Tangan Gledek Jilid 38 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 38

Merasa betapa pedangnya terdorong kesamping oleh kibasan tangan ini, Kong Ji diam-diam terkejut sekali, apa lagi pemuda itu sekali melihat sudah mengenal ilmu pedangnya. Memang dahulu ketika beramai-ramai menyerbu ke Omei-san, Liok Kong Ji sudah berhasil mendapatkan sebuah kitab ilmu pedang yaitu Swat-lian-kiam-coansi yang dilatihnya secara rahasia dengan amat tekunnya. Orang lain tidak ada yang tahu bahwa ia mendapatkan kitab itu dan mempelajarinya, akan tetapi sekarang baru sejurus saja ia keluarkan, pemuda ini sudah lantas mengenalnya.

"Ha ha, kau kira hanya kau saja yang pandai? Hari ini kau akan mampus di depan kakiku, boeah jahanam tak tahu diri!” bentaknya untuk menutupi kekagetannya.

Kembali ia menyerang dengan ilmu pedangnya yang tinggi tingkatnya digerakkan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena nafsu membunuh sudah memenuhi dirinya. Terpaksa Tiang Bu mengelak. Serangan-serangan “ayahnya” kali ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dan benar-benar bukan serangan yang tidak berbahaya. Ia harus hati-hati. Agaknya Liok Kong Ji kali ini mengeluarkan kepandaiannya betul-betul untuk menghadapinya.

"Kau memamerkan kepandaianmu? Bagus. Akulah lawanmu." kata Tiang Bu dengan gerakan indah melakukan jurus Sam hoan-bu sehingga kembali serangan Kong Ji mengenai tempat kosong.

”Bunuh keparat ini!” Teriak Cui Kong yang cepat menyerbu membantu ayah angkatn ya, menyerang dengan huncwenya yang juga amat lihai.

Biarpun tadinya merasa gentar, kini melihat sang twako Liok Kong Ji sudah bergerak dan agaknya betul-betul hendak membunuh pemuda itu, lima orang saudara angkat Kong Ji menjadi besar hati dan berturut-turut mereka melompat maju, menyerang dengan keistimewaan masing-masing. Ban-kin-liong Cong Lung menyerang dengan tangan kosong, namun pukulan-pukulannya mendatangkan angin yang sudah cukup untuk merobohkan lawan karena dia memang seorang ahli lweekeh yang tanggub tenaga lweekangnya.

Twa-to Ma it Sun memutar-mutar golok besarnya. It-ci-san Kwa Lo biarpun jari telunjuknya kini dibungkus dan tak dapat dipergunakan, namun jari-jari tangannya yang lain masih ampuh. Si jari lihai Kwa Lo ini adalah ahli totok nomor satu di daerahnya, memiliki ke pandaian Tiam-hiat -hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) yang istimewa dilakukan dengan satu jari dan betapa tingi ke pandaian Kwa Lo dapat dilihat dari kepandaiannya mempergunakan jari tangan yang manapun juga.

Bahkan ibu jari yang besar tumpul dapat pula ia pergunakan! Koai-jiu Sin-touw Lee Bok Wi Si Malaikat Copet juga merangsek maju, kini mengeluarkan senjatanya yang istimewa berupa besi kaitan kecil alat yang biasa dibawa oleh ahli-ahli copet untuk menyambar barang orang. Akan tetapi kini kaitan besi ini bukan dipergunakan untuk menyambar benda berharga yang dipakai orang, melainkan dikerjakan secara hebat untuk menyambar nyawa Tiang Bu. Akhirnya Hok Lun Hosisng, orang yang memiliki Ilmu toya Siauw li m-si, lihai dan amat hati-hati toyanya menyambar-nyambar mengeluarkan angin.

Untuk kedua kalinya Tiang Bu menghadapi pengeroyokan tujuh orang yang amat lihai, yang kesemuanya merupakan jago-jago kelas satu. Akan tetapi sekarang ia seorang diri, tidak melindungi Bi Li, juga tidak memondong orang seperti kemarin. Di samping ini, hatinya marah dan sakit hati, maka Tiang Bu hebat sekali gerakannya, seperti seekor naga mengamuk.

Dengan pengerahan sinkang yang ia miliki dari latihan Ilmu Seng thian-to, jari jari tangannya demikian kuat dan kebal untuk mengibas dan menangkis setiap sambaran senjata lawan. Cukup dengan angin pukulannya saja dapat menahan dan setiap orang lawan ti dak berani datang terlampau dekat, karena sambaran angin pukulannya cukup membuat lawan menderita luka dalam yang hebat, tidak kalah berbahayanya dari pada senjata yang paling tajam.

Namun tujuh orang lawannya juga bukan ahli silat sembarangan, mereka bertempur dengan hati-hati, maklum akan kelihatan pemuda sakti itu. Senjata datang menerjang seperti hujan, semua dilakukan dengan teratur dan hati-hati. Terutama sekali pedang di tangan Liok Kong Ji benar benar hebat gerakannya. Kalau saja pemuda itu bukan murid Ome i-san dan kebetulan sekali pernah melihat Ilmu Pedang Soat hoat-kiam-sut dimainkan oleh guru ke dua Hong Jin Hwesio di Omei-san, tentu ia akan payah melawan Ilmu pedang yang mendatangkan hawa dingin ini.

Pertempuran itu hebat sekali, cepat dan seru sampai-sampai sukar membedakan satu dari yang lain. Di sekeliling tempat pertempuran, angin pukulan menyambar-nyambar membuat meja kursi beterbangan dan suara angin bersiutan sungguhpun di luar gedung pada saat itu tidak ada angin. Benar-benar sebuah pertempuran ahli-ahli silat tingkat tinggi.

Seratus jurus lewat sudah. Belum dapat tujuh orang itu mendesak Tiang Bu, bahkan sebaliknya perlahan akan tetapi tentu Tiang Bu mulai dapat mengacau pertahanan mereka. Dengan pukulan pukulan yang ia mainkan dari Ilmu Pukulan Sakti Thian-te Si-kong ia menolak semua serangan lawan, kemudian dengan ilmu silat bersegi delapan, ia dengan mudah menghadapi tujuh orang pengeroyoknya dan dapat secara bergiliran membagi serangan.

Kong Ji yang merasa penasaran bukan main menggerung seperti singa. Pedangnya meluncur seperti kitat menyambar ke arah tenggorokan Tiang Bu. Ketika pemuda ini yang sedang menangkis serangan toya Hok Lun Hosiang dengan tendangan kaki cepat mengelak ke kiri, Kong Ji memapakinya dengan pukulan Hek tok ciangnya.

Keadaan Tiang Bu terjepit sekali. Pada saat pukulan Hek-tok-ciang ini mengancam lambungnya, masih ada dua serangan lawan yang tidak kalah berbahaya. Pertama-tama huncwe di tangan Cui Kong melakukan totokan ke arah jalan darah di punggun gnya, sedangk golok besar Ma It Sun membabat lehernya. Jadi sekaligus tiga macam serangan yang merupakan tangan-tangan maut mengancam nyawanya.

Baiknya Tiang Bu adalah murid Omni-san dan sudah memiliki kepandaian, ketenangan dan parhitungan yang tepat. Sekilas pandang tahulah ia bahwa dari tiga serangan ini pukulan Hek-tok-ciang dari Kong Ji ke arah lambungnya datang paling akhir, juga baginya yang sudah memiliki hawa sinkang untuk mengebalkan badan, pukulan Hek-tok-ciang ini paling kecil artinya. Huncwe yang menotok jalan darah di Thai-hut-hiat dan golok yang membabat leher lebih berbahaya.

Jalan darah Thai-hut-hiat adalah jalan darah paling lemah bagi ahli-ahli silat dan ahli lwee-keh, sedangkan penotokan dilakukan oleh Cui Kong dengan Huncwe mautnya, bahayanya besar sekali. Adapun babatan golok ke arah lehernya juga tak boleh dipandang ringan, sebelum golok tiba angin sudah menyambar, tanda bahwa si tinggi besar hitam Ma It Sun itu bertenaga besar dan goloknya sendiripun berat.

Tiang Bu membagi tenaga. Sebagian yang mengandung hawa murni dari sinkang ia salurkan ke arah lambung untuk menerima pukulan Hek-tok-ciang, sedangkan sebagian pula ia pergunakan di kedua tangannya yang bergerak cepat se kali.

Dengan Ilmu Twi-san-siu-po (Tolak Gunung Menyambut Mustika) ia menggunakan tangan kiri yang dimiringkan menolak atau menangkis tusukan huncwe berbareng dengan tangan kanannya secepat kilat menyambut datangnya go lok dari samping. Betapapun cepatnya golok melayang, tangaa kanan Tiang Bu lebih cepat lagi menempel golok dari tamping dan mendorongnya sekuat tenaga ke belakang.

“Celaka...!” seru Cui Kong melihat golok yang tadinya menyambar leher Tiang Bu sekarang menyeleweng dan sebaliknya malah menyambar kepadanya! Twa to Ma It Sun tentu saja maklum akan hal ini, namun ia tidak dapat mengendurkan tangannya yang sudah terdorong oleh tenaga Tiang Bu. Untuk membersihkan diri agar jangan sampai dianggap menyerang Cui Kong, Si golok besar terpaksa melepaskan gagang goloknya. Senjata itu terus meluncur ke arah Cui Kong. Pemuda ini dapat menggerakkan huncwenya menangkis. Terdengar suara keras, tangannya tergetar hebat, namun ia selamat, Golok dapat terpukul jatuh hanya mengalami kekagetan luar biasa. Sungguh berbahaya keadaan tadi.

Sebaliknya Ma It Sun lebih sialan. Begitu ia melepaskan goloknya, baru ia merasa ada angin panas menyambar. Ia berusaha mengelak namun tidak sempat lagi. Tadi ia terlampau kaget melihat goloknya hendak minum darah kawan sendiri maka perhatiannya tarpecah . Pantangan besar bagi ahli silat kelas tinggi untuk membagi perhatian selagi menghadapi lawan tangguh. Sedangkan pukulan yang dilakukan oleh Tiang Bu ini bukan pukulan biasa, melainkan pukulan tangan miring yang menganduog tenaga lweekang kuat sekali.

"Kekkk!" Seperti disambar petir Ma It Sun memegangi kepala dengan perut ditekuk. Perutnya telah kena pukulan,bnamun kepalanya yarg terasa panas seperti hendak meledak, napasnya putus. Ia terjungkal kedepan, tergelimpang dan roboh telungkup, tak bernapas lagi.

Enam oraug yang lain melihat ini menjadi marah, tetapi juga gentar. It ci-sian Kwa Lo yang masih merasa penasaran dan sakit hati karena telunjuknya patah-patah, diam-diam melakukan serangan gelap dari belakang, sekaligus kedua tangannya bekerja. Tangan kiri menotok ke arah tulang belakang sedangkan tangan kanan yang telunjuknya terbungkus itu menggunakan jari kelingking menotok jalan darah Siauw-hu hiat, jalan darah terkecil di punggung, akan tetapi paling berbahaya kalau sampai terkena.

Yang lain-lain membantu Kwa Lo. Si Malaikat Copet Lee Bok Wi juga mengerjakan besi kaitannya, dari depan. Ia dengan besi kaitannya ke arah muka Tiang Bu, hendak mengait biji mata atau hidung. Juga Ban-kin liong Cong Lung memukul dari samping dibantu oleh Hok Lun Hosiang yang menyodokkan toyanya ke arah perut lawan. Kong Ji dan Cui Kong tidak mau ketinggalan. Setelah Kong Ji menendang mayat Ma It Sun sehingga terlempar ke pinggir dan tidak akan terinjak-injak ia lalu mengerjakan lagi pedangnya, demikian pula Cui Kong maju, biarpun kini amat hati-hati karena tadi hampir celaka.

Sekarang Tiang Bu sudah tidak sabar lagi. Kalau tadi nafsu membunuhnya hanya ditujukan kepada Kong Ji dan Cui Kong. sekarang ia mulai marah kepada yang lain-lain pula. Pengeroyokan ini menghalangi atau setidaknya memperlambat terlaksananya keinginan hatinya menewaskan ayah anak yang jahat itu. Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik keras sekali.

Inilah lweekang yang setinggi-tingginya, disalurkan dalam suara yang menggetar. Biarpun Tiang Bu tidak pernah mempelajari Ilmu Sai-ciu Ho kang (Ilmu Auman Singa), namun sinkang dan lweekangnya sudah lebih dari kuat untuk melakukan pekik yang mengandung tenaga hebat ini. Kitab Sang thian-to yang sudah dipelajarinya telah mengumpulkan tenaga sinkang baginya, tenaga yang sehebat-hebatnya namun masih kurang ia sadari.

Kini Tiang Bu terserang kemarahan besar ia gemas melihat pengoroyokan mereka, maka untuk melampiaskan hawa marah yang mendesak di dada, ia mengeluarkin pekikan ini. Tadinya ia hanya ingin memuaskan hawa marah, ingin menantang. Siapa kira pekikannya ini merupakan serangan yang luar biasa hebatnya.

"Eeeiiiikkk...!” Pekik ini lebih menyerupai suara garuda dari pada suara singa mengaum. Yang paling rendah Iweekangnya antara para pengeroyok adalah Koai jiu in-touw Lee Bok Wi Si Malaikat Copet. Begitu mendengar pekik ini wajahnya menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil. senjata kaitan terlempar dan kedua tangannya ia pergunakan menutupi kedua telinganya. Namun tetap saja ia terguling roboh, muntah-muntah darah, kejang lalu... mati! Hawa serangan yang terkandung dalam pekik itu telah merusak dan menghancurkan seluruh latihan lweekang dalam dirinya.

Lima orang yang lain juga mengalami goncangan hebat sekali. Bahkan Hok Lun Hosiang hwesio Siauw-lin-si yang murtad itu, telah melempar toyanya dan duduk bersila mengatur napas, karena ia telah menderita luka dalam yang tidak ringan. It ci-sian Kwa Lo terhuyung-huyung mundur dengan wajah pucat seperti mayat, kedua kakinya menggigil. Cui Kong yang tadi merasa jantungnya seperti copot mendengar gerengan cepat mengerahkan tenaga lwee kang melindungi telinga dengan tangan.

”Iblis...!” Kong Ji berbisik dengan muka pucat pula. Hanya dia yang dapat menahan serangan pekik yang dahsyat ini, biarpun merasa dadanya berdebar-debar dan telinganya mendengar suara gema mengiang.

Akan tetapi Tiang Bu yang tadinya juga kejut melihat akibat pekikannya, tidak mau banyak membuang waktu. Kedua tangannva bergerak kekanan kiri dan pertama-tama. Hok Lun Hosiang tergelimpaag tewas, disusul robohnya Ban kin liong Cong Lung dan yang terakhir It-ci-sian Kwa Lo! Tewaslah lima orang jago Ui-tiok-lim, saudara-saudara angkat dan tangan kanan Liok Kong Ji. Tiang Bu bersiap menghadapi Kong Ji dan Cui Kong. Akan tetapi, sekali melompat orang itu telah lenyap dari situ!

"Jahanam pengecut Liok Kong Ji kau hendak lari ke mana?” Tiang Bu lari meagejar ke depan, akan tetapi ke mana ia harus mencari. Tempat di situ penuh rahasia dan perginya Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong tadi saja pun sudah aneh sekali. Tahu-tahu hilang begitu saja.

Tiang Bu ragu-ragu dan bingung, juga amat penasaran dan gemas. Biarpun ia sudah berhasil menewaskan lima orang kaki tangan Kong Ji yang paling diandalkan dan karena itu berarti sudah menewaskan lima orang jahat yang mengotorkan dunia, namun ia masih belum dapat membunuh Kong Ji.

”Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong! Majulah kalau kalian jantan!!” Kembali Tiang Bu memaki-maki dan berteriak–teriak memanggil keluar ayah dan anak itu. N amun keadaan sunyi saja, tidak terdapat seorangpun manusia. Biarpun tadinya di dalam gedung itu penuh dengan pelayan dan para selir Kong Ji, namun sekarang entah bagaimana mereka sudah pada menghilang semua.

"Percuma..." pikirnya. "Aku mencari-cari tak mungkin dapat menemukan mereka, salah-salah aku bisa terjebak. Lebih baik kutunggu mereka di bawah bukit.”

Setelah berpikir demikian. Tiang Bu lalu lari meninggalkan daerah Ui tiok lim, mengikuti jalan yang pernah dilaluinya ketika ia memondong Bi Li keluar. Akhirnya ia selamat sampai di bawah bukit. Di sini ia bersembunyi sambil mangaso untuk mencegat keluarnya Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong.

Sehari ia berjaga di situ, namun tak seorangpun muncul. Menjelang senja, barulah ia melihat rombongan orang turun gunung. Hatinya berdebar tegang, tak salah lagi, tentu itulah rombongan Liok Kong Ji, pikirnya. Diam-diam ia mentertawakan Liok Kong Ji yang dianggap goblok sekali, mengungsikan keluarganya demikian tergesa-gesa. Rombongan itu terdiri dari belasan joli yang dipikul oleh para pelayan, ada pula yang membawa buntalan-buntalan besar, agaknya membawa harta benda dari Ui-tiok-lim.

Tiang Bu melompat ke luar. "Berhenti!” bentaknya. "Liok Kong Ji, keluarlah untuk t erima binasa!"

Melihat munculnya pemuda ini, para pelayan menjadi kaget dan ketakutan. Mereka berkumpul, menutunkan joli lalu berlutut dengan tubuh gemetar.

"Siauw-ya, ampunkan kami..." yang berani membuka mulut berkata lemah.

"Di mana majikan kalian? Suruh Liok Kong Ji ke luar menemuiku!"

"Liok-loya tidak... tidak ada... kami tidak tahu... hanya disuruh pergi meninggalkan gunung..." jawab seorang pelayan.

“Bohong...!” Tiang Bu tidak sabar lagi. Dengan menggerakkan sedikit kaki kirinya, pelayan itu terguling-guling dan Tiang Bu maju me nghampiri joli-joli itu. Disingkapnya joli diperiksanya dalam joli. Terdengar pekik dan jerit wanita.

"Laki-laki kurang ajar!”

”Cih. tak tahu malu!"

"Kau mau apa...!”

”Hee.... ada pemuda kurang ajar. Jangan buka buka joli...!”

Tiang Bu kewalahan. Ternyata joli-joli terisi wanita-wanita muda cantik yang menjadi selir Kong Ji. Sudah diperiksa seluruh joli , juga diperiksa semua anggauta rombongan tidak terdapat Kong Ji maupun Cui Kong. Saking marahnya Tiang B lu membanting-banting kaki. Kemudian ia mendapat akal. Dihampirinya sebuah joli, disingkapnya joli itu tanpa memperdulikan jerit tangis orang di dalamnya. Bahkan ia lalu mengulurkan tangan ke dalam joli, menangkap lengan wanita di dalam joli, dan ditariknya ke luar. Seorang wanita muda yang cantik akan tetapi berbedak tebal sekali meronta-ronta dalam pegangannya.

"Hayo kau mengaku, di mana adanya Liok Kong Ji!” bentaknya marah. ”Kalau tidak mau mengaku, akan kulempar kau ke dalam jurang itu!” Ia menuding ke arah sebuah jurang yang curam.

“Aaiiihhh, ampun... taihiap... ampun. Sesungguhnya kami tidak tahu... ke mana dia...” wanita itu menangis dan meratap. ”Kami hanya diberi perintah supaya pergi mengungsi turun gunung, tidak diperbolehkan kembali lagi...”

Tiang Bu membentak-bentak dan menakut-nakuti sampai wanita itu terkencing-kencing ketakutan dan Tiang Bu dengan jengah dan mendongkol melepaskan tangannya. Dengan pakaian bawah basah wanita itu merayap kembali ke dalam joli. Tiang Bu menyeret keluar wanita dari joli ke dua. Akan tetapi sama saja. biarpun ia sudah mengancam, wanita itu tidak dapat menceritakan di mana adanya Liok Kong Ji.

Tiba-tiba mun cul seorang wanita berpakaian hijau muda, datang-datang membentak marah, "Begal tak tahu malu! Kau berani menghina kaum wanita?"

Tiang Bu memutar tubuh dan dua sinar berkilauan menyambarnya. Cepat ia mengelak dan mengulur tangan menangkap pergelangan dua tangan gadis baju hijau itu yang telah menyerangnya dengan sepasang kapak kecil secara hebat sekali.

"Fei Lan...!” katanya tertegun ketika mengenal gadis puteri penebang kayu yang pernah ditemuinya ketika ia melakukan perjalanan ke selalan mencari Toat-beng Kui-bo.

Gadis cantik berbaju hijau itu terkejut mendengar namanya dipanggil, juga ia tidak sanggup menarik kedua tangannya yang terpegang oleh pemuda itu. ia memandang, memperhatikan dan mengingat-ingat. Kemudian pecahlah senyumnya... seruannya.

"Tiang Bu koko...! Akhirnya aku dapat berjumpa denganmu!"

Tiang Bu melepaskan pegangannya dan gadis itu bertanya, keningnya berkerut penuh curiga dan penasaran. "Tiang Bu koko, hendak berbuat apakah terhadap wanita-wanita ini?”

Melihat sikap dan pandang mata gadis ini merah muka Tiang Bu. Celaka, ia tentu disangka hendak berbuat yang tidak patut terhadap rombongan itu. ”Fei Lan, jangan salah sangka. Rombongan ini adalah keluarga musuh besarku, aku sedang me maksa mereka mengaku di mana adanya musuh besarku yang menyembunyikan diri itu.”

"Begitukah?" Tiba-tiba sikap Fei Lin berubah cepat sekali. Ia menghampiri joli terdekat menendang joli itu sehingga wanita yang ada di dalamnnya menjerit dan terlempar jatuh bergulingan.

"Kau tidak mau mengaku? Hayo katakan di mana adanya musuh besar tunanganku ini!”

"A... am... ampun... aku tidak tahu...” wanita itu masih mencoba menjawab dan inilah kesalahannya. Sepasang kapak bergerak dan... tubuh wanita itu terpotong menjadi tiga! Putus pada leher dan pinggangnya.

"Fei Lan...!" Tiang Bu berteriak tidak kuasa mencegah pembunuhan yang sama sekali tak pernah disangka-dangka itu.

Fei Lan berpaling kepadanya, tersenyum semanis-manisnya. “Koko. musuhmu adalah musuhku, anjing-anjing betina ini harus di paksa, kalau perlu dibunuh!"

"Tidak, jangan!" tegur Tiang Bu sambil melompat mendekati Fai Lan untuk mencegah gadis ini menyebar kematian. Biarpun amat benci kepada Kong Ji dan Cui Kong, namun Tiang Bu tidak men ghendaki rombongan yang terdiri dari para selir dan pelayan ini dibunuh. Mereka ini adalah orang-orang biasa yang tidak mempunyai dosa, bahkan harus dikasihani berada di bawah kekuasaan seorang jahat macam Kong Ji.

"Kalian pergilah dari sini." katanya kepada mereka. Bagaikan dikejar setan, rombongan itu lalu berlari-lari turun dan cepat-cepat pergi dari tempat itu.

"Fei Lan, bagaimana kau bisa berada di sini?" tanya Tiang Bu setelah rombongan itu pergi sambil membawa mayat wanita yang sudah terpotong menjadi tiga itu.

"Tiang Bu koko, kau benar-benar lelaki yang tidak tahu kasihan kepada tunangan. Sudah dua tahun aku mencari-carimu, hidup terlunta-lunta. Baru sekarang kebetulan sekali kita bertemu dan kau masih tanya bagaimana aku bisa berada di sini? Kau benar-benar terlalu!" Fe li Lan menyelipkan sepasang kapaknya di pinggang, menutupi muka dengan kedua tangan, menangis.

Tiang Bu melongo. Untuk beberapa lama ia sampai tidak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Teringat ia akan peristiwa yang dahulu, ketika ia bertemu dengan Fai Lan dan ayahnya. Ayah gadis ini secara begitu menetapkan perjodohan antara dia dan gadis ini dan Fei Lan juga menerimanya. Tanpa bert anya tentang pendapatnya, ayah dan anah ini sudah menganggap otomatis perjodohan itu terikat. Benar-benar gila.

"Fai Lan, di mana ayahmu?” akhirnya dapat juga membuka suara.

Akan tetapi mendengar pertanyaan ini, Fei Lan memperhebat tangisnya. Tiang Bu menjadi makin bingung. ia paling bingung mengh adapi wanita menangis. Tak tahu apa yang harus dilakukan atau diucapkannya, i a banyak berdiri mematung memandaog gadis yang menangis tersedu-sedu itu.

“Fei Lan, jangan menangis dan bicaralah!” Akhirnya ia membentak saking tidak sabar lagi.

Aneh. Fei Lan tiba tiba saja berhenti menangis dan memandang kepadanya dengan heran dan mendongkol. "Koko, kau keterlaluan sekali. Bertahun-tahun tidak muncul, setelah kucarari sampai dua tahun lebih, sekarang bertemu kau membentak-bentak."

Kembali Tiang Bu yang melengak. Celaka, pikirnya, sudah bertahun-tahun gadis ini masih belum insyaf dan belum sembuh, bahkan penyakitnya ”mengaku-aku jodoh" makin menggila.

"Katakanlah mengapa kau datang ke sini dan mana ayahmu. Jangan bicara tidak karuan, aku tidak ada waktu, hendak mengejar musuh-musuhku”

"Ayah telah tewas. pembunuhnya kakek buntung. Koko, sekarang aku sebatang kara. Aku ingat janjimu. Bukankah kau menyuruh aku menanti lima tahun? Nah, sekarang sudah lima tahun, aku mau ikut kau!”

Akan tetapi Tiang Bu tidak memperhatikan kata-kata terakhir ini, yang ia perhatikan adalah tentang kakek buntung yang membunuh Lim-bong Lai Fu Fat si penebang kayu yang lihai.

"Kakek buntung lihai? Kau tahu namanya?”

”Namanya Lothian-tung Cun Gi Tosu, dia membawa seorang bocah perempuan dan...”

"Dia lari ke mana? Tahukah kau, Fei Lan, Dia lari ke mana?" Tiang Bu bertanya sambil memegang lengan gadis itu.

Fei Lan memandang heran. Ia tidak mengerti mengapa ”tunangannya" ini demikian memperhatikan Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. "Kakek buntung itu naik peruhu ke selatan. Karena aku tidak kuat melawannya akan tetapi aku mendendam atas kematian ayah, aku mengikutinya terus diam-diam. Ternyata terus ke laut, menuju ke pulan-pulau selatan. Aku tidak dapat mengejar te rus. Mengapa kau bertanya, koko?"

Tiang Bu memegang lengan gadis itu erat-erat dan suaranya mengandung kasihan sungguh-sungguh ketika ia berkata, "Fei Lan, aku tidak bisa menjadi jodohmu. Kau cantik, gagah, tentu mudah mendapat pasangan. Kau carilah pemuda lain, jangan mengharapkan aku. Jangan khawatir, kematian ayahmu kelak aku yang akan membalaskan kepada kakek buntung itu. Nah, selamat tinggal dan jangan mencari aku lagi!"

Fei Lan hendak merangkul, akan tetapi Tiang Bu lebih cepat. Sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari depannya. Fei Lan bengong terlongong-longong, lalu menangis dan berkata seorang diri,

"Mencari pemuda lain...? Mana ada seperti dia...? Ah, ayah... nasib anakmu buruk sekali..." Gadis itupun berjalan sambil menangis, pundaknya bergoyang-goyang dan jalannya limbung.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Wan Sin Hong menin ggalkan isterinya, Siok Li Hwa, di Kim-bun-to dan dia sendiri merantau untuk mencari puterinya yang diculik oleh tosu buntung Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, didalam peperangan hebat di kota raja ketika bala tentara Mongol menyerbu, Sin Hong berhasil menolong Bi Li dan Wan Sun dari kepungan tentara musuh.

Akan tetapi Bi Li melarikan diri ketika mendengar dia bukan putera Wanyen Ci Lun, dan Wan Sun diajak pergi ole h Sin Hong ke Kim bun-to pula. Di pulau ini, Wan Sun seringkali bertemu dengan Coa Lee Goat yang menjadi calon isterinya. Bersemilah cinta kasih di dalam hati dua orang muda ini, dan mereka memang merupakan pasangan cocok, sama muda, sama elok dan sama gagah.

Akan tetapi hati Wan Sun selalu berduka kalau ia teringat akan Bi Li. Diam-diam ia harus mengaku dalam hati bahwa cintanya yang pertama jatuh kepala Bi Li, semenjak ia tahu bahwa dara jelita itu bukanlah adik kandungnya. Akan tetapi, dia telah dicalonkan menjadi jodoh Lee Goat dan setelah ia bertemu dengan gadis tunangannya itu, timbul juga rasa suka.

Karena orang tua Wan Sun sudah meninggal dunia dan walinya yang paling berhak menjadi pengganti orang tuanya adalah Wan Sin Hong. maka sesuai dengan kehendak pendekar ini, taklama sesudah tinggal di Kim-bun-to, dilangsungkanlah pernikahan antara Wan Sun dan Coa Lee Goat. Pernikahan ini dilangsungkan dengan meriah dan agak tergesa-gesa karena Wan Sin Hong hendak segera pergi melakukan perantauannya mencari anaknya yang hilang.

Beberapa bulan setelah menikah. Wan Sun juga mengajak isterinya pergi untuk menyelidiki perihal Bi Li yang sekarang setelah menikah, kembali timbul perasaan cinta saudara terhadap gadis itu. Tentu saja Coa Lee Goat tidak keberatan. bahkan merasa gembira pergi merantau mencari adik iparnya. Anak-anak orang gagah selalu merasa gembira apabila melakukan perantauan, karena hanya dalam perantauan inil ah kepandaian silat yang dipelajari semenjak kecil, kelihatan kegunaannya. Perjalanan sepasang suami isteri ini tidak menemui banyak rintangan.

Siapakah yang berani mati mengganggu mereka? Kepandaian Lee Goat dalam ilmu silat sudah termasuk tin gkat tinggi, dia adalah puteri dari Go Hui Lian terutama sekali dia murid Wan Sin Hong! Selain dia, suaminya, Wan Sun juga bukan seorang biasa saja. Wan Sun adalah murid Ang jiu Mo-li, tokoh utara yang disegani kawan ditakuti lawan itu. Dibandingkan den gan isterinya, Wan Sun tidak kalah lihai.

Kasihan bagi sepasang suami isteri yang meninggalkan Kim-bun-to ini, juga bagi Wan Sin Hong, mereka ini tidak mengetahui bahwa beberapa bulan semenjak mereka pergi meninggalkan Kim-bun-to, peristiwa besar terjadi di pulau itu. Yang kini tinggal di rumah besar Coa Hong Kin adalah dia sendiri bersama isterinya Go Hui Lian, kemudian Siok Li Hwa yang merasa agak kecewa tidak diajak pergi bersama oleh suaminya. Win Sin Hong memberi alasan bahwa perjalanan kali ini sungguh amat berbahaya. Penculik puteri mereka adalah Lothi an tung Cun Gi Tosu seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian tinggi sekali.

Wan Sin Hong merasa lebih aman meninggalkan Li Hwa di Kim-bun-to. Memang pendapat Sin Hong ini ttdak keliru. Dalam menghadapi Cun Gu Tosu, dia lebih leluasa bergerak seorang diri, tak usah melindungi isterinya. Dan isterinya tinggal di Kim bun-to bersama Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, tempat aman dan di antara sahabat-sahabat baik yang gagah perkasa pula.

Disamping tiga orang pendekar ini, di rumah itu masih ada lagi dua orang penjaga rumah yang mempunyai kepandaian lumayan karena mereka sudah mendapat petunjuk dari Coa Hong Kin. Hong Kin yang maklum bahwa banyak sekali musuh dan orang jahat selalu berlaku hati-hati dan menaruh penjaga- penjaga malam yang mempunyai kepandaian, sehingga dia sekeluarga di waktu malam tak melakukan penjagaan sendiri dan dapat tidur tanpa terganggu.

Pada suatu hari, ketika Hong Kin, Hui Lian dan Li Hwa sedang duduk bercakap-cakap di ruang depan, penjaga memberi tahu bahwa Hwa Thian Hwesio dari Kwan-te-bio datang ingin bertemu, bersama seorang laki-laki setengah tua. Girang hati tiga orang ini cepat mereka, menyambut. Hwa Thian adalah kenalan lama. Hwesio ini adalah tukang dapur atau tukang masak dari Kuil Kwan-te-bio yang sudah berusia lima puluh tahun, berkepala gundul pelontos bertubuh gemuk, lucu dan ilmu silatnya tinggi. Dahulu hwesio ini banyak membantu Pangeran Wanyen Ci Lun dan karenanya dia adalah sahabat karib Coa Hong Kin yang dahulupun merupakan tangan kanan Wanyen Ci Lun.

Dengan mulut tersenyum-senyum hwesio gemuk itu memasuki ruangan, di sampingnya berjalan seorang laki-laki setengah tua berkumis pan jang yang sikapnya keren dan di punggung terselip sebatang pedang. Sungguh berbeda sekali sikap dua orang ini. Hwesio itu mulutnya melengeh (tersenyum lebar) terus sedang kawannya keren dan mendekati cemberut.

"Hwa Thian suhu, angin apakah yang membawamu ke sini? Kau makin gemuk dan makin muda saja! ” sambut Coa Hong Kin yang memang sudah biasa berkelakar dengan hwesio ini.

Hwesio itu tertawa terbahak. "Kalau angin tentu angin Nirwana yang meniup pinceng ke sini. Pinceng makin gemuk dan muda karena apakah yang harus disusahkan? Hidup di dunia bukan untuk berduka, melainkan untuk menghilangkan sengsara. Ha-ha-ha, tepat sekali ujar-ujar kuno bahwa bertemu dengan sahabat kental yang terpisah jauh benar-benar merupakan yang menggembirakan. Coa-sicu, melihat kau dan jiwi hujin ini, pinceng merasa seperti memasuki sarang harimau dan naga!"

Hui Lian dan Li Hwa memberi hormat dan Hui Lian yang masih memiliki wataknya yang lincah gambira, berkata, "Hwa Thian suhu bergurau saja. Kalau hendak bicara tentang naga, kau adalah Kiang Liong (Naga Tangguh) sedangkan kami hanyalah Tee-couw-coa (Ular Biasa) saja."

Hwa Thian Hwosio tertawa bergelak sambil memegangi perutnya yang gendut, tongkatnya digoyang- goyangkan, sampai keluar air matanya ia tertawa. “Ha-ha-ha-ha. Coa-hujin benar-benar pandai merendahkan diri. Mana gundul seperti pinceng patut disebut Kiang Liong! Kak Ouw-sicu ini kiranya masih pantas." Berkata demikian, hwesio itu menunjuk kepada kawannya Kemudian disambungnya. "Inilah Ouw sicu yang bernama Ouw Beng Sin, berjuluk Huangho kiam sian (Dewa Pedang dari Huangho)

Ouw Beng Sin cepat cepat menjura kepada Hong Kip bertiga sambil berkata, "Hwa Thian Losuhu terlalu memuji, aku orang she Ouw hanya bisa main sejurus dua jurus. Kawan-kawan yang terlalu mengambil hati memberi julukan Kiam sian, apa boleh buat, sesungguhnya tidak berani di depan samwi-enghiong aku menggunakan nama julukan itu.”

Sikap orang ini setengah merendah setengah mengagulkan diri. Dunia persilatan, jarang ada orang yang menggunakan nama juluka Kiam-sian (Dewa Pedang) atau Kiam-ong (Raja Pedang) kalau dia tidak memiliki kepandaian bahwa ilmu pedangnya tidak ada yang melawan di dunia ini. Orang ini berani memakai julukan seperti itu, tentu mempunyai kepandaian berarti.

Di samping dugaan ini, juga timbul perasaan tidak puas dan penasaran, apa lagi bagi Siok Li Hwa yang memang wataknya agak keras dan tidak suka mengalah. Nyonya ini menganggap bahwa di dunia ini tak ada yang melebihi suaminya. Wan Sin Hoog, dalam permainan pedang. Masa orang macam ini saja berani memakai gelar Dewa Pedang? Akan tetapi sebagai seorang wanita, pula sebagai fihak tuan rumah, ia diam saja hanya mata yang bening itu menyambar laksana kilat.

Kebetulan sekali Ouw Beng Sin juga sedang melirik ke arahnya. Orang berkumis yang mengaku Dewa Pedang ini terkejut melihat sinar mata ini dan ia mulai percaya akan kata-kata Hwa Thian Hwesio bahwa ia telah memasuki gua harimau dan naga.

Setelah semua dipersilakan duduk dan arak telah dikeluarkan biarpun menjadi hwesio, Hwa Thian Hwesio tidak pantang arak Hwa Thian Hwesia mulai menceritakan maksud kedatangannya.

"Selain hendak menengok Coa-sicu dan juga Wan sicu yang sayang sekali tidak berada di rumah. pinceng juga memenuhi permintaan yang amat sangat dari Ouw sicu ini. Dia ini adalah kenalan lama, seorang gagah yang malang melintang di Sungai Huangho dan seperti juga kita semua, dia amat suka akan ilmu silat, terutama ilmu pedang dan suka pula meluaskan pengalaman dan persahabatan. Sudah lama Ouw-sicu mendengar nama besar Wan-taihiap, dan tahu pula bahwa Kim-bun-to adalah sarang ahli-ahli ilmu pedang. Sudah bertahun -tahun Ouw-sicu rindu untuk mencoba ilmu pedangnya di Kim-bun-to, akan tetapi belum juga dilaksanakan dan sekarang...”

Hwa Thian Hwesio berhenti dan nampaknya sukar untuk melanjutkan kata-katanya ketika sinar matanya bertemu dengan pandang mata Li Hwa yang tajam menusuk. "Harap Ouw-sicu suka melanjutkan menyampaikan sendiri maksud hatinya," katanya kemudian dengan tertawa tawa untul menghilangkan kebingungannya.

Orang she Ouw itu bangkit berdiri dari kursinya, menjura kepada tga orang yang menjadi tuan rumah, lalu batuk-batuk tiga kali untuk membersihkan kerongkongannya baru ia berkata, "Apa yang diucapkan oleh Hwa Thian Hwesio yang terhormat tadi memang betul sekali,” ia mulai berkata dan diam-diam Hong Kin harus mengaku bahwa tamunya ini pandai mengatur kata-kata, seorang ahli pidato agaknya.

"Telah bertahun-tahun siauwte rindu sekali akan kesempatan berkunjung ke Kim-bun-to dan menerima sedikit petunjuk dalam hal ilmu pedang, Sampai bermimpi-mimpi oleh siauwte pertemuan dengan Wan Sin Hong Tai-kiam-hiap (Pendekar Pedang Besar) dan mendapat petunjuk ilmu pedang barang dua puluh jurus sebelum siauwte mengakui keunggulannya. Selain Wan-taihiap, kiranya di dunia ini tidak ada lagi yang dapat memberi petunjuk kepada siauwte. Sekarang berkat kemurahan hati Hwa Thian Losuhu yang terhormat, siauwte mendapat kurnia dan kehormatan menginjakan kaki di Kim-bun-to, akan tetapi sayang seribu kali sayang. Wan-taihiap tidak berada di sini. Ah, memang nasib siauwte yang sial, dahulu siauwte mana berani lancang datang ke sini!? Sekarang ada perantaran. kiranya tidak berjumpa dengan orangnya...!”

Hong Kin hanya saling pandang dengan isterinya, akan tetapi Li Hwa mendongkol bukan main. Besar kepala benar orang ini, pikirnya. Di dalam pidatonya tadi jelas ia menonjolkan kesombongannya sungguhpun diatur dengan rangkaian kata yang berliku-liku. Dengan sombong orang she Ouw ini membayangkan bahwa sebelum kalah oleh Wan Sin Hong, sedikitnya ia sanggup melawan sampai dua puluh jurus, dan lebih-lebih lagi sombongnya dengan kata-kata bahwa di dunia ini selain Wan Sin Hong tidak ada yang dapat memberi petunjuk atau dengan lain kata-kata, selain Wan Sin Hong tidak ada orang mampu menandingi ilmu pedangnya!

Dengan mata berapi Li Hwa juga bangkit berdiri, lalu berkata dengan suara nyaring "Sungguh tidak baik mengecewakan tamu yang sudah payah datang dari tempat jauh. Menilik dari ucapan saudara Ouw, tentu memiliki kiam-hoat (ilmu pedang) jempolan, apa lagi julukannya Dewa Pedang. Mana suamiku mampu menandingi? Biarpun suamiku sedang pergi dan tidak dapat melayani kehendak tamu, namun aku isterinya dengan ilmu pedang pasaran sanggup mewakili suami sebagai tanda setia. Silakan!” Setelah berkata demikian tangan kanannya bergerak dan...

"Srattt...!” pedang Cheng-liong-kiam tercabut, mengeluarkan cahaya hijau menyilaukan mata.

Boleh jadi 0uw Bong Sin agak sombong akan tetapi ia seorang jujur. Kalau tidak miliki sifat baik di samping kosombongannya mana orang seperti Hwa Thian Hwesio mau menjadi sahabatnya? Melihat sikap Li Hwa dan mendengar bahwa nyonya ini isteri Wan Sin Hong, ia cepat-cepat menjura dan berkata,

"Ah, kiranya hujin ini Wan-toanio? Maaf seribu kali maaf, siauwte bermata tak dapat mengenal! Harap toanio jangan salah duga dan tidak manjadi marah, maafkanlah kala siauwte tadi berlancang mulut. Sesungguhnya dari lubuk hati siauwte tidak ada maksud buruk, siauwte ingin sekali menerima petunjuk dari Wan-taihiap. Mana siauwte berani kurang ajar terhadap toanio? Maaf, maaf!" Ia menjura berulang-ulang sehingga kemarahan Li Hwa lenyap sebagian besar.

Akan tetapi pedang sudah dicabut, amat tidak enak kalau harus disimpan kembali sebelum dimainkan. “Saudara” Ouw, Kim-bun-to memang tempat orang-orang yang suka akan ilmu silat. Setelah tiba di sini dan sengaja hendak main-main ilmu pedang, apa sih susahnya memberi petunjuk kepada kami? Hitung-hitung memberi pelajaran kepada kami yang masih bodoh...”

"Ah, mana berani... mana berani...!”

"Kalau begitu, biarlah. Hitung-hitung kita saling menukar dan menambah ilmu, bagaimana?" kata pula Li Hwa.

"Bagus sekali!" Hwa Thian Hwesio bertepuk tangan gembira "Usul Wan-hujin ini memang tepat. Di antara golongan sendiri, di antara ahli-ahli silat, mengapa banyak sungkan-sungkan? Ouw-sicu bertanding pedang dengan Wan-hujin hampir sama dengan berhadapan dengan Wan-taihiap sendiri. Mari beri kesempatan kepada piceng untuk melihat keindahan sinar pedang."

Dengan kata katanya yang mengandung kegembiraan ini Hwa Thian Hwesio sudah mengubah keadaan, dari panas menjadi dingin dan memancing suasana baik sehingga kalau toh terjadi pibu (mengadu kepandaian) akan dilakukan dengan maksud baik, tidak disertai hati meradang dan kepala panas.

"Baiklah, kalau berdasarkan menukar dan menambah ilmu tentu saja siauwte tidak keberatan. Maafkan kelancangan siauwte!” sambil berkata demikian, ia menjura kepada semua orang dengan tubuh membungkuk, ketika tubuhnya tegak kembali, kelihatan sinar merah dan sebatang pedang yang kemerah-merahan telah tercabut, melintang di depan dadanya...

Tangan Gledek Jilid 38

Tangan Gledek Jilid 38

Merasa betapa pedangnya terdorong kesamping oleh kibasan tangan ini, Kong Ji diam-diam terkejut sekali, apa lagi pemuda itu sekali melihat sudah mengenal ilmu pedangnya. Memang dahulu ketika beramai-ramai menyerbu ke Omei-san, Liok Kong Ji sudah berhasil mendapatkan sebuah kitab ilmu pedang yaitu Swat-lian-kiam-coansi yang dilatihnya secara rahasia dengan amat tekunnya. Orang lain tidak ada yang tahu bahwa ia mendapatkan kitab itu dan mempelajarinya, akan tetapi sekarang baru sejurus saja ia keluarkan, pemuda ini sudah lantas mengenalnya.

"Ha ha, kau kira hanya kau saja yang pandai? Hari ini kau akan mampus di depan kakiku, boeah jahanam tak tahu diri!” bentaknya untuk menutupi kekagetannya.

Kembali ia menyerang dengan ilmu pedangnya yang tinggi tingkatnya digerakkan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena nafsu membunuh sudah memenuhi dirinya. Terpaksa Tiang Bu mengelak. Serangan-serangan “ayahnya” kali ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dan benar-benar bukan serangan yang tidak berbahaya. Ia harus hati-hati. Agaknya Liok Kong Ji kali ini mengeluarkan kepandaiannya betul-betul untuk menghadapinya.

"Kau memamerkan kepandaianmu? Bagus. Akulah lawanmu." kata Tiang Bu dengan gerakan indah melakukan jurus Sam hoan-bu sehingga kembali serangan Kong Ji mengenai tempat kosong.

”Bunuh keparat ini!” Teriak Cui Kong yang cepat menyerbu membantu ayah angkatn ya, menyerang dengan huncwenya yang juga amat lihai.

Biarpun tadinya merasa gentar, kini melihat sang twako Liok Kong Ji sudah bergerak dan agaknya betul-betul hendak membunuh pemuda itu, lima orang saudara angkat Kong Ji menjadi besar hati dan berturut-turut mereka melompat maju, menyerang dengan keistimewaan masing-masing. Ban-kin-liong Cong Lung menyerang dengan tangan kosong, namun pukulan-pukulannya mendatangkan angin yang sudah cukup untuk merobohkan lawan karena dia memang seorang ahli lweekeh yang tanggub tenaga lweekangnya.

Twa-to Ma it Sun memutar-mutar golok besarnya. It-ci-san Kwa Lo biarpun jari telunjuknya kini dibungkus dan tak dapat dipergunakan, namun jari-jari tangannya yang lain masih ampuh. Si jari lihai Kwa Lo ini adalah ahli totok nomor satu di daerahnya, memiliki ke pandaian Tiam-hiat -hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) yang istimewa dilakukan dengan satu jari dan betapa tingi ke pandaian Kwa Lo dapat dilihat dari kepandaiannya mempergunakan jari tangan yang manapun juga.

Bahkan ibu jari yang besar tumpul dapat pula ia pergunakan! Koai-jiu Sin-touw Lee Bok Wi Si Malaikat Copet juga merangsek maju, kini mengeluarkan senjatanya yang istimewa berupa besi kaitan kecil alat yang biasa dibawa oleh ahli-ahli copet untuk menyambar barang orang. Akan tetapi kini kaitan besi ini bukan dipergunakan untuk menyambar benda berharga yang dipakai orang, melainkan dikerjakan secara hebat untuk menyambar nyawa Tiang Bu. Akhirnya Hok Lun Hosisng, orang yang memiliki Ilmu toya Siauw li m-si, lihai dan amat hati-hati toyanya menyambar-nyambar mengeluarkan angin.

Untuk kedua kalinya Tiang Bu menghadapi pengeroyokan tujuh orang yang amat lihai, yang kesemuanya merupakan jago-jago kelas satu. Akan tetapi sekarang ia seorang diri, tidak melindungi Bi Li, juga tidak memondong orang seperti kemarin. Di samping ini, hatinya marah dan sakit hati, maka Tiang Bu hebat sekali gerakannya, seperti seekor naga mengamuk.

Dengan pengerahan sinkang yang ia miliki dari latihan Ilmu Seng thian-to, jari jari tangannya demikian kuat dan kebal untuk mengibas dan menangkis setiap sambaran senjata lawan. Cukup dengan angin pukulannya saja dapat menahan dan setiap orang lawan ti dak berani datang terlampau dekat, karena sambaran angin pukulannya cukup membuat lawan menderita luka dalam yang hebat, tidak kalah berbahayanya dari pada senjata yang paling tajam.

Namun tujuh orang lawannya juga bukan ahli silat sembarangan, mereka bertempur dengan hati-hati, maklum akan kelihatan pemuda sakti itu. Senjata datang menerjang seperti hujan, semua dilakukan dengan teratur dan hati-hati. Terutama sekali pedang di tangan Liok Kong Ji benar benar hebat gerakannya. Kalau saja pemuda itu bukan murid Ome i-san dan kebetulan sekali pernah melihat Ilmu Pedang Soat hoat-kiam-sut dimainkan oleh guru ke dua Hong Jin Hwesio di Omei-san, tentu ia akan payah melawan Ilmu pedang yang mendatangkan hawa dingin ini.

Pertempuran itu hebat sekali, cepat dan seru sampai-sampai sukar membedakan satu dari yang lain. Di sekeliling tempat pertempuran, angin pukulan menyambar-nyambar membuat meja kursi beterbangan dan suara angin bersiutan sungguhpun di luar gedung pada saat itu tidak ada angin. Benar-benar sebuah pertempuran ahli-ahli silat tingkat tinggi.

Seratus jurus lewat sudah. Belum dapat tujuh orang itu mendesak Tiang Bu, bahkan sebaliknya perlahan akan tetapi tentu Tiang Bu mulai dapat mengacau pertahanan mereka. Dengan pukulan pukulan yang ia mainkan dari Ilmu Pukulan Sakti Thian-te Si-kong ia menolak semua serangan lawan, kemudian dengan ilmu silat bersegi delapan, ia dengan mudah menghadapi tujuh orang pengeroyoknya dan dapat secara bergiliran membagi serangan.

Kong Ji yang merasa penasaran bukan main menggerung seperti singa. Pedangnya meluncur seperti kitat menyambar ke arah tenggorokan Tiang Bu. Ketika pemuda ini yang sedang menangkis serangan toya Hok Lun Hosiang dengan tendangan kaki cepat mengelak ke kiri, Kong Ji memapakinya dengan pukulan Hek tok ciangnya.

Keadaan Tiang Bu terjepit sekali. Pada saat pukulan Hek-tok-ciang ini mengancam lambungnya, masih ada dua serangan lawan yang tidak kalah berbahaya. Pertama-tama huncwe di tangan Cui Kong melakukan totokan ke arah jalan darah di punggun gnya, sedangk golok besar Ma It Sun membabat lehernya. Jadi sekaligus tiga macam serangan yang merupakan tangan-tangan maut mengancam nyawanya.

Baiknya Tiang Bu adalah murid Omni-san dan sudah memiliki kepandaian, ketenangan dan parhitungan yang tepat. Sekilas pandang tahulah ia bahwa dari tiga serangan ini pukulan Hek-tok-ciang dari Kong Ji ke arah lambungnya datang paling akhir, juga baginya yang sudah memiliki hawa sinkang untuk mengebalkan badan, pukulan Hek-tok-ciang ini paling kecil artinya. Huncwe yang menotok jalan darah di Thai-hut-hiat dan golok yang membabat leher lebih berbahaya.

Jalan darah Thai-hut-hiat adalah jalan darah paling lemah bagi ahli-ahli silat dan ahli lwee-keh, sedangkan penotokan dilakukan oleh Cui Kong dengan Huncwe mautnya, bahayanya besar sekali. Adapun babatan golok ke arah lehernya juga tak boleh dipandang ringan, sebelum golok tiba angin sudah menyambar, tanda bahwa si tinggi besar hitam Ma It Sun itu bertenaga besar dan goloknya sendiripun berat.

Tiang Bu membagi tenaga. Sebagian yang mengandung hawa murni dari sinkang ia salurkan ke arah lambung untuk menerima pukulan Hek-tok-ciang, sedangkan sebagian pula ia pergunakan di kedua tangannya yang bergerak cepat se kali.

Dengan Ilmu Twi-san-siu-po (Tolak Gunung Menyambut Mustika) ia menggunakan tangan kiri yang dimiringkan menolak atau menangkis tusukan huncwe berbareng dengan tangan kanannya secepat kilat menyambut datangnya go lok dari samping. Betapapun cepatnya golok melayang, tangaa kanan Tiang Bu lebih cepat lagi menempel golok dari tamping dan mendorongnya sekuat tenaga ke belakang.

“Celaka...!” seru Cui Kong melihat golok yang tadinya menyambar leher Tiang Bu sekarang menyeleweng dan sebaliknya malah menyambar kepadanya! Twa to Ma It Sun tentu saja maklum akan hal ini, namun ia tidak dapat mengendurkan tangannya yang sudah terdorong oleh tenaga Tiang Bu. Untuk membersihkan diri agar jangan sampai dianggap menyerang Cui Kong, Si golok besar terpaksa melepaskan gagang goloknya. Senjata itu terus meluncur ke arah Cui Kong. Pemuda ini dapat menggerakkan huncwenya menangkis. Terdengar suara keras, tangannya tergetar hebat, namun ia selamat, Golok dapat terpukul jatuh hanya mengalami kekagetan luar biasa. Sungguh berbahaya keadaan tadi.

Sebaliknya Ma It Sun lebih sialan. Begitu ia melepaskan goloknya, baru ia merasa ada angin panas menyambar. Ia berusaha mengelak namun tidak sempat lagi. Tadi ia terlampau kaget melihat goloknya hendak minum darah kawan sendiri maka perhatiannya tarpecah . Pantangan besar bagi ahli silat kelas tinggi untuk membagi perhatian selagi menghadapi lawan tangguh. Sedangkan pukulan yang dilakukan oleh Tiang Bu ini bukan pukulan biasa, melainkan pukulan tangan miring yang menganduog tenaga lweekang kuat sekali.

"Kekkk!" Seperti disambar petir Ma It Sun memegangi kepala dengan perut ditekuk. Perutnya telah kena pukulan,bnamun kepalanya yarg terasa panas seperti hendak meledak, napasnya putus. Ia terjungkal kedepan, tergelimpang dan roboh telungkup, tak bernapas lagi.

Enam oraug yang lain melihat ini menjadi marah, tetapi juga gentar. It ci-sian Kwa Lo yang masih merasa penasaran dan sakit hati karena telunjuknya patah-patah, diam-diam melakukan serangan gelap dari belakang, sekaligus kedua tangannya bekerja. Tangan kiri menotok ke arah tulang belakang sedangkan tangan kanan yang telunjuknya terbungkus itu menggunakan jari kelingking menotok jalan darah Siauw-hu hiat, jalan darah terkecil di punggung, akan tetapi paling berbahaya kalau sampai terkena.

Yang lain-lain membantu Kwa Lo. Si Malaikat Copet Lee Bok Wi juga mengerjakan besi kaitannya, dari depan. Ia dengan besi kaitannya ke arah muka Tiang Bu, hendak mengait biji mata atau hidung. Juga Ban-kin liong Cong Lung memukul dari samping dibantu oleh Hok Lun Hosiang yang menyodokkan toyanya ke arah perut lawan. Kong Ji dan Cui Kong tidak mau ketinggalan. Setelah Kong Ji menendang mayat Ma It Sun sehingga terlempar ke pinggir dan tidak akan terinjak-injak ia lalu mengerjakan lagi pedangnya, demikian pula Cui Kong maju, biarpun kini amat hati-hati karena tadi hampir celaka.

Sekarang Tiang Bu sudah tidak sabar lagi. Kalau tadi nafsu membunuhnya hanya ditujukan kepada Kong Ji dan Cui Kong. sekarang ia mulai marah kepada yang lain-lain pula. Pengeroyokan ini menghalangi atau setidaknya memperlambat terlaksananya keinginan hatinya menewaskan ayah anak yang jahat itu. Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik keras sekali.

Inilah lweekang yang setinggi-tingginya, disalurkan dalam suara yang menggetar. Biarpun Tiang Bu tidak pernah mempelajari Ilmu Sai-ciu Ho kang (Ilmu Auman Singa), namun sinkang dan lweekangnya sudah lebih dari kuat untuk melakukan pekik yang mengandung tenaga hebat ini. Kitab Sang thian-to yang sudah dipelajarinya telah mengumpulkan tenaga sinkang baginya, tenaga yang sehebat-hebatnya namun masih kurang ia sadari.

Kini Tiang Bu terserang kemarahan besar ia gemas melihat pengoroyokan mereka, maka untuk melampiaskan hawa marah yang mendesak di dada, ia mengeluarkin pekikan ini. Tadinya ia hanya ingin memuaskan hawa marah, ingin menantang. Siapa kira pekikannya ini merupakan serangan yang luar biasa hebatnya.

"Eeeiiiikkk...!” Pekik ini lebih menyerupai suara garuda dari pada suara singa mengaum. Yang paling rendah Iweekangnya antara para pengeroyok adalah Koai jiu in-touw Lee Bok Wi Si Malaikat Copet. Begitu mendengar pekik ini wajahnya menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil. senjata kaitan terlempar dan kedua tangannya ia pergunakan menutupi kedua telinganya. Namun tetap saja ia terguling roboh, muntah-muntah darah, kejang lalu... mati! Hawa serangan yang terkandung dalam pekik itu telah merusak dan menghancurkan seluruh latihan lweekang dalam dirinya.

Lima orang yang lain juga mengalami goncangan hebat sekali. Bahkan Hok Lun Hosiang hwesio Siauw-lin-si yang murtad itu, telah melempar toyanya dan duduk bersila mengatur napas, karena ia telah menderita luka dalam yang tidak ringan. It ci-sian Kwa Lo terhuyung-huyung mundur dengan wajah pucat seperti mayat, kedua kakinya menggigil. Cui Kong yang tadi merasa jantungnya seperti copot mendengar gerengan cepat mengerahkan tenaga lwee kang melindungi telinga dengan tangan.

”Iblis...!” Kong Ji berbisik dengan muka pucat pula. Hanya dia yang dapat menahan serangan pekik yang dahsyat ini, biarpun merasa dadanya berdebar-debar dan telinganya mendengar suara gema mengiang.

Akan tetapi Tiang Bu yang tadinya juga kejut melihat akibat pekikannya, tidak mau banyak membuang waktu. Kedua tangannva bergerak kekanan kiri dan pertama-tama. Hok Lun Hosiang tergelimpaag tewas, disusul robohnya Ban kin liong Cong Lung dan yang terakhir It-ci-sian Kwa Lo! Tewaslah lima orang jago Ui-tiok-lim, saudara-saudara angkat dan tangan kanan Liok Kong Ji. Tiang Bu bersiap menghadapi Kong Ji dan Cui Kong. Akan tetapi, sekali melompat orang itu telah lenyap dari situ!

"Jahanam pengecut Liok Kong Ji kau hendak lari ke mana?” Tiang Bu lari meagejar ke depan, akan tetapi ke mana ia harus mencari. Tempat di situ penuh rahasia dan perginya Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong tadi saja pun sudah aneh sekali. Tahu-tahu hilang begitu saja.

Tiang Bu ragu-ragu dan bingung, juga amat penasaran dan gemas. Biarpun ia sudah berhasil menewaskan lima orang kaki tangan Kong Ji yang paling diandalkan dan karena itu berarti sudah menewaskan lima orang jahat yang mengotorkan dunia, namun ia masih belum dapat membunuh Kong Ji.

”Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong! Majulah kalau kalian jantan!!” Kembali Tiang Bu memaki-maki dan berteriak–teriak memanggil keluar ayah dan anak itu. N amun keadaan sunyi saja, tidak terdapat seorangpun manusia. Biarpun tadinya di dalam gedung itu penuh dengan pelayan dan para selir Kong Ji, namun sekarang entah bagaimana mereka sudah pada menghilang semua.

"Percuma..." pikirnya. "Aku mencari-cari tak mungkin dapat menemukan mereka, salah-salah aku bisa terjebak. Lebih baik kutunggu mereka di bawah bukit.”

Setelah berpikir demikian. Tiang Bu lalu lari meninggalkan daerah Ui tiok lim, mengikuti jalan yang pernah dilaluinya ketika ia memondong Bi Li keluar. Akhirnya ia selamat sampai di bawah bukit. Di sini ia bersembunyi sambil mangaso untuk mencegat keluarnya Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong.

Sehari ia berjaga di situ, namun tak seorangpun muncul. Menjelang senja, barulah ia melihat rombongan orang turun gunung. Hatinya berdebar tegang, tak salah lagi, tentu itulah rombongan Liok Kong Ji, pikirnya. Diam-diam ia mentertawakan Liok Kong Ji yang dianggap goblok sekali, mengungsikan keluarganya demikian tergesa-gesa. Rombongan itu terdiri dari belasan joli yang dipikul oleh para pelayan, ada pula yang membawa buntalan-buntalan besar, agaknya membawa harta benda dari Ui-tiok-lim.

Tiang Bu melompat ke luar. "Berhenti!” bentaknya. "Liok Kong Ji, keluarlah untuk t erima binasa!"

Melihat munculnya pemuda ini, para pelayan menjadi kaget dan ketakutan. Mereka berkumpul, menutunkan joli lalu berlutut dengan tubuh gemetar.

"Siauw-ya, ampunkan kami..." yang berani membuka mulut berkata lemah.

"Di mana majikan kalian? Suruh Liok Kong Ji ke luar menemuiku!"

"Liok-loya tidak... tidak ada... kami tidak tahu... hanya disuruh pergi meninggalkan gunung..." jawab seorang pelayan.

“Bohong...!” Tiang Bu tidak sabar lagi. Dengan menggerakkan sedikit kaki kirinya, pelayan itu terguling-guling dan Tiang Bu maju me nghampiri joli-joli itu. Disingkapnya joli diperiksanya dalam joli. Terdengar pekik dan jerit wanita.

"Laki-laki kurang ajar!”

”Cih. tak tahu malu!"

"Kau mau apa...!”

”Hee.... ada pemuda kurang ajar. Jangan buka buka joli...!”

Tiang Bu kewalahan. Ternyata joli-joli terisi wanita-wanita muda cantik yang menjadi selir Kong Ji. Sudah diperiksa seluruh joli , juga diperiksa semua anggauta rombongan tidak terdapat Kong Ji maupun Cui Kong. Saking marahnya Tiang B lu membanting-banting kaki. Kemudian ia mendapat akal. Dihampirinya sebuah joli, disingkapnya joli itu tanpa memperdulikan jerit tangis orang di dalamnya. Bahkan ia lalu mengulurkan tangan ke dalam joli, menangkap lengan wanita di dalam joli, dan ditariknya ke luar. Seorang wanita muda yang cantik akan tetapi berbedak tebal sekali meronta-ronta dalam pegangannya.

"Hayo kau mengaku, di mana adanya Liok Kong Ji!” bentaknya marah. ”Kalau tidak mau mengaku, akan kulempar kau ke dalam jurang itu!” Ia menuding ke arah sebuah jurang yang curam.

“Aaiiihhh, ampun... taihiap... ampun. Sesungguhnya kami tidak tahu... ke mana dia...” wanita itu menangis dan meratap. ”Kami hanya diberi perintah supaya pergi mengungsi turun gunung, tidak diperbolehkan kembali lagi...”

Tiang Bu membentak-bentak dan menakut-nakuti sampai wanita itu terkencing-kencing ketakutan dan Tiang Bu dengan jengah dan mendongkol melepaskan tangannya. Dengan pakaian bawah basah wanita itu merayap kembali ke dalam joli. Tiang Bu menyeret keluar wanita dari joli ke dua. Akan tetapi sama saja. biarpun ia sudah mengancam, wanita itu tidak dapat menceritakan di mana adanya Liok Kong Ji.

Tiba-tiba mun cul seorang wanita berpakaian hijau muda, datang-datang membentak marah, "Begal tak tahu malu! Kau berani menghina kaum wanita?"

Tiang Bu memutar tubuh dan dua sinar berkilauan menyambarnya. Cepat ia mengelak dan mengulur tangan menangkap pergelangan dua tangan gadis baju hijau itu yang telah menyerangnya dengan sepasang kapak kecil secara hebat sekali.

"Fei Lan...!” katanya tertegun ketika mengenal gadis puteri penebang kayu yang pernah ditemuinya ketika ia melakukan perjalanan ke selalan mencari Toat-beng Kui-bo.

Gadis cantik berbaju hijau itu terkejut mendengar namanya dipanggil, juga ia tidak sanggup menarik kedua tangannya yang terpegang oleh pemuda itu. ia memandang, memperhatikan dan mengingat-ingat. Kemudian pecahlah senyumnya... seruannya.

"Tiang Bu koko...! Akhirnya aku dapat berjumpa denganmu!"

Tiang Bu melepaskan pegangannya dan gadis itu bertanya, keningnya berkerut penuh curiga dan penasaran. "Tiang Bu koko, hendak berbuat apakah terhadap wanita-wanita ini?”

Melihat sikap dan pandang mata gadis ini merah muka Tiang Bu. Celaka, ia tentu disangka hendak berbuat yang tidak patut terhadap rombongan itu. ”Fei Lan, jangan salah sangka. Rombongan ini adalah keluarga musuh besarku, aku sedang me maksa mereka mengaku di mana adanya musuh besarku yang menyembunyikan diri itu.”

"Begitukah?" Tiba-tiba sikap Fei Lin berubah cepat sekali. Ia menghampiri joli terdekat menendang joli itu sehingga wanita yang ada di dalamnnya menjerit dan terlempar jatuh bergulingan.

"Kau tidak mau mengaku? Hayo katakan di mana adanya musuh besar tunanganku ini!”

"A... am... ampun... aku tidak tahu...” wanita itu masih mencoba menjawab dan inilah kesalahannya. Sepasang kapak bergerak dan... tubuh wanita itu terpotong menjadi tiga! Putus pada leher dan pinggangnya.

"Fei Lan...!" Tiang Bu berteriak tidak kuasa mencegah pembunuhan yang sama sekali tak pernah disangka-dangka itu.

Fei Lan berpaling kepadanya, tersenyum semanis-manisnya. “Koko. musuhmu adalah musuhku, anjing-anjing betina ini harus di paksa, kalau perlu dibunuh!"

"Tidak, jangan!" tegur Tiang Bu sambil melompat mendekati Fai Lan untuk mencegah gadis ini menyebar kematian. Biarpun amat benci kepada Kong Ji dan Cui Kong, namun Tiang Bu tidak men ghendaki rombongan yang terdiri dari para selir dan pelayan ini dibunuh. Mereka ini adalah orang-orang biasa yang tidak mempunyai dosa, bahkan harus dikasihani berada di bawah kekuasaan seorang jahat macam Kong Ji.

"Kalian pergilah dari sini." katanya kepada mereka. Bagaikan dikejar setan, rombongan itu lalu berlari-lari turun dan cepat-cepat pergi dari tempat itu.

"Fei Lan, bagaimana kau bisa berada di sini?" tanya Tiang Bu setelah rombongan itu pergi sambil membawa mayat wanita yang sudah terpotong menjadi tiga itu.

"Tiang Bu koko, kau benar-benar lelaki yang tidak tahu kasihan kepada tunangan. Sudah dua tahun aku mencari-carimu, hidup terlunta-lunta. Baru sekarang kebetulan sekali kita bertemu dan kau masih tanya bagaimana aku bisa berada di sini? Kau benar-benar terlalu!" Fe li Lan menyelipkan sepasang kapaknya di pinggang, menutupi muka dengan kedua tangan, menangis.

Tiang Bu melongo. Untuk beberapa lama ia sampai tidak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Teringat ia akan peristiwa yang dahulu, ketika ia bertemu dengan Fai Lan dan ayahnya. Ayah gadis ini secara begitu menetapkan perjodohan antara dia dan gadis ini dan Fei Lan juga menerimanya. Tanpa bert anya tentang pendapatnya, ayah dan anah ini sudah menganggap otomatis perjodohan itu terikat. Benar-benar gila.

"Fai Lan, di mana ayahmu?” akhirnya dapat juga membuka suara.

Akan tetapi mendengar pertanyaan ini, Fei Lan memperhebat tangisnya. Tiang Bu menjadi makin bingung. ia paling bingung mengh adapi wanita menangis. Tak tahu apa yang harus dilakukan atau diucapkannya, i a banyak berdiri mematung memandaog gadis yang menangis tersedu-sedu itu.

“Fei Lan, jangan menangis dan bicaralah!” Akhirnya ia membentak saking tidak sabar lagi.

Aneh. Fei Lan tiba tiba saja berhenti menangis dan memandang kepadanya dengan heran dan mendongkol. "Koko, kau keterlaluan sekali. Bertahun-tahun tidak muncul, setelah kucarari sampai dua tahun lebih, sekarang bertemu kau membentak-bentak."

Kembali Tiang Bu yang melengak. Celaka, pikirnya, sudah bertahun-tahun gadis ini masih belum insyaf dan belum sembuh, bahkan penyakitnya ”mengaku-aku jodoh" makin menggila.

"Katakanlah mengapa kau datang ke sini dan mana ayahmu. Jangan bicara tidak karuan, aku tidak ada waktu, hendak mengejar musuh-musuhku”

"Ayah telah tewas. pembunuhnya kakek buntung. Koko, sekarang aku sebatang kara. Aku ingat janjimu. Bukankah kau menyuruh aku menanti lima tahun? Nah, sekarang sudah lima tahun, aku mau ikut kau!”

Akan tetapi Tiang Bu tidak memperhatikan kata-kata terakhir ini, yang ia perhatikan adalah tentang kakek buntung yang membunuh Lim-bong Lai Fu Fat si penebang kayu yang lihai.

"Kakek buntung lihai? Kau tahu namanya?”

”Namanya Lothian-tung Cun Gi Tosu, dia membawa seorang bocah perempuan dan...”

"Dia lari ke mana? Tahukah kau, Fei Lan, Dia lari ke mana?" Tiang Bu bertanya sambil memegang lengan gadis itu.

Fei Lan memandang heran. Ia tidak mengerti mengapa ”tunangannya" ini demikian memperhatikan Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. "Kakek buntung itu naik peruhu ke selatan. Karena aku tidak kuat melawannya akan tetapi aku mendendam atas kematian ayah, aku mengikutinya terus diam-diam. Ternyata terus ke laut, menuju ke pulan-pulau selatan. Aku tidak dapat mengejar te rus. Mengapa kau bertanya, koko?"

Tiang Bu memegang lengan gadis itu erat-erat dan suaranya mengandung kasihan sungguh-sungguh ketika ia berkata, "Fei Lan, aku tidak bisa menjadi jodohmu. Kau cantik, gagah, tentu mudah mendapat pasangan. Kau carilah pemuda lain, jangan mengharapkan aku. Jangan khawatir, kematian ayahmu kelak aku yang akan membalaskan kepada kakek buntung itu. Nah, selamat tinggal dan jangan mencari aku lagi!"

Fei Lan hendak merangkul, akan tetapi Tiang Bu lebih cepat. Sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari depannya. Fei Lan bengong terlongong-longong, lalu menangis dan berkata seorang diri,

"Mencari pemuda lain...? Mana ada seperti dia...? Ah, ayah... nasib anakmu buruk sekali..." Gadis itupun berjalan sambil menangis, pundaknya bergoyang-goyang dan jalannya limbung.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Wan Sin Hong menin ggalkan isterinya, Siok Li Hwa, di Kim-bun-to dan dia sendiri merantau untuk mencari puterinya yang diculik oleh tosu buntung Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, didalam peperangan hebat di kota raja ketika bala tentara Mongol menyerbu, Sin Hong berhasil menolong Bi Li dan Wan Sun dari kepungan tentara musuh.

Akan tetapi Bi Li melarikan diri ketika mendengar dia bukan putera Wanyen Ci Lun, dan Wan Sun diajak pergi ole h Sin Hong ke Kim bun-to pula. Di pulau ini, Wan Sun seringkali bertemu dengan Coa Lee Goat yang menjadi calon isterinya. Bersemilah cinta kasih di dalam hati dua orang muda ini, dan mereka memang merupakan pasangan cocok, sama muda, sama elok dan sama gagah.

Akan tetapi hati Wan Sun selalu berduka kalau ia teringat akan Bi Li. Diam-diam ia harus mengaku dalam hati bahwa cintanya yang pertama jatuh kepala Bi Li, semenjak ia tahu bahwa dara jelita itu bukanlah adik kandungnya. Akan tetapi, dia telah dicalonkan menjadi jodoh Lee Goat dan setelah ia bertemu dengan gadis tunangannya itu, timbul juga rasa suka.

Karena orang tua Wan Sun sudah meninggal dunia dan walinya yang paling berhak menjadi pengganti orang tuanya adalah Wan Sin Hong. maka sesuai dengan kehendak pendekar ini, taklama sesudah tinggal di Kim-bun-to, dilangsungkanlah pernikahan antara Wan Sun dan Coa Lee Goat. Pernikahan ini dilangsungkan dengan meriah dan agak tergesa-gesa karena Wan Sin Hong hendak segera pergi melakukan perantauannya mencari anaknya yang hilang.

Beberapa bulan setelah menikah. Wan Sun juga mengajak isterinya pergi untuk menyelidiki perihal Bi Li yang sekarang setelah menikah, kembali timbul perasaan cinta saudara terhadap gadis itu. Tentu saja Coa Lee Goat tidak keberatan. bahkan merasa gembira pergi merantau mencari adik iparnya. Anak-anak orang gagah selalu merasa gembira apabila melakukan perantauan, karena hanya dalam perantauan inil ah kepandaian silat yang dipelajari semenjak kecil, kelihatan kegunaannya. Perjalanan sepasang suami isteri ini tidak menemui banyak rintangan.

Siapakah yang berani mati mengganggu mereka? Kepandaian Lee Goat dalam ilmu silat sudah termasuk tin gkat tinggi, dia adalah puteri dari Go Hui Lian terutama sekali dia murid Wan Sin Hong! Selain dia, suaminya, Wan Sun juga bukan seorang biasa saja. Wan Sun adalah murid Ang jiu Mo-li, tokoh utara yang disegani kawan ditakuti lawan itu. Dibandingkan den gan isterinya, Wan Sun tidak kalah lihai.

Kasihan bagi sepasang suami isteri yang meninggalkan Kim-bun-to ini, juga bagi Wan Sin Hong, mereka ini tidak mengetahui bahwa beberapa bulan semenjak mereka pergi meninggalkan Kim-bun-to, peristiwa besar terjadi di pulau itu. Yang kini tinggal di rumah besar Coa Hong Kin adalah dia sendiri bersama isterinya Go Hui Lian, kemudian Siok Li Hwa yang merasa agak kecewa tidak diajak pergi bersama oleh suaminya. Win Sin Hong memberi alasan bahwa perjalanan kali ini sungguh amat berbahaya. Penculik puteri mereka adalah Lothi an tung Cun Gi Tosu seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian tinggi sekali.

Wan Sin Hong merasa lebih aman meninggalkan Li Hwa di Kim-bun-to. Memang pendapat Sin Hong ini ttdak keliru. Dalam menghadapi Cun Gu Tosu, dia lebih leluasa bergerak seorang diri, tak usah melindungi isterinya. Dan isterinya tinggal di Kim bun-to bersama Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, tempat aman dan di antara sahabat-sahabat baik yang gagah perkasa pula.

Disamping tiga orang pendekar ini, di rumah itu masih ada lagi dua orang penjaga rumah yang mempunyai kepandaian lumayan karena mereka sudah mendapat petunjuk dari Coa Hong Kin. Hong Kin yang maklum bahwa banyak sekali musuh dan orang jahat selalu berlaku hati-hati dan menaruh penjaga- penjaga malam yang mempunyai kepandaian, sehingga dia sekeluarga di waktu malam tak melakukan penjagaan sendiri dan dapat tidur tanpa terganggu.

Pada suatu hari, ketika Hong Kin, Hui Lian dan Li Hwa sedang duduk bercakap-cakap di ruang depan, penjaga memberi tahu bahwa Hwa Thian Hwesio dari Kwan-te-bio datang ingin bertemu, bersama seorang laki-laki setengah tua. Girang hati tiga orang ini cepat mereka, menyambut. Hwa Thian adalah kenalan lama. Hwesio ini adalah tukang dapur atau tukang masak dari Kuil Kwan-te-bio yang sudah berusia lima puluh tahun, berkepala gundul pelontos bertubuh gemuk, lucu dan ilmu silatnya tinggi. Dahulu hwesio ini banyak membantu Pangeran Wanyen Ci Lun dan karenanya dia adalah sahabat karib Coa Hong Kin yang dahulupun merupakan tangan kanan Wanyen Ci Lun.

Dengan mulut tersenyum-senyum hwesio gemuk itu memasuki ruangan, di sampingnya berjalan seorang laki-laki setengah tua berkumis pan jang yang sikapnya keren dan di punggung terselip sebatang pedang. Sungguh berbeda sekali sikap dua orang ini. Hwesio itu mulutnya melengeh (tersenyum lebar) terus sedang kawannya keren dan mendekati cemberut.

"Hwa Thian suhu, angin apakah yang membawamu ke sini? Kau makin gemuk dan makin muda saja! ” sambut Coa Hong Kin yang memang sudah biasa berkelakar dengan hwesio ini.

Hwesio itu tertawa terbahak. "Kalau angin tentu angin Nirwana yang meniup pinceng ke sini. Pinceng makin gemuk dan muda karena apakah yang harus disusahkan? Hidup di dunia bukan untuk berduka, melainkan untuk menghilangkan sengsara. Ha-ha-ha, tepat sekali ujar-ujar kuno bahwa bertemu dengan sahabat kental yang terpisah jauh benar-benar merupakan yang menggembirakan. Coa-sicu, melihat kau dan jiwi hujin ini, pinceng merasa seperti memasuki sarang harimau dan naga!"

Hui Lian dan Li Hwa memberi hormat dan Hui Lian yang masih memiliki wataknya yang lincah gambira, berkata, "Hwa Thian suhu bergurau saja. Kalau hendak bicara tentang naga, kau adalah Kiang Liong (Naga Tangguh) sedangkan kami hanyalah Tee-couw-coa (Ular Biasa) saja."

Hwa Thian Hwosio tertawa bergelak sambil memegangi perutnya yang gendut, tongkatnya digoyang- goyangkan, sampai keluar air matanya ia tertawa. “Ha-ha-ha-ha. Coa-hujin benar-benar pandai merendahkan diri. Mana gundul seperti pinceng patut disebut Kiang Liong! Kak Ouw-sicu ini kiranya masih pantas." Berkata demikian, hwesio itu menunjuk kepada kawannya Kemudian disambungnya. "Inilah Ouw sicu yang bernama Ouw Beng Sin, berjuluk Huangho kiam sian (Dewa Pedang dari Huangho)

Ouw Beng Sin cepat cepat menjura kepada Hong Kip bertiga sambil berkata, "Hwa Thian Losuhu terlalu memuji, aku orang she Ouw hanya bisa main sejurus dua jurus. Kawan-kawan yang terlalu mengambil hati memberi julukan Kiam sian, apa boleh buat, sesungguhnya tidak berani di depan samwi-enghiong aku menggunakan nama julukan itu.”

Sikap orang ini setengah merendah setengah mengagulkan diri. Dunia persilatan, jarang ada orang yang menggunakan nama juluka Kiam-sian (Dewa Pedang) atau Kiam-ong (Raja Pedang) kalau dia tidak memiliki kepandaian bahwa ilmu pedangnya tidak ada yang melawan di dunia ini. Orang ini berani memakai julukan seperti itu, tentu mempunyai kepandaian berarti.

Di samping dugaan ini, juga timbul perasaan tidak puas dan penasaran, apa lagi bagi Siok Li Hwa yang memang wataknya agak keras dan tidak suka mengalah. Nyonya ini menganggap bahwa di dunia ini tak ada yang melebihi suaminya. Wan Sin Hoog, dalam permainan pedang. Masa orang macam ini saja berani memakai gelar Dewa Pedang? Akan tetapi sebagai seorang wanita, pula sebagai fihak tuan rumah, ia diam saja hanya mata yang bening itu menyambar laksana kilat.

Kebetulan sekali Ouw Beng Sin juga sedang melirik ke arahnya. Orang berkumis yang mengaku Dewa Pedang ini terkejut melihat sinar mata ini dan ia mulai percaya akan kata-kata Hwa Thian Hwesio bahwa ia telah memasuki gua harimau dan naga.

Setelah semua dipersilakan duduk dan arak telah dikeluarkan biarpun menjadi hwesio, Hwa Thian Hwesio tidak pantang arak Hwa Thian Hwesia mulai menceritakan maksud kedatangannya.

"Selain hendak menengok Coa-sicu dan juga Wan sicu yang sayang sekali tidak berada di rumah. pinceng juga memenuhi permintaan yang amat sangat dari Ouw sicu ini. Dia ini adalah kenalan lama, seorang gagah yang malang melintang di Sungai Huangho dan seperti juga kita semua, dia amat suka akan ilmu silat, terutama ilmu pedang dan suka pula meluaskan pengalaman dan persahabatan. Sudah lama Ouw-sicu mendengar nama besar Wan-taihiap, dan tahu pula bahwa Kim-bun-to adalah sarang ahli-ahli ilmu pedang. Sudah bertahun -tahun Ouw-sicu rindu untuk mencoba ilmu pedangnya di Kim-bun-to, akan tetapi belum juga dilaksanakan dan sekarang...”

Hwa Thian Hwesio berhenti dan nampaknya sukar untuk melanjutkan kata-katanya ketika sinar matanya bertemu dengan pandang mata Li Hwa yang tajam menusuk. "Harap Ouw-sicu suka melanjutkan menyampaikan sendiri maksud hatinya," katanya kemudian dengan tertawa tawa untul menghilangkan kebingungannya.

Orang she Ouw itu bangkit berdiri dari kursinya, menjura kepada tga orang yang menjadi tuan rumah, lalu batuk-batuk tiga kali untuk membersihkan kerongkongannya baru ia berkata, "Apa yang diucapkan oleh Hwa Thian Hwesio yang terhormat tadi memang betul sekali,” ia mulai berkata dan diam-diam Hong Kin harus mengaku bahwa tamunya ini pandai mengatur kata-kata, seorang ahli pidato agaknya.

"Telah bertahun-tahun siauwte rindu sekali akan kesempatan berkunjung ke Kim-bun-to dan menerima sedikit petunjuk dalam hal ilmu pedang, Sampai bermimpi-mimpi oleh siauwte pertemuan dengan Wan Sin Hong Tai-kiam-hiap (Pendekar Pedang Besar) dan mendapat petunjuk ilmu pedang barang dua puluh jurus sebelum siauwte mengakui keunggulannya. Selain Wan-taihiap, kiranya di dunia ini tidak ada lagi yang dapat memberi petunjuk kepada siauwte. Sekarang berkat kemurahan hati Hwa Thian Losuhu yang terhormat, siauwte mendapat kurnia dan kehormatan menginjakan kaki di Kim-bun-to, akan tetapi sayang seribu kali sayang. Wan-taihiap tidak berada di sini. Ah, memang nasib siauwte yang sial, dahulu siauwte mana berani lancang datang ke sini!? Sekarang ada perantaran. kiranya tidak berjumpa dengan orangnya...!”

Hong Kin hanya saling pandang dengan isterinya, akan tetapi Li Hwa mendongkol bukan main. Besar kepala benar orang ini, pikirnya. Di dalam pidatonya tadi jelas ia menonjolkan kesombongannya sungguhpun diatur dengan rangkaian kata yang berliku-liku. Dengan sombong orang she Ouw ini membayangkan bahwa sebelum kalah oleh Wan Sin Hong, sedikitnya ia sanggup melawan sampai dua puluh jurus, dan lebih-lebih lagi sombongnya dengan kata-kata bahwa di dunia ini selain Wan Sin Hong tidak ada yang dapat memberi petunjuk atau dengan lain kata-kata, selain Wan Sin Hong tidak ada orang mampu menandingi ilmu pedangnya!

Dengan mata berapi Li Hwa juga bangkit berdiri, lalu berkata dengan suara nyaring "Sungguh tidak baik mengecewakan tamu yang sudah payah datang dari tempat jauh. Menilik dari ucapan saudara Ouw, tentu memiliki kiam-hoat (ilmu pedang) jempolan, apa lagi julukannya Dewa Pedang. Mana suamiku mampu menandingi? Biarpun suamiku sedang pergi dan tidak dapat melayani kehendak tamu, namun aku isterinya dengan ilmu pedang pasaran sanggup mewakili suami sebagai tanda setia. Silakan!” Setelah berkata demikian tangan kanannya bergerak dan...

"Srattt...!” pedang Cheng-liong-kiam tercabut, mengeluarkan cahaya hijau menyilaukan mata.

Boleh jadi 0uw Bong Sin agak sombong akan tetapi ia seorang jujur. Kalau tidak miliki sifat baik di samping kosombongannya mana orang seperti Hwa Thian Hwesio mau menjadi sahabatnya? Melihat sikap Li Hwa dan mendengar bahwa nyonya ini isteri Wan Sin Hong, ia cepat-cepat menjura dan berkata,

"Ah, kiranya hujin ini Wan-toanio? Maaf seribu kali maaf, siauwte bermata tak dapat mengenal! Harap toanio jangan salah duga dan tidak manjadi marah, maafkanlah kala siauwte tadi berlancang mulut. Sesungguhnya dari lubuk hati siauwte tidak ada maksud buruk, siauwte ingin sekali menerima petunjuk dari Wan-taihiap. Mana siauwte berani kurang ajar terhadap toanio? Maaf, maaf!" Ia menjura berulang-ulang sehingga kemarahan Li Hwa lenyap sebagian besar.

Akan tetapi pedang sudah dicabut, amat tidak enak kalau harus disimpan kembali sebelum dimainkan. “Saudara” Ouw, Kim-bun-to memang tempat orang-orang yang suka akan ilmu silat. Setelah tiba di sini dan sengaja hendak main-main ilmu pedang, apa sih susahnya memberi petunjuk kepada kami? Hitung-hitung memberi pelajaran kepada kami yang masih bodoh...”

"Ah, mana berani... mana berani...!”

"Kalau begitu, biarlah. Hitung-hitung kita saling menukar dan menambah ilmu, bagaimana?" kata pula Li Hwa.

"Bagus sekali!" Hwa Thian Hwesio bertepuk tangan gembira "Usul Wan-hujin ini memang tepat. Di antara golongan sendiri, di antara ahli-ahli silat, mengapa banyak sungkan-sungkan? Ouw-sicu bertanding pedang dengan Wan-hujin hampir sama dengan berhadapan dengan Wan-taihiap sendiri. Mari beri kesempatan kepada piceng untuk melihat keindahan sinar pedang."

Dengan kata katanya yang mengandung kegembiraan ini Hwa Thian Hwesio sudah mengubah keadaan, dari panas menjadi dingin dan memancing suasana baik sehingga kalau toh terjadi pibu (mengadu kepandaian) akan dilakukan dengan maksud baik, tidak disertai hati meradang dan kepala panas.

"Baiklah, kalau berdasarkan menukar dan menambah ilmu tentu saja siauwte tidak keberatan. Maafkan kelancangan siauwte!” sambil berkata demikian, ia menjura kepada semua orang dengan tubuh membungkuk, ketika tubuhnya tegak kembali, kelihatan sinar merah dan sebatang pedang yang kemerah-merahan telah tercabut, melintang di depan dadanya...