Pedang Naga Hitam Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Han Sin menyimpan buntalan pakaiannya ke dalam kamarnya dan Cu Sian juga melakukan hal yang sama. Kemudian mereka ke luar kembali dan duduk di ruangan depan kamar mereka, dimana disediakan beberapa buah bangku dan meja.

“Kau tadi bilang aku aneh, nah, apanya yang aneh, Sin-ko...?“ tanya Cu Sian. Mereka dapat bercakap-cakap dengan leluasa karena ruangan itu terpisah dari para tamu lainnya.

“Engkau berkeras minta sebuah kamar sendiri dan tidak mau menginap dalam kamarku. Bukankah itu terlalu royal dan aneh...?“

Cu Sian tertawa dan wajahnya nampak tampan sekali ketika dia tertawa. “Heh-heh, apa anehnya itu? Sejak kecil aku terbiasa tidur sendiri. Kalau ada temannya, aku pasti tidak akan dapat tidur pulas sepanjang malam...“

“Masih ada hal yang lebih aneh lagi yang membuat aku dapat menduga siapa engkau sebenarnya, Sian-te...“

“Ehh...? Benarkah? Apa saja keanehan itu...?“

Kini Han Sin yang mengamati wajah Cu Sian penuh selidik dan dia berkata. “Aku berani menduga engkau tentulah seorang pemuda remaja yang kaya raya dan pandai ilmu silat. Engkau tentu sedang merantau dan menyamar sebagai seorang pengemis untuk mencari pengalaman. Nah, benarkah dugaanku ini...?“

Cu Sian yang tadinya mendengarkan dengan serius itu kini tertawa lagi. “he-he-he, apa alasannya engkau menduga seperti itu, Sin-ko...?“

“Mudah saja! Cara bicara mu menunjukkan bahwa engkau seorang yang berpendidikan tinggi. Engkau mengenakan pakaian pengemis akan tetapi tidak mengemis, bahkan membawa banyak uang dan sikapmu juga royal sekali, tanda bahwa engkau seorang hartawan. Dan ketika di kuil Hwa-li-pang terjadi perkelahian, engkau muncul dan berkelahi melawan nenek gila yang sakti, ini membuktikan bahwa engkau pandai silat, juga ketika engkau melempar pelayan tadi keluar rumah makan. Nah, benarkah dugaanku itu...?”

Cu Sian menghela napas panjang, “Aihhh, begitu menonjol dan canggungkah penyamaranku ini...?“

Han Sin menggeleng kepala. “Tidak Sian-te. Melihat sepintas lalu saja, penyamaranmu memang sudah baik sekali dan tak seorangpun menyangsikan bahwa engkau seorang pengemis. Akan tetapi kalau sudah bergaul dengan mu, maka akan nampaklah kejanggalan-kejanggalan itu. Sikapmu sungguh bukan seperti pengemis, melainkan sebagai seorang pendekar muda yang kaya raya...!“

“Aduh mak, celaka aku! Bertemu dengammu sama saja dengan kena batunya. Selama beberapa bulan menyamar ini, baru sekarang rahasiaku terbuka. Maka sesungguhnyalah, aku bukan seorang pengemis akan tetapi aku bersahabat dengan seorang pengemis, bahkan aku keturunan pemimpin perkumpulan pengemis...“

“Akan tetapi kenapa engkau menyamar sebagai pengemis...?”

“Sudah tentu agar aku tentu leluasa dan aman melakukan perjalanan. Kalau aku melakukan perjalanan sebagai seorang kong-cu, tentu akan mengalami banyak gangguan dari para perampok dan pencuri. Engkau benar, aku memang sedang merantau mencari pengalaman dan penyamaran ini kulakukan agar perjalananku aman...“

“Sian-te, engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian silat tinggi, kenapa takut akan gangguan orang...? Sedangkan aku yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa saja berani melakukan perjalanan tanpa penyamaran, apalagi engkau...“

Cu Sian tersenyum dan menundingkan telunjuknya ke arah muka Han Sin. “Jangan mengira bahwa engkau seorang yang pandai menebak keadaan orang lain, akan tetapi akupun dapat menggambarkan siapa adanya engkau...“

“Benarkah...?”

“Hemmm, aku tahu bahwa engkau seorang yang berpendidikan, dapat di duga dari caramu bicara dan pandanganmu yang cerdik dan luas kalau bicara. Engkau seorang yang baik budi, akan tetapi agaknya engkau tidak pandai ilmu silat, atau andaikata dapat tentu tidak beberapa tinggi. Buktinya engkau dapat dikuasai oleh keluarga gila itu. Tentu kecerdikanmu, dapat kulihat bahwa beradanya engkau dan keluarga gila itu di Hwa-li-pang. Tentu engkau yang membujuk mereka agar pernikahan dilakukan di Hwa-li-pang maka keluarga gila itu mati-matian meminjam tempat di Hwa-li-pang. Tentu kau maksudkan agar orang-orang Hwa-li-pang dapat menolongmu. Benarkah...?“

Han Sin mengangguk-angguk dan memang dia kagum sekali. Pemuda remaja ini selain lincah jenaka juga amat cerdik seperti kancil.

“Lalu apa lagi? Dugaanmu yang sudah itu tepat sekali...“

“Hemmm, engkau pasti bukan seorang pemuda yang kaya. Engkau memesan makanan yang murah di rumah makan tadi dan buntalan pakaianmu yang ringan tentu tidak mengandung banyak uang. Dan seorang diri engkau melakukan perjalanan ke utara padahal di utara bukan tempat untuk berpesiar. Tentu engkau mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanan ini...“

“Engkau hebat, Sian-te...“

“Ada satu lagi. Aku berani menduga bahwa engkau adalah seorang putera bangsawan walaupun tidak kaya...“

“Ehhh...?“ Han Sin benar-benar terkejut sekali. Bagaimana engkau menduga begitu...?”

“Sikapmu ketika mencegah si tinggi besar di rumah makan tadi agar tidak menyerangku. Sikap demikian penuh wibawa dan ini biasanya hanya dimiliki oleh keluarga bangsawan tinggi. Jangan-jangan engkau ini seorang pangeran yang menyamar...?“

“Ngacau...! Han Sin tertawa, akan tetapi diam-diam dia harus berhati-hati terhadap seorang yang demikian cerdiknya. “Aku bukan pangeran bukan putera bangsawan, melainkan anak seorang ibu yang telah janda sejak aku berusia sepuluh tahun...“

“Heeiii... nanti dulu! Engkau bermarga Cian, bukan? Hemmm, engkau ditinggal mati ayahmu sejak berusia sepuluh tahun dan usiamu sekarang ku taksir dua puluh tahun. Sepuluh tahun yang lalu engkau ditinggal mati ayahmu dan engkau she Cian! Padahal, sepuluh tahun yang lalu, kematian Cian-Tai-Ciangkun, Sin-ko, engkau putera mendiang Panglima Besar Cian Kauw, bukan...?“

Wajah Han Sin berubah dan dia bangkit dari tempat duduknya. Tebakan yang tepat itu sama sekali tidak pernah disangkanya dan dia memandang kepada Cu Sian dengan tajam, sepasang matanya mencorong dan sikapnya penuh kewaspadaan.

Cu Sian juga bangkit dan menggerakkan tangan menghibur Han Sin. “Jangan takut, Sin-ko. Aku tanggung bahwa tidak akan ada orang lain dapat menduga bahwa engkau putera Panglima Besar Cian Kauw, Walaupun andaikata ada yang tanya sekalipun tidak apa-apa. Kalau aku dapat menduga siapa engkau, hal itu adalah karena kakekku adalah sahabat baik dari Cian-ciangkun. Kakek ku pernah menjadi temen seperjuangan ayahmu, maka aku sudah mendengar akan semua riwayat dan keadaan Cian-ciangkun dari mendiang ayahku. Kalau aku tidak mengetahui keadaannya, tentu aku tidak akan dapat menduga bahwa engkau puteranya...“

Han Sin sudah dapat menenangkan hatinya dan dia duduk kembali. Sejenak dia memandang kepada Cu Sian lalu mengangkat telunjuknya ke arah muka Cu Sian. “Hemmm... anak nakal. Jangan engkau terlalu bangga dan menyombongkan dirimu. Akupun dapat menduga siapa engkau ini...“

“Eh...? Benarkah? Nah, katakan siapa aku ini..?“ Cu Sian menantang.

“Engkau tentu cucu dari Ketua Hek-I-Kaipang di Tiang-an...“

Kini Cu Sian yang meloncat dari tempat duduknya dan memandang kepada Han Sin dengam mata terbelalak. “Lohhh, bagaimana engkau bisa menduga begitu...?”

“Apa sukarnya? Engkau tadi pernah mengatakan bahwa engkau keturunan pemimpin pengemis. Dalam penyamaranmu, engkau mengenakan pakaian pengemis warna hitam. Mengapa warna hitam dan bukan warna lain? Dan engkau bermarga Cu. Maka mudah saja di duga, aku sudah mendengar dari ayah ibuku siapa-siapa tokoh kang-ouw yang menjadi temen seperjuangan ayah. Diantaranya adalah Cu Lo-kai, ketua dari Hek-I-Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Nah, coba menyangkal kalau bisa...!“ Han Sin tersenyum penuh kemenangan melihat pengemis muda itu nampak gugup.

“Dan... engkau mendengar tentang ayah ibuku...?“

Han Sin menggeleng kepalanya. “Tidak Ayah dan ibu tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan Hek I Kaipang dan para pengurusnya setelah Kerajaan Sui berdiri. Jadi, tentu saja aku tidak tahu apapun tentang orang tuamu...“

Wajah itu berseri kembali. “Dugaanmu memang tepat. Hemmm, alangkah pintarnya engkau, sin-ko...“

“Tidak lebih pintar darimu, Sian-te...“

“Nah, sekarang kita telah mengenal dengan baik keadaan diri masing-masing. Agaknya persahabatan antara ayahmu dan kakekku menjadi jembatan persahabatan kita...“

“Akan tetapi, aku hanya seorang pemuda biasa, tidak sepandai engkau dalam ilmu membela diri...“ kata Han Sin, memancing apakah pemuda remaja itupun dapat menduga bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi. Ternyata Cu Sian tidak dapat menduganya.

“Jangan khawatir, Sin-ko. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik...? Akulah yang akan membela dan melindungimu dan jangan engkau takut, aku tidak menyombongkan diriku apabila kukatakan bahwa tongkat ku ini cukup kuat untuk melindungi kita berdua...“ kata Cu Sian sambil mengangkat tongkatnya yang tadi diletakkan di atas meja.

Han Sin tersenyum. “Wahh, lega hatiku sekarang, mempunyai seorang sahabat seperti engkau, Sian-te. Setelah kita menjadi sahabat, tentu engkau tidak berkeberatan untuk memberitahu kepadaku kemana engkau hendak pergi dan apa yang kau cari sampai engkau tiba di sini, jauh dari Tiang-an, tempat tinggalmu...“

Mendadak wajah yang berseri itu menjadi muram. Beberapa kali Cu Sian menghela napas panjang, kemudian berkata, “sebetulnya kalau bukan kepadamu, aku tidak pernah menceritakan keadaan ku, sin-ko. Entah mengapa m, kepadamu aku seketika percaya sepenuhnya. Mungkin karena mengetahui bahwa engkau putera mendiang Cian-ciangkun. Akan tetapi setelah engkau mendengar cerita tentang diriku, kuharap engkau pun akan menceritakan keadaanmu dan kemana engkau hendak pergi...“

“Baik, aku tidak akan menyimpan rahasia, Sian-te...“

Cu Sian memandang ke kanan kiri, ke arah pintu-pintu depan belakang rumah itu yang terbuka. Tidak nampak seorangpun manusia dan dia segera mulai dengan ceritanya. “Kakekku hanya mempunyai seorang putera, yaitu ayahku. Akan tetapi sejak mudanya, ayahku yang bernama Cu Kak tidak mau mengikuti jejak kakek, tidak mau menjadi pengemis bahkan tidak mau melanjutkan pimpinan Hek I Kaipang. Ayah telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian kakek dan kepandaian itu menjadi modal bagi ayah untuk membuka piauw-kok (perusahaan pengiriman barang). Ayah menjadi piauw-su (pengawal kiriman barang) yang disegani dan dapat membuat perusahaannya menjadi terkenal dan besar. Setelah kakek meninggal dunia, Hek I Kaipang diserahkan kepada para murid lain untuk memimpinnya...“

“Aku tidak dapat menyalahkan ayahmu. Karena bagaimanapun juga, menjadi pengemis menimbulkan kesan kurang baik bagi seseorang, apalagi kalau dia masih muda dan kuat...“

“Akan tetapi kakek sendiri tak pernah mengemis, kakek hanya mengumpulkan para pengemis, dalam satu wadah agar mereka tidak melakukan perbuatan jahat...“

“Aku mengerti, Sian-te. Lanjutkanlah...“

“Kakekku meninggal dunia ketika aku baru berusia sepuluh tahun, terjadilah malapetaka itu. Mula-mula sebuah kiriman barang berharga yang dilindungi perusahaan ayah menuju jauh ke utara di rampok di tengah perjalanan. Para piauw-su pembantu ayah berusaha melawan, akan tetapi banyak diantara mereka tewas dan sisanya melarikan diri pulang dan melapor kepada ayah. Ayah menjadi marah. Barang kiriman yang hilang itu amat berharga dan tidak mungkin ayah dapat menggantinya. Maka ayah sendiri lalu pergi ke utara dimana terjadi perampokan itu. Perampokan itu terjadi di lembah Huang-ho dan barang kiriman itu seharusnya di bawa ke Po-touw...“

“Dengan siapa ayahmu pergi...?”

“Ayah pergi bersama para pembantunya, yaitu para piauw-su yang dapat melarikan diri dari para perampok itu. Setelah tiba di tempat itu, ayah dan para pembantunya diserang oleh gerombolan perampok itu dan dalam pertempuran ini ayah tewas. Para piauw-su dapat melarikan jenazah ayah pulang. Ibu terkejut dan sedih sekali sehingga setelah semua barang milik kita di jual untuk mengganti barang yang di rampok, ibu jatuh sakit dan akhirnya setahun setelah ayah tewas, ibu juga meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri di dunia ini...“

“Aduh kasihan sekali engkau, Sian-te. Masih muda sekali telah di tinggal kedua orang tuamu...“ kata Han Sin terharu.

“Ketika itu aku baru berusia sebelas tahun, aku tetapi aku sudah mengerti keadaan. Aku bertanya kepada para piauw-su siapa yang membunuh ayah. Mereka mengatakan bahwa perampok itu memakai nama Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) dan yang membunuh ayahku adalah ketua perkumpulan itu, seorang laki-laki tinggi besar yang brewok dan memegang sebatang golok besar. Aku lalu belajar silat dari para paman guruku, yaitu para murid kakek di Hek I Kaipang. Setelah semua ilmu dapat ku kuasai, aku lalu pergi merantau untuk menambah pengalamanku dan mencari musuh besar yang membunuh ayah ibuku...“

“Ibumu? Bukankah ibumu meninggal dunia karena sakit...?”

“Betul, akan tetapi kalau tidak gara-gara orang yang membunuh ayahku, tentu ibu tidak meninggal karena kesedihannya. Dalam perjalananku mencari musuhku itulah aku bertemu dengan engkau, Sin-ko...“

“Ah, hidupmu seolah bert juan untuk membalas dendam...“

“Apa lagi yang dapat kulakukan...? Aku harus membalas dendam kematian orang tuaku, hanya itu yang dapat kulakukan untuk membalas budi mereka kepadaku...“

“Kalau engkau menjadi seorang pendekar pembasmi kejahatan yang membela kebenaran dan keadilan, berarti engkau sudah mengangkat dan mengharumkan nama ayah ibumu...“

“Sudahlah, tidak perlu kita perdebatkan hal itu. Sekarang aku menagih janji. Engkau berjanji akan menceritakan riwayat mu sampai kesini...“

Han Sin menghela napas panjang. Riwayat ku tidak lebih baik daripada riwayat mu, Sian-te. Engkau sudah mendengar bahwa ayah tewas dalam suatu pertempuran yang terjadi di sebelah utara Sian-si, ketika memimpin pasukan untuk menumpas pemberontakan di sana. Kalau ayah meninggal dunia karena bertempur, hal itu adalah wajar saja. Seorang Panglima gugur dalam pertempuran merupakan hal wajar dan kami tidak akan merasa penasaran. Akan tetapi, ayah tewas karena pengkhianatan...“

“Ehhh? Siapa yang mengkhianatinya...?“

“Itulah yang menjadi rahasia. Tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayah ketika terjadi pertempuran itu...“

“Kalau begitu l, bagaimana engkau tahu bahwa dia di khianati dan bukan tewas oleh pihak musuh?”

“Ayah tewas karena terkena anak panah yang datangnya dari belakang. Anak panah itu mengenai punggungnya. Dan lebih daripada itu, Pedang pusaka ayah, Hek liong Kiam juga lenyap. Setelah ayah meninggal, ibu mengajakku pindah ke dusun...“

“Dan sekarang engkau sampai di sini, hendak kemanakah...?”

“Ibu menyuruh aku untuk mencari pedang pusaka milik ayah yang hilang itu...“

“Aih, dengan sedikit kepandaian silat yang kau miliki, bagaimana engkau akan dapat menemukan atau merampasnya kembali...? Mungkin pedang pusaka itu diambil oleh pembunuh ayahmu...!“

“Kalau begitu, bagaimanapun akan ku hadapi...“

“Engkau bisa celaka... akan tetapi jangan takut, Sin-ko. Aku akan membantumu menghadapi pembunuh ayahmu dan pencuri pedang pusaka itu!”

“Akan tetapi engkau sendiri mempunyai tugas yang penting dan aku tidak berani mengganggumu dengan urusanku, Sian-te...“

“Begitukah sikap seorang sahabat...!“ kata Cu Sian dengan alis berkerut.

Han Sin merasa tidak enak sekali. Dalam mencari pedang dan pembunuh ayahnya, mungkin dia akan menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kalau Cu Sian bersama dengannya, maka pemuda remaja ini dapat terancam bahaya. Dia tidak menghendaki hal itu terjadi. Pula, tidak pantas kalau pemuda itu sampai membahayakan diri sendiri hanya untuk membantunya dalam urusan pribadi.

"Sungguh, aku menyesal sekali terpaksa harus menolak bantuanmu, Sian-te. Aku tidak ingin mengganggumu. Lebih baik engkau selesaikan urusanmu sendiri dan aku akan mencoba untuk mencari pedang pusaka ayahku itu seorang diri pula...“

Cu Sian bangkit berdiri, wajahnya berubah merah. “Apa...? Engkau menolak uluran tanganku...? Sin-ko, engkau terlalu memandang rendah padaku! Apa kau kira aku tidak akan mampu mendapatkan Hek liong kiam itu untukmu...?”

“Bukan begitu, Sian-te, akan tetapi...“

“Akan tetapi apa...?“

“Aku tidak mau merepotkanmu, pula kalau sampai terjadi apa-apa denganmu karena engkau membantuku, aku akan merasa menyesal selama hidupku. Terima kasih banyak atas kebaikanmu dan pembelaanmu, akan tetapi sungguh menyesal sekali, aku harus menolaknya...“

“Bagus!" Cu Sian bangkit berdiri dan menggebrak meja. “Engkau sungguh seorang sahabat yang tidak mengenal arti kesetian...!“

“Maafkan aku, Sian-te. Akan tetapi aku sungguh tidak ingin melihat engkau celaka. Engkau masih begini muda...“

“Cukup! Kau anggap aku anak kecil, ya? Kalau tidak ada anak kecil ini, belum tentu engkau dapat meloloskan diri dari keluarga gila itu, tahukah engkau? Akulah orangnya yang memancing agar engkau dapat meloloskan diri...!“

“Ahhh, terima kasih banyak, Sian-te. Engkau memang hebat...“

“Tidak perlu memuji, pendeknya mau atau tidakkah kau kalau kubantu engkau mencari pedang pusaka itu...?“

“Terpaksa aku menolaknya, Sian-te. Ini dapat berbahaya sekali untukmu dan...“

“Sudahlah, engkau memang keras kepala! Kalau engkau kelak menghadapi ancaman musuh yang tangguh, baru engkau menyesal mengapa tidak menerima tawaranku. Sudah, aku mau tidur...!“ dan pemuda remaja itu membanting-banting kaki lalu memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu kamar keras-keras.

Han Sin masih duduk termangu. Dia suka sekali kepada Cu Sian. Akan tetapi pemuda itu masih seperti kanak-kanak. Bagaimana dia boleh mengajak kanak-kanak menghadapi bahaya dalam mencari pedang Hek liong kiam...? Kalau dia sendiri gagal bahkan sampai tewas dalam usahanya ini, dia tidak akan menyesal. Akan tetapi kalau sampai Cu Sian tewas dalam membantunya, dia tentu akan merasa menyesal bukan main.

Akhirnya dia menghela napas dan memasuki kamarnya sendiri. Dia merasa kecewa dan menyesal bahwa persahabatannya dengan pemuda remaja itu akan berakhir begini. Akhirnya Han Sin dapat juga tidur pulas.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Pada keesokan harinya, suara ayam jantan berkokok nyaring di luar jendela kamarnya. Han Sin turun dari pembaringannya dan membuka daun jendela itu. Pekarangan samping itu di tumbuhi pohon-pohon dan kembang. Suasana pagi itu indah sekali dan hawanya sejuk segar memasuki kamarnya.

Tiba-tiba dia teringat kepada Cu Sian yang berada di kamar sebelah. Dia menjulurkan kepala keluar jendela untuk memandang ke arah jendela kamar sebelah. Daun jendela itu masih tertutup. Agaknya sahabat barunya itu masih tidur. Dia berharap mudah-mudahan Cu Sian tidak marah lagi dan mereka akan dapat saling berpisah sebagai dua orang sahabat!

Han Sin termenung sambil memandang keluar dimana burung-burung beterbangan dan berloncatan dari dahan ke dahan. Dimana kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga. Pagi yang cerah, hari yang indah. Alangkah akan gembiranya kalau pada pagi seindah itu dia melakukan perjalanan dengan Cu Sian, sahabatnya yang riang gembira dan lincah jenaka itu. Akan tetapi dia segera menggeleng kepalanya. Tidak. Dia mempunyai tugas yang berat dan berbahaya. Siapa tahu apa yang akan dihadapinya di utara nanti. Tidak boleh dia membawa Cu Sian, pemuda remaja itu memasuki bahaya pula.

Han Sin yang sadar dari lamunannya lalu pergi membersihkan diri di kamar mandi yang letaknya di belakang rumah penginapan itu, kemudian setelah bertukar dengan pakaian bersih dia menghampiri kamar Cu Sian. Diketuknya pintu kamar itu beberapa kali, lalu dia menanti. Akan tetapi tidak ada jawaban, tidak ada suara dari dalam kamar itu. Daun pintu kamar itu tetap tertutup, tidak dibuka dari dalam.

Dia mengetuk lagi dan memanggil, “Tok... tok... tok! Sian-te, bangunlah, hari telah siang...!“

Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mengetuk-ngetuk kembali, muncul seorang pelayan yang kemarin melayaninya.

“Percuma diketuk karena kamar itu kosong kong-cu...“ katanya.

“Eh...? Kosong...? Bukankah kamar ini yang ditempati sahabatku itu...?”

“Kong-cu maksudkan pemuda pengemis itu...?”

Han Sin mengangguk, “Ya, bukankah dia bermalam di kamar ini...?”

“Ya, benar. Akan tetapi tadi pagi-pagi sekali, sebelum ayam berkokok, dia telah pergi meninggalkan kamar ini dan dia telah membayar sewa kedua kamar. Bahkan dia telah membayar harga makan pagi yang akan dihidangkan kepada kong-cu pagi ini. Apakah kong-cu tidak tahu bahwa dia telah pergi..?“ pelayan itu memandang heran.

Dan sadarlah Han Sin bahwa sebagai seorang sahabat baik mestinya dia tahu akan keberangkatan temannya itu. “Oh ya... aku lupa...“ Katanya dan ketika dia menghadapi hidangan sarapan pagi yang royal. Dia termenung dan hatinya terharu. Cu Sian telah membuktikan ucapannya, meninggalkan dia yang tidak mau menerima sahabat itu melakukan perjalanan bersama, menolak bantuan yang di tawarkan Cu Sian. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu marah kepadanya sehingga pagi-pagi telah berangkat lebih dulu. Akan tetapi bagaimanapun marahnya, Cu Sian telah membelikan sarapan pagi yang royal untuknya...!

Setelah makan pagi, Han Sin juga meninggalkan rumah penginapan itu. Sewa kamarnya juga sudah dibayar oleh Cu Sian! Ketika melangkah kaki keluar dari pekarangan rumah penginapan itu, hatinya terasa kosong dan sepi. Dia benar-benar merasa kehilangan sahabatnya yang biasanya menggembirakan suasananya itu. Hari yang cerah itu serasa mendung. Ketika tiba di pintu pagar halaman depan, seorang laki-laki setengah tua bangkit berdiri sambil sambil menuntun seekor kuda dan menyapa Han Sin.

“Apakah kong-cu yang bernama Cian-kongcu...?”

Han Sin memandang penuh perhatian dan tidak merasa kenal dengan orang ini. "Benar, paman. Ada apakah...?“

“Saya adalah seorang penjual kuda, kong-cu. Dan Saya ingin menyerahkan kuda ini kepada kong-cu...“

“Apa...? Mengapa...?“ Han Sin bertanya bingung.

“Inilah kuda yang di beli oleh seorang sahabat kong-cu untuk diserahkan kepada kong-cu pagi ini. Terimalah, kong-cu...“ Orang itu menyerahkan kendali kuda yang dipegangnya kepada Han Sin.

Han Sin mengerti bahwa kekmbali ini tentu perbuatan Cu Sian, maka terpaksa dia menerima kuda itu. Sahabatnya itu memang seorang yang royal sekali! Kalau dia di tawari kuda, tentu akan di tolaknya. Akan tetapi karena kuda itu sudah di beli dan sudah diberikan kepadanya dan dia tidak dapat mengembalikannya kepada Cu Sian, terpaksa dia melompat ke atas punggung kuda dan melarikan kuda itu menuju pintu gerbang sebelah utara dari kota Pey-yang.

Begitu keluar dari kota kegembiraan hati Han Sin muncul kembali. Ia melupakan dua wajah yang selalu membayanginya, yaitu wajah Kim Lan dan wajah Cu Sian. Pemandangan di depan amat indahnya. Bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya menghadang di depannya.

Orang-orang telah membuat jalan raya menuju utara dan melalui jalan inilah para rombongan pedagang melakukan perjalanan. Barang yang dikirimkan ke daerah utara juga melalui jalan ini. Jalan ini berada di lembah sungai Kuning, naik turun bukit dan mengitari jurang dan puncak. Jalan mulai sepi dan Han Sin membedal kudanya. Kuda itu ternyata seekor kuda yang kuat dan baik. Pandai juga Cu Sian memilih kuda, pikirnya.

Perjalanan Han Sin mulai melalui daerah yang berbahaya bagi para pejalan yang lewat. Keadaan sekeliling sejauh puluhan mil sunyi dan jarang ada perumahan penduduk. Ketika jalan menanjak ke sebuah bukit, pemandangan amat lah indahnya. Han Sin memperlambat jalannya kuda, membiarkannya jalan, tidak berlari lagi.

Selain untuk mencegah kudanya terlalu kelelahan, juga dia ingin menikmati pemadangan yang amat indah itu. Kebesaran alam terbentang luas di depannya dan menghadapi pemandangan alam yang luas dan megah dan indah ini, Han Sin merasa betapa kecil dirinya. Kecil tidak berarti...!

Di depan kakinya, dibawah, nampak Sungai Huang-ho mengalir, lebar dan panjang . Beberapa buah perahu nampak berada di sungai itu. Sebagian latar belakangnya, jauh di seberang sungai terdapat jajaran bukti yang tiada putusnya, lenyap di ujungnya dalam warna biru keabuan.

Tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda mendatangi dari belakang. Dia lalu minggirkan kudanya agar tidak menghadang mereka yang akan lewat. Tak lama kemudian, serombongan orang berkuda lewat situ. Tadinya Han Sin mengira bahwa mereka tentulah para saudagar atau piau-su yang mengawal barang kiriman. Akan tetapi tidak ada kereta di antara mereka.

Semua orang laki-laki berjumlah tiga puluhan orang menunggang kuda dan melihat sikap dan pakaian mereka yang serba ringkas, mudah di duga bahwa mereka itu adalah orang-orang yang kuat dan pandai ilmu silat. Wajah mereka pun kelihatan bengis. Terutama yang berada di depan dan agaknya menjadi pemimpin mereka.

Ada tiga orang laki-laki berusia antara empat puluh sampai enam puluh tahun berada di depan dan mereka bertiga ini kelihatan menyeramkan. Ketika mereka lewat, Han Sin sudah melompat turun dari atas punggung kudanya dan memegang kendali kuda dekat mulut kuda agar kudanya tidak kaget dan ketakutan melihat rombongan banyak orang itu. Dan dia mendengar teriakan orang yang berada di depan.

“Mari kawan-kawan, cepatan sedikit. Gerombolan Golok Setan tentu sudah berada di balik bukit ini...!”

Mereka melarikan kuda lebih cepat lagi memasuki sebuah hutan di depan. Mendengar di sebutnya Golok Setan, Han Sin tertarik sekali. Teringatlah dia akan cerita Cu Sian. Bukannya ayah Cu Sian juga terbunuh oleh gerombolan perampok yang di sebut Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan)? Karena ingin sekali tahu apa yang akan di lakukan orang-orang itu dengan gerombolan Golok Setan, Han Sin segera meloncat ke atas punggung kudanya dan membayangi mereka dari jauh.

Setelah tiba di tengah hutan yang berada di lereng bukit, Han Sin melihat mereka itu sudah berhenti di situ. Di situ terdapat sebuah lapangan rumput yang luas dan orang-orang itu sudah turun dari kuda dan bergerombol di lapangan rumput. Han Sin menghentikan kudanya. Menambatkan kudanya pada sebat ang pohon dan berindap-indap dia mendekati tempat itu untuk mengintai.

Dia melihat tiga orang pemimpin yang menyeramkan itu duduk di atas rumput dan anak buahnya duduk menghadap mereka. Akan tetapi Han Sin melihat bahwa jumlah mereka banyak berkurang. Sedikitnya tentu berkurang sepuluh orang. Dia menyusup semakin dekat untuk mendengarkan percakapan mereka.

“Kalian bertiga, A-cun, A-tek, dan A-ban, selidiki mereka dari puncak pohon dan seorang kabarkan kepada kami, yang dua orang tetap berjaga di atas secara bergantian...“ ucapan dengan suara yang parau ini keluar dari seorang pemimpin yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

Tiga orang anak buah bangkit dan meninggalkan lapangan rumput itu, kemudian mereka berloncatan ke pohon-pohon terbesar untuk melakukan pengintaian. Tak lama kemudian seorang di antara mereka melompat turun. Gerakan tiga orang anak buah ini cukup ringan dan cepat sehingga Han Sin maklum bahwa rombongan orang ini merupakan rombongan yang kuat sekali.

“Lapor, Twa-pang-cu (Ketua Pertama), mereka sudah di depan, kurang lebih dua mil dari sini. Jumlah mereka sekitar dua puluh!“

“Hemmm, sekali ini kita akan menghancurkan dan membasmi mereka! Sam-sute, cepat kau pasang dan sebarkan bubuk racun hitam itu seperti seperti yang telah kita rencanakan semula...!“

Yang disebut sam-sute (adik seperguruan ke tiga) itu adalah seorang diantara tiga pemimpin itu. Orang ini bertubuh tinggi, namun tidak sebesar orang pertama, hanya mukanya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang menutupi sebagian besar mukanya. Dia mengambil sebuah bungkusan dari saku bajunya dan terlihat dia menaburkan bubuk hitam pada garis setengah lingkaran yang menghadap ke arah utara.

Hanya bagian selatan yang tidak disebari racun dan bagian selatan ini agaknya yang menjadi pintu bagi mereka. Jarak garis yang di sebari racun itu kurang lebih seratus meter dari tempat mereka duduk, yaitu di tepi lapangan rumput. Dan yang disebari racun bukanlah tanahnya, melainkan dedaunan dan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di situ.

Setiap orang yang akan masuk kelapangan rumput itu dari semua arah, kecuali dari arah selatan, tentu akan semak dan rumput yang sudah mengandung racun itu dan setiap orang tentu akan menguak semak itu dengan tangannya agar dapat lewat sehingga tangan itu tentu akan terkena racun.

Han Sin yang melihat ini mengerutkan alis. Cara yang diambil orang-orang itu memang keji sekali. Akan tetapi karena diapun ingin sekali mengetahui mengetahui apa yang dilihat oleh pengintai tadi, diam-diam dia mundur, mencari pohon yang tinggi lalu melompat naik ke atas pohon.

Ketika dia mengintai ke arah utara, dia pun dapat melihat serombongan orang berada sekitar dua puluh orang lebih dan kadang-kadang nampak berkilatnya golok yang tertimpa sinar matahari. Agaknya itulah yang dimaksudkan orang-orang ini sebagai Gerombolan Golok Setan...

Pedang Naga Hitam Jilid 14

Han Sin menyimpan buntalan pakaiannya ke dalam kamarnya dan Cu Sian juga melakukan hal yang sama. Kemudian mereka ke luar kembali dan duduk di ruangan depan kamar mereka, dimana disediakan beberapa buah bangku dan meja.

“Kau tadi bilang aku aneh, nah, apanya yang aneh, Sin-ko...?“ tanya Cu Sian. Mereka dapat bercakap-cakap dengan leluasa karena ruangan itu terpisah dari para tamu lainnya.

“Engkau berkeras minta sebuah kamar sendiri dan tidak mau menginap dalam kamarku. Bukankah itu terlalu royal dan aneh...?“

Cu Sian tertawa dan wajahnya nampak tampan sekali ketika dia tertawa. “Heh-heh, apa anehnya itu? Sejak kecil aku terbiasa tidur sendiri. Kalau ada temannya, aku pasti tidak akan dapat tidur pulas sepanjang malam...“

“Masih ada hal yang lebih aneh lagi yang membuat aku dapat menduga siapa engkau sebenarnya, Sian-te...“

“Ehh...? Benarkah? Apa saja keanehan itu...?“

Kini Han Sin yang mengamati wajah Cu Sian penuh selidik dan dia berkata. “Aku berani menduga engkau tentulah seorang pemuda remaja yang kaya raya dan pandai ilmu silat. Engkau tentu sedang merantau dan menyamar sebagai seorang pengemis untuk mencari pengalaman. Nah, benarkah dugaanku ini...?“

Cu Sian yang tadinya mendengarkan dengan serius itu kini tertawa lagi. “he-he-he, apa alasannya engkau menduga seperti itu, Sin-ko...?“

“Mudah saja! Cara bicara mu menunjukkan bahwa engkau seorang yang berpendidikan tinggi. Engkau mengenakan pakaian pengemis akan tetapi tidak mengemis, bahkan membawa banyak uang dan sikapmu juga royal sekali, tanda bahwa engkau seorang hartawan. Dan ketika di kuil Hwa-li-pang terjadi perkelahian, engkau muncul dan berkelahi melawan nenek gila yang sakti, ini membuktikan bahwa engkau pandai silat, juga ketika engkau melempar pelayan tadi keluar rumah makan. Nah, benarkah dugaanku itu...?”

Cu Sian menghela napas panjang, “Aihhh, begitu menonjol dan canggungkah penyamaranku ini...?“

Han Sin menggeleng kepala. “Tidak Sian-te. Melihat sepintas lalu saja, penyamaranmu memang sudah baik sekali dan tak seorangpun menyangsikan bahwa engkau seorang pengemis. Akan tetapi kalau sudah bergaul dengan mu, maka akan nampaklah kejanggalan-kejanggalan itu. Sikapmu sungguh bukan seperti pengemis, melainkan sebagai seorang pendekar muda yang kaya raya...!“

“Aduh mak, celaka aku! Bertemu dengammu sama saja dengan kena batunya. Selama beberapa bulan menyamar ini, baru sekarang rahasiaku terbuka. Maka sesungguhnyalah, aku bukan seorang pengemis akan tetapi aku bersahabat dengan seorang pengemis, bahkan aku keturunan pemimpin perkumpulan pengemis...“

“Akan tetapi kenapa engkau menyamar sebagai pengemis...?”

“Sudah tentu agar aku tentu leluasa dan aman melakukan perjalanan. Kalau aku melakukan perjalanan sebagai seorang kong-cu, tentu akan mengalami banyak gangguan dari para perampok dan pencuri. Engkau benar, aku memang sedang merantau mencari pengalaman dan penyamaran ini kulakukan agar perjalananku aman...“

“Sian-te, engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian silat tinggi, kenapa takut akan gangguan orang...? Sedangkan aku yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa saja berani melakukan perjalanan tanpa penyamaran, apalagi engkau...“

Cu Sian tersenyum dan menundingkan telunjuknya ke arah muka Han Sin. “Jangan mengira bahwa engkau seorang yang pandai menebak keadaan orang lain, akan tetapi akupun dapat menggambarkan siapa adanya engkau...“

“Benarkah...?”

“Hemmm, aku tahu bahwa engkau seorang yang berpendidikan, dapat di duga dari caramu bicara dan pandanganmu yang cerdik dan luas kalau bicara. Engkau seorang yang baik budi, akan tetapi agaknya engkau tidak pandai ilmu silat, atau andaikata dapat tentu tidak beberapa tinggi. Buktinya engkau dapat dikuasai oleh keluarga gila itu. Tentu kecerdikanmu, dapat kulihat bahwa beradanya engkau dan keluarga gila itu di Hwa-li-pang. Tentu engkau yang membujuk mereka agar pernikahan dilakukan di Hwa-li-pang maka keluarga gila itu mati-matian meminjam tempat di Hwa-li-pang. Tentu kau maksudkan agar orang-orang Hwa-li-pang dapat menolongmu. Benarkah...?“

Han Sin mengangguk-angguk dan memang dia kagum sekali. Pemuda remaja ini selain lincah jenaka juga amat cerdik seperti kancil.

“Lalu apa lagi? Dugaanmu yang sudah itu tepat sekali...“

“Hemmm, engkau pasti bukan seorang pemuda yang kaya. Engkau memesan makanan yang murah di rumah makan tadi dan buntalan pakaianmu yang ringan tentu tidak mengandung banyak uang. Dan seorang diri engkau melakukan perjalanan ke utara padahal di utara bukan tempat untuk berpesiar. Tentu engkau mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanan ini...“

“Engkau hebat, Sian-te...“

“Ada satu lagi. Aku berani menduga bahwa engkau adalah seorang putera bangsawan walaupun tidak kaya...“

“Ehhh...?“ Han Sin benar-benar terkejut sekali. Bagaimana engkau menduga begitu...?”

“Sikapmu ketika mencegah si tinggi besar di rumah makan tadi agar tidak menyerangku. Sikap demikian penuh wibawa dan ini biasanya hanya dimiliki oleh keluarga bangsawan tinggi. Jangan-jangan engkau ini seorang pangeran yang menyamar...?“

“Ngacau...! Han Sin tertawa, akan tetapi diam-diam dia harus berhati-hati terhadap seorang yang demikian cerdiknya. “Aku bukan pangeran bukan putera bangsawan, melainkan anak seorang ibu yang telah janda sejak aku berusia sepuluh tahun...“

“Heeiii... nanti dulu! Engkau bermarga Cian, bukan? Hemmm, engkau ditinggal mati ayahmu sejak berusia sepuluh tahun dan usiamu sekarang ku taksir dua puluh tahun. Sepuluh tahun yang lalu engkau ditinggal mati ayahmu dan engkau she Cian! Padahal, sepuluh tahun yang lalu, kematian Cian-Tai-Ciangkun, Sin-ko, engkau putera mendiang Panglima Besar Cian Kauw, bukan...?“

Wajah Han Sin berubah dan dia bangkit dari tempat duduknya. Tebakan yang tepat itu sama sekali tidak pernah disangkanya dan dia memandang kepada Cu Sian dengan tajam, sepasang matanya mencorong dan sikapnya penuh kewaspadaan.

Cu Sian juga bangkit dan menggerakkan tangan menghibur Han Sin. “Jangan takut, Sin-ko. Aku tanggung bahwa tidak akan ada orang lain dapat menduga bahwa engkau putera Panglima Besar Cian Kauw, Walaupun andaikata ada yang tanya sekalipun tidak apa-apa. Kalau aku dapat menduga siapa engkau, hal itu adalah karena kakekku adalah sahabat baik dari Cian-ciangkun. Kakek ku pernah menjadi temen seperjuangan ayahmu, maka aku sudah mendengar akan semua riwayat dan keadaan Cian-ciangkun dari mendiang ayahku. Kalau aku tidak mengetahui keadaannya, tentu aku tidak akan dapat menduga bahwa engkau puteranya...“

Han Sin sudah dapat menenangkan hatinya dan dia duduk kembali. Sejenak dia memandang kepada Cu Sian lalu mengangkat telunjuknya ke arah muka Cu Sian. “Hemmm... anak nakal. Jangan engkau terlalu bangga dan menyombongkan dirimu. Akupun dapat menduga siapa engkau ini...“

“Eh...? Benarkah? Nah, katakan siapa aku ini..?“ Cu Sian menantang.

“Engkau tentu cucu dari Ketua Hek-I-Kaipang di Tiang-an...“

Kini Cu Sian yang meloncat dari tempat duduknya dan memandang kepada Han Sin dengam mata terbelalak. “Lohhh, bagaimana engkau bisa menduga begitu...?”

“Apa sukarnya? Engkau tadi pernah mengatakan bahwa engkau keturunan pemimpin pengemis. Dalam penyamaranmu, engkau mengenakan pakaian pengemis warna hitam. Mengapa warna hitam dan bukan warna lain? Dan engkau bermarga Cu. Maka mudah saja di duga, aku sudah mendengar dari ayah ibuku siapa-siapa tokoh kang-ouw yang menjadi temen seperjuangan ayah. Diantaranya adalah Cu Lo-kai, ketua dari Hek-I-Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Nah, coba menyangkal kalau bisa...!“ Han Sin tersenyum penuh kemenangan melihat pengemis muda itu nampak gugup.

“Dan... engkau mendengar tentang ayah ibuku...?“

Han Sin menggeleng kepalanya. “Tidak Ayah dan ibu tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan Hek I Kaipang dan para pengurusnya setelah Kerajaan Sui berdiri. Jadi, tentu saja aku tidak tahu apapun tentang orang tuamu...“

Wajah itu berseri kembali. “Dugaanmu memang tepat. Hemmm, alangkah pintarnya engkau, sin-ko...“

“Tidak lebih pintar darimu, Sian-te...“

“Nah, sekarang kita telah mengenal dengan baik keadaan diri masing-masing. Agaknya persahabatan antara ayahmu dan kakekku menjadi jembatan persahabatan kita...“

“Akan tetapi, aku hanya seorang pemuda biasa, tidak sepandai engkau dalam ilmu membela diri...“ kata Han Sin, memancing apakah pemuda remaja itupun dapat menduga bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi. Ternyata Cu Sian tidak dapat menduganya.

“Jangan khawatir, Sin-ko. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik...? Akulah yang akan membela dan melindungimu dan jangan engkau takut, aku tidak menyombongkan diriku apabila kukatakan bahwa tongkat ku ini cukup kuat untuk melindungi kita berdua...“ kata Cu Sian sambil mengangkat tongkatnya yang tadi diletakkan di atas meja.

Han Sin tersenyum. “Wahh, lega hatiku sekarang, mempunyai seorang sahabat seperti engkau, Sian-te. Setelah kita menjadi sahabat, tentu engkau tidak berkeberatan untuk memberitahu kepadaku kemana engkau hendak pergi dan apa yang kau cari sampai engkau tiba di sini, jauh dari Tiang-an, tempat tinggalmu...“

Mendadak wajah yang berseri itu menjadi muram. Beberapa kali Cu Sian menghela napas panjang, kemudian berkata, “sebetulnya kalau bukan kepadamu, aku tidak pernah menceritakan keadaan ku, sin-ko. Entah mengapa m, kepadamu aku seketika percaya sepenuhnya. Mungkin karena mengetahui bahwa engkau putera mendiang Cian-ciangkun. Akan tetapi setelah engkau mendengar cerita tentang diriku, kuharap engkau pun akan menceritakan keadaanmu dan kemana engkau hendak pergi...“

“Baik, aku tidak akan menyimpan rahasia, Sian-te...“

Cu Sian memandang ke kanan kiri, ke arah pintu-pintu depan belakang rumah itu yang terbuka. Tidak nampak seorangpun manusia dan dia segera mulai dengan ceritanya. “Kakekku hanya mempunyai seorang putera, yaitu ayahku. Akan tetapi sejak mudanya, ayahku yang bernama Cu Kak tidak mau mengikuti jejak kakek, tidak mau menjadi pengemis bahkan tidak mau melanjutkan pimpinan Hek I Kaipang. Ayah telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian kakek dan kepandaian itu menjadi modal bagi ayah untuk membuka piauw-kok (perusahaan pengiriman barang). Ayah menjadi piauw-su (pengawal kiriman barang) yang disegani dan dapat membuat perusahaannya menjadi terkenal dan besar. Setelah kakek meninggal dunia, Hek I Kaipang diserahkan kepada para murid lain untuk memimpinnya...“

“Aku tidak dapat menyalahkan ayahmu. Karena bagaimanapun juga, menjadi pengemis menimbulkan kesan kurang baik bagi seseorang, apalagi kalau dia masih muda dan kuat...“

“Akan tetapi kakek sendiri tak pernah mengemis, kakek hanya mengumpulkan para pengemis, dalam satu wadah agar mereka tidak melakukan perbuatan jahat...“

“Aku mengerti, Sian-te. Lanjutkanlah...“

“Kakekku meninggal dunia ketika aku baru berusia sepuluh tahun, terjadilah malapetaka itu. Mula-mula sebuah kiriman barang berharga yang dilindungi perusahaan ayah menuju jauh ke utara di rampok di tengah perjalanan. Para piauw-su pembantu ayah berusaha melawan, akan tetapi banyak diantara mereka tewas dan sisanya melarikan diri pulang dan melapor kepada ayah. Ayah menjadi marah. Barang kiriman yang hilang itu amat berharga dan tidak mungkin ayah dapat menggantinya. Maka ayah sendiri lalu pergi ke utara dimana terjadi perampokan itu. Perampokan itu terjadi di lembah Huang-ho dan barang kiriman itu seharusnya di bawa ke Po-touw...“

“Dengan siapa ayahmu pergi...?”

“Ayah pergi bersama para pembantunya, yaitu para piauw-su yang dapat melarikan diri dari para perampok itu. Setelah tiba di tempat itu, ayah dan para pembantunya diserang oleh gerombolan perampok itu dan dalam pertempuran ini ayah tewas. Para piauw-su dapat melarikan jenazah ayah pulang. Ibu terkejut dan sedih sekali sehingga setelah semua barang milik kita di jual untuk mengganti barang yang di rampok, ibu jatuh sakit dan akhirnya setahun setelah ayah tewas, ibu juga meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri di dunia ini...“

“Aduh kasihan sekali engkau, Sian-te. Masih muda sekali telah di tinggal kedua orang tuamu...“ kata Han Sin terharu.

“Ketika itu aku baru berusia sebelas tahun, aku tetapi aku sudah mengerti keadaan. Aku bertanya kepada para piauw-su siapa yang membunuh ayah. Mereka mengatakan bahwa perampok itu memakai nama Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) dan yang membunuh ayahku adalah ketua perkumpulan itu, seorang laki-laki tinggi besar yang brewok dan memegang sebatang golok besar. Aku lalu belajar silat dari para paman guruku, yaitu para murid kakek di Hek I Kaipang. Setelah semua ilmu dapat ku kuasai, aku lalu pergi merantau untuk menambah pengalamanku dan mencari musuh besar yang membunuh ayah ibuku...“

“Ibumu? Bukankah ibumu meninggal dunia karena sakit...?”

“Betul, akan tetapi kalau tidak gara-gara orang yang membunuh ayahku, tentu ibu tidak meninggal karena kesedihannya. Dalam perjalananku mencari musuhku itulah aku bertemu dengan engkau, Sin-ko...“

“Ah, hidupmu seolah bert juan untuk membalas dendam...“

“Apa lagi yang dapat kulakukan...? Aku harus membalas dendam kematian orang tuaku, hanya itu yang dapat kulakukan untuk membalas budi mereka kepadaku...“

“Kalau engkau menjadi seorang pendekar pembasmi kejahatan yang membela kebenaran dan keadilan, berarti engkau sudah mengangkat dan mengharumkan nama ayah ibumu...“

“Sudahlah, tidak perlu kita perdebatkan hal itu. Sekarang aku menagih janji. Engkau berjanji akan menceritakan riwayat mu sampai kesini...“

Han Sin menghela napas panjang. Riwayat ku tidak lebih baik daripada riwayat mu, Sian-te. Engkau sudah mendengar bahwa ayah tewas dalam suatu pertempuran yang terjadi di sebelah utara Sian-si, ketika memimpin pasukan untuk menumpas pemberontakan di sana. Kalau ayah meninggal dunia karena bertempur, hal itu adalah wajar saja. Seorang Panglima gugur dalam pertempuran merupakan hal wajar dan kami tidak akan merasa penasaran. Akan tetapi, ayah tewas karena pengkhianatan...“

“Ehhh? Siapa yang mengkhianatinya...?“

“Itulah yang menjadi rahasia. Tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayah ketika terjadi pertempuran itu...“

“Kalau begitu l, bagaimana engkau tahu bahwa dia di khianati dan bukan tewas oleh pihak musuh?”

“Ayah tewas karena terkena anak panah yang datangnya dari belakang. Anak panah itu mengenai punggungnya. Dan lebih daripada itu, Pedang pusaka ayah, Hek liong Kiam juga lenyap. Setelah ayah meninggal, ibu mengajakku pindah ke dusun...“

“Dan sekarang engkau sampai di sini, hendak kemanakah...?”

“Ibu menyuruh aku untuk mencari pedang pusaka milik ayah yang hilang itu...“

“Aih, dengan sedikit kepandaian silat yang kau miliki, bagaimana engkau akan dapat menemukan atau merampasnya kembali...? Mungkin pedang pusaka itu diambil oleh pembunuh ayahmu...!“

“Kalau begitu, bagaimanapun akan ku hadapi...“

“Engkau bisa celaka... akan tetapi jangan takut, Sin-ko. Aku akan membantumu menghadapi pembunuh ayahmu dan pencuri pedang pusaka itu!”

“Akan tetapi engkau sendiri mempunyai tugas yang penting dan aku tidak berani mengganggumu dengan urusanku, Sian-te...“

“Begitukah sikap seorang sahabat...!“ kata Cu Sian dengan alis berkerut.

Han Sin merasa tidak enak sekali. Dalam mencari pedang dan pembunuh ayahnya, mungkin dia akan menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kalau Cu Sian bersama dengannya, maka pemuda remaja ini dapat terancam bahaya. Dia tidak menghendaki hal itu terjadi. Pula, tidak pantas kalau pemuda itu sampai membahayakan diri sendiri hanya untuk membantunya dalam urusan pribadi.

"Sungguh, aku menyesal sekali terpaksa harus menolak bantuanmu, Sian-te. Aku tidak ingin mengganggumu. Lebih baik engkau selesaikan urusanmu sendiri dan aku akan mencoba untuk mencari pedang pusaka ayahku itu seorang diri pula...“

Cu Sian bangkit berdiri, wajahnya berubah merah. “Apa...? Engkau menolak uluran tanganku...? Sin-ko, engkau terlalu memandang rendah padaku! Apa kau kira aku tidak akan mampu mendapatkan Hek liong kiam itu untukmu...?”

“Bukan begitu, Sian-te, akan tetapi...“

“Akan tetapi apa...?“

“Aku tidak mau merepotkanmu, pula kalau sampai terjadi apa-apa denganmu karena engkau membantuku, aku akan merasa menyesal selama hidupku. Terima kasih banyak atas kebaikanmu dan pembelaanmu, akan tetapi sungguh menyesal sekali, aku harus menolaknya...“

“Bagus!" Cu Sian bangkit berdiri dan menggebrak meja. “Engkau sungguh seorang sahabat yang tidak mengenal arti kesetian...!“

“Maafkan aku, Sian-te. Akan tetapi aku sungguh tidak ingin melihat engkau celaka. Engkau masih begini muda...“

“Cukup! Kau anggap aku anak kecil, ya? Kalau tidak ada anak kecil ini, belum tentu engkau dapat meloloskan diri dari keluarga gila itu, tahukah engkau? Akulah orangnya yang memancing agar engkau dapat meloloskan diri...!“

“Ahhh, terima kasih banyak, Sian-te. Engkau memang hebat...“

“Tidak perlu memuji, pendeknya mau atau tidakkah kau kalau kubantu engkau mencari pedang pusaka itu...?“

“Terpaksa aku menolaknya, Sian-te. Ini dapat berbahaya sekali untukmu dan...“

“Sudahlah, engkau memang keras kepala! Kalau engkau kelak menghadapi ancaman musuh yang tangguh, baru engkau menyesal mengapa tidak menerima tawaranku. Sudah, aku mau tidur...!“ dan pemuda remaja itu membanting-banting kaki lalu memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu kamar keras-keras.

Han Sin masih duduk termangu. Dia suka sekali kepada Cu Sian. Akan tetapi pemuda itu masih seperti kanak-kanak. Bagaimana dia boleh mengajak kanak-kanak menghadapi bahaya dalam mencari pedang Hek liong kiam...? Kalau dia sendiri gagal bahkan sampai tewas dalam usahanya ini, dia tidak akan menyesal. Akan tetapi kalau sampai Cu Sian tewas dalam membantunya, dia tentu akan merasa menyesal bukan main.

Akhirnya dia menghela napas dan memasuki kamarnya sendiri. Dia merasa kecewa dan menyesal bahwa persahabatannya dengan pemuda remaja itu akan berakhir begini. Akhirnya Han Sin dapat juga tidur pulas.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Pada keesokan harinya, suara ayam jantan berkokok nyaring di luar jendela kamarnya. Han Sin turun dari pembaringannya dan membuka daun jendela itu. Pekarangan samping itu di tumbuhi pohon-pohon dan kembang. Suasana pagi itu indah sekali dan hawanya sejuk segar memasuki kamarnya.

Tiba-tiba dia teringat kepada Cu Sian yang berada di kamar sebelah. Dia menjulurkan kepala keluar jendela untuk memandang ke arah jendela kamar sebelah. Daun jendela itu masih tertutup. Agaknya sahabat barunya itu masih tidur. Dia berharap mudah-mudahan Cu Sian tidak marah lagi dan mereka akan dapat saling berpisah sebagai dua orang sahabat!

Han Sin termenung sambil memandang keluar dimana burung-burung beterbangan dan berloncatan dari dahan ke dahan. Dimana kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga. Pagi yang cerah, hari yang indah. Alangkah akan gembiranya kalau pada pagi seindah itu dia melakukan perjalanan dengan Cu Sian, sahabatnya yang riang gembira dan lincah jenaka itu. Akan tetapi dia segera menggeleng kepalanya. Tidak. Dia mempunyai tugas yang berat dan berbahaya. Siapa tahu apa yang akan dihadapinya di utara nanti. Tidak boleh dia membawa Cu Sian, pemuda remaja itu memasuki bahaya pula.

Han Sin yang sadar dari lamunannya lalu pergi membersihkan diri di kamar mandi yang letaknya di belakang rumah penginapan itu, kemudian setelah bertukar dengan pakaian bersih dia menghampiri kamar Cu Sian. Diketuknya pintu kamar itu beberapa kali, lalu dia menanti. Akan tetapi tidak ada jawaban, tidak ada suara dari dalam kamar itu. Daun pintu kamar itu tetap tertutup, tidak dibuka dari dalam.

Dia mengetuk lagi dan memanggil, “Tok... tok... tok! Sian-te, bangunlah, hari telah siang...!“

Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mengetuk-ngetuk kembali, muncul seorang pelayan yang kemarin melayaninya.

“Percuma diketuk karena kamar itu kosong kong-cu...“ katanya.

“Eh...? Kosong...? Bukankah kamar ini yang ditempati sahabatku itu...?”

“Kong-cu maksudkan pemuda pengemis itu...?”

Han Sin mengangguk, “Ya, bukankah dia bermalam di kamar ini...?”

“Ya, benar. Akan tetapi tadi pagi-pagi sekali, sebelum ayam berkokok, dia telah pergi meninggalkan kamar ini dan dia telah membayar sewa kedua kamar. Bahkan dia telah membayar harga makan pagi yang akan dihidangkan kepada kong-cu pagi ini. Apakah kong-cu tidak tahu bahwa dia telah pergi..?“ pelayan itu memandang heran.

Dan sadarlah Han Sin bahwa sebagai seorang sahabat baik mestinya dia tahu akan keberangkatan temannya itu. “Oh ya... aku lupa...“ Katanya dan ketika dia menghadapi hidangan sarapan pagi yang royal. Dia termenung dan hatinya terharu. Cu Sian telah membuktikan ucapannya, meninggalkan dia yang tidak mau menerima sahabat itu melakukan perjalanan bersama, menolak bantuan yang di tawarkan Cu Sian. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu marah kepadanya sehingga pagi-pagi telah berangkat lebih dulu. Akan tetapi bagaimanapun marahnya, Cu Sian telah membelikan sarapan pagi yang royal untuknya...!

Setelah makan pagi, Han Sin juga meninggalkan rumah penginapan itu. Sewa kamarnya juga sudah dibayar oleh Cu Sian! Ketika melangkah kaki keluar dari pekarangan rumah penginapan itu, hatinya terasa kosong dan sepi. Dia benar-benar merasa kehilangan sahabatnya yang biasanya menggembirakan suasananya itu. Hari yang cerah itu serasa mendung. Ketika tiba di pintu pagar halaman depan, seorang laki-laki setengah tua bangkit berdiri sambil sambil menuntun seekor kuda dan menyapa Han Sin.

“Apakah kong-cu yang bernama Cian-kongcu...?”

Han Sin memandang penuh perhatian dan tidak merasa kenal dengan orang ini. "Benar, paman. Ada apakah...?“

“Saya adalah seorang penjual kuda, kong-cu. Dan Saya ingin menyerahkan kuda ini kepada kong-cu...“

“Apa...? Mengapa...?“ Han Sin bertanya bingung.

“Inilah kuda yang di beli oleh seorang sahabat kong-cu untuk diserahkan kepada kong-cu pagi ini. Terimalah, kong-cu...“ Orang itu menyerahkan kendali kuda yang dipegangnya kepada Han Sin.

Han Sin mengerti bahwa kekmbali ini tentu perbuatan Cu Sian, maka terpaksa dia menerima kuda itu. Sahabatnya itu memang seorang yang royal sekali! Kalau dia di tawari kuda, tentu akan di tolaknya. Akan tetapi karena kuda itu sudah di beli dan sudah diberikan kepadanya dan dia tidak dapat mengembalikannya kepada Cu Sian, terpaksa dia melompat ke atas punggung kuda dan melarikan kuda itu menuju pintu gerbang sebelah utara dari kota Pey-yang.

Begitu keluar dari kota kegembiraan hati Han Sin muncul kembali. Ia melupakan dua wajah yang selalu membayanginya, yaitu wajah Kim Lan dan wajah Cu Sian. Pemandangan di depan amat indahnya. Bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya menghadang di depannya.

Orang-orang telah membuat jalan raya menuju utara dan melalui jalan inilah para rombongan pedagang melakukan perjalanan. Barang yang dikirimkan ke daerah utara juga melalui jalan ini. Jalan ini berada di lembah sungai Kuning, naik turun bukit dan mengitari jurang dan puncak. Jalan mulai sepi dan Han Sin membedal kudanya. Kuda itu ternyata seekor kuda yang kuat dan baik. Pandai juga Cu Sian memilih kuda, pikirnya.

Perjalanan Han Sin mulai melalui daerah yang berbahaya bagi para pejalan yang lewat. Keadaan sekeliling sejauh puluhan mil sunyi dan jarang ada perumahan penduduk. Ketika jalan menanjak ke sebuah bukit, pemandangan amat lah indahnya. Han Sin memperlambat jalannya kuda, membiarkannya jalan, tidak berlari lagi.

Selain untuk mencegah kudanya terlalu kelelahan, juga dia ingin menikmati pemadangan yang amat indah itu. Kebesaran alam terbentang luas di depannya dan menghadapi pemandangan alam yang luas dan megah dan indah ini, Han Sin merasa betapa kecil dirinya. Kecil tidak berarti...!

Di depan kakinya, dibawah, nampak Sungai Huang-ho mengalir, lebar dan panjang . Beberapa buah perahu nampak berada di sungai itu. Sebagian latar belakangnya, jauh di seberang sungai terdapat jajaran bukti yang tiada putusnya, lenyap di ujungnya dalam warna biru keabuan.

Tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda mendatangi dari belakang. Dia lalu minggirkan kudanya agar tidak menghadang mereka yang akan lewat. Tak lama kemudian, serombongan orang berkuda lewat situ. Tadinya Han Sin mengira bahwa mereka tentulah para saudagar atau piau-su yang mengawal barang kiriman. Akan tetapi tidak ada kereta di antara mereka.

Semua orang laki-laki berjumlah tiga puluhan orang menunggang kuda dan melihat sikap dan pakaian mereka yang serba ringkas, mudah di duga bahwa mereka itu adalah orang-orang yang kuat dan pandai ilmu silat. Wajah mereka pun kelihatan bengis. Terutama yang berada di depan dan agaknya menjadi pemimpin mereka.

Ada tiga orang laki-laki berusia antara empat puluh sampai enam puluh tahun berada di depan dan mereka bertiga ini kelihatan menyeramkan. Ketika mereka lewat, Han Sin sudah melompat turun dari atas punggung kudanya dan memegang kendali kuda dekat mulut kuda agar kudanya tidak kaget dan ketakutan melihat rombongan banyak orang itu. Dan dia mendengar teriakan orang yang berada di depan.

“Mari kawan-kawan, cepatan sedikit. Gerombolan Golok Setan tentu sudah berada di balik bukit ini...!”

Mereka melarikan kuda lebih cepat lagi memasuki sebuah hutan di depan. Mendengar di sebutnya Golok Setan, Han Sin tertarik sekali. Teringatlah dia akan cerita Cu Sian. Bukannya ayah Cu Sian juga terbunuh oleh gerombolan perampok yang di sebut Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan)? Karena ingin sekali tahu apa yang akan di lakukan orang-orang itu dengan gerombolan Golok Setan, Han Sin segera meloncat ke atas punggung kudanya dan membayangi mereka dari jauh.

Setelah tiba di tengah hutan yang berada di lereng bukit, Han Sin melihat mereka itu sudah berhenti di situ. Di situ terdapat sebuah lapangan rumput yang luas dan orang-orang itu sudah turun dari kuda dan bergerombol di lapangan rumput. Han Sin menghentikan kudanya. Menambatkan kudanya pada sebat ang pohon dan berindap-indap dia mendekati tempat itu untuk mengintai.

Dia melihat tiga orang pemimpin yang menyeramkan itu duduk di atas rumput dan anak buahnya duduk menghadap mereka. Akan tetapi Han Sin melihat bahwa jumlah mereka banyak berkurang. Sedikitnya tentu berkurang sepuluh orang. Dia menyusup semakin dekat untuk mendengarkan percakapan mereka.

“Kalian bertiga, A-cun, A-tek, dan A-ban, selidiki mereka dari puncak pohon dan seorang kabarkan kepada kami, yang dua orang tetap berjaga di atas secara bergantian...“ ucapan dengan suara yang parau ini keluar dari seorang pemimpin yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

Tiga orang anak buah bangkit dan meninggalkan lapangan rumput itu, kemudian mereka berloncatan ke pohon-pohon terbesar untuk melakukan pengintaian. Tak lama kemudian seorang di antara mereka melompat turun. Gerakan tiga orang anak buah ini cukup ringan dan cepat sehingga Han Sin maklum bahwa rombongan orang ini merupakan rombongan yang kuat sekali.

“Lapor, Twa-pang-cu (Ketua Pertama), mereka sudah di depan, kurang lebih dua mil dari sini. Jumlah mereka sekitar dua puluh!“

“Hemmm, sekali ini kita akan menghancurkan dan membasmi mereka! Sam-sute, cepat kau pasang dan sebarkan bubuk racun hitam itu seperti seperti yang telah kita rencanakan semula...!“

Yang disebut sam-sute (adik seperguruan ke tiga) itu adalah seorang diantara tiga pemimpin itu. Orang ini bertubuh tinggi, namun tidak sebesar orang pertama, hanya mukanya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang menutupi sebagian besar mukanya. Dia mengambil sebuah bungkusan dari saku bajunya dan terlihat dia menaburkan bubuk hitam pada garis setengah lingkaran yang menghadap ke arah utara.

Hanya bagian selatan yang tidak disebari racun dan bagian selatan ini agaknya yang menjadi pintu bagi mereka. Jarak garis yang di sebari racun itu kurang lebih seratus meter dari tempat mereka duduk, yaitu di tepi lapangan rumput. Dan yang disebari racun bukanlah tanahnya, melainkan dedaunan dan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di situ.

Setiap orang yang akan masuk kelapangan rumput itu dari semua arah, kecuali dari arah selatan, tentu akan semak dan rumput yang sudah mengandung racun itu dan setiap orang tentu akan menguak semak itu dengan tangannya agar dapat lewat sehingga tangan itu tentu akan terkena racun.

Han Sin yang melihat ini mengerutkan alis. Cara yang diambil orang-orang itu memang keji sekali. Akan tetapi karena diapun ingin sekali mengetahui mengetahui apa yang dilihat oleh pengintai tadi, diam-diam dia mundur, mencari pohon yang tinggi lalu melompat naik ke atas pohon.

Ketika dia mengintai ke arah utara, dia pun dapat melihat serombongan orang berada sekitar dua puluh orang lebih dan kadang-kadang nampak berkilatnya golok yang tertimpa sinar matahari. Agaknya itulah yang dimaksudkan orang-orang ini sebagai Gerombolan Golok Setan...