Pedang Naga Hitam Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MELIHAT disitu sunyi tidak ada seorangpun manusia kecuali dirinya, tanpa ragu lagi lalu Han Sin menanggalkan seluruh pakaiannya menumpuk pakaian itu diatas buntalannya yang diletakkan diatas batu. Kemudian diapun terjun memasuki air danau itu. Sejuk dan menyegarkan sekali. Airnya jernih, dasarnya dari batu dan pasir dalam dalamnya sebatas dada. Sejuk nyaman bukan main mandi di pagi hari itu. Han Sin beberapa kali menyelam dan berenang dengan hati gembira.

Tiba-tiba dia mendengar suara yang mencurigakan, datangnya dari tepi telaga. Cepat dia menengok dan masih melihat berkelebatnya bayangan orang. Cepat bukan main gerakan itu, hanya bayangannya saja dapat ditangkap pandang matanya. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hati Han Sin adalah ketika dia melihat ke atas batu dimana buntalannya dan pakaiannya tadi dia tinggalkan. Buntalan berikut pakaiannya tadi telah lenyap!

“Celaka...!“ Dia mengeluh. Andai kata kantung emasnya yang hilang, dia tidak akan segelisah ini, akan tetapi, semuanya telah lenyap dan kini dia dalam keadaan telanjang bulat! Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air menemui orang dalam keadaan seperti itu?

“Hei... Kembalikan pakaianku...!“ Dia berteriak sambil melangkah ke tepi, akan tetapi tubuhnya masih terendam dalam air.

Suaranya dikeluarkan dengan nyaring sehingga menimbulkan gema. Akan tetapi, tidak ada jawaban. Suasana sunyi dan burung-burung terbang ketakutan, terkejut oleh teriakannya yang nyaring tadi. Han Sin menjadi gelisah. Jangan-jangan pencuri itu telah melarikan diri dan tidak akan kembali lagi! Bagaimana dia dapat melakukan dan melajutkan perjalanan tanpa sehelaipun pakaian untuk menutupi ketelanjangannya? Apakah petani itu telah kumat kembali dan dia yang mencurinya? Tidak mungkin, gerakan petani itu tidaklah secepat orang yang tadi dilihat bayangannya.

Han Sin merasa gelisah sekali dan tidak berdaya. Dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, yang tidak gentar menghadapi lawan bagaimana pun juga, kini menjadi gelisah menghadapi ketelanjangannya dan dia merasa tidak berdaya sama sekali.

“Haaiiiiii...! saudara yang mengambil buntalanku! Engkau boleh memiliki buntalan dan semua isinya, akan tetapi kembalikan pakaianku! Tolong kembalikan pakaianku!“ Dalam suaranya terkandung permohonan yang sungguh-sungguh. Sialan, pikirnya. Dia yang kecurian malah dia yang memohon dan minta tolong.

Tiba-t iba dia melihat sebuah kepala keluar dari balik semak-semak. Bukan kepala binatang, melainkan kepala manusia, dan melihat rambutnya yang hitam panjang itu tentulah kepala seorang wanita muda. Wajah itu cantik pula, dengan hidung yang mancung dan mulut tersenyum menggairahkan. Kepala itu nongol sebentar, sepasang mata berkedip-kedip memandangnya, lalu menyusup lagi dibelakang semak-semak.

“ Haiiii... nona ataubnyonya... keluarlah dan kembalikan pakaianku...!“ katanya, dan pandangan matanya mencoba untuk menembus semak belukar itu. Hening sejenak, kemudian kepala itu nongol lagi. Kini muka yang cantik itu tertawa.

“Hi-hi-hi-hik, lucunya...!“ kini muka itu lebih jelas kelihatan dan ternyata wajah seorang gadis yang cantik, akan tetapi suara tawanya aneh, dan matanya yang indah itu berkedip-kedip aneh.

Han Sin menggapai, “Nona... harap mengasihani aku. Tolong kembalikan pakaianku...! “ Dia memohon.

Kini nona itu keluar dari balik semak-semak. Tubuhnya ramping, rambutnya hitam panjang hanya diikat dengan sutera kuning. Kulitnya putih dan wajah itu cantik dengan mata yang berbinar-binar, hidungnya yang mancung dan mulut yang selalu tersenyum lebar, memperlihatkan kilat an gigi yang putih berderet rapi. Akan tetapi pakaiannya sungguh aneh. Berkembang-kembang dan potongannya longgar kedodoran. Kakinya memakai sepatu hitam dari kulit kayu. Gadis itu berdiri dan memandang kepada Han Sin seperti orang yang terheran-heran, akan tetapi Han Sin melihat bahwa gadis itu tidak membawa apa-apa. Dan diapun bersangsi apakah gadis itu yang mencuri buntalannya, karena tidak mungkin gadis itu dapat bergerak secepat bayangan tadi.

“Nona, kesinilah...!“ Dia menggapai karena biarpun gadis itu bukan pencurinya, dia dapat minta tolong kepadanya untuk mencarikan pakaian sebagai penutup ketelanjangannya.

Gadis itu mendekat, dengan langkah yang aneh, berlari-lari kecil seperti tingkah seorang kanak-kanak. Kini dia berdiri di tepi telaga memadang Han Sin dengan terbelalak dan penuh perhatian. “Hik-hi-hi-hi, lucunya...!“

Kembali ia berkata dan sikapnya itu membuat Han Sin merasa bulu tengkuknya meremang. Ada sesuatu yang tidak wajar dalam sikap gadis cantik itu. Masa seorang gadis dewasa seperti itu bersikap kekanak-kanakkan dan tertawa lucu melihat dia berendam dalam air.

“Nona apa engkau melihat orang yang mengambil pakaian dan buntalanku?“ tanya Han Sin akan tetapi yang ditanya hanya terkekeh seperti orang yang merasa melihat hal yang lucu. Han Sin merasa jengkel juga. Pertanyaannya hanya di jawab dengan kekeh yang aneh.

“Nona,...“ Katanya , “Tolonglah aku, carikan pakaian agar aku tidak telanjang...“

Kembali nona itu terkekeh, kemudian terdengar suaranya, suaranya sebetulnya merdu seperti suara seorang gadis, akan tetapi nadanya aneh seperti orang yang asing. “Kau... kau ini binatang apakah?“

Sialan, pikir Han Sin. Akan tetaapi karena diapun pada dasarnya berwatak lincah dan gembira. Dia tidak menjadi marah, bahkan tertawa. “Ha-ha-ha-ha, engkau lucu sekali, nona!"

“Hik-hi-hi-hik, engkau juga lucu!“ gadis itu kini tertawa-tawa sambil bertepuk-tepuk tangan dan meloncat-loncat seperti seorang anak kecil kegirangan.

Tentu saja Han Sin memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Tidak salah lagi, Gadis cantik itu berotak miring!

“Hik-hi-hik, apakah engkau ini sebangsa monyet? Monyet putih tidak berbulu?“ tanya gadis itu sambil mendekat dan tubuhnya mendoyong kedepan sehingga Han Sin khawatir merasa kalau-kalau gadis itu akan terjatuh ke dalam danau.

“Hussshhh!“ katanya gemas. “Aku bukan monyet, aku juga manusia seperti engkau!“

“Ahhh, manusia? Dan engkau laki-laki ya? Engkau tampan loh!“ Gadis itu memuji dan mengancungkan jempol.

Tanpa disadarinya, muka Han Sin menjadi merah. “Nona, aku ingin minta tolong kepadamu. Ketahuilah, semua barangku termasuk pakaian ku di curi orang. Aku kini telanjang sama sekali. Karena itu, tolonglah aku, carikan pakaian untukku, sedikitnya sebuah celana..."

“Hik-hi-hik, minta tolong boleh akan tetapi katakan dulu siapa namamu...“

Wahh gadis ini gila tapi pintar menggoda orang, pikirnya. Mau menolong akan tetapi menjual mahal. Pakai syarat segala macam. Akan tetapi mau tidak mau dia harus menjawab karena dia butuh pakaian. “Namaku Cian Han Sin...“

“Cian Han Sin, namamu aneh, Han Sin. Dan aku bernama Kui Ji“

“Namamu indah, nona...!“

“Heiii, sudah tahu namaku mengapa menyebut aku nona. Sebut saja adik Kui Ji yang baik...“

“Oya, adik Kui Ji yang baik, tolonglah carikan pakaian untuk aku agar aku dapat naik ke darat...“

“Kalau mau ke darat, naik saja sekarang!“

“Tidak mungkin, adik Kui ji yang baik, aku bertelanjang bulat!“

“Oh ya, ibu bilang hanya binatang yang telanjang bulat. Kalau manusia harus berpakaian. Kau memerlukan celanaku!“ Dan gadis itupun lalu melepaskan tali kain ikat pingganganya dan hendak menurunkan celananya.

Tentu saja Han Sin terkejut sekali dan dia memejamkan matanya. “Tidak, jangan lakukan itu! Jangan berikan celanamu kepadaku, nanti engkau telanjang!“

“Hik-hi-hik, sudah kubilang engkau lucu dan juga bodoh. Siapa yang mau telanjang?“ katanya dan tetap saja gadis itu menurunkan celananya yang berkembang-kembang.

Han Sin nekat membuka matanya dan sudah bersiap-siap untuk menutupnya kembali kalau gadis itu bertelanjang. Akan tetapi ternyata dia memakai celana rangkap berapa, entah rangkap berapa karena pakaiannya kedodoran seperti itu.

“Nih, pakai celana ini!“ kata gadis itu sambil menggulung celana itu dan melemparkannya kepada Han Sin.

Han Sin menerima celana itu, akan tetapi bagaimana dia dapat memakainya kalau nona itu berada di situ? Untuk mengenakan celana itu dia harus lebih dulu keluar dari dalam air. “Nona, pergilah dulu...“

“Siapa nona!?“

“Oh ya, adik Kui ji yang baik, harap pergi dulu agar aku dapat naik dan mengenakan celana ini...“

“Aku tidak akan pergi dan aku mau menonton engkau memakai celana. Tentu lucu sekali...“ Gadis itu terkekeh-kekeh.

Dan kembali wajah Han Sin menjadi merah. Gadis ini benar-benar gila tidak ketulungan lagi, sudah lupa akan rasa malu dan sopan santun. Dia lalu mengerahkan tenaganya dari dalam air itu dia meloncat jauh ke depan, kearah sebuah batu besar. Tubuhnya melayang seperti burung terbang dan cepat dia berdiri di balik batu besar agar gadis itu tidak melihatnya.

Tergesa-gesa dia mengenakan celana itu. Celaka, celana itu ujungnya kecil sekali sehingga ketika dia memaksa dan menariknya ke atas, terdengarlah suara kain robek. Terpaksa dia memotong bagian bawahnya dan kini dia memakai sebauh celana sebatas lutut yang berkembang-kembang! Biarpun pakaian itu minim sekali, akan tetapi setidaknya membuat dia berani menghadapi orang, tidak bertelanjang bulat.

Sementara itu gadis yang pakaiannya berkembang-kembang itu terbelalak melihat Han Sin meloncat dari dalam air ke atas batu, agak jauh darinya. Ia masih tertegun memandang Han Sin yang muncul dari balik batu dengan mengenakan celana kembang sebatas lutut, kemudian, sekali ia mengayun tubuhnya, tubuh itu berkelebat dan telah berada di depan Han Sin, membuat pemuda itu terkejut sekali. Kiranya gadis gila ini pandai ilmu silat dan dapat meloncat dengan gerakan demikian cepatnya. Kembali timbul kecurigaannya bahwa yang mencuri buntalannya tentulah gadis ini pula.

“Aih, kiranya engkau memilik iilmu kepandaian pula, Han Sin? Bagus, mari kita bermain-main sebentar!“ katanya sambil tertawa terkekeh dan tahu-tahu tangan kanannya telah menyerang Han Sin dengan gerakan melengkung aneh. Akan tetapi tangan yang semula tidak kelihatan seperti hendak memukulnya itu, tahu-tahu telah membelok dan menampak ke arah mukanya dengan gerakan demikian cepatnya. Juga amat kuat karena tamparan itu di dahului angin pukulan yang terasa panas oleh pipi Han Sin.

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Han Sin cepat mengelak dengan menarik ke belakang tubuh atasnya, akan tetapi Kui Ji menyerang lagi dengan tamparan susulan. Ia pun menyerang bertubi-tubi dengan tamparan dan totokan dan gerakannya makin lama makin aneh namun lihai bukan main. Han Sin terus mengelak, setelah mengelak atau menangkis selama belasan jurus, ketika tangan gadis itu mencengkram ke arah lehernya, dia sengaja mengerahkan tenaganya dan menangkis keras.

“Duukkk...!“ kedua lengan bertemu dengan kuatnya dan gadis itu terdorong mundur. Lalu memegangi lengan yang tertangkis itu dan menangis.

“Hu-hu-hu-hu-hu... kau nakal... hu-hu-hu... kau menyakiti lenganku...!“ akan tetapi sambil menangis ia menyerang terus dan kini ia sudah memungut sebatang tongkat berbentuk ular yang tadi ditinggalkan diatas batu.

Hebat sekali serangan dengan tongkat ini, dan gerakannya tetap aneh sekali, berbeda dengan ilmu-ilmu silat biasa. Kalau ujungt ongkat itu menggetar menyerang dengan tusukan ke arah dada, ternyata penyerangan yang sesungguhnya adalah pukulan ke arah kepala. Kalau nampaknya pada permulaan menyerang ke kanan, ternyata menyerang ke kiri. Seperti serangan orang yang kebingungan dan nampaknya ilmu silat gadis itu kacau balau seperti kacau balaunya jalan pikirannya. Akan tetapi justru kekacauan itulah yang membuat ilmu silat itu lihai dan berbahaya sekali, tidak dapat diduga perkembangannya.

Han Sin yang hanya bert ahan saja, terpaksa beberapa kali menjadi korban tamparan dan totokan, akan tetapi karena dia sudah melindungi tubuhnya dengan sin-kang yang kuat, maka dia tidak sampai roboh. Akhirnya dia tahu bahwa kalau dia tidak membalas, mungkin saja dia dapat terluka oleh tongkat yang gerakannya terkadang seperti seekor ular itu. Maka, mulailah dia mengerahkan tenaga dan memainkan Bu-tek-cin-keng. Ketika tongkat meluncur menusuk matanya, han Sin menangkis sehingga tongkat terpental dan dengan tangan kirinya diapun mendorong dengan telapak tangannya kedepan sambil mengerahkan tenaga yang dia kendalikan agar jangan sampai dia melukai gadis itu.

“Wuuutttt... aighhh...!"“ Kui ji terdorong kebelakang dan ia menjerit, kemudian jatuh terduduk. Napasnya agak terengah. Dorongan itu ternyata mengeluarkan hawa pukulan yang menghimpit dadanya dan menyesakkan napasnya. Gadis itu memandang bengong sesaat, kemudian dia meloncat dan menundingkan telunjuk kirinya ke arah muka Han Sin.

“Han Sin, engkau menggunakan ilmu iblis apakah?“ Ia lalu memutar tongkatnya ke atas kepala dan melanjutkan. "Akan tetapi, aku tidak takut, hayo kita lanjutkan!“ Dan diapun sudah menyerang lagi kalang kabut dan agaknya gadis itu merasa penasaran dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Dan kini ia menyerang sambil mengeluarkan suara melengking tinggi dan panjang.

Han Sin kembali terkejut. Teriakan melengking itu bukan sembarangan teriakan melainkan teriakan yang mengandung khikang dan bagi lawan yang kurang kuat sin-kangnya tentu akan terguncang hatinya dan mengacaukan pikirannya sehingga mudah dirobohkan dan serangannya itupun hebat bukan main. Sekali tongkat bergerak, ujung tongkat tergetar dan menotok secara bertubi-tubi ke arah jalan darah di tubuhnya bagian depan.

“Hemmm...!"“ Han Sin mengelak dan ketika ia mendapat kesempatan, tangannya meraih, menangkap tongkat itu dan tangan yang sebelah;lagi menotok lengan yang memegang tongkat dekat siku sehingga lengan itu menjadi lumpuh seketika dan dengan mudah dia telah merampas tongkat itu!

Gadis itu terkejut dan melompat kebelakang, matanya yang indah itu memandang kepada Han Sin dengan terbelalak. Han Sin merasa tidak enak hati. Gadis itu telah menolongnya memberi celana dan kini dia mengalahkannya. “Maafkan aku dan terimalah kembali tongkatmu...“ katanya sambil menyerahkan tongkat yang bentuknya seperti ular itu.

Kui Ji menerima tongkatnya dan sungguh aneh sekali. Kini ia tersenyum dan menunjukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan sikapnya menjadi seperti seorang gadis yang malu-malu! “Kau telah mengalahkan aku... Kau telah mengalahkan aku...“ demikian katanya berulang-ulang seolah tidak percaya bahwa ada orang yang dapat mengalahkannya.

“Maaf, adik Kui Ji yang baik, kepandaianmu hebat sekali dan aku merasa kagum...“ kata Han Sin dengan sungguh hati karena memang dia kagum melihat ilmu silat gadis itu yang aneh dan lihai sehingga dia sendiri beberapa kali terkena tamparan dan totokan gadis itu.

“Hik-hi-hi-hik! Akhirnya engkau datang juga, koko! Engkaulah pemuda yang mampu mengalahkan aku. Jadi engkau yang pantas menjadi suamiku! Dan Aku senang menjadi istrimu, koko Han Sin...“ Gadis it lalu menghampiri Han Sin dan kedua tangannya siap untuk memeluk.

Han Sin terkejut sekali dan dia melangkah mundur. “Ah, tidak, Kui Ji... adik yang baik, jangan begitu. Aku tidak mempunyai pikiran sama sekali untuk berjodoh, aku bukan jodohmu!“

Kui Ji seperti terheran dan terkejut mendengar ini dan kedua tangan yang sudah terangkat untuk memeluk itu, jatuh kembali. “Apa? Kau... kau menolak menjadi suamiku...?"

“Aku belum mempunyai niat untuk menjadi suami siapa saja...“ jawab Han Sin singkat. Dia mau mengalah terhadap seorang yang otaknya tidak waras, akan tetapi kalau harus mengawininya, tentu saja dia tidak mau.

Tiba-tiba gadis itu menangis dan teriakannya melengking nyaring. Han Sin menjadi serba salah. Tadinya dia hendak mencari buntalannya, akan tetapi dalam keadaan seperti itu tentu Kui Ji tidak mau bicara tentang buntalan itu. Kalu gadis itu di tinggalkan, lalu bagaimana dengan buntalannya yang terisi pakaian dan uang bekal? Kalau tidak ditinggalkan dan dihadapi terus, bagaimana dia harus bersikap melihat kegilaan ini. Selagi dia hendak pergi saja meninggalkan gadis itu, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan terdengar suara yang tinggi melengking.

“Heiiiii... siapa berani mengganggu anakku sampai ia menangis sedih? Siapa...?“

Dan tiba-tiba didepan Han Sin berdiri seorang wanita. Sekali pandang saja tahulah Han Sin bahwa wanita ini pun keadaanya sama dengan Kui Ji. Usianya sekitar empat puluh delapan tahun. Wajahnya masih membayangkan bekas kecantikan, tubuhnya juga masih ramping padat. Rambutnya terurai panjang seperti rambut Kui Ji. Akan tetapi kalau rambut Kui Ji diikat sutera kuning, rambut wanita ini riap-riapan, sebagian ada yang menutupi wajahnya sehingga kelihatan menyeramkan. Rambut itu panjang sampai ke pinggul dan masih hitam lebat. Pakaian wanita ini pun berkembang-kembang dan tangan kanannya memegang sebatang pecut seperti yang biasa dipergunakan para penggembala kerbau dan lembu mereka.

"Ibu... oh, ibu...!“ Kui Ji makin meledak-ledak tangisnya. “Dia... dia ini menolak untuk menjadi suamiku, padahal aku telah menjatuhkan pilihanku kepadanya, ibu... hajarlah dia agar dia mau menjadi suamiku...“

Wajah yang masih cantik itu nampak menyeramkan, sepasang matanya seperti bersinar-sinar penuh kemarahan, mulutnya cemberut. "Apa...? Berani cacing pita ini menolak anakku? Anakku cukup pantas menjadi isteri seorang pangeran, apalagi hanya cacing macam ini! Orang muda, siapa engkau?“

“Ibu, namanya Cian Han Sin dan ilmu silatnya cukup tinggi dia telah mengalahkan aku!“ kata Kui Ji.

Dan mendengar ini wanita itu kelihatan semakin penasaran. “Cian Han Sin, anakku telah memilih engkau menjadi suami! Hayo katankan, apakah engkau tetap tidak mau!“ tanya wanita itu dengan suaranya yang galak.

Han Sin merasa serba salah. Dia tidak marah melihat sikap mereka yang hendak memaksanya menjadi suami Kui Ji karena dia maklum bahwa ibu dan anak ini tidak waras pikirannya. Dia pun tidak ingin bermusuhan dengan mereka, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami Kui Ji? selain gadis itu seorang yang miring otaknya, juga dia sama sekali belum berniat untuk menjadi suami orang.

“Maafkan saya, bibi yang baik. Akan tetapi saya belum mempunyai keinginan untuk menikah, karena itu terpaksa saya menolak keinginan adik Kui Ji yang baik...“

“Hik-hi-hik, kau sudah menyebut Kui Ji sebagai adik yang baik, tentu engkau suka kepadanya. Engkau harus menjadi suaminya, harus dan tidak boleh menolak lagi. Engkau mantuku yang baik, tidak usah malu-malu kucing, katakanlah engkau mau!“

“Ibu, koko Han Sin bahkan sudah memberi emas kawin berupa beberapa stel pakaiannya dan sekantung emas...“ kata Kui Ji.

“Nah, apalagi sudah memberi emas kawin. Dan itu...“ Wanita itu menunjuk ke arah celana yang dipakai Han Sin. “Bukankah itu celana mu, Kui Ji?”

“Benar, ibu. Celanaku itu sengaja kuberikan kepadanya untuk kenang-kenangan..."

“Wah, sudah begitu jauh hubungan kalian ya? Hayo, Han Sin kau ikut kami untuk merayakan pernikahan kalian!“

“Tidak bibi aku tidak mau!“ kata Han Sin yang merasa terdesak dan menjadi mendongkol juga. Agaknya biarpun gila gadis itu cukup licik untuk menyudutkannya.

“Kau harus mau, harus mau!“ Wanita itu melengking-lengking.

Akan tetapi Han Sin tetap menggeleng kepala. Kini mulai timbul kemarahannya setelah mendengar ucapan Kui Ji bahwa buntalannya benar dicuri oleh gadis itu dan dikatakan sebagai emas kawin.

“Kalau begitu, aku akan memaksamu!“ Kata wanita itu dan ketika ia menggerakkan cambuknya di udara, terdengar suara meledak-ledak nyaring. Akan tetapi Han Sin yang sudah marah tidak merasa takut. Dia malah ingin menundukkan wanita ini dan puterinya agar dapat dipaksanya mengembalikan buntalannya.

“Wuuuutttt... tarrrr!“ cambuk itu menyambar ke arah kepala Han Sin dan meledak ketika Han Sin cepat mengelak. Wah, ilmu kepandaian wanita ini lebih lihai daripada puterinya, pikirnya dan diapun cepat menggunakan ilmu Bu-tek-cin-keng untuk menghadapinya.

Memang hebat ilmu cambuk wanita itu. Cambuk itu menyambar-nyambar dan meledak-ledak seolah-olah cambuk itu menjadi banyak, menyerang keseluruh pusat jalan darah di tubuh Han Sin. Pemuda itu mengelak dan kadang menangkis, kulitnya telah dilindungi sinkang sehingga kebal terhadap lecutan cambuk dan diapun balas menyerang untuk merobohkan wanita itu. Terjadilah pertandingan yang seru sekali. Gerakan cambuk itu aneh dan sukar di duga, seperti juga gerakan tongkat di tangan Kui Ji tadi sehingga beberapa kali usaha Han Sin untuk menangkap ujung cambuk selalu gagal. Setiap kali tangannya meraih ujung cambuk itu tiba-tiba melejit dan menghindar.

Suatu ketika, dengan tangan kirinya Han Sin berhasil menangkap ujung cambuk, akan tetapi tiba-t iba saja wanita itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang hitam panjang itu menyambar dan ujung gumpalan rambut itu menotok pergelangan tangan Han Sin yang menangkap ujung cambuknya. Han Sin merasa betapa lengannya tergetar hampir lumpuh dan cambuk itu sudah ditarik lepas dari tangannya. Dia terkejut sekali, tidak menyangka bahwa selain lihai dengan cambuknya wanita itupun lihai memainkan rambut kepalanya sebagai cambuk. Dia menjadi penasaran dan tidak mau mengalah lagi.

Dengan cepat kaki tangannya membalas serangan wanita itu dengan pukulan dan tendangan yang amat kuat. Wanita itu mengeluarkan teriakan aneh karena terkejut dan iapun terdesak mundur. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan Kui Ji dan gadis ini sudah memasuki pertandingan itu dan mengeroyok Han Sin dengan tongkat ularnya.

Han Sin tersenyum. “Bagus! Majulah kalian berdua, aku memang ingin menundukkan kalian berdua ibu dan anak yang sinting!“ katanya dan dia pun melayani pengeroyokan itu . Akan tetapi mudah saja berkata demikian, namun pada kenyataannya amatlah sukar mengalahkan ibu dan anak itu setelah mereka maju berdua. Ternyata ibu dan anak yang sama-sama gilanya ini dapat bekerjasama dengan baik sekali. Tiga macam senjata yait ucambuk, rambut dan tongkat yang kacau balau gerakannya dan tak dapat di duga perkembangannya itu mengeroyok Han Sin.

Pemuda ini mengerahkan tenaga dan kelincahannya untuk berkelebat menhindar, kadang menangkis dan membalas dengan serangan pukulan dan tendangannya. Biarpun di keroyok dua oleh ibu dan anak yang lihai itu, perlahan-lahan Han Sin dapat mempelajari gereka mereka setelah dia mengetahui cara perkembangan serangan lawan yang serba terbalik itu. Dia yakin bahwa akhirnya dia akan mampu mengalahkan mereka.

Akan tetapi mendadak terdengar suara parau membentak. “Orang gila dari mana berani mengganggu istri dan anakku?“ Dan ada hembusan angin pukulan yang kuat sekali menghantam kepala.

Han Sin mengelak, sebatang tongkat menyambar dengan dahsyat! Dia membalik dan melihat seseorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Bertubuh sedang, pakaian berkembang-kembang, rambutknya juga riap-riapan dan mulut nya menyerengai seperti orang tertawa. Tentu saja Han Sin terkejut sekali dari sambaran tongkatnya tadi saja dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaian laki-lak i ini lebih t inggi dari pada tingkat wanita itu dan Kui Ji, akan tetapi dia tetapi sempat banyak berpikir karena mereka bertiga, ayah, ibu dan anak itu, sudah mengeroyoknya seperti tiga ekor serigala kelaparan.

“Ayah, ayah! Jangan bunuh dia. Dia adalah suamiku!“ sambil memainkan tongkatnya Kui Ji berteriak kepada ayahnya.

“Heh? Suamimu? Kenapa kalian keroyok?“ Tanya si ayah sambil terus mendesak Han Sin dengan tongkatnya.

“Dia menolak menjadi suami anak kita!“ jawab si isterinya.

“Hah ? Dia menolak menjadi suami Kui Ji? Ha-ha-ha-ha, tentu dia gila, gila sekali!“ si ayah lalu tertawa bergelak akan tetapi tongkatnya terus mendesak.

Sekali ini Han Sin benar-benar terdesak. Biarpun dia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu tidak pernah melakukan serangan untuk membunuhnya, akan tetapi mereka itu menggunakan senjata mereka untuk menotok jalan darahnya dan ternyata totokan mereka itu lihai sekali dan tidak mungkin untuk melindungi semua jalan darah ditubuhnya dengan sin-kangnya. Dia menjadi bingung. Kalau dia mau menggunakan pukulan-pukulan yang hebat dari Bu-tek-cin-keng, mungkin saja dia akan mampu merobohkan mereka.

Akan tetapi kalau hal itu dia lakukan, boleh jadi dia akan memukul mati kepada mereka dan hal ini sama sekali tidak dia kehendaki. Tiga orang itu adalah orang-orang sinting, bukan orang jahat. Dan agaknya biarpun gila, tiga orang itu cerdik sekali. Mereka membentuk kepungan segitiga yang menutup semua jalan keluar, sehingga diapun tidak dapat meloloskan diri dari kepungan itu.

Biarlah, pikirnya kemudian, biarkan mereka menawanku. Kalau ada kesempatan, dia masih dapat melarikan diri. Hanya itu jalan satu-satunya karena dia tidak tega menurunkan tangan maut membunuh mereka. Akhirnya serangan hebat dari tiga orang itu secara berbarengan, membuat dia roboh tertotok dalam keadaan lemas. Melihat dia roboh, tiga orang itu tertawa-tawa sambil menari-nari mengelilinginya. Han Sin merasa ngeri.

“Horeee, suamiku tertangkap! Dia akan menjadi suamiku tidak dapat menolak lagi!“ Kui Ji menarik-nari kegirangan. “Biar dia kubawa pulang!“ Gadis itu sudah membungkuk hendak memondong tubuh Han Sin yang tak berdaya itu.

"Kui Ji, jangan bodoh!“ seru ayahnya. “Mantu ini lihai sekali dan kalau dia sudah mampu bergerak, engkau bukan tandingannya. Karena itu dia harus diikat dulu agar tidak dapat memberontak kalau sudah mampu bergerak!”

“Hik-hi-hi-hik, susah-susah amat sih!“ Cela istrinya. “Beri saja racunku kepadanya dan dia akan menjadi penurut seperti seekor domba, hi-hi-hik!“

Ayah dan anak itu memandang girang. “Haiiii, kenapa aku begini pelupa?” teriak ayah itu. “Cepat keluarkan racun itu dan berikan kepadanya, Liu Si...“

Wanita yang dipanggil Liu Si itu segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya yang berkembang. Ia memang seorang ahli tentang racun dan ia memiliki racun yang disebut 'Racun pelemas otot' Ia mengambil sebatang jarum, mengoleskan racun bubuk hitam itu kepada batang jarum, kemudian ia menusukkan jarum itu pada pangkal lengan Han Sin. Han Sin tidak mampu bergerak dan terpaksa dia hanya memandang ketika pangkal lengan kirinya ditusuk jarum.

Pedang Naga Hitam Jilid 06

MELIHAT disitu sunyi tidak ada seorangpun manusia kecuali dirinya, tanpa ragu lagi lalu Han Sin menanggalkan seluruh pakaiannya menumpuk pakaian itu diatas buntalannya yang diletakkan diatas batu. Kemudian diapun terjun memasuki air danau itu. Sejuk dan menyegarkan sekali. Airnya jernih, dasarnya dari batu dan pasir dalam dalamnya sebatas dada. Sejuk nyaman bukan main mandi di pagi hari itu. Han Sin beberapa kali menyelam dan berenang dengan hati gembira.

Tiba-tiba dia mendengar suara yang mencurigakan, datangnya dari tepi telaga. Cepat dia menengok dan masih melihat berkelebatnya bayangan orang. Cepat bukan main gerakan itu, hanya bayangannya saja dapat ditangkap pandang matanya. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hati Han Sin adalah ketika dia melihat ke atas batu dimana buntalannya dan pakaiannya tadi dia tinggalkan. Buntalan berikut pakaiannya tadi telah lenyap!

“Celaka...!“ Dia mengeluh. Andai kata kantung emasnya yang hilang, dia tidak akan segelisah ini, akan tetapi, semuanya telah lenyap dan kini dia dalam keadaan telanjang bulat! Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air menemui orang dalam keadaan seperti itu?

“Hei... Kembalikan pakaianku...!“ Dia berteriak sambil melangkah ke tepi, akan tetapi tubuhnya masih terendam dalam air.

Suaranya dikeluarkan dengan nyaring sehingga menimbulkan gema. Akan tetapi, tidak ada jawaban. Suasana sunyi dan burung-burung terbang ketakutan, terkejut oleh teriakannya yang nyaring tadi. Han Sin menjadi gelisah. Jangan-jangan pencuri itu telah melarikan diri dan tidak akan kembali lagi! Bagaimana dia dapat melakukan dan melajutkan perjalanan tanpa sehelaipun pakaian untuk menutupi ketelanjangannya? Apakah petani itu telah kumat kembali dan dia yang mencurinya? Tidak mungkin, gerakan petani itu tidaklah secepat orang yang tadi dilihat bayangannya.

Han Sin merasa gelisah sekali dan tidak berdaya. Dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, yang tidak gentar menghadapi lawan bagaimana pun juga, kini menjadi gelisah menghadapi ketelanjangannya dan dia merasa tidak berdaya sama sekali.

“Haaiiiiii...! saudara yang mengambil buntalanku! Engkau boleh memiliki buntalan dan semua isinya, akan tetapi kembalikan pakaianku! Tolong kembalikan pakaianku!“ Dalam suaranya terkandung permohonan yang sungguh-sungguh. Sialan, pikirnya. Dia yang kecurian malah dia yang memohon dan minta tolong.

Tiba-t iba dia melihat sebuah kepala keluar dari balik semak-semak. Bukan kepala binatang, melainkan kepala manusia, dan melihat rambutnya yang hitam panjang itu tentulah kepala seorang wanita muda. Wajah itu cantik pula, dengan hidung yang mancung dan mulut tersenyum menggairahkan. Kepala itu nongol sebentar, sepasang mata berkedip-kedip memandangnya, lalu menyusup lagi dibelakang semak-semak.

“ Haiiii... nona ataubnyonya... keluarlah dan kembalikan pakaianku...!“ katanya, dan pandangan matanya mencoba untuk menembus semak belukar itu. Hening sejenak, kemudian kepala itu nongol lagi. Kini muka yang cantik itu tertawa.

“Hi-hi-hi-hik, lucunya...!“ kini muka itu lebih jelas kelihatan dan ternyata wajah seorang gadis yang cantik, akan tetapi suara tawanya aneh, dan matanya yang indah itu berkedip-kedip aneh.

Han Sin menggapai, “Nona... harap mengasihani aku. Tolong kembalikan pakaianku...! “ Dia memohon.

Kini nona itu keluar dari balik semak-semak. Tubuhnya ramping, rambutnya hitam panjang hanya diikat dengan sutera kuning. Kulitnya putih dan wajah itu cantik dengan mata yang berbinar-binar, hidungnya yang mancung dan mulut yang selalu tersenyum lebar, memperlihatkan kilat an gigi yang putih berderet rapi. Akan tetapi pakaiannya sungguh aneh. Berkembang-kembang dan potongannya longgar kedodoran. Kakinya memakai sepatu hitam dari kulit kayu. Gadis itu berdiri dan memandang kepada Han Sin seperti orang yang terheran-heran, akan tetapi Han Sin melihat bahwa gadis itu tidak membawa apa-apa. Dan diapun bersangsi apakah gadis itu yang mencuri buntalannya, karena tidak mungkin gadis itu dapat bergerak secepat bayangan tadi.

“Nona, kesinilah...!“ Dia menggapai karena biarpun gadis itu bukan pencurinya, dia dapat minta tolong kepadanya untuk mencarikan pakaian sebagai penutup ketelanjangannya.

Gadis itu mendekat, dengan langkah yang aneh, berlari-lari kecil seperti tingkah seorang kanak-kanak. Kini dia berdiri di tepi telaga memadang Han Sin dengan terbelalak dan penuh perhatian. “Hik-hi-hi-hi, lucunya...!“

Kembali ia berkata dan sikapnya itu membuat Han Sin merasa bulu tengkuknya meremang. Ada sesuatu yang tidak wajar dalam sikap gadis cantik itu. Masa seorang gadis dewasa seperti itu bersikap kekanak-kanakkan dan tertawa lucu melihat dia berendam dalam air.

“Nona apa engkau melihat orang yang mengambil pakaian dan buntalanku?“ tanya Han Sin akan tetapi yang ditanya hanya terkekeh seperti orang yang merasa melihat hal yang lucu. Han Sin merasa jengkel juga. Pertanyaannya hanya di jawab dengan kekeh yang aneh.

“Nona,...“ Katanya , “Tolonglah aku, carikan pakaian agar aku tidak telanjang...“

Kembali nona itu terkekeh, kemudian terdengar suaranya, suaranya sebetulnya merdu seperti suara seorang gadis, akan tetapi nadanya aneh seperti orang yang asing. “Kau... kau ini binatang apakah?“

Sialan, pikir Han Sin. Akan tetaapi karena diapun pada dasarnya berwatak lincah dan gembira. Dia tidak menjadi marah, bahkan tertawa. “Ha-ha-ha-ha, engkau lucu sekali, nona!"

“Hik-hi-hi-hik, engkau juga lucu!“ gadis itu kini tertawa-tawa sambil bertepuk-tepuk tangan dan meloncat-loncat seperti seorang anak kecil kegirangan.

Tentu saja Han Sin memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Tidak salah lagi, Gadis cantik itu berotak miring!

“Hik-hi-hik, apakah engkau ini sebangsa monyet? Monyet putih tidak berbulu?“ tanya gadis itu sambil mendekat dan tubuhnya mendoyong kedepan sehingga Han Sin khawatir merasa kalau-kalau gadis itu akan terjatuh ke dalam danau.

“Hussshhh!“ katanya gemas. “Aku bukan monyet, aku juga manusia seperti engkau!“

“Ahhh, manusia? Dan engkau laki-laki ya? Engkau tampan loh!“ Gadis itu memuji dan mengancungkan jempol.

Tanpa disadarinya, muka Han Sin menjadi merah. “Nona, aku ingin minta tolong kepadamu. Ketahuilah, semua barangku termasuk pakaian ku di curi orang. Aku kini telanjang sama sekali. Karena itu, tolonglah aku, carikan pakaian untukku, sedikitnya sebuah celana..."

“Hik-hi-hik, minta tolong boleh akan tetapi katakan dulu siapa namamu...“

Wahh gadis ini gila tapi pintar menggoda orang, pikirnya. Mau menolong akan tetapi menjual mahal. Pakai syarat segala macam. Akan tetapi mau tidak mau dia harus menjawab karena dia butuh pakaian. “Namaku Cian Han Sin...“

“Cian Han Sin, namamu aneh, Han Sin. Dan aku bernama Kui Ji“

“Namamu indah, nona...!“

“Heiii, sudah tahu namaku mengapa menyebut aku nona. Sebut saja adik Kui Ji yang baik...“

“Oya, adik Kui Ji yang baik, tolonglah carikan pakaian untuk aku agar aku dapat naik ke darat...“

“Kalau mau ke darat, naik saja sekarang!“

“Tidak mungkin, adik Kui ji yang baik, aku bertelanjang bulat!“

“Oh ya, ibu bilang hanya binatang yang telanjang bulat. Kalau manusia harus berpakaian. Kau memerlukan celanaku!“ Dan gadis itupun lalu melepaskan tali kain ikat pingganganya dan hendak menurunkan celananya.

Tentu saja Han Sin terkejut sekali dan dia memejamkan matanya. “Tidak, jangan lakukan itu! Jangan berikan celanamu kepadaku, nanti engkau telanjang!“

“Hik-hi-hik, sudah kubilang engkau lucu dan juga bodoh. Siapa yang mau telanjang?“ katanya dan tetap saja gadis itu menurunkan celananya yang berkembang-kembang.

Han Sin nekat membuka matanya dan sudah bersiap-siap untuk menutupnya kembali kalau gadis itu bertelanjang. Akan tetapi ternyata dia memakai celana rangkap berapa, entah rangkap berapa karena pakaiannya kedodoran seperti itu.

“Nih, pakai celana ini!“ kata gadis itu sambil menggulung celana itu dan melemparkannya kepada Han Sin.

Han Sin menerima celana itu, akan tetapi bagaimana dia dapat memakainya kalau nona itu berada di situ? Untuk mengenakan celana itu dia harus lebih dulu keluar dari dalam air. “Nona, pergilah dulu...“

“Siapa nona!?“

“Oh ya, adik Kui ji yang baik, harap pergi dulu agar aku dapat naik dan mengenakan celana ini...“

“Aku tidak akan pergi dan aku mau menonton engkau memakai celana. Tentu lucu sekali...“ Gadis itu terkekeh-kekeh.

Dan kembali wajah Han Sin menjadi merah. Gadis ini benar-benar gila tidak ketulungan lagi, sudah lupa akan rasa malu dan sopan santun. Dia lalu mengerahkan tenaganya dari dalam air itu dia meloncat jauh ke depan, kearah sebuah batu besar. Tubuhnya melayang seperti burung terbang dan cepat dia berdiri di balik batu besar agar gadis itu tidak melihatnya.

Tergesa-gesa dia mengenakan celana itu. Celaka, celana itu ujungnya kecil sekali sehingga ketika dia memaksa dan menariknya ke atas, terdengarlah suara kain robek. Terpaksa dia memotong bagian bawahnya dan kini dia memakai sebauh celana sebatas lutut yang berkembang-kembang! Biarpun pakaian itu minim sekali, akan tetapi setidaknya membuat dia berani menghadapi orang, tidak bertelanjang bulat.

Sementara itu gadis yang pakaiannya berkembang-kembang itu terbelalak melihat Han Sin meloncat dari dalam air ke atas batu, agak jauh darinya. Ia masih tertegun memandang Han Sin yang muncul dari balik batu dengan mengenakan celana kembang sebatas lutut, kemudian, sekali ia mengayun tubuhnya, tubuh itu berkelebat dan telah berada di depan Han Sin, membuat pemuda itu terkejut sekali. Kiranya gadis gila ini pandai ilmu silat dan dapat meloncat dengan gerakan demikian cepatnya. Kembali timbul kecurigaannya bahwa yang mencuri buntalannya tentulah gadis ini pula.

“Aih, kiranya engkau memilik iilmu kepandaian pula, Han Sin? Bagus, mari kita bermain-main sebentar!“ katanya sambil tertawa terkekeh dan tahu-tahu tangan kanannya telah menyerang Han Sin dengan gerakan melengkung aneh. Akan tetapi tangan yang semula tidak kelihatan seperti hendak memukulnya itu, tahu-tahu telah membelok dan menampak ke arah mukanya dengan gerakan demikian cepatnya. Juga amat kuat karena tamparan itu di dahului angin pukulan yang terasa panas oleh pipi Han Sin.

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Han Sin cepat mengelak dengan menarik ke belakang tubuh atasnya, akan tetapi Kui Ji menyerang lagi dengan tamparan susulan. Ia pun menyerang bertubi-tubi dengan tamparan dan totokan dan gerakannya makin lama makin aneh namun lihai bukan main. Han Sin terus mengelak, setelah mengelak atau menangkis selama belasan jurus, ketika tangan gadis itu mencengkram ke arah lehernya, dia sengaja mengerahkan tenaganya dan menangkis keras.

“Duukkk...!“ kedua lengan bertemu dengan kuatnya dan gadis itu terdorong mundur. Lalu memegangi lengan yang tertangkis itu dan menangis.

“Hu-hu-hu-hu-hu... kau nakal... hu-hu-hu... kau menyakiti lenganku...!“ akan tetapi sambil menangis ia menyerang terus dan kini ia sudah memungut sebatang tongkat berbentuk ular yang tadi ditinggalkan diatas batu.

Hebat sekali serangan dengan tongkat ini, dan gerakannya tetap aneh sekali, berbeda dengan ilmu-ilmu silat biasa. Kalau ujungt ongkat itu menggetar menyerang dengan tusukan ke arah dada, ternyata penyerangan yang sesungguhnya adalah pukulan ke arah kepala. Kalau nampaknya pada permulaan menyerang ke kanan, ternyata menyerang ke kiri. Seperti serangan orang yang kebingungan dan nampaknya ilmu silat gadis itu kacau balau seperti kacau balaunya jalan pikirannya. Akan tetapi justru kekacauan itulah yang membuat ilmu silat itu lihai dan berbahaya sekali, tidak dapat diduga perkembangannya.

Han Sin yang hanya bert ahan saja, terpaksa beberapa kali menjadi korban tamparan dan totokan, akan tetapi karena dia sudah melindungi tubuhnya dengan sin-kang yang kuat, maka dia tidak sampai roboh. Akhirnya dia tahu bahwa kalau dia tidak membalas, mungkin saja dia dapat terluka oleh tongkat yang gerakannya terkadang seperti seekor ular itu. Maka, mulailah dia mengerahkan tenaga dan memainkan Bu-tek-cin-keng. Ketika tongkat meluncur menusuk matanya, han Sin menangkis sehingga tongkat terpental dan dengan tangan kirinya diapun mendorong dengan telapak tangannya kedepan sambil mengerahkan tenaga yang dia kendalikan agar jangan sampai dia melukai gadis itu.

“Wuuutttt... aighhh...!"“ Kui ji terdorong kebelakang dan ia menjerit, kemudian jatuh terduduk. Napasnya agak terengah. Dorongan itu ternyata mengeluarkan hawa pukulan yang menghimpit dadanya dan menyesakkan napasnya. Gadis itu memandang bengong sesaat, kemudian dia meloncat dan menundingkan telunjuk kirinya ke arah muka Han Sin.

“Han Sin, engkau menggunakan ilmu iblis apakah?“ Ia lalu memutar tongkatnya ke atas kepala dan melanjutkan. "Akan tetapi, aku tidak takut, hayo kita lanjutkan!“ Dan diapun sudah menyerang lagi kalang kabut dan agaknya gadis itu merasa penasaran dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Dan kini ia menyerang sambil mengeluarkan suara melengking tinggi dan panjang.

Han Sin kembali terkejut. Teriakan melengking itu bukan sembarangan teriakan melainkan teriakan yang mengandung khikang dan bagi lawan yang kurang kuat sin-kangnya tentu akan terguncang hatinya dan mengacaukan pikirannya sehingga mudah dirobohkan dan serangannya itupun hebat bukan main. Sekali tongkat bergerak, ujung tongkat tergetar dan menotok secara bertubi-tubi ke arah jalan darah di tubuhnya bagian depan.

“Hemmm...!"“ Han Sin mengelak dan ketika ia mendapat kesempatan, tangannya meraih, menangkap tongkat itu dan tangan yang sebelah;lagi menotok lengan yang memegang tongkat dekat siku sehingga lengan itu menjadi lumpuh seketika dan dengan mudah dia telah merampas tongkat itu!

Gadis itu terkejut dan melompat kebelakang, matanya yang indah itu memandang kepada Han Sin dengan terbelalak. Han Sin merasa tidak enak hati. Gadis itu telah menolongnya memberi celana dan kini dia mengalahkannya. “Maafkan aku dan terimalah kembali tongkatmu...“ katanya sambil menyerahkan tongkat yang bentuknya seperti ular itu.

Kui Ji menerima tongkatnya dan sungguh aneh sekali. Kini ia tersenyum dan menunjukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan sikapnya menjadi seperti seorang gadis yang malu-malu! “Kau telah mengalahkan aku... Kau telah mengalahkan aku...“ demikian katanya berulang-ulang seolah tidak percaya bahwa ada orang yang dapat mengalahkannya.

“Maaf, adik Kui Ji yang baik, kepandaianmu hebat sekali dan aku merasa kagum...“ kata Han Sin dengan sungguh hati karena memang dia kagum melihat ilmu silat gadis itu yang aneh dan lihai sehingga dia sendiri beberapa kali terkena tamparan dan totokan gadis itu.

“Hik-hi-hi-hik! Akhirnya engkau datang juga, koko! Engkaulah pemuda yang mampu mengalahkan aku. Jadi engkau yang pantas menjadi suamiku! Dan Aku senang menjadi istrimu, koko Han Sin...“ Gadis it lalu menghampiri Han Sin dan kedua tangannya siap untuk memeluk.

Han Sin terkejut sekali dan dia melangkah mundur. “Ah, tidak, Kui Ji... adik yang baik, jangan begitu. Aku tidak mempunyai pikiran sama sekali untuk berjodoh, aku bukan jodohmu!“

Kui Ji seperti terheran dan terkejut mendengar ini dan kedua tangan yang sudah terangkat untuk memeluk itu, jatuh kembali. “Apa? Kau... kau menolak menjadi suamiku...?"

“Aku belum mempunyai niat untuk menjadi suami siapa saja...“ jawab Han Sin singkat. Dia mau mengalah terhadap seorang yang otaknya tidak waras, akan tetapi kalau harus mengawininya, tentu saja dia tidak mau.

Tiba-tiba gadis itu menangis dan teriakannya melengking nyaring. Han Sin menjadi serba salah. Tadinya dia hendak mencari buntalannya, akan tetapi dalam keadaan seperti itu tentu Kui Ji tidak mau bicara tentang buntalan itu. Kalu gadis itu di tinggalkan, lalu bagaimana dengan buntalannya yang terisi pakaian dan uang bekal? Kalau tidak ditinggalkan dan dihadapi terus, bagaimana dia harus bersikap melihat kegilaan ini. Selagi dia hendak pergi saja meninggalkan gadis itu, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan terdengar suara yang tinggi melengking.

“Heiiiii... siapa berani mengganggu anakku sampai ia menangis sedih? Siapa...?“

Dan tiba-tiba didepan Han Sin berdiri seorang wanita. Sekali pandang saja tahulah Han Sin bahwa wanita ini pun keadaanya sama dengan Kui Ji. Usianya sekitar empat puluh delapan tahun. Wajahnya masih membayangkan bekas kecantikan, tubuhnya juga masih ramping padat. Rambutnya terurai panjang seperti rambut Kui Ji. Akan tetapi kalau rambut Kui Ji diikat sutera kuning, rambut wanita ini riap-riapan, sebagian ada yang menutupi wajahnya sehingga kelihatan menyeramkan. Rambut itu panjang sampai ke pinggul dan masih hitam lebat. Pakaian wanita ini pun berkembang-kembang dan tangan kanannya memegang sebatang pecut seperti yang biasa dipergunakan para penggembala kerbau dan lembu mereka.

"Ibu... oh, ibu...!“ Kui Ji makin meledak-ledak tangisnya. “Dia... dia ini menolak untuk menjadi suamiku, padahal aku telah menjatuhkan pilihanku kepadanya, ibu... hajarlah dia agar dia mau menjadi suamiku...“

Wajah yang masih cantik itu nampak menyeramkan, sepasang matanya seperti bersinar-sinar penuh kemarahan, mulutnya cemberut. "Apa...? Berani cacing pita ini menolak anakku? Anakku cukup pantas menjadi isteri seorang pangeran, apalagi hanya cacing macam ini! Orang muda, siapa engkau?“

“Ibu, namanya Cian Han Sin dan ilmu silatnya cukup tinggi dia telah mengalahkan aku!“ kata Kui Ji.

Dan mendengar ini wanita itu kelihatan semakin penasaran. “Cian Han Sin, anakku telah memilih engkau menjadi suami! Hayo katankan, apakah engkau tetap tidak mau!“ tanya wanita itu dengan suaranya yang galak.

Han Sin merasa serba salah. Dia tidak marah melihat sikap mereka yang hendak memaksanya menjadi suami Kui Ji karena dia maklum bahwa ibu dan anak ini tidak waras pikirannya. Dia pun tidak ingin bermusuhan dengan mereka, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami Kui Ji? selain gadis itu seorang yang miring otaknya, juga dia sama sekali belum berniat untuk menjadi suami orang.

“Maafkan saya, bibi yang baik. Akan tetapi saya belum mempunyai keinginan untuk menikah, karena itu terpaksa saya menolak keinginan adik Kui Ji yang baik...“

“Hik-hi-hik, kau sudah menyebut Kui Ji sebagai adik yang baik, tentu engkau suka kepadanya. Engkau harus menjadi suaminya, harus dan tidak boleh menolak lagi. Engkau mantuku yang baik, tidak usah malu-malu kucing, katakanlah engkau mau!“

“Ibu, koko Han Sin bahkan sudah memberi emas kawin berupa beberapa stel pakaiannya dan sekantung emas...“ kata Kui Ji.

“Nah, apalagi sudah memberi emas kawin. Dan itu...“ Wanita itu menunjuk ke arah celana yang dipakai Han Sin. “Bukankah itu celana mu, Kui Ji?”

“Benar, ibu. Celanaku itu sengaja kuberikan kepadanya untuk kenang-kenangan..."

“Wah, sudah begitu jauh hubungan kalian ya? Hayo, Han Sin kau ikut kami untuk merayakan pernikahan kalian!“

“Tidak bibi aku tidak mau!“ kata Han Sin yang merasa terdesak dan menjadi mendongkol juga. Agaknya biarpun gila gadis itu cukup licik untuk menyudutkannya.

“Kau harus mau, harus mau!“ Wanita itu melengking-lengking.

Akan tetapi Han Sin tetap menggeleng kepala. Kini mulai timbul kemarahannya setelah mendengar ucapan Kui Ji bahwa buntalannya benar dicuri oleh gadis itu dan dikatakan sebagai emas kawin.

“Kalau begitu, aku akan memaksamu!“ Kata wanita itu dan ketika ia menggerakkan cambuknya di udara, terdengar suara meledak-ledak nyaring. Akan tetapi Han Sin yang sudah marah tidak merasa takut. Dia malah ingin menundukkan wanita ini dan puterinya agar dapat dipaksanya mengembalikan buntalannya.

“Wuuuutttt... tarrrr!“ cambuk itu menyambar ke arah kepala Han Sin dan meledak ketika Han Sin cepat mengelak. Wah, ilmu kepandaian wanita ini lebih lihai daripada puterinya, pikirnya dan diapun cepat menggunakan ilmu Bu-tek-cin-keng untuk menghadapinya.

Memang hebat ilmu cambuk wanita itu. Cambuk itu menyambar-nyambar dan meledak-ledak seolah-olah cambuk itu menjadi banyak, menyerang keseluruh pusat jalan darah di tubuh Han Sin. Pemuda itu mengelak dan kadang menangkis, kulitnya telah dilindungi sinkang sehingga kebal terhadap lecutan cambuk dan diapun balas menyerang untuk merobohkan wanita itu. Terjadilah pertandingan yang seru sekali. Gerakan cambuk itu aneh dan sukar di duga, seperti juga gerakan tongkat di tangan Kui Ji tadi sehingga beberapa kali usaha Han Sin untuk menangkap ujung cambuk selalu gagal. Setiap kali tangannya meraih ujung cambuk itu tiba-tiba melejit dan menghindar.

Suatu ketika, dengan tangan kirinya Han Sin berhasil menangkap ujung cambuk, akan tetapi tiba-t iba saja wanita itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang hitam panjang itu menyambar dan ujung gumpalan rambut itu menotok pergelangan tangan Han Sin yang menangkap ujung cambuknya. Han Sin merasa betapa lengannya tergetar hampir lumpuh dan cambuk itu sudah ditarik lepas dari tangannya. Dia terkejut sekali, tidak menyangka bahwa selain lihai dengan cambuknya wanita itupun lihai memainkan rambut kepalanya sebagai cambuk. Dia menjadi penasaran dan tidak mau mengalah lagi.

Dengan cepat kaki tangannya membalas serangan wanita itu dengan pukulan dan tendangan yang amat kuat. Wanita itu mengeluarkan teriakan aneh karena terkejut dan iapun terdesak mundur. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan Kui Ji dan gadis ini sudah memasuki pertandingan itu dan mengeroyok Han Sin dengan tongkat ularnya.

Han Sin tersenyum. “Bagus! Majulah kalian berdua, aku memang ingin menundukkan kalian berdua ibu dan anak yang sinting!“ katanya dan dia pun melayani pengeroyokan itu . Akan tetapi mudah saja berkata demikian, namun pada kenyataannya amatlah sukar mengalahkan ibu dan anak itu setelah mereka maju berdua. Ternyata ibu dan anak yang sama-sama gilanya ini dapat bekerjasama dengan baik sekali. Tiga macam senjata yait ucambuk, rambut dan tongkat yang kacau balau gerakannya dan tak dapat di duga perkembangannya itu mengeroyok Han Sin.

Pemuda ini mengerahkan tenaga dan kelincahannya untuk berkelebat menhindar, kadang menangkis dan membalas dengan serangan pukulan dan tendangannya. Biarpun di keroyok dua oleh ibu dan anak yang lihai itu, perlahan-lahan Han Sin dapat mempelajari gereka mereka setelah dia mengetahui cara perkembangan serangan lawan yang serba terbalik itu. Dia yakin bahwa akhirnya dia akan mampu mengalahkan mereka.

Akan tetapi mendadak terdengar suara parau membentak. “Orang gila dari mana berani mengganggu istri dan anakku?“ Dan ada hembusan angin pukulan yang kuat sekali menghantam kepala.

Han Sin mengelak, sebatang tongkat menyambar dengan dahsyat! Dia membalik dan melihat seseorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Bertubuh sedang, pakaian berkembang-kembang, rambutknya juga riap-riapan dan mulut nya menyerengai seperti orang tertawa. Tentu saja Han Sin terkejut sekali dari sambaran tongkatnya tadi saja dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaian laki-lak i ini lebih t inggi dari pada tingkat wanita itu dan Kui Ji, akan tetapi dia tetapi sempat banyak berpikir karena mereka bertiga, ayah, ibu dan anak itu, sudah mengeroyoknya seperti tiga ekor serigala kelaparan.

“Ayah, ayah! Jangan bunuh dia. Dia adalah suamiku!“ sambil memainkan tongkatnya Kui Ji berteriak kepada ayahnya.

“Heh? Suamimu? Kenapa kalian keroyok?“ Tanya si ayah sambil terus mendesak Han Sin dengan tongkatnya.

“Dia menolak menjadi suami anak kita!“ jawab si isterinya.

“Hah ? Dia menolak menjadi suami Kui Ji? Ha-ha-ha-ha, tentu dia gila, gila sekali!“ si ayah lalu tertawa bergelak akan tetapi tongkatnya terus mendesak.

Sekali ini Han Sin benar-benar terdesak. Biarpun dia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu tidak pernah melakukan serangan untuk membunuhnya, akan tetapi mereka itu menggunakan senjata mereka untuk menotok jalan darahnya dan ternyata totokan mereka itu lihai sekali dan tidak mungkin untuk melindungi semua jalan darah ditubuhnya dengan sin-kangnya. Dia menjadi bingung. Kalau dia mau menggunakan pukulan-pukulan yang hebat dari Bu-tek-cin-keng, mungkin saja dia akan mampu merobohkan mereka.

Akan tetapi kalau hal itu dia lakukan, boleh jadi dia akan memukul mati kepada mereka dan hal ini sama sekali tidak dia kehendaki. Tiga orang itu adalah orang-orang sinting, bukan orang jahat. Dan agaknya biarpun gila, tiga orang itu cerdik sekali. Mereka membentuk kepungan segitiga yang menutup semua jalan keluar, sehingga diapun tidak dapat meloloskan diri dari kepungan itu.

Biarlah, pikirnya kemudian, biarkan mereka menawanku. Kalau ada kesempatan, dia masih dapat melarikan diri. Hanya itu jalan satu-satunya karena dia tidak tega menurunkan tangan maut membunuh mereka. Akhirnya serangan hebat dari tiga orang itu secara berbarengan, membuat dia roboh tertotok dalam keadaan lemas. Melihat dia roboh, tiga orang itu tertawa-tawa sambil menari-nari mengelilinginya. Han Sin merasa ngeri.

“Horeee, suamiku tertangkap! Dia akan menjadi suamiku tidak dapat menolak lagi!“ Kui Ji menarik-nari kegirangan. “Biar dia kubawa pulang!“ Gadis itu sudah membungkuk hendak memondong tubuh Han Sin yang tak berdaya itu.

"Kui Ji, jangan bodoh!“ seru ayahnya. “Mantu ini lihai sekali dan kalau dia sudah mampu bergerak, engkau bukan tandingannya. Karena itu dia harus diikat dulu agar tidak dapat memberontak kalau sudah mampu bergerak!”

“Hik-hi-hi-hik, susah-susah amat sih!“ Cela istrinya. “Beri saja racunku kepadanya dan dia akan menjadi penurut seperti seekor domba, hi-hi-hik!“

Ayah dan anak itu memandang girang. “Haiiii, kenapa aku begini pelupa?” teriak ayah itu. “Cepat keluarkan racun itu dan berikan kepadanya, Liu Si...“

Wanita yang dipanggil Liu Si itu segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya yang berkembang. Ia memang seorang ahli tentang racun dan ia memiliki racun yang disebut 'Racun pelemas otot' Ia mengambil sebatang jarum, mengoleskan racun bubuk hitam itu kepada batang jarum, kemudian ia menusukkan jarum itu pada pangkal lengan Han Sin. Han Sin tidak mampu bergerak dan terpaksa dia hanya memandang ketika pangkal lengan kirinya ditusuk jarum.