Pedang Naga Hitam Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pulau Naga adalah sebuah pulau di Lautan Timur, sebuah pulau kecil yang memanjang sehingga di lihat dari jauh bentuknya seperti seekor Naga, yaitu bentuk bukit-bukit kecil dan lembahnya. Sejak puluhan tahun yang lalu, pulau itu menjadi semacam pulau keramat yang di takuti orang. Para Nelayan tidak ada yang berani mendekat ke pulau ini karena pulau itu terkenal sebagai tempat tinggal seorang datuk besar bernama Poa Yok Su yang berjuluk Hek Liong Ong (Raja Naga Hitam).

Hek Liong Ong Poa Yok Su ini mempunyai sebuah rumah besar dipulau itu dan mempunyai sedikitnya tiga puluh orang anak buah yang juga tinggal dipulau itu. Akan tetapi pada pagi hari itu, pulau itu berkabung. Sebuah peti mati besar berada di ruangan depan bangunan besar itu dan tiga puluh orang anak buah itu berkabung dan nampak lesu berduka. Hek Liong Ong Poa Yok Su yang sudah berusia lanjut, kurang lebih sembilan puluh tahun itu telah meninggal dunia.

Di ruangan berkabung itu nampak menyeramkan, seperti biasa terdapat di ruangan dimana terdapat peti mati dan sembahyangan. Asap dupa dan hio memenuhi ruangan, baunya menyengat hidung. Para anak buah siap untuk menerima tamu yang datang melayat. Mereka telah menyebarkan berita di daratan akan kematian majikan mereka. Akan tertapi sejak pagi tidak ada seorangpun datang melayati. Siapa yang akan datang melayat seorang datuk yang terkenal sebagai tokoh sesat itu...?

Murid tunggal Hek Liong Ong yang bernama Cia Bi Kiok, yang kini tentu sudah berusia limapuluhan tahun. Sejak tiga puluh tahun lebih yang lalu, telah meninggalkan gurunya karena Hek Liong Ong hendak memaksa murid yang cantik itu menjadi istrinya, pengganti istrinya yang meninggal dunia. Sejak itu Cia Bi Kiok itu melarikan diri dari Pulau Naga, kemudian membentuk anak buah sendiri dan tinggal di pulau Hiu sebagai bajak laut. Sekarang ia tidak lagi tinggal di pulau hiu dan orang tidak tahu lagi kemana perginya.

Setelah dit inggal pergi murid tunggalnya, Hek Liong Ong hidup tanpa sanak keluarga. Istrinya meninggal tanpa meninggalkan anak dan dia hanya hidup bersama anak buahnya yang hidupnya juga dari hasil pembajakan di laut. Setelah matahari naik tinggi, mendadak muncul seorang pria tinggi besar yang bermuka hitam dan pria yang usianya lebih lima puluh tahun ini membawa sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Si tinggi besar muka hitam ini memandang dengan sepasang matanya yang lebar dan membaca tulisan dimeja sembahyang depan peti mati.

“Hek Liong Ong Poa Yok Su, engkau telah benar-benar mampus? Hidup atau pun mati, aku harus memenggal batang lehermu! Ini sudah menjadi sumpah Toat Beng Kwi To (Golok Setan Pencabut Nyawa) dan aku harus memenuhi sumpahku ini!“

Setelah berkata demikian, dengan goloknya dia menghampiri peti mati dan siap mencokel tutup peti mati. Akan tetapi, sepuluh anak buah Hek Liong Ong segera berlompatan maju dengan pedang ditangan menghalangi orang bermuka hitam itu.

“Siapapun tidak boleh mengganggu peti jenazah majikan kami!“ bentak seorang di antara mereka dan sepuluh orang itu sudah siap melawan dengan pedang mereka.

Si Muka hitam itu tertegun, lalu berdongak dan tertawa bergelak “Ha-ha-ha-ha, Hek Liong Ong, agaknya anak buahmu ini setia juga kepadamu dan biarlah merekan mengikut imu ke neraka jahanam!“

Setelah berkata demikian goloknya berkelebat. Cepat dan kuat bukan main golok besar itu menyambar-nyambar. Sepuluh orang anak buah Hek Liong Ong bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah para bajak laut yang biasa berkelahi dan menggunakan kekerasan. Mereka menggerakan perang melawan, akan tetapi sia-sia saja. Biarpun mereka sudah menangkis, tetap saja mereka itu roboh satu demi satu dengan bermandikan darah sendiri, tewas seketika terbabat golok ditangan simuka hit am yang mengaku berjuluk Toat Beng Kwi To itu!

Dua puluh lebih anak buah Hek Liong Ong yang lain, melihat betapa sepuluh orang rekan mereka roboh dengan leher hampir putus dan tewas seketika, menjadi gentar dan mereka mundur menjauh dari peti mati. Mereka tidak berani menghalangi lagi ketika Toat Beng Kwi To maju dan hendak mencokel tutup peti mati agar terbuka karena dia ingin memenggal leher jenazah Hek Liong Ong! Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar suara keras dan tutup peti itu terbuka.

“Braaak...!“ dan dari dalam peti mati itu berkelebat sosok bayangan ke atas! Ternyata itu adalah mayat Hek Liong Ong yang setelah tiba diatas, berjungkir balik dan dengan gerengan mengerikan menukik dan kedua tangannya membentuk cakar mencengkram ke arah kepala Toat beng kwi to.

Toat Beng kwi to adalah seorang datuk yang lihai dan berani. Akan tet api saat itu mukanya berubah pucat sekali karena dia tidak mengira akan terjadi hal seperti itu. Benerkan Hek Liong Ong yang sudah mati hidup kembali dan kini mayat hidup itu menyerangnya? Dengan hati berguncang dia menggerakkan goloknya memapaki sosok tubuh mengerikan itu. Dia membacok ke atas sambil memandang dengan mata terbelalak ngeri.

Karena terkejut dan ngeri, maka Toat Beng kwi to kehilangan kewaspadaannya. Bacokan goloknya dit angkis begitu saja oleh tangan kiri “mayat hidup” itu dan tangan kanannya masih terus mencengkram ke arah kepala. Toat Beng kwi to menangkis dengan tangan kirinya, akan tetapi tangkisannya kalah kuat, tangan kirinya terpental dan tahu-tahu jari-jari tangan itu telah menancap dan mencengkram kepalanya.

Toat Beng kwi to mengeluarkan teriakan mengerikan dan darah keluar dari kepalanya yang ditembusi jari-jari tangan mayat hidup itu. Dia masih berusaha untuk meronta, akan tetapi kedua kakinya seperti kehilangan tenaga dan terkulai roboh dengan kepala berlubang-lubang dan berdarah. Hanya sejenak dia berkelonjotan lalu tewas!

Kini “Mayat hidup“ itu duduk diatas sebuah kursi. Ternyata dia bukanlah mayat, melainkan Hek Liong Ong Poa Yok su dengan pakaian lengkap. Dia memandang kepada sepuluh orang anak buahnya yang tewas, lalu memandang kepada mayak Toat Beng kwi to, lalu meludah kearah mayat itu.

“Heran benar, sampai sesudah matipun orang masih mencariku untuk membalas dendam...“

Dia lalu menggapai dua puluh lebih anak buahnya yang tadi ketakutan dan mundur. Mereka datang menghadap dan Hek Liong Ong Poa Yok Su berkata kepada mereka.

“Siasat ku berpura-pura mati untuk menghindari balas dendam pada usiaku yang sudah tua ini harus dilanjutkan, Akan tetapi aku tidak lagi bersembunyi didalam peti mati. Terlalu berbahaya! Aku akan mengganti tubuhku dalam peti dengan bata. Kemudian, sediakan sebelas peti mati untuk para anak buahku dan untuk Golok Setan ini, bariskan semua peti mati berjajar dengan peti matiku. Kalian jaga baik-baik dan setelah semua peti mati dikubur, kalian boleh meninggalkan pulau ini dan membagi semua barang yang berada disini di antara kalian. Aku mau pergi sekarang juga. Awas, jangan ada yang melanggar pesanku ini...!“

Hek Liong Ong Poa Yok Su yang dalam usianya yang sudah lanjut itu masih nampak gagah dan tinggi besar itu lalu pergi dengan langkah lebar. Dua puluh tiga orang anak buah Hek Liong Ong lalu sibuk melaksanakan pesan majikan mereka. Mereka lalu mengeluarkan peti-peti mati yang memang banyak tersedia dipulau itu, memasukan semua jenazah lalu mengatur peti-peti mati itu sejajar dengan peti mati majikan mereka yang mereka isi dengan bata dan mereka tutup kembali. Di Depan setiap peti mati si Golok Setan mereka juga menuliskan nama julukan itu.

Kemudian mereka membakar lagi dupa dan sudah bersiap-siap untuk mengubur semua peti mati. Mereka cepat menggali dua belas lubang kuburan dan kini beramai-ramai mengangkuti peti-peti mati itu ke kuburan yang berada di tenga-tengah pulau. Baru saja mereka menurunkan peti-peti mati itu dari pikulan dan meletakkan diatas tanah dekat lubang-lubang yang mereka gali, tiba-tiba terdengar seruan halus,

“Haiiii, berhenti dulu, jangan di kubur...!“

Semua orang memandang ke sekeliling akan tetapi tidak nampak ada orang di situ. Dan mereka melihat seseorang tubuh datang berlari-lari dari pantai. Sungguh mengherankan kalau orang itu yang bicara tadi. Orangnya masih begitu jauh akan tetapi suaranya seperti dia berada di dekat mereka!

Dan larinya demikian cepat seperti terbang saja dan tak lama kemudian, seorang berpakaian tosu telah berdiri di situ. Tosu ini berusia kurang lebih enam puluh tahun, tinggi kurus dan mukanya demikian kurus sehingga tinggal tulang terbungkus kulit seperti tengkorak hidup. Matanya yang sipit kecil itu mencorong bagaikan dua titik bunga api. Tangan kirinya memegang sebuah hudtim, semacam kebut an yang biasa dipegang para pendeta dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat putih.

“Peti-peti jenazah siapa saja ini...?“ dia bertanya kepada mereka yang memandang kepadanya penuh kecurigaan. Seorang yang menjadi pimpinan anak buah Pulau Naga itu lalu menjawab “Yang ini adalah peti jenazah majikan kami Hek Liong Ong Poa Yok Su, yang itu adalah peti jenazah Toat Beng kwi to dan yang sepuluh ini peti jenazah rekan-rekan kami...“

“Hek Liong Ong mati? Mana mungkin? Dan Toat Beng kwi to mati pula di sini? Aneh sekali, apa yang telah terjadi...?“

Anak buah Pulau Naga yang mewakili teman-temannya itu menceritakan dengan singkat, “Toat Beng kwi to datang membikin kacau, sepuluh orang anak buah pulau naga dibunuhnya. Majikan kami yang sudah tua dan sakit terpaksa maju melawannya. Dan keduanya tewas oleh perkelahian itu...“ Cerita yang masuk di akal, akan tetapi tosu tinggi kurus itu menggunakan gagang kebutannya untuk menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan penuh kebimbangan.

“Toat Beng kwi to dapat membuhuh sepuluh orang anak buah pulau naga, hal itu tidak aneh. Akan tetapi dia dapat menandingi Hek Liong Ong sampai mati bareng...? Ah, mana mungkin ini? Ingin aku memberi hormat kepada sahabat ku Hek Liong Ong!“

Dia menghampiri peti jenazah Hek Liong Ong dan para anak buah pulau naga tidak curiga karena tosu itu menyebut majikan mereka sebagai sahabat. Dan tosu itupun menepuk-nepuk peti jenazah itu dari ujung ke ujung dengan perlahan sambil berkata, suaranya lirih akan tetapi terdengar mengerikan.

“Hek liong ong, kenapa engkau mati menginggalkan pinto. Ini tidak adil, dan tidak jujur! Hemm, benarkah engkau yang berada didalam peti mati ini?”

Dan sekali tangannya bergerak terdengar suara keras dan peti mati itu bergoyang, tutupnya terbuka. Semua anak buah pulau naga menjadi terkejut sekali, apalagi melihat betapa semua tumpukan bata didalam peti mati telah remuk! Tentu ketika menepuk-nepuk peti mati itu tosu tadi mengerahkan tenaga saktinya, menyerang ke arah “mayat” di dalam peti sehingga bata itu remuk semua. Kini mereka dengan pedang di tangan sudah mengepung dan menyerang tosu itu karena kebohongan mereka sudah diketahui. Lebih baik mendahului turun tangan membunuh tosu itu daripada membiarkan mereka diserang.

Akan tetapi, ternyata kepandaian tosu itu jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Toat Beng kwi to yang dahsyat tadi. Tongkat dan kebutan itu menyambar-nyambar dan dua puluh tiga orang it lupun roboh satu demi satu dan tewas seketika. Tidak ada yang sempat melarikan diri sama sekali saking cepatnya gerakan tosu itu yang seperti melayang-layang diantara mereka. Setelah semua orang roboh dan tewas, tosu itu menghampiri peti jenazah yang terisi bata itu dan menggeleng-geleng kepalanya lalu menghela napas panjang.

“tsk-tsk-tsk... Hek Liong Ong, engkau sungguh cerdik dan licik!“ Mata yang kecil itu memandang acuh kepada kepada dua belas buah peti mati dan dua puluh tiga buah mayat yang berserakan itu, lalu menghela napas lagi, lalu berlari seperti terbang menuju ke rumah besar bekas tempat tinggal Hek Liong Ong. Setelah memeriksa dan tidak menemukan seorangpun di sana, tosu itu lalu membakar rumah itu.

“Hem, Hek Liong Ong“, gumannya sambil memandang api yang berkobar melalap bangunan itu. “biarpun pinto belum berhasil membunuhmu, setidaknya pinto telah membasmi sarangmu dan semua anak buahmu...!" Setelah berkata demikian, diapun cepat lari ke pantai, melepas tali perahunya dan tak lama kemudian diapun sudah melayarkan perahunya menuju daratan.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Hek Liong Ong Poa Yok Su telah berhasil meninggalkan pulau naga tanpa ada yang mengetahui kemana dia pergi. Begitu tiba di daratan dia langsung memotong rambutnya sampai gundul dan dengan pakaian compang camping seperti seorang pengemis dia melanjutkan perjalanan. Mengapa seseorang yang sedemikian lihainya seperti Hek Liong Ong Poa Yok Su, majikan pulau naga yang mempunyai banyak anak buah menjadi ketakutan dan berpura-pura mati untuk menyembunyikan dirinya? Siapa yang di takutinya...?

Sebetulnya, dia tidak takut kepada siapapun. Tidak ada orang didunia ini yang ditakutinya. Dia adalah datuk besar di timur yang terkenal dan sukar dicari tandingannya. Akan tetapi setelah usianya semakin tua, setelah dia menyadari benar-benar bahwa kematian pasti akan tiba, dia menjadi ketakutan! Hek Liong Ong Poa Yok Su takut akan kematian!

Dia merasa tidak berdaya menghadapi maut, tidak kuasa melawan maut! Oleh karena itu dia membayangkan bahwa musuh-musuhnya tentu akan datang membalas dendam dan akhirnya dia akan mati. Dia takut, dia ngeri menghadapi kematiannya sendiri, walaupun sudah tidak terhitung banyaknya dia menghadapi kematian kematian orang lain melalui tangan atau senjatanya. Kalau dia menbayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya setelah mati, bagaimana dengan tubuhnya yang akan membusuk dan hancur, apa yang akan dijadapinya. Lebih-lebih teringat akan cerita bahwa dosa-dosa yang bertumpuk banyaknya tentu akan mengalami hukuman sesudah mati, dia merasa takut bukan main!

Perjalanannya membawa dia kedekat kota raja. Tadinya dia bermaksud hendak ke kota raja menghadap Kaisar Yang Chien yang pernah dibantunya ketika kaisar itu masih muda dan masih berjuang menumbangkan kekuasaan Raja Toba sehingga akhirnya berhasil menggulingkan pemerintah asing dan mendirikan Kerajaan Sui (Baca kisah Sepasang Naga Lembah Iblis).

Akan tetapi setelah tiba di luar kota raja dia meragu. Dia tahu bahwa di kota raja terdapat banyak pendekar yang kini menduduki jabatan penting dan dia mempunyai permusuhan dengan banyak pendekar. Di kota raja juga terdapat banyak musuhnya. Lebih mengerikan lagi karena para pendekar itu tentu tidak akan melupakan dia sebagai musuh dan diantara pendekar itu terdapat banyak orang sakti. Hal ini membuat dia takut memasuki kota raja dan membalikkan tubuhnya lagi unt uk meninggalkannya.

Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan kuil dibukit, tak jauh diluar kota raja. Kuil! Hidup dikuil sebagai seorang hwesio itulah jalan terbaik. Selain dia dapat bersembunyi dari musuhn-musuhnya, diapun dapat menebus dosa-dosanya dengan tekun beribadat Untuk dapat mengusir perasaan takutnya. Dengan langkah lebar dan hati mantap dia menuju ke kuil itu, mendaki bukit.

Kuil itu merupakan sebuah kuil besar di huni oleh dua puluh orang hwesio. Kepala kuil itu bernama Tiong Gi Hwesio, seorang tokoh dari kuil siauw lim si. Karena itu, kuil itupun merupakan cabang siauw lim si dan di situ terdapat pula belasan orang pemuda remaja yang belajar ilmu silat dari Tiong Gi Hwesio. Ketika Hek Liong Ong tiba di kuil itu, dia diterima oleh seorang hwesio yang bertugas jaga.

“Paman tua, apakah keperluanmu datang berkunjung ke kuil ini kalau tidak ingin bersembahyang?“ tanya hwesio penjaga.

“Tolong, pertemukan saya dengan ketua kuil, saya mempunyai permohonan kepadanya,” kata hek liong ong merendah.

Kebetulan sekali Tiong Gi Hwesio keluar dari kuil itu dan melihat seorang kakek ingin bertemu dengannya, diapun segera menghampiri, ”Sobat, pinceng adalah Tiong Gi Hwesio, kepala kuil ini. Ada keperluan apakah engkau hendak bertemu dengan pinceng?“ tanyanya dengan nada ramah sekali.

Kakek itu memandang kepada Tiong Gi Hwesio dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki hwesio itu. “Losuhu, tolonglah saya, saya ingin menebus dosa dengan masuk menjadi hwesio dan mempelajari Kitab-Kitab agama, hidup beribadat. Tolonglah saya, saya mau bekerja sebagai apa saja di dalam kuil ini...“ dalam suara Hek Liong Ong terkandung kesungguhan hatinya dan suaranya seperti orang yang ketakutan dan hampir menangis.

“Omitohud...! Biarpun engkau sudah tua, engkau masih belum terlambat untuk bertaubat dan mengubah jalan hidup mu. Sang Budha akan memberkatimu!” Tiong Gi Hwesio merasa iba kepada Hek Liong Ong. “Siapakah namamu, sobat?”

“Saya bermarga Liong, nama saya Beng..“ kata Hek Liong ong berbohong. Karena kalau dia berterus terang siapa dirinya, tentu hwesio itu tidak akan mau menerimanya. Nama Hek liong ong Poa Yok Su sudah terlalu tersohor dan pasti akan membikin takut para hwesio ini.

“Baiklah, pinceng suka menerimamu menjadi murid di kuil ini dan tentang pekerjaan nanti saja kita lihat apa yang dapat kau bantu untuk kami...“

Hek liong ong merasa gembira sekali. Dia mencium ujung kaki Tiong Gi Hwesio dan mengeluarkan sepuluh potong emas yang selama ini dia simpan dikantungnya. “Banyak terima kasih atas kemurahan hati losuhu, dan ini seluruh milik yang ada pada saya, saya serahkan untuk keperluan kuil...“

Tiong Gi Hwesio terbelalak, sepuluh potong emas itu besar sekali harganya, akan tetapi karena orang tua itu menyerahkannya dengan rela, maka harta itu diterimanya untuk kepentingan kuil.

Mulai hari itu jadilah Hek liong ong seorang hwesio dan dia diberi julukan Ho Beng Hwesio. Setelah beberapa hari berada di kuil itu dan tiong gi hwesio mendapat kenyataan bahwa hwesio itu pandai memasak, maka Ho beng hwesio diberi tugas sebagai tukang masak.

Hek liong ong yang sudah menjadi ho beng hwesio merasa senang sekali tinggal di kuil itu. Dia mendapatkan dua keuntungan. Pertama, setelah menjadi hwesio tidak akan ada lagi musuhnya yang dapat mengenalnya sehingga dia dapat bersembunyi dikuil itu dengan hati tenang dan tentram dan kedua, dia dapat menentramkan hatinya dengan mempelajari agama sehingga dia dapat mengusir rasa takutnya menghadapi kematian.

Diapun dapat menyembunyikan kepandaiannya. Biarpun disitu terdapat banyak murid yang mempelajari ilmu silat, namun dia tidak pernah memperdulikan dan acuh saja seolah dia seorang tua yang lemah dan sama sekali tidak mengerti tentang ilmu silat.

Sudah lazim bagi kita untuk beranggapan bahwa memupuk kebajikan dan penebusan dosa hanya dilakukan orang-orang tua yang menghadapi kematiannya. Anggapan seperti ini sebenarnya sama sekali salah. Kematian bukan hanya datang kepada orang-orang yang telah lanjut usianya, akan tetapi dapat menghampiri siapa saja, baik yang tua maupun yang muda.

Oleh karena itu, hidup bersih dari dosa dan usaha penebusan dosa dengan amal yang baik merupakan kewajiban setiap orang manusia, tua maupun muda mendekatkan diri setiap saat Kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, sehingga kita selalu siap menghadapi maut yang datang menjemput. Mendekat kan diri kepada Tuhan Yang Maha Pengasih akan membuat kita selalu waspada dan sadar sehingga nafsu daya rendah tidak akan mudah menguasai hati akal pikiran kita dan menyeret kita kedalam perbuatan yang rendah dan jahat.


Sayang bagi Hek liong ong, dia masuk menjadi hwesio bukan terdorong oleh rasa bersalah, bukan karena penyesalan bahwa dia selama ini hidup bergelimang dosa, melainkan terdorong oleh rasa takutnya akan kematian dan dia masuk menjadi hwesio untuk menghindarkan diri dari rasa takut itu.

Bagaimana pun juga, setelah lewat beberapa bulan, hek liong ong merasakan kedamian dalam hatinya dan dia sudah merasa benar-benar aman dari ancaman musuh-musuhnya.

********************

Cerita ini dimulai pada tahun 594, baru tiga belas tahun kerajaan Sui berdiri. Setelah perjuangan selama belasan tahun dengan gigih, Pendekar Yang Chien, akhirnya dalam tahun 581 dapat mengalahkan pemerintah penjajah Toba dan mendirikan Kerajaan Sui.

Dalam Kisah Sepasang naga lembah iblis diceritakan tentang perjuangan Yang Chien. Kaisar Yang Chien berhasil mempersatukan kembali semua daerah sehingga Kerajaan Sui menjadi besar dan Jaya. Kaisar Yang Chien pandai memerintah dan Kerajaan Sui menjadi terkenal, keamanan dapat dikembalikan dan keadaan dalam negeri diperkuat. Pemerintah diselenggarakan dengan bijaksana, pajak-pajak diperingan, hukum-hukum negara ditegakkan dan dilaksanakan dengan baik.

Bahkan untuk kepentingan pertanian dan perdagangan, Kaisar Yang Chien memerintahkan penggalian terusan-terusan yang menghubungkan kedua Sungai Huang-Ho dan Yang-Ce. Untuk melaksanakan pekerjaan besar ini dibutuhkan tenaga ratusan ribu orang dan Kaisar Yang Chien tidak mau mempergunakan kekerasan system kerja paksa seperti kaisar-kaisar yang terdahulu, akan tetapi dia mengharuskan para petugas untuk memberi upah kepada para pekerja sehingga pekerjaan dapat berjalan lancar tanpa protes dari pihak rakyat jelata.

Sikapnya untuk urusan keluar daerah juga tegas. Daerah-daerah yang tidak mau tunduk di serbu dan ditaklukan kembali. Daerah Tong Kin dan Annam ditundukkan dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sui.

Kaisar yang bijaksana dan adil selalu mendapat dukungan rakyat jelata dan menarik hati para cendikiawan untuk berdatangan dan membantu. Dan Kaisar Yang Chien menerima para cerdik pandai dengan tangan terbuka, setelah menguji mereka memberi kedudukan yang sepadan dengan kepandaian mereka sehingga roda pemerintahan dapat berputar sedemikian lancar. Para pejabat tinggi yang dekat dengan kaisar memperlihatkan kesetiaan mereka.

Kalau pohonnya sehat maka cabang-cabang, ranting-ranting dan daun-daunnya pun sehat dan pohon yang sehat ini tentu menghasilkan buah yang baik. Demikian pula kalau kaisar sebagai orang tertinggi kedudukannya bijaksana dan adil, maka para pembantu atau baw ahannya tentu juga bijaksana dan atasan yang adil bijaksana dapat menegur bawahan yang tidak benar sehingga kebijaksanaan ini dapat terus mengalir sampai kepada pejabat yang tingkatnya paling rendah. Kebijaksanan harus dimulai dari tingkat paling atas sebagai tauladan pertama. Bagaimana mungkin mencegah anak buah bertindak jahat kalau pemimpin mereka sendiri juga jahat?

Diantara para pejabat tinggi yang paling dekat dengan kaisar Yang Chien adalah seorang Panglima besar bernama Cian Kauw Cu. Sejak mudanya Cian Kauw Cu menjadi sahabat, bahkan seperti saudara sendiri dari Kaisar Yang Chien. Mereka berdua berjuang bersama, bahkan mereka berdualah yang di kenal sebagai Sepasang Naga Lembah Iblis. Mereka berdua menemukan sepasang pedang yang kemudian menjadi milik mereka berdua, yang putih disebut Pek Liong Kiam (Pedang Naga Putih) menjadi milik Kaisar Yang Chien dan yang hitam di sebut Hek Liong Kiam (Pedang Naga Hitam) menjadi milik Cian Kauw Cu.

Selain mendapat kan sepasang pedang itu, mereka berdua juga menemukan kitab pelajaran ilmu silat Bu Tek Cin Keng didalam sebuah gua. Hanya bedanya, kalau Yang Chien mempelajari ilmu dari kitab itu yang kemudian membuat dia menjadi seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Cian Kauw Cu hanya mempelajarinya dari gambar-gambar di dinding sehingga mutu ilmu yang dikuasai Cian Kauw Cu masih kalah dibandingkan yang dikuasai Yang Chien.

Hal ini disebabkan cian kauw cu memiliki latar belakang pendidikan yang rendah sekali. Sejak kecilnya dia hidup liar seperti binatang dan dipelihara oleh seekor kera betina! Semua itu dicerit akan dengan lengkap dalam kisah Sepasang Naga Lembah Iblis

Sekarang Cian Kauw Cu atau Cian Ciangkun telah berusia lima puluh tahun. Selama belasan tahun dia ikut pula berjuang di samping Yang Chien. Setelah mereka berhasil, Yang Chien menjadi kaisar dan Cian Kauw Cu di angkat menjadi panglima besar. Dia menikah dengan seorang wanita pilihannya yang bernama Ji Goat, puteri mendiang perdana menteri Kerajaan Toba.

Ji Goat juga bukan wanita biasa. Wanita yang sudah berusia empat puluh tujuh tahun ini adalah seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Mereka memiliki seorang anak tunggal, seorang putera berusia sepuluh tahun yang diberi nama Cian Han Sin.

Demikianlah sedikit riwayat sepasang pendekar yang dikenal sebagai sepasang naga lembah iblis dan yang kini telah menjadi kaisar dan panglima besarnya.

Pada hari itu, Kaisar Yang Chien sengaja memanggil Panglima Cian untuk menghadap dan kedua orang sahabat yang kini telah menjadi orang-orang besar dengan usia yang mulai tua itu, duduk berhadapan disebuah ruangan dalam istana. Mereka tidak kelihatan seperti seorang kaisar dengan panglimanya, nampak seperti dua orang sahabat saja. Demikianlah kalau kaisar sedang bercakap-cakap berdua saja dengan Cian-Ciangkun. Keakraban yang dahulu masih nampak dalam sikap mereka walau pun Cian–Ciangkun lebih bersikap hormat.

“Cian-Ciangkun...“ kata Kaisar setelah dia mempersilahkan Panglimanya minum arak dari cawan yang disuguhkan. “Bagaimana pendapat mu tentang gerakan bangsa-bangsa biadab di Utara itu? Bangsa Toba tiada hentinya berusaha untuk menegakkan kembali kekuasaan mereka dan mereka selalu menggangu daerah perbatasan utara yang demikian luasnya. Dan agaknya mereka itu hendak mengajak Bangsa Turki dan Mongol untuk bersekutu, Kalau mereka sampai bersekutu, mereka akan merupakan kekuatan yang tidak boleh dipandang ringan...“

“Apa yang paduka katakan itu benar sekali, Yang Mulia...” Kata Cian Ciangkun yang walaupun mereka namapak duduk berhadapan dengan akrabnya, tetap saja menunjukkan sikap seorang bawahan kepada atasannya. “dan sat u-satunya jalan unt uk menghilangkan ancaman dari Utara itu hanyalah dengan mengirim pasukan dan menundukkan mereka. Setelah kini kekacauan di selatan sudah dapat ditundukkan dan semua balatentara berada dalam keadaan menganggur, maka sudah tiba saatnya untuk mengerahkan pasukan ke utara...“

“Tepat, kamipun berpendapat demikian, Cian Ciangkun, akan tetapi karena usaha pembersihan di utara ini merupakan pekerjaan besar yang penting sekali, sama sekali tidak boleh gagal, maka kami bermaksud untuk memimpin sendiri pasukan besar menyerbu ke utara. Bagaimana pendapat mu, Cian Ciangkun?“

“Yang Mulia, hamba kira hal itu tidak perlu dilakukan. Untuk membunuh anjing tidak perlu mempergunakan pedang pusaka untuk menundukkan para perusuh di utara itu, hamba kira tidak perlu sampai paduka sendiri turun tangan. Keberadaan paduka di istana masih sangat diperlukan untuk memperlancar jalannya pemerintahan yang berwibawa. Kalau paduka pergi sendiri sampai waktu yang lama, hamba khawatir, akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan di kota raja...“

“Hemm, habis bagaimana Ciangkun? Pekerjaan ini amat berat dan penting, juga berbahaya. Kami tidak ingin melihat operasi pembersihan ini gagal...“

“Yang Mulia, apa gunanya hamba berada disini kalau untuk urusan begitu saja paduka harus turun tangan sendiri? Yang mulia, biarlah hamba yang akan mewakili paduka, memimpin pasukan dan menundukkan bangsa-bangsa yang mengancam di perbatasan utara itu...!“

Kaisar Yang Chien memandang sahabatnya itu dan mengangguk-angguk senang. Diapun percaya, kalau Cian Kauw Cu yang mewakilinya dan memimpin pasukan, tentu operasi pembersihan itu akan berhasil baik.

“Bagus, kalau engkau sendiri yang memimpin pasukan itu, kami yakin pembersihan itu akan berhasil baik. Pergilah, umumkan keputusan ku. Cian Ciangkun. Persiapkan pasukan sebanyak yang kau kehendaki dan berangkatlah dalam minggu ini juga...“

“Baik, hamba siap melaksanakan perintah Yang Mulia...!“ Kata Cian Ciangkun yang segera memberi hormat dan mengundurkan diri.

Cian ciangkun lalu mengumumkan kepada semua menteri dan pejabat tinggi tentang perintah kaisar dan dia sendiri lalu menghubungi para panglima mempersiapkan pasukan yang akan dibaw anya ke utara untuk menundukkan Bangsa Nomad di uatara itu. Karena perjalanan ke utara melalui daerah pegunungan dan gurun yang serba keras dan sukar, maka Cian Ciangkun memberi waktu sekitar satu minggu kepada pasukan untuk mempersiapkan perbengkalan.

Dirumah gedungnya, Cian Kauw Cu bercerita kepada istrinya tentang tugasnya mewakili Kaisar untuk melakukan pembersihan ke utara. Istrinya maklum akan tugas suaminya sebagai panglima besar. Bukan baru kali ini suaminya pergi meninggalkannya untuk memimpin pasukan berperang, sudah berulang kali. Karena itu, iapun tidak merasa khawatir. Ia percaya akan kemampuan suaminya. Apalagi sekarang yang akan dibersihkan hanyalah pengacau-pengacau perbatasan.

“Berapa lamanya gerakan pembersihan itu, suamiku...?” tanyanya.

Ciang Ciangkun menggeleng kepalanya. “Belum dapat kuperkirakan sekarang. Biarpun mereka itu hanya pengacau-pengacau yang kukira tidak seberapa besar kekuatannya, namun medannya amat sukar. Dan mereka adalah penunggang kuda yang mahir, mudah melarikan diri di daerah yang liar itu. Mereka itu berkelompok dan berpindah-pindah. Itulah sukarnya. Kalau mereka bersarang, mudah saja membasmi sarang mereka. Akan tetapi, dengan serbuan-serbuan pasukan kita, kukira mereka akan cerai berai dan tidak dapat bersatu lagi dan mudah-mudahan saja tidak terlalu lama aku akan dapat pulang...“

Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun berlari-lari masuk ke ruangan itu. Dia adalah Cian Han Sin. Anak ini memiliki tubuh seperti ayahnya, tinggi besar dan tegap. Akan tetapi kulitnya tidak hitam seperti ayahnya, melainkan putih bersih seperti ibunya. Juga wajah anak ini seperti ibunya, maka dia kelihatan tampan. Tampan dan gagah karena tubuhnya tegap.

“Han Sin, kenapa engkau berlari-lari?“ tegur ibunya.

Akan tetapi anak itu berlari menghampiri ayahnya. “Ayah, aku melihat pasukan bersiap-siap dan katanya ayah hendak memimpin pasukan menuju ke utara, ke mongol. Benarkan, ayah?“

Cian Ciangkun tersenyum dan mengelus kepala puteranya. “Memang benar, Han Sin. Kaisar memerintahkan ayahmu untuk memimpin pasukan dan mengadakan pembersihan kepada para pengacau diperbatasan...“

“Aihh, aku ingin sekali ikut, ayah! Aku ingin melihat daerah utara! Kabarnya banyak pegunungan liar dan daerah gurun pasir. Ingin aku melihatnya!”

Ayahnya tertawa, mengangkat anak itu dan dipangkunya. Sebagai anak tunggal, tentu saja Han Sin agak dimanja oleh ayahnya. “Han Sin, kau kira ayahmu pergi pesiar maka engkau hendak ikut? Ayahmu pergi memerangi orang-orang yang mengacau diperbatasan, bangsa biadab yang liar dan kejam...“

“Jadi aku tidak boleh ikut, ayah?“ Han Sin merajuk dan turun dari pangkuan ayahnya.

“Tentu saja tidak boleh, bagaimana kalau aku bertempur, apakah engkau akan bertempur pula?“

“Aku selama ini sudah berlatih silat bertahun-tahun, aku tidak takut bertempur!”

Cian Ciangkun tertawa. “ha-ha-ha, sudahlah kau tinggal dirumah saja menemani ibumu...” Di dalam hatinya dia merasa bangga melihat keberanian puteranya.

“Han Sin, jangan ganggu ayahmu! Ayah melaksanakan tugas penting yang berat, bukan main-main. Engkau tidak boleh ikut. Engkau harus tinggal dirumah bersama ibu, melatih silat dan menghafal pelajaran mu membaca dan menulis. Engkau harus rajin belajar agar kalau ayahmu pulang engkau sudah memperoleh banyak kemajuan...“ kata Ji Goat.

“Benar kata-kata ibumu, Han Sin...“

“Kalau begitu, aku minta oleh-oleh! Kalau ayah pulang, agar aku dibawakan pedang mongol yang bentuknya melengkung itu...!“ kata Han Sin.

“Baiklah, akan kubawakan untukmu...!“ kata ayahnya. Barulah Han Sin tidak rewel lagi dan dia segera keluar untuk bermain-main...

********************

Pedang Naga Hitam Jilid 01

Pulau Naga adalah sebuah pulau di Lautan Timur, sebuah pulau kecil yang memanjang sehingga di lihat dari jauh bentuknya seperti seekor Naga, yaitu bentuk bukit-bukit kecil dan lembahnya. Sejak puluhan tahun yang lalu, pulau itu menjadi semacam pulau keramat yang di takuti orang. Para Nelayan tidak ada yang berani mendekat ke pulau ini karena pulau itu terkenal sebagai tempat tinggal seorang datuk besar bernama Poa Yok Su yang berjuluk Hek Liong Ong (Raja Naga Hitam).

Hek Liong Ong Poa Yok Su ini mempunyai sebuah rumah besar dipulau itu dan mempunyai sedikitnya tiga puluh orang anak buah yang juga tinggal dipulau itu. Akan tetapi pada pagi hari itu, pulau itu berkabung. Sebuah peti mati besar berada di ruangan depan bangunan besar itu dan tiga puluh orang anak buah itu berkabung dan nampak lesu berduka. Hek Liong Ong Poa Yok Su yang sudah berusia lanjut, kurang lebih sembilan puluh tahun itu telah meninggal dunia.

Di ruangan berkabung itu nampak menyeramkan, seperti biasa terdapat di ruangan dimana terdapat peti mati dan sembahyangan. Asap dupa dan hio memenuhi ruangan, baunya menyengat hidung. Para anak buah siap untuk menerima tamu yang datang melayat. Mereka telah menyebarkan berita di daratan akan kematian majikan mereka. Akan tertapi sejak pagi tidak ada seorangpun datang melayati. Siapa yang akan datang melayat seorang datuk yang terkenal sebagai tokoh sesat itu...?

Murid tunggal Hek Liong Ong yang bernama Cia Bi Kiok, yang kini tentu sudah berusia limapuluhan tahun. Sejak tiga puluh tahun lebih yang lalu, telah meninggalkan gurunya karena Hek Liong Ong hendak memaksa murid yang cantik itu menjadi istrinya, pengganti istrinya yang meninggal dunia. Sejak itu Cia Bi Kiok itu melarikan diri dari Pulau Naga, kemudian membentuk anak buah sendiri dan tinggal di pulau Hiu sebagai bajak laut. Sekarang ia tidak lagi tinggal di pulau hiu dan orang tidak tahu lagi kemana perginya.

Setelah dit inggal pergi murid tunggalnya, Hek Liong Ong hidup tanpa sanak keluarga. Istrinya meninggal tanpa meninggalkan anak dan dia hanya hidup bersama anak buahnya yang hidupnya juga dari hasil pembajakan di laut. Setelah matahari naik tinggi, mendadak muncul seorang pria tinggi besar yang bermuka hitam dan pria yang usianya lebih lima puluh tahun ini membawa sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Si tinggi besar muka hitam ini memandang dengan sepasang matanya yang lebar dan membaca tulisan dimeja sembahyang depan peti mati.

“Hek Liong Ong Poa Yok Su, engkau telah benar-benar mampus? Hidup atau pun mati, aku harus memenggal batang lehermu! Ini sudah menjadi sumpah Toat Beng Kwi To (Golok Setan Pencabut Nyawa) dan aku harus memenuhi sumpahku ini!“

Setelah berkata demikian, dengan goloknya dia menghampiri peti mati dan siap mencokel tutup peti mati. Akan tetapi, sepuluh anak buah Hek Liong Ong segera berlompatan maju dengan pedang ditangan menghalangi orang bermuka hitam itu.

“Siapapun tidak boleh mengganggu peti jenazah majikan kami!“ bentak seorang di antara mereka dan sepuluh orang itu sudah siap melawan dengan pedang mereka.

Si Muka hitam itu tertegun, lalu berdongak dan tertawa bergelak “Ha-ha-ha-ha, Hek Liong Ong, agaknya anak buahmu ini setia juga kepadamu dan biarlah merekan mengikut imu ke neraka jahanam!“

Setelah berkata demikian goloknya berkelebat. Cepat dan kuat bukan main golok besar itu menyambar-nyambar. Sepuluh orang anak buah Hek Liong Ong bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah para bajak laut yang biasa berkelahi dan menggunakan kekerasan. Mereka menggerakan perang melawan, akan tetapi sia-sia saja. Biarpun mereka sudah menangkis, tetap saja mereka itu roboh satu demi satu dengan bermandikan darah sendiri, tewas seketika terbabat golok ditangan simuka hit am yang mengaku berjuluk Toat Beng Kwi To itu!

Dua puluh lebih anak buah Hek Liong Ong yang lain, melihat betapa sepuluh orang rekan mereka roboh dengan leher hampir putus dan tewas seketika, menjadi gentar dan mereka mundur menjauh dari peti mati. Mereka tidak berani menghalangi lagi ketika Toat Beng Kwi To maju dan hendak mencokel tutup peti mati agar terbuka karena dia ingin memenggal leher jenazah Hek Liong Ong! Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar suara keras dan tutup peti itu terbuka.

“Braaak...!“ dan dari dalam peti mati itu berkelebat sosok bayangan ke atas! Ternyata itu adalah mayat Hek Liong Ong yang setelah tiba diatas, berjungkir balik dan dengan gerengan mengerikan menukik dan kedua tangannya membentuk cakar mencengkram ke arah kepala Toat beng kwi to.

Toat Beng kwi to adalah seorang datuk yang lihai dan berani. Akan tet api saat itu mukanya berubah pucat sekali karena dia tidak mengira akan terjadi hal seperti itu. Benerkan Hek Liong Ong yang sudah mati hidup kembali dan kini mayat hidup itu menyerangnya? Dengan hati berguncang dia menggerakkan goloknya memapaki sosok tubuh mengerikan itu. Dia membacok ke atas sambil memandang dengan mata terbelalak ngeri.

Karena terkejut dan ngeri, maka Toat Beng kwi to kehilangan kewaspadaannya. Bacokan goloknya dit angkis begitu saja oleh tangan kiri “mayat hidup” itu dan tangan kanannya masih terus mencengkram ke arah kepala. Toat Beng kwi to menangkis dengan tangan kirinya, akan tetapi tangkisannya kalah kuat, tangan kirinya terpental dan tahu-tahu jari-jari tangan itu telah menancap dan mencengkram kepalanya.

Toat Beng kwi to mengeluarkan teriakan mengerikan dan darah keluar dari kepalanya yang ditembusi jari-jari tangan mayat hidup itu. Dia masih berusaha untuk meronta, akan tetapi kedua kakinya seperti kehilangan tenaga dan terkulai roboh dengan kepala berlubang-lubang dan berdarah. Hanya sejenak dia berkelonjotan lalu tewas!

Kini “Mayat hidup“ itu duduk diatas sebuah kursi. Ternyata dia bukanlah mayat, melainkan Hek Liong Ong Poa Yok su dengan pakaian lengkap. Dia memandang kepada sepuluh orang anak buahnya yang tewas, lalu memandang kepada mayak Toat Beng kwi to, lalu meludah kearah mayat itu.

“Heran benar, sampai sesudah matipun orang masih mencariku untuk membalas dendam...“

Dia lalu menggapai dua puluh lebih anak buahnya yang tadi ketakutan dan mundur. Mereka datang menghadap dan Hek Liong Ong Poa Yok Su berkata kepada mereka.

“Siasat ku berpura-pura mati untuk menghindari balas dendam pada usiaku yang sudah tua ini harus dilanjutkan, Akan tetapi aku tidak lagi bersembunyi didalam peti mati. Terlalu berbahaya! Aku akan mengganti tubuhku dalam peti dengan bata. Kemudian, sediakan sebelas peti mati untuk para anak buahku dan untuk Golok Setan ini, bariskan semua peti mati berjajar dengan peti matiku. Kalian jaga baik-baik dan setelah semua peti mati dikubur, kalian boleh meninggalkan pulau ini dan membagi semua barang yang berada disini di antara kalian. Aku mau pergi sekarang juga. Awas, jangan ada yang melanggar pesanku ini...!“

Hek Liong Ong Poa Yok Su yang dalam usianya yang sudah lanjut itu masih nampak gagah dan tinggi besar itu lalu pergi dengan langkah lebar. Dua puluh tiga orang anak buah Hek Liong Ong lalu sibuk melaksanakan pesan majikan mereka. Mereka lalu mengeluarkan peti-peti mati yang memang banyak tersedia dipulau itu, memasukan semua jenazah lalu mengatur peti-peti mati itu sejajar dengan peti mati majikan mereka yang mereka isi dengan bata dan mereka tutup kembali. Di Depan setiap peti mati si Golok Setan mereka juga menuliskan nama julukan itu.

Kemudian mereka membakar lagi dupa dan sudah bersiap-siap untuk mengubur semua peti mati. Mereka cepat menggali dua belas lubang kuburan dan kini beramai-ramai mengangkuti peti-peti mati itu ke kuburan yang berada di tenga-tengah pulau. Baru saja mereka menurunkan peti-peti mati itu dari pikulan dan meletakkan diatas tanah dekat lubang-lubang yang mereka gali, tiba-tiba terdengar seruan halus,

“Haiiii, berhenti dulu, jangan di kubur...!“

Semua orang memandang ke sekeliling akan tetapi tidak nampak ada orang di situ. Dan mereka melihat seseorang tubuh datang berlari-lari dari pantai. Sungguh mengherankan kalau orang itu yang bicara tadi. Orangnya masih begitu jauh akan tetapi suaranya seperti dia berada di dekat mereka!

Dan larinya demikian cepat seperti terbang saja dan tak lama kemudian, seorang berpakaian tosu telah berdiri di situ. Tosu ini berusia kurang lebih enam puluh tahun, tinggi kurus dan mukanya demikian kurus sehingga tinggal tulang terbungkus kulit seperti tengkorak hidup. Matanya yang sipit kecil itu mencorong bagaikan dua titik bunga api. Tangan kirinya memegang sebuah hudtim, semacam kebut an yang biasa dipegang para pendeta dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat putih.

“Peti-peti jenazah siapa saja ini...?“ dia bertanya kepada mereka yang memandang kepadanya penuh kecurigaan. Seorang yang menjadi pimpinan anak buah Pulau Naga itu lalu menjawab “Yang ini adalah peti jenazah majikan kami Hek Liong Ong Poa Yok Su, yang itu adalah peti jenazah Toat Beng kwi to dan yang sepuluh ini peti jenazah rekan-rekan kami...“

“Hek Liong Ong mati? Mana mungkin? Dan Toat Beng kwi to mati pula di sini? Aneh sekali, apa yang telah terjadi...?“

Anak buah Pulau Naga yang mewakili teman-temannya itu menceritakan dengan singkat, “Toat Beng kwi to datang membikin kacau, sepuluh orang anak buah pulau naga dibunuhnya. Majikan kami yang sudah tua dan sakit terpaksa maju melawannya. Dan keduanya tewas oleh perkelahian itu...“ Cerita yang masuk di akal, akan tetapi tosu tinggi kurus itu menggunakan gagang kebutannya untuk menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan penuh kebimbangan.

“Toat Beng kwi to dapat membuhuh sepuluh orang anak buah pulau naga, hal itu tidak aneh. Akan tetapi dia dapat menandingi Hek Liong Ong sampai mati bareng...? Ah, mana mungkin ini? Ingin aku memberi hormat kepada sahabat ku Hek Liong Ong!“

Dia menghampiri peti jenazah Hek Liong Ong dan para anak buah pulau naga tidak curiga karena tosu itu menyebut majikan mereka sebagai sahabat. Dan tosu itupun menepuk-nepuk peti jenazah itu dari ujung ke ujung dengan perlahan sambil berkata, suaranya lirih akan tetapi terdengar mengerikan.

“Hek liong ong, kenapa engkau mati menginggalkan pinto. Ini tidak adil, dan tidak jujur! Hemm, benarkah engkau yang berada didalam peti mati ini?”

Dan sekali tangannya bergerak terdengar suara keras dan peti mati itu bergoyang, tutupnya terbuka. Semua anak buah pulau naga menjadi terkejut sekali, apalagi melihat betapa semua tumpukan bata didalam peti mati telah remuk! Tentu ketika menepuk-nepuk peti mati itu tosu tadi mengerahkan tenaga saktinya, menyerang ke arah “mayat” di dalam peti sehingga bata itu remuk semua. Kini mereka dengan pedang di tangan sudah mengepung dan menyerang tosu itu karena kebohongan mereka sudah diketahui. Lebih baik mendahului turun tangan membunuh tosu itu daripada membiarkan mereka diserang.

Akan tetapi, ternyata kepandaian tosu itu jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Toat Beng kwi to yang dahsyat tadi. Tongkat dan kebutan itu menyambar-nyambar dan dua puluh tiga orang it lupun roboh satu demi satu dan tewas seketika. Tidak ada yang sempat melarikan diri sama sekali saking cepatnya gerakan tosu itu yang seperti melayang-layang diantara mereka. Setelah semua orang roboh dan tewas, tosu itu menghampiri peti jenazah yang terisi bata itu dan menggeleng-geleng kepalanya lalu menghela napas panjang.

“tsk-tsk-tsk... Hek Liong Ong, engkau sungguh cerdik dan licik!“ Mata yang kecil itu memandang acuh kepada kepada dua belas buah peti mati dan dua puluh tiga buah mayat yang berserakan itu, lalu menghela napas lagi, lalu berlari seperti terbang menuju ke rumah besar bekas tempat tinggal Hek Liong Ong. Setelah memeriksa dan tidak menemukan seorangpun di sana, tosu itu lalu membakar rumah itu.

“Hem, Hek Liong Ong“, gumannya sambil memandang api yang berkobar melalap bangunan itu. “biarpun pinto belum berhasil membunuhmu, setidaknya pinto telah membasmi sarangmu dan semua anak buahmu...!" Setelah berkata demikian, diapun cepat lari ke pantai, melepas tali perahunya dan tak lama kemudian diapun sudah melayarkan perahunya menuju daratan.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Episode Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Hek Liong Ong Poa Yok Su telah berhasil meninggalkan pulau naga tanpa ada yang mengetahui kemana dia pergi. Begitu tiba di daratan dia langsung memotong rambutnya sampai gundul dan dengan pakaian compang camping seperti seorang pengemis dia melanjutkan perjalanan. Mengapa seseorang yang sedemikian lihainya seperti Hek Liong Ong Poa Yok Su, majikan pulau naga yang mempunyai banyak anak buah menjadi ketakutan dan berpura-pura mati untuk menyembunyikan dirinya? Siapa yang di takutinya...?

Sebetulnya, dia tidak takut kepada siapapun. Tidak ada orang didunia ini yang ditakutinya. Dia adalah datuk besar di timur yang terkenal dan sukar dicari tandingannya. Akan tetapi setelah usianya semakin tua, setelah dia menyadari benar-benar bahwa kematian pasti akan tiba, dia menjadi ketakutan! Hek Liong Ong Poa Yok Su takut akan kematian!

Dia merasa tidak berdaya menghadapi maut, tidak kuasa melawan maut! Oleh karena itu dia membayangkan bahwa musuh-musuhnya tentu akan datang membalas dendam dan akhirnya dia akan mati. Dia takut, dia ngeri menghadapi kematiannya sendiri, walaupun sudah tidak terhitung banyaknya dia menghadapi kematian kematian orang lain melalui tangan atau senjatanya. Kalau dia menbayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya setelah mati, bagaimana dengan tubuhnya yang akan membusuk dan hancur, apa yang akan dijadapinya. Lebih-lebih teringat akan cerita bahwa dosa-dosa yang bertumpuk banyaknya tentu akan mengalami hukuman sesudah mati, dia merasa takut bukan main!

Perjalanannya membawa dia kedekat kota raja. Tadinya dia bermaksud hendak ke kota raja menghadap Kaisar Yang Chien yang pernah dibantunya ketika kaisar itu masih muda dan masih berjuang menumbangkan kekuasaan Raja Toba sehingga akhirnya berhasil menggulingkan pemerintah asing dan mendirikan Kerajaan Sui (Baca kisah Sepasang Naga Lembah Iblis).

Akan tetapi setelah tiba di luar kota raja dia meragu. Dia tahu bahwa di kota raja terdapat banyak pendekar yang kini menduduki jabatan penting dan dia mempunyai permusuhan dengan banyak pendekar. Di kota raja juga terdapat banyak musuhnya. Lebih mengerikan lagi karena para pendekar itu tentu tidak akan melupakan dia sebagai musuh dan diantara pendekar itu terdapat banyak orang sakti. Hal ini membuat dia takut memasuki kota raja dan membalikkan tubuhnya lagi unt uk meninggalkannya.

Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan kuil dibukit, tak jauh diluar kota raja. Kuil! Hidup dikuil sebagai seorang hwesio itulah jalan terbaik. Selain dia dapat bersembunyi dari musuhn-musuhnya, diapun dapat menebus dosa-dosanya dengan tekun beribadat Untuk dapat mengusir perasaan takutnya. Dengan langkah lebar dan hati mantap dia menuju ke kuil itu, mendaki bukit.

Kuil itu merupakan sebuah kuil besar di huni oleh dua puluh orang hwesio. Kepala kuil itu bernama Tiong Gi Hwesio, seorang tokoh dari kuil siauw lim si. Karena itu, kuil itupun merupakan cabang siauw lim si dan di situ terdapat pula belasan orang pemuda remaja yang belajar ilmu silat dari Tiong Gi Hwesio. Ketika Hek Liong Ong tiba di kuil itu, dia diterima oleh seorang hwesio yang bertugas jaga.

“Paman tua, apakah keperluanmu datang berkunjung ke kuil ini kalau tidak ingin bersembahyang?“ tanya hwesio penjaga.

“Tolong, pertemukan saya dengan ketua kuil, saya mempunyai permohonan kepadanya,” kata hek liong ong merendah.

Kebetulan sekali Tiong Gi Hwesio keluar dari kuil itu dan melihat seorang kakek ingin bertemu dengannya, diapun segera menghampiri, ”Sobat, pinceng adalah Tiong Gi Hwesio, kepala kuil ini. Ada keperluan apakah engkau hendak bertemu dengan pinceng?“ tanyanya dengan nada ramah sekali.

Kakek itu memandang kepada Tiong Gi Hwesio dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki hwesio itu. “Losuhu, tolonglah saya, saya ingin menebus dosa dengan masuk menjadi hwesio dan mempelajari Kitab-Kitab agama, hidup beribadat. Tolonglah saya, saya mau bekerja sebagai apa saja di dalam kuil ini...“ dalam suara Hek Liong Ong terkandung kesungguhan hatinya dan suaranya seperti orang yang ketakutan dan hampir menangis.

“Omitohud...! Biarpun engkau sudah tua, engkau masih belum terlambat untuk bertaubat dan mengubah jalan hidup mu. Sang Budha akan memberkatimu!” Tiong Gi Hwesio merasa iba kepada Hek Liong Ong. “Siapakah namamu, sobat?”

“Saya bermarga Liong, nama saya Beng..“ kata Hek Liong ong berbohong. Karena kalau dia berterus terang siapa dirinya, tentu hwesio itu tidak akan mau menerimanya. Nama Hek liong ong Poa Yok Su sudah terlalu tersohor dan pasti akan membikin takut para hwesio ini.

“Baiklah, pinceng suka menerimamu menjadi murid di kuil ini dan tentang pekerjaan nanti saja kita lihat apa yang dapat kau bantu untuk kami...“

Hek liong ong merasa gembira sekali. Dia mencium ujung kaki Tiong Gi Hwesio dan mengeluarkan sepuluh potong emas yang selama ini dia simpan dikantungnya. “Banyak terima kasih atas kemurahan hati losuhu, dan ini seluruh milik yang ada pada saya, saya serahkan untuk keperluan kuil...“

Tiong Gi Hwesio terbelalak, sepuluh potong emas itu besar sekali harganya, akan tetapi karena orang tua itu menyerahkannya dengan rela, maka harta itu diterimanya untuk kepentingan kuil.

Mulai hari itu jadilah Hek liong ong seorang hwesio dan dia diberi julukan Ho Beng Hwesio. Setelah beberapa hari berada di kuil itu dan tiong gi hwesio mendapat kenyataan bahwa hwesio itu pandai memasak, maka Ho beng hwesio diberi tugas sebagai tukang masak.

Hek liong ong yang sudah menjadi ho beng hwesio merasa senang sekali tinggal di kuil itu. Dia mendapatkan dua keuntungan. Pertama, setelah menjadi hwesio tidak akan ada lagi musuhnya yang dapat mengenalnya sehingga dia dapat bersembunyi dikuil itu dengan hati tenang dan tentram dan kedua, dia dapat menentramkan hatinya dengan mempelajari agama sehingga dia dapat mengusir rasa takutnya menghadapi kematian.

Diapun dapat menyembunyikan kepandaiannya. Biarpun disitu terdapat banyak murid yang mempelajari ilmu silat, namun dia tidak pernah memperdulikan dan acuh saja seolah dia seorang tua yang lemah dan sama sekali tidak mengerti tentang ilmu silat.

Sudah lazim bagi kita untuk beranggapan bahwa memupuk kebajikan dan penebusan dosa hanya dilakukan orang-orang tua yang menghadapi kematiannya. Anggapan seperti ini sebenarnya sama sekali salah. Kematian bukan hanya datang kepada orang-orang yang telah lanjut usianya, akan tetapi dapat menghampiri siapa saja, baik yang tua maupun yang muda.

Oleh karena itu, hidup bersih dari dosa dan usaha penebusan dosa dengan amal yang baik merupakan kewajiban setiap orang manusia, tua maupun muda mendekatkan diri setiap saat Kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, sehingga kita selalu siap menghadapi maut yang datang menjemput. Mendekat kan diri kepada Tuhan Yang Maha Pengasih akan membuat kita selalu waspada dan sadar sehingga nafsu daya rendah tidak akan mudah menguasai hati akal pikiran kita dan menyeret kita kedalam perbuatan yang rendah dan jahat.


Sayang bagi Hek liong ong, dia masuk menjadi hwesio bukan terdorong oleh rasa bersalah, bukan karena penyesalan bahwa dia selama ini hidup bergelimang dosa, melainkan terdorong oleh rasa takutnya akan kematian dan dia masuk menjadi hwesio untuk menghindarkan diri dari rasa takut itu.

Bagaimana pun juga, setelah lewat beberapa bulan, hek liong ong merasakan kedamian dalam hatinya dan dia sudah merasa benar-benar aman dari ancaman musuh-musuhnya.

********************

Cerita ini dimulai pada tahun 594, baru tiga belas tahun kerajaan Sui berdiri. Setelah perjuangan selama belasan tahun dengan gigih, Pendekar Yang Chien, akhirnya dalam tahun 581 dapat mengalahkan pemerintah penjajah Toba dan mendirikan Kerajaan Sui.

Dalam Kisah Sepasang naga lembah iblis diceritakan tentang perjuangan Yang Chien. Kaisar Yang Chien berhasil mempersatukan kembali semua daerah sehingga Kerajaan Sui menjadi besar dan Jaya. Kaisar Yang Chien pandai memerintah dan Kerajaan Sui menjadi terkenal, keamanan dapat dikembalikan dan keadaan dalam negeri diperkuat. Pemerintah diselenggarakan dengan bijaksana, pajak-pajak diperingan, hukum-hukum negara ditegakkan dan dilaksanakan dengan baik.

Bahkan untuk kepentingan pertanian dan perdagangan, Kaisar Yang Chien memerintahkan penggalian terusan-terusan yang menghubungkan kedua Sungai Huang-Ho dan Yang-Ce. Untuk melaksanakan pekerjaan besar ini dibutuhkan tenaga ratusan ribu orang dan Kaisar Yang Chien tidak mau mempergunakan kekerasan system kerja paksa seperti kaisar-kaisar yang terdahulu, akan tetapi dia mengharuskan para petugas untuk memberi upah kepada para pekerja sehingga pekerjaan dapat berjalan lancar tanpa protes dari pihak rakyat jelata.

Sikapnya untuk urusan keluar daerah juga tegas. Daerah-daerah yang tidak mau tunduk di serbu dan ditaklukan kembali. Daerah Tong Kin dan Annam ditundukkan dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sui.

Kaisar yang bijaksana dan adil selalu mendapat dukungan rakyat jelata dan menarik hati para cendikiawan untuk berdatangan dan membantu. Dan Kaisar Yang Chien menerima para cerdik pandai dengan tangan terbuka, setelah menguji mereka memberi kedudukan yang sepadan dengan kepandaian mereka sehingga roda pemerintahan dapat berputar sedemikian lancar. Para pejabat tinggi yang dekat dengan kaisar memperlihatkan kesetiaan mereka.

Kalau pohonnya sehat maka cabang-cabang, ranting-ranting dan daun-daunnya pun sehat dan pohon yang sehat ini tentu menghasilkan buah yang baik. Demikian pula kalau kaisar sebagai orang tertinggi kedudukannya bijaksana dan adil, maka para pembantu atau baw ahannya tentu juga bijaksana dan atasan yang adil bijaksana dapat menegur bawahan yang tidak benar sehingga kebijaksanaan ini dapat terus mengalir sampai kepada pejabat yang tingkatnya paling rendah. Kebijaksanan harus dimulai dari tingkat paling atas sebagai tauladan pertama. Bagaimana mungkin mencegah anak buah bertindak jahat kalau pemimpin mereka sendiri juga jahat?

Diantara para pejabat tinggi yang paling dekat dengan kaisar Yang Chien adalah seorang Panglima besar bernama Cian Kauw Cu. Sejak mudanya Cian Kauw Cu menjadi sahabat, bahkan seperti saudara sendiri dari Kaisar Yang Chien. Mereka berdua berjuang bersama, bahkan mereka berdualah yang di kenal sebagai Sepasang Naga Lembah Iblis. Mereka berdua menemukan sepasang pedang yang kemudian menjadi milik mereka berdua, yang putih disebut Pek Liong Kiam (Pedang Naga Putih) menjadi milik Kaisar Yang Chien dan yang hitam di sebut Hek Liong Kiam (Pedang Naga Hitam) menjadi milik Cian Kauw Cu.

Selain mendapat kan sepasang pedang itu, mereka berdua juga menemukan kitab pelajaran ilmu silat Bu Tek Cin Keng didalam sebuah gua. Hanya bedanya, kalau Yang Chien mempelajari ilmu dari kitab itu yang kemudian membuat dia menjadi seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Cian Kauw Cu hanya mempelajarinya dari gambar-gambar di dinding sehingga mutu ilmu yang dikuasai Cian Kauw Cu masih kalah dibandingkan yang dikuasai Yang Chien.

Hal ini disebabkan cian kauw cu memiliki latar belakang pendidikan yang rendah sekali. Sejak kecilnya dia hidup liar seperti binatang dan dipelihara oleh seekor kera betina! Semua itu dicerit akan dengan lengkap dalam kisah Sepasang Naga Lembah Iblis

Sekarang Cian Kauw Cu atau Cian Ciangkun telah berusia lima puluh tahun. Selama belasan tahun dia ikut pula berjuang di samping Yang Chien. Setelah mereka berhasil, Yang Chien menjadi kaisar dan Cian Kauw Cu di angkat menjadi panglima besar. Dia menikah dengan seorang wanita pilihannya yang bernama Ji Goat, puteri mendiang perdana menteri Kerajaan Toba.

Ji Goat juga bukan wanita biasa. Wanita yang sudah berusia empat puluh tujuh tahun ini adalah seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Mereka memiliki seorang anak tunggal, seorang putera berusia sepuluh tahun yang diberi nama Cian Han Sin.

Demikianlah sedikit riwayat sepasang pendekar yang dikenal sebagai sepasang naga lembah iblis dan yang kini telah menjadi kaisar dan panglima besarnya.

Pada hari itu, Kaisar Yang Chien sengaja memanggil Panglima Cian untuk menghadap dan kedua orang sahabat yang kini telah menjadi orang-orang besar dengan usia yang mulai tua itu, duduk berhadapan disebuah ruangan dalam istana. Mereka tidak kelihatan seperti seorang kaisar dengan panglimanya, nampak seperti dua orang sahabat saja. Demikianlah kalau kaisar sedang bercakap-cakap berdua saja dengan Cian-Ciangkun. Keakraban yang dahulu masih nampak dalam sikap mereka walau pun Cian–Ciangkun lebih bersikap hormat.

“Cian-Ciangkun...“ kata Kaisar setelah dia mempersilahkan Panglimanya minum arak dari cawan yang disuguhkan. “Bagaimana pendapat mu tentang gerakan bangsa-bangsa biadab di Utara itu? Bangsa Toba tiada hentinya berusaha untuk menegakkan kembali kekuasaan mereka dan mereka selalu menggangu daerah perbatasan utara yang demikian luasnya. Dan agaknya mereka itu hendak mengajak Bangsa Turki dan Mongol untuk bersekutu, Kalau mereka sampai bersekutu, mereka akan merupakan kekuatan yang tidak boleh dipandang ringan...“

“Apa yang paduka katakan itu benar sekali, Yang Mulia...” Kata Cian Ciangkun yang walaupun mereka namapak duduk berhadapan dengan akrabnya, tetap saja menunjukkan sikap seorang bawahan kepada atasannya. “dan sat u-satunya jalan unt uk menghilangkan ancaman dari Utara itu hanyalah dengan mengirim pasukan dan menundukkan mereka. Setelah kini kekacauan di selatan sudah dapat ditundukkan dan semua balatentara berada dalam keadaan menganggur, maka sudah tiba saatnya untuk mengerahkan pasukan ke utara...“

“Tepat, kamipun berpendapat demikian, Cian Ciangkun, akan tetapi karena usaha pembersihan di utara ini merupakan pekerjaan besar yang penting sekali, sama sekali tidak boleh gagal, maka kami bermaksud untuk memimpin sendiri pasukan besar menyerbu ke utara. Bagaimana pendapat mu, Cian Ciangkun?“

“Yang Mulia, hamba kira hal itu tidak perlu dilakukan. Untuk membunuh anjing tidak perlu mempergunakan pedang pusaka untuk menundukkan para perusuh di utara itu, hamba kira tidak perlu sampai paduka sendiri turun tangan. Keberadaan paduka di istana masih sangat diperlukan untuk memperlancar jalannya pemerintahan yang berwibawa. Kalau paduka pergi sendiri sampai waktu yang lama, hamba khawatir, akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan di kota raja...“

“Hemm, habis bagaimana Ciangkun? Pekerjaan ini amat berat dan penting, juga berbahaya. Kami tidak ingin melihat operasi pembersihan ini gagal...“

“Yang Mulia, apa gunanya hamba berada disini kalau untuk urusan begitu saja paduka harus turun tangan sendiri? Yang mulia, biarlah hamba yang akan mewakili paduka, memimpin pasukan dan menundukkan bangsa-bangsa yang mengancam di perbatasan utara itu...!“

Kaisar Yang Chien memandang sahabatnya itu dan mengangguk-angguk senang. Diapun percaya, kalau Cian Kauw Cu yang mewakilinya dan memimpin pasukan, tentu operasi pembersihan itu akan berhasil baik.

“Bagus, kalau engkau sendiri yang memimpin pasukan itu, kami yakin pembersihan itu akan berhasil baik. Pergilah, umumkan keputusan ku. Cian Ciangkun. Persiapkan pasukan sebanyak yang kau kehendaki dan berangkatlah dalam minggu ini juga...“

“Baik, hamba siap melaksanakan perintah Yang Mulia...!“ Kata Cian Ciangkun yang segera memberi hormat dan mengundurkan diri.

Cian ciangkun lalu mengumumkan kepada semua menteri dan pejabat tinggi tentang perintah kaisar dan dia sendiri lalu menghubungi para panglima mempersiapkan pasukan yang akan dibaw anya ke utara untuk menundukkan Bangsa Nomad di uatara itu. Karena perjalanan ke utara melalui daerah pegunungan dan gurun yang serba keras dan sukar, maka Cian Ciangkun memberi waktu sekitar satu minggu kepada pasukan untuk mempersiapkan perbengkalan.

Dirumah gedungnya, Cian Kauw Cu bercerita kepada istrinya tentang tugasnya mewakili Kaisar untuk melakukan pembersihan ke utara. Istrinya maklum akan tugas suaminya sebagai panglima besar. Bukan baru kali ini suaminya pergi meninggalkannya untuk memimpin pasukan berperang, sudah berulang kali. Karena itu, iapun tidak merasa khawatir. Ia percaya akan kemampuan suaminya. Apalagi sekarang yang akan dibersihkan hanyalah pengacau-pengacau perbatasan.

“Berapa lamanya gerakan pembersihan itu, suamiku...?” tanyanya.

Ciang Ciangkun menggeleng kepalanya. “Belum dapat kuperkirakan sekarang. Biarpun mereka itu hanya pengacau-pengacau yang kukira tidak seberapa besar kekuatannya, namun medannya amat sukar. Dan mereka adalah penunggang kuda yang mahir, mudah melarikan diri di daerah yang liar itu. Mereka itu berkelompok dan berpindah-pindah. Itulah sukarnya. Kalau mereka bersarang, mudah saja membasmi sarang mereka. Akan tetapi, dengan serbuan-serbuan pasukan kita, kukira mereka akan cerai berai dan tidak dapat bersatu lagi dan mudah-mudahan saja tidak terlalu lama aku akan dapat pulang...“

Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun berlari-lari masuk ke ruangan itu. Dia adalah Cian Han Sin. Anak ini memiliki tubuh seperti ayahnya, tinggi besar dan tegap. Akan tetapi kulitnya tidak hitam seperti ayahnya, melainkan putih bersih seperti ibunya. Juga wajah anak ini seperti ibunya, maka dia kelihatan tampan. Tampan dan gagah karena tubuhnya tegap.

“Han Sin, kenapa engkau berlari-lari?“ tegur ibunya.

Akan tetapi anak itu berlari menghampiri ayahnya. “Ayah, aku melihat pasukan bersiap-siap dan katanya ayah hendak memimpin pasukan menuju ke utara, ke mongol. Benarkan, ayah?“

Cian Ciangkun tersenyum dan mengelus kepala puteranya. “Memang benar, Han Sin. Kaisar memerintahkan ayahmu untuk memimpin pasukan dan mengadakan pembersihan kepada para pengacau diperbatasan...“

“Aihh, aku ingin sekali ikut, ayah! Aku ingin melihat daerah utara! Kabarnya banyak pegunungan liar dan daerah gurun pasir. Ingin aku melihatnya!”

Ayahnya tertawa, mengangkat anak itu dan dipangkunya. Sebagai anak tunggal, tentu saja Han Sin agak dimanja oleh ayahnya. “Han Sin, kau kira ayahmu pergi pesiar maka engkau hendak ikut? Ayahmu pergi memerangi orang-orang yang mengacau diperbatasan, bangsa biadab yang liar dan kejam...“

“Jadi aku tidak boleh ikut, ayah?“ Han Sin merajuk dan turun dari pangkuan ayahnya.

“Tentu saja tidak boleh, bagaimana kalau aku bertempur, apakah engkau akan bertempur pula?“

“Aku selama ini sudah berlatih silat bertahun-tahun, aku tidak takut bertempur!”

Cian Ciangkun tertawa. “ha-ha-ha, sudahlah kau tinggal dirumah saja menemani ibumu...” Di dalam hatinya dia merasa bangga melihat keberanian puteranya.

“Han Sin, jangan ganggu ayahmu! Ayah melaksanakan tugas penting yang berat, bukan main-main. Engkau tidak boleh ikut. Engkau harus tinggal dirumah bersama ibu, melatih silat dan menghafal pelajaran mu membaca dan menulis. Engkau harus rajin belajar agar kalau ayahmu pulang engkau sudah memperoleh banyak kemajuan...“ kata Ji Goat.

“Benar kata-kata ibumu, Han Sin...“

“Kalau begitu, aku minta oleh-oleh! Kalau ayah pulang, agar aku dibawakan pedang mongol yang bentuknya melengkung itu...!“ kata Han Sin.

“Baiklah, akan kubawakan untukmu...!“ kata ayahnya. Barulah Han Sin tidak rewel lagi dan dia segera keluar untuk bermain-main...

********************