Tangan Gledek Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 35

ALANGKAH girang hati Tiang Bu dan juga Bi Li ketika mereka dapat bertemu tangan. Tiang Bu membetot, mengerahkan tenaganya dan... terangkatlah Bi Li dari dalam lumpur maut yang hampir saja menjadikan gadis ini mangsanya. Saking girangnya Tiang Bu lupa diri dan memeluk gadis itu, tidak perduli pakaiannya sendiri menjadi kotor terkena lumpur yang menyelimuti tubuh dari pakaian Bi Li sebatas pinggang kebawah.

Juga Bi Li yang baru saja terlepas dari cengkeraman maut, yang amat mengerikan dan menakutkan, saking terharunya tidak merasa lagi akan pelukan pemuda itu, bahkan ia menyandarkan kepalanya di atas dada Tiang Bu sambil terisak-isak. Bi Li bukan seorang gadis penakut, jauh dari pada itu. Sebaliknya, dia memiliki kepandaian tinggi dan nyalinya besar sekali. Menghadapi kematian dalam pertempuran kiranya akan dilakukan dengan senyum di bibir.

Akan tetapi ancaman maut yang baru saja dialaminya tadi terlalu mengerikan. Dihisap oleh lumpur perlahan-lahan, sama sekali tidak berdaya seakan-akan maut merenggut nyawa sekerat demi sekerat, ditambah lagi pandangan mengerikan dari kijang yang di hisap sampai lenyap perlahan-lahan tadi, benar-benar luar biasa sekali. Orang yang paling tabah juga akan merasa ngeri. Jauh bedanya dengan menghadapi lawan, biarpun lawan itu kuat bagaimanapun juga, kita dapat melawan dapat berdaya upaya mempertahankan diri.

Sementara itu, biarpun tadinya ia memeluk tubuh Bi Li karena terharu dan girang dalam usahanya yang berhasil menolong gadis itu terlepas dari cengkeraman maut, setelan pikirannya tenang kembali dan merasa betapa kepala dengan rambut yang hitam halus dan harum itu terletak di dadanya, ketika melihat kulit leher putih kekuningan yang hangat itu demikian dekat dengan mukanya. Tiang Bu teringat akan pengalaman membunuh Pek Coa malam itu. Tiba-tiba dadanva tergetar, berdebar-debar tidak karuan, kedua lengan yang memeluk juga menggigil dan tubuhnya menjadi panas dingin.

Bi Li agaknya juga tersadar atau terjalar oleh rangsang yang mulai menguasai Tiang Bu, karena ia tersentak kaget dan tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dari pelukan Tiang Bu. Pemuda itu sendiri menundukkan mukanya, kedua pipinya merah sekali dan wajahnva nampak sedih, keningnya berkerut. Tiba-tiba tangan kanannya diangkat dan "plak! plak !!” ditamparnya pipinya sendiri dengan kerasnya sampai bibirnya se belah kanan pecah dan berdarah.

“Tiang Bu, kau kenapakah?!" Bi Li bertanya, terheran-heran dan lupa akan perasaan malu dan jengah yang tadi membuat ia merenggutkan tubuhnya dan menjauhi pemuda itu.

"Aku seorang jahat... aku telah menggunakan kesempatan selagi kau terharu untuk... untuk memelukmu. Sebenarnya tidak boleh... aku memang amat jabat. Bi Li...!”

Bi Li melangkah maju, sepasang matanya kini bersinar dan wajahnya barseri. Dipegangnya kedua tangan Tiang Bu dan ia berkata, "Tidak, Tiang Bu. Kau seorang yang baik sekali, amat baik aku berterima kasih kepadamu. Kalau saja kau tidak cepat mendapatkan akal dengan bambu-bambu itu, aahh...” Bi Li melepaskan kedua tangan Tiang Bu dan menengok memandang ke arah rawa lumpur itu dan bergidik.

Sikap dan kata-kata gadis ini mengusir kesedihan Tiang Bu yang tadi merasa betapa kembali ia dikuasai oleh rangsang yang jahat dan berbahaya, yang timbul dari dalam tubuhnya. Rangsang yang amat kuat dan kalau kurang waspada, akan dapat manguasai seluruh hati dan pikirannya. akan melumpuhkan pertimbangannya dan melenyapkan sifat kegagahannya seperti dulu dengan Cui Lin dan Cui Kim. Karena itulah ia bersedih. Akan tetapi kata-kala Bi Li menghiburnya, dan pula bukankah tadi iapun belum dikuasai benar-benar dan masih ingat, buktinya ia masih dapat merasa bersedih dan marah kepada diri sendiri?

“Bi Li, kita harus mencari air untuk mencuci lumpur-lumpur ini. Lihat. pakaianmu sudah tidak karuan macamnya, kotor semua.”

Bi Li memandang. “Apa kau juga bersih? Lihat saja, lumpur sudah mengotori muka dan rambutmu,"

Gadis ini tertawa geli, agaknya baru sekarang ia melihat betapa pipi dan kepala pemuda itu penuh lumpur hitam. Dengan gembira kembali dua orang muda ini berlari-lari menjauhi rawa itu dan mncari air. Untuk ini mudah saja. karena Sungai Luan-ho mangalir dekat saja dan mereka segera turun ke dalam sungai. Bi Li berganti pakaian kering dari buntalan yang tadi digendongnya.

Akan tetapi Tiang Bu yang tidak mempunyai bekal pakaian, terpaksa, hanya mencuci bagian yang terkena lumpur dan masih terus memakainya. Tentu saja mereka mencuci pakaian di tempat terpisah yang tidak kelihatan dari tempat masing-masing. Tak lama kemudian mereka sudah melanjutkan perjalanan, menjelajah daerah pegunungan itu, mencari-cari di mana Hutan Bambu Kuning.

Biarpun Tiang Bu sudah menyelidiki dan mendengar bahwa tempat tanggal Liok Kong Ji berada di sekitar tempat ini, namun ia sendiri belum pernah mendatangi tempat ini dan belum tahu di mana sebetulnya letak Hutan Bambu Kuning yang menjadi sarang Liok Kong Ji. Mereka berputaran sampai beberapa hari di tempat ini, naik turun gunung. masuk keluar hutan hutan besar. namun belum juga mereka melihat Hutan Bambu Kuning.

Bi Li sudah mulai hilang sabar ketika pada hari ke tujuh, pada pagi hari selagi dua orang muda ini berada di sebuah daerah berbatu karang, tiba-tiba mereka mendengar suara orang. Suara ini adalah suara laki laki dan wanita yang agaknya bertengkar, karena suara mereka keras dan terdengar marab-marah. Bi Li dan Tiang Bu menuju ke tempat itu, dan dari balik pohon-pobon dan batu karang mereka mengintai.

Bi Li melihat seorang pemuda tampan berhadapan dengan dua orang gadis cantik. Melihat pemuda itu, teringatlah Bi Li bahwa itulah pemuda yang dulu ikut menyerbu ke kota raja, pemuda yang tadinya datang bersama tosu kaki buntung sebagai utusan Kaisar Mongol, pemuda lihai yang pernah ia keroyok dengan Wan Sun dahulu di tepi Sungai Hoan ho, pemuda kurang ajar dan ceriwis, Liok Cui Kong. Akan tetapi dua orang gadis cantik itu belum pernah dilihatnya. Tidak demikian dengan Tiang Bu.

Begitu melihat dua orang gadis itu, wajahnya berubah sebentar pucat sebentar merah, matanya menyinarkan cahaya aneh, seperti marah dan malu. Ini tidak mengherankan oleh karena dua orang gadis itu bukan lain adalah Cui Lin dan Cui Kim!

Dua orang kakak beradik ini masih secantik dulu, tahi lalat kecil di dagu Cui Lin masih amat manis menarik hati, sepasang mata yang genit dan berbentuk indah itu masih membuat Cui Kim seorang gadis cantik yang jarang ada keduanya. Akan tetapi kecantikan mereka sekarang menjadi racun bagi mata Tiang Bu, bagaikan duri menusuk hatinya, membangkitkan marah dan sakit hatinya.

Akan tetapi ia tidak mau rahasianya diketahui Bi Li dan ia dapat mengendalikan perasaannya dan tinggal diam, mengintai di samping Bi Li. Ular-ular yang berada di dalam saku baju Bi Li mulai keluar, tanda bahwa gadis itu bersiap-siap manghadapi pertempuran. Dua orang muda ini masih tidak mau bergerak lebih dulu, hanya mendengarkan pertengkaran antara Cui Kong dan dua orang gadis itu.

"Kalian masih kukuh tidak mau memberikan katak itu kepadaku?" Cui Kong berkata marah. "Kalian ini orang-orang perempuan sungguh tak tahu malu. Untuk apa kalian menyimpan katak itu? Binatang ajaib itu hanya untuk laki-laki, tidak ada artinya kalian membawanya. Lekas berikan kepadaku!"

"Kong ko, bukan kami yang tidak tahu malu, sebaliknya engkau yang keterlaluan," bantah Cui Lin berani. “Binatang ajaib katak pembangkit asmara ini kami dapatkan dari Tiang Bu dan kami simpan sebagai kenang-kenangan. Kami yang berhak memilikinya, setidaknya menjadi hadiah kami sebagai balas jasa kami ketika kita merobohkan Tiang Bu. Mengapa kau mau memaksa kami minta katak ini? Aku tahu kau hendak main gila, kau akan menjadi makin binal dan mata keranjang. Sudah cukup kau menyakiti hati kami!"

“Setan! Kau bilang apa? Cui Lin, kau dan adikmu ini menjadi berbeda benar sikap kalian setelah menjadi kekasih-kekasih Tiang Bu. Agaknya kalian sudah jatuh cinta benar-boner kepadanya, he? Cinta kepada monyet busuk itu, bukan? Ha-ha ha, sungguh menggelikan!”

"Cui Kong, kau bicara apa!?" Cui Kim membentak marah sampai lupa menyebut Cui Kong dengan kakak. “Jangan terlalu menghina kami!”

"Cui Kim, di mana kesopananmu?! Aku adalah kakakmu, lupakah kau? Atau kau sudah tidak mau mengaku aku sebagai kakakmu lagi?" bentak Cui Kong marah.

"Kakak macam apa kau ini?!" Cui Kim berkata dengan nada mengejek. "Mana di dunia ini ada kakak yang memperlakukan kami seperti yang kaulakukan? Kami! menurut saja karena kami memang bukan adik-adik kandungmu, kita masing-masing adalah orang lain, dan kami melayani segala kehendakmu membantu dalam segala hal yang kaulakukan. Attie tetapi mana terima kasihmu? Sekarang malah hendak merampas barang yang menjadi hak milik kami. Cuh, tak tahu malu!”

"Bedebah!" Cui Kong memukul dada Cui Kim. Gadis ini mengelak cepat, akan tetapi sebuah tendangan mengenai perutnya, membuat ia terlempar dan roboh. Sambil meringis kesakitan Cui Kim duduk dan menekan perutnya yang tertendang.

"Cui Kong, kau terlalu sekali!” seru Cui Lin marah. "Untuk kepentinganmu kami sering kali berkorban. Untuk kemenanganmu dan membalasmu kami sampai rela menjadi kekasih Tiang Bu. Sampai sebulan lebih, rela menerima hinaan dari padanya. Sekarang kau bertindak sewenang-wenang melukai adikku. Kau dan kami sama-sama anak angkat dari ayah, adakah apa kau bersikap sebagai atasan kami?”

Cui Kong tertawa mengejek. "Hak tingkat kepandaian, bodoh! Pula, jangan kira ayah akan terlalu membela kalian kalau kalian tidak menurut perintahku. Ayah masih belum tahu bahwa anak-anak angkatnya yang manis-manis, calon-calon penghiburnya yang dirawat sejak kecil sampai menjadi gadis-gadis jelita, ternyata telah menjadi kekasih Tiang Bu. Ha ha ha...!"

Pada saat itu, sebelum dua orang yang sudah siap bertempur ini saling serang, terdengar seruan orang dan dari balik gunung batu karang muncul dua orang, satu dari kanan kedua dari kiri.

"Hayaa, kami mencari kalian di mana...!" teriak seorang di antara mereka. Melihat kedatangan dua orang ini, otomatis Cui Kong dan Cui Lin merubah sikap menjadi biasa tidak seperti orarg mau bertempur. Bahkan Cui Kim sudah berdiri lagi menahan sakit.

Sementara itu, mendengar percakapan itu, muka Bi Li juga berubah merah sekali. Ia merasa muak mendengar isi percakapan yang kotor itu, dan beberapa kali ia mengerling ke arah Tiang Bu, bibirnya yang manis ditarik sedemikian rupa untuk mengejek pemuda itu.

“Aha, kiranya kau mempunyai banyak kekasih! Sekali bertemu saja sudah ada dua orang. Mengapa kau tidak lekas keluar menemui dua orang kekasihmu itu?” katanya perlahan.

"Ssstt!, diamlah, Bi Li." kata Tiang sambil menyentuh tangin gadis itu.

Akan tetapi Bi Li menarik tangannya sambil berkata ketus. "Jangan pegang tanganku!"

Tiang Bu kaget dan khawatir. Belum pernah gadis itu bersikap segalak ini, dan agaknya seperti orang marah-marah. Heran! Akan tetapi ia tidak berkata-kata lagi, sebaliknya memperhatikan ke depan seperti Bi Li yang juga sudah memandang ke depan penuh perhatian.

Yang baru datang adalah seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, kelihatannya kuat sekali, usianya setara empat puluh tahun. Orang ke dua sebaliknya adalah seorang yang kecil pendek, mukanya kuning pucat seperti berpenyakitan. Akan tetapi baik Bi Li maupun Tiang Bu maklum bahwa orang berpenyakitan ini adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.

”Liok-kongcu, kau membuat beberapa orang kawan sibuk mencarimu ke sana ke mari. Tidak tahunya sedang bersenang-senang dengan jiwi siocia ini di sini," kata si muka hitam.

”Jiwi-siokhu (kedua paman) menyusul ke sini ada keperluan apakah gerangan?” tanya Cui Kong, menyembunyikan kemendongkolannya.

"Kami disuruh menyusulmu karena ayahmu yang mulia hendak membicarakan urusan penting denganmu. Agaknya Ui-tiok-lim akan kedatangan tamu tamu penting."

Mendengar bahwa ia dipanggil ayahnya, Cui Kong tidak berani membantah. Setelah melempar karling penuh ancaman kepada Cui Lin, ia lalu menyatakan baik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, berlari ke balik Pegunungan Batu Karang Putih. Si muka hitam juga lari di belakang Cui Kong. Akan tetapi orang yang kurus kering dan pucat itu tersenyum-senyum di depan Cui Lin lalu berkata.

"Nona tadi agaknya ribut mulut dengan Liok kongcu. Di antara saudara ribut-ribut ada urusan apakah. Aku adalah saudara angkat Liok-taihiap, aku akan merasa girang sekali kalau dapat mendamaikan urusan kalian."

Mendengar ini, dua orang gadis itu diam-diam memuji akan kelihaian si muka pucat ini. Juga Tiang Bu diam-diam kaget karena hal itu saja membuktikan bahwa si muka pucat ini benar-benar lihai.

"Ah, Cong-susiok agaknya main-main. Di antara saudara serdiri, mana kami bertengkar! Hanya sedikit ribut mulut urusan kecil," kata Cui Lin.

Si muka pucat she Cong itu tertawa bergelak, suaranya tinggi kecil mengiris telinga rasanya, "Ha ha ha ha, nona. Aku terhitung pamanmu sendiri. mengapa hendak membohong? Kulihat adikmu ini menderita luka dalam akibat tendangan, apakah ketika menendang Liok-kongcu juga main-main? Lebih baik lekas minum obat ini, agar luka itu tidak menjalar makin hebat?" Setelah berkata demikian, ia melemparkan sebutir pel merah kepada Cui Kim yang menerimanya lalu menelannya.

"Terima kasih, Cong-susiok. Kau baik sekali. Memang saudaraku Cui Kong itu keterlaluan." kata Cui Kim, "Coba saja pikir, kami merampas sebuah be nda dari musuh kami dan benda itu sudah menjadi hak milik kami. Masa Kong-ko datang-datang hendak merampasnya dari kami? Mena ada aturan demikian?”

"Memang tidak ada aturan seperti itu, apalagi kalau benda itu sebuah pusaka seperti katak pembangkit asmara." kata si pucat yang bernama Con g Lung itu.

”Bagaimana kau bisa tahu, Cong-susiok?” Cui Lin bertanya kaget, juga Cui Kim memandang dengan heran.

"Tentu saja aku tahu. Juga aku tahu bahwa katak di tanganmu itu tidak ada gunanya bagimu, sebaliknya katak yang berada di tanganku juga tidak ada gunanya bagiku. Kalau kita bertukar katak, barulah ada gunanya."

“Apa maksudmu, Cong-susiok?" tanya Cui Lie.

"Kalian mendapatkan katak betina yang tidak ada gunanya bagi orang-orang wanita. sebaliknya aku mendapatkan katak jantan yang sama sekali tidak ada artinya dan tidak lebih baik dan pada katak mampus bagi orang laki-laki. Sebaliknya kalau kita bertukar katak, barulah dua benda ajaib itu akau banyak gunanya bagi kita." Ia tertawa menyeringai.

"Bagaimana kami bisa mempercayai omonganmu, Cong-susiok...?"

"Bukankah katakmu itu berwarna hijau? Katakku berwarna merah dan kalau kalian mau buktinya, mari kita keluarkan katak masing-masing." Sambil berkata demikian, Cong Lung mengeluarkan sebuah kotak yang sama dengan katak yang dibawa oleh Cui Lin. Ia membuka sedikit kotak itu dan terdengarlah bunyi nyaring tinggi.

”Kok! Kok! Kok!"

Pada saat itu, Cui Lin mengeluarkan seruan kaget karena kotak di dalam saku bajunya bergerak. Cepat ia mengeluarkan kotak itu dan membuka sedikit tutupnya.

"Kok-kok-kok!” terdengar suara keras dan besar dari dalam kotak itu dan tutup kotak bergerak-gerak karena binatang itu meronta-ronta.

"Nah, mereka sudah saling mengenal suara. Bagaimana maukah kau bertukar, nona? Aku bersumpah bahwa aku tidak menipumu."

Cui Lin yang memang tidak mendapat untung apa-apa dari katak hijau yang ia rampas dari Tiang Bu, segera menukarkan kotak berisi binatang aneh itu. Dan belum lama begitu ia memegangi kotak berisi katak jantan, tiba-tiba mukanya berubah merah dan tak lama kemudian ia tertawa cekikikan sambil memeluk adiknya dan membisikkan sesuatu di telinga adiknya. Juga Cui Kin tertawa cekikikan. Agaknya dua orang gadis bermoral bejat ini sudah mulai merasai pengaruh dari katak ajaib itu yang membuat mereka terkekeh sambi l berpelukan mereka hendak lari pergi dari situ, akan tetapi Con Lun berkata.

"Nanti dulu, nona-nona manis. Ceritakan dari mana mendapatkan katak ini?"

"Dari dalam saku orang bernama Tiang Bu musuh kami. Karena dia membawa katak itulah kami dapat me robohkan dia, dan kami merampas kataknya setelah itu tak berdaya lagi," jawab Cui Kim yang tertawa-tawa genit dengan mata liar dan pipi kemerahan. Kemudian dia dan kakaknya berlari-larian pergi, kelihatannya girang sekali.

“Perempuan cabul jangan lari...!” Tiba-tiba Bi Li melompat keluar dengan marah. Sekarang tahulah Bi Li bahwa Tiang Bu roboh di bawah kekuasaan dua orang wanita itu karena pangaruh katak ajaib. Hal ini menimbulkan kemarahan yang luar biasa padanya, maka tanpa menanti isyarat dari Tiang Bu lagi ia sudah melompat ke luar dan beberapa kali lompatan sudah berhadapan dengan Cui Lin dan Cui Kim yang berhenti dan membalikkan tubuh dengan heran.

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Dua orang gadis ini terheran-heran melihat Tiang Bu yang mereka sangka sudah tewas. Cui Kong tidak pernah bercerita tertang Tiang Bu kepada siapapun juga, karena pemuda itu tentu saja malu bahwa dirinya dibikin seperti bola mati oleh Tiang Bu. Akan tetapi, ketika melihat Bi Li menyerang dengan ular di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, Cui Lin dan Cui Kim kaget. Cepat merekapun mencabut pedang dan sebentar saja mereka bertempur ramai.

Melihat Bi Li sudah turun tangan, Tiang Bu terpaksa melompat ke luar pula. Ia memang ingin menawan seorang di antara mereka untuk menjadi penunjuk jalan. Ia tidak mengkhawatirkan Bi Li yang kiranya cukup tangguh untuk menghadapi pengeroyokn ya dua orang gadis cabul itu maka ia segera menghampiri Cong Lun dengan tenang.

Sementara Cong Lun yang melihat munculnya seorang gadis cantik jelita bersenjata ular dan nampak gagah sekali kini sudah bertempur dikeroyok oleh Cui Lin dan Cui Kim, maklum bahwa inilah agaknya dua di antara tamu-tamu penting" yang dikatakan oleh Liok Kong Ji yaitu musuh-musuh yang datang menyerbu Ui-tiok lim yang harus dilawan.

Maka melihat munculnya seorang pemuda tangan kosong bersikap tenang, tanpa banyak cakap lagi ia lalu memapaki dengan tangan kanan diulur untuk menangkap Tiang Bu. Justeru pada saat itu, Tiang Bu juga mengul ur tangan untuk menangkapnya. Dua tangan bertemu, dua tangan yang dibentangkan sehingga telapak tangan kanan mereka saling bertumbukan.

“Plakk...”

Tiang Bu merasa betapa ada semacam tenaga menyedot yang luar biasa sekali keluar dari telapak tangan lawan dan menjalar ke dalam tangannya sendiri membuat tangannya terasa pegal-pegal dan kaku. Ia kagum bukan main, tidak mengira bahwa lawannya memiliki tenaga iweekang setinggi itu, maka tadi ia tidak mengerahkan seluruh tenaga karena ia memang tidak berniat membunuh orang.

Baiknya pemuda ini sudah melatih diri secara hebat sekali di dalam gua yang ia sebut sendiri Gua Siluman di dalam jurang di daerah lembah Sungai Huang-ho itu. Ia telah mempelajari semua isi kitab Seng thian-to yang luar biasa sekali, ilmu keturunan yang hanya menjadi rahasia, diturunkan oleh Tat Mo Couwsu sendiri dan hanya dua orang kakek Omei-san yang pernah melihat dan mempelajarinya.

Bedanya kalau kakek 0mei-san itu terlalu banyak mempelujari ilmu silat dari kitab kitab itu, adalah Tiang Bu dapat mempelajari Song-thian-to secara khusus karena karena terkurung dalam jurang, maka kalau dibandingkan dengan dua orang gurun ya itu. Tiang Bu lebih sempurna ilmunya yang ia pelajari dari kitab Song-thiau-to. Hasilnya, ia me miliki sinkang yang luar biaya sekali, bahkan lebih hebat dari pada ketika ia mewarisi sin-kang dari dua orang gurunya, kemudian tenaga atau hawa sakti dalam tubuhnya itu lenyap ke tika ia tergoda oleh Cui Lin dan Cui Kim.

Begitu merasa ada tenaga menyedot luar biasa dari telapak tangan lawannya, Tiang Bu mengerahkan sedikit tenaga membetot dan dengan mudah saja ia dapat menarik kembali tangannya. Cong Lung yang mendapat julukan Ban-kin liong (Naga Bertenaga Selaksa Kati) di daerah utara mengeluarkan seruan kaget. Ia sudah terkenal akan tenaganya yang hebat luar biasa sehingga diumpamakan seekor naga yang bertenaga selaksa kati.

Setiap pukulannya akan menghancurkan batu karang, tiap kali tangannya menggunakan tenaga menyedot, tak seorangpun di dunia ini dapat me lepaskan diri dengan mudah. Akan tetapi bocah ini, yang kelihatannya sederhana dan masih hijau, setelah kena ditempel telapak tangannya, sekali betot sudah terlepas!

Apakah dia sudah kehilangan tenaganya ataukah bocah ini yang menggunakan ilmu sihir? Dengan malu dan penasaran sekali Cong Lung menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh Iweekangnya memberondong dada Tiang Bu dengan pukulan tangan kanan kiri. Untuk menebus malu tadi Si Naga Bertenaga Selaksa Kati ini rupa-rupan ya hendak membunuh Tiung Bu dalam sekali serangan. Akan tetapi, justeru inilah kesalahannya, kalau ia mempergunakan ilmu serangan biasa, dengan ilmu silatnya yang tinggi kiranya mereka berdua masih akan dapat bertempur ramai untuk beberapa babak lamanya.

Celakanya, dia mengandalkan lweekangnya, tidak tahu bahwa dalam hal ilmu ini menghadapi Tiang Bu ia sama dengan berjumpa gurunya! Serangannya yang hebat dan dilakukan dengan maksud membunuh ini memukul dirinya sendiri. Tiang Bu menghadapi pukulan dahsyat ini dengan tenang, hanya melakukan gerakan mendorong dengan tangan kirinya ke depan untuk menghadapi gelombang serangan dahsyat itu.

Ketika dua tenaga raksasa ini bertemu tubuh Tiang Bu hanya bergerak sedikit ke belakang, akan tetapi yang hebat adalah Cong Lung. Ia menjerit kesakitan, tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh telentang tak bergerak lagi, pingsan. Dari mulutnya keluar darah segar. Masih untung baginya bahwa Tiang Bu tadi tidak mengerahkan tenaga untuk menyerangnya, hanya melakukan pertahanan saja sehingga tenaga serangannya membalik dan memukulnya sendiri. Kalau tenaga yang membalik ini ditambah oleh tenaga serangan Tiang Bu sedikit saja, Cong Lung tidak hanya akan roboh pingsan, akan tetapi tentu akan mati seketika itu juga.

Sementara Cui Lin dan Cui Kim yang sedang mengeroyok Bi Li merasa kewalahan juga. Gadis yang baru datang ini lihai bukan main ilmu pedangnya, terutama sekali ular di tangan kirinya itu merupakan senjata yang amat berbahaya dan sukar dilawan. Tadi nya dua orang gadis ini masih besar hati karena di situ ada Cong Lung, akan tetapi ketika melihat bahwa Cong Lung roboh pin gsan, mereka kaget bukan main dan cepat melompat ke belakang terus melarikan diri.

"Siluman-siluman betina hendak lari kemana?” Bi Li membentak sambil mengejar dua orang lawannya yang melarikan diri ke arah batu karang putih kemana tadi Cui Kong, juga pergi. Sambil mengejar, B Li menggerakkan tangan dan beberapa buah senjata rahasia pat-kwa-ci menyambar ke arah dua oran gadis yang melarikan diri itu.

Senjata rahasia yang dipergunakan oleh Bi Li ini adalah senjata rahasia Ang-jiu Mo-li, hebatnya buka main. Biarpun Cui Lin dan Cui Kim sudah memiliki kepandaian tinggi juga, namun mereka terpaksa membalikkan tubuh dan menggunakan pedang menyampok semua senjata rahasia ini, tidak berani mereka berlaku semberono.

Sementara mereka membalik ini Bi Li sudah dekat lagi dan langsung menyerang. Akan tetapi Cui Lin dan Cui Kim tidak mau melayaninya, setelah sekali menangkis, mereka kembali lari, Bi Li hendak melepas senjata rahasia lagi akan tetapi dua orang lawannya sudah melompat ke belakang batu karang dan terus lari sehingga untuk sesaat gunung batu karang menjadi penghalang baginya.

“Bi Li, jangan kejar...!” seru Tiang Bu, tahu bahwa Bi Li bukanlah serang gadis yang mudah tunduk menurut, ia melompat mencegat. Dapat dibayangkan betapa mendongkol hati Bi Li ketika tahu tangannya dipegang dan ditarik dari belakang oleh Tiang Bu.

"Kau... kau begitu sayang kepada mereka sehingga tidak ingin meli hat aku membunuh mereka? Kau membela ke kasih-kekasihmu itu...?” bentaknya marah sambit membanting-banting kaki karena ia tidak berdaya melepaskan pegangan tangan Tiang Bu.

"Bi Li, kau selalu salah mengerti. Dua orang wanita itu amat curang dan licin kau harus ingat bahwa agaknya kita sudah sampai di daerah Ui-tiok-lim, siapa tahu mereka itu sengaja memancingmu untuk mangejar kemudian menjebakmu! Pula, aku sudah berhasil menangkap yang seorang itu dia bisa menjadi penunjuk jalan ke Ui tiok-lim."

Mendengar ini, dan melihat bahwa dua orang gadis tadi sudah lenyap dari situ, Bi Li mengalah. Akan tetapi pandang matanya kepada Tiang Bu masih membayangkao ketidak senangan hatinya. Tiang Bu merasa hal ini ia tahu pula bahwa tentu gadis ini memandang rendah kepadanya setelah mendengar percakapan antara Cui Lin, Cui Kim dan Cong Lung tadi.

Bi Li menghampiri Cong Lung yang masih pingsan. Ia melihat saku baju orang itu dan teringatlah ia akan katak ajaib yang berada di dalam peti. Tanpa banyak cakap lalu mengambil peti kecil itu dari dalam saku baju Cong Lung.

"Bi Li, jangan... sentuh binatang itu!” Tiang Bu berseru dan mengulur tangan hendak merampasnya.

Bi Li mengelak dan mengejek, matanya bersinar marah. "Manusia rendah kau hendak merampasnya dan mengulangi perbuatan rendah seperti dulu dengan dua orang pelacur tadi?"

Tiang Bu tersentak kaget. Sungguh diluar dugaannya gadis ini akan begitu marah. Benar-benar sukar dimengerti watak wanira. "Tidak, Bi Li. Aku... aku hendak membunuh binatang berbahaya itu!”

"Bukan kau, akan tetapi aku yang akan membunuhnya. Binatang menyebalkan, menjijikkan!"

Dengan gemas ia membuka peti kecil itu dan... katak hijau itu melompat ke luar cepat bukan main dan di lain saat ular di lengan Bi Li sudah putus lehernya tergigit oleh katak itu! Anehnya, tiga ekor ular lain yang tadinya bersembunyi di saku baju Bi Li, kini merayap ke luar semua, nampak ketakukan dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, cepat seperti bersayap, katak itu sudah melayang lagi dan dalam sekejap mata saja, dua ekor ular lain sudah putus lehernya dan mati.

Tinggal seekor lagi ular kecil bersisik putih yang dengan ketakutan mencoba bersembunyi di balik lipatan baju Bi Li. Katak hijau itu mengejar terus dengan buasnya. Melihat ketiga ekor ularnya mati digigit katak yang dibencinya ini, Bi Li menjadi makin marah.

“Katak siluman mampuslah!” Tangannya mencengkeram ke arah katak, akan tetapi katak itu bukan main cepat gerakannya karena sudah dapat mengelak lagi melompat ke bawah dan cepat menyambar ke belakang tubuh Bi Li untuk mengejar ular bersembunyi di balik punggung. Dengan mulut terpentang lebar katak itu menyerang dari luar baju, tercium olehnya agaknya bau ular yang bersembunyi di balik pungung. Sebelum Bi Li dapat mengelak, katak itu ternyata sudah menempel di punggungnya, menggigit kulit daging punggungnya dan tidak dapat terlepas lagi.

Bi Li menjerit dan roboh terguling, pingsan. Ternyata bahwa ketika katak itu menyambar ke arah ular yang bersembunyi di balik bajunya, katak ini mencium bau harum luar biasa yang sumbernya berada di punggung Bi Li, maka mengira kalau ular tadi berada di situ, ia lalu menggigit sekuat tenaga. Akan tetapi, begitu menggigit, katak itu bertemu dengan racun yang dulu dipasang oleh Tee-tok Kwan Kok Sun di bawah kulit punggung anaknya ini dan gigitan itu tak dapat terlepas lagi karena katak ajaib ini telah tewas. Di lain fihak, racun yang keluar dari mulut katak sudah menjalar ke tubuh Bi Li, bertemu dengan racun penarik ular, terjadi perang hebat menimbulkan hawa panas membakar tubuh gadis itu sehingga Bi Li roboh pingsan.

Tiang Bu kaget dan cepat mameluk tubuh gadis itu sehingga tidak terbanting. Ia lebih kaget lagi merasa betapa tubuh itu panas membakar. Pertama-tama ia melihat katak itu yang ternyata sudah mati akan tetapi masih lengket pada punggung Bi Li. Dan ular itu sudah bersembunyi di tempat aman, di dalam lipatan baju. Tiang Bu menjadi bingung. Biarpan sudah pernah mempelajari ilmu pengobatal dari Wan Sin Hong tentang luka-luka dan akibat racun, namun belum pernah ia mendengar tentang racun katak hijau, katak pembangkit asmara!

Malah baru sekarang ia tahu bahwa ”gilanya" dia dulu ketika ia tergoda oleh Cui Lin dan Cui Kim juga karena hawa beracun dari katak hijau ini. Berita yang ia dengar dari percakapan tadi tentang khasiat katak hijau terhadap pria, membuat ia terhibur sedikit. Setidaknya ia mempunyai alasan kini mengapa ia dahulu sampai melakukan perbuatan rendah itu. Kiranya ia berada di bawah pengaruh katak pembangkit asmara.

Tiang Bu tidak berani sembarangan mempergunakan obat-obatnya untuk menolong Bi Li sebelum ia tahu betul obat apa yang harus diberikannya. Ia menarik bangkai katak itu, tanpa ragu-ragu lagi merobek baju Bi Li bagian punggung setelah miringkan tubuh gadis itu. Tampak kulit punggung yang putih halus dan bekas gigitan katak itu meninggalkan bekas kehijauan. Anehnya, ia melihat bintik merah di punggung itu, bintik yang agaknya sudah lama ada dan yang mengeluarkan bau harum ke ras sekali.

Kini bintik merah itu dilingkari bekas gigitan katak yang berwarna hijau. Tiang Bu mengambil pedang Bi Li yang terlempar di atas tanah menggunakan ujung pedang untuk melukai sedikit pada punggung Bi Li dan melihat darah yang keluar diri luka. Darah yang keracunan selalu mendatangkan warna yang akan dapat memastikan obatnya. Keluarlah darah merah segar dari luka itu, darah merah biasa seperti darah orang sehat.

Aneh sekali, pikir Tiang Bu. Saking penasaran ia menusuk lagi di dekat luka gigttan katak itu. Kembali mengalir darah merah segar, sama sekali tidak ada tanda-tanda racun. Tiang Bu menjadi makin bingung. Hanya dengan melihat warna darah orang yang tergigit binatang berbisa, ia akan dapat menentukan obat yang mana harus ia pakai. Akan tetapi darah Bi Li ternyata darah sehat yang sama sekali tidak memperlihatkau tanda keracunan.

Tiang Bu mengeluarkan buku catatannya tentang pengobatan ketika ia belajar dari Wan Sin Hong. ia membaca dan membalik-balik lembaran catatannya itu namun sia-sia belaka. Dia masih terlalu hijau dalam hal ini. Kalau Wan Sin Hong berada di situ pendekar ini akan tahu sebabnya dan akan tertawa, karena sesungguhnya, racun dari katak hijau itu lenyap kekuatannya oleh racun merah yang berada di tubuh Bi Li, racun merah yang dahulu dimasukkan ke punggungnya oleh Tee-tok Kwan Kok Sun. Racun merah inilah yang mengeluarkan bau harum dan yang menarik semua ular-ular berbisa yang segera menjadi jinak kalau berdekatan dengan Bi Li.

Kini dua macam racun itu saling serang dan kedua-duanya menjadi habis kekuatannya. Perlahan-lahan dan racun yang bertawanan itu menjadi musnah lenyap di dalam darah yang segar, yang mempunyai daya sendiri untuk melebur dua macam racun yang sudah tidak ada gunanya itu. Racun katak lenyap juga racun merah yang menimbulkan bau harum itu musnah. Bau harum dari tubuh Bi Li makin lama makin menghilang dan ia menjadi seorang menusia biasa lagi.

Karena kehabisan akal dan tidak tahu harus mempergunakan obat apa, Tiang Bu hanya bisa mengambil obat tempel untuk mengobati luka-luka bekas gigitan katak dan bekas tusukan ujung pedang, ditempelkau di punggung gadis itu. Kemudian ia membereskan lagi baju di bagian punggung yang trrbuka dan mengangkat Bi Li ke tempat bersih, di atas rumput yang tumbuh di bawah pohon. Baru saja ia menurunkan Bi Li di atas rumput, gadis itu siuman, mengeluh perlahan, disambung seruan yang menyenangkan hati Tiang Bu.

"Aduh nyamannya...!”

Ketika pemuda itu meraba jidat Bi Li, ternyata hawa panas tadi sudah hilang dan keadaan Bi Li sudah normal kembali. Gadis itu bangkit duduk dan teringatkah dia akan katak hijau yang menyerangnya tadi.

“Mana binatang itu?” katanya gemas.

“Dia sudah mati setelah menggigit punggungmu. syukur kau tidak apa-apa,” kata Tiang Bu yang menceritakan dengan singkat kejadian tadi. Bi Li menyesal bukan main kehilangan tiga ekor ularnya. Kini ia hanya tinggal mempunyai seekor ular kecil bersisik putih itu, akan tetapi ular ini cukup berbahaya. Ia sendiri masih belum insyaf bahwa sekarang pengaruhnya terhadap ular telah lenyap, bau harum yang aneh itu telah meninggalkan tubuhnya. Ular kecil putih yang tinggal satu satunya itu masih jinak kepadanya karena sudah lama ia pelihara. Terdengar keluhan orang dan Cong Lung bergerak lalu duduk sambil meringis kesakitan.

“Kau benar-benar orang lihai, orang muda,” katanya sambil memandang ke arah Tiang Bu dengan kagum.

"Kau sudah mengaku kalah?" desak Tiang Bu.

Cong Lung mengangguk. "Belum pernah aku bertemu dengan lawan seperti engkau akan tetapi kalau lukaku sudah sembuh, aku masih ingin minta petunjuk darimu dalam ilmu silat. Siapakah namamu?”

"Namaku Tiang Bu dan kalau kau sudah mengaku kalah, sekarang kau harus menjadi petunjuk jalan kami memaauki Ui-tok-lim..."

Mendengar nama itu, Cong Lung agak terkejut. “Kau bernama Tiang Bu ? Aku pernah mendengar tentang Putera Liok-taihiap yang bernama Tiang Bu...”

”Bukan aku! Aku musuh besar Liok Kong Ji. Bawa aku ke sana."

Tiba-tiba Cong Lung bergelak, kelihatannya geli. “Kau...? Kau hendak memasuki Ui-tiok-lim untuk mencari Liok-taihiap? Benar-benar sukar dipercaya. Akan tetapi kalau demikian kehendakmu, marilah kuantar kalian ke Ui-tiok-lim!” Ia melompat berdiri dan tiba-tiba ia meraba-raba saku bajunya, keningnya berkerut.

“Katak hijau yang kotor itu telah mampus, tak perlu kau cari lagi,” kata Tiang Bu sambil menunjuk ke arah bangkai katak yang sudah kering.

Cong Lung menarik napas panjang berulang-ulang, kelihatannya menyesal bukan main. Ia mengerling ke arah wajah Bi Li yang amat jelita itu, lalu berkata, "Sayang...!" Akan tetapi ia segera berjalan cepat dan berkata, “Marilah!"

Dengan hati-hati sekali Tiang Bu mengikutinya, memberi isyarat kepada Bi Li untuk berjalan di belakangnya. Gadis itupun bersiap-siap berjalan di belakang Tiang Bu dengan pedang di tangan kanan dan ular putih melingkar di pergelangan tangan kiri.

Cong Lung berlari mengitari Pegunungan Batu Karang Putih, lalu memnbelok ke kiri menuju ke pegunungan yang penuh dengan batu karang dan sebatang pohon pun tidak kelihatan dari bawah. Orang yang hendak mencari Ui tiok lim (Hutan Bambu Kuning) tidak nanti akan mengambil jalan ini karena siapakah orangnya mau mencari sebuah hutan di atas pegunungan yang be gitu kering penuh batu melulu?

Inikah keistimewaan Ui-liok-lim yang amat sukar dicari orang. Tidak saja letaknya di tempat yang tak semestinya, yitu di atas pegunungan batu karang, akan tetapi juga amat sukar mencari jalan di antara batu karang itu. batu-batu yang berada di situ menj ulang tinggi menutupi pandangan sehingga orang mudah tersesat tidak mengenal daerah ini...

Tangan Gledek Jilid 35

Tangan Gledek Jilid 35

ALANGKAH girang hati Tiang Bu dan juga Bi Li ketika mereka dapat bertemu tangan. Tiang Bu membetot, mengerahkan tenaganya dan... terangkatlah Bi Li dari dalam lumpur maut yang hampir saja menjadikan gadis ini mangsanya. Saking girangnya Tiang Bu lupa diri dan memeluk gadis itu, tidak perduli pakaiannya sendiri menjadi kotor terkena lumpur yang menyelimuti tubuh dari pakaian Bi Li sebatas pinggang kebawah.

Juga Bi Li yang baru saja terlepas dari cengkeraman maut, yang amat mengerikan dan menakutkan, saking terharunya tidak merasa lagi akan pelukan pemuda itu, bahkan ia menyandarkan kepalanya di atas dada Tiang Bu sambil terisak-isak. Bi Li bukan seorang gadis penakut, jauh dari pada itu. Sebaliknya, dia memiliki kepandaian tinggi dan nyalinya besar sekali. Menghadapi kematian dalam pertempuran kiranya akan dilakukan dengan senyum di bibir.

Akan tetapi ancaman maut yang baru saja dialaminya tadi terlalu mengerikan. Dihisap oleh lumpur perlahan-lahan, sama sekali tidak berdaya seakan-akan maut merenggut nyawa sekerat demi sekerat, ditambah lagi pandangan mengerikan dari kijang yang di hisap sampai lenyap perlahan-lahan tadi, benar-benar luar biasa sekali. Orang yang paling tabah juga akan merasa ngeri. Jauh bedanya dengan menghadapi lawan, biarpun lawan itu kuat bagaimanapun juga, kita dapat melawan dapat berdaya upaya mempertahankan diri.

Sementara itu, biarpun tadinya ia memeluk tubuh Bi Li karena terharu dan girang dalam usahanya yang berhasil menolong gadis itu terlepas dari cengkeraman maut, setelan pikirannya tenang kembali dan merasa betapa kepala dengan rambut yang hitam halus dan harum itu terletak di dadanya, ketika melihat kulit leher putih kekuningan yang hangat itu demikian dekat dengan mukanya. Tiang Bu teringat akan pengalaman membunuh Pek Coa malam itu. Tiba-tiba dadanva tergetar, berdebar-debar tidak karuan, kedua lengan yang memeluk juga menggigil dan tubuhnya menjadi panas dingin.

Bi Li agaknya juga tersadar atau terjalar oleh rangsang yang mulai menguasai Tiang Bu, karena ia tersentak kaget dan tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dari pelukan Tiang Bu. Pemuda itu sendiri menundukkan mukanya, kedua pipinya merah sekali dan wajahnva nampak sedih, keningnya berkerut. Tiba-tiba tangan kanannya diangkat dan "plak! plak !!” ditamparnya pipinya sendiri dengan kerasnya sampai bibirnya se belah kanan pecah dan berdarah.

“Tiang Bu, kau kenapakah?!" Bi Li bertanya, terheran-heran dan lupa akan perasaan malu dan jengah yang tadi membuat ia merenggutkan tubuhnya dan menjauhi pemuda itu.

"Aku seorang jahat... aku telah menggunakan kesempatan selagi kau terharu untuk... untuk memelukmu. Sebenarnya tidak boleh... aku memang amat jabat. Bi Li...!”

Bi Li melangkah maju, sepasang matanya kini bersinar dan wajahnya barseri. Dipegangnya kedua tangan Tiang Bu dan ia berkata, "Tidak, Tiang Bu. Kau seorang yang baik sekali, amat baik aku berterima kasih kepadamu. Kalau saja kau tidak cepat mendapatkan akal dengan bambu-bambu itu, aahh...” Bi Li melepaskan kedua tangan Tiang Bu dan menengok memandang ke arah rawa lumpur itu dan bergidik.

Sikap dan kata-kata gadis ini mengusir kesedihan Tiang Bu yang tadi merasa betapa kembali ia dikuasai oleh rangsang yang jahat dan berbahaya, yang timbul dari dalam tubuhnya. Rangsang yang amat kuat dan kalau kurang waspada, akan dapat manguasai seluruh hati dan pikirannya. akan melumpuhkan pertimbangannya dan melenyapkan sifat kegagahannya seperti dulu dengan Cui Lin dan Cui Kim. Karena itulah ia bersedih. Akan tetapi kata-kala Bi Li menghiburnya, dan pula bukankah tadi iapun belum dikuasai benar-benar dan masih ingat, buktinya ia masih dapat merasa bersedih dan marah kepada diri sendiri?

“Bi Li, kita harus mencari air untuk mencuci lumpur-lumpur ini. Lihat. pakaianmu sudah tidak karuan macamnya, kotor semua.”

Bi Li memandang. “Apa kau juga bersih? Lihat saja, lumpur sudah mengotori muka dan rambutmu,"

Gadis ini tertawa geli, agaknya baru sekarang ia melihat betapa pipi dan kepala pemuda itu penuh lumpur hitam. Dengan gembira kembali dua orang muda ini berlari-lari menjauhi rawa itu dan mncari air. Untuk ini mudah saja. karena Sungai Luan-ho mangalir dekat saja dan mereka segera turun ke dalam sungai. Bi Li berganti pakaian kering dari buntalan yang tadi digendongnya.

Akan tetapi Tiang Bu yang tidak mempunyai bekal pakaian, terpaksa, hanya mencuci bagian yang terkena lumpur dan masih terus memakainya. Tentu saja mereka mencuci pakaian di tempat terpisah yang tidak kelihatan dari tempat masing-masing. Tak lama kemudian mereka sudah melanjutkan perjalanan, menjelajah daerah pegunungan itu, mencari-cari di mana Hutan Bambu Kuning.

Biarpun Tiang Bu sudah menyelidiki dan mendengar bahwa tempat tanggal Liok Kong Ji berada di sekitar tempat ini, namun ia sendiri belum pernah mendatangi tempat ini dan belum tahu di mana sebetulnya letak Hutan Bambu Kuning yang menjadi sarang Liok Kong Ji. Mereka berputaran sampai beberapa hari di tempat ini, naik turun gunung. masuk keluar hutan hutan besar. namun belum juga mereka melihat Hutan Bambu Kuning.

Bi Li sudah mulai hilang sabar ketika pada hari ke tujuh, pada pagi hari selagi dua orang muda ini berada di sebuah daerah berbatu karang, tiba-tiba mereka mendengar suara orang. Suara ini adalah suara laki laki dan wanita yang agaknya bertengkar, karena suara mereka keras dan terdengar marab-marah. Bi Li dan Tiang Bu menuju ke tempat itu, dan dari balik pohon-pobon dan batu karang mereka mengintai.

Bi Li melihat seorang pemuda tampan berhadapan dengan dua orang gadis cantik. Melihat pemuda itu, teringatlah Bi Li bahwa itulah pemuda yang dulu ikut menyerbu ke kota raja, pemuda yang tadinya datang bersama tosu kaki buntung sebagai utusan Kaisar Mongol, pemuda lihai yang pernah ia keroyok dengan Wan Sun dahulu di tepi Sungai Hoan ho, pemuda kurang ajar dan ceriwis, Liok Cui Kong. Akan tetapi dua orang gadis cantik itu belum pernah dilihatnya. Tidak demikian dengan Tiang Bu.

Begitu melihat dua orang gadis itu, wajahnya berubah sebentar pucat sebentar merah, matanya menyinarkan cahaya aneh, seperti marah dan malu. Ini tidak mengherankan oleh karena dua orang gadis itu bukan lain adalah Cui Lin dan Cui Kim!

Dua orang kakak beradik ini masih secantik dulu, tahi lalat kecil di dagu Cui Lin masih amat manis menarik hati, sepasang mata yang genit dan berbentuk indah itu masih membuat Cui Kim seorang gadis cantik yang jarang ada keduanya. Akan tetapi kecantikan mereka sekarang menjadi racun bagi mata Tiang Bu, bagaikan duri menusuk hatinya, membangkitkan marah dan sakit hatinya.

Akan tetapi ia tidak mau rahasianya diketahui Bi Li dan ia dapat mengendalikan perasaannya dan tinggal diam, mengintai di samping Bi Li. Ular-ular yang berada di dalam saku baju Bi Li mulai keluar, tanda bahwa gadis itu bersiap-siap manghadapi pertempuran. Dua orang muda ini masih tidak mau bergerak lebih dulu, hanya mendengarkan pertengkaran antara Cui Kong dan dua orang gadis itu.

"Kalian masih kukuh tidak mau memberikan katak itu kepadaku?" Cui Kong berkata marah. "Kalian ini orang-orang perempuan sungguh tak tahu malu. Untuk apa kalian menyimpan katak itu? Binatang ajaib itu hanya untuk laki-laki, tidak ada artinya kalian membawanya. Lekas berikan kepadaku!"

"Kong ko, bukan kami yang tidak tahu malu, sebaliknya engkau yang keterlaluan," bantah Cui Lin berani. “Binatang ajaib katak pembangkit asmara ini kami dapatkan dari Tiang Bu dan kami simpan sebagai kenang-kenangan. Kami yang berhak memilikinya, setidaknya menjadi hadiah kami sebagai balas jasa kami ketika kita merobohkan Tiang Bu. Mengapa kau mau memaksa kami minta katak ini? Aku tahu kau hendak main gila, kau akan menjadi makin binal dan mata keranjang. Sudah cukup kau menyakiti hati kami!"

“Setan! Kau bilang apa? Cui Lin, kau dan adikmu ini menjadi berbeda benar sikap kalian setelah menjadi kekasih-kekasih Tiang Bu. Agaknya kalian sudah jatuh cinta benar-boner kepadanya, he? Cinta kepada monyet busuk itu, bukan? Ha-ha ha, sungguh menggelikan!”

"Cui Kong, kau bicara apa!?" Cui Kim membentak marah sampai lupa menyebut Cui Kong dengan kakak. “Jangan terlalu menghina kami!”

"Cui Kim, di mana kesopananmu?! Aku adalah kakakmu, lupakah kau? Atau kau sudah tidak mau mengaku aku sebagai kakakmu lagi?" bentak Cui Kong marah.

"Kakak macam apa kau ini?!" Cui Kim berkata dengan nada mengejek. "Mana di dunia ini ada kakak yang memperlakukan kami seperti yang kaulakukan? Kami! menurut saja karena kami memang bukan adik-adik kandungmu, kita masing-masing adalah orang lain, dan kami melayani segala kehendakmu membantu dalam segala hal yang kaulakukan. Attie tetapi mana terima kasihmu? Sekarang malah hendak merampas barang yang menjadi hak milik kami. Cuh, tak tahu malu!”

"Bedebah!" Cui Kong memukul dada Cui Kim. Gadis ini mengelak cepat, akan tetapi sebuah tendangan mengenai perutnya, membuat ia terlempar dan roboh. Sambil meringis kesakitan Cui Kim duduk dan menekan perutnya yang tertendang.

"Cui Kong, kau terlalu sekali!” seru Cui Lin marah. "Untuk kepentinganmu kami sering kali berkorban. Untuk kemenanganmu dan membalasmu kami sampai rela menjadi kekasih Tiang Bu. Sampai sebulan lebih, rela menerima hinaan dari padanya. Sekarang kau bertindak sewenang-wenang melukai adikku. Kau dan kami sama-sama anak angkat dari ayah, adakah apa kau bersikap sebagai atasan kami?”

Cui Kong tertawa mengejek. "Hak tingkat kepandaian, bodoh! Pula, jangan kira ayah akan terlalu membela kalian kalau kalian tidak menurut perintahku. Ayah masih belum tahu bahwa anak-anak angkatnya yang manis-manis, calon-calon penghiburnya yang dirawat sejak kecil sampai menjadi gadis-gadis jelita, ternyata telah menjadi kekasih Tiang Bu. Ha ha ha...!"

Pada saat itu, sebelum dua orang yang sudah siap bertempur ini saling serang, terdengar seruan orang dan dari balik gunung batu karang muncul dua orang, satu dari kanan kedua dari kiri.

"Hayaa, kami mencari kalian di mana...!" teriak seorang di antara mereka. Melihat kedatangan dua orang ini, otomatis Cui Kong dan Cui Lin merubah sikap menjadi biasa tidak seperti orarg mau bertempur. Bahkan Cui Kim sudah berdiri lagi menahan sakit.

Sementara itu, mendengar percakapan itu, muka Bi Li juga berubah merah sekali. Ia merasa muak mendengar isi percakapan yang kotor itu, dan beberapa kali ia mengerling ke arah Tiang Bu, bibirnya yang manis ditarik sedemikian rupa untuk mengejek pemuda itu.

“Aha, kiranya kau mempunyai banyak kekasih! Sekali bertemu saja sudah ada dua orang. Mengapa kau tidak lekas keluar menemui dua orang kekasihmu itu?” katanya perlahan.

"Ssstt!, diamlah, Bi Li." kata Tiang sambil menyentuh tangin gadis itu.

Akan tetapi Bi Li menarik tangannya sambil berkata ketus. "Jangan pegang tanganku!"

Tiang Bu kaget dan khawatir. Belum pernah gadis itu bersikap segalak ini, dan agaknya seperti orang marah-marah. Heran! Akan tetapi ia tidak berkata-kata lagi, sebaliknya memperhatikan ke depan seperti Bi Li yang juga sudah memandang ke depan penuh perhatian.

Yang baru datang adalah seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, kelihatannya kuat sekali, usianya setara empat puluh tahun. Orang ke dua sebaliknya adalah seorang yang kecil pendek, mukanya kuning pucat seperti berpenyakitan. Akan tetapi baik Bi Li maupun Tiang Bu maklum bahwa orang berpenyakitan ini adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.

”Liok-kongcu, kau membuat beberapa orang kawan sibuk mencarimu ke sana ke mari. Tidak tahunya sedang bersenang-senang dengan jiwi siocia ini di sini," kata si muka hitam.

”Jiwi-siokhu (kedua paman) menyusul ke sini ada keperluan apakah gerangan?” tanya Cui Kong, menyembunyikan kemendongkolannya.

"Kami disuruh menyusulmu karena ayahmu yang mulia hendak membicarakan urusan penting denganmu. Agaknya Ui-tiok-lim akan kedatangan tamu tamu penting."

Mendengar bahwa ia dipanggil ayahnya, Cui Kong tidak berani membantah. Setelah melempar karling penuh ancaman kepada Cui Lin, ia lalu menyatakan baik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, berlari ke balik Pegunungan Batu Karang Putih. Si muka hitam juga lari di belakang Cui Kong. Akan tetapi orang yang kurus kering dan pucat itu tersenyum-senyum di depan Cui Lin lalu berkata.

"Nona tadi agaknya ribut mulut dengan Liok kongcu. Di antara saudara ribut-ribut ada urusan apakah. Aku adalah saudara angkat Liok-taihiap, aku akan merasa girang sekali kalau dapat mendamaikan urusan kalian."

Mendengar ini, dua orang gadis itu diam-diam memuji akan kelihaian si muka pucat ini. Juga Tiang Bu diam-diam kaget karena hal itu saja membuktikan bahwa si muka pucat ini benar-benar lihai.

"Ah, Cong-susiok agaknya main-main. Di antara saudara serdiri, mana kami bertengkar! Hanya sedikit ribut mulut urusan kecil," kata Cui Lin.

Si muka pucat she Cong itu tertawa bergelak, suaranya tinggi kecil mengiris telinga rasanya, "Ha ha ha ha, nona. Aku terhitung pamanmu sendiri. mengapa hendak membohong? Kulihat adikmu ini menderita luka dalam akibat tendangan, apakah ketika menendang Liok-kongcu juga main-main? Lebih baik lekas minum obat ini, agar luka itu tidak menjalar makin hebat?" Setelah berkata demikian, ia melemparkan sebutir pel merah kepada Cui Kim yang menerimanya lalu menelannya.

"Terima kasih, Cong-susiok. Kau baik sekali. Memang saudaraku Cui Kong itu keterlaluan." kata Cui Kim, "Coba saja pikir, kami merampas sebuah be nda dari musuh kami dan benda itu sudah menjadi hak milik kami. Masa Kong-ko datang-datang hendak merampasnya dari kami? Mena ada aturan demikian?”

"Memang tidak ada aturan seperti itu, apalagi kalau benda itu sebuah pusaka seperti katak pembangkit asmara." kata si pucat yang bernama Con g Lung itu.

”Bagaimana kau bisa tahu, Cong-susiok?” Cui Lin bertanya kaget, juga Cui Kim memandang dengan heran.

"Tentu saja aku tahu. Juga aku tahu bahwa katak di tanganmu itu tidak ada gunanya bagimu, sebaliknya katak yang berada di tanganku juga tidak ada gunanya bagiku. Kalau kita bertukar katak, barulah ada gunanya."

“Apa maksudmu, Cong-susiok?" tanya Cui Lie.

"Kalian mendapatkan katak betina yang tidak ada gunanya bagi orang-orang wanita. sebaliknya aku mendapatkan katak jantan yang sama sekali tidak ada artinya dan tidak lebih baik dan pada katak mampus bagi orang laki-laki. Sebaliknya kalau kita bertukar katak, barulah dua benda ajaib itu akau banyak gunanya bagi kita." Ia tertawa menyeringai.

"Bagaimana kami bisa mempercayai omonganmu, Cong-susiok...?"

"Bukankah katakmu itu berwarna hijau? Katakku berwarna merah dan kalau kalian mau buktinya, mari kita keluarkan katak masing-masing." Sambil berkata demikian, Cong Lung mengeluarkan sebuah kotak yang sama dengan katak yang dibawa oleh Cui Lin. Ia membuka sedikit kotak itu dan terdengarlah bunyi nyaring tinggi.

”Kok! Kok! Kok!"

Pada saat itu, Cui Lin mengeluarkan seruan kaget karena kotak di dalam saku bajunya bergerak. Cepat ia mengeluarkan kotak itu dan membuka sedikit tutupnya.

"Kok-kok-kok!” terdengar suara keras dan besar dari dalam kotak itu dan tutup kotak bergerak-gerak karena binatang itu meronta-ronta.

"Nah, mereka sudah saling mengenal suara. Bagaimana maukah kau bertukar, nona? Aku bersumpah bahwa aku tidak menipumu."

Cui Lin yang memang tidak mendapat untung apa-apa dari katak hijau yang ia rampas dari Tiang Bu, segera menukarkan kotak berisi binatang aneh itu. Dan belum lama begitu ia memegangi kotak berisi katak jantan, tiba-tiba mukanya berubah merah dan tak lama kemudian ia tertawa cekikikan sambil memeluk adiknya dan membisikkan sesuatu di telinga adiknya. Juga Cui Kin tertawa cekikikan. Agaknya dua orang gadis bermoral bejat ini sudah mulai merasai pengaruh dari katak ajaib itu yang membuat mereka terkekeh sambi l berpelukan mereka hendak lari pergi dari situ, akan tetapi Con Lun berkata.

"Nanti dulu, nona-nona manis. Ceritakan dari mana mendapatkan katak ini?"

"Dari dalam saku orang bernama Tiang Bu musuh kami. Karena dia membawa katak itulah kami dapat me robohkan dia, dan kami merampas kataknya setelah itu tak berdaya lagi," jawab Cui Kim yang tertawa-tawa genit dengan mata liar dan pipi kemerahan. Kemudian dia dan kakaknya berlari-larian pergi, kelihatannya girang sekali.

“Perempuan cabul jangan lari...!” Tiba-tiba Bi Li melompat keluar dengan marah. Sekarang tahulah Bi Li bahwa Tiang Bu roboh di bawah kekuasaan dua orang wanita itu karena pangaruh katak ajaib. Hal ini menimbulkan kemarahan yang luar biasa padanya, maka tanpa menanti isyarat dari Tiang Bu lagi ia sudah melompat ke luar dan beberapa kali lompatan sudah berhadapan dengan Cui Lin dan Cui Kim yang berhenti dan membalikkan tubuh dengan heran.

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Dua orang gadis ini terheran-heran melihat Tiang Bu yang mereka sangka sudah tewas. Cui Kong tidak pernah bercerita tertang Tiang Bu kepada siapapun juga, karena pemuda itu tentu saja malu bahwa dirinya dibikin seperti bola mati oleh Tiang Bu. Akan tetapi, ketika melihat Bi Li menyerang dengan ular di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, Cui Lin dan Cui Kim kaget. Cepat merekapun mencabut pedang dan sebentar saja mereka bertempur ramai.

Melihat Bi Li sudah turun tangan, Tiang Bu terpaksa melompat ke luar pula. Ia memang ingin menawan seorang di antara mereka untuk menjadi penunjuk jalan. Ia tidak mengkhawatirkan Bi Li yang kiranya cukup tangguh untuk menghadapi pengeroyokn ya dua orang gadis cabul itu maka ia segera menghampiri Cong Lun dengan tenang.

Sementara Cong Lun yang melihat munculnya seorang gadis cantik jelita bersenjata ular dan nampak gagah sekali kini sudah bertempur dikeroyok oleh Cui Lin dan Cui Kim, maklum bahwa inilah agaknya dua di antara tamu-tamu penting" yang dikatakan oleh Liok Kong Ji yaitu musuh-musuh yang datang menyerbu Ui-tiok lim yang harus dilawan.

Maka melihat munculnya seorang pemuda tangan kosong bersikap tenang, tanpa banyak cakap lagi ia lalu memapaki dengan tangan kanan diulur untuk menangkap Tiang Bu. Justeru pada saat itu, Tiang Bu juga mengul ur tangan untuk menangkapnya. Dua tangan bertemu, dua tangan yang dibentangkan sehingga telapak tangan kanan mereka saling bertumbukan.

“Plakk...”

Tiang Bu merasa betapa ada semacam tenaga menyedot yang luar biasa sekali keluar dari telapak tangan lawan dan menjalar ke dalam tangannya sendiri membuat tangannya terasa pegal-pegal dan kaku. Ia kagum bukan main, tidak mengira bahwa lawannya memiliki tenaga iweekang setinggi itu, maka tadi ia tidak mengerahkan seluruh tenaga karena ia memang tidak berniat membunuh orang.

Baiknya pemuda ini sudah melatih diri secara hebat sekali di dalam gua yang ia sebut sendiri Gua Siluman di dalam jurang di daerah lembah Sungai Huang-ho itu. Ia telah mempelajari semua isi kitab Seng thian-to yang luar biasa sekali, ilmu keturunan yang hanya menjadi rahasia, diturunkan oleh Tat Mo Couwsu sendiri dan hanya dua orang kakek Omei-san yang pernah melihat dan mempelajarinya.

Bedanya kalau kakek 0mei-san itu terlalu banyak mempelujari ilmu silat dari kitab kitab itu, adalah Tiang Bu dapat mempelajari Song-thian-to secara khusus karena karena terkurung dalam jurang, maka kalau dibandingkan dengan dua orang gurun ya itu. Tiang Bu lebih sempurna ilmunya yang ia pelajari dari kitab Song-thiau-to. Hasilnya, ia me miliki sinkang yang luar biaya sekali, bahkan lebih hebat dari pada ketika ia mewarisi sin-kang dari dua orang gurunya, kemudian tenaga atau hawa sakti dalam tubuhnya itu lenyap ke tika ia tergoda oleh Cui Lin dan Cui Kim.

Begitu merasa ada tenaga menyedot luar biasa dari telapak tangan lawannya, Tiang Bu mengerahkan sedikit tenaga membetot dan dengan mudah saja ia dapat menarik kembali tangannya. Cong Lung yang mendapat julukan Ban-kin liong (Naga Bertenaga Selaksa Kati) di daerah utara mengeluarkan seruan kaget. Ia sudah terkenal akan tenaganya yang hebat luar biasa sehingga diumpamakan seekor naga yang bertenaga selaksa kati.

Setiap pukulannya akan menghancurkan batu karang, tiap kali tangannya menggunakan tenaga menyedot, tak seorangpun di dunia ini dapat me lepaskan diri dengan mudah. Akan tetapi bocah ini, yang kelihatannya sederhana dan masih hijau, setelah kena ditempel telapak tangannya, sekali betot sudah terlepas!

Apakah dia sudah kehilangan tenaganya ataukah bocah ini yang menggunakan ilmu sihir? Dengan malu dan penasaran sekali Cong Lung menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh Iweekangnya memberondong dada Tiang Bu dengan pukulan tangan kanan kiri. Untuk menebus malu tadi Si Naga Bertenaga Selaksa Kati ini rupa-rupan ya hendak membunuh Tiung Bu dalam sekali serangan. Akan tetapi, justeru inilah kesalahannya, kalau ia mempergunakan ilmu serangan biasa, dengan ilmu silatnya yang tinggi kiranya mereka berdua masih akan dapat bertempur ramai untuk beberapa babak lamanya.

Celakanya, dia mengandalkan lweekangnya, tidak tahu bahwa dalam hal ilmu ini menghadapi Tiang Bu ia sama dengan berjumpa gurunya! Serangannya yang hebat dan dilakukan dengan maksud membunuh ini memukul dirinya sendiri. Tiang Bu menghadapi pukulan dahsyat ini dengan tenang, hanya melakukan gerakan mendorong dengan tangan kirinya ke depan untuk menghadapi gelombang serangan dahsyat itu.

Ketika dua tenaga raksasa ini bertemu tubuh Tiang Bu hanya bergerak sedikit ke belakang, akan tetapi yang hebat adalah Cong Lung. Ia menjerit kesakitan, tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh telentang tak bergerak lagi, pingsan. Dari mulutnya keluar darah segar. Masih untung baginya bahwa Tiang Bu tadi tidak mengerahkan tenaga untuk menyerangnya, hanya melakukan pertahanan saja sehingga tenaga serangannya membalik dan memukulnya sendiri. Kalau tenaga yang membalik ini ditambah oleh tenaga serangan Tiang Bu sedikit saja, Cong Lung tidak hanya akan roboh pingsan, akan tetapi tentu akan mati seketika itu juga.

Sementara Cui Lin dan Cui Kim yang sedang mengeroyok Bi Li merasa kewalahan juga. Gadis yang baru datang ini lihai bukan main ilmu pedangnya, terutama sekali ular di tangan kirinya itu merupakan senjata yang amat berbahaya dan sukar dilawan. Tadi nya dua orang gadis ini masih besar hati karena di situ ada Cong Lung, akan tetapi ketika melihat bahwa Cong Lung roboh pin gsan, mereka kaget bukan main dan cepat melompat ke belakang terus melarikan diri.

"Siluman-siluman betina hendak lari kemana?” Bi Li membentak sambil mengejar dua orang lawannya yang melarikan diri ke arah batu karang putih kemana tadi Cui Kong, juga pergi. Sambil mengejar, B Li menggerakkan tangan dan beberapa buah senjata rahasia pat-kwa-ci menyambar ke arah dua oran gadis yang melarikan diri itu.

Senjata rahasia yang dipergunakan oleh Bi Li ini adalah senjata rahasia Ang-jiu Mo-li, hebatnya buka main. Biarpun Cui Lin dan Cui Kim sudah memiliki kepandaian tinggi juga, namun mereka terpaksa membalikkan tubuh dan menggunakan pedang menyampok semua senjata rahasia ini, tidak berani mereka berlaku semberono.

Sementara mereka membalik ini Bi Li sudah dekat lagi dan langsung menyerang. Akan tetapi Cui Lin dan Cui Kim tidak mau melayaninya, setelah sekali menangkis, mereka kembali lari, Bi Li hendak melepas senjata rahasia lagi akan tetapi dua orang lawannya sudah melompat ke belakang batu karang dan terus lari sehingga untuk sesaat gunung batu karang menjadi penghalang baginya.

“Bi Li, jangan kejar...!” seru Tiang Bu, tahu bahwa Bi Li bukanlah serang gadis yang mudah tunduk menurut, ia melompat mencegat. Dapat dibayangkan betapa mendongkol hati Bi Li ketika tahu tangannya dipegang dan ditarik dari belakang oleh Tiang Bu.

"Kau... kau begitu sayang kepada mereka sehingga tidak ingin meli hat aku membunuh mereka? Kau membela ke kasih-kekasihmu itu...?” bentaknya marah sambit membanting-banting kaki karena ia tidak berdaya melepaskan pegangan tangan Tiang Bu.

"Bi Li, kau selalu salah mengerti. Dua orang wanita itu amat curang dan licin kau harus ingat bahwa agaknya kita sudah sampai di daerah Ui-tiok-lim, siapa tahu mereka itu sengaja memancingmu untuk mangejar kemudian menjebakmu! Pula, aku sudah berhasil menangkap yang seorang itu dia bisa menjadi penunjuk jalan ke Ui tiok-lim."

Mendengar ini, dan melihat bahwa dua orang gadis tadi sudah lenyap dari situ, Bi Li mengalah. Akan tetapi pandang matanya kepada Tiang Bu masih membayangkao ketidak senangan hatinya. Tiang Bu merasa hal ini ia tahu pula bahwa tentu gadis ini memandang rendah kepadanya setelah mendengar percakapan antara Cui Lin, Cui Kim dan Cong Lung tadi.

Bi Li menghampiri Cong Lung yang masih pingsan. Ia melihat saku baju orang itu dan teringatlah ia akan katak ajaib yang berada di dalam peti. Tanpa banyak cakap lalu mengambil peti kecil itu dari dalam saku baju Cong Lung.

"Bi Li, jangan... sentuh binatang itu!” Tiang Bu berseru dan mengulur tangan hendak merampasnya.

Bi Li mengelak dan mengejek, matanya bersinar marah. "Manusia rendah kau hendak merampasnya dan mengulangi perbuatan rendah seperti dulu dengan dua orang pelacur tadi?"

Tiang Bu tersentak kaget. Sungguh diluar dugaannya gadis ini akan begitu marah. Benar-benar sukar dimengerti watak wanira. "Tidak, Bi Li. Aku... aku hendak membunuh binatang berbahaya itu!”

"Bukan kau, akan tetapi aku yang akan membunuhnya. Binatang menyebalkan, menjijikkan!"

Dengan gemas ia membuka peti kecil itu dan... katak hijau itu melompat ke luar cepat bukan main dan di lain saat ular di lengan Bi Li sudah putus lehernya tergigit oleh katak itu! Anehnya, tiga ekor ular lain yang tadinya bersembunyi di saku baju Bi Li, kini merayap ke luar semua, nampak ketakukan dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, cepat seperti bersayap, katak itu sudah melayang lagi dan dalam sekejap mata saja, dua ekor ular lain sudah putus lehernya dan mati.

Tinggal seekor lagi ular kecil bersisik putih yang dengan ketakutan mencoba bersembunyi di balik lipatan baju Bi Li. Katak hijau itu mengejar terus dengan buasnya. Melihat ketiga ekor ularnya mati digigit katak yang dibencinya ini, Bi Li menjadi makin marah.

“Katak siluman mampuslah!” Tangannya mencengkeram ke arah katak, akan tetapi katak itu bukan main cepat gerakannya karena sudah dapat mengelak lagi melompat ke bawah dan cepat menyambar ke belakang tubuh Bi Li untuk mengejar ular bersembunyi di balik punggung. Dengan mulut terpentang lebar katak itu menyerang dari luar baju, tercium olehnya agaknya bau ular yang bersembunyi di balik pungung. Sebelum Bi Li dapat mengelak, katak itu ternyata sudah menempel di punggungnya, menggigit kulit daging punggungnya dan tidak dapat terlepas lagi.

Bi Li menjerit dan roboh terguling, pingsan. Ternyata bahwa ketika katak itu menyambar ke arah ular yang bersembunyi di balik bajunya, katak ini mencium bau harum luar biasa yang sumbernya berada di punggung Bi Li, maka mengira kalau ular tadi berada di situ, ia lalu menggigit sekuat tenaga. Akan tetapi, begitu menggigit, katak itu bertemu dengan racun yang dulu dipasang oleh Tee-tok Kwan Kok Sun di bawah kulit punggung anaknya ini dan gigitan itu tak dapat terlepas lagi karena katak ajaib ini telah tewas. Di lain fihak, racun yang keluar dari mulut katak sudah menjalar ke tubuh Bi Li, bertemu dengan racun penarik ular, terjadi perang hebat menimbulkan hawa panas membakar tubuh gadis itu sehingga Bi Li roboh pingsan.

Tiang Bu kaget dan cepat mameluk tubuh gadis itu sehingga tidak terbanting. Ia lebih kaget lagi merasa betapa tubuh itu panas membakar. Pertama-tama ia melihat katak itu yang ternyata sudah mati akan tetapi masih lengket pada punggung Bi Li. Dan ular itu sudah bersembunyi di tempat aman, di dalam lipatan baju. Tiang Bu menjadi bingung. Biarpan sudah pernah mempelajari ilmu pengobatal dari Wan Sin Hong tentang luka-luka dan akibat racun, namun belum pernah ia mendengar tentang racun katak hijau, katak pembangkit asmara!

Malah baru sekarang ia tahu bahwa ”gilanya" dia dulu ketika ia tergoda oleh Cui Lin dan Cui Kim juga karena hawa beracun dari katak hijau ini. Berita yang ia dengar dari percakapan tadi tentang khasiat katak hijau terhadap pria, membuat ia terhibur sedikit. Setidaknya ia mempunyai alasan kini mengapa ia dahulu sampai melakukan perbuatan rendah itu. Kiranya ia berada di bawah pengaruh katak pembangkit asmara.

Tiang Bu tidak berani sembarangan mempergunakan obat-obatnya untuk menolong Bi Li sebelum ia tahu betul obat apa yang harus diberikannya. Ia menarik bangkai katak itu, tanpa ragu-ragu lagi merobek baju Bi Li bagian punggung setelah miringkan tubuh gadis itu. Tampak kulit punggung yang putih halus dan bekas gigitan katak itu meninggalkan bekas kehijauan. Anehnya, ia melihat bintik merah di punggung itu, bintik yang agaknya sudah lama ada dan yang mengeluarkan bau harum ke ras sekali.

Kini bintik merah itu dilingkari bekas gigitan katak yang berwarna hijau. Tiang Bu mengambil pedang Bi Li yang terlempar di atas tanah menggunakan ujung pedang untuk melukai sedikit pada punggung Bi Li dan melihat darah yang keluar diri luka. Darah yang keracunan selalu mendatangkan warna yang akan dapat memastikan obatnya. Keluarlah darah merah segar dari luka itu, darah merah biasa seperti darah orang sehat.

Aneh sekali, pikir Tiang Bu. Saking penasaran ia menusuk lagi di dekat luka gigttan katak itu. Kembali mengalir darah merah segar, sama sekali tidak ada tanda-tanda racun. Tiang Bu menjadi makin bingung. Hanya dengan melihat warna darah orang yang tergigit binatang berbisa, ia akan dapat menentukan obat yang mana harus ia pakai. Akan tetapi darah Bi Li ternyata darah sehat yang sama sekali tidak memperlihatkau tanda keracunan.

Tiang Bu mengeluarkan buku catatannya tentang pengobatan ketika ia belajar dari Wan Sin Hong. ia membaca dan membalik-balik lembaran catatannya itu namun sia-sia belaka. Dia masih terlalu hijau dalam hal ini. Kalau Wan Sin Hong berada di situ pendekar ini akan tahu sebabnya dan akan tertawa, karena sesungguhnya, racun dari katak hijau itu lenyap kekuatannya oleh racun merah yang berada di tubuh Bi Li, racun merah yang dahulu dimasukkan ke punggungnya oleh Tee-tok Kwan Kok Sun. Racun merah inilah yang mengeluarkan bau harum dan yang menarik semua ular-ular berbisa yang segera menjadi jinak kalau berdekatan dengan Bi Li.

Kini dua macam racun itu saling serang dan kedua-duanya menjadi habis kekuatannya. Perlahan-lahan dan racun yang bertawanan itu menjadi musnah lenyap di dalam darah yang segar, yang mempunyai daya sendiri untuk melebur dua macam racun yang sudah tidak ada gunanya itu. Racun katak lenyap juga racun merah yang menimbulkan bau harum itu musnah. Bau harum dari tubuh Bi Li makin lama makin menghilang dan ia menjadi seorang menusia biasa lagi.

Karena kehabisan akal dan tidak tahu harus mempergunakan obat apa, Tiang Bu hanya bisa mengambil obat tempel untuk mengobati luka-luka bekas gigitan katak dan bekas tusukan ujung pedang, ditempelkau di punggung gadis itu. Kemudian ia membereskan lagi baju di bagian punggung yang trrbuka dan mengangkat Bi Li ke tempat bersih, di atas rumput yang tumbuh di bawah pohon. Baru saja ia menurunkan Bi Li di atas rumput, gadis itu siuman, mengeluh perlahan, disambung seruan yang menyenangkan hati Tiang Bu.

"Aduh nyamannya...!”

Ketika pemuda itu meraba jidat Bi Li, ternyata hawa panas tadi sudah hilang dan keadaan Bi Li sudah normal kembali. Gadis itu bangkit duduk dan teringatkah dia akan katak hijau yang menyerangnya tadi.

“Mana binatang itu?” katanya gemas.

“Dia sudah mati setelah menggigit punggungmu. syukur kau tidak apa-apa,” kata Tiang Bu yang menceritakan dengan singkat kejadian tadi. Bi Li menyesal bukan main kehilangan tiga ekor ularnya. Kini ia hanya tinggal mempunyai seekor ular kecil bersisik putih itu, akan tetapi ular ini cukup berbahaya. Ia sendiri masih belum insyaf bahwa sekarang pengaruhnya terhadap ular telah lenyap, bau harum yang aneh itu telah meninggalkan tubuhnya. Ular kecil putih yang tinggal satu satunya itu masih jinak kepadanya karena sudah lama ia pelihara. Terdengar keluhan orang dan Cong Lung bergerak lalu duduk sambil meringis kesakitan.

“Kau benar-benar orang lihai, orang muda,” katanya sambil memandang ke arah Tiang Bu dengan kagum.

"Kau sudah mengaku kalah?" desak Tiang Bu.

Cong Lung mengangguk. "Belum pernah aku bertemu dengan lawan seperti engkau akan tetapi kalau lukaku sudah sembuh, aku masih ingin minta petunjuk darimu dalam ilmu silat. Siapakah namamu?”

"Namaku Tiang Bu dan kalau kau sudah mengaku kalah, sekarang kau harus menjadi petunjuk jalan kami memaauki Ui-tok-lim..."

Mendengar nama itu, Cong Lung agak terkejut. “Kau bernama Tiang Bu ? Aku pernah mendengar tentang Putera Liok-taihiap yang bernama Tiang Bu...”

”Bukan aku! Aku musuh besar Liok Kong Ji. Bawa aku ke sana."

Tiba-tiba Cong Lung bergelak, kelihatannya geli. “Kau...? Kau hendak memasuki Ui-tiok-lim untuk mencari Liok-taihiap? Benar-benar sukar dipercaya. Akan tetapi kalau demikian kehendakmu, marilah kuantar kalian ke Ui-tiok-lim!” Ia melompat berdiri dan tiba-tiba ia meraba-raba saku bajunya, keningnya berkerut.

“Katak hijau yang kotor itu telah mampus, tak perlu kau cari lagi,” kata Tiang Bu sambil menunjuk ke arah bangkai katak yang sudah kering.

Cong Lung menarik napas panjang berulang-ulang, kelihatannya menyesal bukan main. Ia mengerling ke arah wajah Bi Li yang amat jelita itu, lalu berkata, "Sayang...!" Akan tetapi ia segera berjalan cepat dan berkata, “Marilah!"

Dengan hati-hati sekali Tiang Bu mengikutinya, memberi isyarat kepada Bi Li untuk berjalan di belakangnya. Gadis itupun bersiap-siap berjalan di belakang Tiang Bu dengan pedang di tangan kanan dan ular putih melingkar di pergelangan tangan kiri.

Cong Lung berlari mengitari Pegunungan Batu Karang Putih, lalu memnbelok ke kiri menuju ke pegunungan yang penuh dengan batu karang dan sebatang pohon pun tidak kelihatan dari bawah. Orang yang hendak mencari Ui tiok lim (Hutan Bambu Kuning) tidak nanti akan mengambil jalan ini karena siapakah orangnya mau mencari sebuah hutan di atas pegunungan yang be gitu kering penuh batu melulu?

Inikah keistimewaan Ui-liok-lim yang amat sukar dicari orang. Tidak saja letaknya di tempat yang tak semestinya, yitu di atas pegunungan batu karang, akan tetapi juga amat sukar mencari jalan di antara batu karang itu. batu-batu yang berada di situ menj ulang tinggi menutupi pandangan sehingga orang mudah tersesat tidak mengenal daerah ini...