Pedang Naga Hitam Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kim Lan merasa kagum dan suka kepada To-kouw itu, seorang pendeta wanita yang rambutnya sudah putih semua seperti benang perak, namun wajahnya masih sehat segar kemerahan. Tentu dahulu To-kouw ini cantik sekali, pikirnya. Gerak geriknya halus, namun ilmu silatnya tinggi.

“Nona Kim Lan, sekarang ceritakan lebih dulu mengapa nona bersusah payah hendak menolong Hwa-li-pang, padahal pertolongan itu mungkin saja membahayakan keselamatan nona sendiri?“ To-kouw itu memandang penuh perhatian seperti hendak menyelami hati gadis cantik itu.

“Pang-cu, sudah menjadi kewajiban dalam hidupku untuk berusaha sedapat mungkin membantu mereka yang sedang berada dalam kesukaran maka melihat peristiwa tadi tentu saja aku tidak dapat berpangku tangan tanpa mengulurkan bantuan. Ada dua pihak yang terancam dan membutuhkan bantuan, yaitu pemuda itu dan Hwa-li-pang. Karena itulah, aku hendak membantu sebisaku, tanpa pamrih dan untuk itu aku berani menghadapi bahaya...“

“Siancai...! Nona masih begini mudah sudah memiliki jiwa pendekar yang besar. Kami merasa kagum sekali, Nah, sekarang jelaskan bantuan apa yang dapat kau berikan untuk mengatasi gangguan ini. Kami sudah memberikan janji kepada keluarga gila itu untuk tinggal di sini sampai pesta pernikahan dilangsungkan dan kami tidak akan mengingkari janji“

“Tidak perlu mengingkari janji, pang-cu. Kita harus berusaha agar mereka itu pergi sendiri tanpa kita minta. Dan kuncinya ada pada pemuda yang akan mereka nikahkan dengan puteri mereka itu. Kalau pemuda itu dapat kita loloskan dari sini, aku yakin keluarga gila itupun akan pergi sendiri mencarinya dan meninggalkan Hwa-li-pang ini“

Pek Mau To-kouw mengangguk-angguk “Memang bisa terjadi. Akan tetapi aku melihat pemuda itu seperti seorang tolol. Bagaimana mungkin dia dapat melepaskan diri dari pengejaran mereka. Biarpun andaikata kita dapat meloloskan dia akan tetapi kalau dia tertawan kembali, tentu mereka akan kembali ke sini...“

“Pemuda itu tidak tolol, pang-cu. Akan tetapi dia keracunan“

“Keracunan? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa dia keracunan, nona?“

“Pang-cu, sejak kecil aku sudah mempelajari ilmu pengobatan maka dari gejala-gejala yang dapat kulihat dari wajah dan sikap pemuda itu, aku tahu dia di racuni oleh keluarga itu. Untuk menekannya agar dia mau dinikahkan dengan gadis itu. Tanpa paksaan, bagaimana mungkin ada pemuda mau di jodohkan dengan seorang gadis gila?”

Kembali Pek Mau To-kouw mengangguk-angguk. “Engkau benar sekali, nona. Akan tetapi yang kukhawatirkan, andaikata engkau dapat menyembuhkannya dia dapat meloloskan diri, tentu keluarga gila itu akan mengejar dan mencarinya. Pemuda itu kelihatan tolol dan mana mampu menolak keinginan mereka?“

“Itu soal nanti, pang-cu. Yang terpenting, aku akan memeriksa pemuda itu dan mengobatinya sampai sembuh. Kemudian, soal pelariannya dapat kita rundingkan kembali. Bisa saja kita menggunakan akal misalnya kalau pemuda itu melarikan diri ke timur, kita ramai-ramai mengatakan bahwa pemuda itu lari ke lain jurusan. Dan siapa tahu, pemuda itu dapat menyembunyikan dirinya dan dapat mengharapkan bantuan orang lain“

“Baiklah, nona. Agaknya engkau telah mempunyai rencana yang demikian matangnya. Sungguh menganggumkan sekali dan aku menyetujui semua apa yang hendak nona kerjakan“ To-kouw itu lalu mengundurkan diri kembali ke rumahnya karena ia tidak ingin keluarga gila yang lihai itu mengetahui tentang pertemuannya dengan Kim Lan.

Ketika berjalan perlahan kembali ke rumahnya, to-kouw itu masih mengangumi gadis yang cantik luar biasa dan pandai membawa diri, bicaranya teratur dan sopan, dan kecerdikannya luar biasa. Tiba-tiba teringatlah ia kepada Ang Swi Lan, puterinya sendiri yang di culik orang sejak kecil dan sampai sekarang tidak ada kabarnya itu. Ia melamun, kalau Swi Lan masih berada padanya, tentu kini usianya sebaya dengan gadis berpakaian putih itu. Ia merasa iri kepada orang tua Kim Lan. Betapa bahagianya hati orang tua Kim Lan mempunyai seorang anak sepertinya.

Di dalam sebuah kamar di kuil itu, Kim Lan berdandan. Ia mengenakan pakaian yang biasa di pakai anggota Hwa-li-pang, yang biasa menjadi pelayan, mengubah gelung rambutnya dikuncir ke belakang dan diikat pita hijau seperti semua anggota Hwa-li-pang, kemudian ia membawa baki berisi mangkok makanan dan poci minuman, keluar dari kamar itu. Kepala penjaga menjaga kuil menghampirinya dan memeriksa keadaan pakaian dan rambutnya, dan mengangguk-angguk, tanda bahwa penyamaran Kim Lan cukup baik. Kemudian Kim Lan membawa baki itu melalui jalan tembusan menuju ke rumah induk dimana empat orang tamu itu berada. Tentu saja ia sudah mempelajari dengan seksama letak dan keadaan rumah induk itu, dimana kamar-kamar yang di tempati keluarga gila itu, dan dimana pula kamar untuk Han Sin.

Tibalah ia di sebuah lorong dimana kamar-kamar itu berjajar. Ia sudah di beritahukan bahwa kamar pertama merupakan kamar suami istri gila itu, kamar ke dua adalah kamar pemuda itu dan kamar ketiga kamar si gadis gila. Ia harus pergi ke kamar nomor dua. Kim Lan memperingan langkahnya, dengan hati-hati ia melewati kamar pertama. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di depannya telah berdiri suami istri gila itu. Wajah Kim Lan berubah pucat dan matanya terbelalak ketakutan.

“Hik-hik-hik, siapa kau dan mau apa datang ke sini?“ Bentak nenek gila itu sambil menyerengai.

Saking kaget dan takutnya, Kim Lan hanya terbelalak dan tidak mampu menjawab. Kui Mo memegang pundak gadis itu dan mengguncangnya. “Hayo jawab! Siapa engkau dan mau apa berkeliaran di sini?“

“A... ku... pelayan dan di... di suruh mengantar makanan ini ke kamar nomor dua...” jawabnya dengan suara gemetar.

“Eihhhhh! Kenapa tidak ke kamar nomor satu lebih dulu? Seharusnya kami yang lebih dulu dikirim makanan!” bentak Liu Si.

“Menurut pang-cu, makanan untuk pengantin pria harus didahulukan, barulah pengantin wanita dan orang tuanya, yang akan di antar oleh pelayan lain“ jawab Kim Lan dengan hati-hati sekali.

“Oh, ha-ha-ha, pang-cu itu benar, isteriku! Harus menaati adat istiadat! Nah, biarlah mantuku mendapatkan kiriman lebih dulu, hayo kita masuk ke kamar!“ dua orang itu berkelebat dan sudah kembali ke kamar mereka.

Setelah mereka pergi, barulah sikap ketakutan yang dibuat-buat tadi hilang dari wajah Kim Lan. Ia melangkah maju lagi menghampiri pintu kamar nomor dua. Ia mengetuk perlahan. Tidak ada jawaban, akan tetapi pendengarannya yang terlatih baik itu dapat mendengar gerakan orang di sebelah dalam kamar itu. Ia mengetuk lagi, tiga kali.

“Tuk-tuk-tuk!“

“Siapa d iluar?” terdengar pertanyaan suara wanita, dekat sekali! Dengan daun pintu.

“Pelayan, mengantar makanan untuk kong-cu (tuan muda)!“ kata Kim Lan.

Daun pintu terbuka dari dalam dan Kui Ji yang menyambut Kim Lan di depan pintu, dengan tongkat ularnya siap di tangan untuk menyerang. Kim Lam memperlihatkan wajah ketakutan.

“Nona, saya hanya pelayan yang di haruskan mengantar makanan untuk tuan pengantin“ Katanya. Kim Lan melihat pemuda berpakaian putih itu duduk di depan dan sepasang mata pemuda itu memandang kepadanya penuh selidik, kemudian mata itu terbelalak tanda bahwa pemuda itu telah mengenalnya dan mengetahui bahwa ia bukan seorang pelayan.

“Hik-hik-hik, bagus, bagus! Bawa makanan masuk untuk suamiku“ Lalu ia membalik dan berkata kepada Han Sin. “Suamiku, engkau telah dikirimi makanan dan minuman, nikmatilah hidanganmu! Hai, kau! Letakkan saja baki itu diatas meja. Aku sendiri yang akan melayani suamiku. Engkau pelayan cantik pergilah saja. Cepat!“

Akan tetapi Kim Lan menghadapi Kui Ji dengan berani. Dua pasang mata itu bertemu pandang. Mata Kim Lan penuh wibawa dan mulutnya berkemak-kemik, lalu tangan kiri gadis itu di angkat keatas, jari-jari tangannya bergerak di depan muka Kui Ji. Aneh sekali, Kui Ji lalu terhuyung ke tempat tidur, menguap dan mengeluh.

“Ahhhhh, ngantuk sekali... ingin tidur...“ Dan ia menjatuhkan diri rebah di pembaringan, terus pulas!

Sejak gadis itu masuk, Han Sin sudah memandangnya dengan heran sekali. Begitu melihat wajah itu dan bertemu pandang, dia merasa sudah pernah melihatnya dan kemudian dia teringat. Gadis berpakaian serba putih itu! Menyamar sebagai pelayan! Apa maunya? Dia mengamati terus dan melihat betapa dua orang gadis itu saling berhadapan, betapa pelayan itu mengangkat tangan menggerak-gerakkan jarinya dan pandang matanya terhadap Kui Ji demikian mencorong penuh wibawa, ketika melihat Kui Ji terhuyung, kemudian menjatuhkan diri dipembaringan terus pulas, dia terkejut bukan main. Pernah dia mendengar dari gurunya Tiong Gi Hwesio, tentang adanya semacam ilmu yang di sebut i-hun-to-hoat (hypnotism), yaitu ilmu mempengaruhi pikiran orang lain.

Dengan ilmu itu orang dapat menguasai pikiran orang lain dan menyuruh orang itu berbuat apa saja sekehendak hati orang yang menguasai ilmu itu. Apakah gadis ini tadi menggunakan i-hun-to-hoat itu? Gurunya mengatakan bahwa ilmu itu termasuk ilmu sesat karena biasanya di gunakan orang untuk perbuatan jahat, makanya gurunya melarang dia mempelajari ilmu semacam itu.

“Nona...“ katanya akan tetapi pelayan itu menaruh telunjuk di depan bibirnya yang merah membasah sambil menuding ke arah kamar sebelah yang ditempati suami istri gila. Dia mengerti bahwa berbicara keras dapat terdengar oleh kedua orang yang lihai itu dan dia mengangguk.

Kim Lan melangkah ringan sekali menghampiri Han Sin yang sudah bangkit berdiri dan gadis itu berbisik lirih. “Engkau keracunan...“

Han Sin terbelalak memandang gadis itu dengan kagum, “Benar, bagaimana engkau bisa tahu?“ katanya berbisik.

“Aku akan mengobatimu akan tetapi aku harus tahu lebih dulu racun apa yang memasuki tubuhmu“

“Aku terkena racun pelemas otot“ kata Han Sin. “Nenek gila itu yang melukaiku“

Gadis itu mengangguk-angguk. “Duduklah, aku akan memeriksamu sebentar dan buka baju atasmu“

Han Sin masih merasa heran sekali dan kagum, akan tetapi dia menurut. Dia duduk di atas bangku dan menanggalkan bajunya. Tanpa ragu lagi ia lalu memeriksa kedua pundak, dada dan pergelangan tangan pemuda itu.

“Aku tahu mereka bukan orang-orang kejam. Racun ini tidak membahayakan nyawamu, hanya membuat otot-ototmu lemas, aku dapat mengobatimu...“

Gadis itu lalu mengeluarkan beberapa batang jarum emas dan perak yang di bungkus rapi dari balik bajunya. Kemudian ia mulai menusukkan jarum-jarum itu pada jalan-jalan darah di tubuh Han Sin. Kemudian ia mengeluarkan sebungkus obat bubuk merah dan mencampurnya dengan air teh yang tadi dibawanya. “Minumlah ini...“

Han Sin menaati permintaannya. Setelah kurang lebih seperempat jam, mereka dikejutkan oleh ketukan pada pintu dua kamar di sebelah.

“Jangan takut, itu tentu pelayan yang mengantar makanan kepada suami istri itu dan kepada kamar gadis ini...“

Dari kamar itu mereka dapat mendengar suara tawa bergelak dan cekikikan dari suami isteri yang menerima kiriman makanan dan minuman. Kim Lan membuka daun pintu perlahan dan melihat pelayan masih mengetuk pintu kamar Kui Ji, ia lalu menggapai dan pelayan itu menghampirinya dan berkata “Nona, ini makanan dan minuman untuk nona“

Kim Lan mengangguk dan mengedipkan matanya, lalu menyuruh pelayan itu pergi setelah ia menerima baki terisi makanan dan minuman itu dan meletakkannya di atas meja. Pintu kamar di tutupnya kembali dan ia melanjutkan pengobatannya. Setelah jarum-jarum itu di getar-getarkan beberapa kali, ia mencabuti kembali jarum-jarum itu. Lalu diperiksanya badan Han Sin.

Han Sin merasa betapa kini dia mampu menggerakkan sin-kangnya. Pada saat di menggerakkan sin-kangnya, Kim Lan sedang memeriksa nadinya dan gadis itu terkejut bukan main, cepat melepaskan lengan Han Sin.

“Aih, engkau memiliki sin-kang yang kuat sekali“ kat anya lirih sambil memandang dengan heran kepada pemuda itu.

Akan tetapi Han Sin seperti tidak mendengar ucapan itu. Dia t lerlalu girang dan cepat-cepat dia menjura sampai dalam di depan gadis itu. “Nona, Banyak terima kasih ku haturkan kepadamu. Engkau telah menyembuhkan ku. Aku sudah terbebas dari pengaruh racun itu!“

“Bagus, akan tetapi harap jangan tergesa-gesa mencoba untuk membebaskan diri. Mereka itu terlalu lihai dan kalau engkau melarikan diri sekarang, tentu mereka akan mencurigai pelayan dan orang-orang Hwa-li-pang, Mungkin mereka menjadi marah dan mengamuk di sini. Karena itu, kalau hendak melarikan diri, tunggu sampai malam nanti“

“Aku mengerti, nona. Akan ku taati petunjuk mu. Akan tetapi, siapakah engkau nona? Aku harus mengetahui nama penolongku...“

Kim Lan tersenyum dan memandangnya. Pertemuan dua pasang sinar mata itu membuat Han Sin terpesona. Dia merasa seolah-olah sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang langsung menembus menghujam ulu hatinya!

“Tidak perlu kau ingat lagi sedikit bantuan ini, hati-hati, bersikaplah biasa seperti tadi, dan katakan bahwa pelayan datang mengirim makanan untuknya. Ajaklah dia makan minum agar ia bergembira dan tidak menaruh curiga...“

Kim Lan cepat keluar dari kamar itu dan ketika di ambang pintu, ia membalik, memandang ke arah tubuh Kui Ji, lalu ia mengangkat tangan kirinya, jari-jari tangannya bergerak ke arah Kui Ji. Aneh sekali, Kui Ji menguap dan mengeluh, kemudian bergerak. Akan tetapi daun pintu telah tertutup kembali dan Kim Lan sudah pergi dari situ.

“Aihhhhh... aku mengantuk. Ehhhhhhhh? Apa aku tertidur?“ Kui Ji memandang pada Han Sin.

“Hemmm, engkau tertidur pulas sampai tidak tahu ada pelayan mengantar makanan ke kamar mu. Aku suruh ia menaruhnya di atas meja ini. Marilah kita makan, perut ku sudah lapar...“

“Hik-hik-hik, engkau mengajak aku makan? He-he, nah begitulah suamiku, bersikaplah manis dan mencintaiku, habis siapa lagi?“ Dalam ucapan yang janggal ini terkandung penyesalan dan diam-diam Han Sin merasa kasihan kepada gadis yang seolah haus akan kasih sayang ini.

Mereka lalu makan minum dan Han Sin benar-benar bersikap ramah kepada Kui Ji sehingga gadis ini menjadi semakin kegirangan. Akan tetapi setelah selesai makan, Han Sin minta agar Kui Ji kembali ke kamarnya.

“Sekarang kembalilah ke kamarmu, adik Kui Ji yang baik. Aku ingin beristirahat...“

Kui Ji dengan manja menggandeng lengan Han Sin, “Aihhh, suamiku kenapa aku tidak boleh beristirahat bersamamu di kamar ini?“

“Jangan Kui Ji, kalau saja mertua melihatnya tentu dia akan menjadi marah...“ sekali ini Han Sin bicara dengan keras dengan harapan agar terdengar oleh suami isteri yang berada di sebelah.

“Aaih, suamiku...“ Kui Ji masih membantah dan merengek. Tiba-tiba daun pintu terbuka dan muncullah Kui Mo dan Liu Si.

“Kui Ji, apa yang kau lakukan di sini? Tidak tahu aturan kau! Hayo kembali ke kamarmu. Mana ada pengantin wanita berkeliaran ke kamar pengantin pria, padahal mereka belum menikah dengan sah?“ Liu Si menghampiri anaknya dan menjewer telinganya, lalu dituntunnya keluar dari kamar itu sambil mengomel.

Kui Mo memandang Han Sin sambil tersenyum menyerengai dan mengangguk. “Bagus, mantuku. Engkau harus mengajar kesopanan kepada anakku itu!“ Lalu dia membalikkan diri dan keluar dari kamar itu dengan langkah lebar.

Han Sin menutupkan daun pintu kamarnya lagi dan memasang palang pintunya. Dia tidak mau di ganggu lagi. Lalu dia duduk bersila di atas pembaringan dan menggerakkan kedua tangan, menyembah ke atas lalu kedua tangan di tarik ke bawah, melewati dada sampai ke ta-tian. Semua ini dia lakukan sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya di jaliri hawa hangat itu. Tidak ada otot yang buntu.

Kesehatannya pulih sama sekali! Tentu saja dia merasa girang bukan main dan sepasang mata yang indah itu tiba-tiba terbayang olehnya. Pemilik sepasang mata itulah yang telah menyelamatkannya. Tidak mungkin dia dapat melupakan mata itu. Dia lalu memejamkan mata dan duduk bersemedhi untuk menghimpun kekuatannya.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Sesosok bayangan hitam dengan gesitnya berjalan diatas kuil Hwa-li-pang. Langkah-langkahnya bagaikan langkah seekor kucing saja, tidak mengeluarkan bunyi. Para anggota Hwa-li-pang yang tinggal di kuil itu sama sekali tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi tidak demikian dengan Kim Lan. Gadis cantik yang malam itu tinggal di kuil, dari dalam kamarnya ia dapat mengetahui bahwa di atas genteng kuil ada seorang yang sedang berjalan dengan gerakan ringan.

Pendengarannya yang terlatih dapat menangkah langkah-langkah itu, walaupun hampir tidak mengeluarkan bunyi. Ia tersenyum dan meniup lilin di atas mejanya, membuka daun jendela kemudian melompat keluar dari jendela. Ketika ia tiba diluar dan memandang ke atas, dilihatnya sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali. Ia pun cepat melompat naik ke atas atap kuil, melakukan pengejaran.

Bayangan hitam itu kelihatan terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik berpakaian serba putih. Akan tetapi bayangan hitam itu tidak sempat lari melarikan diri dan dia menghadapi Kim Lan dengan tongkat di tangan.

“Hemmm, bukankah engkau pengemis yang tadi pagi minta sepatu dari ketua Hwa-li-pang?” Tegur Kim Lan sambil memandang tajam.

Cuaca hanya mendapat penerangan dari bintang-bintang sehingga keadaannya hanya remang-remang saja, akan tetapi Kim Lan dapat mengenali pengemis muda yang pagi tadi bertanding melawan nenek gila.

“He-he, dan bukankah engkau gadis berpakaian putih yang pagi tadi bersembahyang di kuil?“ pengemis muda itu balas menegurnya.

“Mau apa engkau dat ang ke kuil malam-malam begini dan mengambil jalan seperti seorang penjahat? Apakah engkau hendak mencuri atau merampok sesuatu di kuil ini?” Kim Lan menegur pula.

“Dan engkau sendiri, bukan penghuni kuil mengapa tinggal di sini?" Pengemis muda itu balas menegurnya.

Kim Lan berpikir sejenak. Agaknya pengemis muda itu bukan penjahat dan ia sendiri baru saja kembali dari rumah induk setelah berhasil mengobati pemuda yang di tawan keluarga gila itu. Kalau terlalu lama mereka berdua bicara diatas kuil, mungkin saja akan terlihat oleh keluarga gila itu yang berada di rumah induk. Ia harus berhati-hati.

“Sobat, marilah kita bicara di bawah!“ katanya dan Kim Lan mendahului pengemis itu melayang ke bawah.

“Baik! Aku memang membutuhkan penjelasanmu!" kata si pengemis yang juga melayang turun. Hampir berbareng mereka tiba dibawah dan dan kaki mereka tidak menimbulkan suara ketika mereka hinggap di atas lantai. Dari gerakan ini saja keduanya mengerti bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang memeliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali.

Kini mereka dapat saling pandang dengan jelas, dibawah sinar lampu gantung. Pada saat itu, anggota Hwa-li-pang yang menjadi kepala penjaga kuil, terbangun dan mendengar percakapan itu iapun keluar dari kamarnya dan memandang heran kepada pengemis muda itu.

“Heiii! Laki-laki dilarang memasuki kuil! Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?“ Bentaknya.

“Ssstttt, aku bukan penjahat...“ pengemis muda itu menaruh jari telunjuknya di depan mulut. “Mari kita bicara di dalam...“

Mereka lalu memasuki ruangan belakang dan Kim Lan memandang tajam lalu bertanya. “Sobat, engkau harus menjelaskan kepada kami apa maksudmu melam-malam begini memasuki kuil lewat atap?“

“Aku hendak menyelidiki dimana keluarga gila dan pemuda berpakaian putih itu berada...“ jawab si pengemis muda.

“Mau apa engkau menyelidiki itu?”

“Nona baju putih, apakah engkau tidak melihat? Keluarga gila itu jahat dan meraka telah menawan pemuda pakaian putih itu yang hendak di nikahkan dengan puteri keluarga gila. Aku yakin bahwa pemuda itu di tekan dan terpaksa menuruti kehendak mereka. Karena itu aku ingin membebaskannya dari cengkraman keluarga gila itu!“

Mendengar ini dan menatap sepasang mata yang tajam itu, Kim Lan merasa lega. “Bagus sekali kalau begitu karena akupun mempunyai niat yang sama. Kalau begitu kita dapat bekerja sama, sobat!“

Pengemis muda itu memandang gembira, “Ah, begitukah? Aku pergi tadi melihat nona di antara mereka yang sembahyang, tidak ku sangka sama sekali bahwa nona adalah seorang gadis yang berilmu tinggi dan aku senang sekali bekerjasama dengan nona untuk menolong pemuda tolol yang menjadi tawanan itu!“

“Akupun senang dapat bekerjasama denganmu, adik yang baik. Akan tetapi bolehkah kami mengetahui namamu dan siapa pula gurumu?“

Pemuda pengemis itu tersenyum dan wajahnya yang berlepotan itu nampak tampan sekali ketika ia tersenyum. “Enci yang baik, namaku Cu Sian dan tentang guruku, dia adalah mendiang ayahku sendiri. Aku berasal dari Tiangan“

“Kuharap aku salah menyangka ketika menanyakan tadi apakah engkau hendak mencuri atau merampok..." kata Kim Lan. “Ternyata engkau hendak menolong pemuda itu, maafkanlah aku dan namaku adalah Kim Lan...“

Pengemis itu mengerutkan alisnya dan cemberut. “Enci Lan, jangan memandang remeh kepadaku. Biarpun aku seperti kere begini, akan tetapi aku tidak pernah mencuri atau merampok. Bekalku cukup banyak, lihatlah...“ Dia mengeluarkan sebuah kantung kain dari sakunya dan membuka kantung itu. Ternyata isinya penuh dengan potongan-potongan emas.

Kim Lan tersenyum. “Aku tadi sudah minta maaf, adik Cu Sian. Sekarang aku ingin bertanya bagaimana caramu hendak menolong pemuda itu?“

“Bagaimana lagi? Tentu dengan mencari kamarnya, kalau sudah kudapatkan, aku memasuki kamarnya, menotoknya dan membawanya lari keluar dari sini!“

“Aihhh, engkau terlalu memandang ringan keluarga gila itu. Mereka itu sungguh lihai dan kalau engkau menggunakan cara itu, sebelum memasuki kamar pemuda itupun engkau sudah akan ketahuan dan di keroyok. Pagi tadi engkau sudah merasakan betapa hebatnya kepandaian nenek gila itu. Puterinya juga lihai, apalagi suaminya...“

“Aku tidak takut!” Pengemis muda itu berkata dengan nada menantang.

“Bukan soal takut atau berani,“ kata Kim Lan yang wataknya sabar dan tenang. “Akan tetapi kalau terjadi begitu, berarti engkau telah gagal membebaskan pemuda itu. Sebaliknya kalau engkau bekerjasama dengan kami, tentu akan berhasil...“

Cu Sian segera memperhatikan gadis itu dengan mata mengandung penuh pertanyaan. “Bagaimana caranya, enci? Katakanlah, tentu saja aku suka bekerjasama denganmu agar usaha kita berhasil menyelamatkan pemuda tolol itu...“

Kim Lan tersenyum mendengar pemuda itu di tolol-tololkan oleh pengemis muda itu. “Kalau dia itu pemuda tolol, lalu kenapa engkau berkeras menolongnya?“

“Enci Lan, justeru karena dia tolol maka aku ingin menolongnya! Kalau dia tidak tolol, tidak mungkin akan dapat di tawan keluarga gila itu! Nah, bagaimana cara kita untuk membebaskannya?"

Begini, malam ini sebaiknya engkau jangan bertindak. Kalau engkau bertindak, bukan saja engkau akan gagal, akan tetapi juga keluarga gila itu akan mencurigai Hwa-li-pang dan tentu akan membalas dendam kepada Hwa-li-pang. Sebaiknya besok malam saja engkau datang lalu kita mengatur siasat agar pemuda itu dapat lolos akan tetapi keluarga gila itu tidak menuduh Hwa-li-pang ikut bersekutu untuk membebaskan tawanan mereka...“

Kim Lan lalu dengan singkat menceritakan betapa ia telah mengobati pemuda tawanan itu yang ternyata keracunan. Kemudian mereka bercakap-cakap bertiga, membicarakan rencana mereka untuk membebaskan pemuda itu besok malam. Setelah itu, Cu Sian lalu meninggalkan kuil itu karena bagaimanapun juga, Kepala penjaga kuil merasa keberatan kalau seorang pria bermalam di kuil itu.

Pada keesokan harinya, keluarga gila itu masih belum menaruh curiga. Han Sin bersikap biasa saja, tetap kelihatan lemas t lak berdaya dan hanya senyum-senyum ketololan, Mereka kelihatan senang tinggal di Hwa-li-pang, namun ternyata bahwa keluarga ini tidak membuat ulah yang macam-macam.

Malamnya, semua telah direncanakan oleh Kim Lan dan Cu Sian. Bahkan Han Sin telah diberitahu oleh Kim Lan dengan cara menyeludupkan tulisan ketika ia menyamar sebagai pelayan dan mengirim makanan ke kamar Han Sin. Dari surat yang di selundupkan itu Han Sin mengetahui bahwa gadis berpakaian putih bermata bintang itu telah menyusun rencana untuk menyelamatkannya dan meloloskannya tanpa membuat keluarga gila itu mencurigai Hwa-li-pang. Maka, malam itu diapun sudah siap siaga, menanti gerakan pengemis muda yang di ceritakan dalam surat Kim Lan. Pengemis muda itu akan memancing agar suami isteri gila itu meninggalkan kamar mereka di sebelah kamarnya.

Pek Mau To-kouw juga sudah tahu akan rencana itu, dan ia bersikap biasa pura-pura tidak tahu saja. Demikian pula, semua anak buah Hwa-li-pang di pesan agar malam itu tidak mencampuri keributan yang terjadi situ, kecuali belasan orang yang berjaga yang diberi tugas untuk mengeroyok Cu Sian kalau pengemis muda itu muncul. Tentu saja pengeroyokan inipun hanya siasat Kim Lan saja.

Malam itu sunyi karena hawa udara di luar amat dinginnya. Juga cuaca hanya remang-remang oleh cahaya jutaan bintang. Tiba-tiba keheningan malam itu dipecahkan oleh suara yang lantang, yang datangnya dari halaman rumah induk Hwa-li-pang.

“Haiiii...! Nenek gila, keluarlah kalau memang engkau berani dan gagah! Kita lanjut kan pertandingan kita kemarin dulu! Hayo keluar! Apakah engkau pengecut gila yang tidak berani menyambut tantangku!“

Mendengar teriakan lantang ini, belasan orang anggota Hw a-li-pang yang pada malam hari itu bertugas jaga, segera berlari-lari mendatangi halaman itu. Di situ telah berdiri seorang pengemis muda berbaju hitam yang memegang tongkat.

“Pengemis kurang ajar! Hayo minggir dari sini!“ Bentak para penjaga dan mereka segera mengepung dan mengeroyok pengemis muda. Cu Sian, pengemis itu melayani pengeroyokan mereka dengan tongkatnya dan dalam beberapa gebrakan saja sudah ada empat orang anggota Hwa-li-pang yang terpelanting ke kanan kiri!

“Heeiii, Nenek gila! Pengecut kau, berlindung di belakang orang-orang Hwa-li-pang! Hayo keluar, nenek pengecut gila!“ Cu Sian memaki-maki dengan suara lantang sambil berlompatan ke sana kemari melayani pengeroyokan para penjaga itu. Kembali dua orang terpelanting roboh oleh sapuan tongkatnya.

Teriakannya yang lantang itu tentu saja terdengar oleh suami istri gila yang berada di kamar mereka. Liu Si menjadi marah sekali karena dia di tantang dan dimaki pengecut.

“Jahanam busuk, itu tentu pengemis kelaparan itu!” bentaknya dan ia pun melompat keluar dari kamarnya. Kui Mo yang tidak ingin melihat isterinya celaka, segera melompat pula mengejar isterinya menuju ke halaman depan. Mereka berdua segera melihat betapa pengemis muda yang kemarin dulu berkelahi dengan Liu Si mengamuk dan merobohkan banyak anggota Hwa-li-pang sehingga kepungan itu menjadi kocar kacir.

Liu Si marah sekali. “Setan cilik, kiranya engkau yang mengantar kematian! Mundur kalian semua!“ teriaknya.

Mendengar teriakan ini, sisa anggota Hwa-li-pang yang mengepung Cu Sian segera mundur dan membiarkan nenek itu menghadapi Cu Sian.

Melihat nenek itu, Cu Sian tertawa bergelak, “ha-ha-ha, ku kira engkau hanya seorang nenek pengecut yang berlindung pada Hwa-li-pang. Kalau memang berani dan gagah, mari kita berkelahi sampai mati diluar agar orang-orang Hwa-li-pang tidak mengeroyok ku!“ setelah berkata demikian, dia tidak memberi kesempatan kepada nenek itu untuk menjawab karena tubuhnya sudah melompat jauh dan berlari keluar dari pintu halaman.

“Setan, siapa takut padamu!“ Liu Si membentak dan ia pun lari keluar mengejar. Suaminya juga mengejar, akan tetapi anak buah Hwa-li-pang tidak ada yang ikut mengejar, seolah tidak mau terlibat urusan keluarga gila itu.

Teriakan Cu Sian yang memecahkan kesunyian malam itu terdengar pula oleh Han Sin dan Kui Ji. Gadis gila yang tak pernah melepaskan perhatiannya terhadap Han Sin, segera keluar dari kamarnya dan menerjang daun pintu kamar Han Sin sehingga terbuka. Ia meloncat ke dalam memegang tongkat ularnya. Ia melihat Han Sin juga sudah bangun dari tidurnya dan pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan, Kui Ji tertawa girang.

“Suamiku yang baik, engkau terbangun oleh ribut-ribut itu. Jangan takut, aku datang melindungimu...“ Kui Ji menghampitri pembaringan.

Han Sin t ersenyum, kesehatannya telah pulih dan kalau dia menghendaki tentu saja sejak pagi tadi dia dapat melarikan diri atau kalau perlu melawan keluarga gila itu. Akan tetapi dia menaati pesan dalam surat nona baju putih itu. Dia harus melarikan diri sehingga tidak melibat kan Hwa-li-pang.

“Kui Ji, sekarang tiba saatnya aku membebaskan diri darimu!“ berkata demikian, Han Sin melompat turun dari pembaringan.

Melihat gerakan Han Sin yang gesit. Kui Ji terkejut dan heran, akan tetapi tentu saja ia tidak ingin Han Sin melarikan diri maka ia lalu menyerang dengan tongkat ularnya untuk menotok roboh pemuda itu. Makin terkejutlah Kui Ji ketika tongkat itu dengan mudah di tangkap oleh Han Sin dan sekali pemuda itu mendorong Kui Ji terjengkang dan terguling-guling di lantai kamar. Gadis itu melihat Han Sin meloncat keluar jendela. Ia juga meloncat bangun, dan melakukan pengejaran keluar dari jendela kamar itu.

Setibanya diluar jendela, ia menengok ke kanan kiri karena tidak melihat bayangan Han Sin, mendadak ada bayangan putih berkelebat di depan kiri dan bayangan putih itu berlari memasuki kebun samping bangunan. Kui Ji girang dan meloncat mengejar sambil berteriak,

“suamiku... tunggu... jangan tinggalkan aku...“

Bayangan putih itu berlari terus dan setibanya di pagar tembok belakang. Ia melompat ke atas pagar tembok dan dari situ melayang keluar. Kui Ji tidak mau kehilangan yang di kejarnya, maka ia pun meloncat naik ke atas pagar tembok. Dari atas pagar ini dilihatnya bayangan putih itu berlari menuju ke selatan, maka iapun melayang keluar pagar tembok dan terus mengejar ke selatan.

Akan tetapi setelah tiba di luar sebuah hutan, tiba-tiba bayangan putih di depan itu lenyap. Kui Ji menjadi bingung dan menghentikan larinya, hanya berjalan sambil memandang ke kanan kiri. Ketika melihat seorang yang berpakaian putih sedang duduk di bawah pohon, iapun cepat menghampiri. Akan tetapi setelah tiba di depan orang itu, ia merasa kecewa karena orang itu adalah seorang wanita berpakaian putih, bukan Han Sin!

“Hei, kau...“ tegurnya. “Apakah engkau melihat suamiku yang juga berpakaian putih-putih lewat sini tadi?”

Orang itu bukan lain adalah Kim Lan. Seperti yang telah di rencanakan, malam itu ia menanti di dekat jendela kamar Han Sin, siap membantu kalau-kalau pemuda itu mengalami kesulitan melepaskan diri dari pengejaran Kui Ji. Akan tetapi ia melihat Han Sin keluar dari jendela dan berlari menuju ke belakang bangunan seperti direncanakan pemuda itu telah lenyap ketika Kui Ji nampak keluar dari jendela itu.

Maka, ia melakukan tugasnya yang kedua, yaitu memancing Kui Ji untuk mengejarnya ke jurusan yang berlawanan dengan larinya Han Sin. Ia berhasil, karena cuaca yang gelap membuat ia hanya kelihatan seperti bayangan putih, seperti juga Han Sin yang berpakaian serba putih. Ia menggunakan gin-kang untuk berlari keluar dari kebun dan menuju ke hutan itu.

Padahal, seperti rencana Han Sin berlari ke jurusan yang berlawanan, yaitu ke utara. Setelah yakin bahwa pemuda itu sudah dapat berlari juah dan Kui Ji kehilangan jejaknya. Ia lalu berhenti di bawah pohon sampai di tegur oleh Kui Ji...

Pedang Naga Hitam Jilid 10

Kim Lan merasa kagum dan suka kepada To-kouw itu, seorang pendeta wanita yang rambutnya sudah putih semua seperti benang perak, namun wajahnya masih sehat segar kemerahan. Tentu dahulu To-kouw ini cantik sekali, pikirnya. Gerak geriknya halus, namun ilmu silatnya tinggi.

“Nona Kim Lan, sekarang ceritakan lebih dulu mengapa nona bersusah payah hendak menolong Hwa-li-pang, padahal pertolongan itu mungkin saja membahayakan keselamatan nona sendiri?“ To-kouw itu memandang penuh perhatian seperti hendak menyelami hati gadis cantik itu.

“Pang-cu, sudah menjadi kewajiban dalam hidupku untuk berusaha sedapat mungkin membantu mereka yang sedang berada dalam kesukaran maka melihat peristiwa tadi tentu saja aku tidak dapat berpangku tangan tanpa mengulurkan bantuan. Ada dua pihak yang terancam dan membutuhkan bantuan, yaitu pemuda itu dan Hwa-li-pang. Karena itulah, aku hendak membantu sebisaku, tanpa pamrih dan untuk itu aku berani menghadapi bahaya...“

“Siancai...! Nona masih begini mudah sudah memiliki jiwa pendekar yang besar. Kami merasa kagum sekali, Nah, sekarang jelaskan bantuan apa yang dapat kau berikan untuk mengatasi gangguan ini. Kami sudah memberikan janji kepada keluarga gila itu untuk tinggal di sini sampai pesta pernikahan dilangsungkan dan kami tidak akan mengingkari janji“

“Tidak perlu mengingkari janji, pang-cu. Kita harus berusaha agar mereka itu pergi sendiri tanpa kita minta. Dan kuncinya ada pada pemuda yang akan mereka nikahkan dengan puteri mereka itu. Kalau pemuda itu dapat kita loloskan dari sini, aku yakin keluarga gila itupun akan pergi sendiri mencarinya dan meninggalkan Hwa-li-pang ini“

Pek Mau To-kouw mengangguk-angguk “Memang bisa terjadi. Akan tetapi aku melihat pemuda itu seperti seorang tolol. Bagaimana mungkin dia dapat melepaskan diri dari pengejaran mereka. Biarpun andaikata kita dapat meloloskan dia akan tetapi kalau dia tertawan kembali, tentu mereka akan kembali ke sini...“

“Pemuda itu tidak tolol, pang-cu. Akan tetapi dia keracunan“

“Keracunan? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa dia keracunan, nona?“

“Pang-cu, sejak kecil aku sudah mempelajari ilmu pengobatan maka dari gejala-gejala yang dapat kulihat dari wajah dan sikap pemuda itu, aku tahu dia di racuni oleh keluarga itu. Untuk menekannya agar dia mau dinikahkan dengan gadis itu. Tanpa paksaan, bagaimana mungkin ada pemuda mau di jodohkan dengan seorang gadis gila?”

Kembali Pek Mau To-kouw mengangguk-angguk. “Engkau benar sekali, nona. Akan tetapi yang kukhawatirkan, andaikata engkau dapat menyembuhkannya dia dapat meloloskan diri, tentu keluarga gila itu akan mengejar dan mencarinya. Pemuda itu kelihatan tolol dan mana mampu menolak keinginan mereka?“

“Itu soal nanti, pang-cu. Yang terpenting, aku akan memeriksa pemuda itu dan mengobatinya sampai sembuh. Kemudian, soal pelariannya dapat kita rundingkan kembali. Bisa saja kita menggunakan akal misalnya kalau pemuda itu melarikan diri ke timur, kita ramai-ramai mengatakan bahwa pemuda itu lari ke lain jurusan. Dan siapa tahu, pemuda itu dapat menyembunyikan dirinya dan dapat mengharapkan bantuan orang lain“

“Baiklah, nona. Agaknya engkau telah mempunyai rencana yang demikian matangnya. Sungguh menganggumkan sekali dan aku menyetujui semua apa yang hendak nona kerjakan“ To-kouw itu lalu mengundurkan diri kembali ke rumahnya karena ia tidak ingin keluarga gila yang lihai itu mengetahui tentang pertemuannya dengan Kim Lan.

Ketika berjalan perlahan kembali ke rumahnya, to-kouw itu masih mengangumi gadis yang cantik luar biasa dan pandai membawa diri, bicaranya teratur dan sopan, dan kecerdikannya luar biasa. Tiba-tiba teringatlah ia kepada Ang Swi Lan, puterinya sendiri yang di culik orang sejak kecil dan sampai sekarang tidak ada kabarnya itu. Ia melamun, kalau Swi Lan masih berada padanya, tentu kini usianya sebaya dengan gadis berpakaian putih itu. Ia merasa iri kepada orang tua Kim Lan. Betapa bahagianya hati orang tua Kim Lan mempunyai seorang anak sepertinya.

Di dalam sebuah kamar di kuil itu, Kim Lan berdandan. Ia mengenakan pakaian yang biasa di pakai anggota Hwa-li-pang, yang biasa menjadi pelayan, mengubah gelung rambutnya dikuncir ke belakang dan diikat pita hijau seperti semua anggota Hwa-li-pang, kemudian ia membawa baki berisi mangkok makanan dan poci minuman, keluar dari kamar itu. Kepala penjaga menjaga kuil menghampirinya dan memeriksa keadaan pakaian dan rambutnya, dan mengangguk-angguk, tanda bahwa penyamaran Kim Lan cukup baik. Kemudian Kim Lan membawa baki itu melalui jalan tembusan menuju ke rumah induk dimana empat orang tamu itu berada. Tentu saja ia sudah mempelajari dengan seksama letak dan keadaan rumah induk itu, dimana kamar-kamar yang di tempati keluarga gila itu, dan dimana pula kamar untuk Han Sin.

Tibalah ia di sebuah lorong dimana kamar-kamar itu berjajar. Ia sudah di beritahukan bahwa kamar pertama merupakan kamar suami istri gila itu, kamar ke dua adalah kamar pemuda itu dan kamar ketiga kamar si gadis gila. Ia harus pergi ke kamar nomor dua. Kim Lan memperingan langkahnya, dengan hati-hati ia melewati kamar pertama. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di depannya telah berdiri suami istri gila itu. Wajah Kim Lan berubah pucat dan matanya terbelalak ketakutan.

“Hik-hik-hik, siapa kau dan mau apa datang ke sini?“ Bentak nenek gila itu sambil menyerengai.

Saking kaget dan takutnya, Kim Lan hanya terbelalak dan tidak mampu menjawab. Kui Mo memegang pundak gadis itu dan mengguncangnya. “Hayo jawab! Siapa engkau dan mau apa berkeliaran di sini?“

“A... ku... pelayan dan di... di suruh mengantar makanan ini ke kamar nomor dua...” jawabnya dengan suara gemetar.

“Eihhhhh! Kenapa tidak ke kamar nomor satu lebih dulu? Seharusnya kami yang lebih dulu dikirim makanan!” bentak Liu Si.

“Menurut pang-cu, makanan untuk pengantin pria harus didahulukan, barulah pengantin wanita dan orang tuanya, yang akan di antar oleh pelayan lain“ jawab Kim Lan dengan hati-hati sekali.

“Oh, ha-ha-ha, pang-cu itu benar, isteriku! Harus menaati adat istiadat! Nah, biarlah mantuku mendapatkan kiriman lebih dulu, hayo kita masuk ke kamar!“ dua orang itu berkelebat dan sudah kembali ke kamar mereka.

Setelah mereka pergi, barulah sikap ketakutan yang dibuat-buat tadi hilang dari wajah Kim Lan. Ia melangkah maju lagi menghampiri pintu kamar nomor dua. Ia mengetuk perlahan. Tidak ada jawaban, akan tetapi pendengarannya yang terlatih baik itu dapat mendengar gerakan orang di sebelah dalam kamar itu. Ia mengetuk lagi, tiga kali.

“Tuk-tuk-tuk!“

“Siapa d iluar?” terdengar pertanyaan suara wanita, dekat sekali! Dengan daun pintu.

“Pelayan, mengantar makanan untuk kong-cu (tuan muda)!“ kata Kim Lan.

Daun pintu terbuka dari dalam dan Kui Ji yang menyambut Kim Lan di depan pintu, dengan tongkat ularnya siap di tangan untuk menyerang. Kim Lam memperlihatkan wajah ketakutan.

“Nona, saya hanya pelayan yang di haruskan mengantar makanan untuk tuan pengantin“ Katanya. Kim Lan melihat pemuda berpakaian putih itu duduk di depan dan sepasang mata pemuda itu memandang kepadanya penuh selidik, kemudian mata itu terbelalak tanda bahwa pemuda itu telah mengenalnya dan mengetahui bahwa ia bukan seorang pelayan.

“Hik-hik-hik, bagus, bagus! Bawa makanan masuk untuk suamiku“ Lalu ia membalik dan berkata kepada Han Sin. “Suamiku, engkau telah dikirimi makanan dan minuman, nikmatilah hidanganmu! Hai, kau! Letakkan saja baki itu diatas meja. Aku sendiri yang akan melayani suamiku. Engkau pelayan cantik pergilah saja. Cepat!“

Akan tetapi Kim Lan menghadapi Kui Ji dengan berani. Dua pasang mata itu bertemu pandang. Mata Kim Lan penuh wibawa dan mulutnya berkemak-kemik, lalu tangan kiri gadis itu di angkat keatas, jari-jari tangannya bergerak di depan muka Kui Ji. Aneh sekali, Kui Ji lalu terhuyung ke tempat tidur, menguap dan mengeluh.

“Ahhhhh, ngantuk sekali... ingin tidur...“ Dan ia menjatuhkan diri rebah di pembaringan, terus pulas!

Sejak gadis itu masuk, Han Sin sudah memandangnya dengan heran sekali. Begitu melihat wajah itu dan bertemu pandang, dia merasa sudah pernah melihatnya dan kemudian dia teringat. Gadis berpakaian serba putih itu! Menyamar sebagai pelayan! Apa maunya? Dia mengamati terus dan melihat betapa dua orang gadis itu saling berhadapan, betapa pelayan itu mengangkat tangan menggerak-gerakkan jarinya dan pandang matanya terhadap Kui Ji demikian mencorong penuh wibawa, ketika melihat Kui Ji terhuyung, kemudian menjatuhkan diri dipembaringan terus pulas, dia terkejut bukan main. Pernah dia mendengar dari gurunya Tiong Gi Hwesio, tentang adanya semacam ilmu yang di sebut i-hun-to-hoat (hypnotism), yaitu ilmu mempengaruhi pikiran orang lain.

Dengan ilmu itu orang dapat menguasai pikiran orang lain dan menyuruh orang itu berbuat apa saja sekehendak hati orang yang menguasai ilmu itu. Apakah gadis ini tadi menggunakan i-hun-to-hoat itu? Gurunya mengatakan bahwa ilmu itu termasuk ilmu sesat karena biasanya di gunakan orang untuk perbuatan jahat, makanya gurunya melarang dia mempelajari ilmu semacam itu.

“Nona...“ katanya akan tetapi pelayan itu menaruh telunjuk di depan bibirnya yang merah membasah sambil menuding ke arah kamar sebelah yang ditempati suami istri gila. Dia mengerti bahwa berbicara keras dapat terdengar oleh kedua orang yang lihai itu dan dia mengangguk.

Kim Lan melangkah ringan sekali menghampiri Han Sin yang sudah bangkit berdiri dan gadis itu berbisik lirih. “Engkau keracunan...“

Han Sin terbelalak memandang gadis itu dengan kagum, “Benar, bagaimana engkau bisa tahu?“ katanya berbisik.

“Aku akan mengobatimu akan tetapi aku harus tahu lebih dulu racun apa yang memasuki tubuhmu“

“Aku terkena racun pelemas otot“ kata Han Sin. “Nenek gila itu yang melukaiku“

Gadis itu mengangguk-angguk. “Duduklah, aku akan memeriksamu sebentar dan buka baju atasmu“

Han Sin masih merasa heran sekali dan kagum, akan tetapi dia menurut. Dia duduk di atas bangku dan menanggalkan bajunya. Tanpa ragu lagi ia lalu memeriksa kedua pundak, dada dan pergelangan tangan pemuda itu.

“Aku tahu mereka bukan orang-orang kejam. Racun ini tidak membahayakan nyawamu, hanya membuat otot-ototmu lemas, aku dapat mengobatimu...“

Gadis itu lalu mengeluarkan beberapa batang jarum emas dan perak yang di bungkus rapi dari balik bajunya. Kemudian ia mulai menusukkan jarum-jarum itu pada jalan-jalan darah di tubuh Han Sin. Kemudian ia mengeluarkan sebungkus obat bubuk merah dan mencampurnya dengan air teh yang tadi dibawanya. “Minumlah ini...“

Han Sin menaati permintaannya. Setelah kurang lebih seperempat jam, mereka dikejutkan oleh ketukan pada pintu dua kamar di sebelah.

“Jangan takut, itu tentu pelayan yang mengantar makanan kepada suami istri itu dan kepada kamar gadis ini...“

Dari kamar itu mereka dapat mendengar suara tawa bergelak dan cekikikan dari suami isteri yang menerima kiriman makanan dan minuman. Kim Lan membuka daun pintu perlahan dan melihat pelayan masih mengetuk pintu kamar Kui Ji, ia lalu menggapai dan pelayan itu menghampirinya dan berkata “Nona, ini makanan dan minuman untuk nona“

Kim Lan mengangguk dan mengedipkan matanya, lalu menyuruh pelayan itu pergi setelah ia menerima baki terisi makanan dan minuman itu dan meletakkannya di atas meja. Pintu kamar di tutupnya kembali dan ia melanjutkan pengobatannya. Setelah jarum-jarum itu di getar-getarkan beberapa kali, ia mencabuti kembali jarum-jarum itu. Lalu diperiksanya badan Han Sin.

Han Sin merasa betapa kini dia mampu menggerakkan sin-kangnya. Pada saat di menggerakkan sin-kangnya, Kim Lan sedang memeriksa nadinya dan gadis itu terkejut bukan main, cepat melepaskan lengan Han Sin.

“Aih, engkau memiliki sin-kang yang kuat sekali“ kat anya lirih sambil memandang dengan heran kepada pemuda itu.

Akan tetapi Han Sin seperti tidak mendengar ucapan itu. Dia t lerlalu girang dan cepat-cepat dia menjura sampai dalam di depan gadis itu. “Nona, Banyak terima kasih ku haturkan kepadamu. Engkau telah menyembuhkan ku. Aku sudah terbebas dari pengaruh racun itu!“

“Bagus, akan tetapi harap jangan tergesa-gesa mencoba untuk membebaskan diri. Mereka itu terlalu lihai dan kalau engkau melarikan diri sekarang, tentu mereka akan mencurigai pelayan dan orang-orang Hwa-li-pang, Mungkin mereka menjadi marah dan mengamuk di sini. Karena itu, kalau hendak melarikan diri, tunggu sampai malam nanti“

“Aku mengerti, nona. Akan ku taati petunjuk mu. Akan tetapi, siapakah engkau nona? Aku harus mengetahui nama penolongku...“

Kim Lan tersenyum dan memandangnya. Pertemuan dua pasang sinar mata itu membuat Han Sin terpesona. Dia merasa seolah-olah sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang langsung menembus menghujam ulu hatinya!

“Tidak perlu kau ingat lagi sedikit bantuan ini, hati-hati, bersikaplah biasa seperti tadi, dan katakan bahwa pelayan datang mengirim makanan untuknya. Ajaklah dia makan minum agar ia bergembira dan tidak menaruh curiga...“

Kim Lan cepat keluar dari kamar itu dan ketika di ambang pintu, ia membalik, memandang ke arah tubuh Kui Ji, lalu ia mengangkat tangan kirinya, jari-jari tangannya bergerak ke arah Kui Ji. Aneh sekali, Kui Ji menguap dan mengeluh, kemudian bergerak. Akan tetapi daun pintu telah tertutup kembali dan Kim Lan sudah pergi dari situ.

“Aihhhhh... aku mengantuk. Ehhhhhhhh? Apa aku tertidur?“ Kui Ji memandang pada Han Sin.

“Hemmm, engkau tertidur pulas sampai tidak tahu ada pelayan mengantar makanan ke kamar mu. Aku suruh ia menaruhnya di atas meja ini. Marilah kita makan, perut ku sudah lapar...“

“Hik-hik-hik, engkau mengajak aku makan? He-he, nah begitulah suamiku, bersikaplah manis dan mencintaiku, habis siapa lagi?“ Dalam ucapan yang janggal ini terkandung penyesalan dan diam-diam Han Sin merasa kasihan kepada gadis yang seolah haus akan kasih sayang ini.

Mereka lalu makan minum dan Han Sin benar-benar bersikap ramah kepada Kui Ji sehingga gadis ini menjadi semakin kegirangan. Akan tetapi setelah selesai makan, Han Sin minta agar Kui Ji kembali ke kamarnya.

“Sekarang kembalilah ke kamarmu, adik Kui Ji yang baik. Aku ingin beristirahat...“

Kui Ji dengan manja menggandeng lengan Han Sin, “Aihhh, suamiku kenapa aku tidak boleh beristirahat bersamamu di kamar ini?“

“Jangan Kui Ji, kalau saja mertua melihatnya tentu dia akan menjadi marah...“ sekali ini Han Sin bicara dengan keras dengan harapan agar terdengar oleh suami isteri yang berada di sebelah.

“Aaih, suamiku...“ Kui Ji masih membantah dan merengek. Tiba-tiba daun pintu terbuka dan muncullah Kui Mo dan Liu Si.

“Kui Ji, apa yang kau lakukan di sini? Tidak tahu aturan kau! Hayo kembali ke kamarmu. Mana ada pengantin wanita berkeliaran ke kamar pengantin pria, padahal mereka belum menikah dengan sah?“ Liu Si menghampiri anaknya dan menjewer telinganya, lalu dituntunnya keluar dari kamar itu sambil mengomel.

Kui Mo memandang Han Sin sambil tersenyum menyerengai dan mengangguk. “Bagus, mantuku. Engkau harus mengajar kesopanan kepada anakku itu!“ Lalu dia membalikkan diri dan keluar dari kamar itu dengan langkah lebar.

Han Sin menutupkan daun pintu kamarnya lagi dan memasang palang pintunya. Dia tidak mau di ganggu lagi. Lalu dia duduk bersila di atas pembaringan dan menggerakkan kedua tangan, menyembah ke atas lalu kedua tangan di tarik ke bawah, melewati dada sampai ke ta-tian. Semua ini dia lakukan sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya di jaliri hawa hangat itu. Tidak ada otot yang buntu.

Kesehatannya pulih sama sekali! Tentu saja dia merasa girang bukan main dan sepasang mata yang indah itu tiba-tiba terbayang olehnya. Pemilik sepasang mata itulah yang telah menyelamatkannya. Tidak mungkin dia dapat melupakan mata itu. Dia lalu memejamkan mata dan duduk bersemedhi untuk menghimpun kekuatannya.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Sesosok bayangan hitam dengan gesitnya berjalan diatas kuil Hwa-li-pang. Langkah-langkahnya bagaikan langkah seekor kucing saja, tidak mengeluarkan bunyi. Para anggota Hwa-li-pang yang tinggal di kuil itu sama sekali tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi tidak demikian dengan Kim Lan. Gadis cantik yang malam itu tinggal di kuil, dari dalam kamarnya ia dapat mengetahui bahwa di atas genteng kuil ada seorang yang sedang berjalan dengan gerakan ringan.

Pendengarannya yang terlatih dapat menangkah langkah-langkah itu, walaupun hampir tidak mengeluarkan bunyi. Ia tersenyum dan meniup lilin di atas mejanya, membuka daun jendela kemudian melompat keluar dari jendela. Ketika ia tiba diluar dan memandang ke atas, dilihatnya sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali. Ia pun cepat melompat naik ke atas atap kuil, melakukan pengejaran.

Bayangan hitam itu kelihatan terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik berpakaian serba putih. Akan tetapi bayangan hitam itu tidak sempat lari melarikan diri dan dia menghadapi Kim Lan dengan tongkat di tangan.

“Hemmm, bukankah engkau pengemis yang tadi pagi minta sepatu dari ketua Hwa-li-pang?” Tegur Kim Lan sambil memandang tajam.

Cuaca hanya mendapat penerangan dari bintang-bintang sehingga keadaannya hanya remang-remang saja, akan tetapi Kim Lan dapat mengenali pengemis muda yang pagi tadi bertanding melawan nenek gila.

“He-he, dan bukankah engkau gadis berpakaian putih yang pagi tadi bersembahyang di kuil?“ pengemis muda itu balas menegurnya.

“Mau apa engkau dat ang ke kuil malam-malam begini dan mengambil jalan seperti seorang penjahat? Apakah engkau hendak mencuri atau merampok sesuatu di kuil ini?” Kim Lan menegur pula.

“Dan engkau sendiri, bukan penghuni kuil mengapa tinggal di sini?" Pengemis muda itu balas menegurnya.

Kim Lan berpikir sejenak. Agaknya pengemis muda itu bukan penjahat dan ia sendiri baru saja kembali dari rumah induk setelah berhasil mengobati pemuda yang di tawan keluarga gila itu. Kalau terlalu lama mereka berdua bicara diatas kuil, mungkin saja akan terlihat oleh keluarga gila itu yang berada di rumah induk. Ia harus berhati-hati.

“Sobat, marilah kita bicara di bawah!“ katanya dan Kim Lan mendahului pengemis itu melayang ke bawah.

“Baik! Aku memang membutuhkan penjelasanmu!" kata si pengemis yang juga melayang turun. Hampir berbareng mereka tiba dibawah dan dan kaki mereka tidak menimbulkan suara ketika mereka hinggap di atas lantai. Dari gerakan ini saja keduanya mengerti bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang memeliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali.

Kini mereka dapat saling pandang dengan jelas, dibawah sinar lampu gantung. Pada saat itu, anggota Hwa-li-pang yang menjadi kepala penjaga kuil, terbangun dan mendengar percakapan itu iapun keluar dari kamarnya dan memandang heran kepada pengemis muda itu.

“Heiii! Laki-laki dilarang memasuki kuil! Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?“ Bentaknya.

“Ssstttt, aku bukan penjahat...“ pengemis muda itu menaruh jari telunjuknya di depan mulut. “Mari kita bicara di dalam...“

Mereka lalu memasuki ruangan belakang dan Kim Lan memandang tajam lalu bertanya. “Sobat, engkau harus menjelaskan kepada kami apa maksudmu melam-malam begini memasuki kuil lewat atap?“

“Aku hendak menyelidiki dimana keluarga gila dan pemuda berpakaian putih itu berada...“ jawab si pengemis muda.

“Mau apa engkau menyelidiki itu?”

“Nona baju putih, apakah engkau tidak melihat? Keluarga gila itu jahat dan meraka telah menawan pemuda pakaian putih itu yang hendak di nikahkan dengan puteri keluarga gila. Aku yakin bahwa pemuda itu di tekan dan terpaksa menuruti kehendak mereka. Karena itu aku ingin membebaskannya dari cengkraman keluarga gila itu!“

Mendengar ini dan menatap sepasang mata yang tajam itu, Kim Lan merasa lega. “Bagus sekali kalau begitu karena akupun mempunyai niat yang sama. Kalau begitu kita dapat bekerja sama, sobat!“

Pengemis muda itu memandang gembira, “Ah, begitukah? Aku pergi tadi melihat nona di antara mereka yang sembahyang, tidak ku sangka sama sekali bahwa nona adalah seorang gadis yang berilmu tinggi dan aku senang sekali bekerjasama dengan nona untuk menolong pemuda tolol yang menjadi tawanan itu!“

“Akupun senang dapat bekerjasama denganmu, adik yang baik. Akan tetapi bolehkah kami mengetahui namamu dan siapa pula gurumu?“

Pemuda pengemis itu tersenyum dan wajahnya yang berlepotan itu nampak tampan sekali ketika ia tersenyum. “Enci yang baik, namaku Cu Sian dan tentang guruku, dia adalah mendiang ayahku sendiri. Aku berasal dari Tiangan“

“Kuharap aku salah menyangka ketika menanyakan tadi apakah engkau hendak mencuri atau merampok..." kata Kim Lan. “Ternyata engkau hendak menolong pemuda itu, maafkanlah aku dan namaku adalah Kim Lan...“

Pengemis itu mengerutkan alisnya dan cemberut. “Enci Lan, jangan memandang remeh kepadaku. Biarpun aku seperti kere begini, akan tetapi aku tidak pernah mencuri atau merampok. Bekalku cukup banyak, lihatlah...“ Dia mengeluarkan sebuah kantung kain dari sakunya dan membuka kantung itu. Ternyata isinya penuh dengan potongan-potongan emas.

Kim Lan tersenyum. “Aku tadi sudah minta maaf, adik Cu Sian. Sekarang aku ingin bertanya bagaimana caramu hendak menolong pemuda itu?“

“Bagaimana lagi? Tentu dengan mencari kamarnya, kalau sudah kudapatkan, aku memasuki kamarnya, menotoknya dan membawanya lari keluar dari sini!“

“Aihhh, engkau terlalu memandang ringan keluarga gila itu. Mereka itu sungguh lihai dan kalau engkau menggunakan cara itu, sebelum memasuki kamar pemuda itupun engkau sudah akan ketahuan dan di keroyok. Pagi tadi engkau sudah merasakan betapa hebatnya kepandaian nenek gila itu. Puterinya juga lihai, apalagi suaminya...“

“Aku tidak takut!” Pengemis muda itu berkata dengan nada menantang.

“Bukan soal takut atau berani,“ kata Kim Lan yang wataknya sabar dan tenang. “Akan tetapi kalau terjadi begitu, berarti engkau telah gagal membebaskan pemuda itu. Sebaliknya kalau engkau bekerjasama dengan kami, tentu akan berhasil...“

Cu Sian segera memperhatikan gadis itu dengan mata mengandung penuh pertanyaan. “Bagaimana caranya, enci? Katakanlah, tentu saja aku suka bekerjasama denganmu agar usaha kita berhasil menyelamatkan pemuda tolol itu...“

Kim Lan tersenyum mendengar pemuda itu di tolol-tololkan oleh pengemis muda itu. “Kalau dia itu pemuda tolol, lalu kenapa engkau berkeras menolongnya?“

“Enci Lan, justeru karena dia tolol maka aku ingin menolongnya! Kalau dia tidak tolol, tidak mungkin akan dapat di tawan keluarga gila itu! Nah, bagaimana cara kita untuk membebaskannya?"

Begini, malam ini sebaiknya engkau jangan bertindak. Kalau engkau bertindak, bukan saja engkau akan gagal, akan tetapi juga keluarga gila itu akan mencurigai Hwa-li-pang dan tentu akan membalas dendam kepada Hwa-li-pang. Sebaiknya besok malam saja engkau datang lalu kita mengatur siasat agar pemuda itu dapat lolos akan tetapi keluarga gila itu tidak menuduh Hwa-li-pang ikut bersekutu untuk membebaskan tawanan mereka...“

Kim Lan lalu dengan singkat menceritakan betapa ia telah mengobati pemuda tawanan itu yang ternyata keracunan. Kemudian mereka bercakap-cakap bertiga, membicarakan rencana mereka untuk membebaskan pemuda itu besok malam. Setelah itu, Cu Sian lalu meninggalkan kuil itu karena bagaimanapun juga, Kepala penjaga kuil merasa keberatan kalau seorang pria bermalam di kuil itu.

Pada keesokan harinya, keluarga gila itu masih belum menaruh curiga. Han Sin bersikap biasa saja, tetap kelihatan lemas t lak berdaya dan hanya senyum-senyum ketololan, Mereka kelihatan senang tinggal di Hwa-li-pang, namun ternyata bahwa keluarga ini tidak membuat ulah yang macam-macam.

Malamnya, semua telah direncanakan oleh Kim Lan dan Cu Sian. Bahkan Han Sin telah diberitahu oleh Kim Lan dengan cara menyeludupkan tulisan ketika ia menyamar sebagai pelayan dan mengirim makanan ke kamar Han Sin. Dari surat yang di selundupkan itu Han Sin mengetahui bahwa gadis berpakaian putih bermata bintang itu telah menyusun rencana untuk menyelamatkannya dan meloloskannya tanpa membuat keluarga gila itu mencurigai Hwa-li-pang. Maka, malam itu diapun sudah siap siaga, menanti gerakan pengemis muda yang di ceritakan dalam surat Kim Lan. Pengemis muda itu akan memancing agar suami isteri gila itu meninggalkan kamar mereka di sebelah kamarnya.

Pek Mau To-kouw juga sudah tahu akan rencana itu, dan ia bersikap biasa pura-pura tidak tahu saja. Demikian pula, semua anak buah Hwa-li-pang di pesan agar malam itu tidak mencampuri keributan yang terjadi situ, kecuali belasan orang yang berjaga yang diberi tugas untuk mengeroyok Cu Sian kalau pengemis muda itu muncul. Tentu saja pengeroyokan inipun hanya siasat Kim Lan saja.

Malam itu sunyi karena hawa udara di luar amat dinginnya. Juga cuaca hanya remang-remang oleh cahaya jutaan bintang. Tiba-tiba keheningan malam itu dipecahkan oleh suara yang lantang, yang datangnya dari halaman rumah induk Hwa-li-pang.

“Haiiii...! Nenek gila, keluarlah kalau memang engkau berani dan gagah! Kita lanjut kan pertandingan kita kemarin dulu! Hayo keluar! Apakah engkau pengecut gila yang tidak berani menyambut tantangku!“

Mendengar teriakan lantang ini, belasan orang anggota Hw a-li-pang yang pada malam hari itu bertugas jaga, segera berlari-lari mendatangi halaman itu. Di situ telah berdiri seorang pengemis muda berbaju hitam yang memegang tongkat.

“Pengemis kurang ajar! Hayo minggir dari sini!“ Bentak para penjaga dan mereka segera mengepung dan mengeroyok pengemis muda. Cu Sian, pengemis itu melayani pengeroyokan mereka dengan tongkatnya dan dalam beberapa gebrakan saja sudah ada empat orang anggota Hwa-li-pang yang terpelanting ke kanan kiri!

“Heeiii, Nenek gila! Pengecut kau, berlindung di belakang orang-orang Hwa-li-pang! Hayo keluar, nenek pengecut gila!“ Cu Sian memaki-maki dengan suara lantang sambil berlompatan ke sana kemari melayani pengeroyokan para penjaga itu. Kembali dua orang terpelanting roboh oleh sapuan tongkatnya.

Teriakannya yang lantang itu tentu saja terdengar oleh suami istri gila yang berada di kamar mereka. Liu Si menjadi marah sekali karena dia di tantang dan dimaki pengecut.

“Jahanam busuk, itu tentu pengemis kelaparan itu!” bentaknya dan ia pun melompat keluar dari kamarnya. Kui Mo yang tidak ingin melihat isterinya celaka, segera melompat pula mengejar isterinya menuju ke halaman depan. Mereka berdua segera melihat betapa pengemis muda yang kemarin dulu berkelahi dengan Liu Si mengamuk dan merobohkan banyak anggota Hwa-li-pang sehingga kepungan itu menjadi kocar kacir.

Liu Si marah sekali. “Setan cilik, kiranya engkau yang mengantar kematian! Mundur kalian semua!“ teriaknya.

Mendengar teriakan ini, sisa anggota Hwa-li-pang yang mengepung Cu Sian segera mundur dan membiarkan nenek itu menghadapi Cu Sian.

Melihat nenek itu, Cu Sian tertawa bergelak, “ha-ha-ha, ku kira engkau hanya seorang nenek pengecut yang berlindung pada Hwa-li-pang. Kalau memang berani dan gagah, mari kita berkelahi sampai mati diluar agar orang-orang Hwa-li-pang tidak mengeroyok ku!“ setelah berkata demikian, dia tidak memberi kesempatan kepada nenek itu untuk menjawab karena tubuhnya sudah melompat jauh dan berlari keluar dari pintu halaman.

“Setan, siapa takut padamu!“ Liu Si membentak dan ia pun lari keluar mengejar. Suaminya juga mengejar, akan tetapi anak buah Hwa-li-pang tidak ada yang ikut mengejar, seolah tidak mau terlibat urusan keluarga gila itu.

Teriakan Cu Sian yang memecahkan kesunyian malam itu terdengar pula oleh Han Sin dan Kui Ji. Gadis gila yang tak pernah melepaskan perhatiannya terhadap Han Sin, segera keluar dari kamarnya dan menerjang daun pintu kamar Han Sin sehingga terbuka. Ia meloncat ke dalam memegang tongkat ularnya. Ia melihat Han Sin juga sudah bangun dari tidurnya dan pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan, Kui Ji tertawa girang.

“Suamiku yang baik, engkau terbangun oleh ribut-ribut itu. Jangan takut, aku datang melindungimu...“ Kui Ji menghampitri pembaringan.

Han Sin t ersenyum, kesehatannya telah pulih dan kalau dia menghendaki tentu saja sejak pagi tadi dia dapat melarikan diri atau kalau perlu melawan keluarga gila itu. Akan tetapi dia menaati pesan dalam surat nona baju putih itu. Dia harus melarikan diri sehingga tidak melibat kan Hwa-li-pang.

“Kui Ji, sekarang tiba saatnya aku membebaskan diri darimu!“ berkata demikian, Han Sin melompat turun dari pembaringan.

Melihat gerakan Han Sin yang gesit. Kui Ji terkejut dan heran, akan tetapi tentu saja ia tidak ingin Han Sin melarikan diri maka ia lalu menyerang dengan tongkat ularnya untuk menotok roboh pemuda itu. Makin terkejutlah Kui Ji ketika tongkat itu dengan mudah di tangkap oleh Han Sin dan sekali pemuda itu mendorong Kui Ji terjengkang dan terguling-guling di lantai kamar. Gadis itu melihat Han Sin meloncat keluar jendela. Ia juga meloncat bangun, dan melakukan pengejaran keluar dari jendela kamar itu.

Setibanya diluar jendela, ia menengok ke kanan kiri karena tidak melihat bayangan Han Sin, mendadak ada bayangan putih berkelebat di depan kiri dan bayangan putih itu berlari memasuki kebun samping bangunan. Kui Ji girang dan meloncat mengejar sambil berteriak,

“suamiku... tunggu... jangan tinggalkan aku...“

Bayangan putih itu berlari terus dan setibanya di pagar tembok belakang. Ia melompat ke atas pagar tembok dan dari situ melayang keluar. Kui Ji tidak mau kehilangan yang di kejarnya, maka ia pun meloncat naik ke atas pagar tembok. Dari atas pagar ini dilihatnya bayangan putih itu berlari menuju ke selatan, maka iapun melayang keluar pagar tembok dan terus mengejar ke selatan.

Akan tetapi setelah tiba di luar sebuah hutan, tiba-tiba bayangan putih di depan itu lenyap. Kui Ji menjadi bingung dan menghentikan larinya, hanya berjalan sambil memandang ke kanan kiri. Ketika melihat seorang yang berpakaian putih sedang duduk di bawah pohon, iapun cepat menghampiri. Akan tetapi setelah tiba di depan orang itu, ia merasa kecewa karena orang itu adalah seorang wanita berpakaian putih, bukan Han Sin!

“Hei, kau...“ tegurnya. “Apakah engkau melihat suamiku yang juga berpakaian putih-putih lewat sini tadi?”

Orang itu bukan lain adalah Kim Lan. Seperti yang telah di rencanakan, malam itu ia menanti di dekat jendela kamar Han Sin, siap membantu kalau-kalau pemuda itu mengalami kesulitan melepaskan diri dari pengejaran Kui Ji. Akan tetapi ia melihat Han Sin keluar dari jendela dan berlari menuju ke belakang bangunan seperti direncanakan pemuda itu telah lenyap ketika Kui Ji nampak keluar dari jendela itu.

Maka, ia melakukan tugasnya yang kedua, yaitu memancing Kui Ji untuk mengejarnya ke jurusan yang berlawanan dengan larinya Han Sin. Ia berhasil, karena cuaca yang gelap membuat ia hanya kelihatan seperti bayangan putih, seperti juga Han Sin yang berpakaian serba putih. Ia menggunakan gin-kang untuk berlari keluar dari kebun dan menuju ke hutan itu.

Padahal, seperti rencana Han Sin berlari ke jurusan yang berlawanan, yaitu ke utara. Setelah yakin bahwa pemuda itu sudah dapat berlari juah dan Kui Ji kehilangan jejaknya. Ia lalu berhenti di bawah pohon sampai di tegur oleh Kui Ji...