Pedang Naga Hitam Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pengalaman ini membuat kepala perampok merasa jerih. Anak buahnya juga belum muncul dan dia merasa tidak akan mampu menandingi pemuda remaja yang amat lihai itu. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka. Apalagi di situ masih ada pemuda lain yang belum turun tangan. Karena itu, begitu dia dapat meloncat bangun, dia langsung membalikkan diri dan lari meninggalkan tempat itu secepatnya.

Hailun bertepuk tangan dengan gembira. “Heiii, monyet hitam pengecut! Jangan lari kau...!“ Ia berteriak dan melihat kegembiraan gadis itu, Cu Sian juga menjadi gembira.

“Nona, apa engkau ingin aku menangkap monyet itu?” Cu Sian bertanya sambil tertawa.

“Benar, sobat yang gagah perkasa. Kejar dan tangkaplah monyet hitam itu, seret dia ke sini agar aku sendiri dapat memberi hukuman kepadanya!” teriak Hailun dengan gembira.

Akan tetapi sebelum Cu Sian bergerak untuk mengejar lawannya, Han Sin berkata, “Sian-te, lawan yang sudah kalah dan melarikan diri tidak perlu dikejar lagi...“

Cu Sian memandang kepada Han Sin dengan alis berkerut, akan tetapi melihat pandang mata Han Sin, dia teringat bahwa dia sudah berjanji akan menaati kata-kata sahabatnya itu. Maka diapun lalu tersenyum dan menoleh kepada Hailun sambil mengembangkan kedua lengannya dan mengangkat pundak.

“Sayang, adik yang manis, kakakku ini melarang aku mengejar monyet hitam itu...“

Hailun melangkah maju dan tanpa ragu atau malu lagi dara mongol ini memegang tangan kanan Cu Sian dengan kedua tangannya, sepasang matanya menatap penuh kagum wajah pemuda itu dan ia berkata, “Ah, engkau hebat sekali. Engkau adalah pahlawanku yang gagah perkasa! Kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, sobat...“

Cu Sian tersenyum dan berkata dengan lagak bangga. “Ah, melawan monyet hitam itu tidak ada artinya, nona manis. Biar ada selusin monyet seperti dia. Kalau berani mengganggu sehelai rambut mu, tentu akan kubasmi semua...!“

Han Sin tertegun menyaksikan lagak Cu Sian ini. Memang biasanya pemuda itu lincah gembira dan jenaka, bahkan ugal-ugalan, akan tetapi sekali ini lagaknya demikian sombong dan takabur! Ah, jangan-jangan sahabatnya ini memang seorang pemuda mata keranjang! Maka, untuk menghentikan Cu Sian yang menjual lagak itu dia berkata dengan sikap sopan sambil memandang kepada Loana.

“Nona berdua, apa yang telah terjadi dengan kalian...? Mengapa pula kalian melakukan perjalanan melalui hutan yang liar ini? Kalian dari manakah dan hendak menuju kemana...?“

Loana segera menjawab, “Kami berdua adalah kakak beradik. Kami adalah puteri kepala suku Yakka Mongol yang sedang melakukan perjalanan menuju ke Shan-si, di kawal oleh paman kami dan seregu prajurit. Akan tetapi setibanya di tempat ini, rombongan kami dihadang dan di serang oleh segerombolan perampok tadi dan kami berdua ditawan kepalanya dan di bawa lari sampai ke sini, Untung kami di tolong oleh sobat berdua. Untuk itu kami berdua menghaturkan banyak terima kasih...“

Han Sin memandang kagum. Dua orang gadis mongol ini dapat bicara dalam bahasa Han yang cukup baik. ini menandakan bahwa mereka terdidik dengan baik.

“Siapakah nama sobat berdua yang gagah perkasa?” Tiba-tiba Hailun bertanya sambil memandang kepada Cu Sian.

Cu Sian tertawa. “Ha ha, mestinya kalian berdua yang lebih dulu memperkenalkan nama kalian kepada kami...!“

Hailun juga tersenyum. “Namaku Hailun dan ini adalah kakak saya bernama Loana. Ayah kami adalah kepala suku Yakka bernama Tarsukai...“

Han Sin gembira sekali mendengar bahwa dua orang gadis itu adalah puteri-puteri kepala suku Yakka. Dia teringat akan nasihat Li Si Bin agar dia melakukan penyelidikan tentang kematian ayahnya itu di antara orang-orang Yakka yang dahulu ikut bertempur melawan pasukan ayahnya. Mungkin ayah gadis-gadis ini akan dapat memberi banyak keterangan kepadanya!

“Ah, kebetulan sekali! kami juga sedang melakukan perjalanan ke utara untuk mengunjungi kepala suku Yakka Mongol! Perkenalkanlah, nona. Aku bernama Cian Han Sin dan ini adalah sahabat baikku bernama Cu Sian...“

Pada ssat itu, terdengar suara gaduh banyak orang dan juga suara derap kaki kuda. Dua orang gadis itu nampak gelisah dan mereka mendekati penolong mereka. Tanpa di sengaja Loana mendekati Han Sin dan Hailun mendekati Cu Sian, bahkan memegang lengan pemuda itu. Dua orang pemuda itupun membalikkan tubuh menghadapi orang-orang yang baru datang untuk melakukan perlawanan.

Akan tetapi yang muncul itu adalah orang-orang Mongol yang mengawal kedua orang gadis itu. Temugu yang tinggi besar itu segera meloncat dari atas kudanya dan sikapnya mengancam ketika dia melihat dua orang keponakannya berada di situ bersama dua orang pemuda Han yang tidak mereka kenal. Belasan orang mongol yang datang berjalan kaki dan ada pula yang berkuda, segera mengepung dengan sikap mengancam.

“Dua orang muda yang bosan hidup! Bebaskan dua orang nona kami sebelum kami menggunakan kekerasan dan membunuh kalian!” bentak Temugu yang sudah siap dengan pedang bengkok di tangannya.

Hailun segera berkata dengan suara nyaring. “Paman Temugu, jangan ngawur! Dua orang pemuda ini justeru yang menolong kami dari tangan perampok!”

Temugu membelalakkan matanya, akan tetapi karena sudah menjadi watak Hailun yang suka main-main, maka dia memandang kepada Loana seperti minta penjelasan. Loana menghadapinya dan berkata,

“Memang benar Paman Temugu. Mereka ini bernama Cian Han Sin dan Cu Sian. Dua orang pemuda yang baru saja membebaskan kami dari tangan kepala perampok...“

Mendengar penjelasan Loana ini , Temugu tidak ragu lagi dan dia cepat memberi hormat dengan mengangguk kemudian menjulurkan tangan mengajak dua orang pemuda itu bersalaman. “Ah, maafkan kami yang tidak tahu. Kami berterima kasih sekali kepada dua orang sobat baik. Ketua kami tentu akan menerima kalian sebagai tamu-tamu agung dan akan mengucapkan terima kasihnya...“

Sebelum Han Sin dan Cu Sian menjawab, Loana sudah berkata lagi, “Memang mereka berdua ingin mengunjungi tempat kita dan bertemu dengan ayah, paman...“

Hailun menyambung. “Baiknya begini saja, paman Temugu. Paman dan para pengawal melanjutkan perjalanan ke Shan-si dan menyerahkan barang-barang hadiah dari ayah, sedangkan kami berdua akan kembali saja bersama saudara Cian Han Sin dan Cu Sian...“

Mendengar usul Hailun itu, Temugu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala tidak setuju. “Hailun, bagaimana kalian pulang sendiri? Kami yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian. Kalau terjadi apa-apa dengan kalian bagaimana kami akan mempertanggung-jawabkannya...?”

“Ah, paman! Dengan dikawal dua orang penolong kami ini kami akan sampai di rumah dengan selamat. Jangan pandang ringan mereka berdua, paman, Pengawalan mereka berdua jauh lebih aman dibandingkan pengawalan kalian yang tujuh belas orang banyaknya itu...!”

Temugu tetap tidak setuju, akan tetapi Loana berkata dengan suaranya yang halus namun meyakinkan. “Ucapan adik Hailun tidak berlebihan, paman Temugu. Buktinya tadi, dengan pengawalan paman sekalian, tetap saja kami di tawan penjahat. Kalau tidak ada dua orang penolong ini, entah bagaimana jadinya dengan kami. Pula, setelah mengalami peristiwa tadi, kami berdua sudah tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan perjalanan. Biarkan kami berdua pulang bersama dua orang pemuda ini yang hendak berkunjung kepada ayah...“

Temugu tidak dapat membantah lagi. Juga kini dia mengenal bahwa pemuda yang berkelebat cepat membantu mereka melawan gerombolan adalah pemuda yang tinggi tegap dengan pakaian sederhana ini. Memang hanya sekelebatan saja dia melihat bayangan yang merobohkan banyak anggota perampok tadi, akan tetapi dia ingat benar bahwa bayangan itu mengikat rambutnya dengan pita kuning.

Temugu menginginkan kepastian dari dua orang pemuda yang sama sekali asing itu. “Sobat muda berdua, apakah benar-benar kalian berdua berani mempertanggungjawabkan keselamatan dua orang keponakan kami ini dan mengantar mereka sampai ke tempat tinggal kami...?” Temugu memandang tajam kepada Han Sin dan Cu Sian.

Han Sin segera menjawab. “Paman yang baik, sesungguhnyalah bahwa aku dan sahabat ku ini hendak pergi mengunjungi Kapala Suku Yakka Mongol untuk suatu keperluan penting. Kami sama sekali tidak mengajak kedua orang nona ini untuk pergi bersama kami...“

Mendengar ini, Loana berkata, “Sobat Cian Han Sin. Memang kalian tidak mengajak kami berdua, akan tetapi setelah terjadi peristiwa ini kami berdua kakak beradik ingin pulang saja. Dan mendengar bahwa sobat Cian Han Sin dan Cu Sian hendak mengunjungi ayah kami, maka hal itu kebetulan sekali. Kita dapat melakukan perjalanan bersama...“

“Kakak Loana berkata benar!” sambung Hailun. “Perjalanan dari sini menuju ke perkampungan kita aman, tidak akan ada yang berani mengganggu kami. Bahkan tanpa pengawalan sama sekalipun kami berdua berani melakukan perjalanan pulang. Kami berdua bukanlah gadis-gadis lemah dan cengeng, Karena kebetulan dua orang pemuda ini hendak berkunjung ke tempat tinggal kami, apa salahnya kalau kami berdua melakukan perjalanan dengan mereka...?”

Cu Sian merasa tidak enak kalau diam saja. “Sudahlah, biarkan dua orang nona ini melakukan perjalanan pulang bersama kami berdua. Tentang keselamatan mereka berdua, jangan khawatir. Kalau terjadi gangguan dan halangan, akulah yang akan melindungi mereka dengan taruhan nyawa!” Ucapan ini terdengar gagah sekali.

Mendengar ini, Hailun mendekati Cu Sian dan gadis ini berkata kepada pamannya. “Paman dengar itu? Dengan pengawalan sobat Cu Sian ini aku akan merasa lebih aman daripada dikawal pasukan pengawal kita...!”

Wajah Temugu berubah kemerahan dan sambil mengerutkan alisnya dia berkata, “Semua pengawal ini menjadi saksi, bahwa pemisahan diri kami ini adalah kehendak kalian berdua sendiri. Kalau sampai terjadi sesuatu, jangan persalahkan kami...!”

Han Sin merasa tidak enak sekali. Diapun tidak ingin mengajak kedua gadis itu. Adalah mereka berdua itu yang menghendakinya sendiri. Kalau dia merasa setuju mereka berdua ikut dan melakukan perjalanan bersama dia dan Cu Sian, hal itu adalah karena dengan adanya dua orang gadis itu tentu akan lebih memudahkan dia mencari keterangan tentang kematian ayahnya di perkampungan Yakka itu.

“Aku mempunyai usul yang kiranya dapat kalian terima. Bagaimana kalau para pengawal ini di bagi dua? Sebagian melanjutkan perjalanan ke Shan-si dan yang sebagian lagi tetap mengawal kedua orang nona pulang ke utara bersama kami...“

Usul Han Sin ini di terima dengan suara bulat. Temugu lalu membagi pasukan pengawalnya. Delapan orang di tugaskan untuk mengawal dua orang keponakannya sedangkan selebihnya ikut dengan dia ke Shan-si. Dan dua ekor kuda diberikan kepada Han Sin dan Cu Sian. Dua rombongan ini lalu berpisah dan Han Sin bersama Cu sian dan dua orang gadis itu di kawal delapan orang, menunggang kuda menuju ke utara.

********************

Cerita silat serial sepasang naga lembah iblis episode pedang naga hitam jilid 22 karya kho ping hoo

Seperti kehidupan para nenek moyang mereka, Suku Yakka Mongol hidup sebagai suku perantau, hanya menetap untuk sementara di daerah yang mereka anggap subur dan menguntungkan. Apabila daerah itu sudah tidak menguntungkan lagi. Mereka memboyong seluruh keluarga mereka, pindah ke daerah baru yang lebih baik.

Karena itulah, di setiap daerah yang mereka pilih sebagai tempat tinggal sementara, mereka tidak pernah atau jarang sekali membangun rumah tinggal yang tetap. Mereka lebih suka mendirikan kemah-kemah yang mudah di bongkar pasang.

Pada waktu itu, suku Yakka Mongol itu bertempat tinggal di daerah yang subur, di antara Sungai Kerulon dan Sungai Ono. Bukit-bukit di sekitar tempat itu penuh dengan hutan lebat. Di sebuah yang lembah yang penuh dengan padang rumput, mereka mendirikan kemah-kemah mereka.

Rumah atau kemah mereka itu terbuat dari bulu binatang kempa yang di tangkupkan pada rangka dari kayu. Dibagian paling atas terdapat sebuah lubang untuk mengeluarkan asap. Dinding kemah itu di kapur dan dihiasi dengan lukisan-lukisan. Kemah yang paling besar dan mewah tentu saja menjadi tempat tinggal kepala suku mereka, yaitu Tarsukai. Kemah seperti ini, di dalam bahasa mereka di sebut Yurt. Bentuknya agak bundar dan bentuk ini menyebabkan angin yang meniup kuat -kuat akan melewatinya tanpa menimbulkan bahaya tumbang atau runtuh.

Di dalam perkampungan suku Yakka itu, perkemahan milik Tarsukai berada di tengah-tengan, terdiri dari beberapa buah Yurt yang mengelilingi yurt yang terbesar. Para isterinya tinggal bersama anak-anak mereka dalam sebuah yurt. Sebuah yurt untuk seorang isteri dan anak-anaknya.

Ketika Han Sin dan Cu Sian tiba di perkampungan itu, mereka di sambut oleh orang-orang Yakka dengan heran dan juga gembira. Apalagi ketika mereka mendengar dari para pengawal bahwa dua orang itu adalah pendekar-pendekar yang telah menyelamatkan dua orang nona mereka dari tangan kepala perampok, semua orang memandang kepada dua orang pemuda itu dengan takjub. Di dampingi oleh Loana dan Hailun, kedua orang pemuda itu dipersilahkan memasuki kemah yang terbesar, yang menjadi tempat tinggal dan juga tempat pertemuan dari Tarsukai.

Dengan kikuk dan juga terheran-heran, Han Sin dan Cu Sian memasuki kemah itu dan mengamati keadaan di dalam kemah. Kemah itu besar dan luas sekali dan di situlah tersimpan milik keluarga Tarsukai, kepala klan (suku) Yakka mongol itu. Ada permadani yang tebal dan indah berasal dari Bhokhara atau Kabul, yang di bawa oleh para pedagang dari barat. Ada pula peti-peti besar berisi pakaian dari sutera yang mereka peroleh dari tukar menukar barang dengan pedagang-pedagang bangsa Arab. Ada pula barang-barang dari perak ukir-ukiran.

Di sudut terdapat sebauh rak penuh dengan senjata yang sebagian tergant ung pada dinding kemah, pedang-pedang dari Turki. lembing-lembing, kotak-kotak busur dari gading dan bambu, anak-anak panah dari berbagai jenis terhias bulu-bulu indah dan perisai-perisai dari kulit yang di cat beraneka corak dan warna.

Han Sin dan Cu Sian merasa asing sekali, seolah masuk ke dalam dunia yang lain sama sekali. Juga suasana di situ bebas namun mengandung suasana yang menyeramkan, seolah-olah semua seramah-tamahan itu dalam sekejab dapat berubah menjadi kebengisan. Didalam yurt besar itu, seperti juga dalam yurt-yurt lainnya, terdapat perapian yang menghangatkan hawa dalam kemah itu.

Seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun duduk di atas sebuah kursi berukir dengan sikap gagah. Kedua kakinya terpentang lebar, kepalanya juga tegak. Pakaiannya berbeda dengan pakaian orang orang Yakka lainnya, karena dia memakai jubah dari bulu. Pria ini bersikap seperti seekor burung rajawali yang bertengger di puncak pohon, gagah dan berwibawa.

Loana dan Hailun segera lari kedepan menyalami ayah mereka dan mencium tangan ayah mereka. Tarsukai yang tadinya berwajah seperti topeng itu tiba-tiba saja nampak tampan ketika tersenyum dan matanya bersinar-sinar, mulutnya kelihatan ramah sekali. Dia merangkul Loana dengan tangan kanan dan Hailun dengan tangan kiri.

“Hemm, anak-anakku yang nakal. Apa yang kudengar dari pelaporan para pengawal tadi? Kalian tidak melanjutkan perjalanan ke Shan-si akan tetapi di tengah perjalanan lalu menghentikan perjalanan dan pulang? Dan laporan itu mengatakan bahwa kalian ditawan perampok? Bagaimana sebetulnya, apa yang terjadi...?“

Hailun terkekeh dan mengelus tangan ayahnya. “Ah, ayah menghujani kami dengan pertanyaan-pertanyaan. Sebelum kami bercerita, ayah, lebih dulu perkenalkanlah, dua orang pemuda itu adalah penolong-penolong kami. Ini Cian Han S in dan yang itu Cu Sian..."

Tarsukai menoleh dan memandang kepada dua orang pemuda yang masih berdiri di depannya. Sejenak dia memandang penuh perhatian dan selidik, kemudian dia mengangguk. Han Sin dan Cu Sian segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada yang di balas oleh Tarsukai dengan membungkuk. Kemudian kepala suku itu bangkit berdiri dan nampaklah bentuk tubuhnya yang kokoh kuat, tinggi dan berotot.

“Kalian telah menolong kedua orang puteri kami? Kalau begitu, duduklah. Kalian adalah sahabat-sahabat kami dan menjadi tamu-tamu kehormatan kami!” Tarsukai mempersilahkan kedua orang muda itu duduk di atas bangku pendek, sedangkan dua orang puterinya duduk bersimpuh di atas permadani.

“Terima kasih...“ kata Han Sin yang di turut oleh Cu Sian. Mereka duduk di depan kepala suku itu.

“Nah, anak-anakku, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi!” kata Tarsukai.

“Ayah, kami melakukan perjalanan ke selatan dengan lancar. Bahkan kami berdua sempat singgah di tempat-tempat yang indah, bertamasya di danau-danau. Akan tetapi ketika kami tiba di perbatasan, di dalam hutan, tiba-tiba muncul sekelompok kijang. Aku dan adik Hailun tertarik dan kami berdua mengejar kijang-kijang itu sambil melepaskan anak panah...“

“Anak panah kami mengena, ayah...“ sambung Hailun. "Akan tet api kijang-kijang itu masih dapat berlari memasuki hutan dan kami terus mengejar...“

“Dan tiba-tiba muncul segerombolan orang jahat itu!” kata Loana. “Kepala perampok itu lalu menyerang aku dan Hailun, tiba-tiba saja kami berdua tidak mampu bergerak dan dia lalu memanggul kami dan membawa kami pergi memasuki hutan...“

“Hemmm, apa kerjaannya paman kalian Temugu? Apa dia tidak melindungi kalian?” Tanya Tarsukai dengan nada marah.

“Paman dan para pengawal melakukan pengejaran kepada kami berdua akan tetapi mereka sibuk melawan serangan anak buah gerombolan perampok, ayah...“ kata Loana. “Akan tetapi untunglah kami di tolong oleh dua orang sahabat yang gagah perkasa ini...“

“Ayah, hebat sekali kepandaian Cu Sian ini!” kata Hailun sambil menunjuk kearah pemuda itu. “Dia muncul dan menyerang kepala perampok yang menyeramkan itu. Hanya dengan sebatang tongkat dia menghadapi kepala perampok yang bersenjata golok besar dan akhirnya monyet hitam itu melarikan diri. Kalau tidak ada Cu Sian ini, entah apa jadinya dengan kami...“

Tarsukai mengangguk-angguk sambil memandang kepada Han Sin dan Cu Sian, terutama sekali kepada Cu Sian. Diam-diam kepala suku ini kagum akan tetapi juga meragukan cerita kedua puterinya. Pemuda-pemuda yang penampilannya tidak mengesankan itu, nampaknya hanya pemuda-pemuda pelajar yang lemah lembut, bagaimana mungkin dapat menjadi seorang laki-laki yang jantan dan kuat...?

Akan tetapi, karena bukan hanya dua orang puterinya yang bercerita, akan tetapi juga para pengawal melapor kepadanya akan kelihaian dua orang pemuda itu, maka diapun percaya walaupun tidak yakin benar karena tidak menyaksikan sendiri. Untuk menyatakan terima kasihnya, Tarsukai lalu mengadakan pesta untuk menyambut dan menghormati dua orang tamu agungnya.

Dua orang pemuda itu tentu saja merasa gembira akan penyambutan yang sedemikian ramah dan baiknya. Mereka mendapatkan sebuah kemah sendiri untuk mereka berdua tinggal. di dalam kemah yang tidak berapa besar namun lengkap itu, Han Sin dan Cu Sian beristirahat setelah mereka ikut hadir dalam pesta untuk menyambut mereka dan makan minum sampai kenyang.

Di dalam kemah itu hanya terdapat sebuah tempat tidur yang hanya merupakan sebuah kasur bulu yang terletak di atas permadani. kasur ini kurang lebih satu setengah meter lebarnya dan melihat ini, Cu Sian mengerutkan alisnya dan berkata,

“Sin-ko, malam nanti aku akan tidur di atas permadani saja dan engkau boleh tidur di atas kasur...“

“Ah, Sian-te. Kasur ini cukup besar untuk kita berdua...!“ bantah Han Sin.

“Sudah sering kukatakan padamu, Sin-ko. Aku tidak biasa tidur sekamar dengan orang lain dan kalau hal itu dipaksakan, semalam suntuk aku takkan dapat tidur! Apalagi satu tempat tidur! Sudahlah, kalau engkau memaksa, aku malah akan tidur di luar saja!”

Melihat Cu Sian ngambek, Han Sin tersenyum. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu, Sian-te. Engkau boleh tidur di atas kasur itu seorang diri dan aku yang tidur di permadani...“

“Tidak, kau yang di kasur...!”

“Aihh, Sian-te. Seorang kakak harus mengalah kepada adiknya, bukan...? Hanya aku merasa heran, bagaimana kelak kalau engkau sudah beristeri? Apakah engkaupun akan tidur berpisah tempat tidur dan berpisah kamar...?”

“Aku tidak akan beristri!” kata Cu Sian tegas.

Han Sin tertawa dan menggoda. “Wah, jangan sombong engkau, Sian-te. Kalau engkau takabur, kelak engkau akan malu sendiri. Aku tahu bahwa sekarangpun sudah ada bidadari yang siap melepaskan anak panah asmaranya kepada hatimu...!”

“Jangan mengacau, Sin-ko!”

“Aih, apa kau kira aku tidak tahu...? Apakah engkau hanya pura-pura tidak melihat dan tidak tahu? Aku melihat puteri Hailun yang cantik jelita itu telah jungkir balik jatuh cinta kepadamu, Sian-te...“

Cu Sian cemberut. “Hemm, jangan menggoda, Sin-ko. Apakah kau kira aku tidak tahu betapa Loana memandangmu dengan sepasang mata redup memancarkan cinta? gadis itu mencintaimu, Sin-ko...“

Han Sin menghela napas panjang dan berkata dengan sungguh-sungguh. “Ah, Sian-te. Akupun tahu akan hal itu dan aku merasa kasihan sekali padanya. Ia seorang gadis yang baik hati dan memenuhi semua syarat untuk dapat menjadi seorang istri yang amat baik. Sayang sekali, aku belum berpikir tentang perjodohan, bahkan tugasku disinipun belum sempat kulakukan. Aku akan menanti saat yang baik untuk minta keterangan dari paman Tarsukai. Akan tetapi aku harus berhati-hati. Dia kelihatan seorang laki-laki yang keras hati dan mendiang ayahku dahulu pernah menjadi musuhnya dalam pertempuran. Aku khawatir dia akan marah dan membenciku kalau aku berterus terang bahwa aku adalah putera mendiang Panglima Cian Kauw Cu...“

“Hal itu dapat dilakukan kalau sudah terbuka kesempatan bagi kita, Sin-ko. Agaknya dia belum percaya benar kepada kita. Akan tetapi. kau katakan tadi bahwa Loana memenuhi semua syarat untuk menjadi seorang isteri yang baik. Ah, agaknya engkau seorang filsuf yang mengenal benar watak-watak seorang wanita. Sin-ko, katakanlah kepadaku, bagaimana agar dapat memenuhi syarat menjadi seorang isteri yang baik itu? Agar kelak aku dapat memilih yang benar...“

Han Sin memandang seperti orang melamun, pandang matanya kosong dan jauh. Dia membayangkan wajah dan watak ibunya! “Seorang isteri yang baik pertama-tama tentu saja yang memiliki kecantikan yang wajar dan aseli, tidak polesan…"

“Hemmm, ya, Sin-ko?“ Cu Sian mendesak.

“Kecantikan seperti itu adalah khas kecantikan wanita, cantik lahir bathin, tanpa cacat…”

“Seperti Loana itu?”

“Ya, seperti itulah, akan tetapi aku belum yakin benar akan kecantikan bathin Loana...“

“Lalu, bagaimana lagi...?”

“Ia harus mencinta suaminya dengan sepenuh jiwa raganya, setia sampai mati…“

“Hemmm, begitukah? Lalu apa lagi...?”

"Macam kesukaran, berani menghadapi bahaya apapun demi membela suaminya karena di dalam lubuk hatinya hanya ada bayangan suaminya, tidak ada bayangan pria lain…“

“Begitukah? Lalu bagaimana lagi?”

“Ia harus melayani segala keperluan hidup suaminya, selalu siap untuk menyenangkan dan menghibur hati suaminya, ikut bergembira ria kalau suaminya sedang senang dan menghibur kalau suaminya sedang susah. Ia harus menaati semua kehendak suaminya dan…“

Tiba-tiba Cu Sian yang sejak tadi sudah merasa jengkel dengan penggambaran Han Sin, tidak dapat menahan lagi hatinya dan meledaklah kejengkelannya. “…Dan engkau boleh menikah dengan wanita bayangan itu, dewi pujaan yang hanya hidup dalam mimpi! Engkau boleh menikah dengan wanita roh halus atau siluman itu, karena wanita macam itu tidak berdarah daging, dan tidak dapat hidup di dunia ini, wanita macam itu hanya makan harumnya bunga dan asap hio, sebangsa setan kuntilanak...!”

“Ehhh...? dan kenapa engkau marah-marah, Sian-te?”

“Tentu saja aku marah karena engkau adalah seorang laki-laki yang tolol, sombong dan tak tahu diri! Huh, aku muak, belum pernah aku bertemu orang sepertimu. Mual perut ku melihat mu Sin-ko!” Cu Sian lalu keluar dari kemah itu dengan muka merah dan marahnya.

Han Sin tertegun bingung. Dia masih duduk bersila dalam kemah itu, di atas permadani. Terheran-heran melihat sikap Cu Sian. Kenapa pemuda itu marah-marah kepadanya? Padahal dia hanya mememuji kecantikan Loana. Loana…? Ah, apakah Cu Sian mencinta Loana sehingga timbul cemburu di hatinya di kala dia memuji-muji gadis itu?

Perlahan-lahan dia melangkah keluar kemah. Dia melihat Cu Sian berdiri di depan serumpun bunga. Dia menghampiri sampai dekat. “Sian-te, maafkanlah aku...“

Cu Sian memutar tubuhnya menghadapinya. Mulutnya masih cemberut, akan tetapi pandang matanya tidak semarah tadi. “Apa yang harus di maafkan...?” dia bertanya dan matanya memandang nakal...

Pedang Naga Hitam Jilid 22

Pengalaman ini membuat kepala perampok merasa jerih. Anak buahnya juga belum muncul dan dia merasa tidak akan mampu menandingi pemuda remaja yang amat lihai itu. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka. Apalagi di situ masih ada pemuda lain yang belum turun tangan. Karena itu, begitu dia dapat meloncat bangun, dia langsung membalikkan diri dan lari meninggalkan tempat itu secepatnya.

Hailun bertepuk tangan dengan gembira. “Heiii, monyet hitam pengecut! Jangan lari kau...!“ Ia berteriak dan melihat kegembiraan gadis itu, Cu Sian juga menjadi gembira.

“Nona, apa engkau ingin aku menangkap monyet itu?” Cu Sian bertanya sambil tertawa.

“Benar, sobat yang gagah perkasa. Kejar dan tangkaplah monyet hitam itu, seret dia ke sini agar aku sendiri dapat memberi hukuman kepadanya!” teriak Hailun dengan gembira.

Akan tetapi sebelum Cu Sian bergerak untuk mengejar lawannya, Han Sin berkata, “Sian-te, lawan yang sudah kalah dan melarikan diri tidak perlu dikejar lagi...“

Cu Sian memandang kepada Han Sin dengan alis berkerut, akan tetapi melihat pandang mata Han Sin, dia teringat bahwa dia sudah berjanji akan menaati kata-kata sahabatnya itu. Maka diapun lalu tersenyum dan menoleh kepada Hailun sambil mengembangkan kedua lengannya dan mengangkat pundak.

“Sayang, adik yang manis, kakakku ini melarang aku mengejar monyet hitam itu...“

Hailun melangkah maju dan tanpa ragu atau malu lagi dara mongol ini memegang tangan kanan Cu Sian dengan kedua tangannya, sepasang matanya menatap penuh kagum wajah pemuda itu dan ia berkata, “Ah, engkau hebat sekali. Engkau adalah pahlawanku yang gagah perkasa! Kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, sobat...“

Cu Sian tersenyum dan berkata dengan lagak bangga. “Ah, melawan monyet hitam itu tidak ada artinya, nona manis. Biar ada selusin monyet seperti dia. Kalau berani mengganggu sehelai rambut mu, tentu akan kubasmi semua...!“

Han Sin tertegun menyaksikan lagak Cu Sian ini. Memang biasanya pemuda itu lincah gembira dan jenaka, bahkan ugal-ugalan, akan tetapi sekali ini lagaknya demikian sombong dan takabur! Ah, jangan-jangan sahabatnya ini memang seorang pemuda mata keranjang! Maka, untuk menghentikan Cu Sian yang menjual lagak itu dia berkata dengan sikap sopan sambil memandang kepada Loana.

“Nona berdua, apa yang telah terjadi dengan kalian...? Mengapa pula kalian melakukan perjalanan melalui hutan yang liar ini? Kalian dari manakah dan hendak menuju kemana...?“

Loana segera menjawab, “Kami berdua adalah kakak beradik. Kami adalah puteri kepala suku Yakka Mongol yang sedang melakukan perjalanan menuju ke Shan-si, di kawal oleh paman kami dan seregu prajurit. Akan tetapi setibanya di tempat ini, rombongan kami dihadang dan di serang oleh segerombolan perampok tadi dan kami berdua ditawan kepalanya dan di bawa lari sampai ke sini, Untung kami di tolong oleh sobat berdua. Untuk itu kami berdua menghaturkan banyak terima kasih...“

Han Sin memandang kagum. Dua orang gadis mongol ini dapat bicara dalam bahasa Han yang cukup baik. ini menandakan bahwa mereka terdidik dengan baik.

“Siapakah nama sobat berdua yang gagah perkasa?” Tiba-tiba Hailun bertanya sambil memandang kepada Cu Sian.

Cu Sian tertawa. “Ha ha, mestinya kalian berdua yang lebih dulu memperkenalkan nama kalian kepada kami...!“

Hailun juga tersenyum. “Namaku Hailun dan ini adalah kakak saya bernama Loana. Ayah kami adalah kepala suku Yakka bernama Tarsukai...“

Han Sin gembira sekali mendengar bahwa dua orang gadis itu adalah puteri-puteri kepala suku Yakka. Dia teringat akan nasihat Li Si Bin agar dia melakukan penyelidikan tentang kematian ayahnya itu di antara orang-orang Yakka yang dahulu ikut bertempur melawan pasukan ayahnya. Mungkin ayah gadis-gadis ini akan dapat memberi banyak keterangan kepadanya!

“Ah, kebetulan sekali! kami juga sedang melakukan perjalanan ke utara untuk mengunjungi kepala suku Yakka Mongol! Perkenalkanlah, nona. Aku bernama Cian Han Sin dan ini adalah sahabat baikku bernama Cu Sian...“

Pada ssat itu, terdengar suara gaduh banyak orang dan juga suara derap kaki kuda. Dua orang gadis itu nampak gelisah dan mereka mendekati penolong mereka. Tanpa di sengaja Loana mendekati Han Sin dan Hailun mendekati Cu Sian, bahkan memegang lengan pemuda itu. Dua orang pemuda itupun membalikkan tubuh menghadapi orang-orang yang baru datang untuk melakukan perlawanan.

Akan tetapi yang muncul itu adalah orang-orang Mongol yang mengawal kedua orang gadis itu. Temugu yang tinggi besar itu segera meloncat dari atas kudanya dan sikapnya mengancam ketika dia melihat dua orang keponakannya berada di situ bersama dua orang pemuda Han yang tidak mereka kenal. Belasan orang mongol yang datang berjalan kaki dan ada pula yang berkuda, segera mengepung dengan sikap mengancam.

“Dua orang muda yang bosan hidup! Bebaskan dua orang nona kami sebelum kami menggunakan kekerasan dan membunuh kalian!” bentak Temugu yang sudah siap dengan pedang bengkok di tangannya.

Hailun segera berkata dengan suara nyaring. “Paman Temugu, jangan ngawur! Dua orang pemuda ini justeru yang menolong kami dari tangan perampok!”

Temugu membelalakkan matanya, akan tetapi karena sudah menjadi watak Hailun yang suka main-main, maka dia memandang kepada Loana seperti minta penjelasan. Loana menghadapinya dan berkata,

“Memang benar Paman Temugu. Mereka ini bernama Cian Han Sin dan Cu Sian. Dua orang pemuda yang baru saja membebaskan kami dari tangan kepala perampok...“

Mendengar penjelasan Loana ini , Temugu tidak ragu lagi dan dia cepat memberi hormat dengan mengangguk kemudian menjulurkan tangan mengajak dua orang pemuda itu bersalaman. “Ah, maafkan kami yang tidak tahu. Kami berterima kasih sekali kepada dua orang sobat baik. Ketua kami tentu akan menerima kalian sebagai tamu-tamu agung dan akan mengucapkan terima kasihnya...“

Sebelum Han Sin dan Cu Sian menjawab, Loana sudah berkata lagi, “Memang mereka berdua ingin mengunjungi tempat kita dan bertemu dengan ayah, paman...“

Hailun menyambung. “Baiknya begini saja, paman Temugu. Paman dan para pengawal melanjutkan perjalanan ke Shan-si dan menyerahkan barang-barang hadiah dari ayah, sedangkan kami berdua akan kembali saja bersama saudara Cian Han Sin dan Cu Sian...“

Mendengar usul Hailun itu, Temugu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala tidak setuju. “Hailun, bagaimana kalian pulang sendiri? Kami yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian. Kalau terjadi apa-apa dengan kalian bagaimana kami akan mempertanggung-jawabkannya...?”

“Ah, paman! Dengan dikawal dua orang penolong kami ini kami akan sampai di rumah dengan selamat. Jangan pandang ringan mereka berdua, paman, Pengawalan mereka berdua jauh lebih aman dibandingkan pengawalan kalian yang tujuh belas orang banyaknya itu...!”

Temugu tetap tidak setuju, akan tetapi Loana berkata dengan suaranya yang halus namun meyakinkan. “Ucapan adik Hailun tidak berlebihan, paman Temugu. Buktinya tadi, dengan pengawalan paman sekalian, tetap saja kami di tawan penjahat. Kalau tidak ada dua orang penolong ini, entah bagaimana jadinya dengan kami. Pula, setelah mengalami peristiwa tadi, kami berdua sudah tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan perjalanan. Biarkan kami berdua pulang bersama dua orang pemuda ini yang hendak berkunjung kepada ayah...“

Temugu tidak dapat membantah lagi. Juga kini dia mengenal bahwa pemuda yang berkelebat cepat membantu mereka melawan gerombolan adalah pemuda yang tinggi tegap dengan pakaian sederhana ini. Memang hanya sekelebatan saja dia melihat bayangan yang merobohkan banyak anggota perampok tadi, akan tetapi dia ingat benar bahwa bayangan itu mengikat rambutnya dengan pita kuning.

Temugu menginginkan kepastian dari dua orang pemuda yang sama sekali asing itu. “Sobat muda berdua, apakah benar-benar kalian berdua berani mempertanggungjawabkan keselamatan dua orang keponakan kami ini dan mengantar mereka sampai ke tempat tinggal kami...?” Temugu memandang tajam kepada Han Sin dan Cu Sian.

Han Sin segera menjawab. “Paman yang baik, sesungguhnyalah bahwa aku dan sahabat ku ini hendak pergi mengunjungi Kapala Suku Yakka Mongol untuk suatu keperluan penting. Kami sama sekali tidak mengajak kedua orang nona ini untuk pergi bersama kami...“

Mendengar ini, Loana berkata, “Sobat Cian Han Sin. Memang kalian tidak mengajak kami berdua, akan tetapi setelah terjadi peristiwa ini kami berdua kakak beradik ingin pulang saja. Dan mendengar bahwa sobat Cian Han Sin dan Cu Sian hendak mengunjungi ayah kami, maka hal itu kebetulan sekali. Kita dapat melakukan perjalanan bersama...“

“Kakak Loana berkata benar!” sambung Hailun. “Perjalanan dari sini menuju ke perkampungan kita aman, tidak akan ada yang berani mengganggu kami. Bahkan tanpa pengawalan sama sekalipun kami berdua berani melakukan perjalanan pulang. Kami berdua bukanlah gadis-gadis lemah dan cengeng, Karena kebetulan dua orang pemuda ini hendak berkunjung ke tempat tinggal kami, apa salahnya kalau kami berdua melakukan perjalanan dengan mereka...?”

Cu Sian merasa tidak enak kalau diam saja. “Sudahlah, biarkan dua orang nona ini melakukan perjalanan pulang bersama kami berdua. Tentang keselamatan mereka berdua, jangan khawatir. Kalau terjadi gangguan dan halangan, akulah yang akan melindungi mereka dengan taruhan nyawa!” Ucapan ini terdengar gagah sekali.

Mendengar ini, Hailun mendekati Cu Sian dan gadis ini berkata kepada pamannya. “Paman dengar itu? Dengan pengawalan sobat Cu Sian ini aku akan merasa lebih aman daripada dikawal pasukan pengawal kita...!”

Wajah Temugu berubah kemerahan dan sambil mengerutkan alisnya dia berkata, “Semua pengawal ini menjadi saksi, bahwa pemisahan diri kami ini adalah kehendak kalian berdua sendiri. Kalau sampai terjadi sesuatu, jangan persalahkan kami...!”

Han Sin merasa tidak enak sekali. Diapun tidak ingin mengajak kedua gadis itu. Adalah mereka berdua itu yang menghendakinya sendiri. Kalau dia merasa setuju mereka berdua ikut dan melakukan perjalanan bersama dia dan Cu Sian, hal itu adalah karena dengan adanya dua orang gadis itu tentu akan lebih memudahkan dia mencari keterangan tentang kematian ayahnya di perkampungan Yakka itu.

“Aku mempunyai usul yang kiranya dapat kalian terima. Bagaimana kalau para pengawal ini di bagi dua? Sebagian melanjutkan perjalanan ke Shan-si dan yang sebagian lagi tetap mengawal kedua orang nona pulang ke utara bersama kami...“

Usul Han Sin ini di terima dengan suara bulat. Temugu lalu membagi pasukan pengawalnya. Delapan orang di tugaskan untuk mengawal dua orang keponakannya sedangkan selebihnya ikut dengan dia ke Shan-si. Dan dua ekor kuda diberikan kepada Han Sin dan Cu Sian. Dua rombongan ini lalu berpisah dan Han Sin bersama Cu sian dan dua orang gadis itu di kawal delapan orang, menunggang kuda menuju ke utara.

********************

Cerita silat serial sepasang naga lembah iblis episode pedang naga hitam jilid 22 karya kho ping hoo

Seperti kehidupan para nenek moyang mereka, Suku Yakka Mongol hidup sebagai suku perantau, hanya menetap untuk sementara di daerah yang mereka anggap subur dan menguntungkan. Apabila daerah itu sudah tidak menguntungkan lagi. Mereka memboyong seluruh keluarga mereka, pindah ke daerah baru yang lebih baik.

Karena itulah, di setiap daerah yang mereka pilih sebagai tempat tinggal sementara, mereka tidak pernah atau jarang sekali membangun rumah tinggal yang tetap. Mereka lebih suka mendirikan kemah-kemah yang mudah di bongkar pasang.

Pada waktu itu, suku Yakka Mongol itu bertempat tinggal di daerah yang subur, di antara Sungai Kerulon dan Sungai Ono. Bukit-bukit di sekitar tempat itu penuh dengan hutan lebat. Di sebuah yang lembah yang penuh dengan padang rumput, mereka mendirikan kemah-kemah mereka.

Rumah atau kemah mereka itu terbuat dari bulu binatang kempa yang di tangkupkan pada rangka dari kayu. Dibagian paling atas terdapat sebuah lubang untuk mengeluarkan asap. Dinding kemah itu di kapur dan dihiasi dengan lukisan-lukisan. Kemah yang paling besar dan mewah tentu saja menjadi tempat tinggal kepala suku mereka, yaitu Tarsukai. Kemah seperti ini, di dalam bahasa mereka di sebut Yurt. Bentuknya agak bundar dan bentuk ini menyebabkan angin yang meniup kuat -kuat akan melewatinya tanpa menimbulkan bahaya tumbang atau runtuh.

Di dalam perkampungan suku Yakka itu, perkemahan milik Tarsukai berada di tengah-tengan, terdiri dari beberapa buah Yurt yang mengelilingi yurt yang terbesar. Para isterinya tinggal bersama anak-anak mereka dalam sebuah yurt. Sebuah yurt untuk seorang isteri dan anak-anaknya.

Ketika Han Sin dan Cu Sian tiba di perkampungan itu, mereka di sambut oleh orang-orang Yakka dengan heran dan juga gembira. Apalagi ketika mereka mendengar dari para pengawal bahwa dua orang itu adalah pendekar-pendekar yang telah menyelamatkan dua orang nona mereka dari tangan kepala perampok, semua orang memandang kepada dua orang pemuda itu dengan takjub. Di dampingi oleh Loana dan Hailun, kedua orang pemuda itu dipersilahkan memasuki kemah yang terbesar, yang menjadi tempat tinggal dan juga tempat pertemuan dari Tarsukai.

Dengan kikuk dan juga terheran-heran, Han Sin dan Cu Sian memasuki kemah itu dan mengamati keadaan di dalam kemah. Kemah itu besar dan luas sekali dan di situlah tersimpan milik keluarga Tarsukai, kepala klan (suku) Yakka mongol itu. Ada permadani yang tebal dan indah berasal dari Bhokhara atau Kabul, yang di bawa oleh para pedagang dari barat. Ada pula peti-peti besar berisi pakaian dari sutera yang mereka peroleh dari tukar menukar barang dengan pedagang-pedagang bangsa Arab. Ada pula barang-barang dari perak ukir-ukiran.

Di sudut terdapat sebauh rak penuh dengan senjata yang sebagian tergant ung pada dinding kemah, pedang-pedang dari Turki. lembing-lembing, kotak-kotak busur dari gading dan bambu, anak-anak panah dari berbagai jenis terhias bulu-bulu indah dan perisai-perisai dari kulit yang di cat beraneka corak dan warna.

Han Sin dan Cu Sian merasa asing sekali, seolah masuk ke dalam dunia yang lain sama sekali. Juga suasana di situ bebas namun mengandung suasana yang menyeramkan, seolah-olah semua seramah-tamahan itu dalam sekejab dapat berubah menjadi kebengisan. Didalam yurt besar itu, seperti juga dalam yurt-yurt lainnya, terdapat perapian yang menghangatkan hawa dalam kemah itu.

Seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun duduk di atas sebuah kursi berukir dengan sikap gagah. Kedua kakinya terpentang lebar, kepalanya juga tegak. Pakaiannya berbeda dengan pakaian orang orang Yakka lainnya, karena dia memakai jubah dari bulu. Pria ini bersikap seperti seekor burung rajawali yang bertengger di puncak pohon, gagah dan berwibawa.

Loana dan Hailun segera lari kedepan menyalami ayah mereka dan mencium tangan ayah mereka. Tarsukai yang tadinya berwajah seperti topeng itu tiba-tiba saja nampak tampan ketika tersenyum dan matanya bersinar-sinar, mulutnya kelihatan ramah sekali. Dia merangkul Loana dengan tangan kanan dan Hailun dengan tangan kiri.

“Hemm, anak-anakku yang nakal. Apa yang kudengar dari pelaporan para pengawal tadi? Kalian tidak melanjutkan perjalanan ke Shan-si akan tetapi di tengah perjalanan lalu menghentikan perjalanan dan pulang? Dan laporan itu mengatakan bahwa kalian ditawan perampok? Bagaimana sebetulnya, apa yang terjadi...?“

Hailun terkekeh dan mengelus tangan ayahnya. “Ah, ayah menghujani kami dengan pertanyaan-pertanyaan. Sebelum kami bercerita, ayah, lebih dulu perkenalkanlah, dua orang pemuda itu adalah penolong-penolong kami. Ini Cian Han S in dan yang itu Cu Sian..."

Tarsukai menoleh dan memandang kepada dua orang pemuda yang masih berdiri di depannya. Sejenak dia memandang penuh perhatian dan selidik, kemudian dia mengangguk. Han Sin dan Cu Sian segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada yang di balas oleh Tarsukai dengan membungkuk. Kemudian kepala suku itu bangkit berdiri dan nampaklah bentuk tubuhnya yang kokoh kuat, tinggi dan berotot.

“Kalian telah menolong kedua orang puteri kami? Kalau begitu, duduklah. Kalian adalah sahabat-sahabat kami dan menjadi tamu-tamu kehormatan kami!” Tarsukai mempersilahkan kedua orang muda itu duduk di atas bangku pendek, sedangkan dua orang puterinya duduk bersimpuh di atas permadani.

“Terima kasih...“ kata Han Sin yang di turut oleh Cu Sian. Mereka duduk di depan kepala suku itu.

“Nah, anak-anakku, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi!” kata Tarsukai.

“Ayah, kami melakukan perjalanan ke selatan dengan lancar. Bahkan kami berdua sempat singgah di tempat-tempat yang indah, bertamasya di danau-danau. Akan tetapi ketika kami tiba di perbatasan, di dalam hutan, tiba-tiba muncul sekelompok kijang. Aku dan adik Hailun tertarik dan kami berdua mengejar kijang-kijang itu sambil melepaskan anak panah...“

“Anak panah kami mengena, ayah...“ sambung Hailun. "Akan tet api kijang-kijang itu masih dapat berlari memasuki hutan dan kami terus mengejar...“

“Dan tiba-tiba muncul segerombolan orang jahat itu!” kata Loana. “Kepala perampok itu lalu menyerang aku dan Hailun, tiba-tiba saja kami berdua tidak mampu bergerak dan dia lalu memanggul kami dan membawa kami pergi memasuki hutan...“

“Hemmm, apa kerjaannya paman kalian Temugu? Apa dia tidak melindungi kalian?” Tanya Tarsukai dengan nada marah.

“Paman dan para pengawal melakukan pengejaran kepada kami berdua akan tetapi mereka sibuk melawan serangan anak buah gerombolan perampok, ayah...“ kata Loana. “Akan tetapi untunglah kami di tolong oleh dua orang sahabat yang gagah perkasa ini...“

“Ayah, hebat sekali kepandaian Cu Sian ini!” kata Hailun sambil menunjuk kearah pemuda itu. “Dia muncul dan menyerang kepala perampok yang menyeramkan itu. Hanya dengan sebatang tongkat dia menghadapi kepala perampok yang bersenjata golok besar dan akhirnya monyet hitam itu melarikan diri. Kalau tidak ada Cu Sian ini, entah apa jadinya dengan kami...“

Tarsukai mengangguk-angguk sambil memandang kepada Han Sin dan Cu Sian, terutama sekali kepada Cu Sian. Diam-diam kepala suku ini kagum akan tetapi juga meragukan cerita kedua puterinya. Pemuda-pemuda yang penampilannya tidak mengesankan itu, nampaknya hanya pemuda-pemuda pelajar yang lemah lembut, bagaimana mungkin dapat menjadi seorang laki-laki yang jantan dan kuat...?

Akan tetapi, karena bukan hanya dua orang puterinya yang bercerita, akan tetapi juga para pengawal melapor kepadanya akan kelihaian dua orang pemuda itu, maka diapun percaya walaupun tidak yakin benar karena tidak menyaksikan sendiri. Untuk menyatakan terima kasihnya, Tarsukai lalu mengadakan pesta untuk menyambut dan menghormati dua orang tamu agungnya.

Dua orang pemuda itu tentu saja merasa gembira akan penyambutan yang sedemikian ramah dan baiknya. Mereka mendapatkan sebuah kemah sendiri untuk mereka berdua tinggal. di dalam kemah yang tidak berapa besar namun lengkap itu, Han Sin dan Cu Sian beristirahat setelah mereka ikut hadir dalam pesta untuk menyambut mereka dan makan minum sampai kenyang.

Di dalam kemah itu hanya terdapat sebuah tempat tidur yang hanya merupakan sebuah kasur bulu yang terletak di atas permadani. kasur ini kurang lebih satu setengah meter lebarnya dan melihat ini, Cu Sian mengerutkan alisnya dan berkata,

“Sin-ko, malam nanti aku akan tidur di atas permadani saja dan engkau boleh tidur di atas kasur...“

“Ah, Sian-te. Kasur ini cukup besar untuk kita berdua...!“ bantah Han Sin.

“Sudah sering kukatakan padamu, Sin-ko. Aku tidak biasa tidur sekamar dengan orang lain dan kalau hal itu dipaksakan, semalam suntuk aku takkan dapat tidur! Apalagi satu tempat tidur! Sudahlah, kalau engkau memaksa, aku malah akan tidur di luar saja!”

Melihat Cu Sian ngambek, Han Sin tersenyum. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu, Sian-te. Engkau boleh tidur di atas kasur itu seorang diri dan aku yang tidur di permadani...“

“Tidak, kau yang di kasur...!”

“Aihh, Sian-te. Seorang kakak harus mengalah kepada adiknya, bukan...? Hanya aku merasa heran, bagaimana kelak kalau engkau sudah beristeri? Apakah engkaupun akan tidur berpisah tempat tidur dan berpisah kamar...?”

“Aku tidak akan beristri!” kata Cu Sian tegas.

Han Sin tertawa dan menggoda. “Wah, jangan sombong engkau, Sian-te. Kalau engkau takabur, kelak engkau akan malu sendiri. Aku tahu bahwa sekarangpun sudah ada bidadari yang siap melepaskan anak panah asmaranya kepada hatimu...!”

“Jangan mengacau, Sin-ko!”

“Aih, apa kau kira aku tidak tahu...? Apakah engkau hanya pura-pura tidak melihat dan tidak tahu? Aku melihat puteri Hailun yang cantik jelita itu telah jungkir balik jatuh cinta kepadamu, Sian-te...“

Cu Sian cemberut. “Hemm, jangan menggoda, Sin-ko. Apakah kau kira aku tidak tahu betapa Loana memandangmu dengan sepasang mata redup memancarkan cinta? gadis itu mencintaimu, Sin-ko...“

Han Sin menghela napas panjang dan berkata dengan sungguh-sungguh. “Ah, Sian-te. Akupun tahu akan hal itu dan aku merasa kasihan sekali padanya. Ia seorang gadis yang baik hati dan memenuhi semua syarat untuk dapat menjadi seorang istri yang amat baik. Sayang sekali, aku belum berpikir tentang perjodohan, bahkan tugasku disinipun belum sempat kulakukan. Aku akan menanti saat yang baik untuk minta keterangan dari paman Tarsukai. Akan tetapi aku harus berhati-hati. Dia kelihatan seorang laki-laki yang keras hati dan mendiang ayahku dahulu pernah menjadi musuhnya dalam pertempuran. Aku khawatir dia akan marah dan membenciku kalau aku berterus terang bahwa aku adalah putera mendiang Panglima Cian Kauw Cu...“

“Hal itu dapat dilakukan kalau sudah terbuka kesempatan bagi kita, Sin-ko. Agaknya dia belum percaya benar kepada kita. Akan tetapi. kau katakan tadi bahwa Loana memenuhi semua syarat untuk menjadi seorang isteri yang baik. Ah, agaknya engkau seorang filsuf yang mengenal benar watak-watak seorang wanita. Sin-ko, katakanlah kepadaku, bagaimana agar dapat memenuhi syarat menjadi seorang isteri yang baik itu? Agar kelak aku dapat memilih yang benar...“

Han Sin memandang seperti orang melamun, pandang matanya kosong dan jauh. Dia membayangkan wajah dan watak ibunya! “Seorang isteri yang baik pertama-tama tentu saja yang memiliki kecantikan yang wajar dan aseli, tidak polesan…"

“Hemmm, ya, Sin-ko?“ Cu Sian mendesak.

“Kecantikan seperti itu adalah khas kecantikan wanita, cantik lahir bathin, tanpa cacat…”

“Seperti Loana itu?”

“Ya, seperti itulah, akan tetapi aku belum yakin benar akan kecantikan bathin Loana...“

“Lalu, bagaimana lagi...?”

“Ia harus mencinta suaminya dengan sepenuh jiwa raganya, setia sampai mati…“

“Hemmm, begitukah? Lalu apa lagi...?”

"Macam kesukaran, berani menghadapi bahaya apapun demi membela suaminya karena di dalam lubuk hatinya hanya ada bayangan suaminya, tidak ada bayangan pria lain…“

“Begitukah? Lalu bagaimana lagi?”

“Ia harus melayani segala keperluan hidup suaminya, selalu siap untuk menyenangkan dan menghibur hati suaminya, ikut bergembira ria kalau suaminya sedang senang dan menghibur kalau suaminya sedang susah. Ia harus menaati semua kehendak suaminya dan…“

Tiba-tiba Cu Sian yang sejak tadi sudah merasa jengkel dengan penggambaran Han Sin, tidak dapat menahan lagi hatinya dan meledaklah kejengkelannya. “…Dan engkau boleh menikah dengan wanita bayangan itu, dewi pujaan yang hanya hidup dalam mimpi! Engkau boleh menikah dengan wanita roh halus atau siluman itu, karena wanita macam itu tidak berdarah daging, dan tidak dapat hidup di dunia ini, wanita macam itu hanya makan harumnya bunga dan asap hio, sebangsa setan kuntilanak...!”

“Ehhh...? dan kenapa engkau marah-marah, Sian-te?”

“Tentu saja aku marah karena engkau adalah seorang laki-laki yang tolol, sombong dan tak tahu diri! Huh, aku muak, belum pernah aku bertemu orang sepertimu. Mual perut ku melihat mu Sin-ko!” Cu Sian lalu keluar dari kemah itu dengan muka merah dan marahnya.

Han Sin tertegun bingung. Dia masih duduk bersila dalam kemah itu, di atas permadani. Terheran-heran melihat sikap Cu Sian. Kenapa pemuda itu marah-marah kepadanya? Padahal dia hanya mememuji kecantikan Loana. Loana…? Ah, apakah Cu Sian mencinta Loana sehingga timbul cemburu di hatinya di kala dia memuji-muji gadis itu?

Perlahan-lahan dia melangkah keluar kemah. Dia melihat Cu Sian berdiri di depan serumpun bunga. Dia menghampiri sampai dekat. “Sian-te, maafkanlah aku...“

Cu Sian memutar tubuhnya menghadapinya. Mulutnya masih cemberut, akan tetapi pandang matanya tidak semarah tadi. “Apa yang harus di maafkan...?” dia bertanya dan matanya memandang nakal...