Sepasang Naga Lembah Iblis Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Khawatir, kecewa, sedih sebagai kebalikan dari sejahtera, puas dan gembira adalah perasaan yang melanda setiap orang manusia di dunia ini, orang akan tenggelam dan merasa bahwa di seluruh dunia ini dirinyalah yang paling menderita, paling sengsara, paling celaka. Sebaliknya kalau sedang bergembira dia lupa segalanya, yang ada hanya kegembiraan itulah.

Orang tenggelam ke dalam suka duka, susah senang, sedih gembira, seperti sebuah biduk yang di ombang ambingkan gelombang samudera. Barulah kalau kita dapat melihat diri sebagai orang luar, kita dapat melihat bahwa semua itu sudahlah wajar. Gelombang kehidupan menghempas dari kanan kiri, terombang ambing. Semua perasaan susah senang dalam kehidupan ini adalah wajar, sudah merupakan romantika kehidupan. Kalau tidak ada susah mana ada senang dan kalau tidak ada duka mana ada suka?

Romantika kehidupan ini justeru merupakan nikmat hidup. Bagaikan makanan, kalau yang ada hanya manis saja, tanpa mengenal rasa asam pahir getir dan asin, mana mungkin kita dapat menikmati rasa manis? Bahkan rasa manis itu akan menjadi memuakkan. Demikian pula dalam kehidupan ini. Rasa senang yang terus menerus tanpa di selingi perasaan lain seperti kecewa dan susah, akan menjadi perasaan yang menjemukan. Tidak ada kesenangan abadi di dunia ini karena sesuatu yang di anggap menyenangkan itu kalu diberikan terus menerus tanpa ada perubahan, akan kehilangan anggapan menyenangkan itu.

Sebuah pantai laut dengan desir ombaknya akan terasa indah dan menyenangkan bagi pendatang dari kota, akan tetapi tanyakan kepada mereka yang tinggal di pantai, maka mereka akan mengatakan bahwa pemandangan itu membosankan dan mereka merindukan untuk pergi dan melihat kota dan gunung. Sebaliknya orang kota ingin ke pantai, orang gunung ingin ke kota dan orang kota ingin ke gunung. Hidup ini membutuhkan perubahan, perubahan pemandangan, penglihatan dan pendengaran.

Bahkan penciuman dan rasa di mulut juga selalu menghendaki perubahan. Karena itu, tenggelam ke dalam satu macam perasaan saja adalah tidak bijaksana. Terimalah susah senang sebagai sesuatu yang wajar dan nyata, sebagai bumbu–bumbu kehidupan. Bukan tidak mungkin bahwa diujung sesuatu yang menyedihkan itu menanti sesuatu yang menggembirakan, dan sebaliknya di ujung jalan penuh kesenangan itu menanti kesusahan!

Ada hikmah tersembunyi dibalik setiap peristiwa dan kalau kita menyerahkannya kepada Tuhan sambil tidak lupa berusaha sekuat tenaga, maka apapun yang terjadi menimpa diri tidak akan mendatangkan batin yang terlalu merasa gembira.


“Sudahlah, cukup semua ini. Ingatlah kalian semua bahwa andaikata terjadi sesuatu dengan diriku, andaikata kematian menantiku di sana, maka kematianku adalah merupakan pupuk bagi perjuangan kalian. Juga andaikata kalian gagal pula, itu semua merupakan pupuk bagi perjuangan selanjutnya yang akan dilakukan rakyat terhadap penjajah Toba. Penjajahan harus lenyap dari tanah air kita!”

Kata-kata yang penuh semangat dar Gubernur Yen ini agaknya merupakan obat yang manjur karena semua orang berhenti menangis, bahkan tiga orang istri itu segera mempersiapkan segala yang perlu di bawa suami mereka. Mereka berkemas dan tak lama kemudian Gubernur Yen Kan keluar dari gedung, masuk ke dalam keretanya yang sudah menanti diluar rumah. Kereta segera berangkat dan mereka semua mengantarkan gubernur sampai tiba diluar pintu gerbang sebelah barat dimana pasukan kerajaan sudah menanti. Biarpun Gubernur Yen berangkat seorang diri saja, namun para pembantunya telah menyebar mata-mata untuk mengikuti perjalanan gubernur itu dan untuk mengetahui bagaimana nasibnya kelak setelah tiba di kota raja.

Diam-diam Akauw merasa kecelik. Tadinya dia menganggap bahwa Gubernur pemberontak ini seorang yang keras dan yang sudah mengambil keputusan untuk memberontak, tentu akan membangkang terhadap panggilan kaisar. Dia sudah siap untuk menggunakan kekerasan seandainya sang gubernur menolak. Akan tetapi sama sekali tidak si sangkanya bahwa gubernur itu menaati perintah kaisar dan segera berangkat, bahkan tanpa membawa pengawal. Diapun merasa kagum karena gubernur itu di anggapnya seorang yang gagah berani.

Bagi Akauw yang kurang begitu mengerti tentang perjuangan atau pemberontakan, hanya menganggap bahwa seorang bawahan yang menentang atasannya itu adalah perbuatan yang tidak benar dan wajib di tentang. Oleh karena itu, betapa kecewa hati Akauw ketika mereka tiba di kota raja, Gubernur Yen Kan di hadapkan kepada Kaisar, langsung saja dia dibentak oleh kaisar dan di tuduh pemberontak. Bagaimanapun juga, belum ada bukti bahwa gubernur itu memberontak, biarpun dia sudah mendengar sendiri rapat yang diadakan gubernur itu dengan para sekutunya.

“Gubernur Yen Kan, kami mendengar bahwa engkau telah mengumpulkan banyak pemuda untuk di jadikan prajurit bahwa engkau telah memperkuat barisanmu. Engkau sudah membuat persiapan untuk memberontak?“

“Yang Mulia, berita yang dikabarkan orang itu memang benar. Hamba memang memperkuat barisan, akan tetapi hal itu hamba lakukan untuk menjaga keselamatan perbatasan dengan Negara lek-kok (Korea) dan juga untuk menjaga keamanan di sepanjang pantai timur karena terdapat banyak gangguna oleh bajak laut“

“Bohong! Engkau memperkuat barisan untuk mengadakan pemberontakan. Engkau bergabung dengan berbagai golongan, juga dengan Hek I Kaipang. Engkau tidak perlu menyangkal lagi karena kami telah mengetahui segalanya! Pengawal, tangkap dia dan jebloskan ke penjara menanti pengadilan!”

Gubernur itu tanpa di beri kesempatan membela diri lagi lalu di seret oleh para pengawal. Gubernur itu nampak tenang saja, sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan mengangkat dadanya dan menegakkan kepalanya. Sikap yang gagah perkasa ini membuat Akauw merasa kagum dan penasaran. Melihat kegagahan gubernur itu saja telah mendatangkan perasaan suka didalam hatinya.

“Koksu, setelah dia di tangkap, lalu bagaimana sekarang? Ternyata dia sama sekali tidak mau mengaku, bahkan ketika di panggil juga tidak melawan atau membangkang“

“Biarpun begitu, Yang Mulia, Kita tidak boleh bertindak lemah. Hamba kira ini semua adalah siasat belaka dari Gubernur Yen. Dia bersikap demikian agar tidak ada alasan bagi paduka untuk menyerbu Lok-yang. Dia agaknya hendak mengorbankan diri demi kelanjutan penghimpunan kekuartan di Lok-yang. Sebaiknya kalau paduka mengirimkan pasukan besar untuk menyerang Lok-yang, menangkapi para panglimanya dan mengangkat seorang gubernur baru di sana, juga panglima-panglima baru“

Kaisar mengangguk-angguk, akan tetapi pada saat itu Perdana Menteri Ji menghadap Kaisar dengan kata-katanya yang tegas dan jelas. “ampun, Yang Mulia. Hamba kira bahwa tindakan itu tidaklah bijaksana. Kalau paduka menyerang Lok-yang tanpa ada bukti pemberontakan, berarti paduka menyerang tanpa alasan. Kita belum dapat menuduh Lok-yang akan memberontak, maka kalau tiba-tiba kita menyerang dan hal itu terdengar oleh para gubernur lain, tentu akan menimbulkan keresahan dan penasaran. Kita harus mendapatkan buktinya dulu. Sebaiknya kalau kita mengirim penyelidik lagi ke sana, untuk mendapatkan bukti-bukti, dan kalau perlu menyelidiki Hek I Kaipang yang kabarnya dijadikan sekutu oleh Gubernur Yen. Baru setelah mendapat bukti, paduka turun tangan menyerang dan tidak akan ada gubernur yang menyalahkan tindakan itu“

Kaisar mengangguk-angguk, mengerutkan alisnya dan menoleh kepada koksu. “Bagaimana, Lui Koksu, apakah engkau sependapat dengan apa yang dikemukakan Perdana Menteri Ji?”

Koksu saling pandang dengan Perdana Menteri Ji dan diapun mengangguk. “memang tadi hamba telah terburu nafsu, Yang Mulia. Hamba setuju dengan pendapat Perdana Menteri Ji, karena kita masih menghadapi sikap membangkang dari Gubernur Gak dan Coa-ciangkun. Sebaiknya kalau paduka mengirim penyelidik yang boleh dipercaya, dan hamba kira Cian-ciangkun untuk kedua kalinya dapat paduka utus untuk menjadi penyelidik di Lok-yang“

“Bagus, akupun sependapat dengan kalian. Cian-ciangkun, engkau telah berjasa besar dalam penangkapan Gubernur Yen. Kini kami mengangkat engkau setingkat lebih tinggi dari kedudukanmu sekarang, dan memerintahkan kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Lok-yang. Sekali ini untuk mencari bukti-bukti pemberontakan, dan carilah di kalangan Hek I Lo-kai. Entah siasat apa yang akan kau lakukan, terserah. Yang penting, engkau mendapatkan bukti itu. Sanggupkah engkau?”

“Hamba sanggup dan kapan hamba diharuskan berangkat?”

“Engkau boleh berisitirahat sepekan lamanya, kemudian engkau berangkatlah dan boleh membawa perlengkapan apa saja dan kalau perlu boleh pula membawa anak buah untuk membantumu di sana“

“Terima kasih Yang Mulia, akan tetapi hamba tidak akan membawa seorangpun pembantu karena hal itu bahkan akan menghambat dan menjadi penghalang gerakan hamba“

Akan tetapi di dalam hatinya Akauw ingin sekali membawa sahabatnya, Bi Soan dalam penyelidikan barunya itu. Hatinya akan merasa besar kalau saja Bi Soan dapat ikut dengannya karena dia tahu bahwa sahabatnya itu, biarpun kecil, memiliki kecerdikan luar biasa.

Setelah meninggalkan istana, kebetulan tiga hari kemudian bulan purnama maka diapun bergegas pergi seorang diri di waktu bulan purnama itu, menuju ke kuil di luar kota. Baru saja dia tiba di halaman kuil kosong itu, terdengar suara orang memanggil, “kauw-ko…!”

Dengan girang dia menoleh dan ternyata yang memanggil itu adalah sahabatnya, Bi Soan. “Eh, Soan-te, engkau sudah tiba di sini pula? Betapa girang hatiku karena aku memang sedang mencarimu“

“Aku tahu, engkau mencariku untuk mengajak aku kembali ke Lok-yang, bukan?”

“Eh, bagaimana engkau bisa tahu?”

“Hemm, aku mempunyai banyak kawan di sini dan aku mendengar betapa engkau telah naik pangkat karena pergi menangkap Gubernur Yen, dan engkau lalu menerima tugas untuk mencari bukti pemberontakan Jendral Yen di Lok-yang“

“Wah-wah, agaknya engkau mengetahui segalanya, adik Soan! Memang demikianlah, aku ingin sekali engkau membantu aku melakukan penyelidikan ke Lok-yang. Engkau tentu mau, bukan?”

“Hemm, kalau engkau membutuhkanku, baru engkau ingat kepadaku. Kalau sudah tidak dibutuhkan lagi, aku yakin engkau akan sama sekali lupa kepada Bi Soan!” Pemuda remaja itu cemberut, masih dapat kelihatan cemberutnya karena bulan purnama sedang terang sekali saat itu.

“Aih, jangan begitu, Soan-te. Aku selalu ingat kepadamu, bukan kalau sedang membutuhkan bantuanmu. Kalau andaikata engkau tidak mau membantuku sekalipun, aku akan tetap ingat kepadamu. Engkaulah satu-satunya sahabatku yang ku sayang“

“Hem, merayu, ya? Sudahlah, apa yang kau bawa dalam buntalan itu?”

“Ini ku bawakan engkau bebek panggang dan nasi, juga air teh sedap!”

“Wah, engkau bawa oleh-oleh? Hayo cepat buka selagi masih hangat dan kita makan dibawah sinar bulan purnama, tentu lezat sekali!“ dengan gembira Bi Soan merampas buntalan itu, membukanya dan keduanya lalu makan minum dibawah sinar bulan, di halaman kuil kosong itu.

Baru saja mereka selesai makan, tiba-tiba Akauw memegang tangan sahabatnya yang tengah minum air teh. Bi Soan memandang heran dan Akauw mengedipkan matanya. Bi Soan memperhatikan dan kini diapun mendengar gerakan-gerakan yang tidak wajar.

“Kalian siapa yang mengintai? Keluarlah!” bentak Akauw sambil melompat berdiri. Tiba-tiba dari segala penjuru terdengar angina bersiutan dan beberapa batang senjata piauw (pisau terbang) menyambar kearah mereka. Akauw terkejut dan khawatir kalau-kalau sahabatnya terluka. Dia menarik tangan Bi Soan dan menyembunyikan pemuda itu di belakangnya, lalu kaki tangannya bergerak menangkis runtuh semua piauw yang menyambar itu. Bi Soan bersembunyi di balik tubuh Akauw dan bertanya.

“Siapakah mereka?”

Setelah senjata piauw mereda tidak ada yang mengenai sasaran, kini berloncatan tujuh orang yang berpakaian hitam dari balik semak dan pohon, dan mereka semua bersenjata tongkat hitam, lalu menyerang tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Yang mereka serang adalah Akauw dan agaknya mereka sama sekali tidak menyerang Bi Soan. Pemuda cilik ini cepat berlari ke belakang sebatang pohon dan mengintai perkelahian itu.

Akauw merasa penasaran sekali, “Hei, berhenti dulu! Siapa kalian dan mengapa menyerangku?”

Akan tetapi jawabannya hanyalah menyambarnya tongkat-tongkat itu dengan dahsyat sekali. Tahulah Akauw bahwa tujuh orang yang berpakaian serba hitam dan semua memegang tongkat itu merupakan lawan yang tangguh. Dia masih mencoba menggunakan kecepatan gerakannya menghindar ke sana sini sambil berloncatan. Akan tetapi gerakan tongkat yang menyerang dengan bertubi-tubi sehingga kemanapun tubuh Akauw bergerak, dia selalu disambut tongkat lain. Ketika dia menangkis dengan tangannya, diapun dapat merasakan bahwa tenaga merekapun rata-rata kuat.

“Syuuuuuuttt…!” Dua batang tongkat menyambar dari kanan kiri dan ketika dia menangkis dengan kedua tangannya dua tongkat lagi menyambar kea rah kedua kakinya.

“Haiiihh…! Akauw mengeluarkan teriakan dan tubuhnya mencelat ke atas sekaligus menghindarkan dua tongkat yang menyerang kaki dan tiga batang tongkat lain yang menyerang dari atas.

Demikian cepat gerakannya sehingga tiba-tiba tujuh orang itu telah kehilangan orang yang mereka keroyok. Akhirnya mereka tahu bahwa Akauw telah meloncat ke atas pohon. Maka, kini merekapun berloncatan dan menyerang kearah tubuh Akauw yang kembali melompat turun. Dia menjadi repot juga karena tidak diberi kesempatan membalas. Selain itu, dia juga belum melawan sungguh-sungguh karena belum tahu mereka itu siapa dan mengapa menyerangnya.

“Tahan senjata!” bentaknya. “Katakan siapa kalian dan apa salahku maka kalian menyerangku!”

“Engkau telah mengambil alih tempat kami, karena itu harus kami pukul mampus!” bentak seorang diantara mereka sambil menyerang lagi.

Kini Akauw mengerti. Kiranya kuil itu adalah tempat mereka dan mereka mengira dia dan Bi Soan mengambil kuil kosong itu. “Kami tidak mengambil alih, hanya berhenti di sini sebentar! Kami tidak bermalam di tempat ini!”

“Mampuslah!” bentak mereka dan tongkat-tongkat itu kembali menyerangnya dari semua jurusan. Melihat ini Akauw kehilangan kesabarannya. Dia sudah banyak mengalah. Kalaupun dia bersalah telah mengganggu ketentraman mereka tidak semestinya mereka bertindak begini kejam, mengeroyok dengan serangan yang berbahaya, dapat mematikannya. Sepatutnya hanya menegur saja.

“Singgg…!” nampak sinar hitam berkilat menyilaukan mata dimalam terang bulan purnama itu.

“Sekali lagi, harap kalian mundur. Aku bersedia minta maaf kalau memang dianggap bersalah!” katanya untuk terakhir kalinya.

Akan tetapi, tujuh orang itu bukannya mundur, bahkan mendesak maju dengan serangan mereka.

“Kalian keterlaluan!” Akauw lalu menggerakkan pedangnya. Demikian kuat dan cepatnya gerakan itu sehingga yang nampak hanya sinar hitam bergulung panjang bagaikan seekor naga hitam mengamuk. Akan tetapi, dia tetap tidak ingin membunuh orang, dan sinar pedangnya hanya menyambar ke arah tongkat-tongkat para pengeroyok itu.

“Trakk-trak-trak…!” berturut-turut tongkat mereka itu di babat Hek-liong Po-kiam dan patah menjadu dua potong. Tujuh orang itu terbelalak ketakutan dan mereka melarikan diri tanpa menoleh lagi. Akauw tersenyum dan menyimpan lagi pedangnya, tidak melakukan pengejaran. Bi Soan muncul dari balik pohon.

“Wah, engkau memang hebat sekali, Kauw-ko. dan pedangmu itu, waahhh, seperti seekor naga saja. Pedang apakah itu, kauw-ko?”

“Memang kata-katamu itu tepat seakli, Bi Soan. Pedangku ini namanya Hek-Liong Po-kiam (Pedang Naga Hitam)“

“Benarkah? Bagus sekali. Bolehkah aku melihatnya sebentar, Kauw-ko?”

“Tentu saja boleh“ Akauw lalu menghunus pedangnya dan menyerahkannya kepada Bi Soan.

Ketika menerima pedang itu, Bi Soan menerima dengan kedua tangannya memegang gagang, seolah pedang itu teramat berat baginya. Dan dia memandangi pedang itu dengan penuh kagum. “Po-kiam (Pedang pusaka) yang baik…“ katanya memuji.

“Bagaimana engkau tahu bahwa ini merupakan po-kiam yang baik, Soan-te?”

“Mudah saja. Po-kiam ini tadi telah mematahkan semua tongkat mereka. Kalau tidak baik sekali mana mungkin begitu?”

“Aku merasa heran mengapa orang-orang tadi begitu galak. Kalau Cuma kita mengganggu tempat tinggal mereka saja, tidak semestinya mereka hendak membunuh kita“

“Aku tidak merasa heran, kauw-ko. Mereka itu adalah orang-orang dari Hek I Kaipang“

“Ahhh…? Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Ingat saja pakaian mereka tadi serba hitam, bukan? Dan penuh tambalan. Juga mereka semua bersenjata tongkat. Mereka itu adalah para anggota Hek I Kaipang yang kabarnya bersekutu dengan pihak pemberontak. Jadi mereka tadi menyerangmu bukan karena tempat ini, melainkan karena memang mereka memusuhimu. Mereka agaknya tahu bahwa yang membawa Gubernur Yen ke sini adalah engkau, maka mereka hendak membalas dendam dan membunuhmu...“

“Aih, Soan-te, engkau sungguh hebat. Engkau agaknya mengetahui segalanya!”

“Sudahlah, jangan terlalu memuji. Kita harus lebih berhati-hati. Engkau di utus ke Lok-yang untuk mencari bukti pemberontakan, bukan? Dan untuk itu engkau harus menyelidiki Hek I Kaipang. Akan tetapi agaknya mereka telah mengenalmu, maka engkau harus berhati-hati sekali...“

Akauw mengangguk-angguk. “Akan tetapi dengan adanya engkau yang begini cerdik dan tahu segala berada di sampingku, aku tidak takut, Soan-te“

Tiga hari kemudian, berangkatlah mereka ke Lok-yang. Untuk keperluan ini, kembali Akauw mengenakan pakaian biasa, hanya saja dia membawa surat perintah dari Kok-su sebagai bekal, kalau-kalau dia akan berurusan dengan pejabat setempat.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Malam itu masih terang bulan. Dua sosok tubuh orang yang berpakaian serba hitam, membawa tongkat, berjalan menuju ke sebuah rumah besar kuno. Rumah ini sejak dulu menjadi pusat dari Perkumpulan Hek I Kaipang di kota raja. Dua orang itu bukan lain adalah Song-pangcu, ketua cabang Hek I Kaipang di Nam-kiang dan yang kedua adalah Yang Cien yang menyamar sebagai seorang anggota Hek I Kaipang. Seperti diketahui, Song Pang-cu pergi ke kota raja karena undangan dari Cu-lokai, pangcu pusat Hek I Kaipang di Tiang-an.

Tidak seperti biasanya, dibangunan kuno itu nampak sepi. Ketika mereka memasuki pekarangan yang sepi, dari dalam bangunan itu muncul belasan orang anggota Hek I Kaipang. Song-pangcu memandang penuh perhatian. Di beranda itu terdapat pula lampu gantung sehingga penerangan di situ cukup, dan dia dapat melihat bahwa para anggota Hek I Kaipang itu biarpun mengenakan pakaian serba hitam, namun pakaian mereka itu terbuat dari kain yang baru, dan sepatu mereka juga baru! Padahal, anggota Hek I Kaipang hanya mengenakan sepatu butut, bahkan banyak yang bertelanjang kaki.

Lima belas orang itu lalu memberi hormat dengan membungkuk kepada Song-pangcu, cara penghormatan yang lajim dipergunakan oleh para anggota Hek I Kaipang.

“Selamat datang, Song Pangcu…“ teriak mereka serentak.

“Hemm, kalian ini para anggota Hek I Kaipang, ataukah pengantin pria yang hendak dipertemukan? Belum pernah aku melihat anggota Hek I Kaipang menjadi pesolek seperti kalian. Dimana Cu Lokai?” kata Song Pangcu dengan nada teguran.

"Cu Pangcu menanti di ruangan belakang. Harap Song-pangcu langsung saja masuk kedalam“ kata seorang di antara mereka yang tidak memperdulikan teguran dalam soal pakaian itu.

Cu-pangcu mengangguk dan bersama Yang Cien dia memasuki bangunan kuno yang besar itu. Baru masuk saja dia sudah merasa heran. Biasanya, pusat Hek I Kaipang ini mempunyai banyak sekali anggotanya. Apalagi di waktu malam, para anggotanya pasti berkumpul di sini. Kenapa sekarang kelihatan sepi saja?

Mereka terus masuk ke ruangan belakang yang luas sekali. Ruangan ini dipakai untuk mengadakan rapat anggota, juga dipergunakan sebagai tempat latihan silat. Kini ruangan inipun kosong dan begitu mereka masuk, terdengar suara orang tertawa dan tempat itu sudah di kepung oleh belasan orang prajurit dan belasan orang berpakaian hitam yang menyambut mereka tadi. dan di depan sendiri berdiri Thian-te Ciu-kwi sambil tertawa-tawa. kakek yang kecil kurus ini menuangkan arak dari guci ke dalam mulutnya, lalu tertawa lagi.

“Song-pangcu, engkau baru muncul?”

Song-pangcu terkejut bukan main melihat munculnya belasan orang prajurit itu dan terutama sekali melihat kakek kecil kurus itu yang dikenalnya dengan baik. Siapa tidak mengenal Thian-te Ciu-kwi, dari timur itu. Dan hebatnya, kakek itu kini mengenakan pakaian seorang panglima!

“Thian-te Ciu-kwi, apa artinya ini? Dimana Cu-pangcu?” tanyanya dengan heran dan juga khawatir

“Ha-ha-ha, engkau hendak bertemu dengan Cu Lokai? Tunggu sebentar!”

Thian-te Ciu-kwi memberi tanda dan beberapa orang prajurit masuk sambil menggiring tujuh orang yang tangannya terbelenggu masuk ke tempat itu. Paling depan adalah Cu Lokai dan enam orang lain adalah para ketua cabang yang agaknya sudah menjadi tawanan pemerintah. Jelas sekarang bagi Song-pangcu bahwa undangan itu adalah palsu dan merupakan jebakan. Dia di undang ke situ hanya untuk di tangkap seperti mereka.

“Ha-ha-ha, engkau melihat sendiri, semua telah tertangkap. Kami minta agar engkau menyerah saja, Song-pangcu sehingga kami tidak perlu melakukan kekerasan!“

“Thian-te Ciu-kwi, aku tidak akan sudi menyerah!” Bentak Song-pangcu dengan marah sekali dan dengan tongkat hitamnya dia sudah menyerang Thian-te Ciu-kwi dengan dahsyatnya.

Kepandaian Song-pangcu sudah cukup tinggi sebagai ketua cabang Hek I Kaipang, akan tetapi tentu saja jauh kalau dibandingkan dengan Ciu-kwi. Sambil terkekeh Ciu-kwi menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangannya dan akibatnya tubuh Song-pangcu terjengkang roboh!

Melihat ini, Yang Cien berseru, “Song-pangcu, bebaskan semua rekan“ dan diapun sudah mencabut pedangnya lalu menerjang kea rah Thian-te Ciu-kwi.

Si Setan Arak ini terkejut sekali melihat sinar putih bergulung-gulung bagaikan seekor naga putih itu. Para prajurit dan orang-orang yang menyamar sebagai anggota Hek I Kaipang sudah menyamar sebagai anggota Hek I Kaipang sudah menyambut pedang Yang Cien, akan tetapi mereka segera mundur dan terkejut karena senjata di tangan mereka patah-patah begitu bertemu dengan sinar putih bergulung-gulung itu.

Thian-te Ciu-kwi maklum bahwa pemuda itu lihai dan memiliki pedang ampuh, maka diapun segera mencabut pedangnya di punggungnya dan menyerang dengan ganasnya. Yang Cien mengelak dan membalas dan segera pemuda ini di keroyok banyak orang.

Sementara itu, Song-pangcu sudah melompat kearah para tawanan. Beberapa orang prajurit menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan tongkatnya, Song-pangcu merobohkan dua orang prajurit, merampas sebatang golok dan dengan golok itu dia membikin patah borgol yang mengikat tangan enam orang rekannya. Setelah para pimpinan kai-pang itu terlepas tangannya, mereka segera mengamuk dan membuat para prajurit dan anggota Hek I Kaipang palsu kocar kacir.

Sementara itu, perkelahian antara Yang Cien melawan Thian-te Ciu-kwi berlangsung dengan serunya. Thian-te Ciu-kwi juga memiliki pedang yang ampuh dan tidak patah ketika bertemu Pek-liong Po-kiam, dan gerakan kakek ini cukup gesit, sehingga dapat mengimbangi amukan Yang Cien. Anak buahnya yang tadi ikut mengeroyok, kini sudah mundur dengan jerih karena setiap kali senjata mereka bertemu dengan Pek-liong Po-kiam, senjata mereka tentu patah-patah. Dan mereka kini ikut mengeroyok delapan orang pimpinan Hek I Kaipang yang mengamuk itu .

Yang Cien harus mengakui bahwa kakek kecil kurus yang dilawannya itu lihai sekali dan agaknya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkannya dalam waktu singkat. Kalau sampai datang bantuan berupa pasukan, tentu dia dan para pimpinan Hek I Kaipang akan terkepung ketat dan tidak akan lolos lagi. Maka dia segera berseru kepada Song-pangcu agar melarikan diri.

“Cepat pergi sebelum terlambat!” Demikian dia mengeluarkan seruan nyaring dan Song-pangcu, juga yang lain-lain. Maklum apa yang dimaksudkan pemuda gagah perkasa itu. Maka setelah merobohkan para penghalang mereka segera melarikan.

Yang Cien mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng menyerang dengan dahsyat dan biarpun Thian-te Ciu-kwi dapat menangkisnya, namun tubuhnya terdorong jauh ke belakang oleh hebatnya tenaga Bu-tek Cin-keng itu. Dia terkejut bukan main, maka ketika Yang Cien meloncat jauh ke belakang untuk menyusul teman-temannya. Dia tidak berani mengejar sendirian saja. Dia lalu meneriaki anak buahnya untuk melakukan pengejaran sementara Thian-te Ciu-kwi cepat melapor kepada Koksu akan adanya seorang pemuda yang amat lihai, yang memiliki sebatang pedang bersinar putih yang ampuh sekali, juga diam-diam dia terkejut ketika tadi Yang Cien menggerakkan tangan kiri mendorong ke depan.

Gerakan itu persis dengan sebuah jurus dari ilmu silat yang dikuasai muridnya, namun tenaga yang keluar dari tangan pemuda berpakaian hitam itu jauh lebih dahsyat dibandingkan tenaga muridnya. Dia sendiri juga sudah mempelajari ilmu dari muridnya itu, akan tetapi dia menganggap ilmu itu amat aneh, bahkan pernah ketika mempelajari sebauh jurus, dia merasa dadanya sesak dan sakit seolah tenaga sinkangnya membalik dan memukul dirinya sendiri. Dia tidak tahu bahwa muridnya mempelajari ilmu itu secara ngawur, tidak menurut teori yang benar.

Maka ketika dia mempelajari jurus itu, tenaganya membalik dan hampir saja dia terluka parah. Kalau muridnya tidak mengalami hal seperti yang di alaminya itu. Hal itu adalah karena Akauw memiliki tenaga murni yang wajar, bukan tenaga karena terlatih melalu Samadhi, melainkan tenaga yang timbul karena cara hidupnya seperti kera. maka, Akauw tidak mengalami guncangan. Akauw dapat memainkan guncangan.

Akauw dapat memainkan semua jurus Bu-tek Cin-keng tanpa membahayakan dirinya. Walaupun dia tidak memiliki tenaga yang ampuh dari ilmu itu. seolah dia hanya menguasai kulitnya saja tanpa mengenal isinya. Itulah sebabnya ketika bertemu dengan Yang Cien yang memiliki dan menguasai ilmu itu seutuhnya, sekali dorong saja Thian-te Ciu-kwi hamper terjengkang!

Para pimpinan Hek I Kaipang yang delapan orang itu maklum bahwa kalau mereka tidak cepat keluar dari kota raja, pada keesokan harinya mereka akan terlambat karena tentu Koksu akan mengerahkan pasukan untuk mencari mereka. Maka, dengan bantuan Yang Cien, mereka lalu menyerbu pintu gerbang utara dan akhirnya setelah terjadi pertempuran kecil melawan para penjaga pintu gerbang yang hendak mencegah mereka lari, mereka akhirnya dapat keluar dari kota raja dengan selamat.

Cu Lokai mengajak mereka memasuki sebuah hutan yang menjadi pusat dan tempat tinggal para anggota Hek I Kaipang untuk sementara. Setelah tiba di situ, kedelapan orang pimpinan Hek I Kaipang itu lalu menjatuhkan diri berlutut ke depan kaki Yang Cien menghaturkan terima kasih.

Dengan gugup Yang Cien mengangkat mereka satu demi satu, dimintanya agar mereka bangkit dan jangan memberi hormat secara berlebihan. “yang kulakukan ini bukanlah pertolongan, melainkan suatu kewajiban. Harap cu-wi (Kalian) tidak bersikap sungkan“

Song-pangcu lalu berkata kepada Cu Lokai dan yang lain-lain. “Harap para pangcu mengenalnya. Taihiap ini adalah taihiap Yang Cien yang telah menolong dan menguburkan jenazah mendiang Kam Lokai“

“Ahhh…!” Semua orang berseru dan Cu Lokai yang menjadi ketua pusat cepat memberi hormat. “Kiranya Yang Taihiap yang telah menguburkan jenazah sute kami. Untuk kami kami merasa bersukur dan berterima kasih sekali“

Mereka duduk mengelilingi meja dan kini mereka membicarakan urusan perjuangan mereka. Yang Cien yang sudah di anggap orang sendiri itu hanya mendengarkan. Dari cerita mereka Yang Cien tahu bahwa mereka semua telah di jebak oleh Koksu dan di tangkap setelah mereka semua di kalahkan oleh Koksu atau oleh pembantunya, yaitu Thian-te Ciu-kwi yang lihai“

“Pemerintah telah mengetahui akan hubungan kita dengan para gubernur yang mengusahakan pemberontakan“ kata Cu Lokai. “Bahkan dari dalam penjara kami mendengar bahwa Gubernur Yen juga sudah di tangkap“

“Aahhhh…!” Song-lokai berseru kaget. “Kalau begitu gerakan di timur gagal?”

“Mungkin saja. Gubernur belum berhasil menyusun kekuatan akan tetapi telah di dahului, dipanggil kaisar dan setelah sampai di sini langsung di tahan. Semua ini tentu akal dari Koksu Lui yang lihai sekali itu“

“Akan tetapi, kenapa Gubernur Yen mau saja di panggil seperti seekor sapi masuk ke jagal?” Tanya Song-pangcu penasaran...

Sepasang Naga Lembah Iblis Jilid 12

Khawatir, kecewa, sedih sebagai kebalikan dari sejahtera, puas dan gembira adalah perasaan yang melanda setiap orang manusia di dunia ini, orang akan tenggelam dan merasa bahwa di seluruh dunia ini dirinyalah yang paling menderita, paling sengsara, paling celaka. Sebaliknya kalau sedang bergembira dia lupa segalanya, yang ada hanya kegembiraan itulah.

Orang tenggelam ke dalam suka duka, susah senang, sedih gembira, seperti sebuah biduk yang di ombang ambingkan gelombang samudera. Barulah kalau kita dapat melihat diri sebagai orang luar, kita dapat melihat bahwa semua itu sudahlah wajar. Gelombang kehidupan menghempas dari kanan kiri, terombang ambing. Semua perasaan susah senang dalam kehidupan ini adalah wajar, sudah merupakan romantika kehidupan. Kalau tidak ada susah mana ada senang dan kalau tidak ada duka mana ada suka?

Romantika kehidupan ini justeru merupakan nikmat hidup. Bagaikan makanan, kalau yang ada hanya manis saja, tanpa mengenal rasa asam pahir getir dan asin, mana mungkin kita dapat menikmati rasa manis? Bahkan rasa manis itu akan menjadi memuakkan. Demikian pula dalam kehidupan ini. Rasa senang yang terus menerus tanpa di selingi perasaan lain seperti kecewa dan susah, akan menjadi perasaan yang menjemukan. Tidak ada kesenangan abadi di dunia ini karena sesuatu yang di anggap menyenangkan itu kalu diberikan terus menerus tanpa ada perubahan, akan kehilangan anggapan menyenangkan itu.

Sebuah pantai laut dengan desir ombaknya akan terasa indah dan menyenangkan bagi pendatang dari kota, akan tetapi tanyakan kepada mereka yang tinggal di pantai, maka mereka akan mengatakan bahwa pemandangan itu membosankan dan mereka merindukan untuk pergi dan melihat kota dan gunung. Sebaliknya orang kota ingin ke pantai, orang gunung ingin ke kota dan orang kota ingin ke gunung. Hidup ini membutuhkan perubahan, perubahan pemandangan, penglihatan dan pendengaran.

Bahkan penciuman dan rasa di mulut juga selalu menghendaki perubahan. Karena itu, tenggelam ke dalam satu macam perasaan saja adalah tidak bijaksana. Terimalah susah senang sebagai sesuatu yang wajar dan nyata, sebagai bumbu–bumbu kehidupan. Bukan tidak mungkin bahwa diujung sesuatu yang menyedihkan itu menanti sesuatu yang menggembirakan, dan sebaliknya di ujung jalan penuh kesenangan itu menanti kesusahan!

Ada hikmah tersembunyi dibalik setiap peristiwa dan kalau kita menyerahkannya kepada Tuhan sambil tidak lupa berusaha sekuat tenaga, maka apapun yang terjadi menimpa diri tidak akan mendatangkan batin yang terlalu merasa gembira.


“Sudahlah, cukup semua ini. Ingatlah kalian semua bahwa andaikata terjadi sesuatu dengan diriku, andaikata kematian menantiku di sana, maka kematianku adalah merupakan pupuk bagi perjuangan kalian. Juga andaikata kalian gagal pula, itu semua merupakan pupuk bagi perjuangan selanjutnya yang akan dilakukan rakyat terhadap penjajah Toba. Penjajahan harus lenyap dari tanah air kita!”

Kata-kata yang penuh semangat dar Gubernur Yen ini agaknya merupakan obat yang manjur karena semua orang berhenti menangis, bahkan tiga orang istri itu segera mempersiapkan segala yang perlu di bawa suami mereka. Mereka berkemas dan tak lama kemudian Gubernur Yen Kan keluar dari gedung, masuk ke dalam keretanya yang sudah menanti diluar rumah. Kereta segera berangkat dan mereka semua mengantarkan gubernur sampai tiba diluar pintu gerbang sebelah barat dimana pasukan kerajaan sudah menanti. Biarpun Gubernur Yen berangkat seorang diri saja, namun para pembantunya telah menyebar mata-mata untuk mengikuti perjalanan gubernur itu dan untuk mengetahui bagaimana nasibnya kelak setelah tiba di kota raja.

Diam-diam Akauw merasa kecelik. Tadinya dia menganggap bahwa Gubernur pemberontak ini seorang yang keras dan yang sudah mengambil keputusan untuk memberontak, tentu akan membangkang terhadap panggilan kaisar. Dia sudah siap untuk menggunakan kekerasan seandainya sang gubernur menolak. Akan tetapi sama sekali tidak si sangkanya bahwa gubernur itu menaati perintah kaisar dan segera berangkat, bahkan tanpa membawa pengawal. Diapun merasa kagum karena gubernur itu di anggapnya seorang yang gagah berani.

Bagi Akauw yang kurang begitu mengerti tentang perjuangan atau pemberontakan, hanya menganggap bahwa seorang bawahan yang menentang atasannya itu adalah perbuatan yang tidak benar dan wajib di tentang. Oleh karena itu, betapa kecewa hati Akauw ketika mereka tiba di kota raja, Gubernur Yen Kan di hadapkan kepada Kaisar, langsung saja dia dibentak oleh kaisar dan di tuduh pemberontak. Bagaimanapun juga, belum ada bukti bahwa gubernur itu memberontak, biarpun dia sudah mendengar sendiri rapat yang diadakan gubernur itu dengan para sekutunya.

“Gubernur Yen Kan, kami mendengar bahwa engkau telah mengumpulkan banyak pemuda untuk di jadikan prajurit bahwa engkau telah memperkuat barisanmu. Engkau sudah membuat persiapan untuk memberontak?“

“Yang Mulia, berita yang dikabarkan orang itu memang benar. Hamba memang memperkuat barisan, akan tetapi hal itu hamba lakukan untuk menjaga keselamatan perbatasan dengan Negara lek-kok (Korea) dan juga untuk menjaga keamanan di sepanjang pantai timur karena terdapat banyak gangguna oleh bajak laut“

“Bohong! Engkau memperkuat barisan untuk mengadakan pemberontakan. Engkau bergabung dengan berbagai golongan, juga dengan Hek I Kaipang. Engkau tidak perlu menyangkal lagi karena kami telah mengetahui segalanya! Pengawal, tangkap dia dan jebloskan ke penjara menanti pengadilan!”

Gubernur itu tanpa di beri kesempatan membela diri lagi lalu di seret oleh para pengawal. Gubernur itu nampak tenang saja, sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan mengangkat dadanya dan menegakkan kepalanya. Sikap yang gagah perkasa ini membuat Akauw merasa kagum dan penasaran. Melihat kegagahan gubernur itu saja telah mendatangkan perasaan suka didalam hatinya.

“Koksu, setelah dia di tangkap, lalu bagaimana sekarang? Ternyata dia sama sekali tidak mau mengaku, bahkan ketika di panggil juga tidak melawan atau membangkang“

“Biarpun begitu, Yang Mulia, Kita tidak boleh bertindak lemah. Hamba kira ini semua adalah siasat belaka dari Gubernur Yen. Dia bersikap demikian agar tidak ada alasan bagi paduka untuk menyerbu Lok-yang. Dia agaknya hendak mengorbankan diri demi kelanjutan penghimpunan kekuartan di Lok-yang. Sebaiknya kalau paduka mengirimkan pasukan besar untuk menyerang Lok-yang, menangkapi para panglimanya dan mengangkat seorang gubernur baru di sana, juga panglima-panglima baru“

Kaisar mengangguk-angguk, akan tetapi pada saat itu Perdana Menteri Ji menghadap Kaisar dengan kata-katanya yang tegas dan jelas. “ampun, Yang Mulia. Hamba kira bahwa tindakan itu tidaklah bijaksana. Kalau paduka menyerang Lok-yang tanpa ada bukti pemberontakan, berarti paduka menyerang tanpa alasan. Kita belum dapat menuduh Lok-yang akan memberontak, maka kalau tiba-tiba kita menyerang dan hal itu terdengar oleh para gubernur lain, tentu akan menimbulkan keresahan dan penasaran. Kita harus mendapatkan buktinya dulu. Sebaiknya kalau kita mengirim penyelidik lagi ke sana, untuk mendapatkan bukti-bukti, dan kalau perlu menyelidiki Hek I Kaipang yang kabarnya dijadikan sekutu oleh Gubernur Yen. Baru setelah mendapat bukti, paduka turun tangan menyerang dan tidak akan ada gubernur yang menyalahkan tindakan itu“

Kaisar mengangguk-angguk, mengerutkan alisnya dan menoleh kepada koksu. “Bagaimana, Lui Koksu, apakah engkau sependapat dengan apa yang dikemukakan Perdana Menteri Ji?”

Koksu saling pandang dengan Perdana Menteri Ji dan diapun mengangguk. “memang tadi hamba telah terburu nafsu, Yang Mulia. Hamba setuju dengan pendapat Perdana Menteri Ji, karena kita masih menghadapi sikap membangkang dari Gubernur Gak dan Coa-ciangkun. Sebaiknya kalau paduka mengirim penyelidik yang boleh dipercaya, dan hamba kira Cian-ciangkun untuk kedua kalinya dapat paduka utus untuk menjadi penyelidik di Lok-yang“

“Bagus, akupun sependapat dengan kalian. Cian-ciangkun, engkau telah berjasa besar dalam penangkapan Gubernur Yen. Kini kami mengangkat engkau setingkat lebih tinggi dari kedudukanmu sekarang, dan memerintahkan kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Lok-yang. Sekali ini untuk mencari bukti-bukti pemberontakan, dan carilah di kalangan Hek I Lo-kai. Entah siasat apa yang akan kau lakukan, terserah. Yang penting, engkau mendapatkan bukti itu. Sanggupkah engkau?”

“Hamba sanggup dan kapan hamba diharuskan berangkat?”

“Engkau boleh berisitirahat sepekan lamanya, kemudian engkau berangkatlah dan boleh membawa perlengkapan apa saja dan kalau perlu boleh pula membawa anak buah untuk membantumu di sana“

“Terima kasih Yang Mulia, akan tetapi hamba tidak akan membawa seorangpun pembantu karena hal itu bahkan akan menghambat dan menjadi penghalang gerakan hamba“

Akan tetapi di dalam hatinya Akauw ingin sekali membawa sahabatnya, Bi Soan dalam penyelidikan barunya itu. Hatinya akan merasa besar kalau saja Bi Soan dapat ikut dengannya karena dia tahu bahwa sahabatnya itu, biarpun kecil, memiliki kecerdikan luar biasa.

Setelah meninggalkan istana, kebetulan tiga hari kemudian bulan purnama maka diapun bergegas pergi seorang diri di waktu bulan purnama itu, menuju ke kuil di luar kota. Baru saja dia tiba di halaman kuil kosong itu, terdengar suara orang memanggil, “kauw-ko…!”

Dengan girang dia menoleh dan ternyata yang memanggil itu adalah sahabatnya, Bi Soan. “Eh, Soan-te, engkau sudah tiba di sini pula? Betapa girang hatiku karena aku memang sedang mencarimu“

“Aku tahu, engkau mencariku untuk mengajak aku kembali ke Lok-yang, bukan?”

“Eh, bagaimana engkau bisa tahu?”

“Hemm, aku mempunyai banyak kawan di sini dan aku mendengar betapa engkau telah naik pangkat karena pergi menangkap Gubernur Yen, dan engkau lalu menerima tugas untuk mencari bukti pemberontakan Jendral Yen di Lok-yang“

“Wah-wah, agaknya engkau mengetahui segalanya, adik Soan! Memang demikianlah, aku ingin sekali engkau membantu aku melakukan penyelidikan ke Lok-yang. Engkau tentu mau, bukan?”

“Hemm, kalau engkau membutuhkanku, baru engkau ingat kepadaku. Kalau sudah tidak dibutuhkan lagi, aku yakin engkau akan sama sekali lupa kepada Bi Soan!” Pemuda remaja itu cemberut, masih dapat kelihatan cemberutnya karena bulan purnama sedang terang sekali saat itu.

“Aih, jangan begitu, Soan-te. Aku selalu ingat kepadamu, bukan kalau sedang membutuhkan bantuanmu. Kalau andaikata engkau tidak mau membantuku sekalipun, aku akan tetap ingat kepadamu. Engkaulah satu-satunya sahabatku yang ku sayang“

“Hem, merayu, ya? Sudahlah, apa yang kau bawa dalam buntalan itu?”

“Ini ku bawakan engkau bebek panggang dan nasi, juga air teh sedap!”

“Wah, engkau bawa oleh-oleh? Hayo cepat buka selagi masih hangat dan kita makan dibawah sinar bulan purnama, tentu lezat sekali!“ dengan gembira Bi Soan merampas buntalan itu, membukanya dan keduanya lalu makan minum dibawah sinar bulan, di halaman kuil kosong itu.

Baru saja mereka selesai makan, tiba-tiba Akauw memegang tangan sahabatnya yang tengah minum air teh. Bi Soan memandang heran dan Akauw mengedipkan matanya. Bi Soan memperhatikan dan kini diapun mendengar gerakan-gerakan yang tidak wajar.

“Kalian siapa yang mengintai? Keluarlah!” bentak Akauw sambil melompat berdiri. Tiba-tiba dari segala penjuru terdengar angina bersiutan dan beberapa batang senjata piauw (pisau terbang) menyambar kearah mereka. Akauw terkejut dan khawatir kalau-kalau sahabatnya terluka. Dia menarik tangan Bi Soan dan menyembunyikan pemuda itu di belakangnya, lalu kaki tangannya bergerak menangkis runtuh semua piauw yang menyambar itu. Bi Soan bersembunyi di balik tubuh Akauw dan bertanya.

“Siapakah mereka?”

Setelah senjata piauw mereda tidak ada yang mengenai sasaran, kini berloncatan tujuh orang yang berpakaian hitam dari balik semak dan pohon, dan mereka semua bersenjata tongkat hitam, lalu menyerang tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Yang mereka serang adalah Akauw dan agaknya mereka sama sekali tidak menyerang Bi Soan. Pemuda cilik ini cepat berlari ke belakang sebatang pohon dan mengintai perkelahian itu.

Akauw merasa penasaran sekali, “Hei, berhenti dulu! Siapa kalian dan mengapa menyerangku?”

Akan tetapi jawabannya hanyalah menyambarnya tongkat-tongkat itu dengan dahsyat sekali. Tahulah Akauw bahwa tujuh orang yang berpakaian serba hitam dan semua memegang tongkat itu merupakan lawan yang tangguh. Dia masih mencoba menggunakan kecepatan gerakannya menghindar ke sana sini sambil berloncatan. Akan tetapi gerakan tongkat yang menyerang dengan bertubi-tubi sehingga kemanapun tubuh Akauw bergerak, dia selalu disambut tongkat lain. Ketika dia menangkis dengan tangannya, diapun dapat merasakan bahwa tenaga merekapun rata-rata kuat.

“Syuuuuuuttt…!” Dua batang tongkat menyambar dari kanan kiri dan ketika dia menangkis dengan kedua tangannya dua tongkat lagi menyambar kea rah kedua kakinya.

“Haiiihh…! Akauw mengeluarkan teriakan dan tubuhnya mencelat ke atas sekaligus menghindarkan dua tongkat yang menyerang kaki dan tiga batang tongkat lain yang menyerang dari atas.

Demikian cepat gerakannya sehingga tiba-tiba tujuh orang itu telah kehilangan orang yang mereka keroyok. Akhirnya mereka tahu bahwa Akauw telah meloncat ke atas pohon. Maka, kini merekapun berloncatan dan menyerang kearah tubuh Akauw yang kembali melompat turun. Dia menjadi repot juga karena tidak diberi kesempatan membalas. Selain itu, dia juga belum melawan sungguh-sungguh karena belum tahu mereka itu siapa dan mengapa menyerangnya.

“Tahan senjata!” bentaknya. “Katakan siapa kalian dan apa salahku maka kalian menyerangku!”

“Engkau telah mengambil alih tempat kami, karena itu harus kami pukul mampus!” bentak seorang diantara mereka sambil menyerang lagi.

Kini Akauw mengerti. Kiranya kuil itu adalah tempat mereka dan mereka mengira dia dan Bi Soan mengambil kuil kosong itu. “Kami tidak mengambil alih, hanya berhenti di sini sebentar! Kami tidak bermalam di tempat ini!”

“Mampuslah!” bentak mereka dan tongkat-tongkat itu kembali menyerangnya dari semua jurusan. Melihat ini Akauw kehilangan kesabarannya. Dia sudah banyak mengalah. Kalaupun dia bersalah telah mengganggu ketentraman mereka tidak semestinya mereka bertindak begini kejam, mengeroyok dengan serangan yang berbahaya, dapat mematikannya. Sepatutnya hanya menegur saja.

“Singgg…!” nampak sinar hitam berkilat menyilaukan mata dimalam terang bulan purnama itu.

“Sekali lagi, harap kalian mundur. Aku bersedia minta maaf kalau memang dianggap bersalah!” katanya untuk terakhir kalinya.

Akan tetapi, tujuh orang itu bukannya mundur, bahkan mendesak maju dengan serangan mereka.

“Kalian keterlaluan!” Akauw lalu menggerakkan pedangnya. Demikian kuat dan cepatnya gerakan itu sehingga yang nampak hanya sinar hitam bergulung panjang bagaikan seekor naga hitam mengamuk. Akan tetapi, dia tetap tidak ingin membunuh orang, dan sinar pedangnya hanya menyambar ke arah tongkat-tongkat para pengeroyok itu.

“Trakk-trak-trak…!” berturut-turut tongkat mereka itu di babat Hek-liong Po-kiam dan patah menjadu dua potong. Tujuh orang itu terbelalak ketakutan dan mereka melarikan diri tanpa menoleh lagi. Akauw tersenyum dan menyimpan lagi pedangnya, tidak melakukan pengejaran. Bi Soan muncul dari balik pohon.

“Wah, engkau memang hebat sekali, Kauw-ko. dan pedangmu itu, waahhh, seperti seekor naga saja. Pedang apakah itu, kauw-ko?”

“Memang kata-katamu itu tepat seakli, Bi Soan. Pedangku ini namanya Hek-Liong Po-kiam (Pedang Naga Hitam)“

“Benarkah? Bagus sekali. Bolehkah aku melihatnya sebentar, Kauw-ko?”

“Tentu saja boleh“ Akauw lalu menghunus pedangnya dan menyerahkannya kepada Bi Soan.

Ketika menerima pedang itu, Bi Soan menerima dengan kedua tangannya memegang gagang, seolah pedang itu teramat berat baginya. Dan dia memandangi pedang itu dengan penuh kagum. “Po-kiam (Pedang pusaka) yang baik…“ katanya memuji.

“Bagaimana engkau tahu bahwa ini merupakan po-kiam yang baik, Soan-te?”

“Mudah saja. Po-kiam ini tadi telah mematahkan semua tongkat mereka. Kalau tidak baik sekali mana mungkin begitu?”

“Aku merasa heran mengapa orang-orang tadi begitu galak. Kalau Cuma kita mengganggu tempat tinggal mereka saja, tidak semestinya mereka hendak membunuh kita“

“Aku tidak merasa heran, kauw-ko. Mereka itu adalah orang-orang dari Hek I Kaipang“

“Ahhh…? Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Ingat saja pakaian mereka tadi serba hitam, bukan? Dan penuh tambalan. Juga mereka semua bersenjata tongkat. Mereka itu adalah para anggota Hek I Kaipang yang kabarnya bersekutu dengan pihak pemberontak. Jadi mereka tadi menyerangmu bukan karena tempat ini, melainkan karena memang mereka memusuhimu. Mereka agaknya tahu bahwa yang membawa Gubernur Yen ke sini adalah engkau, maka mereka hendak membalas dendam dan membunuhmu...“

“Aih, Soan-te, engkau sungguh hebat. Engkau agaknya mengetahui segalanya!”

“Sudahlah, jangan terlalu memuji. Kita harus lebih berhati-hati. Engkau di utus ke Lok-yang untuk mencari bukti pemberontakan, bukan? Dan untuk itu engkau harus menyelidiki Hek I Kaipang. Akan tetapi agaknya mereka telah mengenalmu, maka engkau harus berhati-hati sekali...“

Akauw mengangguk-angguk. “Akan tetapi dengan adanya engkau yang begini cerdik dan tahu segala berada di sampingku, aku tidak takut, Soan-te“

Tiga hari kemudian, berangkatlah mereka ke Lok-yang. Untuk keperluan ini, kembali Akauw mengenakan pakaian biasa, hanya saja dia membawa surat perintah dari Kok-su sebagai bekal, kalau-kalau dia akan berurusan dengan pejabat setempat.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Malam itu masih terang bulan. Dua sosok tubuh orang yang berpakaian serba hitam, membawa tongkat, berjalan menuju ke sebuah rumah besar kuno. Rumah ini sejak dulu menjadi pusat dari Perkumpulan Hek I Kaipang di kota raja. Dua orang itu bukan lain adalah Song-pangcu, ketua cabang Hek I Kaipang di Nam-kiang dan yang kedua adalah Yang Cien yang menyamar sebagai seorang anggota Hek I Kaipang. Seperti diketahui, Song Pang-cu pergi ke kota raja karena undangan dari Cu-lokai, pangcu pusat Hek I Kaipang di Tiang-an.

Tidak seperti biasanya, dibangunan kuno itu nampak sepi. Ketika mereka memasuki pekarangan yang sepi, dari dalam bangunan itu muncul belasan orang anggota Hek I Kaipang. Song-pangcu memandang penuh perhatian. Di beranda itu terdapat pula lampu gantung sehingga penerangan di situ cukup, dan dia dapat melihat bahwa para anggota Hek I Kaipang itu biarpun mengenakan pakaian serba hitam, namun pakaian mereka itu terbuat dari kain yang baru, dan sepatu mereka juga baru! Padahal, anggota Hek I Kaipang hanya mengenakan sepatu butut, bahkan banyak yang bertelanjang kaki.

Lima belas orang itu lalu memberi hormat dengan membungkuk kepada Song-pangcu, cara penghormatan yang lajim dipergunakan oleh para anggota Hek I Kaipang.

“Selamat datang, Song Pangcu…“ teriak mereka serentak.

“Hemm, kalian ini para anggota Hek I Kaipang, ataukah pengantin pria yang hendak dipertemukan? Belum pernah aku melihat anggota Hek I Kaipang menjadi pesolek seperti kalian. Dimana Cu Lokai?” kata Song Pangcu dengan nada teguran.

"Cu Pangcu menanti di ruangan belakang. Harap Song-pangcu langsung saja masuk kedalam“ kata seorang di antara mereka yang tidak memperdulikan teguran dalam soal pakaian itu.

Cu-pangcu mengangguk dan bersama Yang Cien dia memasuki bangunan kuno yang besar itu. Baru masuk saja dia sudah merasa heran. Biasanya, pusat Hek I Kaipang ini mempunyai banyak sekali anggotanya. Apalagi di waktu malam, para anggotanya pasti berkumpul di sini. Kenapa sekarang kelihatan sepi saja?

Mereka terus masuk ke ruangan belakang yang luas sekali. Ruangan ini dipakai untuk mengadakan rapat anggota, juga dipergunakan sebagai tempat latihan silat. Kini ruangan inipun kosong dan begitu mereka masuk, terdengar suara orang tertawa dan tempat itu sudah di kepung oleh belasan orang prajurit dan belasan orang berpakaian hitam yang menyambut mereka tadi. dan di depan sendiri berdiri Thian-te Ciu-kwi sambil tertawa-tawa. kakek yang kecil kurus ini menuangkan arak dari guci ke dalam mulutnya, lalu tertawa lagi.

“Song-pangcu, engkau baru muncul?”

Song-pangcu terkejut bukan main melihat munculnya belasan orang prajurit itu dan terutama sekali melihat kakek kecil kurus itu yang dikenalnya dengan baik. Siapa tidak mengenal Thian-te Ciu-kwi, dari timur itu. Dan hebatnya, kakek itu kini mengenakan pakaian seorang panglima!

“Thian-te Ciu-kwi, apa artinya ini? Dimana Cu-pangcu?” tanyanya dengan heran dan juga khawatir

“Ha-ha-ha, engkau hendak bertemu dengan Cu Lokai? Tunggu sebentar!”

Thian-te Ciu-kwi memberi tanda dan beberapa orang prajurit masuk sambil menggiring tujuh orang yang tangannya terbelenggu masuk ke tempat itu. Paling depan adalah Cu Lokai dan enam orang lain adalah para ketua cabang yang agaknya sudah menjadi tawanan pemerintah. Jelas sekarang bagi Song-pangcu bahwa undangan itu adalah palsu dan merupakan jebakan. Dia di undang ke situ hanya untuk di tangkap seperti mereka.

“Ha-ha-ha, engkau melihat sendiri, semua telah tertangkap. Kami minta agar engkau menyerah saja, Song-pangcu sehingga kami tidak perlu melakukan kekerasan!“

“Thian-te Ciu-kwi, aku tidak akan sudi menyerah!” Bentak Song-pangcu dengan marah sekali dan dengan tongkat hitamnya dia sudah menyerang Thian-te Ciu-kwi dengan dahsyatnya.

Kepandaian Song-pangcu sudah cukup tinggi sebagai ketua cabang Hek I Kaipang, akan tetapi tentu saja jauh kalau dibandingkan dengan Ciu-kwi. Sambil terkekeh Ciu-kwi menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangannya dan akibatnya tubuh Song-pangcu terjengkang roboh!

Melihat ini, Yang Cien berseru, “Song-pangcu, bebaskan semua rekan“ dan diapun sudah mencabut pedangnya lalu menerjang kea rah Thian-te Ciu-kwi.

Si Setan Arak ini terkejut sekali melihat sinar putih bergulung-gulung bagaikan seekor naga putih itu. Para prajurit dan orang-orang yang menyamar sebagai anggota Hek I Kaipang sudah menyamar sebagai anggota Hek I Kaipang sudah menyambut pedang Yang Cien, akan tetapi mereka segera mundur dan terkejut karena senjata di tangan mereka patah-patah begitu bertemu dengan sinar putih bergulung-gulung itu.

Thian-te Ciu-kwi maklum bahwa pemuda itu lihai dan memiliki pedang ampuh, maka diapun segera mencabut pedangnya di punggungnya dan menyerang dengan ganasnya. Yang Cien mengelak dan membalas dan segera pemuda ini di keroyok banyak orang.

Sementara itu, Song-pangcu sudah melompat kearah para tawanan. Beberapa orang prajurit menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan tongkatnya, Song-pangcu merobohkan dua orang prajurit, merampas sebatang golok dan dengan golok itu dia membikin patah borgol yang mengikat tangan enam orang rekannya. Setelah para pimpinan kai-pang itu terlepas tangannya, mereka segera mengamuk dan membuat para prajurit dan anggota Hek I Kaipang palsu kocar kacir.

Sementara itu, perkelahian antara Yang Cien melawan Thian-te Ciu-kwi berlangsung dengan serunya. Thian-te Ciu-kwi juga memiliki pedang yang ampuh dan tidak patah ketika bertemu Pek-liong Po-kiam, dan gerakan kakek ini cukup gesit, sehingga dapat mengimbangi amukan Yang Cien. Anak buahnya yang tadi ikut mengeroyok, kini sudah mundur dengan jerih karena setiap kali senjata mereka bertemu dengan Pek-liong Po-kiam, senjata mereka tentu patah-patah. Dan mereka kini ikut mengeroyok delapan orang pimpinan Hek I Kaipang yang mengamuk itu .

Yang Cien harus mengakui bahwa kakek kecil kurus yang dilawannya itu lihai sekali dan agaknya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkannya dalam waktu singkat. Kalau sampai datang bantuan berupa pasukan, tentu dia dan para pimpinan Hek I Kaipang akan terkepung ketat dan tidak akan lolos lagi. Maka dia segera berseru kepada Song-pangcu agar melarikan diri.

“Cepat pergi sebelum terlambat!” Demikian dia mengeluarkan seruan nyaring dan Song-pangcu, juga yang lain-lain. Maklum apa yang dimaksudkan pemuda gagah perkasa itu. Maka setelah merobohkan para penghalang mereka segera melarikan.

Yang Cien mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng menyerang dengan dahsyat dan biarpun Thian-te Ciu-kwi dapat menangkisnya, namun tubuhnya terdorong jauh ke belakang oleh hebatnya tenaga Bu-tek Cin-keng itu. Dia terkejut bukan main, maka ketika Yang Cien meloncat jauh ke belakang untuk menyusul teman-temannya. Dia tidak berani mengejar sendirian saja. Dia lalu meneriaki anak buahnya untuk melakukan pengejaran sementara Thian-te Ciu-kwi cepat melapor kepada Koksu akan adanya seorang pemuda yang amat lihai, yang memiliki sebatang pedang bersinar putih yang ampuh sekali, juga diam-diam dia terkejut ketika tadi Yang Cien menggerakkan tangan kiri mendorong ke depan.

Gerakan itu persis dengan sebuah jurus dari ilmu silat yang dikuasai muridnya, namun tenaga yang keluar dari tangan pemuda berpakaian hitam itu jauh lebih dahsyat dibandingkan tenaga muridnya. Dia sendiri juga sudah mempelajari ilmu dari muridnya itu, akan tetapi dia menganggap ilmu itu amat aneh, bahkan pernah ketika mempelajari sebauh jurus, dia merasa dadanya sesak dan sakit seolah tenaga sinkangnya membalik dan memukul dirinya sendiri. Dia tidak tahu bahwa muridnya mempelajari ilmu itu secara ngawur, tidak menurut teori yang benar.

Maka ketika dia mempelajari jurus itu, tenaganya membalik dan hampir saja dia terluka parah. Kalau muridnya tidak mengalami hal seperti yang di alaminya itu. Hal itu adalah karena Akauw memiliki tenaga murni yang wajar, bukan tenaga karena terlatih melalu Samadhi, melainkan tenaga yang timbul karena cara hidupnya seperti kera. maka, Akauw tidak mengalami guncangan. Akauw dapat memainkan guncangan.

Akauw dapat memainkan semua jurus Bu-tek Cin-keng tanpa membahayakan dirinya. Walaupun dia tidak memiliki tenaga yang ampuh dari ilmu itu. seolah dia hanya menguasai kulitnya saja tanpa mengenal isinya. Itulah sebabnya ketika bertemu dengan Yang Cien yang memiliki dan menguasai ilmu itu seutuhnya, sekali dorong saja Thian-te Ciu-kwi hamper terjengkang!

Para pimpinan Hek I Kaipang yang delapan orang itu maklum bahwa kalau mereka tidak cepat keluar dari kota raja, pada keesokan harinya mereka akan terlambat karena tentu Koksu akan mengerahkan pasukan untuk mencari mereka. Maka, dengan bantuan Yang Cien, mereka lalu menyerbu pintu gerbang utara dan akhirnya setelah terjadi pertempuran kecil melawan para penjaga pintu gerbang yang hendak mencegah mereka lari, mereka akhirnya dapat keluar dari kota raja dengan selamat.

Cu Lokai mengajak mereka memasuki sebuah hutan yang menjadi pusat dan tempat tinggal para anggota Hek I Kaipang untuk sementara. Setelah tiba di situ, kedelapan orang pimpinan Hek I Kaipang itu lalu menjatuhkan diri berlutut ke depan kaki Yang Cien menghaturkan terima kasih.

Dengan gugup Yang Cien mengangkat mereka satu demi satu, dimintanya agar mereka bangkit dan jangan memberi hormat secara berlebihan. “yang kulakukan ini bukanlah pertolongan, melainkan suatu kewajiban. Harap cu-wi (Kalian) tidak bersikap sungkan“

Song-pangcu lalu berkata kepada Cu Lokai dan yang lain-lain. “Harap para pangcu mengenalnya. Taihiap ini adalah taihiap Yang Cien yang telah menolong dan menguburkan jenazah mendiang Kam Lokai“

“Ahhh…!” Semua orang berseru dan Cu Lokai yang menjadi ketua pusat cepat memberi hormat. “Kiranya Yang Taihiap yang telah menguburkan jenazah sute kami. Untuk kami kami merasa bersukur dan berterima kasih sekali“

Mereka duduk mengelilingi meja dan kini mereka membicarakan urusan perjuangan mereka. Yang Cien yang sudah di anggap orang sendiri itu hanya mendengarkan. Dari cerita mereka Yang Cien tahu bahwa mereka semua telah di jebak oleh Koksu dan di tangkap setelah mereka semua di kalahkan oleh Koksu atau oleh pembantunya, yaitu Thian-te Ciu-kwi yang lihai“

“Pemerintah telah mengetahui akan hubungan kita dengan para gubernur yang mengusahakan pemberontakan“ kata Cu Lokai. “Bahkan dari dalam penjara kami mendengar bahwa Gubernur Yen juga sudah di tangkap“

“Aahhhh…!” Song-lokai berseru kaget. “Kalau begitu gerakan di timur gagal?”

“Mungkin saja. Gubernur belum berhasil menyusun kekuatan akan tetapi telah di dahului, dipanggil kaisar dan setelah sampai di sini langsung di tahan. Semua ini tentu akal dari Koksu Lui yang lihai sekali itu“

“Akan tetapi, kenapa Gubernur Yen mau saja di panggil seperti seekor sapi masuk ke jagal?” Tanya Song-pangcu penasaran...