Sepasang Naga Lembah Iblis Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Yang Cien menjadi girang sekali dan dia cepat memberi hormat. “Lo-cian-pwe adalah seorang bijaksana yang dapat mempertimbangkan dengan adil. Sayapun berjanji akan membantu sekuat tenaga, lo-cianpwe...“

Pendeta wanita itu lalu pergi meninggalkan Yang Cien dan mengejar muridnya. Akan tetapi, sampai di tempat tinggal para anggota Thian-li-pang, ia tidak menemukan muridnya. Di cari kemanapun tidak ada dan tidak ada seorangpun murid yang mengetahui. Ketika akhirnya ada yang memberitahu bahwa muridnya itu pergi menuju ke perkemahan yang kabarnya menjadi tempat tinggal sementara dari rombongan dari kota raja yang di hadiri pula oleh Koksu Lui, ia merasa khawatir sekali. Tahulah ia bahwa muridnya itu agaknya hendak mencari Lai Seng! Maka tergesa-gesa ia kembali k etempat tinggal Yang Cien.

“Ada apakah lo-cian-pwe kembali ke sini?” Tanya Yang Cien khawatir.

“Yang-taihiap, tolonglah kami. Sun Nio pergi ke tempat tinggal Lai Seng dan gurunya. Aku khawatir sekali…“

“Mari kita susul ke sana, lo-cianpwe!” kata Yang Cien yang mengkhawatirkan keselamatan gadis itu.

Sementara itu, Sun Nio memang sudah mendengar bahwa rombongan Koksu juga menghadiri pemilihan bengcu itu, dank arena ia mendengar bahwa Lai Seng adalah murid Koksu, maka ia tidak pulang ke perkemahan Thian-li-pang melainkan langsung saja menuju ke perkemahan Koksu dengan semua pengikutnya! Ia mengambil keputusan untuk menyelesaikan urusannya hari itu juga, tidak menanti sampai pemilihan bengcu. Ia harus menemui Lai Seng.

Tak jauh dari perkemahan itu, bertemulah ia dengan seorang wanita cantik yang pesolek. Wanita itu bukan lain adalah Bong Kwi Hwa, isteri Lai Seng yang juga ikut datang ke tempat itu. Begitu melihat Kwe Sun Nio, Kwi Hwa segera teringat bahwa inilah gadis yang dulu di sangka Ji Goat dan menjadi korban perkosaan suaminya! Maka ia menyambut dengan senyum mengejek di mulutnya.

“Ada urusan apa engkau datang mendekati perkemahan kami? Tanpa ijin engkau tidak boleh memasuki daerah perkemahan kami !” bentaknya ketus. ia tidak cemburu karena gadis ini pernah di gauli suaminya, akan tetapi mendongkol karena ternyata gadis ini bukan Ji Goat seperti yang di kehendaki suaminya. Kalau suaminya menjadi mantu Perdana Menteri, setidaknya iapun akan terangkat derajatnya. Akan tetapi gadis ini bukan Ji Goat dan hal itu menyebalkan hatinya.

Sun Nio sedang marah dan sedih, melotot ketika di sambut ucapan kasar itu. “Aku tidak memasuki daerah perkemahan siapa-siapa, aku datang untuk mencari orang yang namanya Lai Seng!”

“Hemm, orang yang namanya Lai Seng itu suamiku, tahu! Mau apa engkau mencari-cari suamiku dan apa yang engkau harapkan darinya? Hayo katakan!”

Hampir meledak dada Sun Nio menghadapi wanita yang mengaku isteri Lai Seng itu. Jadi Lai Seng sudah beristeri. Hal ini membikin ia semakin marah kalau membayangkan bahwa mungkin sekali pelakunya adalah Lai Seng.

“Suamimu telah melakukan fitnah keji terhadap taihiap Yang Cien dan aku akan menanyainya tentang fitnah itu. Panggil dia ke sini!”

Kwi Hwa mengerutkan alisnya. Hemm, jadi akal suaminya untuk mengadu domba antara Thian-li-pang dan Hek I Kaipang agaknya juga gagal. Gadis ini agaknya tidak percaya bahwa pemerkosanya adalah Yang Cien. Kalau begitu percuma saja mereka mempergunakan siasat melakukan fitnah itu!

“Tidak perlu engkau bertemu suamiku, kalau ada urusan, cukup dengan aku!“

“Aku tidak mempunyai urusan denganmu, panggil dia keluar!”

“Tidak sudi!”

“Kalau begitu, biar aku mencarinya sendiri!”

“Perempuan tak tahu malu, lupakah engkau bahwa Lai Seng sudah mempunyai isteri? Engkau minta di gauli lagi ya?"

Sun Nio tersentak kaget. Di gauli lagi? Matanya terbelalak memandang wajah wanita yang pesolek itu. “Ahhh… Jadi… Jadi… Dia yang menggauliku waktu itu? Dia yang memperkosaku waktu itu…?”

Kwi Hwa merasa sudah kesalahan bicara, akan tetapi karena siasat mengadu domba itu tidak berhasil, tidak mengapalah ia berterus terang untuk menghina gadis ini. “Benar, suamiku yang dulu menikmati tubuhmu. Dan engkau datang mencarinya untuk minta lagi, ya? Tak tahu malu!”

Sun Nio menjerit dan pedangnya berkelebat menyerang. Ia marah dan benci sekali, kepada Lai Seng, kepada wanita yang menjadi isterinya, kepada siapa saja! Sekarang telah terbongkar rahasia itu dan ternyata benar Lai Seng yang telah memperkosanya. Lai Seng yang jahat, yang sudah memiliki isteri yang juga bukan manusia baik-baik ini. Ia menyerang dengan sengit sehingga mengejutkan Kwi Hwa yang segera mengelak dengan loncatan ke belakang, lalu ia pun mencabut pedangnya. Terjadilah perkelahian yang seru antara murid Thian-li-pang dan puteri Sin-ti Kwi-ong ini. Bunyi pedang mereka berkerontangan dan teriakan-teriakan mereka penuh kebencian. Sampai sepuluh jurus mereka berkelahi, belum juga ada yang terdesak, akan tetapi tiba-tiba muncul Lai Seng,

“Haiii, ada apa ini?” teriaknya.

“Ini ia perempuan itu, perempuan tak tahu malu, sekarang datang mencarimu...“ kata Kwi Hwa sambil melompat ke belakang.

Sun Nio menahan pedangnya dan memandang kepada Lai Seng dengan penuh kebencian. Lai Seng juga segera mengenal gadis yang dulu di sangka Ji Goat dan di perkosanya dengan bantuan isterinya itu.

“Hei, nona, ada apakah engkau mencari aku?”

“Aku hendak bertanya tentang fitnahmu terhadap Yang Cien taihiap. Dia bukan pelakunya dan engkau melakukan fitnah terhadap dirinya. Hayo mengaku terus terang bahwa engkaulah yang melakukan perbuatan biadab atas diriku itu dan bukan Yang Cien!”

Lai Seng menjadi gugup, karena tidak menyangka gadis itu akan menuduhnya demikian. “Sudahlah, siasat mengadu domba tidak berhasil, aku telah mengakuinya...“ kata Kwi Hwa

Lai Seng tersenyum, “Memang benar, dan karena sudah terlanjur, bagaimana kalau engkau menjadi selirku, sayang?”

Kemarahan Sun Nio memuncak. “Kalian harus mati di tanganku!” bentaknya dan kini ia menyerang dengan sengit. Pedangnya berkelebat membacok kea rah leher pria itu, akan tetapi Lai Seng menggerakkan sulingnya untuk menangkis.

“Trannggg…!“

Bunga api berhamburan dan Sun Nio agak terhuyung ke belakang. Biarpun ia tahu bahwa Lai Seng lihai sekali apa lagi di situ terdapat isterinya yang juga amat lihai, akan tetapi dendam sakit hati dan kebenciannya yang sudah memuncak membuat ia lupa diri dan lupa bahaya. Ia menyerang terus dan kini ia di keroyok dua oleh suami isteri itu!

Keadaan menjadi berat sebelah dan suatu saat suling di tangan Lai Seng menghantam pundaknya, membuat ia terhuyung dan pedang di tangan Kwi Hwa menusuk lambungnya. Sun Nio berteriak, pedangnya terlepas dan ia meloncat lari sambil mendekap lambungnya yang terluka parah.

“Sudahlah, jangan kejar, ia sudah terluka parah...“ kata Lai Seng kepada isterinya dan mereka lalu kembali ke perkemahan rombongan Koksu.

Rombongan Koksu terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi karena Koksu bermaksud menguasai dunia kang-ouw dan kalau mungkin akan menanamkan seorang pembantu agar dapat menjadi bengcu menguasai Kang-ouw. Diantara mereka terdapat Lai Seng dan isterinya, Sin-to Kwi-ong dan Thian-te Ciu-kwi, Gu Moko si tinggi kurus muka kerbau yang bersenjata sepasang kapak, dan Huang-ho Sam-kouw yang terdiri dari tiga orang bersaudara yang tinggi besar dan lihai.

Sun Nio menahan rasa nyeri di lambungnya dan ia melarikan diri secepatnya menuju ke perkemahan Thian-li-pang. Akan tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Im-Yang To-kouw dan Yang Cien yang berlari hendak mengejarnya.

“Sun Nio…!”

“Subo… Ah, subo… teecu…!” Sun Nio terhuyung dan segera di rangkul oleh gurunya.

Im-Yang To-kouw terkejut melihat lambung itu bercucuran darah. Cepat ia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah, akan tetapi ia melihat bahwa luka yang di derita muridnya itu parah bukan main.

“Sun Nio, apa yang terjadi…?”

“Subo… teecu bertemu Lai Seng… Ternyata dia… dia yang dulu… memperkosa teecu… Yang taihiap… maafkan aku… Subo… Aku tidak kuat lagi… dia… dan isterinya… membunuhku… subo…“ Ia terkulai dan tewas dalam rangkulan subonya.

“Sun Nio… Ah, Sun Nio…“ Im-Yang To-kouw menghela napas berulang-ulang, “Betapa buruk nasibmu…“

“Kwee-siocia, tenangkan arwahmu, aku berjanji kelak akan membalaskan sakit hati ini!” kata Yang Cien mengepal tinju.

“Sekarangpun pin-ni akan menuntut kepada Koksu!” kata Im-yang To-kouw setelah merebahkan tubuh muridnya yang sudah menjadi mayat dan ia bangkit berdiri.

“Maaf, lo-cianpwe, saya kira tidak ada manfaatnya, bahkan akan merugikan. Mereka itu licik sekali. Kalau lo-cian-pwe menuntut dan marah di sana, mereka akan menuduh lo-cianpwe mencari keributan atau akan memberontak terhadap orang pemerintah...“

“Akan tetapi ini buktinya mereka telah membunuh muridku!”

“Mereka dapat saja mengatakan bahwa murid lo-cian-pwe yang menyerbu ke sana dan menyerang lebih dulu dan hal itu mungkin terjadi. Lalu apa yang hendak lo-cianpwe katakan? Lo-cian-pwe tentu tidak tega untuk membeberkan aib yang telah menimpa diri nona Kwe, bukan? Sudahlah, kita rawat jenazah ini dan kita terpaksa bersabar sampai pemilihan bengcu selesai. Masih banyak waktu untuk membalas dendam. Ingat, urusan perjuangan jauh lebih penting dari pada urusan pribadi bukan?”

Im-yang To-kouw merangkap kedua tangannya. “Sian-cai… engkau memang seorang muda yang bijaksana sekali, taihiap. Engkau telah menyadarkan pin-ni dari perbuatan bodoh yang terburu nafsu. Mari kita rawat jenazah ini.

Yang Cien lalu memondong jenazah itu dan membawanya kembali ke perkemahan Thian-li-pang, di sambut dengan kesedihan oleh para murid Thian-li-pang. Pemakaman di lakukan secara sederhana di perkemahan itu juga.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Saat yang din anti-nanti oleh semua orang itu pun tiba. Kini tempat itu sudah penuh tamu yang membuat perkemahan di sekitar panggung itu. Tepat pada hari itu setelah matahari naik, Cu Lokai sebagai pihak yang mengirim undangan naik ke atas panggung. Setelah memberi hormat kepada semua tamu yang sudah memenuhi sekitar panggung itu, bermacam-macam, Cu Lokai lalu berkata dengan suara lantang.

“Cu-wi yang terhormat, sayalah mewakili Hek I Kaipang yang mengambil kehormatan mengundang cu-wi sekalian ke tempat ini untuk mengadakan pemilihan beng-cu. Karena ini kepentingan kita semua, maka kami bukanlah penyelenggara, hanya pengundang saja dan selanjutnya biarlah lebih dahulu kita semua memilih seorang untuk dijadikan pengatur pemilihan beng-cu. Harap saudara sekalian memilih wakil masing-masing agar dapat dibentuk suatu kelompok yang akan mengatur jalannya pemilihan bengcu dan menjaga tata-tertib...“

Segera terdengar sambutan suara-suara yang mengajukan calon wakil masing-masing. Cu Lokai mengangkat tangannya minta agar semua orang tenang. “Harap mengajukannya satu demi satu agar kami di sini dapat mencatat dan mendengarnya dengan baik...“

Pihak para ketua perkumpulan pengemis segera berteriak menyebut nama Cu Lokai.

“Ah, ada yang mengusulkan agar saya sendiri menjadi wakil mereka. Baiklah, saya terima pengangkatan ini, dan siapa lagi yang di usulkan...?”

“Toat-beng Giam-ong Lui Tat!” Terdengar suara dan di ikuti pula oleh suara banyak orang yang mendukungnya.

“Yang dimaksud tentu Lui Koksu yang berkenan hadir pula di sini?” kata Cu Lokai. “Silahkan lo-cianpwe Toat-beng Giam-ong untuk naik ke panggung untuk bersama kami memimpin pemilihan bengcu ini!”

Terdengar suara tawa dan sesosok tubuh melayang naik ke atas panggung dan ketika tiba di atas panggung sama sekali tidak terdengar suara injakan kakinya, menunjukkan betapa lihainya orang itu yang bertubuh tinggi besar, tubuhnya tinggi besar kulit mukanya hitam dan sikapnya angkuh. Semua orang memandang, terutama mereka yang sudah lama mendengar nama besar tokoh ini, baik sebagai datuk Toat-beng Giam-ong maupun sebagai Koksu Lui Tat yang tersohor. Sambil tersenyum Giam-ong mengangguk ke empat penjuru, di sambut tepuk tangan mereka yang mendukungnya.

“Masih ada lagi? Kami kira boleh seorang lagi untuk menjadi anggota pimpinan rapat besar ini. Sesudah itu, barulah kita semua mengajukan nama calon bengcu masing-masing yang di pilih!” kata Cu Lokai dengan suara lantang.

Terdengar teriakan wanita, “Kami usulkan Im Yang To Kouw!”

“Bagus, kami sudah mendengar nama Im Yang To Kouw sebagai tokoh besar ketua Thian-li-pang. Silahkan Im Yang To Kouw maju ke atas panggung!”

Im-Yang To-kouw yang masih berduka atas kematian muridnya tidak dapat menolak, juga ia pikir dengan menjadi anggota pimpinan yang memimpin pemiluhan bengcu, ia dapat ikut mengawasi agar jangan terjadi kecurangan di pihak Koksu dan rekan-rekannya. Maka, ia pun meloncat dan nampak berkelebatnya sesosok tubuh dan tahu-tahu tokouw yang berusia lima puluh tahun membawa kebutan putih, sudah berdiri di atas panggung.

“Sian-cai, terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada pin-ni...“ katanya.

“Nah, cu-wi yang terhormat. Sekarang kami bertiga di sini sudah siap untuk melakukan pendaftaran para calon yang akan di ajukan sebagai calon bengcu. Siapakah yang akan mendaftar nama agar kami catat...“

Dari pihak pengikut Koksu segera terdengar seruan, kami mengajukan Thian-te Ciu-kwi sebagai calon bengcu...!”

Cu Lokai mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Thian-te Ciu-kwi adalah pembantu Koksu, maka dengan di ajukannya orang itu jelas ada maksud dari Koksu agar kedudukan bengcu di pegang oleh orangnya sendiri. Akan tetapi karena pemilihan bengcu itu bebas dan Thian-te Ciu-kwi juga seorang tokoh kang-ouw yang terkenal, dia tentu saja tidak dapat berkata apa-apa.

“Kami mendaftar nama Thian-te Ciu Kwi sebagai pendaftar pertama!” seru Cu Lokai. “Siapa lagi yang akan di ajukan sebagai calon beng-cu?”

Tiba-tiba terdengar suara yang parau dan nyaring. “Aku Hek-liong-ong mengajukan diri sebagai calon bengcu!”

Suara itu menggeledek dan mengejutkan orang, terutama sekali Lui Koksu terkejut. Dia tahu siapa Hek-liong-ong, majikan Pulau Naga yang lihai bukan main. Kalau kakek itu mengajukan diri sebagai calon bengcu, akan sukarlah bagi orang lain untuk dapat mengalahkannya, Kalau sampai terjadi pertandingan adu kesaktian. Maka diapun segera membisikkan kepada Lai Seng.

“Pendaftar kedua adalah Hek-liong-ong! Kami sudah mencatatnya!” teriak pula Cu Lokai yang diam-diam juga mengkhawatirkan, karena diapun sudah mendengar akan kesaktian kakek raksasa hitam itu.

“Kami mengusulkan Sin-to Kwi-ong menjadi calon bengcu!” kini Lai Seng berteriak memenuhi bisikan Koksu tadi.

Sin-to Kwi-ong, mertua Lai Seng kini sudah dia ajukan untuk memperkuat pencalonan Thian-te Ciu-kwi. Dengan adanya dua calon dari mereka yang maju, maka kesempatan untuk meraih kedudukan bengcu lebih banyak lagi. Munculnya tiga orang datuk ini saja sebagai calon bengcu sudah membuat orang-orang lain menjadi gentar.

Partai-parta besar seperti Kun-lun-pai, Gobi-pai, Kong-thong-pai dan lainnya tidak berambisi untuk menguasai dunia kang-ouw, maka mereka datang hanya sebagai penonton dan sebagai saksi saja. Mereka semua itu merasa tidak suka melihat bahwa orang-orang yang menjadi calon bengcu sepatutnya seorang pendekar yang bijaksana dan budiman. Kalau bengcunya seorang datuk sesat, salah-salah dunia kang-ouw akan di seret ke dalam kesesatan!

“Cu-wi yang terhormat. Apakah masih ada lain calon lagi untuk di ajukan?” Tanya Cu Lokai lantang.

Kini dari kelompok pengemis terdengar suara nyaring, “Kami dari seluruh kai-pang yang berada di sini mengajukan seorang calon beng-cu, yaitu taihiap Yang Cien!”

Terdengar tepuk tangan dan sorak sorai menggegap gempita dari seluruh anggota kaipang yang hadir untuk menyambut nama ini. Cu Lokai lalu mengangkat tangan meminta agar suasana menjadi tenang, lalu dia berteriak,

“Calon ke empat adalah taihiap Yang Cien! Mungkin banyak yang belum mengenalnya, akan tetapi di kalangan para kaipang namanya sudah amat di kenal. Apakah masih ada lagi calon yang akan di ajukan?"

Ternyata tidak ada lagi calon yang di ajukan. Yang tadinya mempunyai niat menjadi mundur teratur ketika melihat sederetan nama para datuk tadi, karena mereka menjadi gentar.

“Kalau sudah tidak ada lagi calon yang di ajukan, kami minta kepada para calon untuk maju seorang demi seorang. Sekarang peserta atau calon pertama, kami minta agar Thian-te Ciu-kwi maju ke atas panggung!”

“Ha-ha-ha-ha…!” terdengar suara tawa bergerak dan nampak sesosok tubuh berjungkir balik di udara dan turun ke atas panggung. Di atas panggung itu nampak seorang tua berusia enam puluh tahun bertubuh kecil kurus dan dia begitu tiba di situ meminum araknya dari sebuah guci arak.

“Thian-te Ciu-kwi sebagai calon pertama di persilahkan berbicara kepada semua peserta rapat pemilihan beng-cu, silahkan!” kata Cu Lokai.

Thian-te Ciu-kwi kembali meminum araknya, kemudian dia memandang ke sekeliling dan berseru dengan suaranya yang tinggi, “Aku sudah berdiri di sini. Apalagi yang akan di bicarakan? Aku ingin menjadi bengcu untuk memimpin kalian semua menjadi warga Negara yang baik, membantu Kerajaan dan mencari kedudukan dan kemuliaan. Kita kaum kang-ouw sudah sepatutnya membantu kerajaan, menyumbangkan tenaga dan menuntut imbalan jasa!”

Ucapan ini di sambut sorak sorai para anak buah Koksu, akan tetapi mereka mendengar apa yang akan dilakukan calon itu kalau sudah menjadi beng-cu. Jelas bahwa calon ini berpihak kepada Kerajaan Toba yang menjajah, dan tentu saja sesuai dengan kedudukan Koksu yang menjadi seorang di antara pimpinan pemilihan beng-cu itu.

“Apakah sudah selesai pembicaraan peserta calon pertama?” Tanya Cu Lokai.

“Sudah...“ jawab Thian-te Ciu-kwi. “Aku tidak mempunyai ucapan apa-apa lagi...“

“Kalau begitu anda dipersilahkan untuk mundur dan kami memberi kesempatan kepada calon kedua untuk maju memperkenalkan diri dan bicara. Silahkan calon kedua, Hek-liong-ong!”

Raksasa hitam itu muncul di atas panggung dengan suatu lompatan yang membuat jubahnya berkibar seperti sayap burung rajawali, dan kedua kakinya hinggap di panggung tanpa suara. Kakek berusia enam puluh tahun ini berdiri tegak dan kokoh seperti bukit karang dan suaranya juga terdengar keras.

“Aku adalah Hek-liong-ong Poa Yok Su. Majikan Pulau Naga di Laut Timur. Aku mengajukan diri sebagai calon bengcu karena aku melihat kekacauan terjadi di mana-mana. Kalau aku di pilih menjadi bengcu, aku akan memimpin kalian semua untuk menantang kelaliman pemerintah, dan untuk menghancurkan mereka yang mendatangkan kekacauan di antara rakyat. Kini sudah tiba saatnya kita bangkit, mengandalkan kepandaian kita untuk mendatangkan ketentraman dan menghalau semua pengacau dari permukaan bumi!” ucapan itu gagah sekali dan terdengar penuh dengan kekerasan.

Sementara itu, Akauw yang ikut datang bersama Hek-liong-ong, tadi merasa terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Yang Cien. Akan tetapi dia belum tahu apakah yang di sebut itu benar Yang Cien suhengnya ataukah bukan. Namun, dia menjadi tegang sekali, juga gembira karena mungkin dia akan bertemu dengan suhengnya yang sudah bertahun-tahun tidak dijumpainya. Ketika gurunya, Hek-liong-ong menyatakan diri menjadi calon, dia merasa senang dan siap untuk membantu gurunya. Dia telah berhasil membujuk gurunya agar menyadari akan buruknya pemerintahan penjajah sehingga gurunya kini ingin menjadi bengcu dan memimpin para kang-ouw untuk memberontak.

Ucapan Hek-liong-ong juga mendapat sambutan sorak-sorai dari mereka yang setuju. Kemudian dia diminta mundur untuk memberi kesempatan bicara kepada calon ketiga, yaitu Sin-to Kwi-ong. Sin-to Kwi-ong yang bertubuh tinggi besar, mukanya bengis, rambutnya riap-riapan itupun melompat ke atas panggung.

“Cu-wi yang terhormat, aku tidak mempunyai banyak cakap lagi, dan tidak menjanjikan yang muluk-muluk. Akan tetapi pada dasarnya aku setuju dengan apa yang di utarakan calon pertama tadi. Kita harus membantu pemerintah untuk mendatangkan suasana yang tentram dan Makmur. Kita hancurkan semua pemberontak, karena merekalah yang mendatangkan kekacauan yang membuat kehidupan rakyat tidak tentram. Kita orang kang-ouw harus menggunakan kepandaian untuk membuat jasa dan menjadi pembantu-pembantu pemerintah yang tangguh. Aku akan memeloporinya dan kalau aku menjadi bengcu, aku akan mintakan pekerjaan kepada pemerintah untuk semua tokoh kang-ouw!”

Kembali anak buah Koksu yang menyambut dengan tepuk sorak. Cu Lokai diam-diam maklum bahwa dua orang itu memang anak buah Koksu dan tentu akan bersekongkol untuk memenangkan pemilihan bengcu ini. Kemudian dia mempersilahkan calon ke empat, yaitu Yang Cien, untuk naik ke atas panggung. Semua orang memperhatikan karena banyak di antara mereka yang belum mengenal siapa Yang Cien. Para utusan partai-partai besar juga ingin sekali tahu siapa orangnya. Terutama sekali Akauw sudah lebih dulu mencurahkan perhatian untuk melihat apakah benar orang itu suhengnya.

Yang Cien melompat ke atas panggung dengan sikap biasa saja. Sederhana dan tidak mengesankan. Semua orang melihat seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh enam tahun, wajahnya berbentuk persegi, gagah dan tampan namun sederhana sekali, matanya mencorong seperti mata naga, mulutnya tersenyum ramah dan sabar. Rambutnya di gelung ke atas dan kepalanya memakai penutup kepala, semacam caping lebar. Bajunya biru potongan baju petani. Kulitnya putih dan nampak kemerahan dan sehat. Alisnya tebal menambah ketajaman matanya, hidung mancung dan dagunya berlekuk. Biarpun pakaiannya sederhana sekali namun sikap dan pembawaannya mengandung wibawa yang kuat. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Melihat ini Akauw menahan seruannya. Benar, orang itu adalah suhengnya! Tentu saja dia menjadi girang bukan main. Suhengnya! Orang yang selama ini paling dekat dengannya.

Yang Cien mengangkat kedua tangan ke depan dadanya, lalu memberi hormat ke empat penjuru, sambil tersenyum dan bersikap tenang saja. Akan tetapi ketika dia sudah mengeluarkan suara, suaranya lantang dan penuh semangat sehingga menarik perhatian semua orang.

“Cu-wi yang terhormat. Saya di tunjuk oleh para kaipang-cu untuk mencalonkan diri menjadi bengcu. Saya menerimanya dengan rela karena memang perlu sekali adanya seorang bengcu yang akan mempersatukan semua golongan. Seperti cu-wi telah mengetahui, tanah air kita dijajah oleh bangsa lain semenjak puluhan tahun, dan kalau kita semua tidak bersatu dan bertindak, siapa lagi yang akan mampu membebaskan kita? Kita harus bersatu padu. Tidak peduli dari golongan apa, demi kekuatan bangsa. Karena itulah saya menerima menjadi calon beng-cu, dan sekiranya cu-wi nanti memilih saya menjadi bengcu, saya akan berusaha sekuat tenaga saya untuk mempersatukan untuk berjuang bersama, membebaskan rakyat jelata dari pada cengkraman penjajah!"

Semua anggota kaipang dan juga mereka yang merasa suka mendengar ucapan Yang Cien ini bertepuk tangan, termasuk Akauw.

“He, Akauw, kenapa engkau bertepuk tangan untuk dia?” Tanya Hek-liong-ong dalam hatinya ketika melihat murid itu bertepuk tangan mendengar pidato Yang Cien.

Dia tidak mengerti mengapa muridnya ikut bertepuk tangan dan hal ini mengherankan hatinya. Memang benar bahwa pemuda itu juga bermaksud menggalang persatuan untuk berjuang melawan penjajah seperti juga yang menjadi maksudnya, akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda itu adalah saingannya dalam memperebutkan kedudukan bengcu...

Sepasang Naga Lembah Iblis Jilid 21

Yang Cien menjadi girang sekali dan dia cepat memberi hormat. “Lo-cian-pwe adalah seorang bijaksana yang dapat mempertimbangkan dengan adil. Sayapun berjanji akan membantu sekuat tenaga, lo-cianpwe...“

Pendeta wanita itu lalu pergi meninggalkan Yang Cien dan mengejar muridnya. Akan tetapi, sampai di tempat tinggal para anggota Thian-li-pang, ia tidak menemukan muridnya. Di cari kemanapun tidak ada dan tidak ada seorangpun murid yang mengetahui. Ketika akhirnya ada yang memberitahu bahwa muridnya itu pergi menuju ke perkemahan yang kabarnya menjadi tempat tinggal sementara dari rombongan dari kota raja yang di hadiri pula oleh Koksu Lui, ia merasa khawatir sekali. Tahulah ia bahwa muridnya itu agaknya hendak mencari Lai Seng! Maka tergesa-gesa ia kembali k etempat tinggal Yang Cien.

“Ada apakah lo-cian-pwe kembali ke sini?” Tanya Yang Cien khawatir.

“Yang-taihiap, tolonglah kami. Sun Nio pergi ke tempat tinggal Lai Seng dan gurunya. Aku khawatir sekali…“

“Mari kita susul ke sana, lo-cianpwe!” kata Yang Cien yang mengkhawatirkan keselamatan gadis itu.

Sementara itu, Sun Nio memang sudah mendengar bahwa rombongan Koksu juga menghadiri pemilihan bengcu itu, dank arena ia mendengar bahwa Lai Seng adalah murid Koksu, maka ia tidak pulang ke perkemahan Thian-li-pang melainkan langsung saja menuju ke perkemahan Koksu dengan semua pengikutnya! Ia mengambil keputusan untuk menyelesaikan urusannya hari itu juga, tidak menanti sampai pemilihan bengcu. Ia harus menemui Lai Seng.

Tak jauh dari perkemahan itu, bertemulah ia dengan seorang wanita cantik yang pesolek. Wanita itu bukan lain adalah Bong Kwi Hwa, isteri Lai Seng yang juga ikut datang ke tempat itu. Begitu melihat Kwe Sun Nio, Kwi Hwa segera teringat bahwa inilah gadis yang dulu di sangka Ji Goat dan menjadi korban perkosaan suaminya! Maka ia menyambut dengan senyum mengejek di mulutnya.

“Ada urusan apa engkau datang mendekati perkemahan kami? Tanpa ijin engkau tidak boleh memasuki daerah perkemahan kami !” bentaknya ketus. ia tidak cemburu karena gadis ini pernah di gauli suaminya, akan tetapi mendongkol karena ternyata gadis ini bukan Ji Goat seperti yang di kehendaki suaminya. Kalau suaminya menjadi mantu Perdana Menteri, setidaknya iapun akan terangkat derajatnya. Akan tetapi gadis ini bukan Ji Goat dan hal itu menyebalkan hatinya.

Sun Nio sedang marah dan sedih, melotot ketika di sambut ucapan kasar itu. “Aku tidak memasuki daerah perkemahan siapa-siapa, aku datang untuk mencari orang yang namanya Lai Seng!”

“Hemm, orang yang namanya Lai Seng itu suamiku, tahu! Mau apa engkau mencari-cari suamiku dan apa yang engkau harapkan darinya? Hayo katakan!”

Hampir meledak dada Sun Nio menghadapi wanita yang mengaku isteri Lai Seng itu. Jadi Lai Seng sudah beristeri. Hal ini membikin ia semakin marah kalau membayangkan bahwa mungkin sekali pelakunya adalah Lai Seng.

“Suamimu telah melakukan fitnah keji terhadap taihiap Yang Cien dan aku akan menanyainya tentang fitnah itu. Panggil dia ke sini!”

Kwi Hwa mengerutkan alisnya. Hemm, jadi akal suaminya untuk mengadu domba antara Thian-li-pang dan Hek I Kaipang agaknya juga gagal. Gadis ini agaknya tidak percaya bahwa pemerkosanya adalah Yang Cien. Kalau begitu percuma saja mereka mempergunakan siasat melakukan fitnah itu!

“Tidak perlu engkau bertemu suamiku, kalau ada urusan, cukup dengan aku!“

“Aku tidak mempunyai urusan denganmu, panggil dia keluar!”

“Tidak sudi!”

“Kalau begitu, biar aku mencarinya sendiri!”

“Perempuan tak tahu malu, lupakah engkau bahwa Lai Seng sudah mempunyai isteri? Engkau minta di gauli lagi ya?"

Sun Nio tersentak kaget. Di gauli lagi? Matanya terbelalak memandang wajah wanita yang pesolek itu. “Ahhh… Jadi… Jadi… Dia yang menggauliku waktu itu? Dia yang memperkosaku waktu itu…?”

Kwi Hwa merasa sudah kesalahan bicara, akan tetapi karena siasat mengadu domba itu tidak berhasil, tidak mengapalah ia berterus terang untuk menghina gadis ini. “Benar, suamiku yang dulu menikmati tubuhmu. Dan engkau datang mencarinya untuk minta lagi, ya? Tak tahu malu!”

Sun Nio menjerit dan pedangnya berkelebat menyerang. Ia marah dan benci sekali, kepada Lai Seng, kepada wanita yang menjadi isterinya, kepada siapa saja! Sekarang telah terbongkar rahasia itu dan ternyata benar Lai Seng yang telah memperkosanya. Lai Seng yang jahat, yang sudah memiliki isteri yang juga bukan manusia baik-baik ini. Ia menyerang dengan sengit sehingga mengejutkan Kwi Hwa yang segera mengelak dengan loncatan ke belakang, lalu ia pun mencabut pedangnya. Terjadilah perkelahian yang seru antara murid Thian-li-pang dan puteri Sin-ti Kwi-ong ini. Bunyi pedang mereka berkerontangan dan teriakan-teriakan mereka penuh kebencian. Sampai sepuluh jurus mereka berkelahi, belum juga ada yang terdesak, akan tetapi tiba-tiba muncul Lai Seng,

“Haiii, ada apa ini?” teriaknya.

“Ini ia perempuan itu, perempuan tak tahu malu, sekarang datang mencarimu...“ kata Kwi Hwa sambil melompat ke belakang.

Sun Nio menahan pedangnya dan memandang kepada Lai Seng dengan penuh kebencian. Lai Seng juga segera mengenal gadis yang dulu di sangka Ji Goat dan di perkosanya dengan bantuan isterinya itu.

“Hei, nona, ada apakah engkau mencari aku?”

“Aku hendak bertanya tentang fitnahmu terhadap Yang Cien taihiap. Dia bukan pelakunya dan engkau melakukan fitnah terhadap dirinya. Hayo mengaku terus terang bahwa engkaulah yang melakukan perbuatan biadab atas diriku itu dan bukan Yang Cien!”

Lai Seng menjadi gugup, karena tidak menyangka gadis itu akan menuduhnya demikian. “Sudahlah, siasat mengadu domba tidak berhasil, aku telah mengakuinya...“ kata Kwi Hwa

Lai Seng tersenyum, “Memang benar, dan karena sudah terlanjur, bagaimana kalau engkau menjadi selirku, sayang?”

Kemarahan Sun Nio memuncak. “Kalian harus mati di tanganku!” bentaknya dan kini ia menyerang dengan sengit. Pedangnya berkelebat membacok kea rah leher pria itu, akan tetapi Lai Seng menggerakkan sulingnya untuk menangkis.

“Trannggg…!“

Bunga api berhamburan dan Sun Nio agak terhuyung ke belakang. Biarpun ia tahu bahwa Lai Seng lihai sekali apa lagi di situ terdapat isterinya yang juga amat lihai, akan tetapi dendam sakit hati dan kebenciannya yang sudah memuncak membuat ia lupa diri dan lupa bahaya. Ia menyerang terus dan kini ia di keroyok dua oleh suami isteri itu!

Keadaan menjadi berat sebelah dan suatu saat suling di tangan Lai Seng menghantam pundaknya, membuat ia terhuyung dan pedang di tangan Kwi Hwa menusuk lambungnya. Sun Nio berteriak, pedangnya terlepas dan ia meloncat lari sambil mendekap lambungnya yang terluka parah.

“Sudahlah, jangan kejar, ia sudah terluka parah...“ kata Lai Seng kepada isterinya dan mereka lalu kembali ke perkemahan rombongan Koksu.

Rombongan Koksu terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi karena Koksu bermaksud menguasai dunia kang-ouw dan kalau mungkin akan menanamkan seorang pembantu agar dapat menjadi bengcu menguasai Kang-ouw. Diantara mereka terdapat Lai Seng dan isterinya, Sin-to Kwi-ong dan Thian-te Ciu-kwi, Gu Moko si tinggi kurus muka kerbau yang bersenjata sepasang kapak, dan Huang-ho Sam-kouw yang terdiri dari tiga orang bersaudara yang tinggi besar dan lihai.

Sun Nio menahan rasa nyeri di lambungnya dan ia melarikan diri secepatnya menuju ke perkemahan Thian-li-pang. Akan tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Im-Yang To-kouw dan Yang Cien yang berlari hendak mengejarnya.

“Sun Nio…!”

“Subo… Ah, subo… teecu…!” Sun Nio terhuyung dan segera di rangkul oleh gurunya.

Im-Yang To-kouw terkejut melihat lambung itu bercucuran darah. Cepat ia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah, akan tetapi ia melihat bahwa luka yang di derita muridnya itu parah bukan main.

“Sun Nio, apa yang terjadi…?”

“Subo… teecu bertemu Lai Seng… Ternyata dia… dia yang dulu… memperkosa teecu… Yang taihiap… maafkan aku… Subo… Aku tidak kuat lagi… dia… dan isterinya… membunuhku… subo…“ Ia terkulai dan tewas dalam rangkulan subonya.

“Sun Nio… Ah, Sun Nio…“ Im-Yang To-kouw menghela napas berulang-ulang, “Betapa buruk nasibmu…“

“Kwee-siocia, tenangkan arwahmu, aku berjanji kelak akan membalaskan sakit hati ini!” kata Yang Cien mengepal tinju.

“Sekarangpun pin-ni akan menuntut kepada Koksu!” kata Im-yang To-kouw setelah merebahkan tubuh muridnya yang sudah menjadi mayat dan ia bangkit berdiri.

“Maaf, lo-cianpwe, saya kira tidak ada manfaatnya, bahkan akan merugikan. Mereka itu licik sekali. Kalau lo-cian-pwe menuntut dan marah di sana, mereka akan menuduh lo-cianpwe mencari keributan atau akan memberontak terhadap orang pemerintah...“

“Akan tetapi ini buktinya mereka telah membunuh muridku!”

“Mereka dapat saja mengatakan bahwa murid lo-cian-pwe yang menyerbu ke sana dan menyerang lebih dulu dan hal itu mungkin terjadi. Lalu apa yang hendak lo-cianpwe katakan? Lo-cian-pwe tentu tidak tega untuk membeberkan aib yang telah menimpa diri nona Kwe, bukan? Sudahlah, kita rawat jenazah ini dan kita terpaksa bersabar sampai pemilihan bengcu selesai. Masih banyak waktu untuk membalas dendam. Ingat, urusan perjuangan jauh lebih penting dari pada urusan pribadi bukan?”

Im-yang To-kouw merangkap kedua tangannya. “Sian-cai… engkau memang seorang muda yang bijaksana sekali, taihiap. Engkau telah menyadarkan pin-ni dari perbuatan bodoh yang terburu nafsu. Mari kita rawat jenazah ini.

Yang Cien lalu memondong jenazah itu dan membawanya kembali ke perkemahan Thian-li-pang, di sambut dengan kesedihan oleh para murid Thian-li-pang. Pemakaman di lakukan secara sederhana di perkemahan itu juga.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Saat yang din anti-nanti oleh semua orang itu pun tiba. Kini tempat itu sudah penuh tamu yang membuat perkemahan di sekitar panggung itu. Tepat pada hari itu setelah matahari naik, Cu Lokai sebagai pihak yang mengirim undangan naik ke atas panggung. Setelah memberi hormat kepada semua tamu yang sudah memenuhi sekitar panggung itu, bermacam-macam, Cu Lokai lalu berkata dengan suara lantang.

“Cu-wi yang terhormat, sayalah mewakili Hek I Kaipang yang mengambil kehormatan mengundang cu-wi sekalian ke tempat ini untuk mengadakan pemilihan beng-cu. Karena ini kepentingan kita semua, maka kami bukanlah penyelenggara, hanya pengundang saja dan selanjutnya biarlah lebih dahulu kita semua memilih seorang untuk dijadikan pengatur pemilihan beng-cu. Harap saudara sekalian memilih wakil masing-masing agar dapat dibentuk suatu kelompok yang akan mengatur jalannya pemilihan bengcu dan menjaga tata-tertib...“

Segera terdengar sambutan suara-suara yang mengajukan calon wakil masing-masing. Cu Lokai mengangkat tangannya minta agar semua orang tenang. “Harap mengajukannya satu demi satu agar kami di sini dapat mencatat dan mendengarnya dengan baik...“

Pihak para ketua perkumpulan pengemis segera berteriak menyebut nama Cu Lokai.

“Ah, ada yang mengusulkan agar saya sendiri menjadi wakil mereka. Baiklah, saya terima pengangkatan ini, dan siapa lagi yang di usulkan...?”

“Toat-beng Giam-ong Lui Tat!” Terdengar suara dan di ikuti pula oleh suara banyak orang yang mendukungnya.

“Yang dimaksud tentu Lui Koksu yang berkenan hadir pula di sini?” kata Cu Lokai. “Silahkan lo-cianpwe Toat-beng Giam-ong untuk naik ke panggung untuk bersama kami memimpin pemilihan bengcu ini!”

Terdengar suara tawa dan sesosok tubuh melayang naik ke atas panggung dan ketika tiba di atas panggung sama sekali tidak terdengar suara injakan kakinya, menunjukkan betapa lihainya orang itu yang bertubuh tinggi besar, tubuhnya tinggi besar kulit mukanya hitam dan sikapnya angkuh. Semua orang memandang, terutama mereka yang sudah lama mendengar nama besar tokoh ini, baik sebagai datuk Toat-beng Giam-ong maupun sebagai Koksu Lui Tat yang tersohor. Sambil tersenyum Giam-ong mengangguk ke empat penjuru, di sambut tepuk tangan mereka yang mendukungnya.

“Masih ada lagi? Kami kira boleh seorang lagi untuk menjadi anggota pimpinan rapat besar ini. Sesudah itu, barulah kita semua mengajukan nama calon bengcu masing-masing yang di pilih!” kata Cu Lokai dengan suara lantang.

Terdengar teriakan wanita, “Kami usulkan Im Yang To Kouw!”

“Bagus, kami sudah mendengar nama Im Yang To Kouw sebagai tokoh besar ketua Thian-li-pang. Silahkan Im Yang To Kouw maju ke atas panggung!”

Im-Yang To-kouw yang masih berduka atas kematian muridnya tidak dapat menolak, juga ia pikir dengan menjadi anggota pimpinan yang memimpin pemiluhan bengcu, ia dapat ikut mengawasi agar jangan terjadi kecurangan di pihak Koksu dan rekan-rekannya. Maka, ia pun meloncat dan nampak berkelebatnya sesosok tubuh dan tahu-tahu tokouw yang berusia lima puluh tahun membawa kebutan putih, sudah berdiri di atas panggung.

“Sian-cai, terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada pin-ni...“ katanya.

“Nah, cu-wi yang terhormat. Sekarang kami bertiga di sini sudah siap untuk melakukan pendaftaran para calon yang akan di ajukan sebagai calon bengcu. Siapakah yang akan mendaftar nama agar kami catat...“

Dari pihak pengikut Koksu segera terdengar seruan, kami mengajukan Thian-te Ciu-kwi sebagai calon bengcu...!”

Cu Lokai mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Thian-te Ciu-kwi adalah pembantu Koksu, maka dengan di ajukannya orang itu jelas ada maksud dari Koksu agar kedudukan bengcu di pegang oleh orangnya sendiri. Akan tetapi karena pemilihan bengcu itu bebas dan Thian-te Ciu-kwi juga seorang tokoh kang-ouw yang terkenal, dia tentu saja tidak dapat berkata apa-apa.

“Kami mendaftar nama Thian-te Ciu Kwi sebagai pendaftar pertama!” seru Cu Lokai. “Siapa lagi yang akan di ajukan sebagai calon beng-cu?”

Tiba-tiba terdengar suara yang parau dan nyaring. “Aku Hek-liong-ong mengajukan diri sebagai calon bengcu!”

Suara itu menggeledek dan mengejutkan orang, terutama sekali Lui Koksu terkejut. Dia tahu siapa Hek-liong-ong, majikan Pulau Naga yang lihai bukan main. Kalau kakek itu mengajukan diri sebagai calon bengcu, akan sukarlah bagi orang lain untuk dapat mengalahkannya, Kalau sampai terjadi pertandingan adu kesaktian. Maka diapun segera membisikkan kepada Lai Seng.

“Pendaftar kedua adalah Hek-liong-ong! Kami sudah mencatatnya!” teriak pula Cu Lokai yang diam-diam juga mengkhawatirkan, karena diapun sudah mendengar akan kesaktian kakek raksasa hitam itu.

“Kami mengusulkan Sin-to Kwi-ong menjadi calon bengcu!” kini Lai Seng berteriak memenuhi bisikan Koksu tadi.

Sin-to Kwi-ong, mertua Lai Seng kini sudah dia ajukan untuk memperkuat pencalonan Thian-te Ciu-kwi. Dengan adanya dua calon dari mereka yang maju, maka kesempatan untuk meraih kedudukan bengcu lebih banyak lagi. Munculnya tiga orang datuk ini saja sebagai calon bengcu sudah membuat orang-orang lain menjadi gentar.

Partai-parta besar seperti Kun-lun-pai, Gobi-pai, Kong-thong-pai dan lainnya tidak berambisi untuk menguasai dunia kang-ouw, maka mereka datang hanya sebagai penonton dan sebagai saksi saja. Mereka semua itu merasa tidak suka melihat bahwa orang-orang yang menjadi calon bengcu sepatutnya seorang pendekar yang bijaksana dan budiman. Kalau bengcunya seorang datuk sesat, salah-salah dunia kang-ouw akan di seret ke dalam kesesatan!

“Cu-wi yang terhormat. Apakah masih ada lain calon lagi untuk di ajukan?” Tanya Cu Lokai lantang.

Kini dari kelompok pengemis terdengar suara nyaring, “Kami dari seluruh kai-pang yang berada di sini mengajukan seorang calon beng-cu, yaitu taihiap Yang Cien!”

Terdengar tepuk tangan dan sorak sorai menggegap gempita dari seluruh anggota kaipang yang hadir untuk menyambut nama ini. Cu Lokai lalu mengangkat tangan meminta agar suasana menjadi tenang, lalu dia berteriak,

“Calon ke empat adalah taihiap Yang Cien! Mungkin banyak yang belum mengenalnya, akan tetapi di kalangan para kaipang namanya sudah amat di kenal. Apakah masih ada lagi calon yang akan di ajukan?"

Ternyata tidak ada lagi calon yang di ajukan. Yang tadinya mempunyai niat menjadi mundur teratur ketika melihat sederetan nama para datuk tadi, karena mereka menjadi gentar.

“Kalau sudah tidak ada lagi calon yang di ajukan, kami minta kepada para calon untuk maju seorang demi seorang. Sekarang peserta atau calon pertama, kami minta agar Thian-te Ciu-kwi maju ke atas panggung!”

“Ha-ha-ha-ha…!” terdengar suara tawa bergerak dan nampak sesosok tubuh berjungkir balik di udara dan turun ke atas panggung. Di atas panggung itu nampak seorang tua berusia enam puluh tahun bertubuh kecil kurus dan dia begitu tiba di situ meminum araknya dari sebuah guci arak.

“Thian-te Ciu-kwi sebagai calon pertama di persilahkan berbicara kepada semua peserta rapat pemilihan beng-cu, silahkan!” kata Cu Lokai.

Thian-te Ciu-kwi kembali meminum araknya, kemudian dia memandang ke sekeliling dan berseru dengan suaranya yang tinggi, “Aku sudah berdiri di sini. Apalagi yang akan di bicarakan? Aku ingin menjadi bengcu untuk memimpin kalian semua menjadi warga Negara yang baik, membantu Kerajaan dan mencari kedudukan dan kemuliaan. Kita kaum kang-ouw sudah sepatutnya membantu kerajaan, menyumbangkan tenaga dan menuntut imbalan jasa!”

Ucapan ini di sambut sorak sorai para anak buah Koksu, akan tetapi mereka mendengar apa yang akan dilakukan calon itu kalau sudah menjadi beng-cu. Jelas bahwa calon ini berpihak kepada Kerajaan Toba yang menjajah, dan tentu saja sesuai dengan kedudukan Koksu yang menjadi seorang di antara pimpinan pemilihan beng-cu itu.

“Apakah sudah selesai pembicaraan peserta calon pertama?” Tanya Cu Lokai.

“Sudah...“ jawab Thian-te Ciu-kwi. “Aku tidak mempunyai ucapan apa-apa lagi...“

“Kalau begitu anda dipersilahkan untuk mundur dan kami memberi kesempatan kepada calon kedua untuk maju memperkenalkan diri dan bicara. Silahkan calon kedua, Hek-liong-ong!”

Raksasa hitam itu muncul di atas panggung dengan suatu lompatan yang membuat jubahnya berkibar seperti sayap burung rajawali, dan kedua kakinya hinggap di panggung tanpa suara. Kakek berusia enam puluh tahun ini berdiri tegak dan kokoh seperti bukit karang dan suaranya juga terdengar keras.

“Aku adalah Hek-liong-ong Poa Yok Su. Majikan Pulau Naga di Laut Timur. Aku mengajukan diri sebagai calon bengcu karena aku melihat kekacauan terjadi di mana-mana. Kalau aku di pilih menjadi bengcu, aku akan memimpin kalian semua untuk menantang kelaliman pemerintah, dan untuk menghancurkan mereka yang mendatangkan kekacauan di antara rakyat. Kini sudah tiba saatnya kita bangkit, mengandalkan kepandaian kita untuk mendatangkan ketentraman dan menghalau semua pengacau dari permukaan bumi!” ucapan itu gagah sekali dan terdengar penuh dengan kekerasan.

Sementara itu, Akauw yang ikut datang bersama Hek-liong-ong, tadi merasa terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Yang Cien. Akan tetapi dia belum tahu apakah yang di sebut itu benar Yang Cien suhengnya ataukah bukan. Namun, dia menjadi tegang sekali, juga gembira karena mungkin dia akan bertemu dengan suhengnya yang sudah bertahun-tahun tidak dijumpainya. Ketika gurunya, Hek-liong-ong menyatakan diri menjadi calon, dia merasa senang dan siap untuk membantu gurunya. Dia telah berhasil membujuk gurunya agar menyadari akan buruknya pemerintahan penjajah sehingga gurunya kini ingin menjadi bengcu dan memimpin para kang-ouw untuk memberontak.

Ucapan Hek-liong-ong juga mendapat sambutan sorak-sorai dari mereka yang setuju. Kemudian dia diminta mundur untuk memberi kesempatan bicara kepada calon ketiga, yaitu Sin-to Kwi-ong. Sin-to Kwi-ong yang bertubuh tinggi besar, mukanya bengis, rambutnya riap-riapan itupun melompat ke atas panggung.

“Cu-wi yang terhormat, aku tidak mempunyai banyak cakap lagi, dan tidak menjanjikan yang muluk-muluk. Akan tetapi pada dasarnya aku setuju dengan apa yang di utarakan calon pertama tadi. Kita harus membantu pemerintah untuk mendatangkan suasana yang tentram dan Makmur. Kita hancurkan semua pemberontak, karena merekalah yang mendatangkan kekacauan yang membuat kehidupan rakyat tidak tentram. Kita orang kang-ouw harus menggunakan kepandaian untuk membuat jasa dan menjadi pembantu-pembantu pemerintah yang tangguh. Aku akan memeloporinya dan kalau aku menjadi bengcu, aku akan mintakan pekerjaan kepada pemerintah untuk semua tokoh kang-ouw!”

Kembali anak buah Koksu yang menyambut dengan tepuk sorak. Cu Lokai diam-diam maklum bahwa dua orang itu memang anak buah Koksu dan tentu akan bersekongkol untuk memenangkan pemilihan bengcu ini. Kemudian dia mempersilahkan calon ke empat, yaitu Yang Cien, untuk naik ke atas panggung. Semua orang memperhatikan karena banyak di antara mereka yang belum mengenal siapa Yang Cien. Para utusan partai-partai besar juga ingin sekali tahu siapa orangnya. Terutama sekali Akauw sudah lebih dulu mencurahkan perhatian untuk melihat apakah benar orang itu suhengnya.

Yang Cien melompat ke atas panggung dengan sikap biasa saja. Sederhana dan tidak mengesankan. Semua orang melihat seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh enam tahun, wajahnya berbentuk persegi, gagah dan tampan namun sederhana sekali, matanya mencorong seperti mata naga, mulutnya tersenyum ramah dan sabar. Rambutnya di gelung ke atas dan kepalanya memakai penutup kepala, semacam caping lebar. Bajunya biru potongan baju petani. Kulitnya putih dan nampak kemerahan dan sehat. Alisnya tebal menambah ketajaman matanya, hidung mancung dan dagunya berlekuk. Biarpun pakaiannya sederhana sekali namun sikap dan pembawaannya mengandung wibawa yang kuat. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Melihat ini Akauw menahan seruannya. Benar, orang itu adalah suhengnya! Tentu saja dia menjadi girang bukan main. Suhengnya! Orang yang selama ini paling dekat dengannya.

Yang Cien mengangkat kedua tangan ke depan dadanya, lalu memberi hormat ke empat penjuru, sambil tersenyum dan bersikap tenang saja. Akan tetapi ketika dia sudah mengeluarkan suara, suaranya lantang dan penuh semangat sehingga menarik perhatian semua orang.

“Cu-wi yang terhormat. Saya di tunjuk oleh para kaipang-cu untuk mencalonkan diri menjadi bengcu. Saya menerimanya dengan rela karena memang perlu sekali adanya seorang bengcu yang akan mempersatukan semua golongan. Seperti cu-wi telah mengetahui, tanah air kita dijajah oleh bangsa lain semenjak puluhan tahun, dan kalau kita semua tidak bersatu dan bertindak, siapa lagi yang akan mampu membebaskan kita? Kita harus bersatu padu. Tidak peduli dari golongan apa, demi kekuatan bangsa. Karena itulah saya menerima menjadi calon beng-cu, dan sekiranya cu-wi nanti memilih saya menjadi bengcu, saya akan berusaha sekuat tenaga saya untuk mempersatukan untuk berjuang bersama, membebaskan rakyat jelata dari pada cengkraman penjajah!"

Semua anggota kaipang dan juga mereka yang merasa suka mendengar ucapan Yang Cien ini bertepuk tangan, termasuk Akauw.

“He, Akauw, kenapa engkau bertepuk tangan untuk dia?” Tanya Hek-liong-ong dalam hatinya ketika melihat murid itu bertepuk tangan mendengar pidato Yang Cien.

Dia tidak mengerti mengapa muridnya ikut bertepuk tangan dan hal ini mengherankan hatinya. Memang benar bahwa pemuda itu juga bermaksud menggalang persatuan untuk berjuang melawan penjajah seperti juga yang menjadi maksudnya, akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda itu adalah saingannya dalam memperebutkan kedudukan bengcu...