Kisah Si Pedang Kilat Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kisah Si Pedang Kilat Jilid 04

ANGIN pukulan yang kuat menyambar. Bun Houw yang ingin mengetahui sampai di mana kekuatan orang gendut itu, sengaja menggerakkan kedua tangannya menyambut kedua tangan lawan yang dikembangkan.

"Dessss!” Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan saling melekat!

Dan dalam adu tenaga ini, si gendut terkejut bukan main karena dia merasa betapa seluruh tubuhnya tengetar hebat, tanda bahwa tenaga sakti dari lawannya yang masih muda itu sudah amat kuatnya! Akan tetapi, dengan gerakan yang sama sekali tidak tersangka-sangka, si gendut itu menggerakkan kepalanya yang kecil ke depan dan menghantamkan kepalanya ke arah muka Bun Houw!

Pemuda itu terkejut bukan main, karena tidak menyangka sama sekali, dia hanya mampu miringkan kepalanya saja. "Pukkkk!” Pipinya dihantam dengan kerasnya oleh kepala yang kecil namun keraseperti baja!

Bun Houw melepaskan kedua tangannya yang menempel pada tangan lawan, dan dia agak terhuyung ke belakang, kepalanya terasa pening. Dia menggoyang-goyang kepala dan terasa betapa pipinya panas dan nyeri. Dia mengusap pipinya, memandang ke depan dan si gendut masih tertawa. Kiranya si gendut ini memiliki ilmu menyerang dengan kepalanya yang kecil! Karena terkejut, Bun Houw kurang cepat dan tahu-tahu Gu Mouw sudah menyerang lagi, kini kaki kanannya menendang dengan kekuatan dahsyat, disusul kaki kiri.

Bun Houw terpaksa kembali melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Akan tetapi ternyata tendangan si gendut itu merupakan Ilmu tendangan semacam Soan-kong-twi (Tendangan Angin Puyuh) yaitu tendangan berantai yang sambung-menyambung. Kadang-kadang tubuh yang bundar itu seperti menggelinding dan dari bola menggelinding itu mencuat kedua kaki yang bergantian melakukan tendangan bertubi-tubi.

Karena repot juga menghadapi tendangan-tendangan berantai yang amat cepat, kuat dan berbahaya itu, terpaksa Bun Houw mencabut tongkat butut dari pinggangnya dan menangkis tendangan itu dengan tongkatnya. Dia tidak mungkin harus mengelak terus.

"Tak! Tak! Tak!”

Berulang kali kedua kaki si gendut itu bertemu tongkat dan dia marasa betapa bagian kaki yang tertangkis tongkat itu nyeri, maka terpaksa dia menghentikan tendangan-tendangannya. Kini barulah senyum lebar di mukanya itu mulai menyempit. Baru dia tahu bahwa pemuda ini memang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sejak tadi, belum pernah dia mampu mengenai tubuh pemuda itu dengan pukulan atau tendangan, dan hasil benturan kepalanya tadipun tidak ada artinya.

Bahkan kini kedua kakinya terasa nyeri, Apalagi kalau yang tertangkis itu tulang kering kakinya. Marahlah Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Akan-tetapi, dasar mulutnya sudah terlanjur lebar, biarpun dalam keadaan marah, tetap saja dia kelihatan seperti tersenyum!

"Rrrtttt...!” Nampak sinar terang ketika tangannya melolos sebatang rantai yang panjangnya ada satu setengah meter, terbuat dari pada besi dan berwarna putih seperti perak. itulah senjata yang ampuh dari Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw, yaitu sehelai rantai yang berat. Tanpa banyak cakap lagi, si gendut sudah memutar rantai itu dan melakukan penyerangan. Rantai besi itu menyambar-nyambar dahsyat, mengeluarkan suara bersuitan.

Bun Houw kembali mempengunakan kelincahan tubuhnya, mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun, gulungan sinar putih itu terus mengejarnya. Pada suatu saat, nampak seolah-olah Bun Houw seperti seorang kanak-kanak sedang bermain loncat tali! Dia berloncatan menghindar dan rantai itu menyambar-nyambar lewat bawah kakinya dan atas kepalanya!

"Trang-trang...!" Kini Bun Houw mulai menangkis dengan tongkatnya.

Kembali si gendut terkejut. Tangkisan tongkat itu mengeluarkan bunyi seolah-olah rantai di tangannya bertemu dengan benda logam yang keras! Jelas bahwa tongkat yang nampaknya butut itu menyembunyikan senjata logam kerasnya. Juga pertemuan dengan tongkat itu membuat rantai di tangannya terpental dan telapak tangannya terasa panas sekali. Diapun menjadi semakin penasaran dan dia memutar rantainya lebih gencar lagi.

Akan tetapi, kini Bun Hou tidak hanya mengelak dan menangkis, melainkan mulai membalas dengan tamparan tangan dan tendangan kaki, dan juga totokan-totokan yang dilakukan dengan tongkatnya. Dari suhunya, Bun Houw menerima banyak macam ilmu silat, akan tetapi yang paling hebat merupakan keistimewaan gurunya, yaitu ilmu menotok jalan darah, lalu ilmu tongkat dan yang terakhir ilmu pedang. Melihat tingkat kepandaian lawan, Bun Houw masih belum mau menghunus pedang dari dalam tongkat bututnya.

Gurunya tidak menghendaki dia sembarangan menghunus pedang, karena ilmu Pedang Kilat amat berbahaya. Sekali pedang itu tercabut sukar dicegah robohnya lawan dalam keadaan terluka parah atau tewas! Karena itulah, Bun Houw masih tidak mau mencabut pedangnya. Dia tidak mengenal si gendut ini, tidak mempunyai permusuhan pribadi. Si gendut hanyalah seorang utusan, seorang anak buah, maka tidak semestinya kalau dia melukainya dengan berat, Apalagi membunuhnya!

Ilmu tongkat yang dimainkan Bun Houw memang merupakan ilmu tongkat yang amat hebat. Gerakannya cepat dan sukar diduga. Kalaupun tongkat itu hanya merupakan sebatang tongkat butut, namun sambarannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat, dan si gendut Gu Mouw maklum bahwa tongkat di tangan lawan itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Buktinya ketika tongkat itu menangkis rantainya, dia merasa betapa rantainya terpental dan telapak tangan yang memegang ujung rantai menjadi panas, itu saja sudah membuktikan bahwa selain pemuda itu memiliki tenaga kuat, juga tongkat itu bukan benda lunak dan lemah!

Melihat betapa sejak tadi si gendut tidak mampu merobohkan Bun Houw, sebaliknya kini malah terdesak hebat dan terus main mundur, tiga orang jagoan bawahannya menjadi penasaran, khawatir dan tidak sabar lagi. Diawali aba-aba si codet yang menjadi pemimpin, mereka lalu menerjang maju untuk mengeroyok Bun Houw, mempengunakan golok mereka yang dipegang di tangan kiri. Tentu saja mereka bertiga tidak akan gila berani maju lagi kalau di situ tidak ada Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Mereka mengharap bahwa dengan adanya Gu Mouw, mereka bertiga akan mampu membuat Bun Houw roboh!

Melihat majunya tiga orang yang sudah patah tulang lengan kanan mereka itu, Bun Houw sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan dia menjadi marah. Tiga orang Liu Sungguh tidak tahu diri! Maka, dia lalu menambah tenaganya dan pada saat rantai besi di tangan Gu Mouw menyambar ke arah kepalanya, dia menangkis dengan tongkat dan sengaja memutar tongkat itu dengan menggetarkan ujungnya sehingga ujung rantai melibat tongkatnya Dengan tenaga sentakan atau kejutan, dia menarik. Tubuh gendut itu tertarik mendekat dan Bun Houw menyambung tarikannya itu dengan tendangan kilat ke arah tangan kanan di ujung rantai.

"Dukk!” Tendangan dengan ujung kaki itu tepat mengenai tangan yang memegang gagang rantai, keras dan tepat. Gu Mouw mengeluh dan tak dapat dipertahankannya lagi, rantai itu dan terlepas dari tangannya!

Bun Houw mengayun tongkatnya dan rantai itupun terputar-putar, membentuk lingkaran sinar putih menyambut tiga orang jagoan yang mengepungnya dengan serangan golok. Demikian kuat dan cepatnya rantai terputar. Begitu tiga batang golok menyambut dan menangkis, tiga batang golok itu terlepas dan terlempar jauh dan rantai masih terus berputar menghantam ke arah tiga orang itu. Mereka berteriak kesakitan dan roboh terjungkal dengan kepala berdarah! Mereka bertiga tidak tewas, juga luka mereka tidak membahayakan nyawa, namun kulit muka mereka pecah terkena hantaman rantai dan mengeluarkan banyak darah.

Melihat kehebatan pemuda itu, Gu Mouw maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkannya, maka diapun menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Akan tetapi, Bun Houw berseru, "Sobat she Gu, terimalah kembali senjatamu ini! Dan tongkatnya diputar, rantai itu ikut terputar kencang, lalu ketika tongkat dipantulkan kuat, rantai yang masih berputar itu terbang ke arah Gu Mouw yang melarikan diri!

Mendengar teriakan lawannya, Gu Mouw menahan langkahnya, lalu. membalik dan menggunakan kedua tangan untuk menerima rantainya yang berputar-putar itu. Rantai itu dapat ditangkapnya, akan tetapi saking kerasnya rantai berputar, kedua ujungnya menghantam perut dan pundaknya. Dia mengaduh-aduh seperti seekor babi disembelih, bergantian dia mendekap perut dan pundak yang luka berdarah. Kemudian, terhuyung-huyung dia melarikan diri dengan rantai masih melibat tubuhnya, diikuti tiga orang temannya.

Dengan susah payah mereka meloncat ke atas punggung kuda mereka yang tadi dibiarkan lepas tak jauh dari situ, Bun Houw tidak mengejar dan baru setelah empat orang itu melarikan diri, dia merasa tertarik sekali untuk melakukan penyelidikan. Mengapa mereka itu demikian bernafsu untuk membunuhnya? Pertama mengirimkan tiga orang jagoan itu, kemudian mengirim si gendut yang memang jauh lebih lihai dibandingkan mereka.

Melihat betapa mereka itu bersungguh-sungguh dalam usaha mereka untuk membunuhnya, bukan tidak mungkin kalau mereka akan mengirim lagi orang-orang yang lebih lihai atau lebih banyak untuk mengejarnya. Dia harus mengetahui mengapa mereka demikian membencinya. Benarkah hanya karena dia bercakap-cakap dengan Ling Ay di taman kuburan? Rasanya tidak mungkin. Dan benarkah suami Ling Ay yang berada di belakang semua usaha untuk membunuhnya itu?

Karena tertarik, maka diapun menggerakkan tubuhnya, berlari cepat membayangi empat ekor kuda yang sudah berlari jauh ke arah kota Nan-ping itu.

********************

Serial Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

Cia Kun Ti meninggalkan gedung besar tempat tinggal puterinya dengan wajah muram. Baru saja dia berkunjung untuk menyusul isterinya yang belum juga pulang. Sehabis bersembahyang di taman kuburan, dia segera pulang, ke rumahnya sendiri, akan tetapi isterinya ikut dengan puteri mereka. Sampai hari menjadi sore, isterinya belum juga pulang, maka dia lalu menyusul ke rumah mantunya.

Dan di rumah itu, dia mendengar dari isterinya betapa mantu mereka, Cun Hok Seng, marah-marah kepada Ling Ay dan ibunya. Mantunya itu marah karena menuduh Ling Ay mengadakan pertemuan dengan bekas tunangannya atau bekas kekasihnya! Dan mantunya mengharuskan Ling Ay tinggal saja di dalam kamar, tidak boleh keluar sebelum ada perintah darinya. Dan isterinya harus menunggui puteri mereka itu!

Tentu saja hati Cia Kun Ti merasa tidak enak sekali dan diam-diam dia menyesali ke tamakan isterinya yang memaksanya dahulu untuk menerima pinangan Cun Hok Seng. Apa yang dikhawatirkanpun kini terjadi. Mantunya itu bukan orang baik-baik. Bahkan keluarga mantunya, yang kepala daerah, juga bukan orang baik-baik. Hal ini sudah diduganya semula, melihat adanya banyak peristiwa aneh terjadi di kota Nan-ping. Namun, semua telah terlambat, puterinya, anak tunggalnya, telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan dia tahu betapa isterinya merasa berbahagia karena memperoleh percikan kehormatan dan kemuliaan yang sesungguhnya semu saja.

Bagi dia sendiri, diam-diam dia merasa malu, bukan hanya melihat ketamakan isterinya akan kehormatan dan kemuliaan, melainkan malu karena sebagai seorang suami dia tidak berdaya mempergunakan kekuasaannya mengatur isteri dan anak sendiri! Dan kini, terjadilah hal itu! Sungguh menjengkelkan. Dia tahu benar bahwa puterinya sama sekali tidak melakukan kesalahan! Pertemuannya dengan Bun Houw hanya kebetulan saja, dan di antara mereka tidak terdapat hal-hal yang kotor atau melanggar tata susila. Akan tetapi, akibat pertemuan itu telah makin menonjolkan watak dari mantunya!

Ketika Cia Kun Ti dengan wajah muram memasuki pekarangan rumahnya, tiba-tiba ada suara orang memanggilnya, "Paman Cia...!”

Cia Kun Ti terkejut, cepat membalikkan tubuhnya dan kiranya Bun Houw sudah berada di situ, di dalam pekarangan rumahnya. "Aih, engkau ini, Bun Houw? Mari, silakan masuk!"

Bun Houw menghaturkan terima kasih dan merekapun memasuki rumah itu, Rumah yang sudah amat dikenal oleh Bun Houw. Dahulu, beberapa tahun yang lalu, dia masih sering kali datang berkunjung ke rumah ini, rumah tunangannya, calon isterinya, rumah calon ayah dan ibu mertuanya! Rumah itu masih sama, hanya catnya yang baru dan ketika dia masuk, ternyata perabot rumah juga diganti dengan perabot baru yang lebih mahal. Tentu keluarga itu hendak menyesuaikan diri, pikirnya, sebagai mertua putera kepala daerah, tentu rumahnya harus lebih mewah.

Cia Kun Ti mengajak Bun Houw duduk di ruangan dalam dan setelah pelayan menghidangkan minuman dan makanan sekadarnya, Cia Kun Ti lalu menutupkan daun pintu ruangan itu dan sikapnya berubah sungguh-sunguh.

"Bun Houw, engkau masih berada di Nan-ping? Ah, aku girang sekali tidak terjadi sesuatu atas dirimu..."

Bun Houw memang sengaja datang ke rumah bekas calon mertua ini. Tadi dia membayangi empat penunggang kuda dan mereka itu masuk ke dalam sebuah rumah besar yang bersambung dengan rumah kepala daerah. Dia ingin mencari keterangan, dan satu-satunya orang yang akan dapat memberi penjelasan kepadanya hanyalah Cia Kun Ti, bekas calon mertuanya ini. Dia tahu bahwa Cia Kun Ti adalah sahabat yang sangat baik dan akrab dengan mendiang ayahnya, dan tadi, di taman kuburan, Cia Kun Ti juga memperlihatkan sikap, yang amat baik kepadanya. Sebetulnya dia meragu untuk datang berkunjung, mengingat akan sikap Nyonya Cia yang agaknya tidak suka kepadanya. Maka, giranglah hatinya bahwa dia dapat berbicara empat mata dengan Cia Kun Ti. Kini, begitu tiba tuan rumah mengkhawatirkan keadaan dirinya!

"Ada apakah, paman? Mengapa paman menduga bahwa akan terjadi sesuatu atas diriku,” dia memancing.

Cia Kun Ti menarik napas panjang. Tadi dia mendengar dari isterinya yang menyumpah Bun Houw. Isterinya berkata bahwa kini Bun Houw dicari oleh orang-orangnya Cun Hok Seng dan akan dibunuh. Isterinya memujikan agar pemuda itu cepat dapat tertangkap dan dibunuh!

"Aku mendengar bahwa engkau dicari oleh para jagoan dari Cun-taijin, aku... aku khawatir sekali."

Bun Houw mengangguk-angguk, girang bahwa dia mencari keterangan ke sini. "Memang benar, paman. Empat orang mencari aku, dan bahkan mengejar aku yang sudah meninggalkan kota ini. Mereka hendak membunuhku, dengan-tuduhan bahwa aku menghina keluarga Cun karena aku berani bercakap-cakap dengan Ay... ah, dengan mantu kepala daerah, yaitu-puteri paman. Aku dapat mengalahkan mereka. Aku merasa penasaran dan aku berkunjung ini untuk mendapatkan penjelasan paman, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa pertemuan dan percakapan bersih antara aku dan puterimu. di taman kuburan itu saja membuat suaminya marah-marah dan hendak membunuhku. Siapakah mereka itu yang demikian kejam, paman?"

Cia Kun Ti menarik napas panjang. "Ah, ya sudah untungku... sungguh kasihan nasib anakku. Ini semua kesalahan isteriku, bibimu yang tamak dan gila hormat itu! Sejak dulu aku sudah mendengar hal-hal yang tidak baik tentang keluarga kepala daerah. Akan tetapi bibimu memaksaku sehingga kami menerima pinangannya. Dan sekarang..."

"Paman, apa yang sebenarnya terjadi?"

“Semua telah menimbulkan kecurigaanku, juga kecurigaan mendiang ayahmu. Sejak Cun-taijin menjadi kepala daerah di Nan-ping, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, nampak gejala gejala tidak benar. Cun taijin mempengunakan orang-orang kang-ouw yang menurut penilaian ayahmu adalah penjahat-penjahat besar."

"Benarkah itu, paman? Apakah paman maksudkan bahwa kepala daerah itu mempengunakan penjahat-penjahat untuk melakukan, kejahatan?”

Yang ditanya menggeleng kepala. "Sama sekali tidak. Bahkan semenjak dia menjadi kepala daerah di sini, kota Nan-ping menjadi tenteram, tidak pernah terjadi kejahatan di kota ini. Tidak ada penjahat yang berani melakukan kejahatan, karena para tokoh sesat yang mereka takuti berada di sini menjadi kaki tangan kepala daerah!"

Bun Houw merata heran bukan main. Bagaimana mungkin seorang kepala daerah, seorang pejabat pemerintah mempengunakan tokoh-tokoh sesat untuk menjadi kaki tangannya? "Lalu, untuk apa dia memelihara para tokoh sesat itu, paman?"

Cia Kun Ti mengangkat pundak. "Hal itu tidak ada yang tahu. Akan tetapi sejak dia menjadi kepala daerah, terjadi banyak hal aneh, seperti kematian ayahmu...“

"Maksud paman...?”

"Aku tidak menduga yang bukan-bukan. Ayahmu memang seorang pendekar penentang kejahatan, karena itu lima orang berkedok yang kau ceritakan telah membunuh ayahmu itu tentu saja para penjahat yang membalas dendam. Akan tetapi, banyak terjadi pembunuhan yang penuh rahasia. Banyak tokoh dan pejabat tewas tanpa diketahui siapa yang membunuhnya. Dan selain itu, sebagai seorang pedagang aku tahu bahwa kami para pedagang diperas oleh kepala daerah, dengan pungutan pajak-pajak tambahan yang tidak wajar. Dan tidak ada orang berani membantahnya. Bayangkan saja, sekarang Ling Ay menjadi anggauta keluarga Cun yang penuh rahasia itu! Dan ternyata sikap Cun Hok Seng juga aneh dan keterlaluan. Masa karena isterinya yang menjadi sahabat baikmu, kebetulan bertemu denganmu di taman kuburan lalu bicara di depan umum, bicara sopan, membuat dia marah seperti gila dan hendak membunuhmu? Aih, sungguh penuh rahasia... dan aku, nasib yang buruk ini, makin tua aku semakin menderita, dan aku kasihan kepada puteriku..."

Bun Houw mengangguk-angguk. "Memang kedengarannya aneh, paman. Empat orang itu hendak membunuhku, dan ketika mereka melarikan diri, mereka menuju ke rumah kepala daerah. Ada sebuah bangunan besar yang bersambung dengan gedung kepala daerah, dan mereka memasuki pekarangan rumah besar itu. Justeru kepadamu aku ingin mendengar keterangan tentang rumah besar itu, paman."

"Di sanalah mereka berkumpul. Penduduk tahu belaka bahwa mereka adalah kaki tangan kepala daerah, akan tetapi karena mereka tidak pernah mengganggu rakyat di depan umum, maka tidak ada yang perduli. Dahulu, di situ menjadi markas pasukan pengawal. Akan tetapi, kepala daerah agaknya lebih suka dikawal oleh kaki tangannya, dari pada oleh pasukan. Dan menurut kabar angin, kaki tangan kepala daerah itu merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi."

"Akan tetapi, paman. Apakah keadaan yang aneh itu tidak diselidiki oleh para pembesar dan pejabat lainnya? Bukankah kota Nan-ping ini mempunyai pula pejabat lain?"

Semua pejabat sipil adalah bawahan kepala daerah, dan satu-satunya pejabat militer adalah komandan pasukan keamanan yang markasnya berada di ujung kota sebelah selatan. Dengan Kim-ciangkun yang tua, Cun Taijin mempunyai hubungan yang amat baik. Entah dengan komandan yang sekarang ini, yang baru beberapa bulan menggantikan Kim-ciangkun. Komandan yang sekarang ini kabarnya dari kota raja, disebut Souw-ciangkun, entah bagaimana hubungannya dengan Cun Taijin, aku tidak tahu. Akan tetapi, ketika Kim-ciangkun masih menjadi komandan, beberapa orang perwira bawahannya juga kabarnya ada yang mati mendadak, ada pula yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, dan kabarnya mereka yang mati atau lenyap itu adalah para perwira yang memperlihatkan sikap tidak senang kepada Cun Taijin."

Bun Houw mengangguk-angguk. "Ah, semakin menarik saja, paman. Kalau aku tidak hendak dibunuhnya, tentu aku sudah pergi dari Nan-ping dan tidak tahu akan hal itu. Sekarang, hatiku tertarik sekali dan aku mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan.”

Cia Kun Ti mengerutkan alisnya, "Berhati-hatilah engkau, Bun Houw. Engkau sudah menjadi buruan mereka, bagaimana engkau malah hendak melakukan penyelidikan dan seolah-olah memasuki gua harimau? Mereka itu banyak dan kuat sekali, dan Cun Taijin amat berkuasa di sini, menjadi orang nomor satu di sini!”

"Harap paman Jangan khawatir. Aku hanya melanjutkan perjuangan ayah. Aku yakin bahwa kalau ayah masih hidup, tentu ayah akan melakukan penyelidikan terhadap keluarga Cun yang penuh rahasia itu!"

"Ayahmu dahulu pernah mengatakan kecurigaan hatinya, akan tetapi setahuku belum pernah melakukan penyelidikan. Akan tetapi Bun Houw, apakah tidak lebih baik engkau mulai berdagang lagi saja? Aku suka membantumu dan..."

"Terima kasih, paman. Aku tidak berani menyusahkan paman. Bahkan sekarangpun aku harus pergi. Tidak baik kalau ada orang melihat aku berkunjung ke sini, tentu hanya akan mendatangkan kesusahan bagimu saja. Nah, selamat tinggal, paman. Sampaikan terima kasihku kepada... adik Ling Ay bahwa ia mau bersembahyang di depan batu nisan ayah ibuku, dan aku selalu memujikan agar ia hidup berbahagia."

Setelah berkata demikian Bun Houw keluar dari rumah itu, berindap-indap dan menyelinap keluar tanpa diketahui orang lain. Dia kini tahu betapa besar bahayanya bagi Cia Kun Ti kalau sampai ada kaki-tangan kepala daerah melihat dia baru saja berkunjung ke rumah itu.

********************

Bun Houw meninggalkan rumah Cia Kun Ti dan dia maklum bahwa dia tidak boleh memperlihatkan diri di tempat umum karena dia pada saat itu adalah seorang buruan. Kalau kaki tangan kepala daerah melihatnya, tentu akan terjadi keributan dan dia akan diserang. Bukan dia takut, melainkan karena dia harus menyelidiki apa yang berada di balik segala rahasia keluarga kepala daerah Cun. Dia harus menyelidikinya, dan kalau perlu menentangnya, demi kehidupan rakyat penghuni kota Nan-ping, demi keluarga Cia Kun Ti, demi... Ling Ay. Bukankah menurut keterangan Cia Kun Ti tadi, ayahnya dahulupun pernah menyatakan kecurigaannya terhadap kepala daerah Cun? Namun, ayahnya tidak sempat melakukan penyelidikan, maka biarlah kini dia yang melanjutkan kecurigaan ayahnya itu.

Sejak hari mulai gelap, dia sudah melakukan pengintaian terhadap rumah besar di dekat gedung kepala daerah. Gedung itu nampak sunyi, tidak ada yang keluar masuk. Akan tetapi, dia sudah mendengar dari Cia Kun Ti bahwa gedung atau rumah berar itu merupakan markas dari para kaki tangan Cun Taijin. Maka, setelah hari menjadi gelap benar, dia-pun mempengunakan kepandaiannya untuk menyelinap ke dekat rumah itu. kemudian meloncat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan rumah.

Dengan hati-hatl Bun Houw merangkak di atas wuwungan rumah dan akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya dan mendekam di atas sebuah ruangan besar di mana berkumpul banyak orang yang duduk mengelilingi sebuah meja besar. Mereka terdiri dari delapan orang. Di ujung meja duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, namun wajah dan tubuhnya masih seperti orang muda, rambutnya sudah ubanan dan orang ini mengenakan pakaian serba putih yang bersih, terbuat dari sutera balus.

Hanya tali atau pita rambutnya saja yang berwarna biru. Sikapnya berwibawa dan mudah diduga bahwa dia tentu merupakan pimpinan dari kelompok itu. Bun Houw melihat pula pria gendut yang tadi dikalahkannya, duduk di antara tujuh orang lain. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya dan merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tidak kelirukah penglihatannya?

Yang menarik perhatiannya dan membuat jantungnya berdebar adalah seorang yang duduk pula di situ. Dia tidak pernah melihat orang itu dan setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa orang itu adalah seorang di antara lima orang penjahat bertopeng yang dulu membunuh ayahnya! Yang membuat dia merasa yakin adalah tangan kanan orang itu. Lengan itu buntung sebatas pergelangan tangan! Tangan kanan itu sudah hilang, diganti dengan sebuah cakar baja yang mengerikan! Memang dia tidak mengenal wajah orang itu, akan tetapi tangan itu! Dan bentuk tubuhnya. Betapapun juga dia merasa ragu pula. Kalau benar orang itu adalah seorang di antara lima penjahat yang membunuh ayahnya, mengapa dia berada di sini? Apakah yang empat orang juga berada di situ?

"Sungguh menyebalkan sekali." terdengar orang yang bertubuh tinggi kurus berkata sambil memandang kepada Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. "Menghadapi seorang bocah ingusan saja sampai gagal, pada hal sudah dibantu tiga orang monyet tolol itu!” Yang menegur itu adalah Bu-tek Kiam-mo, orang ke dua dari kelompok kaki tangan Cun Tai-jin.

Mendengar ini, si gendut Gu Mouw mengerutkan alisnya dan memandang kepada rekannya itu dengan alis berkerut. "Hemm, andaikata engkau sendiri yang maju, belum tentu engkau akan mampu mengalahkannya!"

Bu-tek Kiam-mo bangkit berdiri dari kursinya dan membentak, "Aku tidak seperti engkau! Kalau pedangku tidak mampu membunuhnya, aku tidak akan kembali ke sini dan tentu sudah menjadi mayat. Tidak sudi aku membawa pulang kekalahan!”

Melihat suasana menjadi panas, Pek-I Mo-ko segera bangkit berdiri dan bertepuk tangan, memberi isarat kepada dua orang yang bersitegang itu untuk menjadi tenang. "Sudahlah, tidak perlu diributkan lagi. Kalau pemuda itu berani muncul lagi. kita usahakan agar dia itu dilenyapkan! Sebaliknya kalau dia sudah pergi sudahlah. Urusan dengan dia hanya kecil saja dan perintah atasan hanya untuk menghajar dia, bukan membunuhnya. Kita menghadapi urusan yang lebih besar, tidak perlu meributkan urusan kecil!"

Mendengar ucapan itu. Bu-tek Kiam-mo dan Gu Mouw tidak banyak cakap lagi. Pek I Mo-ko lalu berkata lagi, "Malam ini, sesuai dengan perintah atasan kita, kita harus dapat membunuh perwira tinggi itu. Ngo-kwi, kalian yang bertugas membantu Bu-tek Kiam-mo, dan kalian telah melakukan penyelidikan dan memilih saat yang baik. Bagaimana hasilnya penyelidikan terakhir?"

Mendengar disebutnya Ngo-kwi ini, jantung Bun Houw berdebar semakin kencang. Lima Iblis? Kebetulan pembunuh ayahnya juga lima orang banyaknya, dan seorang di antaran menurut keyakinannya, adalah orang yang lengannya buntung dan tangan kanannya diganti cakar besi itu! Seorang di antara mereka yang bertubuh pendek besar segera menjawab dengan suara lantang.

"Sudah siap semua! Menurut penyelidikan kami, memang malam ini saat paling baik. Perwira tinggi itu tidak berada di markas, dan sedang berlibur dengan keluarganya di gedung musim panas mereka, dekat telaga di luar kota. Kesempatan yang teramat baik bagi kita."

Buo Houw mengamati pembicara ini degan mata yang tak pernah berkedip, lalu dia mengingat-ingat. Memang, di antara lima orang bertopeng pembunuh ayahnya yang pernah mengeroyoknya itu, terdapat yang bertubuh pendek! Dan ada pula yang kulitnya hitam dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Disapunya orang-orang di bawah itu dengan pandang matanya dan dia mengangguk-angguk ketika melihat seorang di antara mereka yang duduk di sebelah si lengan buntung.

Orang itu tinggi besar dan kulitnya menghitam. Tak salah lagi, pikirnya. Si pakaian putih itu adalah pemimpin kelompok kaki tangan Cun Taijin ini. kemudian ada si gendut yang sudah dikalahkannya, dan orang yang tadi disebut Bu-tek Kiam-mo, si kurus tinggi itu, dan sisanya, yang lima orang tentulah Ngo-kwi, termasuk si lengan buntung dan sitinggil besar, juga si pendek. Kini keraguannya lenyap. Jelas bahwa lima orang Ngo-kwi inilah pembunuh ayahnya!

Akan tetapi kalau begitu... mereka membunuh ayahnya bukan sebagai balas dendam para penjahat ? Apakah ada hubungannya pula dengan Cun Tai-jin? Apakah pembunuhan atas diri ayahnya itu dilakukan Ngo kwi sebagai pelaksanaan perintah dari Cun Taijin? Kalau benar demikian, kenapa? Lalu tunangannya, Ling Ay, diambil mantu. Apa artinya semua itu! Semangatnya untuk menyelidiki mereka itu menjadi semakin bernyala.

"Bukankah di sana juga keluarga panglima itu dikawal pasukan?" tanya Pek I Mo-ko.

"Memang selalu ada pengawalan, akan tetapi karena panglima dan keluarganya sedang berlibur, maka yang bertugas jaga hanyalah pasukan pengawal terdiri dari duabelas orang saja. Tempat itu aman dan tidak jauh dari kota, tentu panglima tidak berprasangka buruk." jawab si pendek yang agaknya merupakan wakil pembicara dari Ngo-kwi.

"Bagus sekali kalan begitu! Kiam-mo, apakah engkau sudah mengatur siasat untuk gerakan malam ini? Apakah engkau membutuhkan bantuan?"

Dengan hati masih panas karena bantahan Gu Mouw yang merupakan orang yang setingkat lebih rendah kedudukannya. Bu-tek Kiam-mo menjawab dengan suara kaku, "Aku tidak membutuhkan bantuan lagi! Sudah kami atur siasat sebaiknya dan pukulan kami malam itu sudah pasti tidak akan gagal. Ngo-kwi bersama belasan orang anak buah dengan menggunakan topeng akan menyerbu sehingga para perajurit pengawal yang hanya belasan orang jumlahnya itu tentu akan menghadapi para penyerbu. Kesempatan itu kupergunakan untuk menyusup ke dalam dan membunuh panglima. Setelah berhasil, kami akan segera meninggalkan tempat itu dan takkan ada seorangpun anak buah yang dikenal oleh para perajurit pengawal. Untuk mengelabui pendapat umum. kami akan merampas perhiasan dan merampok barang-barang berharga yang berada di sana agar semua gerakan itu dianggap sebagai perampokan biasa."

Pek-i Mo-ko mengangguk-angguk. "Bagus, aku percaya kalian berenam akan berhasil baik. Aku hanya memperingatkan kalian agar tidak melupakan dua hal yang amat penting. Pertama, kuperingatkan kepada Ngo-kwi agar kali ini tidak melakukan kebiasaan mereka yang bercahaya. Yaitu, jangan sekali-kali mengganggu para wanita di sana! Atasan kita memperingatkan hal ini. Kalian sekali ini dilarang untuk mengganggu wanita!"

"Wah, apa salahnya dengan itu...?” Seorang di antara Ngo-kwi, yang bertubuh tinggi besar, mencela kecewa.

Mendengar ini, Bun Houw menggigit bibir mengepal tinju karena terbayanglah dia akan keadaan ibu kandungnya yang didapatkannya telah tewas dalam keadaan menyedihkan, menjadi korban perkosaan!

"Tidak perlu banyak membantah!" bentak Pek-I Mo-ko kepada si tinggi besar. "Atasan kita mengharuskan demikian. Mengerti? Awas kalau ada yang melanggar. Kuulangi, pertama, tidak boleh mengganggu wanita di sana. Ke dua, semua barang yang dirampok harus cepat disingkirkan dan jangan sampai kelihatan di kota ini. Mengerti semua?"

Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi mengangguk walaupun nampak Ngo-kwi bersungut-sungut. Agaknya, kelima orang Ngo-kwi ini semua adalah penjahat-penjahat cabul yang suka mengganggu wanita! Mereka tidak mungkin dapat memuaskan nafsu mereka di Nan-ping, karen si atasan mereka melarang keras mereka semua melakukan perbuatan tercela di Nan-ping dan sekitarnya. Dan sekarang, dalam tugas membunuh seorang panglima, mereka memperoleh kesempatan untuk memuaskan nafsu mereka, akan tetapi ada perintah bahwa mereka dilarang keras mengganggu wanita dalam rombongan panglima!

Tak lama kemudian. Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi keluar dari ruangan itu, dan bersama belasan orang anak buah yang berada di luar ruangan, mereka itu, semua berjumlah duapuluh satu orang, lalu meninggalkau rumah besar dengan berpencar. Mereka semua sudah siap dengan pakaian serba hitam. Bahkan Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi, setelah keluar dari situ, juga mengenakan jubah hitam dan pakaian serba gelap. Mereka semua tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka, ada sesosok bayangan yang gerakannya amat cepat selalu membayangi mereka.

Bayangan itu tentu saja Bun Houw. Dia tahu bahwa pemimpin, kelompok yang kini hendak membunuh seorang panglima itu dipimpin oleh Bu-tek Kiam-mo oleh karena itu, orang tinggi yang kurus sekali inilah yang selalu dia bayangi. Bukankah orang ini yang bertugas membunuh sang panglima? Dia tidak tahu mengapa panglima akan dibunuh akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus mencegah terjadinya kejahatan ini lebih dulu, baru kemudian membongkar rahasia yang menyelimuti keluarga kepala daerah Cun.

Malam itu gelap dan sunyi. Gerombolan jahat itu berkumpul di luar kota dan mereka menuju ke utara. Bun Houw tadi sudah mendengar percakapan mereka dan dia tahu rumah apa yang mereka maksudkan tadi sebagai gedung musim panas dekat telaga. Memang banyak pejabat yang kaya mempunyai rumah peristirahatan di dekat telaga, dan di antaranya tentu terdapat rumah peristirahatan keluarga panglima. Diapun tidak tahu siapa panglima, komandan pasukan keamanan yang baru di Nan-ping, yang oleh Cia Kun Ti disebut Souw-ciangkun itu. Lebih tidak mengerti lagi mengapa komandan baru yang katanya baru beberapa lama menjadi panglima di Nan-ping, kini hendak dibunuh oleh komplotan jahat ini.

Menurut keinginan hatinya, Bun Houw bermaksud mendahului gerombolan jahat itu dan memberitahu kepada Souw ciangkun di rumah peristirahatannya dekat telaga, agar panglima itu dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi, gerombolan itu melakukan perjalanan cepat dan tidak sempat lagi baginya untuk mendahului. Apalagi, dia belum tahu benar di mana letak rumah itu, dan pula, belum tentu sang panglima mau percaya kepadanya, jangan-jangan malah dia yang dicurigai!

Terpaksa, dia terus membayangi dan karena dia tahu bahwa Bu-tek Kiam-mo yang hendak melaksanakan pembunuhan, maka orang inilah yang selalu dibayanginya. Biarlah Ngo kwi dan anak buahnya berhadapan dengan pasukan pengawal. Yang penting dia harus menyelamatkan panglima dan keluarganya, mencegah terjadinya pembunuhan itu.

Tak lama kemudian tibalah gerombolan itu di tepi telaga dan mereka segera menuju ke sebuah rumah mungil yang terpencil jauh dari rumah-rumah peristirahatan lain. Akan tetapi, pada waktu itu, musim panas belum tiba dan sebagian besar rumah-rumah itupun kosong, hanya dihuni oleh satu dua orang penjaga gedung saja sehingga suasana di tempat itu gelap dan sunyi. Setelah melihat dengan jelas rumah mana yang dimaksudkan oleh gerombolan itu.

Bun Houw mendahului mereka dan dia melihat bahwa rumah peristirahatan itu memang dijaga oleh pasukan pengawal yang jumlahnya belasan orang. Mereka itu berjaga di gardu penjagaan depan rumah, sebagian ada yang berjalan-jalan, dan ada pula yang bermain kartu di gardu yang diterangi lampu gantung yang cukup terang. Rumah itu sendiri sudah nampak sunyi walaupun masih ada lampu dinyalakan di dalam. Dia lalu menyelinap melalui belakang dan tak lama kemndian dia sudah berada di atas genteng rumah, mendekam di wuwungan sambil mengamati ke arah depan rumah.

Mereka memang melakukan siasat yang telah didengar oleh Bun Houw di sarang gerombolan itu. Belasan orang dipimpin oleh Ngo-kwi, muncul dari tempat gelap dan menyerbu gardu penjagaan. Para penjaga itu. tentu saja tetkejut bukan main melihat ada belasan orang menyerbu. Segera mereka berteriak, "Perampok!” dan terjadilah pertempuran antara mereka dengan para penyerbu.

Selagi Bun Houw memandang dan siap siaga melindungi penghuni rumah, tiba-tiba ada bentakan di belakangnya. "Pembunuh terkutuk!”

Untung Bun Houw cepat menggulingkan diri dari wuwungan, lalu meloncat dan membuat pok-sai (salto) beberapa kali ketika tubuhnya melayang turun ke atas tanah. Kalau tidak tentu dia sudah menjadi korban serangan sepasang pedang yang amat cepat gerakannya. Kini, penyerangnya itu sudah melayang turun pula dan langsung, tanpa banyak cakap lagi, sudah menyerangnya dengan gerakan sepasang pedangnya.

"Trang-trang...!"

Bun Houw menangkis. dengan tongkatnya, diam-diam merasa heran melihat bahwa penyerangnya itu sama sekali bukanlah Bu-tek Kiam-mo. Di dalam kegelapan, malam yang hanya diterangi lampu yang menyorot dari dalam sehingga cuaca menjadi remang-remang, dia tidak dapat melihat jelas. Namun penyerangnya ini biarpun tidak gemuk dan ramping, namun tidaklah setinggi Bu-tek Kiam-mo.

"Engkaulah penjahat terkutuk!” teriak Buo Houw dan diapun balas menyerang dengan tongkatnya.

. Gerakan tongkatnya cepat dan dahsyat sehingga orang itu mengeluarkan suara kaget lalu meloncat ke belakang. Akan tetapi, segera dia maju lagi dan sepasang pedangnya kini menyambar-nyambar ganas bagaikan dua ekor naga bermain-main di angkasa, menyambar-nyambar ke arah Bun Houw, mengeluarkan suara berdesingan mengerikan. Dan sepasang pedang itu mengeluarkan angin yang dahsyat.

Tahulah Bun Houw bahwa lawannya ini lihai sekali ilmu pedangnya, akan tetapi jelas bukanlah Bu-tek Kiam-mo! Timbul perasaan khawatirnya. Kalau seorang saja sudah begini lihai, kemudian muncul Bu-tek Kiam-mo, bagaimana dia akan dapat melindungi penglima Souw dan keluarganya? Dia lalu teringat. Orang ini tadi langsung menyerangnya dan memakinya pembunuh! Dia Pembunuh? Dia tidak pernah membunuh siapa pun juga. Mengapa dia dimaki pembunuh!

“Tranngg...!" Tongkatnya membuat gerakan panjang, sekaligus menangkis sepasang pedang itu dan dia meloncat ke belakang. Pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan hitam meloncat ke atas genteng rumah itu. Bayangan yang tinggi kurus. Tentu Bu-tek Kiam-mo, pikirnya dengan hati gelisah.

"Nanti dulu...!” Dia berseru kepada penyerangnya.

"Tak perlu banyak cakap! Engkau datang hendak membunuh Siauw-ciangkun, bukan?" Sepasang pedang itu sudah bengerak lagi.

Akan tetapi Bun Houw cepat meloncat ke belakang. Kiranya penyerangnya itu seorang wanita! Tadi ketika membentaknya, dia tidak begitu jelas. Kini setelah orang itu bicara, segera dapat diketahuinya bahwa ia seorang wanita. Seorang wanita yang lihai bukan main.

"Nanti dulu! Aku bukan pembunuh, aku datang justeru untuk melindunginya, melindungi Souw ciangkun dan keluarganya. Dan pembunuhnya sudah menyelundup, lihat itu dia di atas genteng! Kau cegah dia, aku akan membantu para pengawal menghadapi serbuan penjahat. Cepat...!"

Wanita itu agaknya baru sadar. "Baik. kalau engkau berbohong, nanti masih ada kesempatan bagiku untuk memenggal lehermu,” berkata demikian bagaikan seekor burung saja ia sudah melayang ke atas genteng mengejar bayangan hitam tinggi kurus itu.

Bun Houw tersenyum. Ia tidak dapat melihat jelas wajah wanita itu, tidak tahu ia muda atau tua, cantik atau buruk. Akan tetapi yang jelas, wanita itu cukup lihai dan cukup galak. Akan tetapi dalam keadaan segawat itu, dia tidak sempat menduga-duga siapa gerangan wanita yang lihai dan galak itu. Belasan orang perajurit pengawal itu sudah nampak terdesak, bahkan ada beberapa orang di antara mereka telah terluka. Bun Houw meloncat dan terjun ke dalam pertempuran itu sambil membentak nyaring,

"Ngo-kwi. pembunuh jahat yang pantas dibasmi!”

Lima orang yang memimpin para anak buahnya mendesak para penjaga itu terkejut ketika melihat bayangan orang berkelebat disusul robohnya dua orang anak buah mereka. Cepat mereka berlima itu menyambut pemuda yang baru saja menerjang masuk sambil memutar tongkatnya itu. Mereka terkejut ketika mengenal pemuda itu. Masih teringat oleh mereka wajah Bun Houw, dan biarpun mereka diam saja untuk tidak membuka rahasia mereka bahwa merekalah pembunuh Kwa Tin dan Ibunya, orang tua pemuda ini, mereka segera mengeroyok dengan maksud membunuh pemuda yang akan dapat membahayakan mereka di masa mendatang itu.

Mereka berlima adalah orang-orang yang sudah biasa melakukan kekerasan. Membunuh orang merupakan pekerjaan biasa bagi mereka dan memang mereka berlima itu lihai, Apalagi kalau maju berlima karena mereka dapat bekerja sama dengan baik. Tidak kosong saja julukan mereka sebagai Ngo-kwi (Lima Setan) dan menjadi tokoh-tokoh ke empat dalam urutan tingkat kepandaian para pembantu rahasia kepala daerah Nan-ping, yaitu Cun Tai-jin.

Begitu lima orang itu mengepung dan mengeroyoknya dengan pedang mereka. Bun Houw menggerakkan tongkat bututnya melindungi diri. Akan tetapi lima orang lawan itu tidak menyerang secara membabi buta saja. Mereka membentuk sebuah Kiam-tin (pasukan pedang) dan gerakan mereka teratur rapi, seolah-olah lima orang itu digerakkan oleh satu hati saja.

Hal ini tidak aneh karena memang mereka berlima itu ahli dalam gerakan yang dinamakan Ngo-heng-kiam-tin (Pasukan Pedang Lima Unsur), Gerakan mereka susul menyusul dan bantu membantu, seperti lima orang yang sedang memainkan tarian ular naga, semua sudah diperhitungkan dan pedang mereka susul-menyusul ketika menyerang Bun Houw, juga mereka itu saling melindungi kalau pihak lawan menyerang seorang dari mereka. Juga mereka berputar-putar, mengelilingi Bun Houw, lalu tiba-tiba menyerang bertubi-tubi, kalau serangkan mereka itu gagal, tiba-tiba mereka menghentikan serangan dan berlari-lari mengelilingi lawan lagi.

Bun Houw memang telah menerima gemblengan yang hebat dari gurunya, dan dia telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi. Namun, baru saja dia meninggalkan gurunya, bagaikan seekor burung baru saja meninggalkan sarang. Dia belum berpengalaman, oleh karena itu, dia juga bersikap hati hati sekali. Kalau dia menghendaki, pedang pusaka di tangannya, yaitu Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) tentu akan dapat merobohkan lima orang pengeroyoknya itu dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi dia bukan hanya menerima gemblengan ilmu-silat dari Si Buta Sakti Tiauw Sun Ong.

Melainkan terutama sekali menerima gamblengan batin yang membuat pemuda ini sudah mampu menguasai nafsunya. Dia tidak ingin membunuh Ngo-kwi begitu saja, melainkan hanya ingin menghajar mereka, agar mereka itu tidak jahat lagi. Maka, diapun tetap menggunakan tongkat butut yang menyembunyikan pedang pusaka ampuh. Gurunya pernah berpesan agar dia tidak sembarangan mencabut Pedang Kilat dari dalam tongkat butut, cukup mempengunakan tongkat itu saja untuk membela dan melindungi dirinya.

Karena Bun Houw menghadapi Ngo-kwi dengan hati-hati, menangkis dengan tougkat butut dan kadang-kadang membalas dengan pukulan-pukulan tongkat, maka lima orang pengeroyok itu tidak dapat segera dia kalahkan, bahkan mereka itu berusaha mendesak dengan serangan-serangan maut yang kejam dan curang. Akan tetapi belasan orang anak buah penjahat itu kini terdesak. Setelah lima orang pemimpin mereka terlibat dalam pertandingan melawan pemuda bertongkat yang baru muncul, mereka kehilangan pimpinan dan para perajurit pengawal yang gagah itu segera membuat mereka kewalahan.

Sementara itu, di sebelah dalam gedung terjadi pula perkelahian yang amat seru. Wanita yang tadi saling serang dengan Bun Houw, kemudian dapat disadarkan oleh pemuda itu dan loncat mengejar Bu-tek Kiam-mo, dengan sepasang pedang di tangan berhasil memasuki ruangan dalam di mana ia melihat Souw ciangkun dengan mati-matian membela diri dengan sebatang pedang terhadap serangan Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) Bouw Swe, Sesuai dengan julukannya, Bouw Swe yang bertubuh tinggi kurus itu lihai bukan main dalam ilmu silat pedangnya.

Jelas nampak betapa Souw Ciangkun terdesak hebat dan hanya mampu menangkis saja tanpa dapat membalas kembali. Souw-ciangkun juga bukan orang lemah, namun dia lebih pandai mengatur pasukan dari pada Ilmu silat, Apalagi yang dilawan sekarang adalah seorang tokoh sesat yang lihai sekali seperti Bu-tek Kiam-mo. Jelas bahwa kalau tidak segera mendapat bantuan, dalam waktu belasan jurus lagi saja keselamatan nyawa Souw-ciangkun terancam oleh pedang Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe yang lihai itu.

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan yang halus dan nyaring, "Pembunuh keji, siaplah untuk menerima hukuman!” Dan gadis itu sudah melayang turun dan sepasang pedangnya diputar menjadi dua gulungan sinar yang melayang dan menyambar ke arah kepala Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe!

"Ehhhhh,” Setan Pedang itu terkejut bukan main dan terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangun, Souw-ciangkun sudah mundur dan mepet di sudut ruangan sambil melintangkan pedang di depan dada, siap membela diri, dan seorang gadis yang bertubuh ramping sudah berdiri di situ dengan sepasang pedang di tangan. Biarpun ruangan itu hanya diterangi oleh sebuah lampu gantung, namun cukup terang menyinari sebuah wajah yang cantik jelita namun gagah dengan sinar mata mencorong dan sikap yang agung.

Gadis itu usianya sekitar delapan belas tahun, tubuhnya ramping akan tetapi penuh mendekati montok dengan lekuk lengkung yang indah sempurna membayang di balik pakaiannya yang ketat, pakaian yang biasa dipakai seorang wanita yang biasa melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw (sungai telaga atau rimba persilatan). Pakaiannya, bersih dan rapi, namun sederhana. Rambutnya digelung dan diikat ke belakang, sederhana pula, seperti juga wajahnya yang hanya dilapisi bedak tipis tanpa pemerah bibir atau pipi.

Memang tidak perlu menggunakan pemerah lagi karena bibirnya itu sudah merah segar membasah, pipinya juga kemerahan sebagai, bukti bahwa gadis ini memang sehat sekali. Warna bajunya kehitaman, membuat kulit pada leher dan mukanya nampak semakin putih mulus.

"Ciangkun, harap mundur dan biarkan aku yang menghajar kepada pembunuh laknat ini!” kata gadis itu dengan sikap tenang sekali.

"Awas, nona...!” Souw Ciangkun berseru ketika melihat betapa si tinggi kurus itu tiba-tiba saja sudah menggerakkan pedangnya, secara curang menyerang gadis itu tanpa memberi peringatan lagi seperti lajimnya sikap seorang gagah dalam dunia persilatan.

"Singgg...! wuuuttt!”

Gadis itu dengan tenangnya melangkah mundur selangkah dan menarik tubuh atas ke belakang. Serangan pedang itu luput dan lewat dengan cepat, akan tetapi tidak percuma Bouw Swe berjuluk Setan Pedang. Pedangnya yang meluncur luput dari sambaran itu tiba tiba saja membalik dan kini menyambar ke arah leher lawan!

Namun, gadis itu tetap tenang saja. Tanpa menggerakkau kaki, dan berdiri dengan tegak saja, kedua tangannya menggerakkan sepasang pedangnya dan ke manapun pedang di tangan Bouw Swe menyambar, selalu pedang itu bertemu dengan pedang gadis itu yang menangkisnya.

"Trangg, tringg, traangg, trangg...!”

Berkali-kali pedang Bu-tek Kiam-mo bertemu dengan pedang gadis itu, dan nampak api berpijar menyilaukan mata dan setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan, Bu-tek Kiam-mo merasa betapa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang kuat pula.

Terjadilah perkelahian yang hebat di dalam gedung itu, hanya ditonton oleh Souw ciang-kun yang tidak berani membantu gadis itu. dia tahu bahwa ilmu silatnya terlampau rendah untuk membantu gadis itu, dan bantuannya bahkan hanya akan menjadi penghalang karena dia dapat melihat betapa hebatnya ilmu pedang gadis itu.

Memang, baru sekali itu Ba-tek Kiam-mo bertemu tanding sehebat itu. Sekali ini, julukan yang biasanya dia banggakan dan sombongkan itu terancam bahaya. Dia berani menggunakan julukau Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding), akan tetapi sekarang dia bertemu dengan seorang gadis muda remaja yang memiliki ilmu pedang pasangan yang amat hebat. Gerakan kedua pedang itu cepat dan aneh, memiliki perubahan gerakan yang tidak tersangka-sangka sehingga beberapa kali dia terkecoh dan hampir saja dia menjadi korban sambaran pedang.

Selain memiliki ilmu pedang pasangan yang amat tangguh, juga pedang-pedang di tangan gadis itu bukan siang-kiam (pedang pasangan) biasa saja karena mampu menahan pedangnya sendiri tanpa rusak, bahkan gadis itu memiliki pula sin-kang (tenaga sakti) yang mampu mengimbanginya!

Sekali ini, benar-benar dia bertemu tanding yang kuat, pada hal lawannya itu hanyalah seorang gadis remaja. Betapa akan malunya kalau sampai hal ini dikelahui oleh dunia kang-ouw. Apalagi kalau sampai dia kalah. Baru tak mampu merobohkan gadis itu saja sudah akan membuat namanya menjadi buah tertawaan para tokoh kang-ouw dan tentu dia akan diejek dan akan merasa malu untuk menyandang julukan Tanpa Tanding lagi. Maka, diapun mengeluarkan bentakan keras dan mengeluarkan jurus Ilmu pedangnya yang paling ampuh.

"Hyaaaaatit... sinnggg...!” Pedang itu membuat lingkaran sehingga sinarnya bergulung-gulung, kemudian gulungan sinar pedang itu mencuat dan meluncur ke arah perut lawan!

Gadis itu agaknya maklum akan hebat dan dahsyatnya serangan ini, maka Iapun menggeser kaki ke belakang, pedang kirinya menangkis dan pedang kanannya membabat ke arah leher lawan. Namun, sekali ini agaknya Bouw Swe sudah memperhitungkan. Begitu pedangnya tertangkis, pedang ini membalik tiba-tiba, dari bawah menyambar ke atas menjadi tusukan ke arah tenggorokan lawan sedangkan tubuhnya merendah untuk menghindarkan sambaran pedang ke arah lehernya.

"Ihhk? Gadis itu terkejut juga hebat memang jurus serangan lawan itu. Kedua pedangnya tidak nampak lagi menangkis pada saat pedang lawan dari bawah meluncur ke atas menusuk tenggorokannya. Terpaksa Ia melempar tubuh ke belakang, akan tetapi pada saat itu, Bouw Swe sudah mengirim tendangan kaki kirinya ke arah selangkangan lawan!

Ahhh!” Gadis itu kembali berseru kaget, cepat ia menarik diri ke belakang, namun tetap saja ujung sepatu Bouw Swe menyentuh pahanya dan iapun terguling. Bouw Swe girang sekali dan menubruk, akan tetapi pedangnya bertemu dengan sepasang pedang yang disilangkan, dan perutnya dihantam sepatu kaki gadis itu.

"Dukkk!" Tubuh Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe terjengkang. Kiranya serangan tendangannya tadi dibayar kontan oleh lawan bahkan berikut bunganya karena kalau gadis itu hanya kena serempet pahanya saja, dia terkena tendangan yang dengan keras dan tepatnya mengenai perutnya, membuat perutnya tergoncang dan seketika terasa mulas. Maklum bahwa lawannya memang tangguh sekali. Bu-tek Kiam-mo mulai meragukan keselamatannya kalau dia lanjutkan perkelahian itu.

Pada saat itu, dia mendengar teriakan-teriakan di luar rumah dan mendengar itu, wajahnya berubah gelisah. itulah suara teriakan dari Ngo-kwi dan anak buahnya, bukan teriakan kemenangan. melainkan teriakan kesakitan dan ketakutan. Mengertilah dia bahwa pelaksanaan tugas mereka telah berentakan dan gagal, bahkan dia sendiri terancam bahaya. Gadis yang menjadi lawannya sudah demikian lihainya. Kalau sampai gadis itu dibantu orang lain, dia pasti celaka. Maka, pedangnya bengerak ke belakang, menyambar ke arah lampu gantung yang menerangi ruangan itu dan terdengar suara nyaring, lampu pecah dan ruangan itu menjadi gelap gulita!

Gadis itu sama sekali tidak menyangka hal ini. Ia terkejut sekali dan sekali meloncat ia telah berada di dekat Souw Ciangkun, berbisik. "Ciangkun, harap diam saja jangan bergerak!" dan iapun berjaga di situ, siap untuk melindungi perwira tinggi itu kalau sampai ada musuh yang melakukan penyerangan di dalam gelap.

Terpaksa Ia tidak melakukan pengejaran ketika bekas lawannya meloncat keluar, karena ia tidak berani meninggalkan perwira yang jelas diincar nyawanya oleh para penjahat itu. Memang ini yang diharapkan Bouw Swe. Dia meloncat keluar dan benar saja. Di luar dia melihat betapa dua orang di antara Ngo-kwi sudah roboh mengaduh-aduh, sedangkan belasan orang anak buah terdesak hebat, bahkan ada hampir separuh dari mereka telah menderita luka-luka. Dia lalu terjun membantu para anak buah yang didesak sambil berseru keras memberi aba-aba kepada mereka dan kepada Ngo-kwi untuk melarikan diri.

Bun Houw memang telah berhasil merobohkan dua orang di antara Ngo-kwi, merobohkan tanpa membunuh mereka, bahkan tidak melukai berat, hanya membuat orang pertama patah tulang pundaknya dengan hantaman tongkat butut, dan orang ke dua patah tulang lengan dengan tangkisan lengan kirinya yang mengandung tenaga siu-kang kuat. Tiga orang lainnya sudah ketakutan dan melindungi diri mati-matian terhadap pemuda yang kini di luar dugaan mereka, telah menjadi seorang yang demikian lihainya.

Begitu mendengar aba-aba dari Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe, mereka segera berloncatan melarikan diri. Dua orang yang tadinya hanya mengaduh-aduh, dapat berloncatab dan melarikan diri pula. Yang nyeri hanyalah pundak dan lengan, kaki mereka tidak terluka. Pula, dalam keadaan panik, orang dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, jauh lebih besar dari pada kekuatan serta kemampuan biasa mereka, juga dapat melupakan semua rasa nyeri yang mengganggu. Jangankan baru patah tulang pundak atau lengan, andaikata yang patah itu tulang kaki mereka sekalipun, dalam keadaan panik ketakutan seperti itu, kiranya mereka masih akan mampu melarikan diri.

Bun Houw tidak melakukan pengejaran, karena dia sudah tahu siapa mereka. Dia bersikap tenang saja, menyimpan kembali tongkat bututnya yang diselipkan di pinggang, dan hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi terdengar suara dari dalam.

"Tai-hiap, tunggu dulu...!”

Bun Houw menahan langkahnya lalu berbalik dan dia sudah berhadapan dengan seorang pria berusia lima puluh tahun yang gagah dan dari sikap dan pakaiannya dia dapat menduga bahwa tentu orang ini yang disebut Souw-ciangkun dan tadi hendak dibunuh oleh kawanan penjahat. Di samping perwira ini berdiri seorang gadis yang membuatnya kagum bukan main karena dia masih mengenal pakaian baju hitam dan celana kuning yang dipakai gadis itu. Ternyata wanita yang lihai dan galak tadi adalah seorang gadis remaja, pikirnya penuh kagum. Seorang gadis yang usianya tentu belum ada duapuluh tahun! Gadis itupun memandang kepadanya dengan penuh perhatian, kemudian ia menoleh kepada perwira itu dan berkata,

"Souw-ciangkun, apakah ciangkun sudah mengenal dia ini?" suara gadis itu halus, akan tetapi tegas.

Perwira itu mengamati wajah Bun Houw dan menggeleng kepala.

"Kalau ciangkun belum pernah mengenalnya, sebaiknya orang ini ditahan dan ditanyai dengan jelas. Aku tadi melihat dia bersembunyi di atas wuwungan rumah ini. Siapa tahu dia seorang di antara para penjahat yang hendak membunuh ciangkun!”

Mendengar ini, Bun Houw mengerutkan alisnya dan hendak membantah, akau tetapi dia menekan perasaannya. Nona ini lihai dan galak, dia tidak perlu menanggapi, karena kalau demikian, berarti mereka berdua sama galaknya. Diapun tersenyum saja dan menyerahkan kepada perwira itu untuk melakukan penilaian. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara para petugas jaga atau para pengawal, membantah ucapan gadis itu.

"Ciangkun, kami melapor!" kata kepala jaga dengan suara tegas dan sikap seorang perajurit sejati, "Kami tadi telah diserbu oleh belasan orang penjahat yang dipimpin oleh lima orang yang lihai. Kemudian muncullah pendekar ini dan tanpa bantuan dia, mungkin kami semua telah roboh menjadi korban kejahatan gerombolan itu. Pendekar ini telah menyelamatkan kita, ciangkun, dia sama sekali bukan penjahat, bahkan dia yang mengusir para penjahat tadi!”

Mereka semua mengangguk-angguk dan mereka memandang kepada gadis ini dengan sinar mata penasaran dan marah mendengar betapa penolong mereka bahkan dituduh menjadi penjahat!

Perwira itu mengangguk-angguk dan tersenyum. "Akupun sudah menduga demikian. Ketahuilah, aku sendiri mungkin telah tewas kalau saja tidak ada li-hiap (pendekar wanita) ini yang menyelamatkan aku. Kalian semua lakukanlah penjagaan dengan ketat dan rawat teman yang terluka. Tai-hiap (pendekar besar) dan li-hiap (pendekar wanita), mari silakan masuk ke ruangan dalam. Kami ingin bercakap-cakap dengan ji-wi (anda berdua)."

Sejenak Bun Houw saling pandang dengan gadis itu. Bun Houw tersenyum, senyum yang mengandung godaan karena baru saja gadis itu menuduhnya sebagai penjahat, dan gadis itu agaknya dapat mengenal senyum yang mengandung godaan itu. Ia cemberut dan membuang muka. Demikian manisnya gerakan ini, manis dan manja sehingga senyum di bibir Bun Houw melebar. Bukan main gadis ini, pikirnya. Bukan saja cantik dan gagah perkasa, akan tetapi setiap gerakannya mengandung daya tarik yang demikian kuat. Bahkan menarik muka cemberutpun tampak makin manis!

Mereka berdua tanpa bicara mengikuti perwira itu masuk ke ruangan sebelah dalam, disambut oleh Nyonya Souw yang masih nampak pucat ketakutan. Ketika terjadi keributan, ketika suaminya keluar dari kamar membawa pedang, ia hanya bersembunyi saja di dalam kamar sambil mengintai dari celah-celah jendela kamar.

"Nona pendekar inilah yang tadi telah menyelamatkan aku ketika diserang penjahat dan tai-hiap ini yang mengusir para penjahat yang menyerbu ke sini. Li-hiap dan tai-hiap ini adalah isteriku."

Nyonya rumah memberi hormat, dibalas oleh Bun Houw dan gadis pendekar itu. Kemudian nyonya Souw masuk ke dalam lagi untuk mempersiapkan minuman, dan meninggalkan suaminya bercakap-cakap dengan dua orang penolongnya...

Kisah Si Pedang Kilat Jilid 04

Kisah Si Pedang Kilat Jilid 04

ANGIN pukulan yang kuat menyambar. Bun Houw yang ingin mengetahui sampai di mana kekuatan orang gendut itu, sengaja menggerakkan kedua tangannya menyambut kedua tangan lawan yang dikembangkan.

"Dessss!” Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan saling melekat!

Dan dalam adu tenaga ini, si gendut terkejut bukan main karena dia merasa betapa seluruh tubuhnya tengetar hebat, tanda bahwa tenaga sakti dari lawannya yang masih muda itu sudah amat kuatnya! Akan tetapi, dengan gerakan yang sama sekali tidak tersangka-sangka, si gendut itu menggerakkan kepalanya yang kecil ke depan dan menghantamkan kepalanya ke arah muka Bun Houw!

Pemuda itu terkejut bukan main, karena tidak menyangka sama sekali, dia hanya mampu miringkan kepalanya saja. "Pukkkk!” Pipinya dihantam dengan kerasnya oleh kepala yang kecil namun keraseperti baja!

Bun Houw melepaskan kedua tangannya yang menempel pada tangan lawan, dan dia agak terhuyung ke belakang, kepalanya terasa pening. Dia menggoyang-goyang kepala dan terasa betapa pipinya panas dan nyeri. Dia mengusap pipinya, memandang ke depan dan si gendut masih tertawa. Kiranya si gendut ini memiliki ilmu menyerang dengan kepalanya yang kecil! Karena terkejut, Bun Houw kurang cepat dan tahu-tahu Gu Mouw sudah menyerang lagi, kini kaki kanannya menendang dengan kekuatan dahsyat, disusul kaki kiri.

Bun Houw terpaksa kembali melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Akan tetapi ternyata tendangan si gendut itu merupakan Ilmu tendangan semacam Soan-kong-twi (Tendangan Angin Puyuh) yaitu tendangan berantai yang sambung-menyambung. Kadang-kadang tubuh yang bundar itu seperti menggelinding dan dari bola menggelinding itu mencuat kedua kaki yang bergantian melakukan tendangan bertubi-tubi.

Karena repot juga menghadapi tendangan-tendangan berantai yang amat cepat, kuat dan berbahaya itu, terpaksa Bun Houw mencabut tongkat butut dari pinggangnya dan menangkis tendangan itu dengan tongkatnya. Dia tidak mungkin harus mengelak terus.

"Tak! Tak! Tak!”

Berulang kali kedua kaki si gendut itu bertemu tongkat dan dia marasa betapa bagian kaki yang tertangkis tongkat itu nyeri, maka terpaksa dia menghentikan tendangan-tendangannya. Kini barulah senyum lebar di mukanya itu mulai menyempit. Baru dia tahu bahwa pemuda ini memang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sejak tadi, belum pernah dia mampu mengenai tubuh pemuda itu dengan pukulan atau tendangan, dan hasil benturan kepalanya tadipun tidak ada artinya.

Bahkan kini kedua kakinya terasa nyeri, Apalagi kalau yang tertangkis itu tulang kering kakinya. Marahlah Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Akan-tetapi, dasar mulutnya sudah terlanjur lebar, biarpun dalam keadaan marah, tetap saja dia kelihatan seperti tersenyum!

"Rrrtttt...!” Nampak sinar terang ketika tangannya melolos sebatang rantai yang panjangnya ada satu setengah meter, terbuat dari pada besi dan berwarna putih seperti perak. itulah senjata yang ampuh dari Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw, yaitu sehelai rantai yang berat. Tanpa banyak cakap lagi, si gendut sudah memutar rantai itu dan melakukan penyerangan. Rantai besi itu menyambar-nyambar dahsyat, mengeluarkan suara bersuitan.

Bun Houw kembali mempengunakan kelincahan tubuhnya, mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun, gulungan sinar putih itu terus mengejarnya. Pada suatu saat, nampak seolah-olah Bun Houw seperti seorang kanak-kanak sedang bermain loncat tali! Dia berloncatan menghindar dan rantai itu menyambar-nyambar lewat bawah kakinya dan atas kepalanya!

"Trang-trang...!" Kini Bun Houw mulai menangkis dengan tongkatnya.

Kembali si gendut terkejut. Tangkisan tongkat itu mengeluarkan bunyi seolah-olah rantai di tangannya bertemu dengan benda logam yang keras! Jelas bahwa tongkat yang nampaknya butut itu menyembunyikan senjata logam kerasnya. Juga pertemuan dengan tongkat itu membuat rantai di tangannya terpental dan telapak tangannya terasa panas sekali. Diapun menjadi semakin penasaran dan dia memutar rantainya lebih gencar lagi.

Akan tetapi, kini Bun Hou tidak hanya mengelak dan menangkis, melainkan mulai membalas dengan tamparan tangan dan tendangan kaki, dan juga totokan-totokan yang dilakukan dengan tongkatnya. Dari suhunya, Bun Houw menerima banyak macam ilmu silat, akan tetapi yang paling hebat merupakan keistimewaan gurunya, yaitu ilmu menotok jalan darah, lalu ilmu tongkat dan yang terakhir ilmu pedang. Melihat tingkat kepandaian lawan, Bun Houw masih belum mau menghunus pedang dari dalam tongkat bututnya.

Gurunya tidak menghendaki dia sembarangan menghunus pedang, karena ilmu Pedang Kilat amat berbahaya. Sekali pedang itu tercabut sukar dicegah robohnya lawan dalam keadaan terluka parah atau tewas! Karena itulah, Bun Houw masih tidak mau mencabut pedangnya. Dia tidak mengenal si gendut ini, tidak mempunyai permusuhan pribadi. Si gendut hanyalah seorang utusan, seorang anak buah, maka tidak semestinya kalau dia melukainya dengan berat, Apalagi membunuhnya!

Ilmu tongkat yang dimainkan Bun Houw memang merupakan ilmu tongkat yang amat hebat. Gerakannya cepat dan sukar diduga. Kalaupun tongkat itu hanya merupakan sebatang tongkat butut, namun sambarannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat, dan si gendut Gu Mouw maklum bahwa tongkat di tangan lawan itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Buktinya ketika tongkat itu menangkis rantainya, dia merasa betapa rantainya terpental dan telapak tangan yang memegang ujung rantai menjadi panas, itu saja sudah membuktikan bahwa selain pemuda itu memiliki tenaga kuat, juga tongkat itu bukan benda lunak dan lemah!

Melihat betapa sejak tadi si gendut tidak mampu merobohkan Bun Houw, sebaliknya kini malah terdesak hebat dan terus main mundur, tiga orang jagoan bawahannya menjadi penasaran, khawatir dan tidak sabar lagi. Diawali aba-aba si codet yang menjadi pemimpin, mereka lalu menerjang maju untuk mengeroyok Bun Houw, mempengunakan golok mereka yang dipegang di tangan kiri. Tentu saja mereka bertiga tidak akan gila berani maju lagi kalau di situ tidak ada Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Mereka mengharap bahwa dengan adanya Gu Mouw, mereka bertiga akan mampu membuat Bun Houw roboh!

Melihat majunya tiga orang yang sudah patah tulang lengan kanan mereka itu, Bun Houw sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan dia menjadi marah. Tiga orang Liu Sungguh tidak tahu diri! Maka, dia lalu menambah tenaganya dan pada saat rantai besi di tangan Gu Mouw menyambar ke arah kepalanya, dia menangkis dengan tongkat dan sengaja memutar tongkat itu dengan menggetarkan ujungnya sehingga ujung rantai melibat tongkatnya Dengan tenaga sentakan atau kejutan, dia menarik. Tubuh gendut itu tertarik mendekat dan Bun Houw menyambung tarikannya itu dengan tendangan kilat ke arah tangan kanan di ujung rantai.

"Dukk!” Tendangan dengan ujung kaki itu tepat mengenai tangan yang memegang gagang rantai, keras dan tepat. Gu Mouw mengeluh dan tak dapat dipertahankannya lagi, rantai itu dan terlepas dari tangannya!

Bun Houw mengayun tongkatnya dan rantai itupun terputar-putar, membentuk lingkaran sinar putih menyambut tiga orang jagoan yang mengepungnya dengan serangan golok. Demikian kuat dan cepatnya rantai terputar. Begitu tiga batang golok menyambut dan menangkis, tiga batang golok itu terlepas dan terlempar jauh dan rantai masih terus berputar menghantam ke arah tiga orang itu. Mereka berteriak kesakitan dan roboh terjungkal dengan kepala berdarah! Mereka bertiga tidak tewas, juga luka mereka tidak membahayakan nyawa, namun kulit muka mereka pecah terkena hantaman rantai dan mengeluarkan banyak darah.

Melihat kehebatan pemuda itu, Gu Mouw maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkannya, maka diapun menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Akan tetapi, Bun Houw berseru, "Sobat she Gu, terimalah kembali senjatamu ini! Dan tongkatnya diputar, rantai itu ikut terputar kencang, lalu ketika tongkat dipantulkan kuat, rantai yang masih berputar itu terbang ke arah Gu Mouw yang melarikan diri!

Mendengar teriakan lawannya, Gu Mouw menahan langkahnya, lalu. membalik dan menggunakan kedua tangan untuk menerima rantainya yang berputar-putar itu. Rantai itu dapat ditangkapnya, akan tetapi saking kerasnya rantai berputar, kedua ujungnya menghantam perut dan pundaknya. Dia mengaduh-aduh seperti seekor babi disembelih, bergantian dia mendekap perut dan pundak yang luka berdarah. Kemudian, terhuyung-huyung dia melarikan diri dengan rantai masih melibat tubuhnya, diikuti tiga orang temannya.

Dengan susah payah mereka meloncat ke atas punggung kuda mereka yang tadi dibiarkan lepas tak jauh dari situ, Bun Houw tidak mengejar dan baru setelah empat orang itu melarikan diri, dia merasa tertarik sekali untuk melakukan penyelidikan. Mengapa mereka itu demikian bernafsu untuk membunuhnya? Pertama mengirimkan tiga orang jagoan itu, kemudian mengirim si gendut yang memang jauh lebih lihai dibandingkan mereka.

Melihat betapa mereka itu bersungguh-sungguh dalam usaha mereka untuk membunuhnya, bukan tidak mungkin kalau mereka akan mengirim lagi orang-orang yang lebih lihai atau lebih banyak untuk mengejarnya. Dia harus mengetahui mengapa mereka demikian membencinya. Benarkah hanya karena dia bercakap-cakap dengan Ling Ay di taman kuburan? Rasanya tidak mungkin. Dan benarkah suami Ling Ay yang berada di belakang semua usaha untuk membunuhnya itu?

Karena tertarik, maka diapun menggerakkan tubuhnya, berlari cepat membayangi empat ekor kuda yang sudah berlari jauh ke arah kota Nan-ping itu.

********************

Serial Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

Cia Kun Ti meninggalkan gedung besar tempat tinggal puterinya dengan wajah muram. Baru saja dia berkunjung untuk menyusul isterinya yang belum juga pulang. Sehabis bersembahyang di taman kuburan, dia segera pulang, ke rumahnya sendiri, akan tetapi isterinya ikut dengan puteri mereka. Sampai hari menjadi sore, isterinya belum juga pulang, maka dia lalu menyusul ke rumah mantunya.

Dan di rumah itu, dia mendengar dari isterinya betapa mantu mereka, Cun Hok Seng, marah-marah kepada Ling Ay dan ibunya. Mantunya itu marah karena menuduh Ling Ay mengadakan pertemuan dengan bekas tunangannya atau bekas kekasihnya! Dan mantunya mengharuskan Ling Ay tinggal saja di dalam kamar, tidak boleh keluar sebelum ada perintah darinya. Dan isterinya harus menunggui puteri mereka itu!

Tentu saja hati Cia Kun Ti merasa tidak enak sekali dan diam-diam dia menyesali ke tamakan isterinya yang memaksanya dahulu untuk menerima pinangan Cun Hok Seng. Apa yang dikhawatirkanpun kini terjadi. Mantunya itu bukan orang baik-baik. Bahkan keluarga mantunya, yang kepala daerah, juga bukan orang baik-baik. Hal ini sudah diduganya semula, melihat adanya banyak peristiwa aneh terjadi di kota Nan-ping. Namun, semua telah terlambat, puterinya, anak tunggalnya, telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan dia tahu betapa isterinya merasa berbahagia karena memperoleh percikan kehormatan dan kemuliaan yang sesungguhnya semu saja.

Bagi dia sendiri, diam-diam dia merasa malu, bukan hanya melihat ketamakan isterinya akan kehormatan dan kemuliaan, melainkan malu karena sebagai seorang suami dia tidak berdaya mempergunakan kekuasaannya mengatur isteri dan anak sendiri! Dan kini, terjadilah hal itu! Sungguh menjengkelkan. Dia tahu benar bahwa puterinya sama sekali tidak melakukan kesalahan! Pertemuannya dengan Bun Houw hanya kebetulan saja, dan di antara mereka tidak terdapat hal-hal yang kotor atau melanggar tata susila. Akan tetapi, akibat pertemuan itu telah makin menonjolkan watak dari mantunya!

Ketika Cia Kun Ti dengan wajah muram memasuki pekarangan rumahnya, tiba-tiba ada suara orang memanggilnya, "Paman Cia...!”

Cia Kun Ti terkejut, cepat membalikkan tubuhnya dan kiranya Bun Houw sudah berada di situ, di dalam pekarangan rumahnya. "Aih, engkau ini, Bun Houw? Mari, silakan masuk!"

Bun Houw menghaturkan terima kasih dan merekapun memasuki rumah itu, Rumah yang sudah amat dikenal oleh Bun Houw. Dahulu, beberapa tahun yang lalu, dia masih sering kali datang berkunjung ke rumah ini, rumah tunangannya, calon isterinya, rumah calon ayah dan ibu mertuanya! Rumah itu masih sama, hanya catnya yang baru dan ketika dia masuk, ternyata perabot rumah juga diganti dengan perabot baru yang lebih mahal. Tentu keluarga itu hendak menyesuaikan diri, pikirnya, sebagai mertua putera kepala daerah, tentu rumahnya harus lebih mewah.

Cia Kun Ti mengajak Bun Houw duduk di ruangan dalam dan setelah pelayan menghidangkan minuman dan makanan sekadarnya, Cia Kun Ti lalu menutupkan daun pintu ruangan itu dan sikapnya berubah sungguh-sunguh.

"Bun Houw, engkau masih berada di Nan-ping? Ah, aku girang sekali tidak terjadi sesuatu atas dirimu..."

Bun Houw memang sengaja datang ke rumah bekas calon mertua ini. Tadi dia membayangi empat penunggang kuda dan mereka itu masuk ke dalam sebuah rumah besar yang bersambung dengan rumah kepala daerah. Dia ingin mencari keterangan, dan satu-satunya orang yang akan dapat memberi penjelasan kepadanya hanyalah Cia Kun Ti, bekas calon mertuanya ini. Dia tahu bahwa Cia Kun Ti adalah sahabat yang sangat baik dan akrab dengan mendiang ayahnya, dan tadi, di taman kuburan, Cia Kun Ti juga memperlihatkan sikap, yang amat baik kepadanya. Sebetulnya dia meragu untuk datang berkunjung, mengingat akan sikap Nyonya Cia yang agaknya tidak suka kepadanya. Maka, giranglah hatinya bahwa dia dapat berbicara empat mata dengan Cia Kun Ti. Kini, begitu tiba tuan rumah mengkhawatirkan keadaan dirinya!

"Ada apakah, paman? Mengapa paman menduga bahwa akan terjadi sesuatu atas diriku,” dia memancing.

Cia Kun Ti menarik napas panjang. Tadi dia mendengar dari isterinya yang menyumpah Bun Houw. Isterinya berkata bahwa kini Bun Houw dicari oleh orang-orangnya Cun Hok Seng dan akan dibunuh. Isterinya memujikan agar pemuda itu cepat dapat tertangkap dan dibunuh!

"Aku mendengar bahwa engkau dicari oleh para jagoan dari Cun-taijin, aku... aku khawatir sekali."

Bun Houw mengangguk-angguk, girang bahwa dia mencari keterangan ke sini. "Memang benar, paman. Empat orang mencari aku, dan bahkan mengejar aku yang sudah meninggalkan kota ini. Mereka hendak membunuhku, dengan-tuduhan bahwa aku menghina keluarga Cun karena aku berani bercakap-cakap dengan Ay... ah, dengan mantu kepala daerah, yaitu-puteri paman. Aku dapat mengalahkan mereka. Aku merasa penasaran dan aku berkunjung ini untuk mendapatkan penjelasan paman, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa pertemuan dan percakapan bersih antara aku dan puterimu. di taman kuburan itu saja membuat suaminya marah-marah dan hendak membunuhku. Siapakah mereka itu yang demikian kejam, paman?"

Cia Kun Ti menarik napas panjang. "Ah, ya sudah untungku... sungguh kasihan nasib anakku. Ini semua kesalahan isteriku, bibimu yang tamak dan gila hormat itu! Sejak dulu aku sudah mendengar hal-hal yang tidak baik tentang keluarga kepala daerah. Akan tetapi bibimu memaksaku sehingga kami menerima pinangannya. Dan sekarang..."

"Paman, apa yang sebenarnya terjadi?"

“Semua telah menimbulkan kecurigaanku, juga kecurigaan mendiang ayahmu. Sejak Cun-taijin menjadi kepala daerah di Nan-ping, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, nampak gejala gejala tidak benar. Cun taijin mempengunakan orang-orang kang-ouw yang menurut penilaian ayahmu adalah penjahat-penjahat besar."

"Benarkah itu, paman? Apakah paman maksudkan bahwa kepala daerah itu mempengunakan penjahat-penjahat untuk melakukan, kejahatan?”

Yang ditanya menggeleng kepala. "Sama sekali tidak. Bahkan semenjak dia menjadi kepala daerah di sini, kota Nan-ping menjadi tenteram, tidak pernah terjadi kejahatan di kota ini. Tidak ada penjahat yang berani melakukan kejahatan, karena para tokoh sesat yang mereka takuti berada di sini menjadi kaki tangan kepala daerah!"

Bun Houw merata heran bukan main. Bagaimana mungkin seorang kepala daerah, seorang pejabat pemerintah mempengunakan tokoh-tokoh sesat untuk menjadi kaki tangannya? "Lalu, untuk apa dia memelihara para tokoh sesat itu, paman?"

Cia Kun Ti mengangkat pundak. "Hal itu tidak ada yang tahu. Akan tetapi sejak dia menjadi kepala daerah, terjadi banyak hal aneh, seperti kematian ayahmu...“

"Maksud paman...?”

"Aku tidak menduga yang bukan-bukan. Ayahmu memang seorang pendekar penentang kejahatan, karena itu lima orang berkedok yang kau ceritakan telah membunuh ayahmu itu tentu saja para penjahat yang membalas dendam. Akan tetapi, banyak terjadi pembunuhan yang penuh rahasia. Banyak tokoh dan pejabat tewas tanpa diketahui siapa yang membunuhnya. Dan selain itu, sebagai seorang pedagang aku tahu bahwa kami para pedagang diperas oleh kepala daerah, dengan pungutan pajak-pajak tambahan yang tidak wajar. Dan tidak ada orang berani membantahnya. Bayangkan saja, sekarang Ling Ay menjadi anggauta keluarga Cun yang penuh rahasia itu! Dan ternyata sikap Cun Hok Seng juga aneh dan keterlaluan. Masa karena isterinya yang menjadi sahabat baikmu, kebetulan bertemu denganmu di taman kuburan lalu bicara di depan umum, bicara sopan, membuat dia marah seperti gila dan hendak membunuhmu? Aih, sungguh penuh rahasia... dan aku, nasib yang buruk ini, makin tua aku semakin menderita, dan aku kasihan kepada puteriku..."

Bun Houw mengangguk-angguk. "Memang kedengarannya aneh, paman. Empat orang itu hendak membunuhku, dan ketika mereka melarikan diri, mereka menuju ke rumah kepala daerah. Ada sebuah bangunan besar yang bersambung dengan gedung kepala daerah, dan mereka memasuki pekarangan rumah besar itu. Justeru kepadamu aku ingin mendengar keterangan tentang rumah besar itu, paman."

"Di sanalah mereka berkumpul. Penduduk tahu belaka bahwa mereka adalah kaki tangan kepala daerah, akan tetapi karena mereka tidak pernah mengganggu rakyat di depan umum, maka tidak ada yang perduli. Dahulu, di situ menjadi markas pasukan pengawal. Akan tetapi, kepala daerah agaknya lebih suka dikawal oleh kaki tangannya, dari pada oleh pasukan. Dan menurut kabar angin, kaki tangan kepala daerah itu merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi."

"Akan tetapi, paman. Apakah keadaan yang aneh itu tidak diselidiki oleh para pembesar dan pejabat lainnya? Bukankah kota Nan-ping ini mempunyai pula pejabat lain?"

Semua pejabat sipil adalah bawahan kepala daerah, dan satu-satunya pejabat militer adalah komandan pasukan keamanan yang markasnya berada di ujung kota sebelah selatan. Dengan Kim-ciangkun yang tua, Cun Taijin mempunyai hubungan yang amat baik. Entah dengan komandan yang sekarang ini, yang baru beberapa bulan menggantikan Kim-ciangkun. Komandan yang sekarang ini kabarnya dari kota raja, disebut Souw-ciangkun, entah bagaimana hubungannya dengan Cun Taijin, aku tidak tahu. Akan tetapi, ketika Kim-ciangkun masih menjadi komandan, beberapa orang perwira bawahannya juga kabarnya ada yang mati mendadak, ada pula yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, dan kabarnya mereka yang mati atau lenyap itu adalah para perwira yang memperlihatkan sikap tidak senang kepada Cun Taijin."

Bun Houw mengangguk-angguk. "Ah, semakin menarik saja, paman. Kalau aku tidak hendak dibunuhnya, tentu aku sudah pergi dari Nan-ping dan tidak tahu akan hal itu. Sekarang, hatiku tertarik sekali dan aku mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan.”

Cia Kun Ti mengerutkan alisnya, "Berhati-hatilah engkau, Bun Houw. Engkau sudah menjadi buruan mereka, bagaimana engkau malah hendak melakukan penyelidikan dan seolah-olah memasuki gua harimau? Mereka itu banyak dan kuat sekali, dan Cun Taijin amat berkuasa di sini, menjadi orang nomor satu di sini!”

"Harap paman Jangan khawatir. Aku hanya melanjutkan perjuangan ayah. Aku yakin bahwa kalau ayah masih hidup, tentu ayah akan melakukan penyelidikan terhadap keluarga Cun yang penuh rahasia itu!"

"Ayahmu dahulu pernah mengatakan kecurigaan hatinya, akan tetapi setahuku belum pernah melakukan penyelidikan. Akan tetapi Bun Houw, apakah tidak lebih baik engkau mulai berdagang lagi saja? Aku suka membantumu dan..."

"Terima kasih, paman. Aku tidak berani menyusahkan paman. Bahkan sekarangpun aku harus pergi. Tidak baik kalau ada orang melihat aku berkunjung ke sini, tentu hanya akan mendatangkan kesusahan bagimu saja. Nah, selamat tinggal, paman. Sampaikan terima kasihku kepada... adik Ling Ay bahwa ia mau bersembahyang di depan batu nisan ayah ibuku, dan aku selalu memujikan agar ia hidup berbahagia."

Setelah berkata demikian Bun Houw keluar dari rumah itu, berindap-indap dan menyelinap keluar tanpa diketahui orang lain. Dia kini tahu betapa besar bahayanya bagi Cia Kun Ti kalau sampai ada kaki-tangan kepala daerah melihat dia baru saja berkunjung ke rumah itu.

********************

Bun Houw meninggalkan rumah Cia Kun Ti dan dia maklum bahwa dia tidak boleh memperlihatkan diri di tempat umum karena dia pada saat itu adalah seorang buruan. Kalau kaki tangan kepala daerah melihatnya, tentu akan terjadi keributan dan dia akan diserang. Bukan dia takut, melainkan karena dia harus menyelidiki apa yang berada di balik segala rahasia keluarga kepala daerah Cun. Dia harus menyelidikinya, dan kalau perlu menentangnya, demi kehidupan rakyat penghuni kota Nan-ping, demi keluarga Cia Kun Ti, demi... Ling Ay. Bukankah menurut keterangan Cia Kun Ti tadi, ayahnya dahulupun pernah menyatakan kecurigaannya terhadap kepala daerah Cun? Namun, ayahnya tidak sempat melakukan penyelidikan, maka biarlah kini dia yang melanjutkan kecurigaan ayahnya itu.

Sejak hari mulai gelap, dia sudah melakukan pengintaian terhadap rumah besar di dekat gedung kepala daerah. Gedung itu nampak sunyi, tidak ada yang keluar masuk. Akan tetapi, dia sudah mendengar dari Cia Kun Ti bahwa gedung atau rumah berar itu merupakan markas dari para kaki tangan Cun Taijin. Maka, setelah hari menjadi gelap benar, dia-pun mempengunakan kepandaiannya untuk menyelinap ke dekat rumah itu. kemudian meloncat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan rumah.

Dengan hati-hatl Bun Houw merangkak di atas wuwungan rumah dan akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya dan mendekam di atas sebuah ruangan besar di mana berkumpul banyak orang yang duduk mengelilingi sebuah meja besar. Mereka terdiri dari delapan orang. Di ujung meja duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, namun wajah dan tubuhnya masih seperti orang muda, rambutnya sudah ubanan dan orang ini mengenakan pakaian serba putih yang bersih, terbuat dari sutera balus.

Hanya tali atau pita rambutnya saja yang berwarna biru. Sikapnya berwibawa dan mudah diduga bahwa dia tentu merupakan pimpinan dari kelompok itu. Bun Houw melihat pula pria gendut yang tadi dikalahkannya, duduk di antara tujuh orang lain. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya dan merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tidak kelirukah penglihatannya?

Yang menarik perhatiannya dan membuat jantungnya berdebar adalah seorang yang duduk pula di situ. Dia tidak pernah melihat orang itu dan setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa orang itu adalah seorang di antara lima orang penjahat bertopeng yang dulu membunuh ayahnya! Yang membuat dia merasa yakin adalah tangan kanan orang itu. Lengan itu buntung sebatas pergelangan tangan! Tangan kanan itu sudah hilang, diganti dengan sebuah cakar baja yang mengerikan! Memang dia tidak mengenal wajah orang itu, akan tetapi tangan itu! Dan bentuk tubuhnya. Betapapun juga dia merasa ragu pula. Kalau benar orang itu adalah seorang di antara lima penjahat yang membunuh ayahnya, mengapa dia berada di sini? Apakah yang empat orang juga berada di situ?

"Sungguh menyebalkan sekali." terdengar orang yang bertubuh tinggi kurus berkata sambil memandang kepada Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. "Menghadapi seorang bocah ingusan saja sampai gagal, pada hal sudah dibantu tiga orang monyet tolol itu!” Yang menegur itu adalah Bu-tek Kiam-mo, orang ke dua dari kelompok kaki tangan Cun Tai-jin.

Mendengar ini, si gendut Gu Mouw mengerutkan alisnya dan memandang kepada rekannya itu dengan alis berkerut. "Hemm, andaikata engkau sendiri yang maju, belum tentu engkau akan mampu mengalahkannya!"

Bu-tek Kiam-mo bangkit berdiri dari kursinya dan membentak, "Aku tidak seperti engkau! Kalau pedangku tidak mampu membunuhnya, aku tidak akan kembali ke sini dan tentu sudah menjadi mayat. Tidak sudi aku membawa pulang kekalahan!”

Melihat suasana menjadi panas, Pek-I Mo-ko segera bangkit berdiri dan bertepuk tangan, memberi isarat kepada dua orang yang bersitegang itu untuk menjadi tenang. "Sudahlah, tidak perlu diributkan lagi. Kalau pemuda itu berani muncul lagi. kita usahakan agar dia itu dilenyapkan! Sebaliknya kalau dia sudah pergi sudahlah. Urusan dengan dia hanya kecil saja dan perintah atasan hanya untuk menghajar dia, bukan membunuhnya. Kita menghadapi urusan yang lebih besar, tidak perlu meributkan urusan kecil!"

Mendengar ucapan itu. Bu-tek Kiam-mo dan Gu Mouw tidak banyak cakap lagi. Pek I Mo-ko lalu berkata lagi, "Malam ini, sesuai dengan perintah atasan kita, kita harus dapat membunuh perwira tinggi itu. Ngo-kwi, kalian yang bertugas membantu Bu-tek Kiam-mo, dan kalian telah melakukan penyelidikan dan memilih saat yang baik. Bagaimana hasilnya penyelidikan terakhir?"

Mendengar disebutnya Ngo-kwi ini, jantung Bun Houw berdebar semakin kencang. Lima Iblis? Kebetulan pembunuh ayahnya juga lima orang banyaknya, dan seorang di antaran menurut keyakinannya, adalah orang yang lengannya buntung dan tangan kanannya diganti cakar besi itu! Seorang di antara mereka yang bertubuh pendek besar segera menjawab dengan suara lantang.

"Sudah siap semua! Menurut penyelidikan kami, memang malam ini saat paling baik. Perwira tinggi itu tidak berada di markas, dan sedang berlibur dengan keluarganya di gedung musim panas mereka, dekat telaga di luar kota. Kesempatan yang teramat baik bagi kita."

Buo Houw mengamati pembicara ini degan mata yang tak pernah berkedip, lalu dia mengingat-ingat. Memang, di antara lima orang bertopeng pembunuh ayahnya yang pernah mengeroyoknya itu, terdapat yang bertubuh pendek! Dan ada pula yang kulitnya hitam dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Disapunya orang-orang di bawah itu dengan pandang matanya dan dia mengangguk-angguk ketika melihat seorang di antara mereka yang duduk di sebelah si lengan buntung.

Orang itu tinggi besar dan kulitnya menghitam. Tak salah lagi, pikirnya. Si pakaian putih itu adalah pemimpin kelompok kaki tangan Cun Taijin ini. kemudian ada si gendut yang sudah dikalahkannya, dan orang yang tadi disebut Bu-tek Kiam-mo, si kurus tinggi itu, dan sisanya, yang lima orang tentulah Ngo-kwi, termasuk si lengan buntung dan sitinggil besar, juga si pendek. Kini keraguannya lenyap. Jelas bahwa lima orang Ngo-kwi inilah pembunuh ayahnya!

Akan tetapi kalau begitu... mereka membunuh ayahnya bukan sebagai balas dendam para penjahat ? Apakah ada hubungannya pula dengan Cun Tai-jin? Apakah pembunuhan atas diri ayahnya itu dilakukan Ngo kwi sebagai pelaksanaan perintah dari Cun Taijin? Kalau benar demikian, kenapa? Lalu tunangannya, Ling Ay, diambil mantu. Apa artinya semua itu! Semangatnya untuk menyelidiki mereka itu menjadi semakin bernyala.

"Bukankah di sana juga keluarga panglima itu dikawal pasukan?" tanya Pek I Mo-ko.

"Memang selalu ada pengawalan, akan tetapi karena panglima dan keluarganya sedang berlibur, maka yang bertugas jaga hanyalah pasukan pengawal terdiri dari duabelas orang saja. Tempat itu aman dan tidak jauh dari kota, tentu panglima tidak berprasangka buruk." jawab si pendek yang agaknya merupakan wakil pembicara dari Ngo-kwi.

"Bagus sekali kalan begitu! Kiam-mo, apakah engkau sudah mengatur siasat untuk gerakan malam ini? Apakah engkau membutuhkan bantuan?"

Dengan hati masih panas karena bantahan Gu Mouw yang merupakan orang yang setingkat lebih rendah kedudukannya. Bu-tek Kiam-mo menjawab dengan suara kaku, "Aku tidak membutuhkan bantuan lagi! Sudah kami atur siasat sebaiknya dan pukulan kami malam itu sudah pasti tidak akan gagal. Ngo-kwi bersama belasan orang anak buah dengan menggunakan topeng akan menyerbu sehingga para perajurit pengawal yang hanya belasan orang jumlahnya itu tentu akan menghadapi para penyerbu. Kesempatan itu kupergunakan untuk menyusup ke dalam dan membunuh panglima. Setelah berhasil, kami akan segera meninggalkan tempat itu dan takkan ada seorangpun anak buah yang dikenal oleh para perajurit pengawal. Untuk mengelabui pendapat umum. kami akan merampas perhiasan dan merampok barang-barang berharga yang berada di sana agar semua gerakan itu dianggap sebagai perampokan biasa."

Pek-i Mo-ko mengangguk-angguk. "Bagus, aku percaya kalian berenam akan berhasil baik. Aku hanya memperingatkan kalian agar tidak melupakan dua hal yang amat penting. Pertama, kuperingatkan kepada Ngo-kwi agar kali ini tidak melakukan kebiasaan mereka yang bercahaya. Yaitu, jangan sekali-kali mengganggu para wanita di sana! Atasan kita memperingatkan hal ini. Kalian sekali ini dilarang untuk mengganggu wanita!"

"Wah, apa salahnya dengan itu...?” Seorang di antara Ngo-kwi, yang bertubuh tinggi besar, mencela kecewa.

Mendengar ini, Bun Houw menggigit bibir mengepal tinju karena terbayanglah dia akan keadaan ibu kandungnya yang didapatkannya telah tewas dalam keadaan menyedihkan, menjadi korban perkosaan!

"Tidak perlu banyak membantah!" bentak Pek-I Mo-ko kepada si tinggi besar. "Atasan kita mengharuskan demikian. Mengerti? Awas kalau ada yang melanggar. Kuulangi, pertama, tidak boleh mengganggu wanita di sana. Ke dua, semua barang yang dirampok harus cepat disingkirkan dan jangan sampai kelihatan di kota ini. Mengerti semua?"

Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi mengangguk walaupun nampak Ngo-kwi bersungut-sungut. Agaknya, kelima orang Ngo-kwi ini semua adalah penjahat-penjahat cabul yang suka mengganggu wanita! Mereka tidak mungkin dapat memuaskan nafsu mereka di Nan-ping, karen si atasan mereka melarang keras mereka semua melakukan perbuatan tercela di Nan-ping dan sekitarnya. Dan sekarang, dalam tugas membunuh seorang panglima, mereka memperoleh kesempatan untuk memuaskan nafsu mereka, akan tetapi ada perintah bahwa mereka dilarang keras mengganggu wanita dalam rombongan panglima!

Tak lama kemudian. Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi keluar dari ruangan itu, dan bersama belasan orang anak buah yang berada di luar ruangan, mereka itu, semua berjumlah duapuluh satu orang, lalu meninggalkau rumah besar dengan berpencar. Mereka semua sudah siap dengan pakaian serba hitam. Bahkan Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi, setelah keluar dari situ, juga mengenakan jubah hitam dan pakaian serba gelap. Mereka semua tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka, ada sesosok bayangan yang gerakannya amat cepat selalu membayangi mereka.

Bayangan itu tentu saja Bun Houw. Dia tahu bahwa pemimpin, kelompok yang kini hendak membunuh seorang panglima itu dipimpin oleh Bu-tek Kiam-mo oleh karena itu, orang tinggi yang kurus sekali inilah yang selalu dia bayangi. Bukankah orang ini yang bertugas membunuh sang panglima? Dia tidak tahu mengapa panglima akan dibunuh akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus mencegah terjadinya kejahatan ini lebih dulu, baru kemudian membongkar rahasia yang menyelimuti keluarga kepala daerah Cun.

Malam itu gelap dan sunyi. Gerombolan jahat itu berkumpul di luar kota dan mereka menuju ke utara. Bun Houw tadi sudah mendengar percakapan mereka dan dia tahu rumah apa yang mereka maksudkan tadi sebagai gedung musim panas dekat telaga. Memang banyak pejabat yang kaya mempunyai rumah peristirahatan di dekat telaga, dan di antaranya tentu terdapat rumah peristirahatan keluarga panglima. Diapun tidak tahu siapa panglima, komandan pasukan keamanan yang baru di Nan-ping, yang oleh Cia Kun Ti disebut Souw-ciangkun itu. Lebih tidak mengerti lagi mengapa komandan baru yang katanya baru beberapa lama menjadi panglima di Nan-ping, kini hendak dibunuh oleh komplotan jahat ini.

Menurut keinginan hatinya, Bun Houw bermaksud mendahului gerombolan jahat itu dan memberitahu kepada Souw ciangkun di rumah peristirahatannya dekat telaga, agar panglima itu dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi, gerombolan itu melakukan perjalanan cepat dan tidak sempat lagi baginya untuk mendahului. Apalagi, dia belum tahu benar di mana letak rumah itu, dan pula, belum tentu sang panglima mau percaya kepadanya, jangan-jangan malah dia yang dicurigai!

Terpaksa, dia terus membayangi dan karena dia tahu bahwa Bu-tek Kiam-mo yang hendak melaksanakan pembunuhan, maka orang inilah yang selalu dibayanginya. Biarlah Ngo kwi dan anak buahnya berhadapan dengan pasukan pengawal. Yang penting dia harus menyelamatkan panglima dan keluarganya, mencegah terjadinya pembunuhan itu.

Tak lama kemudian tibalah gerombolan itu di tepi telaga dan mereka segera menuju ke sebuah rumah mungil yang terpencil jauh dari rumah-rumah peristirahatan lain. Akan tetapi, pada waktu itu, musim panas belum tiba dan sebagian besar rumah-rumah itupun kosong, hanya dihuni oleh satu dua orang penjaga gedung saja sehingga suasana di tempat itu gelap dan sunyi. Setelah melihat dengan jelas rumah mana yang dimaksudkan oleh gerombolan itu.

Bun Houw mendahului mereka dan dia melihat bahwa rumah peristirahatan itu memang dijaga oleh pasukan pengawal yang jumlahnya belasan orang. Mereka itu berjaga di gardu penjagaan depan rumah, sebagian ada yang berjalan-jalan, dan ada pula yang bermain kartu di gardu yang diterangi lampu gantung yang cukup terang. Rumah itu sendiri sudah nampak sunyi walaupun masih ada lampu dinyalakan di dalam. Dia lalu menyelinap melalui belakang dan tak lama kemndian dia sudah berada di atas genteng rumah, mendekam di wuwungan sambil mengamati ke arah depan rumah.

Mereka memang melakukan siasat yang telah didengar oleh Bun Houw di sarang gerombolan itu. Belasan orang dipimpin oleh Ngo-kwi, muncul dari tempat gelap dan menyerbu gardu penjagaan. Para penjaga itu. tentu saja tetkejut bukan main melihat ada belasan orang menyerbu. Segera mereka berteriak, "Perampok!” dan terjadilah pertempuran antara mereka dengan para penyerbu.

Selagi Bun Houw memandang dan siap siaga melindungi penghuni rumah, tiba-tiba ada bentakan di belakangnya. "Pembunuh terkutuk!”

Untung Bun Houw cepat menggulingkan diri dari wuwungan, lalu meloncat dan membuat pok-sai (salto) beberapa kali ketika tubuhnya melayang turun ke atas tanah. Kalau tidak tentu dia sudah menjadi korban serangan sepasang pedang yang amat cepat gerakannya. Kini, penyerangnya itu sudah melayang turun pula dan langsung, tanpa banyak cakap lagi, sudah menyerangnya dengan gerakan sepasang pedangnya.

"Trang-trang...!"

Bun Houw menangkis. dengan tongkatnya, diam-diam merasa heran melihat bahwa penyerangnya itu sama sekali bukanlah Bu-tek Kiam-mo. Di dalam kegelapan, malam yang hanya diterangi lampu yang menyorot dari dalam sehingga cuaca menjadi remang-remang, dia tidak dapat melihat jelas. Namun penyerangnya ini biarpun tidak gemuk dan ramping, namun tidaklah setinggi Bu-tek Kiam-mo.

"Engkaulah penjahat terkutuk!” teriak Buo Houw dan diapun balas menyerang dengan tongkatnya.

. Gerakan tongkatnya cepat dan dahsyat sehingga orang itu mengeluarkan suara kaget lalu meloncat ke belakang. Akan tetapi, segera dia maju lagi dan sepasang pedangnya kini menyambar-nyambar ganas bagaikan dua ekor naga bermain-main di angkasa, menyambar-nyambar ke arah Bun Houw, mengeluarkan suara berdesingan mengerikan. Dan sepasang pedang itu mengeluarkan angin yang dahsyat.

Tahulah Bun Houw bahwa lawannya ini lihai sekali ilmu pedangnya, akan tetapi jelas bukanlah Bu-tek Kiam-mo! Timbul perasaan khawatirnya. Kalau seorang saja sudah begini lihai, kemudian muncul Bu-tek Kiam-mo, bagaimana dia akan dapat melindungi penglima Souw dan keluarganya? Dia lalu teringat. Orang ini tadi langsung menyerangnya dan memakinya pembunuh! Dia Pembunuh? Dia tidak pernah membunuh siapa pun juga. Mengapa dia dimaki pembunuh!

“Tranngg...!" Tongkatnya membuat gerakan panjang, sekaligus menangkis sepasang pedang itu dan dia meloncat ke belakang. Pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan hitam meloncat ke atas genteng rumah itu. Bayangan yang tinggi kurus. Tentu Bu-tek Kiam-mo, pikirnya dengan hati gelisah.

"Nanti dulu...!” Dia berseru kepada penyerangnya.

"Tak perlu banyak cakap! Engkau datang hendak membunuh Siauw-ciangkun, bukan?" Sepasang pedang itu sudah bengerak lagi.

Akan tetapi Bun Houw cepat meloncat ke belakang. Kiranya penyerangnya itu seorang wanita! Tadi ketika membentaknya, dia tidak begitu jelas. Kini setelah orang itu bicara, segera dapat diketahuinya bahwa ia seorang wanita. Seorang wanita yang lihai bukan main.

"Nanti dulu! Aku bukan pembunuh, aku datang justeru untuk melindunginya, melindungi Souw ciangkun dan keluarganya. Dan pembunuhnya sudah menyelundup, lihat itu dia di atas genteng! Kau cegah dia, aku akan membantu para pengawal menghadapi serbuan penjahat. Cepat...!"

Wanita itu agaknya baru sadar. "Baik. kalau engkau berbohong, nanti masih ada kesempatan bagiku untuk memenggal lehermu,” berkata demikian bagaikan seekor burung saja ia sudah melayang ke atas genteng mengejar bayangan hitam tinggi kurus itu.

Bun Houw tersenyum. Ia tidak dapat melihat jelas wajah wanita itu, tidak tahu ia muda atau tua, cantik atau buruk. Akan tetapi yang jelas, wanita itu cukup lihai dan cukup galak. Akan tetapi dalam keadaan segawat itu, dia tidak sempat menduga-duga siapa gerangan wanita yang lihai dan galak itu. Belasan orang perajurit pengawal itu sudah nampak terdesak, bahkan ada beberapa orang di antara mereka telah terluka. Bun Houw meloncat dan terjun ke dalam pertempuran itu sambil membentak nyaring,

"Ngo-kwi. pembunuh jahat yang pantas dibasmi!”

Lima orang yang memimpin para anak buahnya mendesak para penjaga itu terkejut ketika melihat bayangan orang berkelebat disusul robohnya dua orang anak buah mereka. Cepat mereka berlima itu menyambut pemuda yang baru saja menerjang masuk sambil memutar tongkatnya itu. Mereka terkejut ketika mengenal pemuda itu. Masih teringat oleh mereka wajah Bun Houw, dan biarpun mereka diam saja untuk tidak membuka rahasia mereka bahwa merekalah pembunuh Kwa Tin dan Ibunya, orang tua pemuda ini, mereka segera mengeroyok dengan maksud membunuh pemuda yang akan dapat membahayakan mereka di masa mendatang itu.

Mereka berlima adalah orang-orang yang sudah biasa melakukan kekerasan. Membunuh orang merupakan pekerjaan biasa bagi mereka dan memang mereka berlima itu lihai, Apalagi kalau maju berlima karena mereka dapat bekerja sama dengan baik. Tidak kosong saja julukan mereka sebagai Ngo-kwi (Lima Setan) dan menjadi tokoh-tokoh ke empat dalam urutan tingkat kepandaian para pembantu rahasia kepala daerah Nan-ping, yaitu Cun Tai-jin.

Begitu lima orang itu mengepung dan mengeroyoknya dengan pedang mereka. Bun Houw menggerakkan tongkat bututnya melindungi diri. Akan tetapi lima orang lawan itu tidak menyerang secara membabi buta saja. Mereka membentuk sebuah Kiam-tin (pasukan pedang) dan gerakan mereka teratur rapi, seolah-olah lima orang itu digerakkan oleh satu hati saja.

Hal ini tidak aneh karena memang mereka berlima itu ahli dalam gerakan yang dinamakan Ngo-heng-kiam-tin (Pasukan Pedang Lima Unsur), Gerakan mereka susul menyusul dan bantu membantu, seperti lima orang yang sedang memainkan tarian ular naga, semua sudah diperhitungkan dan pedang mereka susul-menyusul ketika menyerang Bun Houw, juga mereka itu saling melindungi kalau pihak lawan menyerang seorang dari mereka. Juga mereka berputar-putar, mengelilingi Bun Houw, lalu tiba-tiba menyerang bertubi-tubi, kalau serangkan mereka itu gagal, tiba-tiba mereka menghentikan serangan dan berlari-lari mengelilingi lawan lagi.

Bun Houw memang telah menerima gemblengan yang hebat dari gurunya, dan dia telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi. Namun, baru saja dia meninggalkan gurunya, bagaikan seekor burung baru saja meninggalkan sarang. Dia belum berpengalaman, oleh karena itu, dia juga bersikap hati hati sekali. Kalau dia menghendaki, pedang pusaka di tangannya, yaitu Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) tentu akan dapat merobohkan lima orang pengeroyoknya itu dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi dia bukan hanya menerima gemblengan ilmu-silat dari Si Buta Sakti Tiauw Sun Ong.

Melainkan terutama sekali menerima gamblengan batin yang membuat pemuda ini sudah mampu menguasai nafsunya. Dia tidak ingin membunuh Ngo-kwi begitu saja, melainkan hanya ingin menghajar mereka, agar mereka itu tidak jahat lagi. Maka, diapun tetap menggunakan tongkat butut yang menyembunyikan pedang pusaka ampuh. Gurunya pernah berpesan agar dia tidak sembarangan mencabut Pedang Kilat dari dalam tongkat butut, cukup mempengunakan tongkat itu saja untuk membela dan melindungi dirinya.

Karena Bun Houw menghadapi Ngo-kwi dengan hati-hati, menangkis dengan tougkat butut dan kadang-kadang membalas dengan pukulan-pukulan tongkat, maka lima orang pengeroyok itu tidak dapat segera dia kalahkan, bahkan mereka itu berusaha mendesak dengan serangan-serangan maut yang kejam dan curang. Akan tetapi belasan orang anak buah penjahat itu kini terdesak. Setelah lima orang pemimpin mereka terlibat dalam pertandingan melawan pemuda bertongkat yang baru muncul, mereka kehilangan pimpinan dan para perajurit pengawal yang gagah itu segera membuat mereka kewalahan.

Sementara itu, di sebelah dalam gedung terjadi pula perkelahian yang amat seru. Wanita yang tadi saling serang dengan Bun Houw, kemudian dapat disadarkan oleh pemuda itu dan loncat mengejar Bu-tek Kiam-mo, dengan sepasang pedang di tangan berhasil memasuki ruangan dalam di mana ia melihat Souw ciangkun dengan mati-matian membela diri dengan sebatang pedang terhadap serangan Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) Bouw Swe, Sesuai dengan julukannya, Bouw Swe yang bertubuh tinggi kurus itu lihai bukan main dalam ilmu silat pedangnya.

Jelas nampak betapa Souw Ciangkun terdesak hebat dan hanya mampu menangkis saja tanpa dapat membalas kembali. Souw-ciangkun juga bukan orang lemah, namun dia lebih pandai mengatur pasukan dari pada Ilmu silat, Apalagi yang dilawan sekarang adalah seorang tokoh sesat yang lihai sekali seperti Bu-tek Kiam-mo. Jelas bahwa kalau tidak segera mendapat bantuan, dalam waktu belasan jurus lagi saja keselamatan nyawa Souw-ciangkun terancam oleh pedang Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe yang lihai itu.

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan yang halus dan nyaring, "Pembunuh keji, siaplah untuk menerima hukuman!” Dan gadis itu sudah melayang turun dan sepasang pedangnya diputar menjadi dua gulungan sinar yang melayang dan menyambar ke arah kepala Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe!

"Ehhhhh,” Setan Pedang itu terkejut bukan main dan terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangun, Souw-ciangkun sudah mundur dan mepet di sudut ruangan sambil melintangkan pedang di depan dada, siap membela diri, dan seorang gadis yang bertubuh ramping sudah berdiri di situ dengan sepasang pedang di tangan. Biarpun ruangan itu hanya diterangi oleh sebuah lampu gantung, namun cukup terang menyinari sebuah wajah yang cantik jelita namun gagah dengan sinar mata mencorong dan sikap yang agung.

Gadis itu usianya sekitar delapan belas tahun, tubuhnya ramping akan tetapi penuh mendekati montok dengan lekuk lengkung yang indah sempurna membayang di balik pakaiannya yang ketat, pakaian yang biasa dipakai seorang wanita yang biasa melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw (sungai telaga atau rimba persilatan). Pakaiannya, bersih dan rapi, namun sederhana. Rambutnya digelung dan diikat ke belakang, sederhana pula, seperti juga wajahnya yang hanya dilapisi bedak tipis tanpa pemerah bibir atau pipi.

Memang tidak perlu menggunakan pemerah lagi karena bibirnya itu sudah merah segar membasah, pipinya juga kemerahan sebagai, bukti bahwa gadis ini memang sehat sekali. Warna bajunya kehitaman, membuat kulit pada leher dan mukanya nampak semakin putih mulus.

"Ciangkun, harap mundur dan biarkan aku yang menghajar kepada pembunuh laknat ini!” kata gadis itu dengan sikap tenang sekali.

"Awas, nona...!” Souw Ciangkun berseru ketika melihat betapa si tinggi kurus itu tiba-tiba saja sudah menggerakkan pedangnya, secara curang menyerang gadis itu tanpa memberi peringatan lagi seperti lajimnya sikap seorang gagah dalam dunia persilatan.

"Singgg...! wuuuttt!”

Gadis itu dengan tenangnya melangkah mundur selangkah dan menarik tubuh atas ke belakang. Serangan pedang itu luput dan lewat dengan cepat, akan tetapi tidak percuma Bouw Swe berjuluk Setan Pedang. Pedangnya yang meluncur luput dari sambaran itu tiba tiba saja membalik dan kini menyambar ke arah leher lawan!

Namun, gadis itu tetap tenang saja. Tanpa menggerakkau kaki, dan berdiri dengan tegak saja, kedua tangannya menggerakkan sepasang pedangnya dan ke manapun pedang di tangan Bouw Swe menyambar, selalu pedang itu bertemu dengan pedang gadis itu yang menangkisnya.

"Trangg, tringg, traangg, trangg...!”

Berkali-kali pedang Bu-tek Kiam-mo bertemu dengan pedang gadis itu, dan nampak api berpijar menyilaukan mata dan setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan, Bu-tek Kiam-mo merasa betapa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang kuat pula.

Terjadilah perkelahian yang hebat di dalam gedung itu, hanya ditonton oleh Souw ciang-kun yang tidak berani membantu gadis itu. dia tahu bahwa ilmu silatnya terlampau rendah untuk membantu gadis itu, dan bantuannya bahkan hanya akan menjadi penghalang karena dia dapat melihat betapa hebatnya ilmu pedang gadis itu.

Memang, baru sekali itu Ba-tek Kiam-mo bertemu tanding sehebat itu. Sekali ini, julukan yang biasanya dia banggakan dan sombongkan itu terancam bahaya. Dia berani menggunakan julukau Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding), akan tetapi sekarang dia bertemu dengan seorang gadis muda remaja yang memiliki ilmu pedang pasangan yang amat hebat. Gerakan kedua pedang itu cepat dan aneh, memiliki perubahan gerakan yang tidak tersangka-sangka sehingga beberapa kali dia terkecoh dan hampir saja dia menjadi korban sambaran pedang.

Selain memiliki ilmu pedang pasangan yang amat tangguh, juga pedang-pedang di tangan gadis itu bukan siang-kiam (pedang pasangan) biasa saja karena mampu menahan pedangnya sendiri tanpa rusak, bahkan gadis itu memiliki pula sin-kang (tenaga sakti) yang mampu mengimbanginya!

Sekali ini, benar-benar dia bertemu tanding yang kuat, pada hal lawannya itu hanyalah seorang gadis remaja. Betapa akan malunya kalau sampai hal ini dikelahui oleh dunia kang-ouw. Apalagi kalau sampai dia kalah. Baru tak mampu merobohkan gadis itu saja sudah akan membuat namanya menjadi buah tertawaan para tokoh kang-ouw dan tentu dia akan diejek dan akan merasa malu untuk menyandang julukan Tanpa Tanding lagi. Maka, diapun mengeluarkan bentakan keras dan mengeluarkan jurus Ilmu pedangnya yang paling ampuh.

"Hyaaaaatit... sinnggg...!” Pedang itu membuat lingkaran sehingga sinarnya bergulung-gulung, kemudian gulungan sinar pedang itu mencuat dan meluncur ke arah perut lawan!

Gadis itu agaknya maklum akan hebat dan dahsyatnya serangan ini, maka Iapun menggeser kaki ke belakang, pedang kirinya menangkis dan pedang kanannya membabat ke arah leher lawan. Namun, sekali ini agaknya Bouw Swe sudah memperhitungkan. Begitu pedangnya tertangkis, pedang ini membalik tiba-tiba, dari bawah menyambar ke atas menjadi tusukan ke arah tenggorokan lawan sedangkan tubuhnya merendah untuk menghindarkan sambaran pedang ke arah lehernya.

"Ihhk? Gadis itu terkejut juga hebat memang jurus serangan lawan itu. Kedua pedangnya tidak nampak lagi menangkis pada saat pedang lawan dari bawah meluncur ke atas menusuk tenggorokannya. Terpaksa Ia melempar tubuh ke belakang, akan tetapi pada saat itu, Bouw Swe sudah mengirim tendangan kaki kirinya ke arah selangkangan lawan!

Ahhh!” Gadis itu kembali berseru kaget, cepat ia menarik diri ke belakang, namun tetap saja ujung sepatu Bouw Swe menyentuh pahanya dan iapun terguling. Bouw Swe girang sekali dan menubruk, akan tetapi pedangnya bertemu dengan sepasang pedang yang disilangkan, dan perutnya dihantam sepatu kaki gadis itu.

"Dukkk!" Tubuh Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe terjengkang. Kiranya serangan tendangannya tadi dibayar kontan oleh lawan bahkan berikut bunganya karena kalau gadis itu hanya kena serempet pahanya saja, dia terkena tendangan yang dengan keras dan tepatnya mengenai perutnya, membuat perutnya tergoncang dan seketika terasa mulas. Maklum bahwa lawannya memang tangguh sekali. Bu-tek Kiam-mo mulai meragukan keselamatannya kalau dia lanjutkan perkelahian itu.

Pada saat itu, dia mendengar teriakan-teriakan di luar rumah dan mendengar itu, wajahnya berubah gelisah. itulah suara teriakan dari Ngo-kwi dan anak buahnya, bukan teriakan kemenangan. melainkan teriakan kesakitan dan ketakutan. Mengertilah dia bahwa pelaksanaan tugas mereka telah berentakan dan gagal, bahkan dia sendiri terancam bahaya. Gadis yang menjadi lawannya sudah demikian lihainya. Kalau sampai gadis itu dibantu orang lain, dia pasti celaka. Maka, pedangnya bengerak ke belakang, menyambar ke arah lampu gantung yang menerangi ruangan itu dan terdengar suara nyaring, lampu pecah dan ruangan itu menjadi gelap gulita!

Gadis itu sama sekali tidak menyangka hal ini. Ia terkejut sekali dan sekali meloncat ia telah berada di dekat Souw Ciangkun, berbisik. "Ciangkun, harap diam saja jangan bergerak!" dan iapun berjaga di situ, siap untuk melindungi perwira tinggi itu kalau sampai ada musuh yang melakukan penyerangan di dalam gelap.

Terpaksa Ia tidak melakukan pengejaran ketika bekas lawannya meloncat keluar, karena ia tidak berani meninggalkan perwira yang jelas diincar nyawanya oleh para penjahat itu. Memang ini yang diharapkan Bouw Swe. Dia meloncat keluar dan benar saja. Di luar dia melihat betapa dua orang di antara Ngo-kwi sudah roboh mengaduh-aduh, sedangkan belasan orang anak buah terdesak hebat, bahkan ada hampir separuh dari mereka telah menderita luka-luka. Dia lalu terjun membantu para anak buah yang didesak sambil berseru keras memberi aba-aba kepada mereka dan kepada Ngo-kwi untuk melarikan diri.

Bun Houw memang telah berhasil merobohkan dua orang di antara Ngo-kwi, merobohkan tanpa membunuh mereka, bahkan tidak melukai berat, hanya membuat orang pertama patah tulang pundaknya dengan hantaman tongkat butut, dan orang ke dua patah tulang lengan dengan tangkisan lengan kirinya yang mengandung tenaga siu-kang kuat. Tiga orang lainnya sudah ketakutan dan melindungi diri mati-matian terhadap pemuda yang kini di luar dugaan mereka, telah menjadi seorang yang demikian lihainya.

Begitu mendengar aba-aba dari Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe, mereka segera berloncatan melarikan diri. Dua orang yang tadinya hanya mengaduh-aduh, dapat berloncatab dan melarikan diri pula. Yang nyeri hanyalah pundak dan lengan, kaki mereka tidak terluka. Pula, dalam keadaan panik, orang dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, jauh lebih besar dari pada kekuatan serta kemampuan biasa mereka, juga dapat melupakan semua rasa nyeri yang mengganggu. Jangankan baru patah tulang pundak atau lengan, andaikata yang patah itu tulang kaki mereka sekalipun, dalam keadaan panik ketakutan seperti itu, kiranya mereka masih akan mampu melarikan diri.

Bun Houw tidak melakukan pengejaran, karena dia sudah tahu siapa mereka. Dia bersikap tenang saja, menyimpan kembali tongkat bututnya yang diselipkan di pinggang, dan hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi terdengar suara dari dalam.

"Tai-hiap, tunggu dulu...!”

Bun Houw menahan langkahnya lalu berbalik dan dia sudah berhadapan dengan seorang pria berusia lima puluh tahun yang gagah dan dari sikap dan pakaiannya dia dapat menduga bahwa tentu orang ini yang disebut Souw-ciangkun dan tadi hendak dibunuh oleh kawanan penjahat. Di samping perwira ini berdiri seorang gadis yang membuatnya kagum bukan main karena dia masih mengenal pakaian baju hitam dan celana kuning yang dipakai gadis itu. Ternyata wanita yang lihai dan galak tadi adalah seorang gadis remaja, pikirnya penuh kagum. Seorang gadis yang usianya tentu belum ada duapuluh tahun! Gadis itupun memandang kepadanya dengan penuh perhatian, kemudian ia menoleh kepada perwira itu dan berkata,

"Souw-ciangkun, apakah ciangkun sudah mengenal dia ini?" suara gadis itu halus, akan tetapi tegas.

Perwira itu mengamati wajah Bun Houw dan menggeleng kepala.

"Kalau ciangkun belum pernah mengenalnya, sebaiknya orang ini ditahan dan ditanyai dengan jelas. Aku tadi melihat dia bersembunyi di atas wuwungan rumah ini. Siapa tahu dia seorang di antara para penjahat yang hendak membunuh ciangkun!”

Mendengar ini, Bun Houw mengerutkan alisnya dan hendak membantah, akau tetapi dia menekan perasaannya. Nona ini lihai dan galak, dia tidak perlu menanggapi, karena kalau demikian, berarti mereka berdua sama galaknya. Diapun tersenyum saja dan menyerahkan kepada perwira itu untuk melakukan penilaian. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara para petugas jaga atau para pengawal, membantah ucapan gadis itu.

"Ciangkun, kami melapor!" kata kepala jaga dengan suara tegas dan sikap seorang perajurit sejati, "Kami tadi telah diserbu oleh belasan orang penjahat yang dipimpin oleh lima orang yang lihai. Kemudian muncullah pendekar ini dan tanpa bantuan dia, mungkin kami semua telah roboh menjadi korban kejahatan gerombolan itu. Pendekar ini telah menyelamatkan kita, ciangkun, dia sama sekali bukan penjahat, bahkan dia yang mengusir para penjahat tadi!”

Mereka semua mengangguk-angguk dan mereka memandang kepada gadis ini dengan sinar mata penasaran dan marah mendengar betapa penolong mereka bahkan dituduh menjadi penjahat!

Perwira itu mengangguk-angguk dan tersenyum. "Akupun sudah menduga demikian. Ketahuilah, aku sendiri mungkin telah tewas kalau saja tidak ada li-hiap (pendekar wanita) ini yang menyelamatkan aku. Kalian semua lakukanlah penjagaan dengan ketat dan rawat teman yang terluka. Tai-hiap (pendekar besar) dan li-hiap (pendekar wanita), mari silakan masuk ke ruangan dalam. Kami ingin bercakap-cakap dengan ji-wi (anda berdua)."

Sejenak Bun Houw saling pandang dengan gadis itu. Bun Houw tersenyum, senyum yang mengandung godaan karena baru saja gadis itu menuduhnya sebagai penjahat, dan gadis itu agaknya dapat mengenal senyum yang mengandung godaan itu. Ia cemberut dan membuang muka. Demikian manisnya gerakan ini, manis dan manja sehingga senyum di bibir Bun Houw melebar. Bukan main gadis ini, pikirnya. Bukan saja cantik dan gagah perkasa, akan tetapi setiap gerakannya mengandung daya tarik yang demikian kuat. Bahkan menarik muka cemberutpun tampak makin manis!

Mereka berdua tanpa bicara mengikuti perwira itu masuk ke ruangan sebelah dalam, disambut oleh Nyonya Souw yang masih nampak pucat ketakutan. Ketika terjadi keributan, ketika suaminya keluar dari kamar membawa pedang, ia hanya bersembunyi saja di dalam kamar sambil mengintai dari celah-celah jendela kamar.

"Nona pendekar inilah yang tadi telah menyelamatkan aku ketika diserang penjahat dan tai-hiap ini yang mengusir para penjahat yang menyerbu ke sini. Li-hiap dan tai-hiap ini adalah isteriku."

Nyonya rumah memberi hormat, dibalas oleh Bun Houw dan gadis pendekar itu. Kemudian nyonya Souw masuk ke dalam lagi untuk mempersiapkan minuman, dan meninggalkan suaminya bercakap-cakap dengan dua orang penolongnya...