Sepasang Naga Lembah Iblis Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

“Ha-ha-ha-ha, Akauw, jangan engkau memandang rendah nona ini. Ia adalah murid Toat-beng Giam-ong, tahukah engkau? Dan tingkat kepandaian Lui Koksu ini tidak berada di bawah tingkatku. Hati-hatilah jangan sampai engkau kena di robohkan!” Ciu-kwi menegur muridnya yang kelihatan tidak bersungguh-sungguh.

“Lihat serangan!” tiba-tiba gadis itu menyerang.

Dan Akauw betul-betul terkejut ketika matanya nyaris tertusuk jari tangan gadis itu yang menyambar sedemikian cepat dan kuatnya. Baru angin pukulan tangan itu saja dapat dia rasakan dan ketahui bahwa gadis ini memiliki tenaga sakti yang amat kuat dan juga gerakannya tadi amatlah cepatnya. Kalau dia tidak membuang diri ke belakang sebagai gerakan terdorong naluri sebagai gerakan terdorong naluri sebagai gerakan kera, tentu dia akan terkena totokan itu! Diapun cepat membuat gerakan silat dan otomatis karena bertangan kosong dia lalu bergerak menurut ilmu silat yang di latihnya di dalam guha itu. Dia tidak tahu bahwa ilmu silat itu adalah ilmu dari Bu-tek Cin-keng.

Sekarang Ji Goat yang terkejut karena dari gerakan tangan Akauw menyambar angin yang lembut namun dahsyat sekali, yang membuat serangannya berikutnya membalik. Cepat ia lalu mengerahkan gin-kangnya dan dengan mengandalkan kecepatan gerakannya di lancarkan serangan yang bertubi-tubi kepada Akauw.

Pemuda ini bersikap tenang saja. Memang gadis itu memiliki gerakan yang cepat, akan tetapi gerakan gadis itu cepat karena latihan gin-kang sedangkan dia sendiri memiliki gerakan cepat alami dan juga karena naluri. Dia mampu mengimbangi gerakan gadis itu dan semua serangan dapat di hindarkan dengan elakan atau tangkisan.

Sebetulnya kalau Akauw menghendaki dan mau menggunakan tenaganya, tentu gadis itu akan dapat di robohkannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau merobohkan gadis sejelita itu. Namanya keterlaluan kalau dia melakukan itu, dan suhengnya tentu akanmerasa tidak senang sekali. Gadis itu menyerangnya hanya untuk menguji kepandaian, bukan berkelahi sungguh-sungguh maka tentu saja dia tidak ingin membuat malu dengan merobohkannya.

Akan tetapi hal ini amat merugikannya karena dia hanya mengelak dan menangkis saja. dan tidak pernah membalas ! dan betapa pun rapat pertahanannya karena ilmu silat gadis itu yang di warisi dari datuk Toat-beng Giam-ong juga merupakan ilmu silat tinggi, akhirnya pundaknya terkena pukulan tangan kiri gadis itu.

“Dukkk…!” Akibatnya, tubuh Akauw terdorong kebelakang, akan tetapi sebaliknya Ji Goat juga terhuyung dan dia memegangi kepalan kirinya yang terasa nyeri. Dia merasa seolah memukul pundak yang terbuat dari baja, bukan dari kulit daging!

“Siocia amat lihai, saya mengaku kalah!“ kata Akauw cepat-cepat agar gadis itu menyudahi pertandingan.

Wajah Ji Goat berubah merah karena penasaran. Memang kelihatannya saja dia menang karena dia dapat memukul pundak itu, akan tetapi dia sendiri terhuyung dan tangannya sakit sedangkan yang dipukulnya tidak apa-apa!

“Kepandaianmu hebat, tidak percuma menjadi murid Thian-te Ciu-kwi!” katanya sambil membalas penghormatan Akauw yang mengangkat kedua tangan depan dada. Sementara itu, Ciu-kwi mengerutkan alisnya dan tidak merasa puas dengan pertandingan yang dilakukan muridnya itu. Menurut dia, kalau Akauw bersungguh-sungguh tentu dia akan mampu mengalahkan gadis itu. Baginya, tidak ada perasaan sungkan atau tenggang rasa seperti yang dirasakan Akauw terhadap seorang gadis.

Perdana Ji Girang sekali. Dari pengamatannya tadi dia pun dapat menduga bahwa pemuda itu cukup gagah perkasa dan akan menjadi seorang pembantu yang amat baik. Dia lalu mempersilahkan tamu-tamu duduk, sedangkan Ji Goat berpamit untuk masuk ke dalam.

Setelah kini duduk berempat saja, Perdana Menteri itu lalu berkata, “Memang sebaiknya kalau lo-cianpwe ini dan muridnya dihadapkan kepada Sri Baginda dan sedapat mungkin diperbantukan padamu, Koksu. Dengan demikian kita dapat bekerjasama. aku ingin sekali agar Akauw atau gurunya melakukan penyelidikan kepada Gubernur Gak. Mereka belum di kenal dan akan mudah sekali melakukan penyelidikan ke sana tanpa khawatir diketahui orang“

“Tepat sekali, taijin. Memang saya pun berpendapat demikian, maka sebelum membawa mereka menghadap Sri Baginda, saya membawa mereka ke sini lebih dulu untuk mendapatkan persetujuan taijin“

“Tentu saja saya setuju sekali, Koksu. dan sebaiknya kalau koksu membawa mereka menghadap Kaisar, lebih cepat lebih baik. Jangan lupa untuk membujuk agar Sri Baginda suka memanggil pulang Coa-ciangkun dari garis depan agar penyerangan terhadap Kerajaan Sun dapat dihentikan.

Tanpa di panggilnya pulang Coa-ciangkun, saya kira usaha kita tidak akan berhasil. Sementara itu, saya akan bertugas membujuk Sri Baginda agar bersikap lunak kepada Kerajaan Sun, menariknya sebagai sekutu agar lebih mudah bagi kita menguasai daerah selatan pada umumnya“

“Baiklah, taijin. Kita membagi tugas dan sebaiknya kalau taijin menghubungi para thaikam kepala agar ikut membujuk kaisar“

“Jangan khawatir, Koksu. Mereka semua sudah berada di tanganku“

Setelah berunding sebentar, Lui Koksu berpamit dan bersama Ciu-kwi dan Akauw mereka lalu naik kereta menuju ke istana. kalau tadi melihat istana Kok-su dan Perdana Menteri yang mewah itu Akauw sudah merasa terkagum-kagum, kini begitu dibawa masuk istana, dia benar-benar terpesona. Tak pernah dibayangkan semula ada rumah manusia seperti itu mewah dan megahnya. Semuanya serba besar, serba indah dan serba mewah. baru pintunya saja sudah begitu besar dan tinggi, agaknya pintu itu dibuat untuk masuk seekor gajah!

Dan dimana-mana penuh tanaman buatan, taman-taman kecil, air pancuran, batu-batu karang beraneka bentuk, ukiran-ukiran, lukisan-lukisan, pendeknya, tidak habis-habisnya dia kagumi. Sampai nanar dia di buatnya memandangi semua keindahan itu.

Para prajurit pengawal yang berjaga di setiap lorong dan tikungan istana itu memberi hormat kepada Koksu, dan setelah mereka tiba di bagian dalam, para pengawal yang berjaga adalah orang-orang sida-sida atau Thaikam.

Akhirnya mereka dibawa menghadap kaisar di sebuah ruangan yang amat indahnya. Karena saat itu bukan waktu persidangan, maka Koksu di terima oleh kaisar diperpustakaan, dimana Sri Baginda sedang memilih buku untuk di bacanya. Biarpun dia Kaisar bangsa Mongol (Toba), namun kaisar Julan Khan suka akan kesusastraan, di samping lihai pula ilmu silatnya. Para pengawal thaikam itu segera di suruh keluar dari ruangan setelah kaisar melihat bahwa yang menghadapnya adalah Lui Koksu yang dipercaya penuh, bersama seorang kakek kecil kurus dan seorang pemuda yang gagah perkasa.

Mereka bertiga segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar. Hal ini di lakukan oleh Akauw setelah lebih dulu dia diberitahu dan di ajari bagaimana harus bersikap kalau berhadapan dengan kaisar, akan tetapi ketika menjatuhkan dirinya berlutut, tetap saja caranya kasar karena memadang di dalam hatinya dia masih meragu mengapa dia harus berlutut seperti itu di depan seorang yang baru saja di jumpainya dan belum di kenalnya sama sekali.

“Oh, engkau, Koksu. Bangkit dan duduklah dan juga kalian berdua yang datang bersama Kok-su“

“Terima kasih Yang Mulia“ kata mereka hamper berbarengan.

Kini mereka menghadap Kaisar yang duduk di atas kursi berukir indah itu dengan berdiri saja, berdiri dengan kepala di tundukkan dan sama sekali tidak boleh kepala itu di angkat kalau tidak sedang di ajak bicara oleh Kaisar. Juga setiap kali bicara, kedua tangan harus di rangkap di depan dada sebagai tanda penghormatan.

“Lui-koksu, siapakah yang kau bawa menghadap ini? Tadi pengawal memberitahu akan tetapi kami kurang memperhatikan“

“Yang Mulia, ini adalah seorang sahabat hamba di waktu muda. Julukannya adalah Thian-te Ciu-kwi, dan dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Yang muda ini adalah muridnya bernama Cian Kauw Cu yang biasa di sebut Akauw. Mereka berdua ini menawarkan tenaga mereka untuk membantu paduka, untuk bekerja dengan hamba. Mengingat bahwa kepandaian mereka boleh di andalkan, maka hamba sengaja mengajak mereka untuk menghadap paduka, untuk mohon perkenan paduka agar mereka di perbolehkan membantu hamba dan di angkat sebagai panglima“

“Hemmm, kami percaya dengan semua keteranganmu, Koksu. Akan tetapi kau tahu tidak mudah begitu saja mengangkat seseorang menjadi panglima sebelum kami melihat sendiri kemampuan mereka...“

Kaisar lalu bertepuk tangan dan bermunculan pengawal thaikam dari pintu dalam. Agaknya para pengawal itu biarpun tidak diperbolehkan memasuki kamar, namun selalu mereka siap diluar pintu sehingga sekali di panggil mereka akan bermunculan dalam waktu cepat sekali.

“Coba panggil Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima unsur) dan suruh mereka bersiap di lian-bu-thia (tempat berlatih silat)!” kata kaisar memerintah kepada para pengawal. Mereka memberi hormat dan pergi.

“Koksu, kami hendak melihat apakah guru dan murid ini akan mampu menghadapi Ngo-heng Kiam-tin!” kata Kaisar kepada Lui-Koksu. Tentu saja Toat-beng Giam-ong sudah tahu siapa itu Barisan Pedang Lima Unsur, maka dia menjawab.

“Hamba kira sobat Ciu-kwi akan mempu menghadapi mereka, Yang Mulia“

Mereka semua lalu mengikuti Kaisar pergi ke ruangan yang amat luas. Ruangan yang memang biasanya dipergunakan untuk berlatih silat. Seperti di ketahui, Kaisar Julan Khan sendiri adalah seorang yang kuat, ahli gulat dan ahli silat. Ketika mereka tiba di sana, sudah menanti lima orang yang berpakaian aneh. Pakaian mereka itu saling berbeda warnanya. Ada yang serba merah, serba biru, serba kuning, hitam dan putih. Lima macam warna! Kaisar muncul, mereka berlima lalu menjatuhkan diri berlutut.

“Bangkitlah!” perintah kaisar dan setelah mereka semua bangkit berdiri, kaisar berkata, “kalian harus menguji kemampuan dua orang guru dan murid ini yang mencalonkan diri sebagai panglima pembantu Koksu“ katanya dan seorang thaikam segera mengangkat kursi kaisar ke belakang kaisar yang segera duduk dengan wajah gembira. Kaisar ini memang suka sekali menonton orang bertanding mengadu ilmu silat.

Sementara itu, Lui Koksu sudah membisiki Ciu-kwi bahwa biarpun kepandaian lima orang itu tidak berapa hebat, akan tetapi karena merupakan barisan pedang yang bekerja sama dengan baik sekali, maka cukup berbahaya . Akan tetapi dia percaya bahwa dengan tangan kosong saja dia atau Akauw mampu mengatasi mereka!

Mendengar bisikan sahabatnya itu, Thian-te Ciu-kwi lalu berkata kepada Kaisar, “Yang Mulia, kalau paduka mengijinkan, hamba akan lebih dahulu maju menghadapi Ngo-heng Kiam-tin ini dengan tangan kosong, baru sesudah hamba murid hamba akan menandingi mereka“

Mendengar ini, Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tahu akan kemampuan Ngo-heng Kiam-tin, dan kakek kecil kurus seperti orang pemadatan ini hendak menandingi dengan tangan kosong saja. Ini hanya ada dua kemungkinan. Kakek itu memang sakti atau sombong. Kalau sombong, biarlah mendapat hajaran keras dari Ngo-heng Kiam-tin.

“Dengan tangan kosong, Ciu-kwi. Ingat, lima batang pedang itu dapat melukaimu!”

“Kalau memang demikian, sudah nasib hamba, Yang Mulia“

“Baiklah, kalau begitu Ngo-heng Kiam-tin, kalian siap menandingi Thian-te Ciu-kwi yang bertangan kosong!”

Lima orang itu lalu berloncatan membentuk lingkaran segi lima. Tubuh mereka rata-rata tinggi besar dan dengan pakaian mereka yang saling berbeda warna itu, gerakan mereka tadi kelihatan indah sekali seperti lima orang penari. tahu-tahu mereka telah mencabut pedang mereka dan siap dengan bermacam pasangan kuda-kuda. Ada yang melintangkan pedang di depan dada, ada yang mengacungkan pedang di atas kepala, ada yang menyembunyikan pedang di bawah lengan. Mereka semua sudah siap untuk menyerang kakek yang berdiri seenaknya itu. Akan tetapi, lima orang ini tidak berani memandang rendah. Nama besar Thian-te Ciu-kwi sudah pernah mereka dengar sebagai datuk kang-ouw dari pantai timur dan kabarnya lihai bukan main.

“Apakah engkau sudah siap, Ciu-kwi?” Tanya kaisar.

“Sejak tadi hamba sudah siap, Yang Mulia“

“Kalau begitu, mulailah!” kata kaisar, di tujukan kepada lima orang itu. Mereka adalah jagoan-jagoan istana, merupakan anggota pasukan pengawal pribadi kaisar.

Mendengar seruan kaisar ini, lima orang itu mulai bergerak melangkah dengan teratur mengelilingi Ciu-kwi yang kelihatan masih berdiri dengan santai saja. Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang berpakaian putih dan agaknya menjadi pemimpin Ngo-heng Kiam-tim, mengeluarkan bentakan nyaring.

“Thian-te Ciu-kwi, lihat pedang!”

Dan diapun sudah menyerang dari depan dengan gerakan dahsyat. Dua orang lain menggerakkan pedang mereka memperkuat serangan baju putih dan dua orang lagi menggerakkan pedang menjaga kalau lawan membalas serangan. Ciu Kwi mengeluarkan kecepatan gerakannya. Dengan mudah saja dia mampu menerobos di antara sambaran tiga batang pedang itu, berloncatan ke sana sini seperti orang mabok dan tahu-tahu kedua kakinya yang kecil itu mengirim tendangan, bukan membalas serangan tiga orang itu melainkan menyerang dua orang orang yang tadi berjaga-jaga.

Dua orang itu terkejut, maklum lihainya tendangan itu dan berlompatan ke belakang. Mereka mengepung lagi dan dengan bergantian pedang mereka menyerang bertubi-tubi, namun tidak ada pedang yang mampu melukai Ciu-kwi. Dia mengelak, berloncatan dan kadang dengan tangannya menyapok pedang dari samping. Ciu-kwi memperlihatkan ilmu yang menjadi andalannya, yaitu Thian-te Sin-kun (Silat Sakti Langit Bumi) dan mencampurnya dengan gerakan Dewa Mabok untuk mengelak dan mengacaukan lawan.

Ngo-heng Kiam-tin memang kuat sekali. Mereka itu saling tunjuang, saling bantu dan saling melindungi. Mereka dapat bekerja sama dengan rapi dan teratur sehingga Ciu-kwi seperti melawan lima orang dengan satu hati dan pikiran. Namun, karena memang tingkatnya jauh lebih tinggi dari mereka, dia dapat selalu menghindarkan diri dan balasan serangannya beberapa kali membuat barisan pedang menjadi kacau.

Setelah lewat tiga puluh jurus, Ciu-kwi mengeluarkan bentakan melengking dan begitu kedua tangannya berputar dan memukul ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar dan lima orang itu terhuyung ke belakang, bahkan dua di antara mereka terjengkang. Ciu-kwi cepat melangkah mundur dan memberi hormat kepada Sri Baginda.

”Harap paduka maafkan hamba“

Sri Baginda bertepuk tangan memuji. “Bagus, bagus sekali, Ciu-kwi. Engkau memang pantas menjadi sahabat dan pembantu Kok-su! Dan bagaimana dengan muridmu itu?“

“Hamba kira dengan menggunakan pedangnya, Akauw akan mampu menandingi Ngo-heng Kiam-tin“

Mendengar ucapan Ciu-kwi, Sri Baginda menjadi gembira sekali. Orang yang mampu mengalahkan Ngo-heng Kiam-tin merupakan orang yang sakti dan tentu saja dia dapat mempergunakan tenaga orang-orang seperti itu. Akan tetapi Lui-Koksu tidak heran karena dia sudah mendengar dari Ciu-kwi bahwa Akauw memiliki ilmu aneh dan juga memiliki Hek-liong-kiam yang ampuh.

“Akauw, lawanlah mereka dengan pedangmu. Akan tetapi jangan sekali-sekali melukai mereka“ pesan Ciu-kwi kepada muridnya.

“Baik, suhu...“ kata Akauw yang telah melihat gerakan lima orang itu dan merasa dapat mengatasi mereka dengan pedangnya. Dia lalu memberi hormat kepada Kaisar, “Mohon perkenan paduka, Yang Mulia“

“Baik, bangkit dan lawanlah Ngo-heng Kiam-tin dengan pedangmu, orang muda“ kata kaisar gembira.

Akauw lalu bangkit berdiri, mencabut Hek-liong Po-kiam dari sarungnya dan nampaklah sinar hitam yang menyeramkan. Bahkan kaisar sendiri berseru kagum. “Po-kiam yang hebat!”

Ngo-heng Kiam-tin kini sudah maju lagi mengepung. Dalam pertandingan melawan Ciu-kwi tadi, jelas mereka telah kalah, akan tetapi tak seorang pun dari mereka mengalami luka sehingga kini mereka dapat maju dengan lengkap dan tenaga mereka masih tidak berkurang. Hanya mereka agak gentar menghadapi pedang hitam di tangan pemuda tinggi besar itu. Mereka pun dapat menduga bahwa pemuda itu memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh.

Lima orang itu, seperti tadi mengepung Akauw dengan berbagai macam kuda-kuda. Akauw sendiri dengan tenang berdiri dengan pedang melintang di depan dada, seluruh saraf di tubuhnya menengang dalam keadaan siap siaga. Kembali si baju putih mengeluarkan bentakan.

“Lihat pedang!” Dan dia mulai menyerang, di susul teman-temannya Kadang mereka menyerang bertubi-tubi, susul menyusul, kadang mereka menyerang berbarengan dan menyatukan tenaga dalam pedang mereka.

Namun Akauw telah maklum akan gerakan mereka. Kalau mereka menyerang bertubi-tubi, dia pun mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menghindar, kalau mereka menyatukan pedang mereka, diapun menangkis dengan pengerahan tenaga. Memang agak repot juga baginya kalau mengadu dengan tenaga lima orang yang menggabungkan tenaga mereka itu. Di keroyok oleh lima orang, tenaganya tidak kuat bertahan dan beberapa kali dia terpaksa melangkah mundur. Akan tetapi, setelah lewat dua puluh lima jurus, Akauw mengubah gerakan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang membelit dan memutar.

“Kraakk!” terdengar suara keras dan pedang si baju putih patah menjadi dua ketika dia berani menangkis dengan langsung sambaran sinar hitam yang bergulung-gulung itu. Kepatahan pedang baju putih sebagai pemimpin ini mengacaukan yang lain dan Akauw menggunakan kesempatan ini untuk menyambar pedangnya dan empat batang pedang yang lain juga patah semua! Tentu saja Ngo-heng Kiam-tin menjadi rusak dan mereka berlima terpaksa berlompatan ke belakang karena sudah tidak ada senjata di tangan mereka.

Sri Baginda Kaisar Julan Khan bertepuk tangan memuji. “Bagus, Kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus!“ dia memuji lalu berkata kepada Lui-koksu, "kami telah melihat ilmu Ciu-kwi dan Akauw. Mereka boleh kau terima menjadi panglima untuk membantu pekerjaanmu“

Ciu-kwi dan Akauw segera menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Mereka bertiga meninggalkan istana dengan gembira dan semenjak hari itu, Ciu-kwi menjadi pembantu Koksu dan Akauw menjadi seorang panglima muda yang di perbantukan pula kepada Kok-su. Mereka berdua untuk sementara tinggal di tempat kediaman Kok-su.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Yang Cien. Seperti telah diceritakan di bagian depan. Yang Cien tinggal seorang diri di dalam guha besar bawah tanah itu setelah di tinggal pergi oleh Akauw. Dia segera dapat menghilangkan perasaan kesepiannya di tinggalkan sutenya itu, dan dengan tekun dia melanjutkan latihannya, mempelajari ilmu Bu-tek Cin-keng yang ternyata amat sulit di latih itu. Dia tahu bahwa sutenya telah hafal akan semua gerakan ilmu silat itu, akan tetapi tanpa petunjuk kitab, ilmu yang di miliki sutenya itu hanyalah kulitnya saja, tanpa isi. Dia berjanji pada diri sendiri bahwa kelak kalau dia bertemu kembali dengan sutenya, dia akan mengajarkan ilmu itu secara yang semestinya agar sutenya juga menguasai Bu-tek Cin-keng secara benar.

Setiap hari Yang Cien tekun berlatih , hidup secara sederhana sekali, tidak pernah berhubungan dengan manusia lain. Dia seolah menjadi seorang pertapa yang hidup menyendiri di tempat sunyi itu, di Lembah Iblis. Tiga tahun telah lewat tanpa terasa. Yang Cien telah menyelesaikan pelajaran ilmu itu dan kini akibat racun jarum di kitab itu sudah hilang sama sekali. Tanpa di sadarinya sendiri, dia telah menguasai ilmu yang amat dahsyat, yang di pelajari dan di latihnya selama lima tahun di tempat itu! Juga dia tidak menyadari bahwa kini dia telah menjadi seorang pemuda yang sudah dewasa benar, pemuda yang berusia dua puluh lima tahun!

Pada halaman terakhir kitab Bu-tek Cin-keng itu terdapat tulisan yang mengharuskan murid yang mempelajari kitab itu sampai habis, agar menutup guha itu. “Gulingkan batu yang berada di atas tebing dan hujan batu besar akan menutup guha ini untuk selamanya“ demikian bunyi pesan itu.

Yang Cien melangkah keluar guha. Biasanya hanya untuk mencari makan saja dia keluar dari guha itu, paling banyak sekali dua kali dia keluar guha dalam sehari. Dia tidak begitu memperhatikan di atas tebing dan baru sekarang dia berdongak memperhatikan keadaan di atas tebing. Tebing itu tinggi dan permukaan dinding tebing memang penuh dengan batu besar yang kalau tertimpa batu dari atas tentu akan dapat terlepas dan runtuh ke bawah. Tentu itu yang di maksudkan pesan dalam halaman terakhir kitab itu.

Dia masuk kembali lalu menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang, menghadap kerangka yang berada di kursi itu. Kedudukan kerangka yang berada di kursi itu pun ternyata membantunya memecahkan rahasia dari jurus terakhir sebagai penutup kitab pelajaran itu. Tadinya, sampai berhari-hari dia bingung, tidak dapat mengerti dengan baik gerakan jurus penutup. Baru setelah dia melihat kedudukan kerangka itu, memperhatikan kedudukan kedua tangan dan kakinya, dia mengerti. Kerangka itu justeru berkedudukan seperti yang di kehendaki dalam jurus terakhir tadi.

“Suhu, siapapun adanya suhu, teccu (murid) menghaturkan banyak terima kasih atas semua petunjuk suhu sehingga teecu dapat menyelesaikan pelajaran Bu-tek Cin-keng ini. Karena khawatir kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, kitab ini teecu tinggalkan di sini bersama suhu, dan pedang Pek-liong-Po-kiam teecu bawa sedangkan Hek-liong-Po-kiam di bawa sute Akauw...“

Setelah berlutut dan memberi hormat delapan kali, di atas meja dan dia membawa Pedang Naga Putih keluar, bersama buntalan pakaiannya. Kemudian dia mendaki tebing itu ke atas dan baru dia mengetahui betapa mudahnya hal itu dilakukannya. Padahal, tadinya dia mengira bahwa memanjat tebing itu akan sukar sekali karena tebing itu terjal. Namun setelah kakinya memanjat, dia merasa ringan dan mudah saja! Dia sendiri tidak menyadari bahwa latihan-latihan itu telah meningkatkan sinkang dan ginkangnya sehingga dia mampu bergerak seperti seekor cecak merayap dinding!

Setelah tiba di atas tebing, dia lalu mencari batu yang terbesar. Di temukan batu itu, sebesar gajah. Tadinya diapun meragukan apakah dia akan mampu, menggulingkan batu sebesar gajah itu, apakah tidak lebih baik memilih yang lebih kecil. Akan tetapi, begitu dia mencoba untuk menggerakkan batu itu, ternyata terasa tidak terlalu berat baginya dan dengan mudah dia mampu mendorong dan menggelindingkan batu ke tepi tebing, tepat di atas guha besar yang selama lima tahun menjadi tempat tinggalnya itu.

Begitu batu terguling, terdengar suara gemuruh dan ketika dia melongok ke bawah, benar saja, batu itu menghantam batu-batu di bawah sehingga terlepas dari dinding tebing dan hujan batu besar terjadi di depan guha sehingga guha itu tertutup sama sekali oleh ratusan, bahkan mungkin ribuan batu besar! Tidak mungkin lagi bagi seorang atau beberapa orang manusia untuk membongkar batu-batu itu. Guha itu benar-benar telah menjadi kuburan bagi gurunya yang tak di kenal namanya itu.

Kemudian, dia menuruni tebing kembali dan memasuki guha yang penuh emas. Sampai lama dia mengamati emas-emas yang menempel di dinding guha. Sekali waktu benda berharga ini akan berguna juga, entah kapan dan untuk apa, dia belum mampu membayangkan. Dia lalu mengambil secukupnya untuk bekal. kemudian mencari batu besar dan menggulingkan batu itu menutupi guha kecil itu sehingga tidak nampak sama sekali dari luar. Hanya dia yang tahu bahwa di balik batu besar itu terdapat sebuah guha penuh emas. Dalam guha-guha lain yang berjajar di daerah itu tidak terdapat apa-apa lagi, kecuali guha pertama yang penuh dengan arca yang tidak begitu penting untuk di sembunyikan.

Setelah selesai menutup kedua guha yang di rahasiakannya itu, Yang Cien lalu pergi meninggalkan tempat itu. Beberapa kali dia menoleh untuk memandang tempat yang di jadikan tempat tinggalnya selama lima tahun itu. Menduga-duga kapan kiranya dia akan dapat kembali ke tempat itu. Lembah Iblis! Dia tidak mengerti mengapa rakyat di wilayah itu menamakannya Lembah Iblis.

Padahal baginya, lembah itu amat indah dan menjadi tempat dia menghabiskan waktunya bertahun-tahun. Sejak dia memasuki lembah itu bersama kakeknya, tidak kurang lebih sepuluh tahun dia tinggal di sana, lima tahun tinggal di gubuk atas pohon seperti kera, dan lima tahun tinggal di guha seperti pertapa. Dan kini, dia memasuki dunia ramai. Apakah yang menanti dia di depan? Dia tidak tahu, dan menyerahkan diri kepada kekuasaan Tuhan.

Nasib? Menurut pelajaran tentang kehidupan yang dia dapatkan dari kakeknya, dia tidak mau menggantungkan diri kepada nasib. Nasib tidak datang bagitu saja, nasib hanya merupakan mata rantai dari sebab akibat. Kalau orang menanam bibit baik lalu menuai hasil panen baik, itu bukan nasib namanya! Juga kalau menyebar bibit baik, itu juga dapat memetik panen baik, itu juga bukan nasib karena pasti ada penyebabnya! Entah karena pemupukannya kurang baik, atau penjagaannya kurang baik sehingga terusak oleh hujan atau oleh burung-burung atau hama lainnya. Jelas bukan karena nasib buruk dan sebagainya!

Kekuasaan Tuhan memang mutlak. Akan tetapi Kekuasaan Tuhan juga adil! Jadi tidak ada yang di sebut nasib baik atau nasib buruk karena semua yang terjadi sudah semestinya demikian, sesuai dengan hokum karma masing-masing. Dan karma itu siapa penyebabnya, siapa pembuatnya? Kita sendiri! Karena itu, setiap perbuatan adalah menyebar benih setiap peristiwa yang terjadi menimpa diri adalah penuaian dari penyebaran benih tadi, atau akibat dari perbuatan kita.

Maka orang bijaksana tidak mengeluh kalau sesuatu menimpa dirinya karena sadar bahwa itu adalah hasil dari perbuatannya sendiri, lama atau baru, sedangkan kalau melakukan sesuatu maka pekerjaan itu dilakukan tanpa pamrih imbalan apapun.


Demikianlah apa yang telah dipelajari Yang Cien dari kakeknya, oleh karena itu, dia pun tidak gentar menghadapi apapun karena maklum bahwa segalanya tergantung dari padanya sendiri.

********************

Pemandangan di Telaga Tai-hu amatlah indah. Di tengah telaga yang besar itu terdapat beberapa pulau kecil dan banyak orang yang berpesiar naik perahu di telaga disamping perahu-perahu nelayan penangkap ikan. Ada pula orang-orang berpakaian sastrawan yang naik perahu kecil, menghadapi kitab sambil minum arak atau sambil memancing ikan.

Seorang pemuda berpakaian sederhana naik sebuah perahu kecil dan mandayungnya mendekati sebuah pulau. Dia tertarik sekali kepada seorang laki-laki yang juga berperahu seorang diri sambil membaca sajak. Pemuda ini selain pakaiannya yang sederhana, juga gerak-geriknya amat sederhana. Rambutnya yang di gelung ke atas itu tertutup sebuah caping lebar, bajunya dari kain kasar berwarna biru dan potongannya seperti yang biasa di pakai para petani. Wajahnya yang terlindung caping itu tampan, berbentuk persegi dan berkulit putih. Alisnya tebal melindungi sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, hidungnya mancung dan mulutnya selalu mengembangkan senyum yang ramah. Wajah yang menyenangkan, akan tetapi juga mengandung wibawa yang kuat.

Pemuda itu adalah Yang Cien. Dia menyembunyikan Pedang Pusaka Naga Putih di dalam buntalan pakaian yang digendongnya. Pemuda ini dalam perjalanannya merantau telah membeli beberapa potong pakaian baru yang di gendongnya dalam buntalan kain kuning.

Ketika melakukan perjalanan merantau karena sampai selesai melatih diri dengan Kitab Bu-tek Cin-keng sutenya belum juga pulang, dia tiba di Telaga Tai-hu dan menyewa sebuah perahu. Tertarik oleh pemandangan yang amat indah itu. Ketika tadi mendengar orang membaca sajak, dia tertarik oleh kata-kata dalam sajak itu.

“Pohonku dikuasai burung gagak Sarangku terancam musnah Namun apa dayaku?

Semua burung dara pergi ketakutan Tidak ada yang berani melawan gagak

Tiada harapan kecuali menanti munculnya Sang Garuda. Pengusir burung gagak dari pohonku“


Dia tertarik sekali karena dia dapat menangkap inti dari sajak atau nyanyian itu. Pohon dikuasai burung gagak, yaitu termasuk burung liar seperti yang terjadi sekarang. Cina bagian utara sepenuhnya di kuasai bangsa Mongol (Toba) dan semua burung dara pergi ketakutan. Bukan hanya ketakutan bahkan banyak penduduk pribumi yang menghambakan dirinya kepada kekuatan asing itu. Bahkan mendiang ayahnya juga menghambakan dirinya kepada kaisar Toba. Hal ini sebetulnya tidak di setujui kakeknya. Kakeknya seringkali menyesalkan hal itu.

“Bagaimanapun juga, seorang patriot haruslah menentang penjajahan, bukannya membantu kaum penjajah untuk memakmurkan rakyat.“ kata kakeknya.

Di dalam sajak di sebutkan bahwa semua burung dara tidak ada yang berani melawan gagak, maka di harapkan munculnya sang garuda untuk mengusir burung gagak. Mengusir Bangsa Toba dari tanah air? Bukan pekerjaan mudah!

“Ayahmu salah langkah“ kata kakeknya dahulu, “sepatutnya dia membantu mereka yang menentang Kaisar Toba, bukan menghambakan diri kepadanya. Di bawah kekuasaan Kaisar Toba, para pejabat melakukan koropsi dan penindasan terhadap rakyat. Mereka tidak memperdulikan nasib rakyat jelata karena menganggap tidak perlu bekerja dengan sungguh-sungguh mengingat bahwa pemerintahan itu adalah Kerajaan Mongol. Semua pejabat berlomba untuk menggendutkan diri, menebalkan kantung sendiri dan berlomba untuk mewah-mewahan. Para pendekar yang berjiwa patriot melihat penindasan oleh Bangsa Mongol merasa prihatin sekali. Namun pasukan Kerajaan Toba amat kuat sehingga setiap pemberontakan mengalami kegagalan. Para pejabat yang bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kesejahteraan rakayt, seperti mendiang ayahmu, malah di musuhi oleh pejabat-pejabat tinggi yang berkuasa. Nah, mendiang ayahmu telah salah langkah, dan tidak seharusnya engkau mengikuti jejaknya itu“

“Kakek pernah mengatakan bahwa yang membunuh ayah ibu adalah Koksu“

“Benar. Anak buah Toat-beng Giam-ong Lui Tat yang kini menjadi Koksu itu yang telah mengeroyok dan membunuh ayah ibumu. Dia tidak senang melihat ayahmu membela rakyat yang terindas dan berani memprotes kenaikan pajak dan kerja paksa. Pemerintah penjajah memang sifatnya menindas dan memeras, dan ayahmu telah berani menentang arus. Akan tetapi, singkirkan dendammu pribadi itu, Yang Cien. Engkau harus mempergunakan segala daya dan kepandaianmu untuk mempersatukan rakyat, mempersatukan semua kekuatan agar tidak terpecah-belah dan hanya dengan persatuan saja kiranya penjajah Mongol akan dapat di halau dari negeri kita“

Demikianlah, percakapan itu mengiang di telinga Yang Cien ketika dia tertarik mendengar bunyi sajak yang mengandung semangat menantang penjajah itu. Dia lalu mendayung perahunya mendekat perahu orang itu. Ternyata yang membaca sajak tadi adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berpakaian seperti pengemis! Kakek itu menghadapi seguci arak dan dia tadi membaca sajak sambil di seling minum arak. Yang Cien dapat menduga bahwa kakek itu tentulah bukan seorang pengemis biasa saja. Mana ada seorang pengemis berperahu, menikmati arak sambil membaca sajak?

“Lo-cianpwe, sajakmu tadi sungguh indah!” katanya memuji.

Kakek itu menoleh dan melihat bahwa yang memujinya seorang pemuda tampan gagah berpakaian sederhana dan bercaping lebar, dia tersenyum ramah. “Orang muda, kalau engkau suka sajak dan minum arak, naiklah ke perahuku. Berdua lebih menggembirakan daripada seorang diri saja“

“Baik, lo-cianpwe dan terima kasih...“ kata Yang Cien gembira.

Akan tetapi pada saat dia mengikatkan tali perahunya pada perahu kakek pengemis itu, tiba-tiba saja datang sebuah perahu besar. Perahu itu sudah dekat sekali dan dari perahu besar itu meluncur banyak anak panah kea rah mereka...!

Sepasang Naga Lembah Iblis Jilid 07

“Ha-ha-ha-ha, Akauw, jangan engkau memandang rendah nona ini. Ia adalah murid Toat-beng Giam-ong, tahukah engkau? Dan tingkat kepandaian Lui Koksu ini tidak berada di bawah tingkatku. Hati-hatilah jangan sampai engkau kena di robohkan!” Ciu-kwi menegur muridnya yang kelihatan tidak bersungguh-sungguh.

“Lihat serangan!” tiba-tiba gadis itu menyerang.

Dan Akauw betul-betul terkejut ketika matanya nyaris tertusuk jari tangan gadis itu yang menyambar sedemikian cepat dan kuatnya. Baru angin pukulan tangan itu saja dapat dia rasakan dan ketahui bahwa gadis ini memiliki tenaga sakti yang amat kuat dan juga gerakannya tadi amatlah cepatnya. Kalau dia tidak membuang diri ke belakang sebagai gerakan terdorong naluri sebagai gerakan terdorong naluri sebagai gerakan kera, tentu dia akan terkena totokan itu! Diapun cepat membuat gerakan silat dan otomatis karena bertangan kosong dia lalu bergerak menurut ilmu silat yang di latihnya di dalam guha itu. Dia tidak tahu bahwa ilmu silat itu adalah ilmu dari Bu-tek Cin-keng.

Sekarang Ji Goat yang terkejut karena dari gerakan tangan Akauw menyambar angin yang lembut namun dahsyat sekali, yang membuat serangannya berikutnya membalik. Cepat ia lalu mengerahkan gin-kangnya dan dengan mengandalkan kecepatan gerakannya di lancarkan serangan yang bertubi-tubi kepada Akauw.

Pemuda ini bersikap tenang saja. Memang gadis itu memiliki gerakan yang cepat, akan tetapi gerakan gadis itu cepat karena latihan gin-kang sedangkan dia sendiri memiliki gerakan cepat alami dan juga karena naluri. Dia mampu mengimbangi gerakan gadis itu dan semua serangan dapat di hindarkan dengan elakan atau tangkisan.

Sebetulnya kalau Akauw menghendaki dan mau menggunakan tenaganya, tentu gadis itu akan dapat di robohkannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau merobohkan gadis sejelita itu. Namanya keterlaluan kalau dia melakukan itu, dan suhengnya tentu akanmerasa tidak senang sekali. Gadis itu menyerangnya hanya untuk menguji kepandaian, bukan berkelahi sungguh-sungguh maka tentu saja dia tidak ingin membuat malu dengan merobohkannya.

Akan tetapi hal ini amat merugikannya karena dia hanya mengelak dan menangkis saja. dan tidak pernah membalas ! dan betapa pun rapat pertahanannya karena ilmu silat gadis itu yang di warisi dari datuk Toat-beng Giam-ong juga merupakan ilmu silat tinggi, akhirnya pundaknya terkena pukulan tangan kiri gadis itu.

“Dukkk…!” Akibatnya, tubuh Akauw terdorong kebelakang, akan tetapi sebaliknya Ji Goat juga terhuyung dan dia memegangi kepalan kirinya yang terasa nyeri. Dia merasa seolah memukul pundak yang terbuat dari baja, bukan dari kulit daging!

“Siocia amat lihai, saya mengaku kalah!“ kata Akauw cepat-cepat agar gadis itu menyudahi pertandingan.

Wajah Ji Goat berubah merah karena penasaran. Memang kelihatannya saja dia menang karena dia dapat memukul pundak itu, akan tetapi dia sendiri terhuyung dan tangannya sakit sedangkan yang dipukulnya tidak apa-apa!

“Kepandaianmu hebat, tidak percuma menjadi murid Thian-te Ciu-kwi!” katanya sambil membalas penghormatan Akauw yang mengangkat kedua tangan depan dada. Sementara itu, Ciu-kwi mengerutkan alisnya dan tidak merasa puas dengan pertandingan yang dilakukan muridnya itu. Menurut dia, kalau Akauw bersungguh-sungguh tentu dia akan mampu mengalahkan gadis itu. Baginya, tidak ada perasaan sungkan atau tenggang rasa seperti yang dirasakan Akauw terhadap seorang gadis.

Perdana Ji Girang sekali. Dari pengamatannya tadi dia pun dapat menduga bahwa pemuda itu cukup gagah perkasa dan akan menjadi seorang pembantu yang amat baik. Dia lalu mempersilahkan tamu-tamu duduk, sedangkan Ji Goat berpamit untuk masuk ke dalam.

Setelah kini duduk berempat saja, Perdana Menteri itu lalu berkata, “Memang sebaiknya kalau lo-cianpwe ini dan muridnya dihadapkan kepada Sri Baginda dan sedapat mungkin diperbantukan padamu, Koksu. Dengan demikian kita dapat bekerjasama. aku ingin sekali agar Akauw atau gurunya melakukan penyelidikan kepada Gubernur Gak. Mereka belum di kenal dan akan mudah sekali melakukan penyelidikan ke sana tanpa khawatir diketahui orang“

“Tepat sekali, taijin. Memang saya pun berpendapat demikian, maka sebelum membawa mereka menghadap Sri Baginda, saya membawa mereka ke sini lebih dulu untuk mendapatkan persetujuan taijin“

“Tentu saja saya setuju sekali, Koksu. dan sebaiknya kalau koksu membawa mereka menghadap Kaisar, lebih cepat lebih baik. Jangan lupa untuk membujuk agar Sri Baginda suka memanggil pulang Coa-ciangkun dari garis depan agar penyerangan terhadap Kerajaan Sun dapat dihentikan.

Tanpa di panggilnya pulang Coa-ciangkun, saya kira usaha kita tidak akan berhasil. Sementara itu, saya akan bertugas membujuk Sri Baginda agar bersikap lunak kepada Kerajaan Sun, menariknya sebagai sekutu agar lebih mudah bagi kita menguasai daerah selatan pada umumnya“

“Baiklah, taijin. Kita membagi tugas dan sebaiknya kalau taijin menghubungi para thaikam kepala agar ikut membujuk kaisar“

“Jangan khawatir, Koksu. Mereka semua sudah berada di tanganku“

Setelah berunding sebentar, Lui Koksu berpamit dan bersama Ciu-kwi dan Akauw mereka lalu naik kereta menuju ke istana. kalau tadi melihat istana Kok-su dan Perdana Menteri yang mewah itu Akauw sudah merasa terkagum-kagum, kini begitu dibawa masuk istana, dia benar-benar terpesona. Tak pernah dibayangkan semula ada rumah manusia seperti itu mewah dan megahnya. Semuanya serba besar, serba indah dan serba mewah. baru pintunya saja sudah begitu besar dan tinggi, agaknya pintu itu dibuat untuk masuk seekor gajah!

Dan dimana-mana penuh tanaman buatan, taman-taman kecil, air pancuran, batu-batu karang beraneka bentuk, ukiran-ukiran, lukisan-lukisan, pendeknya, tidak habis-habisnya dia kagumi. Sampai nanar dia di buatnya memandangi semua keindahan itu.

Para prajurit pengawal yang berjaga di setiap lorong dan tikungan istana itu memberi hormat kepada Koksu, dan setelah mereka tiba di bagian dalam, para pengawal yang berjaga adalah orang-orang sida-sida atau Thaikam.

Akhirnya mereka dibawa menghadap kaisar di sebuah ruangan yang amat indahnya. Karena saat itu bukan waktu persidangan, maka Koksu di terima oleh kaisar diperpustakaan, dimana Sri Baginda sedang memilih buku untuk di bacanya. Biarpun dia Kaisar bangsa Mongol (Toba), namun kaisar Julan Khan suka akan kesusastraan, di samping lihai pula ilmu silatnya. Para pengawal thaikam itu segera di suruh keluar dari ruangan setelah kaisar melihat bahwa yang menghadapnya adalah Lui Koksu yang dipercaya penuh, bersama seorang kakek kecil kurus dan seorang pemuda yang gagah perkasa.

Mereka bertiga segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar. Hal ini di lakukan oleh Akauw setelah lebih dulu dia diberitahu dan di ajari bagaimana harus bersikap kalau berhadapan dengan kaisar, akan tetapi ketika menjatuhkan dirinya berlutut, tetap saja caranya kasar karena memadang di dalam hatinya dia masih meragu mengapa dia harus berlutut seperti itu di depan seorang yang baru saja di jumpainya dan belum di kenalnya sama sekali.

“Oh, engkau, Koksu. Bangkit dan duduklah dan juga kalian berdua yang datang bersama Kok-su“

“Terima kasih Yang Mulia“ kata mereka hamper berbarengan.

Kini mereka menghadap Kaisar yang duduk di atas kursi berukir indah itu dengan berdiri saja, berdiri dengan kepala di tundukkan dan sama sekali tidak boleh kepala itu di angkat kalau tidak sedang di ajak bicara oleh Kaisar. Juga setiap kali bicara, kedua tangan harus di rangkap di depan dada sebagai tanda penghormatan.

“Lui-koksu, siapakah yang kau bawa menghadap ini? Tadi pengawal memberitahu akan tetapi kami kurang memperhatikan“

“Yang Mulia, ini adalah seorang sahabat hamba di waktu muda. Julukannya adalah Thian-te Ciu-kwi, dan dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Yang muda ini adalah muridnya bernama Cian Kauw Cu yang biasa di sebut Akauw. Mereka berdua ini menawarkan tenaga mereka untuk membantu paduka, untuk bekerja dengan hamba. Mengingat bahwa kepandaian mereka boleh di andalkan, maka hamba sengaja mengajak mereka untuk menghadap paduka, untuk mohon perkenan paduka agar mereka di perbolehkan membantu hamba dan di angkat sebagai panglima“

“Hemmm, kami percaya dengan semua keteranganmu, Koksu. Akan tetapi kau tahu tidak mudah begitu saja mengangkat seseorang menjadi panglima sebelum kami melihat sendiri kemampuan mereka...“

Kaisar lalu bertepuk tangan dan bermunculan pengawal thaikam dari pintu dalam. Agaknya para pengawal itu biarpun tidak diperbolehkan memasuki kamar, namun selalu mereka siap diluar pintu sehingga sekali di panggil mereka akan bermunculan dalam waktu cepat sekali.

“Coba panggil Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima unsur) dan suruh mereka bersiap di lian-bu-thia (tempat berlatih silat)!” kata kaisar memerintah kepada para pengawal. Mereka memberi hormat dan pergi.

“Koksu, kami hendak melihat apakah guru dan murid ini akan mampu menghadapi Ngo-heng Kiam-tin!” kata Kaisar kepada Lui-Koksu. Tentu saja Toat-beng Giam-ong sudah tahu siapa itu Barisan Pedang Lima Unsur, maka dia menjawab.

“Hamba kira sobat Ciu-kwi akan mempu menghadapi mereka, Yang Mulia“

Mereka semua lalu mengikuti Kaisar pergi ke ruangan yang amat luas. Ruangan yang memang biasanya dipergunakan untuk berlatih silat. Seperti di ketahui, Kaisar Julan Khan sendiri adalah seorang yang kuat, ahli gulat dan ahli silat. Ketika mereka tiba di sana, sudah menanti lima orang yang berpakaian aneh. Pakaian mereka itu saling berbeda warnanya. Ada yang serba merah, serba biru, serba kuning, hitam dan putih. Lima macam warna! Kaisar muncul, mereka berlima lalu menjatuhkan diri berlutut.

“Bangkitlah!” perintah kaisar dan setelah mereka semua bangkit berdiri, kaisar berkata, “kalian harus menguji kemampuan dua orang guru dan murid ini yang mencalonkan diri sebagai panglima pembantu Koksu“ katanya dan seorang thaikam segera mengangkat kursi kaisar ke belakang kaisar yang segera duduk dengan wajah gembira. Kaisar ini memang suka sekali menonton orang bertanding mengadu ilmu silat.

Sementara itu, Lui Koksu sudah membisiki Ciu-kwi bahwa biarpun kepandaian lima orang itu tidak berapa hebat, akan tetapi karena merupakan barisan pedang yang bekerja sama dengan baik sekali, maka cukup berbahaya . Akan tetapi dia percaya bahwa dengan tangan kosong saja dia atau Akauw mampu mengatasi mereka!

Mendengar bisikan sahabatnya itu, Thian-te Ciu-kwi lalu berkata kepada Kaisar, “Yang Mulia, kalau paduka mengijinkan, hamba akan lebih dahulu maju menghadapi Ngo-heng Kiam-tin ini dengan tangan kosong, baru sesudah hamba murid hamba akan menandingi mereka“

Mendengar ini, Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tahu akan kemampuan Ngo-heng Kiam-tin, dan kakek kecil kurus seperti orang pemadatan ini hendak menandingi dengan tangan kosong saja. Ini hanya ada dua kemungkinan. Kakek itu memang sakti atau sombong. Kalau sombong, biarlah mendapat hajaran keras dari Ngo-heng Kiam-tin.

“Dengan tangan kosong, Ciu-kwi. Ingat, lima batang pedang itu dapat melukaimu!”

“Kalau memang demikian, sudah nasib hamba, Yang Mulia“

“Baiklah, kalau begitu Ngo-heng Kiam-tin, kalian siap menandingi Thian-te Ciu-kwi yang bertangan kosong!”

Lima orang itu lalu berloncatan membentuk lingkaran segi lima. Tubuh mereka rata-rata tinggi besar dan dengan pakaian mereka yang saling berbeda warna itu, gerakan mereka tadi kelihatan indah sekali seperti lima orang penari. tahu-tahu mereka telah mencabut pedang mereka dan siap dengan bermacam pasangan kuda-kuda. Ada yang melintangkan pedang di depan dada, ada yang mengacungkan pedang di atas kepala, ada yang menyembunyikan pedang di bawah lengan. Mereka semua sudah siap untuk menyerang kakek yang berdiri seenaknya itu. Akan tetapi, lima orang ini tidak berani memandang rendah. Nama besar Thian-te Ciu-kwi sudah pernah mereka dengar sebagai datuk kang-ouw dari pantai timur dan kabarnya lihai bukan main.

“Apakah engkau sudah siap, Ciu-kwi?” Tanya kaisar.

“Sejak tadi hamba sudah siap, Yang Mulia“

“Kalau begitu, mulailah!” kata kaisar, di tujukan kepada lima orang itu. Mereka adalah jagoan-jagoan istana, merupakan anggota pasukan pengawal pribadi kaisar.

Mendengar seruan kaisar ini, lima orang itu mulai bergerak melangkah dengan teratur mengelilingi Ciu-kwi yang kelihatan masih berdiri dengan santai saja. Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang berpakaian putih dan agaknya menjadi pemimpin Ngo-heng Kiam-tim, mengeluarkan bentakan nyaring.

“Thian-te Ciu-kwi, lihat pedang!”

Dan diapun sudah menyerang dari depan dengan gerakan dahsyat. Dua orang lain menggerakkan pedang mereka memperkuat serangan baju putih dan dua orang lagi menggerakkan pedang menjaga kalau lawan membalas serangan. Ciu Kwi mengeluarkan kecepatan gerakannya. Dengan mudah saja dia mampu menerobos di antara sambaran tiga batang pedang itu, berloncatan ke sana sini seperti orang mabok dan tahu-tahu kedua kakinya yang kecil itu mengirim tendangan, bukan membalas serangan tiga orang itu melainkan menyerang dua orang orang yang tadi berjaga-jaga.

Dua orang itu terkejut, maklum lihainya tendangan itu dan berlompatan ke belakang. Mereka mengepung lagi dan dengan bergantian pedang mereka menyerang bertubi-tubi, namun tidak ada pedang yang mampu melukai Ciu-kwi. Dia mengelak, berloncatan dan kadang dengan tangannya menyapok pedang dari samping. Ciu-kwi memperlihatkan ilmu yang menjadi andalannya, yaitu Thian-te Sin-kun (Silat Sakti Langit Bumi) dan mencampurnya dengan gerakan Dewa Mabok untuk mengelak dan mengacaukan lawan.

Ngo-heng Kiam-tin memang kuat sekali. Mereka itu saling tunjuang, saling bantu dan saling melindungi. Mereka dapat bekerja sama dengan rapi dan teratur sehingga Ciu-kwi seperti melawan lima orang dengan satu hati dan pikiran. Namun, karena memang tingkatnya jauh lebih tinggi dari mereka, dia dapat selalu menghindarkan diri dan balasan serangannya beberapa kali membuat barisan pedang menjadi kacau.

Setelah lewat tiga puluh jurus, Ciu-kwi mengeluarkan bentakan melengking dan begitu kedua tangannya berputar dan memukul ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar dan lima orang itu terhuyung ke belakang, bahkan dua di antara mereka terjengkang. Ciu-kwi cepat melangkah mundur dan memberi hormat kepada Sri Baginda.

”Harap paduka maafkan hamba“

Sri Baginda bertepuk tangan memuji. “Bagus, bagus sekali, Ciu-kwi. Engkau memang pantas menjadi sahabat dan pembantu Kok-su! Dan bagaimana dengan muridmu itu?“

“Hamba kira dengan menggunakan pedangnya, Akauw akan mampu menandingi Ngo-heng Kiam-tin“

Mendengar ucapan Ciu-kwi, Sri Baginda menjadi gembira sekali. Orang yang mampu mengalahkan Ngo-heng Kiam-tin merupakan orang yang sakti dan tentu saja dia dapat mempergunakan tenaga orang-orang seperti itu. Akan tetapi Lui-Koksu tidak heran karena dia sudah mendengar dari Ciu-kwi bahwa Akauw memiliki ilmu aneh dan juga memiliki Hek-liong-kiam yang ampuh.

“Akauw, lawanlah mereka dengan pedangmu. Akan tetapi jangan sekali-sekali melukai mereka“ pesan Ciu-kwi kepada muridnya.

“Baik, suhu...“ kata Akauw yang telah melihat gerakan lima orang itu dan merasa dapat mengatasi mereka dengan pedangnya. Dia lalu memberi hormat kepada Kaisar, “Mohon perkenan paduka, Yang Mulia“

“Baik, bangkit dan lawanlah Ngo-heng Kiam-tin dengan pedangmu, orang muda“ kata kaisar gembira.

Akauw lalu bangkit berdiri, mencabut Hek-liong Po-kiam dari sarungnya dan nampaklah sinar hitam yang menyeramkan. Bahkan kaisar sendiri berseru kagum. “Po-kiam yang hebat!”

Ngo-heng Kiam-tin kini sudah maju lagi mengepung. Dalam pertandingan melawan Ciu-kwi tadi, jelas mereka telah kalah, akan tetapi tak seorang pun dari mereka mengalami luka sehingga kini mereka dapat maju dengan lengkap dan tenaga mereka masih tidak berkurang. Hanya mereka agak gentar menghadapi pedang hitam di tangan pemuda tinggi besar itu. Mereka pun dapat menduga bahwa pemuda itu memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh.

Lima orang itu, seperti tadi mengepung Akauw dengan berbagai macam kuda-kuda. Akauw sendiri dengan tenang berdiri dengan pedang melintang di depan dada, seluruh saraf di tubuhnya menengang dalam keadaan siap siaga. Kembali si baju putih mengeluarkan bentakan.

“Lihat pedang!” Dan dia mulai menyerang, di susul teman-temannya Kadang mereka menyerang bertubi-tubi, susul menyusul, kadang mereka menyerang berbarengan dan menyatukan tenaga dalam pedang mereka.

Namun Akauw telah maklum akan gerakan mereka. Kalau mereka menyerang bertubi-tubi, dia pun mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menghindar, kalau mereka menyatukan pedang mereka, diapun menangkis dengan pengerahan tenaga. Memang agak repot juga baginya kalau mengadu dengan tenaga lima orang yang menggabungkan tenaga mereka itu. Di keroyok oleh lima orang, tenaganya tidak kuat bertahan dan beberapa kali dia terpaksa melangkah mundur. Akan tetapi, setelah lewat dua puluh lima jurus, Akauw mengubah gerakan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang membelit dan memutar.

“Kraakk!” terdengar suara keras dan pedang si baju putih patah menjadi dua ketika dia berani menangkis dengan langsung sambaran sinar hitam yang bergulung-gulung itu. Kepatahan pedang baju putih sebagai pemimpin ini mengacaukan yang lain dan Akauw menggunakan kesempatan ini untuk menyambar pedangnya dan empat batang pedang yang lain juga patah semua! Tentu saja Ngo-heng Kiam-tin menjadi rusak dan mereka berlima terpaksa berlompatan ke belakang karena sudah tidak ada senjata di tangan mereka.

Sri Baginda Kaisar Julan Khan bertepuk tangan memuji. “Bagus, Kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus!“ dia memuji lalu berkata kepada Lui-koksu, "kami telah melihat ilmu Ciu-kwi dan Akauw. Mereka boleh kau terima menjadi panglima untuk membantu pekerjaanmu“

Ciu-kwi dan Akauw segera menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Mereka bertiga meninggalkan istana dengan gembira dan semenjak hari itu, Ciu-kwi menjadi pembantu Koksu dan Akauw menjadi seorang panglima muda yang di perbantukan pula kepada Kok-su. Mereka berdua untuk sementara tinggal di tempat kediaman Kok-su.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Yang Cien. Seperti telah diceritakan di bagian depan. Yang Cien tinggal seorang diri di dalam guha besar bawah tanah itu setelah di tinggal pergi oleh Akauw. Dia segera dapat menghilangkan perasaan kesepiannya di tinggalkan sutenya itu, dan dengan tekun dia melanjutkan latihannya, mempelajari ilmu Bu-tek Cin-keng yang ternyata amat sulit di latih itu. Dia tahu bahwa sutenya telah hafal akan semua gerakan ilmu silat itu, akan tetapi tanpa petunjuk kitab, ilmu yang di miliki sutenya itu hanyalah kulitnya saja, tanpa isi. Dia berjanji pada diri sendiri bahwa kelak kalau dia bertemu kembali dengan sutenya, dia akan mengajarkan ilmu itu secara yang semestinya agar sutenya juga menguasai Bu-tek Cin-keng secara benar.

Setiap hari Yang Cien tekun berlatih , hidup secara sederhana sekali, tidak pernah berhubungan dengan manusia lain. Dia seolah menjadi seorang pertapa yang hidup menyendiri di tempat sunyi itu, di Lembah Iblis. Tiga tahun telah lewat tanpa terasa. Yang Cien telah menyelesaikan pelajaran ilmu itu dan kini akibat racun jarum di kitab itu sudah hilang sama sekali. Tanpa di sadarinya sendiri, dia telah menguasai ilmu yang amat dahsyat, yang di pelajari dan di latihnya selama lima tahun di tempat itu! Juga dia tidak menyadari bahwa kini dia telah menjadi seorang pemuda yang sudah dewasa benar, pemuda yang berusia dua puluh lima tahun!

Pada halaman terakhir kitab Bu-tek Cin-keng itu terdapat tulisan yang mengharuskan murid yang mempelajari kitab itu sampai habis, agar menutup guha itu. “Gulingkan batu yang berada di atas tebing dan hujan batu besar akan menutup guha ini untuk selamanya“ demikian bunyi pesan itu.

Yang Cien melangkah keluar guha. Biasanya hanya untuk mencari makan saja dia keluar dari guha itu, paling banyak sekali dua kali dia keluar guha dalam sehari. Dia tidak begitu memperhatikan di atas tebing dan baru sekarang dia berdongak memperhatikan keadaan di atas tebing. Tebing itu tinggi dan permukaan dinding tebing memang penuh dengan batu besar yang kalau tertimpa batu dari atas tentu akan dapat terlepas dan runtuh ke bawah. Tentu itu yang di maksudkan pesan dalam halaman terakhir kitab itu.

Dia masuk kembali lalu menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang, menghadap kerangka yang berada di kursi itu. Kedudukan kerangka yang berada di kursi itu pun ternyata membantunya memecahkan rahasia dari jurus terakhir sebagai penutup kitab pelajaran itu. Tadinya, sampai berhari-hari dia bingung, tidak dapat mengerti dengan baik gerakan jurus penutup. Baru setelah dia melihat kedudukan kerangka itu, memperhatikan kedudukan kedua tangan dan kakinya, dia mengerti. Kerangka itu justeru berkedudukan seperti yang di kehendaki dalam jurus terakhir tadi.

“Suhu, siapapun adanya suhu, teccu (murid) menghaturkan banyak terima kasih atas semua petunjuk suhu sehingga teecu dapat menyelesaikan pelajaran Bu-tek Cin-keng ini. Karena khawatir kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, kitab ini teecu tinggalkan di sini bersama suhu, dan pedang Pek-liong-Po-kiam teecu bawa sedangkan Hek-liong-Po-kiam di bawa sute Akauw...“

Setelah berlutut dan memberi hormat delapan kali, di atas meja dan dia membawa Pedang Naga Putih keluar, bersama buntalan pakaiannya. Kemudian dia mendaki tebing itu ke atas dan baru dia mengetahui betapa mudahnya hal itu dilakukannya. Padahal, tadinya dia mengira bahwa memanjat tebing itu akan sukar sekali karena tebing itu terjal. Namun setelah kakinya memanjat, dia merasa ringan dan mudah saja! Dia sendiri tidak menyadari bahwa latihan-latihan itu telah meningkatkan sinkang dan ginkangnya sehingga dia mampu bergerak seperti seekor cecak merayap dinding!

Setelah tiba di atas tebing, dia lalu mencari batu yang terbesar. Di temukan batu itu, sebesar gajah. Tadinya diapun meragukan apakah dia akan mampu, menggulingkan batu sebesar gajah itu, apakah tidak lebih baik memilih yang lebih kecil. Akan tetapi, begitu dia mencoba untuk menggerakkan batu itu, ternyata terasa tidak terlalu berat baginya dan dengan mudah dia mampu mendorong dan menggelindingkan batu ke tepi tebing, tepat di atas guha besar yang selama lima tahun menjadi tempat tinggalnya itu.

Begitu batu terguling, terdengar suara gemuruh dan ketika dia melongok ke bawah, benar saja, batu itu menghantam batu-batu di bawah sehingga terlepas dari dinding tebing dan hujan batu besar terjadi di depan guha sehingga guha itu tertutup sama sekali oleh ratusan, bahkan mungkin ribuan batu besar! Tidak mungkin lagi bagi seorang atau beberapa orang manusia untuk membongkar batu-batu itu. Guha itu benar-benar telah menjadi kuburan bagi gurunya yang tak di kenal namanya itu.

Kemudian, dia menuruni tebing kembali dan memasuki guha yang penuh emas. Sampai lama dia mengamati emas-emas yang menempel di dinding guha. Sekali waktu benda berharga ini akan berguna juga, entah kapan dan untuk apa, dia belum mampu membayangkan. Dia lalu mengambil secukupnya untuk bekal. kemudian mencari batu besar dan menggulingkan batu itu menutupi guha kecil itu sehingga tidak nampak sama sekali dari luar. Hanya dia yang tahu bahwa di balik batu besar itu terdapat sebuah guha penuh emas. Dalam guha-guha lain yang berjajar di daerah itu tidak terdapat apa-apa lagi, kecuali guha pertama yang penuh dengan arca yang tidak begitu penting untuk di sembunyikan.

Setelah selesai menutup kedua guha yang di rahasiakannya itu, Yang Cien lalu pergi meninggalkan tempat itu. Beberapa kali dia menoleh untuk memandang tempat yang di jadikan tempat tinggalnya selama lima tahun itu. Menduga-duga kapan kiranya dia akan dapat kembali ke tempat itu. Lembah Iblis! Dia tidak mengerti mengapa rakyat di wilayah itu menamakannya Lembah Iblis.

Padahal baginya, lembah itu amat indah dan menjadi tempat dia menghabiskan waktunya bertahun-tahun. Sejak dia memasuki lembah itu bersama kakeknya, tidak kurang lebih sepuluh tahun dia tinggal di sana, lima tahun tinggal di gubuk atas pohon seperti kera, dan lima tahun tinggal di guha seperti pertapa. Dan kini, dia memasuki dunia ramai. Apakah yang menanti dia di depan? Dia tidak tahu, dan menyerahkan diri kepada kekuasaan Tuhan.

Nasib? Menurut pelajaran tentang kehidupan yang dia dapatkan dari kakeknya, dia tidak mau menggantungkan diri kepada nasib. Nasib tidak datang bagitu saja, nasib hanya merupakan mata rantai dari sebab akibat. Kalau orang menanam bibit baik lalu menuai hasil panen baik, itu bukan nasib namanya! Juga kalau menyebar bibit baik, itu juga dapat memetik panen baik, itu juga bukan nasib karena pasti ada penyebabnya! Entah karena pemupukannya kurang baik, atau penjagaannya kurang baik sehingga terusak oleh hujan atau oleh burung-burung atau hama lainnya. Jelas bukan karena nasib buruk dan sebagainya!

Kekuasaan Tuhan memang mutlak. Akan tetapi Kekuasaan Tuhan juga adil! Jadi tidak ada yang di sebut nasib baik atau nasib buruk karena semua yang terjadi sudah semestinya demikian, sesuai dengan hokum karma masing-masing. Dan karma itu siapa penyebabnya, siapa pembuatnya? Kita sendiri! Karena itu, setiap perbuatan adalah menyebar benih setiap peristiwa yang terjadi menimpa diri adalah penuaian dari penyebaran benih tadi, atau akibat dari perbuatan kita.

Maka orang bijaksana tidak mengeluh kalau sesuatu menimpa dirinya karena sadar bahwa itu adalah hasil dari perbuatannya sendiri, lama atau baru, sedangkan kalau melakukan sesuatu maka pekerjaan itu dilakukan tanpa pamrih imbalan apapun.


Demikianlah apa yang telah dipelajari Yang Cien dari kakeknya, oleh karena itu, dia pun tidak gentar menghadapi apapun karena maklum bahwa segalanya tergantung dari padanya sendiri.

********************

Pemandangan di Telaga Tai-hu amatlah indah. Di tengah telaga yang besar itu terdapat beberapa pulau kecil dan banyak orang yang berpesiar naik perahu di telaga disamping perahu-perahu nelayan penangkap ikan. Ada pula orang-orang berpakaian sastrawan yang naik perahu kecil, menghadapi kitab sambil minum arak atau sambil memancing ikan.

Seorang pemuda berpakaian sederhana naik sebuah perahu kecil dan mandayungnya mendekati sebuah pulau. Dia tertarik sekali kepada seorang laki-laki yang juga berperahu seorang diri sambil membaca sajak. Pemuda ini selain pakaiannya yang sederhana, juga gerak-geriknya amat sederhana. Rambutnya yang di gelung ke atas itu tertutup sebuah caping lebar, bajunya dari kain kasar berwarna biru dan potongannya seperti yang biasa di pakai para petani. Wajahnya yang terlindung caping itu tampan, berbentuk persegi dan berkulit putih. Alisnya tebal melindungi sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, hidungnya mancung dan mulutnya selalu mengembangkan senyum yang ramah. Wajah yang menyenangkan, akan tetapi juga mengandung wibawa yang kuat.

Pemuda itu adalah Yang Cien. Dia menyembunyikan Pedang Pusaka Naga Putih di dalam buntalan pakaian yang digendongnya. Pemuda ini dalam perjalanannya merantau telah membeli beberapa potong pakaian baru yang di gendongnya dalam buntalan kain kuning.

Ketika melakukan perjalanan merantau karena sampai selesai melatih diri dengan Kitab Bu-tek Cin-keng sutenya belum juga pulang, dia tiba di Telaga Tai-hu dan menyewa sebuah perahu. Tertarik oleh pemandangan yang amat indah itu. Ketika tadi mendengar orang membaca sajak, dia tertarik oleh kata-kata dalam sajak itu.

“Pohonku dikuasai burung gagak Sarangku terancam musnah Namun apa dayaku?

Semua burung dara pergi ketakutan Tidak ada yang berani melawan gagak

Tiada harapan kecuali menanti munculnya Sang Garuda. Pengusir burung gagak dari pohonku“


Dia tertarik sekali karena dia dapat menangkap inti dari sajak atau nyanyian itu. Pohon dikuasai burung gagak, yaitu termasuk burung liar seperti yang terjadi sekarang. Cina bagian utara sepenuhnya di kuasai bangsa Mongol (Toba) dan semua burung dara pergi ketakutan. Bukan hanya ketakutan bahkan banyak penduduk pribumi yang menghambakan dirinya kepada kekuatan asing itu. Bahkan mendiang ayahnya juga menghambakan dirinya kepada kaisar Toba. Hal ini sebetulnya tidak di setujui kakeknya. Kakeknya seringkali menyesalkan hal itu.

“Bagaimanapun juga, seorang patriot haruslah menentang penjajahan, bukannya membantu kaum penjajah untuk memakmurkan rakyat.“ kata kakeknya.

Di dalam sajak di sebutkan bahwa semua burung dara tidak ada yang berani melawan gagak, maka di harapkan munculnya sang garuda untuk mengusir burung gagak. Mengusir Bangsa Toba dari tanah air? Bukan pekerjaan mudah!

“Ayahmu salah langkah“ kata kakeknya dahulu, “sepatutnya dia membantu mereka yang menentang Kaisar Toba, bukan menghambakan diri kepadanya. Di bawah kekuasaan Kaisar Toba, para pejabat melakukan koropsi dan penindasan terhadap rakyat. Mereka tidak memperdulikan nasib rakyat jelata karena menganggap tidak perlu bekerja dengan sungguh-sungguh mengingat bahwa pemerintahan itu adalah Kerajaan Mongol. Semua pejabat berlomba untuk menggendutkan diri, menebalkan kantung sendiri dan berlomba untuk mewah-mewahan. Para pendekar yang berjiwa patriot melihat penindasan oleh Bangsa Mongol merasa prihatin sekali. Namun pasukan Kerajaan Toba amat kuat sehingga setiap pemberontakan mengalami kegagalan. Para pejabat yang bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kesejahteraan rakayt, seperti mendiang ayahmu, malah di musuhi oleh pejabat-pejabat tinggi yang berkuasa. Nah, mendiang ayahmu telah salah langkah, dan tidak seharusnya engkau mengikuti jejaknya itu“

“Kakek pernah mengatakan bahwa yang membunuh ayah ibu adalah Koksu“

“Benar. Anak buah Toat-beng Giam-ong Lui Tat yang kini menjadi Koksu itu yang telah mengeroyok dan membunuh ayah ibumu. Dia tidak senang melihat ayahmu membela rakyat yang terindas dan berani memprotes kenaikan pajak dan kerja paksa. Pemerintah penjajah memang sifatnya menindas dan memeras, dan ayahmu telah berani menentang arus. Akan tetapi, singkirkan dendammu pribadi itu, Yang Cien. Engkau harus mempergunakan segala daya dan kepandaianmu untuk mempersatukan rakyat, mempersatukan semua kekuatan agar tidak terpecah-belah dan hanya dengan persatuan saja kiranya penjajah Mongol akan dapat di halau dari negeri kita“

Demikianlah, percakapan itu mengiang di telinga Yang Cien ketika dia tertarik mendengar bunyi sajak yang mengandung semangat menantang penjajah itu. Dia lalu mendayung perahunya mendekat perahu orang itu. Ternyata yang membaca sajak tadi adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berpakaian seperti pengemis! Kakek itu menghadapi seguci arak dan dia tadi membaca sajak sambil di seling minum arak. Yang Cien dapat menduga bahwa kakek itu tentulah bukan seorang pengemis biasa saja. Mana ada seorang pengemis berperahu, menikmati arak sambil membaca sajak?

“Lo-cianpwe, sajakmu tadi sungguh indah!” katanya memuji.

Kakek itu menoleh dan melihat bahwa yang memujinya seorang pemuda tampan gagah berpakaian sederhana dan bercaping lebar, dia tersenyum ramah. “Orang muda, kalau engkau suka sajak dan minum arak, naiklah ke perahuku. Berdua lebih menggembirakan daripada seorang diri saja“

“Baik, lo-cianpwe dan terima kasih...“ kata Yang Cien gembira.

Akan tetapi pada saat dia mengikatkan tali perahunya pada perahu kakek pengemis itu, tiba-tiba saja datang sebuah perahu besar. Perahu itu sudah dekat sekali dan dari perahu besar itu meluncur banyak anak panah kea rah mereka...!