. Maafkan kalau aku mengecewakan hati paman yang baik...“

Demikianlah, Han Sin kembali ke kemahnya dan dengan hati mendongkol dia melihat Cu Sian sudah tidur mendengkur di atas kasur. Ingin sekali dia menyeret pemuda itu dan memakinya sebagai seorang pemuda mata keranjang yang telah mempermainkan cinta dan menghancur hati Hailun, atau mungkin pemuda itu demikian gila untuk menguasai kedua kakak beradik itu. Menegur, dia menahan kemarahannya. Untuk apa dia menegur? Bukan urusannya. Kalau dua orang gadis itu mau di permainkan Cu Sian, apa dayanya?

Dengan hati mengkal Han Sin lalu tidur di atas permadani. Hatinya gelisah. Peristiwa itu membuat dia merasa kehilangan. Kehilangan seorang sahabat yang selama ini amat di kagumi dan di sayangnya. Akan tetapi sahabatnya itu ternyata hanya seorang pemuda hidung belang yang lemah terhadap kecantikan wanita. Orang semacam itu tidak pantas dijadikan sahabat. Akan tetapi dia merasa kehilangan.

********************

Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin bangun dari tidurnya, pertama-tama yang dilakukannya adalah menoleh kearah kasur dimana Cu Sian tidur. Dalam tidurnya tadi dia bermimpi tentang Cu Sian yang naik kuda memboncengkan Loana dan Hailun melarikan diri!

Dan hatinya terkejut ketika dia tidak melihat Cu Sian diatas kasurnya. Pemuda itu telah pergi! Jangan-jangan dia pergi melarikan dua orang gadis kakak beradik itu seperti yang terjadi dalam mimpinya. Kalau benar demikian, dia akan melakukan pengejaran dan dia akan mencegahnya!

Dia cepat berkemas, membuntal pakaiannya dan sambil menggendong pakaiannya dia keluar dari kemah itu. Pagi masih sepi karena pagi itu dingin sekali. Hanya kelihatan beberapa api unggun di nyalakan orang di beberapa tempat. Tiba-tiba seorang pemuda menghampirinya sambil menuntun kuda. Kuda itu sudah lengkap dengan pelananya dan ada bungkusan di atas pelana kuda. Orang itu ternyata adalah Sabutai!

“Eh, engkau Sabutai...?“ Tanya Han Sin, hatinya tegang, khawatir akan mendengar lenyapnya dua orang gadis itu, dilarikan oleh Cu Sian. “Ada apakah, Sabutai...?”

“Sobat, Han Sin, engkau hendak pergi sekarang? Sepagi ini?“ Tanya Sabutai dan nada suaranya terdengar ramah sekali sehingga Han Sin merasa heran. Baru kemarin dalam pesta tari pemuda ini menantangnya untuk bertanding memperebutkan Hailun!

“Benar, Sabutai. Aku hendak pergi sekarang dan aku sudah berpamit malam tadi kepada paman Tarsukai...“

“Aku sudah tahu, Han Sin justeru sepagi ini aku mencarimu atas perintah paman Tarsukai semalam untuk menyerahkan kuda dan perbekalan ini kepadamu...“ Sabut ai menyerahkan kendali kuda kepada Han Sin.

“Ah, untuk apa semua ini, Sabutai. Sampaikan terima kasihku kepada Paman Tarsukai. Selama tiga pekan aku tinggal di sini diperlakukan sebagai seorang sahabat dan tamu yang sudah lebih dari cukup. Akan tetapi aku tidak dapat menerima hadiah kuda dan perbekalan ini..."

“Akan tetapi, Han Sin. Paman Tarsukai sudah sepatutnya memberi hadiah kepadamu. Bukankah engkau telah menyelamatkan Loana dan Hailun?”

Han Sin tersenyum. “Sabutai, hal itu tidak perlu di bicarakan lagi. Menolong siapa saja yang berada dalam kesulitan merupakan tugas kewajiban kita yang mempelajari ilmu-ilmu untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Bukan mengharapkan balas jasa dan hadiah. Hadiah hanya akan merendahkan perbuatan kita...“

“Ah, Han Sin. Engkau seorang gagah perkasa sejati! Aku kagum kepadamu dan maafkanlah sikapku semalam yang berani menantangmu...“

Han Sin menatap wajah pemuda mongol itu sambil tersenyum. “Engkau tidak perlu minta maaf. Engkau tidak bersalah dan memang sudah sepantasnya kalau engkau membela nama dan kehormatan gadis yang engkau cintai. Nah, selamat tinggal, Sabutai...“

Han Sin segera meninggalkan Sabutai yang masih berdiri termenung dan mengikuti bayangan Han Sin dengan pandang mata kagum. Begitu keluar dari perkampungan suku Yakka, Han Sin lalu berlari cepat menuju ke selatan. Akan tetapi, baru kurang lebih satu li dia berlari, tiba-tiba dia menahan larinya dan berhenti.

Matanya bersinar-sinar ketika dia melihat Cu Sian duduk di atas sebuah batu di tepi anak sungai sambil melamun dan memandang ke sungai membelakanginya. Semua kemarahan yang di tahan-tahannya sejak malam tadi seperti hendak meledak ketika dia mendapat kesempatan bertemu dan berdua saja dengan Cu Sian. Dadanya terasa panas dan dia segera menghampiri Cu Sian dengan marah.

“Sian-te…!” panggilnya tidak ramah, bahkan seperti bentakan marah.

Cu Sian terkejut dan menoleh, Ketika melihat siapa yang membentaknya itu, diapun cepat meloncat turun dari atas batu. “Eh, kiranya engkau, Sin-ko? Wah, sepagi ini engkau sudah membawa buntalan pakaian, engkau hendak pergi ke manakah, Sin-ko...?“ Sikap dan suara Cu S ian masih seperti biasa, ramah dan gembira, bahkan dia tersenyum-senyum.

“Kemana aku hendak pergi bukan urusanmu! Tidak perlu kau tahu! Aku hanya ingin mengatakan bahwa sama sekali tidak ku sangka engkau seorang pemuda tidak tahu malu dan mata keranjang!”

Cu Sian membelalakan mata dan memandang heran. “Eh-eh, apa alasannya engkau mengatakan demikian, Sin-ko?”

“Jangan berpura-pura bersih! Apa yang kau lakukan semalam di tempat pesta? Engkau menggandeng Loana, bahkan memperebutkannya dengan Camuka!”

Cu Sian mengerutkan alisnya dan mulut itu tersenyum mengejek. “Aha, jadi engkau cemburu dan iri hati, ya? Sin-ko, engkau pernah menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa engkau hanya mau berjodoh dengan seorang wanita yang sempurna tanpa cacat sedikit pun. Seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi ternyata baru bertemu dengan Loana saja engkau sudah tergila-gila, bertekuk lutut dan mencintanya. Ha-ha, dimana dewi khayalanmu itu, Sin-ko?”

Han Sin semakin menjadi marah. Pemuda remaja ini malah mengejeknya! Cu Sian, engkau pemuda tak tahu malu! Engkau sudah akrab dengan Hailun, akan tetapi masih juga merayu Loana, memburukkan diriku! Engkau ternyata seorang pemuda mata keranjang, hidung belang yang tidak tahu malu. Tidak sudi lagi aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda macam engkau! Selamat tinggal...!“

Han Sin membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat bayangan berkelebat dan Cu Sian telah berdiri di depannya, bertolak pinggang dan sikapnya angkuh sekali.

“Sin-ko, mengapa engkau marah-marah seperti gila? Begitu besarkah cintamu kepada Loana sehingga membutakan matamu? Sepatutnya engkau berterima kasih kepadaku yang telah membuka matamu untuk melihat gadis macam apa Loana itu, begitu ku rayu lalu meninggalkanmu!”

“Cukup, mulai saat ini aku tidak sudi berteman denganmu, tidak sudi bicara lagi denganmu...!“ Han Sin lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat dan marah.

Khawatir kalau Cu Sian akan mengejar dan membayanginya, Han Sin memasuki hutan lalu mengerahkan ilmunya berlari cepat. Akhirnya dia merasa bahwa Cu Sian tidak mengejarnya. Dia lalu meninggalkan hutan itu menuju ke barat mencari sungai Kuning karena dia bermaksud kembali ke selatan melalui air.

Keterangan yang diperolehnya dari Tarsukai amat berharga dan untuk menyelidiki siapa pembunuh ayahnya, dia harus pergi ke kota raja. Pembunuh ayahnya tentulah seorang perwira yang pada waktu itu membantu ayahnya memimpin pasukan yang berperang melawan pasukan Turki dan Mongol.

********************

Nama julukan Pak-te-ong semakin terkenal di daerah utara sebagai seorang datuk baru yang menguasai daerah di sepanjang lembah Huang Ho. Hampir semua gerombolan perampok dan bajak sungai yang besar-besar telah di tundukkan, ketuanya di bunuh kalau tidak mau menakluk sehingga Pak-te-ong Ma Giok kini menjadi ketua dari mereka semua.

Semua nama perkumpulan gerombolan yang di taklukan itu dihilangkan dan mereka semua menjadi anggota dari perkumpulan baru yang di dirikan oleh pak-te-ong dengan nama Te-kwi-pai (perkumpulan iblis bumi) yang berpusat di Kwi-san (Bukit iblis), di lembah Huang ho. Dalam waktu singkat saja Te-kwi-pai telah menjadi sebuah perkumpulan yang anggotanya tidak kurang dari tiga ratus orang!

Dan semua penjahat yang bergerak di daerah lembah Huang ho utara, semua tidak ada yang tidak tunduk kepada Te-kwi-pai. Dan setiap kali mereka mendapatkan 'rejeki' hasil perampokan atau pembajakan, yang dilakukan oleh perorangan, mereka tentu menyerahkan sebagian hasil itu kepada Te-kwi-pai. Ini sudah merupakan peraturan tidak tertulis dan siapa yang melanggar tentu akan ketahuan dan tidak di ampuni lagi.

Dari hasil yang berlimpah ini, terutama sekali dari pemungutan 'pajak jalan' bagi para saudagar, baik yang melakukan perjalanan lewat darat maupun sungai, sebentar saja Pak-te-ong Ma Giok telah membangun sebuah gedung besar di puncak bukit iblis. Di situ dia tinggal bersama seorang gadis, yaitu puteri tunggalnya bernama Ma Goat, yang berusia delapan belas tahun.

Pak-te-ong Ma Giok sudah tidak mempunyai ist eri lagi. Ibu Ma Goat telah meninggal beberapa tahun yang lalu sehingga Ma Goat merupakan keluarga satu-satunya. Tentu saja dia amat menyayang dan memanjakan puterinya ini yang semenjak kecil dia gembleng sendiri sehingga kini menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi.

Ma Goat memang seorang gadis yang cantik sekali. Wajahnya yang bulat itu sesuai dengan namanya. Nama Ma Goat berarti bulan dan memang ia cantik seperti bulan purnama, Sepasang matanya tajam berkilat dan setitik tahi lalat hitam di dagu kirinya menambah daya tariknya.

Akan tetapi, biarpun dia cantik dan nampak lemah gemulai, orang-orang takut kepadanya karena dalam hal kekejaman, ia tidak kalah dibandingkan ayahnya. Tangannya ringan sekali membunuh orang yang dianggap bersalah kepadanya, dan ia membunuh sambil tersenyum manis. Sama sekali tidak kelihatan kejam, akan tetapi sekali sulingnya menyambar dengan gerakan indah, tentu ada orang yang tewas didepannya.

Kemanapun ia pergi, ia selalu membawa sulingnya, sebatang suling kecil berwarna hitam mengkilap, kedua ujungnya di hias emas dan suling itu terselip di ikat pinggangnya, Karena kejamnya ia menggunakan sulingnya untuk membunuh orang yang di anggap bersalah kepadanya.

Ma Goat di juluki Suling Maut oleh ratusan anak buah Te-kwi-pai, dan karena anak buah Te-kwi-pai itu datang dari berbagai golongan di dunia kang-ouw, maka julukan suling maut inipun sebentar saja terkenal di dunia persilatan daerah utara...

********************