Tangan Gledek Jilid 34 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 34

Tiang Bu yang tidak ingin mencari perkara mendahului Bi Li yang sudah merah padam pipinya. Pemuda ini mengedipkan mata kepada gadis lalu menengok kepada Ban Ek. "Kau datang-datang kok ribut-ribut, mau apa sih?”

Dada Ban Ek hampir meledak saking marahnya. Biasanya nama besar Ban Ek Si Kepalan Besi sudah cukup untuk membikin seorang liok-lim bertekuk lutut ketakutan, atau setidaknya seorang kang-ouw bersikap lebih hormat dan bersahabat. Akan tetapi pemuda yang sederhana ini sama sekali tidak mengacuhkannya.

"Pemuda tahu! Kau dan nona ini mencurigakan, harus kami periksa. Kalian berani makan di restoran, hayo keluarkan uang pembayarannya di depan kami!"

"Apa kau yang tadi mengaku komandan polisi sudah merangkap pekerjaan pelayan restoran? Kami tentu akan bayar makanan, akan tetapi hanya kepada pelayan restoran. Siapa tahu kalau kau bukan perampok yang Ingin membawa lari uang kami?"

“Setan alas kelaparan! Kau berani menghina Ban Ek Si Kepalan Besi? Jangan menantang kesabaranku. Hayo lekas perlihatkan bahwa kau bukan tukang tipu makanan dan bahwa kau memang betul akan membayar. Kalau tidak, sebelum makananmu habis, mukamu akan lebih dulu habis oleh kepalan besiku!”

Kini Tiang Bu yang tedinya sabar menjadi marah. Terlalu sekali, pikirnya. Biasanya orang-orang yang menamakan dirinya penjaga-penjaga keamanan kota atau polisi itu adalah orang-orang terpelajar, orang-orang sopan yang betul-betul menjadi pelindung menjadi penegak keadilan, menjadi bapak-rakyat yang mendatangkan rasa cinta dan terima kasih rakyat atas jasa-jasa mereka. Akan tetapi, sikap yang diperlihatkan oleh Ban Ek Si KepaIan Besi ini sama sekali bukan sikap penjaga keamanan, bahkan sebaliknya, sikap pengacau keamanan, bukan sikap bapak atau palindung rakyat, sebaliknya sikap musuh rakyat yang harus diganyang habis-habisan.

"Bi Li, keluarkan uangmu dan perlihatkan kepada monyet ini," katanya menahan marah. Memang Tiang Bu tidak punya uang. Kalau tadi ia berani masuk dan makan, adalah karena ia percaya bahwa Bi Li tentu punya uang. Bi Li semenjak kecil hidup di dalam gedung pangeran, mustahil kalau gadis itu tidak bawa uang...“

Memang betul dugaannya. Gadis seperti Bi Li puteri pangeran, tak mungkin berkantong kosong. Biarpun uangnya yang tadinya berada di saku sudah habis, namun gadis ini sudah menjual perhiasannya satu demi satu dan selalu ia membawa uang. Akan tetapi sejak tadi Bi Li sudah naik darah dan kalau tidak ada Tiang Bu di situ yang se lalu main sabar, tentu dia sudah memberi hajaran kepada orang yang mengaku diri koman dan polisi itu. Sekarang mendengar kata-kata Tiang Bu, ia sengaja berkata.

"Aku tidak punya uang, yang ada hanya sepasang kepalan tahu. Kau ini anjing kudisan minta bayaran. Nah, terimalah kepalan tahu ini untuk kawan kepalan besimu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang tadinya duduk di kursi itu tahu-tahu telah berkelebat di depan Ban Ek dan...

“Plak! plak !" Dua kali telapak tangan gadis "mampir" di sepasang pipi Ban Ek. Pukulan itu kelihatannya tidak keras, juga terasa sendiri oleh Ban Ek sendiri tidak keras. Maka komandan ini bertolak pinggang dan tertawa bergelak.

"Ha ha haaaeeekkk!” Suara ketawanya berubah secara mengagetkan karena tiba-tiba ia muntah darah segar diikuti gigi-giginya yang ternyata sudah copot semua seperti dicabuti. Ternyata bahwa tamparan Bi Li tadi hanya kelihatannya saja perlahan, namun dilakukan dengan pengerahan lwekang tinggi sehingga melukai jantung dan mencopotkan semua gigi. Ban Ek terhuyung-huyung. Baru terasa mulutnya sakit-sakit dan dadanya sesak. Ia hendak marah-marah, akan tetapi dadanya menjadi sesak dan di lain saat ia roboh terlentang dalam keadaan pingsan.

Gegerlah di situ. Enam orang tukang pukul yang lain menjadi marah dan mencabut golok mereka, akan tetapi hanya tiga orang yang berani menyerbu. Yang tiga takut-takut dan hanya berdiri dengan golok di tangan. Begitu menyerbu tiga orang ini menjerit dan roboh tak bernyawa lagi. Masing-masing tergigit oleh tiga ekor ular yang tahu-tahu sudah menyambar ke luar. dan kini merayap masuk lagi ke dalam saku baju Bi Li.

"Tahan...! Tahan...! Celaka dua belas dia itu adalah Wanyen Si ocia! Apa mata kalian sudah buta??” Dari luar datang Thio-tikoan berlari-lari dan pembesar itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li.

Melihat lagak pembesar yang berlutut itu kemarahan Bi Li seperti api disiram minyak. Ia sudah memegang seekor ularnya untuk menyerang pembesar itu, akan tetapi Tiang Bu yang sejak tadi sudah mengerutkan kening tak senang melihat gadis itu menyebar maut cepat melangkah maju dan menendang. Sekali tendang saja tubuh Thio-tikoan terlempar keluar dari rumah makan, bergulingan seperti bola.

“Pergilah! dan jangan mengganggu kami!” Tiang Bu berseru dengan suara keras berpengaruh.

Thio-tikoan kaget sekali. Di dalam hati ia marah sekali dan kalau tidak melihat bahwa gadis itu adalah puteri Pangeran Wanyen Ci Lun yang terkenal di kota raja, tentu ia akan mengerahkan tukang pukulnya untuk mengeroyok dan mencelakai dua orang muda itu. Apa lagi karena sebagai ahli silat ia tahu bahwa pemuda yang menendangnya tidak memiliki kepandaian hanya bertenaga kuat, buktinya ia yang ditendang sampai mencelat jauh itu tidak menderita luka dalam tubuh. Tentu saja sebetulnya ia tidak terluka karena memang Tiang Bu sengaja tidak mau melukainya.

Bi Li sudah mengeluarkan uangnya dan membayar harga makanan dan minuman kepada pelayan yang berdiri gemetaran saking takutnya. Kemudian orang muda itu pergi meninggalkan tumah makan.

“Bi Li, kenapa kau begitu kejam? Memang tukang-tukang pukul itu menjemukan sekali, akan tetapi kurasa belum patut dibunuh,” di tengah jalan Tiang Bu mencela gadis itu.

Celaan ini tidak memarahkan Bi Li, bahkan ia tersenyum merasa dipuji. "Aku sudah cukup kejam, Tiang Bu? Bagus, aku sudah takut kalau-kalau kelihatan tarlampau lemah. Ingat, aku keturunan See-thian Tok-ong dan Tee-tok, dua orang yang sudab amat terkenal sebagai manusia-manusia paling kejam di dunia ini. Me ngapa aku tak boleh kejam dan jahat? Hai, aku orang yang kejam di dunia ini, patut menjadi cucu See thian Tok-ong. Awas, Tiang Bu, kalau datang seleraku kaupun dapat kubunuh!”

Tiang Bu tersenyum pahit. Ia maklum akan gejolak hati gadis cantik ini. Agaknya kenyataan bahwa ia adalah puteri Tee-tok Kwan Kok Sun, menghancurkan hatinya dan ia menjadi nekad, sengaja berlaku jahat dan kejam karena tentu orang-orang akan memandang rendah dan hina kepada keturunan See-thian Tok-ong yang jahat. Dari pada disangka kejam dan jahat, lebih baik sekalian menjadi orang jahat dan kejam agar cocok menjadi keturunan orang yang terkenal paling jahat di dunia. Tentu demikian jalan pikiran gadis ini . Diam-diam Tiang Bu berpikir dan ke tidaksenangan hatinya menipis, terganti oleh perasaan kasihan yang besar.

“Ingat, Bi Li. Bukan kau saja keturunan orang jahat. Orang tuaku jauh lebih jahat dart pada orang tuamu. Kalau tidak percaya kau boleh tanya-tanya di dunia kang-ouw, siapa yang lebih jahat antara Kwan Kok Sun dan Liok Kong Ji. Tidak ada orang lebih jahat dari Liok Kong Ji yang disebut manusia iblis. Tapi, apa kaukira kalau keturunan orang jahat itupun harus jahat pula? Kau keliru! Pohonnya boleh bongkrek batangnya, akan tetapi belum tentu kalau buahnya buruk."

Bi Li tertawa mendengar perumpamaan ini. Memang pada dasarnya Bi Li seorang gadis lincah gembira mudah tertawa. Hanya semenlak ia mendengar bahwa dia anak orang jahat membuat wajahnya diliputi kebengisan mengerikan.

“Kau bicara seperti kakek-kakek. Nenek-moyang kita jahat, siapa yang akan percaya kita baik? Nenek moyang kita jahat, kalau kita lebih jahat dari mereka, bukankah itu artinya melanjutkan garis hidup mereka? Katanya seorang anak harus berbakti. kalau kita pura-pura menjadi orang baik, selain tak seorangpun di dunia ini percaya, juga saolah-olah kita mengejek dan merendahkan orang tua sendiri, manyeleweng dari jalan hidup mereka. Aku tidak sudi menjadi anak orang jahat yang pura-pura baik, ditertawai oleh orang kang-ouw dan dikutuk oleh arwah nenek moyang sendiri!”

Hebat, pikir Tiang Bu. Celakalah kalau jalan pikiran macam ini tidak dirubah. "Bi Li! Kau keliru! Diumpamakan ayah kita itu sebatang pohon yang bongkrek dan buruk tiada guna, akan tetapi kita sebagai buah-buah pohon bongkrek itu ternyata manis dan berguna, tentu pohonnya akan dihargai orang dan tidak dirusak. Sebaliknya, kalau pohonnya buruk buahnya masam, dua-duanya tiada guna bukankah pohonnya akan ditebang dan dijadikan umpan api. Nama buruk orang tua kita hanya dapat dicuci dan dibersihkan oleh perbuatan baik kita, bukan makin dicemarkan dan dikotori oleh perbuatan jahat kita. Kau tahu betapa sakit dan hancur hatiku memusuhi ayah sendiri, akan tetapi biarpun harus meramkan mata, kalau bertemu dengan Liok Kong Ji yang di luar kehendakku ternyata adalah ayahku itu, pasti akan kubunuh!”

Bi Li memandang dengan matanya yang indah seperti mata burung Hong. Kemudian tertawa geli sambil menutupi mulutnya yang berbibir merah segar dan bergigi putih seperti mutiara itu. "Kau... kau orang lucu benar! Kau bilang mau berbuat baik menebus kedosaan ayah, akan tetapi kau bermaksud membunuh ayah sendiri! Hei, Tiang Bu, tidak tahukah kau bahwa tidak ada kejahatan yang lebih besar dari pada membunuh ayah sendiri? Andaikata aku dapat membunuh seratus orang tidak berdosa, aku masih kalah hebat olehmu yang membunuh ayah sendiri!"

Mendengar ucapan ini, Tiang Bu melongo dan untuk sesaat tak dapat menjawab. Akhirnya ia hanya dapat berkata lirih, terputus-putus, “Dia jahat... dia jahat sekali... aku harus bunuh dia...” Bimbang hatinya mendengar ucapan Bi Li yang langsung menusuk hatinya itu. Ucapan sederhana namun mengandung sari filsafat hidup tentang "hauw" atau berbakti.

Sari pelajaran dari Guru Besar Khong Hu Cu tentang hauw ini banyak disalahgunakan orang. khususnya para pengikut atau para penganut pelajaran-pelajaran guru besar yang tiada keduanya di dunia itu. Sebagian besar orang tua mempergunakan ujar-ujar Khong Hu Cu tentang hauw ini demi kepentingan dan keuntungan diri sendiri.

Anak-anak diajar atau bahkan hampir dapat dikatakan dipaksa untuk berbakti secara membuta, untuk menurut apa yang dikehendaki oleh orang tua bukan demi kepentingan anak itu sendiri melainkan demi keuntungan si orang tua. Anak-anak hendak dijadikan alat-alat untuk menyenangkan hati orang tua dan agar anak-anak itu melakukannya dengan senang hati den membuta, maka si orang tua menyalahgunakan hauw, pelajaran yang suci dari Guru Besar Khong Hu Cu!

Karena penyalah gunakan pelajaran tentang hauw inilah maka di Tiongkok dahulu banyak terjadi hal-hal yang tidak adil, hanya karena orang hendak mengikuti pelajaran tentang hauw secara membabi buta. Misalnya, anak harus menikah dengan orang yang tak disukainya karena orang tuanya sudah suka, dan anak itu dihadiahi sebutan u-hauw (berbakti).

Anak harus membantu orang tuanya biarpun orang tuannya melakukan pekerjaan jahat dan biarpun si anak di dalam hati tidak menyetujui pekerjaan itu dan anak itu juga anak u-hauw! Masih banyak hal-hal yang rendah terjadi akibat orang tua menyalahgunakan sari pelajaran ini demi kesenangan dan kepentingan sendiri.


"Kau keliru, Bi Li," kata Tiang Bu dengan suara tegas. "Kalau sampai aku membunuh Liok Kong Ji, aku membunuhnya sebagai orang pembela keadilan membunuh seorang penjahat besar, seorang pcngkhianat bangsa dan seorang pengganggu keamanan rakyat. Bukan sekali-kali sebagai seorang anak membunuh ayahnya."

Untuk beberapa detik sinar mata gadis menatap wajah Tiang Bu penuh kekaguman akan tetapi hanya sebentar karena gadis segera tertawa lagi dengan nada mengejek kemudian berkata, "Kau tadi telah bilang sudah tahu tempat tinggal ayahmu... eh, jahanam she Liok itu. Jauhkah dari sini?"

"Tidak begitu jauh. Ui-tiok-lim berada di lembah Sungai Luan-ho, di luar tembok Kota Raja Kin di utara. Di sanalah Liok Kong Ji tinggal, menyembunyikan diri dengan anak-anak angkat dan kaki tangannya semenjak dia mengundurkan diri dari bala tentara Mongol."

"Jadi dia tidak membantu Jengis Khan lagi?”

“Sepanjang yang kudengar tidak. Bala tentara Mongol menyerbu ke barat dan hampir semua orang Han yang tadinya membantu, merasa enggan untuk menyerbu ke negara orang lain dan meninggalkan bala tentara Mongol. Akan tetapi mereka ini agaknya merasa malu kepada bangsa sendiri, juga Liok Kong Ji menyembunyikan diri di Ui-tiok-lim, tak pernah muncul lagi di dunia, kang-ouw. Yang muncul hanya anak-anak angkatnya yang dalam kejahatan kiranya tidak kalah oleh Liok Kong Ji.” Tiang Bu menarik napas panjang, teringat akan Liok Cui Lin dan Liok Cui Kim, dan tiba-tiba mukanya menjadi merah.

"Kalau begitu mari kita segera berangkat ke sana!" ajak Bi Li dengan nada gembira.

"Baiklah, hanya pesanku jangan kau semberono. Aku mendengar sudah ada beberapa orang gagah mencoba memasuki Ui-tiok-lim, akan tetapi mereka itu gagal di tengah jalan dan dan tewas sebelum mereka dapat bertemu muka dengan Liok Kong Ji atau anak-anak angkatnya."

"Mengapa begitu? Demikian berbahayakah Hutan Bambu Kuning” itu?”

Tiang Bu menganguk-angguk. “Kabarnya begitu. Bambu-bambu di hutan itu sengaja di tanam merupakan barisan-barisan dalam bentuk yang ganjil, dipasangi alat-alat rahasia yang berbahaya. Kabarnya, memasuki Ui-tiok-lim tempat tinggal Liok Kong Ji itu bahkan lebih sulit dari pada memasukt Kuil Siauw-Lim si yang terkenal kuat."

Diam-diam Bi Li kaget sekali. ia pernah mendengar dari gurunya, Ang jiu Mo-li bahw Kuil Siauw-lim-si amat kuatnya. Bahkan gurunya itu, Ang-Jiu Mo li yang lihai, pernah mencoba-coba memasuki Siauw lim-si untuk mencuri kitab, akan tetapi terpaksa keluar lagi dan hampir saja tewas! Kalau Siauw-lim-si saja sudah begitu lihai dan tempat ini katanya lebih lihai lagi. dapat dibayangkan betapa sukarnya memasuki Ui tok-lim.

Tanpa kenal lelah, Bi Li dan Tiang Bu melakukan perjalanan bersama menuju ke utara melalui tembok besar. Di sepanjang perjalanan tiada hentinya Tiang Bu mengulurkan tangan menolong rakyat jelata yang keadaannya amat menyedihkan. Bekas tangan bala tentara Mongol kelihatan nyata, mendirikan bulu roma, mengerikan sekali. Tumpukan puing menghitam sisa api, bau busuk dari mayat manusia yang lambat dikubur dan darah-darah manusia yang berceceran di atas tanah, ditambah pula dengan manusia-manusia hidup setengah mati, kurus kering seperti rangka hidup terhuyung-huyung atau berjongkok dan bergelimpangan di antara tumpukan puing, suara anak-anak menangis minta makan.

Semua ini menggugah hati Tiang Bu untuk bertindak, didatanginya rumah-rumah pembesar setempat, digunakannya kekerasan agar para pembesar lalim ini suka menggulung lengan baju dan melakukan tugasnya sebagai bapak rakyat, menolong mereka yang patut ditolong dan mengatur mana yang patut diatur. Berkat kekerasan tangan Tiang Bu, banyak orang desa tertolong, tidak saja yang kelaparan mundapat makanan, juga yang kepanasan mendapat tempat berteduh dan yang menganggur mendapat pekerjaan. Semua dijamin oleh para pembesar yang dipaksa oleh tangan keras Tiang Bu.

Mula-mula Bi Li tidak sabar bahkan mendongkol melihat betapa pemuda itu melakukan usaha ini. Dianggapnya membuang waktu dan tenaga, hanya memperlambat perjalanan. Akan tetapi ketika ia melihat betapa rakyat yang sengsara itu berterima kasih, betapa anak-anak yang menangis menjadi tertawa, tergugah pula batin gadis yang memang bukan pada dasarnya jahat ini. Bi Li sengaja berlaku jahat dan kejam untuk "menyesuaikan diri" dengan darah keturunannya yang mengalir di tubuhnya.

Setelah rakyat memberi julukan PEK LUl ENG (Ksatria Tangan Geledeg.) kepada Tiang Bu. Bi Li juga mulai aktip membantu pemuda itu. Tiang Bu diberi julukan demikian karena selalu ia bertindak tanpa mempergunakan senjata, hanya mengandalkan kedua tangannya yang cepat dan ban bahaya seperti geledek menyambar.

Setelah Bi Li turun tangan pula, mempergunakan pedangnya untuk menabas buntung hidung atau batang telinga pembesar lalim dan korup, mempergunakan ular-ularnya untuk menakut nakuti mereka yang menindas rakyat, makin berhasillah usaha Tiang Bu. Makin banyak pula desa-desa tertolong dari kelaparan dan kebinasaan. Akan tetapi perjalanan dua orang muda itu menjadi makin lambat sehingga tiga bulan lewat tak terasa ketika mereka akhirnya tiba di daerah lembab Sungai Luan-ho. Mereka terus menyusur tepi sungai yang mengalir dari utara.

Pada pekan ke dua terpaksa bermalam di sebuah hutan. Belasan li di sekeliling tempat ini tidak ada pedusunan sehingga mereka terpaksa bermalam di bawah pohon. Malam itu bulan bersinar terang sekali, mendatangkan suasana romantis di dalam butan itu. Mereka memilih sebuah tempat yang bersih, dibayangi pohon-pobon yangliu yang tinggi dan berbatang ramping seperti pinggang gadis-gadis ayu. Di atas pohon, langit bersih, biru putih kekuning-kuningan penuh sinar bulan yang mendatangkan hawa dingin sejuk menyegarkan.

Bi Li sepera menjatuhkan diri. duduk di atas rumput lunak menyandarkan tubuh pada sebatang pohon sambil menarik napas penuh nikmat melemaskan anggauta tubuh yang kaku-kaku kelelahan.

"Aaahhh, enaknya di sini... nyaman sekali...!" katanya perlahan, senyumnya menambah cemerlang sinar bulan.

Tiang Bu juga merebahkan tubuhnya yang lelab di dekat batang pohon yang sudah tumbang melintang tak jauh dari tempat Bi Li duduk. Mendengar ucapan gadis itu, Tiang Bu memandang dan hatinya berdebar aneh. Bukan main indahnya pemandangan itu. Seorang bidadari mandi cahaya bulan. Alangkah cantik jelitanya Bi Li ketika bersandar pada pohon dengan muka sepenuhnya disinari cahaya bulan purnama. Matanya tertutup dan bulu matanya yang lentik panjang itu menimbulkan bayang-bayang di bawah matanya, manis sekali.

Bi Li membuka matanya, "Kau di mana, Tiang Bu?" tanyanya tanpa menoleh, dengan mata berkedip-kedip jarang.

"Di sini...!” jawab pemuda itu. "Lebih enak di sini, dapat tidur."

Mendengar jawaban ini, Bi Li menengadah dan memandang. Ia melihat Tiang Bu melonjorkan kakinya ke depan, pungaung dan kepalanya disandarkan pada batang pohon melintang, seperti memakai bantal. Nampaknya memang enak sekali, tidak seperti bersandar pada batang pohon berdiri, terlalu lurus dan hanya dapat duduk, tak dapat berbaring.

"Minggirlah, akupun ingin tidur! Jangan borong semua tempat itu!” Bi Li meloncat lincah jenaka.

Tiang Bu mengguling-gulingkan tubuhnya sampai ia berada di ujung batang pohon lalu berbaring miring sambil tersenyum memandang kawannya yang jenaka itu. Bi Li merebahkan diri terlentang di ujung batang pohon yang lain, kurang lebih lima belas kaki jauhnya dari Tiang Bu sehingga pemuda ini dapat melihat dengan nyata. Bahkan ia dapat mencium bau harum yang selalu selalu semerbak menghambur dari tubuh gadis itu, bau harum yang ganjil sekali. Makin berdebar hati Tiang Bu melihat keindahan wajah dan tubuh gadis remaja yang kini berbaring tak jauh dari tempatnya.

Teringat ia akan semua pengalamannya dengan Cui Lin dan Cui Kim dan tiba tiba ingin ia menampar mukanya sendiri. Bi Li seorang gadis terhormat, tak patut seorang rendah budi dan hina dina semacam dia memikirkan dan merindukannya! Cepat ia membuang muka ke lain jurusan agar jangan matanya manatapi mahluk indah di depannya itu dan agar jangan sampai hatinya tergoda. Akan tetapi makin dijauhi makin menggoda.

Ke manapun juga ia melempar pandang, bayangan gadis telentang den gan, dada dan kepala terganjal batang pohon sehingga dada itu membusung padat dan leher yang putih kekuningan itu berlawanan sekali dengan batang pohon yang berwarna coklat, selalu nampak di depan mata. Seakan-akan bayangan gadis itu berpin dah-pindah selalu ke depan matanya, atau seakan -akan sepasang matanya yang pindah ke belakang keplanya, tidak mau meninggalkan pemandangan yang indah itu

Akhirnya Tiang Bu berbaring miring lagi menghadapi Bi Li! Aku tidak berhak mengganggunya. aku ti dak berharga mcncintainya. tidak patut mengenan gkannya, sama sekali tidak boleh mendekatinya. Akan tetapi kalau hanya pandang mata saja apa salahnya? Aku tidak akan merugikannya dengan hanya pandang mata. Dengan pikiran ini, Tiang Bu memuaskan rindunya dengan sepasang matanya. Bi Li agaknya lelah sekali karena gadis itu sudah tertidur, napasnya lambat dan halus, bibirnya agak terbuka sehingga gigi yang berderet rata dan putih itu terkena cahaya bul an bersinar-sinar seperti mutiara.

Oleh karena gadis itu sudah tidur, Tiang Bu dapat leluasa memandangnya. Dengan sinar mutanya ia mencumbu rayu Bi Li dibelai-belainya rambut yang agak kusut itu, penuh kasih sayang. Heran sekali, terhadap Bi Li ia tidak mengalami rangsangan seperti ketika ia digoda oleh kakak beradik Cui Lin dan Cui Kim. Tidak timbul nafsu binatangnya, yang ada hanya kasih sayang, kasihan dan ingin melindunginya, ingin berkorban untuknya dan ingin hidup berdua yang lain -lain tidak ada artinya lagi baginya.

"Bi Li mengapa perasaanku terhadap kamu seperti ini...?" Tiang Bu mengeluh di dalam hatinya dan tak terasa ia merasa berduka sekali.

Teringat ia akan keadaannya yang sama sekali tidak patut dijejerkan dengan gadis itu. Bi Li cantik jelita. lebih cantik daripada Ceng Ceng, lebih cantik dari pada Cui Lin dan Cui Kim, lebih cant ik dari pada Lai Fei, pendeknya lebih cantik dari pada semua wanita yang pernah ia jumpai. Dan dia sendiri, ah, Tiang Bu cukup maklum dan insaf akan keburukan rupan ya. Ia tahu bahwa dia tidak boleh dibilang tampan, apa lagi ganteng.

Olok-olok dan ejekan yang dulu dilontarkan ke mukanya oleh Ceng Ceng, sudah cukup jelas. Hidungnya pesek, bibitnya tebal, mukanya kehitaman, gerak-geriknya canggung. Selain itu, ia seorang yatim pialu, seorang pemuda terlantar yang miskin, tidak punya apa-apa. Dia sama sekali tidak memikirkan Bi Li, apalagi mengharapkan dapat mencintai gadis itu. Bermalam di tempat seperti ini bersama saja se betuln ya dia sudah tidak berhak!

Apa lagi kalau diingat akan perbuatannya yang terkutuk dengan Cui Lin dan Cui Kim. Auhh, dia seorang bermoral bejat. seorang rendah budi. Tak terasa pula dua titik air mata turun dari sepasang matanya. Cepat-cepat Tiang Bu menghapusnya den gan tangan. Mengapa putus asa? Aku sudah cukup menyesal akan penyelewengan itu. bahkan sudah cukup terhukum di dalam jurang, sudah cutup terhina karena perbuatan kotor itu. Aku sudah bertobat dan takkan mengulangi perbuatan keji itu. Ia akan mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk melawan rangsangan nafsu jahat yang agaknya sudah mengalir ke dalam darahnya. Aku harus kuat. Aku seorang jantan.

“Tiang Bu kau melamun apa...?”

Tiang Bu kaget sekali. Begitu jauh ia melamun sehingga tidak tahu bahwa gadis itu sudah bergerak dalam tidurya, kini juga miring menghadapinva dan membuka mata perlahan. Pertanyaan itu biarpun diucapkaa dengnan perlahan dan lembut, tetap saja membuat Tiang Bu kaget dan hampir pemuda int melompat. Baiknya ia dapat menekan perasaannya dan hanya bangkit lalu duduk menyandarkan punggung di batang pohon.

“Aku... aku hanya memtkirkan nasib kita yang buruk...” akhirnya dapat juga ia menjawab.

"Mengapa kau bilang buruk?” Kini suara Bi Li menyatakan bahwa ia sudah sadar betul dan sepasang matanya juga terbuka lebih lebar. Ia nampak ingin tahu sekali.

"Betapa tidak buruk? Nasibmu sudah tak usah ditanya lagi. Dari seorang puteri bangsawan yang semenjak kecil hidup se rba mewah dan mulia, sekarang kau berada di tempat sepeti ini, di udara terbuka, bertilam rumput beratap langit berkelambu hutan berlampu bulan...”

Bi Li tertawa geli. “Kau seperti bersajak! Tiang Bu, di tengah malam buta kau bersajak. Benat-benar lucu!”

Tiang Bu menarik napas panjang sehingga terdergar oleh gadis itu. Bi Li juga bangkit dan duduk seperti Tiang Bu.

“Tiang Bu, susah benarkah hatimu? Kenapa?"

“Aku menghela napas bukan menyusahkan nasib sendiri melainkan... aku kasihan kepadamu kalau kukenang perubahan nasib hi dupmu, Bi Li.”

"Aaah, aku yang mengalami sendiri tidak apa-apa kok kau yang susah! Lebih baik kau ceritakan mengapa kau melamun tentang nasibmu. Buruk benarkah nasibmu?”

"Semenjak kecil ketika berada dengan keluarga Coa. aku memang merasa bahagia, akan tetapi selalu timbul keraguan dan keheranan kalau melihat sikap para pelayan yang aneh terhadapku. Kemudian aku terculik dan semenjak itu tak pernah kembali ke Kim-bun-to, dan mengalami hal-hal yang selalu tidak menyenangkan hati. Makin tua nasibku menjadi semakin buruk jua...”

Kembali Bi Li tertawa geli, mengangkat muka ke atas memandang bulan lalu berkata. “Bulan, kau dengarlah keluh-kesah kakek ini! Sudah tua nasibnya buruk. Bulan, tak dapatkah kau monolong kakek ini?”

Kebetulan segumpal awan putih lewat di bawah bulan, untuk sajenak menutupi ratu malam itu.

"Tiang Bu, kau lihat. Kesusahan hatimu membuat bulan sendiri ikut merasa sedih dan bermuram muka."

Tiang Bu menghadapi kejenakaan gadis ini dan hatinya terbuka, ia menjadi ikut gembira. “Bi Li, kukatakan tadi bahwa nasibku sejak dulu sampai sekarang sialan, akan tetapi hanya berhenti sampai sekarang. Mulai aku berjumpa dengan kau sinar terang mengusir semua kegelapan dan..."

"Apa maksudmu!?" Bi Li tersentak dari duduk tegak, sepasang matanya memandang penuh selidik dan tajam sekali.

Tiang Bu sadar bahwa ia mengeluarkan ucapan yang janggal dan patut menimbulkan curiga. "Aku tidak bermaksud buruk, Bi Li. Kumaksudkan bahwa semenjak bertemu dengan kau, aku mendapat seorang kawan baru yang kiranya akan dapat bekerja sama dengan aku membasmi orang-orang jahat. Bukankah hal ini menggirangkan hati benar dan mengusir semua kesunyian? Aku... aku tidak bermaksud kurang ajar. Bi Li... jangan kau marah...”

Sikap terang yang diperlihatkan Bi Li menjadi kendur kembali dan gadis itu kembali merebahkan diri seperti tadi sebelum terjaga berbaring terlentang berbantal batang pohon ia mengeluarkan seekor ularnya yang berkulit putih lalu main-main dengan ular ini yang melingkar-lingkar diantara jari-jari tangannya.

"Siapa marah? Hanya kau yang canggung dan bodoh, ucapanmu kadang kadang membingungkan orang."

“Memang aku bodoh, Bi Li. Bodoh dan dungu.” kata Tiang Bu perlahan, hatinya gondok. Kalau ia masih kecil, tentu ia akan menangis.

"Pemuda yang merasa seperti kakek-kakek padahal masih hijau, orang berilmu tinggi tapi lemah, yang mau pura-pura jadi orang baik memang kau bodoh! Pek Coa (Ular Putih) ini lebih pintar dari padamu...!"

Tiang Bu makin mendongkol, akan tetapi tidak membantah atau menjawab, takut kalau-kalau jawabannya akan lebih menonjolkan kecanggungan dan kebodohannya. Padahal ia sendiri tidak tahu dalam hal apakah ia disebut bodoh, sedangkan dalam persoalan apapun juga ia merasa tidak kalah pintar oleh dara ini.

Ia hanya mengerling tanpa menoleh, berbuat seolah-olah tidak mengindahkan dan tidak memperdulikan Bi Li, padahal matanya sampai terasa hampir juling karena selalu mengerling ke kanan! Dari sudut matanya ia melihat gadis itu makin lama makin lemas dan napasnya makin lembut tak lama kamudian Bi Li kembali tidur pulas. Ular putih itu merayap-rayap di antara jari-jari tangan Bi Li dan diam-diam Tiang Bu menyumpahi ular itu.

"Bedebah kau! Masa macammu lebih pintar dari pada aku? Ular setan, ular siluman! Dan kau boleh sesuka hatimu merayap-rayap membelai-belai dia, disayang dan dicintai!”

Dengan hati gemas dan kepala penuh cemburu dan iri hati ia melihat betapa ular putih merayap-rayap terus di antara dada Bi Li, kepalanya yang berlidah merah itu dijulur-julurkan, merayap melalui leher yang berkulit putih kekuningan itu, beberapa kali terpeleset di atas rambut hitam halus yang jatuh di pundak.

Beberapa kali Tiang Bu menelan ludah memaki-maki ular itu dengan mata penuh kebencian. Tangannya sudah gatal-gatal untuk meraih ular itu dan membantingnya hancur di atas batu untuk melampiaskan rasa marah, cemburu dan iri hatinya. Kemudian gangguan ular itu sampai pada puncaknya ketika ular itu merayap melalui dagu Bi Li dan lidahnya menjilat-jilat pipi dan bibir gadis itu.

"Jahanam jangan menghina dia...!” bentaknya dan sekali tangannya bergerak sebuah batu kecil menyambar dan di lain saat ular itu Sudah menggeletak di dekat tubuh Bi Li dengan kepala remuk dilanggar batu tadi, mati tak berkutik lagi!

Bi Li tersentak kaget. Ketika matanya yang tajam itu melihat Pek Coa sudah menggeletak dengan kepala hancur di dekat, ia melompat bangun dan sudah mencabut pedangnya.

"Siapa berani membunuh Pek coa?" bentaknya marah.

Melihat sikap Bi Li ini, baru Tiang Bu sadar akan perbuatannya tadi dan merasa menyesal. Iapun bangkit berdiri dan berkata dengan suara lemah. "Maaf, Bi Li. Akulah yang membunuhnya.”

Pedang itu dengan perlahan memasuki kembali sarangnya. Untuk sebentar mata Bi Li terbelalak heran, kemudian membayangkan kekhawatiran ketika ia melangkah menghampiri Tiang Bu untuk menatap wajah pemuda itu lebih dekat.

"Kau...? Kau membunuh Pek Coa...?” Aneh sekali, Tiang Bu, kau kenapakah dan mengapa Pek Coa yang kau tahu menjadi kesayanganku itu kau bunuh?”

“Aku... aku tidak sengaja. Tadinya akupun tidak ada niat itu, akan tetapi... melihat dia menjalar ke atas dada-mu, merayap ke leher dan dagumu... melihat dia secara kurang ajar sekali menjilat... pipimu... bibirmu...”

"Lalu timbul bencimu?"

Heran sekali hati Tiang Bu. Bagaimana gadis itu tahu belaka akan perasaannya? “Ya... eh, aku takut kalau kalau... kau digigitnya, dia ular berbisa dan kau sedang tidur pulas... aku lalu... lalu lupa diri dan... membunuhnya! Bi Li, maafkan aku. Kelak aku akan mencarikan ular putih berapa hanyak kau suka untuk menjadi penggantinya.”

Kalau saja ia tidak bicara sambil menundukkan muka, tentu Tiang Bu akan melihat perobahan luar biasa pada wajah gadis itu. Seluruh muka Bi Li menjadi merah sekali dan gadis ini membuang muka, lalu duduk di tempatnya yang tadi. Sekali cokel ia telah membuang bangkai ular putih itu.

"Dia toh hanya seekor binatang ular...” katanya perlahan. "Tiang Bu, kau memang laki-laki bodoh. Jangan ganggu, aku ingin tidur, besok harus melanjutkan perjalan an jauh...” Gadis itu membaringkan tubuhnya, miring membelakangi Tiang Bu dan tak lama ke mudian ia sudah pulas lagi. Tinggal Tiang Bu yang gulak-gulik tak dapat pulas, hatirqa tidak karuan rasanya, merasa berdosa terhadap Bi Li. Ularnya kubunuh dan dia tidak marah! Bagaimana dia tahu bahwa aku menjadi benci melihat ular itu menciummya? Heran, sampai berapa jauh dia mengetahui isi hatiku?

Menjelang pagi, ketika Tiang Bu baru layap-layap tertidur, ia mendengar suara orang. Seperti kebiasaan. seorang ahli silat tinggi, Tiang Bu segera sadar dan menengok. Dilihatnya Bi Li tersenyum-senyum dalam tidurnya dan mengigau dengan suara yang belum pernah ia dengar keluar dari mulut gadis itu, demikian merdu bagikan lagu indah memasuki telinganya. "Tiang Bu... kau... baik se kali...”

Dengan wajah berseri Tiang Bu pulas lagi, hatinya girang bukan main, Alangkah lucu dan bo dohnya manusia kalau lagi diamuk asmara

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Beberapa pekan kemudian tibalah Tiang Bui dan Bi Li di daerah lembah Sungai Luan ho yang menikung. Daerah ini terdapat banyak pegunungan dan kaya akan hutan. Tanahnya subur sekali akan tetapi sayangnya, di sana-sini terdapat rawa yang amat berhahaya. Bahkan ada bagian lain yang disebut rawa-rawa maut, karena di sini terdapat rawa yang tertutup rumput-rumput hijau tebal.

Padahal di bawah rumput tebal ini bukanlah tanah keras, melainkan lumpur yang amat dalam dan yang me mpunyai hawa menyedot. Sekali orang terpeleset ke dalamnya, kalau tidak mendapat pertolongan orang lain. akan sukarlah ia menolong diri sendiri, karena begitu kedua kaki terperosok ke dalam lumpur yang sembunyi di bawah rumput, kaki itu akan terhisap dan sukar dibetot keluarl agi. Makin lama makin dalam sampai akhirnya seluruh tubuh dihisap masuk.

Kebetulan sekali ketika Tiang Bu dan Bi Li tiba di daerah ini, mereka menjadi saksi akan kengerian ini. Mula-mula mereka men dengar suara binat ang menguak keras berkali-kali. Mereka merasa tertarik dan berlari cepat ke arah suara itu. Mula-mula mereka tidak tahu mengapa kijang besar itu meronta-ronta di tengah padang rumput hij au itu sambil menguak-nguak ketakutan. Seakan-akan binatang itu patah kakinya dan tidak bisa lari lagi, atau seakan-akan kedua kakinya terikat sesuatu.

Jangan-jangan ia dimangsa ular!" kata Tiang Bu.

Bi Li mengerutkan kening, bidungnya yang mancung kecil itu berkembang-kempis. “Tidak ada ular di sini. Akan tetapi kasihan sekali kijang itu, agaknya ketakutan. Coba kulihat dekat!”

Sebelum Tiang Bu sempat mencegah karena pemuda ini sudah merasa curiga melihat padang rumput yan g nampaknya mtin sunyi dan menyeramkan itu. Bi Li sudah melompat dan berlari mendekati tempat binatang itu yang meronta-ronta dan momekik-mekik ketakutan. Tiba-tiba Bi Li menjerit dan kedua kakinya amblas ke dalam lumpur yang tertutup rumput hijau. Baiknya gadis ini telah memiliki kepandaian tinggi sehingga tubuhnya tak sampai roboh. Ia mengerahkan ginkangnya untuk menahan keseimbangan badan, tetapi ketika ia mencoba untuk mencabut kedua kakinya, makin dalam ia terjerumus!

Baru sekarang Bi Li mengerti apa yang menyebabkan binatang itu meronta-ronta dan memekik-mekik ketakutan. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hidup, yang amat kuat menghisap kedua kakinya, terasa dingin-dingin dan betapapun kuat ia bertahan. tubuhnya makin tersedot ke bawah. Tiba-tiba ia menjadi pucat dan baru kali ini selama hidupnya Bi Li ketakutan dan... menjerit!

“Tiang Bu... tolong...!”

Tiang Bu sudah tiba di situ. Pemuda yang cerdik ini sebentar saja dapat menduga apa yang telah terjedi. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya mcnjaga jangan sampai terjerumus pula. Kalau demikian halnya mereka takkan tertolong lagi.

"Tenang, Bi Li. Kau tertangkap oleh apa yang dinamai lumpur maut atau rawa maut. Jangan banyak bergerak, tunggu aku membeto tmu keluar. Diam jangan bergerak, Bi Li...“

Benar saja, setelah Bi Li berhenti bergerak sedotan yang terasa pada kedua kakinya berhenti pula, akan tetapi lumpur itu sudah menghisapnya sampai ia amblas sebatas paha! Ia mandi keringat dingin saking ngeri dan takutnya, dan kini dengan penuh harapan ia melihat betapa Tiang Bu menghampirinya dengan kedua kaki diraba-rabakan ke depan, sambil tangannya mencabuti rumput untuk memilih tanah keras.

Akan tetapi, tanah yang tadinya kelihatan keras, begitu diinjaknya lalu longsor dan di bawahnya tanah keras itu hanya tipis saja, dan di bawahnya adalah lumpur belaka. Celaka, pikir Tiang Bu dengan jantung terhenti berdenyut. Kalau begini, tak mungkin Bi Li dapat tertolong. Begitu ia menarik tubuh gadis itu, tentu tan ah yang diinjaknya amblas pula dan mereka berdua akan terjerumus dimakan lautan lumpur!

“Tiang Bu, mengapa kau berhenti... Apakah... apakah aku tak dapat ditolong lagi!”

Sebagai jawaban, terdengar kijang itu menguak penuh kengerian. Terpaksa Bi Li menengok ke belakang, ke arah kijang yang han ya terpisah lima enam meter dari padanya dan me lihat keadaan itu, Bi Li menjerit,

"Tiang Bu...!"

Pemuda itupun menengok dan menjadi pucat. Kijang itu kini telah terhisap sampai melewati lehernya, yang kelihatan hanya sapasang mata yang terbelalak ketakutan lebar, hidung yang mendengus -dengus mengeluarkan uap putih dan mulut yang menguak-nguak panjang dan nyaring. Binatang itu tidak merasa sakit hanya takut... takut luar biasa melihat maut berjoget di depan mukanya. Dan Bi Li yang merasa ngeri lupa diri dan bergerak membuat ia amblas lagi sampai sebatas pinggang.

"Tiang Bu... demi Thian... tolonglah aku... aku tidak mau mati begini, tidak mau!” teriak Bi li ketakutan dan sepasang matanya melebar seperti mata kijang itu.

Nguak terdengar terus, makin lama makin lemah dan yang terakhir suara itu terdengar aneh seperti parau kemudian berhenti tiba-tiba seperti tercekik. Mulut atau moncong kijang itu tidak kelihatan lagi, hanya rumput di mana tadi ia berada bergcrak-gerak, seperti ada ular besar lewat di bawahnya.

"Bi Li. kautunggu sebentar. Kau tenanglah jangan bergerak. Ingat ini, jangan bergerak kalau kau ingin tertolong. Demi Thian, aku akan me nolongmu, biarpun aku harus berkorban nyawa. Akan tetapi kau tenanglah, pergunakan lweekang untuk mematikan semua pergerakan tubuh. Hanya kalau kau diam seperti barang mati lumpur itu takkan dapat menyedotmu. Aku akan mencari bambu untuk menolongmu. Tenang...!"

Tiang Bu melompat dan berlari ke arah hutan kecil di mana ia me lihat batang batang bambu berkelompok dengan daun daunnya yang indah. Setelah tiba di tempat itu, pemuda yang tidak mcmbekal senjata tajam ini lalu menggunakan kedua tangan, mencabuti bambu yang amat kuat itu sampai terlepas akarnya.

Tak lama kemudian ia sudah menyeret tiga batang bambu yang sudah ia patah-patahkan cabang-cabangnya. Dengan bambu ini dipasang melintang, dapat mengh ampiti Bi Li yang betul saja tidak bergerak sama sekali sehingga ia terbenam hanya sampai di pinggang, tidak lebih. Akan tetapi matanya berlinang air mata, mukanya pucat dan bibirnya gemetar. Berdiri di atas tiga batang bambu itu, Tiang Bu dapat berjalan dengan mudahnya, karena bambu-bambu yang panjang itu tidak tenggelam, seperti sebuah perahu rakit...

Tangan Gledek Jilid 34

Tangan Gledek Jilid 34

Tiang Bu yang tidak ingin mencari perkara mendahului Bi Li yang sudah merah padam pipinya. Pemuda ini mengedipkan mata kepada gadis lalu menengok kepada Ban Ek. "Kau datang-datang kok ribut-ribut, mau apa sih?”

Dada Ban Ek hampir meledak saking marahnya. Biasanya nama besar Ban Ek Si Kepalan Besi sudah cukup untuk membikin seorang liok-lim bertekuk lutut ketakutan, atau setidaknya seorang kang-ouw bersikap lebih hormat dan bersahabat. Akan tetapi pemuda yang sederhana ini sama sekali tidak mengacuhkannya.

"Pemuda tahu! Kau dan nona ini mencurigakan, harus kami periksa. Kalian berani makan di restoran, hayo keluarkan uang pembayarannya di depan kami!"

"Apa kau yang tadi mengaku komandan polisi sudah merangkap pekerjaan pelayan restoran? Kami tentu akan bayar makanan, akan tetapi hanya kepada pelayan restoran. Siapa tahu kalau kau bukan perampok yang Ingin membawa lari uang kami?"

“Setan alas kelaparan! Kau berani menghina Ban Ek Si Kepalan Besi? Jangan menantang kesabaranku. Hayo lekas perlihatkan bahwa kau bukan tukang tipu makanan dan bahwa kau memang betul akan membayar. Kalau tidak, sebelum makananmu habis, mukamu akan lebih dulu habis oleh kepalan besiku!”

Kini Tiang Bu yang tedinya sabar menjadi marah. Terlalu sekali, pikirnya. Biasanya orang-orang yang menamakan dirinya penjaga-penjaga keamanan kota atau polisi itu adalah orang-orang terpelajar, orang-orang sopan yang betul-betul menjadi pelindung menjadi penegak keadilan, menjadi bapak-rakyat yang mendatangkan rasa cinta dan terima kasih rakyat atas jasa-jasa mereka. Akan tetapi, sikap yang diperlihatkan oleh Ban Ek Si KepaIan Besi ini sama sekali bukan sikap penjaga keamanan, bahkan sebaliknya, sikap pengacau keamanan, bukan sikap bapak atau palindung rakyat, sebaliknya sikap musuh rakyat yang harus diganyang habis-habisan.

"Bi Li, keluarkan uangmu dan perlihatkan kepada monyet ini," katanya menahan marah. Memang Tiang Bu tidak punya uang. Kalau tadi ia berani masuk dan makan, adalah karena ia percaya bahwa Bi Li tentu punya uang. Bi Li semenjak kecil hidup di dalam gedung pangeran, mustahil kalau gadis itu tidak bawa uang...“

Memang betul dugaannya. Gadis seperti Bi Li puteri pangeran, tak mungkin berkantong kosong. Biarpun uangnya yang tadinya berada di saku sudah habis, namun gadis ini sudah menjual perhiasannya satu demi satu dan selalu ia membawa uang. Akan tetapi sejak tadi Bi Li sudah naik darah dan kalau tidak ada Tiang Bu di situ yang se lalu main sabar, tentu dia sudah memberi hajaran kepada orang yang mengaku diri koman dan polisi itu. Sekarang mendengar kata-kata Tiang Bu, ia sengaja berkata.

"Aku tidak punya uang, yang ada hanya sepasang kepalan tahu. Kau ini anjing kudisan minta bayaran. Nah, terimalah kepalan tahu ini untuk kawan kepalan besimu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang tadinya duduk di kursi itu tahu-tahu telah berkelebat di depan Ban Ek dan...

“Plak! plak !" Dua kali telapak tangan gadis "mampir" di sepasang pipi Ban Ek. Pukulan itu kelihatannya tidak keras, juga terasa sendiri oleh Ban Ek sendiri tidak keras. Maka komandan ini bertolak pinggang dan tertawa bergelak.

"Ha ha haaaeeekkk!” Suara ketawanya berubah secara mengagetkan karena tiba-tiba ia muntah darah segar diikuti gigi-giginya yang ternyata sudah copot semua seperti dicabuti. Ternyata bahwa tamparan Bi Li tadi hanya kelihatannya saja perlahan, namun dilakukan dengan pengerahan lwekang tinggi sehingga melukai jantung dan mencopotkan semua gigi. Ban Ek terhuyung-huyung. Baru terasa mulutnya sakit-sakit dan dadanya sesak. Ia hendak marah-marah, akan tetapi dadanya menjadi sesak dan di lain saat ia roboh terlentang dalam keadaan pingsan.

Gegerlah di situ. Enam orang tukang pukul yang lain menjadi marah dan mencabut golok mereka, akan tetapi hanya tiga orang yang berani menyerbu. Yang tiga takut-takut dan hanya berdiri dengan golok di tangan. Begitu menyerbu tiga orang ini menjerit dan roboh tak bernyawa lagi. Masing-masing tergigit oleh tiga ekor ular yang tahu-tahu sudah menyambar ke luar. dan kini merayap masuk lagi ke dalam saku baju Bi Li.

"Tahan...! Tahan...! Celaka dua belas dia itu adalah Wanyen Si ocia! Apa mata kalian sudah buta??” Dari luar datang Thio-tikoan berlari-lari dan pembesar itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li.

Melihat lagak pembesar yang berlutut itu kemarahan Bi Li seperti api disiram minyak. Ia sudah memegang seekor ularnya untuk menyerang pembesar itu, akan tetapi Tiang Bu yang sejak tadi sudah mengerutkan kening tak senang melihat gadis itu menyebar maut cepat melangkah maju dan menendang. Sekali tendang saja tubuh Thio-tikoan terlempar keluar dari rumah makan, bergulingan seperti bola.

“Pergilah! dan jangan mengganggu kami!” Tiang Bu berseru dengan suara keras berpengaruh.

Thio-tikoan kaget sekali. Di dalam hati ia marah sekali dan kalau tidak melihat bahwa gadis itu adalah puteri Pangeran Wanyen Ci Lun yang terkenal di kota raja, tentu ia akan mengerahkan tukang pukulnya untuk mengeroyok dan mencelakai dua orang muda itu. Apa lagi karena sebagai ahli silat ia tahu bahwa pemuda yang menendangnya tidak memiliki kepandaian hanya bertenaga kuat, buktinya ia yang ditendang sampai mencelat jauh itu tidak menderita luka dalam tubuh. Tentu saja sebetulnya ia tidak terluka karena memang Tiang Bu sengaja tidak mau melukainya.

Bi Li sudah mengeluarkan uangnya dan membayar harga makanan dan minuman kepada pelayan yang berdiri gemetaran saking takutnya. Kemudian orang muda itu pergi meninggalkan tumah makan.

“Bi Li, kenapa kau begitu kejam? Memang tukang-tukang pukul itu menjemukan sekali, akan tetapi kurasa belum patut dibunuh,” di tengah jalan Tiang Bu mencela gadis itu.

Celaan ini tidak memarahkan Bi Li, bahkan ia tersenyum merasa dipuji. "Aku sudah cukup kejam, Tiang Bu? Bagus, aku sudah takut kalau-kalau kelihatan tarlampau lemah. Ingat, aku keturunan See-thian Tok-ong dan Tee-tok, dua orang yang sudab amat terkenal sebagai manusia-manusia paling kejam di dunia ini. Me ngapa aku tak boleh kejam dan jahat? Hai, aku orang yang kejam di dunia ini, patut menjadi cucu See thian Tok-ong. Awas, Tiang Bu, kalau datang seleraku kaupun dapat kubunuh!”

Tiang Bu tersenyum pahit. Ia maklum akan gejolak hati gadis cantik ini. Agaknya kenyataan bahwa ia adalah puteri Tee-tok Kwan Kok Sun, menghancurkan hatinya dan ia menjadi nekad, sengaja berlaku jahat dan kejam karena tentu orang-orang akan memandang rendah dan hina kepada keturunan See-thian Tok-ong yang jahat. Dari pada disangka kejam dan jahat, lebih baik sekalian menjadi orang jahat dan kejam agar cocok menjadi keturunan orang yang terkenal paling jahat di dunia. Tentu demikian jalan pikiran gadis ini . Diam-diam Tiang Bu berpikir dan ke tidaksenangan hatinya menipis, terganti oleh perasaan kasihan yang besar.

“Ingat, Bi Li. Bukan kau saja keturunan orang jahat. Orang tuaku jauh lebih jahat dart pada orang tuamu. Kalau tidak percaya kau boleh tanya-tanya di dunia kang-ouw, siapa yang lebih jahat antara Kwan Kok Sun dan Liok Kong Ji. Tidak ada orang lebih jahat dari Liok Kong Ji yang disebut manusia iblis. Tapi, apa kaukira kalau keturunan orang jahat itupun harus jahat pula? Kau keliru! Pohonnya boleh bongkrek batangnya, akan tetapi belum tentu kalau buahnya buruk."

Bi Li tertawa mendengar perumpamaan ini. Memang pada dasarnya Bi Li seorang gadis lincah gembira mudah tertawa. Hanya semenlak ia mendengar bahwa dia anak orang jahat membuat wajahnya diliputi kebengisan mengerikan.

“Kau bicara seperti kakek-kakek. Nenek-moyang kita jahat, siapa yang akan percaya kita baik? Nenek moyang kita jahat, kalau kita lebih jahat dari mereka, bukankah itu artinya melanjutkan garis hidup mereka? Katanya seorang anak harus berbakti. kalau kita pura-pura menjadi orang baik, selain tak seorangpun di dunia ini percaya, juga saolah-olah kita mengejek dan merendahkan orang tua sendiri, manyeleweng dari jalan hidup mereka. Aku tidak sudi menjadi anak orang jahat yang pura-pura baik, ditertawai oleh orang kang-ouw dan dikutuk oleh arwah nenek moyang sendiri!”

Hebat, pikir Tiang Bu. Celakalah kalau jalan pikiran macam ini tidak dirubah. "Bi Li! Kau keliru! Diumpamakan ayah kita itu sebatang pohon yang bongkrek dan buruk tiada guna, akan tetapi kita sebagai buah-buah pohon bongkrek itu ternyata manis dan berguna, tentu pohonnya akan dihargai orang dan tidak dirusak. Sebaliknya, kalau pohonnya buruk buahnya masam, dua-duanya tiada guna bukankah pohonnya akan ditebang dan dijadikan umpan api. Nama buruk orang tua kita hanya dapat dicuci dan dibersihkan oleh perbuatan baik kita, bukan makin dicemarkan dan dikotori oleh perbuatan jahat kita. Kau tahu betapa sakit dan hancur hatiku memusuhi ayah sendiri, akan tetapi biarpun harus meramkan mata, kalau bertemu dengan Liok Kong Ji yang di luar kehendakku ternyata adalah ayahku itu, pasti akan kubunuh!”

Bi Li memandang dengan matanya yang indah seperti mata burung Hong. Kemudian tertawa geli sambil menutupi mulutnya yang berbibir merah segar dan bergigi putih seperti mutiara itu. "Kau... kau orang lucu benar! Kau bilang mau berbuat baik menebus kedosaan ayah, akan tetapi kau bermaksud membunuh ayah sendiri! Hei, Tiang Bu, tidak tahukah kau bahwa tidak ada kejahatan yang lebih besar dari pada membunuh ayah sendiri? Andaikata aku dapat membunuh seratus orang tidak berdosa, aku masih kalah hebat olehmu yang membunuh ayah sendiri!"

Mendengar ucapan ini, Tiang Bu melongo dan untuk sesaat tak dapat menjawab. Akhirnya ia hanya dapat berkata lirih, terputus-putus, “Dia jahat... dia jahat sekali... aku harus bunuh dia...” Bimbang hatinya mendengar ucapan Bi Li yang langsung menusuk hatinya itu. Ucapan sederhana namun mengandung sari filsafat hidup tentang "hauw" atau berbakti.

Sari pelajaran dari Guru Besar Khong Hu Cu tentang hauw ini banyak disalahgunakan orang. khususnya para pengikut atau para penganut pelajaran-pelajaran guru besar yang tiada keduanya di dunia itu. Sebagian besar orang tua mempergunakan ujar-ujar Khong Hu Cu tentang hauw ini demi kepentingan dan keuntungan diri sendiri.

Anak-anak diajar atau bahkan hampir dapat dikatakan dipaksa untuk berbakti secara membuta, untuk menurut apa yang dikehendaki oleh orang tua bukan demi kepentingan anak itu sendiri melainkan demi keuntungan si orang tua. Anak-anak hendak dijadikan alat-alat untuk menyenangkan hati orang tua dan agar anak-anak itu melakukannya dengan senang hati den membuta, maka si orang tua menyalahgunakan hauw, pelajaran yang suci dari Guru Besar Khong Hu Cu!

Karena penyalah gunakan pelajaran tentang hauw inilah maka di Tiongkok dahulu banyak terjadi hal-hal yang tidak adil, hanya karena orang hendak mengikuti pelajaran tentang hauw secara membabi buta. Misalnya, anak harus menikah dengan orang yang tak disukainya karena orang tuanya sudah suka, dan anak itu dihadiahi sebutan u-hauw (berbakti).

Anak harus membantu orang tuanya biarpun orang tuannya melakukan pekerjaan jahat dan biarpun si anak di dalam hati tidak menyetujui pekerjaan itu dan anak itu juga anak u-hauw! Masih banyak hal-hal yang rendah terjadi akibat orang tua menyalahgunakan sari pelajaran ini demi kesenangan dan kepentingan sendiri.


"Kau keliru, Bi Li," kata Tiang Bu dengan suara tegas. "Kalau sampai aku membunuh Liok Kong Ji, aku membunuhnya sebagai orang pembela keadilan membunuh seorang penjahat besar, seorang pcngkhianat bangsa dan seorang pengganggu keamanan rakyat. Bukan sekali-kali sebagai seorang anak membunuh ayahnya."

Untuk beberapa detik sinar mata gadis menatap wajah Tiang Bu penuh kekaguman akan tetapi hanya sebentar karena gadis segera tertawa lagi dengan nada mengejek kemudian berkata, "Kau tadi telah bilang sudah tahu tempat tinggal ayahmu... eh, jahanam she Liok itu. Jauhkah dari sini?"

"Tidak begitu jauh. Ui-tiok-lim berada di lembah Sungai Luan-ho, di luar tembok Kota Raja Kin di utara. Di sanalah Liok Kong Ji tinggal, menyembunyikan diri dengan anak-anak angkat dan kaki tangannya semenjak dia mengundurkan diri dari bala tentara Mongol."

"Jadi dia tidak membantu Jengis Khan lagi?”

“Sepanjang yang kudengar tidak. Bala tentara Mongol menyerbu ke barat dan hampir semua orang Han yang tadinya membantu, merasa enggan untuk menyerbu ke negara orang lain dan meninggalkan bala tentara Mongol. Akan tetapi mereka ini agaknya merasa malu kepada bangsa sendiri, juga Liok Kong Ji menyembunyikan diri di Ui-tiok-lim, tak pernah muncul lagi di dunia, kang-ouw. Yang muncul hanya anak-anak angkatnya yang dalam kejahatan kiranya tidak kalah oleh Liok Kong Ji.” Tiang Bu menarik napas panjang, teringat akan Liok Cui Lin dan Liok Cui Kim, dan tiba-tiba mukanya menjadi merah.

"Kalau begitu mari kita segera berangkat ke sana!" ajak Bi Li dengan nada gembira.

"Baiklah, hanya pesanku jangan kau semberono. Aku mendengar sudah ada beberapa orang gagah mencoba memasuki Ui-tiok-lim, akan tetapi mereka itu gagal di tengah jalan dan dan tewas sebelum mereka dapat bertemu muka dengan Liok Kong Ji atau anak-anak angkatnya."

"Mengapa begitu? Demikian berbahayakah Hutan Bambu Kuning” itu?”

Tiang Bu menganguk-angguk. “Kabarnya begitu. Bambu-bambu di hutan itu sengaja di tanam merupakan barisan-barisan dalam bentuk yang ganjil, dipasangi alat-alat rahasia yang berbahaya. Kabarnya, memasuki Ui-tiok-lim tempat tinggal Liok Kong Ji itu bahkan lebih sulit dari pada memasukt Kuil Siauw-Lim si yang terkenal kuat."

Diam-diam Bi Li kaget sekali. ia pernah mendengar dari gurunya, Ang jiu Mo-li bahw Kuil Siauw-lim-si amat kuatnya. Bahkan gurunya itu, Ang-Jiu Mo li yang lihai, pernah mencoba-coba memasuki Siauw lim-si untuk mencuri kitab, akan tetapi terpaksa keluar lagi dan hampir saja tewas! Kalau Siauw-lim-si saja sudah begitu lihai dan tempat ini katanya lebih lihai lagi. dapat dibayangkan betapa sukarnya memasuki Ui tok-lim.

Tanpa kenal lelah, Bi Li dan Tiang Bu melakukan perjalanan bersama menuju ke utara melalui tembok besar. Di sepanjang perjalanan tiada hentinya Tiang Bu mengulurkan tangan menolong rakyat jelata yang keadaannya amat menyedihkan. Bekas tangan bala tentara Mongol kelihatan nyata, mendirikan bulu roma, mengerikan sekali. Tumpukan puing menghitam sisa api, bau busuk dari mayat manusia yang lambat dikubur dan darah-darah manusia yang berceceran di atas tanah, ditambah pula dengan manusia-manusia hidup setengah mati, kurus kering seperti rangka hidup terhuyung-huyung atau berjongkok dan bergelimpangan di antara tumpukan puing, suara anak-anak menangis minta makan.

Semua ini menggugah hati Tiang Bu untuk bertindak, didatanginya rumah-rumah pembesar setempat, digunakannya kekerasan agar para pembesar lalim ini suka menggulung lengan baju dan melakukan tugasnya sebagai bapak rakyat, menolong mereka yang patut ditolong dan mengatur mana yang patut diatur. Berkat kekerasan tangan Tiang Bu, banyak orang desa tertolong, tidak saja yang kelaparan mundapat makanan, juga yang kepanasan mendapat tempat berteduh dan yang menganggur mendapat pekerjaan. Semua dijamin oleh para pembesar yang dipaksa oleh tangan keras Tiang Bu.

Mula-mula Bi Li tidak sabar bahkan mendongkol melihat betapa pemuda itu melakukan usaha ini. Dianggapnya membuang waktu dan tenaga, hanya memperlambat perjalanan. Akan tetapi ketika ia melihat betapa rakyat yang sengsara itu berterima kasih, betapa anak-anak yang menangis menjadi tertawa, tergugah pula batin gadis yang memang bukan pada dasarnya jahat ini. Bi Li sengaja berlaku jahat dan kejam untuk "menyesuaikan diri" dengan darah keturunannya yang mengalir di tubuhnya.

Setelah rakyat memberi julukan PEK LUl ENG (Ksatria Tangan Geledeg.) kepada Tiang Bu. Bi Li juga mulai aktip membantu pemuda itu. Tiang Bu diberi julukan demikian karena selalu ia bertindak tanpa mempergunakan senjata, hanya mengandalkan kedua tangannya yang cepat dan ban bahaya seperti geledek menyambar.

Setelah Bi Li turun tangan pula, mempergunakan pedangnya untuk menabas buntung hidung atau batang telinga pembesar lalim dan korup, mempergunakan ular-ularnya untuk menakut nakuti mereka yang menindas rakyat, makin berhasillah usaha Tiang Bu. Makin banyak pula desa-desa tertolong dari kelaparan dan kebinasaan. Akan tetapi perjalanan dua orang muda itu menjadi makin lambat sehingga tiga bulan lewat tak terasa ketika mereka akhirnya tiba di daerah lembab Sungai Luan-ho. Mereka terus menyusur tepi sungai yang mengalir dari utara.

Pada pekan ke dua terpaksa bermalam di sebuah hutan. Belasan li di sekeliling tempat ini tidak ada pedusunan sehingga mereka terpaksa bermalam di bawah pohon. Malam itu bulan bersinar terang sekali, mendatangkan suasana romantis di dalam butan itu. Mereka memilih sebuah tempat yang bersih, dibayangi pohon-pobon yangliu yang tinggi dan berbatang ramping seperti pinggang gadis-gadis ayu. Di atas pohon, langit bersih, biru putih kekuning-kuningan penuh sinar bulan yang mendatangkan hawa dingin sejuk menyegarkan.

Bi Li sepera menjatuhkan diri. duduk di atas rumput lunak menyandarkan tubuh pada sebatang pohon sambil menarik napas penuh nikmat melemaskan anggauta tubuh yang kaku-kaku kelelahan.

"Aaahhh, enaknya di sini... nyaman sekali...!" katanya perlahan, senyumnya menambah cemerlang sinar bulan.

Tiang Bu juga merebahkan tubuhnya yang lelab di dekat batang pohon yang sudah tumbang melintang tak jauh dari tempat Bi Li duduk. Mendengar ucapan gadis itu, Tiang Bu memandang dan hatinya berdebar aneh. Bukan main indahnya pemandangan itu. Seorang bidadari mandi cahaya bulan. Alangkah cantik jelitanya Bi Li ketika bersandar pada pohon dengan muka sepenuhnya disinari cahaya bulan purnama. Matanya tertutup dan bulu matanya yang lentik panjang itu menimbulkan bayang-bayang di bawah matanya, manis sekali.

Bi Li membuka matanya, "Kau di mana, Tiang Bu?" tanyanya tanpa menoleh, dengan mata berkedip-kedip jarang.

"Di sini...!” jawab pemuda itu. "Lebih enak di sini, dapat tidur."

Mendengar jawaban ini, Bi Li menengadah dan memandang. Ia melihat Tiang Bu melonjorkan kakinya ke depan, pungaung dan kepalanya disandarkan pada batang pohon melintang, seperti memakai bantal. Nampaknya memang enak sekali, tidak seperti bersandar pada batang pohon berdiri, terlalu lurus dan hanya dapat duduk, tak dapat berbaring.

"Minggirlah, akupun ingin tidur! Jangan borong semua tempat itu!” Bi Li meloncat lincah jenaka.

Tiang Bu mengguling-gulingkan tubuhnya sampai ia berada di ujung batang pohon lalu berbaring miring sambil tersenyum memandang kawannya yang jenaka itu. Bi Li merebahkan diri terlentang di ujung batang pohon yang lain, kurang lebih lima belas kaki jauhnya dari Tiang Bu sehingga pemuda ini dapat melihat dengan nyata. Bahkan ia dapat mencium bau harum yang selalu selalu semerbak menghambur dari tubuh gadis itu, bau harum yang ganjil sekali. Makin berdebar hati Tiang Bu melihat keindahan wajah dan tubuh gadis remaja yang kini berbaring tak jauh dari tempatnya.

Teringat ia akan semua pengalamannya dengan Cui Lin dan Cui Kim dan tiba tiba ingin ia menampar mukanya sendiri. Bi Li seorang gadis terhormat, tak patut seorang rendah budi dan hina dina semacam dia memikirkan dan merindukannya! Cepat ia membuang muka ke lain jurusan agar jangan matanya manatapi mahluk indah di depannya itu dan agar jangan sampai hatinya tergoda. Akan tetapi makin dijauhi makin menggoda.

Ke manapun juga ia melempar pandang, bayangan gadis telentang den gan, dada dan kepala terganjal batang pohon sehingga dada itu membusung padat dan leher yang putih kekuningan itu berlawanan sekali dengan batang pohon yang berwarna coklat, selalu nampak di depan mata. Seakan-akan bayangan gadis itu berpin dah-pindah selalu ke depan matanya, atau seakan -akan sepasang matanya yang pindah ke belakang keplanya, tidak mau meninggalkan pemandangan yang indah itu

Akhirnya Tiang Bu berbaring miring lagi menghadapi Bi Li! Aku tidak berhak mengganggunya. aku ti dak berharga mcncintainya. tidak patut mengenan gkannya, sama sekali tidak boleh mendekatinya. Akan tetapi kalau hanya pandang mata saja apa salahnya? Aku tidak akan merugikannya dengan hanya pandang mata. Dengan pikiran ini, Tiang Bu memuaskan rindunya dengan sepasang matanya. Bi Li agaknya lelah sekali karena gadis itu sudah tertidur, napasnya lambat dan halus, bibirnya agak terbuka sehingga gigi yang berderet rata dan putih itu terkena cahaya bul an bersinar-sinar seperti mutiara.

Oleh karena gadis itu sudah tidur, Tiang Bu dapat leluasa memandangnya. Dengan sinar mutanya ia mencumbu rayu Bi Li dibelai-belainya rambut yang agak kusut itu, penuh kasih sayang. Heran sekali, terhadap Bi Li ia tidak mengalami rangsangan seperti ketika ia digoda oleh kakak beradik Cui Lin dan Cui Kim. Tidak timbul nafsu binatangnya, yang ada hanya kasih sayang, kasihan dan ingin melindunginya, ingin berkorban untuknya dan ingin hidup berdua yang lain -lain tidak ada artinya lagi baginya.

"Bi Li mengapa perasaanku terhadap kamu seperti ini...?" Tiang Bu mengeluh di dalam hatinya dan tak terasa ia merasa berduka sekali.

Teringat ia akan keadaannya yang sama sekali tidak patut dijejerkan dengan gadis itu. Bi Li cantik jelita. lebih cantik daripada Ceng Ceng, lebih cantik dari pada Cui Lin dan Cui Kim, lebih cant ik dari pada Lai Fei, pendeknya lebih cantik dari pada semua wanita yang pernah ia jumpai. Dan dia sendiri, ah, Tiang Bu cukup maklum dan insaf akan keburukan rupan ya. Ia tahu bahwa dia tidak boleh dibilang tampan, apa lagi ganteng.

Olok-olok dan ejekan yang dulu dilontarkan ke mukanya oleh Ceng Ceng, sudah cukup jelas. Hidungnya pesek, bibitnya tebal, mukanya kehitaman, gerak-geriknya canggung. Selain itu, ia seorang yatim pialu, seorang pemuda terlantar yang miskin, tidak punya apa-apa. Dia sama sekali tidak memikirkan Bi Li, apalagi mengharapkan dapat mencintai gadis itu. Bermalam di tempat seperti ini bersama saja se betuln ya dia sudah tidak berhak!

Apa lagi kalau diingat akan perbuatannya yang terkutuk dengan Cui Lin dan Cui Kim. Auhh, dia seorang bermoral bejat. seorang rendah budi. Tak terasa pula dua titik air mata turun dari sepasang matanya. Cepat-cepat Tiang Bu menghapusnya den gan tangan. Mengapa putus asa? Aku sudah cukup menyesal akan penyelewengan itu. bahkan sudah cukup terhukum di dalam jurang, sudah cutup terhina karena perbuatan kotor itu. Aku sudah bertobat dan takkan mengulangi perbuatan keji itu. Ia akan mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk melawan rangsangan nafsu jahat yang agaknya sudah mengalir ke dalam darahnya. Aku harus kuat. Aku seorang jantan.

“Tiang Bu kau melamun apa...?”

Tiang Bu kaget sekali. Begitu jauh ia melamun sehingga tidak tahu bahwa gadis itu sudah bergerak dalam tidurya, kini juga miring menghadapinva dan membuka mata perlahan. Pertanyaan itu biarpun diucapkaa dengnan perlahan dan lembut, tetap saja membuat Tiang Bu kaget dan hampir pemuda int melompat. Baiknya ia dapat menekan perasaannya dan hanya bangkit lalu duduk menyandarkan punggung di batang pohon.

“Aku... aku hanya memtkirkan nasib kita yang buruk...” akhirnya dapat juga ia menjawab.

"Mengapa kau bilang buruk?” Kini suara Bi Li menyatakan bahwa ia sudah sadar betul dan sepasang matanya juga terbuka lebih lebar. Ia nampak ingin tahu sekali.

"Betapa tidak buruk? Nasibmu sudah tak usah ditanya lagi. Dari seorang puteri bangsawan yang semenjak kecil hidup se rba mewah dan mulia, sekarang kau berada di tempat sepeti ini, di udara terbuka, bertilam rumput beratap langit berkelambu hutan berlampu bulan...”

Bi Li tertawa geli. “Kau seperti bersajak! Tiang Bu, di tengah malam buta kau bersajak. Benat-benar lucu!”

Tiang Bu menarik napas panjang sehingga terdergar oleh gadis itu. Bi Li juga bangkit dan duduk seperti Tiang Bu.

“Tiang Bu, susah benarkah hatimu? Kenapa?"

“Aku menghela napas bukan menyusahkan nasib sendiri melainkan... aku kasihan kepadamu kalau kukenang perubahan nasib hi dupmu, Bi Li.”

"Aaah, aku yang mengalami sendiri tidak apa-apa kok kau yang susah! Lebih baik kau ceritakan mengapa kau melamun tentang nasibmu. Buruk benarkah nasibmu?”

"Semenjak kecil ketika berada dengan keluarga Coa. aku memang merasa bahagia, akan tetapi selalu timbul keraguan dan keheranan kalau melihat sikap para pelayan yang aneh terhadapku. Kemudian aku terculik dan semenjak itu tak pernah kembali ke Kim-bun-to, dan mengalami hal-hal yang selalu tidak menyenangkan hati. Makin tua nasibku menjadi semakin buruk jua...”

Kembali Bi Li tertawa geli, mengangkat muka ke atas memandang bulan lalu berkata. “Bulan, kau dengarlah keluh-kesah kakek ini! Sudah tua nasibnya buruk. Bulan, tak dapatkah kau monolong kakek ini?”

Kebetulan segumpal awan putih lewat di bawah bulan, untuk sajenak menutupi ratu malam itu.

"Tiang Bu, kau lihat. Kesusahan hatimu membuat bulan sendiri ikut merasa sedih dan bermuram muka."

Tiang Bu menghadapi kejenakaan gadis ini dan hatinya terbuka, ia menjadi ikut gembira. “Bi Li, kukatakan tadi bahwa nasibku sejak dulu sampai sekarang sialan, akan tetapi hanya berhenti sampai sekarang. Mulai aku berjumpa dengan kau sinar terang mengusir semua kegelapan dan..."

"Apa maksudmu!?" Bi Li tersentak dari duduk tegak, sepasang matanya memandang penuh selidik dan tajam sekali.

Tiang Bu sadar bahwa ia mengeluarkan ucapan yang janggal dan patut menimbulkan curiga. "Aku tidak bermaksud buruk, Bi Li. Kumaksudkan bahwa semenjak bertemu dengan kau, aku mendapat seorang kawan baru yang kiranya akan dapat bekerja sama dengan aku membasmi orang-orang jahat. Bukankah hal ini menggirangkan hati benar dan mengusir semua kesunyian? Aku... aku tidak bermaksud kurang ajar. Bi Li... jangan kau marah...”

Sikap terang yang diperlihatkan Bi Li menjadi kendur kembali dan gadis itu kembali merebahkan diri seperti tadi sebelum terjaga berbaring terlentang berbantal batang pohon ia mengeluarkan seekor ularnya yang berkulit putih lalu main-main dengan ular ini yang melingkar-lingkar diantara jari-jari tangannya.

"Siapa marah? Hanya kau yang canggung dan bodoh, ucapanmu kadang kadang membingungkan orang."

“Memang aku bodoh, Bi Li. Bodoh dan dungu.” kata Tiang Bu perlahan, hatinya gondok. Kalau ia masih kecil, tentu ia akan menangis.

"Pemuda yang merasa seperti kakek-kakek padahal masih hijau, orang berilmu tinggi tapi lemah, yang mau pura-pura jadi orang baik memang kau bodoh! Pek Coa (Ular Putih) ini lebih pintar dari padamu...!"

Tiang Bu makin mendongkol, akan tetapi tidak membantah atau menjawab, takut kalau-kalau jawabannya akan lebih menonjolkan kecanggungan dan kebodohannya. Padahal ia sendiri tidak tahu dalam hal apakah ia disebut bodoh, sedangkan dalam persoalan apapun juga ia merasa tidak kalah pintar oleh dara ini.

Ia hanya mengerling tanpa menoleh, berbuat seolah-olah tidak mengindahkan dan tidak memperdulikan Bi Li, padahal matanya sampai terasa hampir juling karena selalu mengerling ke kanan! Dari sudut matanya ia melihat gadis itu makin lama makin lemas dan napasnya makin lembut tak lama kamudian Bi Li kembali tidur pulas. Ular putih itu merayap-rayap di antara jari-jari tangan Bi Li dan diam-diam Tiang Bu menyumpahi ular itu.

"Bedebah kau! Masa macammu lebih pintar dari pada aku? Ular setan, ular siluman! Dan kau boleh sesuka hatimu merayap-rayap membelai-belai dia, disayang dan dicintai!”

Dengan hati gemas dan kepala penuh cemburu dan iri hati ia melihat betapa ular putih merayap-rayap terus di antara dada Bi Li, kepalanya yang berlidah merah itu dijulur-julurkan, merayap melalui leher yang berkulit putih kekuningan itu, beberapa kali terpeleset di atas rambut hitam halus yang jatuh di pundak.

Beberapa kali Tiang Bu menelan ludah memaki-maki ular itu dengan mata penuh kebencian. Tangannya sudah gatal-gatal untuk meraih ular itu dan membantingnya hancur di atas batu untuk melampiaskan rasa marah, cemburu dan iri hatinya. Kemudian gangguan ular itu sampai pada puncaknya ketika ular itu merayap melalui dagu Bi Li dan lidahnya menjilat-jilat pipi dan bibir gadis itu.

"Jahanam jangan menghina dia...!” bentaknya dan sekali tangannya bergerak sebuah batu kecil menyambar dan di lain saat ular itu Sudah menggeletak di dekat tubuh Bi Li dengan kepala remuk dilanggar batu tadi, mati tak berkutik lagi!

Bi Li tersentak kaget. Ketika matanya yang tajam itu melihat Pek Coa sudah menggeletak dengan kepala hancur di dekat, ia melompat bangun dan sudah mencabut pedangnya.

"Siapa berani membunuh Pek coa?" bentaknya marah.

Melihat sikap Bi Li ini, baru Tiang Bu sadar akan perbuatannya tadi dan merasa menyesal. Iapun bangkit berdiri dan berkata dengan suara lemah. "Maaf, Bi Li. Akulah yang membunuhnya.”

Pedang itu dengan perlahan memasuki kembali sarangnya. Untuk sebentar mata Bi Li terbelalak heran, kemudian membayangkan kekhawatiran ketika ia melangkah menghampiri Tiang Bu untuk menatap wajah pemuda itu lebih dekat.

"Kau...? Kau membunuh Pek Coa...?” Aneh sekali, Tiang Bu, kau kenapakah dan mengapa Pek Coa yang kau tahu menjadi kesayanganku itu kau bunuh?”

“Aku... aku tidak sengaja. Tadinya akupun tidak ada niat itu, akan tetapi... melihat dia menjalar ke atas dada-mu, merayap ke leher dan dagumu... melihat dia secara kurang ajar sekali menjilat... pipimu... bibirmu...”

"Lalu timbul bencimu?"

Heran sekali hati Tiang Bu. Bagaimana gadis itu tahu belaka akan perasaannya? “Ya... eh, aku takut kalau kalau... kau digigitnya, dia ular berbisa dan kau sedang tidur pulas... aku lalu... lalu lupa diri dan... membunuhnya! Bi Li, maafkan aku. Kelak aku akan mencarikan ular putih berapa hanyak kau suka untuk menjadi penggantinya.”

Kalau saja ia tidak bicara sambil menundukkan muka, tentu Tiang Bu akan melihat perobahan luar biasa pada wajah gadis itu. Seluruh muka Bi Li menjadi merah sekali dan gadis ini membuang muka, lalu duduk di tempatnya yang tadi. Sekali cokel ia telah membuang bangkai ular putih itu.

"Dia toh hanya seekor binatang ular...” katanya perlahan. "Tiang Bu, kau memang laki-laki bodoh. Jangan ganggu, aku ingin tidur, besok harus melanjutkan perjalan an jauh...” Gadis itu membaringkan tubuhnya, miring membelakangi Tiang Bu dan tak lama ke mudian ia sudah pulas lagi. Tinggal Tiang Bu yang gulak-gulik tak dapat pulas, hatirqa tidak karuan rasanya, merasa berdosa terhadap Bi Li. Ularnya kubunuh dan dia tidak marah! Bagaimana dia tahu bahwa aku menjadi benci melihat ular itu menciummya? Heran, sampai berapa jauh dia mengetahui isi hatiku?

Menjelang pagi, ketika Tiang Bu baru layap-layap tertidur, ia mendengar suara orang. Seperti kebiasaan. seorang ahli silat tinggi, Tiang Bu segera sadar dan menengok. Dilihatnya Bi Li tersenyum-senyum dalam tidurnya dan mengigau dengan suara yang belum pernah ia dengar keluar dari mulut gadis itu, demikian merdu bagikan lagu indah memasuki telinganya. "Tiang Bu... kau... baik se kali...”

Dengan wajah berseri Tiang Bu pulas lagi, hatinya girang bukan main, Alangkah lucu dan bo dohnya manusia kalau lagi diamuk asmara

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Beberapa pekan kemudian tibalah Tiang Bui dan Bi Li di daerah lembah Sungai Luan ho yang menikung. Daerah ini terdapat banyak pegunungan dan kaya akan hutan. Tanahnya subur sekali akan tetapi sayangnya, di sana-sini terdapat rawa yang amat berhahaya. Bahkan ada bagian lain yang disebut rawa-rawa maut, karena di sini terdapat rawa yang tertutup rumput-rumput hijau tebal.

Padahal di bawah rumput tebal ini bukanlah tanah keras, melainkan lumpur yang amat dalam dan yang me mpunyai hawa menyedot. Sekali orang terpeleset ke dalamnya, kalau tidak mendapat pertolongan orang lain. akan sukarlah ia menolong diri sendiri, karena begitu kedua kaki terperosok ke dalam lumpur yang sembunyi di bawah rumput, kaki itu akan terhisap dan sukar dibetot keluarl agi. Makin lama makin dalam sampai akhirnya seluruh tubuh dihisap masuk.

Kebetulan sekali ketika Tiang Bu dan Bi Li tiba di daerah ini, mereka menjadi saksi akan kengerian ini. Mula-mula mereka men dengar suara binat ang menguak keras berkali-kali. Mereka merasa tertarik dan berlari cepat ke arah suara itu. Mula-mula mereka tidak tahu mengapa kijang besar itu meronta-ronta di tengah padang rumput hij au itu sambil menguak-nguak ketakutan. Seakan-akan binatang itu patah kakinya dan tidak bisa lari lagi, atau seakan-akan kedua kakinya terikat sesuatu.

Jangan-jangan ia dimangsa ular!" kata Tiang Bu.

Bi Li mengerutkan kening, bidungnya yang mancung kecil itu berkembang-kempis. “Tidak ada ular di sini. Akan tetapi kasihan sekali kijang itu, agaknya ketakutan. Coba kulihat dekat!”

Sebelum Tiang Bu sempat mencegah karena pemuda ini sudah merasa curiga melihat padang rumput yan g nampaknya mtin sunyi dan menyeramkan itu. Bi Li sudah melompat dan berlari mendekati tempat binatang itu yang meronta-ronta dan momekik-mekik ketakutan. Tiba-tiba Bi Li menjerit dan kedua kakinya amblas ke dalam lumpur yang tertutup rumput hijau. Baiknya gadis ini telah memiliki kepandaian tinggi sehingga tubuhnya tak sampai roboh. Ia mengerahkan ginkangnya untuk menahan keseimbangan badan, tetapi ketika ia mencoba untuk mencabut kedua kakinya, makin dalam ia terjerumus!

Baru sekarang Bi Li mengerti apa yang menyebabkan binatang itu meronta-ronta dan memekik-mekik ketakutan. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hidup, yang amat kuat menghisap kedua kakinya, terasa dingin-dingin dan betapapun kuat ia bertahan. tubuhnya makin tersedot ke bawah. Tiba-tiba ia menjadi pucat dan baru kali ini selama hidupnya Bi Li ketakutan dan... menjerit!

“Tiang Bu... tolong...!”

Tiang Bu sudah tiba di situ. Pemuda yang cerdik ini sebentar saja dapat menduga apa yang telah terjedi. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya mcnjaga jangan sampai terjerumus pula. Kalau demikian halnya mereka takkan tertolong lagi.

"Tenang, Bi Li. Kau tertangkap oleh apa yang dinamai lumpur maut atau rawa maut. Jangan banyak bergerak, tunggu aku membeto tmu keluar. Diam jangan bergerak, Bi Li...“

Benar saja, setelah Bi Li berhenti bergerak sedotan yang terasa pada kedua kakinya berhenti pula, akan tetapi lumpur itu sudah menghisapnya sampai ia amblas sebatas paha! Ia mandi keringat dingin saking ngeri dan takutnya, dan kini dengan penuh harapan ia melihat betapa Tiang Bu menghampirinya dengan kedua kaki diraba-rabakan ke depan, sambil tangannya mencabuti rumput untuk memilih tanah keras.

Akan tetapi, tanah yang tadinya kelihatan keras, begitu diinjaknya lalu longsor dan di bawahnya tanah keras itu hanya tipis saja, dan di bawahnya adalah lumpur belaka. Celaka, pikir Tiang Bu dengan jantung terhenti berdenyut. Kalau begini, tak mungkin Bi Li dapat tertolong. Begitu ia menarik tubuh gadis itu, tentu tan ah yang diinjaknya amblas pula dan mereka berdua akan terjerumus dimakan lautan lumpur!

“Tiang Bu, mengapa kau berhenti... Apakah... apakah aku tak dapat ditolong lagi!”

Sebagai jawaban, terdengar kijang itu menguak penuh kengerian. Terpaksa Bi Li menengok ke belakang, ke arah kijang yang han ya terpisah lima enam meter dari padanya dan me lihat keadaan itu, Bi Li menjerit,

"Tiang Bu...!"

Pemuda itupun menengok dan menjadi pucat. Kijang itu kini telah terhisap sampai melewati lehernya, yang kelihatan hanya sapasang mata yang terbelalak ketakutan lebar, hidung yang mendengus -dengus mengeluarkan uap putih dan mulut yang menguak-nguak panjang dan nyaring. Binatang itu tidak merasa sakit hanya takut... takut luar biasa melihat maut berjoget di depan mukanya. Dan Bi Li yang merasa ngeri lupa diri dan bergerak membuat ia amblas lagi sampai sebatas pinggang.

"Tiang Bu... demi Thian... tolonglah aku... aku tidak mau mati begini, tidak mau!” teriak Bi li ketakutan dan sepasang matanya melebar seperti mata kijang itu.

Nguak terdengar terus, makin lama makin lemah dan yang terakhir suara itu terdengar aneh seperti parau kemudian berhenti tiba-tiba seperti tercekik. Mulut atau moncong kijang itu tidak kelihatan lagi, hanya rumput di mana tadi ia berada bergcrak-gerak, seperti ada ular besar lewat di bawahnya.

"Bi Li. kautunggu sebentar. Kau tenanglah jangan bergerak. Ingat ini, jangan bergerak kalau kau ingin tertolong. Demi Thian, aku akan me nolongmu, biarpun aku harus berkorban nyawa. Akan tetapi kau tenanglah, pergunakan lweekang untuk mematikan semua pergerakan tubuh. Hanya kalau kau diam seperti barang mati lumpur itu takkan dapat menyedotmu. Aku akan mencari bambu untuk menolongmu. Tenang...!"

Tiang Bu melompat dan berlari ke arah hutan kecil di mana ia me lihat batang batang bambu berkelompok dengan daun daunnya yang indah. Setelah tiba di tempat itu, pemuda yang tidak mcmbekal senjata tajam ini lalu menggunakan kedua tangan, mencabuti bambu yang amat kuat itu sampai terlepas akarnya.

Tak lama kemudian ia sudah menyeret tiga batang bambu yang sudah ia patah-patahkan cabang-cabangnya. Dengan bambu ini dipasang melintang, dapat mengh ampiti Bi Li yang betul saja tidak bergerak sama sekali sehingga ia terbenam hanya sampai di pinggang, tidak lebih. Akan tetapi matanya berlinang air mata, mukanya pucat dan bibirnya gemetar. Berdiri di atas tiga batang bambu itu, Tiang Bu dapat berjalan dengan mudahnya, karena bambu-bambu yang panjang itu tidak tenggelam, seperti sebuah perahu rakit...