Pedang Naga Hitam Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEMINGGU kemudian, berangkatlah Cian Kauw Cu, memimpin pasukan yang cukup besar jumlahnya. Tidak kurang dari selaksa orang prajurit dalam pasukannya, dengan belasan orang perwira tinggi menjadi pembantunya. Kelak diperbatasan, jumlah ini akan ditambah pula dengan pasukan yang berjaga diperbatasan.

Pagi itu Cian Kauw Cu meninggalkan gedungnya di antar oleh istrinya dan puteranya sampai di pintu pekarangan. Panglima berusia setengah abad lebih ini masih nampak gagah perkasa dalam pakaian panglima yang mentereng. Dipinggangnya tergantung pedang pusakanya yaitu Hek Liong Kian (Pedang Naga Hitam) yang dahulu dikenal di dunia kang-ouw sebagai pusaka yang ampuh. Setelah berpamit sekali lagi kepada istri dan puteranya, dia lalu menunggang kudanya yang berbulu hitam menuju kebenteng dimana pasukannya telah siap. Pasukan besar itu meninggalkan kota raja menuju ke utara.

Berhari-hari pasukan itu menempuh perjalanan yang melelahkan, naik turun gunung sampai akhirnya mereka tiba di perbatasan dan berhenti dibenteng pasukan penjaga dalam tembok besar. Disini Cian Ciangkun berunding dengan para perwira pembantunya dan panglima yang memimpin pasukan perbatasan, membicarakan keadaan didaerah perbatasan itu. Dia mendapat laporan bahwa memang orang-orang Toba, Turki dan Mongol seringkali menggangu daerah itu bahkan beberapa kali menyerang perbentengan untuk menyerbu ke dalam tembok besar. Adakalanya penyerangan mereka demikian kuatnya sehingga beberapa kali hampir saja pasukan penjaga itu kebobolan.

Setelah memperoleh petunjuk darimana gerombolah pengacau itu muncul, mulailah Cian Ciangkun memimpin pasukannya untuk melakukan gerakan pembersihan. Dia memecah pasukannya menjadi beberapa bagian, menyerang dari barat, timur dan selatan untuk menggiring para gerombolan musuh ke tengah untuk dihancurkan.

Terjadilah pertempuran-pertempuran kecil karena gerombolan pengacau yang terdiri dari bermacam suku bangsa telah digempur dan hanya melakukan perlawanan kecil-kecilan saja. Akan tetapi diwaktu malam, selagi pasukan kerajaan berkemah dan beristirahat, gerombolan pengacau itu melakukan serangan dengan panah api, menunggang kuda mengitari perkemahan pasukan itu dan menyerang sambil melarikan kuda. Pasukan dibawah pimpinan Cian Ciangkun segera melakukan perlawanan dan gerombolan pengacau itu melarikan diri. Akan tetapi telah mendatangkan korban yang tidak sedikit pada pasukan Kerajaan Sui.

Dihadapi perang gerilya seperti ini, Cian Ciangkun menjadi marah sekali dan akhirnya dia membawa pasukannya ke daerah Shansi karena pusat gerombolan pengacau itu berada di Shansi utara, dipimpin Bangsa Toba yang bersekutu dengan Bangsa Turki dan Mongol.

Gubernur atau kepala daerah Shansi pada waktu itu adalah sorang bernama Li Goan yang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Li Goan diangkat menjadi kepala daerah Shansi oleh Kaisar Yang Chien karena ketika Yang Chien berjuang membangun Kerajaan Sui, Li Goan juga berjasa dalam perjuangan. Terutama dalam menundukkan daerah di utara. Li Goan berjasa besar sekali. Dalam tugas ini pula Li Goan mempersunting puteri seorang kepala daerah berketurunan Turki menjdai istrinya sampai saat itu.

Ketika mendengar bahwa pasukan kerajaan yang sedang melakukan pembersihan di utara itu datang ke Shansi, Li Goan cepat menyambut dan mempersilahkan Cian Kauw Cu dan para perwira tinggi memasuki gedungnya. Didalam gedung itu mereka mengadakan perundingan dan Li Goan menceritakan keadaan para suku-suku bangsa yang berada di utara.

“Bangsa Turki hanya terbawa saja oleh Bangsa Toba dan Mongol...“ Kata li Goan. “Sebetulnya, mudah membujuk bangsa Turki agar jangan mengganggu perbatasan dan menjadi tetangga yang baik. Akan tetapi Bangsa Toba masih penasaran dan ingin membangun kembali kerajaan mereka yang telah hancur. Mereka bersekutu dengan Bangsa Mongol dan kedua suku bangsa itu kalau dapat ditundukkan dengan sendirinya bangsa Turki tentu juga akan mundur..."

“Dimana pusat dari orang-orang Toba itu?“ tanya Cian Ciangkun.

“Menurut penyelidikan para mata-mata kami, mereka itu berpusat disekitar lembah Huang Ho, di sebelah utara perbatasan Shansi. Mereka membuat sebuah benteng yang kokoh kuat di sana dan seluruh kekuatan sisa pasukan Toba yang terusir dari selatan kini berhimpun di sana..."

“Hmmm, kalau begitu kami akan menyerang benteng mereka itu...!“ kata Cian Ciangkun.

“Harap Ciangkun berhati-hati. Jumlah mereka cukup besar, tidak kurang dari selaksa orang banyaknya dan daerah itu cukup sulit untuk di serang. Selain itu juga banyak orang mongol membantu bangsa toba.

"Harap tai-jin jangan khawatir, aku pasti akan dapat menghancurkan mereka. Harap Tai-jin suka memerintahkan panglima disini untuk berjaga-jaga saja dengan pasukannnya, tidak perlu ikut menyerbu. Dengan pasukan kami itu rasanya sudah cukup untuk membasmi sisa pasukan Toba...“

Demikianlah, setelah beristirahat sehari semalam di situ, pada keesokkaan harinya, pagi-pagi sekali pasukan yang dipimpin Cian Ciangkun berangkat menuju ke Lembah Huang Ho. Mereka menemukan benteng itu yang dibangun di tepi sungai, sebuah benteng yang besar dan kokoh kuat. Karena hari sudah senja, Cian Ciangkun memerintahkan pasukannya mendirikan perkemahan dan melakukan penjagaan ketat agar jangan sampai disergap musuh pada malam hari. Akan tetapi malam hari itu gelap sekali. Udara penuh dengan awan hitam sehingga pihak musuh juga tidak berani melakukan serangan diw aktu gelap gulita. Untung bagi pasukan Cian Ciangkun bahwa tidak turun hujan dimalam hari itu.

Pada keesokan harinya Cian Ciangkun sudah mengatur pasukkannya untuk mengepung perbent engan itu dan mulai menyerang dengan anak panah. Pihak musuh membuka pintu gerbang untuk mengeluarkan sepasukan besar prajurit mereka dan terjadilah perang hebat didepan benteng. Cian Ciangkun memimpin sendiri pasukannya, dengan Pedang Naga Hitam dia mengamuk dan ent ah berapa banyaknya prajurit musuh yang roboh oleh pedangnya.

Dari barisan musuh muncul seorang perwira yang tinggi besar seperti raksasa, bersenjatakan tombak, seperti juga Cian Ciangkun, perwira toba dengan tombaknya itu mengamuk dan telah merobohkan banyak prajurit Sui. Akhirnya perwira itu berhadapan dengan Cian Kauw Cu. Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang panglima itu segera saling serang dengan dahsyatnya. Para prajurit di sekeliling mereka bertempur sendiri, tidak ada yang berani mencampuri pertandingan antara dua orang perwira tinggi yang dahsyat itu.

Berdentang-denting bunyi pedang dan tombak ketika bertemu dan ternyata tombak perwira Toba itu juga terbuat dari baja yang baik sehingga tidak mudah patah bertemu Pedang Naga Hitam. Cian Kauw Cu menjadi penasaran bahwa sampai lebih dari tiga puluh jurus dia belum juga mampu merobohkan perwira itu. Dia lalu mengeluarkan teriakan seperti seekor binatang buas, tubuhnya meloncat tinggi ke atas dan tubuh itu menukik dan dengan dahsyatnya dia menyerang dari udara. Bukan main hebatnya serangan ini. Perwira Toba itu terkejut dan berusaha menangkis dengan tombaknya.

“Traaangggg...!“

Sekali ini tombaknya tidak kuat bertahan terhadap serangan pedang yang berubah menjadi sinar hitam yang ganas itu. Ujung tombak yang runcing itu patah dan sebelum perwira itu mengelak, Pedang Naga Hitam telah menembus lehernya! Perwira tinggi besar itu terjengkang ketika kaki Cian Ciangkun menendangnya sambil mencabut pedangnya, lalu meloncat turun. Akan tetapi ketika tubuhnya masih di udara, sebatang anak panah melesat cepat sekali dari belakang dan tanpa dapat dihindari lagi, anak panah itu menancap dan menembus punggung Cian Kauw Cu sampai tembus di dadanya!

Cian Kauw Cu mengeluarkan gerangan aneh. Tubuhnya cepat turun ke atas tanah lalu dia memutar tubuh membalik untuk melihat siapa yang menyerangnya dari belakang. Dia melihat seorang perwira pembantunya membuang busurnya dan perwira itu menghampirinya. Cian Kauw Cu menundingkan telunjuknya dan tubuhnya terhuyung.

“Kau... Kau...!“ dan diapun terpelanting roboh. Perwira itu berlutut dan memeriksa dan ternyata Cian Kauw Cu telah tewas. Anak panah itu menembus jantungnya. Perwira itu lalu mengambil Pedang Naga Hitam dari genggaman tangan jenazah Cian Ciangkun lalu menyembunyikan pedang itu dibalik bajunya. Kemudian dia memondong jenazah itu dibawa kebagian belakang pasukan yang sedang bertempur.

Walaupun Cian Ciangkun telah gugur, namun para perwira pembantu terus memimpin pasukan sampai musuh dapat dipukul mundur dan benteng itu dapat diduduki. Baru setelah benteng dapat diduduki dan musuh dapat di usir, semua prajurit mendengar berita mengejutkan bahwa Cian Ciangkun telah gugur dalam pertempuran itu, terkena anak panah yang menembus punggungnya.

Biarpun pulang membawa kemenangan, namun pasukan itu diliputi kedukaan karena kehilangan pemimpin mereka. Karena untuk membawa jenazah Cian Ciangkun ke kota raja jaraknya terlalu jauh, maka terpaksa jenazah itu dibawa ke Shansi dan dengan upacara kebesaran yang diatur oleh kepala daerah Shansi, Li Goan, jenazah itu di makamkan di tanah kuburan terhormat ditempat itu. Setelah itu, pasukan bergerak pulang ke kota raja dan para perwira segera memberi laporan kepada Kaisar.

Kaisar Yang Chien merasa terkejut sekali mendengar berita gugurnya Cian Ciangkun. Dia benar-benar merasa terpukul dan tidak mengira bahwa sahabatnya itu akan tewas dalam pertempuran itu. Kaisar lalu memanggil Ji Goat dan Han Sin ke Istana. Istri Cian Ciangkun itu cepat menghadap kaisar, disertai putranya dan ketika mendengar akan gugurnya suaminya tercinta, Ji Goat menjadi pucat wajahnya. Akan tetapi tidak ada setetes pun air mata tumpah. Wanita itu menyadari benar bahwa suaminya adalah seorang panglima perang yang sewaktu-waktu dapat saja jatuh dan gugur. Betapa pun juga, suaminya gugur sebagai seorang pahlawan dan ia merasa bangga.

“Suami hamba gugur sebagai seorang pahlawan. Di atas kesedihan karena kehilangan suami dan ayah kami ibu dan anak merasa bangga sekali..." kata Ji Goat yang berlutut bersama puteranya.

Sian Han Sin juga tidak menangis walaupun matanya agak kemerahan. Hatinya seperti diperas-peras rasanya kalau dia membayangkan ayahnya ketika hendak berangkat dan berjanji akan membaw akan sebatang pedang bengkok untuknya. Tidak, ia tidak boleh menangis, begitu pesan ibunya tadi. Di depan Kaisar mereka patut menjadi keluarga seorang Pahlawan Besar.

Kaisar Yang Chien yang mengenal istri Cian Kauw Cu ini semenjak ia masih gadis, lalu berkata lembut, hatinya diliputi keharuan. “Ji Goat, bangkit dan duduklah di kursi itu. Demikian pula anakmu, eh siapa namanya? Kami lupa lagi...“

“Hamba Cian Han Sin, Yang Mulia,“ Kata anak itu dengan sikap gagah dan hormat.

“Oya, kaupun duduklah, Han Sin. Kami ingin bercakap-cakap dengan kalian. Ada urusan penting yang akan kami sampaikan...“

“Terima kasih Yang Mulia,“ kata Ji Goat dan ia pun bangkit berdiri lalu duduk di atas kursi. Han Sin juga duduk di sebelah ibunya. Keduanya menundukkan kepala, menanti ucapan sang kaisar.

“Ketnahuilah, Ji Goat, bahwa suamimu telah berjasa besar sekali kepada Kerajaan. Bukan hanya berjasa dengan kedudukannya sebagai seorang panglima, bahkan jauh sebelum itu dia telah membantu perjuangan dan menjadi tokoh pent ing dalam mendirikan Kerajaan Sui. Lebih lagi dari itu, dia yang menunjukkan kepada kami adanya sebuah rahasia yang kemudian kami miliki berdua. Akan tetapi, kami merasa kecewa sekali mendengar laporan tentang kematiannya. Kematiannya memang wajar sebagai seorang panglima perang, akan tetapi caranya dia gugur sungguh mengandung rahasia yang aneh...“

“Bagaimanakah rahasia itu, Yang Mulia?” tanya Ji Goat sambil mengangkat muka memandang wajah Kaisar itu.

“Suamimu tewas karena terkena anak panah yang menembus punggungnya. Menembus punggung, masuk dari punggung, bukan dari dada. Ini berarti bahwa anak panah itu datangnya dari belakang. Hal ini sungguh aneh dan mencurigakan. Selain itu, juga Pedang Naga Hitam tidak dapat ditemukan, padahal semua prajurit tahu bahwa dia menggunakan pedang itu untuk bertempur. Kematiannya yang aneh, diserang dari belakang dan leyapnya Pedang Naga Hitam sungguh merupakan rahasia yang merisaukan hati. Akan tertapi bagaimana hal ini dapat diseleidiki kalau terjadi dalam sebuah pertempuran besar seperti itu? Setiap orang sibuk dalam pertempuran, tentu setiap perhatian ditujukan untuk bertempur dan menjaga diri, tidak sempat ada yang memperhatikan keadaan suamimu. Perwira yang menemukan jenazah suamimu juga tidak melihat apa-apa, hanya melihat suamimu sudah menggeletak dan tewas, maka lalu diangkatnya jenazah itu...“

Ji Goat mengerutkan alisnya. “Hamba akan memikirkan hal itu, Yang Mulia. Mudah-mudahan hamba akan menemukan jalan untuk menyelidikinya...“

“Kamipun akan memerintahkan para panglima melakukan penyelidikan, Ji Goat. Dan masih ada satu hal lagi ingin kusampaikan kepadamu. Suamimu dan kami ketika muda dahulu telah menemukan sepasang pedang dan sebuah kitab ilmu silat. Pedang itu kami bagi dua, Pedang Naga Putih menjadi milik kami dan Pedang Naga Hitam menjadi milik suami mu. Akan tetapi kalau kami mempelajari ilmu itu dari kitab, suamimu tidak sabar dan mempelajarinya dari gambar-gambar didinding. Kami merasa bahwa diapun berhak menguasai ilmu itu, akan tetapi dia tidak pernah mau belajar seperti petunjuk dalam kitab. Karena itu, kami telah menuliskan semua ilmu itu dalam sebuah kitab dan sekarang kami hendak menyerahkan kitab itu kepadamu, agar puteramu kelak dapat mempelajari Bu Tek Cin Keng sebagai warisan ayahnya. Kami sendiri tidak mengajarkan kepada keturunan kami karena dengan kedudukan kami sebagai kaisar, maka tidak perlu mempelajari ilmu silat sampai mendalam. Berbeda dengan puteramu yang kelak tentu membutuhkannya.“

Kaisar Yang Chien mengeluarkan sebuah kitab yang ditulisnya sendiri, terisi pelajaran tiga puluh enam jurus ilmu Bu Tek Cin Keng, lalu menyerahkannya kepada Ji Goat. Karena Kaisar mengatakan bahwa ilmu dalam kitab itu sebagai warisan suaminya kepada putera mereka, Ji Goat menerimanya dan menghaturkan terima kasih. Selain itu, Kaisar juga memberikan gedung beserta semua isinya kepada janda itu. Bahkan Ji Goat masih berhak menerima tunjangan setiap bulan dari kerajaan.

Baru setelah pulang kerumah Ji Goat merasa hidupnya kosong dan sepi, dan ia memasuki kamarnya lalu menangis diatas tempat tidur, memeluk bantal yang biasa dipakai tidur suaminya! Semua kebanggan dan kekerasan hatinya hancur luluh dilanda duka karena kehilangan orang yang dicintainya.

Duka akan melanda hati setiap orang yang membiarkan batinnya terikat erat kepada sesuatu atau seseorang. Kalau sesuatu atau seseorang yang telah melekat erat dihatinya itu pada suatu saat hilang, hati itu akan terluka dan menimbulkan duka. Menutupi duka dengan kekerasan atau segala macam hiburan tidak akan ada gunanya, karena duka itu akan tetap ada, mungkin mengendap didalam hati akan tetapi setiap saat akan muncul kembali.

Satu-satunya kenyataan yang dapat meleyapkan duka adalah kekuasaan Tuhan yang memperkuat batin kita. Kalau kita sadar bahwa segala sesuatu mutlak berada dalam kekuasaan Tuhan, sadar dan yakin sepenuhnya, maka kita serahkan segala kepadaNya. Kalau sudah begitu kekuasaan Tuhan akan memperkuat hati kita, akan membuka mata kita bahwa segala sesuatu itu terjadi dengan wajar, sesuai dengan kehendakNya.

Kita akan yakin bahwa kematian seseorang yang kita cintai adalah kehendak Tuhan, karena itu tidak perlu ditangisi, tidak perlu menimbulkan duka karena kita sendiri sewaktu-waktu juga akan mati sesuai dengan kehendakNya. Biarpun nafsu yang kehilangan apa yang dimilikinya mendatangkan duka, akan tetapi tidaklah sampai berlarut-larut.


“Ibu, ibu menangis?”

Ji Goat terkejut. Bangkit dan melihat Han Sin sudah berada didalam kamarnya dan memandang kepadanya dengan pandang mata dan sikap khawatir dan penuh iba. Ji Goat tidak dapat menahan kesedihannya. Dirangkulnya Han Sin dan ia pun menangis tersedu-sedu.

“Han Sin ayahmu...“ janda itu sesenggukan di dada puteranya sehingga baju di bagian dada itu menjadi basah air mata.

Han Sin merangkul leher ibunya. “Ibu, bukankah ibu sendiri yang mengatakan bahwa ayah tewas sebagai seorang pahlawan besar dan kematiannya tidak perlu disedihkan akan tetapi malah membanggakan? Ibu, Ibu tadi begitu tabah didepan Kaisar, kenapa sekarang?“

Ji Goat menyusut air matanya dan sekuat tenaga menahan tangisnya. "Benar, Han Sin... akan tetapi... aku... aku merasa kehilangan sekali... bayangan ayahmu akan selalu nampak... dan aku merasa kehilangan sekali...“

“Ibu, disini masih ada aku yang menemani ibu,.." kata anak itu dan melihat anak itu berdiri tegak didepannya dengan gagahnya. Ji Goat merasa terhibur dan merangkul lagi, mencium kedua pipi puteranya.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Sejak dia berusia lima tahun, Han Sin telah digembleng ilmu silat oleh ayah dan ibunya dan kini dalam usia sepuluh tahun, dia telah menjadi seorang anak yang bertubuh kokoh kuat dan sudah memiliki ilmu silat yang lumayan. Kalau hanya orang dewasa biasa saja jangan harap akan mampu mengalahkan Han Sin.

Cerita Kaisar tentang kematian suaminya membuat hati Ji Goat merasa penasaran sekali. Telah berhari-hari ia memikirkan dan membayangkan tentang kematian itu. Di panah dari belakang! Tidak mungkin panah itu datangnya dari pihak musuh. Kalau dari pihak musuh tentu panah itu mengenai dada, bukan punggung. Dan Pedang Hek Liong Kiam juga di curi dari tangan suaminya. Agaknya ada suatu rahasia besar dibalik kematian suaminya. Ada pengkhianat? Akan tetapi siapa?

Akhirnya ia berpendapat bahwa untuk menemukan pembunuh suaminya, haruslah ditemukan dulu pedang pusaka itu. Pemilik pedang pusaka itu agaknya pembunuh gelap suaminya atau setidaknya pencuri pedang pusaka itu mengetahui siapa sebenarnya yang mebunuh suaminya. Kalau suaminya tewas dalam pertempuran melawan musuh, hal itu adalah wajar dan urusan habis sampai di situ saja. Akan tetapi kalau pembunuhnya pengkhianat yang membokong dari belakang, hal ini lain lagi dan menimbulkan penasaran, menimbulkan dendam.

Akan tetapi kemana harus mencari pedang itu? Ia tidak mungkin dapat meninggalkan puteranya untuk mencari pencuri pedang. Tidak, ia tidak akan mencarinya dan biarlah ini menjadi tugas pertama Han Sin kelak. Ia harus menggembleng Han Sin menjadi seorang yang pandai dan tangguh sekali agar dia kelak dapat mencari pencuri pedang dan pembunuh ayahnya.

Akan tetapi Han Sin masih terlalu kecil untuk disuruh mempelajari kitab Bu Tek Cin Keng. Kaisar berpesan kepadanya bahwa ilmu itu baru boleh dipelajari kalau Han Sin sudah remaja. Biar dia mempelajari ilmu-ilmu silat sebagai dasarnya dan tiba-tiba Ji Goat teringat kepada Tiong Gi Hwesio, Ketua kuil diluar kota raja itu. Tiong Gi Hwesio adalah seorang tosu Siuw limpai, ilmu silatnya tinggi. Biarlah Han Sin belajar di sana, mempelajari ilmu silat dan juga sastra dan agama agar kelak Han Sin menjadi seorang pendekar yang berwatak budiman. Suaminya pernah menyatakan pendapatnya untuk mengirim Han Sin belajar di kuil itu, dan sekarang ia yang akan melaksanakan pendapat suaminya itu.

Ketika Ji Goat membicarakan niat hatinya itu kepada Han Sin, anak yang patuh kepada ibunya ini tidak membantah. “Engkau belajarlah dengan tekun di kuil itu, Han Sin. Setelah engkau remaja dan memperoleh dasar ilmu yang mendalam, baru engkau akan kuberi kitab ilmu peninggalan ayahmu untuk kau latih. Engkau harus menjadi seorang yang tangguh untuk kelak mencari pembunuh ayahmu...“

Han Sin memandang wajah ibunya penuh selidik. “Ibu, kalau ibu menghendaki aku belajar di kuil, akan kulakukan. Akan tetapi, mengapa ibu menyebut tentang pembunuh ayah? Bukankah ayah tewas dalam peperangan dan menurut ayah yang sudah sering berkata kepadaku, tewas dalam perang adalah kematian yang terhormat bagi seseorang perajurit dan kematian dalam pertempuran tidak ada hubungannya dengan permusuhan pribadi...“

“Memang benar kalau kematian itu terjadi secara wajar, yaitu tewas karena berperang dengan musuh. Akan tetapi kematian ayahmu penuh rahasia dan mencurigakan. Ayahmu tewas karena terkena anak panah yang datangnya bukan dari musuh, bukan dari depan melainkan dari belakang. Ini hanya berarti bahwa ayahmu tewas karena dibokong oleh seseorang pengkhianat, dan juga Pedang Naga Hitam, pusaka ayahmu lenyap dari tangan ayahmu. Nah, sudah menjadi tugasmu kelak untuk mencari pedang yang lenyap itu, Han Sin. Dan pemilik pedang itu tentu pencuri pedang. Dia mungkin pembunuh gelap itu, atau setidaknya dia tentu mengetahui tentang pembunuhan curang itu. Dan untuk dapat menyelidiki dan mengungkap rahasia itu, engkau harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Maka belajarlah baik-baik dari Tiong Gi Hwesio, anakku...”

Han Sin mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya. “Ah, kalau begitu ayah tewas secara tidak wajar! Baik, Ibu aku akan belajar dengan tekun dan kelak akan ku cari pembunuh ayah...!“ Han Sin yang biasanya lincah jenaka itu kini nampak bersungguh-sungguh karena dia penasaran dan marah mendengar akan kematian ayahnya.

Demikianlah, beberapa hari kemudian, Han Sin membawa sebuah buntalan pakaian besar, diantar oleh ibunya naik kereta menuju ke kuil Siauw lim-si di luar kota yang diketuai oleh Tiong Gi Hwesio itu. Sebelumnya, janda panglima ini sudah mengirim surat kepada Tiong Gi Hwesio tentang maksudnya mengirim puteranya untuk belajar silat, sastra dan agama. Karena keluarga Panglima Cian merupakan penyumbang besar dari kuil itu dan dikenal baik oleh Tiong Gi Hwesio, maka permintaan janda itu diterima dengan senang hati.

Kedatangan Ji Goat dan puteranya disambut sendiri oleh Tiong Gi Hwesio di ruangan tamu. “Nah, lo-suhu, inilah puteraku Cian Han Sin seperti yang sudah kuberitahukan dalam surat itu..." kata janda itu dengan sikap ramah.

“Seorang anak yang baik, Toa-nio, pinceng merasa terhormat sekali...“ dan dengan adanya Cian-Kongcu menjadi murid disini...“

“Losuhu, karena aku akan menjadi muridmu, maka janganlah kalau losuhu menyebutku kong-cu (tuan muda). Namaku Cian Han Sin dan sebut saja namaku tanpa embel-embel tuan muda,” kata Han Sin sambil tersenyum.

“Omitohud...! masih begini muda sudah pandai bersikap rendah hati. Baguss... bagus!" puji Hwesio itu sambil mengangguk-angguk.

“Apa yang dikatakan Han Sin benar, losuhu, hubungan antara guru dan murid akan menjadi janggal kalau losuhu menyebutnya kong-cu. Sebut saja namanya dan bersikaplah kepadanya seperti kepada seorang murid biasa,..“ kata Ji Goat.

“Omitohud, baiklah Toa-nio...“

“Nah, Han Sin, engkau harus memberi hormat kepada suhumu,..“ kata janda itu. Han Sin yang sudah mempelajari tentang tata cara itu, segera menjatuhkan dirinya berlutut didepan Hwesio itu.

“Suhu, terimalah hormat teecu (murid)!“ katanya sambil memberi hormat delapan kali.

“Omitohud... engkau anak dan murid yang baik sekali, Han Sin,.." kata hwesio itu sambil mengangkat bangun Han Sin. Ibunya memandang dengan gembira.

Pedang Naga Hitam Jilid 02

SEMINGGU kemudian, berangkatlah Cian Kauw Cu, memimpin pasukan yang cukup besar jumlahnya. Tidak kurang dari selaksa orang prajurit dalam pasukannya, dengan belasan orang perwira tinggi menjadi pembantunya. Kelak diperbatasan, jumlah ini akan ditambah pula dengan pasukan yang berjaga diperbatasan.

Pagi itu Cian Kauw Cu meninggalkan gedungnya di antar oleh istrinya dan puteranya sampai di pintu pekarangan. Panglima berusia setengah abad lebih ini masih nampak gagah perkasa dalam pakaian panglima yang mentereng. Dipinggangnya tergantung pedang pusakanya yaitu Hek Liong Kian (Pedang Naga Hitam) yang dahulu dikenal di dunia kang-ouw sebagai pusaka yang ampuh. Setelah berpamit sekali lagi kepada istri dan puteranya, dia lalu menunggang kudanya yang berbulu hitam menuju kebenteng dimana pasukannya telah siap. Pasukan besar itu meninggalkan kota raja menuju ke utara.

Berhari-hari pasukan itu menempuh perjalanan yang melelahkan, naik turun gunung sampai akhirnya mereka tiba di perbatasan dan berhenti dibenteng pasukan penjaga dalam tembok besar. Disini Cian Ciangkun berunding dengan para perwira pembantunya dan panglima yang memimpin pasukan perbatasan, membicarakan keadaan didaerah perbatasan itu. Dia mendapat laporan bahwa memang orang-orang Toba, Turki dan Mongol seringkali menggangu daerah itu bahkan beberapa kali menyerang perbentengan untuk menyerbu ke dalam tembok besar. Adakalanya penyerangan mereka demikian kuatnya sehingga beberapa kali hampir saja pasukan penjaga itu kebobolan.

Setelah memperoleh petunjuk darimana gerombolah pengacau itu muncul, mulailah Cian Ciangkun memimpin pasukannya untuk melakukan gerakan pembersihan. Dia memecah pasukannya menjadi beberapa bagian, menyerang dari barat, timur dan selatan untuk menggiring para gerombolan musuh ke tengah untuk dihancurkan.

Terjadilah pertempuran-pertempuran kecil karena gerombolan pengacau yang terdiri dari bermacam suku bangsa telah digempur dan hanya melakukan perlawanan kecil-kecilan saja. Akan tetapi diwaktu malam, selagi pasukan kerajaan berkemah dan beristirahat, gerombolan pengacau itu melakukan serangan dengan panah api, menunggang kuda mengitari perkemahan pasukan itu dan menyerang sambil melarikan kuda. Pasukan dibawah pimpinan Cian Ciangkun segera melakukan perlawanan dan gerombolan pengacau itu melarikan diri. Akan tetapi telah mendatangkan korban yang tidak sedikit pada pasukan Kerajaan Sui.

Dihadapi perang gerilya seperti ini, Cian Ciangkun menjadi marah sekali dan akhirnya dia membawa pasukannya ke daerah Shansi karena pusat gerombolan pengacau itu berada di Shansi utara, dipimpin Bangsa Toba yang bersekutu dengan Bangsa Turki dan Mongol.

Gubernur atau kepala daerah Shansi pada waktu itu adalah sorang bernama Li Goan yang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Li Goan diangkat menjadi kepala daerah Shansi oleh Kaisar Yang Chien karena ketika Yang Chien berjuang membangun Kerajaan Sui, Li Goan juga berjasa dalam perjuangan. Terutama dalam menundukkan daerah di utara. Li Goan berjasa besar sekali. Dalam tugas ini pula Li Goan mempersunting puteri seorang kepala daerah berketurunan Turki menjdai istrinya sampai saat itu.

Ketika mendengar bahwa pasukan kerajaan yang sedang melakukan pembersihan di utara itu datang ke Shansi, Li Goan cepat menyambut dan mempersilahkan Cian Kauw Cu dan para perwira tinggi memasuki gedungnya. Didalam gedung itu mereka mengadakan perundingan dan Li Goan menceritakan keadaan para suku-suku bangsa yang berada di utara.

“Bangsa Turki hanya terbawa saja oleh Bangsa Toba dan Mongol...“ Kata li Goan. “Sebetulnya, mudah membujuk bangsa Turki agar jangan mengganggu perbatasan dan menjadi tetangga yang baik. Akan tetapi Bangsa Toba masih penasaran dan ingin membangun kembali kerajaan mereka yang telah hancur. Mereka bersekutu dengan Bangsa Mongol dan kedua suku bangsa itu kalau dapat ditundukkan dengan sendirinya bangsa Turki tentu juga akan mundur..."

“Dimana pusat dari orang-orang Toba itu?“ tanya Cian Ciangkun.

“Menurut penyelidikan para mata-mata kami, mereka itu berpusat disekitar lembah Huang Ho, di sebelah utara perbatasan Shansi. Mereka membuat sebuah benteng yang kokoh kuat di sana dan seluruh kekuatan sisa pasukan Toba yang terusir dari selatan kini berhimpun di sana..."

“Hmmm, kalau begitu kami akan menyerang benteng mereka itu...!“ kata Cian Ciangkun.

“Harap Ciangkun berhati-hati. Jumlah mereka cukup besar, tidak kurang dari selaksa orang banyaknya dan daerah itu cukup sulit untuk di serang. Selain itu juga banyak orang mongol membantu bangsa toba.

"Harap tai-jin jangan khawatir, aku pasti akan dapat menghancurkan mereka. Harap Tai-jin suka memerintahkan panglima disini untuk berjaga-jaga saja dengan pasukannnya, tidak perlu ikut menyerbu. Dengan pasukan kami itu rasanya sudah cukup untuk membasmi sisa pasukan Toba...“

Demikianlah, setelah beristirahat sehari semalam di situ, pada keesokkaan harinya, pagi-pagi sekali pasukan yang dipimpin Cian Ciangkun berangkat menuju ke Lembah Huang Ho. Mereka menemukan benteng itu yang dibangun di tepi sungai, sebuah benteng yang besar dan kokoh kuat. Karena hari sudah senja, Cian Ciangkun memerintahkan pasukannya mendirikan perkemahan dan melakukan penjagaan ketat agar jangan sampai disergap musuh pada malam hari. Akan tetapi malam hari itu gelap sekali. Udara penuh dengan awan hitam sehingga pihak musuh juga tidak berani melakukan serangan diw aktu gelap gulita. Untung bagi pasukan Cian Ciangkun bahwa tidak turun hujan dimalam hari itu.

Pada keesokan harinya Cian Ciangkun sudah mengatur pasukkannya untuk mengepung perbent engan itu dan mulai menyerang dengan anak panah. Pihak musuh membuka pintu gerbang untuk mengeluarkan sepasukan besar prajurit mereka dan terjadilah perang hebat didepan benteng. Cian Ciangkun memimpin sendiri pasukannya, dengan Pedang Naga Hitam dia mengamuk dan ent ah berapa banyaknya prajurit musuh yang roboh oleh pedangnya.

Dari barisan musuh muncul seorang perwira yang tinggi besar seperti raksasa, bersenjatakan tombak, seperti juga Cian Ciangkun, perwira toba dengan tombaknya itu mengamuk dan telah merobohkan banyak prajurit Sui. Akhirnya perwira itu berhadapan dengan Cian Kauw Cu. Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang panglima itu segera saling serang dengan dahsyatnya. Para prajurit di sekeliling mereka bertempur sendiri, tidak ada yang berani mencampuri pertandingan antara dua orang perwira tinggi yang dahsyat itu.

Berdentang-denting bunyi pedang dan tombak ketika bertemu dan ternyata tombak perwira Toba itu juga terbuat dari baja yang baik sehingga tidak mudah patah bertemu Pedang Naga Hitam. Cian Kauw Cu menjadi penasaran bahwa sampai lebih dari tiga puluh jurus dia belum juga mampu merobohkan perwira itu. Dia lalu mengeluarkan teriakan seperti seekor binatang buas, tubuhnya meloncat tinggi ke atas dan tubuh itu menukik dan dengan dahsyatnya dia menyerang dari udara. Bukan main hebatnya serangan ini. Perwira Toba itu terkejut dan berusaha menangkis dengan tombaknya.

“Traaangggg...!“

Sekali ini tombaknya tidak kuat bertahan terhadap serangan pedang yang berubah menjadi sinar hitam yang ganas itu. Ujung tombak yang runcing itu patah dan sebelum perwira itu mengelak, Pedang Naga Hitam telah menembus lehernya! Perwira tinggi besar itu terjengkang ketika kaki Cian Ciangkun menendangnya sambil mencabut pedangnya, lalu meloncat turun. Akan tetapi ketika tubuhnya masih di udara, sebatang anak panah melesat cepat sekali dari belakang dan tanpa dapat dihindari lagi, anak panah itu menancap dan menembus punggung Cian Kauw Cu sampai tembus di dadanya!

Cian Kauw Cu mengeluarkan gerangan aneh. Tubuhnya cepat turun ke atas tanah lalu dia memutar tubuh membalik untuk melihat siapa yang menyerangnya dari belakang. Dia melihat seorang perwira pembantunya membuang busurnya dan perwira itu menghampirinya. Cian Kauw Cu menundingkan telunjuknya dan tubuhnya terhuyung.

“Kau... Kau...!“ dan diapun terpelanting roboh. Perwira itu berlutut dan memeriksa dan ternyata Cian Kauw Cu telah tewas. Anak panah itu menembus jantungnya. Perwira itu lalu mengambil Pedang Naga Hitam dari genggaman tangan jenazah Cian Ciangkun lalu menyembunyikan pedang itu dibalik bajunya. Kemudian dia memondong jenazah itu dibawa kebagian belakang pasukan yang sedang bertempur.

Walaupun Cian Ciangkun telah gugur, namun para perwira pembantu terus memimpin pasukan sampai musuh dapat dipukul mundur dan benteng itu dapat diduduki. Baru setelah benteng dapat diduduki dan musuh dapat di usir, semua prajurit mendengar berita mengejutkan bahwa Cian Ciangkun telah gugur dalam pertempuran itu, terkena anak panah yang menembus punggungnya.

Biarpun pulang membawa kemenangan, namun pasukan itu diliputi kedukaan karena kehilangan pemimpin mereka. Karena untuk membawa jenazah Cian Ciangkun ke kota raja jaraknya terlalu jauh, maka terpaksa jenazah itu dibawa ke Shansi dan dengan upacara kebesaran yang diatur oleh kepala daerah Shansi, Li Goan, jenazah itu di makamkan di tanah kuburan terhormat ditempat itu. Setelah itu, pasukan bergerak pulang ke kota raja dan para perwira segera memberi laporan kepada Kaisar.

Kaisar Yang Chien merasa terkejut sekali mendengar berita gugurnya Cian Ciangkun. Dia benar-benar merasa terpukul dan tidak mengira bahwa sahabatnya itu akan tewas dalam pertempuran itu. Kaisar lalu memanggil Ji Goat dan Han Sin ke Istana. Istri Cian Ciangkun itu cepat menghadap kaisar, disertai putranya dan ketika mendengar akan gugurnya suaminya tercinta, Ji Goat menjadi pucat wajahnya. Akan tetapi tidak ada setetes pun air mata tumpah. Wanita itu menyadari benar bahwa suaminya adalah seorang panglima perang yang sewaktu-waktu dapat saja jatuh dan gugur. Betapa pun juga, suaminya gugur sebagai seorang pahlawan dan ia merasa bangga.

“Suami hamba gugur sebagai seorang pahlawan. Di atas kesedihan karena kehilangan suami dan ayah kami ibu dan anak merasa bangga sekali..." kata Ji Goat yang berlutut bersama puteranya.

Sian Han Sin juga tidak menangis walaupun matanya agak kemerahan. Hatinya seperti diperas-peras rasanya kalau dia membayangkan ayahnya ketika hendak berangkat dan berjanji akan membaw akan sebatang pedang bengkok untuknya. Tidak, ia tidak boleh menangis, begitu pesan ibunya tadi. Di depan Kaisar mereka patut menjadi keluarga seorang Pahlawan Besar.

Kaisar Yang Chien yang mengenal istri Cian Kauw Cu ini semenjak ia masih gadis, lalu berkata lembut, hatinya diliputi keharuan. “Ji Goat, bangkit dan duduklah di kursi itu. Demikian pula anakmu, eh siapa namanya? Kami lupa lagi...“

“Hamba Cian Han Sin, Yang Mulia,“ Kata anak itu dengan sikap gagah dan hormat.

“Oya, kaupun duduklah, Han Sin. Kami ingin bercakap-cakap dengan kalian. Ada urusan penting yang akan kami sampaikan...“

“Terima kasih Yang Mulia,“ kata Ji Goat dan ia pun bangkit berdiri lalu duduk di atas kursi. Han Sin juga duduk di sebelah ibunya. Keduanya menundukkan kepala, menanti ucapan sang kaisar.

“Ketnahuilah, Ji Goat, bahwa suamimu telah berjasa besar sekali kepada Kerajaan. Bukan hanya berjasa dengan kedudukannya sebagai seorang panglima, bahkan jauh sebelum itu dia telah membantu perjuangan dan menjadi tokoh pent ing dalam mendirikan Kerajaan Sui. Lebih lagi dari itu, dia yang menunjukkan kepada kami adanya sebuah rahasia yang kemudian kami miliki berdua. Akan tetapi, kami merasa kecewa sekali mendengar laporan tentang kematiannya. Kematiannya memang wajar sebagai seorang panglima perang, akan tetapi caranya dia gugur sungguh mengandung rahasia yang aneh...“

“Bagaimanakah rahasia itu, Yang Mulia?” tanya Ji Goat sambil mengangkat muka memandang wajah Kaisar itu.

“Suamimu tewas karena terkena anak panah yang menembus punggungnya. Menembus punggung, masuk dari punggung, bukan dari dada. Ini berarti bahwa anak panah itu datangnya dari belakang. Hal ini sungguh aneh dan mencurigakan. Selain itu, juga Pedang Naga Hitam tidak dapat ditemukan, padahal semua prajurit tahu bahwa dia menggunakan pedang itu untuk bertempur. Kematiannya yang aneh, diserang dari belakang dan leyapnya Pedang Naga Hitam sungguh merupakan rahasia yang merisaukan hati. Akan tertapi bagaimana hal ini dapat diseleidiki kalau terjadi dalam sebuah pertempuran besar seperti itu? Setiap orang sibuk dalam pertempuran, tentu setiap perhatian ditujukan untuk bertempur dan menjaga diri, tidak sempat ada yang memperhatikan keadaan suamimu. Perwira yang menemukan jenazah suamimu juga tidak melihat apa-apa, hanya melihat suamimu sudah menggeletak dan tewas, maka lalu diangkatnya jenazah itu...“

Ji Goat mengerutkan alisnya. “Hamba akan memikirkan hal itu, Yang Mulia. Mudah-mudahan hamba akan menemukan jalan untuk menyelidikinya...“

“Kamipun akan memerintahkan para panglima melakukan penyelidikan, Ji Goat. Dan masih ada satu hal lagi ingin kusampaikan kepadamu. Suamimu dan kami ketika muda dahulu telah menemukan sepasang pedang dan sebuah kitab ilmu silat. Pedang itu kami bagi dua, Pedang Naga Putih menjadi milik kami dan Pedang Naga Hitam menjadi milik suami mu. Akan tetapi kalau kami mempelajari ilmu itu dari kitab, suamimu tidak sabar dan mempelajarinya dari gambar-gambar didinding. Kami merasa bahwa diapun berhak menguasai ilmu itu, akan tetapi dia tidak pernah mau belajar seperti petunjuk dalam kitab. Karena itu, kami telah menuliskan semua ilmu itu dalam sebuah kitab dan sekarang kami hendak menyerahkan kitab itu kepadamu, agar puteramu kelak dapat mempelajari Bu Tek Cin Keng sebagai warisan ayahnya. Kami sendiri tidak mengajarkan kepada keturunan kami karena dengan kedudukan kami sebagai kaisar, maka tidak perlu mempelajari ilmu silat sampai mendalam. Berbeda dengan puteramu yang kelak tentu membutuhkannya.“

Kaisar Yang Chien mengeluarkan sebuah kitab yang ditulisnya sendiri, terisi pelajaran tiga puluh enam jurus ilmu Bu Tek Cin Keng, lalu menyerahkannya kepada Ji Goat. Karena Kaisar mengatakan bahwa ilmu dalam kitab itu sebagai warisan suaminya kepada putera mereka, Ji Goat menerimanya dan menghaturkan terima kasih. Selain itu, Kaisar juga memberikan gedung beserta semua isinya kepada janda itu. Bahkan Ji Goat masih berhak menerima tunjangan setiap bulan dari kerajaan.

Baru setelah pulang kerumah Ji Goat merasa hidupnya kosong dan sepi, dan ia memasuki kamarnya lalu menangis diatas tempat tidur, memeluk bantal yang biasa dipakai tidur suaminya! Semua kebanggan dan kekerasan hatinya hancur luluh dilanda duka karena kehilangan orang yang dicintainya.

Duka akan melanda hati setiap orang yang membiarkan batinnya terikat erat kepada sesuatu atau seseorang. Kalau sesuatu atau seseorang yang telah melekat erat dihatinya itu pada suatu saat hilang, hati itu akan terluka dan menimbulkan duka. Menutupi duka dengan kekerasan atau segala macam hiburan tidak akan ada gunanya, karena duka itu akan tetap ada, mungkin mengendap didalam hati akan tetapi setiap saat akan muncul kembali.

Satu-satunya kenyataan yang dapat meleyapkan duka adalah kekuasaan Tuhan yang memperkuat batin kita. Kalau kita sadar bahwa segala sesuatu mutlak berada dalam kekuasaan Tuhan, sadar dan yakin sepenuhnya, maka kita serahkan segala kepadaNya. Kalau sudah begitu kekuasaan Tuhan akan memperkuat hati kita, akan membuka mata kita bahwa segala sesuatu itu terjadi dengan wajar, sesuai dengan kehendakNya.

Kita akan yakin bahwa kematian seseorang yang kita cintai adalah kehendak Tuhan, karena itu tidak perlu ditangisi, tidak perlu menimbulkan duka karena kita sendiri sewaktu-waktu juga akan mati sesuai dengan kehendakNya. Biarpun nafsu yang kehilangan apa yang dimilikinya mendatangkan duka, akan tetapi tidaklah sampai berlarut-larut.


“Ibu, ibu menangis?”

Ji Goat terkejut. Bangkit dan melihat Han Sin sudah berada didalam kamarnya dan memandang kepadanya dengan pandang mata dan sikap khawatir dan penuh iba. Ji Goat tidak dapat menahan kesedihannya. Dirangkulnya Han Sin dan ia pun menangis tersedu-sedu.

“Han Sin ayahmu...“ janda itu sesenggukan di dada puteranya sehingga baju di bagian dada itu menjadi basah air mata.

Han Sin merangkul leher ibunya. “Ibu, bukankah ibu sendiri yang mengatakan bahwa ayah tewas sebagai seorang pahlawan besar dan kematiannya tidak perlu disedihkan akan tetapi malah membanggakan? Ibu, Ibu tadi begitu tabah didepan Kaisar, kenapa sekarang?“

Ji Goat menyusut air matanya dan sekuat tenaga menahan tangisnya. "Benar, Han Sin... akan tetapi... aku... aku merasa kehilangan sekali... bayangan ayahmu akan selalu nampak... dan aku merasa kehilangan sekali...“

“Ibu, disini masih ada aku yang menemani ibu,.." kata anak itu dan melihat anak itu berdiri tegak didepannya dengan gagahnya. Ji Goat merasa terhibur dan merangkul lagi, mencium kedua pipi puteranya.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Sejak dia berusia lima tahun, Han Sin telah digembleng ilmu silat oleh ayah dan ibunya dan kini dalam usia sepuluh tahun, dia telah menjadi seorang anak yang bertubuh kokoh kuat dan sudah memiliki ilmu silat yang lumayan. Kalau hanya orang dewasa biasa saja jangan harap akan mampu mengalahkan Han Sin.

Cerita Kaisar tentang kematian suaminya membuat hati Ji Goat merasa penasaran sekali. Telah berhari-hari ia memikirkan dan membayangkan tentang kematian itu. Di panah dari belakang! Tidak mungkin panah itu datangnya dari pihak musuh. Kalau dari pihak musuh tentu panah itu mengenai dada, bukan punggung. Dan Pedang Hek Liong Kiam juga di curi dari tangan suaminya. Agaknya ada suatu rahasia besar dibalik kematian suaminya. Ada pengkhianat? Akan tetapi siapa?

Akhirnya ia berpendapat bahwa untuk menemukan pembunuh suaminya, haruslah ditemukan dulu pedang pusaka itu. Pemilik pedang pusaka itu agaknya pembunuh gelap suaminya atau setidaknya pencuri pedang pusaka itu mengetahui siapa sebenarnya yang mebunuh suaminya. Kalau suaminya tewas dalam pertempuran melawan musuh, hal itu adalah wajar dan urusan habis sampai di situ saja. Akan tetapi kalau pembunuhnya pengkhianat yang membokong dari belakang, hal ini lain lagi dan menimbulkan penasaran, menimbulkan dendam.

Akan tetapi kemana harus mencari pedang itu? Ia tidak mungkin dapat meninggalkan puteranya untuk mencari pencuri pedang. Tidak, ia tidak akan mencarinya dan biarlah ini menjadi tugas pertama Han Sin kelak. Ia harus menggembleng Han Sin menjadi seorang yang pandai dan tangguh sekali agar dia kelak dapat mencari pencuri pedang dan pembunuh ayahnya.

Akan tetapi Han Sin masih terlalu kecil untuk disuruh mempelajari kitab Bu Tek Cin Keng. Kaisar berpesan kepadanya bahwa ilmu itu baru boleh dipelajari kalau Han Sin sudah remaja. Biar dia mempelajari ilmu-ilmu silat sebagai dasarnya dan tiba-tiba Ji Goat teringat kepada Tiong Gi Hwesio, Ketua kuil diluar kota raja itu. Tiong Gi Hwesio adalah seorang tosu Siuw limpai, ilmu silatnya tinggi. Biarlah Han Sin belajar di sana, mempelajari ilmu silat dan juga sastra dan agama agar kelak Han Sin menjadi seorang pendekar yang berwatak budiman. Suaminya pernah menyatakan pendapatnya untuk mengirim Han Sin belajar di kuil itu, dan sekarang ia yang akan melaksanakan pendapat suaminya itu.

Ketika Ji Goat membicarakan niat hatinya itu kepada Han Sin, anak yang patuh kepada ibunya ini tidak membantah. “Engkau belajarlah dengan tekun di kuil itu, Han Sin. Setelah engkau remaja dan memperoleh dasar ilmu yang mendalam, baru engkau akan kuberi kitab ilmu peninggalan ayahmu untuk kau latih. Engkau harus menjadi seorang yang tangguh untuk kelak mencari pembunuh ayahmu...“

Han Sin memandang wajah ibunya penuh selidik. “Ibu, kalau ibu menghendaki aku belajar di kuil, akan kulakukan. Akan tetapi, mengapa ibu menyebut tentang pembunuh ayah? Bukankah ayah tewas dalam peperangan dan menurut ayah yang sudah sering berkata kepadaku, tewas dalam perang adalah kematian yang terhormat bagi seseorang perajurit dan kematian dalam pertempuran tidak ada hubungannya dengan permusuhan pribadi...“

“Memang benar kalau kematian itu terjadi secara wajar, yaitu tewas karena berperang dengan musuh. Akan tetapi kematian ayahmu penuh rahasia dan mencurigakan. Ayahmu tewas karena terkena anak panah yang datangnya bukan dari musuh, bukan dari depan melainkan dari belakang. Ini hanya berarti bahwa ayahmu tewas karena dibokong oleh seseorang pengkhianat, dan juga Pedang Naga Hitam, pusaka ayahmu lenyap dari tangan ayahmu. Nah, sudah menjadi tugasmu kelak untuk mencari pedang yang lenyap itu, Han Sin. Dan pemilik pedang itu tentu pencuri pedang. Dia mungkin pembunuh gelap itu, atau setidaknya dia tentu mengetahui tentang pembunuhan curang itu. Dan untuk dapat menyelidiki dan mengungkap rahasia itu, engkau harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Maka belajarlah baik-baik dari Tiong Gi Hwesio, anakku...”

Han Sin mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya. “Ah, kalau begitu ayah tewas secara tidak wajar! Baik, Ibu aku akan belajar dengan tekun dan kelak akan ku cari pembunuh ayah...!“ Han Sin yang biasanya lincah jenaka itu kini nampak bersungguh-sungguh karena dia penasaran dan marah mendengar akan kematian ayahnya.

Demikianlah, beberapa hari kemudian, Han Sin membawa sebuah buntalan pakaian besar, diantar oleh ibunya naik kereta menuju ke kuil Siauw lim-si di luar kota yang diketuai oleh Tiong Gi Hwesio itu. Sebelumnya, janda panglima ini sudah mengirim surat kepada Tiong Gi Hwesio tentang maksudnya mengirim puteranya untuk belajar silat, sastra dan agama. Karena keluarga Panglima Cian merupakan penyumbang besar dari kuil itu dan dikenal baik oleh Tiong Gi Hwesio, maka permintaan janda itu diterima dengan senang hati.

Kedatangan Ji Goat dan puteranya disambut sendiri oleh Tiong Gi Hwesio di ruangan tamu. “Nah, lo-suhu, inilah puteraku Cian Han Sin seperti yang sudah kuberitahukan dalam surat itu..." kata janda itu dengan sikap ramah.

“Seorang anak yang baik, Toa-nio, pinceng merasa terhormat sekali...“ dan dengan adanya Cian-Kongcu menjadi murid disini...“

“Losuhu, karena aku akan menjadi muridmu, maka janganlah kalau losuhu menyebutku kong-cu (tuan muda). Namaku Cian Han Sin dan sebut saja namaku tanpa embel-embel tuan muda,” kata Han Sin sambil tersenyum.

“Omitohud...! masih begini muda sudah pandai bersikap rendah hati. Baguss... bagus!" puji Hwesio itu sambil mengangguk-angguk.

“Apa yang dikatakan Han Sin benar, losuhu, hubungan antara guru dan murid akan menjadi janggal kalau losuhu menyebutnya kong-cu. Sebut saja namanya dan bersikaplah kepadanya seperti kepada seorang murid biasa,..“ kata Ji Goat.

“Omitohud, baiklah Toa-nio...“

“Nah, Han Sin, engkau harus memberi hormat kepada suhumu,..“ kata janda itu. Han Sin yang sudah mempelajari tentang tata cara itu, segera menjatuhkan dirinya berlutut didepan Hwesio itu.

“Suhu, terimalah hormat teecu (murid)!“ katanya sambil memberi hormat delapan kali.

“Omitohud... engkau anak dan murid yang baik sekali, Han Sin,.." kata hwesio itu sambil mengangkat bangun Han Sin. Ibunya memandang dengan gembira.