Tangan Gledek Jilid 40 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 40

SAMPAI lama Ceng Ceng berdiri memandang, kemudian ia menjadi marah. Tentu pemuda ini yang telah mencuri kudanya! Ia melepaskan kendali kudanya, melangkah maju mendekati pemuda itu sambil membentak.

"Pencuri kuda kurang ajar! Turunlah kau menerima hajaran!"

Pemuda itu membuka matanya memandang kepada Ceng Ceng dengan mata bersinar dan bibir tersenyum. "Nona, kau memaki siapa?" tanyanya, suaranya halus, sikapnya sopan.

“Memaki kau, siapa lagi? Kau pencuri kuda hina, turunlah kalau kau mempunyai kepandaian!” Dilolosnya pedang dari pinggangnya dan gadis ini siap untuk menyerang.

Pemuda itu tersenyum tenang. "Nona, aku Cui Kong selamanya tidak pernah mencuri kuda. Harap kau dapat memperbedakan antara pencuri kuda dan orang baik-baik.”

Memang pemuda ini bukan lain adalah Liok Cui Kong. Setelah berhasil membunuh Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, pemuda ini lalu melakukan perjalanan ke selatan menuju ke tempat tinggal ayah angkatnya yang baru, yaitu di sebuah pulau di pantai selatan, mendekati Lo thian-tung Cun Gi Tosu yang juga melarikan diri ke selatan setelah di utara ia tidak diterima baik oleh Jengis Khan.

Kebetulan sekali di tengah jalan ia melihat Ceng Ceng. Sebagai seorang pemuda mata kerarjang yang bejat moralnya, tentu saja melihat seorang dara cantik seperti Ceng Ceng. hati Cui Kong tergorcang hebat. Akan tetapi, melihat sikap dan gerak gerik Ceng Ceng, pula menyaksikan kepandaian gadis ini, timbul perasaan aneh dalam diri Cui Kong.

Berbeda dengan perasaan kalau melihat gadis-gadis lain. ia amat tertarik dan timbul kasih sayang. Inilah agaknya cinta yang bersemi di dalam hatinya, oleh karena manusia bagaimana jahatpun sekali waktu akan jatuh hati kepada seorang tertentu. Ini pula sebabnya maka Cui Kong tidak mau bermain kasar. Ia sengaja mencari kuda nona itu dan sekarang menanti di sini, siap mencari alasan baik untuk berkenalan.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya mendengar jawaban pemuda itu. Ia tidak mengenal nama Cui Kong, dan ia ragu-ragu apakah ucapan itu betul. "Bagaimana kau bisa bilang bukan pencuri kuda kalau kudaku hilang dari rumah penginapan, dibawa orang pada tengah malam, terus kukejar di sini dan kudapatkan kuda itu berada di sini bersamamu? Bagaimana kau bisa menyangkal?”

Cui Koug mengangguk-angguk berkata, masih tersenyum memikat hati. “Memang ada kulihat tadi seorang laki-laki membalapkan kuda lewat dekat ini. Karena curiga melihat orang pagi-pagi membalapkan kuda yang besar dan indah, aku menegurnya. Akan tetapi orang itu malah mengayun pecut menyerangku. Aku menangkap pecutnya dan membetotnya sehingga orang tidak punya guna itu roboh terjungkal. Dua kali ia menyerangku lagi akan tetapi dua kali ia terjungkal lalu melarikan diri. Kuda itu ia tinggalkan dan kuda baik ini ternyata tidak mau pergi. Nah, aku sudah memberi keterangan, apakah kau masih hendak memaki aku sebagai maling kuda?"

Ceng Ceng memang seorang gadis lincah pandai berdebat. Mendengar penuturan ini ia menjawab, "Enak saja kau mendongeng! Apa buktinya kebenaran dongenganmu itu dan siapa bisa bilang kalau kau tidak membohong?"

“Nona, ada dua sebab kuat yang menjelaskan bahwa aku bukan pencuri kuda. Aku sudah menyaksikan kepandaianmu, kalau aku yang mencuri, perlu apa aku masih melarikan diri? Kedua, andaikata aku yang mencuri lalu lari ketakutan, perlu apa aku sekarang musti menantimu di sini? Coba kau pikir baik-baik."

Memang beralasan sekali ucapan ini, akan tetapi perut Ceng Ceng sudah menjadi panas. Kalau saja Cui Kong memberi alasan yang ke dua saja, ia sudah akan merasa puas dan percaya. Akan tetapi, alasan pertama dari pemuda itu menyatakan bahwa pemuda itu memandang rendah kepadaianya! Cui Kong bilang bahwa dia sudah menyaksikan kepandaian Ceng Ceng dan andaikata dia yang mencuri kuda, ia takkan lari. Bukankah itu berarti bahwa pemuda ini menganggap kepandaian Ceng Ceng tidak berapa?

"Bagus, tidak tahunya kau selihai itukah? Boleh, boleh kita coba-coba. Kalau kau betul sudah dapat mengalahkan pencuri kuda, tentu kepandaianmu lebih tinggi dari pada aku. Turunlah!"

Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menggunakan kakinya mendorong batu besar yang diduduki oleh Cui Kong. Hebat sekali lweekang nona ini. Batu yang beratnya ada seribu kati ini menjadi miring!

"Ayaaa, kiranya kau sekuat ini!” Seru Cui Kong, benar-benar terkejut. Tadinya ia hanya melihat gadis itu menimpukkan pasir merobohkan banyak burung sekaligus. Kepandaian ini indah, akan tetapi belum menunjukkan bahwa gadis itu seorang ahli silat tinggi. Melihat usianya yang begitu muda, Cui Kong menganggap gadis itu tentu tidak sedemikiah hebat. Akan tetapi dorongan kaki pada batu besar tadi benar-benar mendemonstrasikan tenaga yang hebat dan kepandaian yang tinggi!

Sementara itu, Ceng Ceng juga kagum melihat tubuh yang tadinya bersila di atas batu, kini, "melayang” turun dalam kedudukan masih bersila seakan-akan pemuda itu pandai terbang. Padahal inipun demonstrasi ginkang yang hebat dari Cui Kong, yang mempergunakan ujung-ujung jari kakinya menotol batu di bawahnya sehingga tubuhnya dapat mencelat turun. Ketika tiba di tanah, kedua kakinya dilepas sehingga ia jatuh be rdiri dengan ringan dan tenang. Ceng Ceng bersiap-siap, ia mengandalkan Ilmu silatnya Pat-sian-jut-bun, sama sekali tidak mengira bahwa pemuda di depannya inipun ahli dalam ilmu silat itu!

Soalnya begini. Seperti telah diceritakan dahulu, kitab Pat-sian-jut-bun yang tadinya terjatuh ke dalam tangan Pek-thouw tiauw ong Lie Kong dan diberikan Ceng Ceng, telah dirampas oleh Cui Lin dan Cui Kim dan akhirnya terjatuh ke dalam tangan Liok Kong Ji. Akan tetapi sebelum terjatuh ke dalam tangan Liok Kong Ji, Cui Kong sudah mencuri lihat dan otaknya yang cerdas dapat menghafal isinya dan diam-diam iapun mempelajari ilmu silat ini. Oleh Liok Kong Ji kitab itu bahkan dijadikan bahan untuk mengatur barisan bambu di Ui tiok-lim, yang makin disempurnakan ilmu dari kitab ini.

Demikianlah Ceng Ceng sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ia berhadapan dengan tokoh Ui-tiok lim atau kakak angkat dari dua orang gadis yang mencuri kitabnya dan yang sekarang masih dicarinya itu.

"Nona, kau betul-betul hendak mengujiku? Boleh, boleh, akupun ingin sekali tahu sampai di mana tingginya kepandaian mu. Akan tetapi harap kau ingat bahwa aku betul-betul bukan pencuri kudamu dan kita bertempur hanya sebagai pibu persahabatan saja."

"Jangan banyak cingcong! Keluarkan senjatamu!" seru Ceng Ceng. Gadis ini belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Biarpun ia tertarik akan ketampanan wajah pemuda ini dan sifat-sifainya yang gagah, namun sebelum mengukur tinggi rendah kepandaiannya, mana bisa ia menaruh penghargaan?

Cui Kong mencabut keluar huncwenya menjawab, “Aku masih muda dan tidak doyan menghisap tembakau, akan tetapi huncwe ini sudah menjadi kawan lama yang selalu melindungiku, inilah senjataku nona. Kau majulah!”

Diam-diam Ceng Ceng menjadi agak gembira. Seorang yang mempergunakan senjata begitu aneh, tentu memiliki kepandaian tinggi dan ia ingin sekali tahu sampai bagaimana tingginya. "Lihat pedang!” serunya dan dengan gerakan manis sekali ia menusuk ke arah tenggorokan lawannya, kemudian pedang diteruskan dengan gerakan memutar ke atas ke bawah sedangkan tangan kirinya ditekuk di depan dada. Sekaligus ujung pedang itu menyerang tiga bagian tubuh yang berbahaya.

Melihat gerakan ini, Cui Kong terkejut sekali. Itulah gerakan Cui sian-sia-ciok (Dewa Arak Mamanah Batu) sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pat sian-jut-bun! Ia cepat memutar huncwenya ke depan tubuh sambil melompat mundur dan berkata. "Nanti dulu, nona. Seranganmu begitu lihai dan ganas, kalau sampai mengenai aku, bukankah nyawaku akan menghadap Giam-kun (Dawa Maut)?" ia berkelakar.

Ceng Ceng cemberut. "Kalau takut pedang jangan bicara sombong!"

"Aku seorang jantan tulen tidak takut mati, nona. Hanya aku khawatir akan mati dengan mata melek karena penasaran sebelum aku tahu siapa orangnya yang akan membunuhku. Pedang tidak bermata, nona. Sebelum ada kemungkinan dada ini tergores pedang aku harus tahu siapa gerangan nona yang gagah perksa ini? Kau sudah tahu, namaku Cui Kong. Akan tetapi siapa nona dan dari aliran manakah?”

"Namaku Lie Ceng, bukan dari aliran mana-mana. Ayahku Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong.”

Cui Kong pura-pura terkejut girang, padahal di dalam hatinya ia benar-benar terkejut dan cemas. Ia merasa punya dosa terhadap Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong karena bukankah Cui Lin dan Cui Kim telah mencuri kitab gadis ini? Dengan air muka kelihatan tercengang girang ia berseru sambil merangkapkan kedua tangan memberi hormat,

"Aduh, kiranya lihiap (pendekar wanita) adalah puteri dari Lie-locianpwe yang mulia. Maaf, maaf, aku yang bodoh tidak tahu dan berlaku kurang hormat. Memang lihiap tentu saja tidak mengenal namaku yang terpendam ke dalam lumpur, akan tetapi sebaliknya dari bawah lumpur aku sudah melihat rajawali kepala putih terbang melayang di angkasa raya."

Mendengar pujian yang muluk ini tentu saja hati Ceng Ceng merasa senang, akan tetapi ia masih penasaran. Serangan pertamanya tadi ternyata dengan mudah dapat ditangkis oleh Cui Kong, apakah pemuda ini betul-betul akan dapat menangkan dia...? Kalau betul demikian... hemmm, pemuda seperti ini lah kiranya yang patut... menjadi jodohnya! Merah muka Ceng Ceng dengan sendirinya ketika ia berpikir sampai di situ.

"Sudahlah, tak perlu banyak peradatan ini. Hayo kita selesaikan pibu kita!”

Cui Kong merasa girang mendengar nona itu menyebut “pibu", bukan pertandingan sungguh-sungguh, maka ia segera bersiap dan berkata, "Aku yang bodoh sudah siap menerima petunjuk dari lihiap."

Ceng Ceng tidak mau berlaku sungkan lagi. Pedangnya digerakkan amat cepatnya, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung rajawali mengamuk. Sinar putih seperti perak bergulung-gulung mengurung diri Cui Kong yang berlaku tenang tenang saja. Pemuda yang sudah tahu akan kelihaian ilmu Pak-sian-jut-bun ini, tidak mau berlaku gugup dan tidak mau mengikuti pergerakan pedang lawan. Kalau ia mengikutinya, akan celakalah dia. Inilah kehebatan ilmu pedang itu yang harus dilawan dengan tenang. Ia hanya memperhatikan sinar pedang menyambar ke arahnya untuk ditangkis dengan huncwenya.

Ilmu silat Cui Kong masih setingkat lebih tinggi dari pada gadis ini, juga tenaganya lebih besar. Oleh karena itu ia dapat melayani Ceng Ceng dengan baik. Andaikata ia belum mencuri baca kitab Pat-sian-jut-bun, kiranya dia takkan depat menghadapi gadis ini demikian enak, sedikitnya dia harus mengerakkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi.

Sebaliknva, Ceng Ceng merasa seakan-akan menghadapi tembok baja yang amat kuat. Biarpun pemuda itu bergerak lambat dan tenang namun kemana saja pedangnya menyerang di situ sudah ada huncwe yang menangkis. Dan setiap tangkisan huncwe membuat telapak tangan tergetar. Hati Ceng Ceog ikut tergetar pemuda itu benar-benar lihai. Kiranya tidak kalah lihai oleh Tiang Bu. Akan tetapi dia pernah dikalahkan oleh Tiang Bu dan ia merasa penasaran apakah pemuda tampan yang lihai inipun dapat mengalahkannya.

"Hayo kau balas menyerang!" bentaknya berulang-ulang melihat pemuda itu hanya menjaga diri saja.

"Mana aku berani!" jawab Cui Kong mengambil hati. Tentu saja pemuda ini tidak tahu akan suara hati gadis ini. Dia tertarik kepada Ceng Ceng dan berusaha mengambil hatinya, ia takut kalau kalau gadis itu akan merasa terhina dan marah kalau sampai ia mengalahkannya, maka ia hanya mempertahankan diri saja. Tidak tahunya gadis ini bahkan menghendaki sebaliknya.

“Bagaimana tidak berani, ini pibu namanya! Hayo kau balas, hendak kulihat apa kau mampu mengalahkan aku."

"Aku tidak berani melukaimu. nona. Aku tidak mau kau menjadi sakit hati dan marah,” jawab Cui Kong halus sambil menangkis tusukan pedang sehingga lagi lagi terdengar bunyi "tringg" yang amat nyaring dibarengi bunga api berpijar.

“Bodoh! Kalau pedangku terlepas dari tangan aku menyerah kalah," kata pula Ceng Ceng.

Mendengar ini, Cui Kong cepat menggerakkan huncwenya, kini membalas dengan totokan-totokan berbahaya. Gerakannya cepat sekali karena ia telah mainkan ilmu pedang yang ia pelajari dari gurunya, mengambil dari kitab Omei-san yang terjatuh ke dalam tangan Lo. Thian-tung Cun Gi Tosu, yaitu kitab Soan-hong-kiam-coan-si (Kitab Ilmu Pedang Angin Puyuh). Pedang ini sekarang diganti dengan huncwe dan diputar sampai mengeluarkan angin dingin.

Sebetulnya, sama-sama kitab dari Omei-san kehebatan ilmu yang dimainkan oleh Cui Kong dengan Pat-sian jut-bun yang dimainkan Ceng Ceng itu mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Namun karena Cui Kong memangnya menang setingkat, tentu saja permainannya juga lebih lihai dan Ceng Ceng sebentar saja merasa pening. Ia mencoba menangkis dengan pedangnya, akan tetapi pedang itu tertempel huncwe dan ikut berputaran dan terlepas dari pegangannya, berpindab ke tangan kiri Cui Kong!

Dengan sikap manis budi dan merendah Cui Kong memutar pedang itu dan memegang ujungnya. Gagangnya ia angsurkan kepada Ceng Ceng sambil berkata. "Karena kurang hati-hati pedangmu terlepas, nona. Terimalah kembali dan maafkan aku, kiam-hoat mu benar-benar hebat sekali aku merasa kagum."

Ucapan ini dikeluarkan dengan sikap sungguh-sungguh sehingga sama sekali Ceng Ceng tidak merasa diejek. Akan tetapi, tetap saja mukanya menjadi merah sekali ketika ia nerima kembali pedangnya dan me masukannya kedalam sarung pedang.

"Dalam ilmu pedang aku telah kalah, akan tetapi aku masih hendak menecoba ilmu silat tangan kosong!" kata Ceng Ceng. Ia tahu bahwa sikapnya ini keterlaluan. Sudah jelas bahwa ia kalah lihai, tantangannya ini benar-benar bocengli (tidak pakai aturan). Akan tetapi gadis ini memang keras kepala dan pada saat itu ia memang ingin sekali tahu apakah benar-benar pemuda tampan ini lebih lihai dari padanya dalam sagala macam ilmu silat.

Cui Kong tersenyum. Gadis ini cantik jelita dan keras hati, puteri Pak-thouw-tiauw-ong pula. Hemm, aku harus dapat menundukkannya. Jarang di dunia ini bisa kudapatkan gadis sehebat ini. “Baiklah, nona. Aku yang bodoh hanya menurut saja atas segala kehendakmu, dan tentu saja aku girang mendapat petunjuk-petunjuk dari puteri Pek-thouw-tiauw-ong yang ternama."

”Lihat pukulan!" Ceng Ceng terus saja menyerang tanpa mau membuang waktu lagi. Begitu menyerang ia mempergunakan ilmu silat ciptaan ayahnya, yaitu Pek-tiauw-kun-hwat (Ilmu Silat Rajawali Putih). Ayahnya mencipta ilmu silat ini dari gerak-gerak pek-thouw-tiauw (rajawali kepala putih) peliharaannya.

Ketika dua ekor rajawali itu pertama kali dipeliharanya dan masih liar, sering kali Lie Kong sengaja mengajaknya bertempur atau ia menyuruh isterinya melayani mereka dan diam-diam ia memperhatikan gerak gerik mereka. Cara mereka mengelak, menangkis dan menyerang. Dari ”latihan” inilah pendekar pantai timur ini akhirnya berhasil mencipta Pek-tiauw-kun-hwat yang merupakan gabungan dari gerak gerak rajawali dicampur gerak-gerak tipu ilmu silat tinggi yang sudah ia pelajari semenjak kecil.

Gerakan Ceng Ceng amat lincah. Kedua tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mekar seperti sayap rajawali, kadang-kadang menotok seperti paruh rajawali, tubuhnya menyambar ke atas ke bawah, ke dua kakinya kadang-kadang berjungkit, kadang-kadang merendah atau meloncat loncat tinggi. Pendeknya amat indah dipandang akan tetapi amat berbahaya dihadapi lawan.

“Bagus sekali! Kau hebat, nona,” berkali-kali Cui Kong mengeluarkan suara pujian bukan hanya sekedar untuk mengambil hati akan tetapi memang ia merasa kagum sekali.

Sifat gadis yang lincah jenaka ini memang cocok sekali dengan ilmu silat ini. Dan Cui Kong girang mendapat kesempatan “main-main" dengan gadis seperti ini, sungguhpun main-main ini dapat membahayakan keselamatannya karena pukulan-pukulan gadis itu ternyata bukan main-main. Tingkat kepandaian Cui Kong memang masih menang setingkat, akan tetapi ia harus berlaku hati-hati sekali kalau tidak mau terkena pukulan yang berbahaya.

Seratus jurus lewat dan belum juga Ceng Ceng dapat mendesak Cui Kong. Sebenarnya kalau Cui Kong mau, ia tentu akan dapat robohkan lawannya ini dalam seratus jurus, dia sudah banyak mempunyai ilmu pukulan yang aneh-aneh dan beracun. Namun menghadapi Ceng Ceng ia menjadi lemah, tidak tega mencelakainya. Ia ingin merebut hati gadis ini tanpa kekerasan, melainkan dengan kehalusan dan cinta kasih.

Di lain pihak, Ceng Ceng makin lama makin kagum terhadap pemuda ini. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda demikian pandainya, kecuali Tiang Bu. Ia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja tidak mampu ia mendesak. Pertahanan pemuda itu kuat seperti baja sehingga semua serangannya membalik.

Cui Kong berpikir bahwa kalau dalam pertandingan tangan kosong ini ia mengalahkin gadis itu, mungkin gadis itu akan menjadi tersinggung hatinya dan berbalik membencinya. Harus kuberi kesempatan kepadanya supaya kali ini dia menang, pikirnya. Cepat ia menyerang akan tetapi berbalik memberi kesempatan dan lowongan.

Sebagai seorang ahli silat ia tentu saja Ceng Ceng dapat melihat lowongan ini dan tidak menyia-nyiakan kesempatan baik. Tangan kirinya menyambar ke arah dada yang terbuka dengan pukulan keras, akan tetapi segera kepalannya dibuka dan hanya telapak tangannya yang mendorong sekuat tenaga.

"Bukk!” Cui Kong terjengkang dan berjungkir balik ke belakang, Sedangkan Ceng Ceng merasa tangannya kesemutan dan kaku. Bukan main kagetnya dan diam-diam ia menjadi makin kagum karena hal itu membuktikan bahwa tenaga lweekang pemuda itu tinggi.

"Nona lihai sekali. Aku Cui Kong mengaku kalah," kata Cui Kong sambil mengebut-ngebutkan bajunya.

Akan tetapi Ceng Ceng bukan anak kecil. Kini ia maklum bahwa pemuda itu sengaja mengalah dan merahlah mukanya. Makin tertarik hatinya, pemuda ini selain gagah perkasa, juga berbudi manis dan pandai merendah. Di lain fihak, Cui Kong hampir menari kegirangan karena ketika merubah pukulan menjadi dorongan tadi. Ia dapat menduga bahwa sedikitnya gadis itu mempunyai pandangan baik terhadap dirinya dan tidak mempunyai sikap bermusuh lagi!

"Ah, kau terlalu memuji. Sebetulnya akulah yang kalah dan terus terang saja aku mengakui kelihaianmu, saudara... saudara...”

“Cui Kong namaku, nona. Kau selalu merendah, nona Lie. Sebetulnya saja kepandaian kita setingkat, mungkin aku sedikit lebih kuat, ini tidak aneh karena kau seorang wanita. Akan tetapi, dibandingkan dengan ayahmu tentu aku kalah jauh sekali. Sudahlah, tertang kepandaian memang tidak ada batasnya, nona. Bolehkah aku bertanya, nona hendak pergi kemanakah?"

"Aku pergi merantau meluaskan pengalaman," jawab Ceng Ceng singkat.”

Wajah Cui Kong berseri. "Aah, tentu saja begitu. Puteri seorang pendekar tentu ingin pula mengetahui bagaimana keadaan dunia kang-ouw. Akupun mempunyai keinginan seperti itu, nona. Hanya bedanya, kalau ayah bundamu terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, adalah aku seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara di dunia ini, hanya mempunyai seorang ayah angkat. Akan tetapi...” Cui Kong menarik napas panjang, “Ayah angkat inipun hanya menambah beban hidupku. Aku... aku terpaksa lari dari rumahnya...”

Mendengar ucapan terputus-putus dan tidak jelas ini, hati Ceng Ceng tertarik. Kepribadian pemuda itu memang telah menarik hatinya. ingin sekali ia mengetahui keadaan pemuda ini. "Mengapa...? Mengapa kau... lari?"

Diam-diam Cui Kong makin gembira. Jelas bahwa nona ini menaruh perhatian kepada dirinya. Ia harus berlaku hati-hati. Nona ini bukan nona sembarangan, melainkan puteri dari Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong. Ia harus menggunakan akal dan siasat untuk mendapatkan gadis yang benar-benar yang benar-benar telah membetot semangatnya ini.

"Ahh, kepada orang lain biar mati aku takkan mau menceritakan urusan keluargaku, nona. Akan tetapi terhadapmu... entah mengapa biarpun baru sekarang bertemu, aku merasa... seakan-akan kita sudah menjadi sahabat baik puluhan tahun lamanya...”

Ia berhenti sebentar untuk melihat bagaimana reaksi kata-katanya yang berani ini, apakah gadis ini akan marah? Tidak, Ceng Ceng malah menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Ia menjadi makin berani dan melanjutkan kata-katanya, "Sebenarnya, ayah angkatku hendak memaksa aku untuk menikah dengan seorang gadis kampungku. Maka aku... lari pergi!”

Tanpa disengaja Ceng Ceng tertawa kecil mendengar ini. Ia memandang muka pemuda itu dan bertanya jenaka sudah timbul sifatnya yang jenaka dan lincah. "Mengapa lari? Apa dia itu buruk rupa?”

“Tidak buruk, bahkan cantik menjadi kembang kampungku. Akan tetapi, nona Lie yang baik, bukan seorang gadis cantik yang lemah menjadi idam-idaman hatiku. Gadis itu benar cantik, akan tetapi dia lemah dan bodoh. Kakinya sebesar kepalan tangan...”

”Eh. bukankah itu baik sekali? Kata orang, kaki wanita harus kecil, makin kecil makin baik.” Diam-diam ia melirik ke arah kakinya yang biarpun tidak besar dan mungil namun tidak bisa dibilang kecil seperti kaki wanita dusun yang semenjak bayi dibungkus dan diikat.

"Mana bisa dibilang baik? Kaki kecil bengkok, jalannya terpincang-pincang. Ah, tak sudi aku dekat wanita demikian, lemah berpenyakitan. Idaman hatiku, kalau orang buruk rupa dan bodoh semacam aku ini laku kawin, calon isteriku harus seorang wanita yang gagah perkasa. Tak usah dibilang lagi kalau gagahnya seperti engkau, nona, baru memiliki kegagahan setengah kepandaianmu saja, aku sudah akan merasa bahagia sekali. Kalau... andaikata... dia itu seperti engkau baik rupa maupun kepandaian... ah. aku... aku mau berlutut di depannya, nona!” Sambil berkata demikian, Cui Kong betul betul menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng. Demikian pandainya Cui Kong mengambil hati!

Ceng Ceng cepat membalikkan tubuh tidak mau menerima penghormatan itu sambil berkata, "Jangan begitu! Tidak patut orang-orang muda seperti kita bicara tertang perjodohan. “Itu urusan orang tua. Berdirilah agar kita bisa bicara dengan baik.” Diam-diam gadis ini merasa girang sekali hatinya. Sudah lama ia mengidamkan seorang calon suami yang tidak saja tampan dan halus budinya, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang melebihi kepandaiannya. Dan pemuda ini tidak saja sudah memenuhi semua syarat, bahkan terang-terangan sudah menyatakan cinta kepadanya!

"Kau tidak marah? Terima kasih, nona. Agaknya hari ini Thian menuntunku ke jalan babagia." Cui Kong berdiri dan nona itu kembali menghadapinya.

“Seperti juga kau. Aku dipaksa oleh ayah untuk menikah dengan seorang pemuda yang tidak kusetujui. Aku tadinya hendak dipaksa menjadi jodoh seorang pemuda bernama... Tiang Bu."

Kalau Cui Kong tidak mempunyai kepandaian menguasai diri, tentu ia akan tersentak kaget mendengar disebutnya nama ini. Hendak dijodohkan dengan Tiang Bu pemuda sakti itu, Hatinya berdebar keras. Alangkah kebetulan. Kalau ia bisa mendapatkan gadis ini, tidak saja hatinya akan puas karena memang ia tartarik dan cinta kepada Ceng Ceng. Akan tetapi juga sekaligus itu merupakan pukulan terhadap Tiang Bu, merupakan sebagian dari pada balas dendam kepada pemuda yang dibencinya itu.

"Mengapa kau tidak setuju, nona? Apakah Tiang Bu itu seorang pemuda yang tidak memiliki kepandaian silat?” ia pura-pura bertanya.

Ceng Ceng tersenyum. “Tentang kepandaian silat aku sama sekali tidak dapat menang melawan dia, mungkin kau dapat mengalahkannya. Hemm, aku ingin sekali melihat kau dan dia bertempur.”

Diam-diam Cui Kong mengeluh di dalam hatinya. Kalau saja Ceng Ceng tahu betapa Tiang Bu sudah membikin kocar kacir Ui-tiok-lim! Dikeroyok tujuh saja masih tidak kalah, bagaimana Cui Kong harus menghadapi Tiang Bu seorang diri? memikirkan hal ini saja bulu tengkuknya sudah berdiri saking ngerinya.

"Ah, kalau begitu dia seorang yang berkepandaian tingi...? Mengapa kau menolaknya. nona...?" tanyanya menyimpangkan pembicaraan tentang kepandaian silat. Kemudian disambungnya cepat agar dianggap sopan. "Ah, maaf beribu maaf, sebetulnya tidak patut aku berlancang mulut. Malutku patut digampar!"

Cenga Ceng yang tadinya hendak marah menjadi tersenyum, "Apakah kepandaian tinggi saja cukup menjadi syarat perjodohan? Kalau hati tidak suka, siapa bisa memaksaku?”

Cui Kong bertepuk tangan, wajahnya berseri. "Bagus! Bagus! Memang menjadi orang muda harus demikian. Aku girang sekali bahwa ternyata pendirianku ada yang menyamai, keadaanku dan keadaanmu cocok sekali, nona."

Kembali Ceng Ceng menjadi merah mukanya, akan tetapi dia memang bukan gadis pemalu. Ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik, lalu bertanya. “Kau telah memperkenalkan nama, akan tetapi siapa she (nama keturunan) mu? Dan kemana kau hendak pergi?”

“Aku she Kwe dan seperti juga kau, aku pergi merantau menjauhkan diri dari paksaan ayah angkatku." Kemudian ia berkata dengan sikap sungguh-sungguh. “Nona Lie Ceng, aku Kwee Cui Kong biasa bicara jujur dan terbuka, sesuai dengan sikap orang gagah yang tidak suka menyimpan perasaan sendiri sebagai rahasia. Terus terang nona. Begitu bertemu dengan nona, apa lagi setelah mengadu kepandaian, aku merasa cocok sekali denganmu, dan... apabila nona setuju... maafkan kelancanganku karena aku suka berterus terang menyatakan isi hatiku, apabila nona setuju, aku ingin ikut nona menemui orang tua nona untuk... untuk mengajukan pinangan atas diri nona."

Dapat dibayangkan betapa likat dan malu rasa hati Ceng Ceng sebagai seorang dara mendengar kata-kata yang terus terang seperti ini. Akan tetapi diam-diam ia memuji keberanian pemuda ini dan sama sekali ia tidak bisa marah karena memang pemuda ini tidak bisa dibilang kurang ajar. Bahkan ucapan itu membuktikan betapa jujur dan gagah sikapnya! Memang Ceng Ceng hanya pandai ilmu silat akan tetapi pengalamannya masih hijau sekali. Tentu saja menghadapi seorang "buaya" seperti Cui Kong, ia terpikat!

Sampai lama Cang Ceng tidak bisa bicara, akhirnya sambil menundukkan muka ia berkata, "Urusan jodoh urusan orang tua, bagaimana jika kau hendak bertemu sendiri dengan ayah bundaku?"

Sudah menang setengah bagian, pikir Cui Kong! Terang gadis ini setuju, kalau tidak masa bertanya demikian, tentu marah. Kalau gadis ini marah dan menolaknya, tentu Cui Kong hendak menggunakan kekerasan menculiknya, akan tetapi ia lebih senang mengambil jalan halus karena memang kali ini ia bersungguh-sungguh, begitu berjumpa dengan Ceng Ceng ia tertatik sekali. Apa lagi kalau diingat bahwa dara ini puteri Pek-tbouw-tiauw-ong, dia harus berhati-hati.

"Ucapanmu itu memang tepat sekali, nona, dan akupun tentu akan mematuhi peraturan dan kesopanan. Akan tetapi apa mau dikata, seperti tadi telah kuceritakan, aku adalah seorang anak yatim piatu, tiada ayah bunda lagi...” Sampai di sini dengan pandai sekali sepasang mata Cui Kong menjadi basah oleh air mata! "Ayah angkatku memaksaku menikah dengan seorang gadis kampungku puteri seorang hartawan, kalau ku ceritakan kepadanya tentang niatku ini sudah pasti ia akan marah-marah dan menolak. Oleh karena itu, lebih baik aku datang sendiri kepada ayah bundamu dan menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada lagi waliku sehingga terpaksa aku mengajukan pinangan sendiri. Nona Lie yang mulia. sudikah kau menyetujui permohonanku ini?”

Ceng Ceng menjadi terharu. Hatinya sudah jatuh betul-betul. Akan tetapi sebagai seorang gadis terhormat, bagaimana dia bisa menjawabnya? Tiba-tiba kudanya meringkik dan menggaruk-garuk tanah dengan kaki depan. Kuda itu sudah tidak sabar dan minta diberi kesempatan lari.

"Aku memang hendak manyusul ayah di kota Kiu-kiang. Kalau kau hendak mencari kami, datang saja di Telaga Po-yang, di sana ayah mempunyai perahu besar tempat kami pelesir. Nah, aku pergi dulu!” Dengan gerak ringan sekali Ceng Ceng melompat ke atas punggung kudanya. Sekali menarik kendali kuda itu meringkik dan melompat jauh terus berlari cepat.

“Nona, bagaimana aku tahu yang mana perahu ayahmu?” Cui Kong berteriak keras.

“Cari saja burung pek-thouw-tiauw, tentu ketemu!” jawab Ceng Ceng sambil menoleh dan melambaikan tangannya. Kemudian kuda itu membalap cepat, sebentar saja lenyap di sebuah tikungan jalan.

Cui Kong berdiri bengong, merasa hatinya dan semangatnya terbawa lari oleh kuda itu. Akhirnya ia menghela napas panjang dan berkata heran, "Cui Kong... Cui Kong... mengapa hatimu seaneh ini? Hemm, banyak sekali wanita cantik, akan tetapi tak seorangpun dapat menandingi Ceng Ceng. Dia itulah calon isteriku! Aku harus mendapatkan dia!” Kemudian ia pun lari cepat menuju ke Kiu-kiang.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Telaga Po-yang adalah sebuah telaga besar di Propinsi Kiang-si. Telaga yang indah dan juga ramai. Telaga ini menjadi pusat ke ramaian dan tempat orang berpelesir, terutama sekali oleh karena letaknya di dekat kota-kota besar seperti Nan-ciang dan lain-lain. Para saudagar tidak ada yang tidak melewatkan waktu untuk mengunjungi telaga ini apabila maraka kebetulan lewat di daerah ini, juga para pembesar setempat selalu menghibur hati di telaga dengan perahu-perahu mereka yang serba mewah dan indah.

Telaga ini menjadi pusat para seniman di mana mereka mencari ilham di tempat sunyi indah ini untuk menghasilkan karya-karya besar. Hanya rakyat kecil, kaum petani dan nelayan yang agaknya tidak menaruh perhatian atas segala keindahan alam ini, pandangan mata mereka jauh sekali bedanya dengan orang-orang kota itu.

Mengapa demikian? Oleh karena rakyat kecil yang selamanya tinggal di dusun-dusun ini sudah biasa dengan segala keindahan alam semenjak mereka kecil. Mereka telah menjadi satu dengan keindahan tamasya alam sehingga para pelukis dan penyajak tidak pernah lupa menyebut mereka ini dalam lukisan atau sajak mereka. Memang sagala keindahan itu akan kehilangan rasanya apabila telah dimiliki.

Di antara puluhan buah perahu indah milik para pembesar dan saudagar, terdapat sebuah perahu cat putih yang sedang saja besarnya. Akan tetapi tentu saja sudah termasuk besar dan mewah apabila dibandingkan dengan perahu-perahu butut milik para seniman dan nelayan yang banyak berkeliaran di permukaan telaga. Perahu bercat putih ini sudah tiga bulan berada di situ, dimiliki oleh sepasang suami isteri pendekar yang amat ternama, yaitu Pek-thouw tiauw ong Lie Kong dan isterinya Souw Cui Eng. Bagi orang-orang yang sudah biasa merantau di dunia kangouw, melihat dua ekor burung pak-thouw-tiauw yang sering kali hinggap di atas perahu atau terbang berputaran di atasnya, tentu akan mengenal siapa pemilik perahu itu.

Pada suatu pagi, ketika matahari mulai memancarkan sinarnya di permukaan telaga suami isteri pendekar ini sudah kelihatan duduk di atas dek perahu mereka. Sudah jadi kebiasaan mereka untuk "mandi cahaya matahari" di waktu pagi yang merupakan sebagian dari pada latihan mereka sehingga tubuh selalu sehat dan awet muda. Inilah saatnya mereka bercakap cakap dengan asyik, si isteri melayani suami minum teh hangat dan sekedar santapan pagi.

"Heran mengapa Ceng Ceng masih juga belum kembali? Apa dia lupa bahwa dalam bulan ini kita akan meninggalkan Po-yang?” terdengar Lie Kong berkata sambil menghirup teh panasnya.

"Anak ini kalau sudah bertamasya lupa waktu." jawab Souw Cui Eng. ”Akan tetapi pada saatnya ia tentu akan datang. Biarpun suka pelesir, Ceng Ceng selalu ingat akan pesan kita. Kurasa sebelum lewat bulan ini tentu ia akan pulang."

Lie Kong menarik napas panjang, "Tahun ini Ceng Ceng sudah berusia delapan belas lebih, dan kita belum mendapatkan calon jodohnya...”

Isterinya juga menarik napas panjang. "Anak itu agak bandel. Akupun sudah setuju sekali kalau dia menjadi isteri Tiang Bu pemuda yang sakti itu. Akan tetapi, aahhh, memang Ceng Ceng amat bandel…”

"Tunggu saja sampai kita bertemu dengan keluarga di Kim-bun-to, tentu hal perjodohan ini akan kujadikan,” kata Lie Kong.

Tiba-tiba terdengar pekik nyaring. Suami isteri itu menoleh ke darat sebelah timur sambil mengerutkan kening. Sekali lagi pekik terdengar dan tak lama kemudian seekor burung rajawali berkepala putih datang beterbangan diatas perahu, berputar-putar sambil cecowetan.

“Hemm, betinanya ke mana?” tanya Lie Kong sambil memandang burungnya itu.

“Celaka, tentu terkena bencana. Hayo kita lihat!” kata isterinya yang amat sayang kepada sepasang burungnya. Suami isteri ini cepat minggirkan perahu, diikuti oleh pok-thouw-tiauw dari atas. Dengan sigap mereka melompat ke darat meninggalkan perahu lalu berlari mengikuti burung mereka yang menjadi penunjuk jalan.

Burung itu terbang terus ke sebuah hutan kecil di sebelah timur telaga. Setelah memasuki hutan, mereka melihat enam orang laki-laki aneh yang berdiri saling berhadapan. Lie Kong dan isterinya berdiri bengong seperti patung! Apa yang mereka lihat memang luar biasa anehnya. Tiga di antara enam orang itu pernah mereka lihat, yaitu bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui (Tiga Iblis Kutub Utara) yang bernama Giam lo-ong Ci Kui, Liok-to Mo-ko Ang Bouw, dan Sin sai-kong Ang Louw.

Akan tetapi, tiga orang ini sekarang berdiri berhadapan dengan tiga orang Pak-kek Sam-kui pula! Tegasnya pada saat itu terdapat dua orang Ci Kui, dua orang Ang Bouw, dan dua orang Ang Louw. Tiga pasang manusia kembar yang sukar sekali dibedakan mana asli mana palsu! Hanya bentuk pakaian mereka yang agak berbeda, selebihnya mereka serupa benar. Saking heran dan terkejut menyaksikan pemandangan ganjil ini, Lie Kong dan isterinya sampai tak dapat mengeluarkan suara. Burung pek-thouw-tiauw betina sedang dipegang sayapnya oleh seorarg Ci Kui dan burung itu sama sekali tak dapat berkutik. Memegang burung besar yang amat kuat seperti itu menunjukkan keahlian si pemegangnyaa.

“Ha, pemilik pek thouw tiauw sudah datang kau masih juga belum melepaskannya!" kata Ci Kui kedua kepada Ci Kui pertama.

Ci Kui yang memegang burung mengeluarkan ketawa sambil memandang kepada Lie Kong, agaknya ia jerih dan sekali menggerakkan tangan, burung pek thouw tiauw betina itu sudah terbang tinggi mengeluarkan pekik marah. Ci Kui kedua yang menyuruh Ci Kui pertama tadi lalu menjura kepada Lie Kong.

"Si-cu harap sudi memaafkan kami tiga orang adik kakak ini membuat kesalahan terhadap sicu, kami yang mintakan maaf. Sekarang kami enam orang kakak beradik masih mempunyai urusan penting sekali, harap sicu mengalah dan mundur."

Lie Kong cepat-cepat mengerahkan tenaganya ketika dari sepasang kepalan itu menyambar angin yang amat kuatnya. Ia memberi penghormatan itu dengan merangkap kedua tangan ke dada dan digerakkan ke depan. Dua tenaga dahsyat saling bertemu dan Lie Kong tergeser sedikit kaki kirinya, tanda bahwa orang tinggi kurus itu benar-benar lihai sekali. Hal ini mengejutkan hati Lie Kong. Ia tahu bahwa tiga orang Pak kek Sam kui lihai, akan tetapi tidak mungkin seorang saja dari mereka dapat menandinginya.

Akan tetapi karena orang bicara dengan cengli (menurut aturan), iapun tidak mau banyak cakap. Burungnya tidak terganggu, mengapa ia harus banyak ribut? Ia mengangguk kepada isterinya, lalu mengundurkan diri. Akan tetapi oleh karena hutan itu tempat umum, ia berani dengan isterinya duduk di bawah pohon agak jauh dari situ untuk melihat apa yang selanjutnya akan terjadi antara tiga pasang manusia kembar yang aneh-aneh seperti siluman itu.

Dua pasang Pak-kek Sam kui selanjutnya tidak memperdulikan lagi akan hadirnya Lie Kong dan isterinya dan mereka saling berhadapan, sikap Pak-kek Sam kui pertama menantang dan Pak-kek Sam-kui kedua sikapnya tenang, sabar membujuk.

"Bagaimana, apakah kalian masih berkeras kepala tidak mau ikut kami pulang ke utara?” terdengar Ci Kui kedua bertanya.

Ci Kui pertama menjawab, "Tidak! Kami bebas melakukan apa saja yang kami sukai dan kalian tak perlu mencampuri urusan kami!" Agaknya seperti juga Ci Kui ke dua, yang pertama inipun mewakili kawan-kawannya.

"Hemmm, kalian ini benar-benar tak tahu diri. Kami sebagai saudara-saudara tua masih bersikap sabar sekali. Kalian patut dilenyapkan dari muka bumi. Kalian secara tak tahu malu sekali mencemarkan nama saudara tua, membantu manusia-manusia jahat dan pengkhianat semacam Liok Kong Ji dan Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Di mana sifat kegagahanmu? Raja besar kami sedang sibuk memukul ke barat, kalian enak-enak hendak mengikuti Liok Kong Ji yang bersembunyi di Pulau Pek-houw-to (Pulau Harimau Putih) di laut selatan. Sudah banyak kejahatan kalian lakukan sebagai kaki tangan Liok Kong Ji, sudah banyak kalian membuat permusuhan dengan orang-orang gagah di dunia selatan. Dari pada kelak kalian mampus di tangan orang-orang gagah, lebih baik sekarang kalian roboh oleh tangan kami sendiri..."

Tangan Gledek Jilid 40

Tangan Gledek Jilid 40

SAMPAI lama Ceng Ceng berdiri memandang, kemudian ia menjadi marah. Tentu pemuda ini yang telah mencuri kudanya! Ia melepaskan kendali kudanya, melangkah maju mendekati pemuda itu sambil membentak.

"Pencuri kuda kurang ajar! Turunlah kau menerima hajaran!"

Pemuda itu membuka matanya memandang kepada Ceng Ceng dengan mata bersinar dan bibir tersenyum. "Nona, kau memaki siapa?" tanyanya, suaranya halus, sikapnya sopan.

“Memaki kau, siapa lagi? Kau pencuri kuda hina, turunlah kalau kau mempunyai kepandaian!” Dilolosnya pedang dari pinggangnya dan gadis ini siap untuk menyerang.

Pemuda itu tersenyum tenang. "Nona, aku Cui Kong selamanya tidak pernah mencuri kuda. Harap kau dapat memperbedakan antara pencuri kuda dan orang baik-baik.”

Memang pemuda ini bukan lain adalah Liok Cui Kong. Setelah berhasil membunuh Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, pemuda ini lalu melakukan perjalanan ke selatan menuju ke tempat tinggal ayah angkatnya yang baru, yaitu di sebuah pulau di pantai selatan, mendekati Lo thian-tung Cun Gi Tosu yang juga melarikan diri ke selatan setelah di utara ia tidak diterima baik oleh Jengis Khan.

Kebetulan sekali di tengah jalan ia melihat Ceng Ceng. Sebagai seorang pemuda mata kerarjang yang bejat moralnya, tentu saja melihat seorang dara cantik seperti Ceng Ceng. hati Cui Kong tergorcang hebat. Akan tetapi, melihat sikap dan gerak gerik Ceng Ceng, pula menyaksikan kepandaian gadis ini, timbul perasaan aneh dalam diri Cui Kong.

Berbeda dengan perasaan kalau melihat gadis-gadis lain. ia amat tertarik dan timbul kasih sayang. Inilah agaknya cinta yang bersemi di dalam hatinya, oleh karena manusia bagaimana jahatpun sekali waktu akan jatuh hati kepada seorang tertentu. Ini pula sebabnya maka Cui Kong tidak mau bermain kasar. Ia sengaja mencari kuda nona itu dan sekarang menanti di sini, siap mencari alasan baik untuk berkenalan.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya mendengar jawaban pemuda itu. Ia tidak mengenal nama Cui Kong, dan ia ragu-ragu apakah ucapan itu betul. "Bagaimana kau bisa bilang bukan pencuri kuda kalau kudaku hilang dari rumah penginapan, dibawa orang pada tengah malam, terus kukejar di sini dan kudapatkan kuda itu berada di sini bersamamu? Bagaimana kau bisa menyangkal?”

Cui Koug mengangguk-angguk berkata, masih tersenyum memikat hati. “Memang ada kulihat tadi seorang laki-laki membalapkan kuda lewat dekat ini. Karena curiga melihat orang pagi-pagi membalapkan kuda yang besar dan indah, aku menegurnya. Akan tetapi orang itu malah mengayun pecut menyerangku. Aku menangkap pecutnya dan membetotnya sehingga orang tidak punya guna itu roboh terjungkal. Dua kali ia menyerangku lagi akan tetapi dua kali ia terjungkal lalu melarikan diri. Kuda itu ia tinggalkan dan kuda baik ini ternyata tidak mau pergi. Nah, aku sudah memberi keterangan, apakah kau masih hendak memaki aku sebagai maling kuda?"

Ceng Ceng memang seorang gadis lincah pandai berdebat. Mendengar penuturan ini ia menjawab, "Enak saja kau mendongeng! Apa buktinya kebenaran dongenganmu itu dan siapa bisa bilang kalau kau tidak membohong?"

“Nona, ada dua sebab kuat yang menjelaskan bahwa aku bukan pencuri kuda. Aku sudah menyaksikan kepandaianmu, kalau aku yang mencuri, perlu apa aku masih melarikan diri? Kedua, andaikata aku yang mencuri lalu lari ketakutan, perlu apa aku sekarang musti menantimu di sini? Coba kau pikir baik-baik."

Memang beralasan sekali ucapan ini, akan tetapi perut Ceng Ceng sudah menjadi panas. Kalau saja Cui Kong memberi alasan yang ke dua saja, ia sudah akan merasa puas dan percaya. Akan tetapi, alasan pertama dari pemuda itu menyatakan bahwa pemuda itu memandang rendah kepadaianya! Cui Kong bilang bahwa dia sudah menyaksikan kepandaian Ceng Ceng dan andaikata dia yang mencuri kuda, ia takkan lari. Bukankah itu berarti bahwa pemuda ini menganggap kepandaian Ceng Ceng tidak berapa?

"Bagus, tidak tahunya kau selihai itukah? Boleh, boleh kita coba-coba. Kalau kau betul sudah dapat mengalahkan pencuri kuda, tentu kepandaianmu lebih tinggi dari pada aku. Turunlah!"

Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menggunakan kakinya mendorong batu besar yang diduduki oleh Cui Kong. Hebat sekali lweekang nona ini. Batu yang beratnya ada seribu kati ini menjadi miring!

"Ayaaa, kiranya kau sekuat ini!” Seru Cui Kong, benar-benar terkejut. Tadinya ia hanya melihat gadis itu menimpukkan pasir merobohkan banyak burung sekaligus. Kepandaian ini indah, akan tetapi belum menunjukkan bahwa gadis itu seorang ahli silat tinggi. Melihat usianya yang begitu muda, Cui Kong menganggap gadis itu tentu tidak sedemikiah hebat. Akan tetapi dorongan kaki pada batu besar tadi benar-benar mendemonstrasikan tenaga yang hebat dan kepandaian yang tinggi!

Sementara itu, Ceng Ceng juga kagum melihat tubuh yang tadinya bersila di atas batu, kini, "melayang” turun dalam kedudukan masih bersila seakan-akan pemuda itu pandai terbang. Padahal inipun demonstrasi ginkang yang hebat dari Cui Kong, yang mempergunakan ujung-ujung jari kakinya menotol batu di bawahnya sehingga tubuhnya dapat mencelat turun. Ketika tiba di tanah, kedua kakinya dilepas sehingga ia jatuh be rdiri dengan ringan dan tenang. Ceng Ceng bersiap-siap, ia mengandalkan Ilmu silatnya Pat-sian-jut-bun, sama sekali tidak mengira bahwa pemuda di depannya inipun ahli dalam ilmu silat itu!

Soalnya begini. Seperti telah diceritakan dahulu, kitab Pat-sian-jut-bun yang tadinya terjatuh ke dalam tangan Pek-thouw tiauw ong Lie Kong dan diberikan Ceng Ceng, telah dirampas oleh Cui Lin dan Cui Kim dan akhirnya terjatuh ke dalam tangan Liok Kong Ji. Akan tetapi sebelum terjatuh ke dalam tangan Liok Kong Ji, Cui Kong sudah mencuri lihat dan otaknya yang cerdas dapat menghafal isinya dan diam-diam iapun mempelajari ilmu silat ini. Oleh Liok Kong Ji kitab itu bahkan dijadikan bahan untuk mengatur barisan bambu di Ui tiok-lim, yang makin disempurnakan ilmu dari kitab ini.

Demikianlah Ceng Ceng sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ia berhadapan dengan tokoh Ui-tiok lim atau kakak angkat dari dua orang gadis yang mencuri kitabnya dan yang sekarang masih dicarinya itu.

"Nona, kau betul-betul hendak mengujiku? Boleh, boleh, akupun ingin sekali tahu sampai di mana tingginya kepandaian mu. Akan tetapi harap kau ingat bahwa aku betul-betul bukan pencuri kudamu dan kita bertempur hanya sebagai pibu persahabatan saja."

"Jangan banyak cingcong! Keluarkan senjatamu!" seru Ceng Ceng. Gadis ini belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Biarpun ia tertarik akan ketampanan wajah pemuda ini dan sifat-sifainya yang gagah, namun sebelum mengukur tinggi rendah kepandaiannya, mana bisa ia menaruh penghargaan?

Cui Kong mencabut keluar huncwenya menjawab, “Aku masih muda dan tidak doyan menghisap tembakau, akan tetapi huncwe ini sudah menjadi kawan lama yang selalu melindungiku, inilah senjataku nona. Kau majulah!”

Diam-diam Ceng Ceng menjadi agak gembira. Seorang yang mempergunakan senjata begitu aneh, tentu memiliki kepandaian tinggi dan ia ingin sekali tahu sampai bagaimana tingginya. "Lihat pedang!” serunya dan dengan gerakan manis sekali ia menusuk ke arah tenggorokan lawannya, kemudian pedang diteruskan dengan gerakan memutar ke atas ke bawah sedangkan tangan kirinya ditekuk di depan dada. Sekaligus ujung pedang itu menyerang tiga bagian tubuh yang berbahaya.

Melihat gerakan ini, Cui Kong terkejut sekali. Itulah gerakan Cui sian-sia-ciok (Dewa Arak Mamanah Batu) sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pat sian-jut-bun! Ia cepat memutar huncwenya ke depan tubuh sambil melompat mundur dan berkata. "Nanti dulu, nona. Seranganmu begitu lihai dan ganas, kalau sampai mengenai aku, bukankah nyawaku akan menghadap Giam-kun (Dawa Maut)?" ia berkelakar.

Ceng Ceng cemberut. "Kalau takut pedang jangan bicara sombong!"

"Aku seorang jantan tulen tidak takut mati, nona. Hanya aku khawatir akan mati dengan mata melek karena penasaran sebelum aku tahu siapa orangnya yang akan membunuhku. Pedang tidak bermata, nona. Sebelum ada kemungkinan dada ini tergores pedang aku harus tahu siapa gerangan nona yang gagah perksa ini? Kau sudah tahu, namaku Cui Kong. Akan tetapi siapa nona dan dari aliran manakah?”

"Namaku Lie Ceng, bukan dari aliran mana-mana. Ayahku Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong.”

Cui Kong pura-pura terkejut girang, padahal di dalam hatinya ia benar-benar terkejut dan cemas. Ia merasa punya dosa terhadap Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong karena bukankah Cui Lin dan Cui Kim telah mencuri kitab gadis ini? Dengan air muka kelihatan tercengang girang ia berseru sambil merangkapkan kedua tangan memberi hormat,

"Aduh, kiranya lihiap (pendekar wanita) adalah puteri dari Lie-locianpwe yang mulia. Maaf, maaf, aku yang bodoh tidak tahu dan berlaku kurang hormat. Memang lihiap tentu saja tidak mengenal namaku yang terpendam ke dalam lumpur, akan tetapi sebaliknya dari bawah lumpur aku sudah melihat rajawali kepala putih terbang melayang di angkasa raya."

Mendengar pujian yang muluk ini tentu saja hati Ceng Ceng merasa senang, akan tetapi ia masih penasaran. Serangan pertamanya tadi ternyata dengan mudah dapat ditangkis oleh Cui Kong, apakah pemuda ini betul-betul akan dapat menangkan dia...? Kalau betul demikian... hemmm, pemuda seperti ini lah kiranya yang patut... menjadi jodohnya! Merah muka Ceng Ceng dengan sendirinya ketika ia berpikir sampai di situ.

"Sudahlah, tak perlu banyak peradatan ini. Hayo kita selesaikan pibu kita!”

Cui Kong merasa girang mendengar nona itu menyebut “pibu", bukan pertandingan sungguh-sungguh, maka ia segera bersiap dan berkata, "Aku yang bodoh sudah siap menerima petunjuk dari lihiap."

Ceng Ceng tidak mau berlaku sungkan lagi. Pedangnya digerakkan amat cepatnya, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung rajawali mengamuk. Sinar putih seperti perak bergulung-gulung mengurung diri Cui Kong yang berlaku tenang tenang saja. Pemuda yang sudah tahu akan kelihaian ilmu Pak-sian-jut-bun ini, tidak mau berlaku gugup dan tidak mau mengikuti pergerakan pedang lawan. Kalau ia mengikutinya, akan celakalah dia. Inilah kehebatan ilmu pedang itu yang harus dilawan dengan tenang. Ia hanya memperhatikan sinar pedang menyambar ke arahnya untuk ditangkis dengan huncwenya.

Ilmu silat Cui Kong masih setingkat lebih tinggi dari pada gadis ini, juga tenaganya lebih besar. Oleh karena itu ia dapat melayani Ceng Ceng dengan baik. Andaikata ia belum mencuri baca kitab Pat-sian-jut-bun, kiranya dia takkan depat menghadapi gadis ini demikian enak, sedikitnya dia harus mengerakkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi.

Sebaliknva, Ceng Ceng merasa seakan-akan menghadapi tembok baja yang amat kuat. Biarpun pemuda itu bergerak lambat dan tenang namun kemana saja pedangnya menyerang di situ sudah ada huncwe yang menangkis. Dan setiap tangkisan huncwe membuat telapak tangan tergetar. Hati Ceng Ceog ikut tergetar pemuda itu benar-benar lihai. Kiranya tidak kalah lihai oleh Tiang Bu. Akan tetapi dia pernah dikalahkan oleh Tiang Bu dan ia merasa penasaran apakah pemuda tampan yang lihai inipun dapat mengalahkannya.

"Hayo kau balas menyerang!" bentaknya berulang-ulang melihat pemuda itu hanya menjaga diri saja.

"Mana aku berani!" jawab Cui Kong mengambil hati. Tentu saja pemuda ini tidak tahu akan suara hati gadis ini. Dia tertarik kepada Ceng Ceng dan berusaha mengambil hatinya, ia takut kalau kalau gadis itu akan merasa terhina dan marah kalau sampai ia mengalahkannya, maka ia hanya mempertahankan diri saja. Tidak tahunya gadis ini bahkan menghendaki sebaliknya.

“Bagaimana tidak berani, ini pibu namanya! Hayo kau balas, hendak kulihat apa kau mampu mengalahkan aku."

"Aku tidak berani melukaimu. nona. Aku tidak mau kau menjadi sakit hati dan marah,” jawab Cui Kong halus sambil menangkis tusukan pedang sehingga lagi lagi terdengar bunyi "tringg" yang amat nyaring dibarengi bunga api berpijar.

“Bodoh! Kalau pedangku terlepas dari tangan aku menyerah kalah," kata pula Ceng Ceng.

Mendengar ini, Cui Kong cepat menggerakkan huncwenya, kini membalas dengan totokan-totokan berbahaya. Gerakannya cepat sekali karena ia telah mainkan ilmu pedang yang ia pelajari dari gurunya, mengambil dari kitab Omei-san yang terjatuh ke dalam tangan Lo. Thian-tung Cun Gi Tosu, yaitu kitab Soan-hong-kiam-coan-si (Kitab Ilmu Pedang Angin Puyuh). Pedang ini sekarang diganti dengan huncwe dan diputar sampai mengeluarkan angin dingin.

Sebetulnya, sama-sama kitab dari Omei-san kehebatan ilmu yang dimainkan oleh Cui Kong dengan Pat-sian jut-bun yang dimainkan Ceng Ceng itu mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Namun karena Cui Kong memangnya menang setingkat, tentu saja permainannya juga lebih lihai dan Ceng Ceng sebentar saja merasa pening. Ia mencoba menangkis dengan pedangnya, akan tetapi pedang itu tertempel huncwe dan ikut berputaran dan terlepas dari pegangannya, berpindab ke tangan kiri Cui Kong!

Dengan sikap manis budi dan merendah Cui Kong memutar pedang itu dan memegang ujungnya. Gagangnya ia angsurkan kepada Ceng Ceng sambil berkata. "Karena kurang hati-hati pedangmu terlepas, nona. Terimalah kembali dan maafkan aku, kiam-hoat mu benar-benar hebat sekali aku merasa kagum."

Ucapan ini dikeluarkan dengan sikap sungguh-sungguh sehingga sama sekali Ceng Ceng tidak merasa diejek. Akan tetapi, tetap saja mukanya menjadi merah sekali ketika ia nerima kembali pedangnya dan me masukannya kedalam sarung pedang.

"Dalam ilmu pedang aku telah kalah, akan tetapi aku masih hendak menecoba ilmu silat tangan kosong!" kata Ceng Ceng. Ia tahu bahwa sikapnya ini keterlaluan. Sudah jelas bahwa ia kalah lihai, tantangannya ini benar-benar bocengli (tidak pakai aturan). Akan tetapi gadis ini memang keras kepala dan pada saat itu ia memang ingin sekali tahu apakah benar-benar pemuda tampan ini lebih lihai dari padanya dalam sagala macam ilmu silat.

Cui Kong tersenyum. Gadis ini cantik jelita dan keras hati, puteri Pak-thouw-tiauw-ong pula. Hemm, aku harus dapat menundukkannya. Jarang di dunia ini bisa kudapatkan gadis sehebat ini. “Baiklah, nona. Aku yang bodoh hanya menurut saja atas segala kehendakmu, dan tentu saja aku girang mendapat petunjuk-petunjuk dari puteri Pek-thouw-tiauw-ong yang ternama."

”Lihat pukulan!" Ceng Ceng terus saja menyerang tanpa mau membuang waktu lagi. Begitu menyerang ia mempergunakan ilmu silat ciptaan ayahnya, yaitu Pek-tiauw-kun-hwat (Ilmu Silat Rajawali Putih). Ayahnya mencipta ilmu silat ini dari gerak-gerak pek-thouw-tiauw (rajawali kepala putih) peliharaannya.

Ketika dua ekor rajawali itu pertama kali dipeliharanya dan masih liar, sering kali Lie Kong sengaja mengajaknya bertempur atau ia menyuruh isterinya melayani mereka dan diam-diam ia memperhatikan gerak gerik mereka. Cara mereka mengelak, menangkis dan menyerang. Dari ”latihan” inilah pendekar pantai timur ini akhirnya berhasil mencipta Pek-tiauw-kun-hwat yang merupakan gabungan dari gerak gerak rajawali dicampur gerak-gerak tipu ilmu silat tinggi yang sudah ia pelajari semenjak kecil.

Gerakan Ceng Ceng amat lincah. Kedua tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mekar seperti sayap rajawali, kadang-kadang menotok seperti paruh rajawali, tubuhnya menyambar ke atas ke bawah, ke dua kakinya kadang-kadang berjungkit, kadang-kadang merendah atau meloncat loncat tinggi. Pendeknya amat indah dipandang akan tetapi amat berbahaya dihadapi lawan.

“Bagus sekali! Kau hebat, nona,” berkali-kali Cui Kong mengeluarkan suara pujian bukan hanya sekedar untuk mengambil hati akan tetapi memang ia merasa kagum sekali.

Sifat gadis yang lincah jenaka ini memang cocok sekali dengan ilmu silat ini. Dan Cui Kong girang mendapat kesempatan “main-main" dengan gadis seperti ini, sungguhpun main-main ini dapat membahayakan keselamatannya karena pukulan-pukulan gadis itu ternyata bukan main-main. Tingkat kepandaian Cui Kong memang masih menang setingkat, akan tetapi ia harus berlaku hati-hati sekali kalau tidak mau terkena pukulan yang berbahaya.

Seratus jurus lewat dan belum juga Ceng Ceng dapat mendesak Cui Kong. Sebenarnya kalau Cui Kong mau, ia tentu akan dapat robohkan lawannya ini dalam seratus jurus, dia sudah banyak mempunyai ilmu pukulan yang aneh-aneh dan beracun. Namun menghadapi Ceng Ceng ia menjadi lemah, tidak tega mencelakainya. Ia ingin merebut hati gadis ini tanpa kekerasan, melainkan dengan kehalusan dan cinta kasih.

Di lain pihak, Ceng Ceng makin lama makin kagum terhadap pemuda ini. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda demikian pandainya, kecuali Tiang Bu. Ia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja tidak mampu ia mendesak. Pertahanan pemuda itu kuat seperti baja sehingga semua serangannya membalik.

Cui Kong berpikir bahwa kalau dalam pertandingan tangan kosong ini ia mengalahkin gadis itu, mungkin gadis itu akan menjadi tersinggung hatinya dan berbalik membencinya. Harus kuberi kesempatan kepadanya supaya kali ini dia menang, pikirnya. Cepat ia menyerang akan tetapi berbalik memberi kesempatan dan lowongan.

Sebagai seorang ahli silat ia tentu saja Ceng Ceng dapat melihat lowongan ini dan tidak menyia-nyiakan kesempatan baik. Tangan kirinya menyambar ke arah dada yang terbuka dengan pukulan keras, akan tetapi segera kepalannya dibuka dan hanya telapak tangannya yang mendorong sekuat tenaga.

"Bukk!” Cui Kong terjengkang dan berjungkir balik ke belakang, Sedangkan Ceng Ceng merasa tangannya kesemutan dan kaku. Bukan main kagetnya dan diam-diam ia menjadi makin kagum karena hal itu membuktikan bahwa tenaga lweekang pemuda itu tinggi.

"Nona lihai sekali. Aku Cui Kong mengaku kalah," kata Cui Kong sambil mengebut-ngebutkan bajunya.

Akan tetapi Ceng Ceng bukan anak kecil. Kini ia maklum bahwa pemuda itu sengaja mengalah dan merahlah mukanya. Makin tertarik hatinya, pemuda ini selain gagah perkasa, juga berbudi manis dan pandai merendah. Di lain fihak, Cui Kong hampir menari kegirangan karena ketika merubah pukulan menjadi dorongan tadi. Ia dapat menduga bahwa sedikitnya gadis itu mempunyai pandangan baik terhadap dirinya dan tidak mempunyai sikap bermusuh lagi!

"Ah, kau terlalu memuji. Sebetulnya akulah yang kalah dan terus terang saja aku mengakui kelihaianmu, saudara... saudara...”

“Cui Kong namaku, nona. Kau selalu merendah, nona Lie. Sebetulnya saja kepandaian kita setingkat, mungkin aku sedikit lebih kuat, ini tidak aneh karena kau seorang wanita. Akan tetapi, dibandingkan dengan ayahmu tentu aku kalah jauh sekali. Sudahlah, tertang kepandaian memang tidak ada batasnya, nona. Bolehkah aku bertanya, nona hendak pergi kemanakah?"

"Aku pergi merantau meluaskan pengalaman," jawab Ceng Ceng singkat.”

Wajah Cui Kong berseri. "Aah, tentu saja begitu. Puteri seorang pendekar tentu ingin pula mengetahui bagaimana keadaan dunia kang-ouw. Akupun mempunyai keinginan seperti itu, nona. Hanya bedanya, kalau ayah bundamu terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, adalah aku seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara di dunia ini, hanya mempunyai seorang ayah angkat. Akan tetapi...” Cui Kong menarik napas panjang, “Ayah angkat inipun hanya menambah beban hidupku. Aku... aku terpaksa lari dari rumahnya...”

Mendengar ucapan terputus-putus dan tidak jelas ini, hati Ceng Ceng tertarik. Kepribadian pemuda itu memang telah menarik hatinya. ingin sekali ia mengetahui keadaan pemuda ini. "Mengapa...? Mengapa kau... lari?"

Diam-diam Cui Kong makin gembira. Jelas bahwa nona ini menaruh perhatian kepada dirinya. Ia harus berlaku hati-hati. Nona ini bukan nona sembarangan, melainkan puteri dari Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong. Ia harus menggunakan akal dan siasat untuk mendapatkan gadis yang benar-benar yang benar-benar telah membetot semangatnya ini.

"Ahh, kepada orang lain biar mati aku takkan mau menceritakan urusan keluargaku, nona. Akan tetapi terhadapmu... entah mengapa biarpun baru sekarang bertemu, aku merasa... seakan-akan kita sudah menjadi sahabat baik puluhan tahun lamanya...”

Ia berhenti sebentar untuk melihat bagaimana reaksi kata-katanya yang berani ini, apakah gadis ini akan marah? Tidak, Ceng Ceng malah menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Ia menjadi makin berani dan melanjutkan kata-katanya, "Sebenarnya, ayah angkatku hendak memaksa aku untuk menikah dengan seorang gadis kampungku. Maka aku... lari pergi!”

Tanpa disengaja Ceng Ceng tertawa kecil mendengar ini. Ia memandang muka pemuda itu dan bertanya jenaka sudah timbul sifatnya yang jenaka dan lincah. "Mengapa lari? Apa dia itu buruk rupa?”

“Tidak buruk, bahkan cantik menjadi kembang kampungku. Akan tetapi, nona Lie yang baik, bukan seorang gadis cantik yang lemah menjadi idam-idaman hatiku. Gadis itu benar cantik, akan tetapi dia lemah dan bodoh. Kakinya sebesar kepalan tangan...”

”Eh. bukankah itu baik sekali? Kata orang, kaki wanita harus kecil, makin kecil makin baik.” Diam-diam ia melirik ke arah kakinya yang biarpun tidak besar dan mungil namun tidak bisa dibilang kecil seperti kaki wanita dusun yang semenjak bayi dibungkus dan diikat.

"Mana bisa dibilang baik? Kaki kecil bengkok, jalannya terpincang-pincang. Ah, tak sudi aku dekat wanita demikian, lemah berpenyakitan. Idaman hatiku, kalau orang buruk rupa dan bodoh semacam aku ini laku kawin, calon isteriku harus seorang wanita yang gagah perkasa. Tak usah dibilang lagi kalau gagahnya seperti engkau, nona, baru memiliki kegagahan setengah kepandaianmu saja, aku sudah akan merasa bahagia sekali. Kalau... andaikata... dia itu seperti engkau baik rupa maupun kepandaian... ah. aku... aku mau berlutut di depannya, nona!” Sambil berkata demikian, Cui Kong betul betul menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng. Demikian pandainya Cui Kong mengambil hati!

Ceng Ceng cepat membalikkan tubuh tidak mau menerima penghormatan itu sambil berkata, "Jangan begitu! Tidak patut orang-orang muda seperti kita bicara tertang perjodohan. “Itu urusan orang tua. Berdirilah agar kita bisa bicara dengan baik.” Diam-diam gadis ini merasa girang sekali hatinya. Sudah lama ia mengidamkan seorang calon suami yang tidak saja tampan dan halus budinya, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang melebihi kepandaiannya. Dan pemuda ini tidak saja sudah memenuhi semua syarat, bahkan terang-terangan sudah menyatakan cinta kepadanya!

"Kau tidak marah? Terima kasih, nona. Agaknya hari ini Thian menuntunku ke jalan babagia." Cui Kong berdiri dan nona itu kembali menghadapinya.

“Seperti juga kau. Aku dipaksa oleh ayah untuk menikah dengan seorang pemuda yang tidak kusetujui. Aku tadinya hendak dipaksa menjadi jodoh seorang pemuda bernama... Tiang Bu."

Kalau Cui Kong tidak mempunyai kepandaian menguasai diri, tentu ia akan tersentak kaget mendengar disebutnya nama ini. Hendak dijodohkan dengan Tiang Bu pemuda sakti itu, Hatinya berdebar keras. Alangkah kebetulan. Kalau ia bisa mendapatkan gadis ini, tidak saja hatinya akan puas karena memang ia tartarik dan cinta kepada Ceng Ceng. Akan tetapi juga sekaligus itu merupakan pukulan terhadap Tiang Bu, merupakan sebagian dari pada balas dendam kepada pemuda yang dibencinya itu.

"Mengapa kau tidak setuju, nona? Apakah Tiang Bu itu seorang pemuda yang tidak memiliki kepandaian silat?” ia pura-pura bertanya.

Ceng Ceng tersenyum. “Tentang kepandaian silat aku sama sekali tidak dapat menang melawan dia, mungkin kau dapat mengalahkannya. Hemm, aku ingin sekali melihat kau dan dia bertempur.”

Diam-diam Cui Kong mengeluh di dalam hatinya. Kalau saja Ceng Ceng tahu betapa Tiang Bu sudah membikin kocar kacir Ui-tiok-lim! Dikeroyok tujuh saja masih tidak kalah, bagaimana Cui Kong harus menghadapi Tiang Bu seorang diri? memikirkan hal ini saja bulu tengkuknya sudah berdiri saking ngerinya.

"Ah, kalau begitu dia seorang yang berkepandaian tingi...? Mengapa kau menolaknya. nona...?" tanyanya menyimpangkan pembicaraan tentang kepandaian silat. Kemudian disambungnya cepat agar dianggap sopan. "Ah, maaf beribu maaf, sebetulnya tidak patut aku berlancang mulut. Malutku patut digampar!"

Cenga Ceng yang tadinya hendak marah menjadi tersenyum, "Apakah kepandaian tinggi saja cukup menjadi syarat perjodohan? Kalau hati tidak suka, siapa bisa memaksaku?”

Cui Kong bertepuk tangan, wajahnya berseri. "Bagus! Bagus! Memang menjadi orang muda harus demikian. Aku girang sekali bahwa ternyata pendirianku ada yang menyamai, keadaanku dan keadaanmu cocok sekali, nona."

Kembali Ceng Ceng menjadi merah mukanya, akan tetapi dia memang bukan gadis pemalu. Ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik, lalu bertanya. “Kau telah memperkenalkan nama, akan tetapi siapa she (nama keturunan) mu? Dan kemana kau hendak pergi?”

“Aku she Kwe dan seperti juga kau, aku pergi merantau menjauhkan diri dari paksaan ayah angkatku." Kemudian ia berkata dengan sikap sungguh-sungguh. “Nona Lie Ceng, aku Kwee Cui Kong biasa bicara jujur dan terbuka, sesuai dengan sikap orang gagah yang tidak suka menyimpan perasaan sendiri sebagai rahasia. Terus terang nona. Begitu bertemu dengan nona, apa lagi setelah mengadu kepandaian, aku merasa cocok sekali denganmu, dan... apabila nona setuju... maafkan kelancanganku karena aku suka berterus terang menyatakan isi hatiku, apabila nona setuju, aku ingin ikut nona menemui orang tua nona untuk... untuk mengajukan pinangan atas diri nona."

Dapat dibayangkan betapa likat dan malu rasa hati Ceng Ceng sebagai seorang dara mendengar kata-kata yang terus terang seperti ini. Akan tetapi diam-diam ia memuji keberanian pemuda ini dan sama sekali ia tidak bisa marah karena memang pemuda ini tidak bisa dibilang kurang ajar. Bahkan ucapan itu membuktikan betapa jujur dan gagah sikapnya! Memang Ceng Ceng hanya pandai ilmu silat akan tetapi pengalamannya masih hijau sekali. Tentu saja menghadapi seorang "buaya" seperti Cui Kong, ia terpikat!

Sampai lama Cang Ceng tidak bisa bicara, akhirnya sambil menundukkan muka ia berkata, "Urusan jodoh urusan orang tua, bagaimana jika kau hendak bertemu sendiri dengan ayah bundaku?"

Sudah menang setengah bagian, pikir Cui Kong! Terang gadis ini setuju, kalau tidak masa bertanya demikian, tentu marah. Kalau gadis ini marah dan menolaknya, tentu Cui Kong hendak menggunakan kekerasan menculiknya, akan tetapi ia lebih senang mengambil jalan halus karena memang kali ini ia bersungguh-sungguh, begitu berjumpa dengan Ceng Ceng ia tertatik sekali. Apa lagi kalau diingat bahwa dara ini puteri Pek-tbouw-tiauw-ong, dia harus berhati-hati.

"Ucapanmu itu memang tepat sekali, nona, dan akupun tentu akan mematuhi peraturan dan kesopanan. Akan tetapi apa mau dikata, seperti tadi telah kuceritakan, aku adalah seorang anak yatim piatu, tiada ayah bunda lagi...” Sampai di sini dengan pandai sekali sepasang mata Cui Kong menjadi basah oleh air mata! "Ayah angkatku memaksaku menikah dengan seorang gadis kampungku puteri seorang hartawan, kalau ku ceritakan kepadanya tentang niatku ini sudah pasti ia akan marah-marah dan menolak. Oleh karena itu, lebih baik aku datang sendiri kepada ayah bundamu dan menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada lagi waliku sehingga terpaksa aku mengajukan pinangan sendiri. Nona Lie yang mulia. sudikah kau menyetujui permohonanku ini?”

Ceng Ceng menjadi terharu. Hatinya sudah jatuh betul-betul. Akan tetapi sebagai seorang gadis terhormat, bagaimana dia bisa menjawabnya? Tiba-tiba kudanya meringkik dan menggaruk-garuk tanah dengan kaki depan. Kuda itu sudah tidak sabar dan minta diberi kesempatan lari.

"Aku memang hendak manyusul ayah di kota Kiu-kiang. Kalau kau hendak mencari kami, datang saja di Telaga Po-yang, di sana ayah mempunyai perahu besar tempat kami pelesir. Nah, aku pergi dulu!” Dengan gerak ringan sekali Ceng Ceng melompat ke atas punggung kudanya. Sekali menarik kendali kuda itu meringkik dan melompat jauh terus berlari cepat.

“Nona, bagaimana aku tahu yang mana perahu ayahmu?” Cui Kong berteriak keras.

“Cari saja burung pek-thouw-tiauw, tentu ketemu!” jawab Ceng Ceng sambil menoleh dan melambaikan tangannya. Kemudian kuda itu membalap cepat, sebentar saja lenyap di sebuah tikungan jalan.

Cui Kong berdiri bengong, merasa hatinya dan semangatnya terbawa lari oleh kuda itu. Akhirnya ia menghela napas panjang dan berkata heran, "Cui Kong... Cui Kong... mengapa hatimu seaneh ini? Hemm, banyak sekali wanita cantik, akan tetapi tak seorangpun dapat menandingi Ceng Ceng. Dia itulah calon isteriku! Aku harus mendapatkan dia!” Kemudian ia pun lari cepat menuju ke Kiu-kiang.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Telaga Po-yang adalah sebuah telaga besar di Propinsi Kiang-si. Telaga yang indah dan juga ramai. Telaga ini menjadi pusat ke ramaian dan tempat orang berpelesir, terutama sekali oleh karena letaknya di dekat kota-kota besar seperti Nan-ciang dan lain-lain. Para saudagar tidak ada yang tidak melewatkan waktu untuk mengunjungi telaga ini apabila maraka kebetulan lewat di daerah ini, juga para pembesar setempat selalu menghibur hati di telaga dengan perahu-perahu mereka yang serba mewah dan indah.

Telaga ini menjadi pusat para seniman di mana mereka mencari ilham di tempat sunyi indah ini untuk menghasilkan karya-karya besar. Hanya rakyat kecil, kaum petani dan nelayan yang agaknya tidak menaruh perhatian atas segala keindahan alam ini, pandangan mata mereka jauh sekali bedanya dengan orang-orang kota itu.

Mengapa demikian? Oleh karena rakyat kecil yang selamanya tinggal di dusun-dusun ini sudah biasa dengan segala keindahan alam semenjak mereka kecil. Mereka telah menjadi satu dengan keindahan tamasya alam sehingga para pelukis dan penyajak tidak pernah lupa menyebut mereka ini dalam lukisan atau sajak mereka. Memang sagala keindahan itu akan kehilangan rasanya apabila telah dimiliki.

Di antara puluhan buah perahu indah milik para pembesar dan saudagar, terdapat sebuah perahu cat putih yang sedang saja besarnya. Akan tetapi tentu saja sudah termasuk besar dan mewah apabila dibandingkan dengan perahu-perahu butut milik para seniman dan nelayan yang banyak berkeliaran di permukaan telaga. Perahu bercat putih ini sudah tiga bulan berada di situ, dimiliki oleh sepasang suami isteri pendekar yang amat ternama, yaitu Pek-thouw tiauw ong Lie Kong dan isterinya Souw Cui Eng. Bagi orang-orang yang sudah biasa merantau di dunia kangouw, melihat dua ekor burung pak-thouw-tiauw yang sering kali hinggap di atas perahu atau terbang berputaran di atasnya, tentu akan mengenal siapa pemilik perahu itu.

Pada suatu pagi, ketika matahari mulai memancarkan sinarnya di permukaan telaga suami isteri pendekar ini sudah kelihatan duduk di atas dek perahu mereka. Sudah jadi kebiasaan mereka untuk "mandi cahaya matahari" di waktu pagi yang merupakan sebagian dari pada latihan mereka sehingga tubuh selalu sehat dan awet muda. Inilah saatnya mereka bercakap cakap dengan asyik, si isteri melayani suami minum teh hangat dan sekedar santapan pagi.

"Heran mengapa Ceng Ceng masih juga belum kembali? Apa dia lupa bahwa dalam bulan ini kita akan meninggalkan Po-yang?” terdengar Lie Kong berkata sambil menghirup teh panasnya.

"Anak ini kalau sudah bertamasya lupa waktu." jawab Souw Cui Eng. ”Akan tetapi pada saatnya ia tentu akan datang. Biarpun suka pelesir, Ceng Ceng selalu ingat akan pesan kita. Kurasa sebelum lewat bulan ini tentu ia akan pulang."

Lie Kong menarik napas panjang, "Tahun ini Ceng Ceng sudah berusia delapan belas lebih, dan kita belum mendapatkan calon jodohnya...”

Isterinya juga menarik napas panjang. "Anak itu agak bandel. Akupun sudah setuju sekali kalau dia menjadi isteri Tiang Bu pemuda yang sakti itu. Akan tetapi, aahhh, memang Ceng Ceng amat bandel…”

"Tunggu saja sampai kita bertemu dengan keluarga di Kim-bun-to, tentu hal perjodohan ini akan kujadikan,” kata Lie Kong.

Tiba-tiba terdengar pekik nyaring. Suami isteri itu menoleh ke darat sebelah timur sambil mengerutkan kening. Sekali lagi pekik terdengar dan tak lama kemudian seekor burung rajawali berkepala putih datang beterbangan diatas perahu, berputar-putar sambil cecowetan.

“Hemm, betinanya ke mana?” tanya Lie Kong sambil memandang burungnya itu.

“Celaka, tentu terkena bencana. Hayo kita lihat!” kata isterinya yang amat sayang kepada sepasang burungnya. Suami isteri ini cepat minggirkan perahu, diikuti oleh pok-thouw-tiauw dari atas. Dengan sigap mereka melompat ke darat meninggalkan perahu lalu berlari mengikuti burung mereka yang menjadi penunjuk jalan.

Burung itu terbang terus ke sebuah hutan kecil di sebelah timur telaga. Setelah memasuki hutan, mereka melihat enam orang laki-laki aneh yang berdiri saling berhadapan. Lie Kong dan isterinya berdiri bengong seperti patung! Apa yang mereka lihat memang luar biasa anehnya. Tiga di antara enam orang itu pernah mereka lihat, yaitu bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui (Tiga Iblis Kutub Utara) yang bernama Giam lo-ong Ci Kui, Liok-to Mo-ko Ang Bouw, dan Sin sai-kong Ang Louw.

Akan tetapi, tiga orang ini sekarang berdiri berhadapan dengan tiga orang Pak-kek Sam-kui pula! Tegasnya pada saat itu terdapat dua orang Ci Kui, dua orang Ang Bouw, dan dua orang Ang Louw. Tiga pasang manusia kembar yang sukar sekali dibedakan mana asli mana palsu! Hanya bentuk pakaian mereka yang agak berbeda, selebihnya mereka serupa benar. Saking heran dan terkejut menyaksikan pemandangan ganjil ini, Lie Kong dan isterinya sampai tak dapat mengeluarkan suara. Burung pek-thouw-tiauw betina sedang dipegang sayapnya oleh seorarg Ci Kui dan burung itu sama sekali tak dapat berkutik. Memegang burung besar yang amat kuat seperti itu menunjukkan keahlian si pemegangnyaa.

“Ha, pemilik pek thouw tiauw sudah datang kau masih juga belum melepaskannya!" kata Ci Kui kedua kepada Ci Kui pertama.

Ci Kui yang memegang burung mengeluarkan ketawa sambil memandang kepada Lie Kong, agaknya ia jerih dan sekali menggerakkan tangan, burung pek thouw tiauw betina itu sudah terbang tinggi mengeluarkan pekik marah. Ci Kui kedua yang menyuruh Ci Kui pertama tadi lalu menjura kepada Lie Kong.

"Si-cu harap sudi memaafkan kami tiga orang adik kakak ini membuat kesalahan terhadap sicu, kami yang mintakan maaf. Sekarang kami enam orang kakak beradik masih mempunyai urusan penting sekali, harap sicu mengalah dan mundur."

Lie Kong cepat-cepat mengerahkan tenaganya ketika dari sepasang kepalan itu menyambar angin yang amat kuatnya. Ia memberi penghormatan itu dengan merangkap kedua tangan ke dada dan digerakkan ke depan. Dua tenaga dahsyat saling bertemu dan Lie Kong tergeser sedikit kaki kirinya, tanda bahwa orang tinggi kurus itu benar-benar lihai sekali. Hal ini mengejutkan hati Lie Kong. Ia tahu bahwa tiga orang Pak kek Sam kui lihai, akan tetapi tidak mungkin seorang saja dari mereka dapat menandinginya.

Akan tetapi karena orang bicara dengan cengli (menurut aturan), iapun tidak mau banyak cakap. Burungnya tidak terganggu, mengapa ia harus banyak ribut? Ia mengangguk kepada isterinya, lalu mengundurkan diri. Akan tetapi oleh karena hutan itu tempat umum, ia berani dengan isterinya duduk di bawah pohon agak jauh dari situ untuk melihat apa yang selanjutnya akan terjadi antara tiga pasang manusia kembar yang aneh-aneh seperti siluman itu.

Dua pasang Pak-kek Sam kui selanjutnya tidak memperdulikan lagi akan hadirnya Lie Kong dan isterinya dan mereka saling berhadapan, sikap Pak-kek Sam kui pertama menantang dan Pak-kek Sam-kui kedua sikapnya tenang, sabar membujuk.

"Bagaimana, apakah kalian masih berkeras kepala tidak mau ikut kami pulang ke utara?” terdengar Ci Kui kedua bertanya.

Ci Kui pertama menjawab, "Tidak! Kami bebas melakukan apa saja yang kami sukai dan kalian tak perlu mencampuri urusan kami!" Agaknya seperti juga Ci Kui ke dua, yang pertama inipun mewakili kawan-kawannya.

"Hemmm, kalian ini benar-benar tak tahu diri. Kami sebagai saudara-saudara tua masih bersikap sabar sekali. Kalian patut dilenyapkan dari muka bumi. Kalian secara tak tahu malu sekali mencemarkan nama saudara tua, membantu manusia-manusia jahat dan pengkhianat semacam Liok Kong Ji dan Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Di mana sifat kegagahanmu? Raja besar kami sedang sibuk memukul ke barat, kalian enak-enak hendak mengikuti Liok Kong Ji yang bersembunyi di Pulau Pek-houw-to (Pulau Harimau Putih) di laut selatan. Sudah banyak kejahatan kalian lakukan sebagai kaki tangan Liok Kong Ji, sudah banyak kalian membuat permusuhan dengan orang-orang gagah di dunia selatan. Dari pada kelak kalian mampus di tangan orang-orang gagah, lebih baik sekarang kalian roboh oleh tangan kami sendiri..."