Sepasang Naga Lembah Iblis Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

JAKSA Gu terkejut juga menerima undangan Perdana menteri Ji, maka bergegas dia datang berkunjung dalam pakaian kebesarannya yang mewah. Akan tetapi ketika tiba di rumah itu, penjaga mempersilahkan langsung ke kamar tamu di sebelah kiri dan kata penjaga Perdana menteri sudah tahu akan kedatangannya.

Ketika dia memasuki ruangan tamu yang pintunya terbuka itu, dia tertegun melihat siapa yang menyambutnya. Anak muda kurang ajar yang tempo hari dijumpainya di kedai minum dan yang bersama pemuda tinggi besar yang telah menghajar dia dan para anak buahnya, pemuda ini sudah berhari-hari dia cari tak juga berhasil.

“Engkau…! Setan cilik, mau apa engkau di sini. Aku memang sedang mencarimu, kebetulan engkau berada di sini!” Jaksa itu membuat gerakan seperti hendak menerkamnya.

“Jaksa Gu, coba kau maki aku sekali lagi. Yang keras, yang lengkap begitu!”

“Setan cilik kurang ajar, jahanam keparat, anjing babi!” Jaksa itu memaki sambil menudingkan telunjuknya kepada Ji Goat yang berpakaian seperti seorang pemuda miskin dengan kepala di tutupi topi butut.

Pada saat itu, sang perdana menteri muncul dari dalam. Melihat pembesar ini, Jaksa Gu cepat membungkuk memberi hormat. “Eeh, Jaksa Gu. Kenapa engkau marah-marah? Aku mendengar engkau memaki-maki, siapa yang kau maki itu?”

“Maaf, yang mulia. Yang saya maki adalah setan cilik ini!” katanya sambil menudingkan telunjuknya kepada Ji Goat dengan mata mendelik.

“Kenapa engkau memaki dia?”

“Tempo hari, di kedai minum, dia telah menghina saya dan anak buah saya. Mungkin dia itu pemberontak, Yang Mulia. Harus di tangkap dan di hokum berat!”

“Ah, begitukah? Goat-ji, lepaskan pakaian dan topimu itu“

Ji Goat lalu melepaskan topi penutup kepalanya dan baju laki-laki seperti jubah butut itu, dan kini nampaklah ia seorang gadis cantik dengan rambut terurai dan pakaian puteri yang indah. Jaksa Gu Terbelalak, lalu dia mengerti karena dia tahu bahwa Perdana Menteri mempunyai seorang anak perempuan. Bocah setan itu ternyata puteri Perdana Menteri. Mukanya seketika menjadi pucat sekali. Dengan tubuh gemetar ia berkata gugup.

“Aahh… paduka… ahh, jadi ini adalah puteri paduka...?”

“Hemm Jaksa Gu, engkau hendak memaki lagi puteriku? Boleh, silahkan maki lagi sepuasmu“

Tiba-tiba Jaksa Gu merasa lututnya lemas dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Perdana Menteri, “Yang Mulia, hamba mohon ampun… karena tidak tahu maka hamba...“

“Engkau memaki aku sebagai setan cilik kurang ajar, jahanam keparat dan anjing babi, ya?” kini Ji Goat bertanya sambil tersenyum mengejek.

“Saya… Saya tidak berani… Mohon maaf sebanyaknya“ kata Jaksa Gu dengan muka pucat dan berulang kali dia menganggukan kepalanya.

“Ah, begitu? Jelas sekarang macam apa adanya engkau, Jaksa Gu. Dalam kedudukanmu dan tugasmu, engkau tentu bersikap seperti ini juga. Berhadapan dengan orang melarat, dengan rakyat jelata, engkau memaki-maki, bersikap kasar, mudah menjatuhkan hukuman dan melakukan penindasan semena-mena. Akan tetapi terhadap atasan dan orang kaya, engkau menunduk-nunduk dan membela, tentu karena menerima sogokan dari orang kaya, begitukah?”

“Tidak, tidak berani...“ Hanya itu yang dapat di ucapkan Jaksa Gu yang sudah tidak berdaya itu karena dia seorang telah tertangkap basah memaki-maki seenak perutnya kepada “setan cilik“ tadi.

“Kau memaki aku setan cilik, jahanam keparat dan anjing babi, hukuman apa yang harus ku balaskan kepadamu? Hayo kau pukul sendiri mukamu sebanyak sepuluh kali!” kata Ji Goat dengan marah.

Karena sudah merasa bersalah dan mengharapkan pengampunan, Jaksa itu lalu menampari mukanya sendiri dengan kedua tangan sebanyak sepuluh kali sambil memaki diri sendiri. “Anjing kau, babi kau, jahanam keparat kau…!”

“Nah, sekarang kau harus berjanji, kalau engkau masih melanjutkan sikapmu seperti itu, menindas orang kecil dan menjilat orang besar, memeras orang dan koropsi, ayah pasti akan melaporkannya kepada Sri Baginda!”

“Ampun, saya tidak berani lagi…“ Jaksa itu meratap, mukanya pucat, hanya kedua pipinya yang membengkak merah karena di tampari sendiri tadi.

“Pergilah!” Ji Goat membentak dan Jaksa yang gendut itu setengah merangkak meninggalkan ruangan itu.

Setelah dia pergi, Ji Goat tertawa terkekeh-kekeh. Ayahnya mengerutkan alisnya.“ Ji Goat, engkau agak keterlaluan. Biarpun di depan kita dia tidak berani apa-apa, akan tetapi aku khawatir dia mendendam kepadamu“

“Takut apa, ayah? Kalau baru dia dan selusin pengawalnya saja, mampu berbuat apa kepadaku? Dan juga nama besar ayah tentu membuat dia ketakutan, lebih lagi kalau aku melapor kepada suhu, tentu dia akan di hajar“

“Sudahlah, jangan membawa-bawa gurumu dalam urusan kecil itu. Jangan urusan ini di besar-besarkan karena ku rasa Jaksa Gu sudah jera dan tidak akan berani bermain gila lagi“

“Aku akan tetap mengawasi orang-orang macam dia, ayah“

“Engkau akan kekurangan tenaga dan kelelahan, anakku. Di jaman ini, hamper semua pejabat tidak jujur. Akan tetapi sudahlah, lebih baik engkau membantu usaha gurumu yang menentang gerakan mereka yang hendak memberontak“

“Justeru pemberontak itu tidak akan terjadi kalau para pejabatnya bertindak adil dan jujur, memperhatikan kepentingan rakyat, ayah“

“Aih , engkau anak kecil tahu apa. Yang penting, kita bekerja untuk Kerajaan dan kita harus melaksanakan tugas dengan baik. Kalau tidak demikian, sebaiknya jangan menjadi seorang pejabat pemerintah“

“Ayah, aku akan pergi dulu“ gadis itu mengenakan kembali pakaian dan topinya. Ayahnya menghela napas.

“Ji Goat, aku khawatir sekali, sekali waktu engkau akan mengalami malapetaka dengan ulahmu ini. Apakah engkau tidak dapat tinggal di rumah saja seperti puteri-puteri lain?”

“Dan untuk apa sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, ayah? Aku dapat menjaga diri, dan kalaupun kekuatanku tidak mampu untuk menjaga diri, masih ada nama suhu dan nama ayah yang akan melindungiku!”

Tanpa menanti jawaban ayahnya, Ji Goat sudah berlari keluar. Ayahnya hanya menggeleng kepalanya. Anak itu terlalu manja, pikirnya. Anaknya memang hanya satu itu dan dia amat menyayanginya. dan anak itu boleh dibuat kagum.

Menurut Kok-su, yang menjadi guru anaknya, Ji Goat memiliki bakat yang besar sekali sehingga Koksu sendiri amat sayang kepada murid itu. Beberapa bulan yang lalu, seorang diri saja, Ji Goat sudah berhasil membongkar pencurian-pencurian di istana kaisar yang ternyata dilakukan oleh orang dalam, beberapa pengawal istana. Dengan ilmu silatnya yang tinggi, Ji Goat berhasil menangkap lima orang pencurinya yang kesemuanya juga lihai karena mereka adalah pengawal istana.

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Semenjak saat itu, nama Ji Goat dikenal orang sebagai puteri perdana menteri yang lihai ilmu silatnya. Akan tetapi kalau dia sudahmenyamar pria, tidak ada yang mengenalnya kecuali ayahnya sendiri dan orang kepercayaan ayahnya. Bahkan para penjaga tidak mengenalnya, maka ia selalu keluar masuk rumah itu melalui sebuah jalan rahasia.

Perdana Menteri Ji Sun Cai bukan seorang koruptor. Bagi dia, tidak perlu melakukan korupsi, karena kaisar amat percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai tangan kanan sehingga kaisar amat royal dengan hadiah-hadiah untuknya. Dia mendapatkannya pembagian tanah yang cukup luas, rumah seperti istana serba lengkap. Dan Menteri Ji ini amat setia terhadap Kaisar. Dalam tugasnya ini, dia amat dekat dengan Koksu dan kedua pejabat inilah yang merupakan tenaga terpenting bagi kaisar. Semua pejabat yang lain hanya akan mengekor saja apa yang di usulkan dua pejabat ini kepada kaisar yang telah mempercayai mereka berdua.

Karena itu, hubungan antara perdana menteri Ji dan Lui Koksu amatlah akrabnya, demikian akrabnya sehingga Perdana menteri Ji mempercayakan puteri tunggalnya untuk menjadi murid Lui Koksu. Dalam segala hal menyangkut tugas kenegaraan, mereka selalu mengadakan perundingan.

Ketika itu, terdapat perasaan permusuhan antara Perdana Menteri Ji berdua Lui Koksu terhadap seorang Panglima yang bertugas di selatan. Panglima ini menjaga keamanan di selatan dan Panglima Coa ini yang menjadi benteng Negara, menghalau semua kerusuhan dan musuh-musuh dari selatan, yaitu para raja muda di selatan yang berdiri sendiri di wilayah masing-masing.

Mula-mula adalah suatu Kerajaan Sun yang cukup kuat di selatan. Menurut Perdana Menteri dan Koksu, Kerajaan Sun ini perlu di dekati dan di ajak bersahabat, karena memiliki pasukan yang kuat. Akan tetapi tidak demikian dengan sikap yang di ambil oleh Coa-ciangkun. Panglima ini tidak memandang bulu. Penguasa di selatan yang tidak mau tunduk, pasti akan di serbunya dan di tundukkan dengan kekerasan.

Akhirnya, karena bujukan Ji-Sin-Siang (Perdana Menteri Ji) dan Lui Koksu, kaisar mengutus penguasa untuk pergi ke selatan , menyerahkan surat perintah Kaisar agar Coa-ciangkun tidak melanjutkan penyerbuannya terhadap Kerajaan Sun. Hal ini amat mengecewakan hati Coa-ciangkun yang menjadi marah sekali. Pasukan Sun selalu mengganggu perbatasan, melakukan perampokan dan perkosaan, mengapa dia tidak boleh di serbu?

Dan dia mendengar akan usaha Sin-Siang dan Koksu yang hendak melakukan pendekatan kepada Kerajaan Sun. Hal ini membuatnya marah sekali. Apakah Sin-siang dan Koksu hendak menjual Negara? Timbul kecurigaannya dan dia mengira bahwa kedua pejabat tinggi itu agaknya hendak mengadakan persekutuan rahasia dengan Kerajaan Sun. Padahal, bukan itu yang dikehendaki mereka. Mereka hanya maklum akan kekuatan Kerajaan Sun dan kalau sampai Kerajaan Toba dapat bersekutu dengan mereka, tentu seluruh wilayah selatan akan dapat dikuasai dengan kerjasama dengan Kerajaan Sun.

Permusuhan atau persaingan ini secara diam-diam masih dirasakan kedua pihak. Hanya mereka tidak berani bertindak lancang, karena selain kaisar juga mempercayai Coa-ciangkun, panglima ini memiliki pasukan besar yang kuat. Karena adanya permusuhan inilah maka Koksu lalu berkunjung kepada Im Yang Ciu-kwi, karena dia hendak menarik orang-orang pandai sebanyaknya agar dia dapat menyingkirkan para musuhnya yang hanya akan menjadi penghalang bagi kemajuan kedudukannya.

Im Yang Ciu-kwi dan Akauw melakukan perjalanan seenaknya ke kota raja. Akauw merasa gembira karena dia membayangkan Bi Soan. Dia rindu sekali kepada sahabatnya ini dan mengharapkan akan dapat bertemu dengan Bi Soan di kota raja. Selama tinggal dengan Ciu-kwi, Akauw tidak pernah mengeluarkan uang, dan hanya karena kebetulan saja pada suatu hari gurunya itu melihat kantung uang berisi potongan-potongan emas mentah itu.

Suhunya memeriksa potongan emas itu dan bertanya, “Akauw, dari mana engkau mendapatkan potongan-potongan emas ini?”

Akauw masih ingat akan pesan suhengnya, maka diapun berkata, “Ini adalah pemberian mendiang suhu Yang Kok It“

Tentu saja Im Yang Ciu-kwi tidak menaruh curiga lagi dan hanya merasa heran darimana Yang Kok It mendapatkan potongan emas yang masih bercampur batu karang itu. Ketika mereka tiba di sebuah padang rumput di luar hutan yang tandus, mereka melihat sebuah kedai arak di tempat sunyi itu. Ciu-kwi yang mencium bau arak ingin mencoba arak dari kedai itu, maka dia mengajak muridnya berhenti. Ada lima orang penjaga kedai, dan karena lalu lalang di situ sedang sepi, maka tidak nampak ada tamu seorangpun kecuali mereka.

Seorang pelayan segera menghampiri mereka. “Bawa seguci arak terbaik ke sini“ kata Ciu-kwi.

“Dan sepoci air teh untukku“ kata Akauw yang biarpun sudah pernah merasakan minum arak, tetap saja dia memilih air the daripada arak.

Ketika pelayan itu mengambilkan pesanan, sepasang mata Ciu-kwi yang berpengalaman melihat gerak-gerik mereka yang mencurigakan. Oleh karena itu ketika arak dan air teh datang, dia mencegah muridnya untuk minum air tehnya dan dia menangkap lengan pelayan itu.

“Hayo kau minum dulu arak ini!”

Dia menuangkan sedikit arak dari guci ke dalam cawan kosong. Pelayan itu menjadi pucat wajahnya. Dia meronta dan menggeleng kepalanya. “Tidak aku… tidak biasa minum arak“

“Kalau begitu, engkau cicipi air teh ini!” bentak Ciu-kwi dan ketika orang itu pun menggeleng kepala, Ciu-kwi memaksa mulutnya terbuka dengan tangan kirinya dan tangan kanannya menuangkan air teh ke dalam mulutnya. Lalu dia melepaskan orang itu yang nampak terhuyung-huyung lalu roboh pingsan. Empat penjaga lain sudah mencabut golok masing-masing.

“Kenapa dia suhu?”

“Mereka orang jahat, Akauw. Minuman kita diberi racun!” kata Im-yang Ciu-kwi.

Seorang di antara empat orang itu mengeluarkan sempritan yang di tiupnya nyaring dan dari belakang kedai bermunculan belasan orang yang kesemuanya memegang golok. Im-yang Ciu-kwi duduk menghadapi meja, mengeluarkan arak dari gucinya sendiri dan sambil menghadapi guci dan cawan arak, dia berkata, “Akauw, keluarkan pedangmu dan kau lawanlah penjahat-penjahat itu!”

“Baik, suhu“ kata Akauw dan dia sudah mencabut pedang Hek-liong-kiam dari sarungnya. Begitu dia menggerakkan pedangnya, nampak gulungan sinar hitam berkelebat kian kemari dan menyambut pengeroyokan belasan orang itu.

Terdengar suara berkerontangan nyaring dan banyak golok menjadi patah ketika bertemu dengan Hek-liong-kiam. Akauw yang hendak menyenangkan gurunya, menggunakan ilmu pedang yang dia pelajari dari gurunya, memainkan pedangnya sehingga sinar pedang itu bergulung-gulung merobohkan belasan orang itu dalam waktu singkat saja. Penjahat harus di hajar, dia teringat pesan suhengnya, akan tetapi jangan mudah membunuh orang kalau tidak terpaksa sekali. Maka diapun hanya merobohkan para pengeroyoknya tanpa membunuh, hanya melukai paha atau pundak mereka saja. Dalam waktu beberapa menit saja, semua orang yang mengeroyoknya telah di robohkan, dan cepat pula pedang itu sudah memasuki sarung kembali.

“Ihh, Akauw, mengapa begitu engkau memainkan pedangmu? Coba beri aku pinjam sebentar“ kata Ciu-kwi.

Karena tidak mengerti maksud suhunya dan mengira suhunya itu hendak memperlihatkan jurus yang mungkin kurang benar dia menggerakkannya, maka dia mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada suhunya.

“Seharusnya begini engkau menggunakan pedang!” Gurunya bergerak berloncatan ke sana sini dan Akauw terbelalak, karena gurunya telah membabati pengeroyoknya tadi, di tebasnya semua leher orang-orang itu termasuk pelayan yang tadi terbius sehingga dalam waktu singkat saja semua kepala terpisah dari badannya.

“Suhu… mengapa suhu….?” Akauw berseru heran ketika gurunya mengembalikan pedang itu kepadanya. Memang gurunya hebat. Memenggal belasan batang leher itu pedangnya sama sekali tidak ternoda darah! Hal ini hanya dapat terjadi saking kuat dan cepatnya pedangnya itu membabati leher belasan orang itu.

“Mengapa apa? Mereka menghendaki kematian kita, kenapa kita tidak mendahului saja mereka ? Hayo kita pergi dari sini!”

“Tapi, mereka itu, suhu...“ Akauw teringat akan pelajaran dari kakek Yang Kok It bahwa mayat manusia haruslah di kubur sebagaimana mestinya.

“Mereka sudah mampus, tidak perlu dipikirkan lagi. Mereka hendak mencelakakan kita, berarti mereka itu musuh yang pantas di bunuh, hayolah, Akauw!” bentak Ciu-kwi agak kecewa melihat sikap muridnya yang di anggapnya lemah itu. Terpaksa Akauw mengikuti gurunya dan beberapa kali dia menoleh memandang kearah belasan mayat manusia yang berserakan itu.

Sejak saat itu Akauw mulai menaruh hati syak wasangka terhadap gurunya. Tak dapat dia melupakan betapa gurunya itu memenggal kepala belasan orang yang sudah tidak berdaya itu secara kejam sekali. Padahal menurut ajaran Yang Kok It dan juga suhengnya, seorang gagah tidak akan membunuh orang yang sudah tidak berdaya dan tidak dapat melawan. Dan lebih lagi, gurunya meninggalkan belasan mayat itu begitu saja tanpa mau menguburkannya.

Ketika mereka memasuki kota raja Tiang-an, tiba di dekat pasar dimana terdapat banyak orang berlalu lalang, tiba-tiba Akauw melihat seorang pemuda bertopi butut.

“Bi Soan...!” Dia memanggil dan mengejar, akan tetapi Bi Soan menyelinap di antara orang banyak dan memasuki pasar. Akauw mencari beberapa lamanya, akan tetapi dia tidak melihat lagi Bi Soan. Dia tidak mungkin salah lihat. Jelas yang dilihatnya tadi Bi Soan, pemuda remaja yang di rindukannya itu. Dia merasa menyesal sekali mengapa Bi Soan tidak mau menemuinya. Padahal dahulu pemuda remaja itu amat baik terhadap dirinya.

“Akauw, engkau mencari siapakah?” gurunya menegur setelah dapat mencari pemuda itu di dalam pasar.

“Suhu, aku mencari seorang kenalan yang tadi ku lihat berada di sini. Akan tetapi dia menghilang di antara orang banyak“

“Kenalan? Siapa dia?” Tanya gurunya heran dan curiga.

Tentu saja Akauw tidak ingin menceritakan pengalamannya bentrok dengan seorang jaksa, maka dia menjawab singkat. “Dahulu aku pernah bertemu dan berkenalan dengannya dalam perjalananku, akan tetapi perkenalan itu hanya sepintas saja. Mungkin dia sudah lupa kepadaku, suhu“

“Sudahlah, jangan pedulikan sembarang orang. Kita akan menjadi tamu Koksu dan bahkan akan mendapatkan jabatan tinggi yang terhormat, jangan bergaul dengan segala macam orang. Mari kita lanjutkan perjalanan kita“

Akauw mengikuti suhunya, akan tetapi dia masih memandang ke sana sini mencari-cari dan hatinya merasa kecewa sekali . Bi Soan merupakan orang yang selalu teringat olehnya, kenapa sekarang tidak lagi mau mengenalnya? Apa barangkali Bi Soan sudah lupa kepadanya? Dia sungguh kecewa karena tadinya dia mengira bahwa Bi Soan amat baik kepadanya, seperti halnya suhengnya.

Sangat mudah bagi Thian-te Ciu-kwi untuk mencari tahu dimana rumah Koksu Lui. Semua orang juga mengetahui dimana istana tempat tinggal penasehat Kaisar itu. Rumah besar seperti istana itu di jaga oleh belasan orang prajurit yang menghadang guru dan murid itu.

“Berhenti, siapa kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?” bentak perwira jaga dengan keren.

Ciu Kwi tertawa dan berkata, “Heii, perwira, jangan bersikap kasar terhadap kami. Kalau Koksu mengetahui, pangkatmu tentu akan di turunkan. Cepat laporkan kepada Koksu bahwa Thian-te Ciu-kwi dan muridku sudah datang untuk bertemu dengan dia“

Melihat lagak dan mendengar ucapan kakek itu, si perwira menjadi ragu dan gentar juga. Dia tahu bahwa Koksu adalah bekas seorang datuk persilatan dan tentu mengenal segala macam orang aneh dari dunia kangouw. Kalau dia bersikap kasar dan kemudian ternyata bahwa mereka ini memang sahabat baik Koksu, tentu setidaknya dia akan mendapat teguran dari atasannya. Akan tetapi untuk bersikap hormat kepada kakek dan pemuda yang pakaiannya seperti petanimiskin ini dia merasa enggan juga.

“Baiklah, harap kalian menanti si sini, aku hendak melapor ke dalam lebih dulu“ katanya dan perwira itu sendiri lalu melapor ke dalam. Benar saja seperti di khawatirkan perwira itu, begitu mendengar di sebutnya nama Thian-te Ciu-kwi, Kok-su Lui menjadi gembira dan wajahnya berseri-seri.

“Cepat persilahkan mereka duduk di ruangan tamu, dan bersikaplah hormat kepada mereka!”

Tentu saja perwira itu menjadi takut dan begitu berhadapan dengan Ciu-kwi dan Akauw, dia cepat memberi hormat dengan sikap merendah. “harap lo-cianpwe berdua suka memberi maaf atas sambutan kami yang kurang hormat karena tidak mengenal lo-cianpwe. Lui-kosu mempersilahkan lo-cianpwe berdua menanti di kamar tamu. Silahkan!”

Sambil tersenyum dan mengangkat dadanya yang kerempeng, Ciu-kwi mengikuti perwira itu bersama Akauw yang memandang bangunan seperti istana itu dengan penuh kagum. Belum pernah dia memasuki rumah semewah dan sebesar ini. Mereka duduk di kursi-kursi berukir yang berada di ruangan tamu itu dan perwira itu dengan hormat mempersilahkan mereka menunggu, lalu dia memberi hormat dan keluar dengan hati lega.

Taklama mereka duduk menanti, Koksu itu memasuki ruangan tamu dari dalam, mengenakan pakaian yang mewah gemerlapan. “Ha, Ciu-kwi, engkau datang juga!” tegurnya girang.

“Tentu saja, Giam-ong. Sekali berjanji kepadamu, tentu ku penuhi. Hanya tinggal menagih janjimu saja kepadaku untuk memberi kedudukan kepada aku dan muridku“

“Kebetulan aku memang hendak menghadap Sri Baginda Kaisar, mari kalian ikut aku menghadap dan kuperkenalkan kepada Sri Baginda. kami hendak membicarakan sikap Gubernur Gak yang agaknya condong melakukan hubungan dengan Coa-ciangkun, yang ku maksudkan dengan kami adalah aku dan Ji-taijin. Menteri Ji Sun Cai mendengar dari penyelidikan bahwa hubungan antara Gubernur Gak di perbatasan selatan amat dekat dengan Coa-ciangkun, orang keras kepala yang agaknya akan menjadi penghalang besar bagi kemajuan kami. Marilah sebelum ku ajak singgah dikediaman Perdana Menteri Ji Sun Cai untuk kuperkenalkan. Engkau harus tahu, Ciu-kwi, bahwa Perdana Menteri adalah rekan kerjaku yang baik dan di antara kami ada kerja sama yang cocok sekali...“

“Baiklah, Giam-ong. Aku menurut saja apa katamu, yang penting kami berdua memperoleh kedudukan yang baik di kota raja ini“

Mereka bertiga lalu memasuki sebuah kereta yang sudah dipersiapkan oleh para penjaga di luar, dan berangkatlah mereka menuju ke kediaman Perdana Menteri, di kawal oleh beberapa orang yang mengiringkan kereta. Benar saja, ketika tiba di gedung Perdana Menteri yang juga amat indah bagi Akauw, Lui-Koksu di terima dengan hormat oleh para penjaga dan langsung di antar ke kamar tamu.

Tak lama mereka duduk, muncullah Perdana Menteri Ji Sun Cai bersama seorang gadis yang cantik jelita. Akauw terbelalak memandang gadis itu, bukan saja karena cantik jelitanya, melainkan karena dia merasa sudah sering melihat wajah itu dalam mimpi! Setiap kali dia membayangkan wajah bidadari seperti itulah bentuk wajahnya! Ketika gadis itu memandang kepadanya, Akauw tersipu dan cepat menundukkan mukanya karena menurut ajaran yang diterima dari suhengnya, sikap seperti itu, memandang langsung wajah seorang gadis yang tidak dikenalnya, apalagi dengan pandangan kagum, adalah sikap yang tidak sopan!

Lui-Koksu Toat-beng Giam-ong segera memberi hormat kepada Perdana Menteri dan puterinya. “Maafkan kalau kami mengganggu Ji-taijin dan Ji-siocia“

“Ah, sama sekali tidak, suhu“ kata gadis itu yang bukan lain adalah Ji Goat. “Akan tetapi suhu datang bersama… siapakah mereka ini, suhu?”

“Koksu, siapakah kedua orang ini yang kau ajak datang berkunjung?” Perdana Menteri Ji juga bertanya.

“Taijin, inilah yang pernah saya bicarakan tempo hari. Ini adalah Thian-te Ciu-kwi“

“Ah, datuk kang-ouw itu? Siapakah nama lo-cianpwe yang mulia?” kata pula Perdana Menteri Ji dengan sikap cukup hormat. Agaknya Perdana Menteri ini dapat menghargai orang-orang pandai di dunia kang-ouw.

“He-he-he, Yang Mulia Perdana Menteri Ji, saya sendiri sudah lupa siapa nama saya pemberian orang tua. Harap sebut saja saya Ciu-kwi (Setan Arak), karena itu sudah menjadi nama saya, he-he-he“

“Begitukah? Dan siapakah orang muda yang gagah ini, Ciu-kwi?” Tanya Perdana Menteri itu dengan ramah.

“Akauw, hayo perkenalkan dirimu“

“Tai-jin, nama saya Cian Kauw Cu, biasa di sebut Akauw“ berkata demikian die mengerling kea rah wajah gadis jelita itu yang kelihatan tersenyum manis.

“Dia murid saya, taijin...“ kata Ciu-kwi dengan bangga.

“Aih, dia muridmu, Ciu-kwi?” Ji Goat berseru. Gadis ini tidak ragu lagi menyebut Ciu-kwi begitu saja, sesuai dengan perkenalan diri Thian-te Ciu-kwi kepada ayahnya tadi. “Aku sudah pernah mendengar namamu di puji-puji suhu, akan tetapi belum pernah mendengar engkau mempunyai seorang murid. Menilai kelihaian gurunya dapat di lihat dari kepandaian muridnya, maka aku ingin sekali bertanding ilmu silat dengan Akauw ini!”

“Hsss, Ji Goat, jangan kurang ajar!” tegur ayahnya.

“Ha-ha-ha, apa salahnya, taijin? Ji Sio-cia adalah murid saya dan Akauw ini adalah murid Ciu-kwi. Kami berdua adalah sahabat sejak lama dan saya sudah pula menguji ilmunya. Apa salahnya kalau Ji Siocia menguji ilmu murid Ciu-kwi? Mari kita sama menonton!”

Karena ruangan tamu itu cukup luas, maka Ji Goat yang ingin sekali menguji kepandaian Akauw sudah memasang kuda-kuda menghadapi pemuda tinggi besar itu dan berkata, “Akauw, aku sudah siap, keluarkan ilmumu agar ayah dan aku dapat melihatnya“

“Akauw, kita hendak mencari pekerjaan di kota raja, maka perlihatkanlah kemampuanmu...“ kata pula Thian-te Ciu-kwi kepada muridnya.

Sebetulnya Akauw merasa enggan sekali untuk bertanding melawan gadis itu. Gadis yang demikian cantiknya lemah gemulai sehingga tertiup angina keras saja agaknya akan roboh, kulitnya begitu halus, bagaimana dia dapat memukul seorang gadis seperti itu? Dia meragu, dan berdiri biasa saja, tidak memasang kuda-kuda seperti nona itu...

Sepasang Naga Lembah Iblis Jilid 06

JAKSA Gu terkejut juga menerima undangan Perdana menteri Ji, maka bergegas dia datang berkunjung dalam pakaian kebesarannya yang mewah. Akan tetapi ketika tiba di rumah itu, penjaga mempersilahkan langsung ke kamar tamu di sebelah kiri dan kata penjaga Perdana menteri sudah tahu akan kedatangannya.

Ketika dia memasuki ruangan tamu yang pintunya terbuka itu, dia tertegun melihat siapa yang menyambutnya. Anak muda kurang ajar yang tempo hari dijumpainya di kedai minum dan yang bersama pemuda tinggi besar yang telah menghajar dia dan para anak buahnya, pemuda ini sudah berhari-hari dia cari tak juga berhasil.

“Engkau…! Setan cilik, mau apa engkau di sini. Aku memang sedang mencarimu, kebetulan engkau berada di sini!” Jaksa itu membuat gerakan seperti hendak menerkamnya.

“Jaksa Gu, coba kau maki aku sekali lagi. Yang keras, yang lengkap begitu!”

“Setan cilik kurang ajar, jahanam keparat, anjing babi!” Jaksa itu memaki sambil menudingkan telunjuknya kepada Ji Goat yang berpakaian seperti seorang pemuda miskin dengan kepala di tutupi topi butut.

Pada saat itu, sang perdana menteri muncul dari dalam. Melihat pembesar ini, Jaksa Gu cepat membungkuk memberi hormat. “Eeh, Jaksa Gu. Kenapa engkau marah-marah? Aku mendengar engkau memaki-maki, siapa yang kau maki itu?”

“Maaf, yang mulia. Yang saya maki adalah setan cilik ini!” katanya sambil menudingkan telunjuknya kepada Ji Goat dengan mata mendelik.

“Kenapa engkau memaki dia?”

“Tempo hari, di kedai minum, dia telah menghina saya dan anak buah saya. Mungkin dia itu pemberontak, Yang Mulia. Harus di tangkap dan di hokum berat!”

“Ah, begitukah? Goat-ji, lepaskan pakaian dan topimu itu“

Ji Goat lalu melepaskan topi penutup kepalanya dan baju laki-laki seperti jubah butut itu, dan kini nampaklah ia seorang gadis cantik dengan rambut terurai dan pakaian puteri yang indah. Jaksa Gu Terbelalak, lalu dia mengerti karena dia tahu bahwa Perdana Menteri mempunyai seorang anak perempuan. Bocah setan itu ternyata puteri Perdana Menteri. Mukanya seketika menjadi pucat sekali. Dengan tubuh gemetar ia berkata gugup.

“Aahh… paduka… ahh, jadi ini adalah puteri paduka...?”

“Hemm Jaksa Gu, engkau hendak memaki lagi puteriku? Boleh, silahkan maki lagi sepuasmu“

Tiba-tiba Jaksa Gu merasa lututnya lemas dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Perdana Menteri, “Yang Mulia, hamba mohon ampun… karena tidak tahu maka hamba...“

“Engkau memaki aku sebagai setan cilik kurang ajar, jahanam keparat dan anjing babi, ya?” kini Ji Goat bertanya sambil tersenyum mengejek.

“Saya… Saya tidak berani… Mohon maaf sebanyaknya“ kata Jaksa Gu dengan muka pucat dan berulang kali dia menganggukan kepalanya.

“Ah, begitu? Jelas sekarang macam apa adanya engkau, Jaksa Gu. Dalam kedudukanmu dan tugasmu, engkau tentu bersikap seperti ini juga. Berhadapan dengan orang melarat, dengan rakyat jelata, engkau memaki-maki, bersikap kasar, mudah menjatuhkan hukuman dan melakukan penindasan semena-mena. Akan tetapi terhadap atasan dan orang kaya, engkau menunduk-nunduk dan membela, tentu karena menerima sogokan dari orang kaya, begitukah?”

“Tidak, tidak berani...“ Hanya itu yang dapat di ucapkan Jaksa Gu yang sudah tidak berdaya itu karena dia seorang telah tertangkap basah memaki-maki seenak perutnya kepada “setan cilik“ tadi.

“Kau memaki aku setan cilik, jahanam keparat dan anjing babi, hukuman apa yang harus ku balaskan kepadamu? Hayo kau pukul sendiri mukamu sebanyak sepuluh kali!” kata Ji Goat dengan marah.

Karena sudah merasa bersalah dan mengharapkan pengampunan, Jaksa itu lalu menampari mukanya sendiri dengan kedua tangan sebanyak sepuluh kali sambil memaki diri sendiri. “Anjing kau, babi kau, jahanam keparat kau…!”

“Nah, sekarang kau harus berjanji, kalau engkau masih melanjutkan sikapmu seperti itu, menindas orang kecil dan menjilat orang besar, memeras orang dan koropsi, ayah pasti akan melaporkannya kepada Sri Baginda!”

“Ampun, saya tidak berani lagi…“ Jaksa itu meratap, mukanya pucat, hanya kedua pipinya yang membengkak merah karena di tampari sendiri tadi.

“Pergilah!” Ji Goat membentak dan Jaksa yang gendut itu setengah merangkak meninggalkan ruangan itu.

Setelah dia pergi, Ji Goat tertawa terkekeh-kekeh. Ayahnya mengerutkan alisnya.“ Ji Goat, engkau agak keterlaluan. Biarpun di depan kita dia tidak berani apa-apa, akan tetapi aku khawatir dia mendendam kepadamu“

“Takut apa, ayah? Kalau baru dia dan selusin pengawalnya saja, mampu berbuat apa kepadaku? Dan juga nama besar ayah tentu membuat dia ketakutan, lebih lagi kalau aku melapor kepada suhu, tentu dia akan di hajar“

“Sudahlah, jangan membawa-bawa gurumu dalam urusan kecil itu. Jangan urusan ini di besar-besarkan karena ku rasa Jaksa Gu sudah jera dan tidak akan berani bermain gila lagi“

“Aku akan tetap mengawasi orang-orang macam dia, ayah“

“Engkau akan kekurangan tenaga dan kelelahan, anakku. Di jaman ini, hamper semua pejabat tidak jujur. Akan tetapi sudahlah, lebih baik engkau membantu usaha gurumu yang menentang gerakan mereka yang hendak memberontak“

“Justeru pemberontak itu tidak akan terjadi kalau para pejabatnya bertindak adil dan jujur, memperhatikan kepentingan rakyat, ayah“

“Aih , engkau anak kecil tahu apa. Yang penting, kita bekerja untuk Kerajaan dan kita harus melaksanakan tugas dengan baik. Kalau tidak demikian, sebaiknya jangan menjadi seorang pejabat pemerintah“

“Ayah, aku akan pergi dulu“ gadis itu mengenakan kembali pakaian dan topinya. Ayahnya menghela napas.

“Ji Goat, aku khawatir sekali, sekali waktu engkau akan mengalami malapetaka dengan ulahmu ini. Apakah engkau tidak dapat tinggal di rumah saja seperti puteri-puteri lain?”

“Dan untuk apa sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, ayah? Aku dapat menjaga diri, dan kalaupun kekuatanku tidak mampu untuk menjaga diri, masih ada nama suhu dan nama ayah yang akan melindungiku!”

Tanpa menanti jawaban ayahnya, Ji Goat sudah berlari keluar. Ayahnya hanya menggeleng kepalanya. Anak itu terlalu manja, pikirnya. Anaknya memang hanya satu itu dan dia amat menyayanginya. dan anak itu boleh dibuat kagum.

Menurut Kok-su, yang menjadi guru anaknya, Ji Goat memiliki bakat yang besar sekali sehingga Koksu sendiri amat sayang kepada murid itu. Beberapa bulan yang lalu, seorang diri saja, Ji Goat sudah berhasil membongkar pencurian-pencurian di istana kaisar yang ternyata dilakukan oleh orang dalam, beberapa pengawal istana. Dengan ilmu silatnya yang tinggi, Ji Goat berhasil menangkap lima orang pencurinya yang kesemuanya juga lihai karena mereka adalah pengawal istana.

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Semenjak saat itu, nama Ji Goat dikenal orang sebagai puteri perdana menteri yang lihai ilmu silatnya. Akan tetapi kalau dia sudahmenyamar pria, tidak ada yang mengenalnya kecuali ayahnya sendiri dan orang kepercayaan ayahnya. Bahkan para penjaga tidak mengenalnya, maka ia selalu keluar masuk rumah itu melalui sebuah jalan rahasia.

Perdana Menteri Ji Sun Cai bukan seorang koruptor. Bagi dia, tidak perlu melakukan korupsi, karena kaisar amat percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai tangan kanan sehingga kaisar amat royal dengan hadiah-hadiah untuknya. Dia mendapatkannya pembagian tanah yang cukup luas, rumah seperti istana serba lengkap. Dan Menteri Ji ini amat setia terhadap Kaisar. Dalam tugasnya ini, dia amat dekat dengan Koksu dan kedua pejabat inilah yang merupakan tenaga terpenting bagi kaisar. Semua pejabat yang lain hanya akan mengekor saja apa yang di usulkan dua pejabat ini kepada kaisar yang telah mempercayai mereka berdua.

Karena itu, hubungan antara perdana menteri Ji dan Lui Koksu amatlah akrabnya, demikian akrabnya sehingga Perdana menteri Ji mempercayakan puteri tunggalnya untuk menjadi murid Lui Koksu. Dalam segala hal menyangkut tugas kenegaraan, mereka selalu mengadakan perundingan.

Ketika itu, terdapat perasaan permusuhan antara Perdana Menteri Ji berdua Lui Koksu terhadap seorang Panglima yang bertugas di selatan. Panglima ini menjaga keamanan di selatan dan Panglima Coa ini yang menjadi benteng Negara, menghalau semua kerusuhan dan musuh-musuh dari selatan, yaitu para raja muda di selatan yang berdiri sendiri di wilayah masing-masing.

Mula-mula adalah suatu Kerajaan Sun yang cukup kuat di selatan. Menurut Perdana Menteri dan Koksu, Kerajaan Sun ini perlu di dekati dan di ajak bersahabat, karena memiliki pasukan yang kuat. Akan tetapi tidak demikian dengan sikap yang di ambil oleh Coa-ciangkun. Panglima ini tidak memandang bulu. Penguasa di selatan yang tidak mau tunduk, pasti akan di serbunya dan di tundukkan dengan kekerasan.

Akhirnya, karena bujukan Ji-Sin-Siang (Perdana Menteri Ji) dan Lui Koksu, kaisar mengutus penguasa untuk pergi ke selatan , menyerahkan surat perintah Kaisar agar Coa-ciangkun tidak melanjutkan penyerbuannya terhadap Kerajaan Sun. Hal ini amat mengecewakan hati Coa-ciangkun yang menjadi marah sekali. Pasukan Sun selalu mengganggu perbatasan, melakukan perampokan dan perkosaan, mengapa dia tidak boleh di serbu?

Dan dia mendengar akan usaha Sin-Siang dan Koksu yang hendak melakukan pendekatan kepada Kerajaan Sun. Hal ini membuatnya marah sekali. Apakah Sin-siang dan Koksu hendak menjual Negara? Timbul kecurigaannya dan dia mengira bahwa kedua pejabat tinggi itu agaknya hendak mengadakan persekutuan rahasia dengan Kerajaan Sun. Padahal, bukan itu yang dikehendaki mereka. Mereka hanya maklum akan kekuatan Kerajaan Sun dan kalau sampai Kerajaan Toba dapat bersekutu dengan mereka, tentu seluruh wilayah selatan akan dapat dikuasai dengan kerjasama dengan Kerajaan Sun.

Permusuhan atau persaingan ini secara diam-diam masih dirasakan kedua pihak. Hanya mereka tidak berani bertindak lancang, karena selain kaisar juga mempercayai Coa-ciangkun, panglima ini memiliki pasukan besar yang kuat. Karena adanya permusuhan inilah maka Koksu lalu berkunjung kepada Im Yang Ciu-kwi, karena dia hendak menarik orang-orang pandai sebanyaknya agar dia dapat menyingkirkan para musuhnya yang hanya akan menjadi penghalang bagi kemajuan kedudukannya.

Im Yang Ciu-kwi dan Akauw melakukan perjalanan seenaknya ke kota raja. Akauw merasa gembira karena dia membayangkan Bi Soan. Dia rindu sekali kepada sahabatnya ini dan mengharapkan akan dapat bertemu dengan Bi Soan di kota raja. Selama tinggal dengan Ciu-kwi, Akauw tidak pernah mengeluarkan uang, dan hanya karena kebetulan saja pada suatu hari gurunya itu melihat kantung uang berisi potongan-potongan emas mentah itu.

Suhunya memeriksa potongan emas itu dan bertanya, “Akauw, dari mana engkau mendapatkan potongan-potongan emas ini?”

Akauw masih ingat akan pesan suhengnya, maka diapun berkata, “Ini adalah pemberian mendiang suhu Yang Kok It“

Tentu saja Im Yang Ciu-kwi tidak menaruh curiga lagi dan hanya merasa heran darimana Yang Kok It mendapatkan potongan emas yang masih bercampur batu karang itu. Ketika mereka tiba di sebuah padang rumput di luar hutan yang tandus, mereka melihat sebuah kedai arak di tempat sunyi itu. Ciu-kwi yang mencium bau arak ingin mencoba arak dari kedai itu, maka dia mengajak muridnya berhenti. Ada lima orang penjaga kedai, dan karena lalu lalang di situ sedang sepi, maka tidak nampak ada tamu seorangpun kecuali mereka.

Seorang pelayan segera menghampiri mereka. “Bawa seguci arak terbaik ke sini“ kata Ciu-kwi.

“Dan sepoci air teh untukku“ kata Akauw yang biarpun sudah pernah merasakan minum arak, tetap saja dia memilih air the daripada arak.

Ketika pelayan itu mengambilkan pesanan, sepasang mata Ciu-kwi yang berpengalaman melihat gerak-gerik mereka yang mencurigakan. Oleh karena itu ketika arak dan air teh datang, dia mencegah muridnya untuk minum air tehnya dan dia menangkap lengan pelayan itu.

“Hayo kau minum dulu arak ini!”

Dia menuangkan sedikit arak dari guci ke dalam cawan kosong. Pelayan itu menjadi pucat wajahnya. Dia meronta dan menggeleng kepalanya. “Tidak aku… tidak biasa minum arak“

“Kalau begitu, engkau cicipi air teh ini!” bentak Ciu-kwi dan ketika orang itu pun menggeleng kepala, Ciu-kwi memaksa mulutnya terbuka dengan tangan kirinya dan tangan kanannya menuangkan air teh ke dalam mulutnya. Lalu dia melepaskan orang itu yang nampak terhuyung-huyung lalu roboh pingsan. Empat penjaga lain sudah mencabut golok masing-masing.

“Kenapa dia suhu?”

“Mereka orang jahat, Akauw. Minuman kita diberi racun!” kata Im-yang Ciu-kwi.

Seorang di antara empat orang itu mengeluarkan sempritan yang di tiupnya nyaring dan dari belakang kedai bermunculan belasan orang yang kesemuanya memegang golok. Im-yang Ciu-kwi duduk menghadapi meja, mengeluarkan arak dari gucinya sendiri dan sambil menghadapi guci dan cawan arak, dia berkata, “Akauw, keluarkan pedangmu dan kau lawanlah penjahat-penjahat itu!”

“Baik, suhu“ kata Akauw dan dia sudah mencabut pedang Hek-liong-kiam dari sarungnya. Begitu dia menggerakkan pedangnya, nampak gulungan sinar hitam berkelebat kian kemari dan menyambut pengeroyokan belasan orang itu.

Terdengar suara berkerontangan nyaring dan banyak golok menjadi patah ketika bertemu dengan Hek-liong-kiam. Akauw yang hendak menyenangkan gurunya, menggunakan ilmu pedang yang dia pelajari dari gurunya, memainkan pedangnya sehingga sinar pedang itu bergulung-gulung merobohkan belasan orang itu dalam waktu singkat saja. Penjahat harus di hajar, dia teringat pesan suhengnya, akan tetapi jangan mudah membunuh orang kalau tidak terpaksa sekali. Maka diapun hanya merobohkan para pengeroyoknya tanpa membunuh, hanya melukai paha atau pundak mereka saja. Dalam waktu beberapa menit saja, semua orang yang mengeroyoknya telah di robohkan, dan cepat pula pedang itu sudah memasuki sarung kembali.

“Ihh, Akauw, mengapa begitu engkau memainkan pedangmu? Coba beri aku pinjam sebentar“ kata Ciu-kwi.

Karena tidak mengerti maksud suhunya dan mengira suhunya itu hendak memperlihatkan jurus yang mungkin kurang benar dia menggerakkannya, maka dia mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada suhunya.

“Seharusnya begini engkau menggunakan pedang!” Gurunya bergerak berloncatan ke sana sini dan Akauw terbelalak, karena gurunya telah membabati pengeroyoknya tadi, di tebasnya semua leher orang-orang itu termasuk pelayan yang tadi terbius sehingga dalam waktu singkat saja semua kepala terpisah dari badannya.

“Suhu… mengapa suhu….?” Akauw berseru heran ketika gurunya mengembalikan pedang itu kepadanya. Memang gurunya hebat. Memenggal belasan batang leher itu pedangnya sama sekali tidak ternoda darah! Hal ini hanya dapat terjadi saking kuat dan cepatnya pedangnya itu membabati leher belasan orang itu.

“Mengapa apa? Mereka menghendaki kematian kita, kenapa kita tidak mendahului saja mereka ? Hayo kita pergi dari sini!”

“Tapi, mereka itu, suhu...“ Akauw teringat akan pelajaran dari kakek Yang Kok It bahwa mayat manusia haruslah di kubur sebagaimana mestinya.

“Mereka sudah mampus, tidak perlu dipikirkan lagi. Mereka hendak mencelakakan kita, berarti mereka itu musuh yang pantas di bunuh, hayolah, Akauw!” bentak Ciu-kwi agak kecewa melihat sikap muridnya yang di anggapnya lemah itu. Terpaksa Akauw mengikuti gurunya dan beberapa kali dia menoleh memandang kearah belasan mayat manusia yang berserakan itu.

Sejak saat itu Akauw mulai menaruh hati syak wasangka terhadap gurunya. Tak dapat dia melupakan betapa gurunya itu memenggal kepala belasan orang yang sudah tidak berdaya itu secara kejam sekali. Padahal menurut ajaran Yang Kok It dan juga suhengnya, seorang gagah tidak akan membunuh orang yang sudah tidak berdaya dan tidak dapat melawan. Dan lebih lagi, gurunya meninggalkan belasan mayat itu begitu saja tanpa mau menguburkannya.

Ketika mereka memasuki kota raja Tiang-an, tiba di dekat pasar dimana terdapat banyak orang berlalu lalang, tiba-tiba Akauw melihat seorang pemuda bertopi butut.

“Bi Soan...!” Dia memanggil dan mengejar, akan tetapi Bi Soan menyelinap di antara orang banyak dan memasuki pasar. Akauw mencari beberapa lamanya, akan tetapi dia tidak melihat lagi Bi Soan. Dia tidak mungkin salah lihat. Jelas yang dilihatnya tadi Bi Soan, pemuda remaja yang di rindukannya itu. Dia merasa menyesal sekali mengapa Bi Soan tidak mau menemuinya. Padahal dahulu pemuda remaja itu amat baik terhadap dirinya.

“Akauw, engkau mencari siapakah?” gurunya menegur setelah dapat mencari pemuda itu di dalam pasar.

“Suhu, aku mencari seorang kenalan yang tadi ku lihat berada di sini. Akan tetapi dia menghilang di antara orang banyak“

“Kenalan? Siapa dia?” Tanya gurunya heran dan curiga.

Tentu saja Akauw tidak ingin menceritakan pengalamannya bentrok dengan seorang jaksa, maka dia menjawab singkat. “Dahulu aku pernah bertemu dan berkenalan dengannya dalam perjalananku, akan tetapi perkenalan itu hanya sepintas saja. Mungkin dia sudah lupa kepadaku, suhu“

“Sudahlah, jangan pedulikan sembarang orang. Kita akan menjadi tamu Koksu dan bahkan akan mendapatkan jabatan tinggi yang terhormat, jangan bergaul dengan segala macam orang. Mari kita lanjutkan perjalanan kita“

Akauw mengikuti suhunya, akan tetapi dia masih memandang ke sana sini mencari-cari dan hatinya merasa kecewa sekali . Bi Soan merupakan orang yang selalu teringat olehnya, kenapa sekarang tidak lagi mau mengenalnya? Apa barangkali Bi Soan sudah lupa kepadanya? Dia sungguh kecewa karena tadinya dia mengira bahwa Bi Soan amat baik kepadanya, seperti halnya suhengnya.

Sangat mudah bagi Thian-te Ciu-kwi untuk mencari tahu dimana rumah Koksu Lui. Semua orang juga mengetahui dimana istana tempat tinggal penasehat Kaisar itu. Rumah besar seperti istana itu di jaga oleh belasan orang prajurit yang menghadang guru dan murid itu.

“Berhenti, siapa kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?” bentak perwira jaga dengan keren.

Ciu Kwi tertawa dan berkata, “Heii, perwira, jangan bersikap kasar terhadap kami. Kalau Koksu mengetahui, pangkatmu tentu akan di turunkan. Cepat laporkan kepada Koksu bahwa Thian-te Ciu-kwi dan muridku sudah datang untuk bertemu dengan dia“

Melihat lagak dan mendengar ucapan kakek itu, si perwira menjadi ragu dan gentar juga. Dia tahu bahwa Koksu adalah bekas seorang datuk persilatan dan tentu mengenal segala macam orang aneh dari dunia kangouw. Kalau dia bersikap kasar dan kemudian ternyata bahwa mereka ini memang sahabat baik Koksu, tentu setidaknya dia akan mendapat teguran dari atasannya. Akan tetapi untuk bersikap hormat kepada kakek dan pemuda yang pakaiannya seperti petanimiskin ini dia merasa enggan juga.

“Baiklah, harap kalian menanti si sini, aku hendak melapor ke dalam lebih dulu“ katanya dan perwira itu sendiri lalu melapor ke dalam. Benar saja seperti di khawatirkan perwira itu, begitu mendengar di sebutnya nama Thian-te Ciu-kwi, Kok-su Lui menjadi gembira dan wajahnya berseri-seri.

“Cepat persilahkan mereka duduk di ruangan tamu, dan bersikaplah hormat kepada mereka!”

Tentu saja perwira itu menjadi takut dan begitu berhadapan dengan Ciu-kwi dan Akauw, dia cepat memberi hormat dengan sikap merendah. “harap lo-cianpwe berdua suka memberi maaf atas sambutan kami yang kurang hormat karena tidak mengenal lo-cianpwe. Lui-kosu mempersilahkan lo-cianpwe berdua menanti di kamar tamu. Silahkan!”

Sambil tersenyum dan mengangkat dadanya yang kerempeng, Ciu-kwi mengikuti perwira itu bersama Akauw yang memandang bangunan seperti istana itu dengan penuh kagum. Belum pernah dia memasuki rumah semewah dan sebesar ini. Mereka duduk di kursi-kursi berukir yang berada di ruangan tamu itu dan perwira itu dengan hormat mempersilahkan mereka menunggu, lalu dia memberi hormat dan keluar dengan hati lega.

Taklama mereka duduk menanti, Koksu itu memasuki ruangan tamu dari dalam, mengenakan pakaian yang mewah gemerlapan. “Ha, Ciu-kwi, engkau datang juga!” tegurnya girang.

“Tentu saja, Giam-ong. Sekali berjanji kepadamu, tentu ku penuhi. Hanya tinggal menagih janjimu saja kepadaku untuk memberi kedudukan kepada aku dan muridku“

“Kebetulan aku memang hendak menghadap Sri Baginda Kaisar, mari kalian ikut aku menghadap dan kuperkenalkan kepada Sri Baginda. kami hendak membicarakan sikap Gubernur Gak yang agaknya condong melakukan hubungan dengan Coa-ciangkun, yang ku maksudkan dengan kami adalah aku dan Ji-taijin. Menteri Ji Sun Cai mendengar dari penyelidikan bahwa hubungan antara Gubernur Gak di perbatasan selatan amat dekat dengan Coa-ciangkun, orang keras kepala yang agaknya akan menjadi penghalang besar bagi kemajuan kami. Marilah sebelum ku ajak singgah dikediaman Perdana Menteri Ji Sun Cai untuk kuperkenalkan. Engkau harus tahu, Ciu-kwi, bahwa Perdana Menteri adalah rekan kerjaku yang baik dan di antara kami ada kerja sama yang cocok sekali...“

“Baiklah, Giam-ong. Aku menurut saja apa katamu, yang penting kami berdua memperoleh kedudukan yang baik di kota raja ini“

Mereka bertiga lalu memasuki sebuah kereta yang sudah dipersiapkan oleh para penjaga di luar, dan berangkatlah mereka menuju ke kediaman Perdana Menteri, di kawal oleh beberapa orang yang mengiringkan kereta. Benar saja, ketika tiba di gedung Perdana Menteri yang juga amat indah bagi Akauw, Lui-Koksu di terima dengan hormat oleh para penjaga dan langsung di antar ke kamar tamu.

Tak lama mereka duduk, muncullah Perdana Menteri Ji Sun Cai bersama seorang gadis yang cantik jelita. Akauw terbelalak memandang gadis itu, bukan saja karena cantik jelitanya, melainkan karena dia merasa sudah sering melihat wajah itu dalam mimpi! Setiap kali dia membayangkan wajah bidadari seperti itulah bentuk wajahnya! Ketika gadis itu memandang kepadanya, Akauw tersipu dan cepat menundukkan mukanya karena menurut ajaran yang diterima dari suhengnya, sikap seperti itu, memandang langsung wajah seorang gadis yang tidak dikenalnya, apalagi dengan pandangan kagum, adalah sikap yang tidak sopan!

Lui-Koksu Toat-beng Giam-ong segera memberi hormat kepada Perdana Menteri dan puterinya. “Maafkan kalau kami mengganggu Ji-taijin dan Ji-siocia“

“Ah, sama sekali tidak, suhu“ kata gadis itu yang bukan lain adalah Ji Goat. “Akan tetapi suhu datang bersama… siapakah mereka ini, suhu?”

“Koksu, siapakah kedua orang ini yang kau ajak datang berkunjung?” Perdana Menteri Ji juga bertanya.

“Taijin, inilah yang pernah saya bicarakan tempo hari. Ini adalah Thian-te Ciu-kwi“

“Ah, datuk kang-ouw itu? Siapakah nama lo-cianpwe yang mulia?” kata pula Perdana Menteri Ji dengan sikap cukup hormat. Agaknya Perdana Menteri ini dapat menghargai orang-orang pandai di dunia kang-ouw.

“He-he-he, Yang Mulia Perdana Menteri Ji, saya sendiri sudah lupa siapa nama saya pemberian orang tua. Harap sebut saja saya Ciu-kwi (Setan Arak), karena itu sudah menjadi nama saya, he-he-he“

“Begitukah? Dan siapakah orang muda yang gagah ini, Ciu-kwi?” Tanya Perdana Menteri itu dengan ramah.

“Akauw, hayo perkenalkan dirimu“

“Tai-jin, nama saya Cian Kauw Cu, biasa di sebut Akauw“ berkata demikian die mengerling kea rah wajah gadis jelita itu yang kelihatan tersenyum manis.

“Dia murid saya, taijin...“ kata Ciu-kwi dengan bangga.

“Aih, dia muridmu, Ciu-kwi?” Ji Goat berseru. Gadis ini tidak ragu lagi menyebut Ciu-kwi begitu saja, sesuai dengan perkenalan diri Thian-te Ciu-kwi kepada ayahnya tadi. “Aku sudah pernah mendengar namamu di puji-puji suhu, akan tetapi belum pernah mendengar engkau mempunyai seorang murid. Menilai kelihaian gurunya dapat di lihat dari kepandaian muridnya, maka aku ingin sekali bertanding ilmu silat dengan Akauw ini!”

“Hsss, Ji Goat, jangan kurang ajar!” tegur ayahnya.

“Ha-ha-ha, apa salahnya, taijin? Ji Sio-cia adalah murid saya dan Akauw ini adalah murid Ciu-kwi. Kami berdua adalah sahabat sejak lama dan saya sudah pula menguji ilmunya. Apa salahnya kalau Ji Siocia menguji ilmu murid Ciu-kwi? Mari kita sama menonton!”

Karena ruangan tamu itu cukup luas, maka Ji Goat yang ingin sekali menguji kepandaian Akauw sudah memasang kuda-kuda menghadapi pemuda tinggi besar itu dan berkata, “Akauw, aku sudah siap, keluarkan ilmumu agar ayah dan aku dapat melihatnya“

“Akauw, kita hendak mencari pekerjaan di kota raja, maka perlihatkanlah kemampuanmu...“ kata pula Thian-te Ciu-kwi kepada muridnya.

Sebetulnya Akauw merasa enggan sekali untuk bertanding melawan gadis itu. Gadis yang demikian cantiknya lemah gemulai sehingga tertiup angina keras saja agaknya akan roboh, kulitnya begitu halus, bagaimana dia dapat memukul seorang gadis seperti itu? Dia meragu, dan berdiri biasa saja, tidak memasang kuda-kuda seperti nona itu...