Kisah Si Pedang Kilat Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kisah Si Pedang Kilat Jilid 05

SETELAH Isterinya masuk, Souw Ciangkun lalu bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang muda itu. "Pertama-tama, aku mengucapkan terima kasih kepada ji-wi (kalian berdua) yang telah menyelamatkan kami dari sergapan gerombolan penjahat."

Bun Houw segera bangkit berdiri pula dan membalas penghormatan itu sambil berkata. "Tidak perlu berterima kasih, ciangkun. Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menentang orang jahat."

Gadis itupun tidak mau kalah. Ia membalas penghormatan perwira itu dan berkata, "Sebagai seorang pendekar, aku selalu akan membela yang benar dan membinasakan yang jahat. Tidak perlu berterima kasih, Souw Ciangkun!”

Bun Houw memandang kepadanya dan kebetulan gadis itupun melirik sehingga kembali pandang mata mereka bertemu dalam suasana seperti dua orang bersaing!

"Silakan ji-wi duduk," kata pembesar militer itu. "Setelah mengucapkan terima kasih, aku ingin sekali mengetahui bagaimana ji-wi dapat mencegah terjadinya kejahatan ini dan bagaimana dapat mengetahui bahwa mereka malam ini menyergap kami yang sedang berlibur di sini. Mari kita mulai dari keteranganmu. taihiap "

Bun Houw melirik ke arah gadis itu yang memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik sehingga dia merasa seolah-olah dia sedang diperiksa sebagai seorang pesakitan di depan seorang hakim! Sinar mata gadis itu seolah-olah mengandung suatu ketidak percayaan atau kecurigaan terhadap dirinya. Dia menarik napas panjang dan menekan perasaannya yang sebenarnya sedang gelisah. Dia sejak tadi teringat akan Cia Ling Ay dan hatinya gelisah bukan main, penuh kekhawatiran terhadap wanita yang pernah menjadi tunangannya itu.

Jelas bahwa keluarga Cia akan tersangkut dalam urusan ini, karena menurut penuturan paman Cia Kun Ti, keadaan Cun Tai-jin amat mencurigakan. Kalau sumpai kemudian ternyata bahwa keluarga Cun mempergunakan orang-orang dari dunia hitam untuk melakukan kejahatan, tentu diri Ling Ay sebagai mantu pembesar itu akan terlibat, dan tentu ayah bundanya pula! Tentu saja hatinya gelisah sekali memikirkan Ling Ay dan ayahnya.

"Nama saya Kwa Bun Houw. Kalau ciang-kun sudah sejak enam tahun yang lalu tinggal di Nan-ping, tentu mengenal keluarga mendiang ayahku. Dahulu ayah dikenal di kota ini sebagai Kwa-enghiong. Akan tetapi enam tahun yang lalu, ayah dan ibu tewas di tangan gerombolan penjahat. Saya sendiri nyaris tewas kalau tidak tertolong seorang pendekar sakti. Saya lalu mempelajari dan memperdalam ilmu silat dan baru beberapa hari ini, pada hari raya Ceng beng, saya berkunjung ke makam orang tua saya. Karena itu saya kebetulan berada di Nan-ping. Kebetulan saja saya bentrok dengan kaki tangan penjahat dan saya melakukan penyelidikan di sarang mereka. Dari penyelidikan itulah saya mendengar akan rencana mereka untuk membunuh keluarga ciangkun di sini. maka saya membayangi mereka dan bisa sampai ke sini."

"Kwa-tai-hiap (pendekar besar Kwa), di manakah sarang mereka itu?" Souw ciangkun bertanya.

Kembali Bun Houw merasa betapa jantungnya berdebar tegang, penuh kekhawatiran terhadap diri Ling Ay. Dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Ling Ay dari bencana, apapun yang terjadi. Dia tahu bahwa Ling Ay menjadi mantu kepala daerah Cun karena terpaksa, dipaksa ibunya sedangkan ayahnya terlalu lemah menghadapi ibunya. Ling Ay menjadi korban kawin paksa.

Bukan kesalahan Ling Ay kalau ia menjadi mantu kepala daerah Cun yang ternyata merupakan seorang yang amat jahat, yang mempergunakan tokoh-tokoh sesat melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tentu ada niat jahat di balik semua itu. Dan sekarang, kalau sampai keluarga Cun disergap oleh Souw Ciangkun dan pasukannya, tentu Ling Ay akan terbawa-bawa, tersangkut, dan akan ditawan pula, atau mungkin juga akan tewas dalam penyerbuan itu! Tidak, dia harus mencegah terjadinya hal ini!

"Ciangkun, maafkan kalau saya tidak dapat mengatakan sekarang. Akan tetapi, kalau Ciangkun percaya kepada saya, maka biarlah saya yang akan menjadi petunjuk jalan, apa bila ciangkun hendak mengambil tindakan." Jawabnya.

"Hemmm, aneh sekali! Kenapa tidak langsung saja melaporkan kepada Souw Ciangkun di mana letak sarang penjahat itu? Mengapa engkau seperti hendak menyembunyikan tempat itu? Apakah engkau ingin melindungi para penjahat itu!”

"Itu adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain." kata Bun Houw, panas juga perutnya didesak dan dituduh seperti itu.

Souw Ciangkun merasa heran mengapa dua orang pendekar yang agaknya baru sekarang saling bertemu itu, dan yang keduanya telah berjasa menolongnya dari ancaman penjahat, kini agaknya saling bersikap tidak manis, terutama sekali pendekar wanita itu.

"Tentang mengambil tindakan itu akan kami pertimbangkan setelah kami mendengar keterangan ji-wi. Sekarang harap li-hiap suka menerangkan apa yang li-hiap ketahui dan bagaimana li-hiap dapat pula datang ke sini untuk menyelamatkan kami."

"Aku datang ke Nan-ping untuk urusan pribadi," kata gadis itu sambil mengerling ke arah Bun Houw, seolah hendak memperlihatkan bahwa iapun tidak mau kalah dan iapun mempunyai "urusan pribadi"! "Namaku Ouwyang Hui Hong dan aku memang hendak mencari seorang yang bernama Ciong Kui Le, berjuluk Pek I Mo-ko untuk urusan pribadi itu. Jejaknya menuju ke Nan-ping dan akhirnya aku mendengar bahwa dia memang berada di kota ini. Malam tadi aku melakukan penyelidikan dan aku melihat rombongan orang-orang yang mencurigakan tadi. Aku membayangi mereka dan dari percakapan mereka di perjalanan, tahulah aku bahwa mereka bermaksud untuk membunuh Souw Ciangkun. Maka, setelah tiba di sini aku segera turun tangan."

"Dan tahukah engkau di mana sarang para penjahat itu, li-hiap!” tanya perwira itu.

Gadis itu melirik ke arah Bun Houw. "Aku tahu, ciangkun. Kalau ciangkun hendak menggerakkan pasukan menyerbu, biarlah aku yang menjadi penunjuk jalan. Biarpun belum yakin benar, aku menduga bahwa tentu ada hubungan antara gerombolan penjahat tadi dengan Pek I Mo-ko yang kucari-cari."

"Teutu saja ada hubungan!” kata Bun Houw, suaranya juga tidak ramah karena sikap gadis itu seolah-olah memusuhi atau menyainginya. "Pek I Mo-ko adalah pemimpin mereka! Yang hendak membunuh Souw Ciangkun tadi adalah Bu-tek Kiam-mo, dan lima orang yang memimpin para gerombolan di luar tadi berjuluk Ngo kwi.”

Gadis itu segera berubah sikapnya. Kalau tadi ketus dan dingin, kini ia memandang kepada Bun Houw dengan wajah berseri dan suaranya sama sekali kehilangan dingin dan ketusnya ketika ia bertanya, "Benarkah itu? Yakin benarkah engkau bahwa pemimpin mereka adalah Pek I Mo-ko?"

Diam-diam Bun Houw merasa heran bukan main dan kembali lagi kekagumannya. Gadis ini dapat berubah seperti angin, sebentar murung sebentar gembira, sebentar dingin sebentar panas. Diapun yang memiliki watak dasar lembut dan ramah, tidak dapat mempertahankan sikapnya yang tadi pura-pura acuh dan dingin.

"Tentu saja aku yakin. Ketika mereka mengadakan rapat, aku melakukan pengintaian dan aku melihat sendiri Pek I Mo-ko..."

"Coba kau gambarkan bagaimana orangnya, kalau memang benar engkau telah melihatnya. Bagaimana wajahnya, bagaimaua penampilannya, dan berapa usianya. Aku ingin pasti, bahwa memang benar dia Pek I Mo-ko!" Gadis itu kini bicara penuh gairah, penuh keinginan tahu dan sama sekali tidak mengandung nada tidak percaya lagi.

aka Bun Houw terseuyum. Dia merasa seperti menghadapi seorang kanak-kanak nakal dan manja. "Usianya sukar ditaksir, mungkin sudah enam puluh tahun mungkin juga baru empat puluh tahun. Wajahnya dan tubuhnya masih nampak muda, wajahnya belum berkeriput dan tubuhnya masih tegap, akan tetapi rambutnya sudah penuh uban. Pakaiannya serba putih dengan sabuk biru dan pita rambutnya dari sutera biru pula. Wajahnya bulat, dengan sepasang mata yang mencorong, suaranya lembut namun nadanya ketus. Oya, kalau aku tidak salah lihat, ada setitik tahi lalat di dagunya..."

"Ah, benar itu dia Pek I Mo-ko, si keparat!” gadis itu berseru penuh semangat dan kegembiraan. "Akhirnya dapat juga engkau olehku, jauh-jauh kukejar dari Lembah Bukit Siluman!” Lalu ia menoleh kepada perwira tinggi itu dan berkata, "Souw Ciangkun, maafkan aku. Hendaknya jangan ciangkun tergesa menyerbu ke sana, karena tentu Pek I Mo-ko itu akan sempat melarikan diri! Biar aku lebih dahulu menyelidiki ke sana besok, dan kalau pasukan ciangkun menyergap, aku akan dapat menjaga agar Pek I Mo-ko tidak sempat melarikan diri!”

Mendengar usul ini, Bun Houw melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Ling Ay, "Usul nona Ouwyang ini tepat, ciangkun," dia cepat menambahkan, "kalau ciangkun tengesa-gesa, berarti akan mengejutkan ular dalam rumput dan mereka itu mendapat kesempatan uatuk melarikan diri. Dan serbuan itu tentu menggegerkan karena menyangkut orang yang berkedudukan tinggi."

Souw Ciangkun mengerutkan alisnya dan nampak terkejut. "Ah, jadi benarkan dia tersangkut! Memang sudah ada kecurigaan dalam hatiku. Mati-matian dia mencoba untuk mempengaruhiku, membujuk dan mencoba untuk menguasai dengan sogokan, Aih, benarkah! Sudah ada buktinya, tai-hiap? Perkara ini sama sekali tidak boleh main-main!”

"Saya sudah yakin, dan sudah saya saksikan sendiri!” kata pula Bun Houw.

"Akan tetapi, kalau aku tidak segera turun tangan, mereka tentu mendapat kesempatan untuk menghilangkan semua jejak, bahkan mungkin melarikan diri, atau bengerak lebih dahulu. Tentu kegagalan membunuhku tadi membuat mereka berhati-hati dan khawatir."

"Jangan khawatir, ciangkun. Mereka tadi semua mengenakan topeng dan mereka tentu merasa yakin bahwa wajah mereka tidak dikenal. Apalagi kalau malam ini tidak ada gerakan dari ciangkun, tentu mereka merasa lega dan menduga bahwa ciangkun tidak tahu siapa gerombalan yang mencoba untuk membunuh ciangkun. Biarlah nona Ouwyang dan saya akan lebih dahulu melakukan penyelidikan, setelah itu baru kami memberi tanda dan ciangkun menggerakkan pasukan untuk menyergap dan menangkap semua penjahat.”

Tentu saja Souw Ciangkun menyetujui karena bagaimanapun juga, dua orang ini sudah berjasa besar dan dia memang mengharapkan pula bantuan mereka untuk membasmi para penjahat yang lihai itu.

"Nona, engkau tentu tidak berkeberatan untuk melakukan penyelidikan bersamaku, bukan?" Bun Houw bertanya ramah.

Gadis itu menggeleng kepala. "Tentu saja tidak, bahkan sebaiknya kalau kita bekerja sama. Tak kusangka bahwa Pek I Mo-ko memimpin gerombolan penjahat yang mempunyai banyak anak buah yang pandai."

"Kalau begitu, mari kita berangkat."

Keduanya lalu berpamit meninggalkan gedung Souw Ciangkun. Ketika tiba di luar, mereka melihat sedikitnya lima puluh orang perajurit yang baru tiba. Mereka adalah pasukan bantuan dari benteng yang datang atas laporan kepala pengawal. Legalah hati mereka karena dengan adanya penjagaan yang kuat, malam ini mereka tidak perlu mengkawatirkan keselamatan perwira tinggi itu.

Mereka berdua membeli sarapan di warung bubur ayam tanpa bicara. Kemudian mereka meninggalkan warung bubur ayam dan pagi itu jalan sudah mulai ramai dengan orang-orang yang mulai bekerja. Bun Houw dan Hui Hong bercakap-cakap di sudut kota yang sunyi.

"Mengapa kita berhenti di sini?" Hui Hong menegur. "Aku ingin kita segera mendatangi sarang mereka, karena aku ingin segera berhadapan dengan si jahanam Pek I Mo-ko!”

Melihat ketidak sabaran gadis itu, Bun Houw tersenyum. "Pek I Mo-ko bukan sendiri saja, nona. Selain teman-temannya banyak, juga dia berada dalam perlindungan kepala daerah Nan-ping ini. Kalau kita langsung mendatangi mereka, kita akan berhadapan dengan banyak kaki tangannya, juga dengan kepala daerah yang mempunyai banyak pengawal."

"Kepala daerah? Ihh, kenapa kepala daerah melindungi seorang jahat seperti Pek I Mo-ko dan bahkan mereka itu hampir saja membunuh Souw Ciangkun?" Gadis itu memandang heran.

"Itulah anehnya! Gerombolan penjahat itu adalah kaki tangan Cun Tai-jin, kepala daerah Nan-ping."

"Jadi kalau begitu... yang menyuruh bunuh Souw Ciangkun adalah kepala daerah sendiri? Aneh dan tak masuk akal!"

Bun Houw mengangguk-angguk. Memang kelihatan aneh dan tak masuk akal, karena itu kita perlu menyelidiki. Bukan hanya Souw Ciangkun hendak dibunuh, akan tetapi bahkan banyak sudah pejabat yang telah dibunuh secara rahasia. Ini hanya berarti bahwa ada rahasia tersembunyi di balik kedudukan kepala daerah. Dan menaruh perkiraanku, tentu dia membunuhi pejabat yang menolak ajakannya untuk bersekutu!”

"Bersekutu? Untuk apa?"

"Kalau seorang kepala daerah mengadakan persekutuan, untuk apalagi kalau tidak dengan maksud untuk memberontak terhadap pemerintah?"

"Ihhh!” Gadis itu berseru kaget, "Aku tidak mau mencampuri urusan pemberontakan, aku hanya ingin bertemu Pek I Mo-ko untuk urusan pribadi!”

"Kebetulan sekali akupun mempunyai urusan pribadi dengan keluarga kepala daerah Nan-ping."

"Engkau sungguh mencurigakan! Engkau sendiri mengatakan bahwa kepala daerah Nan-ping mempengunakan orang-orang jahat sebagai kaki tangannya, bahkan dia yang menyuruh para gerombolan penjahat itu untuk membunuhi banyak pejabat, bahkan mencoba membunuh Souw Ciangkun. Dan engkau mempunyai urusan pribadi dengan keluarganya?”

"Urusan pribadiku ini bukan untuk bekerja sama dengan keluarga kepala daerah Cun, melainkan... aku akan melakukan sesuatu yang tentu akan membuat mereka marah sekali. Bukan bekerja sama dengan mereka, melainkan menentang..." Tentu saja sukar bagi Bun Houw untuk menjelaskan karena rencananya itu mengenai diri Ling Ay. Hal itu agaknya membikin Hui Hong menjadi tidak sabar lagi.

"Hemm, kalau engkau mengajak aku bekerja sama menentang mereka, mengapa engkau masih menyembunyikan dan merahasiakan urusan pribadimu itu? Bagaimana kita akan dapat bekerja sama kalau kita tidak saling mengenal dan mengetahui urusan masing-masing? Sudahlah, kalau engkau tidak mau memberi penjelasan, lebih baik kita bekerja sendiri-sendiri saja!" Gadis itu hendak melangkah pergi.

"Eh, nanti dulu, nona!” Bun Houw cepat meloncat ke depan gadis yang kelihatan marah itu, dan dia mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan. "Maafkan aku, nona. Bukan maksudku untuk menyembunyikan urusan atau tidak percaya kepadamu. Memang engkau benar, sebaiknya kalau kita saling menceritakan keadaan dan urusan pribadi agar kita dapat bekerja sama dengan baik."

"Hemm, baru menyadari, ya? Akan tetapi aku tidak akan menceritakan keadaan diriku kepadamu,” katanya dengan sikap masih marah.

Bun Houw tersenyum, "Tidak kau ceritakan juga tidak mengapa, karena aku sudah dapat menduga siapa adanya engkau, nona."

Gadis itu menatap wajah Bun Houw dengan pandang mata tajam penuh selidik. "Aku tidak percaya, engkau membual saja!”

"Nona, bukankah engkau ini puteri dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, lo-cian-pwe (orang tua gagah perkasa) yang amat terkenal itu?"

Sepasang mata yang indah jelita itu terbelalak. "Eh? Bagaimana engkau bisa tahu?"

Bun Houw tersenyum. Gurunya, Si Buta Sakti Tiauw Sun Ong, pernah bercerita tentang para datuk atau tokoh besar dunia persilatan kepadanya dan di antara para datuk besar yang terkenal adalah Bu-eng-kiam Ouwyang sek, majikan Lembah Bukit Siluman.

"Mudah saja. Engkau she (nama keturunan) Ouwyang, dan tadi menyebut Lembah Bukit Siluman. Siapalagi ayahmu kalau bukan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman? Ilmu silatmu demikian tinggi, maka mudahlah menduganya."

Hui Hong mengangguk. "Pantas! Anak kecilpun bisa menduga kalau begitu. Memang aku puteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Nah, sekarang ceritakan apa urusan pribadimu dengan keluarga kepala daerah Cun itu, baru nanti kuceritakan mengapa aku mencari Pek I Mo-ko. Engkau sudah mengetahui keluargaku, engkaupun sepantasnya menceritakan tentang keluargamu."

Bun Houw mengajaknya duduk di antas batu di tepi jalan yang sunyi di sudut kota itu. Dia menarik napas panjang, bersikap hati-hati karena apa yang hendak diceritakan tentang Ling Ay sungguh tidak enak bagi dirinya.

"Seperti telah kuperkenalkan diri kepada Souw Ciangkun, namaku Kwa Bun Houw dan ayahku tadinya tinggal di kota ini. Ayahku seorang pedagang cita, dan di samping berdagang, ayahku juga terkenal sebagai seorang yang suka menentang kejahatan dan di sini dikenal sebagai Kwa-eng-hiong."

"Hemm, katakan saja ayahmu seorang pendekar." Hui Hong memotong.

"Kalaupun belum pantas dinamakan pendekar, setidaknya ayah selalu menentang kejahatan dan membela mereka yang lemah tertindas. Karena itu dia dimusuhi banyak penjahat dan akhirnya ayah dan ibu tewas di tangan orang-orang jahat pula." Bun Houw lalu menceritakan peristiwa yang terjadi enam tahun yang lalu itu. Betapa ketika dia sedang tidak berada di rumah, ayahnya dibunuh gerombolan penjahat, dan ibunya juga dibunuh setelah diculik dan diperkosa di dalam hutan.

"Keparat jahanam!” Hui Hong bangkit dan mengepal tinju, mukanya merah dan matanya mencorong. "Siapakah para penjahat itu? Mengapa engkau tidak membalas dendam dan membasmi mereka? Sungguh keji dan jahat sekali perbuatan mereka terhadap ibumu!”

Bun Houw menatap wajah itu sejenak dengan penuh kagum. Sedang marahpun tetap manis! Dia menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya.

"Tidak, nona..."

"Namaku Hui Hong dan setelah kita akan bekerja sama, tidak perlu lagi nona-nonaan. Panggil saja namaku!” gadis itu memotong lagi dengan cepat.

"Baiklah, Hui Hong. Hemm, namamu indah sekali!"

"Tidak perlu memuji dan merayu! Katakan mengapa engkau mengatakan tidak! Apa kaumaksudkan engkau tidak mendendam?" tanyanya heran.

"Memang aku tidak menaruh dendam. Menurut pesan mendiang ayahku, juga menurut nasihat guruku, dendam merupakan racun bagi diri sendiri. Tidak, aku tidak mendendam kepada mereka. Ayahku memang seorang yang hidup dalam kekerasan, dia selalu menentang nara penjahat, maka tidak mengherankan kalau para penjahat membencinya. Aku tidak boleh mendendam.”

“Apa?” Mata itu terbelalak lagi membuat Bun Houw cepat menundukkan pandang matanya agar jangan beradu pandang. Terlalu indah mata itu kalau terbelalak. Dia khawatir kalau kekagumannya akan membayang di matanya.

“Kau maksudkan bahwa engkau akan membiarkan mereka mendapatkan korban wanita-wanita lain? Membiarkan mereka melakukan pembunuhan sewenang-wenang? Pendekar macam apa engkau ini? Ayahmu tentu malu, juga gurumu tentu kecewa!”

Bun Houw tersenyum. Makin suka dan kagum dia kepada gadis ini. Biarpun galak, namun gadis ini jujur dan terbuka, tidak berpura-pura. “Tentu saja aku selalu menentang kejahatan, non... eh, adik Hong. Aku akan membela yang benar dan menetang yang jahat. Akan tetapi kalau aku menentang para pembunuh ayah, hal itu kulakukan karena hendak menentang kejahatan mereka, bukan untuk membalas dendam atas kematian ayah dan ibuku.”

“Sudahlah, sesukamu! Engkau belum bercerita tentang urusan pribadimu dengan keluarga Cun, kepala daerah Nan-ping itu.”

Bagian inilah yang terasa sukar oleh Bun Houw untuk menceritakannya. Akan tetapi gadis ini demikian jujur terbuka, sungguh tidak adil dan tidak enak kalau dia tidak bersikap jujur pula. “Urusan pribadiku ini menyangkut diri seorang yang berada di dalam keluarga Cun itu, Hong-moi (adik Hong).”

Enak saja sebutan Hong-moi meluncur keluar dari mulutnya. Seolah-olah gadis itu telah menjadi seorang sahabat lamanya, dan gadis itupun menerima sebutan itu dengan sikap biasa saja. Memang sudah sewajarnya kalau pemuda itu menyebutnya adik, karena pemuda itu tentu beberapa tahun lebih tua darinya.

“Ada urusan apa engkau dengan seorang di antara keluarga Cun?”

“Sebelum Souw-ciangkun menyerbu dan menangkapi keluarga keluarga Cun, aku harus lebih dahulu membebaskan seorang anggauta keluarga agar jangan sampai ikut tertangkap, karena ia sama sekali tidak berdosa bahkan ia terpaksa saja menjadi anggauta keluarga Cun.”

“Hemm, siapakah orang itu? Dan mengapa terpaksa menjadi anggauta keluarga Cun?” tanyanya pula Hui Hong, tertarik.

"Ia adalah mantu perempuan kepala daerah Cun.”

Kembali mata yang indah itu bengerak melebar dan pandang mata itu menatap wajah Bun Houw penih selidik. "Houw-ko (kakak Houw), enak pula sebutan ini meluncur dari mulutnya, seperti dengan sendirinya, “Siapakah mantu perempuan kepala daerah itu?"

"Namanya Cia Ling Ay...”

"Maksudku, apamukah wanita itu ? Masih keluargamukah?”

Bun Houw menggeleng kepala dan menelan ludah. Dia tiba di bagian paling sulit untuk diceritakan, "Ia... ia adalah bekas tunanganku."

"Ahhh...?” Kini sepasang mata itu menyipit namun dari balik bulu mata yang lentik itu mengintai sepasang mata yang amat tajam pandangannya, bersinar dan penuh selidik. Sepasang alis itu berkerut. "Hemmm ..., hemm ... bekas tunangan yang kini telah menjadi isteri putera kepala daerah Nan-ping! Dan engkau menghendaki agar wanita bekas tunanganmu itu tidak sampai ikut terlibat kalau keluarga Cun ditangkap? Hemmmm, bagus...! Agaknya engkau masih... eh, masih teringat terus kepada bekas tunanganmu itu, eh, Houw-ko? Tentu ia amat cantik maka sampai menjadi isteri orang lainpun engkau masih saja memperhatikannya!”

"Bukan begitu, Hong-moi! Harap jangan salah sangka. Aku bukan orang yang sebodoh dan sejahat itu, masih memikirkan bekas tunangan yang telah menjadi isteri orang lain! Sama sekali tidak. Kalau aku menghendaki agar ia tidak ikut ditangkap adalah karena ia sama sekali tidak berdosa, bahkan ia berada di dalam keluarga itu secara terpaksa. Ia dipaksa menjadi isteri putra Cun-taijin kepala daerah Nan-ping itu."

Dengan singkat Bun Houw lalu bercerita betapa dia dan Ling Ay telah ditunangkan sejak mereka masih kecil. Ketika dia berusia limabelas tahun, ayah Ibunya tewas oleh gerombolan penjahat dan tiba-tiba saja orang tua Ling Ay, terutama Ibunya, menyatakan bahwa ikatan jodoh antara mereka putus!

"Karena aku tidak mempunyai keluarga lagi, akupun pergi dari Nan-ping, dan ketika enam tahun kemudian aku kembali ke sini. Ling Ay telah menikah dengan putera Cun Tai-jin kepala daerah Nan-ping."

Mendengar semua keterangan itu, Hui Hong tersenyum mengejek, walaupun di sudut hatinya diam-diam ia merasa kasihan kepada pemuda ini dan merasa terharu akan nasibnya. "Dan bagaimana engkau tahu bahwa ia merasa terpaksa berada di sana? Siapa tahu ia telah menjadi seorang Isteri yang setia dan mencinta suaminya?"

"Aku... ketika hari Ceng beng aku bersembahyang di depan makam ayah Ibuku, aku telah bertemu dengannya. Ia menyembahyangi kuburan ayah ibuku dan kemudian aku bertemu dengan ayahnya. Dari ayahnyalah aku mendengar segalanya. Juga tentang Cun Tai-jin yang memelihara banyak tokoh sesat dan para penjahat."

"Hemm, terserah kepadamu kalau engkau menganggap amat penting untuk membebaskan dulu Ling Ay itu dari gedung Cun Tai-jin. Akan tetapi bagaimana caranya? Apakah engkan hendak memasuki gedung itu dan menculik isteri orang?”

Ucapan yang bernada mengejek ini menusuk perasaan Bun Houw, akan tetapi dia tidak membantah, maklum bahwa memang urusannya dengan Ling Ay itu dapat menimbulkan prasangka butuk bagi orang yang tidak mengetahui duduk perkara yang sebenarnya.

"Tidak, aku hanya akan memberitahu ayahnya agar dia yang mengusahakan kepergian wanita itu dari dalam gedung sebelum Souw-ciangkun menyerbu. Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan urusan pribadimu, tentu saja kalau engkau tidak berkeberatan, Hong-moi."

"Urusan pribadiku bukan menyangkut pribadiku sendiri, melainkan aku diutus oleh ayahku untuk mencari Pek I Mo-ko, merampas kembali sebuah benda mustika yang dicurinya dari ayahku. Kalau dia tidak mau menyerahkan kembali benda itu aku harus membunuhnya, karena benda itu sama sekali tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain!"

"Hemmm, cuma sekian itukah ceritamu tentang dirimu?"

"Ya, habis apalagi? Memang hanya itu urusanku dengan Pek I Mo-ko."

"Akan tetapi, ceritaku tadi amat panjang. Kalau boleh aku mengetahui, bagaimana benda mustika itu dapat dicuri Pek I Mo-ko?"

"Pek I Mo-ko pernah menjadi pembantu ayahku. Dia pandai memasak, pandai pula mengurus kebun. Belasan tahun dia ikut ayah, semenjak aku masih kecil, dan untuk membalas jasanya, ayahpun menurunkan ilmu kepadanya. Akan tetapi siapa sangka, manusia memang lebih jahat dari pada binatang, tidak mengenal budi. Pada suatu hari dia pergi dan melarikan benda mustika itu."

"Hong-moi, maukah engkau mengatakan kepadaku, apa sebenarnya benda mustika itu? Nampaknya amat penting bagi ayahmu."

"Benda mustika itu adalah akar bunga gurun pasir."

"Ahhhh...!” Bun Houw terkejut sekali. Pernah gurunya bercerita tentang benda mustika ajaib itu. Sebuah benda langka yang menurut dongeng merupakan tanaman ciptaan seorang manusia dewa di daerah Gurun Gobi di utara. Akar bunga gurun pasir itu kabarnya mempunyai khasiat yang luar biasa, sebagai obat kuat, sebagai penolak racun, sebagai obat yang seolah-olah dapat menarik kembali nyawa orang yang sudah mulai melayang!

Tentu saja dongeng ini berlebihan, namun benda itu sudah jelas merupakan mustika yang langka dan banyak khasiatnya, karena telah diperebutkan oleh seluruh datuk dan tokoh besar di dunia kang-ouw. Demikian cerita gurunya yang tidak ikut memperebutkan. Bahkan menurut gurunya, benda itu dicari pula oleh kaisar yang mengutus pasukan dan para jagoan istana untuk mendapatkannya!

"Engkau sudah tahu akan mustika itu?" Hui Hong mulai kagum kepada pemuda ini yang biarpun di dunia kang-ouw tidak mempunyai nama dan sama sekali tidak terkenal, namun agaknya mengenal orang orang kang-ouw dan tahu akan peristiwa penting di dunia kang-ouw.

"Bukankah akar bunga gurun pasir yang pernah diperebutkan oleh semua tokoh kang-onw, bahkan juga dicari oleh kaisar? Yang kabarnya mempunyai khasiat yang luar biasa?"

Gadis itu mengangguk-angguk. "Memang benar apa yang kau dengar itu, dan karena satu di antara khasiatnya adalah bahwa akar bunga itu dapat menjadi obat panjang umur, maka Kaisar Cang Bu dari Dinasti Liu-sung di Nan-king maupun Kaisar Wei Ta Ong dari Dinasti Wei di Lok-yang seperti berlomba untuk mendapatkannya. Akan tetapi, benda mustika itu tadinya berada di tangan ayah sejak dahulu dan menjadi hak milik kami. Karena itu, bagaimanapun juga, aku harus merampasnya kembali."

"Hong-moi, urusan ini ternyata banyak kaitannya. Urusanmu dan urusanku memang berbeda, juga berbeda pula dengan tugas Souw Ciang-kun, akan tetapi ketiganya kait mengait. Engkau mencari Pek I Mo-ko yang menjadi kaki tangan kepala daerah Cun Tai-jin. Souw Ciang-kun harus membasmi usaha pemberontakan Cun Tai-jin, sedangkan aku harus menyelamatkan Cia Ling Ay yang tidak berdosa itu sebelum keluarga Cun dibasmi. Oleh karena itu, aku mengharapkan persetujuanmu agar aku lebih dulu berusaha supaya Ling Ay dapat keluar dulu dari dalam rumah keluanga Cun, baru kita turun tangan melakukan penyelidikan mencari Pek I Mo-ko. Bagaimana pendapatmu, setujukah engkau, Hong-moi?"

Gadis itu mengangguk lagi. "Terserah kepadamu karena engkau yang lebih tahu akan urusannya. Bagiku yang penting hanyalah bertemu dengan Pek I Mo-ko dan minta kembali akar bunga itu."

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan, Hong-moi. Kita pergi mengunjungi rumah paman Cia Kun Ti."

"Nanti dulu, toako. Ada satu hal yang ingin kuketahui walaupun hal itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, hanya aku ingin tahu sekali. Apakah... engkau masih mencinta bekas tunanganmu yang telah menjadi Isteri putera kepala daerah itu?"

Bun Houw terkejut mendengar pertanyaan itu. Betapa terbuka dan beraninya gadis ini pertanyaan yang begitu pribadi sifatnya. Akan tetapi dia segera teringat dengan siapa dia berhadapan. Puteri Bu-eng-kiam, seorang "datuk" persilatan aneh dari Lembah Bukit Siluman yang ditakuti orang. Tentu saja puteri seorang datuk seperti itu juga bukan seorang gadis biasa, tentu mempunyai watak yang aneh pula.

Bun Houw menarik napas panjang lalu menggeleng kepalanya. "Hong-moi, engkau kira aku ini laki-laki macam apa? Antara aku dan Cia Ling Ay sudah tidak ada bubungan apapun, baik lahir maupun batin. Dahulu, kami memang ditunangkan oleh orang tua kami, akan tetapi sejak pertunangan itu diputuskan oleh pihak keluarga Cia, aku sudah menganggap ia bukan apa-apa lagi, tidak ada hubungan apapun. Kalau sekarang ia telah menjadi isteri orang, apalagi. Andaikata ia hidup berbahagia, aku hanya akan ikut merasa bersyukur. Bahkan sekarangpun, kalau aku tidak mengingat akan kebaikan paman Cia Kun Ti, bekas sababat mendiang ayahku, kiranya akupun tidak akan berani mencampuri urusan Cia Ling Ay walaupun keluarga suaminya terancam bahaya. Namun, ia telah begitu baik sikapnya. mau menyembahyangi kuburan orang tuaku, apakah sekarang melihat ia terancam bahaya hebat, aku harus tinggal diam saja? Tidak, Hong-moi, bukan karena cinta kalau aku sekarang berniat untuk menyelamatkannya.”

Hui Hong tersenyum dan senyumnya kini bukan senyum mengandung ejekan lagi, "Aku percaya padamu, toako. Oya, ada sebuah pertanyaan lagi."

"Apa itu? Tanyakanlah, aku tidak pernah menyimpan rahasia,” jawab Bun Houw untuk menyindir gadis itu yang sebaliknya diliputi banyak rahasia.

"Aku kagum melihat ilmu tongkatmu. Tongkatmu itu nampak butut, akan tetapi bagaimana dapat menyambut senjata tajam lawan demikian kuatnya ? Tentu di dalamnya dilapisi baja yang kuat, ya ?”

Bun Houw tersenyum, kagum akan ketajaman mata dan kecerdikan gadis itu. "Engkau benar, Hong-moi. Memang tongkat ini hanya merupakan selubung saja, kalau diselubungi dapat kumainkan sebagai tongkat, dan kalau perlu, dapat dirobah menjadi pedang. Seperti ini!”

Dia menggerakkan tongkatnya, mencabut dan nampaklah sinar terang seperti kilat menyambar dan otomatis gadis itu meloncat ke belakang dengan kaget dan siap menjaga diri. Akan tetapi, Bun Houw hanya memegang pedang itu di depan dada dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang tongkat butut yang berfungsi pula sebagai sarung-pedang itu.

"Lui-kong-kiam...!" seru Hui Hong sambil membelalakkan mata dengan kagum. "Benarkah itu yang disebut Pedang Kilat?"

Dengan gerakan yang amat cepat, pedang itu berkelebat dan telah menyusup kembali ke dalam tongkat butut. Kini Bun Houw yang memandang kagum. "Agaknya engkau adalah seorang yang telah berpengalaman dan berpengetahuan luas. Hong-moi. Sekali pandang saja engkau mengenal Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)."

"Siapapun akan dapat mengenalnya kalan melihat sinarnya tadi, toako. Aku belum pernah melihatnya, akan tetapi pernah mendengar dari ayah tentang Lui-kong-kiam. Kabarnya, puluhan tahun yang lalu Pedang Kilat itu lenyap dari gedung pusaka di istana, dan bahkan dicari dan dijadikan rebutan oleh orang-orang di dunia kang-onw. Sungguh mengherankan bagaimana kini tahu-tahu telah berada di tanganmu, toako,"

"Aku menerimanya dari guruku, Hong-moi,” kata Bun Houw singkat untuk menghilangkan dugaan orang bahwa dia ikut pula memperebutkan pedang pusaka itu.

"Ah...? Kalau begitu gurumu tentu seorang tokoh besar yang hebat, Houw-ko! Kalau sampai dia dapat mencurinya dari gudang pusaka Istana, dan mempertahankannya terhadap incaran orang-orang dunia kang-ouw, tentu dia hebat. Siapakah gurumu yang sakti itu toako?"

Bun Houw menghela napas panjang. "Maafkan aku, Hong-moi. Aku harus mentaati perintah guruku, yaitu bahwa beliau tidak mau kalau kusebut namanya. Aku tidak berani melanggarnya."

Gadis itu mengangguk-angguk. "Hebat! Dia guru yang hebat, dan engkau murid yang hebat dan berbakti. Tidak apa, kalau sekali ayahku melihat gerakan silatmu, dia pasti akan tahu siapa gurumu. Sudahlah, Houw-ko, mari kita melanjutkan perjalanan."

Ketika Cia Kun Ti yang masih tetap memiliki toko cita itu melihat kunjungan Bun Houw bersama seorang gadis yang cantik dan bersikap gagah, dia menyambut dengan ramah dan segera mempersilakan mereka masuk ke dalam. Dia menyerahkan penjagaan tokonya kepada pembantu dan dia juga ikut masuk, mengajak dua orang itu bicara di ruangan belakang.

"Ada berita penting apakah. Bun Houw? Begitu engkau datang, aku merasa bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat. Dan siapakah nona yang gagah ini?"

"Ini adalah Nona Ouwyang Hui Hong, seorang pendekar wanita yang bersama dengan saya hendak menghadapi para penjahat yang mengacau keamanan di Nan-ping ini, paman. Hong-moi, inilah Paman Cia Kun Ti seperti yang pernah kuceritakan kepadamu."

Dengan sikap tenang dan gagah Hui Hong bangkit dan memberi hormat, dibalas oleh tuan rumah yang mempersilakan ia duduk kembali.

"Bun Houw, apakah yang telah terjadi? Hatiku dalam beberapa hari ini sungguh merasa tidak enak sekali semenjak kemunculanmu."

"Banyak hal terjadi, paman, di antaranya adalah usaha para penjahat itu untuk membunuh Souw Ciangkun."

"Ahhh...!”

"Akan tetapi berkat kelihaian nona Ouwyang ini, dan kebetulan saya dapat membantu pula, usaha pembunuhan itu dapat digagalkan?”

"Dan penjahatnya adalah kaki tangan... kepala daerah?"

Bun Houw mengangguk. "Paman Cia Kun Ti, tidak perlu dirahasiakan lagi bahwa Kepala Daerah Cun memelihara banyak sekali penjahat-penjahat yang berbahaya. Banyak pembunuhan yang terjadi itu dilakukan olek anak buahnya. Hal ini sudah diketahui pula oleh Souw Ciangkun dan dia akan melakukan tindakan, karena ada gejala bahwa Kepala Daerah Cun mempunyai niat buruk, yaitu pemberontakan atau setidaknya akan merebut kekuasaan di daerah ini, membunuh semua orang yang menentangnya. Oleh karena itu paman, saya datang ini untuk minta kepadamu agar paman cepat-cepat hari ini juga mengajak adik Cia Ling Ay untuk pulang ke sini atau menyingkir dari rumah keluar Cun yang akan diserbu. Kasihan puterimu, paman, jangan sampai ia menjadi korban pula dari kejahatan keluarga Cun."

Wajah Cia Kun Ti berubah agak pucat. Dia amat mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Bahkan juga isterinya berada di rumah keluarga Cun. "Baik, sekarang juga aku akan pergi ke sana dan akan kuusahakan dengan segala cara untuk mengajak anak isteriku keluar dari rumah itu." katanya. "Sebaiknya kalau kalian menunggu dulu di rumahku ini agar kalian melihat kalau aku sudah berhasil membawa anak Isteriku keluar, baru kalian bengerak."

Karena memang lebih baik kalau mereka tidak memperlihatkan dulu di tempat umum agar tidak dikenal para penjahat, Bun Houw setuju dan dia bersama Hui Hong menunggu di ruangan belakang itu sambil bercakap-cakap.

********************

Serial Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

“Nyonya besar, di luar ada tuan besar Cia ingin bertemu dengan nyonya besar." kata pelayan itu.

Setiap kali mendengar dirinya disebut "nyonya besar Cia", Isteri Cia Kua Ti merasa kepalanya membengkak dan dadanya menggembung. Sebagai besan keluarga Cun, di rumah gedung yang serba mewah ini ia diperlakukan dengan sikap amat menghormat, bahkan menjilat oleh para pelayan! Betapa bangga dan senangnya hatinya melihat segala penghormatan yang diberikan kepadanya itu.

Sejak kecil kita dididik oleh peradaban dan kebudayaan kita untuk mengejar nilai-nilai dan kehormatan. Tidaklah mengherankan setelah dewasa, kita tetap saja mendewa-dewakan nilai-nilai diri dan kahormatan diri sehingga kita menjadi manusia yang gila hormat. Betapa senangnya hati ini kalau ada orang bersikap hormat kepada kita!

Betapa sakitnya hati ini kalau orang lalu memandang rendah kepada kita. Si AKU dalam diri ini telah membentuk gambaran diri sendiri sedemikian hebatnya, sedemikian tingginya sehingga senanglah kalau disanjung dan dihormati orang lain. Saking gila hormat, kita sampai menjadi buta dan tidak tahu bahwa semua nilai itu hanya pulasan belaka, semua kehormatan itu hanya palsu dan semu belaka. Bukan lagi kita sebagai manusianya yang dihormati orang, melainkan apa yang menempel kepada kita, apakah itu harta, kedudukan, kepandaian dan sebagainya.

Oleh karena itu, sekali segala yang menempel pada kita itu berubah, maka sikap terhadap diri kitapun berubah dan barulah kita sadar akan kepalsuan segala nilai dan kehormatan yang nampak pada sikap manusia. Hartawan yang tadinya dihormati akan direndahkan kalau dia jatuh miskin. Pejabat berkedudukan tinggi yang tadinya disanjung dan dipuji akan dicela dan dimaki kalau dia jatuh dari kedudukannya dan selanjutnya. Maka, seorang bijaksana tidak akan sakit hati kalau dicela dan tidak akan besar kepala dan mabuk kalan disanjung.

Sebaliknya, diapun tidak suka mencela maupun menyanjung orang karena kedudukan orang itu. Kalau seorang bijaksana menghormati seseorang, yang dihormati adalah manusianya, bulan pakaiannya, bukan kekayaannya, bukan kedudukannya atau kepintarannya. Dan normal antar manusia macam ini adalah sikap yang timbul karena adanya cinta kasih di antara manusia.


Kisah Si Pedang Kilat Jilid 05

Kisah Si Pedang Kilat Jilid 05

SETELAH Isterinya masuk, Souw Ciangkun lalu bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang muda itu. "Pertama-tama, aku mengucapkan terima kasih kepada ji-wi (kalian berdua) yang telah menyelamatkan kami dari sergapan gerombolan penjahat."

Bun Houw segera bangkit berdiri pula dan membalas penghormatan itu sambil berkata. "Tidak perlu berterima kasih, ciangkun. Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menentang orang jahat."

Gadis itupun tidak mau kalah. Ia membalas penghormatan perwira itu dan berkata, "Sebagai seorang pendekar, aku selalu akan membela yang benar dan membinasakan yang jahat. Tidak perlu berterima kasih, Souw Ciangkun!”

Bun Houw memandang kepadanya dan kebetulan gadis itupun melirik sehingga kembali pandang mata mereka bertemu dalam suasana seperti dua orang bersaing!

"Silakan ji-wi duduk," kata pembesar militer itu. "Setelah mengucapkan terima kasih, aku ingin sekali mengetahui bagaimana ji-wi dapat mencegah terjadinya kejahatan ini dan bagaimana dapat mengetahui bahwa mereka malam ini menyergap kami yang sedang berlibur di sini. Mari kita mulai dari keteranganmu. taihiap "

Bun Houw melirik ke arah gadis itu yang memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik sehingga dia merasa seolah-olah dia sedang diperiksa sebagai seorang pesakitan di depan seorang hakim! Sinar mata gadis itu seolah-olah mengandung suatu ketidak percayaan atau kecurigaan terhadap dirinya. Dia menarik napas panjang dan menekan perasaannya yang sebenarnya sedang gelisah. Dia sejak tadi teringat akan Cia Ling Ay dan hatinya gelisah bukan main, penuh kekhawatiran terhadap wanita yang pernah menjadi tunangannya itu.

Jelas bahwa keluarga Cia akan tersangkut dalam urusan ini, karena menurut penuturan paman Cia Kun Ti, keadaan Cun Tai-jin amat mencurigakan. Kalau sumpai kemudian ternyata bahwa keluarga Cun mempergunakan orang-orang dari dunia hitam untuk melakukan kejahatan, tentu diri Ling Ay sebagai mantu pembesar itu akan terlibat, dan tentu ayah bundanya pula! Tentu saja hatinya gelisah sekali memikirkan Ling Ay dan ayahnya.

"Nama saya Kwa Bun Houw. Kalau ciang-kun sudah sejak enam tahun yang lalu tinggal di Nan-ping, tentu mengenal keluarga mendiang ayahku. Dahulu ayah dikenal di kota ini sebagai Kwa-enghiong. Akan tetapi enam tahun yang lalu, ayah dan ibu tewas di tangan gerombolan penjahat. Saya sendiri nyaris tewas kalau tidak tertolong seorang pendekar sakti. Saya lalu mempelajari dan memperdalam ilmu silat dan baru beberapa hari ini, pada hari raya Ceng beng, saya berkunjung ke makam orang tua saya. Karena itu saya kebetulan berada di Nan-ping. Kebetulan saja saya bentrok dengan kaki tangan penjahat dan saya melakukan penyelidikan di sarang mereka. Dari penyelidikan itulah saya mendengar akan rencana mereka untuk membunuh keluarga ciangkun di sini. maka saya membayangi mereka dan bisa sampai ke sini."

"Kwa-tai-hiap (pendekar besar Kwa), di manakah sarang mereka itu?" Souw ciangkun bertanya.

Kembali Bun Houw merasa betapa jantungnya berdebar tegang, penuh kekhawatiran terhadap diri Ling Ay. Dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Ling Ay dari bencana, apapun yang terjadi. Dia tahu bahwa Ling Ay menjadi mantu kepala daerah Cun karena terpaksa, dipaksa ibunya sedangkan ayahnya terlalu lemah menghadapi ibunya. Ling Ay menjadi korban kawin paksa.

Bukan kesalahan Ling Ay kalau ia menjadi mantu kepala daerah Cun yang ternyata merupakan seorang yang amat jahat, yang mempergunakan tokoh-tokoh sesat melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tentu ada niat jahat di balik semua itu. Dan sekarang, kalau sampai keluarga Cun disergap oleh Souw Ciangkun dan pasukannya, tentu Ling Ay akan terbawa-bawa, tersangkut, dan akan ditawan pula, atau mungkin juga akan tewas dalam penyerbuan itu! Tidak, dia harus mencegah terjadinya hal ini!

"Ciangkun, maafkan kalau saya tidak dapat mengatakan sekarang. Akan tetapi, kalau Ciangkun percaya kepada saya, maka biarlah saya yang akan menjadi petunjuk jalan, apa bila ciangkun hendak mengambil tindakan." Jawabnya.

"Hemmm, aneh sekali! Kenapa tidak langsung saja melaporkan kepada Souw Ciangkun di mana letak sarang penjahat itu? Mengapa engkau seperti hendak menyembunyikan tempat itu? Apakah engkau ingin melindungi para penjahat itu!”

"Itu adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain." kata Bun Houw, panas juga perutnya didesak dan dituduh seperti itu.

Souw Ciangkun merasa heran mengapa dua orang pendekar yang agaknya baru sekarang saling bertemu itu, dan yang keduanya telah berjasa menolongnya dari ancaman penjahat, kini agaknya saling bersikap tidak manis, terutama sekali pendekar wanita itu.

"Tentang mengambil tindakan itu akan kami pertimbangkan setelah kami mendengar keterangan ji-wi. Sekarang harap li-hiap suka menerangkan apa yang li-hiap ketahui dan bagaimana li-hiap dapat pula datang ke sini untuk menyelamatkan kami."

"Aku datang ke Nan-ping untuk urusan pribadi," kata gadis itu sambil mengerling ke arah Bun Houw, seolah hendak memperlihatkan bahwa iapun tidak mau kalah dan iapun mempunyai "urusan pribadi"! "Namaku Ouwyang Hui Hong dan aku memang hendak mencari seorang yang bernama Ciong Kui Le, berjuluk Pek I Mo-ko untuk urusan pribadi itu. Jejaknya menuju ke Nan-ping dan akhirnya aku mendengar bahwa dia memang berada di kota ini. Malam tadi aku melakukan penyelidikan dan aku melihat rombongan orang-orang yang mencurigakan tadi. Aku membayangi mereka dan dari percakapan mereka di perjalanan, tahulah aku bahwa mereka bermaksud untuk membunuh Souw Ciangkun. Maka, setelah tiba di sini aku segera turun tangan."

"Dan tahukah engkau di mana sarang para penjahat itu, li-hiap!” tanya perwira itu.

Gadis itu melirik ke arah Bun Houw. "Aku tahu, ciangkun. Kalau ciangkun hendak menggerakkan pasukan menyerbu, biarlah aku yang menjadi penunjuk jalan. Biarpun belum yakin benar, aku menduga bahwa tentu ada hubungan antara gerombolan penjahat tadi dengan Pek I Mo-ko yang kucari-cari."

"Teutu saja ada hubungan!” kata Bun Houw, suaranya juga tidak ramah karena sikap gadis itu seolah-olah memusuhi atau menyainginya. "Pek I Mo-ko adalah pemimpin mereka! Yang hendak membunuh Souw Ciangkun tadi adalah Bu-tek Kiam-mo, dan lima orang yang memimpin para gerombolan di luar tadi berjuluk Ngo kwi.”

Gadis itu segera berubah sikapnya. Kalau tadi ketus dan dingin, kini ia memandang kepada Bun Houw dengan wajah berseri dan suaranya sama sekali kehilangan dingin dan ketusnya ketika ia bertanya, "Benarkah itu? Yakin benarkah engkau bahwa pemimpin mereka adalah Pek I Mo-ko?"

Diam-diam Bun Houw merasa heran bukan main dan kembali lagi kekagumannya. Gadis ini dapat berubah seperti angin, sebentar murung sebentar gembira, sebentar dingin sebentar panas. Diapun yang memiliki watak dasar lembut dan ramah, tidak dapat mempertahankan sikapnya yang tadi pura-pura acuh dan dingin.

"Tentu saja aku yakin. Ketika mereka mengadakan rapat, aku melakukan pengintaian dan aku melihat sendiri Pek I Mo-ko..."

"Coba kau gambarkan bagaimana orangnya, kalau memang benar engkau telah melihatnya. Bagaimana wajahnya, bagaimaua penampilannya, dan berapa usianya. Aku ingin pasti, bahwa memang benar dia Pek I Mo-ko!" Gadis itu kini bicara penuh gairah, penuh keinginan tahu dan sama sekali tidak mengandung nada tidak percaya lagi.

aka Bun Houw terseuyum. Dia merasa seperti menghadapi seorang kanak-kanak nakal dan manja. "Usianya sukar ditaksir, mungkin sudah enam puluh tahun mungkin juga baru empat puluh tahun. Wajahnya dan tubuhnya masih nampak muda, wajahnya belum berkeriput dan tubuhnya masih tegap, akan tetapi rambutnya sudah penuh uban. Pakaiannya serba putih dengan sabuk biru dan pita rambutnya dari sutera biru pula. Wajahnya bulat, dengan sepasang mata yang mencorong, suaranya lembut namun nadanya ketus. Oya, kalau aku tidak salah lihat, ada setitik tahi lalat di dagunya..."

"Ah, benar itu dia Pek I Mo-ko, si keparat!” gadis itu berseru penuh semangat dan kegembiraan. "Akhirnya dapat juga engkau olehku, jauh-jauh kukejar dari Lembah Bukit Siluman!” Lalu ia menoleh kepada perwira tinggi itu dan berkata, "Souw Ciangkun, maafkan aku. Hendaknya jangan ciangkun tergesa menyerbu ke sana, karena tentu Pek I Mo-ko itu akan sempat melarikan diri! Biar aku lebih dahulu menyelidiki ke sana besok, dan kalau pasukan ciangkun menyergap, aku akan dapat menjaga agar Pek I Mo-ko tidak sempat melarikan diri!”

Mendengar usul ini, Bun Houw melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Ling Ay, "Usul nona Ouwyang ini tepat, ciangkun," dia cepat menambahkan, "kalau ciangkun tengesa-gesa, berarti akan mengejutkan ular dalam rumput dan mereka itu mendapat kesempatan uatuk melarikan diri. Dan serbuan itu tentu menggegerkan karena menyangkut orang yang berkedudukan tinggi."

Souw Ciangkun mengerutkan alisnya dan nampak terkejut. "Ah, jadi benarkan dia tersangkut! Memang sudah ada kecurigaan dalam hatiku. Mati-matian dia mencoba untuk mempengaruhiku, membujuk dan mencoba untuk menguasai dengan sogokan, Aih, benarkah! Sudah ada buktinya, tai-hiap? Perkara ini sama sekali tidak boleh main-main!”

"Saya sudah yakin, dan sudah saya saksikan sendiri!” kata pula Bun Houw.

"Akan tetapi, kalau aku tidak segera turun tangan, mereka tentu mendapat kesempatan untuk menghilangkan semua jejak, bahkan mungkin melarikan diri, atau bengerak lebih dahulu. Tentu kegagalan membunuhku tadi membuat mereka berhati-hati dan khawatir."

"Jangan khawatir, ciangkun. Mereka tadi semua mengenakan topeng dan mereka tentu merasa yakin bahwa wajah mereka tidak dikenal. Apalagi kalau malam ini tidak ada gerakan dari ciangkun, tentu mereka merasa lega dan menduga bahwa ciangkun tidak tahu siapa gerombalan yang mencoba untuk membunuh ciangkun. Biarlah nona Ouwyang dan saya akan lebih dahulu melakukan penyelidikan, setelah itu baru kami memberi tanda dan ciangkun menggerakkan pasukan untuk menyergap dan menangkap semua penjahat.”

Tentu saja Souw Ciangkun menyetujui karena bagaimanapun juga, dua orang ini sudah berjasa besar dan dia memang mengharapkan pula bantuan mereka untuk membasmi para penjahat yang lihai itu.

"Nona, engkau tentu tidak berkeberatan untuk melakukan penyelidikan bersamaku, bukan?" Bun Houw bertanya ramah.

Gadis itu menggeleng kepala. "Tentu saja tidak, bahkan sebaiknya kalau kita bekerja sama. Tak kusangka bahwa Pek I Mo-ko memimpin gerombolan penjahat yang mempunyai banyak anak buah yang pandai."

"Kalau begitu, mari kita berangkat."

Keduanya lalu berpamit meninggalkan gedung Souw Ciangkun. Ketika tiba di luar, mereka melihat sedikitnya lima puluh orang perajurit yang baru tiba. Mereka adalah pasukan bantuan dari benteng yang datang atas laporan kepala pengawal. Legalah hati mereka karena dengan adanya penjagaan yang kuat, malam ini mereka tidak perlu mengkawatirkan keselamatan perwira tinggi itu.

Mereka berdua membeli sarapan di warung bubur ayam tanpa bicara. Kemudian mereka meninggalkan warung bubur ayam dan pagi itu jalan sudah mulai ramai dengan orang-orang yang mulai bekerja. Bun Houw dan Hui Hong bercakap-cakap di sudut kota yang sunyi.

"Mengapa kita berhenti di sini?" Hui Hong menegur. "Aku ingin kita segera mendatangi sarang mereka, karena aku ingin segera berhadapan dengan si jahanam Pek I Mo-ko!”

Melihat ketidak sabaran gadis itu, Bun Houw tersenyum. "Pek I Mo-ko bukan sendiri saja, nona. Selain teman-temannya banyak, juga dia berada dalam perlindungan kepala daerah Nan-ping ini. Kalau kita langsung mendatangi mereka, kita akan berhadapan dengan banyak kaki tangannya, juga dengan kepala daerah yang mempunyai banyak pengawal."

"Kepala daerah? Ihh, kenapa kepala daerah melindungi seorang jahat seperti Pek I Mo-ko dan bahkan mereka itu hampir saja membunuh Souw Ciangkun?" Gadis itu memandang heran.

"Itulah anehnya! Gerombolan penjahat itu adalah kaki tangan Cun Tai-jin, kepala daerah Nan-ping."

"Jadi kalau begitu... yang menyuruh bunuh Souw Ciangkun adalah kepala daerah sendiri? Aneh dan tak masuk akal!"

Bun Houw mengangguk-angguk. Memang kelihatan aneh dan tak masuk akal, karena itu kita perlu menyelidiki. Bukan hanya Souw Ciangkun hendak dibunuh, akan tetapi bahkan banyak sudah pejabat yang telah dibunuh secara rahasia. Ini hanya berarti bahwa ada rahasia tersembunyi di balik kedudukan kepala daerah. Dan menaruh perkiraanku, tentu dia membunuhi pejabat yang menolak ajakannya untuk bersekutu!”

"Bersekutu? Untuk apa?"

"Kalau seorang kepala daerah mengadakan persekutuan, untuk apalagi kalau tidak dengan maksud untuk memberontak terhadap pemerintah?"

"Ihhh!” Gadis itu berseru kaget, "Aku tidak mau mencampuri urusan pemberontakan, aku hanya ingin bertemu Pek I Mo-ko untuk urusan pribadi!”

"Kebetulan sekali akupun mempunyai urusan pribadi dengan keluarga kepala daerah Nan-ping."

"Engkau sungguh mencurigakan! Engkau sendiri mengatakan bahwa kepala daerah Nan-ping mempengunakan orang-orang jahat sebagai kaki tangannya, bahkan dia yang menyuruh para gerombolan penjahat itu untuk membunuhi banyak pejabat, bahkan mencoba membunuh Souw Ciangkun. Dan engkau mempunyai urusan pribadi dengan keluarganya?”

"Urusan pribadiku ini bukan untuk bekerja sama dengan keluarga kepala daerah Cun, melainkan... aku akan melakukan sesuatu yang tentu akan membuat mereka marah sekali. Bukan bekerja sama dengan mereka, melainkan menentang..." Tentu saja sukar bagi Bun Houw untuk menjelaskan karena rencananya itu mengenai diri Ling Ay. Hal itu agaknya membikin Hui Hong menjadi tidak sabar lagi.

"Hemm, kalau engkau mengajak aku bekerja sama menentang mereka, mengapa engkau masih menyembunyikan dan merahasiakan urusan pribadimu itu? Bagaimana kita akan dapat bekerja sama kalau kita tidak saling mengenal dan mengetahui urusan masing-masing? Sudahlah, kalau engkau tidak mau memberi penjelasan, lebih baik kita bekerja sendiri-sendiri saja!" Gadis itu hendak melangkah pergi.

"Eh, nanti dulu, nona!” Bun Houw cepat meloncat ke depan gadis yang kelihatan marah itu, dan dia mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan. "Maafkan aku, nona. Bukan maksudku untuk menyembunyikan urusan atau tidak percaya kepadamu. Memang engkau benar, sebaiknya kalau kita saling menceritakan keadaan dan urusan pribadi agar kita dapat bekerja sama dengan baik."

"Hemm, baru menyadari, ya? Akan tetapi aku tidak akan menceritakan keadaan diriku kepadamu,” katanya dengan sikap masih marah.

Bun Houw tersenyum, "Tidak kau ceritakan juga tidak mengapa, karena aku sudah dapat menduga siapa adanya engkau, nona."

Gadis itu menatap wajah Bun Houw dengan pandang mata tajam penuh selidik. "Aku tidak percaya, engkau membual saja!”

"Nona, bukankah engkau ini puteri dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, lo-cian-pwe (orang tua gagah perkasa) yang amat terkenal itu?"

Sepasang mata yang indah jelita itu terbelalak. "Eh? Bagaimana engkau bisa tahu?"

Bun Houw tersenyum. Gurunya, Si Buta Sakti Tiauw Sun Ong, pernah bercerita tentang para datuk atau tokoh besar dunia persilatan kepadanya dan di antara para datuk besar yang terkenal adalah Bu-eng-kiam Ouwyang sek, majikan Lembah Bukit Siluman.

"Mudah saja. Engkau she (nama keturunan) Ouwyang, dan tadi menyebut Lembah Bukit Siluman. Siapalagi ayahmu kalau bukan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman? Ilmu silatmu demikian tinggi, maka mudahlah menduganya."

Hui Hong mengangguk. "Pantas! Anak kecilpun bisa menduga kalau begitu. Memang aku puteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Nah, sekarang ceritakan apa urusan pribadimu dengan keluarga kepala daerah Cun itu, baru nanti kuceritakan mengapa aku mencari Pek I Mo-ko. Engkau sudah mengetahui keluargaku, engkaupun sepantasnya menceritakan tentang keluargamu."

Bun Houw mengajaknya duduk di antas batu di tepi jalan yang sunyi di sudut kota itu. Dia menarik napas panjang, bersikap hati-hati karena apa yang hendak diceritakan tentang Ling Ay sungguh tidak enak bagi dirinya.

"Seperti telah kuperkenalkan diri kepada Souw Ciangkun, namaku Kwa Bun Houw dan ayahku tadinya tinggal di kota ini. Ayahku seorang pedagang cita, dan di samping berdagang, ayahku juga terkenal sebagai seorang yang suka menentang kejahatan dan di sini dikenal sebagai Kwa-eng-hiong."

"Hemm, katakan saja ayahmu seorang pendekar." Hui Hong memotong.

"Kalaupun belum pantas dinamakan pendekar, setidaknya ayah selalu menentang kejahatan dan membela mereka yang lemah tertindas. Karena itu dia dimusuhi banyak penjahat dan akhirnya ayah dan ibu tewas di tangan orang-orang jahat pula." Bun Houw lalu menceritakan peristiwa yang terjadi enam tahun yang lalu itu. Betapa ketika dia sedang tidak berada di rumah, ayahnya dibunuh gerombolan penjahat, dan ibunya juga dibunuh setelah diculik dan diperkosa di dalam hutan.

"Keparat jahanam!” Hui Hong bangkit dan mengepal tinju, mukanya merah dan matanya mencorong. "Siapakah para penjahat itu? Mengapa engkau tidak membalas dendam dan membasmi mereka? Sungguh keji dan jahat sekali perbuatan mereka terhadap ibumu!”

Bun Houw menatap wajah itu sejenak dengan penuh kagum. Sedang marahpun tetap manis! Dia menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya.

"Tidak, nona..."

"Namaku Hui Hong dan setelah kita akan bekerja sama, tidak perlu lagi nona-nonaan. Panggil saja namaku!” gadis itu memotong lagi dengan cepat.

"Baiklah, Hui Hong. Hemm, namamu indah sekali!"

"Tidak perlu memuji dan merayu! Katakan mengapa engkau mengatakan tidak! Apa kaumaksudkan engkau tidak mendendam?" tanyanya heran.

"Memang aku tidak menaruh dendam. Menurut pesan mendiang ayahku, juga menurut nasihat guruku, dendam merupakan racun bagi diri sendiri. Tidak, aku tidak mendendam kepada mereka. Ayahku memang seorang yang hidup dalam kekerasan, dia selalu menentang nara penjahat, maka tidak mengherankan kalau para penjahat membencinya. Aku tidak boleh mendendam.”

“Apa?” Mata itu terbelalak lagi membuat Bun Houw cepat menundukkan pandang matanya agar jangan beradu pandang. Terlalu indah mata itu kalau terbelalak. Dia khawatir kalau kekagumannya akan membayang di matanya.

“Kau maksudkan bahwa engkau akan membiarkan mereka mendapatkan korban wanita-wanita lain? Membiarkan mereka melakukan pembunuhan sewenang-wenang? Pendekar macam apa engkau ini? Ayahmu tentu malu, juga gurumu tentu kecewa!”

Bun Houw tersenyum. Makin suka dan kagum dia kepada gadis ini. Biarpun galak, namun gadis ini jujur dan terbuka, tidak berpura-pura. “Tentu saja aku selalu menentang kejahatan, non... eh, adik Hong. Aku akan membela yang benar dan menetang yang jahat. Akan tetapi kalau aku menentang para pembunuh ayah, hal itu kulakukan karena hendak menentang kejahatan mereka, bukan untuk membalas dendam atas kematian ayah dan ibuku.”

“Sudahlah, sesukamu! Engkau belum bercerita tentang urusan pribadimu dengan keluarga Cun, kepala daerah Nan-ping itu.”

Bagian inilah yang terasa sukar oleh Bun Houw untuk menceritakannya. Akan tetapi gadis ini demikian jujur terbuka, sungguh tidak adil dan tidak enak kalau dia tidak bersikap jujur pula. “Urusan pribadiku ini menyangkut diri seorang yang berada di dalam keluarga Cun itu, Hong-moi (adik Hong).”

Enak saja sebutan Hong-moi meluncur keluar dari mulutnya. Seolah-olah gadis itu telah menjadi seorang sahabat lamanya, dan gadis itupun menerima sebutan itu dengan sikap biasa saja. Memang sudah sewajarnya kalau pemuda itu menyebutnya adik, karena pemuda itu tentu beberapa tahun lebih tua darinya.

“Ada urusan apa engkau dengan seorang di antara keluarga Cun?”

“Sebelum Souw-ciangkun menyerbu dan menangkapi keluarga keluarga Cun, aku harus lebih dahulu membebaskan seorang anggauta keluarga agar jangan sampai ikut tertangkap, karena ia sama sekali tidak berdosa bahkan ia terpaksa saja menjadi anggauta keluarga Cun.”

“Hemm, siapakah orang itu? Dan mengapa terpaksa menjadi anggauta keluarga Cun?” tanyanya pula Hui Hong, tertarik.

"Ia adalah mantu perempuan kepala daerah Cun.”

Kembali mata yang indah itu bengerak melebar dan pandang mata itu menatap wajah Bun Houw penih selidik. "Houw-ko (kakak Houw), enak pula sebutan ini meluncur dari mulutnya, seperti dengan sendirinya, “Siapakah mantu perempuan kepala daerah itu?"

"Namanya Cia Ling Ay...”

"Maksudku, apamukah wanita itu ? Masih keluargamukah?”

Bun Houw menggeleng kepala dan menelan ludah. Dia tiba di bagian paling sulit untuk diceritakan, "Ia... ia adalah bekas tunanganku."

"Ahhh...?” Kini sepasang mata itu menyipit namun dari balik bulu mata yang lentik itu mengintai sepasang mata yang amat tajam pandangannya, bersinar dan penuh selidik. Sepasang alis itu berkerut. "Hemmm ..., hemm ... bekas tunangan yang kini telah menjadi isteri putera kepala daerah Nan-ping! Dan engkau menghendaki agar wanita bekas tunanganmu itu tidak sampai ikut terlibat kalau keluarga Cun ditangkap? Hemmmm, bagus...! Agaknya engkau masih... eh, masih teringat terus kepada bekas tunanganmu itu, eh, Houw-ko? Tentu ia amat cantik maka sampai menjadi isteri orang lainpun engkau masih saja memperhatikannya!”

"Bukan begitu, Hong-moi! Harap jangan salah sangka. Aku bukan orang yang sebodoh dan sejahat itu, masih memikirkan bekas tunangan yang telah menjadi isteri orang lain! Sama sekali tidak. Kalau aku menghendaki agar ia tidak ikut ditangkap adalah karena ia sama sekali tidak berdosa, bahkan ia berada di dalam keluarga itu secara terpaksa. Ia dipaksa menjadi isteri putra Cun-taijin kepala daerah Nan-ping itu."

Dengan singkat Bun Houw lalu bercerita betapa dia dan Ling Ay telah ditunangkan sejak mereka masih kecil. Ketika dia berusia limabelas tahun, ayah Ibunya tewas oleh gerombolan penjahat dan tiba-tiba saja orang tua Ling Ay, terutama Ibunya, menyatakan bahwa ikatan jodoh antara mereka putus!

"Karena aku tidak mempunyai keluarga lagi, akupun pergi dari Nan-ping, dan ketika enam tahun kemudian aku kembali ke sini. Ling Ay telah menikah dengan putera Cun Tai-jin kepala daerah Nan-ping."

Mendengar semua keterangan itu, Hui Hong tersenyum mengejek, walaupun di sudut hatinya diam-diam ia merasa kasihan kepada pemuda ini dan merasa terharu akan nasibnya. "Dan bagaimana engkau tahu bahwa ia merasa terpaksa berada di sana? Siapa tahu ia telah menjadi seorang Isteri yang setia dan mencinta suaminya?"

"Aku... ketika hari Ceng beng aku bersembahyang di depan makam ayah Ibuku, aku telah bertemu dengannya. Ia menyembahyangi kuburan ayah ibuku dan kemudian aku bertemu dengan ayahnya. Dari ayahnyalah aku mendengar segalanya. Juga tentang Cun Tai-jin yang memelihara banyak tokoh sesat dan para penjahat."

"Hemm, terserah kepadamu kalau engkau menganggap amat penting untuk membebaskan dulu Ling Ay itu dari gedung Cun Tai-jin. Akan tetapi bagaimana caranya? Apakah engkan hendak memasuki gedung itu dan menculik isteri orang?”

Ucapan yang bernada mengejek ini menusuk perasaan Bun Houw, akan tetapi dia tidak membantah, maklum bahwa memang urusannya dengan Ling Ay itu dapat menimbulkan prasangka butuk bagi orang yang tidak mengetahui duduk perkara yang sebenarnya.

"Tidak, aku hanya akan memberitahu ayahnya agar dia yang mengusahakan kepergian wanita itu dari dalam gedung sebelum Souw-ciangkun menyerbu. Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan urusan pribadimu, tentu saja kalau engkau tidak berkeberatan, Hong-moi."

"Urusan pribadiku bukan menyangkut pribadiku sendiri, melainkan aku diutus oleh ayahku untuk mencari Pek I Mo-ko, merampas kembali sebuah benda mustika yang dicurinya dari ayahku. Kalau dia tidak mau menyerahkan kembali benda itu aku harus membunuhnya, karena benda itu sama sekali tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain!"

"Hemmm, cuma sekian itukah ceritamu tentang dirimu?"

"Ya, habis apalagi? Memang hanya itu urusanku dengan Pek I Mo-ko."

"Akan tetapi, ceritaku tadi amat panjang. Kalau boleh aku mengetahui, bagaimana benda mustika itu dapat dicuri Pek I Mo-ko?"

"Pek I Mo-ko pernah menjadi pembantu ayahku. Dia pandai memasak, pandai pula mengurus kebun. Belasan tahun dia ikut ayah, semenjak aku masih kecil, dan untuk membalas jasanya, ayahpun menurunkan ilmu kepadanya. Akan tetapi siapa sangka, manusia memang lebih jahat dari pada binatang, tidak mengenal budi. Pada suatu hari dia pergi dan melarikan benda mustika itu."

"Hong-moi, maukah engkau mengatakan kepadaku, apa sebenarnya benda mustika itu? Nampaknya amat penting bagi ayahmu."

"Benda mustika itu adalah akar bunga gurun pasir."

"Ahhhh...!” Bun Houw terkejut sekali. Pernah gurunya bercerita tentang benda mustika ajaib itu. Sebuah benda langka yang menurut dongeng merupakan tanaman ciptaan seorang manusia dewa di daerah Gurun Gobi di utara. Akar bunga gurun pasir itu kabarnya mempunyai khasiat yang luar biasa, sebagai obat kuat, sebagai penolak racun, sebagai obat yang seolah-olah dapat menarik kembali nyawa orang yang sudah mulai melayang!

Tentu saja dongeng ini berlebihan, namun benda itu sudah jelas merupakan mustika yang langka dan banyak khasiatnya, karena telah diperebutkan oleh seluruh datuk dan tokoh besar di dunia kang-ouw. Demikian cerita gurunya yang tidak ikut memperebutkan. Bahkan menurut gurunya, benda itu dicari pula oleh kaisar yang mengutus pasukan dan para jagoan istana untuk mendapatkannya!

"Engkau sudah tahu akan mustika itu?" Hui Hong mulai kagum kepada pemuda ini yang biarpun di dunia kang-ouw tidak mempunyai nama dan sama sekali tidak terkenal, namun agaknya mengenal orang orang kang-ouw dan tahu akan peristiwa penting di dunia kang-ouw.

"Bukankah akar bunga gurun pasir yang pernah diperebutkan oleh semua tokoh kang-onw, bahkan juga dicari oleh kaisar? Yang kabarnya mempunyai khasiat yang luar biasa?"

Gadis itu mengangguk-angguk. "Memang benar apa yang kau dengar itu, dan karena satu di antara khasiatnya adalah bahwa akar bunga itu dapat menjadi obat panjang umur, maka Kaisar Cang Bu dari Dinasti Liu-sung di Nan-king maupun Kaisar Wei Ta Ong dari Dinasti Wei di Lok-yang seperti berlomba untuk mendapatkannya. Akan tetapi, benda mustika itu tadinya berada di tangan ayah sejak dahulu dan menjadi hak milik kami. Karena itu, bagaimanapun juga, aku harus merampasnya kembali."

"Hong-moi, urusan ini ternyata banyak kaitannya. Urusanmu dan urusanku memang berbeda, juga berbeda pula dengan tugas Souw Ciang-kun, akan tetapi ketiganya kait mengait. Engkau mencari Pek I Mo-ko yang menjadi kaki tangan kepala daerah Cun Tai-jin. Souw Ciang-kun harus membasmi usaha pemberontakan Cun Tai-jin, sedangkan aku harus menyelamatkan Cia Ling Ay yang tidak berdosa itu sebelum keluarga Cun dibasmi. Oleh karena itu, aku mengharapkan persetujuanmu agar aku lebih dulu berusaha supaya Ling Ay dapat keluar dulu dari dalam rumah keluanga Cun, baru kita turun tangan melakukan penyelidikan mencari Pek I Mo-ko. Bagaimana pendapatmu, setujukah engkau, Hong-moi?"

Gadis itu mengangguk lagi. "Terserah kepadamu karena engkau yang lebih tahu akan urusannya. Bagiku yang penting hanyalah bertemu dengan Pek I Mo-ko dan minta kembali akar bunga itu."

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan, Hong-moi. Kita pergi mengunjungi rumah paman Cia Kun Ti."

"Nanti dulu, toako. Ada satu hal yang ingin kuketahui walaupun hal itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, hanya aku ingin tahu sekali. Apakah... engkau masih mencinta bekas tunanganmu yang telah menjadi Isteri putera kepala daerah itu?"

Bun Houw terkejut mendengar pertanyaan itu. Betapa terbuka dan beraninya gadis ini pertanyaan yang begitu pribadi sifatnya. Akan tetapi dia segera teringat dengan siapa dia berhadapan. Puteri Bu-eng-kiam, seorang "datuk" persilatan aneh dari Lembah Bukit Siluman yang ditakuti orang. Tentu saja puteri seorang datuk seperti itu juga bukan seorang gadis biasa, tentu mempunyai watak yang aneh pula.

Bun Houw menarik napas panjang lalu menggeleng kepalanya. "Hong-moi, engkau kira aku ini laki-laki macam apa? Antara aku dan Cia Ling Ay sudah tidak ada bubungan apapun, baik lahir maupun batin. Dahulu, kami memang ditunangkan oleh orang tua kami, akan tetapi sejak pertunangan itu diputuskan oleh pihak keluarga Cia, aku sudah menganggap ia bukan apa-apa lagi, tidak ada hubungan apapun. Kalau sekarang ia telah menjadi isteri orang, apalagi. Andaikata ia hidup berbahagia, aku hanya akan ikut merasa bersyukur. Bahkan sekarangpun, kalau aku tidak mengingat akan kebaikan paman Cia Kun Ti, bekas sababat mendiang ayahku, kiranya akupun tidak akan berani mencampuri urusan Cia Ling Ay walaupun keluarga suaminya terancam bahaya. Namun, ia telah begitu baik sikapnya. mau menyembahyangi kuburan orang tuaku, apakah sekarang melihat ia terancam bahaya hebat, aku harus tinggal diam saja? Tidak, Hong-moi, bukan karena cinta kalau aku sekarang berniat untuk menyelamatkannya.”

Hui Hong tersenyum dan senyumnya kini bukan senyum mengandung ejekan lagi, "Aku percaya padamu, toako. Oya, ada sebuah pertanyaan lagi."

"Apa itu? Tanyakanlah, aku tidak pernah menyimpan rahasia,” jawab Bun Houw untuk menyindir gadis itu yang sebaliknya diliputi banyak rahasia.

"Aku kagum melihat ilmu tongkatmu. Tongkatmu itu nampak butut, akan tetapi bagaimana dapat menyambut senjata tajam lawan demikian kuatnya ? Tentu di dalamnya dilapisi baja yang kuat, ya ?”

Bun Houw tersenyum, kagum akan ketajaman mata dan kecerdikan gadis itu. "Engkau benar, Hong-moi. Memang tongkat ini hanya merupakan selubung saja, kalau diselubungi dapat kumainkan sebagai tongkat, dan kalau perlu, dapat dirobah menjadi pedang. Seperti ini!”

Dia menggerakkan tongkatnya, mencabut dan nampaklah sinar terang seperti kilat menyambar dan otomatis gadis itu meloncat ke belakang dengan kaget dan siap menjaga diri. Akan tetapi, Bun Houw hanya memegang pedang itu di depan dada dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang tongkat butut yang berfungsi pula sebagai sarung-pedang itu.

"Lui-kong-kiam...!" seru Hui Hong sambil membelalakkan mata dengan kagum. "Benarkah itu yang disebut Pedang Kilat?"

Dengan gerakan yang amat cepat, pedang itu berkelebat dan telah menyusup kembali ke dalam tongkat butut. Kini Bun Houw yang memandang kagum. "Agaknya engkau adalah seorang yang telah berpengalaman dan berpengetahuan luas. Hong-moi. Sekali pandang saja engkau mengenal Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)."

"Siapapun akan dapat mengenalnya kalan melihat sinarnya tadi, toako. Aku belum pernah melihatnya, akan tetapi pernah mendengar dari ayah tentang Lui-kong-kiam. Kabarnya, puluhan tahun yang lalu Pedang Kilat itu lenyap dari gedung pusaka di istana, dan bahkan dicari dan dijadikan rebutan oleh orang-orang di dunia kang-onw. Sungguh mengherankan bagaimana kini tahu-tahu telah berada di tanganmu, toako,"

"Aku menerimanya dari guruku, Hong-moi,” kata Bun Houw singkat untuk menghilangkan dugaan orang bahwa dia ikut pula memperebutkan pedang pusaka itu.

"Ah...? Kalau begitu gurumu tentu seorang tokoh besar yang hebat, Houw-ko! Kalau sampai dia dapat mencurinya dari gudang pusaka Istana, dan mempertahankannya terhadap incaran orang-orang dunia kang-ouw, tentu dia hebat. Siapakah gurumu yang sakti itu toako?"

Bun Houw menghela napas panjang. "Maafkan aku, Hong-moi. Aku harus mentaati perintah guruku, yaitu bahwa beliau tidak mau kalau kusebut namanya. Aku tidak berani melanggarnya."

Gadis itu mengangguk-angguk. "Hebat! Dia guru yang hebat, dan engkau murid yang hebat dan berbakti. Tidak apa, kalau sekali ayahku melihat gerakan silatmu, dia pasti akan tahu siapa gurumu. Sudahlah, Houw-ko, mari kita melanjutkan perjalanan."

Ketika Cia Kun Ti yang masih tetap memiliki toko cita itu melihat kunjungan Bun Houw bersama seorang gadis yang cantik dan bersikap gagah, dia menyambut dengan ramah dan segera mempersilakan mereka masuk ke dalam. Dia menyerahkan penjagaan tokonya kepada pembantu dan dia juga ikut masuk, mengajak dua orang itu bicara di ruangan belakang.

"Ada berita penting apakah. Bun Houw? Begitu engkau datang, aku merasa bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat. Dan siapakah nona yang gagah ini?"

"Ini adalah Nona Ouwyang Hui Hong, seorang pendekar wanita yang bersama dengan saya hendak menghadapi para penjahat yang mengacau keamanan di Nan-ping ini, paman. Hong-moi, inilah Paman Cia Kun Ti seperti yang pernah kuceritakan kepadamu."

Dengan sikap tenang dan gagah Hui Hong bangkit dan memberi hormat, dibalas oleh tuan rumah yang mempersilakan ia duduk kembali.

"Bun Houw, apakah yang telah terjadi? Hatiku dalam beberapa hari ini sungguh merasa tidak enak sekali semenjak kemunculanmu."

"Banyak hal terjadi, paman, di antaranya adalah usaha para penjahat itu untuk membunuh Souw Ciangkun."

"Ahhh...!”

"Akan tetapi berkat kelihaian nona Ouwyang ini, dan kebetulan saya dapat membantu pula, usaha pembunuhan itu dapat digagalkan?”

"Dan penjahatnya adalah kaki tangan... kepala daerah?"

Bun Houw mengangguk. "Paman Cia Kun Ti, tidak perlu dirahasiakan lagi bahwa Kepala Daerah Cun memelihara banyak sekali penjahat-penjahat yang berbahaya. Banyak pembunuhan yang terjadi itu dilakukan olek anak buahnya. Hal ini sudah diketahui pula oleh Souw Ciangkun dan dia akan melakukan tindakan, karena ada gejala bahwa Kepala Daerah Cun mempunyai niat buruk, yaitu pemberontakan atau setidaknya akan merebut kekuasaan di daerah ini, membunuh semua orang yang menentangnya. Oleh karena itu paman, saya datang ini untuk minta kepadamu agar paman cepat-cepat hari ini juga mengajak adik Cia Ling Ay untuk pulang ke sini atau menyingkir dari rumah keluar Cun yang akan diserbu. Kasihan puterimu, paman, jangan sampai ia menjadi korban pula dari kejahatan keluarga Cun."

Wajah Cia Kun Ti berubah agak pucat. Dia amat mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Bahkan juga isterinya berada di rumah keluarga Cun. "Baik, sekarang juga aku akan pergi ke sana dan akan kuusahakan dengan segala cara untuk mengajak anak isteriku keluar dari rumah itu." katanya. "Sebaiknya kalau kalian menunggu dulu di rumahku ini agar kalian melihat kalau aku sudah berhasil membawa anak Isteriku keluar, baru kalian bengerak."

Karena memang lebih baik kalau mereka tidak memperlihatkan dulu di tempat umum agar tidak dikenal para penjahat, Bun Houw setuju dan dia bersama Hui Hong menunggu di ruangan belakang itu sambil bercakap-cakap.

********************

Serial Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

“Nyonya besar, di luar ada tuan besar Cia ingin bertemu dengan nyonya besar." kata pelayan itu.

Setiap kali mendengar dirinya disebut "nyonya besar Cia", Isteri Cia Kua Ti merasa kepalanya membengkak dan dadanya menggembung. Sebagai besan keluarga Cun, di rumah gedung yang serba mewah ini ia diperlakukan dengan sikap amat menghormat, bahkan menjilat oleh para pelayan! Betapa bangga dan senangnya hatinya melihat segala penghormatan yang diberikan kepadanya itu.

Sejak kecil kita dididik oleh peradaban dan kebudayaan kita untuk mengejar nilai-nilai dan kehormatan. Tidaklah mengherankan setelah dewasa, kita tetap saja mendewa-dewakan nilai-nilai diri dan kahormatan diri sehingga kita menjadi manusia yang gila hormat. Betapa senangnya hati ini kalau ada orang bersikap hormat kepada kita!

Betapa sakitnya hati ini kalau orang lalu memandang rendah kepada kita. Si AKU dalam diri ini telah membentuk gambaran diri sendiri sedemikian hebatnya, sedemikian tingginya sehingga senanglah kalau disanjung dan dihormati orang lain. Saking gila hormat, kita sampai menjadi buta dan tidak tahu bahwa semua nilai itu hanya pulasan belaka, semua kehormatan itu hanya palsu dan semu belaka. Bukan lagi kita sebagai manusianya yang dihormati orang, melainkan apa yang menempel kepada kita, apakah itu harta, kedudukan, kepandaian dan sebagainya.

Oleh karena itu, sekali segala yang menempel pada kita itu berubah, maka sikap terhadap diri kitapun berubah dan barulah kita sadar akan kepalsuan segala nilai dan kehormatan yang nampak pada sikap manusia. Hartawan yang tadinya dihormati akan direndahkan kalau dia jatuh miskin. Pejabat berkedudukan tinggi yang tadinya disanjung dan dipuji akan dicela dan dimaki kalau dia jatuh dari kedudukannya dan selanjutnya. Maka, seorang bijaksana tidak akan sakit hati kalau dicela dan tidak akan besar kepala dan mabuk kalan disanjung.

Sebaliknya, diapun tidak suka mencela maupun menyanjung orang karena kedudukan orang itu. Kalau seorang bijaksana menghormati seseorang, yang dihormati adalah manusianya, bulan pakaiannya, bukan kekayaannya, bukan kedudukannya atau kepintarannya. Dan normal antar manusia macam ini adalah sikap yang timbul karena adanya cinta kasih di antara manusia.