Pedang Naga Hitam Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SUDAH lazim bahwa orang yang ditinggalkan seseorang yang dikasihinya akan merasa kesepian dan kehilangan. Demikian pula Ji Goat, nyonya janda itu, begitu Han Sin pergi, ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan menangis seorang diri di dalam rumahnya. Ia merasa semangatnya terbang pergi mengikuti puteranya. Akan tetapi, nyonya yang gagah ini akhirnya dapat menekan kesedihan hatinya dan melaw annya dengan harapan bahwa puteranya akan berhasil menemukan pedang suaminya dan berhasil pula membalasa dendam kematian suaminya. Harapan ini dapat menghibur hatinya.

Duka memang datang atau lahir dari pikiran yang merasa iba kepada diri sendiri, karena di tinggalkan. Pikiran ini menguyah-nguyah keadaan dirinya itu, seperti meremas-remas perasaan hatinya sendiri penuh iba diri dan timbulah duka. Kemudian pikiran yang itu juga menciptakan harapan-harapan yang menjadi pegangannya dan harapan ini menjadi penolongnya sehingga ia dapat melupakan kedukaannya. Ia tidak tahu bahwa justru harapan ini yang kelak akan mendatangkan kekecewaan dan duka baru kalau tidak terlaksana seperti yang diharapkannya.

Manusia selalu di ombang-ambingkan dan dipermainkan oleh pikirannya sendiri. Berbeda dengan orang yang di tinggalkan, orang yang meninggalkan tidak terlalu di cekam rasa kesepian atau kehilangan. Hal ini adalah karena yang meninggalkan menghadapi hal-hal baru, pengalaman-pengalaman baru sehingga perhatiannya selalu tertuju ke depan.


Han Sin juga tidak mengalami rasa duka seperti ibunya yang di tinggalkannya, bahkan dia merasa gembira, merasa bebas lepas seperti seekor burung di udara. Dia boleh pergi kemana saja dia suka, boleh berbuat apa saja yang dikehendakinya. Boleh memutuskan segala hal menurut kehendaknya sendiri. Dia baru sekali ini merasakan sebagai seorang manusia yang utuh, majikan dari dirinya sendiri, tanpa kekangan. Ibunya benar, pikirnya. Dia harus meluaskan pengalaman dalam hidup ini agar tidak menjadi seperti seekor katak dalam tempurung.

Pemuda itu tersenyum seorang diri. Seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam lebat itu diikatkan dengan kain sutera kuning. Dahinya lebar, sepasang alis hitam tebal berbentuk golok. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum manis. Sepasang matanya bersinar lembut, selalu berseri karena dia memang pada dasarnya seorang pemuda yang berwatak riang gembira. Dagunya yang berlekuk itu membayangkan kejantanan walaupun pandang mata yang lembut, mulut yang tersenyum dan sikap yang sederhana itu membayangkan kerendahan dan kelembutan hati.

Memang Han Sin bersikap sederhana, sama sekali tidak ada bekas-bekasnya sebagai put era seorang panglima besar! Dia lebih mirip seorang pemuda dusun yang terpelajar, seorang pemuda sastrawan miskin dari dusun. Pakainnya juga sederhana dan ringkas. Buntalan di punggungnya dari sutera kuning juga tidak terlalu besar karena dia hanya menyimpan beberapa stel pakaian dalam bungkusan itu. Sama sekali dia tidak membawa senjata. Bagi Han Sin yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, kaki tangannya sudah merupakan senjata yang ampuh dan segala macam benda dapat saja dia pergunakan sebagai senjata tambahan, maka dia tidak memerlukan senjata sebagai bekal.

Hal ini pun di nasehatkan oleh ibunya. Kalau dia tidak membawa senjata, maka tidak ada yang akan tahu bahwa dia seorang ahli silat yang tangguh dan hal ini menjauhkan gangguan. Sudah lajim di dunia kang-ouw bahwa orang yang membawa-bawa senjata akan mudah bertemu lawan yang ingin mengujinya. Beberapa potong emas yang dia terima dari ibunya, di taruh di dalam buntalan. Han Sin ingin tertawa kalau teringat akan nasihat ibunya. Ibunya berpesan kepadanya bahwa kalau sampai dia kehabisan bekal di dalam perjalanan, dia boleh saja mengambil uang itu dari rumah seorang hartawan atau bangsawan!

“Akan tetapi ingat, engkau mencuri uang bukan untuk bersenang-senang, melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan janganlah sekali-kali membikin susah orang yang uangnya kau curi. Seorang hartawan besar tidak akan merasa kehilangan kalau kau ambil uangnya sedikit. Jangan ganggu orang yang hanya memiliki sedikit harta atau engkau boleh merampas harta para perampok...“

Ibunya mengajarkan dia untuk mencuri! Dia tidak akan melakukan itu, kalau tidak amat sangat terpaksa. Dia sendiri sedang mencari seorang pencuri pedang. Bagaimana sekarang dapat menjadi pencuri uang? Akan tetapi dia maklum apa yang dipesankan oleh ibunya itu. Han Sin melakukan perjalanan kejurusan timur dan dia sudah mendengar bahwa kalau dia terus ke timur, sampai di sungai kuning dia akan tiba di kot a Lok-yang. Dia bermaksud pergi ke Lok-yang dan dari sana dia baru akan mebelok ke utara dan barat menyusuri Sungai Kuning. Tujuannya adalah ke Shansi. Karena di daerah Shansi itulah ayahnya tewas ketika pasukan yang dipimpin ayahnya bertempur melawan pasukan musuh dari utara.

Ketika malam tiba, Han Sin bermalam di sebuah dusun. Seorang petani menawarkan rumahnya untuk dia tinggal semalam itu, Pertemuan itu terjadi di ladang pada sore hari itu ketika Han Sin menuruni bukit dan menghampiri dusun yang tadi nampak dari atas bukit. Dia melihat seorang petani masih mencangkul ladangnya pada senja yang telah mulai gelap itu. Timbul perasaan iba dihatinya. Petani itu rajin sekali, pikirnya dan tentu seorang petani miskin yang terpaksa bekerja keras untuk mencukupi penghasilannya.

“Selamat sore, Paman. Wah, paman rajin sekali, hari sudah hampir gelap masih bekerja diladang!“ tegur Han Sin ramah sambil duduk di tepi ladang itu di atas akar-akar pohon yang menonjol.

“Selamat sore, kongcu (tuan muda). Ah, rajin sih tidak, melainkan terpaksa karena saya hanyalah buruh tani. Ladang ini bukan milik saya sendiri, melainkan milik tuan tanah dan kalau saya tidak bekerja keras, upah saya tentu tidak cukup untuk biaya hidup...“

Han Sin menghela napas panjang, lagu lama yang di dengarnya ini. Sayang ladang yang luas dimiliki oleh para tuan tanah dan petani seperti orang ini hanya hidup sebagai buruh tani dengan upah yang sedikit. Tak sepadan dengan keringat mereka yang menetes-netes ketika bekerja keras.

“Ah, tidak. Saya hidup sebat angkara, tidak berani berkeluarga karena penghasilanku kecil. Untuk diri saya sendiri saja hampir tidak cukup, hanya untuk sekedar makan dan pakaian yang sederhana...“ Petani itu sudah merasa lelah dan mendengar ada orang begitu menaruh perhat ian kepada dirinya, dia lalu duduk di atas pematang sawah di dekat Han Sin.

“Sungguh sayang sekali tuan-tuan tanah itu tidak dapat menghargai jasamu yang besar, paman...“

“Ah, kongcu. Saya hanya pekerja tani, mencangkul dan menanam lalu menuai, yang memiliki tanah adalah mereka, mana dapat dikat akan jasaku besar?"

“Paman, kalau tidak ada orang-orang tani seperti paman ini, bagaimana orang-orang seperti saya dan semua orang yang tinggal di kota dapat makan? Setiap tetes keringat paman yang membasahi tanah dan menjadi pupuk bagi tanaman, amatlah berharga. Pekerjaan paman adalah pekerjaan yang paling mulia, namun sayangnya semua orang melupakannya bahkan memandang rendah kaum petani. Bahkan para tuan tanah memeras tenaga kalian. Sungguh menyedihkan...“

“Akan tetapi kami sudah biasa hidup begini, kongcu...“

“Bahagiakah hidupmu, paman?“

Petani itu memandang dengan mata penuh mengandung pertanyaan, kemudian dia bertanya, “Kongcu, kebahagiaan itu apakah yang dinamakan bahagia itu bagaimanakah?“

Di tanya begini, Han Sin tertegun. Apa sih kebahagiaan itu? Apakah dia sendiri juga bahagia? Pernahkah dia merasa bagagia? Dia sendiri tidak tahu maka diapun menjawab asal saja, keluar dari pendapat pikirannya. “Bahagia itu.... kalau paman merasa senang dan puas dengan keadaan hidup paman, tidak pernah merasa susah...“

“Ah, begitukah? Kalau begitu aku tidak butuh bahagia itu. Asalkan aku menerima upah, dapat membeli makanan dan pakaian, sudah senanglah hatiku. Aku tidak menginginkan apa-apa juga tidak membutuhkan kebahagiaan itu...“

Han Sin kembali tertegun. Tidak butuh bahagia? Dan bagaimana mencari kebahagiaan itu? Kemana mencarinya dan bagaimana akan dapat mengenalnya kalau dia belum pernah merasakan? Teringatlah dia akan wejangan Tiong Gi Hwesio tentang kebahagiaan.

Kebahagiaan adalah keadaan jiwa yang tidak terganggu oleh nafsu-nafsu melalui hati akal pikiran. Jiwa yang tenang, tentram dan diam. Kebahagiaan adalah keadaan tidak apa-apa, seprti keadaan air telaga yang diam tanpa keriput sedikit pun juga karena terganggu angin. Kalau begitu, kebahagiaan itu sudah ada pada setiap manusia, bilamana hatinya dalam keadaan hening tenang, seperti orang sedang tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi. Kalau nafsu akal pikiran dat ang mengusik maka orang akan merasa tidak bahagia. Akan tetapi bila pengganggunya itu menghilang, kebahagiaan akan selalu ada. Maka, tidak mungkin bahagia itu dicari karena memang selalu sudah ada!

Hanya tertutup oleh ulah nafsu akal pikiran, akan makin nampak lah kebahagiaan itu. Petani itu tidak butuh bahagia karena dia sudah berbahagia! Dengan upah kecil dan keadaan miskin sekalipun, bahagia tidak pernah meninggalkan bathin manusia selama manusia dapat menerimanya tanpa menimbulkan gelombang yang akan mengganggu kebahagiaannya. Dengan sepotong tembaga orang dapat saja berbahagia. Sebaliknya dengan memiliki segunung emas belum tentu orang itu berbahagia!


Han Sin bangkit dan wajahnya berseri. “Kalau begitu engkau seorang yang berbahagia, paman! Kau berbahagia!“

Petani itu memandang heran kepada pemuda yang bergembira itu dan agaknya dia menyangsikan apakah pemuda didepannya itu waras ataukah tidak. “Aku? Berbahagia? Entahlah, aku tidak butuh bahagia. Akan tetapi kongcu ini orang dari manakah? Dan apa yang kongcu cari di sini?"

“Aku seorang perantau yang kebetulan lewat disini dan kemalaman, paman. Aku mencari rumah penginapan untuk dapat melewatkan malam ini...“

“Waah, di dusun kami tidak ada rumah penginapan, kongcu...!“

“Kalau begitu aku akan mencari kuil atau rumah kosong untuk melewatkan malam ini...“

“Kuil juga tidak ada, apa pula rumah kosong. Akan tetapi kalau kongcu mau, boleh kongcu menginap di rumah saya yang buruk. Saya hanya tinggal seorang diri di rumah itu...“

Han Sin tersenyum girang. “Ah, engkau baik sekali paman. Tentu saja aku suka tinggal dirumah paman!“

“Kalau begitu, mari kita pulang...“ Petani itu mencuci kaki tangannya dengan air saluran yang terdapat didekat ladangnya, kemudian memanggul cangkulnya dan mengajak Han Sin pulang ke rumahnya yang berada di tepi dusun itu.

Rumah itu memang sederhana sekali, akan tetapi lumayanlah untuk melewatkan malam, dari pada berada di tempat terbuka. Ada pula sebuah meja dan dua buah kursinya terbuat dari kayu secara kasar. Tidak mempunyai perabot lain, akan tetapi ada sebuah tempat tidur yang kecil dan isinya hanya sebuah dipan kayu sederhana.

“Silahkan duduk, kongcu. Beginilah tempat tinggalku, akan tetapi bagiku amat menyenangkan...“ Petani itu lalu menyalakan penerangan.

Han Sin menghela napas. Betapa pun miskinnya keadaan seseorang, kalau orang itu tidak mengeluh dan dapat menerima dengan hat i jauh dari pada iri, keadaan itu tetap akan mendat angkan perasaan senang! Jadi jelaslah dia akan satu hal, yaitu bahwa kebahagiaan bukan terdapat di dalam kekayaan harta benda! Dan diapun mengerti mengapa ibunya sama sekali tidak berduka, bahkan nampak gembira setelah pindah ke rumah sederhana di susun, padahal tadinya mereka tinggal disebuah gedung besar menyerupai sebuah istana kecil di kota raja.

Dia mengerti kini akan makna wejangan gurunya bahwa setiap orang manusia haruslah dapat bebas dari ikatan apapun juga di dunia ini karena ikatan itulah yang mendatangkan duka. Kalau ibunya terikat oleh keadaan yang megah dan mewah di kota raja, tentu ibunya akan berduka kehilangan semua itu. Diam-diam dia merasa bangga akan sikap ibunya.

“Paman, perut ku terasa lapar dan aku yakin paman juga tentu lapar sekali setelah bekerja berat. Karena itu, harap paman suka membelikan masakan dan nasi di dusun ini. Dan juga arak untuk kita makan dan minum berdua...“

Han Sin membuka buntalannya dan mengeluarkan kantung uangnya. Dia mengambil beberapa keping uang dan menyerahkan kepada petani itu. Petani itu nampak tertegun melihat banyak potongan emas dalam kantung itu dan dengan tangan gemetar dia menerima uang itu.

“Di sini tidak ada yang menjual makanan, kongcu. Akan tetapi saya dapat menyuruh tetangga sebelah untuk membeli ayam dan bahan makanan untuk dimasak. Harap kong-cu menunggu sebentar...“

Tak lama kemudian pet ani itu sudah kembali membawa dua ekor ayam, beras dan beberapa macam sayuran berikut bumbu-bumbunya dan segera dia sibuk di bagian belakang rumahnya. Dia memasak ayam dan sayur itu dibantu oleh seorang wanita setengah tua yang pandai memasak dan ramailah mereka bekerja sambil bercakap-cakap.

Han Sin tersenyum. Mungkin bagi petani itu, peristiwa menyembelih ayam dan memasaknya dengan bermacam sayuran ini merupakan sebuah peristiwa yang istimewa. Terharu rasa hatinya membayangkan bahwa mungkin petani itu tidak pernah mampu membeli ayam, mungkin belum tentu sebulan atau dua bulan sekali merasakan daging. Menyembelih bagi mereka tentu merupakan sebuah pesta besar.

Setelah masakan itu selesai dan dihidangkan di atas meja, Han Sin lalu mengajak petani itu makan bersama-sama. Mula-mula petani itu dengan sungkan menolak, akan tetapi Han Sin memaksanya dan akhirnya petani itu mau juga makan bersama. Mereka makan dan minum sampai kenyang. Setelah selesai, makanan itu masih bersisa banyak dan oleh si petani lalu diberikan kepada tetangga yang tadi membantunya masak. Kemudian dia duduk bercakap-cakap dengan Han Sin.

“Paman, apakah sejak muda paman bekerja sebagai petani?“ tanya Han Sin. Dia melihat tadi gerak-gerik petani itu cukup gesit dan mengandung tenaga, bukan sepert i orang biasa. Juga perawakannya tegap dan menyembunyikan kegagahan.

Petani itu mengangguk. “sejak muda saya memang petani, kong-cu, tinggal disini sejak bertahun-tahun...“ jawab petani itu dengan pendek.

Karena merasa lelah melakukan perjalanan jauh sehari itu. Han Sin lalu mengatakan bahwa dia hendak mengaso.

“Kongcu tidurlah dikamar itu...“ kata sang petani.

“Akan tetapi tempat tidur itu hanya kecil, hanya cukup untuk seorang saja. Dan paman akan tidur dimana?“

“Ah, saya akan dapat mencari tempat tidur, itu urusan mudah, kong-cu. Saya bisa tidur dilantai bertilamkan tikar, atau dapat mengungsi ke rumah tetangga. Tidurlah kongcu...“

Han Sin tidak sungkan lagi, lalu memasuki kamar itu dan merebahkan dirinya di atas dipan. Dia membawa buntalannya dan meletakkan buntalan itu di dekat kepalanya di atas dipan. Malam itu sunyi sekali. Dalam kamar itu tidak terdapat penerangan, akan tetapi karena rumah itu terbuat dari pada bilik bambu, maka penerangan dari lampu di luar masuk dan mendatangkan penerangan yang remang-remang. Saking lelahnya, sebentar saja Han Sin sudah tidur pulas.

Menjelang tengah malam, biarpun sedang tidur nyenyak, Han Sin terbangun juga oleh suara berkerietnya daun pintu kamar itu dibuka orang. Begitu terbangun, seluruh urat syarafnya ditubuhnya telah siap dan dia menjadi waspada. Memang seluruh tubuhnya telah terlatih sehingga dia dapat siap dalam keadaan bagaimanapun juga. Dia tidak bergerak dan pura-pura masih pulas, akan tetapi matanya terbuka dan dia melihat bayangan orang di depan pintu kamarnya! Kemudian pintu itu terbuka dari luar dan nampaklah bayangan petani tuan rumah itu melangkah maju setapak demi setapak dengan kedua tangannya mengangkat cangkul tinggi-tinggi diatas kepalanya!

Bermacam perasaan mengaduk hati Han Sin. Heran, kecewa, penasaran dan juga geli. Petani yang siang tadi nampak demikian akrab dan manis budi, jujur dan lugu, bahkan yang dianggapnya seorang yang berbahagia hidupnya kini tiba-tiba saja berubah menjadi iblis yang siap membunuhnya! Membunuh seorang yang sedang tidur dengan darah dingin. Dia diam saja dan ketika orang itu sudah dekat dan mengayunkan cangkulnya ke arah kepalanya, secepat kilat Han Sin menggulingkan tubuhnya dari atas dipan.

“Croookkkk...!“ Dipan yang dihantam cangkul itu patah menjadi dua potong menunjukkan betapa kuatnya ayunan cangkul tadi.

Dan petani itu mengeluarkan seruan kaget melihat cangkulnya mengenai dipan dan orang yang diserangnya sudah tidak berada disitu lagi. Bahkan buntalannya pun sudah lenyap! Petani itu cepat meloncat keluar dari dalam kamar dan matanya terbelalak melihat Han Sin sudah duduk diatas kursi menghadapi meja dan buntalannya sudah berada pula di atas meja. Pemuda itu nampaknya tenang saja. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu.

Sejenak petani itu berdiri seperti patung, pandang matanya bingung dan ragu seolah dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi melihat pemuda itu duduk membelakanginya, tiba-tiba dia menerjang maju sambil mengayun cangkulnya ke arah kepala Han Sin dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

“Wuuuutttt... Plakkk!“

Han Sin menjulurkan tangannya ke belakang dan dapat menangkap gagang cangkul itu sambil memutar tubuhnya. Dia menarik cangkul itu lalu tangan yang sebelah lagi mendorong dengan telapak tangannya kearah dada petani itu.

“Buuukkkk...!“ Tubuh petani itu terjengkang dan terlempar sampai menabrak dinding sedangkan cangkulnya terampas oleh Han Sin. Pemuda itu meletakkan cangkul di atas tanah dan memandang kepada petani dengan mata mencorong.

Petani itu merasakan dadanya sesak dan kini maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang lihai. Barulah dia teringat akan keadaan dirinya, kesalahan yang dilakukannya dan setelah bangkit berdiri dia menundukkan mukanya, tidak tahan menentang pandangan mata yang siang tadi begitu lembut akan tetapi kini nampak mencorong itu dan berkata lirih.

“Saya... saya... telah bersalah, boleh kong-cu membunuh saya...“

Han Sin tersenyum. “Paman, duduklah..."

Orang itu menurut dan duduk di depan Han Sin terhalang meja, seperti sore tadi ketika mereka makan minum berdua. “Sekarang ceritakan mengapa paman melakukan perbuatan tadi dan siapa sebenarnya paman ini...“

Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, menelan ludah seperti mengumpulkan keberaniannya, kemudian dia berkata. “Kong-cu saya pernah menjadi seorang perampok di waktu muda, mengumpulkan harta benda dengan cara merampok. Akan tetapi lima belas tahun yang lalu, gerombolan perampok yang saya pimpin dibasmi habis oleh pasukan pemerintah. Istri dan anak-anak saya ikut tewas dalam pembasmian itu, harta benda saya habis. Saya menjadi orang buruan pemerintah. Setelah tertimpa bencana itu, yang merampas habis harta benda saya bahkan membasmi keluarga saya, saya menjadi sadar bahwa saya telah memetik buah daripada pohon tanaman saya sendiri. Maka saya mencuci tangan, mengubah jalan hidup saya. Saya menjadi petani, bahkan saya menyembunyikan keadaan saya dengan menyamar sebagai petani lemah yang hidup sebatang kara. Akan tetapi sore tadi muncul kong-cu. Sungguh mati, saya menyambut kong-cu dengan hati setulusnya dan saya merasa girang dapat menyambut kong-cu. Akan tetapi... ah, mengapa kong-cu membuka buntalan memperlihatkan emas yang demikian banyaknya? Saya tidak tahan melihatnya. Nafsu iblis telah mencengkram diri saya dan saya tidak menentangnya, maka saya mengambil keputusan untuk membunuh kong-cu dan merampas emas itu...“ Orang itu kembali menghela napas dan kini bahkan kedua matanya basah.

Han Sin mengangguk-angguk kembali dia teringat akan wejangan gurunya. “Godaan datang dari dalam hati akal pikiran sendiri melalui panca indera. Dan diantara semua penggoda, yang paling berbahaya adalah godaan harta benda. Harta benda dapat menutupi pertimbangan dan kebijaksanaan. Kita kehilangan kewaspadaan dan mau melakukan perbuatan apa saja demi harta benda.

Demikianlah wejangan dan sekarang dia melihat buktinya. Seorang yang sudah mengubah jalan hidupnya, begitu melihat emas di depan mata, menjadi lupa segalanya dan siap unt uk membunuh dengan cara pengecut untuk menguasai emas itu. Melihat emas merupakan kesempatan baginya. Andaikata dia tidak melihat emas itu, tidak mungkin akan timbul keinginan untuk menguasai dan membunuh pemiliknya.

“Sudahlah, paman, aku memaafkanmu. Dahulu, engkau sudah mendapat pelajaran bahwa perbuatan merampok itu mendatangkan akibat buruk kepadamu, keluargamu terbasmi habis, harta bendamu juga musnah. Dan kembali malam ini engkau melihat bahwa perbuatan merampok itu sesungguhnya mencelakakan dirimu sendiri. Sudahlah, lupakan urusan tadi. Aku masih mengantuk dan mau tidur lagi...“

Han Sin lalu meninggalkan meja, meninggalkan buntalannya dan memasuki kamar, lalu merebahkan dirinya diatas dipan yang kini terpaksa diletakkan diatas lantai tanpa kaki karena sudah patah dua.

Petani itu tertegun. Sampai lama dia duduk di atas kursi itu, memandang buntalan diatas meja. Pemuda lihai itu bukan saja memaafkannya, bahkan meninggalkan buntalan diatas meja! Akan tetapi, kini sudah tidak ada lagi gairah di hatinya untuk merampok emas itu. Dia sudah yakin benar bahwa akibatnya tentu akan buruk bagi dirinya kalau dia menggunakan kesempatan itu untuk melarikan buntalan itu. Dia pun merebahkan diri lagi di atas lantai akan tetapi sekali ini dia tidak dapat tidur lagi. Bukan gelisah karena ada dorongan untuk mencuri emas, melainkan takut kalau-kalau ada orang luar datang dan mencuri buntalan itu. Maka, dia tidak tidur untuk menjaga buntalan itu agar tidak diambil orang!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin terbangun dan ketika dia keluar dari kamar itu, dia melihat petani itu sudah duduk di atas kursi menghadapi buntalan yang masih terletak diatas meja. Dia tersenyum kepada diri sendiri. “Selamat pagi, paman. Engkau sudah bangun?“ tegurnya ramah.

Petani itu cepat bangkit berdiri, merasa malu bukan main melihat pemuda yang hampir dibunuhnya itu masih bersikap ramah dan lembut kepadanya. “Selamat pagi, kong-cu dan... maafkan perbuatanku semalam...“

“Ah, aku sudah melupakan hal itu, paman...“ kata Han Sin. Dan dia membuka buntalannya, mengambil sepotong emas dari dalam kantung dan menyerahkannya kepada petani itu. “Ambillah ini, paman dan terima kasih atas kebaikanmu...“

Petani itu terbelalak dan melompat kebelakang seperti hendak diserang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya memandang sepotong emas itu, seperti melihat benda yang menakutkan. “Tidak... tidak kong-cu... saya tidak menghendaki emas lagi...”

“Terimalah, paman. Ini lain lagi. Ini adalah pemberianku yang rela. Dengan emas ini kiranya engkau dapat menggarap ladangmu sendiri. Terimalah, aku akan tersingung kalau engkau tidak mau menerimanya...“

Karena kalimat terakhir inilah sang petani tidak berani menolak lagi dan di terimanya sepotong emas itu dengan kedua tangannya dan dia hanya berkata lirih. “Terima kasih, kong-cu...“ dan kedua matanya menjadi basah.

Han Sin sudah mengikatkan lagi buntalan dibelakang punggungnya dan dia berkata. “Nah, selamat tinggal, paman. Mudah-mudahan kalau aku kebetulan lewat disini lagi, aku dapat singgah di rumahmu...“

“Selamat jalan kongcu dan terima kasih...“ Dia mengantar tamunya sampai meninggalkan rumah itu dan setelah pemuda itu pergi jauh, masih saja dia berdiri disitu sambil memandangi emas di telapak tangannya. “Ahhh... aku lupa menanyakan namanya...!“ Katanya sambil berlari mengejar. Akan tetapi pemuda itu sudah tidak tampak bayangannya lagi.

Petani itu hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya saking heran dan kagum, kemudian dia berjalan pulang dengan hati merasa gembira sekali telah bertemu dengan seorang pemuda pendekar, karena dia tentu seorang pendekar perkasa, yang bijaksana dan budiman.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Han Sin berjalan menuruni bukit. Dari atas tadi dia sudah melihat sebuah telaga kecil dan ingin sekali dia dapat mandi di sana. Sejak pagi dia meninggalkan dusun itu menuju ke timur dan dia belum membersihkan badan sejak pagi-pagi sekali tadi. Perutnya belum lapar karena semalam dia sudah makan sampai kenyang di rumah petani itu.

Hatinya terasa ringan dan senang. Dia tidak tahu mengapa hatinya terasa demikian ringan dan senang. Tidak tahu bahwa hal ini adalah akibat perbuatannya terhadap petani yang bekas perampok itu. Setiap perbuatan yang baik selalu mendatangkan perasaan ringan dan senang bagi pelakuknya, asalkan perbuatan itu dilakukan tanpa pamrih dan dengan rela hati.

Han Sin menuruni bukit dengan cepat sekali karena dia menggunakan ilmu berlari cepat. Gin-Kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda ini memang mencapai tingkat tinggi setelah dia menguasai ilmu Bu-t ek-cin-keng dan dia dapat berlari seperti terbang cepatnya. Tak lama kemudian dia telah tiba di tepi danau dan ternyata di situ terdapat sumber air yang keluar dari pecahan batu besar. Air itu terjun dan membentuk danau yang kecil terus mengalir menjadi sebuah anak sungai yang mungkin saja mengalir terus memasuki Sungai Kuning di timur.

Danau dari sumber itu dikelilingi sebuah hutan lebat dan keadaan di situ sunyi dan indah bukan main. Matahari pagi bermain-main di danau dengan bayangannya yang membentuk garis kemerahan dari bayangnya, dikelilingi warna hijau pantulan pohon-pohon ditepi danau. Sinar matahari yang menerobos masuk lewat celah-celah daun pohon membentuk berkas-berkas cahaya keputihan yang amat indah, membuat tempat itu seperti surga dalam dongeng.

Seekor kelinci putih berlari keluar dari semak-semak, dikejar kelinci lain yang berbulu kelabu. Han Sin memandang sambil tersenyum geli melihat tingkah dua ekor kelinci itu yang segera lenyap lagi dibalik semak-semak.

Bunga-bunga liar mekar bebas, digoyang-goyang perlahan oleh hinggapnya kupu-kupu yang mencari madu. Burung-burung berlompatan dari ranting ke ranting sambil berkicau. Semua ini menjadi selingan suara air kecil terjun ke danau yang mengeluarkan dendang yang tak kunjung henti. Titik-titik air embun berjatuhan di kala burung-burung hinggap di sebuah ranting.

Han Sin berdiri bengong di tepi telaga seperti dalam mimpi. Tak disangkanya bahwa danau yang terlihat dari atas bukit tadi merupakan tempat yang demikian indahnya...

Pedang Naga Hitam Jilid 05

SUDAH lazim bahwa orang yang ditinggalkan seseorang yang dikasihinya akan merasa kesepian dan kehilangan. Demikian pula Ji Goat, nyonya janda itu, begitu Han Sin pergi, ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan menangis seorang diri di dalam rumahnya. Ia merasa semangatnya terbang pergi mengikuti puteranya. Akan tetapi, nyonya yang gagah ini akhirnya dapat menekan kesedihan hatinya dan melaw annya dengan harapan bahwa puteranya akan berhasil menemukan pedang suaminya dan berhasil pula membalasa dendam kematian suaminya. Harapan ini dapat menghibur hatinya.

Duka memang datang atau lahir dari pikiran yang merasa iba kepada diri sendiri, karena di tinggalkan. Pikiran ini menguyah-nguyah keadaan dirinya itu, seperti meremas-remas perasaan hatinya sendiri penuh iba diri dan timbulah duka. Kemudian pikiran yang itu juga menciptakan harapan-harapan yang menjadi pegangannya dan harapan ini menjadi penolongnya sehingga ia dapat melupakan kedukaannya. Ia tidak tahu bahwa justru harapan ini yang kelak akan mendatangkan kekecewaan dan duka baru kalau tidak terlaksana seperti yang diharapkannya.

Manusia selalu di ombang-ambingkan dan dipermainkan oleh pikirannya sendiri. Berbeda dengan orang yang di tinggalkan, orang yang meninggalkan tidak terlalu di cekam rasa kesepian atau kehilangan. Hal ini adalah karena yang meninggalkan menghadapi hal-hal baru, pengalaman-pengalaman baru sehingga perhatiannya selalu tertuju ke depan.


Han Sin juga tidak mengalami rasa duka seperti ibunya yang di tinggalkannya, bahkan dia merasa gembira, merasa bebas lepas seperti seekor burung di udara. Dia boleh pergi kemana saja dia suka, boleh berbuat apa saja yang dikehendakinya. Boleh memutuskan segala hal menurut kehendaknya sendiri. Dia baru sekali ini merasakan sebagai seorang manusia yang utuh, majikan dari dirinya sendiri, tanpa kekangan. Ibunya benar, pikirnya. Dia harus meluaskan pengalaman dalam hidup ini agar tidak menjadi seperti seekor katak dalam tempurung.

Pemuda itu tersenyum seorang diri. Seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam lebat itu diikatkan dengan kain sutera kuning. Dahinya lebar, sepasang alis hitam tebal berbentuk golok. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum manis. Sepasang matanya bersinar lembut, selalu berseri karena dia memang pada dasarnya seorang pemuda yang berwatak riang gembira. Dagunya yang berlekuk itu membayangkan kejantanan walaupun pandang mata yang lembut, mulut yang tersenyum dan sikap yang sederhana itu membayangkan kerendahan dan kelembutan hati.

Memang Han Sin bersikap sederhana, sama sekali tidak ada bekas-bekasnya sebagai put era seorang panglima besar! Dia lebih mirip seorang pemuda dusun yang terpelajar, seorang pemuda sastrawan miskin dari dusun. Pakainnya juga sederhana dan ringkas. Buntalan di punggungnya dari sutera kuning juga tidak terlalu besar karena dia hanya menyimpan beberapa stel pakaian dalam bungkusan itu. Sama sekali dia tidak membawa senjata. Bagi Han Sin yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, kaki tangannya sudah merupakan senjata yang ampuh dan segala macam benda dapat saja dia pergunakan sebagai senjata tambahan, maka dia tidak memerlukan senjata sebagai bekal.

Hal ini pun di nasehatkan oleh ibunya. Kalau dia tidak membawa senjata, maka tidak ada yang akan tahu bahwa dia seorang ahli silat yang tangguh dan hal ini menjauhkan gangguan. Sudah lajim di dunia kang-ouw bahwa orang yang membawa-bawa senjata akan mudah bertemu lawan yang ingin mengujinya. Beberapa potong emas yang dia terima dari ibunya, di taruh di dalam buntalan. Han Sin ingin tertawa kalau teringat akan nasihat ibunya. Ibunya berpesan kepadanya bahwa kalau sampai dia kehabisan bekal di dalam perjalanan, dia boleh saja mengambil uang itu dari rumah seorang hartawan atau bangsawan!

“Akan tetapi ingat, engkau mencuri uang bukan untuk bersenang-senang, melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan janganlah sekali-kali membikin susah orang yang uangnya kau curi. Seorang hartawan besar tidak akan merasa kehilangan kalau kau ambil uangnya sedikit. Jangan ganggu orang yang hanya memiliki sedikit harta atau engkau boleh merampas harta para perampok...“

Ibunya mengajarkan dia untuk mencuri! Dia tidak akan melakukan itu, kalau tidak amat sangat terpaksa. Dia sendiri sedang mencari seorang pencuri pedang. Bagaimana sekarang dapat menjadi pencuri uang? Akan tetapi dia maklum apa yang dipesankan oleh ibunya itu. Han Sin melakukan perjalanan kejurusan timur dan dia sudah mendengar bahwa kalau dia terus ke timur, sampai di sungai kuning dia akan tiba di kot a Lok-yang. Dia bermaksud pergi ke Lok-yang dan dari sana dia baru akan mebelok ke utara dan barat menyusuri Sungai Kuning. Tujuannya adalah ke Shansi. Karena di daerah Shansi itulah ayahnya tewas ketika pasukan yang dipimpin ayahnya bertempur melawan pasukan musuh dari utara.

Ketika malam tiba, Han Sin bermalam di sebuah dusun. Seorang petani menawarkan rumahnya untuk dia tinggal semalam itu, Pertemuan itu terjadi di ladang pada sore hari itu ketika Han Sin menuruni bukit dan menghampiri dusun yang tadi nampak dari atas bukit. Dia melihat seorang petani masih mencangkul ladangnya pada senja yang telah mulai gelap itu. Timbul perasaan iba dihatinya. Petani itu rajin sekali, pikirnya dan tentu seorang petani miskin yang terpaksa bekerja keras untuk mencukupi penghasilannya.

“Selamat sore, Paman. Wah, paman rajin sekali, hari sudah hampir gelap masih bekerja diladang!“ tegur Han Sin ramah sambil duduk di tepi ladang itu di atas akar-akar pohon yang menonjol.

“Selamat sore, kongcu (tuan muda). Ah, rajin sih tidak, melainkan terpaksa karena saya hanyalah buruh tani. Ladang ini bukan milik saya sendiri, melainkan milik tuan tanah dan kalau saya tidak bekerja keras, upah saya tentu tidak cukup untuk biaya hidup...“

Han Sin menghela napas panjang, lagu lama yang di dengarnya ini. Sayang ladang yang luas dimiliki oleh para tuan tanah dan petani seperti orang ini hanya hidup sebagai buruh tani dengan upah yang sedikit. Tak sepadan dengan keringat mereka yang menetes-netes ketika bekerja keras.

“Ah, tidak. Saya hidup sebat angkara, tidak berani berkeluarga karena penghasilanku kecil. Untuk diri saya sendiri saja hampir tidak cukup, hanya untuk sekedar makan dan pakaian yang sederhana...“ Petani itu sudah merasa lelah dan mendengar ada orang begitu menaruh perhat ian kepada dirinya, dia lalu duduk di atas pematang sawah di dekat Han Sin.

“Sungguh sayang sekali tuan-tuan tanah itu tidak dapat menghargai jasamu yang besar, paman...“

“Ah, kongcu. Saya hanya pekerja tani, mencangkul dan menanam lalu menuai, yang memiliki tanah adalah mereka, mana dapat dikat akan jasaku besar?"

“Paman, kalau tidak ada orang-orang tani seperti paman ini, bagaimana orang-orang seperti saya dan semua orang yang tinggal di kota dapat makan? Setiap tetes keringat paman yang membasahi tanah dan menjadi pupuk bagi tanaman, amatlah berharga. Pekerjaan paman adalah pekerjaan yang paling mulia, namun sayangnya semua orang melupakannya bahkan memandang rendah kaum petani. Bahkan para tuan tanah memeras tenaga kalian. Sungguh menyedihkan...“

“Akan tetapi kami sudah biasa hidup begini, kongcu...“

“Bahagiakah hidupmu, paman?“

Petani itu memandang dengan mata penuh mengandung pertanyaan, kemudian dia bertanya, “Kongcu, kebahagiaan itu apakah yang dinamakan bahagia itu bagaimanakah?“

Di tanya begini, Han Sin tertegun. Apa sih kebahagiaan itu? Apakah dia sendiri juga bahagia? Pernahkah dia merasa bagagia? Dia sendiri tidak tahu maka diapun menjawab asal saja, keluar dari pendapat pikirannya. “Bahagia itu.... kalau paman merasa senang dan puas dengan keadaan hidup paman, tidak pernah merasa susah...“

“Ah, begitukah? Kalau begitu aku tidak butuh bahagia itu. Asalkan aku menerima upah, dapat membeli makanan dan pakaian, sudah senanglah hatiku. Aku tidak menginginkan apa-apa juga tidak membutuhkan kebahagiaan itu...“

Han Sin kembali tertegun. Tidak butuh bahagia? Dan bagaimana mencari kebahagiaan itu? Kemana mencarinya dan bagaimana akan dapat mengenalnya kalau dia belum pernah merasakan? Teringatlah dia akan wejangan Tiong Gi Hwesio tentang kebahagiaan.

Kebahagiaan adalah keadaan jiwa yang tidak terganggu oleh nafsu-nafsu melalui hati akal pikiran. Jiwa yang tenang, tentram dan diam. Kebahagiaan adalah keadaan tidak apa-apa, seprti keadaan air telaga yang diam tanpa keriput sedikit pun juga karena terganggu angin. Kalau begitu, kebahagiaan itu sudah ada pada setiap manusia, bilamana hatinya dalam keadaan hening tenang, seperti orang sedang tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi. Kalau nafsu akal pikiran dat ang mengusik maka orang akan merasa tidak bahagia. Akan tetapi bila pengganggunya itu menghilang, kebahagiaan akan selalu ada. Maka, tidak mungkin bahagia itu dicari karena memang selalu sudah ada!

Hanya tertutup oleh ulah nafsu akal pikiran, akan makin nampak lah kebahagiaan itu. Petani itu tidak butuh bahagia karena dia sudah berbahagia! Dengan upah kecil dan keadaan miskin sekalipun, bahagia tidak pernah meninggalkan bathin manusia selama manusia dapat menerimanya tanpa menimbulkan gelombang yang akan mengganggu kebahagiaannya. Dengan sepotong tembaga orang dapat saja berbahagia. Sebaliknya dengan memiliki segunung emas belum tentu orang itu berbahagia!


Han Sin bangkit dan wajahnya berseri. “Kalau begitu engkau seorang yang berbahagia, paman! Kau berbahagia!“

Petani itu memandang heran kepada pemuda yang bergembira itu dan agaknya dia menyangsikan apakah pemuda didepannya itu waras ataukah tidak. “Aku? Berbahagia? Entahlah, aku tidak butuh bahagia. Akan tetapi kongcu ini orang dari manakah? Dan apa yang kongcu cari di sini?"

“Aku seorang perantau yang kebetulan lewat disini dan kemalaman, paman. Aku mencari rumah penginapan untuk dapat melewatkan malam ini...“

“Waah, di dusun kami tidak ada rumah penginapan, kongcu...!“

“Kalau begitu aku akan mencari kuil atau rumah kosong untuk melewatkan malam ini...“

“Kuil juga tidak ada, apa pula rumah kosong. Akan tetapi kalau kongcu mau, boleh kongcu menginap di rumah saya yang buruk. Saya hanya tinggal seorang diri di rumah itu...“

Han Sin tersenyum girang. “Ah, engkau baik sekali paman. Tentu saja aku suka tinggal dirumah paman!“

“Kalau begitu, mari kita pulang...“ Petani itu mencuci kaki tangannya dengan air saluran yang terdapat didekat ladangnya, kemudian memanggul cangkulnya dan mengajak Han Sin pulang ke rumahnya yang berada di tepi dusun itu.

Rumah itu memang sederhana sekali, akan tetapi lumayanlah untuk melewatkan malam, dari pada berada di tempat terbuka. Ada pula sebuah meja dan dua buah kursinya terbuat dari kayu secara kasar. Tidak mempunyai perabot lain, akan tetapi ada sebuah tempat tidur yang kecil dan isinya hanya sebuah dipan kayu sederhana.

“Silahkan duduk, kongcu. Beginilah tempat tinggalku, akan tetapi bagiku amat menyenangkan...“ Petani itu lalu menyalakan penerangan.

Han Sin menghela napas. Betapa pun miskinnya keadaan seseorang, kalau orang itu tidak mengeluh dan dapat menerima dengan hat i jauh dari pada iri, keadaan itu tetap akan mendat angkan perasaan senang! Jadi jelaslah dia akan satu hal, yaitu bahwa kebahagiaan bukan terdapat di dalam kekayaan harta benda! Dan diapun mengerti mengapa ibunya sama sekali tidak berduka, bahkan nampak gembira setelah pindah ke rumah sederhana di susun, padahal tadinya mereka tinggal disebuah gedung besar menyerupai sebuah istana kecil di kota raja.

Dia mengerti kini akan makna wejangan gurunya bahwa setiap orang manusia haruslah dapat bebas dari ikatan apapun juga di dunia ini karena ikatan itulah yang mendatangkan duka. Kalau ibunya terikat oleh keadaan yang megah dan mewah di kota raja, tentu ibunya akan berduka kehilangan semua itu. Diam-diam dia merasa bangga akan sikap ibunya.

“Paman, perut ku terasa lapar dan aku yakin paman juga tentu lapar sekali setelah bekerja berat. Karena itu, harap paman suka membelikan masakan dan nasi di dusun ini. Dan juga arak untuk kita makan dan minum berdua...“

Han Sin membuka buntalannya dan mengeluarkan kantung uangnya. Dia mengambil beberapa keping uang dan menyerahkan kepada petani itu. Petani itu nampak tertegun melihat banyak potongan emas dalam kantung itu dan dengan tangan gemetar dia menerima uang itu.

“Di sini tidak ada yang menjual makanan, kongcu. Akan tetapi saya dapat menyuruh tetangga sebelah untuk membeli ayam dan bahan makanan untuk dimasak. Harap kong-cu menunggu sebentar...“

Tak lama kemudian pet ani itu sudah kembali membawa dua ekor ayam, beras dan beberapa macam sayuran berikut bumbu-bumbunya dan segera dia sibuk di bagian belakang rumahnya. Dia memasak ayam dan sayur itu dibantu oleh seorang wanita setengah tua yang pandai memasak dan ramailah mereka bekerja sambil bercakap-cakap.

Han Sin tersenyum. Mungkin bagi petani itu, peristiwa menyembelih ayam dan memasaknya dengan bermacam sayuran ini merupakan sebuah peristiwa yang istimewa. Terharu rasa hatinya membayangkan bahwa mungkin petani itu tidak pernah mampu membeli ayam, mungkin belum tentu sebulan atau dua bulan sekali merasakan daging. Menyembelih bagi mereka tentu merupakan sebuah pesta besar.

Setelah masakan itu selesai dan dihidangkan di atas meja, Han Sin lalu mengajak petani itu makan bersama-sama. Mula-mula petani itu dengan sungkan menolak, akan tetapi Han Sin memaksanya dan akhirnya petani itu mau juga makan bersama. Mereka makan dan minum sampai kenyang. Setelah selesai, makanan itu masih bersisa banyak dan oleh si petani lalu diberikan kepada tetangga yang tadi membantunya masak. Kemudian dia duduk bercakap-cakap dengan Han Sin.

“Paman, apakah sejak muda paman bekerja sebagai petani?“ tanya Han Sin. Dia melihat tadi gerak-gerik petani itu cukup gesit dan mengandung tenaga, bukan sepert i orang biasa. Juga perawakannya tegap dan menyembunyikan kegagahan.

Petani itu mengangguk. “sejak muda saya memang petani, kong-cu, tinggal disini sejak bertahun-tahun...“ jawab petani itu dengan pendek.

Karena merasa lelah melakukan perjalanan jauh sehari itu. Han Sin lalu mengatakan bahwa dia hendak mengaso.

“Kongcu tidurlah dikamar itu...“ kata sang petani.

“Akan tetapi tempat tidur itu hanya kecil, hanya cukup untuk seorang saja. Dan paman akan tidur dimana?“

“Ah, saya akan dapat mencari tempat tidur, itu urusan mudah, kong-cu. Saya bisa tidur dilantai bertilamkan tikar, atau dapat mengungsi ke rumah tetangga. Tidurlah kongcu...“

Han Sin tidak sungkan lagi, lalu memasuki kamar itu dan merebahkan dirinya di atas dipan. Dia membawa buntalannya dan meletakkan buntalan itu di dekat kepalanya di atas dipan. Malam itu sunyi sekali. Dalam kamar itu tidak terdapat penerangan, akan tetapi karena rumah itu terbuat dari pada bilik bambu, maka penerangan dari lampu di luar masuk dan mendatangkan penerangan yang remang-remang. Saking lelahnya, sebentar saja Han Sin sudah tidur pulas.

Menjelang tengah malam, biarpun sedang tidur nyenyak, Han Sin terbangun juga oleh suara berkerietnya daun pintu kamar itu dibuka orang. Begitu terbangun, seluruh urat syarafnya ditubuhnya telah siap dan dia menjadi waspada. Memang seluruh tubuhnya telah terlatih sehingga dia dapat siap dalam keadaan bagaimanapun juga. Dia tidak bergerak dan pura-pura masih pulas, akan tetapi matanya terbuka dan dia melihat bayangan orang di depan pintu kamarnya! Kemudian pintu itu terbuka dari luar dan nampaklah bayangan petani tuan rumah itu melangkah maju setapak demi setapak dengan kedua tangannya mengangkat cangkul tinggi-tinggi diatas kepalanya!

Bermacam perasaan mengaduk hati Han Sin. Heran, kecewa, penasaran dan juga geli. Petani yang siang tadi nampak demikian akrab dan manis budi, jujur dan lugu, bahkan yang dianggapnya seorang yang berbahagia hidupnya kini tiba-tiba saja berubah menjadi iblis yang siap membunuhnya! Membunuh seorang yang sedang tidur dengan darah dingin. Dia diam saja dan ketika orang itu sudah dekat dan mengayunkan cangkulnya ke arah kepalanya, secepat kilat Han Sin menggulingkan tubuhnya dari atas dipan.

“Croookkkk...!“ Dipan yang dihantam cangkul itu patah menjadi dua potong menunjukkan betapa kuatnya ayunan cangkul tadi.

Dan petani itu mengeluarkan seruan kaget melihat cangkulnya mengenai dipan dan orang yang diserangnya sudah tidak berada disitu lagi. Bahkan buntalannya pun sudah lenyap! Petani itu cepat meloncat keluar dari dalam kamar dan matanya terbelalak melihat Han Sin sudah duduk diatas kursi menghadapi meja dan buntalannya sudah berada pula di atas meja. Pemuda itu nampaknya tenang saja. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu.

Sejenak petani itu berdiri seperti patung, pandang matanya bingung dan ragu seolah dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi melihat pemuda itu duduk membelakanginya, tiba-tiba dia menerjang maju sambil mengayun cangkulnya ke arah kepala Han Sin dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

“Wuuuutttt... Plakkk!“

Han Sin menjulurkan tangannya ke belakang dan dapat menangkap gagang cangkul itu sambil memutar tubuhnya. Dia menarik cangkul itu lalu tangan yang sebelah lagi mendorong dengan telapak tangannya kearah dada petani itu.

“Buuukkkk...!“ Tubuh petani itu terjengkang dan terlempar sampai menabrak dinding sedangkan cangkulnya terampas oleh Han Sin. Pemuda itu meletakkan cangkul di atas tanah dan memandang kepada petani dengan mata mencorong.

Petani itu merasakan dadanya sesak dan kini maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang lihai. Barulah dia teringat akan keadaan dirinya, kesalahan yang dilakukannya dan setelah bangkit berdiri dia menundukkan mukanya, tidak tahan menentang pandangan mata yang siang tadi begitu lembut akan tetapi kini nampak mencorong itu dan berkata lirih.

“Saya... saya... telah bersalah, boleh kong-cu membunuh saya...“

Han Sin tersenyum. “Paman, duduklah..."

Orang itu menurut dan duduk di depan Han Sin terhalang meja, seperti sore tadi ketika mereka makan minum berdua. “Sekarang ceritakan mengapa paman melakukan perbuatan tadi dan siapa sebenarnya paman ini...“

Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, menelan ludah seperti mengumpulkan keberaniannya, kemudian dia berkata. “Kong-cu saya pernah menjadi seorang perampok di waktu muda, mengumpulkan harta benda dengan cara merampok. Akan tetapi lima belas tahun yang lalu, gerombolan perampok yang saya pimpin dibasmi habis oleh pasukan pemerintah. Istri dan anak-anak saya ikut tewas dalam pembasmian itu, harta benda saya habis. Saya menjadi orang buruan pemerintah. Setelah tertimpa bencana itu, yang merampas habis harta benda saya bahkan membasmi keluarga saya, saya menjadi sadar bahwa saya telah memetik buah daripada pohon tanaman saya sendiri. Maka saya mencuci tangan, mengubah jalan hidup saya. Saya menjadi petani, bahkan saya menyembunyikan keadaan saya dengan menyamar sebagai petani lemah yang hidup sebatang kara. Akan tetapi sore tadi muncul kong-cu. Sungguh mati, saya menyambut kong-cu dengan hati setulusnya dan saya merasa girang dapat menyambut kong-cu. Akan tetapi... ah, mengapa kong-cu membuka buntalan memperlihatkan emas yang demikian banyaknya? Saya tidak tahan melihatnya. Nafsu iblis telah mencengkram diri saya dan saya tidak menentangnya, maka saya mengambil keputusan untuk membunuh kong-cu dan merampas emas itu...“ Orang itu kembali menghela napas dan kini bahkan kedua matanya basah.

Han Sin mengangguk-angguk kembali dia teringat akan wejangan gurunya. “Godaan datang dari dalam hati akal pikiran sendiri melalui panca indera. Dan diantara semua penggoda, yang paling berbahaya adalah godaan harta benda. Harta benda dapat menutupi pertimbangan dan kebijaksanaan. Kita kehilangan kewaspadaan dan mau melakukan perbuatan apa saja demi harta benda.

Demikianlah wejangan dan sekarang dia melihat buktinya. Seorang yang sudah mengubah jalan hidupnya, begitu melihat emas di depan mata, menjadi lupa segalanya dan siap unt uk membunuh dengan cara pengecut untuk menguasai emas itu. Melihat emas merupakan kesempatan baginya. Andaikata dia tidak melihat emas itu, tidak mungkin akan timbul keinginan untuk menguasai dan membunuh pemiliknya.

“Sudahlah, paman, aku memaafkanmu. Dahulu, engkau sudah mendapat pelajaran bahwa perbuatan merampok itu mendatangkan akibat buruk kepadamu, keluargamu terbasmi habis, harta bendamu juga musnah. Dan kembali malam ini engkau melihat bahwa perbuatan merampok itu sesungguhnya mencelakakan dirimu sendiri. Sudahlah, lupakan urusan tadi. Aku masih mengantuk dan mau tidur lagi...“

Han Sin lalu meninggalkan meja, meninggalkan buntalannya dan memasuki kamar, lalu merebahkan dirinya diatas dipan yang kini terpaksa diletakkan diatas lantai tanpa kaki karena sudah patah dua.

Petani itu tertegun. Sampai lama dia duduk di atas kursi itu, memandang buntalan diatas meja. Pemuda lihai itu bukan saja memaafkannya, bahkan meninggalkan buntalan diatas meja! Akan tetapi, kini sudah tidak ada lagi gairah di hatinya untuk merampok emas itu. Dia sudah yakin benar bahwa akibatnya tentu akan buruk bagi dirinya kalau dia menggunakan kesempatan itu untuk melarikan buntalan itu. Dia pun merebahkan diri lagi di atas lantai akan tetapi sekali ini dia tidak dapat tidur lagi. Bukan gelisah karena ada dorongan untuk mencuri emas, melainkan takut kalau-kalau ada orang luar datang dan mencuri buntalan itu. Maka, dia tidak tidur untuk menjaga buntalan itu agar tidak diambil orang!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin terbangun dan ketika dia keluar dari kamar itu, dia melihat petani itu sudah duduk di atas kursi menghadapi buntalan yang masih terletak diatas meja. Dia tersenyum kepada diri sendiri. “Selamat pagi, paman. Engkau sudah bangun?“ tegurnya ramah.

Petani itu cepat bangkit berdiri, merasa malu bukan main melihat pemuda yang hampir dibunuhnya itu masih bersikap ramah dan lembut kepadanya. “Selamat pagi, kong-cu dan... maafkan perbuatanku semalam...“

“Ah, aku sudah melupakan hal itu, paman...“ kata Han Sin. Dan dia membuka buntalannya, mengambil sepotong emas dari dalam kantung dan menyerahkannya kepada petani itu. “Ambillah ini, paman dan terima kasih atas kebaikanmu...“

Petani itu terbelalak dan melompat kebelakang seperti hendak diserang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya memandang sepotong emas itu, seperti melihat benda yang menakutkan. “Tidak... tidak kong-cu... saya tidak menghendaki emas lagi...”

“Terimalah, paman. Ini lain lagi. Ini adalah pemberianku yang rela. Dengan emas ini kiranya engkau dapat menggarap ladangmu sendiri. Terimalah, aku akan tersingung kalau engkau tidak mau menerimanya...“

Karena kalimat terakhir inilah sang petani tidak berani menolak lagi dan di terimanya sepotong emas itu dengan kedua tangannya dan dia hanya berkata lirih. “Terima kasih, kong-cu...“ dan kedua matanya menjadi basah.

Han Sin sudah mengikatkan lagi buntalan dibelakang punggungnya dan dia berkata. “Nah, selamat tinggal, paman. Mudah-mudahan kalau aku kebetulan lewat disini lagi, aku dapat singgah di rumahmu...“

“Selamat jalan kongcu dan terima kasih...“ Dia mengantar tamunya sampai meninggalkan rumah itu dan setelah pemuda itu pergi jauh, masih saja dia berdiri disitu sambil memandangi emas di telapak tangannya. “Ahhh... aku lupa menanyakan namanya...!“ Katanya sambil berlari mengejar. Akan tetapi pemuda itu sudah tidak tampak bayangannya lagi.

Petani itu hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya saking heran dan kagum, kemudian dia berjalan pulang dengan hati merasa gembira sekali telah bertemu dengan seorang pemuda pendekar, karena dia tentu seorang pendekar perkasa, yang bijaksana dan budiman.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Han Sin berjalan menuruni bukit. Dari atas tadi dia sudah melihat sebuah telaga kecil dan ingin sekali dia dapat mandi di sana. Sejak pagi dia meninggalkan dusun itu menuju ke timur dan dia belum membersihkan badan sejak pagi-pagi sekali tadi. Perutnya belum lapar karena semalam dia sudah makan sampai kenyang di rumah petani itu.

Hatinya terasa ringan dan senang. Dia tidak tahu mengapa hatinya terasa demikian ringan dan senang. Tidak tahu bahwa hal ini adalah akibat perbuatannya terhadap petani yang bekas perampok itu. Setiap perbuatan yang baik selalu mendatangkan perasaan ringan dan senang bagi pelakuknya, asalkan perbuatan itu dilakukan tanpa pamrih dan dengan rela hati.

Han Sin menuruni bukit dengan cepat sekali karena dia menggunakan ilmu berlari cepat. Gin-Kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda ini memang mencapai tingkat tinggi setelah dia menguasai ilmu Bu-t ek-cin-keng dan dia dapat berlari seperti terbang cepatnya. Tak lama kemudian dia telah tiba di tepi danau dan ternyata di situ terdapat sumber air yang keluar dari pecahan batu besar. Air itu terjun dan membentuk danau yang kecil terus mengalir menjadi sebuah anak sungai yang mungkin saja mengalir terus memasuki Sungai Kuning di timur.

Danau dari sumber itu dikelilingi sebuah hutan lebat dan keadaan di situ sunyi dan indah bukan main. Matahari pagi bermain-main di danau dengan bayangannya yang membentuk garis kemerahan dari bayangnya, dikelilingi warna hijau pantulan pohon-pohon ditepi danau. Sinar matahari yang menerobos masuk lewat celah-celah daun pohon membentuk berkas-berkas cahaya keputihan yang amat indah, membuat tempat itu seperti surga dalam dongeng.

Seekor kelinci putih berlari keluar dari semak-semak, dikejar kelinci lain yang berbulu kelabu. Han Sin memandang sambil tersenyum geli melihat tingkah dua ekor kelinci itu yang segera lenyap lagi dibalik semak-semak.

Bunga-bunga liar mekar bebas, digoyang-goyang perlahan oleh hinggapnya kupu-kupu yang mencari madu. Burung-burung berlompatan dari ranting ke ranting sambil berkicau. Semua ini menjadi selingan suara air kecil terjun ke danau yang mengeluarkan dendang yang tak kunjung henti. Titik-titik air embun berjatuhan di kala burung-burung hinggap di sebuah ranting.

Han Sin berdiri bengong di tepi telaga seperti dalam mimpi. Tak disangkanya bahwa danau yang terlihat dari atas bukit tadi merupakan tempat yang demikian indahnya...