Pedang Naga Hitam Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

AKAN tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian Han Sin. Ada dua bayangan orang yang menyusup-nyusup di antara semak belukar dan batang-batang pohon. Kalau dia tidak melihat dengan penuh perhatian, tentu bayangan itu akan lolos dari penglihatannya. Demikian cepat gerakan mereka.

Kalau pengintai yang masih di atas pohon itu melihat, tentu akan dikiranya gerakan seekor dua ekor binatang saja. Akan tetapi Han Sin merasa yakin bahwa itu adalah gerakan dua orang yang datang dari tempat berkumpulnya kelompok Golok Setan itu menuju ke sini.

Han Sin merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, agaknya golok setan mengirim dua orang penyelidik dan dua orang itu pasti akan melanggar garis yang sudah di sebarin racun. Ingin dia memberitahu mereka, memperingatkan mereka agar jangan sampai melanggar garis beracun itu, akan tetapi bagaimana caranya?

Pula, dia belum tahu benar siapa yang jahat di antara kedua kelompok orang yang agaknya bermusuhan itu, maka tidak adillah kalau dia memihak salah satu kelompok. Maka, diapun diam saja dan mengikuti dua bayangan itu dengan perasaan ngeri. Setelah dekat dengan tempat itu, dua bayangan itu tidak nampak lagi dan gerakannya tidak dapat diikuti lagi. Agaknya mereka maju dengan hati-hati sekali.

Tak lama kemudian Han Sin yang sudah siap melihat orang keracunan, tetap saja terkejut ketika tiba-tiba terdengar jerit an dua orang yang mengerikan. Di sebelah lapangan utara lapangan rumput itu. Orang-orang yang berada dilapangan rumput itupun mendengarnya dan mereka kelihatan girang sekali.

“Ha-ha-ha, tentu dua ekor anjing pengintai mereka yang terkena racun. Seret mereka ke sini...!“

Dua orang anggota kelompok itu bangkit dan mereka menuju ke utara dari mana suara tadi terdengar. Dua orang itu mengenakan sarung tangan hitam untuk melindungi tangan mereka dari racun. Tak lama kemudian mereka sudah menyeret tubuh dua orang yang sudah menjadi mayat!

Sungguh luar biasa sekali racun hitam itu. Mula-mula yang terkena hanya tangan dua orang penyelidik itu, akan tetapi warna hitam itu lalu menjalar ke seluruh tubuh sampai ke mukanya yang menjadi hitam seperti hangus!

Diam-diam Han Sin bergidik. Dia sudah mendengar banyak dari gurunya. Hek liong ong, tentang kekejaman yang banyak terjadi di dunia persilatan, terutama di antara golongan sesat dan baru sekarang dia menyaksikan sendiri.

“Ha-ha-ha, Gerombolan Golok Setan akan tahu rasa sekarang! Kalian berempat, bawa dua mayat itu dan lemparkan ke dekat tempat mereka!“ perintah si tinggi besar muka hitam.

“Baik, twa-pangcu!“

Empat orang yang di tunjuk bangkit berdiri dan mereka inipun menggunakan sarung tangan hitam. Mereka lalu menggotong dua mayat itu, dua orang menggotong satu mayat dan membawa mereka keluar dari lapangan rumput, menuju ke utara untuk mengirim dua buah mayat itu kepada pihak musuh.

Han Sin mengikuti perjalanan empat orang yang menggotong dua buah mayat itu, akan tetapi, baru sampai pada pertengahan jalan, mendadak muncul orang bersenjata golok besar dan mereka itu segera menyerang empat orang yang menggotong dua mayat tadi. Empat orang itu melepaskan mayat dan mencabut pedang mereka, dan terjadilah perkelahian empat lawan lima orang bergolok.

Akan tetapi karena empat orang tadi menggot ong dua mayat, mereka kalah cepat dan ketika golok-golok itu berkelebat an membentuk gulungan sinar menyilaukan mata, dalam waktu belasan jurus saja empat orang itu berturut-turut telah terpelanting roboh, kemudian lima orang itu menghujamkan goloknya ke tubuh mereka sampai tubuh empat orang itu terbelah-belah!

Han Sin menyeringai seperti orang menahan sakit. Dia bergidik. Kiranya orang-orang Golok Setan itu tidak kalah kejamnya dibandingkan orang-orang yang berada dibaw ah pohon ini. Agaknya orang yang mengintai dari atas pohon melihat pula kejadian itu. Maka dia cepat turun memberi laporan kepada para pimpinan.

“Twa-pangcu, celaka besar! Empat orang kita yang mengantar dua mayat itu di hadang di tengah perjalaan oleh lima orang musuh dan mereka semua terbunuh...!“

“Ahhhh...!“ Ketua yang tinggi besar itu mukanya menjadi semakin hitam dan die mengepal tinjunya. “Keparat! Kita kehilangan empat orang sedangkan mereka hanya kehilangan dua orang! Kita harus membuat pembalasan!”

Ketua pertama dari kelompok itu bernama Coa Gu dan berjuluk Hek-mo-ko. Untuk daerah lembah Huang-ho ini sudah terkenal sebagai seorang datuk diantara para perampok dan bajak sungai. Gerombolan yang dipimpinnya itu di beri nama Huang-ho-kwi-pang (Perkumpulan Iblis Sungai Kuning)!

Orang tinggi besar bermuka hitam ini bersenjatakan sebatang tongkat baja yang hitam pula. Karena muka dan tongkatnya yang hitam itulah maka dia dijuluki Hek-mo-ko (Iblis Hitam). Orang kedua, yang tinggi besar bermuka brewok bernama Gu Ma It dan dia menjadi ji-pangcu (Ketua kedua). Usianya lima puluh tahun, lima tahun lebih muda dari Hek-mo-ko dan Gu Ma It ini terkenal karena tenaganya besar seperti tenaga gajah dan diapun pandai bermain pedang.

Adapun orang ketiga yang menjadi sam-pangcu (ketua ketiga) bernama Su Ciong Kun, berusia empat puluh lima tahun. Orang ketiga ini tinggi namun kurus dan mukanya menyeramkan sekali karena muka itu seperti tengkorak terbungkus kulit. Orang ketiga dari Huang-ho Kwi-pang ini ditakuti karena dia seorang ahli menggunakan racun dan senjat anya berupa rantai baja juga lihai sekali.

Pusat Huang ho Kwi-pang berada di lembah Huang-ho, sedangkan anggota mereka berjumlah kurang lebih lima puluh orang. Akan tetapi yang kini di ajak untuk menyerbu musuh hanya tiga puluh orang. Mendengar twa-pangcu yang sudah marah itu bermaksud hendak menyerbu musuh, sam-pangcu segera berkata,

“Twa-suheng, kurasa tidak menguntungkan kalau kita langsung menyerbu mereka. Mereka lebih menguasai medan karena ini merupakan daerah mereka. Kalau kita menyerang mereka, kita dapat terjebak. Biarkan mereka yang menyerang kita sehingga kita yang menjebak mereka dengan racun..."

Gu Ma It yang tadi hanya mendengarkan saja kini berkata, “Apa yang diucapkan sam-sute memang benar. Mereka yang menguasai daerah ini tentu lebih paham akan keadaan disini dan kalau tidak berhati-hati kita dapat terjebak. Tempat kita ini terbuka dan tidak dapat mereka menjebak kita, dan andaikata mereka menyerang kita, kita dapat mempertahankan diri dengan baik dan menghancurkan mereka...“

“Hemmm...!“ Hek-mo-ko menggeram.

“Kita telah kehilangan empat orang. Di bandingkan dengan mereka yang kehilangan dua orang, kita masih rugi besar. Ternyata mereka telah memasang barisan pendam diantara kita dan mereka...“

“Karena itulah harus berhati-hati dan menanti gerakan mereka...“ kata Su Ciong Kun si muka tengkorak yang agaknya cerdik.

“Ahhh, akan tetapi hal seperti itu menunjukkan bahwa kita takut kepada mereka...“ Hek-mo-ko tetap penasaran.

Han Sin merasa sudah cukup lama mengintai dari atas pohon. Dia turun dari pohon itu, mengambil keputusan untuk tidak mencampuri urusan mereka. Gurunya pernah menasehatinya agar dia tidak mencampuri urusan orang-orang kang-auw karena diantara mereka kalau terjadi permusuhan, biasanya saling memperebutkan kekuasaan atau harta benda, juga mungkin karena dendam mendendam. Akan tetapi baru saja dia turun dari atas pohon, tiba-tiba muncul sepuluh orang yang mengepungnya dan menodongkan senjata-senjata tajam kepadanya.

Han Sin bersikap tenang saja, walaupun dia agak terkejut karena tidak menyangka bahwa dia telah diketahui. Karena sejak tadi berada di atas pohon dan perhatiannya di tunjukkan kepada semua kejadian yang jauh dari pohon, dia tidak mendengar atau melihat apa yang terjadi di bawah pohon itu.

Kiranya mereka itu adalah sepuluh orang dari Huang-ho Kwi-pang yang tadi tidak dilihatnya dilapangan rumput dan mereka itu memang disebar untuk menyelidiki keadaan sekitar tempat itu! Ketika seorang dari mereka melihat Han Sin di atas pohon, dia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya dan pohon itu pun sudah di kepung. “Ah, kalian ini mau apa?“ tanya Han Sin dengan sikap tenang.

“Engkau mata-mata Kwi-to-pang!“ bentak seorang diantara para pengepung itu.

Han Sin tertawa. “ha-ha-ha, apa yang kalian maksudkan? Aku tidak mengerti segala macam Kwi-to-pang atau Perkumpulan setan manapun..."

“Engkau hendak melawan?” seorang menodongkan pedangnya.

Han Sin memang tidak ingin bermusuhan dengan mereka. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepala. “Ah, tidak! Siapa mau melawan?“

“Kalau begitu menyerahlah. Engkau harus kubawa menghadap pimpinan kami!“

“Boleh! Aku memang tidak mempunyai kesalahan apapun...“ Han Sin lalu di todong dan di giring memasuki lapangan.

Tentu saja semua orang memandang penuh perhatian ketika seorang pemuda di giring masuk lapangan rumput oleh sepuluh orang anggota Huang Ho Kwi pang itu. Han Sin dipaksa duduk di atas rumput menghadap tiga orang ketua itu dan seorang di antara penawannya berkata,

“Lapor, pangcu. Kami mendapatkan orang ini melakukan pengintaian di atas pohon!“

Hek mo ko memandang kepada Han Sin penuh selidik, dari kepala sampai ke kaki, dan dia membentak, “Engkau mata-mata Kwi-to-pang yang mengintai kami?”

Han Sin menggeleng kepalanya. “Sama sekali bukan!“

“Haiii! Dia ini penunggang kuda yang kita susul di perjalanan tadi!“ seru Su Ciong Kun.

“Benar!“ jawab Han Sin. “Memang tadi kalian menyusul dan melewati aku!"

“Apa maksudnya engkau berada di sini dan mengintai dari atas pohon? Jawab yang betul atau kami akan membunuhmu...“ bentak Hek-mo-ko.

“Aku sedang melakukan perjalanan menuju ke Tai-goan. Karena daerah ini amat sepi dan aku merasa kesepian, ketika kalian melewati aku tadi, aku bermaksud untuk menyusul agar dapat melakukan perjalanan ini bersama kalian dan tidak kesepian. Akan tetapi kalian berhenti di hutan ini dan akupun berhenti agak jauh dari sini menanti kalian berangkat lagi. Karena lama kalian tidak berangkat, aku lalu naik ke pohon untuk melihat apa yang terjadi...“

“Dan apa yang kau lihat?” bentak Hek-mo-ko, mulai percaya kepada keterangan Han Sin karena dia agaknya dapat membedakan antara orang yang menjadi anggota gerombolan penjahat atau rakyat biasa.

“Aku melihat bahwa kalian bersiap-siap untuk bertempur dengan gerombolan yang di sana itu...“ Han Sin menuding ke utara. “Aku melihat pula dua orang dari mereka mati keracunan dan empat orang dari kalian terbunuh...“

Gu Ma It yang berewokan berkata. “Twa-suheng, untuk apa banyak bicara dengan orang ini? Mata-mata atau bukan, bunuh saja agar tidak merepotkan...“

“Jangan, jangan bunuh aku. Apa untungnya kalian membunuhku? Dan aku bersumpah tidak ada sangkut pautnya dengan gerombolan yang di sana itu. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun...“ kata Han Sin sungguh-sungguh, bukan karena takut melainkan karena dia tidak ingin bermusuhan dengan gerombolan ini.

“Hemmm, bocah ini bukan anggota gerombolan biasa...“ kata Hek-mo-ko. “Mungkin dia berguna bagi kita. Sebaiknya kita tahan saja dia. Jaga dia baik -baik jangan sampai meloloskan diri. Dan kau, orang muda, awas kau. Sekali engkau berusaha melarikan diri engkau akan kami bunuh...!“

Akan tet api Han Sin sudah tidak begitu memperhatikan lagi soal lain karena saat itu perhatiannya tertarik ke sebelah kiri, ke arah sebatang pohon besar. Di atas cabang pohon itu dia melihat seorang berjongkok nongkrong di atas cabang sambil cengar-cengir, dan orang ini bukan lain adalah Cu Sian, si pengemis remaja!

Tentu saja Han Sin merasa khawatir bukan main. Orang-orang ini adalah orang-orang kasar yang biasa melakukan kekerasan dan agaknya mereka ini lihai, terutama sekali tiga orang pimpinan itu. Dan sekarang Cu Sian muncul! Dan apa lagi yang akan diperbuat oleh pemuda remaja yang nakal itu kalau tidak membuat ulah dan kekacauan...?

“Ha-ha-ha! Huang-ho Kwi-pang yang memiliki tiga orang pemimpin dan kelihatan kuat ini, ternyata hanya kulitnya saja yang nampak kokoh, padahal disebelah dalam keropos dan rapuh, jerih menghadapi Kwi-to-pang!“

Semua orang terkejut dan menengok ke arah suara itu dan baru sekarang mereka melihat pengemis muda itu duduk nongkrong di atas cabang pohon. Diam-diam tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang terkejut. Bagaimana bocah jembel itu dapat tiba-tiba berada di pohon yang begitu dekat dengan mereka tanpa mereka ketahui sama sekali?

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Mereka bertiga adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tingkat tinggi, di tambah tiga puluh orang anggota yang bersikap waspada, namun tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui adanya pengemis muda itu. Padahal dia berada di pohon yang paling dekat dengan lapangan rumput itu. Sedangkan Han Sin yang berada di pohon yang lebih jauh saja dapat diketahui dan di tangkap.

Akan tetapi mendengar ucapan pemuda remaja itu yang mengejek, Kwi-to-pang yang dikatakannya rapuh, tiga orang pimpinan itu menjadi marah dan merasa di hina. Su Ciong Kun, pemimpin nomor tiga yang tubuhnya tinggi kurus mukanya seperti tengkorak itu membentak nyaring.

“Heii, bocah gila! Berani engkau menghina kami...?“

Dengan kaki yang tadinya berjongkok itu kini di turunkan dan di goyang-goyang, Cu Sian tersenyum dan berkata, Eh, muka tengkorak, siapa menghina? Aku tadi bilang apa?”

"Bahwa kami keropos dan rapuh di sebelah dalam!“ kata Su Ciong Kun dengan marah.

“Ha-ha-ha, bukankah sekarang engkau sendiri yang mengatakan bahwa kalian keropos dan rapuh? Bukan aku yang berkata, melainkan engkau sendiri!“

Su Ciong Kun merasa dipermainkan. Dia menjadi semakin marah dan mengamangkan tinju ke arah pengemis muda itu. “Bocah setan, turunlah engkau, kalau tidak, akan ku seret kau!“

“Wah, tidak usah repot-repot! Tidak perlu engkau membantuku turun, aku dapat turun sendiri...“ Berkata demikian, Cu Sian lalu melompat turun dari atas cabang pohon ke atas tanah.

“Ke sinilah engkau untuk mempertanggung jawabkan ucapanmu tadi atau kami akan menggunakan kekerasan!“ kata pula Su Ciong Kun yang melihat pengemis muda itu masih berada di luar lingkaran yang telah di sebari racun itu.

“Baik, aku akan ke situ. Kau kira aku takut menghadapi kalian semua?” Dan dengan sikap gagah diapun melangkah maju.

“Sian-te...! Berhenti jangan maju lagi! Tempat itu telah di sebari racun berbahaya!“ Han Sin berteriak memperingatkan.

Akan tetapi pemuda remaja itu tidak mundur, bahkan terus sambil tersenyum, “Orang-orang Kwi-t o-pang boleh jadi takut racun yang disebar di sini, akan tetapi aku tidak...!“

Dan dengan kedua tangannya, dia menguak semak-semak belukar yang menghalangi jalannya. Han Sin terbelalak penuh kekhawatiran dan orang-orang Huang-jo Kwi-pang sudah tersenyum-senyum karena mereka yakin bahwa pemuda yang kurang ajar itu tentu akan roboh tewas. Mereka itu kecelik karena ternyata Cu Sian dapat lewat dengan selamat. Walaupun kedua tangannya tersentuh daun-daun yang di sebari racun, akan tetapi agaknya dia tidak merasakan apa-apa! Dengan langkah lebar setelah memasuki lapangan rumput, ia menghampiri para pimpinan Huang-ho Kwi-pang!

Tentu saja kini bukan hanya Han Sin yang terheran-heran. Tiga orang ketua Huang-ho Kwi-pang juga terheran-heran. Akan tetapi kalau Han Sin merasa heran bercampur girang. Sebaliknya tiga orang pemimpin Huang-ho Kwi-pang itu merasa heran dan terkejut bukan main. Bagaimana mungkin ada orang yang menyentuh daun-daun yang disebari racun itu tanpa keracunan?

Pengemis itu masih masih begitu muda, mungkinkah dapat memiliki kesaktian sehingga dapat menolak daya racun itu? Akan tetapi setelah Cu Sian tiba dihadapan mereka, barulah semua orang tahu mengapa pemuda remaja itu tidak keracunan. Ternyata kedua tangannya itu memakai sepasang sarung tangan yang tipis dan warnanya sama dengan kulitnya sehingga sepintas lalu dia seperti tidak memakai sarung tangan.

Su Ciong Kun, orang ketiga dari tiga orang ketua Huang-ho Kwi-pang itu semakin heran ketika tiba-tiba Cu Sian membungkuk, mengambil tanah dan menggosok-gosok kedua tangan yang bersarung itu dengan tanah. Bagaimana bocah itu tahu bahwa penawar racun itu adalah tanah? Setelah di gosok-gosok dengan tanah, maka racun yang menempel pada sarung tangan itu akan punah kekuatannya. Dengan gerakan yang tenang seperti orang memandang rendah, Cu Sian berkata,

“Huh, segala macam racun tikus dipergunakan untuk menjebak orang!“ Ia lalu melepaskan sepasang sarung tangan itu dan memasukkannya ke dalam saku baju hitamnya yang longgar. Juga dia hanya melirik satu kali ke arah Han Sin dan selanjutnya tidak mengacuhkannya.

Hek-mo-ko melangkah maju menghadapi pemuda pengemis itu. Melihat pemuda itu berani melewati garis yang disebari racun tanpa keracunan, dan pemuda itu bahkan berani menghadapi mereka dengan sikap yang demikian tenang, dia bersikap hati-hati karena dapat menduga bahwa pemuda itu tentu bukan orang sembarang saja.

“Hei, orang muda! Siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke sini memandang rendah kepada kami...!“

“Aku she Cu bernama Sian. Aku sama sekali tidak memandang rendah kepada kalian. Akan tetapi aku memiliki kebiasaan untuk mengatakan apa adanya. Kalian merasa jerih kepada orang-orang Kwi-to-pang di sana itu, siapa yang tidak tahu? Kalau kalian hanya bersembunyi di sini berlindung kepada pagar racun, lalu kapan kalian dapat menghancurkan Kwi-to-pang...?”

“Hemmm, kalau menurut pendapat mu bagaimana yang seharusnya kami lakukan?” Hek-mo-ko bertanya.

“Ha-ha-ha, aku siap membantu Huang-ho Kwi-pang, dengan satu syarat, yaitu kalian harus menaati semua perintah dan petunjukku. Bagaimana...? Aku tanggung kalian akan dapat membasmi Kwi-to-pang dan menguasai daerah lembah Huang-ho...“

Tiga orang pimpinan gerombolan itu saling pandang dan mengerutkan alisnya. Menaati perintah seorang pengemis muda...? Tentu saja mereka tidak dapat menyetujinya, apalagi mereka belum melihat sampai dimana kelihaian pemuda itu.

“Bocah sombong!” teriak Cu siong Kun sambil meloloskan rantai bajanya. Rantai dari baja itu sepanjang satu setengah meter, besar dan berat. “ Kau anggap engkau ini siapakah berani berlagak sombong untuk memerintah kami...? Coba ingin kulihat apakah engkau mampu menandingi rantai bajaku ini...!“ Setelah berkata demikian Su Ciong Kun mengayun dan memutar-mutar rantai bajanya.

“Wirrr... wirrrrr...!“ Rantai baja itu mengeluarkan bunyi mendesir ketika menyambar ke arah kepala Cu Sian.

Han Sin terkejut dan khawatir melihat serangan yang hebat itu dan diam-diam dia sudah siap siaga untuk menolong sekiranya pemuda remaja itu terancam bahaya. Akan tetapi dengan gerakan ringan saja, Cu Sian telah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran rantai baja itu. Akan tetapi Su Ciong kun memang lihai.

Rantai baja yang luput menyambar kepala itu sudah membalik dan sekali ini menyambar ke arah pinggang Cu Sian. Pemuda remaja ini menggerakkan tongkat bambunya menangkis. Tangkisan dari samping itu hanya membuat sambaran rantai itu menyimpang dan secepat kilat tongkat itu sudah di gerakkan menusuk kearah siku kanan Su Ciong Kun.

“Tuk-tuk!“ Dua kali ujung tongkat menotok dan terdengar Su Ciong Kun mengeluh dan rantai di tangannya terlepas. Dia melompat ke belakang dengan mata terbelalak.

Melihat ini, Gu Ma It menerjang maju dan pedangnya sudah menyambar ke arah leher Cu Sian. Cepat bukan main sambaran pedang itu dan terdengar bunyi berdesing saking kuatnya tenaga yang menggerakkan pedang.

“Siinggg... Takkkk!“ Pedang itu terpukul dari samping oleh tongkat bambu sehingga menyeleweng dan tidak mengenai sasaran. Sebaliknya, Cu Sian sudah membalas dengan tusukan tongkatnya ke arah jalan darah di tubuh lawan.

Akan tetapi Gu Ma It dapat mengelak dan menangkis dengan pedangnya. Sebetulnya, tingkat kepandaian Gu Ma It tidak berselisih jauh dengan tingkat kepandaian Su Ciong Kun. Kalau tadi dalam beberapa gebrakan saja Su Ciong Kun dapat dikalahkan oleh Cu Sian, hal ini adalah karena Su Ciong Kun memandang rendah kepada pemuda remaja itu. Berbeda dengan Gu Ma It yang sudah melihat adiknya kalah dan sudah maklum bahwa pemuda pengemis itu lihai sekali maka dia berhati-hati dan tidak memandang rendah.

Kini Gu Ma It memutar pedangnya. Dan melakukan serangan bertubi. Namun gerakan Cu Sian amat lincahnya. Tubuhnya berkelebat seperti seekor burung walet saja. Juga pemuda remaja itu memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat yang di warisinya dari kakeknya.

Selagi dua orang ini saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba Hek-mo-ko berseru keras. “Tahan senjata! Hentikan perkelahian!“ Dan dia sudah melompat ke depan dan tongkat bajanya menghadang di antara kedua orang yang sedang bertanding itu sehingga keduanya melompat ke belakang.

“Twa-suheng, aku belum kalah...“ Gu Ma It membantah suhengnya.

"Ji-sute, biar aku sendiri yang menghadapi sobat muda ini...!“ kata Hek-mo-ko yang kemudian menghadapi Cu Sian sambil berkata dengan suara mengandung keheranan. “sobat, aku ingin sekali merasakan hebatnya ilmu tongkatmu!“

“Majulah“ tantang Cu Sian. “Aku tidak mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi bukan berarti aku takut. Setiap tantangan akan kulayani...!”

Para anggota Huang-ho Kwi-pang memandang dengan penuh perhatian. Tidak mereka sangka sama sekali bahwa pengemis muda itu sedemikian lihainya. Bukan saja mengalahkan Su Ciong Kun dengan mudah dan dapat menandingi Gu Ma It, bahkan kini berani menyambut tantangan Hek-mo-ko!

Han Sin juga menonton dengan hati tegang. Akan tetapi kini dia tidak begitu khawatir lagi karena ternyata Cu Sian bukan hanya berlagak, melainkan benar-benar memiliki kelihaian. Apalagi dia dapat mengetahui dari sikap dan kata-kata Hek-mo-ko bahwa orang pertama dari pimpinan Huang-ho Kwi-pang ini tidak marah, melainkan heran terhadap Cu Sian.

“Sobat muda, sambut serangan tongkat ku!“ dia membentak dan mulai membuka serangannya dengan gerakan tongkat ke depan, ujung tongkat tergetar menjadi banyak dan meluncur ke arah dada pemuda remaja itu.

Akan tetapi Cu Sian dengan sigap menyambut serangan itu dengan lompatan ke kiri dan memutar tongkatnya menangkis, kemudian diapun membalas dengan totokan tongkatnya ke arah lutut lawan. Hek-mo-ko melompat ke kanan untuk menghindar serangan balasan itu. Kemudian tongkat bajanya yang berat dan panjang sudah membuat gerakan melingkar untuk menyapu kedua kaki Cu Sian!

“Bagus!“ Cu Sian berseru dan meloncat tinggi sehingga sapuan tongkat baja itu tidak mengenai kakinya. Dari atas dia menggerakkan tongkat bambunya menotok ke arah ubun-ubun kepala Hek-mo-ko. Serangan ini amat berbahaya bagi lawan dan Hek-mo-ko agaknya mengerti akan hebatnya serangan ini. Dia berseru nyaring dan menggerser kakinya sehingga tubuhnya mengelak ke belakang dan serangan Cu Sian itu luput.

Mereka saling serang dengan serunya dan yang terheran-heran kini adalah Han Sin yang mengikuti setiap gerakan mereka. Penglihatan Han Sin yang tajam dan terlatih itu dapat menangkap persamaan jurus-jurus kedua orang itu! Biarpun gerakan jurus-jurus kakek tinggi besar bermuka hitam itu mempunyai perkembangan yang berbeda, namun pada dasarnya kedua orang itu memainkan ilmu tongkat yang sama!

Akan tetapi jelas kelihatan olehnya bahwa kalau Hek-mo-ko memiliki tenaga yang lebih kuat, Cu Sian memiliki ginkang yang lebih sempurna sehingga pemuda pengemis itu selalu dapat menghindarkan diri dengan cekatan, dan serangan-serangan balasannya membuat kakek itu kewalahan.

Agaknya Hek-mo-ko juga maklum akan persamaan ilmu tongkat itu, maka dia menangkis tongkat bambu yang menusuk ke arah matanya lalu melompat ke belakang sambil berseru nyaring. “ Tahan senjata...!“

Cu Sian menghentikan serangannya dan pemuda inipun memandang lawannya dengan heran dan alis berkerut.

“Sobat muda, darimana engkau mempelajari Ta-houw-tung (Tongkat pemukul harimau)...?“ Hek-mo-ko bertanya sambil melintangkan tongkatnya ke depan dada.

“Hemmm, engkau seorang perampok dari mana engkau mencuri Ta-houw -tung ilmu tongkat keluarga kami...?” Cu Sian juga menegur dan melintangkan tongkat bambunya di depan dada, gerakannya persis sama dengan gerakan tongkat Hek-mo-ko.

Mendengar pemuda ini menyebut ilmu tongkat Ta-houw-tung sebagai ilmu tongkat keluarganya, Hek-mo-ko makin terheran dan mengamati wajah Cu Sian penuh perhatian. Kemudian dia berkata dengan penuh penasaran. “Aku Hek-mo-ko tidak mencuri ilmu tongkat. Ilmu ini sudah kupelajari sejak aku muda, menjadi murid dan tokoh Hek I Kaipang di cabang utara...“

“Aha, aku tahu sekarang siapa engkau!“ kata Cu Sian sambil tersenyum. “Engkau tentulah paman Coa Gu yang dahulu menjadi wakil ketua Hek I Kaipang cabang utara lalu dikeluarkan karena karena melanggar peraturan!“

Hek-mo-ko tertegun mendengar ini karena dia memang bernama Coa Gu. Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu dia masih menduduki jabatan wakil ketua dari Hek I Kaipang. Karena dia melakukan pelanggaran, maka oleh Ketua Hek I Kaipang pusat di Tiang-an dia dikeluarkan dari Perkumpulan pengemis. Setelah mengingat-ingat, diapun menghela napas dan berkata,

“Orang muda, aku sekarangpun dapat menduga siapa engkau. Engkau bernama Cu Sian. Nama margamu sama dengan guruku yang dahulu terkenal dengan sebutan Cu Lokai, ketua pusat Hek I Kaipang di Tiang-an. Aku teringat bahwa guruku itu mempunyai seorang putera bernama Cu Kak yang tidak setuju dengan penghidupan sebagai pengemis. Cu Kak bahkan keluar, menjauhkan diri dari Hek I Kaipang. Tentu engkau ini putera dari Cu Kak, bukan?“

“Tepat sekali, Paman Coa Gu!“ kata Cu Sian.

“Bagus...!“ Hek-mo-ko Coa Gu menoleh dan berkata kepada dua orang saudaranya. “Ternyata orang muda ini adalah keluarga sendiri. Dan dia telah datang, tentu untuk membantu kami membinasakan Kwi-to-pang!“

“Tidak, Paman Coa Gu. Aku tidak membantu kalian dalam permusuhan kalian dengan Kwi-to-pang. Aku memang mempunyai permusuhan pribadi dengan Kwi-to-pang. Kwi-to-pang dan ketuanya telah membunuh ayahku dan menyebabkan kematian Ibuku. Aku harus membasmi mereka dan kebetulan kalian juga memusuhi mereka. Kita dapat bekerjasama...“

“Bagus, kita dapat bekerjasama kalau begitu...“

“Akan tetapi kalau paman dan anak buah paman hanya bersembunyi saja di sini, bagaimana kita dapat menghancurkan Kwi-to-pang?”

“Lalu apa yang harus kita lakukan...? Mereka telah mengatur persiapan di sana dan kita tidak tahu perangkap apa yang mereka pasang untuk menghadapi kita...“

“Harus ada seseorang yang pergi ke sana, menemui mereka dan mempelajari keadaan dan kedudukan mereka...“ kata Cu Sian.

“Akan tetapi hal itu berbahaya sekali!“ seru Hek-mo-ko. “Mereka telah memasang baris pendam di mana-mana. Bahkan empat orang anggota kami yang mengirim dua mayat anak buah mereka terhadang di dalam perjalanan dan semua tewas...“

“Aku tahu dan aku sendiri melihatnya tadi. Akan tetapi kalau aku yang pergi ke sana, jangan harap mereka akan dapat menangkap aku!“

Ucapan yang sombong ini membuat Han Sin mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia tidak mau mencampuri urusan mereka, maka diapun diam saja dan hanya mendengarkan.

“Hek-mo-ko nampak girang bukan main. “Bagus! Kalau engkau sendiri yang mau pergi menyelidiki, kita pasti berhasil dan menang...“

“Akan tetapi aku baru mau membantu kalian kalau dua syarat ku dipenuhi. Pertama kalian baru boleh menyerbu kalau sudah kuberi isyarat. Dan kedua, sebelum aku pergi menyelidik keadaan musuh, pemuda yang kalian tawan itu harus di bebaskan lebih dulu. Dia adalah seorang sahabatku...“

Pedang Naga Hitam Jilid 15

AKAN tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian Han Sin. Ada dua bayangan orang yang menyusup-nyusup di antara semak belukar dan batang-batang pohon. Kalau dia tidak melihat dengan penuh perhatian, tentu bayangan itu akan lolos dari penglihatannya. Demikian cepat gerakan mereka.

Kalau pengintai yang masih di atas pohon itu melihat, tentu akan dikiranya gerakan seekor dua ekor binatang saja. Akan tetapi Han Sin merasa yakin bahwa itu adalah gerakan dua orang yang datang dari tempat berkumpulnya kelompok Golok Setan itu menuju ke sini.

Han Sin merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, agaknya golok setan mengirim dua orang penyelidik dan dua orang itu pasti akan melanggar garis yang sudah di sebarin racun. Ingin dia memberitahu mereka, memperingatkan mereka agar jangan sampai melanggar garis beracun itu, akan tetapi bagaimana caranya?

Pula, dia belum tahu benar siapa yang jahat di antara kedua kelompok orang yang agaknya bermusuhan itu, maka tidak adillah kalau dia memihak salah satu kelompok. Maka, diapun diam saja dan mengikuti dua bayangan itu dengan perasaan ngeri. Setelah dekat dengan tempat itu, dua bayangan itu tidak nampak lagi dan gerakannya tidak dapat diikuti lagi. Agaknya mereka maju dengan hati-hati sekali.

Tak lama kemudian Han Sin yang sudah siap melihat orang keracunan, tetap saja terkejut ketika tiba-tiba terdengar jerit an dua orang yang mengerikan. Di sebelah lapangan utara lapangan rumput itu. Orang-orang yang berada dilapangan rumput itupun mendengarnya dan mereka kelihatan girang sekali.

“Ha-ha-ha, tentu dua ekor anjing pengintai mereka yang terkena racun. Seret mereka ke sini...!“

Dua orang anggota kelompok itu bangkit dan mereka menuju ke utara dari mana suara tadi terdengar. Dua orang itu mengenakan sarung tangan hitam untuk melindungi tangan mereka dari racun. Tak lama kemudian mereka sudah menyeret tubuh dua orang yang sudah menjadi mayat!

Sungguh luar biasa sekali racun hitam itu. Mula-mula yang terkena hanya tangan dua orang penyelidik itu, akan tetapi warna hitam itu lalu menjalar ke seluruh tubuh sampai ke mukanya yang menjadi hitam seperti hangus!

Diam-diam Han Sin bergidik. Dia sudah mendengar banyak dari gurunya. Hek liong ong, tentang kekejaman yang banyak terjadi di dunia persilatan, terutama di antara golongan sesat dan baru sekarang dia menyaksikan sendiri.

“Ha-ha-ha, Gerombolan Golok Setan akan tahu rasa sekarang! Kalian berempat, bawa dua mayat itu dan lemparkan ke dekat tempat mereka!“ perintah si tinggi besar muka hitam.

“Baik, twa-pangcu!“

Empat orang yang di tunjuk bangkit berdiri dan mereka inipun menggunakan sarung tangan hitam. Mereka lalu menggotong dua mayat itu, dua orang menggotong satu mayat dan membawa mereka keluar dari lapangan rumput, menuju ke utara untuk mengirim dua buah mayat itu kepada pihak musuh.

Han Sin mengikuti perjalanan empat orang yang menggotong dua buah mayat itu, akan tetapi, baru sampai pada pertengahan jalan, mendadak muncul orang bersenjata golok besar dan mereka itu segera menyerang empat orang yang menggotong dua mayat tadi. Empat orang itu melepaskan mayat dan mencabut pedang mereka, dan terjadilah perkelahian empat lawan lima orang bergolok.

Akan tetapi karena empat orang tadi menggot ong dua mayat, mereka kalah cepat dan ketika golok-golok itu berkelebat an membentuk gulungan sinar menyilaukan mata, dalam waktu belasan jurus saja empat orang itu berturut-turut telah terpelanting roboh, kemudian lima orang itu menghujamkan goloknya ke tubuh mereka sampai tubuh empat orang itu terbelah-belah!

Han Sin menyeringai seperti orang menahan sakit. Dia bergidik. Kiranya orang-orang Golok Setan itu tidak kalah kejamnya dibandingkan orang-orang yang berada dibaw ah pohon ini. Agaknya orang yang mengintai dari atas pohon melihat pula kejadian itu. Maka dia cepat turun memberi laporan kepada para pimpinan.

“Twa-pangcu, celaka besar! Empat orang kita yang mengantar dua mayat itu di hadang di tengah perjalaan oleh lima orang musuh dan mereka semua terbunuh...!“

“Ahhhh...!“ Ketua yang tinggi besar itu mukanya menjadi semakin hitam dan die mengepal tinjunya. “Keparat! Kita kehilangan empat orang sedangkan mereka hanya kehilangan dua orang! Kita harus membuat pembalasan!”

Ketua pertama dari kelompok itu bernama Coa Gu dan berjuluk Hek-mo-ko. Untuk daerah lembah Huang-ho ini sudah terkenal sebagai seorang datuk diantara para perampok dan bajak sungai. Gerombolan yang dipimpinnya itu di beri nama Huang-ho-kwi-pang (Perkumpulan Iblis Sungai Kuning)!

Orang tinggi besar bermuka hitam ini bersenjatakan sebatang tongkat baja yang hitam pula. Karena muka dan tongkatnya yang hitam itulah maka dia dijuluki Hek-mo-ko (Iblis Hitam). Orang kedua, yang tinggi besar bermuka brewok bernama Gu Ma It dan dia menjadi ji-pangcu (Ketua kedua). Usianya lima puluh tahun, lima tahun lebih muda dari Hek-mo-ko dan Gu Ma It ini terkenal karena tenaganya besar seperti tenaga gajah dan diapun pandai bermain pedang.

Adapun orang ketiga yang menjadi sam-pangcu (ketua ketiga) bernama Su Ciong Kun, berusia empat puluh lima tahun. Orang ketiga ini tinggi namun kurus dan mukanya menyeramkan sekali karena muka itu seperti tengkorak terbungkus kulit. Orang ketiga dari Huang-ho Kwi-pang ini ditakuti karena dia seorang ahli menggunakan racun dan senjat anya berupa rantai baja juga lihai sekali.

Pusat Huang ho Kwi-pang berada di lembah Huang-ho, sedangkan anggota mereka berjumlah kurang lebih lima puluh orang. Akan tetapi yang kini di ajak untuk menyerbu musuh hanya tiga puluh orang. Mendengar twa-pangcu yang sudah marah itu bermaksud hendak menyerbu musuh, sam-pangcu segera berkata,

“Twa-suheng, kurasa tidak menguntungkan kalau kita langsung menyerbu mereka. Mereka lebih menguasai medan karena ini merupakan daerah mereka. Kalau kita menyerang mereka, kita dapat terjebak. Biarkan mereka yang menyerang kita sehingga kita yang menjebak mereka dengan racun..."

Gu Ma It yang tadi hanya mendengarkan saja kini berkata, “Apa yang diucapkan sam-sute memang benar. Mereka yang menguasai daerah ini tentu lebih paham akan keadaan disini dan kalau tidak berhati-hati kita dapat terjebak. Tempat kita ini terbuka dan tidak dapat mereka menjebak kita, dan andaikata mereka menyerang kita, kita dapat mempertahankan diri dengan baik dan menghancurkan mereka...“

“Hemmm...!“ Hek-mo-ko menggeram.

“Kita telah kehilangan empat orang. Di bandingkan dengan mereka yang kehilangan dua orang, kita masih rugi besar. Ternyata mereka telah memasang barisan pendam diantara kita dan mereka...“

“Karena itulah harus berhati-hati dan menanti gerakan mereka...“ kata Su Ciong Kun si muka tengkorak yang agaknya cerdik.

“Ahhh, akan tetapi hal seperti itu menunjukkan bahwa kita takut kepada mereka...“ Hek-mo-ko tetap penasaran.

Han Sin merasa sudah cukup lama mengintai dari atas pohon. Dia turun dari pohon itu, mengambil keputusan untuk tidak mencampuri urusan mereka. Gurunya pernah menasehatinya agar dia tidak mencampuri urusan orang-orang kang-auw karena diantara mereka kalau terjadi permusuhan, biasanya saling memperebutkan kekuasaan atau harta benda, juga mungkin karena dendam mendendam. Akan tetapi baru saja dia turun dari atas pohon, tiba-tiba muncul sepuluh orang yang mengepungnya dan menodongkan senjata-senjata tajam kepadanya.

Han Sin bersikap tenang saja, walaupun dia agak terkejut karena tidak menyangka bahwa dia telah diketahui. Karena sejak tadi berada di atas pohon dan perhatiannya di tunjukkan kepada semua kejadian yang jauh dari pohon, dia tidak mendengar atau melihat apa yang terjadi di bawah pohon itu.

Kiranya mereka itu adalah sepuluh orang dari Huang-ho Kwi-pang yang tadi tidak dilihatnya dilapangan rumput dan mereka itu memang disebar untuk menyelidiki keadaan sekitar tempat itu! Ketika seorang dari mereka melihat Han Sin di atas pohon, dia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya dan pohon itu pun sudah di kepung. “Ah, kalian ini mau apa?“ tanya Han Sin dengan sikap tenang.

“Engkau mata-mata Kwi-to-pang!“ bentak seorang diantara para pengepung itu.

Han Sin tertawa. “ha-ha-ha, apa yang kalian maksudkan? Aku tidak mengerti segala macam Kwi-to-pang atau Perkumpulan setan manapun..."

“Engkau hendak melawan?” seorang menodongkan pedangnya.

Han Sin memang tidak ingin bermusuhan dengan mereka. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepala. “Ah, tidak! Siapa mau melawan?“

“Kalau begitu menyerahlah. Engkau harus kubawa menghadap pimpinan kami!“

“Boleh! Aku memang tidak mempunyai kesalahan apapun...“ Han Sin lalu di todong dan di giring memasuki lapangan.

Tentu saja semua orang memandang penuh perhatian ketika seorang pemuda di giring masuk lapangan rumput oleh sepuluh orang anggota Huang Ho Kwi pang itu. Han Sin dipaksa duduk di atas rumput menghadap tiga orang ketua itu dan seorang di antara penawannya berkata,

“Lapor, pangcu. Kami mendapatkan orang ini melakukan pengintaian di atas pohon!“

Hek mo ko memandang kepada Han Sin penuh selidik, dari kepala sampai ke kaki, dan dia membentak, “Engkau mata-mata Kwi-to-pang yang mengintai kami?”

Han Sin menggeleng kepalanya. “Sama sekali bukan!“

“Haiii! Dia ini penunggang kuda yang kita susul di perjalanan tadi!“ seru Su Ciong Kun.

“Benar!“ jawab Han Sin. “Memang tadi kalian menyusul dan melewati aku!"

“Apa maksudnya engkau berada di sini dan mengintai dari atas pohon? Jawab yang betul atau kami akan membunuhmu...“ bentak Hek-mo-ko.

“Aku sedang melakukan perjalanan menuju ke Tai-goan. Karena daerah ini amat sepi dan aku merasa kesepian, ketika kalian melewati aku tadi, aku bermaksud untuk menyusul agar dapat melakukan perjalanan ini bersama kalian dan tidak kesepian. Akan tetapi kalian berhenti di hutan ini dan akupun berhenti agak jauh dari sini menanti kalian berangkat lagi. Karena lama kalian tidak berangkat, aku lalu naik ke pohon untuk melihat apa yang terjadi...“

“Dan apa yang kau lihat?” bentak Hek-mo-ko, mulai percaya kepada keterangan Han Sin karena dia agaknya dapat membedakan antara orang yang menjadi anggota gerombolan penjahat atau rakyat biasa.

“Aku melihat bahwa kalian bersiap-siap untuk bertempur dengan gerombolan yang di sana itu...“ Han Sin menuding ke utara. “Aku melihat pula dua orang dari mereka mati keracunan dan empat orang dari kalian terbunuh...“

Gu Ma It yang berewokan berkata. “Twa-suheng, untuk apa banyak bicara dengan orang ini? Mata-mata atau bukan, bunuh saja agar tidak merepotkan...“

“Jangan, jangan bunuh aku. Apa untungnya kalian membunuhku? Dan aku bersumpah tidak ada sangkut pautnya dengan gerombolan yang di sana itu. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun...“ kata Han Sin sungguh-sungguh, bukan karena takut melainkan karena dia tidak ingin bermusuhan dengan gerombolan ini.

“Hemmm, bocah ini bukan anggota gerombolan biasa...“ kata Hek-mo-ko. “Mungkin dia berguna bagi kita. Sebaiknya kita tahan saja dia. Jaga dia baik -baik jangan sampai meloloskan diri. Dan kau, orang muda, awas kau. Sekali engkau berusaha melarikan diri engkau akan kami bunuh...!“

Akan tet api Han Sin sudah tidak begitu memperhatikan lagi soal lain karena saat itu perhatiannya tertarik ke sebelah kiri, ke arah sebatang pohon besar. Di atas cabang pohon itu dia melihat seorang berjongkok nongkrong di atas cabang sambil cengar-cengir, dan orang ini bukan lain adalah Cu Sian, si pengemis remaja!

Tentu saja Han Sin merasa khawatir bukan main. Orang-orang ini adalah orang-orang kasar yang biasa melakukan kekerasan dan agaknya mereka ini lihai, terutama sekali tiga orang pimpinan itu. Dan sekarang Cu Sian muncul! Dan apa lagi yang akan diperbuat oleh pemuda remaja yang nakal itu kalau tidak membuat ulah dan kekacauan...?

“Ha-ha-ha! Huang-ho Kwi-pang yang memiliki tiga orang pemimpin dan kelihatan kuat ini, ternyata hanya kulitnya saja yang nampak kokoh, padahal disebelah dalam keropos dan rapuh, jerih menghadapi Kwi-to-pang!“

Semua orang terkejut dan menengok ke arah suara itu dan baru sekarang mereka melihat pengemis muda itu duduk nongkrong di atas cabang pohon. Diam-diam tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang terkejut. Bagaimana bocah jembel itu dapat tiba-tiba berada di pohon yang begitu dekat dengan mereka tanpa mereka ketahui sama sekali?

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Mereka bertiga adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tingkat tinggi, di tambah tiga puluh orang anggota yang bersikap waspada, namun tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui adanya pengemis muda itu. Padahal dia berada di pohon yang paling dekat dengan lapangan rumput itu. Sedangkan Han Sin yang berada di pohon yang lebih jauh saja dapat diketahui dan di tangkap.

Akan tetapi mendengar ucapan pemuda remaja itu yang mengejek, Kwi-to-pang yang dikatakannya rapuh, tiga orang pimpinan itu menjadi marah dan merasa di hina. Su Ciong Kun, pemimpin nomor tiga yang tubuhnya tinggi kurus mukanya seperti tengkorak itu membentak nyaring.

“Heii, bocah gila! Berani engkau menghina kami...?“

Dengan kaki yang tadinya berjongkok itu kini di turunkan dan di goyang-goyang, Cu Sian tersenyum dan berkata, Eh, muka tengkorak, siapa menghina? Aku tadi bilang apa?”

"Bahwa kami keropos dan rapuh di sebelah dalam!“ kata Su Ciong Kun dengan marah.

“Ha-ha-ha, bukankah sekarang engkau sendiri yang mengatakan bahwa kalian keropos dan rapuh? Bukan aku yang berkata, melainkan engkau sendiri!“

Su Ciong Kun merasa dipermainkan. Dia menjadi semakin marah dan mengamangkan tinju ke arah pengemis muda itu. “Bocah setan, turunlah engkau, kalau tidak, akan ku seret kau!“

“Wah, tidak usah repot-repot! Tidak perlu engkau membantuku turun, aku dapat turun sendiri...“ Berkata demikian, Cu Sian lalu melompat turun dari atas cabang pohon ke atas tanah.

“Ke sinilah engkau untuk mempertanggung jawabkan ucapanmu tadi atau kami akan menggunakan kekerasan!“ kata pula Su Ciong Kun yang melihat pengemis muda itu masih berada di luar lingkaran yang telah di sebari racun itu.

“Baik, aku akan ke situ. Kau kira aku takut menghadapi kalian semua?” Dan dengan sikap gagah diapun melangkah maju.

“Sian-te...! Berhenti jangan maju lagi! Tempat itu telah di sebari racun berbahaya!“ Han Sin berteriak memperingatkan.

Akan tetapi pemuda remaja itu tidak mundur, bahkan terus sambil tersenyum, “Orang-orang Kwi-t o-pang boleh jadi takut racun yang disebar di sini, akan tetapi aku tidak...!“

Dan dengan kedua tangannya, dia menguak semak-semak belukar yang menghalangi jalannya. Han Sin terbelalak penuh kekhawatiran dan orang-orang Huang-jo Kwi-pang sudah tersenyum-senyum karena mereka yakin bahwa pemuda yang kurang ajar itu tentu akan roboh tewas. Mereka itu kecelik karena ternyata Cu Sian dapat lewat dengan selamat. Walaupun kedua tangannya tersentuh daun-daun yang di sebari racun, akan tetapi agaknya dia tidak merasakan apa-apa! Dengan langkah lebar setelah memasuki lapangan rumput, ia menghampiri para pimpinan Huang-ho Kwi-pang!

Tentu saja kini bukan hanya Han Sin yang terheran-heran. Tiga orang ketua Huang-ho Kwi-pang juga terheran-heran. Akan tetapi kalau Han Sin merasa heran bercampur girang. Sebaliknya tiga orang pemimpin Huang-ho Kwi-pang itu merasa heran dan terkejut bukan main. Bagaimana mungkin ada orang yang menyentuh daun-daun yang disebari racun itu tanpa keracunan?

Pengemis itu masih masih begitu muda, mungkinkah dapat memiliki kesaktian sehingga dapat menolak daya racun itu? Akan tetapi setelah Cu Sian tiba dihadapan mereka, barulah semua orang tahu mengapa pemuda remaja itu tidak keracunan. Ternyata kedua tangannya itu memakai sepasang sarung tangan yang tipis dan warnanya sama dengan kulitnya sehingga sepintas lalu dia seperti tidak memakai sarung tangan.

Su Ciong Kun, orang ketiga dari tiga orang ketua Huang-ho Kwi-pang itu semakin heran ketika tiba-tiba Cu Sian membungkuk, mengambil tanah dan menggosok-gosok kedua tangan yang bersarung itu dengan tanah. Bagaimana bocah itu tahu bahwa penawar racun itu adalah tanah? Setelah di gosok-gosok dengan tanah, maka racun yang menempel pada sarung tangan itu akan punah kekuatannya. Dengan gerakan yang tenang seperti orang memandang rendah, Cu Sian berkata,

“Huh, segala macam racun tikus dipergunakan untuk menjebak orang!“ Ia lalu melepaskan sepasang sarung tangan itu dan memasukkannya ke dalam saku baju hitamnya yang longgar. Juga dia hanya melirik satu kali ke arah Han Sin dan selanjutnya tidak mengacuhkannya.

Hek-mo-ko melangkah maju menghadapi pemuda pengemis itu. Melihat pemuda itu berani melewati garis yang disebari racun tanpa keracunan, dan pemuda itu bahkan berani menghadapi mereka dengan sikap yang demikian tenang, dia bersikap hati-hati karena dapat menduga bahwa pemuda itu tentu bukan orang sembarang saja.

“Hei, orang muda! Siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke sini memandang rendah kepada kami...!“

“Aku she Cu bernama Sian. Aku sama sekali tidak memandang rendah kepada kalian. Akan tetapi aku memiliki kebiasaan untuk mengatakan apa adanya. Kalian merasa jerih kepada orang-orang Kwi-to-pang di sana itu, siapa yang tidak tahu? Kalau kalian hanya bersembunyi di sini berlindung kepada pagar racun, lalu kapan kalian dapat menghancurkan Kwi-to-pang...?”

“Hemmm, kalau menurut pendapat mu bagaimana yang seharusnya kami lakukan?” Hek-mo-ko bertanya.

“Ha-ha-ha, aku siap membantu Huang-ho Kwi-pang, dengan satu syarat, yaitu kalian harus menaati semua perintah dan petunjukku. Bagaimana...? Aku tanggung kalian akan dapat membasmi Kwi-to-pang dan menguasai daerah lembah Huang-ho...“

Tiga orang pimpinan gerombolan itu saling pandang dan mengerutkan alisnya. Menaati perintah seorang pengemis muda...? Tentu saja mereka tidak dapat menyetujinya, apalagi mereka belum melihat sampai dimana kelihaian pemuda itu.

“Bocah sombong!” teriak Cu siong Kun sambil meloloskan rantai bajanya. Rantai dari baja itu sepanjang satu setengah meter, besar dan berat. “ Kau anggap engkau ini siapakah berani berlagak sombong untuk memerintah kami...? Coba ingin kulihat apakah engkau mampu menandingi rantai bajaku ini...!“ Setelah berkata demikian Su Ciong Kun mengayun dan memutar-mutar rantai bajanya.

“Wirrr... wirrrrr...!“ Rantai baja itu mengeluarkan bunyi mendesir ketika menyambar ke arah kepala Cu Sian.

Han Sin terkejut dan khawatir melihat serangan yang hebat itu dan diam-diam dia sudah siap siaga untuk menolong sekiranya pemuda remaja itu terancam bahaya. Akan tetapi dengan gerakan ringan saja, Cu Sian telah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran rantai baja itu. Akan tetapi Su Ciong kun memang lihai.

Rantai baja yang luput menyambar kepala itu sudah membalik dan sekali ini menyambar ke arah pinggang Cu Sian. Pemuda remaja ini menggerakkan tongkat bambunya menangkis. Tangkisan dari samping itu hanya membuat sambaran rantai itu menyimpang dan secepat kilat tongkat itu sudah di gerakkan menusuk kearah siku kanan Su Ciong Kun.

“Tuk-tuk!“ Dua kali ujung tongkat menotok dan terdengar Su Ciong Kun mengeluh dan rantai di tangannya terlepas. Dia melompat ke belakang dengan mata terbelalak.

Melihat ini, Gu Ma It menerjang maju dan pedangnya sudah menyambar ke arah leher Cu Sian. Cepat bukan main sambaran pedang itu dan terdengar bunyi berdesing saking kuatnya tenaga yang menggerakkan pedang.

“Siinggg... Takkkk!“ Pedang itu terpukul dari samping oleh tongkat bambu sehingga menyeleweng dan tidak mengenai sasaran. Sebaliknya, Cu Sian sudah membalas dengan tusukan tongkatnya ke arah jalan darah di tubuh lawan.

Akan tetapi Gu Ma It dapat mengelak dan menangkis dengan pedangnya. Sebetulnya, tingkat kepandaian Gu Ma It tidak berselisih jauh dengan tingkat kepandaian Su Ciong Kun. Kalau tadi dalam beberapa gebrakan saja Su Ciong Kun dapat dikalahkan oleh Cu Sian, hal ini adalah karena Su Ciong Kun memandang rendah kepada pemuda remaja itu. Berbeda dengan Gu Ma It yang sudah melihat adiknya kalah dan sudah maklum bahwa pemuda pengemis itu lihai sekali maka dia berhati-hati dan tidak memandang rendah.

Kini Gu Ma It memutar pedangnya. Dan melakukan serangan bertubi. Namun gerakan Cu Sian amat lincahnya. Tubuhnya berkelebat seperti seekor burung walet saja. Juga pemuda remaja itu memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat yang di warisinya dari kakeknya.

Selagi dua orang ini saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba Hek-mo-ko berseru keras. “Tahan senjata! Hentikan perkelahian!“ Dan dia sudah melompat ke depan dan tongkat bajanya menghadang di antara kedua orang yang sedang bertanding itu sehingga keduanya melompat ke belakang.

“Twa-suheng, aku belum kalah...“ Gu Ma It membantah suhengnya.

"Ji-sute, biar aku sendiri yang menghadapi sobat muda ini...!“ kata Hek-mo-ko yang kemudian menghadapi Cu Sian sambil berkata dengan suara mengandung keheranan. “sobat, aku ingin sekali merasakan hebatnya ilmu tongkatmu!“

“Majulah“ tantang Cu Sian. “Aku tidak mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi bukan berarti aku takut. Setiap tantangan akan kulayani...!”

Para anggota Huang-ho Kwi-pang memandang dengan penuh perhatian. Tidak mereka sangka sama sekali bahwa pengemis muda itu sedemikian lihainya. Bukan saja mengalahkan Su Ciong Kun dengan mudah dan dapat menandingi Gu Ma It, bahkan kini berani menyambut tantangan Hek-mo-ko!

Han Sin juga menonton dengan hati tegang. Akan tetapi kini dia tidak begitu khawatir lagi karena ternyata Cu Sian bukan hanya berlagak, melainkan benar-benar memiliki kelihaian. Apalagi dia dapat mengetahui dari sikap dan kata-kata Hek-mo-ko bahwa orang pertama dari pimpinan Huang-ho Kwi-pang ini tidak marah, melainkan heran terhadap Cu Sian.

“Sobat muda, sambut serangan tongkat ku!“ dia membentak dan mulai membuka serangannya dengan gerakan tongkat ke depan, ujung tongkat tergetar menjadi banyak dan meluncur ke arah dada pemuda remaja itu.

Akan tetapi Cu Sian dengan sigap menyambut serangan itu dengan lompatan ke kiri dan memutar tongkatnya menangkis, kemudian diapun membalas dengan totokan tongkatnya ke arah lutut lawan. Hek-mo-ko melompat ke kanan untuk menghindar serangan balasan itu. Kemudian tongkat bajanya yang berat dan panjang sudah membuat gerakan melingkar untuk menyapu kedua kaki Cu Sian!

“Bagus!“ Cu Sian berseru dan meloncat tinggi sehingga sapuan tongkat baja itu tidak mengenai kakinya. Dari atas dia menggerakkan tongkat bambunya menotok ke arah ubun-ubun kepala Hek-mo-ko. Serangan ini amat berbahaya bagi lawan dan Hek-mo-ko agaknya mengerti akan hebatnya serangan ini. Dia berseru nyaring dan menggerser kakinya sehingga tubuhnya mengelak ke belakang dan serangan Cu Sian itu luput.

Mereka saling serang dengan serunya dan yang terheran-heran kini adalah Han Sin yang mengikuti setiap gerakan mereka. Penglihatan Han Sin yang tajam dan terlatih itu dapat menangkap persamaan jurus-jurus kedua orang itu! Biarpun gerakan jurus-jurus kakek tinggi besar bermuka hitam itu mempunyai perkembangan yang berbeda, namun pada dasarnya kedua orang itu memainkan ilmu tongkat yang sama!

Akan tetapi jelas kelihatan olehnya bahwa kalau Hek-mo-ko memiliki tenaga yang lebih kuat, Cu Sian memiliki ginkang yang lebih sempurna sehingga pemuda pengemis itu selalu dapat menghindarkan diri dengan cekatan, dan serangan-serangan balasannya membuat kakek itu kewalahan.

Agaknya Hek-mo-ko juga maklum akan persamaan ilmu tongkat itu, maka dia menangkis tongkat bambu yang menusuk ke arah matanya lalu melompat ke belakang sambil berseru nyaring. “ Tahan senjata...!“

Cu Sian menghentikan serangannya dan pemuda inipun memandang lawannya dengan heran dan alis berkerut.

“Sobat muda, darimana engkau mempelajari Ta-houw-tung (Tongkat pemukul harimau)...?“ Hek-mo-ko bertanya sambil melintangkan tongkatnya ke depan dada.

“Hemmm, engkau seorang perampok dari mana engkau mencuri Ta-houw -tung ilmu tongkat keluarga kami...?” Cu Sian juga menegur dan melintangkan tongkat bambunya di depan dada, gerakannya persis sama dengan gerakan tongkat Hek-mo-ko.

Mendengar pemuda ini menyebut ilmu tongkat Ta-houw-tung sebagai ilmu tongkat keluarganya, Hek-mo-ko makin terheran dan mengamati wajah Cu Sian penuh perhatian. Kemudian dia berkata dengan penuh penasaran. “Aku Hek-mo-ko tidak mencuri ilmu tongkat. Ilmu ini sudah kupelajari sejak aku muda, menjadi murid dan tokoh Hek I Kaipang di cabang utara...“

“Aha, aku tahu sekarang siapa engkau!“ kata Cu Sian sambil tersenyum. “Engkau tentulah paman Coa Gu yang dahulu menjadi wakil ketua Hek I Kaipang cabang utara lalu dikeluarkan karena karena melanggar peraturan!“

Hek-mo-ko tertegun mendengar ini karena dia memang bernama Coa Gu. Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu dia masih menduduki jabatan wakil ketua dari Hek I Kaipang. Karena dia melakukan pelanggaran, maka oleh Ketua Hek I Kaipang pusat di Tiang-an dia dikeluarkan dari Perkumpulan pengemis. Setelah mengingat-ingat, diapun menghela napas dan berkata,

“Orang muda, aku sekarangpun dapat menduga siapa engkau. Engkau bernama Cu Sian. Nama margamu sama dengan guruku yang dahulu terkenal dengan sebutan Cu Lokai, ketua pusat Hek I Kaipang di Tiang-an. Aku teringat bahwa guruku itu mempunyai seorang putera bernama Cu Kak yang tidak setuju dengan penghidupan sebagai pengemis. Cu Kak bahkan keluar, menjauhkan diri dari Hek I Kaipang. Tentu engkau ini putera dari Cu Kak, bukan?“

“Tepat sekali, Paman Coa Gu!“ kata Cu Sian.

“Bagus...!“ Hek-mo-ko Coa Gu menoleh dan berkata kepada dua orang saudaranya. “Ternyata orang muda ini adalah keluarga sendiri. Dan dia telah datang, tentu untuk membantu kami membinasakan Kwi-to-pang!“

“Tidak, Paman Coa Gu. Aku tidak membantu kalian dalam permusuhan kalian dengan Kwi-to-pang. Aku memang mempunyai permusuhan pribadi dengan Kwi-to-pang. Kwi-to-pang dan ketuanya telah membunuh ayahku dan menyebabkan kematian Ibuku. Aku harus membasmi mereka dan kebetulan kalian juga memusuhi mereka. Kita dapat bekerjasama...“

“Bagus, kita dapat bekerjasama kalau begitu...“

“Akan tetapi kalau paman dan anak buah paman hanya bersembunyi saja di sini, bagaimana kita dapat menghancurkan Kwi-to-pang?”

“Lalu apa yang harus kita lakukan...? Mereka telah mengatur persiapan di sana dan kita tidak tahu perangkap apa yang mereka pasang untuk menghadapi kita...“

“Harus ada seseorang yang pergi ke sana, menemui mereka dan mempelajari keadaan dan kedudukan mereka...“ kata Cu Sian.

“Akan tetapi hal itu berbahaya sekali!“ seru Hek-mo-ko. “Mereka telah memasang baris pendam di mana-mana. Bahkan empat orang anggota kami yang mengirim dua mayat anak buah mereka terhadang di dalam perjalanan dan semua tewas...“

“Aku tahu dan aku sendiri melihatnya tadi. Akan tetapi kalau aku yang pergi ke sana, jangan harap mereka akan dapat menangkap aku!“

Ucapan yang sombong ini membuat Han Sin mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia tidak mau mencampuri urusan mereka, maka diapun diam saja dan hanya mendengarkan.

“Hek-mo-ko nampak girang bukan main. “Bagus! Kalau engkau sendiri yang mau pergi menyelidiki, kita pasti berhasil dan menang...“

“Akan tetapi aku baru mau membantu kalian kalau dua syarat ku dipenuhi. Pertama kalian baru boleh menyerbu kalau sudah kuberi isyarat. Dan kedua, sebelum aku pergi menyelidik keadaan musuh, pemuda yang kalian tawan itu harus di bebaskan lebih dulu. Dia adalah seorang sahabatku...“