Tangan Gledek Jilid 50 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 50

Tiang Bu melengak. Tidak tahunya "pemuda" itu adalah Pek Lian, gadis yang dulu pernah ia kagumi, gadis cantik yang bijaksana dan lihai bersama Ang Lian adiknya. Dua orang gadis puteri Huang-ho Sian-jin.

"Adik Pek Lian dan Ang Lian...! Kiranya kalian ini? Bagaimana kalian bisa berada di sini dan dengan siapa kalian datang,"

Saking girangnya Ang Lian melangkah maju dan memegang kedua tangan Tiang Bu. "Saudara Tiang Bu, benar-benar girang hatiku dapat bertemu dengan kau di tempat setan ini. Kalau ada kau di sini, aku tidak takut lagi biar ada lima orang Liok Kong Ji muncul. Dan enci Pek Lian tentu seratus kali lebih girang dari pada aku. Kau tahu, ayah juga ikut datang bersama Wan-bengcu dan yang lain-lain. Mereka juga tentu girang dapat bertemu dengan kau. Baik sekali pertemuan ini, lengkap selengkap-lengkapnya. Biar aku nanti bicarakan urusan perjodohanmu dengan enci Pek Lian."

"Hush, Ang Lian..." Pe k Lian mencegah dengan muka berubah merah sekali.

“Hush apa lagi? Bukankah kau selalu merindukan dia ini? Sekarang sudah berhadapan muka, pakai malu-malu apa lagi? Aku akan bicarakan dengan ayah dan Wan bengcu...”

“Setan, jangan sembarang bicara! Kalau... kuceritakan kepada Ciu twako... Pek Lian balas menggoda. Menelengar ini, Ang Lian menjadi kewalahan dan tak berani banyak bicara lagi.

Sementara itu, mendengar kata-kata dari Ang Lian ini, Tiang Bu menjadi bingung sekali. Percuma saja mencegah seorang gadis seperti Ang Lian berhenti mengoceh. “Aku sedang mengejar-ngejar Liok Kong Ji,” katanya kemudian. Ia melirik beberapa kali ke arah tempat persembunyian Bi Li dan sebelum ia memanggil Bi Li, gadis ini sudah mucul sambil memondong Leng Leng.

Pek Lian dan Ang Lian kaget lagi, memandang kepada Bi Li dengan penuh curiga. “Apakah dia ini seorang selir Liok Kong Ji?” tanya Ang Lian yang lancang mulut dan salah duga.

“Nona Ang Li an, jangan salah duga. Dia ini adalah nona Wan Bi Li dan...”

"Astaganaga...!” Ang Lian meloncat dan memeluk Bi Li dengan mesra. "Maafkan aku, enci Bi Li. Kau boleh tampar mulutku yang lancangg. Aduh... jadi kau ini adik Wan Sun twako? Pantas... pantas akan tetapi...” ia melihat lengan kiri yang buntung itu dan tak dapat melanjutkan kata-katanya, akan tetapi dari sepasang matanya mengucur air mata. Biarpun ia kasar dan jujur, namun hati Ang Lian baik sekali ia terharu melihat lengan tangan Bi Li buntung dan ia tak pernah mendengar tentan g hal ini.

Sebaliknya, Bi Li mempunyai hati yang keras. Ia maklum apa yang menyebabkan Ang Lian mengucurkan air mata. Ini saja sudah melenyapkan kemendongkolan hatinya ketika Ang Lian mengira dia ”selir" Liok Kong Ji. "Adik yang manis kau mau tahu? Lenganku ini buntung oleh pedang Liok Kong Ji..."

Ang Lian membanting-banting kakinya. "Bangsat besar Liok Kong Ji. Kali ini ia takkan mampu lolos dari hukuman! Enci Bi Li, tahukah kau, kakakmu juga berada dengan kami?”

Ang Lian mengira bahwa BI Li tentu akan girang sekali mendengar ini, akan tetapi Bi Li malah mengerutkan kening, agaknya berita itu tidak menggembirakan hatinya benar. Memang, dalam keadaannya seperti sekarang, buntung lengannya. Ia sudah tawar hatinya untuk bertemu dengan siapa juga. Memilukan saja, pikirnya.

"Anak ini... anak siapakah?” tanya Pek Lian, sikapnya hati-hati dan sejak munculnya Bi Li, ia mendapat firasat yang tidak menyedapkan hatinya. Berkali-kali ia memandang dari Tiang Bu kepada Bi Li dan hatinya menduga-duga.

“Dia itu kami rampas dari tangan Liok Kong Ji. Tiang Bu menerangkan. "Kami sendiri tidak tahu dia anak anak siapa, hanya naman ya Leng Leng."

"Ahh, dia ini anak Wan bengcu!" Ang Lian berkata girang sambil meraih Leng Leng dari pondongan Bi Li sampai bocah itu sadar dari tidurnya dan memandang bingung. "Benar, dia anak Wan-bengcu. Bukankan namamu Wan Leng, anak manis?"

Leng Leng mengangguk-angguk kepada gadis yang tak dikenalnya ini. Ang Lian menciuminya, "Syukur, syukur, syukur... alangkah akan girangnya hati Wan bengcu dan isterinya!"

Karena percakapan itu tidak karuan juntrungnya, Tiang Bu lalu minta dua orang gadis itu menceritakan keadaannya. Ang Lian menyerahkan Leng Leng yang diminta oleh Pek Lian, kemudian ia bercerita.

"Kami sebelas orang datang untuk menyerbu Pek-houw-to, akan tetapi tak menjumpai siapa-siapa kecuali para selir dan pelayan wanita yang tidak berarti. Ayah, aku dan enci Pek Lian ini sebetulnya bertugas menjaga perahu. Akan tetapi karena sudah hampir sore mereka belum kembali, ayah lalu memperkenankan aku dan enci Pek Lian untuk menyusul mereka. Sebelum kami bertemu dengan seseorang di antara mereka, tahu-tahu malah bertemu dengan kau dan ternyata Leng-ji sudah tertolong. Menurut keterangan Wan-bengcu, Leng-ji ini dibawa ke sini oleh Cun Gi Tosu."

Tiang Bu mengangguk-angguk. Ia merasa girang sekali bahwa bocah yang ditolongnya itu ternyata puteri Wan Sin Hong. Ngeri ia memikirkan kalau sampai bocah itu tewas dalam pertempuran tadi.

"Keadaan di sini masih amat berbahaya," katanya kemudian kepada dua orang gadis enci adik itu. "Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong masih berkeliaran dan sedang kami kejar-kejar. Lebih baik kalian kembali kepada ayah kalian dan bawalah Leng-ji ini agar aman dan terlindung di sana, sambil menanti kembalinya Wan-siok-siok."

Ang Lian mengangguk-angguk, akan tetapi Pek Lian berkata. “Apakah... apakah tidak baik kalau aku membantumu menghadapi Liok Kong Ji?”

Sebelum Tiang Bu menjawab, Bi Li berkata, “Tiang Bu, tentu baik sekali kalau… enci Pek Lian ini membantumu. Tentu dia memiliki kepandaian tinggi dan karenanya kau akan lebih kuat kedudukanmu."

Tiang Bu seorang yang perasa sekali. Dalam ucapan ini ia menangkap nada yang membayangkan hati sakit, maka ia bingung dan cepat ia berkata kepada Pek Lian. “Nona Pek Lian, bukan aku tidak mengharap bantuanmu. Akan tetapi harus kau ketahui bahwa ilmu kepandaian Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong lihai sekali. Kau bukan lawan mereka."

Ketika melihat pandang mata Pek Lian beralih kepada Bi Li seakan-akan bertanya mengapa kalau Bi Li boleh bersama dia, Tiang Bu cepat berkata, "Ketahuilah, nona Wan Bi Li adalah sebagai murid terkasih dari Ang jiu Mo-li dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya diri pada kalian, masih tidak mampu membantuku mengalahkan Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong."

Mendengar ini, dua orang enci adik itu merasa kagum kepada Bi Li. Kiranya nona butung ini lebih lihai malah dari pada mereka! Akhirnya mereka lalu menurut, membawa pergi Leng Leng untuk kembali kepada ayah mereka yang masih menanti di pantai menjaga perahu.

Tiang Bu dan Bi Li terus mencari jejak Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong. Akan tetapi malam tiba dan sepasang muda-mudi ini terpaksa melewatkan malam gelap di dalam sebuah gua untuk berlindung dari serangan hawa dingin. Tiang Bu yang amat memperhatikan Bi Li melihat perubahan pada sikap gadis itu. Setiap kali bertemu pandang, dari sepasang mata dia itu memancar sinar kemarahan yang aneh. Semua ini ia dapat melihat di bawah penerangan api unggun yang ia buat untuk mengusir nyamuk yang banyak terdapat di dalam gua di tepi pantai itu.

Ia menduga-duga dan kecerdikannya membuat ia dapat mengetahui bahwa gadis ini tentu merasa cemburu dan penasaran karena kata-kata yang keluar dari mulut Ang Lian yang amat lancang tadi tentang Pak Lian yang rindu kepadanya! Dugaannya memang tepat dan hal ini dinyatakan oleh Bi Li yang kini mulai membuka mulut bicara setelah sejak tadi diam cemberut saja.

“Tiang Bu, kau tentu sudah kenal baik sekali dengan Huang ho Sian-jin, bukan?”

Diam-diam Tiang Bu geli hatinya. Ia tahu bahwa gadis ini sebetulnya hendak bertanya bahwa ia mengenal baik dua orang gadis puteri Huang-ho Sian-jin tadi, akan tetapi Bi Li sengaja bicara memutar.

“Tidak,” jawabnya sungguh-sungguh dan jujur. "Baru satu kali aku bertemu dengan orang yang gagah itu." Ia menceritakan bahwa dahulu ia menolong piauwsu yang dirampas barang-barang berharganya oleh Ang-Lian dan Pek Lian, kemudian ternyata bahwa barang-barang berharga itu dirampas oleh anak Huang-ho Sian jin untuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang menjadi korban banjir.

“Pantas saja kalau begitu. Ayahnya seorang tokoh besar yang gagah budiman, dua orang gadis itupun gagah dan cantik-cantik sekali, apalagi yang bernama Pek Lian tadi. Tiang Bu, kau patut menjadi mantu Huang-ho Sian-jin!”

Nah, ini dia maksud hatinya yang penuh cemburu, pikir Tiang Bu. “Bi Li mengapa kau bicara begitu? Jangan kau perhatikan ucapan Ang Lian yang sejak dulu memang tukang menggoda orang dan bicaranya sangat sembrono. Ang Lian masih seperti anak-anak, kalau bicara tidak tahu kira-kira dan mudah saja menjodoh-jodohkan orang.”

"Tiang Bu, apakah kau tidak berani mengaku bahwa Pek Lian seorang gadis cantik dan gagah?” Bi Li memandang tajam.

"Memang," jawab Tiang Bu jujur, "tak dapat disangkal lagi, Pek Lian seorang gadis yang cantik. Akan tetapi hatiku telah tertawan oleh seorang gadis lain bernama Wan Bi Li...“

“Siapa ketahui hati laki-laki? Tiang Bu, kan lebih cocok dan setimpal kalau berdampingan dengan Pek Lian."

“Bi Li, harap kau sudahi percakapan ini…!” Tiang Bu memegang tangan Bi Li dengan mesra. “Kau sudah mengetahui isi hatiku. Selain enkau, tak mungkin di dunia ini ada wanita yang dapat kucinta seperti aku mencintaimu."

Akan tetapi Bi Li tak dapat melupakan sinar mata yang memancar keluar dari mata Pek Lian ketika gadis berpakaian pria itu memandang Tiang Bu, penuh kasih sayang dan kekaguman. Mendengar ucapan Tiang Bu ini, ia menunduk dan pikirannya melayang-layang.

"Tiang Bu, kalau urusan di pulau ini sudah selesai, apa ke hendakmu selanjutnya?" akhirnya dia bertanya perlahan.

"Pertama tama, minta Wan-siok-siok mengurus pernikahan kita!” jawabnya tegas.

Cahaya kemerahan dari api unggun menyembunyikan warna merah yang menjalari muka Bi Li. Ia masih menunduk dan menarik tangannya yang dipegang Tiang Bu, lalu jari-jari tangan itu bermain-main dengan sehelai rumput. “Setelah itu...?” desaknya.

"Setelah itu? Ah. Bi Li. Alangkah bahagianya kalau kita sudah menjadi suami isteri. Cita-citaku hanya untuk membahagiakan hidupmu. Sisa hidupku akan kupergunakan untuk menyenangkan hatimu. Aku ingin merantau ke seluruh permukaan bumi ini bersamamu akan kuajak kau menjelajah di empat penjuru dunia! Bukankah senang sekali?” Kembali ia memegang tangan Bi Li yang berkulit halus.

Ucapan ini membuat hati Bi Li terasa perih sekali. Tak dapat disangkal lagi, ia mencinta pemuda ini, mencinta dengan sepenuh hati karena segala gerak-gerik dan tindak-tanduk pemuda ini benar-benar memikat hatinya. Akan tetapi ucapan tadi, pergi merantau berdua di empat penjuru dunia, benar-benar mendatangkan bayangan dan renungan yang membuat hatinya perih. Ia dapat membayangkan betapa dia dengan lengan buntungnya mengawani Tiang Bu di mana-mana.

Tiang Bu, seorang pemuda yang gagah perkasa, yang kelak pasti akan dipuji-puji oleh dunia kangouw karena selain memiliki kepandaian tinggi juga mempunyai pribudi luhur, dengan seorang isteri berlengan buntung dan yang hanya akan menjadi tontonan yang menggelikan orang! Tiang Bu dikagumi dan dipuji puja. Sedangkan dia sebagai isterinya akan selalu menerima pandang mata orang yang memandang dengan sinar mata mengandung kasihan bahkan ejekan! Akan kuatkah hati Tiang Bu manghadapi ini semua? Kelak akan tiba saatnya Tiang Bu bertemu dengan seorang seorang gadis cantik jelita yang lebih gagah dari padanya, gadis yang utuh badannya, tidak buntung lengannya. Dan Tiang Bu akan jatuh hati betul-betul, dia akan... akan dilupakan!

“Tidak... tidak...!" Bi Li menutupi jari-jari tangannya ke depan mukanya yang menjadi pucat.

“Bi Li? kau kenapa?”

Bi Li dapat menguasai hatinya yang terkacau oleh bayangan tadi. Ia menggeleng kepalanya dan berkata. "Aku tidak mau merantau, hal itu hanya akan memalukan saja, Tiang Bu. Dengan lengan seperti ini...“

"Aku tidak malu, Bi Li! Bahkan kebuntungan lenganmu itulah yang menambah besarnya cintaku kepadamu. Akan kuperlihatkan kepada dunia bahwa aku bangga mempunya kau di sampingku, bahwa aku sama sekali tidak malu karena kau cacad. Coba, siapa berani mengejek atau menghinamu karena cacadmu tentu akan kuhajar habis-habisan!”

Bi Li terharu sekali. Ia percaya akan cinta kasih pemuda saperti Tiang Bu ini, dan tidak terasa lagi tangannya memegang lengan pemuda itu dengan penuh terima kasih. Kemudian ia menarik kembali tangannya dan bertanya,

"Tiang Bu, andaikata... ini andaikata saja... perjodoban kita tidak dapat berlangsung, apa yang hendak kau kerjakan?"

Dengan pertanyaan ini Bi Li bendak memancing dan menjenguk isi hati kekasihnya, sampai di mana besarnya cinta kasih pemuda ini.

Wajah Tiang Bu berubah. "Tidak akan ada yang menghalangi perjodohan kita, Bi Li. Iblis sekalipun tidak! Kecuali... kecuali kalau kau yang tidak mau menerima persembahan cintaku... apa boleh buat, kalau demikian halnya, aku bersumpah takkan mau menikah dengan lain orang, aku... aku akan mengundurkan diri dan menjadi seorang pertapa di Omei-san.

Suara yang keluar dari bibir Tiang Bu ini adalah suara hatinya, maka terdengar menggetar mengharukan, membuat Bi Li tak dapat menahan isak tangisnya. Hati gadis ini tidak karuan, girang, bahagia, tercampur duka, haru, dan khawatir. Dia diam saja ketika Tiang Bu memeluk dan menghiburnya. Akhirnya ia pulas dengan kepala di atas pangkuan Tiang Bu yang menjaganya semalam penuh agar tubuh kakasihnya tidak diganggu nyamuk yang masih saja berseliweran biarpun api unggun masih bernyala terus.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Pada ke esokan harinya, pagi-pagi Tiang Bu bersama Bi Li sudah mulai lagi mencari jejak Liok Kong Ji dan Cui Kong yang masih belum juga dapat ditemukan di mana sembunyinya.

“Mereka tak mungkin ke luar dari pulau ini," kata Tiang Bu. Setelah Wan siok-siok dan kawan-kawannya datang dengan perahu, tentu Wan-siok-siok tidak begitu bodoh untuk meninggalkan penjagaan di pantai. Menurut Ang Lian dan Pek Lian. Huang-ho Sian-ji ditinggalkan di pantai, tentu kakek itu melakukan perondaan dan akan melihat apabila Liok Kong Ji meninggalkan pulau dan tentu akan memberi isyarat kepada Wan-siok-siok. Aku yakin mereka itu masih bersembunyi dalam gua-gua yang banyak terdapat di pesisir ini.”

Bi Li juga berpendapat demikian dan dua oran g muda ini mulai mencari terus tanpa mengenal lelah. Juga rombongan Wan Sin Hon g mencari cari, akan tetapi mereka itu berada di lain jurusan dan tidak mencari dalam gua-gua di pesisir batu karang. Tempat ini memang agak tersembunyi dan hanya Tiang Bu yang sudah sampai di situ lebih dulu.

Memang dugaan Tiang Bu tepat sekali. Liok Kong Ji tidak berani meninggalkan pulau, bahkan tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya karena maklum bahwa musuh- musuhnya yang banyak jumlahnya berkeliaran di atas pulau itu. Sekali saja ia terlihat, ia akan mengalami pengepungan dan sukar menyelamatkan diri lagi. Ia tahu bahwa sekali ini yang mengejarnya orang-orang pandai dari pelbagai kalangan dan andaikata ia dapat melawan Wan Sin Hong, belum tentu ia akan dapat melepaskan diri dari tangan Tiang Bu.

Berdua dengan putera angkatnya. Liok Kong Ji bersembunyi di dalam sebuah gua besar yang menjadi tempat rahasia di mana ia menyimpan kitab-kitabnya, dan gua itu tertutup oleh sebuah batu besar yang amat berat. Setelah ia memasuki gua itu bersama Liok Cui Kong lalu mengangkat batu itu dari dalam, menyeretnya ke depan gua dan menurunkannya di depan gua sehingga sepintas pandang saja orang takkan tahu bahwa di batu besar itu terdapat sebuah gua yang mulutnya kecil saja.

Akan tetapi sebetulnya kalau dimasuki mulut gua yang hanya tiga kaki tinggi dan dua kaki lebarnya itu, membawa orang ke dalam sebuah gua yang besar dan luas penuh dengan perabot-perabot rumah seperti meja kursi, tempat tidur dan yang semuanya terbuat dari pada kayu-kayu yang baik dan mahal. Juga di dalam gua itu dihias amat mewahnya, diterangi lampu minyak dan dinding-dindingnya yang tertutup papan itu digantungi gambar gambar indah. Pendeknya, di sebelah dalam merupakan ruangan atau kamar tidur besar yang mewah dan enak ditinggali.

Maklum akan kelahaian ayah dan anak yang dikejar-kejarnya, Tiang Bu tidak membuang pedang yang dapat ia rampas dari tangan Liok Kong Ji. Bahkan sekarang ia mencari-cari dengan pedang di tangan. sedangkan Bi Li berjalan di belakangnya Akhirnya Tiang Bu dan Bi Li berdiri di depan batu karang yang menutup mulut gua kecil. Tiang Bu menaruh curiga karena di dekat situ ia melihat tapak kaki yang tidak begitu jelas, tanda bahwa orang yang lewat di situ memiliki ginkang tinggi dan sengaja berlaku hati-hati supaya tidak kelihatan tapak kakinya. Tapak-tapak kaki itu lenyap di situ dan tidak terdapat sebuahpun gua di dekat situ, maka hal itu amat mencurigakan hatinya.

“Tiang Bu, batu ini baru saja dipindahkan ke sini. Lihat, rumput-rumput di bawahnya tertindih dan rusak. Kalau sudah lama di sini, tentu tidak ada rumput tertindih. Rumput-rumput ini masih hidup dan segar,” kata Bi Li menuding ke bawah.

Benar saja, memang ada rumput yang tertindih batu besar itu. Tiang Bu menjadi girang dan kagum akan ke awasan mata Bi Li ia mengerahkan tenaga di tangan kiri dan sekali mendorong, batu karang yang menutupi mulut gua itu roboh, kelihatanlah sebuah mulut gua kecil itu.

Tiang Bu tercengang melihat bahwa di balik batu karang itu hanya terdapat gua yang lobangnya sekecil itu. Ia merasa ragu-ragu dan mulai memandang ke sana ke mari mencari-cari jejak. Ketika ia hendak pergi dari situ, kembali Bi Li berkata,

"Nanti dulu, Tiang Bu. Aku merasa curiga melihat gua kecil ini. Kau perhatikan baik-baik, gua ini begini gelap, ini hanya menandakan bahwa dalamnya besar. Siapa tahu kalau-kalau mereka bersembunyi di sini. Memang tempat ini merupakan persembunyian yang baik dan tidak mencurigakan, maka harus diselidiki baik-baik.”

Tiang Bu sadar dan cepat berkata, “Kau betul, Bi Li. Kau tunggu saja di sini, biar aku menyerbu masuk!”

Bi Li memegang lengan Tiang Bu yang sudah hendak melompat ke dalam gua kecil itu. “Nanti dulu jangan terburu-buru Tiang Bu. Gua ini mulutnya amat kecil. Kalau betul-betul mereka berada di dalam dan menyerang selagi kau melompat masuk, apakah tidak berbahaya sekali? Aku teringat ketika dahulu bersama ayah Pangerau Wanyen Ci Lun memburu binatang hutan. Ayah menyuruh orang-orangnya mengasapi gua untuk memancing ke luar macan dan binatang buas lain. Apakah tidak lebih baik kita sekarang membakari daun dan ranting kering di depan gua dan meniup asapnya ke dalam untuk memaksa mereka keluar. Kalau sudah berada di luar gua, terserah kepadamu karena aku percaya kau akan dapat melawan mereka.”

Tiang Bu tersenyum. Sebetulnya ia tidak takut sama sekali, akan tetapi karena melihat sikap Bi Li demikian bersungguh-sungguh dan gadis itu amat mengkhawatirkan keselamatannya, ia tak tega membantah. “Sesukamulah “ jawabnya tertawa. "Akupun ingin sekali membuat Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong terserang asap dan tak dapat bernapas. Alangkah akan lucunya kalau mereka terpaksa ke luar sambil batuk-batuk tak dapat bernapas.”

Ucapan ini dikeluarkan dengan keras oleh Tiang Bu agar terdengar dari dalam gua. Ucapan ini saja sudah merupakan pancing dan ancaman. Maksudnya berhasil baik karena tiba-tiba terdengar suara mendesis dan dari dalam gua yang kecil mulutnya itu keluarlah asap hitam bergulung-gulung. Tiang Bu melompat ke belakang dan meneorong Bi Li untuk mundur. Ia mengenal asap dari huncwe maut Cui Kong dan tahu bahwa dua orang musuhnya betul-betul berada di dalam gua itu.

Ting Bu memutar pedangnya ketika melihat sinar-sinar hitam menyambar pula dari dalam gua. Itulah senjata-senjata rahasia hek-tok-ciam yang dilepas oleh Liok Kong Ji untuk menyusul senjata rahasia asap biasa yang disemburkan oleh Cui Kong. Memang kali ini Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong yang biasanya amat licin dan cerdik itu kena diakali oleh Tiang Bu dan Bi Li. Mendengar usul Bi Li untuk mengasapi gua itu, mereka menjadi terkejut setengah mati.

Tentu saja mereka tidak sudi dijadikan seperti dua ekor tikus yang terpaksa keluar lemas karena lubangnya diasapi. Menghadapi serangan, mereka masih dapat mempergunakan ilmu kepandaian untuk melindungi diri, akan tetapi kalau gua itu dipenuhi asap, berapa lamakah mereka dapat bertahan? Maka dengan hati kecut mereka terpaksa membuka jalan keluar dan menghujankan senjata rahasia mereka.

Betapapun lihainya ilmu silat Tiang Bu pemuda ini tidak berani berlaku gegabah menyerbu ke dalam gua. Senjata rahasia dua orang itu cukup berbahaya, apa lagi hek-tok-ciam itu dilepas di antara asap hitam, tidak kelihatan dan amat berbahaya kalau ia terkena Hek-tok-ciam, sungguhpun ia dapat mengobatinya, namun tentu akan banyak mengurangi daya serang dan daya tempur menghadapi ayah dan anak angkat yang berkepandaian tinggi itu.

“Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong manusia-manusia iblis. Keluarlah untuk menebus dosa-dosamu!” kata Tiang Bu, siap menanti mereka.

Sambil terus melepaskan jarum-jarumnya, Liok Kong Ji akhirnya melompat keluar, di ikuti oleh Cui Kong yang memegang huncwe mautnya. Kini Liok Kong Ji juga sudah memegang pedang lagi, karena dalam gua itu memang tersedia beberapa batang pedangnya yang baik baik.

"Bocah durhaka, kali ini aku tidak ampunkan kau lagi!” kata Liok Kong Ji sambil memutar pedangnya melakukan serangan kilat dituruti pula oleh Cui Kong.

Tiang Bu tahu bahwa ucapan itu hanya gertakan belaka, namun ia tidak berlaku sembrono dan tidak mau memandang rendah kepada dua orang musuhnya yang sudah berkali-kali mengakali dan lolos dari desakannya itu. Cepat ia memutar pedang rampasannya dan menangkis serangan lawan lalu membalas dengan hebat dan tidak kalah sengitnya. Serangan tangan kosong saja Tiang Bu sudah mampu mendesak dua orang lawannya itu, apa lagi ia menggunakan pedang.

Sebentar saja Kong Ji dan Cui Kong hanya bisa main mundur dan ke mana saja mereka meloncat, selalu mereka dibayangi dan dikurung oleh sinar pedang Tiang Bu. Memang pemuda ini sudah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa dan berkali kali Liok Kong Ji sampai merasa kagum bukan main. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Liok Kong Ji adalah ilmu pedang sakti yang jarang bisa dilawan orang, lihai dan selain cepat dan kuat, juga membingungkan lawan.

Kiranya sukar mencari orang yang akan kuat menandingi ilmu pedang Liok Kong Ji pada masa itu. Juga Liok Cui Kong memiliki kepandaian gabungan, sebagian ia pelajari dari Kong Ji dan sebagian pula ia dapatkan dari gurunya, Cun Gi Tosu. Pemuda inipun amat lihai ilmu silatnya, apalagi huncwe mautnya merupakan senjata ganjil yang amat sukar diduga gerakan gerakannya.

Namun dua orang ini tidak berdaya menghadapi Tiang Bu. Di dalam permainan Tiang Bu terdapat segala dasar pertahanan yang maha kuat, yang sukar sekali ditembus oleh serangan-serangan dua orang itu. Desakan-desakan Tiang Bu sebaliknya amat berat mereka rasakan, sungguhpun untuk merobohkan mereka juga bukan merupakan hal mudah bagi Tiang Bu.

Ayah dan anak angkat itu dapat bekerja sama baik sekali. Mereka telah maklum akan kelihaian Tiang Bu den ketika mereka bersembunyi di dalam gua. Liok Kong Ji sudah mengatur siasat bertanding menghadapi Tiang Bu. Ia telah memberi petunjuk kepada Cui Kong dan sekarang petunjuk itu dipraktekkan. Keduanya tidak bergerak sendiri-sendiri terpisah, melainkan bergabung menjadi satu, saling melindungi dan saling membantu. Inilah yang membuat Tiang Bu menghadapi kesukaran untuk segera mengalahkan mereka. Kedudukan mereka memang kuat, bagai tembok baja!

Bi Li menonton pertempuran itu dengan gemas. Ia merasa penasaran tak dapat membantu kekasihnya dan beberapa kali ia mengepal-ngepal tangannya yang tinggal satu dan memandang marah penuh kebencian kepada orang itu, terutama kepada Liok Kong Ji yang sudah membuntungi lengannya. Ingin ia segera melihat musuh besar yang sudah membuat hidupnya hampa dan tubuhnya bercacad ini segera roboh binasa di bawah pedang Tiang Bu. Akan tetapi tiba-tiba ia melihat perubahan dan kini Tiang Bu hanya mendesak Cui Kong seorang, seakan-akan tidak bermaksud merobohkan Kong Ji.

Bi Li mengerutkan keningnya. Apa Tiang Bu tiba-tiba merasa kasihan dan tidak tega membunuh orang yang sebetulnya masih ayahnya sendiri itu? Timbul keraguan dan “perang” dalam pikiran Bi Li ia teringat akan ayahnya sendiri. Ayahnya yang sejati, Kwan Kok Sun, juga bukan seorang manusia baik-baik, bahkan dahulunya amat terkenal jahat. Demikian pula Tiang Bu. Sudah sepatutnya kalau Tiang Bu ragu-ragu untuk membunuh ayah sendiri. Akan tetapi ayah Tiang Bu itu telah membikin buntung lengannya, dosa yang tak dapat ia ampunkan lagi!

Kekhawatiran Bi Li ini sebetulnya kosong belaka. Tiang Bu sama sekali tidak merasa kasihan kepada Liok Kong Ji. Ia amat banci kepada orang yang mengaku sebagai ayahnya ini dan ia akan tega membunuhnya. Dia bukannya berkasihan kepada Kong Ji, akan tetapi dia sedang menjalankan siasatnya. Menghadapi ayah dan anak angkat yang dapat bekerja sama dengan baik betul-betul Tiang Bu menemukan kesukaran untuk mencari kemenangan secepatnya.

Pertahanan dua orang itu kuat bukan main. Oleh karena itu Tiang Bu lalu mengambil keputusan untuk menyerang dan mendesak seorang di antara dua pengeroyoknya. Dan di antara dua oraug itu, Cui Kong paling lemah, maka ia lalu memusatkan perhatiannya kepada Cui Kong dan menghujankan serangan-serangan hebat kepada pemuda itu.

Tentu saja Cui Kong menjadi gelagapan. Biasanya kalau ada lawan menyerangnya, tangkisan huncwenya dapat membuat serangan lawannya buyar dan gagal, akan tetapi kali ini, makin ditangkis pedang di tangan Tiang Bu menjadi makin ganas, seolah-olah tangkisan huncwe itu menambah daya serangnya! Biarpun Liok Kong Ji sudah cepat-cepat membantu untuk menangkisnya dan bahkan menyerang Tiang Bu dengan dahsyat. Tetap saja Cui Kong tak dapat menghindarkan lagi sebuah tusukan pedang yang amat cepat mengarah perutnya.

Ia mempergunakan segala kelincahannya untuk mengelak dari tusukan yang sudah tak mungkin ditangkis lagi itu, akan tetapi ia hanya berhasil menyelamatkan perutnya, tidak dapat lagi menolong pahanya yang tertusuk pedang sampai tembus. Ketika pedang dicabut, darah mengalir deras dari paha itu. Tiang Bu hendak menyusulkan tusukan maut ke dua. namun Cui Kong yang berteriak kesakitan itu sudah membuang diri ke atas tanah dan menangkis tusukan ini dengan huncwenya.

Terdengar suara keras dan huncwe itu terlepas dari tangannya, namun ia selamat dan segera menggerakkan tubuh bergulingan sampai jauh dan baru berhenti karena di belakangnya adalah tebing batu karang yang amat curam. Di sini ia merintih-rintih sambil berusaha membebat luka di pahanya dengan baju yang dirobeknya. Darah amat banyak mengucur, membuat kepalanya pening. Kemudian Cui Kong terguling pingsan!

Melihat ini, Bi Li yang sudah menjadi kegirangan segera berlari menyambar huncwe Cui Kong yang menggeletak di atas tanah, kemudian ia berlari menghampiri Cui Kong yang sudah pingsan itu untuk memberi pukulan terakhir.

“Bi Li, jangan dekati dia...!" Tiang Bu yang masih bertanding dengan Kong Ji itu melarang. Pemuda ini biarpun melihat Cui Kong sudah terguling dan tidak bergerak seperti mati, masih saja curiga dan takut kalau-kalau kekasihnya menjadi korban kelicikan Cui Kong. Akan tetapi Bi Li yang sudah sakit hati itu, mana mau dilarang? Ia makin gemas dan sekali melompat ia sudah tiba di dekat Cui Kong, lalu mengayun huncwe itu ke arah kepala Cui Kong!

Tepat dugaan Tiang Bu. Sebetulnya Cui Kong tidak pingsan, hanya pura-pura pingsan, untuk menyelamatkan diri dan mencegah Tiang Bu menyerang terus. Sama sekali ia tidak mengira bahwa Bi Li akan mengejar dan menyerangnya. Biarpun matanya tertutup, ia dapat mendengar sambaran angin pukulan huncwenya. Cepat ia menggulingkan tubuh dan kepala sehingga huncwe di tangan Bi Li itu menghantam batu, menimbulkan suara keras dan bunga api berpijar membarengi muncratnya batu yang remuk terkena pukulan huncwe!

Bi Li penasaran dan mengejar lagi, mengirim serangan hebat. Terpaksa Cui Kong melompat berdiri, akan tetapi terguling roboh lagi karena pahanya terasa sakit sekali. Namun dalam mengelak, ia terkena huncwe pada pundaknya, membuat ia mengerang kesakitan Bi Li memukul terus, ditangkis oleh lengan kiri Cui Kong.

“Krak!" Tulang lengan itu patah. Tenaga lweekang Cui Kong sudah banyak berkurang karena lukanya yang hebat, maka tidak kuat menerima pukulan huncwe. Sebelum Cui Kong berhasil mengembalikan keseimbangan tubuhnya, Bi Li sudah menyerang lagi!

"Mampuslah kau jahanam!" seru Bi Li dengan gemas, huncwenya kini mendorong dada Cui Kong untuk membuat pemuda terjengkang ke belakang di mana tebing batu karang siap menerima tubuh pemuda itu untuk dilempar ke bawah di mana gelombang laut mengganas kelaparan! Tidak ada jalan mengelak atau menangkis lagi. Cui Kong berlaku nekat, tidak melindungi tubuhnya melainkan menubruk ke depan dengan kedua tangan mencengkeram atau memeluk.

"Awas, Bi Li...!” Tiang Bu berseru dan meninggalkan Kong Ji karena melihat bahaya mengancam Bi Li. Namun terlambat! Cui Kong yang sudah nekat dan ingin mati mengajak lawan itu, berhasil mencengkeram lengan tangan Bi Li yang memegang huncwe dan mendorong dada sedemikian hebatnya sehingga tubuh Cui Kong mencelat ke belakang membawa tubuh Bi Li bersama. Dua orang itu tergelincir masuk ke tepi batu karang dan melayang ke bawah diiringi pekik mengerikan dari Cui Kong.

"Bi Li...!!” Tiang Bu menjerit dan berlari ke tempat itu, tidak perduli lagi pada Kong Ji yang terus saja mempergunakan kesempatan baik itu untuk lari menyelamalkan diri.

Setibanya di pinggir tebing, Tiang Bu melonguk ke bawah dan pucatlah wajahnya. Jauh sekali di bawah, puluhan tombak jauhnya, hanya kelihatan arus ombak menggelora kepulih putih an. berbuih-buih seperti mulut iblis yang haus akan darah. Ia hendak meloncat, akan tetapi segera kesadarannya melarangnya. Kalau ia meloncat turun, tipis harapan akan selamat. Apa gunanya membuang jiwa secara sia-sia belaka?

Kong Ji masih belum terbunuh dan pula, menolong Bi Li harus dilakukan dengan jalan sewajarnya, bukan dengan jalan membunuh diri. Mengingat akan ini, TiangBu segera berlari lari ke kanan kiri untuk mencari tebing yang tidak curam, dari mana ia akan mencari perahu dan menuju ke tempat di mana Bi Li tadi jutuh bersama Cui Kong.

Sukar sekali mencari perahu di situ karena perahu-perahu bajak sudah ia tenggelamkan semua. Akhirnya ia menggunakan pedangnya menebang sebatang pohon dan menggunakan batang pohon itu untuk perahu ist imewa Dengan batang pohon ini ia mendayung menuju ke tempat di mana tadi Bi Li terjatuh. Akan tetapi ia sudah membuang terlalu banyak waktu, Ketika mencari-cari tebing kemudian mencari perahu lalu menebang pohon untuk perahu, ia telah membuang waktu satu jam lebih.

Biarpun begitu, ketika ia tiba di bawah tebing curam itu, ia masih sempat melihat tubuh Cui Kong yang sudah menjadi mayat itu bergerak-gerak di permukaan air laut yang kini sudah menjadi terang, agaknya sudah kekenyangan karena mendapatkan dua mangsa manusia itu. Ketika Tiang Bu mendekat, ia merasa ngeri juga melihat bahwa mayat Cui Kong itu bergerak-gerak karena dibuat berebutan oleh beberapa ekor ikan hiu yang ganas dan buas! Tubuh Bi Li tidak kelihatan sama sekali.

Dengan perahu istimewanya itu Tiang Bu mendayung ke sana ke mari men cari-cari sambit memanggil nama kekasihnya, "Bi Li! Bi Li!”

Tiupan angin laut membuat suaranya hilang tak berbekas. Sia-sia ia mencari-cari tidak kelihatan tubuh yang ia cari-cari. Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang membuat kerongkongannya serasa tersumbat. Matanya terbelalak memandang ke arah benda itu, mukanya pucat dan bibirnya bergerak-gerak menyebut “Bi Li...” tanpa mengeluarkan suara.

Benda itu adalah robekan baju Bi Li di bagian lengan dan pundak, robek sama sekali seperli ditarik dengan paksa dari tubuh kekasihnya itu. Ia menoleh ke arah mayat Cui Kong yang masih diseret-seret oleh ikan-ikan ganas itu. Tak terasa lagi air mata bercucuran dari sepas ang mata Tiang Bu.

“Bi Li...” Ia dapat membayangkan betapa kekasihnya itu sudah lebih dulu menjadi mangsa ikan, mayatnya diseret-seret dan ditarik-tarik oleh ikan-ikan hiu itu sehingga bajunya robek-robek dan terapung di sini. Dengan isak tertahan Tiang Bu membawa pedangnya meloncat ke dalam air dan menyambar robekan baju itu.

"Bi Li...!" Ia mendekap robekan baju itu ke dadanya sambil mendongak ke angkasa, air matanya bercucuran . Tiba-tiba batang pohon itu bergerak miring dan hal ini menyadarkan Tiang Bu dari pada kesedihan yang membuat ia lupa diri itu. Dilihatnya seekor ikan hiu meraba-raba perahu aneh itu dengan moncongnya. Melihat ikan ini, bangkit kemarahan Tiang Bu.

"Bedebah, kau yang membunuh Bi Li!” Pedangnya berkelebat dan kepala ikan itu terbelah dua. Air menjadi merah dan tubuh ikan itu terapung dengan perut di atas.

Darah ikan itu sebentar saja mendatangkan banyak ikan hiu yang serta merta menyerbu dan menyerang bangkai hiu tadi. Melihat betapa lahapnya ikan-ikan itu memperebutkan daging ikan hiu, Tiang Bu menjadi marah. Dalam pandang matanya, seakan-akan yang diperebutkan itu bukan bangkai hiu, melainkan mayat kekasihnya Bi Li!

“Binatang iblis, kalian jahat dan keji!” makinya dan pedangnya berkelebat. Sebentar saja laut di bagian itu penuh dengan bangkai ikan hiu. Sampai lelah sekali tubuh Tiang Bu mengamuk dan membunuhi ikan hiu. Akhirnya ia teringat bahwa perbuatannya ini seperti perbuatan orang gila. Ia lelah lahir batin, dan dalam keadaan setengah pingsan Tiang Bu menjatuhkan diri di atas batang pohon yang ia jadikan perahu. Laut mulai mengombak lagi dan batang pohon itu dipermainkan, didorong-dorong sampai ke tepi.

Dengan hati hancur Tiang Bu mendarat sambil mendekap robekan kain baju Bi Li. Air matanya kembali jatuh berderai kalau ia teringat betapa kekasihnya itu tewas dalam keadaan menyedihkan, bahkan tidak dimakamkan. Teringat ini, Tiang Bu lalu menggunakan pedang rampasan itu untuk menggali tanah, cukup dalam seperti kalau orang hendak mengubur jenazah manusia.

Setelah itu ia berlari ke dalam gua di mana tadi Kong Ji bersembunyi dan dia mendapatkan apa yang dicarinya, yaitu lilin dan hio. Sekembalinya di tanah galian, dengan penuh khidmat Tiang Bu "mengubur" robekan baju Bi Li yarg ia anggap sebagai pengganti jenazah kekasihnya. Ia melakukan upacara pemakaman ini sambil menangis dan menyebut-nyebut nama Bi Li berulang-ulang.

Ia lalu menguruk kembali lubang itu. Dengan pedangnya Tiang Bu membuat bongpai sederhana dari batu karang. Ia tidak perduli pedang itu menjadi rusak karenanya, malah setelah rampung membuat bongpai, ia membuang pedang rampasan itu. Setelah itu ia lalu menyalakan lilin dan hio, bersembahyang dengan penuh khidmat dan sedih. Ia berlutut di depan bongpai (batu nisan) itu dan berkata keras-keras,

“Bi Li, kau mengasolah dengan tenang. Aku bersumpah bahwa sebelum membunuh Liok Kong Ji untuk membalaskan sakit hatimu aku takkan berhenti. Kau tunggulah aku di alam baka. karena setelah tugasku aku akan hidup sebagai pertapa di Omei-san sampai datang saatku menyusulmu.”

Ucapan ini diulangi berkali-kali dan sampai lama ia berlutut di depan "makam." Demikian khidmatnya ia bersembahyang sampai telinganya yang biasanya amat tajam itu tidak mendengar datangnya beberapa orang yang berdiri di belakangnya dan memandang dengan terheran-heran dan penuh keharuan. Akhirnya seorang di antara mereka yang bertubuh gagah dan masih muda, mendengar nama Bi Li disebut-sebut Tiang Bu, nampak kaget sekali dan bertanya,

“Kau bilang... Bi Li... Bi Li mati? Apakah itu kuburan Bi Li adikku...?” menudingkan telunjuknya ke arah makam itu.

Tiang Bu menoleh dan melihat Wan Sin Hong berdiri sambil bersedakap di situ, memandangnya dengan mata mengandung kasih sayang besar. Yang bertanya tadi adalah Wan Sun, kakak angkat Bi Li, putera dari mendiang Pangeran Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li atau saudaranya sendiri, saudara sekandung berlainan ayah! Orang ketiga adalah seorang tosu tua yang ia tidak kenal.

"Tiang Bu koko, saudara tuaku yang gagah parkasa, betulkah itu makam Wan Bi Li adikku...?" Kembali Wan Sun bertanya sambil menghampiri Tiang Bu. Tiang Bu menjadi makin terharu. Inilah adiknya seibu berlainan ayah.

Inilah anak kandung lbunya. Ia melompat berdiri dan memeluk Wan Sun, tak tertahan lagi ia menangis terisak. "Dia... dia sudah mati..." hanya itu yang dapat ia katakan, kemudian ia manjatuhkan diri berlutut di depan Wan Sin Hong.

Wan Sun cepat berlutut di depan makam sambil menyalakan lilin kemudian ia berdiri dan bersembahyang, mulutnya berkemak-kemik, air matanya menitik turun. Terbayang semua pengalamannya ketika kecil dan menjelang dewasa. Bi Li wanita yang sebetulnya merupakan cinta pertamanya sebelum ia bertemu dengan Coa Lee Goat.

Wan Sin Hong menyuruh Tiang Bu berdiri dan ia memandang kepada pemuda ini penuh perhatian. Alangkah bedanya dengan ayahnya, pikir Sin Hong. Bocah tidak berdosa yang kini menanggung akibat dari dosa ayahnya yang jahat sekali.

“Tiang Bu, coba kau ceritakan bagaimana Bi Li sampai tewas dan bagaimana hasilnya usahamu mencari musuh kita? Kau tentu datang untuk mencari ayah dan anak iblis itu bukan...?”

Tangan Gledek Jilid 50

Tangan Gledek Jilid 50

Tiang Bu melengak. Tidak tahunya "pemuda" itu adalah Pek Lian, gadis yang dulu pernah ia kagumi, gadis cantik yang bijaksana dan lihai bersama Ang Lian adiknya. Dua orang gadis puteri Huang-ho Sian-jin.

"Adik Pek Lian dan Ang Lian...! Kiranya kalian ini? Bagaimana kalian bisa berada di sini dan dengan siapa kalian datang,"

Saking girangnya Ang Lian melangkah maju dan memegang kedua tangan Tiang Bu. "Saudara Tiang Bu, benar-benar girang hatiku dapat bertemu dengan kau di tempat setan ini. Kalau ada kau di sini, aku tidak takut lagi biar ada lima orang Liok Kong Ji muncul. Dan enci Pek Lian tentu seratus kali lebih girang dari pada aku. Kau tahu, ayah juga ikut datang bersama Wan-bengcu dan yang lain-lain. Mereka juga tentu girang dapat bertemu dengan kau. Baik sekali pertemuan ini, lengkap selengkap-lengkapnya. Biar aku nanti bicarakan urusan perjodohanmu dengan enci Pek Lian."

"Hush, Ang Lian..." Pe k Lian mencegah dengan muka berubah merah sekali.

“Hush apa lagi? Bukankah kau selalu merindukan dia ini? Sekarang sudah berhadapan muka, pakai malu-malu apa lagi? Aku akan bicarakan dengan ayah dan Wan bengcu...”

“Setan, jangan sembarang bicara! Kalau... kuceritakan kepada Ciu twako... Pek Lian balas menggoda. Menelengar ini, Ang Lian menjadi kewalahan dan tak berani banyak bicara lagi.

Sementara itu, mendengar kata-kata dari Ang Lian ini, Tiang Bu menjadi bingung sekali. Percuma saja mencegah seorang gadis seperti Ang Lian berhenti mengoceh. “Aku sedang mengejar-ngejar Liok Kong Ji,” katanya kemudian. Ia melirik beberapa kali ke arah tempat persembunyian Bi Li dan sebelum ia memanggil Bi Li, gadis ini sudah mucul sambil memondong Leng Leng.

Pek Lian dan Ang Lian kaget lagi, memandang kepada Bi Li dengan penuh curiga. “Apakah dia ini seorang selir Liok Kong Ji?” tanya Ang Lian yang lancang mulut dan salah duga.

“Nona Ang Li an, jangan salah duga. Dia ini adalah nona Wan Bi Li dan...”

"Astaganaga...!” Ang Lian meloncat dan memeluk Bi Li dengan mesra. "Maafkan aku, enci Bi Li. Kau boleh tampar mulutku yang lancangg. Aduh... jadi kau ini adik Wan Sun twako? Pantas... pantas akan tetapi...” ia melihat lengan kiri yang buntung itu dan tak dapat melanjutkan kata-katanya, akan tetapi dari sepasang matanya mengucur air mata. Biarpun ia kasar dan jujur, namun hati Ang Lian baik sekali ia terharu melihat lengan tangan Bi Li buntung dan ia tak pernah mendengar tentan g hal ini.

Sebaliknya, Bi Li mempunyai hati yang keras. Ia maklum apa yang menyebabkan Ang Lian mengucurkan air mata. Ini saja sudah melenyapkan kemendongkolan hatinya ketika Ang Lian mengira dia ”selir" Liok Kong Ji. "Adik yang manis kau mau tahu? Lenganku ini buntung oleh pedang Liok Kong Ji..."

Ang Lian membanting-banting kakinya. "Bangsat besar Liok Kong Ji. Kali ini ia takkan mampu lolos dari hukuman! Enci Bi Li, tahukah kau, kakakmu juga berada dengan kami?”

Ang Lian mengira bahwa BI Li tentu akan girang sekali mendengar ini, akan tetapi Bi Li malah mengerutkan kening, agaknya berita itu tidak menggembirakan hatinya benar. Memang, dalam keadaannya seperti sekarang, buntung lengannya. Ia sudah tawar hatinya untuk bertemu dengan siapa juga. Memilukan saja, pikirnya.

"Anak ini... anak siapakah?” tanya Pek Lian, sikapnya hati-hati dan sejak munculnya Bi Li, ia mendapat firasat yang tidak menyedapkan hatinya. Berkali-kali ia memandang dari Tiang Bu kepada Bi Li dan hatinya menduga-duga.

“Dia itu kami rampas dari tangan Liok Kong Ji. Tiang Bu menerangkan. "Kami sendiri tidak tahu dia anak anak siapa, hanya naman ya Leng Leng."

"Ahh, dia ini anak Wan bengcu!" Ang Lian berkata girang sambil meraih Leng Leng dari pondongan Bi Li sampai bocah itu sadar dari tidurnya dan memandang bingung. "Benar, dia anak Wan-bengcu. Bukankan namamu Wan Leng, anak manis?"

Leng Leng mengangguk-angguk kepada gadis yang tak dikenalnya ini. Ang Lian menciuminya, "Syukur, syukur, syukur... alangkah akan girangnya hati Wan bengcu dan isterinya!"

Karena percakapan itu tidak karuan juntrungnya, Tiang Bu lalu minta dua orang gadis itu menceritakan keadaannya. Ang Lian menyerahkan Leng Leng yang diminta oleh Pek Lian, kemudian ia bercerita.

"Kami sebelas orang datang untuk menyerbu Pek-houw-to, akan tetapi tak menjumpai siapa-siapa kecuali para selir dan pelayan wanita yang tidak berarti. Ayah, aku dan enci Pek Lian ini sebetulnya bertugas menjaga perahu. Akan tetapi karena sudah hampir sore mereka belum kembali, ayah lalu memperkenankan aku dan enci Pek Lian untuk menyusul mereka. Sebelum kami bertemu dengan seseorang di antara mereka, tahu-tahu malah bertemu dengan kau dan ternyata Leng-ji sudah tertolong. Menurut keterangan Wan-bengcu, Leng-ji ini dibawa ke sini oleh Cun Gi Tosu."

Tiang Bu mengangguk-angguk. Ia merasa girang sekali bahwa bocah yang ditolongnya itu ternyata puteri Wan Sin Hong. Ngeri ia memikirkan kalau sampai bocah itu tewas dalam pertempuran tadi.

"Keadaan di sini masih amat berbahaya," katanya kemudian kepada dua orang gadis enci adik itu. "Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong masih berkeliaran dan sedang kami kejar-kejar. Lebih baik kalian kembali kepada ayah kalian dan bawalah Leng-ji ini agar aman dan terlindung di sana, sambil menanti kembalinya Wan-siok-siok."

Ang Lian mengangguk-angguk, akan tetapi Pek Lian berkata. “Apakah... apakah tidak baik kalau aku membantumu menghadapi Liok Kong Ji?”

Sebelum Tiang Bu menjawab, Bi Li berkata, “Tiang Bu, tentu baik sekali kalau… enci Pek Lian ini membantumu. Tentu dia memiliki kepandaian tinggi dan karenanya kau akan lebih kuat kedudukanmu."

Tiang Bu seorang yang perasa sekali. Dalam ucapan ini ia menangkap nada yang membayangkan hati sakit, maka ia bingung dan cepat ia berkata kepada Pek Lian. “Nona Pek Lian, bukan aku tidak mengharap bantuanmu. Akan tetapi harus kau ketahui bahwa ilmu kepandaian Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong lihai sekali. Kau bukan lawan mereka."

Ketika melihat pandang mata Pek Lian beralih kepada Bi Li seakan-akan bertanya mengapa kalau Bi Li boleh bersama dia, Tiang Bu cepat berkata, "Ketahuilah, nona Wan Bi Li adalah sebagai murid terkasih dari Ang jiu Mo-li dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya diri pada kalian, masih tidak mampu membantuku mengalahkan Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong."

Mendengar ini, dua orang enci adik itu merasa kagum kepada Bi Li. Kiranya nona butung ini lebih lihai malah dari pada mereka! Akhirnya mereka lalu menurut, membawa pergi Leng Leng untuk kembali kepada ayah mereka yang masih menanti di pantai menjaga perahu.

Tiang Bu dan Bi Li terus mencari jejak Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong. Akan tetapi malam tiba dan sepasang muda-mudi ini terpaksa melewatkan malam gelap di dalam sebuah gua untuk berlindung dari serangan hawa dingin. Tiang Bu yang amat memperhatikan Bi Li melihat perubahan pada sikap gadis itu. Setiap kali bertemu pandang, dari sepasang mata dia itu memancar sinar kemarahan yang aneh. Semua ini ia dapat melihat di bawah penerangan api unggun yang ia buat untuk mengusir nyamuk yang banyak terdapat di dalam gua di tepi pantai itu.

Ia menduga-duga dan kecerdikannya membuat ia dapat mengetahui bahwa gadis ini tentu merasa cemburu dan penasaran karena kata-kata yang keluar dari mulut Ang Lian yang amat lancang tadi tentang Pak Lian yang rindu kepadanya! Dugaannya memang tepat dan hal ini dinyatakan oleh Bi Li yang kini mulai membuka mulut bicara setelah sejak tadi diam cemberut saja.

“Tiang Bu, kau tentu sudah kenal baik sekali dengan Huang ho Sian-jin, bukan?”

Diam-diam Tiang Bu geli hatinya. Ia tahu bahwa gadis ini sebetulnya hendak bertanya bahwa ia mengenal baik dua orang gadis puteri Huang-ho Sian-jin tadi, akan tetapi Bi Li sengaja bicara memutar.

“Tidak,” jawabnya sungguh-sungguh dan jujur. "Baru satu kali aku bertemu dengan orang yang gagah itu." Ia menceritakan bahwa dahulu ia menolong piauwsu yang dirampas barang-barang berharganya oleh Ang-Lian dan Pek Lian, kemudian ternyata bahwa barang-barang berharga itu dirampas oleh anak Huang-ho Sian jin untuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang menjadi korban banjir.

“Pantas saja kalau begitu. Ayahnya seorang tokoh besar yang gagah budiman, dua orang gadis itupun gagah dan cantik-cantik sekali, apalagi yang bernama Pek Lian tadi. Tiang Bu, kau patut menjadi mantu Huang-ho Sian-jin!”

Nah, ini dia maksud hatinya yang penuh cemburu, pikir Tiang Bu. “Bi Li mengapa kau bicara begitu? Jangan kau perhatikan ucapan Ang Lian yang sejak dulu memang tukang menggoda orang dan bicaranya sangat sembrono. Ang Lian masih seperti anak-anak, kalau bicara tidak tahu kira-kira dan mudah saja menjodoh-jodohkan orang.”

"Tiang Bu, apakah kau tidak berani mengaku bahwa Pek Lian seorang gadis cantik dan gagah?” Bi Li memandang tajam.

"Memang," jawab Tiang Bu jujur, "tak dapat disangkal lagi, Pek Lian seorang gadis yang cantik. Akan tetapi hatiku telah tertawan oleh seorang gadis lain bernama Wan Bi Li...“

“Siapa ketahui hati laki-laki? Tiang Bu, kan lebih cocok dan setimpal kalau berdampingan dengan Pek Lian."

“Bi Li, harap kau sudahi percakapan ini…!” Tiang Bu memegang tangan Bi Li dengan mesra. “Kau sudah mengetahui isi hatiku. Selain enkau, tak mungkin di dunia ini ada wanita yang dapat kucinta seperti aku mencintaimu."

Akan tetapi Bi Li tak dapat melupakan sinar mata yang memancar keluar dari mata Pek Lian ketika gadis berpakaian pria itu memandang Tiang Bu, penuh kasih sayang dan kekaguman. Mendengar ucapan Tiang Bu ini, ia menunduk dan pikirannya melayang-layang.

"Tiang Bu, kalau urusan di pulau ini sudah selesai, apa ke hendakmu selanjutnya?" akhirnya dia bertanya perlahan.

"Pertama tama, minta Wan-siok-siok mengurus pernikahan kita!” jawabnya tegas.

Cahaya kemerahan dari api unggun menyembunyikan warna merah yang menjalari muka Bi Li. Ia masih menunduk dan menarik tangannya yang dipegang Tiang Bu, lalu jari-jari tangan itu bermain-main dengan sehelai rumput. “Setelah itu...?” desaknya.

"Setelah itu? Ah. Bi Li. Alangkah bahagianya kalau kita sudah menjadi suami isteri. Cita-citaku hanya untuk membahagiakan hidupmu. Sisa hidupku akan kupergunakan untuk menyenangkan hatimu. Aku ingin merantau ke seluruh permukaan bumi ini bersamamu akan kuajak kau menjelajah di empat penjuru dunia! Bukankah senang sekali?” Kembali ia memegang tangan Bi Li yang berkulit halus.

Ucapan ini membuat hati Bi Li terasa perih sekali. Tak dapat disangkal lagi, ia mencinta pemuda ini, mencinta dengan sepenuh hati karena segala gerak-gerik dan tindak-tanduk pemuda ini benar-benar memikat hatinya. Akan tetapi ucapan tadi, pergi merantau berdua di empat penjuru dunia, benar-benar mendatangkan bayangan dan renungan yang membuat hatinya perih. Ia dapat membayangkan betapa dia dengan lengan buntungnya mengawani Tiang Bu di mana-mana.

Tiang Bu, seorang pemuda yang gagah perkasa, yang kelak pasti akan dipuji-puji oleh dunia kangouw karena selain memiliki kepandaian tinggi juga mempunyai pribudi luhur, dengan seorang isteri berlengan buntung dan yang hanya akan menjadi tontonan yang menggelikan orang! Tiang Bu dikagumi dan dipuji puja. Sedangkan dia sebagai isterinya akan selalu menerima pandang mata orang yang memandang dengan sinar mata mengandung kasihan bahkan ejekan! Akan kuatkah hati Tiang Bu manghadapi ini semua? Kelak akan tiba saatnya Tiang Bu bertemu dengan seorang seorang gadis cantik jelita yang lebih gagah dari padanya, gadis yang utuh badannya, tidak buntung lengannya. Dan Tiang Bu akan jatuh hati betul-betul, dia akan... akan dilupakan!

“Tidak... tidak...!" Bi Li menutupi jari-jari tangannya ke depan mukanya yang menjadi pucat.

“Bi Li? kau kenapa?”

Bi Li dapat menguasai hatinya yang terkacau oleh bayangan tadi. Ia menggeleng kepalanya dan berkata. "Aku tidak mau merantau, hal itu hanya akan memalukan saja, Tiang Bu. Dengan lengan seperti ini...“

"Aku tidak malu, Bi Li! Bahkan kebuntungan lenganmu itulah yang menambah besarnya cintaku kepadamu. Akan kuperlihatkan kepada dunia bahwa aku bangga mempunya kau di sampingku, bahwa aku sama sekali tidak malu karena kau cacad. Coba, siapa berani mengejek atau menghinamu karena cacadmu tentu akan kuhajar habis-habisan!”

Bi Li terharu sekali. Ia percaya akan cinta kasih pemuda saperti Tiang Bu ini, dan tidak terasa lagi tangannya memegang lengan pemuda itu dengan penuh terima kasih. Kemudian ia menarik kembali tangannya dan bertanya,

"Tiang Bu, andaikata... ini andaikata saja... perjodoban kita tidak dapat berlangsung, apa yang hendak kau kerjakan?"

Dengan pertanyaan ini Bi Li bendak memancing dan menjenguk isi hati kekasihnya, sampai di mana besarnya cinta kasih pemuda ini.

Wajah Tiang Bu berubah. "Tidak akan ada yang menghalangi perjodohan kita, Bi Li. Iblis sekalipun tidak! Kecuali... kecuali kalau kau yang tidak mau menerima persembahan cintaku... apa boleh buat, kalau demikian halnya, aku bersumpah takkan mau menikah dengan lain orang, aku... aku akan mengundurkan diri dan menjadi seorang pertapa di Omei-san.

Suara yang keluar dari bibir Tiang Bu ini adalah suara hatinya, maka terdengar menggetar mengharukan, membuat Bi Li tak dapat menahan isak tangisnya. Hati gadis ini tidak karuan, girang, bahagia, tercampur duka, haru, dan khawatir. Dia diam saja ketika Tiang Bu memeluk dan menghiburnya. Akhirnya ia pulas dengan kepala di atas pangkuan Tiang Bu yang menjaganya semalam penuh agar tubuh kakasihnya tidak diganggu nyamuk yang masih saja berseliweran biarpun api unggun masih bernyala terus.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Pada ke esokan harinya, pagi-pagi Tiang Bu bersama Bi Li sudah mulai lagi mencari jejak Liok Kong Ji dan Cui Kong yang masih belum juga dapat ditemukan di mana sembunyinya.

“Mereka tak mungkin ke luar dari pulau ini," kata Tiang Bu. Setelah Wan siok-siok dan kawan-kawannya datang dengan perahu, tentu Wan-siok-siok tidak begitu bodoh untuk meninggalkan penjagaan di pantai. Menurut Ang Lian dan Pek Lian. Huang-ho Sian-ji ditinggalkan di pantai, tentu kakek itu melakukan perondaan dan akan melihat apabila Liok Kong Ji meninggalkan pulau dan tentu akan memberi isyarat kepada Wan-siok-siok. Aku yakin mereka itu masih bersembunyi dalam gua-gua yang banyak terdapat di pesisir ini.”

Bi Li juga berpendapat demikian dan dua oran g muda ini mulai mencari terus tanpa mengenal lelah. Juga rombongan Wan Sin Hon g mencari cari, akan tetapi mereka itu berada di lain jurusan dan tidak mencari dalam gua-gua di pesisir batu karang. Tempat ini memang agak tersembunyi dan hanya Tiang Bu yang sudah sampai di situ lebih dulu.

Memang dugaan Tiang Bu tepat sekali. Liok Kong Ji tidak berani meninggalkan pulau, bahkan tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya karena maklum bahwa musuh- musuhnya yang banyak jumlahnya berkeliaran di atas pulau itu. Sekali saja ia terlihat, ia akan mengalami pengepungan dan sukar menyelamatkan diri lagi. Ia tahu bahwa sekali ini yang mengejarnya orang-orang pandai dari pelbagai kalangan dan andaikata ia dapat melawan Wan Sin Hong, belum tentu ia akan dapat melepaskan diri dari tangan Tiang Bu.

Berdua dengan putera angkatnya. Liok Kong Ji bersembunyi di dalam sebuah gua besar yang menjadi tempat rahasia di mana ia menyimpan kitab-kitabnya, dan gua itu tertutup oleh sebuah batu besar yang amat berat. Setelah ia memasuki gua itu bersama Liok Cui Kong lalu mengangkat batu itu dari dalam, menyeretnya ke depan gua dan menurunkannya di depan gua sehingga sepintas pandang saja orang takkan tahu bahwa di batu besar itu terdapat sebuah gua yang mulutnya kecil saja.

Akan tetapi sebetulnya kalau dimasuki mulut gua yang hanya tiga kaki tinggi dan dua kaki lebarnya itu, membawa orang ke dalam sebuah gua yang besar dan luas penuh dengan perabot-perabot rumah seperti meja kursi, tempat tidur dan yang semuanya terbuat dari pada kayu-kayu yang baik dan mahal. Juga di dalam gua itu dihias amat mewahnya, diterangi lampu minyak dan dinding-dindingnya yang tertutup papan itu digantungi gambar gambar indah. Pendeknya, di sebelah dalam merupakan ruangan atau kamar tidur besar yang mewah dan enak ditinggali.

Maklum akan kelahaian ayah dan anak yang dikejar-kejarnya, Tiang Bu tidak membuang pedang yang dapat ia rampas dari tangan Liok Kong Ji. Bahkan sekarang ia mencari-cari dengan pedang di tangan. sedangkan Bi Li berjalan di belakangnya Akhirnya Tiang Bu dan Bi Li berdiri di depan batu karang yang menutup mulut gua kecil. Tiang Bu menaruh curiga karena di dekat situ ia melihat tapak kaki yang tidak begitu jelas, tanda bahwa orang yang lewat di situ memiliki ginkang tinggi dan sengaja berlaku hati-hati supaya tidak kelihatan tapak kakinya. Tapak-tapak kaki itu lenyap di situ dan tidak terdapat sebuahpun gua di dekat situ, maka hal itu amat mencurigakan hatinya.

“Tiang Bu, batu ini baru saja dipindahkan ke sini. Lihat, rumput-rumput di bawahnya tertindih dan rusak. Kalau sudah lama di sini, tentu tidak ada rumput tertindih. Rumput-rumput ini masih hidup dan segar,” kata Bi Li menuding ke bawah.

Benar saja, memang ada rumput yang tertindih batu besar itu. Tiang Bu menjadi girang dan kagum akan ke awasan mata Bi Li ia mengerahkan tenaga di tangan kiri dan sekali mendorong, batu karang yang menutupi mulut gua itu roboh, kelihatanlah sebuah mulut gua kecil itu.

Tiang Bu tercengang melihat bahwa di balik batu karang itu hanya terdapat gua yang lobangnya sekecil itu. Ia merasa ragu-ragu dan mulai memandang ke sana ke mari mencari-cari jejak. Ketika ia hendak pergi dari situ, kembali Bi Li berkata,

"Nanti dulu, Tiang Bu. Aku merasa curiga melihat gua kecil ini. Kau perhatikan baik-baik, gua ini begini gelap, ini hanya menandakan bahwa dalamnya besar. Siapa tahu kalau-kalau mereka bersembunyi di sini. Memang tempat ini merupakan persembunyian yang baik dan tidak mencurigakan, maka harus diselidiki baik-baik.”

Tiang Bu sadar dan cepat berkata, “Kau betul, Bi Li. Kau tunggu saja di sini, biar aku menyerbu masuk!”

Bi Li memegang lengan Tiang Bu yang sudah hendak melompat ke dalam gua kecil itu. “Nanti dulu jangan terburu-buru Tiang Bu. Gua ini mulutnya amat kecil. Kalau betul-betul mereka berada di dalam dan menyerang selagi kau melompat masuk, apakah tidak berbahaya sekali? Aku teringat ketika dahulu bersama ayah Pangerau Wanyen Ci Lun memburu binatang hutan. Ayah menyuruh orang-orangnya mengasapi gua untuk memancing ke luar macan dan binatang buas lain. Apakah tidak lebih baik kita sekarang membakari daun dan ranting kering di depan gua dan meniup asapnya ke dalam untuk memaksa mereka keluar. Kalau sudah berada di luar gua, terserah kepadamu karena aku percaya kau akan dapat melawan mereka.”

Tiang Bu tersenyum. Sebetulnya ia tidak takut sama sekali, akan tetapi karena melihat sikap Bi Li demikian bersungguh-sungguh dan gadis itu amat mengkhawatirkan keselamatannya, ia tak tega membantah. “Sesukamulah “ jawabnya tertawa. "Akupun ingin sekali membuat Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong terserang asap dan tak dapat bernapas. Alangkah akan lucunya kalau mereka terpaksa ke luar sambil batuk-batuk tak dapat bernapas.”

Ucapan ini dikeluarkan dengan keras oleh Tiang Bu agar terdengar dari dalam gua. Ucapan ini saja sudah merupakan pancing dan ancaman. Maksudnya berhasil baik karena tiba-tiba terdengar suara mendesis dan dari dalam gua yang kecil mulutnya itu keluarlah asap hitam bergulung-gulung. Tiang Bu melompat ke belakang dan meneorong Bi Li untuk mundur. Ia mengenal asap dari huncwe maut Cui Kong dan tahu bahwa dua orang musuhnya betul-betul berada di dalam gua itu.

Ting Bu memutar pedangnya ketika melihat sinar-sinar hitam menyambar pula dari dalam gua. Itulah senjata-senjata rahasia hek-tok-ciam yang dilepas oleh Liok Kong Ji untuk menyusul senjata rahasia asap biasa yang disemburkan oleh Cui Kong. Memang kali ini Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong yang biasanya amat licin dan cerdik itu kena diakali oleh Tiang Bu dan Bi Li. Mendengar usul Bi Li untuk mengasapi gua itu, mereka menjadi terkejut setengah mati.

Tentu saja mereka tidak sudi dijadikan seperti dua ekor tikus yang terpaksa keluar lemas karena lubangnya diasapi. Menghadapi serangan, mereka masih dapat mempergunakan ilmu kepandaian untuk melindungi diri, akan tetapi kalau gua itu dipenuhi asap, berapa lamakah mereka dapat bertahan? Maka dengan hati kecut mereka terpaksa membuka jalan keluar dan menghujankan senjata rahasia mereka.

Betapapun lihainya ilmu silat Tiang Bu pemuda ini tidak berani berlaku gegabah menyerbu ke dalam gua. Senjata rahasia dua orang itu cukup berbahaya, apa lagi hek-tok-ciam itu dilepas di antara asap hitam, tidak kelihatan dan amat berbahaya kalau ia terkena Hek-tok-ciam, sungguhpun ia dapat mengobatinya, namun tentu akan banyak mengurangi daya serang dan daya tempur menghadapi ayah dan anak angkat yang berkepandaian tinggi itu.

“Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong manusia-manusia iblis. Keluarlah untuk menebus dosa-dosamu!” kata Tiang Bu, siap menanti mereka.

Sambil terus melepaskan jarum-jarumnya, Liok Kong Ji akhirnya melompat keluar, di ikuti oleh Cui Kong yang memegang huncwe mautnya. Kini Liok Kong Ji juga sudah memegang pedang lagi, karena dalam gua itu memang tersedia beberapa batang pedangnya yang baik baik.

"Bocah durhaka, kali ini aku tidak ampunkan kau lagi!” kata Liok Kong Ji sambil memutar pedangnya melakukan serangan kilat dituruti pula oleh Cui Kong.

Tiang Bu tahu bahwa ucapan itu hanya gertakan belaka, namun ia tidak berlaku sembrono dan tidak mau memandang rendah kepada dua orang musuhnya yang sudah berkali-kali mengakali dan lolos dari desakannya itu. Cepat ia memutar pedang rampasannya dan menangkis serangan lawan lalu membalas dengan hebat dan tidak kalah sengitnya. Serangan tangan kosong saja Tiang Bu sudah mampu mendesak dua orang lawannya itu, apa lagi ia menggunakan pedang.

Sebentar saja Kong Ji dan Cui Kong hanya bisa main mundur dan ke mana saja mereka meloncat, selalu mereka dibayangi dan dikurung oleh sinar pedang Tiang Bu. Memang pemuda ini sudah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa dan berkali kali Liok Kong Ji sampai merasa kagum bukan main. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Liok Kong Ji adalah ilmu pedang sakti yang jarang bisa dilawan orang, lihai dan selain cepat dan kuat, juga membingungkan lawan.

Kiranya sukar mencari orang yang akan kuat menandingi ilmu pedang Liok Kong Ji pada masa itu. Juga Liok Cui Kong memiliki kepandaian gabungan, sebagian ia pelajari dari Kong Ji dan sebagian pula ia dapatkan dari gurunya, Cun Gi Tosu. Pemuda inipun amat lihai ilmu silatnya, apalagi huncwe mautnya merupakan senjata ganjil yang amat sukar diduga gerakan gerakannya.

Namun dua orang ini tidak berdaya menghadapi Tiang Bu. Di dalam permainan Tiang Bu terdapat segala dasar pertahanan yang maha kuat, yang sukar sekali ditembus oleh serangan-serangan dua orang itu. Desakan-desakan Tiang Bu sebaliknya amat berat mereka rasakan, sungguhpun untuk merobohkan mereka juga bukan merupakan hal mudah bagi Tiang Bu.

Ayah dan anak angkat itu dapat bekerja sama baik sekali. Mereka telah maklum akan kelihaian Tiang Bu den ketika mereka bersembunyi di dalam gua. Liok Kong Ji sudah mengatur siasat bertanding menghadapi Tiang Bu. Ia telah memberi petunjuk kepada Cui Kong dan sekarang petunjuk itu dipraktekkan. Keduanya tidak bergerak sendiri-sendiri terpisah, melainkan bergabung menjadi satu, saling melindungi dan saling membantu. Inilah yang membuat Tiang Bu menghadapi kesukaran untuk segera mengalahkan mereka. Kedudukan mereka memang kuat, bagai tembok baja!

Bi Li menonton pertempuran itu dengan gemas. Ia merasa penasaran tak dapat membantu kekasihnya dan beberapa kali ia mengepal-ngepal tangannya yang tinggal satu dan memandang marah penuh kebencian kepada orang itu, terutama kepada Liok Kong Ji yang sudah membuntungi lengannya. Ingin ia segera melihat musuh besar yang sudah membuat hidupnya hampa dan tubuhnya bercacad ini segera roboh binasa di bawah pedang Tiang Bu. Akan tetapi tiba-tiba ia melihat perubahan dan kini Tiang Bu hanya mendesak Cui Kong seorang, seakan-akan tidak bermaksud merobohkan Kong Ji.

Bi Li mengerutkan keningnya. Apa Tiang Bu tiba-tiba merasa kasihan dan tidak tega membunuh orang yang sebetulnya masih ayahnya sendiri itu? Timbul keraguan dan “perang” dalam pikiran Bi Li ia teringat akan ayahnya sendiri. Ayahnya yang sejati, Kwan Kok Sun, juga bukan seorang manusia baik-baik, bahkan dahulunya amat terkenal jahat. Demikian pula Tiang Bu. Sudah sepatutnya kalau Tiang Bu ragu-ragu untuk membunuh ayah sendiri. Akan tetapi ayah Tiang Bu itu telah membikin buntung lengannya, dosa yang tak dapat ia ampunkan lagi!

Kekhawatiran Bi Li ini sebetulnya kosong belaka. Tiang Bu sama sekali tidak merasa kasihan kepada Liok Kong Ji. Ia amat banci kepada orang yang mengaku sebagai ayahnya ini dan ia akan tega membunuhnya. Dia bukannya berkasihan kepada Kong Ji, akan tetapi dia sedang menjalankan siasatnya. Menghadapi ayah dan anak angkat yang dapat bekerja sama dengan baik betul-betul Tiang Bu menemukan kesukaran untuk mencari kemenangan secepatnya.

Pertahanan dua orang itu kuat bukan main. Oleh karena itu Tiang Bu lalu mengambil keputusan untuk menyerang dan mendesak seorang di antara dua pengeroyoknya. Dan di antara dua oraug itu, Cui Kong paling lemah, maka ia lalu memusatkan perhatiannya kepada Cui Kong dan menghujankan serangan-serangan hebat kepada pemuda itu.

Tentu saja Cui Kong menjadi gelagapan. Biasanya kalau ada lawan menyerangnya, tangkisan huncwenya dapat membuat serangan lawannya buyar dan gagal, akan tetapi kali ini, makin ditangkis pedang di tangan Tiang Bu menjadi makin ganas, seolah-olah tangkisan huncwe itu menambah daya serangnya! Biarpun Liok Kong Ji sudah cepat-cepat membantu untuk menangkisnya dan bahkan menyerang Tiang Bu dengan dahsyat. Tetap saja Cui Kong tak dapat menghindarkan lagi sebuah tusukan pedang yang amat cepat mengarah perutnya.

Ia mempergunakan segala kelincahannya untuk mengelak dari tusukan yang sudah tak mungkin ditangkis lagi itu, akan tetapi ia hanya berhasil menyelamatkan perutnya, tidak dapat lagi menolong pahanya yang tertusuk pedang sampai tembus. Ketika pedang dicabut, darah mengalir deras dari paha itu. Tiang Bu hendak menyusulkan tusukan maut ke dua. namun Cui Kong yang berteriak kesakitan itu sudah membuang diri ke atas tanah dan menangkis tusukan ini dengan huncwenya.

Terdengar suara keras dan huncwe itu terlepas dari tangannya, namun ia selamat dan segera menggerakkan tubuh bergulingan sampai jauh dan baru berhenti karena di belakangnya adalah tebing batu karang yang amat curam. Di sini ia merintih-rintih sambil berusaha membebat luka di pahanya dengan baju yang dirobeknya. Darah amat banyak mengucur, membuat kepalanya pening. Kemudian Cui Kong terguling pingsan!

Melihat ini, Bi Li yang sudah menjadi kegirangan segera berlari menyambar huncwe Cui Kong yang menggeletak di atas tanah, kemudian ia berlari menghampiri Cui Kong yang sudah pingsan itu untuk memberi pukulan terakhir.

“Bi Li, jangan dekati dia...!" Tiang Bu yang masih bertanding dengan Kong Ji itu melarang. Pemuda ini biarpun melihat Cui Kong sudah terguling dan tidak bergerak seperti mati, masih saja curiga dan takut kalau-kalau kekasihnya menjadi korban kelicikan Cui Kong. Akan tetapi Bi Li yang sudah sakit hati itu, mana mau dilarang? Ia makin gemas dan sekali melompat ia sudah tiba di dekat Cui Kong, lalu mengayun huncwe itu ke arah kepala Cui Kong!

Tepat dugaan Tiang Bu. Sebetulnya Cui Kong tidak pingsan, hanya pura-pura pingsan, untuk menyelamatkan diri dan mencegah Tiang Bu menyerang terus. Sama sekali ia tidak mengira bahwa Bi Li akan mengejar dan menyerangnya. Biarpun matanya tertutup, ia dapat mendengar sambaran angin pukulan huncwenya. Cepat ia menggulingkan tubuh dan kepala sehingga huncwe di tangan Bi Li itu menghantam batu, menimbulkan suara keras dan bunga api berpijar membarengi muncratnya batu yang remuk terkena pukulan huncwe!

Bi Li penasaran dan mengejar lagi, mengirim serangan hebat. Terpaksa Cui Kong melompat berdiri, akan tetapi terguling roboh lagi karena pahanya terasa sakit sekali. Namun dalam mengelak, ia terkena huncwe pada pundaknya, membuat ia mengerang kesakitan Bi Li memukul terus, ditangkis oleh lengan kiri Cui Kong.

“Krak!" Tulang lengan itu patah. Tenaga lweekang Cui Kong sudah banyak berkurang karena lukanya yang hebat, maka tidak kuat menerima pukulan huncwe. Sebelum Cui Kong berhasil mengembalikan keseimbangan tubuhnya, Bi Li sudah menyerang lagi!

"Mampuslah kau jahanam!" seru Bi Li dengan gemas, huncwenya kini mendorong dada Cui Kong untuk membuat pemuda terjengkang ke belakang di mana tebing batu karang siap menerima tubuh pemuda itu untuk dilempar ke bawah di mana gelombang laut mengganas kelaparan! Tidak ada jalan mengelak atau menangkis lagi. Cui Kong berlaku nekat, tidak melindungi tubuhnya melainkan menubruk ke depan dengan kedua tangan mencengkeram atau memeluk.

"Awas, Bi Li...!” Tiang Bu berseru dan meninggalkan Kong Ji karena melihat bahaya mengancam Bi Li. Namun terlambat! Cui Kong yang sudah nekat dan ingin mati mengajak lawan itu, berhasil mencengkeram lengan tangan Bi Li yang memegang huncwe dan mendorong dada sedemikian hebatnya sehingga tubuh Cui Kong mencelat ke belakang membawa tubuh Bi Li bersama. Dua orang itu tergelincir masuk ke tepi batu karang dan melayang ke bawah diiringi pekik mengerikan dari Cui Kong.

"Bi Li...!!” Tiang Bu menjerit dan berlari ke tempat itu, tidak perduli lagi pada Kong Ji yang terus saja mempergunakan kesempatan baik itu untuk lari menyelamalkan diri.

Setibanya di pinggir tebing, Tiang Bu melonguk ke bawah dan pucatlah wajahnya. Jauh sekali di bawah, puluhan tombak jauhnya, hanya kelihatan arus ombak menggelora kepulih putih an. berbuih-buih seperti mulut iblis yang haus akan darah. Ia hendak meloncat, akan tetapi segera kesadarannya melarangnya. Kalau ia meloncat turun, tipis harapan akan selamat. Apa gunanya membuang jiwa secara sia-sia belaka?

Kong Ji masih belum terbunuh dan pula, menolong Bi Li harus dilakukan dengan jalan sewajarnya, bukan dengan jalan membunuh diri. Mengingat akan ini, TiangBu segera berlari lari ke kanan kiri untuk mencari tebing yang tidak curam, dari mana ia akan mencari perahu dan menuju ke tempat di mana Bi Li tadi jutuh bersama Cui Kong.

Sukar sekali mencari perahu di situ karena perahu-perahu bajak sudah ia tenggelamkan semua. Akhirnya ia menggunakan pedangnya menebang sebatang pohon dan menggunakan batang pohon itu untuk perahu ist imewa Dengan batang pohon ini ia mendayung menuju ke tempat di mana tadi Bi Li terjatuh. Akan tetapi ia sudah membuang terlalu banyak waktu, Ketika mencari-cari tebing kemudian mencari perahu lalu menebang pohon untuk perahu, ia telah membuang waktu satu jam lebih.

Biarpun begitu, ketika ia tiba di bawah tebing curam itu, ia masih sempat melihat tubuh Cui Kong yang sudah menjadi mayat itu bergerak-gerak di permukaan air laut yang kini sudah menjadi terang, agaknya sudah kekenyangan karena mendapatkan dua mangsa manusia itu. Ketika Tiang Bu mendekat, ia merasa ngeri juga melihat bahwa mayat Cui Kong itu bergerak-gerak karena dibuat berebutan oleh beberapa ekor ikan hiu yang ganas dan buas! Tubuh Bi Li tidak kelihatan sama sekali.

Dengan perahu istimewanya itu Tiang Bu mendayung ke sana ke mari men cari-cari sambit memanggil nama kekasihnya, "Bi Li! Bi Li!”

Tiupan angin laut membuat suaranya hilang tak berbekas. Sia-sia ia mencari-cari tidak kelihatan tubuh yang ia cari-cari. Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang membuat kerongkongannya serasa tersumbat. Matanya terbelalak memandang ke arah benda itu, mukanya pucat dan bibirnya bergerak-gerak menyebut “Bi Li...” tanpa mengeluarkan suara.

Benda itu adalah robekan baju Bi Li di bagian lengan dan pundak, robek sama sekali seperli ditarik dengan paksa dari tubuh kekasihnya itu. Ia menoleh ke arah mayat Cui Kong yang masih diseret-seret oleh ikan-ikan ganas itu. Tak terasa lagi air mata bercucuran dari sepas ang mata Tiang Bu.

“Bi Li...” Ia dapat membayangkan betapa kekasihnya itu sudah lebih dulu menjadi mangsa ikan, mayatnya diseret-seret dan ditarik-tarik oleh ikan-ikan hiu itu sehingga bajunya robek-robek dan terapung di sini. Dengan isak tertahan Tiang Bu membawa pedangnya meloncat ke dalam air dan menyambar robekan baju itu.

"Bi Li...!" Ia mendekap robekan baju itu ke dadanya sambil mendongak ke angkasa, air matanya bercucuran . Tiba-tiba batang pohon itu bergerak miring dan hal ini menyadarkan Tiang Bu dari pada kesedihan yang membuat ia lupa diri itu. Dilihatnya seekor ikan hiu meraba-raba perahu aneh itu dengan moncongnya. Melihat ikan ini, bangkit kemarahan Tiang Bu.

"Bedebah, kau yang membunuh Bi Li!” Pedangnya berkelebat dan kepala ikan itu terbelah dua. Air menjadi merah dan tubuh ikan itu terapung dengan perut di atas.

Darah ikan itu sebentar saja mendatangkan banyak ikan hiu yang serta merta menyerbu dan menyerang bangkai hiu tadi. Melihat betapa lahapnya ikan-ikan itu memperebutkan daging ikan hiu, Tiang Bu menjadi marah. Dalam pandang matanya, seakan-akan yang diperebutkan itu bukan bangkai hiu, melainkan mayat kekasihnya Bi Li!

“Binatang iblis, kalian jahat dan keji!” makinya dan pedangnya berkelebat. Sebentar saja laut di bagian itu penuh dengan bangkai ikan hiu. Sampai lelah sekali tubuh Tiang Bu mengamuk dan membunuhi ikan hiu. Akhirnya ia teringat bahwa perbuatannya ini seperti perbuatan orang gila. Ia lelah lahir batin, dan dalam keadaan setengah pingsan Tiang Bu menjatuhkan diri di atas batang pohon yang ia jadikan perahu. Laut mulai mengombak lagi dan batang pohon itu dipermainkan, didorong-dorong sampai ke tepi.

Dengan hati hancur Tiang Bu mendarat sambil mendekap robekan kain baju Bi Li. Air matanya kembali jatuh berderai kalau ia teringat betapa kekasihnya itu tewas dalam keadaan menyedihkan, bahkan tidak dimakamkan. Teringat ini, Tiang Bu lalu menggunakan pedang rampasan itu untuk menggali tanah, cukup dalam seperti kalau orang hendak mengubur jenazah manusia.

Setelah itu ia berlari ke dalam gua di mana tadi Kong Ji bersembunyi dan dia mendapatkan apa yang dicarinya, yaitu lilin dan hio. Sekembalinya di tanah galian, dengan penuh khidmat Tiang Bu "mengubur" robekan baju Bi Li yarg ia anggap sebagai pengganti jenazah kekasihnya. Ia melakukan upacara pemakaman ini sambil menangis dan menyebut-nyebut nama Bi Li berulang-ulang.

Ia lalu menguruk kembali lubang itu. Dengan pedangnya Tiang Bu membuat bongpai sederhana dari batu karang. Ia tidak perduli pedang itu menjadi rusak karenanya, malah setelah rampung membuat bongpai, ia membuang pedang rampasan itu. Setelah itu ia lalu menyalakan lilin dan hio, bersembahyang dengan penuh khidmat dan sedih. Ia berlutut di depan bongpai (batu nisan) itu dan berkata keras-keras,

“Bi Li, kau mengasolah dengan tenang. Aku bersumpah bahwa sebelum membunuh Liok Kong Ji untuk membalaskan sakit hatimu aku takkan berhenti. Kau tunggulah aku di alam baka. karena setelah tugasku aku akan hidup sebagai pertapa di Omei-san sampai datang saatku menyusulmu.”

Ucapan ini diulangi berkali-kali dan sampai lama ia berlutut di depan "makam." Demikian khidmatnya ia bersembahyang sampai telinganya yang biasanya amat tajam itu tidak mendengar datangnya beberapa orang yang berdiri di belakangnya dan memandang dengan terheran-heran dan penuh keharuan. Akhirnya seorang di antara mereka yang bertubuh gagah dan masih muda, mendengar nama Bi Li disebut-sebut Tiang Bu, nampak kaget sekali dan bertanya,

“Kau bilang... Bi Li... Bi Li mati? Apakah itu kuburan Bi Li adikku...?” menudingkan telunjuknya ke arah makam itu.

Tiang Bu menoleh dan melihat Wan Sin Hong berdiri sambil bersedakap di situ, memandangnya dengan mata mengandung kasih sayang besar. Yang bertanya tadi adalah Wan Sun, kakak angkat Bi Li, putera dari mendiang Pangeran Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li atau saudaranya sendiri, saudara sekandung berlainan ayah! Orang ketiga adalah seorang tosu tua yang ia tidak kenal.

"Tiang Bu koko, saudara tuaku yang gagah parkasa, betulkah itu makam Wan Bi Li adikku...?" Kembali Wan Sun bertanya sambil menghampiri Tiang Bu. Tiang Bu menjadi makin terharu. Inilah adiknya seibu berlainan ayah.

Inilah anak kandung lbunya. Ia melompat berdiri dan memeluk Wan Sun, tak tertahan lagi ia menangis terisak. "Dia... dia sudah mati..." hanya itu yang dapat ia katakan, kemudian ia manjatuhkan diri berlutut di depan Wan Sin Hong.

Wan Sun cepat berlutut di depan makam sambil menyalakan lilin kemudian ia berdiri dan bersembahyang, mulutnya berkemak-kemik, air matanya menitik turun. Terbayang semua pengalamannya ketika kecil dan menjelang dewasa. Bi Li wanita yang sebetulnya merupakan cinta pertamanya sebelum ia bertemu dengan Coa Lee Goat.

Wan Sin Hong menyuruh Tiang Bu berdiri dan ia memandang kepada pemuda ini penuh perhatian. Alangkah bedanya dengan ayahnya, pikir Sin Hong. Bocah tidak berdosa yang kini menanggung akibat dari dosa ayahnya yang jahat sekali.

“Tiang Bu, coba kau ceritakan bagaimana Bi Li sampai tewas dan bagaimana hasilnya usahamu mencari musuh kita? Kau tentu datang untuk mencari ayah dan anak iblis itu bukan...?”