Pedang Naga Hitam Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cu Sian menuding ke arah Han Sin yang masih duduk di jaga oleh beberapa orang anak buah itu.

“Ah, tentu saja kami setuju. Pemuda itu kami tangkap karena kami mencurigai dia sebagai mata-mata Kwi-to-pang. Akan tetapi kalau dia itu sahabat mu berarti diapun orang sendiri dan sekarangpun dia boleh bebas...!“

Mendengar ini, Cu Sian lalu menghampiri Han Sin dan dengan sikap menertawakan dia berkata, “Nah, Sin-ko, sekarang engkau bebas dan boleh pergi kemana kau suka. Akan tetapi kenapa engkau berada di sini sehingga di curigai dan di tangkap...?“

Han Sin tersenyum. Dari sikapnya, tahulah dia bahwa sahabatnya itu hendak mengatakan bahwa tanpa sahabatnya itu, tentu dia akan celaka! “Terima kasih, Sian-te. Aku hanya kebetulan saja berada di sini, tidak bermaksud apa-apa. Akan tetapi aku di curigai dan di tangkap...!“

“Hemmm, memang begitulah keadaannya. Dimana-mana terdapat bahaya mengancam. Kalau tidak pandai-pandai menjaga diri, bisa bertemu bahaya dan celaka...“

“Aku akan menjaga diri baik-baik, Sian-te. Nah, aku pergi saja sekarang...“ Han Sin bangkit berdiri.

“Apakah engkau tidak mau menanti saja sampai aku membereskan urusanku ini kemudian kita melakukan perjalanan bersama...?“ Cu Sian mendesak lagi.

“Tidak, terima kasih, Sian-te. Aku tidak mau merepotkanmu...“ jawab Han Sin dan segera dia meninggalkan tempat itu.

Cu Sian kelihatan kecewa sekali, akan tetapi diapun tidak memaksa dan hanya memandang sahabatnya itu pergi sampai lenyap di balik pohon-pohon. Hek-mo-ko dan kawan-kawannya memandang heran. Bagaimana seorang pemuda yang lihai seperti Cu Sian dapat bersahabat dengan pemuda tolol seperti Cian Han Sin? Hek-mo-ko yang melihat Cu Sian masih termenung memandang ke arah lenyapnya pemuda tawanan tadi, segera berkata,

“Cu-sicu, apakah yang akan kita lakukan sekarang?“

Cu Sian seperti baru sadar dari lamunannya. “Kita menanti sampai matahari condong ke barat. Aku akan menjadi pelopor dan jalan di depan. Kalian menikuti aku sambil bersembunyi, jangan terlalu dekat. Semua rintangan dalam perjalanan itu akan kuhadapi sendiri. Baru kalau perlu aku akan memberi isyarat dan kalian boleh maju membantu. Kalau tidak ada isyarat, kalian diam saja dan biarkan aku sendiri mangatasi rintangan. Setelah tiba di perkemahan orang-orang Kwi-to-pang, aku akan masuk dan menemui para pimpinannya. Kalian mengepung sambil bersembunyi dan kalau aku sudah memberi isyarat dengan terbakarnya sesuatu di sana, kalian boleh menyerbu masuk. Aku akan membikin kacau di sana sehingga orang-orang kwi-to-pang yang sedang panik oleh pengacauanku tidak mempunyai banyak kesempatan untuk membela diri ketika kalian menyerbu..."

Tiga orang pimpinan itu mengangguk-angguk. Suatu rencana yang amat berani dan amat membahayakan keselamatan pemuda itu, akan tetapi karena yang merencanakan Cu Sian, merekapun hanya mengangguk setuju.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) adalah perkumpulan perampok dan bajak sungai yang merajalela di sepanjang lembah Huang-ho sejak puluhan tahun yang lalu. Yang menjadi ketuanya adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar. Mukanya penuh brewok dan bernama Ban Koan, seperti juga para ketua dahulu yang menurunkan kedudukan itu dari guru ke murid.

Ban Koan juga seorang yang ahli dalam ilmu silat golok besar dan diapun memakai julukan Sin-to-kwi (Setan Golok Sakti). Dia mewarisi kedudukan ketua dari gurunya yang ketika hidupnya juga merupakan seorang datuk yang lihai ilmu silatnya. Gurunya itu berjuluk Sin-to-kwi-ong (Raja Setan Golok Sakti).

Munculnya perkumpulan Huang-ho Kwi-pang di lembah Huang-ho bagian utara itu tentu saja di anggap sebagai pihak yang hendak merebut wilayah kekuasaan kwi-to-pang. Beberapa kali terjadi bentrokan antara anak-anak buah mereka. Maka para pimpinan masing-masing lalu mengajukan tantangan untuk memperebutkan wilayah yang subur bagi mereka itu. Banyak rombongan pedagang berlalu lalang, baik melalui darat maupun melalui sungai sehingga keadaan mereka yang berkuasa di daerah itu menjadi makmur dengan adanya pembayaran pajak yang mereka kenakan pada para saudagar yang lewat.

Demikianlah, pada hari itu Ban Koan muncul sendiri memimpin anak buahnya. Berbeda dengan dahulu, di waktu gurunya menjadi ketua, anak buah Kwi-to-pang sampai berjumlah dua ratus orang, kini anak buahnya hanya sekitar lima puluh orang saja. Hal ini adalah keadaan pemerintahan yang kuat setelah berdirinya Kerajaan Sui yang di pimpin oleh Kaisar Yang Cien.

Kaisar pertama Kerajaan Sui ini berusaha benar-benar untuk membasmi gerombolan penjahat, dan ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, banyak anak buah Kwi-t o-pang yang tewas dan banyak pula yang ketakutan dan mengundurkan diri. Yang masih bertahan hanyalah Ban Koan dan para pengikutnya berjumlah lima puluh orang.

Pada hari yang di tentukan, kedua pihak sudah saling mendekati dan Kwi-to-pang membuat perkemahan di tepi sungai, sedangkan pihak Huang-ho kwi-pang membuat pertahanan di dalam hutan. Sin-to-kwi Ban Koan menjadi marah sekali ketika dua orang penyelidiknya tewas keracunan. Biarpun anak buahnya yang dia sembunyikan sebagai barisan pendam telah berhasil membunuh empat orang anak buah musuh, akan tetapi tetap saja dia merasa jerih untuk menyerbu setelah diketahuinya bahwa tempat pertahanan musuh itu disebari racun yang amat berbahaya.

Dalam memimpin Kwi-to-pang, Ban Koan dibantu oleh adiknya sendiri yang bernama Ban Ki dan berjuluk Siang-to-kwi (Sepasang Golok setan). Ban Ki juga seperguruan dengan kakaknya, hanya bedanya kalau Ban Koan bersenjatakan sebatang golok yang besar dan berat, Ban Ki terkenal dengan senjatanya sepasang golok yang tipis dan ringan. Pada hari itu, setelah kematian dua orang anggotanya, Ban Koan dan Ban Ki hanya menunggu saja gerakan musuh. Mereka sudah memasang perangkap berupa anak panah yang menghadang di perjalanan mereka ke perkemahan mereka secara sembunyi.

Setelah matahari naik tinggi dan mulai condong ke barat, muncullah Cu Sian mendekati tempat pertahanan Kwi-to-pang. Dia berjalan seenaknya dengan lenggang dan langkah panjang seolah dia sedang berjalan-jalan di dalam hutan itu. Tiba-tiba dari balik semak belukar berlompatan empat orang yang memegang sebatang golok besar. Empat orang itu bergerak cepat dan sudah mengepung Cu Sian.

“Berhenti!“ bentak seorang di antara mereka. “Siapa engkau dan mau apa berkeliaran di sini?“

Cu Sian bersikap tenang saja. “Apakah kalian anggota Kwi-to-pang? Aku ingin bertemu dengan ketua kalian!“

“Dia tentu mata-mata Huang-ho Kwi-pang!” teriak orang kedua. “Tangkap saja dia!“

Empat orang itu sudah menodongkan golok mereka. “Hayo engkau menyerah, atau kami menggunakan kekerasan!"

Cu Sian tersenyum mengejek. “Aku ingin bertemu dengan ketua Kwi-to-pang! Aku tidak sudi menyerah kepada kalian dan kalau hendak menggunakan kekerasan, ingin aku melihat apa yang dapat kau lakukan kepadaku!“

“Keparat! Serang!“ teriak orang pertama dan empat batang golok sudah menyambar ke arah tubuh Cu Sian dan empat penjuru.

Akan tetapi empat orang itu hanya melihat bayangan berkelebat dan serangan mereka luput. Cu Sian yang mempergunakan gin-kangnya melompat dan menghindar, kini tertawa dan empat orang itu cepat memutar tubuh mereka. Ternyata pemuda berpakaian seperti pengemis itu telah berada diluar kepungan dan melintangkan tongkat bambunya di depan dada sambil tertawa-tawa.

Empat orang itu menjadi marah dan penasaran. Kembali mereka maju menyerang dengan golok besar mereka. Nampak sinar berkelebat ketika empat batang golok itu menyambar-nyambar. Akan tetapi dengan tenang Cu Sian menggerakkkan tongkat bambunya, mengelak dan menangkis, kemudian dengan gerakannya yang cepat tongkat bambunya menotok empat kali dan empat orang itupun berseru kaget ketika golok mereka terlepas dari tangan mereka yang mendadak menjadi lumpuh!

Maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai bagi mereka berempat, mereka lalu berlompatan dan berlari menuju kelompok mereka. Cu Sian tertawa dan melanjutkan langkahnya menuju ke perkemahan Kwi-to-pang. Akan tetapi tiba-tiba saja dari depan kanan kiri menyambar beberapa batang anak panah yang agaknya dilepas secara sembunyi oleh orang-orang yang berada dibalik batang pohon dan semak-semak. Empat batang anak panah itu dapat di elakkan dengan mudah oleh Cu Sian. Akan tetapi kembali anak panah menyambar.

Cu Sian menjadi marah dan dengan tongkatnya yang di putar di bagian tubuhnya dia menangkis dan empat batang anak panah itu dapat di runtuhkan. Kemudian dia melompat cepat ke arah belakang semak-semak dan melihat empat orang melarikan diri. Kiranya empat orang itu bertugas menyerang pelanggar tempat itu dengan anak panah dan melihat betapa serangan mereka sia-sia, mereka menjadi jerih dan cepat pergi dari tempat persembunyian itu.

Gerombolan yang di pimpin Hek-mo-ko dan kawan-kawannya, yang berindap-indap mengikuti Cu Sian, tentu saja melihat semua peristiwa itu dan mereka merasa gembira sekali menyaksikan betapa dengan amat mudahnya Cu Sian mengatasi itu. Diam-diam mereka terus mnegikuti Cu Sian dari jauh.

Cu Sian terus melangkah maju menghampiri tempat pertahanan Kwi-to-pang. Tempat itu di kelilingi pohon bambu dan begitu dia mendekati pohon bambu, dari balik bambu itu berloncatan banyak orang dan tahu-tahu dia sudah di kepung oleh puluhan orang!

Cu Sian berdiri dengan tenang dan memandang ke sekeliling. Akhirnya dia melihat munculnya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Laki-laki ini tinggi besar bermuka penuh brewok dan tangannya memegang sebatang golok besar. Jantung Cu Sian berdebar tegang melihat orang ini. Agaknya inilah orangnya yang dimaksudkan oleh para piau-su itu. Orang yang menjadi kepala perampok Kwi-to-pang, orang yang telah membunuh ayahnya.

Di sebelah laki-laki yang bukan lain adalah Sin-to-kwi Ban Koan itu, berdiri adiknya, Ban Ki adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh jangkung kurus, mukanya yang kurus itu berbentuk meruncung seperti muka tikus, dan sepasang matanya bersinar kejam.

“Orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau mencari ketua Kwi-to-pang?” bentak Ban Koan dengan suara mengguntur.

“Namaku Cu Sian dan aku memang sengaja datang untuk bertemu dengan ketua Kwi-to-pang. Apakah engkau yang menjadi ketua Kwi-to-pang...?”

Ban Koan memandang penuh perhatian. Tadi dia mendapat laporan bahwa seorang pemuda remaja hendak bertemu dengannya dan pemuda itu lihai bukan main, telah mengalahkan empat orang penjaga dan bahkan mampu menghindarkan diri dari serangan anak panah. Dia merasa heran. Pemuda ini masih remaja dan ternyata hanya seorang pengemis. Tentu bukan pengemis sembarangan, pikir Ban Koan. Dia menahan kemarahannya.

“Hemmm, benar akulah Sin-to-kwi Ban Koan, ketua Kwi-to-pang dan ini adalah wakilku, juga adikku bernama Ban Ki dan berjuluk Siang-to-kwi...“

Mendengar ini, Cu Sian hampir tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi dia ingin mendapatkan kepastian. “Ban-pangcu aku mendengar bahwa Kwi-to-pang berkuasa di daerah ini, di sepanjang Lembah Huang-ho selama puluhan tahun. Benarkah itu...?”

“Tidak salah. Kwi-to-pang menguasai wilayah ini sejak puluhan tahun yang lalu sampai sekarang...“ jawab Ban Koan dengan bangga. Karena dia menduga bahwa pengemis muda ini mungkin ada hubungan dengan Huang-ho Kwi-pang, maka dia menjawab untuk menjelaskan bahwa Kwi-to-pang-lah yang berkuasa di situ sejak lama dan Huang-ho Kwi-pang merupakan pihak yang melanggar batas kekuasaanya.

“Dan benarkah bahwa Kwi-to-pang merupakan perkumpulan perampok yang ganas dan jahat, bukan hanya suka merampok, akan tetapi juga tidak segan untuk membunuhi korbannya.. ?”

“ha-ha-ha-ha!“ Sin-to-kwi Ban Koan tertawa bergelak sehingga perutnya yang besar terguncang. Melihat ketua mereka menertawakan pertanyaan itu, para anak buahnya juga tertawa sehingga ramailah keadaan di tempat itu.

“Kami yang berkuasa di wilayah ini, maka siapa saja yang lewat disini, harus tunduk akan peraturan kami. Mereka harus menyerahkan sebagian dari milik mereka kepada kami dan kalau mereka menolak dan melawan, tentu saja kami bunuh...!“

Sepasang mata Cu Sian berkilat. Tidak salah lagi, tentu orang ini yang telah menewaskan ayahnya. “Ban-pangcu, karena mendengar itulah aku datang mencarimu. Engkau kejam dan jahat, sudah merampok, membunuh pula. Aku datang untuk menantangmu bertanding, hendak kulihat sampai dimana kehebatan golok setan mu...!“

Sin-to-kwi Ban Koan membelalakan sepasang matanya yang sudah lebar itu, kemudian dia tertawa lagi, terbahak-bahak. Ha-ha-ha-ha! Engkau...? Anak kecil jembel kelaparan ini menantangku? Ha-ha-ha-ha!“

“Twa-ko, untuk membunuh bocah gila ini, tidak perlu engkau turun tangan sendiri. Cukup sepasang golokku saja yang akan mencincang tubuhnya sampai hancur!“ kata Ban Ki sambil mencabut sepasang golok tipis itu dan mengamangkannya.

“Aha, engkau tikus kurus tidak perlu ikut campur!“ kata Cu Sian. “Aku menantang Sin-to-kwi Ban Koan, kalau dia berani menandingiku barulah dia pantas menjadi kepala rampok. Akan tetapi kalau dia pengecut dan tidak berani, mengakulah saja dan aku akan menghadapi engkau tikus kurus ini...!“

Bukan main marahnya Ban Ki dimaki tikus kurus oleh seorang pengemis muda! Dia sudah memutar dua goloknya, akan tetapi kakaknya membentak. “Mundurlah! Bocah bermulut lancang ini memang yang sudah bosan hidup. Biar aku sendiri yang membunuhnya...!“

Setelah berkata demikian, Ban Koan meloncat ke depan. Agaknya dia memandang rendah kepada lawannya, maka dia tidak mencabut goloknya melainkan menyerang dengan pukulan tangannya yang besar ke arah muka Cu Sian. Akan tetapi dengan mudah saja Cu Sian mengelak dengan menundukkan kepalanya sehingga pukulan itu lewat di atas kepalanya. Pemuda itu melangkah ke depan dan tangannya menghantam perut lawan.

Ban Koan terkejut melihat kelincahan lawan. Cepat tangan kirinya menangkis dan terpaksa dia melangkah ke belakang dan ketika melihat pemuda itu menusukkan dua jari tangannya ke arah matanya, dia mengerahkan tenaga untuk menangkis. Dia mengharapkan tangkisan yang kuat itu akan mematahkan tulang lengan lawan, atau sedikitnya mendatangkan rasa nyeri.

“Duukkk..!“ Keduanya terdorong ke belakang dan kembali Ban Koan terkejut. Pemuda jembel itu ternyata memiliki tenaga yang kuat, dapat menandingi tenaganya! Dengan kemarahan yang mulai mendidih, dia menendang dengan kaki kirinya yang panjang dan kokoh. Namun Cu Sian dengan mudah mengelak dan tiba-tiba dia sudah menusukkan tongkat bambunya menotok ke arah pinggang lawan.

“Aahhh...!“ Ban Koan terpaksa melempar tubuh kebelakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi tubuh yang tinggi besar itu ternyata dapat bergerak gesit juga dan dia sudah berjungkir balik sekali ke belakang.

Kini Ban Koan tidak berani memandang ringan dan dia tahu bahwa lawannya memang lihai sekali. Baru beberapa gebrakan saja tahulah dia bahwa dalam hal kecepatan gerakan, dan hal ini membahayakn dirinya. Juga dia tidak dapat mengharapkan tenaganya karena pemuda itupun memiliki tenaga yang kuat. Maka cepat dia menggerakkan tangan dan dia sudah memegang sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya!

Cu Sian yang merasa yakin dia berhadapan dengan pembunuh ayahnya. Sejak tadi sudah merasa seolah hatinya terbakar oleh dendam dan kebencian. Akan tetapi dia tidak mau membiarkan kemarahannya menguasainya. Dia tetap tenang dan maklum bahwa lawannya adalah seorang yang berbahaya, apalagi kalau sudah memegang goloknya. Kiranya tidak percuma orang itu berjuluk Sin-to-kwi (Setan Golok Sakti). Dia tetap tenang dan waspada. Dia yakin akan mampu menandingi musuh besar ini. Walaupun musuh besar ini telah mengalahkan dan membunuh ayahnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa sekarang tingkat kepandaiannya sudah jauh melampaui tingkat ayahnya dahulu.

“Siinggg...“ Golok besar itu mengeluarkan bunyi mendesing ketika Ban Koan mengayunnya dalam bacokan dahsyat ke arah leher Cu Sian. Cu Sian menekuk kedua kakinya merendahkan tubuh sehingga golok itu menyambar di atas kepalanya dan kesempatan itu dia pergunakan untuk menyerang dada lawan dengan totokan. Ban Koan terkejut dan cepat tangan kirinya bergerak menangkis tongkat lalu melompat mundur.

Setelah terhindar dari totokan berbahaya itu, Ban Koan kembali menyerang. Goloknya bergerak cepat, golok yangbesar dan berat itu seolah benda ringan sekali di tangannya. Golok itu lenyap bentuknya dan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung walet sehingga sukar sekali di serang. Juga serangan balasan Cu Sian tidak kalah hebatnya karena pemuda itu menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang mematikan.

Pertandingan itu sungguh menegangkan. Golok di tangan Ban Koan itu berbahaya sekali, akan tetapi Cu Sian ternyata mampu menandinginya dengan kecepatan gerakannya. Mereka saling serang dan tubuh mereka berkelebatan ke sana sini. Sampai lima puluh jurus lebih belum juga ada yang roboh walaupun perlahan-lahan Cu Sian mulai dapat mendesak lawannya.

Melihat kakaknya tidak mampu mengalahkan pemuda itu bahkan terdesak, Ban Ki menjadi penasaran dan marah. Bagi dia dan kakaknya, mereka tidak mengenal sifat kegagahan yang pantang melakukan pengeroyokan. Ban Ki berseru keras dan meloncat memasuki gelanggang perkelahian itu dengan sepasang goloknya. Tanpa peringatan lagi dia sudah menyerang Cu Sian dengan ganasnya.

Cu Sian mengelak dengan cepat ketika sepasang golok itu menyambar ke arah tubuhnya. “Pengecut!“ bentaknya.

Namun kakak beradik itu tidak peduli dan segera mengeroyoknya. Bahkan anak buah Kwi-to-pang mulai mengepung dan mengancam dengan golok mereka untuk mengeroyok Cu Sian.

Cu Sian terkejut sekali. Dia telah masuk perangkap, telah di kepung dan tidak mungkin meloloskan diri dari pengepungan puluhan orang itu. Mulailah dia merasa menyesal, karena dorongan dendam kebencian, dia lupa bahwa di berada di tengah-tengah gerombolan yang berbahaya. Saking marahnya berhadapan dengan pembunuh ayahnya dia langsung menantang. Padahal, seharusnya dia mencari kesempatan dulu untuk memberi isyarat kepada Huang-ho Kwi-pang yang saat itu tentu menanti-nanti isyaratnya.

Kini dia telah terkepung, tidak sempat lagi memberi isyarat dan dia lalu nekat mengamuk, tubuhnya berkelebatan ke sana sini menghadapi pengeroyokan kakak beradik itu. Akan tetapi dia terdesak hebat karena dua orang lawannya adalah orang-orang yang ahli bermain golok. Beberapa kali nyaris tubuhnya terbacok golok.

Cu Sian memaklumi keadaan bahaya ini, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar untuk meloloskan diri, dia lalu mengamuk dan membela diri sekuat mungkin. Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Cu Sian itu, tiba-tiba nampak sinar dan asap di susul teriakan banyak orang,

“Kebakaran! Kebakaran...!“

Dan sebagian dari anak buah Kwi-to-pang berlarian untuk memadamkan sebuah tenda yang terbakar. Cu Sian merasa terheran-heran. Mestinya dia yang membuat api sebagai isyarat kepada orang-orang Huang-ho Kwi-pang! Akan tetapi siapapun penyebab kebakaran, hal itu menguntungkan bagi Cu Sian dan diapun mengamuk sehingga kedua orang lawan yang mengeroyoknya mundur. Apalagi Ban Koan dan Ban Ki juga terheran-heran melihat adanya kebakaran.

Selagi mereka meragu, terdengar sorak sorai dan puluhan orang Huang-ho Kwi-pang datang menyerbu. Terjadilah pertempuran yang hebat. Hek-mo-ko Coa Gu ketua Huang-ho Kwi-pang segera membantu Cu Sian yang di keroyok dua. Kini Cu Sian hanya melawan Ban Koan seorang, sedangkan Hek-mo-ko bertanding melawan Ban Ki Gu Ma It dan Su Ciong Kun, dua orang ketua yang lain dari Huang-ho Kwi-pang memimpin anak buah mereka menyerang orang-orang Kwi-to-pang. Terjadilah pertempuran mati-matian.

Karena orang-orang Huang-ho Kwi-pang lebih banyak, mereka di pimpin oleh dua orang ketua itu, maka pihak Kwi-to-pang menjadi terdesak hebat. Sementara itu Cu Sian mendesak lawannya dengan sengit dan akhirnya, tongkat bambunya berhasil menotok dada Ban Koan. Sin-to-kwi Ban Koan berseru keras dan roboh terjengkang dan sebelum dia sempat membela diri, Cu Sian sudah mengirim dua kali totokan pada leher dan dadanya dan tewaslah Ban Koan tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.

Pertandingan antara Ban Ki dan Hek-mo-ko juga berlangsung sengit dan berimbang. Akan tetapi, ketika Ban Ki melihat kakaknya roboh dan tewas, permainan sepasang goloknya menjadi kacau dan kesempatan ini dipergunakan oleh Hek-mo-ko untuk menusukkan tongkat bajanya ke arah ulu hati Ban Ki. Siang-to-kwi Ban Ki terjengkang dan tewas karena tongkat baja itu telah menembus baju dan kulit dadanya.

Melihat robohnya dua orang pimpinan mereka, sisa anak buah kwi-to-pang menjadi panik dan mereka lalu melarikan diri cerai berai. Hanya belasan orang saja di antara mereka yang dapat lolos. Selebihnya tewas dalam pertempuran itu. Hek-mo-ko Coa Gu, Gu Ma It dan Su Ciong kun bergembira bukan main karena kemenangan itu berarti bahwa kini merekalah yang menjadi penguasa tunggal di daerah lembah Huang-ho!

Para anak buah Huang-ho Kwi-pang juga bersorak gembiara atas kemenangan itu. Cu Sian masih berdiri termenung memandangi mayat Ban Koan ketua Kwi-to-pang. Hatinya merasa terharu bahwa akhirnya dia mampu membalas kematian ayah ibunya, bahkan berhasil pula membantu Huang-ho Kwi-pang untuk membasmi gerombolan Kwi-to-pang yang dahulu merampok ayahnya. Dia masih termenung ketika Hek-mo-ko dan dua orang adiknya menghampiri dan mereka bertiga memberi hormat kepadanya. Hek-mo-ko berkata dengan gembira,

“Bantuan Cu-sicu sungguh tak ternilai harganya bagi kami...“

Seperti orang dalam mimpi karena masih termenung, Cu Sian berkata. “Aku tidak membantu siapa-siapa, aku hanya ingin membalas kematian ayah ibuku...“

“Biarpun demikian, tanpa bantuan Cu-sicu, akan sukarlah bagi kami untuk memperoleh kemenangan. Kini kami telah menang dan mulai saat ini, yang menguasai Lembah Huang-ho di daerah ini adalah kami Huang-ho Kwi-pang...!“ kata Hek-mo-ko lantang sehingga terdengar oleh semua anak buahnya.

Mendadak terdengar suara yang lebih lantang lagi, suara yang bergema sampai jauh dan yang menggetarkan hutan itu. “Siapa bilang Huang-ho Kwi-pang yang berkuasa! Masih ada aku di sini...!“

Semua orang terkejut dan menoleh. Entah dari mana dat angnya tiba-tiba saja di situ telah berdiri seorang kakek yang menyeramkan. Kakek itu usianya paling sedikit enam puluh tahun. Tubuhnya masih tegak dan tinggi besar, kepalanya botak dan ukuran kepala itu besar sekali. Rambut kepalanya hanya tumbuh dibagian bawah dari belakang telinga sampai ke tengkuk dan rambut ini tebal dan hitam sekali.

Tubuhnya yang tinggi besar itu mengenakan pakaian dari bulu beruang di bagian luarnya. Sedangkan celana dan bajunya dari kain sutera. Tangannya memegang sebatang tongkat berkepala naga dan berwarna hitam mulus. Sepatunya dari kulit binatang. Penampilan kakek ini nampak lucu akan tetapi juga menyeramkan. Mendengar ucapan kakek itu, tentu saja tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang menjadi marah sekali.

“Haiiii...! Apa maksudmu dengan kata-kata tadi...?“ bentak Hek-mo-ko.

“Siapa engkau, manusia lancang mulut!“ bentak pula Su Ciong Kun dengan marah.

“He-he-he-he, kalian seperti tikus-tikus selokan hendak berlagak harimau! Kata-kataku sudah jelas. Tidak ada yang berkuasa di lembah Huang-ho kecuali aku. Mulai hari ini, akulah yang berkuasa dan siapa pun baru berhak hidup di sini setelah memperoleh ijin dariku...“

“Manusia sombong! Mengakulah siapa engkau sebelum kami membinasakan kamu!” kini Gu Ma It yang berteriak marah.

“He-he-he! Namaku Ma Giok, akan tetapi mulai sekarang akulah datuk utara dan julukanku Pak-te-ong (Raja Bumi Utara)!“

Tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu saling pandang dan mereka tidak mengenal nama ini di antara tokoh-tokoh kang-ouw. Maka mereka memandang rendah.

“Ma Giok, bersiaplah untuk mampus...!“ bentak Su Ciong Kun dan dia sudah menyabitkan sebatang pisau yang sudah di rendam racun. Jangankan terkena dengan tepat, baru tergores sedikit saja oleh senjata rahasia ini sudah cukup untuk merenggut nyawa orang!

Akan tetapi kakek botak itu hanya mengibaskan lengan bajunya dan pisau itu mencelat ke samping dan lenyap ke dalam semak-semak. “Ha-ha-ha, tikus-tikus tidak tahu diri. Apakah kalian masih mempunyai permainan lain lagi...?”

Hek-mo-ko tentu saja tidak rela melihat ada orang hendak merebut kekuasaan mereka begitu saja. Dia sudah menggerakkan tongkat bajanya dan berseru kepada dua orang adiknya. “Serang...!“

Ini merupakan aba-aba bagi kedua orang itu untuk menyerbu dan tanpa banyak cakap lagi Gu Ma It menggerakkan pedangnya dan Su Ciong Kun menggerakkan rantai bajanya.

Cu Sian menyingkir dan menjauh sambil tersenyum mengejek. Dia muak melihat sikap tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu yang tanpa malu-malu lagi melakukan pengeroyokan kepada seseorang yang belum mereka kenal dan ketahui bagaimana tingkat kepandaiannya. Dia tidak ingin mencampuri urusan itu, akan tetapi diapun tertarik dan ingin menonton pertandingan itu. Dia melihat disebelah kirinya terdapat sebatang pohon dan diapun meloncat ke atas cabang pohon itu dan duduk seenaknya.

Hek-mo-ko Coa Gu, Su Ciong Kun dan Gu Ma It sudah maju menerjang kakek botak itu. Tongkat baja Hek-mo-ko menyambar ke arah kepala botak itu, pedang di tangan Gu Ma It menusuk ke arah dada, sedangkan rantai baja Su Ciong Kun menyambar ke arah pinggang! Hebat sekali serangan tiga orang secara berbarengan itu dan agaknya kakek gundul itu tidak akan mampu menghindarkan diri lagi. Akan tetapi Cu Sian yang menonton dari atas, terbelalak melihat kakek botak yang bernama Pak-te-ong Ma Giok itu sama sekali tidak bergerak dari tempat dia berdiri.

“Duukkk...!“

Kepala botak licin itu terpukul tongkat baja Hek-mo-ko, akan tetapi kepala itu tidak apa-apa bahkan tongkat itu telah di sambar tangan kiri Pak-te-ong dan di rampasnya. Ketika pedang menusuk ke arah dadanya, dia menancapkan tongkatnya sendiri ke atas tanah dan tangan kanannya mengangkap pedang itu begitu saja dan sekali tarik, pedang itupun dirampasnya.

Rantai baja itu mengenai pinggang dan melibatnya, akan tetapi sekali kakinya menendang, Su Ciong Kun terlempar dan rantai baja itu tetap melibat pinggang Pak-te-ong. Kembali kedua kakinya itu menyambar bergantian dan Hek-mo-ko terlempar kebelakang sedangkan Gu Ma It juga terpelanting...!

Pedang Naga Hitam Jilid 16

Cu Sian menuding ke arah Han Sin yang masih duduk di jaga oleh beberapa orang anak buah itu.

“Ah, tentu saja kami setuju. Pemuda itu kami tangkap karena kami mencurigai dia sebagai mata-mata Kwi-to-pang. Akan tetapi kalau dia itu sahabat mu berarti diapun orang sendiri dan sekarangpun dia boleh bebas...!“

Mendengar ini, Cu Sian lalu menghampiri Han Sin dan dengan sikap menertawakan dia berkata, “Nah, Sin-ko, sekarang engkau bebas dan boleh pergi kemana kau suka. Akan tetapi kenapa engkau berada di sini sehingga di curigai dan di tangkap...?“

Han Sin tersenyum. Dari sikapnya, tahulah dia bahwa sahabatnya itu hendak mengatakan bahwa tanpa sahabatnya itu, tentu dia akan celaka! “Terima kasih, Sian-te. Aku hanya kebetulan saja berada di sini, tidak bermaksud apa-apa. Akan tetapi aku di curigai dan di tangkap...!“

“Hemmm, memang begitulah keadaannya. Dimana-mana terdapat bahaya mengancam. Kalau tidak pandai-pandai menjaga diri, bisa bertemu bahaya dan celaka...“

“Aku akan menjaga diri baik-baik, Sian-te. Nah, aku pergi saja sekarang...“ Han Sin bangkit berdiri.

“Apakah engkau tidak mau menanti saja sampai aku membereskan urusanku ini kemudian kita melakukan perjalanan bersama...?“ Cu Sian mendesak lagi.

“Tidak, terima kasih, Sian-te. Aku tidak mau merepotkanmu...“ jawab Han Sin dan segera dia meninggalkan tempat itu.

Cu Sian kelihatan kecewa sekali, akan tetapi diapun tidak memaksa dan hanya memandang sahabatnya itu pergi sampai lenyap di balik pohon-pohon. Hek-mo-ko dan kawan-kawannya memandang heran. Bagaimana seorang pemuda yang lihai seperti Cu Sian dapat bersahabat dengan pemuda tolol seperti Cian Han Sin? Hek-mo-ko yang melihat Cu Sian masih termenung memandang ke arah lenyapnya pemuda tawanan tadi, segera berkata,

“Cu-sicu, apakah yang akan kita lakukan sekarang?“

Cu Sian seperti baru sadar dari lamunannya. “Kita menanti sampai matahari condong ke barat. Aku akan menjadi pelopor dan jalan di depan. Kalian menikuti aku sambil bersembunyi, jangan terlalu dekat. Semua rintangan dalam perjalanan itu akan kuhadapi sendiri. Baru kalau perlu aku akan memberi isyarat dan kalian boleh maju membantu. Kalau tidak ada isyarat, kalian diam saja dan biarkan aku sendiri mangatasi rintangan. Setelah tiba di perkemahan orang-orang Kwi-to-pang, aku akan masuk dan menemui para pimpinannya. Kalian mengepung sambil bersembunyi dan kalau aku sudah memberi isyarat dengan terbakarnya sesuatu di sana, kalian boleh menyerbu masuk. Aku akan membikin kacau di sana sehingga orang-orang kwi-to-pang yang sedang panik oleh pengacauanku tidak mempunyai banyak kesempatan untuk membela diri ketika kalian menyerbu..."

Tiga orang pimpinan itu mengangguk-angguk. Suatu rencana yang amat berani dan amat membahayakan keselamatan pemuda itu, akan tetapi karena yang merencanakan Cu Sian, merekapun hanya mengangguk setuju.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) adalah perkumpulan perampok dan bajak sungai yang merajalela di sepanjang lembah Huang-ho sejak puluhan tahun yang lalu. Yang menjadi ketuanya adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar. Mukanya penuh brewok dan bernama Ban Koan, seperti juga para ketua dahulu yang menurunkan kedudukan itu dari guru ke murid.

Ban Koan juga seorang yang ahli dalam ilmu silat golok besar dan diapun memakai julukan Sin-to-kwi (Setan Golok Sakti). Dia mewarisi kedudukan ketua dari gurunya yang ketika hidupnya juga merupakan seorang datuk yang lihai ilmu silatnya. Gurunya itu berjuluk Sin-to-kwi-ong (Raja Setan Golok Sakti).

Munculnya perkumpulan Huang-ho Kwi-pang di lembah Huang-ho bagian utara itu tentu saja di anggap sebagai pihak yang hendak merebut wilayah kekuasaan kwi-to-pang. Beberapa kali terjadi bentrokan antara anak-anak buah mereka. Maka para pimpinan masing-masing lalu mengajukan tantangan untuk memperebutkan wilayah yang subur bagi mereka itu. Banyak rombongan pedagang berlalu lalang, baik melalui darat maupun melalui sungai sehingga keadaan mereka yang berkuasa di daerah itu menjadi makmur dengan adanya pembayaran pajak yang mereka kenakan pada para saudagar yang lewat.

Demikianlah, pada hari itu Ban Koan muncul sendiri memimpin anak buahnya. Berbeda dengan dahulu, di waktu gurunya menjadi ketua, anak buah Kwi-to-pang sampai berjumlah dua ratus orang, kini anak buahnya hanya sekitar lima puluh orang saja. Hal ini adalah keadaan pemerintahan yang kuat setelah berdirinya Kerajaan Sui yang di pimpin oleh Kaisar Yang Cien.

Kaisar pertama Kerajaan Sui ini berusaha benar-benar untuk membasmi gerombolan penjahat, dan ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, banyak anak buah Kwi-t o-pang yang tewas dan banyak pula yang ketakutan dan mengundurkan diri. Yang masih bertahan hanyalah Ban Koan dan para pengikutnya berjumlah lima puluh orang.

Pada hari yang di tentukan, kedua pihak sudah saling mendekati dan Kwi-to-pang membuat perkemahan di tepi sungai, sedangkan pihak Huang-ho kwi-pang membuat pertahanan di dalam hutan. Sin-to-kwi Ban Koan menjadi marah sekali ketika dua orang penyelidiknya tewas keracunan. Biarpun anak buahnya yang dia sembunyikan sebagai barisan pendam telah berhasil membunuh empat orang anak buah musuh, akan tetapi tetap saja dia merasa jerih untuk menyerbu setelah diketahuinya bahwa tempat pertahanan musuh itu disebari racun yang amat berbahaya.

Dalam memimpin Kwi-to-pang, Ban Koan dibantu oleh adiknya sendiri yang bernama Ban Ki dan berjuluk Siang-to-kwi (Sepasang Golok setan). Ban Ki juga seperguruan dengan kakaknya, hanya bedanya kalau Ban Koan bersenjatakan sebatang golok yang besar dan berat, Ban Ki terkenal dengan senjatanya sepasang golok yang tipis dan ringan. Pada hari itu, setelah kematian dua orang anggotanya, Ban Koan dan Ban Ki hanya menunggu saja gerakan musuh. Mereka sudah memasang perangkap berupa anak panah yang menghadang di perjalanan mereka ke perkemahan mereka secara sembunyi.

Setelah matahari naik tinggi dan mulai condong ke barat, muncullah Cu Sian mendekati tempat pertahanan Kwi-to-pang. Dia berjalan seenaknya dengan lenggang dan langkah panjang seolah dia sedang berjalan-jalan di dalam hutan itu. Tiba-tiba dari balik semak belukar berlompatan empat orang yang memegang sebatang golok besar. Empat orang itu bergerak cepat dan sudah mengepung Cu Sian.

“Berhenti!“ bentak seorang di antara mereka. “Siapa engkau dan mau apa berkeliaran di sini?“

Cu Sian bersikap tenang saja. “Apakah kalian anggota Kwi-to-pang? Aku ingin bertemu dengan ketua kalian!“

“Dia tentu mata-mata Huang-ho Kwi-pang!” teriak orang kedua. “Tangkap saja dia!“

Empat orang itu sudah menodongkan golok mereka. “Hayo engkau menyerah, atau kami menggunakan kekerasan!"

Cu Sian tersenyum mengejek. “Aku ingin bertemu dengan ketua Kwi-to-pang! Aku tidak sudi menyerah kepada kalian dan kalau hendak menggunakan kekerasan, ingin aku melihat apa yang dapat kau lakukan kepadaku!“

“Keparat! Serang!“ teriak orang pertama dan empat batang golok sudah menyambar ke arah tubuh Cu Sian dan empat penjuru.

Akan tetapi empat orang itu hanya melihat bayangan berkelebat dan serangan mereka luput. Cu Sian yang mempergunakan gin-kangnya melompat dan menghindar, kini tertawa dan empat orang itu cepat memutar tubuh mereka. Ternyata pemuda berpakaian seperti pengemis itu telah berada diluar kepungan dan melintangkan tongkat bambunya di depan dada sambil tertawa-tawa.

Empat orang itu menjadi marah dan penasaran. Kembali mereka maju menyerang dengan golok besar mereka. Nampak sinar berkelebat ketika empat batang golok itu menyambar-nyambar. Akan tetapi dengan tenang Cu Sian menggerakkkan tongkat bambunya, mengelak dan menangkis, kemudian dengan gerakannya yang cepat tongkat bambunya menotok empat kali dan empat orang itupun berseru kaget ketika golok mereka terlepas dari tangan mereka yang mendadak menjadi lumpuh!

Maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai bagi mereka berempat, mereka lalu berlompatan dan berlari menuju kelompok mereka. Cu Sian tertawa dan melanjutkan langkahnya menuju ke perkemahan Kwi-to-pang. Akan tetapi tiba-tiba saja dari depan kanan kiri menyambar beberapa batang anak panah yang agaknya dilepas secara sembunyi oleh orang-orang yang berada dibalik batang pohon dan semak-semak. Empat batang anak panah itu dapat di elakkan dengan mudah oleh Cu Sian. Akan tetapi kembali anak panah menyambar.

Cu Sian menjadi marah dan dengan tongkatnya yang di putar di bagian tubuhnya dia menangkis dan empat batang anak panah itu dapat di runtuhkan. Kemudian dia melompat cepat ke arah belakang semak-semak dan melihat empat orang melarikan diri. Kiranya empat orang itu bertugas menyerang pelanggar tempat itu dengan anak panah dan melihat betapa serangan mereka sia-sia, mereka menjadi jerih dan cepat pergi dari tempat persembunyian itu.

Gerombolan yang di pimpin Hek-mo-ko dan kawan-kawannya, yang berindap-indap mengikuti Cu Sian, tentu saja melihat semua peristiwa itu dan mereka merasa gembira sekali menyaksikan betapa dengan amat mudahnya Cu Sian mengatasi itu. Diam-diam mereka terus mnegikuti Cu Sian dari jauh.

Cu Sian terus melangkah maju menghampiri tempat pertahanan Kwi-to-pang. Tempat itu di kelilingi pohon bambu dan begitu dia mendekati pohon bambu, dari balik bambu itu berloncatan banyak orang dan tahu-tahu dia sudah di kepung oleh puluhan orang!

Cu Sian berdiri dengan tenang dan memandang ke sekeliling. Akhirnya dia melihat munculnya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Laki-laki ini tinggi besar bermuka penuh brewok dan tangannya memegang sebatang golok besar. Jantung Cu Sian berdebar tegang melihat orang ini. Agaknya inilah orangnya yang dimaksudkan oleh para piau-su itu. Orang yang menjadi kepala perampok Kwi-to-pang, orang yang telah membunuh ayahnya.

Di sebelah laki-laki yang bukan lain adalah Sin-to-kwi Ban Koan itu, berdiri adiknya, Ban Ki adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh jangkung kurus, mukanya yang kurus itu berbentuk meruncung seperti muka tikus, dan sepasang matanya bersinar kejam.

“Orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau mencari ketua Kwi-to-pang?” bentak Ban Koan dengan suara mengguntur.

“Namaku Cu Sian dan aku memang sengaja datang untuk bertemu dengan ketua Kwi-to-pang. Apakah engkau yang menjadi ketua Kwi-to-pang...?”

Ban Koan memandang penuh perhatian. Tadi dia mendapat laporan bahwa seorang pemuda remaja hendak bertemu dengannya dan pemuda itu lihai bukan main, telah mengalahkan empat orang penjaga dan bahkan mampu menghindarkan diri dari serangan anak panah. Dia merasa heran. Pemuda ini masih remaja dan ternyata hanya seorang pengemis. Tentu bukan pengemis sembarangan, pikir Ban Koan. Dia menahan kemarahannya.

“Hemmm, benar akulah Sin-to-kwi Ban Koan, ketua Kwi-to-pang dan ini adalah wakilku, juga adikku bernama Ban Ki dan berjuluk Siang-to-kwi...“

Mendengar ini, Cu Sian hampir tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi dia ingin mendapatkan kepastian. “Ban-pangcu aku mendengar bahwa Kwi-to-pang berkuasa di daerah ini, di sepanjang Lembah Huang-ho selama puluhan tahun. Benarkah itu...?”

“Tidak salah. Kwi-to-pang menguasai wilayah ini sejak puluhan tahun yang lalu sampai sekarang...“ jawab Ban Koan dengan bangga. Karena dia menduga bahwa pengemis muda ini mungkin ada hubungan dengan Huang-ho Kwi-pang, maka dia menjawab untuk menjelaskan bahwa Kwi-to-pang-lah yang berkuasa di situ sejak lama dan Huang-ho Kwi-pang merupakan pihak yang melanggar batas kekuasaanya.

“Dan benarkah bahwa Kwi-to-pang merupakan perkumpulan perampok yang ganas dan jahat, bukan hanya suka merampok, akan tetapi juga tidak segan untuk membunuhi korbannya.. ?”

“ha-ha-ha-ha!“ Sin-to-kwi Ban Koan tertawa bergelak sehingga perutnya yang besar terguncang. Melihat ketua mereka menertawakan pertanyaan itu, para anak buahnya juga tertawa sehingga ramailah keadaan di tempat itu.

“Kami yang berkuasa di wilayah ini, maka siapa saja yang lewat disini, harus tunduk akan peraturan kami. Mereka harus menyerahkan sebagian dari milik mereka kepada kami dan kalau mereka menolak dan melawan, tentu saja kami bunuh...!“

Sepasang mata Cu Sian berkilat. Tidak salah lagi, tentu orang ini yang telah menewaskan ayahnya. “Ban-pangcu, karena mendengar itulah aku datang mencarimu. Engkau kejam dan jahat, sudah merampok, membunuh pula. Aku datang untuk menantangmu bertanding, hendak kulihat sampai dimana kehebatan golok setan mu...!“

Sin-to-kwi Ban Koan membelalakan sepasang matanya yang sudah lebar itu, kemudian dia tertawa lagi, terbahak-bahak. Ha-ha-ha-ha! Engkau...? Anak kecil jembel kelaparan ini menantangku? Ha-ha-ha-ha!“

“Twa-ko, untuk membunuh bocah gila ini, tidak perlu engkau turun tangan sendiri. Cukup sepasang golokku saja yang akan mencincang tubuhnya sampai hancur!“ kata Ban Ki sambil mencabut sepasang golok tipis itu dan mengamangkannya.

“Aha, engkau tikus kurus tidak perlu ikut campur!“ kata Cu Sian. “Aku menantang Sin-to-kwi Ban Koan, kalau dia berani menandingiku barulah dia pantas menjadi kepala rampok. Akan tetapi kalau dia pengecut dan tidak berani, mengakulah saja dan aku akan menghadapi engkau tikus kurus ini...!“

Bukan main marahnya Ban Ki dimaki tikus kurus oleh seorang pengemis muda! Dia sudah memutar dua goloknya, akan tetapi kakaknya membentak. “Mundurlah! Bocah bermulut lancang ini memang yang sudah bosan hidup. Biar aku sendiri yang membunuhnya...!“

Setelah berkata demikian, Ban Koan meloncat ke depan. Agaknya dia memandang rendah kepada lawannya, maka dia tidak mencabut goloknya melainkan menyerang dengan pukulan tangannya yang besar ke arah muka Cu Sian. Akan tetapi dengan mudah saja Cu Sian mengelak dengan menundukkan kepalanya sehingga pukulan itu lewat di atas kepalanya. Pemuda itu melangkah ke depan dan tangannya menghantam perut lawan.

Ban Koan terkejut melihat kelincahan lawan. Cepat tangan kirinya menangkis dan terpaksa dia melangkah ke belakang dan ketika melihat pemuda itu menusukkan dua jari tangannya ke arah matanya, dia mengerahkan tenaga untuk menangkis. Dia mengharapkan tangkisan yang kuat itu akan mematahkan tulang lengan lawan, atau sedikitnya mendatangkan rasa nyeri.

“Duukkk..!“ Keduanya terdorong ke belakang dan kembali Ban Koan terkejut. Pemuda jembel itu ternyata memiliki tenaga yang kuat, dapat menandingi tenaganya! Dengan kemarahan yang mulai mendidih, dia menendang dengan kaki kirinya yang panjang dan kokoh. Namun Cu Sian dengan mudah mengelak dan tiba-tiba dia sudah menusukkan tongkat bambunya menotok ke arah pinggang lawan.

“Aahhh...!“ Ban Koan terpaksa melempar tubuh kebelakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi tubuh yang tinggi besar itu ternyata dapat bergerak gesit juga dan dia sudah berjungkir balik sekali ke belakang.

Kini Ban Koan tidak berani memandang ringan dan dia tahu bahwa lawannya memang lihai sekali. Baru beberapa gebrakan saja tahulah dia bahwa dalam hal kecepatan gerakan, dan hal ini membahayakn dirinya. Juga dia tidak dapat mengharapkan tenaganya karena pemuda itupun memiliki tenaga yang kuat. Maka cepat dia menggerakkan tangan dan dia sudah memegang sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya!

Cu Sian yang merasa yakin dia berhadapan dengan pembunuh ayahnya. Sejak tadi sudah merasa seolah hatinya terbakar oleh dendam dan kebencian. Akan tetapi dia tidak mau membiarkan kemarahannya menguasainya. Dia tetap tenang dan maklum bahwa lawannya adalah seorang yang berbahaya, apalagi kalau sudah memegang goloknya. Kiranya tidak percuma orang itu berjuluk Sin-to-kwi (Setan Golok Sakti). Dia tetap tenang dan waspada. Dia yakin akan mampu menandingi musuh besar ini. Walaupun musuh besar ini telah mengalahkan dan membunuh ayahnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa sekarang tingkat kepandaiannya sudah jauh melampaui tingkat ayahnya dahulu.

“Siinggg...“ Golok besar itu mengeluarkan bunyi mendesing ketika Ban Koan mengayunnya dalam bacokan dahsyat ke arah leher Cu Sian. Cu Sian menekuk kedua kakinya merendahkan tubuh sehingga golok itu menyambar di atas kepalanya dan kesempatan itu dia pergunakan untuk menyerang dada lawan dengan totokan. Ban Koan terkejut dan cepat tangan kirinya bergerak menangkis tongkat lalu melompat mundur.

Setelah terhindar dari totokan berbahaya itu, Ban Koan kembali menyerang. Goloknya bergerak cepat, golok yangbesar dan berat itu seolah benda ringan sekali di tangannya. Golok itu lenyap bentuknya dan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung walet sehingga sukar sekali di serang. Juga serangan balasan Cu Sian tidak kalah hebatnya karena pemuda itu menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang mematikan.

Pertandingan itu sungguh menegangkan. Golok di tangan Ban Koan itu berbahaya sekali, akan tetapi Cu Sian ternyata mampu menandinginya dengan kecepatan gerakannya. Mereka saling serang dan tubuh mereka berkelebatan ke sana sini. Sampai lima puluh jurus lebih belum juga ada yang roboh walaupun perlahan-lahan Cu Sian mulai dapat mendesak lawannya.

Melihat kakaknya tidak mampu mengalahkan pemuda itu bahkan terdesak, Ban Ki menjadi penasaran dan marah. Bagi dia dan kakaknya, mereka tidak mengenal sifat kegagahan yang pantang melakukan pengeroyokan. Ban Ki berseru keras dan meloncat memasuki gelanggang perkelahian itu dengan sepasang goloknya. Tanpa peringatan lagi dia sudah menyerang Cu Sian dengan ganasnya.

Cu Sian mengelak dengan cepat ketika sepasang golok itu menyambar ke arah tubuhnya. “Pengecut!“ bentaknya.

Namun kakak beradik itu tidak peduli dan segera mengeroyoknya. Bahkan anak buah Kwi-to-pang mulai mengepung dan mengancam dengan golok mereka untuk mengeroyok Cu Sian.

Cu Sian terkejut sekali. Dia telah masuk perangkap, telah di kepung dan tidak mungkin meloloskan diri dari pengepungan puluhan orang itu. Mulailah dia merasa menyesal, karena dorongan dendam kebencian, dia lupa bahwa di berada di tengah-tengah gerombolan yang berbahaya. Saking marahnya berhadapan dengan pembunuh ayahnya dia langsung menantang. Padahal, seharusnya dia mencari kesempatan dulu untuk memberi isyarat kepada Huang-ho Kwi-pang yang saat itu tentu menanti-nanti isyaratnya.

Kini dia telah terkepung, tidak sempat lagi memberi isyarat dan dia lalu nekat mengamuk, tubuhnya berkelebatan ke sana sini menghadapi pengeroyokan kakak beradik itu. Akan tetapi dia terdesak hebat karena dua orang lawannya adalah orang-orang yang ahli bermain golok. Beberapa kali nyaris tubuhnya terbacok golok.

Cu Sian memaklumi keadaan bahaya ini, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar untuk meloloskan diri, dia lalu mengamuk dan membela diri sekuat mungkin. Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Cu Sian itu, tiba-tiba nampak sinar dan asap di susul teriakan banyak orang,

“Kebakaran! Kebakaran...!“

Dan sebagian dari anak buah Kwi-to-pang berlarian untuk memadamkan sebuah tenda yang terbakar. Cu Sian merasa terheran-heran. Mestinya dia yang membuat api sebagai isyarat kepada orang-orang Huang-ho Kwi-pang! Akan tetapi siapapun penyebab kebakaran, hal itu menguntungkan bagi Cu Sian dan diapun mengamuk sehingga kedua orang lawan yang mengeroyoknya mundur. Apalagi Ban Koan dan Ban Ki juga terheran-heran melihat adanya kebakaran.

Selagi mereka meragu, terdengar sorak sorai dan puluhan orang Huang-ho Kwi-pang datang menyerbu. Terjadilah pertempuran yang hebat. Hek-mo-ko Coa Gu ketua Huang-ho Kwi-pang segera membantu Cu Sian yang di keroyok dua. Kini Cu Sian hanya melawan Ban Koan seorang, sedangkan Hek-mo-ko bertanding melawan Ban Ki Gu Ma It dan Su Ciong Kun, dua orang ketua yang lain dari Huang-ho Kwi-pang memimpin anak buah mereka menyerang orang-orang Kwi-to-pang. Terjadilah pertempuran mati-matian.

Karena orang-orang Huang-ho Kwi-pang lebih banyak, mereka di pimpin oleh dua orang ketua itu, maka pihak Kwi-to-pang menjadi terdesak hebat. Sementara itu Cu Sian mendesak lawannya dengan sengit dan akhirnya, tongkat bambunya berhasil menotok dada Ban Koan. Sin-to-kwi Ban Koan berseru keras dan roboh terjengkang dan sebelum dia sempat membela diri, Cu Sian sudah mengirim dua kali totokan pada leher dan dadanya dan tewaslah Ban Koan tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.

Pertandingan antara Ban Ki dan Hek-mo-ko juga berlangsung sengit dan berimbang. Akan tetapi, ketika Ban Ki melihat kakaknya roboh dan tewas, permainan sepasang goloknya menjadi kacau dan kesempatan ini dipergunakan oleh Hek-mo-ko untuk menusukkan tongkat bajanya ke arah ulu hati Ban Ki. Siang-to-kwi Ban Ki terjengkang dan tewas karena tongkat baja itu telah menembus baju dan kulit dadanya.

Melihat robohnya dua orang pimpinan mereka, sisa anak buah kwi-to-pang menjadi panik dan mereka lalu melarikan diri cerai berai. Hanya belasan orang saja di antara mereka yang dapat lolos. Selebihnya tewas dalam pertempuran itu. Hek-mo-ko Coa Gu, Gu Ma It dan Su Ciong kun bergembira bukan main karena kemenangan itu berarti bahwa kini merekalah yang menjadi penguasa tunggal di daerah lembah Huang-ho!

Para anak buah Huang-ho Kwi-pang juga bersorak gembiara atas kemenangan itu. Cu Sian masih berdiri termenung memandangi mayat Ban Koan ketua Kwi-to-pang. Hatinya merasa terharu bahwa akhirnya dia mampu membalas kematian ayah ibunya, bahkan berhasil pula membantu Huang-ho Kwi-pang untuk membasmi gerombolan Kwi-to-pang yang dahulu merampok ayahnya. Dia masih termenung ketika Hek-mo-ko dan dua orang adiknya menghampiri dan mereka bertiga memberi hormat kepadanya. Hek-mo-ko berkata dengan gembira,

“Bantuan Cu-sicu sungguh tak ternilai harganya bagi kami...“

Seperti orang dalam mimpi karena masih termenung, Cu Sian berkata. “Aku tidak membantu siapa-siapa, aku hanya ingin membalas kematian ayah ibuku...“

“Biarpun demikian, tanpa bantuan Cu-sicu, akan sukarlah bagi kami untuk memperoleh kemenangan. Kini kami telah menang dan mulai saat ini, yang menguasai Lembah Huang-ho di daerah ini adalah kami Huang-ho Kwi-pang...!“ kata Hek-mo-ko lantang sehingga terdengar oleh semua anak buahnya.

Mendadak terdengar suara yang lebih lantang lagi, suara yang bergema sampai jauh dan yang menggetarkan hutan itu. “Siapa bilang Huang-ho Kwi-pang yang berkuasa! Masih ada aku di sini...!“

Semua orang terkejut dan menoleh. Entah dari mana dat angnya tiba-tiba saja di situ telah berdiri seorang kakek yang menyeramkan. Kakek itu usianya paling sedikit enam puluh tahun. Tubuhnya masih tegak dan tinggi besar, kepalanya botak dan ukuran kepala itu besar sekali. Rambut kepalanya hanya tumbuh dibagian bawah dari belakang telinga sampai ke tengkuk dan rambut ini tebal dan hitam sekali.

Tubuhnya yang tinggi besar itu mengenakan pakaian dari bulu beruang di bagian luarnya. Sedangkan celana dan bajunya dari kain sutera. Tangannya memegang sebatang tongkat berkepala naga dan berwarna hitam mulus. Sepatunya dari kulit binatang. Penampilan kakek ini nampak lucu akan tetapi juga menyeramkan. Mendengar ucapan kakek itu, tentu saja tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang menjadi marah sekali.

“Haiiii...! Apa maksudmu dengan kata-kata tadi...?“ bentak Hek-mo-ko.

“Siapa engkau, manusia lancang mulut!“ bentak pula Su Ciong Kun dengan marah.

“He-he-he-he, kalian seperti tikus-tikus selokan hendak berlagak harimau! Kata-kataku sudah jelas. Tidak ada yang berkuasa di lembah Huang-ho kecuali aku. Mulai hari ini, akulah yang berkuasa dan siapa pun baru berhak hidup di sini setelah memperoleh ijin dariku...“

“Manusia sombong! Mengakulah siapa engkau sebelum kami membinasakan kamu!” kini Gu Ma It yang berteriak marah.

“He-he-he! Namaku Ma Giok, akan tetapi mulai sekarang akulah datuk utara dan julukanku Pak-te-ong (Raja Bumi Utara)!“

Tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu saling pandang dan mereka tidak mengenal nama ini di antara tokoh-tokoh kang-ouw. Maka mereka memandang rendah.

“Ma Giok, bersiaplah untuk mampus...!“ bentak Su Ciong Kun dan dia sudah menyabitkan sebatang pisau yang sudah di rendam racun. Jangankan terkena dengan tepat, baru tergores sedikit saja oleh senjata rahasia ini sudah cukup untuk merenggut nyawa orang!

Akan tetapi kakek botak itu hanya mengibaskan lengan bajunya dan pisau itu mencelat ke samping dan lenyap ke dalam semak-semak. “Ha-ha-ha, tikus-tikus tidak tahu diri. Apakah kalian masih mempunyai permainan lain lagi...?”

Hek-mo-ko tentu saja tidak rela melihat ada orang hendak merebut kekuasaan mereka begitu saja. Dia sudah menggerakkan tongkat bajanya dan berseru kepada dua orang adiknya. “Serang...!“

Ini merupakan aba-aba bagi kedua orang itu untuk menyerbu dan tanpa banyak cakap lagi Gu Ma It menggerakkan pedangnya dan Su Ciong Kun menggerakkan rantai bajanya.

Cu Sian menyingkir dan menjauh sambil tersenyum mengejek. Dia muak melihat sikap tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu yang tanpa malu-malu lagi melakukan pengeroyokan kepada seseorang yang belum mereka kenal dan ketahui bagaimana tingkat kepandaiannya. Dia tidak ingin mencampuri urusan itu, akan tetapi diapun tertarik dan ingin menonton pertandingan itu. Dia melihat disebelah kirinya terdapat sebatang pohon dan diapun meloncat ke atas cabang pohon itu dan duduk seenaknya.

Hek-mo-ko Coa Gu, Su Ciong Kun dan Gu Ma It sudah maju menerjang kakek botak itu. Tongkat baja Hek-mo-ko menyambar ke arah kepala botak itu, pedang di tangan Gu Ma It menusuk ke arah dada, sedangkan rantai baja Su Ciong Kun menyambar ke arah pinggang! Hebat sekali serangan tiga orang secara berbarengan itu dan agaknya kakek gundul itu tidak akan mampu menghindarkan diri lagi. Akan tetapi Cu Sian yang menonton dari atas, terbelalak melihat kakek botak yang bernama Pak-te-ong Ma Giok itu sama sekali tidak bergerak dari tempat dia berdiri.

“Duukkk...!“

Kepala botak licin itu terpukul tongkat baja Hek-mo-ko, akan tetapi kepala itu tidak apa-apa bahkan tongkat itu telah di sambar tangan kiri Pak-te-ong dan di rampasnya. Ketika pedang menusuk ke arah dadanya, dia menancapkan tongkatnya sendiri ke atas tanah dan tangan kanannya mengangkap pedang itu begitu saja dan sekali tarik, pedang itupun dirampasnya.

Rantai baja itu mengenai pinggang dan melibatnya, akan tetapi sekali kakinya menendang, Su Ciong Kun terlempar dan rantai baja itu tetap melibat pinggang Pak-te-ong. Kembali kedua kakinya itu menyambar bergantian dan Hek-mo-ko terlempar kebelakang sedangkan Gu Ma It juga terpelanting...!