Pedang Naga Hitam Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Han Sin tertegun. Tidak mau membunuh dan dibunuh? Ada apakah di antara gurunya ini dan tosu itu? Dan mengapa orang sesakti Ho Beng Hwesio dapat bersikap ketakutan seperti itu? Dia mengejar keluar ke dapur, akan tetapi hwesio tua renta itu sudah lenyap dari situ, agaknya sudah melarikan diri entah kemana!

Dengan perasaan heran sekali terpaksa Han Sin kembali ke ruangan depan dimana Tiong Gi hwesio sedang bercakap-cakap dengan tosu yang menjadi tamu. Mereka berdua memandang ketika Han Sin kembali ke ruangan itu, dan tosu itu mengerutkan alisnya melihat Han Sin datang seorang diri saja.

“Han Sin, mana Ho Beng hwesio? Kenapa tidak ikut denganmu?“ tanya Tiong Gi hwesio.

“Ho Beng suhu sedang pergi berbelanja, suhu, dia tidak berada di dapur,..“ Han Sin terpaksa berbohong untuk memenuhi permintaan Ho Beng hwesio.

“Pergi berbelanja? Aneh sekali, biasanya bukan dia yang pergi berbelanja,” Kata Tiong Gi hwesio.

Mendengar ini, tosu yang berjuluk Ngo-heng Thian-cu itu nampak marah sekali. “Keparat, Hek Liong Ong ! Kembali engkau dapat meloloskan diri dari tangan pinto!“ setelah berkata demikian, sekali meloncat tosu itu sudah pergi dari situ.

Tiong Gi hwesio tertegun dan terbelalak “Hek liong ong...“ apa maksudnya...?"

“Suhu, siapakah Hek liong ong itu? Han Sin bertanya, akan tetapi di dalam hatinya dia sudah dapat menduga. Tukang masak yang bernama Ho Beng hwesio itu memilik iilmu kepandaian yang tinggi sekali, dan mungkin saja dia seorang tokoh persilatan yang menyamar dan menyembunyikan diri di dalam kuil sebagai tukang masak.

“Hek liong ong adalah nama julukan seorang datuk sesat yang terkenal sekali puluhan tahun yang lalu dan yang kemudian lenyap dari dunia kang-ouw. Mungkinkah dia...“

“Suhu, kalau begitu biarlah teecu menyusul Ho Beng suhu ke pasar kota, tentu dia berbelanja di sana. Akan teecu kabarkan kepadanya bahwa dia di cari oleh tosu tadi...“

“Sebaiknya begitu dan suruh dia cepat pulang, Han Sin...“ Kata Tiong Gi hwesio dengan khawatir.

Han Sin segera pergi meninggalkan kuil. Akan tetapi dia tidak pergi ke kota raja, karena tidak mungkin Ho Beng hwesio pergi ke sana. Kalau suhunya itu pergi untuk menyembunyikan diri, kiranya hanya satu tempat yang akan di datangi suhunya itu dan dia dapat menduga mana tempat itu. Tentu tempat itu tak jauh dari sumber air dimana mereka berdua biasanya berlatih silat di waktu malam. Maka dia lalu mengambil jalan memutar menuju ke bukit di belakang kuil.

Dugaan Han Sin memang tidak keliru. Ketika mendengar bahw la ada seorang tosu berusia hampir tujuh puluh tahun, kurus tinggi dan memegang sebuah hud-tim dan sebatang tongkat putih, Ho Beng hwesio segera pergi dengan segera. Kambuh pula rasa takutnya akan kematian karena dia maklum betapa lihai musuh yang kini mencarinya itu. Dia atau tosu itu yang akan mati kalau mereka bertemu dan perkelahian takkan dapat dielakkan lagi.

Karena tidak ada tempat yang baik baginya untuk bersembunyi, maka dia lalu berlari menuju bukit di mana terdapat sumber air dan dimana biasanya dia melatih ilmu silat kepada Han Sin. Tempat ini cukup sunyi dan tersembunyi. Untuk sementara dia dapat bersembunyi di situ sampai keadaan aman dan dia dapat pergi mencari tempat lain yang jauh dari situ. Setelah ada musuh yang tahu bahwa dia bersembunyi di kuil itu sebagai seorang hwesio, tidak ada gunanya lagi menlanjutkan persembunyiannya di situ. Setelah tiba di lapangan rumput yang dikelilingi hutan kecil itu, dia duduk termenung.

Ngo heng thian cu? Dia ingat betul orang ini. Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, sebagai seorang di antara para datuk besar, dia bermusuhan dengan Thian Te ciu Kwi (Setan Arak Langit Bumi) yang terkenal sebagai seorang datuk dari timur. Dia juga disebut sebagai Dewa Mabok, namun ilmu silatnya lihai sekali dan setingkat dengan kepandaian Hek liong Ong.

Beberapa kali terjadi bentrokan antara dia dan thian te ciu kwi, terutama sekali ketika dia membantu perjuangan Yang Chien, sedangkan Ciu kwi membantu Raja Julan Khan, Raja bangsa Toba yang berkuasa di Tiang-an. Dalam pertempurannya terakhir dengan thian te ciu kwi mereka berkelahi lagi dan dia berhasil melukai ciu kwi yang menjadi semakin benci dan dendam kepadanya. Dan Ngo heng thian cu adalah murid yang paling lihai dari thain te ciu kwi!

Bahkan kabarnya tingkat kepandaian Ngo heng thian cu lebih tinggi dari tingkat kepandaian gurunya itu. Maka, kalau Ngo heng thian cu kini mencarinya, tentu akan membalas kekalahan gurunya dan mengingat akan kelihaian orang itu, dia harus melawan mati-matian. Padahal kini dia telah tua dan tenaganya sudah berkurang banyak sekali.

Sebetulnya dia tidak takut menghadapi siapa pun juga, akan tetapi membayangkan kematian membuat dia kembali merasa ngeri. Sia-sia saja usahanya selama bertahun-tahun ini untuk menghilangkan rasa takut. Bukan lenyap, melainkan hanya mengendap saja. Dan sekarang begitu maut mengancamnya, kembali rasa takut itu timbul dan mencekam hatinya.

Perasaan takut akan maut itu hanya dapat lenyap jika kita menyerahkan diri kepada Tuhan dengan penuh kepasrahan, penuh kepercayaan bahwa kematian hanya merupakan panggilan Tuhan pada umatNya. Bagaimana kelanjutan dari pada hidup kita sesudah mati, kita serahkan saja dengan penuh ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, Yang Maha Bijaksana. Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga tubuh ini agar tidak cidera, agar tidak sakit dan selamat terbebas dari gangguan. Akan tetapi kita tidak mungkin mencegah datangnya maut, kalau Tuhan sudah menghendakinya. Didalam semua ikhtiar kita, didasari kepasrahan kita. Pasrahlah kehendak Tuhan terjadi.

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

“Hek Liong ong...! tiba-tiba terdengar seruan yang mengejutkan hati Hek liong ong. Dia meloncat bangun dan memutar tubuhnya, menghadapi tosu itu dengan muka berubah pucat, akan tetapi segera dia tertawa dan keberaniannya timbul kembali karena dia memang tidak pernah takut menghadapi musuh.

“Ha ha ha... Ngo-heng Thian-cu! Mau apa engkau mencariku?”

“Hemmmm, Hek liong ong, tujuh tahun yang lalu, engkau mampu meloloskan diri dari Pulau Naga. Sekarang jangan harap akan dapat meloloskan diri lagi dari tangan pinto. Demi suhu Thian te Ciu kwi! Engkau harus mati di tangan pinto...“

“Thian te ciu kwi pengecut! Suruh dia datang sendiri menghadapi aku. Kenapa menyuruh engkau mewakilinya?“

“Suhu sudah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu dan pesannya kepada pinto yang terakhir adalah mencari dan membunuhmu, Hek Liong Ong. Sarangmu di Pulau Naga sudah ku bakar, Semua anak buahmu sudah kubunuh. Sekarang tinggal engkau yang harus mati di tangan pinto. Haaiittt...!” tiba-tiba tosu t inggi kurus itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Tongkatnya berubah menjadi sinar put h yang menyambar-nyambar.

Hek liong ong meloncat kebelakang dan tangannya menyusup ke balik jubahnya dan dilain saat dia sudah memegang sebatang pedang terhunus, kiranya kakek ini ketika melarikan diri tadi sudah membawa pedang yang disembunyikan dibalik jubahnya.

“Ngo heng thian cu, akan kuantar engkau menyusul arwah gurumu!“ bentaknya dan diapun maju menyambut serangan tosu itu dengan gerakan dahsyat pula.

Terjadi perkelahian yang hebat dan seru. Biarpun dia sudah tua renta namun Hek liong Ong masih mampu memainkan pedangnya dengan dahsyat. Kakek raksasa bermuka hitam ini memang tangguh sekali. Dan dalam usia mendekati seratus tahun itu tenaganya masih kuat sehingga pedang yang dimainkan ditangannya itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung.

Akan tetapi lawannya juga tidak kalah hebatnya, biarpun dia murid Thian te ciu kwi, namun tingkat kepandaiannya sudah melampaui tingkat gurunya sendiri. Hal ini dapat terjadi karena diapun mempelajari ilmu-ilmu silat dari aliran lain. Dan menghadapi Hek Liong Ong yang tangguh, Ngo heng thian cu ini mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Ketika Han Sin tiba di tempat itu, kedua orang sakti itu telah bertanding. Han Sin terkejut melihat tosu yang tadi mengunjungi kuil itu menemukan gurunya dan mereka telah berkelahi dengan serunya. Dia tidak berani mencampuri dan hanya menonton sambil mengintai dari balik batang pohon. Dia melihat bahwa gurunya tidak kalah tangguh dan kedua orang itu saling serang dengan hebatnya.

Suara berdentingan ketika pedang bertemu tongkat, diseling bentakan-bentakan mereka membuat suasana menjadi menegangkan sekali. Han Sin mengenal jurus-jurus maut dan sekali saja seorang diantara mereka kurang cepat mengelak dan menangkis, tentu akan roboh dan tewas Hudtim ditangan tosu itu lihai sekali, kadang dapat digunakan sebagai cambuk melecut, kadang menjadi kaku dan dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, dipadu dengan tongkat itu menjadi sepasang senjata yang ampuh sekali.

Akan tetapi, dia melihat gurunya juga menggerakkan pedang dengan cepatnya dan seringkali pedang itu merupakan ancaman maut bagi si tosu. Bagaimanapun juga, dalam adu kekuatan badan, usia juga ikut memegang peran penting sekali. Setelah lewat seratus jurus, nampaklah bahw a usianya merupakan kelemahan bagi Hek liong ong. Kekuat annya memang masih ada, akan tetapi daya tahannya yang merosot, napasnya mulai memburu dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, dengan sendirinya, setelah napasnya terengah-engah, tenaganya pun berkurang banyak dan dia hanya main mundur sambil menangkis saja.

Hek liong ong adalah seorang yang keras hati dan tidak pernah mau mengaku kalah. Melihat keadaannya yang sudah payah, dia menggunakan tenaga terakhir untuk menyerang. Dia mengayun pedangnya ke atas dan membacok kearah kepala tosu itu. Ngo heng thian cu yang melihat bahwa lawannya sudah mulai kehabisan napas, menggerakkan kebutannya dan bulu kebutan yang panjang itu menahan datangnya pedang. Melihat pedang itu sehingga tidak dapat digerakkan lagi.

Hek Liong ong terkejut dan penasaran. Dia menggunakan tangan kirinya membantu tangan kanan untuk merengut pedangnya dan membikin putus bulu kebutan yang melibat pedangnya. Dengan pengerahan tenaga, dia berhasil. Bulu kebutan itu putus, akan tetapi pada saat itu, tongkat putih di tangan kanan Ngo heng thian cu bergerak meluncur menusuk ke arah dada Hek liong ong! Hek liong Ong sedang mengerahkan tenaganya kepada kedua tangannya untuk merengut lepas pedangnya, maka dia tidak dapat lagi melindungi dadanya, tetap saja dia tidak akan mampu menahan tusukan cepat dan amat kuat itu.

“Craaapp...!“ tongkat putih yang terbuat dari pada baja yang amat kuat itu telah menembus dadanya. Mata Hek liong ong terbelalak dan pada saat itu, Ngo heng thian cu menendang perutnya sehingga dia terjengkang roboh dan darah mengucur keluar dari luka di dadanya.

“Kau... tosu yang jahat dan kejam!“ terdengar bentakan nyaring dan Han Sin sudah menerjang tosu itu dengan serangannya. Karena pemuda ini tidak membawa senjata, maka dia menyerang dengan tangan kosong. Tosu itu mengelak dengan loncatan kesamping. Han Sin menghadapinya dan menundingkan telunjuknya ke arah muka tosu itu.

“Engkau tosu jahat! Engkau telah membunuh Ho Beng hwesio yang tidak berdosa!“

“Ha-ha-ha...“ Ngo heng thian cu tertawa ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya adalah pemuda murid Tiong Gi hwesio tadi. “Dia Ho beng hwesio yang tidak berdosa? Ha-ha-ha! Orang muda, agaknya engkaupun kena ditipu olehnya. Ketahuilah, dia adalah Hek liong ong, seorang datuk sesat yang amat keji dan kejam. Entah sudah berapa ratus orang tewas ditangannya. Sudah bertahun-tahun pinto mencarinya dan dia dapat selalu menghindar. Tidak tahunya dia menyembunyikan diri dikuil dan menjadi hwesio..."

“Akan tetapi selama bertahun-tahun dia menjadi seorang hwesio yang tekun dan tak pernah berbuat dosa! Sekarang engkau membunuhnya. Engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu ini!“ kembali Han Sin menerjang dengan pukulan-pukulannya.

Menghadapi rangkaian serangan Han Sin, tosu itu dengan mudahnya mengelak ke sana sini, lalu melompat jauh kebelakang sambil berseru “pinto tidak mau bermusuhan dengan siauw-lim-pai! Pinto tidak dapat melayani mu lagi!“ dan diapun segera melarikan diri dengan amat cepatnya.

Han Sin maklum bahwa tosu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Gurunya saja kalah dan tewas oleh tosu itu, apalagi dia. Kalau tosu itu tidak mau melayani, bukan karena takut kepadanya, melainkan takut menanam bibit permusuhan dengan siauw lim pai karena bagaimanapun dia murid Tiong Gi hwesio seorang tokoh Siauw lim pai.

Dia lalu menghampiri jenazah Ho Beng hw esio dan berlutut didekat jenazah. Ho beng hwesio memang sudah tewas, dadanya berlubang oleh tusukan tongkat putih. Kini Ho Beng hwesio tidak perlu takut lagi menghadapi maut.

Perasaan takut timbul karena permainan pikiran membayangkan hal-hal yang belum diketahuinya. Kalau hal yang tadinya ditakuti itu sudah tiba, maka rasa takutnya akan hal itupun lenyap, dan rasa takut itu muncul dalam membayangkan hal-hal lain lagi yang belum diketahuinya.

Orang yang melekatkan bathinnya kepada kehidupan di dunia ini tentu timbul rasa takut membayangi kematian, terutama sekali karena dia akan kehilangan segala yang telah melekat dengan dirinya, segala yang telah mendatangkan kesenangan dan kenikmatan hidup, kehilangan orang-orang yang dikasihi, kehilangan harta benda yang disenangi, kehilangan kedudukan yang dibanggakan.

Kalau orang menyadari bahwa segala sesuat u ini adalah milik Tuhan, segala yang dimiliki itu hanyalah orang atau barang titipan belaka, bahwa sebetulnya dia tidak meiliki apa-apa, bahkan dirinya pun tidak, maka orang itu tentu akan bebas dari pada lekatan dan karenanya tidak akan merasa gentar menghadapi kematiannya yang pasti akan datang menjemput itu.


Han Sin memondong jenazah itu, menuruni bukit dan kembali ke kuil. Tiong Gi hwesio dan para hwesio lain menyambutnya dengan kaget sekali melihat jenazah Ho beng hwesio, tukang masak yang sudah tujuh tahun berada di kuil itu dianggap sebagai seorang hwesio yang baik, tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik, bahkan taat sekali kepada ketua kuil. Ketika Han Sin menceritakan apa yang dikatakan Ngo heng thian cu kepadanya tentang Ho beng hwesio, Tiong Gi hwesio menghela napas panjang dan menggeleng kepala.

“Omitohud... siapa mengira bahwa dia adalah hek liong ong yang tersohor itu? Bagaimanapun juga, pada masa tuanya, dia sudah berusaha untuk bertaubat. Akan tetapi, biarpun demikian, masih saja dia dicari musuh-musuhnya. Demikianlah kehidupan di dunia kang-ouw, adanya hanya dendam mendendam, balas membalas, bunuh membunuh. Setiap orang manusia tidak akan lolos dari jaring karmanya sendiri. Akan tetapi, disini dia telah membuktikan dirinya seorang yang baik dan tidak pernah melanggar, maka sudah sepatutnya kalau jenazahnya mendapat perawatan sebagaimana mestinya..."

Semua hwesio merasa setuju sekali, karena tidak ada seorangpun di antara mereka yang tidak menganggap Ho beng hwesio seorang yang baik hati. Akan tetapi hanya Han Sin seoranglah yang merasa amat berduka karena tanpa diketahui orang. Ho beng hwesio adalah gurunya selama lima tahun mengajarkan banyak ilmu silat yang tinggi kepadanya. Diapun tidak mempunyai gairah lagi untuk melanjutkan tinggal dikuil itu dan ketika ibunya datang menjenguknya, dia mengatakan hendak keluar dari kuil itu. Juga sekali ini, setelah Ho beng hw esio meninggal, kepada ibunya dengan terus terang dia membuka rahasia tentang dia belajar ilmu kepada Ho beng hwesio.

“Ho bwng hwesio itu siapakah?“ tanya ibunya yang belum pernah bertemu dengan hwesio tukang masak itu.

“Dia hwesio tukang masak disini, ibu, dan ternyata dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan telah mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan diam-diam karena dia tidak ingin diketahui orang lain bahwa dia memiliki kepandaian...“

“Aneh sekali orang itu. Aku ingin bertemu dan melihat orang yang telah mengajarkan ilmu silat kepadamu...“

“Tidak mungkin, ibu. Dia telah tewas belum lama ini...“

“Tewas? Mengapa?“

“Tewas terbunuh oleh musuhnya yang amat lihai...“

Nyonya itu terbelalak. “Ah, bagaimana terjadinya? Siapa dia sebenarnya dan apa yang telah terjadi di kuil itu, Han Sin?”

“Ibu, selama lima tahun aku di ajar ilmu silat olehnya, akan tetaapi selama itu aku tidak tahu sebenarnya siapa hwesio itu. Baru setalah kedatangan musuhnya itulah aku tahu bahwa suhu Ho beng hwesio itu sebetulnya dahulu berjuluk Hek Liong Ong...“

“Hek liong ong...?“ kini Ji Goat bangkit dari duduknya dan memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak. “Hek liong ong Poa Yok Su menjadi Ho beng hwesio di kuil Siauw lim si?”

“Ibu mengenalnya...?“

“Mengenal Hek liong ong? Tentu saja aku mengenalnya karena dia dahulu juga membantu perjuangan dan membantu berdirinya Kerajaan Sui. Bahkan lebih dari itu, dia adalah seorang diantara guru-guru dari mendiang ayahmu!“

Kini Han Sin tertegun. “Ah, kiranya guru mendiang ayah? Pantas dia mengajarkan ilmu kepadaku, walaupun secara sembunyi-sembunyi dan tidak mengajarkannya kepada orang lain!“

“Akan tetaapi bagaimana dia sampai tewas ditangan musuhnya? Siapakah musuhnya itu dan bagaimana terjadinya?”

Han Sin lalu menceritakan tentang kedatangan tosu tinggi kurus yang bernama Ngo heng thian cu itu dan betapa Ho beng hwesio segera melarikan diri ketika mendengar bahwa dia dicari tosu itu. “Aku menduga bahwa suhu tentu sembunyi di tempat dimana biasanya dia mengajarkan silat kepadaku dan ternyata dia memang berada di sana, akan tetaapi Ngo heng thian cu juga menemukan tempat persembunyiannya itu. Aku melihat mereka berkelahi dengan hebatnya dan akhirnya suhu roboh setelah pertandingan yang amat lama dan seru. Aku mencoba untuk menyerang tosu itu akan tetapi dia menghindar dan mengatakan bahwa dia tidak mau bermusuhan dengan siauw lim pai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa aku adalah murid Ho beng hwesio dan menganggap aku murid siauw lim pai. Ibu, apakah ibu juga mengenal Ngo heng thian cu?“

Ji Goat menghela napas panjang, mengenang semua kejadian masa lalu, ketika dia bersama mendiang suaminya, Cian Kuaw Cu, membantu Yang Chien berjuang menumbangkan kekuasaan Kerajaan Toba. “Ngo heng thian cu? Hemmm, kalau aku tidak salah ingat dia itu adalah murid Thain te ciu kwi. Dahulu Thian te ciu kwi membantu Kerajaan Toba sehingga tentu saja bermusuhan dengan Hek Liong ong yang membantu perjuangan rakyat yang memberontak terhadap Kerajaan Toba. Akan tetapi aku tidak mengira bahwa Thian te ciu kwi menyuruh muridnya untuk menyerang dan membunuh Hek liong ong...“

“Ibu, apakah Hek liong ong itu dahulunya seorang datuk sesat yang banyak melakukan kejahatan...?“

“Semua datuk dan tokoh sesat di dunia kangouw tidak segan melakukan kejahatan, anakku. Mereka tidak mengenal apa yang dinamakan kejahatan. Bagi mereka itu, mereka hanya melakukan segala kehendak hati mereka kalau perlu melalui kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Karena itu, tentu saja Hek liong ong sudah banyak melakukan perbuat an yang menyimpang dari kebenaran”

Han Sin menghela napas panjang. “Hemmmm benar saja dia seorang jahat yang kemudian hendak bert aubat menebus dosa dengan menjadi seorang hwesio...“

“Atau boleh jadi dia menjadi hwesio untuk menyembunyikan dirinya agar lolos dari ancaman musuh-musuhnya. Setelah menjadi tua dan merasa lemah, mungkin Hek liong ong lalu menjadi ketakutan. Dia dahulu memang seorang yang berhati keras dan kejam, dan karena itulah maka mendiang ayahmu tidak lama menjadi muridnya...“

"Ibu, apakah sebagai murid suhu Ho beng hwesio aku tidak berkewajiban untuk menuntut balas atas kematiannya?“

“Han Sin, Hek liong ong itu tidak mati penasaran. Permusuhannya dengan Ngo heng thian cu adalah permusuhan antara orang-orang kangouw dan kedua pihak memang terkenal sebagai golongan sesat. Engkau tidak perlu meliba kan dirimu. Yang terpenting bagimu adalah membalaskan kematian ayahmu. Ayahmu tewas secara penasaran, bukan gugur dalam perang akan tetapi terbunuh oleh pembunuh gelap secara curang dari belakang...“

“Akan tetapi kita tidak tahu siapa yang membunuhnya, bagaimana aku dapat mencarinya, ibu?"

“Memang tidak mungkin mencari pembunuhnya karena pembunuhan itu terjadi dalam pertempuran dan tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi ada satu hal yang akan membawamu kepada pembunuh ayahmu. Han Sin, yaitu Pedang Naga Hitam milik ayahmu. Pedang itu telah lenyap ketika ayahmu terbunuh. Maka pencuri pedang itu tentu pembunuh ayahmu. Jadi yang kau cari bukan bukan pembunuhnya melainkan pedangnya. Kalau pedang itu dapat kau temukan, tentu pembunuh ayahmu dapat kau temukan pula. Pedang Naga Hitam tidak ada keduanya di dunia ini, tentu akan dapat kau kenal!" Ibu itu lalu menceritakan dengan jelas ciri-ciri pedang pusaka milik mendiang suaminya itu.

“Kalau begitu aku akan segera pergi menyelidikinya dan mencari pedang itu, ibu...“

“Tidak, sebelum engkau mempelajari ilmu silat yang diwariskan ayahmu kepadamu, Han Sin...“, Ji Goat mengeluarkan kitab tulisan Kaisar Yang Chien yang menuliskannya dan menggambarkan ilmu silat Bu tek cin keng. “Ilmu ini di sebut Bu tek cin keng. Ilmu ini, ditemukan ayahmu dan Kaisar Yang Chien. Karena Kaisar Yang Chien berpendapat bahwa ayahmu yang lebih berhak, maka beliau menuliskan ilmu itu dalam kitab ini agar dapat diwariskan kepadamu. Kaisar tidak mengajarkan ilmu ini kepada orang lain, bahkan kepada para putera puterinya juga tidak. Karena itu, sebelum engkau pergi mencari pedang dan pembunuh ayahmu, engkau harus mempelajari dulu ilmu ini sampai dapat kau kuasai dengan sempurna..."

Han Sin adalah seorang anak yang patuh kepada orang tuanya. Apalagi ayahnya telah tiada, hanya tinggal ibunya. Maka dia selalu berusaha untuk membikin senang hati ibunya. Di samping itu, dia memang suka sekali mempelajari ilmu silat, maka ketika menerima kitab Bu tek cin keng itu dia segera mempelajarinya dengan tekun. Ketika dia mendapat kenyataan bahwa kitab itu amat sulit dipelajari, hal ini bahkan menambah semangatnya untuk mempelajarinya. Kesulitan itu merupakan tantangan baginya.

Ternyata kemudian bahwa semakin dia mendalami pelajaran ilmu Bu tek cin keng, semakin sukar. Han Sin harus berlatih dengan pencurahan perhatian sepenuhnya. Kaisar Yang Chien memang telah berusaha dengan sungguh-sungguh agar ilmu itu dapat diwariskan kepada putera Cian Kauw cu, maka dia menggambarkan ilmu itu dengan jelas. Juga cara melatih diri menghimpun tenaga sakti dalam ilmu itu ditulisnya dengan jelas dan teratur. Sedikit demi sedikit Han Sin mulai dapat menguasai ilmu itu. Dia tidak mengenal lelah, siang malam mempelajari ilmu itu dan dipraktekkannya dalam latihan. Ibunya senang sekali melihat ketekunan puteranya dan selalu memberi dorongan.

Setelah tiga tahun lamanya Han Sin mempelajari ilmu Bu tek cin keng dengan penuh semangat, barulah dia berhasil menguasai ilmu yang sukar itu. Dengan dikuasai ilmu yang hebat itu, Han Sin memperoleh kemajuan pesat sekali, terutama dalam hal kecepatan gerakan dan tenaga sakti. Dan kini telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahunan yang amat lihai.

Pada suatu hari, Ji Goat menonton puteranya latihan. Melihat pemuda itu bersilat dengan tangan kosong dengan gerakan yang amat ringan dan tenaga kedua tangannya itu mendatangkan angin yang membuat rambutnya tertiup angin dan pakaiannya berkibar, nyonya ini merasa gembira bukan main. Kini tingkat kepandaian puteranya sudah lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang ayah pemuda itu. Kemudian ia minta kepada puteranya untuk bersilat dengan menggunakan senjata pedang dan ia semakin kagum. Pedang biasa yang dimainkan Han Sin itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata, mengeluarkan suara berdesing-desing.

Selagi ibu itu mengagumi ilmu silat puteranya, tiba-tiba seorang pembantu rrumah tangga pria berlari-lari menghampiri mereka. "Nyonya... Nyonya... ada berita buruk...!“ katanya dengan gugup.

Han Sin menghentikan permainan pedangnya dan bersama ibunya dia memandang kepada pelayan it. Ji Goat juga merasa tidak senang dengan adanya gangguan ini. “A-seng...“ tegurnya “Ada apakah engkau berlari-lari dan nampak bingung seperti itu?”

“Berita buruk Nyonya! Sri baginada Kaisar... telah meninggal dunia...!"

Mendengar berita ini tentu saja Ji Goat dan Han Sin menjadi terkejut sekali. Mereka memang telah mendengar bahwa Sr ibaginda Kaisar Yang Chien menderita sakit. Akan tetapi tidak mereka sangka akan meninggal secepat itu.

“Ahhhh...!“ Nyonya itu menjatuhkan diri duduk di atas bangku dalam ruangan berlatih silat itu. Ia ingat akan semua pengalamannya diwaktu muda, ketika Kaisar Yang Chien belum menjadi Kaisar, melainkan menjadi sahabat baik dari suaminya. Tak terasa lagi air matanya mengalir ke atas kedua pipinya.

“Aihhhh, Sepasang Naga Lembah Iblis kini telah tiada...“ katanya kemudian.

“Ibu, Sri baginda Kaisar adalah seorang kaisar yang bijaksana dan dicintai rakyat jelata, dan lalu meninggal dunia dengan wajar, karena sakit. Kurasa tidak ada yang perlu dibuat duka dan sesal...“

“Engkau benar, Sri baginda kaisar meninggal dunia dengan wajar walaupun usianya belum tua benar. Berbeda dengan ayahmu yang meninggal dunia dengan penasaran,“ Kata Ji Goat.

Ibu dan anak ini segera berganti pakaian berkabung dan siap untuk pergi melayat ke istana, sebagai istri panglima tinggi dan sahabat kaisar, memang selayaknya kalau nyonya ini pergi melayat.

Kaisar Yang Chien, Kaisar yang dahulunya merupakan seorang jagoan, pemimpin rakyat yang berhasil menumbangkan kekuasaan Kerajaan Toba dan pendiri Kerajaan Sui, telah meninggal dunia dalam usia yang belum tua benar, baru sekitar enam puluh dua tahun. Menurut berita desas desus, Kaisar Yang Chien sakit-sakitan karena merasa kecewa dan berduka melihat bahwa diantara putera-puteranya tidak ada yang menuruni semangat dan kebijaksanaanya. Pangeran Yang Ti, puteranya yang diangkat menjadi putera mahkota, memang cukup bersemangat, akan tetapi kurang memiliki kebijaksanaan dan bahkan menunjukkan gejala suka menggunakan kekerasan dan suka pula kemewahan.

Sebelum dia meninggal, dia sempat berpesan kepada Pangeran Yang Ti agar memperhatikan nasib rakyat dan berusaha keras mensejahterakan kehidupan rakyat seperti yang telah dilakukannya. Sambil menangis, pangeran mahkota yang usianya sudah tigapuluh delapan tahun itu menyanggupi untuk melaksanakan pesan ayahnya.

Setelah Kaisar Yang Chien wafat, maka Pangerang Yang Ti diangkat menjadi penggantinya. Setelah Yang Ti menjadi Kaisar, nampaklah dia bahwa meneruskan usaha yang dirintis ayahnya. Terusan-terusan yang menghubungkan Huang-ho dan Yang-ce diperluas, sampai ke Hang-couw. Nampaknya dia bekerja keras untuk melanjutkan cita-cita ayahnya sehingga rakyat jelata merasa senang.

Pada permulaan pemerintahannya, tidak ada tanda-tanda bahwa Kaisar Yang Ti kelak akan menjadi seorang yang gila perang dan memboroskan uang negara untuk membangun istana-istana yang megah. Juga dia mengangkat banyak panglima dan pejabat tinggi, memilh diantara orang-orang yang sudah berhubungan akrab dengannya ketika dia masih menjadi seorang pangeran.

Pejabat-pejabat tua yang setia kepada ayahnya dihentikan dan dipensiun. Perubahan ini menimpa diri Ji Goat. Kalau dulu diwaktu kaisar Yang Chien masih hidup, Kaisar itu itu membiarkan janda sahabatnya ini mendiami gedung yang ditempati Panglima besar itu. Setelah Kaisar Yang Ti yang berkuasa, gedung itu diminta kembali untuk ditempati panglima yang baru diangkat dan terpaksa janda bersama puteranya untuk pindah. Sejak kecilnya Ji Goat yang dahulunya puteri Perdana Menteri Kerajaan Toba tinggal dalam istana indah. Kini ia harus meninggalkan gedung yang ditempatinya semenjak suaminya menjadi panglima besar.

Ji Goat sudah tidak betah lagi tinggal di kota raja, dimana terdapat banyak kenangan tentang suaminya, hal yang sering kali membuat ia termenung dan tenggelam dalam kesedihan. Maka ia lalu mengajak puteranya meninggalkan kota raja. Semua barang milik mereka pribadi mereka jual, semua pembantu rumah tangga mereka suruh pulang dan akhirnya mereka mencari tempat tinggal di sebuah dusun diluar kota raja, dekat kuil siauw lim si.

Ji Goat kembali membeli sebidang tanah, mendirikan sebuah rumah sederhana dan bekerja di kebun yang ditanami dengan sayur-sayuran dan buah-buahan. Ia merasa lebih tenang dan tentram tinggal ditempat sunyi ini. Dan sebulan setelah mereka pindah ke dusun itu, Ji Goat lalu minta kepada puteranya untuk mulai dengan tugasnya, yaitu mencari Pedang Naga Hitam untuk mengetahui siapa pembunuh suaminya.

“Akan tetapi ibu tinggal di sini seorang diri!“ kata Han Sin yang merasa kasihan kepada ibunya. “Mengapa ibu tidak memakai tenaga bantuan orang lain sebagai pelayan dan juga teman? Siapa yang akan menjaga ibu kalau aku harus pergi sekarang?“

“Han Sin, jangan bersikap cengeng!“ kata ibunya dengan tegas. “Ibumu bukanlah seorang wanita lemah. Aku dapat menjaga dan melindungi diriku sendiri. Aku masih kuat! Dan tentang pembantu, kalau aku memerlukan kelak, tentu bisa kudapatkan tenaga dari penduduk dusin ini. Berangkatlah dan jangan mengkhawatirkan keadaan ibumu!"

“Akan tetapi, karena aku akan mencari pencuri pedang yang tidak ada jejaknya, mungkin tugas ini akan memakan waktu lama sekali sebelum aku menemukannya, ibu...“

“Jangan gentar menghadapi kesukaran, anakku. Engkau sudah dewasa dan baru saja selesai mempelajari banyak ilmu silat. Bekal untuk menjaga dirimu sudah cukup kuat daripada ibu atau ayahmu sendiri diwaktu muda. Engkau perlu meluaskan pengalaman hidupmu. Hanya pesanku, berhati-hatilah menjaga dirimu sendiri, bukan hanya terhadap gangguan dari luar, melainkan terutama sekali menghadapi gangguan dari dalam. Jangan membiarkan dirimu dikuasai nafsu-nafsu sendiri yang akan menyeretmu ke dalam tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Ibu yakin semua ini sudah kau pelajari dari Tiong Gi hwesio selama engkau berada dikuil siauw-lim-si...“

Han Sin menangguk. “Semua pesan ibu akan ku taati. Jangan khawatir, ibu. Aku dapat menjaga diri baik-baik. Paling lama tiga tahun, berhasil ataukah tidak mencari Pedang Naga Hitam, aku pasti akan pulang, ibu...“

Demikianlah, setelah menerima banyak nasehat dengan membawa bekal emas secukupnya yang diberikan Ji Goat, Han Sin berangkat meninggalkan dusun itu...

********************

Pedang Naga Hitam Jilid 04

Han Sin tertegun. Tidak mau membunuh dan dibunuh? Ada apakah di antara gurunya ini dan tosu itu? Dan mengapa orang sesakti Ho Beng Hwesio dapat bersikap ketakutan seperti itu? Dia mengejar keluar ke dapur, akan tetapi hwesio tua renta itu sudah lenyap dari situ, agaknya sudah melarikan diri entah kemana!

Dengan perasaan heran sekali terpaksa Han Sin kembali ke ruangan depan dimana Tiong Gi hwesio sedang bercakap-cakap dengan tosu yang menjadi tamu. Mereka berdua memandang ketika Han Sin kembali ke ruangan itu, dan tosu itu mengerutkan alisnya melihat Han Sin datang seorang diri saja.

“Han Sin, mana Ho Beng hwesio? Kenapa tidak ikut denganmu?“ tanya Tiong Gi hwesio.

“Ho Beng suhu sedang pergi berbelanja, suhu, dia tidak berada di dapur,..“ Han Sin terpaksa berbohong untuk memenuhi permintaan Ho Beng hwesio.

“Pergi berbelanja? Aneh sekali, biasanya bukan dia yang pergi berbelanja,” Kata Tiong Gi hwesio.

Mendengar ini, tosu yang berjuluk Ngo-heng Thian-cu itu nampak marah sekali. “Keparat, Hek Liong Ong ! Kembali engkau dapat meloloskan diri dari tangan pinto!“ setelah berkata demikian, sekali meloncat tosu itu sudah pergi dari situ.

Tiong Gi hwesio tertegun dan terbelalak “Hek liong ong...“ apa maksudnya...?"

“Suhu, siapakah Hek liong ong itu? Han Sin bertanya, akan tetapi di dalam hatinya dia sudah dapat menduga. Tukang masak yang bernama Ho Beng hwesio itu memilik iilmu kepandaian yang tinggi sekali, dan mungkin saja dia seorang tokoh persilatan yang menyamar dan menyembunyikan diri di dalam kuil sebagai tukang masak.

“Hek liong ong adalah nama julukan seorang datuk sesat yang terkenal sekali puluhan tahun yang lalu dan yang kemudian lenyap dari dunia kang-ouw. Mungkinkah dia...“

“Suhu, kalau begitu biarlah teecu menyusul Ho Beng suhu ke pasar kota, tentu dia berbelanja di sana. Akan teecu kabarkan kepadanya bahwa dia di cari oleh tosu tadi...“

“Sebaiknya begitu dan suruh dia cepat pulang, Han Sin...“ Kata Tiong Gi hwesio dengan khawatir.

Han Sin segera pergi meninggalkan kuil. Akan tetapi dia tidak pergi ke kota raja, karena tidak mungkin Ho Beng hwesio pergi ke sana. Kalau suhunya itu pergi untuk menyembunyikan diri, kiranya hanya satu tempat yang akan di datangi suhunya itu dan dia dapat menduga mana tempat itu. Tentu tempat itu tak jauh dari sumber air dimana mereka berdua biasanya berlatih silat di waktu malam. Maka dia lalu mengambil jalan memutar menuju ke bukit di belakang kuil.

Dugaan Han Sin memang tidak keliru. Ketika mendengar bahw la ada seorang tosu berusia hampir tujuh puluh tahun, kurus tinggi dan memegang sebuah hud-tim dan sebatang tongkat putih, Ho Beng hwesio segera pergi dengan segera. Kambuh pula rasa takutnya akan kematian karena dia maklum betapa lihai musuh yang kini mencarinya itu. Dia atau tosu itu yang akan mati kalau mereka bertemu dan perkelahian takkan dapat dielakkan lagi.

Karena tidak ada tempat yang baik baginya untuk bersembunyi, maka dia lalu berlari menuju bukit di mana terdapat sumber air dan dimana biasanya dia melatih ilmu silat kepada Han Sin. Tempat ini cukup sunyi dan tersembunyi. Untuk sementara dia dapat bersembunyi di situ sampai keadaan aman dan dia dapat pergi mencari tempat lain yang jauh dari situ. Setelah ada musuh yang tahu bahwa dia bersembunyi di kuil itu sebagai seorang hwesio, tidak ada gunanya lagi menlanjutkan persembunyiannya di situ. Setelah tiba di lapangan rumput yang dikelilingi hutan kecil itu, dia duduk termenung.

Ngo heng thian cu? Dia ingat betul orang ini. Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, sebagai seorang di antara para datuk besar, dia bermusuhan dengan Thian Te ciu Kwi (Setan Arak Langit Bumi) yang terkenal sebagai seorang datuk dari timur. Dia juga disebut sebagai Dewa Mabok, namun ilmu silatnya lihai sekali dan setingkat dengan kepandaian Hek liong Ong.

Beberapa kali terjadi bentrokan antara dia dan thian te ciu kwi, terutama sekali ketika dia membantu perjuangan Yang Chien, sedangkan Ciu kwi membantu Raja Julan Khan, Raja bangsa Toba yang berkuasa di Tiang-an. Dalam pertempurannya terakhir dengan thian te ciu kwi mereka berkelahi lagi dan dia berhasil melukai ciu kwi yang menjadi semakin benci dan dendam kepadanya. Dan Ngo heng thian cu adalah murid yang paling lihai dari thain te ciu kwi!

Bahkan kabarnya tingkat kepandaian Ngo heng thian cu lebih tinggi dari tingkat kepandaian gurunya itu. Maka, kalau Ngo heng thian cu kini mencarinya, tentu akan membalas kekalahan gurunya dan mengingat akan kelihaian orang itu, dia harus melawan mati-matian. Padahal kini dia telah tua dan tenaganya sudah berkurang banyak sekali.

Sebetulnya dia tidak takut menghadapi siapa pun juga, akan tetapi membayangkan kematian membuat dia kembali merasa ngeri. Sia-sia saja usahanya selama bertahun-tahun ini untuk menghilangkan rasa takut. Bukan lenyap, melainkan hanya mengendap saja. Dan sekarang begitu maut mengancamnya, kembali rasa takut itu timbul dan mencekam hatinya.

Perasaan takut akan maut itu hanya dapat lenyap jika kita menyerahkan diri kepada Tuhan dengan penuh kepasrahan, penuh kepercayaan bahwa kematian hanya merupakan panggilan Tuhan pada umatNya. Bagaimana kelanjutan dari pada hidup kita sesudah mati, kita serahkan saja dengan penuh ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, Yang Maha Bijaksana. Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga tubuh ini agar tidak cidera, agar tidak sakit dan selamat terbebas dari gangguan. Akan tetapi kita tidak mungkin mencegah datangnya maut, kalau Tuhan sudah menghendakinya. Didalam semua ikhtiar kita, didasari kepasrahan kita. Pasrahlah kehendak Tuhan terjadi.

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

“Hek Liong ong...! tiba-tiba terdengar seruan yang mengejutkan hati Hek liong ong. Dia meloncat bangun dan memutar tubuhnya, menghadapi tosu itu dengan muka berubah pucat, akan tetapi segera dia tertawa dan keberaniannya timbul kembali karena dia memang tidak pernah takut menghadapi musuh.

“Ha ha ha... Ngo-heng Thian-cu! Mau apa engkau mencariku?”

“Hemmmm, Hek liong ong, tujuh tahun yang lalu, engkau mampu meloloskan diri dari Pulau Naga. Sekarang jangan harap akan dapat meloloskan diri lagi dari tangan pinto. Demi suhu Thian te Ciu kwi! Engkau harus mati di tangan pinto...“

“Thian te ciu kwi pengecut! Suruh dia datang sendiri menghadapi aku. Kenapa menyuruh engkau mewakilinya?“

“Suhu sudah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu dan pesannya kepada pinto yang terakhir adalah mencari dan membunuhmu, Hek Liong Ong. Sarangmu di Pulau Naga sudah ku bakar, Semua anak buahmu sudah kubunuh. Sekarang tinggal engkau yang harus mati di tangan pinto. Haaiittt...!” tiba-tiba tosu t inggi kurus itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Tongkatnya berubah menjadi sinar put h yang menyambar-nyambar.

Hek liong ong meloncat kebelakang dan tangannya menyusup ke balik jubahnya dan dilain saat dia sudah memegang sebatang pedang terhunus, kiranya kakek ini ketika melarikan diri tadi sudah membawa pedang yang disembunyikan dibalik jubahnya.

“Ngo heng thian cu, akan kuantar engkau menyusul arwah gurumu!“ bentaknya dan diapun maju menyambut serangan tosu itu dengan gerakan dahsyat pula.

Terjadi perkelahian yang hebat dan seru. Biarpun dia sudah tua renta namun Hek liong Ong masih mampu memainkan pedangnya dengan dahsyat. Kakek raksasa bermuka hitam ini memang tangguh sekali. Dan dalam usia mendekati seratus tahun itu tenaganya masih kuat sehingga pedang yang dimainkan ditangannya itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung.

Akan tetapi lawannya juga tidak kalah hebatnya, biarpun dia murid Thian te ciu kwi, namun tingkat kepandaiannya sudah melampaui tingkat gurunya sendiri. Hal ini dapat terjadi karena diapun mempelajari ilmu-ilmu silat dari aliran lain. Dan menghadapi Hek Liong Ong yang tangguh, Ngo heng thian cu ini mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Ketika Han Sin tiba di tempat itu, kedua orang sakti itu telah bertanding. Han Sin terkejut melihat tosu yang tadi mengunjungi kuil itu menemukan gurunya dan mereka telah berkelahi dengan serunya. Dia tidak berani mencampuri dan hanya menonton sambil mengintai dari balik batang pohon. Dia melihat bahwa gurunya tidak kalah tangguh dan kedua orang itu saling serang dengan hebatnya.

Suara berdentingan ketika pedang bertemu tongkat, diseling bentakan-bentakan mereka membuat suasana menjadi menegangkan sekali. Han Sin mengenal jurus-jurus maut dan sekali saja seorang diantara mereka kurang cepat mengelak dan menangkis, tentu akan roboh dan tewas Hudtim ditangan tosu itu lihai sekali, kadang dapat digunakan sebagai cambuk melecut, kadang menjadi kaku dan dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, dipadu dengan tongkat itu menjadi sepasang senjata yang ampuh sekali.

Akan tetapi, dia melihat gurunya juga menggerakkan pedang dengan cepatnya dan seringkali pedang itu merupakan ancaman maut bagi si tosu. Bagaimanapun juga, dalam adu kekuatan badan, usia juga ikut memegang peran penting sekali. Setelah lewat seratus jurus, nampaklah bahw a usianya merupakan kelemahan bagi Hek liong ong. Kekuat annya memang masih ada, akan tetapi daya tahannya yang merosot, napasnya mulai memburu dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, dengan sendirinya, setelah napasnya terengah-engah, tenaganya pun berkurang banyak dan dia hanya main mundur sambil menangkis saja.

Hek liong ong adalah seorang yang keras hati dan tidak pernah mau mengaku kalah. Melihat keadaannya yang sudah payah, dia menggunakan tenaga terakhir untuk menyerang. Dia mengayun pedangnya ke atas dan membacok kearah kepala tosu itu. Ngo heng thian cu yang melihat bahwa lawannya sudah mulai kehabisan napas, menggerakkan kebutannya dan bulu kebutan yang panjang itu menahan datangnya pedang. Melihat pedang itu sehingga tidak dapat digerakkan lagi.

Hek Liong ong terkejut dan penasaran. Dia menggunakan tangan kirinya membantu tangan kanan untuk merengut pedangnya dan membikin putus bulu kebutan yang melibat pedangnya. Dengan pengerahan tenaga, dia berhasil. Bulu kebutan itu putus, akan tetapi pada saat itu, tongkat putih di tangan kanan Ngo heng thian cu bergerak meluncur menusuk ke arah dada Hek liong ong! Hek liong Ong sedang mengerahkan tenaganya kepada kedua tangannya untuk merengut lepas pedangnya, maka dia tidak dapat lagi melindungi dadanya, tetap saja dia tidak akan mampu menahan tusukan cepat dan amat kuat itu.

“Craaapp...!“ tongkat putih yang terbuat dari pada baja yang amat kuat itu telah menembus dadanya. Mata Hek liong ong terbelalak dan pada saat itu, Ngo heng thian cu menendang perutnya sehingga dia terjengkang roboh dan darah mengucur keluar dari luka di dadanya.

“Kau... tosu yang jahat dan kejam!“ terdengar bentakan nyaring dan Han Sin sudah menerjang tosu itu dengan serangannya. Karena pemuda ini tidak membawa senjata, maka dia menyerang dengan tangan kosong. Tosu itu mengelak dengan loncatan kesamping. Han Sin menghadapinya dan menundingkan telunjuknya ke arah muka tosu itu.

“Engkau tosu jahat! Engkau telah membunuh Ho Beng hwesio yang tidak berdosa!“

“Ha-ha-ha...“ Ngo heng thian cu tertawa ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya adalah pemuda murid Tiong Gi hwesio tadi. “Dia Ho beng hwesio yang tidak berdosa? Ha-ha-ha! Orang muda, agaknya engkaupun kena ditipu olehnya. Ketahuilah, dia adalah Hek liong ong, seorang datuk sesat yang amat keji dan kejam. Entah sudah berapa ratus orang tewas ditangannya. Sudah bertahun-tahun pinto mencarinya dan dia dapat selalu menghindar. Tidak tahunya dia menyembunyikan diri dikuil dan menjadi hwesio..."

“Akan tetapi selama bertahun-tahun dia menjadi seorang hwesio yang tekun dan tak pernah berbuat dosa! Sekarang engkau membunuhnya. Engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu ini!“ kembali Han Sin menerjang dengan pukulan-pukulannya.

Menghadapi rangkaian serangan Han Sin, tosu itu dengan mudahnya mengelak ke sana sini, lalu melompat jauh kebelakang sambil berseru “pinto tidak mau bermusuhan dengan siauw-lim-pai! Pinto tidak dapat melayani mu lagi!“ dan diapun segera melarikan diri dengan amat cepatnya.

Han Sin maklum bahwa tosu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Gurunya saja kalah dan tewas oleh tosu itu, apalagi dia. Kalau tosu itu tidak mau melayani, bukan karena takut kepadanya, melainkan takut menanam bibit permusuhan dengan siauw lim pai karena bagaimanapun dia murid Tiong Gi hwesio seorang tokoh Siauw lim pai.

Dia lalu menghampiri jenazah Ho Beng hw esio dan berlutut didekat jenazah. Ho beng hwesio memang sudah tewas, dadanya berlubang oleh tusukan tongkat putih. Kini Ho Beng hwesio tidak perlu takut lagi menghadapi maut.

Perasaan takut timbul karena permainan pikiran membayangkan hal-hal yang belum diketahuinya. Kalau hal yang tadinya ditakuti itu sudah tiba, maka rasa takutnya akan hal itupun lenyap, dan rasa takut itu muncul dalam membayangkan hal-hal lain lagi yang belum diketahuinya.

Orang yang melekatkan bathinnya kepada kehidupan di dunia ini tentu timbul rasa takut membayangi kematian, terutama sekali karena dia akan kehilangan segala yang telah melekat dengan dirinya, segala yang telah mendatangkan kesenangan dan kenikmatan hidup, kehilangan orang-orang yang dikasihi, kehilangan harta benda yang disenangi, kehilangan kedudukan yang dibanggakan.

Kalau orang menyadari bahwa segala sesuat u ini adalah milik Tuhan, segala yang dimiliki itu hanyalah orang atau barang titipan belaka, bahwa sebetulnya dia tidak meiliki apa-apa, bahkan dirinya pun tidak, maka orang itu tentu akan bebas dari pada lekatan dan karenanya tidak akan merasa gentar menghadapi kematiannya yang pasti akan datang menjemput itu.


Han Sin memondong jenazah itu, menuruni bukit dan kembali ke kuil. Tiong Gi hwesio dan para hwesio lain menyambutnya dengan kaget sekali melihat jenazah Ho beng hwesio, tukang masak yang sudah tujuh tahun berada di kuil itu dianggap sebagai seorang hwesio yang baik, tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik, bahkan taat sekali kepada ketua kuil. Ketika Han Sin menceritakan apa yang dikatakan Ngo heng thian cu kepadanya tentang Ho beng hwesio, Tiong Gi hwesio menghela napas panjang dan menggeleng kepala.

“Omitohud... siapa mengira bahwa dia adalah hek liong ong yang tersohor itu? Bagaimanapun juga, pada masa tuanya, dia sudah berusaha untuk bertaubat. Akan tetapi, biarpun demikian, masih saja dia dicari musuh-musuhnya. Demikianlah kehidupan di dunia kang-ouw, adanya hanya dendam mendendam, balas membalas, bunuh membunuh. Setiap orang manusia tidak akan lolos dari jaring karmanya sendiri. Akan tetapi, disini dia telah membuktikan dirinya seorang yang baik dan tidak pernah melanggar, maka sudah sepatutnya kalau jenazahnya mendapat perawatan sebagaimana mestinya..."

Semua hwesio merasa setuju sekali, karena tidak ada seorangpun di antara mereka yang tidak menganggap Ho beng hwesio seorang yang baik hati. Akan tetapi hanya Han Sin seoranglah yang merasa amat berduka karena tanpa diketahui orang. Ho beng hwesio adalah gurunya selama lima tahun mengajarkan banyak ilmu silat yang tinggi kepadanya. Diapun tidak mempunyai gairah lagi untuk melanjutkan tinggal dikuil itu dan ketika ibunya datang menjenguknya, dia mengatakan hendak keluar dari kuil itu. Juga sekali ini, setelah Ho beng hw esio meninggal, kepada ibunya dengan terus terang dia membuka rahasia tentang dia belajar ilmu kepada Ho beng hwesio.

“Ho bwng hwesio itu siapakah?“ tanya ibunya yang belum pernah bertemu dengan hwesio tukang masak itu.

“Dia hwesio tukang masak disini, ibu, dan ternyata dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan telah mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan diam-diam karena dia tidak ingin diketahui orang lain bahwa dia memiliki kepandaian...“

“Aneh sekali orang itu. Aku ingin bertemu dan melihat orang yang telah mengajarkan ilmu silat kepadamu...“

“Tidak mungkin, ibu. Dia telah tewas belum lama ini...“

“Tewas? Mengapa?“

“Tewas terbunuh oleh musuhnya yang amat lihai...“

Nyonya itu terbelalak. “Ah, bagaimana terjadinya? Siapa dia sebenarnya dan apa yang telah terjadi di kuil itu, Han Sin?”

“Ibu, selama lima tahun aku di ajar ilmu silat olehnya, akan tetaapi selama itu aku tidak tahu sebenarnya siapa hwesio itu. Baru setalah kedatangan musuhnya itulah aku tahu bahwa suhu Ho beng hwesio itu sebetulnya dahulu berjuluk Hek Liong Ong...“

“Hek liong ong...?“ kini Ji Goat bangkit dari duduknya dan memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak. “Hek liong ong Poa Yok Su menjadi Ho beng hwesio di kuil Siauw lim si?”

“Ibu mengenalnya...?“

“Mengenal Hek liong ong? Tentu saja aku mengenalnya karena dia dahulu juga membantu perjuangan dan membantu berdirinya Kerajaan Sui. Bahkan lebih dari itu, dia adalah seorang diantara guru-guru dari mendiang ayahmu!“

Kini Han Sin tertegun. “Ah, kiranya guru mendiang ayah? Pantas dia mengajarkan ilmu kepadaku, walaupun secara sembunyi-sembunyi dan tidak mengajarkannya kepada orang lain!“

“Akan tetaapi bagaimana dia sampai tewas ditangan musuhnya? Siapakah musuhnya itu dan bagaimana terjadinya?”

Han Sin lalu menceritakan tentang kedatangan tosu tinggi kurus yang bernama Ngo heng thian cu itu dan betapa Ho beng hwesio segera melarikan diri ketika mendengar bahwa dia dicari tosu itu. “Aku menduga bahwa suhu tentu sembunyi di tempat dimana biasanya dia mengajarkan silat kepadaku dan ternyata dia memang berada di sana, akan tetaapi Ngo heng thian cu juga menemukan tempat persembunyiannya itu. Aku melihat mereka berkelahi dengan hebatnya dan akhirnya suhu roboh setelah pertandingan yang amat lama dan seru. Aku mencoba untuk menyerang tosu itu akan tetapi dia menghindar dan mengatakan bahwa dia tidak mau bermusuhan dengan siauw lim pai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa aku adalah murid Ho beng hwesio dan menganggap aku murid siauw lim pai. Ibu, apakah ibu juga mengenal Ngo heng thian cu?“

Ji Goat menghela napas panjang, mengenang semua kejadian masa lalu, ketika dia bersama mendiang suaminya, Cian Kuaw Cu, membantu Yang Chien berjuang menumbangkan kekuasaan Kerajaan Toba. “Ngo heng thian cu? Hemmm, kalau aku tidak salah ingat dia itu adalah murid Thain te ciu kwi. Dahulu Thian te ciu kwi membantu Kerajaan Toba sehingga tentu saja bermusuhan dengan Hek Liong ong yang membantu perjuangan rakyat yang memberontak terhadap Kerajaan Toba. Akan tetapi aku tidak mengira bahwa Thian te ciu kwi menyuruh muridnya untuk menyerang dan membunuh Hek liong ong...“

“Ibu, apakah Hek liong ong itu dahulunya seorang datuk sesat yang banyak melakukan kejahatan...?“

“Semua datuk dan tokoh sesat di dunia kangouw tidak segan melakukan kejahatan, anakku. Mereka tidak mengenal apa yang dinamakan kejahatan. Bagi mereka itu, mereka hanya melakukan segala kehendak hati mereka kalau perlu melalui kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Karena itu, tentu saja Hek liong ong sudah banyak melakukan perbuat an yang menyimpang dari kebenaran”

Han Sin menghela napas panjang. “Hemmmm benar saja dia seorang jahat yang kemudian hendak bert aubat menebus dosa dengan menjadi seorang hwesio...“

“Atau boleh jadi dia menjadi hwesio untuk menyembunyikan dirinya agar lolos dari ancaman musuh-musuhnya. Setelah menjadi tua dan merasa lemah, mungkin Hek liong ong lalu menjadi ketakutan. Dia dahulu memang seorang yang berhati keras dan kejam, dan karena itulah maka mendiang ayahmu tidak lama menjadi muridnya...“

"Ibu, apakah sebagai murid suhu Ho beng hwesio aku tidak berkewajiban untuk menuntut balas atas kematiannya?“

“Han Sin, Hek liong ong itu tidak mati penasaran. Permusuhannya dengan Ngo heng thian cu adalah permusuhan antara orang-orang kangouw dan kedua pihak memang terkenal sebagai golongan sesat. Engkau tidak perlu meliba kan dirimu. Yang terpenting bagimu adalah membalaskan kematian ayahmu. Ayahmu tewas secara penasaran, bukan gugur dalam perang akan tetapi terbunuh oleh pembunuh gelap secara curang dari belakang...“

“Akan tetapi kita tidak tahu siapa yang membunuhnya, bagaimana aku dapat mencarinya, ibu?"

“Memang tidak mungkin mencari pembunuhnya karena pembunuhan itu terjadi dalam pertempuran dan tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi ada satu hal yang akan membawamu kepada pembunuh ayahmu. Han Sin, yaitu Pedang Naga Hitam milik ayahmu. Pedang itu telah lenyap ketika ayahmu terbunuh. Maka pencuri pedang itu tentu pembunuh ayahmu. Jadi yang kau cari bukan bukan pembunuhnya melainkan pedangnya. Kalau pedang itu dapat kau temukan, tentu pembunuh ayahmu dapat kau temukan pula. Pedang Naga Hitam tidak ada keduanya di dunia ini, tentu akan dapat kau kenal!" Ibu itu lalu menceritakan dengan jelas ciri-ciri pedang pusaka milik mendiang suaminya itu.

“Kalau begitu aku akan segera pergi menyelidikinya dan mencari pedang itu, ibu...“

“Tidak, sebelum engkau mempelajari ilmu silat yang diwariskan ayahmu kepadamu, Han Sin...“, Ji Goat mengeluarkan kitab tulisan Kaisar Yang Chien yang menuliskannya dan menggambarkan ilmu silat Bu tek cin keng. “Ilmu ini di sebut Bu tek cin keng. Ilmu ini, ditemukan ayahmu dan Kaisar Yang Chien. Karena Kaisar Yang Chien berpendapat bahwa ayahmu yang lebih berhak, maka beliau menuliskan ilmu itu dalam kitab ini agar dapat diwariskan kepadamu. Kaisar tidak mengajarkan ilmu ini kepada orang lain, bahkan kepada para putera puterinya juga tidak. Karena itu, sebelum engkau pergi mencari pedang dan pembunuh ayahmu, engkau harus mempelajari dulu ilmu ini sampai dapat kau kuasai dengan sempurna..."

Han Sin adalah seorang anak yang patuh kepada orang tuanya. Apalagi ayahnya telah tiada, hanya tinggal ibunya. Maka dia selalu berusaha untuk membikin senang hati ibunya. Di samping itu, dia memang suka sekali mempelajari ilmu silat, maka ketika menerima kitab Bu tek cin keng itu dia segera mempelajarinya dengan tekun. Ketika dia mendapat kenyataan bahwa kitab itu amat sulit dipelajari, hal ini bahkan menambah semangatnya untuk mempelajarinya. Kesulitan itu merupakan tantangan baginya.

Ternyata kemudian bahwa semakin dia mendalami pelajaran ilmu Bu tek cin keng, semakin sukar. Han Sin harus berlatih dengan pencurahan perhatian sepenuhnya. Kaisar Yang Chien memang telah berusaha dengan sungguh-sungguh agar ilmu itu dapat diwariskan kepada putera Cian Kauw cu, maka dia menggambarkan ilmu itu dengan jelas. Juga cara melatih diri menghimpun tenaga sakti dalam ilmu itu ditulisnya dengan jelas dan teratur. Sedikit demi sedikit Han Sin mulai dapat menguasai ilmu itu. Dia tidak mengenal lelah, siang malam mempelajari ilmu itu dan dipraktekkannya dalam latihan. Ibunya senang sekali melihat ketekunan puteranya dan selalu memberi dorongan.

Setelah tiga tahun lamanya Han Sin mempelajari ilmu Bu tek cin keng dengan penuh semangat, barulah dia berhasil menguasai ilmu yang sukar itu. Dengan dikuasai ilmu yang hebat itu, Han Sin memperoleh kemajuan pesat sekali, terutama dalam hal kecepatan gerakan dan tenaga sakti. Dan kini telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahunan yang amat lihai.

Pada suatu hari, Ji Goat menonton puteranya latihan. Melihat pemuda itu bersilat dengan tangan kosong dengan gerakan yang amat ringan dan tenaga kedua tangannya itu mendatangkan angin yang membuat rambutnya tertiup angin dan pakaiannya berkibar, nyonya ini merasa gembira bukan main. Kini tingkat kepandaian puteranya sudah lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang ayah pemuda itu. Kemudian ia minta kepada puteranya untuk bersilat dengan menggunakan senjata pedang dan ia semakin kagum. Pedang biasa yang dimainkan Han Sin itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata, mengeluarkan suara berdesing-desing.

Selagi ibu itu mengagumi ilmu silat puteranya, tiba-tiba seorang pembantu rrumah tangga pria berlari-lari menghampiri mereka. "Nyonya... Nyonya... ada berita buruk...!“ katanya dengan gugup.

Han Sin menghentikan permainan pedangnya dan bersama ibunya dia memandang kepada pelayan it. Ji Goat juga merasa tidak senang dengan adanya gangguan ini. “A-seng...“ tegurnya “Ada apakah engkau berlari-lari dan nampak bingung seperti itu?”

“Berita buruk Nyonya! Sri baginada Kaisar... telah meninggal dunia...!"

Mendengar berita ini tentu saja Ji Goat dan Han Sin menjadi terkejut sekali. Mereka memang telah mendengar bahwa Sr ibaginda Kaisar Yang Chien menderita sakit. Akan tetapi tidak mereka sangka akan meninggal secepat itu.

“Ahhhh...!“ Nyonya itu menjatuhkan diri duduk di atas bangku dalam ruangan berlatih silat itu. Ia ingat akan semua pengalamannya diwaktu muda, ketika Kaisar Yang Chien belum menjadi Kaisar, melainkan menjadi sahabat baik dari suaminya. Tak terasa lagi air matanya mengalir ke atas kedua pipinya.

“Aihhhh, Sepasang Naga Lembah Iblis kini telah tiada...“ katanya kemudian.

“Ibu, Sri baginda Kaisar adalah seorang kaisar yang bijaksana dan dicintai rakyat jelata, dan lalu meninggal dunia dengan wajar, karena sakit. Kurasa tidak ada yang perlu dibuat duka dan sesal...“

“Engkau benar, Sri baginda kaisar meninggal dunia dengan wajar walaupun usianya belum tua benar. Berbeda dengan ayahmu yang meninggal dunia dengan penasaran,“ Kata Ji Goat.

Ibu dan anak ini segera berganti pakaian berkabung dan siap untuk pergi melayat ke istana, sebagai istri panglima tinggi dan sahabat kaisar, memang selayaknya kalau nyonya ini pergi melayat.

Kaisar Yang Chien, Kaisar yang dahulunya merupakan seorang jagoan, pemimpin rakyat yang berhasil menumbangkan kekuasaan Kerajaan Toba dan pendiri Kerajaan Sui, telah meninggal dunia dalam usia yang belum tua benar, baru sekitar enam puluh dua tahun. Menurut berita desas desus, Kaisar Yang Chien sakit-sakitan karena merasa kecewa dan berduka melihat bahwa diantara putera-puteranya tidak ada yang menuruni semangat dan kebijaksanaanya. Pangeran Yang Ti, puteranya yang diangkat menjadi putera mahkota, memang cukup bersemangat, akan tetapi kurang memiliki kebijaksanaan dan bahkan menunjukkan gejala suka menggunakan kekerasan dan suka pula kemewahan.

Sebelum dia meninggal, dia sempat berpesan kepada Pangeran Yang Ti agar memperhatikan nasib rakyat dan berusaha keras mensejahterakan kehidupan rakyat seperti yang telah dilakukannya. Sambil menangis, pangeran mahkota yang usianya sudah tigapuluh delapan tahun itu menyanggupi untuk melaksanakan pesan ayahnya.

Setelah Kaisar Yang Chien wafat, maka Pangerang Yang Ti diangkat menjadi penggantinya. Setelah Yang Ti menjadi Kaisar, nampaklah dia bahwa meneruskan usaha yang dirintis ayahnya. Terusan-terusan yang menghubungkan Huang-ho dan Yang-ce diperluas, sampai ke Hang-couw. Nampaknya dia bekerja keras untuk melanjutkan cita-cita ayahnya sehingga rakyat jelata merasa senang.

Pada permulaan pemerintahannya, tidak ada tanda-tanda bahwa Kaisar Yang Ti kelak akan menjadi seorang yang gila perang dan memboroskan uang negara untuk membangun istana-istana yang megah. Juga dia mengangkat banyak panglima dan pejabat tinggi, memilh diantara orang-orang yang sudah berhubungan akrab dengannya ketika dia masih menjadi seorang pangeran.

Pejabat-pejabat tua yang setia kepada ayahnya dihentikan dan dipensiun. Perubahan ini menimpa diri Ji Goat. Kalau dulu diwaktu kaisar Yang Chien masih hidup, Kaisar itu itu membiarkan janda sahabatnya ini mendiami gedung yang ditempati Panglima besar itu. Setelah Kaisar Yang Ti yang berkuasa, gedung itu diminta kembali untuk ditempati panglima yang baru diangkat dan terpaksa janda bersama puteranya untuk pindah. Sejak kecilnya Ji Goat yang dahulunya puteri Perdana Menteri Kerajaan Toba tinggal dalam istana indah. Kini ia harus meninggalkan gedung yang ditempatinya semenjak suaminya menjadi panglima besar.

Ji Goat sudah tidak betah lagi tinggal di kota raja, dimana terdapat banyak kenangan tentang suaminya, hal yang sering kali membuat ia termenung dan tenggelam dalam kesedihan. Maka ia lalu mengajak puteranya meninggalkan kota raja. Semua barang milik mereka pribadi mereka jual, semua pembantu rumah tangga mereka suruh pulang dan akhirnya mereka mencari tempat tinggal di sebuah dusun diluar kota raja, dekat kuil siauw lim si.

Ji Goat kembali membeli sebidang tanah, mendirikan sebuah rumah sederhana dan bekerja di kebun yang ditanami dengan sayur-sayuran dan buah-buahan. Ia merasa lebih tenang dan tentram tinggal ditempat sunyi ini. Dan sebulan setelah mereka pindah ke dusun itu, Ji Goat lalu minta kepada puteranya untuk mulai dengan tugasnya, yaitu mencari Pedang Naga Hitam untuk mengetahui siapa pembunuh suaminya.

“Akan tetapi ibu tinggal di sini seorang diri!“ kata Han Sin yang merasa kasihan kepada ibunya. “Mengapa ibu tidak memakai tenaga bantuan orang lain sebagai pelayan dan juga teman? Siapa yang akan menjaga ibu kalau aku harus pergi sekarang?“

“Han Sin, jangan bersikap cengeng!“ kata ibunya dengan tegas. “Ibumu bukanlah seorang wanita lemah. Aku dapat menjaga dan melindungi diriku sendiri. Aku masih kuat! Dan tentang pembantu, kalau aku memerlukan kelak, tentu bisa kudapatkan tenaga dari penduduk dusin ini. Berangkatlah dan jangan mengkhawatirkan keadaan ibumu!"

“Akan tetapi, karena aku akan mencari pencuri pedang yang tidak ada jejaknya, mungkin tugas ini akan memakan waktu lama sekali sebelum aku menemukannya, ibu...“

“Jangan gentar menghadapi kesukaran, anakku. Engkau sudah dewasa dan baru saja selesai mempelajari banyak ilmu silat. Bekal untuk menjaga dirimu sudah cukup kuat daripada ibu atau ayahmu sendiri diwaktu muda. Engkau perlu meluaskan pengalaman hidupmu. Hanya pesanku, berhati-hatilah menjaga dirimu sendiri, bukan hanya terhadap gangguan dari luar, melainkan terutama sekali menghadapi gangguan dari dalam. Jangan membiarkan dirimu dikuasai nafsu-nafsu sendiri yang akan menyeretmu ke dalam tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Ibu yakin semua ini sudah kau pelajari dari Tiong Gi hwesio selama engkau berada dikuil siauw-lim-si...“

Han Sin menangguk. “Semua pesan ibu akan ku taati. Jangan khawatir, ibu. Aku dapat menjaga diri baik-baik. Paling lama tiga tahun, berhasil ataukah tidak mencari Pedang Naga Hitam, aku pasti akan pulang, ibu...“

Demikianlah, setelah menerima banyak nasehat dengan membawa bekal emas secukupnya yang diberikan Ji Goat, Han Sin berangkat meninggalkan dusun itu...

********************