Tangan Gledek Jilid 39 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 39

GERAKANNYA ini sudah menunjukkan bahwa kesombongan orang she Ouw ini memang berisi. Namun Li Hwa sama sekali tidak gentar. Dengan tenang ia melangkah ke tengah ruangan yang luas, berdiri melintangkan pedang di dada sambil berkata, “Saudara Ouw, silakan!“

Ouw Beng Sin melangkah maju menghampiri, membungkuk-bungkuk dan menjawab, “Wan toanio, siauwte menanti. Mulailah."

"Aku pihak nyonya rumah, kau mulailah dulu." Li Hwa menjawab, sesuai dengan kesopanan ahli silat.

"Akan tatapi siauwte seorang pria, tidak patut kurang ajar. Toanio jangan banyak sungkan, harap membuka serangan."

Memang Li Hwa bukan seorang yang biasa sungkan-sungkan, maka ia mulai memutar pedangnya dan berkata, “Saudara Ouw, lihat pedang!" Tangannya menggerakkan pedang dan sinar hijau manyambar ke arah dada Ouw Beng Sin.

Ouw Beng Sin cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mengukur sampai di mana tenaga nyonya pendekar itu. Akan tetapi ia kecele karena bagaikan seekor belut yang cepat gerakannya, pedang Cheng-liong kiam sudah ditarik mundur untuk melakukan serangan ke dua membabat leher.

Terkejutlah sekarang Ouw Beng Sin. Dia sudah banyak berhadapan dengan ahli pedang namun belum pernah bertemu ilmu pedang secepat ini. Ia berlaku hati-hati, mengelak dan menangkis sambil mencari lowongan membalas serangan. Akan tetapi, Li Hwa tidak memungkinkan adanya lowongan itu. Pedangnya terus menerjang secara berantai, tidak dapat diselingi sebuah tusukan maupun bacokan dari lawan. Demikian cepatnya gerak pedangnya sehingga yang kelihatan hanya sinar hijau dan Ouw Beng Sin merasa diserang oleh ratusan buah pedang!

"Hebat...! Kim-hoat bagus...! berkali-kali Ouw Bwng Sin berseru kagum. Baru sekarang ia merasa takluk betul-betul. Baru isteri Wan Sin Hong saja kiam hoatnya sudah begini luar biasa, apa lagi ilmu pedang pendekar sakti itu! Sebentar saja sinar pedangnya yang kemerahan sudah lenyap cahayanya, terbungkus oleh berkelebatnya sinar hijau, pedang di tangan Li Hwa.

Kalau ia mau, Li Hwa dapat melukai Ouw Beng Sin. Akan tetapi tentu saja Li Hwa tidak mau membikin malu seorang tamu yang dibawa datang oleh Hwa Thian Hwesio. Bukannya karena ilmu kepandaian orang she Ouw itu amat rendah. Sebetulnya ilmu pedang Ouw Beng Sin juga lihai dan pantas kalau jarang ada orang kangouw dapat menandinginya. Kalau hanya Coa Hong Kin atau Go Hui Lian saja kiranya hanya bisa mengimbangi permainan pedang Ouw Beng Sin dan tentu akan makan waktu ratusan jurus baru bisa mangalahkannya.

Kepandaian mereka setingkat. Akan tetapi harus diketahui bahwa sebelumnya Li Hwa memang sudah lebih tinggi tingkat kepandai annya. Kemudian ditambah lagi oleh latihan dari Toat beng Kui-bo dan akhir-akhir ini mendapat petunjuk dari suaminya sendiri. Tentu saja kiam-hoatnya luar biasa sekali.

Li Hwa hanya menyerang sampai dua puluh jurus. Sengaja ia menanti sampai dua puluh jurus dan pada jurus terakhir ujung pedangnya menotol bajunya di bagian dada kiri Ouw Beng Sin, kemudian ia melompat mundur sambi l berkata,

"Saudara Ouw memang memiliki kiam hoat bagus!"

Merah sekali muka Ouw Beng Sin. Gerakan Li Hwa tadi selain indah juga amat cepat sehingga "tusukannya" tidak terlihat oleh orang lain keceuali Ouw Beng Sin yang cepat melirik ke arah bajunya yang sudah bolong kecil.

"Wan-toanio benar-benar lihai sekali ilmu pedangnya." ia berkata sambil menjura berkali-kali.

Hwa Thian Hwesio tertawa bergelak dan berkata nyaring. "Bagus, pinceng telah menyaksikan kiam-hoat indah dan kali ini Ouw-sicu tidak penasaran. Ha-ha-ha!”

Tiba-tiba terdengar suara keras dan tubuh seorang penjaga melayang ke dalam ruangan itu. Muka penjaga itu pucat sekali. Agaknya menderita luka bebat. Dengan susah payah ia bangun kembali dan Hong Kin cepat menolongnya, mendudukkannya di atas bangku.

"A Liok, kau kenapakah?” tanyanya.

"Di luar... ada penjahat... Ting twako dibunuh... dan... dan... uaaah!" Penjaga itu muntahkan darah segar dan tubuhnya menjadi lemas, kepalanya lunglai dan terbanting ke atas meja. Bagaikan orang tertidur saja ia tak bergerak.

Semua orang menjadi terkejut dan cepat memandang ke luar. Sunyi saja di luar. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan yang gerakannya cepat bukan main sehingga tahu-tahu kelihatan orangnya di dalam ruangan itu, tersenyum-senyum mengejek dan matanya menyapu-nyapu lima orang yang berdiri memandangnya. Dia masih muda, seorang pemuda tampan yang membawa dua senjata aneh sekali.

Tangan kanannya memegang sebuah lengan manusia yang sudah tidak ada dagingnya, tinggal kulit yang membungkus tulang dan di dekat pergelangan tangan terdapat seekor ular putih berbisa. Tangan kirinya memegang sebatang huncwe bambu. Ia memandang sambil tersenyum, kadang-kadang mengisap ujung huncwe yang sudah diisi tembakau dan menyala, akan tetapi anehnya, asap yang diisapnya tak pernah keluar dari mulutnya.

Lima orang yang berada di ruangan itu adalah ahli-ahli silat tinggi. Melihat cara pemuda tampan ini mengisap huncwa yang terus disedot ke dalam akan tetapi tidak dikeluarkan lagi, menjadi terkejut. Hanya dengan lweekang yang amat tinggi orang dapat melakukan hal ini dan secara diam-diam pemuda ini datang-datang telah mendemonstrasikan kesaktiannya.

"Kau siapakah dan apakah kau yang membunuh, dan melukai dua orang panjaga rumah kami?" tanya Coa Hong Kin yang sudah melangkah maju.

Pemuda itu bukan lain adalah Liok Cui Kong! Senyumnya melebar dan harus diakui bahwa pemuda ini berwajah tampan. Dengan sikap kurang ajar ia melirik ke arah Hui Lian dan Li Hwa, kemudian menjawab.

"Kusangka penjaga-penjaga Kim bun-to lihai, tidak tahunya hanya gentong-gentong kosong! Ada tamu agung tidak disambut, bukankah mereka itu kurang ajar dan patut dibunuh?"

Mendengar ucapan ini, Hui Lian naik darah. Ia melangkah maju dan berdiri dekat suaminya, lalu menudingkan telunjuknya ke arah pemuda itu. "Tikus busuk! Siapa namamu dan dengan maksud apa kau datang-datang mengacau? Apa kau sudah bosan hidup?” Sambil berkata demikian Hui Lian sudah mencabut pedangnya juga Hong Kin meraba gagang pedang karena maklum bahwa pemuda itu datang bukan dengan maksud baik.

"Hmmm, kalau tidak salah lihat, pernah pinceng melihat muka orang muda ini, dia bersama bangsat besar Liok Kong Ji...” Hwa Thian Hwesio menghentikan kata-katanya ketika sepasang mata pemuda itu memandang dengan tajam penuh ancaman seperti mata setan.

"Aku bernama Liok Cui Kong dan siapakah di antara kalian yang bernama Coa Hong Kin dan Go Hui Lian?”

"Kami yang bernama Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Kau mau apa?” Kini Hong Kin juga sudah mencabut pedang.

Cui Kong tertawa mengejek. "Apakah Tiang Bu itu anak kalian?”

Mendengar pertanyaan ini, Hong Kin melengak. Akan tetapi Hui Lian segera menjawab. "Betul, Tiang Bu anak kami. Kau mau apa?"

Kembali Cui Kong tertawa dan tiba-tiba menyemburkan asap putih bergumpal-gumpal ke arah muka Hong Kin dan Hui Lian. "Bagus! Aku datang hendak membunuh kalian. Ha ha ha!”

Makin banyak asap ke luar dari mulut pemuda ini. agaknya asap dari huncwe yang tadi diisapnya dan baru sekarang ia keluarkan. Hong Kin dan Hui Lian kaget sekali, hendak mengelak namun tidak keburu,. Mata mereka terasa pedas tak dapat dibuka dan bau yang amat keras menyesakkan pernapasan mereka.

“Asap beracun, awas!” seru Hwa Thian Hwesio yang cepat mendekap hidung dan mulutnya, sedangkan tangan kirinya menggerakkan tongkat.

Juga Li Hwa sudah mencabut pedang sambil mengeluarkan dua butir pil merah. Sebutir ia masukkan ke dalam mulut, yang sebutir lagi ia berikan kepada Hwa Thian Hwesio.

“Hwa Thian suhu, simpan ini di mulut dan mari kita gempur iblis cilik ini!”

Akan tetapi, Cui Kong benar benar hebat. Ia menyemburkan terus asap putih itu memenuhi ruangan dan lengan manusia dengan ularnya itu mulai ia gerakkan menyerang Hwa Thian Hwesio yang berada di mukanya.

Ouw Beng Sin berseru, “Pemuda jahat sekali, kau mampus di tanganku orang she Ouw.” Pedangnya diayun dan karena kebetulan berdiri di belakang Cui Kong ia langsung menyabetkan pedang ke arah kepala pemuda itu sekuat tenaga.

Akan tetapi, tanpa menoleh Cui Kong menyabetkan tangan kering itu ke belakang untuk menangkis dan... Ouw Beng Sin memekik nyaring lalu roboh, tewas tergigit ular putih yang amat berbisa!

Sementara itu, Hui Lian dan Hong Kin masih terhuyung huyung dan mundur sambil batuk-batuk. Baikn ya ada Hwa Thian Hwesio dan Li Hwa yang sudah memutar senjata menyerang Cui Kong sehingga pemuda ini terhambat gerakannya. Kalau tidak ada pertolongan ini, tentu dengan mudah Cui Kong dapat menyerang suami isteri yang sedang repot ini.

Asap yang disemburkan oleh Cui Kong memang asap berbisa yang amat berbahaya. Mata hanya terasa pedas saja kalau terkena akan tetapi siapa yang menyedot asap ini, paru-parunya akan keracunan dan keadaannya berbahaya sekali. Cui Kong seridiri sudah mempergunakan obat penawar maka ia tidak terpengaruh oleh asap ini. Selain asapnya yang berbisa, juga huncwe di tangan pemuda itu adalah sebuah senjata yang luar biasa lihainya dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Kepandaian Cui Kong dalam mempergunakan senjata istimewa ini amat tinggi. Ditambah lagi dengan senjata aneh berupa lengan manusia dengan ular berbisa, benar-benar Cui Kong merupakan lawan yang amat tangguh. Bahkan pengeroyokan Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio tak dapat mendesaknya. Sebaliknya. Cui Kong tidak mau menghabiskan seluruh perhatiannya untuk dua orang lihai ini. Kedatangannya untuk membunuh ayah ibu Tiang Bu sebagai perbuatan balasan dari serbuan Tiang Bu ke Ui tiok-lim.

la tahu bahwa setelah Tiang Bu tidak mau mengaku Kong Ji sebagai ayah bahkan memusuhinya, tentu Tiang Bu amat sayang kepada ayah bunda angkatnya ini. Dan menghadapi Tiang Bu sendiri adalah berbahaya dan sukar karena Tiang Bu amat lihai, jalan satu-satunya yang paling mudah dan terbaik untuk membalas dendam hanyalah mencelakai ayah bunda angkat Tiang Bu yang berada di Kim-bun-to ini.

Oleh karena itulah, ia menangkis serangan-serangan Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio sambil menghambur-hamburkan asap beracun, ke mudian berusaha keras untuk menyerang dan mendesak Hong Kin dap Hui Lian yang masih belum dapat membuka mata dan masih kebigungan di pojok ruangan. Li Hwa maklum akan maksud ini, demikian pula Hwa Thian Hwesio.

Maka dua oran g ini yang merasa amat khawatir akan keselamatan suami isteri terus mendesak Cui Kong sambil melindungi mereka, sungguhpun amat sukar bagi mereka usaha ini karena mata mereka sendiri terasa pedas-pedas dan sudah mengeluarkan air mata karena pengaruh asap beracun. Cui Kong mempercepat gerakan lengan manusia dan huncwenya. Kepandaiannya memang masih lebih tinggi dari pada kepandaian Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio, maka sedikit demi sedikit ia mulai dapat me ndekati Hong Kin dan Hui Lian! Keselamatan suami isteri Kim-bun-to ini benar-benar terancam bahaya maut!

Asap beracun yang keluar dari huncwe Cui Kong itu benar-benar amat berbahaya. Karena Hong Kin dan Hui Lian tadi berdiri di depannya, maka asap yang disemburkan itu tepat memasuki mata suami-isteri ini dan membuat mereka sukar membuka mata yang amat pedas rasanya.

Hwa Thian Hwesio sudah mempunyai pengalaman luas. Ia dapat menduga atau mengira-ngira bahwa tentu Tiang Bu telah membuat sakit hati Kong Ji dan Cui Kong maka sekarang pemuda ini datang hendak membalas dendam kepada ayah bunda Tiang Bu. Maka sambil menggereng kakek gundul ini mengayun tongkatnya menyerang pemuda itu agar jangan sampai mencelakai Hong Kin dan isterinya. Akan tetapi dengan enak saja Cui Kong meloncat maju, huncwenya menangkis tongkat dan lengan kering yang dipegangnya menyambar.

“Krakk!” Jari-jari tangan lengan kering itu tepat menghantam leher Hwa Thian Hwesio. Dunia menjadi gelap di depan mata hwesio semua kesadarannya masih membuat ia lekas-lekas melempar diri ke belakang. Ia bergulingan di atas lantai dan pingsan Baiknya ia tadi melempar diri ke belakang kalau tidak, tentu ular putih yang melingkar di lengan itu akan menggigitnya dan kalau hal ini terjadi, nyawanya tentu sudah melayang.

"Iblis keji, rasakan pembalasanku!" Li Hwa menjerit marah dan pedangn ya yang berubah menjadi segunduk sinar hijau menyambar-nyambar bagaikan naga mengamuk.

Cui Kong kewalahan juga menghadapi ilmu pedang yang lihai ini, maka terpaksa untuk sementara meninggalkan Hong Kin dan Hui Lian, mencurahkan perhatiannya menghadapi serangan Li Hwa. Setelah ia melawan dengan sepenuh tenaga, baru ia dapat membendung gelombang serangan sinar hijau itu.

Sementara itu, biarpun matanya sukar di buka lama-lama, Hui Lian dan Hong Kin dapat menangkap suara pertempuran itu dan tahu bahwa Ouw Beng Sin dan Hwa Thian Hwesio sudah roboh oleh pemuda lihai itu. Mereka menjadi nekat. Dengan mata dipaksa terbuka, Hui Lian menerjang dengan pedangnya. Hong Kin juga demikian, menyerang mati-matian membantu Li Hwa.

“Adik Hui Lian, jangan dekat...!" seru Li Hwa. "Biar aku menghadapi setan ini!” Nyonya ini maklum bahwa kedatangan Cui Kong adalah hendak membunuh suami isteri ini dan melihat keadaan mereka, sukar untuk mengalahkan Cui Kong.

Kalau saja mata suami isteri ini tidak terpengaruh asap beracun, tentu mereka bertiga dapat menandinginya, akan tetapi keadaan sekarang lain. Amat berbahaya kalau Hong Kin dan Hui Lian maju. Akan tetapi mana suami isteri yang berjiwa gagah itu mau mundur membiarkan Li Hwa seorang diri menghadapi musuh yang tangguh? Li Hwa hendak menolong mereka tampa memperdulikan keselamatan nyawa sendiri, mereka juga tidak akan mundur, tidak takut mati dalam menghadapi musuh membantu Li Hwa.

“Ha-ha.ha, ayah bunda Tiang Bu, si keparat ternyata tidak seberapa! Ha-ha!” Cui Kong mengejek sambil memutar dua senjatanya yang aneh.

Sebetulnya ilmu kepandaian Hong Kin tidak rendah. Apa lagi Hui Lian. Nyonya ini adalah adik seperguruan dari Liok Kong Ji sendiri. Ilmu pedangnya lihai bukan main. Akan tetapi, kini mereka tidak dapat bergerak leluasa karena mata terasa sukar sekali dibuka terus. Dan yang mereka hadapi adalah Liok Cui Kong, seorang pemuda gemblengan yang amat luar biasa ilmu kepandaiannya. Selain mendapat petunjuk dari Liok Kong Ji sendiri, juga pemuda ini adalah murid dari Lothian-tung Cun Gi Tosu.

Hui Lian marah bukan main. Sambil menggertak gigi ia membuka matanya yang pedas itu lebar-lebar. kemudian ia menggerakkan pedangnya dari atas ke bawah lalu membalik dengan mendadak dimiringkan dengan gerakan menyerong dan ujungnya membuat lingkaran- lingkaran. Inilah gerakan yang disebut Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkau Kilat), sebuah gerakan tipu dalam ilmu Pedang Pak-kek Kiam-sut. Hebatnya bukan kepalang! Tidak percuma Hui Liang menjadi puteri pendekar besar Go Ciang Lee.

Cui Kong benar-benar terkejut. Baru terbuka matanya bahwa dua orang suami isteri yang secara menggelap telah ia serang dengan asap ini adalah ahli-ahli pedang yang lihai. Cepat ia meninggalkan Li Hwa, menggunakan tongkatnya menangkis sinar pedang yang menyambar-nyambar leher dan kepalanya.

“Plaak !” Tongkatnya menempel pada pedang dan tak dapat ditarik kembali karena tiba-tiba pedang nyonya itu diputar cepat sehingga tongkatnya turut berputaran.

"Mampuslah kau, bedebah!” Hui Lian membentak sambil memukul dengan tangan kirinya ke arah pusar lawannya. Pukulan ini juga bukan serangan biasa, melainkan gerakan Hai-ti lap-liong (Menyelam ke Laut Mengejar Naga) dari Ilmu silat Thian-hong cianghwat peninggalan ayahnya. Keistimewaan pukulan ini yalah dilakukan dalam keadaan tak tersangka-sangka dan luar biasa cepat datangnya.

Sebelum Cui Kong sempat mengelak atau menangkis, pukulan sudah sampai di pusarnya! Pemuda itu pasti akan terjungkal mampus kalau saja tenaga lweeeang dari Hui Lian lebih besar lagi. Sayangnya, tenaga dalam nyonya itu masih kalah jauh oleh Cui Kong, pemuda ini dengan muka pucat cepat merendahkan diri sehingga pukulan itu tidak mangenai pusarnya, melainkan mengenai dada. Ia mengerahkan sinkangnya menyambut datangnya pukulan, akan tetapi berbareng mengerjakan lengan kirinya ke arah leher Hui Lian.

Dada Cui Kong terpukul dan pemuda itu terhuyung mundur dengan muka pucat, akan tetapi Hui Lian mengeluh perlahan dan roboh dengan pedang masih di tangan. Ternyata bahwa leher nyonya perkasa ini telah terpagut ular putih yang melingkar di pergelangan lengan kering itu dan dalam sekejap saja racun ular telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Sungguh sayang nyon ya yang perkasa ini terpaksa harus melepaskan napas terakhir dalam tangan Liok Cui Kong.

Hong Kin mengeluarkan seruan kaget dan marah bukan main. Ia menubruk maju dan menukan pedangnya secepat kilat. Gerakannya ini sudah bukan gerakan menurut ilmu pedang lagi yang selain mengandung sifat menyerang selalu ada sifat melindungi diri. Serangan Hong Kin kali ini sama sekali tidak mengandung unsur penjagaan diri, seratus prosen menyerang dengan nekat dan cepat sekali. Menghadapi kenekatan seorang ahli pedang seperti Hong Kin, betapapun lihai adanya Cui Kong tetap saja ia tidak keburu mengelak. Hampir saja lehernya tertembus pedang kalau saja ia tidak sempat membuang diri ke kanan sehingga hanya kulit leher dan pundaknya yan g terkena pedang sampai mengeluarkan darah banyak sekali.

Marahlah Cui Kong, dengan sepenuh tenaga lengan kering itu di sabetkan kepada Li Hwa yang sudah mendesaknya lagi, sedangkan huncwenya ia pukulkan kedepan menghantam kepala Hong Kin. Hong Kin mencoba untuk menangkis pukulan ini dengan pedangnya, namun ia kalah tenaga. Benar huncwe dapat tertangkis, akan tetapi melesat dan dengan tepat mengenai pinggir kepala di atas telinga.

"Prakk!" Tanpa mengeluarkan keluhan. Tubuh Hong Kin terguling dan bergelimpangan di dekat jenazah isterinya, tak bernyawa lagi!

"Iblis terkutut! Mari kita mengadu jiwa!” seru Li Hwa marah sekali dan kedua matanya bercucuran air mata melihat nasib dua orang sahabat baiknya itu. Pedangnya mendesak dan kemarahannya membuat gerakannya lebih hebat daripada biasanya. Juga kini tangan kirinya sudah mengeluarkan Cheng-jo uw-cian (Jarum Rumput Hijau) siap untuk menyerang lawan tangguh itu dengan senjata rahasianya yang sudah amat terkenal itu.

Cui Kong tertawa bergelak. Girang sekali hatinya dapat menewaskan Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Himpas sudah sakit hatinya terhadap Tiang Bu yang dalam penyerbuan Ui-liok-lim telah menewaskan banyak kawan dan merusak bangunan itu semau-maunya. "Ha-ha-ha, Tiang Bu! Aku ingin melihat mukamu kalau kau melihat ayah ibumu menggeletak tak bernyawa oleh tanganku. Ha ha ha!" Sambil tertawa-tawa Cui Kong melawan Li Hwa.

Memang ilmu kepandaian pemuda ini hebat sekali, bahkan Li Hwa masih bukan tandingannya. Ular di lengan kering itu terus menerus mengancam, membuat Li Hwa tak dapat mendesaknya. Sebaliknya, nyonya yang terkenal dengan julukan Hui eng Niocu ini sekarang terpaksa mundur selalu untuk menghindarkan sepasang senjata aneh dari lawannya yang masih muda.

"Ha ha ha, nyonya manis, kepandaiannya boleh juga. Akan tetapi tuan mudamu tak boleh kaupandang rendah! Nah, terima seranganku!” Huncwe mautnya bekerja cepat sekali. Li Hwa masih menangkis dengan pedangnya dengan maksud mematahkan huncwe itu dengan Cheng-liong-kiam. Namun, huncwe di tangan Cui Kong itu terbuat dari bahan yang amat keras. Huncwe terpental, akan tetapi bukan terpental membalik, melainkan menyerong ke atas dan tahu-tahu huncwe itu telah berhasil mengetuk pundak kiri Li Hwa! Nyonya ini terhuyung sambil memegangi pundaknya.

Cui Kong tertawa terbahak-bahak sumbil melompat keluar karena pada saat itu di luar rumah terdengar amat banyak orang. 0rang-orang penduduk Pulau Kim-ban-to yang datang tertarik oleh ribut-ribut di dalam. Li Hwa menggigit bibirnya, melepaskan pe dang dan tangan kanannya yang masih dapat sigerakkan lalu menghujankan Cheng-jouw-ciam ke arah bayangan Cui Kong.

Namun percuma saja. Cui Kong gesit sekali gerakannya dan sebentar sudah menghilang melalui atas genteng. Hanya suara ketawanya yang bergema men yeramkan. Ketika penduduk datang menyerbu ke dalam. mereka hanya dapat menolong para korban keganasan Liok Cui Kong. putera angkat Liok Kong Ji yang telah mewarisi kekejaman ayah angkatnya.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Pada suatu pagi yang indah di kaki Pegunungan Tapie-san, matahari sudah naik tinggi dan pagi hari itu benar-benar indah. Di pinggir jalan, para petani sibuk bekerja di sawah ladang di mana batang-batang padi sudah satu kaki tingginya, hijau segar bergoyang-goyang tertiup angin seperti penari penari bergerak lincah. Para petani bekerja riang dan digembirakan oleh harapan panen baik.

Burung-burung beterbangan, diteriaki dan disoraki, ditakut-takuti oleh para petani yang amat membenci mereka. Biarpun barang padi belum berbuah, namun para petani sudah benci melihat kedatangan burung-burung ini. Sebagian besar para petani mencabut-cabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar padi. Sebagian pula mengatur perairan agar sawah mereka tidak kekurangan air.

Dari arah utara kelihatan seorang gadis menuntun seekor kuda tinggi besar. Gadis ini sampai turun dan kudanya dan berjalan kaki agar dapat lebih menikmati pemandangan alam indah di pagi cerah itu. Pakaian gadis ini sederhana saja, rambutnya yang hitam dibiarkan tergantung ke belakang punggung, diikat pita di tengah-tengah. Namun kesederhanaannya tidak menyembunyikan kecantikannya yang menawan hati. Gadis ini manis benar, usianya paling banyak sembilan belas tahun. Pada wajahnya yang manis dan halus itu terbayang kegagahan, terutama sekali terpancar dari pasang matanya yang tajam.

Memang tidak sukar menduga bahwa dia adalah seorang gadis kangouw yang memilliki kepandaian ilmu silat. Seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri, membawa seekor kuda yang kelihatan liar dan tinggi besar. sudah barang tentu gadis itu bukan sembarang wanita. Tanpa memiliki kepandaian, mana seorang gadis seperti dia berani menunggang kuda setinggi itu.

Dara manis ini bukan lain adalah Lie Ceng, puteri Pek-touw tiauw ong Lie Kong. Usianya delapan belas tahun dan semenjak Ceng Ceng dikalahkan oleh Tiang Bu dahulu ketika ia berusia lima belas tahun, gadis ini melatih diri dengan tekun sehingga ia mewarisi kepandaian ayah bundanya, juga ia kini telah dapat mewarisi isi kitab Pat-sian-jut-hun yang didapat oleh ayahnya dari Omei-san. Kepandaiannya sudah meningkat tinggi sekali, akan tetapi wataknya masih tetap seperti dulu gembira, lincah dan galak!

Seperti telah dituturkan di bagian depan, tiga tahun yang lalu pernah ia bertemu dengan Tiang Bu dan kedua orang tuanya malah sudah menetapkan untuk menjodohkan dia dengan Tiang Bu. Akan tetapi Ceng Ceng dengan tegas menolak perjodohan itu. Berkali-kali kedua orang tuanya mendesaknya, namun tetap saja Ceng Ceng tidak mau. Akhir-akhir ini, ayah bundanya mengalah dan ayahnya berkata gemas.

"Ceng Ceng, kau sekarang sudah berusia delapan belas tahun dan ayah bundamu sudah ingin sekali mempunyai anak mantu. Dalam pandangan kami selain Tiang Bu di mana lagi ada pemuda yang patut menjadi sisianmu diukur dari kepandaiannya? Apakah kau tidak kecewa kalau medapatkan pemuda yang kepandaiannya rendah? Kalau kau selalu menolak untuk menikah, habis kau hendak menanti sampai berusia berapa?”

"Biar aku berusia sampai seratus tahun tak menikah, apa sih salahnya, ayah? Apakah pernikahan itu suatu keharusan hidup?”

“Sudah tentu, Ceng Ceng!” kata ibunya marah. "Bagaimana kau masih bertanya lagi?”

“Ehm, begini, ibu. Kalau memang betul ini suatu keharusan, siapakah gerangan yang mengharuskan?” Memang Ceng Ceng sebagai anak tunggal semenjak kecil dimanjakan dan sudah biasa berdebat dengan ayah bundanya.

“Yang mengharuskan siapa...?" bentak ibunya gemas. “Kau... kau memang anak terlalu manja…” karena tidak bisa menjawab, nyonya Lie Kong hanya bisa menunjuk-nunjuk muka anaknya dengan telunjuknya.

“Ceng Ceng. seorang manusia harus mengalami tiga kejadian. Pertama Lahir, ke dua kawin, ke tiga mati. Orang terlahir pasti akan mati dan matinya itu baru sempurna kalau dia meninggalkan keturunan. Kalau tidak kawin, bagaimana bisa meninggalkan keturunan? Salah satu di antara sifat-sifat tidak berbakti yang paling penting adalah tidak punya keturunan. Kalau kau tidak ingin disebut anak puthauw (anak durhaka), kau harus memilih jodohmu agar ayah bundamu dapat menikmati kebahagiaan menimang cucu.”

Merah wajah Ceng Ceng mendengar kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan tenang namun sungguh-sungguh ini. “Akan tetapi, ayah,” bantahnya berkepala batu, "kalau aku tidak suka, masa aku harus dipaksa?"

"Akan datang saatnya timbul rasa suka kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu. Kau menolak seorang pemuda seperti Tiang Bu, yang kau cari orang macam apakah?"

Dengan kepala tunduk Ceng Ceng menjawab perlahan, "Dia harus memiliki kepandaian labih tinggi dari pada kepandaianku, dia harus gagah perkasa, harus berbudi mulia, dan dia harus berwajah tampan...”

lbunya menggeleng-geleng kepala, akan tetapi Lie Kong tertawa. “Semua wanita tentu saja mencari suami begitu! Akan tetapi kau lupa sedikit, Ceng Ceng anakku yang manja. Yang harus diutamakan adalah sifat jujur dan setia! Tiang Bu memiliki kejujuran, juga dia seorang yang memiliki kegagahan dan kesetiaan. Memang harus aku nyatakan bahwa dia tidak tampan. Akan tetapi jangan kau ngukur watak manusia dari tampangnya. Banyak sekali laki-laki yang kelihatan gagah, tampan dan mulia, padahal semua itu palsu belaka. Aku amat khawatir kau akan terpikat oleh macam itu. Ceng Ceng. Sekali lagi kunasehatkan, jangan kau terlalu percaya kepada wajah tampan."

Ceng Ceng diam saja, akan tetapi di dalam hatinya ia tetap berkeras bahwa dia hanya kawin dengan seorang pemuda yang tampan, ganteng dan mendatangkan rasa suka di dalam hatinya, Tidak seperti Tiang Bu yang berhidung pesek berbibir tebal!

Semenjak kecil Ceng Ceng memang suka pergi bermain-main sampai jauh. Setelah dewasa dan kepandaiannya tinggi dia sering kali pergi jauh ke kota lain sampai berhari-hari. Ayah bundanya membolehkannya saja. Pertama agar gadis itu bertambah pengalaman serta pengetahuannya, ke dua siapa tahu kalau di kota lain bertemu jodohnya.

Demikianlah, pada pagi hari itu Ceng Ceng juga sedang melakukan perantauannya. Ia mendaki Bukit Tapie-san dan kini sedang berada dalam perjalanan pulang. Tertarik oleh keindahan alam dan kesibukan para petani, gadis ini melompat turun dari kuda, lalu berjalan perlahan menuntun kudanya yang besar dan bagus itu. Ceng Ceng memang semenjak kecil suka akan keindahan. Kepada orang tuanya ia selalu minta apa-apa yang serba indah.

Pakaian sederhana yang dipakainya itu hanya untuk menutupi pakaian indah dan mewah yang tersembunyi di dalamnya. Ia selalu menutupi pakaiannya yang indah apabila melakukan perjalanan, pertama tama untuk menjaga agar pakaiannya yang indah tidak menjadi kotor terkena debu, kedua kalinya agar jangan menarik perhatian orang-orang jahat. Kudanya pun kuda mahal, kuda pilihan yang amat kuat.

Ceng Ceng berdiri di pinggir sawah dan tersenyum gembira melihat dua orang anak laki-laki berusia enam tujuh tahun mengejar-ngejar burung. Memang amat nakal burung-burung kecil berdada kuning itu. Digebah dari sini turun di sana, diusir dari sana hinggap di sini. Burung yang berkelompok itu seakan-akan tahu bahwa yang mengusir mereka hanya dua orang bocah maka sengaja menggoda dan mengejek. Dipermainkan oleh burung kecil ini, dua orang bocah cilik itu marah-marah. Mereka berteriak-teriak dan menyambitkan batu.

“Awas kalian, perampok perampok kecil. Kalau terjatuh ke dalam tanganku, kau tentu akan kucabuti bulumu, kupuntir batang lehermu, kupanggang sampai kuning!” kata seorang anak.

“Setan-setan kelaparan ” memaki anak kedua. "Kami bersusah payah bekerja, ayah dan kerbau meluku, Ibu menanam, aku membersihkan rumput, kami menunggu panen dan kalian ini setan setan selalu mengganggu. Enyah keparat!”

Bocah-bocah itu lari ke sana ke mari sambil memaki-maki. "Kami makan tak pernah memakai daging, kalau kami dapat menangkapmu, kami makan kepalamu!"

Melihat bocah-bocah ini dan para petani yang sepagi itu sudah bekerja keras dan rajin di sawah ladang, timbul pikiran di dalam kepala Ceng Ceng betapa sukarnya orang bekerja untuk menghasilkan bahan makanan. Dia setiap hari makan nasi akan tetapi belum pernah bekerja di ladang untuk manuai padi, apa lagi meluku dan mencangkul. Alangkah senangnya orang kota, hidup mewah dan setiap hari makan nasi dari padi terbaik. Sebaliknya para petani yang setiap hari semenjak pagi buta sampai malam gelap bekerja membanting tulang memeras keringat di sawahnya, hidup serba kurang dan miskin.

Ceng Ceng membungkuk, mengambil segenggam pasir, menanti sampai kelompok burung dada kuning itu terbang lewat. tangannya digerakkan, pasir menyambar mekar jala dan... belasan ekor burung runtuh ke atas tanah, sisanya terkejut dan terbang jauh-jauh.

Dua orang bocah itu memandang dengan mata terbelalak lebar dan mulut bengong, kemudian melihat burung-burung bergeletakan di atas tanah, mereka bersorak-sorak girang dan berlari-lari menghampiri untuk mengambil bangkai burung-burung itu.

"Hebat, timpukan yang lihai sekali...!” dengan suara halus memuji.

Ceng Ceng cepat menengok dan melihat seorang pemuda tampan lewat di atas jalan itu. Pemuda ini berpakaian seperti seorang ahli silat, akan tetapi sikap dan gerak-geriknya halus seperti seorang pelajar. Ketika Ceng Ceng menengok, pemuda itu mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah jauh.

Ceng Ceng tertarik. Sikap pemuda itu gagah bukan main, juga wajahnya amat tampan, agaknya seorang pendekar perantau. Di pinggangnya terselip sebatang bambu kecil, bukan pedang. Biarpun amat tertarik dan ingin tahu siapakah gerangan pemuda itu dan sampai di mana kelihaiannya, namun sebagai seorang wanita tentu saja Ceng Ceng tidak berani menegur. Apalagi pemuda itu sudah pergi jauh dan sebentar saja bayangannya lenyap di tikungan jalan sebelah selatan.

Gadis itu lalu melanjutkan perjalanannya, melompat ke atas kuda yang dilarikan ke selatan. Ia hendak mencari ayah bundanya yang berada di kota Kiu-kiang yang terletak di dekat Telaga Poyang. Perjalanan masih jauh, makan waktu dua hari lagi. Malam hari itu Ceng Ceng tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Ia bermalam di rumah perginapan, memberikan kudanya kepada pelayan sambil memesan.

"Beri makan dan minum secukupnya pada kudaku ini dan masukkan dalam kandang yang baik dan terlindung dari angin malam. Jaga dia baik-baik, besok kuberi hadiah."

Pelayan itu mengangguk-angguk lalu menuntun kuda besar itu ke samping hotel. Lewat tengah malam, Ceng Ceng terkejut bangun dari tidurnya ketika pintu kamarnya digedor orang.

"Siocia... siocia... bangunlah! Kuda itu dilarikan orang!"

Ceng Ceng mendengar suara kaki kuda berderap lewat di depan hotel. Dengan cepat ia melompat turun, menyambar pedangnya lalu menerjang pintu luar. Begitu mendadak dan cepat ia membuka pintu sehingga pelayan yang melaporkan tentang kehilangan kuda dan tadinya berdiri di luar pintu, terjengkang tunggang-langgang ketika pintu dibuka. Akan tetapi Ceng Ceng tidak memperdulikannya lagi, terus saja melompat keluar dan lari mengejar ke arah suara kuda melarikan diri ke barat. Malam itu baiknya terang bulan, dan ternyata malam sudah larut sekali dan sudah menjelang fajar.

Ceng Ceng memiliki ginkang yang tinggi warisan dari ayah bundanya. Kalau hanya kuda biasa saja yang dilarikan orang, kiranya ia masih akan sanggup menyusulnya, akan tetapi kudanya yang dibeli ini bukanlah kuda biasa, melainkan kuda pilihan dari utara yang sanggup lari seribu li sehari semalam.

"Maling kuda pengecut jahanam! Berhentilah kalau kau memang jantan!" teriak Ceng Ceng sambil mengerahkan tenaga dalamnya agar suaranya terdengar jauh.

Akan tetapi pencuri kuda itu bahkan membalapkan kudanya dan hanya suara ketawanya terdengar dari jauh. Diam-diam Ceng Ceng terkejut. maklum bahwa pencuri kudanya itu bukanlah pencuri biasa. Orang yang suara ketawanya dari tempat sejauh itu dapat terdengar, tentu memiliki Iweekang tinggi. Ia mempereepat larinya, akan tetapi percuma saja. Makin lama derap kaki kuda makin menghilang berikut bayangan kuda. Ceng Ceng membanting banting kakinya dengan gemas ketika ia berdiri di luar sebuah hutan. Ia tidak tahu kemana pencuri itu melarikan kudanya.

Dengan hati mendongkol sekali Ceng Ceng berjalan terus sampai pagi. Ia keluar dari hutan dan mengambil keputusan untuk mencari terus kudanya yang hilang sebelum pergi menyusul ayah bundanya. ia merasa penasaran sekali kalau belum mendapatkan kembali kudanya, terutama sekali kalau belum mamberi hajaran kepada pencuri kuda yang kurang ajar itu.

Tiba-tiba ia mendengar ringkikan kuda dari arah kiri. Girangnya bukan main karena ia segera mengenal suara kudanya! Biarpun sudah letih karena bangun pada tengah malam tidak tidur lagi, ia segera lari ke arah kiri dengan cepat. Dan betul saja. ia melihat kudanya sedang makan rumput di bawah pohon dilepas begitu saja!

Dengan beberapa kali lompatan Ceng Ceng sudah tiba di dekat kudanya dan segera ia memegang kendalinya. Dan pada saat itu baru ia melihat bahwa tidak jauh dari situ, di atas baru-baru besar, duduk seorang pemuda tampan yang bersila dan sedang bersamadhi!

Pemuda ini bukan lain adalah pemuda yang memujinya kemarin ketika ia menyambit burung-burung dengan pasir. Pemuda Itu meramkan mata. Bibirnya agak tersenyum, tampan sekali, kedua tangan di depan dada dan sebatang bambu yang ternyata adalah huncwe terselip di pinggangnya...

Tangan Gledek Jilid 39

Tangan Gledek Jilid 39

GERAKANNYA ini sudah menunjukkan bahwa kesombongan orang she Ouw ini memang berisi. Namun Li Hwa sama sekali tidak gentar. Dengan tenang ia melangkah ke tengah ruangan yang luas, berdiri melintangkan pedang di dada sambil berkata, “Saudara Ouw, silakan!“

Ouw Beng Sin melangkah maju menghampiri, membungkuk-bungkuk dan menjawab, “Wan toanio, siauwte menanti. Mulailah."

"Aku pihak nyonya rumah, kau mulailah dulu." Li Hwa menjawab, sesuai dengan kesopanan ahli silat.

"Akan tatapi siauwte seorang pria, tidak patut kurang ajar. Toanio jangan banyak sungkan, harap membuka serangan."

Memang Li Hwa bukan seorang yang biasa sungkan-sungkan, maka ia mulai memutar pedangnya dan berkata, “Saudara Ouw, lihat pedang!" Tangannya menggerakkan pedang dan sinar hijau manyambar ke arah dada Ouw Beng Sin.

Ouw Beng Sin cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mengukur sampai di mana tenaga nyonya pendekar itu. Akan tetapi ia kecele karena bagaikan seekor belut yang cepat gerakannya, pedang Cheng-liong kiam sudah ditarik mundur untuk melakukan serangan ke dua membabat leher.

Terkejutlah sekarang Ouw Beng Sin. Dia sudah banyak berhadapan dengan ahli pedang namun belum pernah bertemu ilmu pedang secepat ini. Ia berlaku hati-hati, mengelak dan menangkis sambil mencari lowongan membalas serangan. Akan tetapi, Li Hwa tidak memungkinkan adanya lowongan itu. Pedangnya terus menerjang secara berantai, tidak dapat diselingi sebuah tusukan maupun bacokan dari lawan. Demikian cepatnya gerak pedangnya sehingga yang kelihatan hanya sinar hijau dan Ouw Beng Sin merasa diserang oleh ratusan buah pedang!

"Hebat...! Kim-hoat bagus...! berkali-kali Ouw Bwng Sin berseru kagum. Baru sekarang ia merasa takluk betul-betul. Baru isteri Wan Sin Hong saja kiam hoatnya sudah begini luar biasa, apa lagi ilmu pedang pendekar sakti itu! Sebentar saja sinar pedangnya yang kemerahan sudah lenyap cahayanya, terbungkus oleh berkelebatnya sinar hijau, pedang di tangan Li Hwa.

Kalau ia mau, Li Hwa dapat melukai Ouw Beng Sin. Akan tetapi tentu saja Li Hwa tidak mau membikin malu seorang tamu yang dibawa datang oleh Hwa Thian Hwesio. Bukannya karena ilmu kepandaian orang she Ouw itu amat rendah. Sebetulnya ilmu pedang Ouw Beng Sin juga lihai dan pantas kalau jarang ada orang kangouw dapat menandinginya. Kalau hanya Coa Hong Kin atau Go Hui Lian saja kiranya hanya bisa mengimbangi permainan pedang Ouw Beng Sin dan tentu akan makan waktu ratusan jurus baru bisa mangalahkannya.

Kepandaian mereka setingkat. Akan tetapi harus diketahui bahwa sebelumnya Li Hwa memang sudah lebih tinggi tingkat kepandai annya. Kemudian ditambah lagi oleh latihan dari Toat beng Kui-bo dan akhir-akhir ini mendapat petunjuk dari suaminya sendiri. Tentu saja kiam-hoatnya luar biasa sekali.

Li Hwa hanya menyerang sampai dua puluh jurus. Sengaja ia menanti sampai dua puluh jurus dan pada jurus terakhir ujung pedangnya menotol bajunya di bagian dada kiri Ouw Beng Sin, kemudian ia melompat mundur sambi l berkata,

"Saudara Ouw memang memiliki kiam hoat bagus!"

Merah sekali muka Ouw Beng Sin. Gerakan Li Hwa tadi selain indah juga amat cepat sehingga "tusukannya" tidak terlihat oleh orang lain keceuali Ouw Beng Sin yang cepat melirik ke arah bajunya yang sudah bolong kecil.

"Wan-toanio benar-benar lihai sekali ilmu pedangnya." ia berkata sambil menjura berkali-kali.

Hwa Thian Hwesio tertawa bergelak dan berkata nyaring. "Bagus, pinceng telah menyaksikan kiam-hoat indah dan kali ini Ouw-sicu tidak penasaran. Ha-ha-ha!”

Tiba-tiba terdengar suara keras dan tubuh seorang penjaga melayang ke dalam ruangan itu. Muka penjaga itu pucat sekali. Agaknya menderita luka bebat. Dengan susah payah ia bangun kembali dan Hong Kin cepat menolongnya, mendudukkannya di atas bangku.

"A Liok, kau kenapakah?” tanyanya.

"Di luar... ada penjahat... Ting twako dibunuh... dan... dan... uaaah!" Penjaga itu muntahkan darah segar dan tubuhnya menjadi lemas, kepalanya lunglai dan terbanting ke atas meja. Bagaikan orang tertidur saja ia tak bergerak.

Semua orang menjadi terkejut dan cepat memandang ke luar. Sunyi saja di luar. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan yang gerakannya cepat bukan main sehingga tahu-tahu kelihatan orangnya di dalam ruangan itu, tersenyum-senyum mengejek dan matanya menyapu-nyapu lima orang yang berdiri memandangnya. Dia masih muda, seorang pemuda tampan yang membawa dua senjata aneh sekali.

Tangan kanannya memegang sebuah lengan manusia yang sudah tidak ada dagingnya, tinggal kulit yang membungkus tulang dan di dekat pergelangan tangan terdapat seekor ular putih berbisa. Tangan kirinya memegang sebatang huncwe bambu. Ia memandang sambil tersenyum, kadang-kadang mengisap ujung huncwe yang sudah diisi tembakau dan menyala, akan tetapi anehnya, asap yang diisapnya tak pernah keluar dari mulutnya.

Lima orang yang berada di ruangan itu adalah ahli-ahli silat tinggi. Melihat cara pemuda tampan ini mengisap huncwa yang terus disedot ke dalam akan tetapi tidak dikeluarkan lagi, menjadi terkejut. Hanya dengan lweekang yang amat tinggi orang dapat melakukan hal ini dan secara diam-diam pemuda ini datang-datang telah mendemonstrasikan kesaktiannya.

"Kau siapakah dan apakah kau yang membunuh, dan melukai dua orang panjaga rumah kami?" tanya Coa Hong Kin yang sudah melangkah maju.

Pemuda itu bukan lain adalah Liok Cui Kong! Senyumnya melebar dan harus diakui bahwa pemuda ini berwajah tampan. Dengan sikap kurang ajar ia melirik ke arah Hui Lian dan Li Hwa, kemudian menjawab.

"Kusangka penjaga-penjaga Kim bun-to lihai, tidak tahunya hanya gentong-gentong kosong! Ada tamu agung tidak disambut, bukankah mereka itu kurang ajar dan patut dibunuh?"

Mendengar ucapan ini, Hui Lian naik darah. Ia melangkah maju dan berdiri dekat suaminya, lalu menudingkan telunjuknya ke arah pemuda itu. "Tikus busuk! Siapa namamu dan dengan maksud apa kau datang-datang mengacau? Apa kau sudah bosan hidup?” Sambil berkata demikian Hui Lian sudah mencabut pedangnya juga Hong Kin meraba gagang pedang karena maklum bahwa pemuda itu datang bukan dengan maksud baik.

"Hmmm, kalau tidak salah lihat, pernah pinceng melihat muka orang muda ini, dia bersama bangsat besar Liok Kong Ji...” Hwa Thian Hwesio menghentikan kata-katanya ketika sepasang mata pemuda itu memandang dengan tajam penuh ancaman seperti mata setan.

"Aku bernama Liok Cui Kong dan siapakah di antara kalian yang bernama Coa Hong Kin dan Go Hui Lian?”

"Kami yang bernama Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Kau mau apa?” Kini Hong Kin juga sudah mencabut pedang.

Cui Kong tertawa mengejek. "Apakah Tiang Bu itu anak kalian?”

Mendengar pertanyaan ini, Hong Kin melengak. Akan tetapi Hui Lian segera menjawab. "Betul, Tiang Bu anak kami. Kau mau apa?"

Kembali Cui Kong tertawa dan tiba-tiba menyemburkan asap putih bergumpal-gumpal ke arah muka Hong Kin dan Hui Lian. "Bagus! Aku datang hendak membunuh kalian. Ha ha ha!”

Makin banyak asap ke luar dari mulut pemuda ini. agaknya asap dari huncwe yang tadi diisapnya dan baru sekarang ia keluarkan. Hong Kin dan Hui Lian kaget sekali, hendak mengelak namun tidak keburu,. Mata mereka terasa pedas tak dapat dibuka dan bau yang amat keras menyesakkan pernapasan mereka.

“Asap beracun, awas!” seru Hwa Thian Hwesio yang cepat mendekap hidung dan mulutnya, sedangkan tangan kirinya menggerakkan tongkat.

Juga Li Hwa sudah mencabut pedang sambil mengeluarkan dua butir pil merah. Sebutir ia masukkan ke dalam mulut, yang sebutir lagi ia berikan kepada Hwa Thian Hwesio.

“Hwa Thian suhu, simpan ini di mulut dan mari kita gempur iblis cilik ini!”

Akan tetapi, Cui Kong benar benar hebat. Ia menyemburkan terus asap putih itu memenuhi ruangan dan lengan manusia dengan ularnya itu mulai ia gerakkan menyerang Hwa Thian Hwesio yang berada di mukanya.

Ouw Beng Sin berseru, “Pemuda jahat sekali, kau mampus di tanganku orang she Ouw.” Pedangnya diayun dan karena kebetulan berdiri di belakang Cui Kong ia langsung menyabetkan pedang ke arah kepala pemuda itu sekuat tenaga.

Akan tetapi, tanpa menoleh Cui Kong menyabetkan tangan kering itu ke belakang untuk menangkis dan... Ouw Beng Sin memekik nyaring lalu roboh, tewas tergigit ular putih yang amat berbisa!

Sementara itu, Hui Lian dan Hong Kin masih terhuyung huyung dan mundur sambil batuk-batuk. Baikn ya ada Hwa Thian Hwesio dan Li Hwa yang sudah memutar senjata menyerang Cui Kong sehingga pemuda ini terhambat gerakannya. Kalau tidak ada pertolongan ini, tentu dengan mudah Cui Kong dapat menyerang suami isteri yang sedang repot ini.

Asap yang disemburkan oleh Cui Kong memang asap berbisa yang amat berbahaya. Mata hanya terasa pedas saja kalau terkena akan tetapi siapa yang menyedot asap ini, paru-parunya akan keracunan dan keadaannya berbahaya sekali. Cui Kong seridiri sudah mempergunakan obat penawar maka ia tidak terpengaruh oleh asap ini. Selain asapnya yang berbisa, juga huncwe di tangan pemuda itu adalah sebuah senjata yang luar biasa lihainya dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Kepandaian Cui Kong dalam mempergunakan senjata istimewa ini amat tinggi. Ditambah lagi dengan senjata aneh berupa lengan manusia dengan ular berbisa, benar-benar Cui Kong merupakan lawan yang amat tangguh. Bahkan pengeroyokan Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio tak dapat mendesaknya. Sebaliknya. Cui Kong tidak mau menghabiskan seluruh perhatiannya untuk dua orang lihai ini. Kedatangannya untuk membunuh ayah ibu Tiang Bu sebagai perbuatan balasan dari serbuan Tiang Bu ke Ui tiok-lim.

la tahu bahwa setelah Tiang Bu tidak mau mengaku Kong Ji sebagai ayah bahkan memusuhinya, tentu Tiang Bu amat sayang kepada ayah bunda angkatnya ini. Dan menghadapi Tiang Bu sendiri adalah berbahaya dan sukar karena Tiang Bu amat lihai, jalan satu-satunya yang paling mudah dan terbaik untuk membalas dendam hanyalah mencelakai ayah bunda angkat Tiang Bu yang berada di Kim-bun-to ini.

Oleh karena itulah, ia menangkis serangan-serangan Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio sambil menghambur-hamburkan asap beracun, ke mudian berusaha keras untuk menyerang dan mendesak Hong Kin dap Hui Lian yang masih belum dapat membuka mata dan masih kebigungan di pojok ruangan. Li Hwa maklum akan maksud ini, demikian pula Hwa Thian Hwesio.

Maka dua oran g ini yang merasa amat khawatir akan keselamatan suami isteri terus mendesak Cui Kong sambil melindungi mereka, sungguhpun amat sukar bagi mereka usaha ini karena mata mereka sendiri terasa pedas-pedas dan sudah mengeluarkan air mata karena pengaruh asap beracun. Cui Kong mempercepat gerakan lengan manusia dan huncwenya. Kepandaiannya memang masih lebih tinggi dari pada kepandaian Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio, maka sedikit demi sedikit ia mulai dapat me ndekati Hong Kin dan Hui Lian! Keselamatan suami isteri Kim-bun-to ini benar-benar terancam bahaya maut!

Asap beracun yang keluar dari huncwe Cui Kong itu benar-benar amat berbahaya. Karena Hong Kin dan Hui Lian tadi berdiri di depannya, maka asap yang disemburkan itu tepat memasuki mata suami-isteri ini dan membuat mereka sukar membuka mata yang amat pedas rasanya.

Hwa Thian Hwesio sudah mempunyai pengalaman luas. Ia dapat menduga atau mengira-ngira bahwa tentu Tiang Bu telah membuat sakit hati Kong Ji dan Cui Kong maka sekarang pemuda ini datang hendak membalas dendam kepada ayah bunda Tiang Bu. Maka sambil menggereng kakek gundul ini mengayun tongkatnya menyerang pemuda itu agar jangan sampai mencelakai Hong Kin dan isterinya. Akan tetapi dengan enak saja Cui Kong meloncat maju, huncwenya menangkis tongkat dan lengan kering yang dipegangnya menyambar.

“Krakk!” Jari-jari tangan lengan kering itu tepat menghantam leher Hwa Thian Hwesio. Dunia menjadi gelap di depan mata hwesio semua kesadarannya masih membuat ia lekas-lekas melempar diri ke belakang. Ia bergulingan di atas lantai dan pingsan Baiknya ia tadi melempar diri ke belakang kalau tidak, tentu ular putih yang melingkar di lengan itu akan menggigitnya dan kalau hal ini terjadi, nyawanya tentu sudah melayang.

"Iblis keji, rasakan pembalasanku!" Li Hwa menjerit marah dan pedangn ya yang berubah menjadi segunduk sinar hijau menyambar-nyambar bagaikan naga mengamuk.

Cui Kong kewalahan juga menghadapi ilmu pedang yang lihai ini, maka terpaksa untuk sementara meninggalkan Hong Kin dan Hui Lian, mencurahkan perhatiannya menghadapi serangan Li Hwa. Setelah ia melawan dengan sepenuh tenaga, baru ia dapat membendung gelombang serangan sinar hijau itu.

Sementara itu, biarpun matanya sukar di buka lama-lama, Hui Lian dan Hong Kin dapat menangkap suara pertempuran itu dan tahu bahwa Ouw Beng Sin dan Hwa Thian Hwesio sudah roboh oleh pemuda lihai itu. Mereka menjadi nekat. Dengan mata dipaksa terbuka, Hui Lian menerjang dengan pedangnya. Hong Kin juga demikian, menyerang mati-matian membantu Li Hwa.

“Adik Hui Lian, jangan dekat...!" seru Li Hwa. "Biar aku menghadapi setan ini!” Nyonya ini maklum bahwa kedatangan Cui Kong adalah hendak membunuh suami isteri ini dan melihat keadaan mereka, sukar untuk mengalahkan Cui Kong.

Kalau saja mata suami isteri ini tidak terpengaruh asap beracun, tentu mereka bertiga dapat menandinginya, akan tetapi keadaan sekarang lain. Amat berbahaya kalau Hong Kin dan Hui Lian maju. Akan tetapi mana suami isteri yang berjiwa gagah itu mau mundur membiarkan Li Hwa seorang diri menghadapi musuh yang tangguh? Li Hwa hendak menolong mereka tampa memperdulikan keselamatan nyawa sendiri, mereka juga tidak akan mundur, tidak takut mati dalam menghadapi musuh membantu Li Hwa.

“Ha-ha.ha, ayah bunda Tiang Bu, si keparat ternyata tidak seberapa! Ha-ha!” Cui Kong mengejek sambil memutar dua senjatanya yang aneh.

Sebetulnya ilmu kepandaian Hong Kin tidak rendah. Apa lagi Hui Lian. Nyonya ini adalah adik seperguruan dari Liok Kong Ji sendiri. Ilmu pedangnya lihai bukan main. Akan tetapi, kini mereka tidak dapat bergerak leluasa karena mata terasa sukar sekali dibuka terus. Dan yang mereka hadapi adalah Liok Cui Kong, seorang pemuda gemblengan yang amat luar biasa ilmu kepandaiannya. Selain mendapat petunjuk dari Liok Kong Ji sendiri, juga pemuda ini adalah murid dari Lothian-tung Cun Gi Tosu.

Hui Lian marah bukan main. Sambil menggertak gigi ia membuka matanya yang pedas itu lebar-lebar. kemudian ia menggerakkan pedangnya dari atas ke bawah lalu membalik dengan mendadak dimiringkan dengan gerakan menyerong dan ujungnya membuat lingkaran- lingkaran. Inilah gerakan yang disebut Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkau Kilat), sebuah gerakan tipu dalam ilmu Pedang Pak-kek Kiam-sut. Hebatnya bukan kepalang! Tidak percuma Hui Liang menjadi puteri pendekar besar Go Ciang Lee.

Cui Kong benar-benar terkejut. Baru terbuka matanya bahwa dua orang suami isteri yang secara menggelap telah ia serang dengan asap ini adalah ahli-ahli pedang yang lihai. Cepat ia meninggalkan Li Hwa, menggunakan tongkatnya menangkis sinar pedang yang menyambar-nyambar leher dan kepalanya.

“Plaak !” Tongkatnya menempel pada pedang dan tak dapat ditarik kembali karena tiba-tiba pedang nyonya itu diputar cepat sehingga tongkatnya turut berputaran.

"Mampuslah kau, bedebah!” Hui Lian membentak sambil memukul dengan tangan kirinya ke arah pusar lawannya. Pukulan ini juga bukan serangan biasa, melainkan gerakan Hai-ti lap-liong (Menyelam ke Laut Mengejar Naga) dari Ilmu silat Thian-hong cianghwat peninggalan ayahnya. Keistimewaan pukulan ini yalah dilakukan dalam keadaan tak tersangka-sangka dan luar biasa cepat datangnya.

Sebelum Cui Kong sempat mengelak atau menangkis, pukulan sudah sampai di pusarnya! Pemuda itu pasti akan terjungkal mampus kalau saja tenaga lweeeang dari Hui Lian lebih besar lagi. Sayangnya, tenaga dalam nyonya itu masih kalah jauh oleh Cui Kong, pemuda ini dengan muka pucat cepat merendahkan diri sehingga pukulan itu tidak mangenai pusarnya, melainkan mengenai dada. Ia mengerahkan sinkangnya menyambut datangnya pukulan, akan tetapi berbareng mengerjakan lengan kirinya ke arah leher Hui Lian.

Dada Cui Kong terpukul dan pemuda itu terhuyung mundur dengan muka pucat, akan tetapi Hui Lian mengeluh perlahan dan roboh dengan pedang masih di tangan. Ternyata bahwa leher nyonya perkasa ini telah terpagut ular putih yang melingkar di pergelangan lengan kering itu dan dalam sekejap saja racun ular telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Sungguh sayang nyon ya yang perkasa ini terpaksa harus melepaskan napas terakhir dalam tangan Liok Cui Kong.

Hong Kin mengeluarkan seruan kaget dan marah bukan main. Ia menubruk maju dan menukan pedangnya secepat kilat. Gerakannya ini sudah bukan gerakan menurut ilmu pedang lagi yang selain mengandung sifat menyerang selalu ada sifat melindungi diri. Serangan Hong Kin kali ini sama sekali tidak mengandung unsur penjagaan diri, seratus prosen menyerang dengan nekat dan cepat sekali. Menghadapi kenekatan seorang ahli pedang seperti Hong Kin, betapapun lihai adanya Cui Kong tetap saja ia tidak keburu mengelak. Hampir saja lehernya tertembus pedang kalau saja ia tidak sempat membuang diri ke kanan sehingga hanya kulit leher dan pundaknya yan g terkena pedang sampai mengeluarkan darah banyak sekali.

Marahlah Cui Kong, dengan sepenuh tenaga lengan kering itu di sabetkan kepada Li Hwa yang sudah mendesaknya lagi, sedangkan huncwenya ia pukulkan kedepan menghantam kepala Hong Kin. Hong Kin mencoba untuk menangkis pukulan ini dengan pedangnya, namun ia kalah tenaga. Benar huncwe dapat tertangkis, akan tetapi melesat dan dengan tepat mengenai pinggir kepala di atas telinga.

"Prakk!" Tanpa mengeluarkan keluhan. Tubuh Hong Kin terguling dan bergelimpangan di dekat jenazah isterinya, tak bernyawa lagi!

"Iblis terkutut! Mari kita mengadu jiwa!” seru Li Hwa marah sekali dan kedua matanya bercucuran air mata melihat nasib dua orang sahabat baiknya itu. Pedangnya mendesak dan kemarahannya membuat gerakannya lebih hebat daripada biasanya. Juga kini tangan kirinya sudah mengeluarkan Cheng-jo uw-cian (Jarum Rumput Hijau) siap untuk menyerang lawan tangguh itu dengan senjata rahasianya yang sudah amat terkenal itu.

Cui Kong tertawa bergelak. Girang sekali hatinya dapat menewaskan Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Himpas sudah sakit hatinya terhadap Tiang Bu yang dalam penyerbuan Ui-liok-lim telah menewaskan banyak kawan dan merusak bangunan itu semau-maunya. "Ha-ha-ha, Tiang Bu! Aku ingin melihat mukamu kalau kau melihat ayah ibumu menggeletak tak bernyawa oleh tanganku. Ha ha ha!" Sambil tertawa-tawa Cui Kong melawan Li Hwa.

Memang ilmu kepandaian pemuda ini hebat sekali, bahkan Li Hwa masih bukan tandingannya. Ular di lengan kering itu terus menerus mengancam, membuat Li Hwa tak dapat mendesaknya. Sebaliknya, nyonya yang terkenal dengan julukan Hui eng Niocu ini sekarang terpaksa mundur selalu untuk menghindarkan sepasang senjata aneh dari lawannya yang masih muda.

"Ha ha ha, nyonya manis, kepandaiannya boleh juga. Akan tetapi tuan mudamu tak boleh kaupandang rendah! Nah, terima seranganku!” Huncwe mautnya bekerja cepat sekali. Li Hwa masih menangkis dengan pedangnya dengan maksud mematahkan huncwe itu dengan Cheng-liong-kiam. Namun, huncwe di tangan Cui Kong itu terbuat dari bahan yang amat keras. Huncwe terpental, akan tetapi bukan terpental membalik, melainkan menyerong ke atas dan tahu-tahu huncwe itu telah berhasil mengetuk pundak kiri Li Hwa! Nyonya ini terhuyung sambil memegangi pundaknya.

Cui Kong tertawa terbahak-bahak sumbil melompat keluar karena pada saat itu di luar rumah terdengar amat banyak orang. 0rang-orang penduduk Pulau Kim-ban-to yang datang tertarik oleh ribut-ribut di dalam. Li Hwa menggigit bibirnya, melepaskan pe dang dan tangan kanannya yang masih dapat sigerakkan lalu menghujankan Cheng-jouw-ciam ke arah bayangan Cui Kong.

Namun percuma saja. Cui Kong gesit sekali gerakannya dan sebentar sudah menghilang melalui atas genteng. Hanya suara ketawanya yang bergema men yeramkan. Ketika penduduk datang menyerbu ke dalam. mereka hanya dapat menolong para korban keganasan Liok Cui Kong. putera angkat Liok Kong Ji yang telah mewarisi kekejaman ayah angkatnya.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Pada suatu pagi yang indah di kaki Pegunungan Tapie-san, matahari sudah naik tinggi dan pagi hari itu benar-benar indah. Di pinggir jalan, para petani sibuk bekerja di sawah ladang di mana batang-batang padi sudah satu kaki tingginya, hijau segar bergoyang-goyang tertiup angin seperti penari penari bergerak lincah. Para petani bekerja riang dan digembirakan oleh harapan panen baik.

Burung-burung beterbangan, diteriaki dan disoraki, ditakut-takuti oleh para petani yang amat membenci mereka. Biarpun barang padi belum berbuah, namun para petani sudah benci melihat kedatangan burung-burung ini. Sebagian besar para petani mencabut-cabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar padi. Sebagian pula mengatur perairan agar sawah mereka tidak kekurangan air.

Dari arah utara kelihatan seorang gadis menuntun seekor kuda tinggi besar. Gadis ini sampai turun dan kudanya dan berjalan kaki agar dapat lebih menikmati pemandangan alam indah di pagi cerah itu. Pakaian gadis ini sederhana saja, rambutnya yang hitam dibiarkan tergantung ke belakang punggung, diikat pita di tengah-tengah. Namun kesederhanaannya tidak menyembunyikan kecantikannya yang menawan hati. Gadis ini manis benar, usianya paling banyak sembilan belas tahun. Pada wajahnya yang manis dan halus itu terbayang kegagahan, terutama sekali terpancar dari pasang matanya yang tajam.

Memang tidak sukar menduga bahwa dia adalah seorang gadis kangouw yang memilliki kepandaian ilmu silat. Seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri, membawa seekor kuda yang kelihatan liar dan tinggi besar. sudah barang tentu gadis itu bukan sembarang wanita. Tanpa memiliki kepandaian, mana seorang gadis seperti dia berani menunggang kuda setinggi itu.

Dara manis ini bukan lain adalah Lie Ceng, puteri Pek-touw tiauw ong Lie Kong. Usianya delapan belas tahun dan semenjak Ceng Ceng dikalahkan oleh Tiang Bu dahulu ketika ia berusia lima belas tahun, gadis ini melatih diri dengan tekun sehingga ia mewarisi kepandaian ayah bundanya, juga ia kini telah dapat mewarisi isi kitab Pat-sian-jut-hun yang didapat oleh ayahnya dari Omei-san. Kepandaiannya sudah meningkat tinggi sekali, akan tetapi wataknya masih tetap seperti dulu gembira, lincah dan galak!

Seperti telah dituturkan di bagian depan, tiga tahun yang lalu pernah ia bertemu dengan Tiang Bu dan kedua orang tuanya malah sudah menetapkan untuk menjodohkan dia dengan Tiang Bu. Akan tetapi Ceng Ceng dengan tegas menolak perjodohan itu. Berkali-kali kedua orang tuanya mendesaknya, namun tetap saja Ceng Ceng tidak mau. Akhir-akhir ini, ayah bundanya mengalah dan ayahnya berkata gemas.

"Ceng Ceng, kau sekarang sudah berusia delapan belas tahun dan ayah bundamu sudah ingin sekali mempunyai anak mantu. Dalam pandangan kami selain Tiang Bu di mana lagi ada pemuda yang patut menjadi sisianmu diukur dari kepandaiannya? Apakah kau tidak kecewa kalau medapatkan pemuda yang kepandaiannya rendah? Kalau kau selalu menolak untuk menikah, habis kau hendak menanti sampai berusia berapa?”

"Biar aku berusia sampai seratus tahun tak menikah, apa sih salahnya, ayah? Apakah pernikahan itu suatu keharusan hidup?”

“Sudah tentu, Ceng Ceng!” kata ibunya marah. "Bagaimana kau masih bertanya lagi?”

“Ehm, begini, ibu. Kalau memang betul ini suatu keharusan, siapakah gerangan yang mengharuskan?” Memang Ceng Ceng sebagai anak tunggal semenjak kecil dimanjakan dan sudah biasa berdebat dengan ayah bundanya.

“Yang mengharuskan siapa...?" bentak ibunya gemas. “Kau... kau memang anak terlalu manja…” karena tidak bisa menjawab, nyonya Lie Kong hanya bisa menunjuk-nunjuk muka anaknya dengan telunjuknya.

“Ceng Ceng. seorang manusia harus mengalami tiga kejadian. Pertama Lahir, ke dua kawin, ke tiga mati. Orang terlahir pasti akan mati dan matinya itu baru sempurna kalau dia meninggalkan keturunan. Kalau tidak kawin, bagaimana bisa meninggalkan keturunan? Salah satu di antara sifat-sifat tidak berbakti yang paling penting adalah tidak punya keturunan. Kalau kau tidak ingin disebut anak puthauw (anak durhaka), kau harus memilih jodohmu agar ayah bundamu dapat menikmati kebahagiaan menimang cucu.”

Merah wajah Ceng Ceng mendengar kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan tenang namun sungguh-sungguh ini. “Akan tetapi, ayah,” bantahnya berkepala batu, "kalau aku tidak suka, masa aku harus dipaksa?"

"Akan datang saatnya timbul rasa suka kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu. Kau menolak seorang pemuda seperti Tiang Bu, yang kau cari orang macam apakah?"

Dengan kepala tunduk Ceng Ceng menjawab perlahan, "Dia harus memiliki kepandaian labih tinggi dari pada kepandaianku, dia harus gagah perkasa, harus berbudi mulia, dan dia harus berwajah tampan...”

lbunya menggeleng-geleng kepala, akan tetapi Lie Kong tertawa. “Semua wanita tentu saja mencari suami begitu! Akan tetapi kau lupa sedikit, Ceng Ceng anakku yang manja. Yang harus diutamakan adalah sifat jujur dan setia! Tiang Bu memiliki kejujuran, juga dia seorang yang memiliki kegagahan dan kesetiaan. Memang harus aku nyatakan bahwa dia tidak tampan. Akan tetapi jangan kau ngukur watak manusia dari tampangnya. Banyak sekali laki-laki yang kelihatan gagah, tampan dan mulia, padahal semua itu palsu belaka. Aku amat khawatir kau akan terpikat oleh macam itu. Ceng Ceng. Sekali lagi kunasehatkan, jangan kau terlalu percaya kepada wajah tampan."

Ceng Ceng diam saja, akan tetapi di dalam hatinya ia tetap berkeras bahwa dia hanya kawin dengan seorang pemuda yang tampan, ganteng dan mendatangkan rasa suka di dalam hatinya, Tidak seperti Tiang Bu yang berhidung pesek berbibir tebal!

Semenjak kecil Ceng Ceng memang suka pergi bermain-main sampai jauh. Setelah dewasa dan kepandaiannya tinggi dia sering kali pergi jauh ke kota lain sampai berhari-hari. Ayah bundanya membolehkannya saja. Pertama agar gadis itu bertambah pengalaman serta pengetahuannya, ke dua siapa tahu kalau di kota lain bertemu jodohnya.

Demikianlah, pada pagi hari itu Ceng Ceng juga sedang melakukan perantauannya. Ia mendaki Bukit Tapie-san dan kini sedang berada dalam perjalanan pulang. Tertarik oleh keindahan alam dan kesibukan para petani, gadis ini melompat turun dari kuda, lalu berjalan perlahan menuntun kudanya yang besar dan bagus itu. Ceng Ceng memang semenjak kecil suka akan keindahan. Kepada orang tuanya ia selalu minta apa-apa yang serba indah.

Pakaian sederhana yang dipakainya itu hanya untuk menutupi pakaian indah dan mewah yang tersembunyi di dalamnya. Ia selalu menutupi pakaiannya yang indah apabila melakukan perjalanan, pertama tama untuk menjaga agar pakaiannya yang indah tidak menjadi kotor terkena debu, kedua kalinya agar jangan menarik perhatian orang-orang jahat. Kudanya pun kuda mahal, kuda pilihan yang amat kuat.

Ceng Ceng berdiri di pinggir sawah dan tersenyum gembira melihat dua orang anak laki-laki berusia enam tujuh tahun mengejar-ngejar burung. Memang amat nakal burung-burung kecil berdada kuning itu. Digebah dari sini turun di sana, diusir dari sana hinggap di sini. Burung yang berkelompok itu seakan-akan tahu bahwa yang mengusir mereka hanya dua orang bocah maka sengaja menggoda dan mengejek. Dipermainkan oleh burung kecil ini, dua orang bocah cilik itu marah-marah. Mereka berteriak-teriak dan menyambitkan batu.

“Awas kalian, perampok perampok kecil. Kalau terjatuh ke dalam tanganku, kau tentu akan kucabuti bulumu, kupuntir batang lehermu, kupanggang sampai kuning!” kata seorang anak.

“Setan-setan kelaparan ” memaki anak kedua. "Kami bersusah payah bekerja, ayah dan kerbau meluku, Ibu menanam, aku membersihkan rumput, kami menunggu panen dan kalian ini setan setan selalu mengganggu. Enyah keparat!”

Bocah-bocah itu lari ke sana ke mari sambil memaki-maki. "Kami makan tak pernah memakai daging, kalau kami dapat menangkapmu, kami makan kepalamu!"

Melihat bocah-bocah ini dan para petani yang sepagi itu sudah bekerja keras dan rajin di sawah ladang, timbul pikiran di dalam kepala Ceng Ceng betapa sukarnya orang bekerja untuk menghasilkan bahan makanan. Dia setiap hari makan nasi akan tetapi belum pernah bekerja di ladang untuk manuai padi, apa lagi meluku dan mencangkul. Alangkah senangnya orang kota, hidup mewah dan setiap hari makan nasi dari padi terbaik. Sebaliknya para petani yang setiap hari semenjak pagi buta sampai malam gelap bekerja membanting tulang memeras keringat di sawahnya, hidup serba kurang dan miskin.

Ceng Ceng membungkuk, mengambil segenggam pasir, menanti sampai kelompok burung dada kuning itu terbang lewat. tangannya digerakkan, pasir menyambar mekar jala dan... belasan ekor burung runtuh ke atas tanah, sisanya terkejut dan terbang jauh-jauh.

Dua orang bocah itu memandang dengan mata terbelalak lebar dan mulut bengong, kemudian melihat burung-burung bergeletakan di atas tanah, mereka bersorak-sorak girang dan berlari-lari menghampiri untuk mengambil bangkai burung-burung itu.

"Hebat, timpukan yang lihai sekali...!” dengan suara halus memuji.

Ceng Ceng cepat menengok dan melihat seorang pemuda tampan lewat di atas jalan itu. Pemuda ini berpakaian seperti seorang ahli silat, akan tetapi sikap dan gerak-geriknya halus seperti seorang pelajar. Ketika Ceng Ceng menengok, pemuda itu mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah jauh.

Ceng Ceng tertarik. Sikap pemuda itu gagah bukan main, juga wajahnya amat tampan, agaknya seorang pendekar perantau. Di pinggangnya terselip sebatang bambu kecil, bukan pedang. Biarpun amat tertarik dan ingin tahu siapakah gerangan pemuda itu dan sampai di mana kelihaiannya, namun sebagai seorang wanita tentu saja Ceng Ceng tidak berani menegur. Apalagi pemuda itu sudah pergi jauh dan sebentar saja bayangannya lenyap di tikungan jalan sebelah selatan.

Gadis itu lalu melanjutkan perjalanannya, melompat ke atas kuda yang dilarikan ke selatan. Ia hendak mencari ayah bundanya yang berada di kota Kiu-kiang yang terletak di dekat Telaga Poyang. Perjalanan masih jauh, makan waktu dua hari lagi. Malam hari itu Ceng Ceng tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Ia bermalam di rumah perginapan, memberikan kudanya kepada pelayan sambil memesan.

"Beri makan dan minum secukupnya pada kudaku ini dan masukkan dalam kandang yang baik dan terlindung dari angin malam. Jaga dia baik-baik, besok kuberi hadiah."

Pelayan itu mengangguk-angguk lalu menuntun kuda besar itu ke samping hotel. Lewat tengah malam, Ceng Ceng terkejut bangun dari tidurnya ketika pintu kamarnya digedor orang.

"Siocia... siocia... bangunlah! Kuda itu dilarikan orang!"

Ceng Ceng mendengar suara kaki kuda berderap lewat di depan hotel. Dengan cepat ia melompat turun, menyambar pedangnya lalu menerjang pintu luar. Begitu mendadak dan cepat ia membuka pintu sehingga pelayan yang melaporkan tentang kehilangan kuda dan tadinya berdiri di luar pintu, terjengkang tunggang-langgang ketika pintu dibuka. Akan tetapi Ceng Ceng tidak memperdulikannya lagi, terus saja melompat keluar dan lari mengejar ke arah suara kuda melarikan diri ke barat. Malam itu baiknya terang bulan, dan ternyata malam sudah larut sekali dan sudah menjelang fajar.

Ceng Ceng memiliki ginkang yang tinggi warisan dari ayah bundanya. Kalau hanya kuda biasa saja yang dilarikan orang, kiranya ia masih akan sanggup menyusulnya, akan tetapi kudanya yang dibeli ini bukanlah kuda biasa, melainkan kuda pilihan dari utara yang sanggup lari seribu li sehari semalam.

"Maling kuda pengecut jahanam! Berhentilah kalau kau memang jantan!" teriak Ceng Ceng sambil mengerahkan tenaga dalamnya agar suaranya terdengar jauh.

Akan tetapi pencuri kuda itu bahkan membalapkan kudanya dan hanya suara ketawanya terdengar dari jauh. Diam-diam Ceng Ceng terkejut. maklum bahwa pencuri kudanya itu bukanlah pencuri biasa. Orang yang suara ketawanya dari tempat sejauh itu dapat terdengar, tentu memiliki Iweekang tinggi. Ia mempereepat larinya, akan tetapi percuma saja. Makin lama derap kaki kuda makin menghilang berikut bayangan kuda. Ceng Ceng membanting banting kakinya dengan gemas ketika ia berdiri di luar sebuah hutan. Ia tidak tahu kemana pencuri itu melarikan kudanya.

Dengan hati mendongkol sekali Ceng Ceng berjalan terus sampai pagi. Ia keluar dari hutan dan mengambil keputusan untuk mencari terus kudanya yang hilang sebelum pergi menyusul ayah bundanya. ia merasa penasaran sekali kalau belum mendapatkan kembali kudanya, terutama sekali kalau belum mamberi hajaran kepada pencuri kuda yang kurang ajar itu.

Tiba-tiba ia mendengar ringkikan kuda dari arah kiri. Girangnya bukan main karena ia segera mengenal suara kudanya! Biarpun sudah letih karena bangun pada tengah malam tidak tidur lagi, ia segera lari ke arah kiri dengan cepat. Dan betul saja. ia melihat kudanya sedang makan rumput di bawah pohon dilepas begitu saja!

Dengan beberapa kali lompatan Ceng Ceng sudah tiba di dekat kudanya dan segera ia memegang kendalinya. Dan pada saat itu baru ia melihat bahwa tidak jauh dari situ, di atas baru-baru besar, duduk seorang pemuda tampan yang bersila dan sedang bersamadhi!

Pemuda ini bukan lain adalah pemuda yang memujinya kemarin ketika ia menyambit burung-burung dengan pasir. Pemuda Itu meramkan mata. Bibirnya agak tersenyum, tampan sekali, kedua tangan di depan dada dan sebatang bambu yang ternyata adalah huncwe terselip di pinggangnya...