Kisah Si Pedang Kilat Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kisah Si Pedang Kilat Jilid 03

CIA LING AY atau Nyonya Cun Hok Seng yang sudah selesai bersembahyang di depan makam nenek moyang keluarga orang tuanya, tiba-tiba teringat akan kuburan Kwa Tin dan nyonya Kwa Tin, yaitu ayah dan Ibu Kwa Bun Houw. Ia merasa kasihan sekali kepada Bun Houw dan walaupun ia telah menjadi isteri orang lain, sering kali ia termenung membayangkan wajah bekas tunangan itu.

Kini, setelah selesai melakukan sembahyang kepada nenek moyang keluarganya, ia teringat kepada makam ayah dan ibu Kwa Bun Houw. Ia melihat suaminya sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang pria yang agaknya juga orang-orang berpangkat yang datang ke tanah kuburan dengan maksud yang sama, dan ayah ibunya juga sedang sibuk dengan peralatan sembahyangan.

Ia pun merasa iseng dan melangkahlah nyonya muda ini menuju ke makam ayah dan ibu bekas tunangannya itu yang letaknya tidak berapa jauh dari kuburan nenek moyang keluarga orang tuanya, ia membawa segenggam hio swa (dupa biting) yang sudah disulutnya dan dengan hati terharu ia melihat sepasang kuburan sederhana yang batu nisannya berlumut dan kotor, depan batu nisan ditumbuhi rumput tebal. Makam yang sama sekali tidak terawat.

Ling Ay segera menghampiri kedua makam yang berdampingan itu, lalu ia bersembahyang di depan keduanya, ia sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi sepasang mata memandangnya, sepasang mata yang mula-mula terbelalak lebar dan memandangnya dengan heran, akan tetepi kini sepasang mata itu berlinang air mata. Setelah bersembahyang sejenak, di dalam hatinya ia mohon ampun kepada bekas calon ayah dan ibu mertuanya itu karena kegagalan perjodohannya dengan putera mereka, Ling Ay menancapkan hio-swa di depan kedua makam. Akan tetapi, ia masih berdiri termenung di depan dua buah makam itu ketika pemilik mata yang sejak tadi mengikuti gerak-geriknya itu menghampirinya dari belakang.

"Maaf..." suara itu agak gemetar, "kenapa engkau bersembahyang di depan makam ayah ibuku...?"

Ling Ay mendengar ucapan itu, terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak memandang kepada pria muda yang berdiri di depannya. Keduanya saling berpandangan, Ling Ay terkejut akan tetapi juga ada perasaan gembira menyelinap di dalam hatinya, bercampur keharuan melihat betapa kedua mata pemuda itu basah.

"Houw-koko...!” Ling Ay berbisik, merasa seperti dalam mimpi setelah kini ia berdri berhadapan dengan orang yang selama ini seringkali muncul dalam mimpinya.

"Ay-moi, eh, maaf Nyonya... Cia Ling Ay,” Bun Houw pemuda itu tengagap. “Maaf, aku belum mengetahui nama suamimu..."

Ling Ay mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa biarpun ia selalu merasa rendah diri dalam keluarga suaminya, juga suaminya jelas bersikap agak tinggi hati dan memandang rendah kepadanya, namun suaminya kelihatan sayang kepadanya, iapun selama setahun ini sudah berusaha untuk bersikap manis kepada suaminya, melayaninya dengan usaha untuk menyenangkan hati suaminya.

Namun, harus diakuinya bahwa di lubuk hatinya, ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada suaminya! Dan sekarang, berhadapan kembali dengan Bun Houw, setelah perpisahan selama enam tahun, setelah ia menjadi seorang wanita dewasa dan Bun Houw juga menjadi seorang pria dewasa, baru ia merasa bahwa sesungguhnya ia mencinta bekas tunangannya ini! Dan kenyataan ini mendatangkan perasaan nyeri dalam hatinya, seolah-olah jantungnya tertusuk-tusuk dari dalam.

"Houw-ko... kau... kau sudah tahu...?" pertanyaan ini masih dilakukan dalam bisik-bisik sehingga ia khawatir pemuda itu tidak dapat mendengarnya. Ia tidak tahu bahwa kini pendengaran pemuda itu luar biasa ketajamannya. Bahkan suara-suara halus yang tidak mungkin dapat ditangkap oleh pendengaran orang biasa, dia mampu mendengarnya, maka tentu saja bisikan Ling Ay itu sudah cukup jelas baginya.

Bun Houw mengangguk dan dia meletakkan buntalan kain yang dibawanya ke atas tanah berumput, di depan makam ayah ibunya. "Sejak tadi aku sudah melihat engkau, ayah ibumu, dan... suamimu. Ah, benar, aku belum menghaturkan selamat kepadamu." Pemuda itu lalu bangkit lagi dan mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil berkata, "Kiong hi (selamat), engkau telah mendapatkan seorang suami yang tampan, berwibawa dan kaya raya. Agaknya dia seorang pembesar tinggi, bukan?”

Ada perasaan bangga menyelinap di hati Ling Ay, perasaan bangga yang diikuti perasaan nyeri dan juga iba kepada pemuda di depannya itu. Ia mengangguk dan berkata lirih, "Dia putera kepala daerah Cun di Nan-ping."

"Ah! Kiranya engkau menjadi mantu kepala daerah? Sungguh, aku harus menghaturkan selamat untuk kedua kalinya. Bun Houw mengeraskan hatinya yang tadi menjadi lemah dan terharu ketika bertemu dengan Ling Ay, dan dia berusaha untuk bersikap bijaksana. "Toanio, sungguh aku merasa ikut berbahagia melihat keadaanmu dan... terus terang saja, walaupun pertemuan ini menggembirakan hati, namun sebaiknya kalau toanio kembali ke sana, tidak baik dilihat orang kita bicara berdua saja di sini..."

"Tapi... tapi kita adalah sahabat lama...!” Ling Ay membantah dan pada saat itu terdengar seruan suara seorang wanita.

"Ling Ay...! Mau apa engkau berada di sini... “ Muncullah seorang wanita yang menurut penglihatan Bun Houw berpakaian terlalu menyolok, terlalu mewah sehingga hampir dia tidak mengenal lagi ibu Ling Ay atau Nyonya Cia Kun Ti! Akan tetapi ketika nyonya setengah tua itu menoleh kepadanya, dia segera mengenalnya dan cepat Bun Houw bersoja (dirangkap kedua tangan depan dada) sambil membungkuk.

"Bibi Cia, selamat berjumpa...!” katanya sopan.

Wanita itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Memang terjadi perubahan besar pada diri Bun Houw. Dia bukan lagi seorang pemuda remaja seperti enam tahun yang lalu. Kini dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh tegap, pakaiannya sederhana sekali. Akhirnya, wanita itu mengenalnya, hal yang mudah saja karena ia tadi melihat pemuda itu berada di depan makam keluarga Kwi, dan puterinya bicara dengan pemuda itu. Siapa lagi kalau bukan Kwa Bun Houw.

"Huh, engkaukah...?” katanya dengan sikap angkuh karena memang hati nyonya ini merasa tidak enak dan marah melihat puterinya bicara dengan bekas tunangannya itu. Ia lalu memegang lengan Ling Ay dan menariknya pergi diri situ.

"Ling Ay, hayo kita kembali. Suamimu mencarimu!” Ia sengaja menekankan kata "suamimu" seolah olah hendak memperdengarkannya kepada Bun Houw.

Ling Ay tidak membantah dan membiarkan dirinya ditarik ibunya pergi dari situ. Akan tetapi ia masih menoleh satu kali dan memandang kepada Bun Houw yang cepat berkata sambil tersenyum. "Terima kasih bahwa engkan sudi bersembahyang di depan makam ini!”

Cia Kun Ti yang muncul di belakang isterinya, kini berdiri berhadapan dengan Bun Houw. Melihat ayah Ling Ay. Bun Houw segera memberi hormat.

"Paman Cia. selamat berjumpa."

"Aih, Bun Houw, kiranya engkau? Engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa. Kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini?” seru Cia Kun Ti dengan kegembiraan yang wajar dan tidak dibuat-buat.

Melihat ini, senang rasa hati Bun Houw. Sikap ayah kandung Ling Ay ini sungguh berbeda jauh dengan sikap ibunya. "Ah, hanya merantau saja kesana sini meluaskan pengetahuan, paman. Kebetulan hari Ceng Beng ini saya kembali ke Nan-ping, untuk bersembahyang di sini."

Sejenak Cia Kun Ti melihat pemuda itu mengatur peralatan sembahyang di depan kedua makam itu. Pemuda itu hanya membawa beberapa macam buah dan kembang sebagai korban. "Dan selanjutnya, apakah engkau akan kembali tinggal di Nan-ping? Kalau engkau hendak mulai lagi berdagang seperti mendiang ayahmu, aku suka menbantumu. Bun Houw. Aku dapat menanggung sehingga engkau akan memperoleh dagangan dengan pembayaran cicilan, aku suka membantumu karena aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu.”

Bun Houw tersenyum dan memandang dengan hati terharu. dia memberi hormat lagi. "Terima kasih banyak atas kebaikanmu, paman Cia. Di Nan-ping saya sudah tidak mempunyai apa-apalagi, bagaimana dapat berdagang? Pula, saya tidak suka berdagang, saya lebih suka merantau."

Cia Kun Ti menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, kegagalannya berbesan dengan sahabat baiknya, mendiang Kwa Tin, sampai sekarang kadang-kadang membuat dia merasa menyesal bukan main dia mengenal benar sababat baiknya itu. dan tahu bahwa Kwa Tin seorang yang gagah perkasa dan berhati mulia, dan diapun suka sekali kepada Bun Houw ini. Hanya karena pengaruh isterinya, terpaksa dia membiarkan anaknya tidak menjadi isteri Bun Houw, dan menjadi isteri putera kepala daerah.

Dia mencoba-coba untuk menghibur hatinya, dan mengatakan kepada diri sendiri betapa bahagia hidupnya karena kini dia menjadi ayah mertua seorang mantu bangsawan yang membuat dia seorang terhormat. Namun, usahanya ini selalu gagal. Dia melihat kenyataan betapa kehormatan yang diperolehnya sebagai besan kepala daerah adalah kehormatan semu, atau kehormatan yang diperlihatkan orang-orang secara palsu dan pura-pura belaka. Bahkan dia merasa yakin babwa banyak penduduk Nan-ping yang diam-diam mentertawakan dia dan isterinya, Apalagi kalau isterinya berlagak seperti nyonya bangsawan!

Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah sikap keluarga besannya. Bukan hanya kedua orang besannya, juga mantunya sendiri seringkali bahkan memandang rendah kepada mereka. Sebagai contohnya, kalau mantunya membutuhkan sesuatu untuk dibicarakan, mantunya itu bukan datang ke rumah mertuanya, melainkan mengutus seorang petugas untuk memanggil mertuanya. Cia Kun Ti merasa seolah olah menjadi semacam bawahan saja dari mantunya.

"Heii, mau apa engkau di situ terus? Kita mau pulang sekarang!"

Terdengar teguran dan ternyata Nyonya Cia Kun Ti yang menegur suaminya itu dari tempat agak jauh. Baru teriakannya itu saja sudah sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang nyonya bangsawan yang halus budi pekertinya Cia Kun Ti menarik napas panjang, kembali merasa betapa dia kini sebagai seorang pelayan saja. Dia dan isterinya. Pelayan dari mantunya, putera bangsawan! Dia dan Isterinya, bahkan puteri mereka, seolah hanya menjadi pelengkap hidup Cun Hok Seng putera kepala daerah.

“'Bun Houw, aku pergi dulu. Kuharap engkau suka singgah di rumahku. Jangan sungkan, Ling Ay kini telah tinggal di rumah suaminya. Aku kadang merasa kesepian. Engkau singgahlah, Bun Houw. Biarpun engkau tidak menjadi mantuku, engkau tetap putera seorang sahabatku terbaik.”

Bun Houw merasa terharu dan cepat memberi hormat. "Entahlah, paman, akan tetapi sikap dan ucapan paman ini akan selalu teringat olehku dan kuanggap paman seorang sahabat ayahku yang amat baik. Terima kasih, paman.”

Cia Kun Ti lalu pergi meninggalkan Bun Houw, bergabung dengan isteri dan anaknya dan kembali dia merasa sebagai pelengkap ketika mengikuti rombongan itu melangkah keluar dari tanah kuburan. Dia merasa muak kalau menoleh dan memandang kepada isierinya yang melangkah perlahan seperti seorang permaisuri saja, mengangguk ke kanan kiri kepada orang orang yang memberi hormat kepada rombongan mereka. Dia tahu bahwa bukan isterinya yang menerima penghormatan itu, melainkan putera kepala daerah yang menjadi mantunya. Akan tetapi yang repot menyambut penghormatan itu malah isterinya, mengangguk ke kanan kiri sambil mengatur senyum "bangsawan"!

Satelah Cia Kun Ti pergi, Bun Houw lalu melanjutkan niatnya untuk bersembahyang kepada mendiang ayah dan ibu kandungnya. Selain bersembahyang sebagai tanda penghormatan terhadap ayah ibunya melalui kenangan, juga diam-diam dia memintakan ampun kepada ayah Ibunya atas pembatalan ikatan perjodohannya dengan Ling Ay. Dia minta agar ayah dan ibunya suka mengampuni Ling Ay, dan orang tuanya, terutama ayahnya, dan dalam sembahyang itu dia menjalakan bahwa dia telah rela melihat Ling Ay digandeng pria lain sebagai isttri pria itu.

Setelah tanah kuburan itu menjadi sunyi karena para pengunjungnya sudah pulang semua. Bun Houw tinggal seorang diri. Dia masih duduk di atas tanah berumput tebal di depan makam ayah ibunya, termenung. Pertemuannya dengan Ling Ay menggugah kenangan lama. Pada hal ketika dia berkunjung ke Nan-ping, satu satunya niat di hatinya hanyalah bersembahyang di kuburan ayah ibunya. Sedikit pun dia tidak berniat untuk bertemu dengan Ling Ay dan keluarganya. Dia menganggap bahwa hubungannya dengan keluarga Cia sudah putus dan sudah tidak ada sangkut paut apapun juga antara dia dan wanita itu.

Bun Houw menarik napas panjang, lalu bangkit dan mulai membersihkan tumput dan semak-semak yang mengotori makam kedua orang tuanya. Dia tidak perlu mengenangkan Ling Ay lagi. Ia sudah menjadi iateri orang, Isteri putera kepala daerah pula! Dia tersenyum. Ling Ay menjadi mantu kepala daerah! Sungguh tidak pernah disangkanya. Sukurlah, katanya dalam hati. Sukur bahwa kini Ling Ay menjadi isteri seorang bangsawan yang kaya, dan suaminya itupun seorang laki-laki muda yang tampan. Tentu Ling Ay hidup berbahagia. Diapun sudah rela, dia ikut berbahagia kalau melihat bekas tunangannya itu hidup berbahagia. Akan tetapi, benarkah ini?

Benarlah dia rela? Bun Houw tiba-tiba menghentikan pekerjaannya dan kembali duduk termenung. Kenapa bayangan wajah Ling Ay yang semakin cantik jelita itu selalu nampak olehnya? Kenapa bukan perasaan senang yang terasa di hatinya, walaupun hatinya memaksa agar dia mengaku senang, melainkan rasa perih kalau dia membayangkan Ling Ay digandeng pria lain ? Kenapa ada perasaan iri dan cemburu?

”Kau gila!" Dia memaki diri sendiri dan seperti orang marah dia mengamuk terhadap rumput dan semak-semak, dicabutinya dengan kasar seolah-olah rumput dan semak itu yang membuat dia sengsara.

Karena dia mempengunakan kekuatan tubuhnya, maka dia dapat bekerja dengan cepat dan dalam waktu sebentar saja, semua rumput dan semak yang mengotori makam itu telah dibersihkannya, sehingga dua gundukan tanah itu kini kelihatan seperti baru saja. Hanya batu nisan sederhana yang masih nampak kotor, dengan ukiran kasar dari nama kedua ayah Ibunya. Bun Houw lalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan batu-batu nisan itu menjadi bersih mengkilap.

Pada saat itu, tiba-tiba dia menghentikan pekerjaannya, lalu mengambil buntalan pakaiannya dan mengikatnya di punggung, dan mengambil pula tongkatnya, menyelipkan tongkat butut itu di ikat pinggangnya. Dia melihat dan mendergar datangnya tiga orang menghampiri tempat itu, akan tetapi mengira bahwa mereka tentu juga pengunjung taman kuburan itu untuk bersembahyang.

Akan tetapi, langkah tiga orang itu berhenti di dekatnya dan terdengar seorang di antara mereka bertanya, "Hemm, inikah orangnya?”

Dijawab suara lain, "Benar, inilah anjing tak tahu diri itu!”

Suara orang ke tiga menyusul. "Bocah gelandangan ini berani menghina nyonya muda kita? Dia patut dihajar sampai mampus!”

Karena kini merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali dia dan tiga orang pendatang itu, maka Bun Houw baru tahu bahwa dialah orangnya yang mereka bicarakan dan mereka maki sebagai anjing dan bocah gelandangan. diapun membalikkan tubuhnya memandang kepada mereka dengan alis berkerut.

Mereka itu tiga orang laki-laki yang melihat pakaiannya saja jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, atau yang biasa dipakai oleh para tukang pukul. Pakaian ringkas dan di pinggang mereka terselip golok. Mereka itu berusia antara tiga puluh sampai empatpuluh tahun, sikap mereka bengis dan ketiganya menyeringai dengan senyum mengejek dan memandang rendah kepada Bun Houw. Tubuh mereka yang kokoh itu menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga badan yang kuat dan terlatih dan senyum mereka mengandung kesadisan, membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat merasakan kesenangan dari penyiksaan terhadap orang lain.

Bun Houw mendahului mereka bertanya, suaranya halus dan sikapnya tenang, "Sam-wi (kalian bertiga) bicara tentang seseorang, siapakah yang sam-wi bicarakan itu?"

Orang yang dahinya codet bekas luka memanjang dan yang agaknya memimpin mereka, menjawab, "Anjing geladak, siapa lagi kalau bukan kamu yang kami bicarakan!”

Bun Houw mesih menahan kesabarannya. Tidak perlu bersitegang urat leher dengan orang-orang macam ini, pikirnya. "Aku tak pernah mengenal kalian bertiga, kenapa kalian datang-datang memaki dan menghina aku ? Apakah kekalahanku terhadap kalian?”

Orang ke dua yang mukanya hitam tertawa bergelak dan memandang kepada kedua temannya, "Ha ha ha, lihat, anjing ini masih berani menggonggong! Sungguh tak tahu diri!”

Kini orang ke tiga yang kumisnya berjuntai ke bawah dan jarang seperti kumis tikus, melangkah maju dan bertolak pinggang dengan tangan kiri, sedangkan telunjuk kanannya ditudingkan ke arah hidung Bun Houw.

"Keparat, engkau sungguh tak tahu diri. Perbuatanmu sudah cukup bagi kami untuk menyiksamu dan bahkan membunuhmu. Akan tetapi agar jangan engkau mampus penasaran, buka telingamu baik baik. Engkau telah lancang sekali dan berani menghina nyonya muda kami. Engkau berani mengajaknya bicara di depan umum! Perbuatan tak pantas Liu Sungguh merupakan dosa besar!"

Bun Houw mengerutkan alisnya. Hatinya merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Ling Ay! Tentu Ling Ay nyonya muda itu, akan tetapi walaupun dia tadi sudah mengkhawatirkan bahwa percakapan antara mereka berdua saja di tempat umum akan dapat merugikan kehormatan Ling Ay, dia tidak mengira bahwa akan begini berat akibatnya terhadap dirinya. Karena merasa penasaran, dia pura-pura tidak mengerti.

"Nanti dulu, sobat. Harap jangan menuduh membuta tuli! Nyonya muda siapakah yang kau maksudkan? Dan penghinaan bagaimana yang kulakukan kepadanya? Aku sungguh tidak mengerti."

Kini si condet melangkah maju. "Engkau masih bertanya lagi? Jahanam busuk memang! Nyonya muda kami adalah isteri putera kepala daerah kami, dan engkau ini, engkau jembel gelandangan busuk, tadi di tempat ini berani menegur dan mengajak beliau bercakap cakap, itu merupakan penghinaan besar bagi keluarga kepala daerah kami! Karena itu, engkau akan kami hajar!”

"Ah, itukah yang kalian maksudkan? Dan siapa yang mengutus kalian untuk menghajar aku? Apakah kepala daerah? Atau puteranya? Atau nyonya muda itu sendiri?"

"Kami adalah pengawal mereka yang tadi mengawal dan mengawasi tempat ini untuk menjaga keamanan mereka. Kami melihat sendiri dan tidak usah majikan kami memerintah, kami berkewajiban untuk turun tangan sendiri. Nih, bersiaplah engkau untuk mampus, atau kau akan kami ampuni asalkan kau mampu menebus nyawamu."

Bun Houw memandang dengan sikap masih tenang, akan tetapi senyumnya dibarengi kerut di antara alisaya makin mendalam, Dia cukup maklum apa yang mereka maksudkan, Juga dia tahu bahwa tiga orang ini sungguh merupakan tiga orang yang biasa mempengunakan kekerasan untuk melakukan penekanan dan pemerasan. Entah sudah berapa banyak orang yang tidak berdosa menjadi korban kekerasan dan pemerasan mereka.

"Hemm, menebus nyawa bagaimana maksud kalian?" Dia bertanya, suaranya kini tidak sehalus tadi, diam-diam memperhitungkan apa yang akan dilakukannya terhadap tiga orang jahat ini, Mereka ini sudah sepatutnya dihajar, pikirnya, agar mereka jera dan tidak berani lagi mengganggu orang lain.

Si codet menyeringai lebar dan mendekati Bun Houw. "Engkau bukan kanak-kanak lagi, masih bertanya? Kau keluarkan semua milikmu. ingin kami melihatnya apakah sudah cukup untuk menebus nyawamu. Makin besar tebusannya, makin ringanlah hukumanmu. Kalau kamu sanggup cukup, kau kami bebaskan dan boleh cepat-cepat melarikan diri keluar kota. Kalau hanya kami anggap setengah harga, kau akan kami siksa sampai setengah mati, akan tetapi tidak sampai mati. Lihat saja berapa engkau mampu bayar."

Bun Houw mengeluarkan kantung kecil dari buntatannya dan membuka kantung itu, memperlihatkan emas yang dia dapat dari gurunya, "Apakah sebegini sudah cukup!”

Melihat emas berkilatan dalam buntalan kantung kecil itu, mata tiga orang itu terbelalak lebar seperti seekor srigala melihat darah. Seperti di komando saja, tiga buah tangan menyambar untuk merampas kantung di tangan Bun Houw itu. Akan tetapi mereka bertiga terkejut karena tiba-tiba saja kantung itu lenyap dan ternyata pemuda itu telah mengelak dan menyimpan kembali kantung kecil itu dalam buntalan pakaiannya.

"Hei, serahkan kantung itu kepada kami!” bentak si codet.

Bun Houw tersenyum. "Bagaimana? Sudah cukupkah itu untuk menebus nyawaku?"

"Cukup, cukup... kau berikan seluruh buntalan di punggungmu itu, dan kau boleh pergi dari sini, cepat keluar kota dan tidak akan kami sakiti lagi."

"Kalau tidak kuberikan?" tantang Bun Houw sambil memegang tongkatnya

Tiga orang itu melongo, akan tetapi akhirnya mereka saling pandang dan tertawa bergelak. "Tidak kau berikan? Akan kuhajar engkau sampai mampus, dan semua milikmu itu tetap menjadi milik kami."

"Kalau begitu, kalian yang mengaku petugas kepala daerah ini, tiada lain hanyalah pemeras pemeras dan perampok-perampok busuk!"

Tentu saja tiga orang jagoan itu menjadi terkejut karena tidak pernah mereka sangka bahwa pemuda sederhana itu berani marah-marah dan memaki mereka!

"Jahanam busuk, engkau memang pantas dihajar sampai mampus!” bentak si kumis tikus dan dia sudah menyerang dengan tonjokan kepalan kanan ke arah muka Bun Houw.

Akan tetapi, dengan sedikit menarik kepala ke belakang, tonjokan itu hanya lewat saja, mengenai angin kosong. Akan tetapi dua orang yang lain juga sudah menyerang, si codet mencengkeram ke arah leher, sedangkan si muka hitam menampar ke arah kepala Bun Houw dengan kuat sekali. Bahkan si kumis tikus yang tonjokannya luput juga sudah menyambung dengan tonjokan kepalan kiri ke arah perut.

"Hemm!" Bun Houw hanya mendengus dan begitu kedua tangannya bergerak dikembangkan, tiga orang itu terpelanting dan terjengkang, bahkan terbanting keras!

Mereka bertiga menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu berani melawan, bahkan tadi mereka merasakan dorongan kedua tangan yang dikembangkan itu mengandung tenaga yang amat kuat sehingga mereka terjengkang. Mereka berloncatan bangun berdiri lagi dan tanpa dikomando lagi, mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing.

"Anjing busuk kucincang kau...!” bentak si codet yang kemarahannya meluap-luap karena ketika terbanting ke belakang tadi, kepalanya bertemu dengan batu sehingga mengucurkan darah.

"Siuuuut...!”

Goloknya menyambar ganas dari depan, mengarah kepala Bun Houw yang agaknya akan dibelah menjadi dua. Namun, tubuh Bun Houw mendorong ke kiri dan sambaran golok itu luput. Bun Houw menarik kaki kanannya sambil memutar tubuh dan pada saat itu, kembali ada golok menyambar dari sebelah depan dan belakang. Dia mengelak lagi dan menyelinap di antara sinar kedua batang golok yang menyambar itu. Tiga orang lawannya menjadi semakin panas hati mereka dan semakin marah. Sambil menyumpah-nyumpah, mereka menggerakkan golok mereka, menyerang seperti berlomba saja untuk lebih dulu membacok roboh pemuda bandel itu. Akan tetapi, sampai tiga empat kali serangan, Bun Houw selalu mengelak. Dia hendak memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk membuka mata dan melihat bahwa sebenarnya mereka itu bukanlah lawannya yang seimbang. Namun, orang orang yang biasa mengandalkan kekerasan untuk menindas orang lain itu mana mau menyadari kelemahan sendiri. Makin banyak gagal, makin penasaran rasa hati mereka dan serangan mereka menjadi semakin gencar.

"Kalian memang manusia tak tahu diri!” tiba-tiba di antara sambaran tiga batang golok itu, Bun Houw mengeluarkan suara bentakan dan begitu dia menggerakkan tongkat bututnya menangkis, disambung dengan tamparan-tamparan tangan kanan karena tongkat itu dipegangnya dengan tangan kiri, maka tiga batang golok itu terpental dan disusul oleh tubuh mereka bertiga yang juga terpelanting roboh.

Akan tetapi dasar orang orang tak tahu diri yang bagaikan katak dalam tempurung mereka selalu merasa diri sendiri yang paling kuat dan hebat, tiga orang itu belum menyadari dan mengakui kekalahan mereka. Biarpun sekali ini mereka terbanting keras sehingga kepala terasa pening, namun mereka bangkit lagi, mengambil golok masing-masing dan menyerang semakin nekat bagaikan tiga ekor srigala yang pantang menyerah.

Bun Houw mengerutkan alisnya. Melihat datangnya tiga golok yang menyambar ganas, dengan tujuan membunuh, dia lalu menggerakkan tongkatnya dengan tangan kiri, mengerahkan tenaganya dan tongkat itu bukan menyambut golok, melainkan menyambar pergelangan lengan yang memegang golok.

Terdengar teriakan susul menyusul, dan tiga golok beterbangan, disusul tiga orang yang kini memhungkuk-bungkuk, tangan kiri memegangi lengan kanan karena lengan itu tadi bertemu tongkat dengan kerasnya, terdengar suara berkeretek dan tulang tiga buah lengan kanan itu telah patah!

Melihat mereka kini tidak mampu melawan lagi, Bun Houw tidak tagi memperdulikan mereka. dia lalu menyelipkan tongkat di ikat pinggang, lalu bersoa ke arah kedua makam orang tuanya dan meninggalkan taman kuburan itu tanpa menengok satu kalipun kepada tiga orang itu. Mereka itu masih mengaduh-aduh sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri, hampir menangis saking nyerinya dan baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi!

Namun, tetap saja mereka tidak menyadari bahwa pemuda itu masih mengampuni mereka dan tidak membunuh bahkan tidak melukai secara berat, hanya menangkis dan membuat lengan kanan mereka patah tulang saja. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi, baru mereka meninggalkan tempat itu, mengambil golok mereka dan kini mereka kehilangan segala kegirangan mereka, menekuk lengan kanan dan menahan lengan itu dengan tangan kiri, kemudian merekapun kembali ke kota untuk melapor kepada atasan mereka, gelisah karena mereka tentu akan mendapat kemarahan dari atasan mereka.

********************

Serial Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

"Sungguh engkau seorang perempuan yang tidak tahu malu!"

Mungkin sudah lima kali Cun Hok Seng meneriakkan kata-kata itu kepada Cia Ling Ay, isterinya yang hanya duduk di atas kursi dengan muka menunduk, muka yang kemerahan namun pandang mata yang ditundukkan itu penuh dengan perasaan marah dan penasaran. Suaminya telah menuduhnya secara keji! Begitu tiba di rumah, sepulang mereka dari taman kuburan, suaminya memanggilnya, juga memanggil ibunya dan mereka berdua kini berada di dalam kamar itu, menjadi bulan bulanan kemarahan putera kepala daerah itu.

"Sudah kukatakan bahwa aku tidak melakukan sesuatu yang hina!” Akhirnya ia membantah sambil membalikkan tubuh, menghadapi suaminya dan memandang dengan sinar mata penasaran. Suaminya tadinya mondar mandir di dalam kamar itu, memarahi isterinya dan ibu mertuanya bengantian.

Cun Hok Seng menahan langkahnya dan berdiri di depan isterinya. mukanya merah sekali, matanya bersinar penuh kemarahan. "Apa kau bilang? Engkau mengadakan pertemuan dan bercakap cakap berdua saja dengan seorang laki-laki asing, dan kau masih berani bilang tidak melakukan sesuatu yang hina? Perbuatan itu sudah cukup hina, merendahkan martabatku, menodai kehormatanku. Apakah engkau maksudkan bahwa baru disebut hina kalau engkau sudah tidur bersama dia di satu ranjang?"

"Kau tidak berhak menuduh sekeji itu!” Kini Ling Ay bangkit berdiri dan memandang suaminya dengan kemarahan meluap. "Sudah kuceritakan bahwa dia itu bukan orang asing, namanya Kwa Bun Houw dan dahulu orang tuanya adalah sahabat baik orang tuaku."

"Bagus! Kalau begitu memang engkau sudah kenal baik dengan dia, maka berjanji mengadakan pertemuan di taman kuburan, ya?”

"Itu tidak benar! Ketika selesai bersembahyang di makam keluarga Cun dan keluarga Cia, dan melihat engkau bercakap-cakap dengan para temanmu, aku keisengan dan ingin bersembahyang di depan kuburan mendiang paman Kwa Tin dan isterinya. Dan selagi bersembahyang itulah dia muncul! Kami tidak pernah saling jumpa sejak enam tahun yang lalu, maka kemunculannya itu suatu hal yang kebetulan saja dan karena berjumpa setelah berpisah bertahun-tahun, anehkah kalau kami bercakap-cakap sedikit dan hanya sebentar?”

"Bohong! Aku tidak percaya! Kalian tentu mempunyai hubungan kotor! Ibu, hayo kau akui saja, bukankah antara Ling Ay dan pemuda itu ada hubungan yang amat akrab?"

Sejak tadi, nyonya Cia Kun Ti hanya mendengarkan saja dengan hati kecut dan muka pucat. Ia merasa menyesal sekali mengapa puterinya masih mau bercakap-cakap dengan Bun Houw sehingga hal itu dilihat para pengawal mantunya dan dilaporkan. Kini mantunya marah-marah, ia pikir bahwa urusan dahulu dengan Bun Houw tidak perlu disembunyikan, karena kalau kelak mantunya mengetahui dari orang lain, hal itu bahkan akan membuat putera kepala daerah itu semakin marah, mengira bahwa ia memang sengaja menyembunyikan kenyataan itu.

"Sesungguhnya begini, mantuku yang baik. Benar seperti yang diceritakan Ling Ay, pemuda itu bukan orang asing. Bahkan dahulu, ketika masih sama-sama kecil, oleh ayah kedua pihak diadakan perjanjian ikatan perjodohan antara Ling Ay dan Bun Houw..."

"Ahhh, begitukah?" Cun Hok Seng berseru sambil tersenyum mengejek.

Ling Ay mengerutkan alisnya, diam-diam ia mencela ibunya yang menceritakan hal-hal lampau yang sebenarnya tidak perlu disebut-sebut.

"Akan tetapi, sejak kematian keluarga Kwa suami isteri, sejak Bun Houw menjadi yatim piatu, ikatan perjodohan itu dibikin putus. Hal itu sudah terjadi enam tahun yang lalu."

"Hemm, bagus sekali! Tentu pertemuan di taman kuburan itu untuk melepas rindu antara dua orang yang dulu saling bertunangan! Memalukan!"

"Sama sekali tidak! Semua itu fitnah, hanya dugaan, tidak benar!" Ling Ay membantah marah.

"Ibu, bawa ia ke kamar dan tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Orang itu, siapa namanya tadi? Kwa Bun Houw? Ya. dia harus dibunuh."

"Ihhh...!” Mendengar ini, Ling Ay mengeluarkan jeritan kaget.

"Benar, memang dia harus dibunuh, anak kurang ajar dan tidak tahu sopan itu!” Nyonya Cia Kun Ti berkata karena memang ia menyesal sekali bahwa Bun Houw berani menemui Ling Ay di taman kuburan sehingga kini akibatnya, ia dan puterinya mendapat kemarahan besar dari mantunya.

Mendengar jerit Ling Ay dan melihat betapa wajah isterinya itu menjadi pucat mendengar dia akan membunuh Bun Houw, hati Cun Hok Seng menjadi semakin panas. "Kalian saling mencintai. Keparat. Panggil Ibu, bawa ia pergi ke kamarnya!"

Nyonya Cia Kun Ti cepat menggandeng tangan puterinya dan menariknya pergi meninggalkan kamar Cun Hok Seng yang sedang marah-marah itu. Setelah tiba di dalam kamar. ia menutupkan daun pintu dan memarahi anaknya yang segera melempar tubuh ke atas pembaringan sambil menangis.

"Kau memang anak yang bodoh! Tadipun aku sudah marah dan merasa khawatir melihat engkau bicara dengan jahanam itu di taman kuburan!" Nyonya itu mengomel panjang pendek.

Ling Ay tidak memperdulikan, hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan bantal. Ia masih merasa ngeri mendengar ancaman suaminya hendak membunuh Bun Houw. Teringat akan itu, ia membuka bantalnya dan berkata kepada ibunya yang masih mengomel itu.

"Ibu, kenapa dia hendak membunuh Houw-ko? Dia sama sekali tidak bersalah! Dia sama sekali tidak berdosa!”

"Huh, engkau malah memikirkan keselamatan jahanam itu? Pikirkan keselamatan kita sendiri! Dia memang harus dibunuh, biar kita cepat menjadi bersih dan tidak lagi mendapat marah."

"Tapi, dia sama sekali tidak bersalah, ibu. Dia datang untuk menyembahyangi makam ayah ibunya. Dia tidak tahu bahwa aku berada di sana. Kami saling jumpa hanya karena kebetulan saja, tidak kami sengaja. Dan karena sudah berjumpa di depan makam orang tuanya, kami hanya saling sapa dan saling tegur. Bukankah itu wajar dan jamak? Dia sopan, bahkan memberi selamat kepadaku atas pernikahan ku dengan pria lain. Dan sekarang, dia akan dibunuh...! Aih, ibu, apa yang harus kulakukan...? Pembunuhan itu harus dicegah! Houw-ko tidak bersalah apa-apa...!”

Akan tetapi, lbunya marah-marah. "Kau anak tolol! Biar seribu orang Bun Houw dibunuh, asal kita selamat, tidak mengapa. Kenapa engkau ribut-ribut? Sudahlah, kalau suamimu mendengar omonganmu ini, dia akan menjadi semakin marah!"

Ling Ay hanya dapit menangis semakin sedih dengan hati gelisah memikirkan Bun Houw yang akan dibunuh tanpa kesalahan apapun.

********************

"Kalian ini gentong gentong nasi yang tiada guna! Menghajar seorang pemuda gelandangan saja tidak mampu! Huh, malah patah tulang lengan. Sungguh memalukan sekali dan kami ikut merasa malu!" bentak kakek berusia enam-puluhan tahun itu.

Dia seorang kakek yang biarpun usianya sudah enampuluh tahun, namun wajahnya masih nampak segar dan tubuhnya juga masih nampak kokoh kekar walaupun tidak terlalu tinggi besar melainkan sedang sedang saja. Sepasang matanya mencorong tajam dan rambutnya yang sudah bercampur banyak uban itu disisir rapi dan diikat dengan pita sutera biru. Akan tetapi pakaiannya serba putih, dari sutera mahal dan di pinggangnya tengantung sebatang pedang. Dia ini bukan orang sembarangan dan di dunia kang-ouw namanya sudah amat terkenal sebagal Pek-i Mo-ko (Iblis Baju Putih). Akan tetapi, di kota Nan-ping dia lebih dikenal sebagai Ciong Tai-hiap (Pendekar Besar Ciong)!

Sungguh seorang yang memiliki pribadi aneh. Di dunia kang-ouw dikenal sebagai Iblis, akan tetapi masyarakat menyebutnya pendekar! Sebutan pendekar ini setelah dia menjadi pembantu utama dari kepala daerah Nan-ping, dan biarpun tidak resmi menjadi komandan pasukan pengawal, namun sesungguhnya Ciong Kui Le inilah yang menjadi kepala pengawal dan kepala semua tukang pukul dan jagoan yang menghambakan diri kepada kepala daerah! Karena dia dikenal sebagai kepala penjaga keamanan seburuh keluarga kepala daerah Cun, tidak aneh kalau dia disebut Tai-hiap (Pendekar Besar), Apalagi karena memang semua orang tahu betapa lihai Ilmu silat dan ilmu pedang orang she Ciong ini.

Dia duduk dalam sebuah ruangan dari bangunan yang berada di sebelah gedung tempat tinggal kepala daerah Cun. Bangunan ini cukup besar dan memiliki banyak kamar. Di tempat inilah berkumpul semua jagoan yang bekerja untuk kepala daerah. Merekalah yang bertugas mengamankan kota Nan-ping dari rongrongan orang jahat. Karena mereka adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw, bahkan Pek-I Mo-ko amat ditakuti dan menjadi datuk sesat, maka setelah dia dan anak buahnya yang menjamin keamanan kota Nan-ping, maka tidak ada penjahat berani berkutik. Kota Nan-ping menjadi aman dari kejahatan karena dilindungi oleh penjahat-penjahat besar!

Akan tetapi, kalau pemerasan dari penjahat tidak pernah terjadi, maka pemerasan satu-satunya datang dari kepala daerah melalui peraturan-peraturan yang mencekik leher rakyat dan penduduk Nan-ping pada umumnya! Sudah bukan rahasia lagi betapa para hartawan mengalirkan sebagaian besar kekayaan dan penghasilannya ke dalam rumah gedung kepala daerah Cun! Semua ini mereka lakukan demi keamanan diri dan usaha dagang mereka. Kalau tidak, maka banyak sudah terjadi pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan secara sembunyi, tentu saja oleh para jagoan yang dipimpin oleh Ciong Tai-hiap!

Dan kalau ada penjahat dari luar daerah yang belum tahu berani mengacau, tampillah sang pendekar berpakaian putih ini untuk menghajarnya, bahkan ada pula yang dibunuhnya dan digantungnya di depan umum sehingga pada umumnya, penduduk mengagumi kakek baju putih yang di tempat umum tidak pernah melakukan kekerasan itu! Kekerasan yang dilakukan di depan umum hanya terhadap para penjahat dan sikapnya terhadap rakyat melindungi! Hanya mereka yang pernah menentang kehendak kepala daerah saja yang tahu betapa sadisnya "pendekar" ini menyiksa orang untuk mematahkan semangat perlawanan mereka terhadap kepala daerah Cun.

Ciong Tai-hiap ini pula yang menyuruh tiga orang anak buahnya untuk menghajar Bun Houw, setelah dia mendapat perintah dari Cun Hok Seng yang mendengar laporan dari seorang pengawalnya bahwa isterinya tadi bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing.

"Hajar pemuda itu sampai cacat dan usir dia pergi dari Nan-ping," demikian perintah Cun Hok Seng pada Ciong Tai-hiap yang melanjutkan perintah itu kepada tiga orang pembantunya yang terkenal dengan ketajaman golok dan kekerasan tangan mereka.

Akan tetapi apa yang terjadi? Tiga orang jagoan yang disuruhnya menghajar Bun Houw itu pulang dengan lengan kanan mereka patah tulang! Maka, tidak mengherankan kalau dia marah-marah. Biarpun yang dikalahkan orang lain itu bukan dia, hanya anak buahnya, itu pun bukan anak buah yang pilihan, namun hal itu sama saja dengan menampar pipinya, merendahkan dan menghinanya. Yang hadir dalam ruangan itu ada belasan orang. Seorang di antara mereka, melihat pemimpinnya marah dan mendengar bahwa tiga otang rekannya itu patah tulang lengan kanan mereka oleh lawan, segera berkata,

"Ciong toako (kakak tua Ciong), agaknya orang itu berisi, maka biarlah aku yang akan mewakili mu untuk menghajarnya."

Semua orang memandang kepada pembicara itu dan mereka semua merasa yakin bahwa kalau yang turun tangan orang ini, maka segalanya tentu akan beres. Dia seorang pria berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus sekali sehingga kedua pipinya sampai peyot dan cekung seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi, semua orang tahu belaka siapa adanya tokoh yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) ini! Bahkan kakek pakaian putih itu sendiri mengangguk-angguk, akan tetapi dia berkata,

"Bukan engkau, Kiam-mo. Engkau sudah memiliki tugas sendiri yang lebih penting sebentar malam, bukan Engkau barus membantu Ngo-kwi (Lima Iblis) yang menerima tugas dari Loya (Tuan Tua, yaitu Kepala Daerah), dan tugas itu harus kalian berenam selesaikan dengan baik karena amat penting sekali. Menghajar seorang bocah kurang ajar bukan hal yang terlalu penting. Yang lain saja!”

"Ha-ha-ha. benar sekali!” Tiba-tiba seorang di antara mereka, laki-laki yang tubuhnya bulat seperti bola, usianya empat puluhan, tertawa bengelak. Orang ini memang aneh. Pakaiannya kedodoran dan bajunya tidak mempunyai kancing lagi bagian depan sehingga perutnya yang buncit nampak bagian atas, dadanya juga telanjang, nampak kulit dada putih, dan sepasang bukit dada yang besar seperti kepunyaan wanita. Saking gendutnya, dia nampak, seperti bola memiliki kaki dan tangan. Anehnya, kepalanya kecil, seperti kepala kanak-kanak, matanya sipit dan mulutnya lebar separuh kepala yang selalu tertawa dan selalu dijejali makanan dan minuman.

"Untuk menyembelih, seekor kelenci. perlu apa menggunakan golok besar? Kalau hanya menghadapi seorang bocah ingusan, serahkan saja kepadaku, toa-ko. Katakan siapa namanya, di mana aku dapat menangkapnya, lalu aku harus apakan dia. Dihajar setengah mati, diseret ke sini, atau dibunuh sekaligus. Katakan dan perintahkan saja. Cukup aku, tidak perlu merepotkan Bu-tek toako Bu-tek Kiam-mo! Ha-ha-ha!”

Sehabis bicara dan tertawa lebar, si gendut ini menyambar guci arak di atas meja, lalu menuangkan isi guci ke dalam mulutnya yang lebar sehingga terdengar suara menggelogok masuknya arak ke dalam perutnya yang seperti gentong besar itu.

Sekali ini, Pek-I Mo-ko mengangguk-angguk dan tersenyum lega. "Memang tepat sekali kalau engkau yang maju, Gu-siauwte (adik Gu). karena kalau yang maju kurang dapat diandalkan, kukhawatir akan gagal lagi. Dan kalian bertiga, cepat obati luka di lengan, kalian, kemudian temani Gu-siauwte ini dan ajak dia mencari bocah itu sampai dapat! Gu-siauwte, sebaiknya kalau bertemu dengan dia, habisi saja dan usahakan agar mayatnya tidak dilihat orang."

"Ha-ha-ha, itu perkara mudah, toako. Tanggung sebelum hari gelap, bocah itu sudah tidak ada lagi, baik nyawanya maupun badannya, ha-ha-ha!”

Dia lalu bangkit dan memberi isarat kepada tiga orang jagoan yang tadi dikalahkan Bun Houw, lagaknya seperti memberi isarat kepada tiga ekor anjingnya saja. Memang dalam hal tingkatan, si gendut ini jauh lebih tinggi dari pada tiga jagoan yang patah tulang lengannya itu. Dia bernama Gu Mouw, berjuluk Siauw-bin Pek-ti (Babi Putih Muka Senyum) sesuai dengan kulitnya yang putih mulus dan mukanya yang selalu tersenyum, dan dalam urutan kedudukannya di dalam kelompok jagoan yang dipelihara Kepala daerah Cun di kota Nan-ping, dia menduduki tingkat ke tiga!

Orang partama tentu saja Pek-i Mo-ko Ciong Kui Le, orang ke dua adalah si kurus kering Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe dan orang ke tiga adulan si gendut ini. Masih ada orang ke empat yang merupakan sekelompok dari lima orang bersaudara yang dikenal dengan sebutan Ngo-kwi (Lima Iblis) yang tadi disebut-sebut oleb Pek-I Mo-ko. Tiga orang jagoan yang patah tulang lengan kanannya itu dengan girang lalu meninggalkan ruangan mengikuti Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw.

Mereka merasa lega tidak menerima hukuman, dan merekapun merasa yakin bahwa kalau sampai orang ke tiga ini maju, tentu pemuda itu akan dapat dikalahkan. Mereka masih memiliki lengan kiri yang sehat, dan kalau pemuda sudah roboh, mereka akan dapat dengan sepuas hati membalas dendam sakit hati mereka, mereka akan mematah-matahkan seluruh tulang di tubuh pemuda itu! Bagi orang yang sudah terbiasa menjadi hamba nafsu dendam, perasaan dendam memang manis dan mendatangkan semangat!

Karena nafsu dendam ini, mereka segera mengobati lengan yang patah tulangnya, membalut kuat dan menggantungnya, kemudian mereka bertiga tidak ketinggalan membawa golok mereka, mengikuti si gendut Gu Mouw yang masih terus tertawa-tawa gembira dan nampaknya dia tenang saja, seolah-olah tugasnya itu merupakan pekerjaan sepele yang akan dapat dirampungkan dengan amat mudahnya.

Nan-ping bukan sebuah kota yang terlalu luas, Apalagi bagi para jagoan yang sudah mengenal seluruh seluk beluk kota itu, dan di mana-mana mereka disambut orang dengan ketakutan dan patuh sehingga untuk mencari Bun Houw bukan pekerjaan sukar bagi mereka. Sebelum lewat lengah hari, mereka sudah mendapat keterangan bahwa pemuda yang mereka cari itu baru saja keluar dari kota Nan-ping. melalui pintu gerbang barat. Mereka segera melakukan pengejaran dengan menunggang kuda dan benar saja, kurang lebih dua li di luar kota Nan-ping, mereka dapat menyusul pemuda yang sedang berlenggang seenaknya itu.

Pemuda itu memang Bun Houw. Dia meninggalkan kota Nan-ping, tanah tumpah darahnya, kampung halamannya, kota di mana dia dilahirkan dan dibesarkan selama lima belas tahun, kota di mana terdapat segala macam kenangan dari yang paling manis sampai yang paling pahit. Terpaksa dia meninggalkan kota itu. Untuk apa berlama-lama kalau hanya akan mendatangkan perasaan pahit dan juga ancaman-ancaman kedamaian hidupnya?

Di sana ada Ling Ay yang sudah menjadi mantu kepala daerah! Dan suaminya agaknya memusuhinya, mungkin karena cemburu melihat dia bercakap-cakap sebentar dengan Ling Ay di depan makam ayah ibunya. Dia harus pergi, secepatnya. Bukan karena dia takut menghadapi ancaman itu. Sama sekali bukan, melainkan dia harus cepat pergi demi ketenteraman rumah tangga Ling Ay!

Ketika mendengar derap kaki beberapa akor kuda dari arah belakang, dia masih belum menyangka buruk, hanya mengira bahwa tentu ada rombongan orang berkuda meninggalkan kota Nan-ping pula. Akan tetapi tiba-tiba setelah empat ekor kuda datang dekat di belakangnya dia mendengar bentakan orang.

"Orang muda yang sombong, berhenti dulu!"

Bun Houw menahan langkahnya, memutar tubuhnya dan dia melihat tiga orang penjahat yang dia patahkan tulang lengannya tadi, berada di atas punggung kuda masing-masing dengan sikap angkuh dan marah, dengan lengan kanan dibalut dan digantung di depan dada. Orang ke empat adalah seorang yang tubuhnya gendut bukan main, dan agaknya amat berat sehingga kuda yang ditungganginya berpeluh dan terengah-engah, tidak seperti tiga ekor kuda lainnya. Akan tetapi si gendut itu tidak kelihatan jahat, bahkan mukanya yang kecil kekanak-kanakan itu dipenuhi senyum mulutnya yang lebar.

"Hemm, kiranya kalian bertiga yang datang mengejarku. Ada Apalagi?" Bun Houw bertanya dengan sikap tenang.

"Ha-ha-ha-ha!” Laki-laki gendut itu tertawa bergelak, ketika dia tertawa itu, perutnya yang bagian atasnya nampak karena bajunya tidak ada kancingnya, bergelombang dan kuda yang ditungganginya gemetar keempat kakinya. Melihat ini, diam-diam Bun Houw mengerti bahwa si gendut ini bukan orang sembarangan dan memiliki tenaga yang dahsyat.

"Bagus, bagus! Jadi engkau inikah pemuda yang telah mematahkan tulang tiga orang jagoan kalahan ini? Heh-heh-heh!"

Diapun merosot turun dari atas punggung kuda. melalui belakang kuda! Bun Houw merasa geli dan dia tersenyum, akan tetapi tiga orang tukang pukul itu cemberut karena diejek sebagai jagoan kalahan! Namun, tentu saja mereka tidak berani berkutik atau mengeluarkan bantahan terhadap si gendut yang merupakan seorang atasan bagi mereka.

Karena Bun Houw belum tahu siapa si gendut itu yang sikapnya terhadap dirinya tidak memusuhi, maka diapun bersikap ramah, mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan lalu menjawab, "Sesungguhnya aku tidak pernah mempunyai pikiran hendak mematahkan tulang lengan mereka. Aka tetapi mereka itu keliru mempergunakan tangan, tidak untuk bekerja dengan baik melainkan hendak membunuhku, sehingga mereka kesalahan tangan dan akibatnya tulang mereka patah. Sungguh, mereka sendiri yang mencari penyakit dan mereka yang bersalah sedangkan aku tidak pernah mengganggu mereka, mengenal merekapun tidak.”

Bun Houw mengira bahwa si gendut yang kelihatan ramah itu tentu akan dapat menerima, alasannya dan mempertimbangkan keadaannya dengan bijaksana. Oleh karena itu, alangkah terkejutnya mendengar si gendut itu. sambil mulutnya masih tersenyum lebar, berkata dengan lantang.

"Orang muda, aku datang untuk membunuhmu! Terserah kepadamu apakah engkau akan mengambil nyawamu sendiri atau harus kupaksa nyawamu meninggalkan tubuhmu, ha-ha-ha!”

Berkerut sepasang alis Bun Houw dan kini matanya berkilat ketika dia memandang wajah si gendut yang seperti anak kecil itu. Kiranya si gendut ini hanya nampaknya saja baik hati namun sesungguhnya memiliki kekejaman yang tidak kalah dibandingkan tiga orang jagoan yang patah tulang lenpan mereka itu.

"Ah, kiranya begitu? Sobat yang gendut, coba katakan, mengapa engkau datang hendak mengambil nyawaku?" tanyanya, sikapnya masih tenang sekali dan hal ini saja sudah membuat Siauw bin Pek-ti Gu Mouw penasaran. Orang mau diambil nyawanya kok masih enak-enak saja. sungguh tak tahu diri benar pemuda ini!

"Bocah sombong," katanya dan karena mulutnya masih menyeringai tersenyum, tahulah Bun Houw bahwa senyum itu bukan senyum ramah atau buatan, memang mulutnya terlalu lebar sehingga selalu nampak tersenyum dan terbuka.

"Engkau berhadapan dengan tuan besarmu Gu Mouw yang hendak mengambil nyawamu! Apakah engkau tidak cepat berlutut minta ampun?"

"Sobat gendut she Gu, engkau bukan malaikat maut pencabut nyawa, dan akupun bukan orang yang mudah saja menyerahkan nyawa! berhati-hatilah, jangan sampai kesalahan tangan seperti tiga orang temanmu itu dan engkau sendiri yang akan menderita." Dalam ucapan itu, walaupun halus. Bun Houw telah memperingatkan dan mengejek calon lawannya.

"Ha-ha-ha, bagus! Aku lebih senang kalau engkau melawan, menggembirakan sekali! Nah, coba kau ia sambut ini, orang muda!" Tiba-tiba saja si gendut sudah menerjang ke depan dan kedua tangannya dengan cepat sekali telah mengirim pukulan dari kanan kiri, yang kanan menghantam ke arah pelipis kiri Bun Houw yang kiri menyambar dahsyat untuk menghantam lambung.

Namun, Bun Houw, yang sudah bersiap siaga itu dengan mudah melangkah mundur dua langkah dan dua pukulan itupun. hanya mengenai angin saja. Namun, si gendut yang bundar itu memang hebat. Biarpun tubuhnya bulat dan berat, dia mampu bengerak cepat dan begitu kedua pukulannya tidak mengenai sasaran, tubuhnya sudah menggelundung dengan cepat. Nampaknya saja menggelinding saking besarnya perut itu namun sesungguhnya, dia melangkah cepat ke depan dan kembali dia sudah memukul dengan kedua tangannya didorong ke depan, telapak tangannya terbuka...

Kisah Si Pedang Kilat Jilid 03

Kisah Si Pedang Kilat Jilid 03

CIA LING AY atau Nyonya Cun Hok Seng yang sudah selesai bersembahyang di depan makam nenek moyang keluarga orang tuanya, tiba-tiba teringat akan kuburan Kwa Tin dan nyonya Kwa Tin, yaitu ayah dan Ibu Kwa Bun Houw. Ia merasa kasihan sekali kepada Bun Houw dan walaupun ia telah menjadi isteri orang lain, sering kali ia termenung membayangkan wajah bekas tunangan itu.

Kini, setelah selesai melakukan sembahyang kepada nenek moyang keluarganya, ia teringat kepada makam ayah dan ibu Kwa Bun Houw. Ia melihat suaminya sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang pria yang agaknya juga orang-orang berpangkat yang datang ke tanah kuburan dengan maksud yang sama, dan ayah ibunya juga sedang sibuk dengan peralatan sembahyangan.

Ia pun merasa iseng dan melangkahlah nyonya muda ini menuju ke makam ayah dan ibu bekas tunangannya itu yang letaknya tidak berapa jauh dari kuburan nenek moyang keluarga orang tuanya, ia membawa segenggam hio swa (dupa biting) yang sudah disulutnya dan dengan hati terharu ia melihat sepasang kuburan sederhana yang batu nisannya berlumut dan kotor, depan batu nisan ditumbuhi rumput tebal. Makam yang sama sekali tidak terawat.

Ling Ay segera menghampiri kedua makam yang berdampingan itu, lalu ia bersembahyang di depan keduanya, ia sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi sepasang mata memandangnya, sepasang mata yang mula-mula terbelalak lebar dan memandangnya dengan heran, akan tetepi kini sepasang mata itu berlinang air mata. Setelah bersembahyang sejenak, di dalam hatinya ia mohon ampun kepada bekas calon ayah dan ibu mertuanya itu karena kegagalan perjodohannya dengan putera mereka, Ling Ay menancapkan hio-swa di depan kedua makam. Akan tetapi, ia masih berdiri termenung di depan dua buah makam itu ketika pemilik mata yang sejak tadi mengikuti gerak-geriknya itu menghampirinya dari belakang.

"Maaf..." suara itu agak gemetar, "kenapa engkau bersembahyang di depan makam ayah ibuku...?"

Ling Ay mendengar ucapan itu, terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak memandang kepada pria muda yang berdiri di depannya. Keduanya saling berpandangan, Ling Ay terkejut akan tetapi juga ada perasaan gembira menyelinap di dalam hatinya, bercampur keharuan melihat betapa kedua mata pemuda itu basah.

"Houw-koko...!” Ling Ay berbisik, merasa seperti dalam mimpi setelah kini ia berdri berhadapan dengan orang yang selama ini seringkali muncul dalam mimpinya.

"Ay-moi, eh, maaf Nyonya... Cia Ling Ay,” Bun Houw pemuda itu tengagap. “Maaf, aku belum mengetahui nama suamimu..."

Ling Ay mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa biarpun ia selalu merasa rendah diri dalam keluarga suaminya, juga suaminya jelas bersikap agak tinggi hati dan memandang rendah kepadanya, namun suaminya kelihatan sayang kepadanya, iapun selama setahun ini sudah berusaha untuk bersikap manis kepada suaminya, melayaninya dengan usaha untuk menyenangkan hati suaminya.

Namun, harus diakuinya bahwa di lubuk hatinya, ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada suaminya! Dan sekarang, berhadapan kembali dengan Bun Houw, setelah perpisahan selama enam tahun, setelah ia menjadi seorang wanita dewasa dan Bun Houw juga menjadi seorang pria dewasa, baru ia merasa bahwa sesungguhnya ia mencinta bekas tunangannya ini! Dan kenyataan ini mendatangkan perasaan nyeri dalam hatinya, seolah-olah jantungnya tertusuk-tusuk dari dalam.

"Houw-ko... kau... kau sudah tahu...?" pertanyaan ini masih dilakukan dalam bisik-bisik sehingga ia khawatir pemuda itu tidak dapat mendengarnya. Ia tidak tahu bahwa kini pendengaran pemuda itu luar biasa ketajamannya. Bahkan suara-suara halus yang tidak mungkin dapat ditangkap oleh pendengaran orang biasa, dia mampu mendengarnya, maka tentu saja bisikan Ling Ay itu sudah cukup jelas baginya.

Bun Houw mengangguk dan dia meletakkan buntalan kain yang dibawanya ke atas tanah berumput, di depan makam ayah ibunya. "Sejak tadi aku sudah melihat engkau, ayah ibumu, dan... suamimu. Ah, benar, aku belum menghaturkan selamat kepadamu." Pemuda itu lalu bangkit lagi dan mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil berkata, "Kiong hi (selamat), engkau telah mendapatkan seorang suami yang tampan, berwibawa dan kaya raya. Agaknya dia seorang pembesar tinggi, bukan?”

Ada perasaan bangga menyelinap di hati Ling Ay, perasaan bangga yang diikuti perasaan nyeri dan juga iba kepada pemuda di depannya itu. Ia mengangguk dan berkata lirih, "Dia putera kepala daerah Cun di Nan-ping."

"Ah! Kiranya engkau menjadi mantu kepala daerah? Sungguh, aku harus menghaturkan selamat untuk kedua kalinya. Bun Houw mengeraskan hatinya yang tadi menjadi lemah dan terharu ketika bertemu dengan Ling Ay, dan dia berusaha untuk bersikap bijaksana. "Toanio, sungguh aku merasa ikut berbahagia melihat keadaanmu dan... terus terang saja, walaupun pertemuan ini menggembirakan hati, namun sebaiknya kalau toanio kembali ke sana, tidak baik dilihat orang kita bicara berdua saja di sini..."

"Tapi... tapi kita adalah sahabat lama...!” Ling Ay membantah dan pada saat itu terdengar seruan suara seorang wanita.

"Ling Ay...! Mau apa engkau berada di sini... “ Muncullah seorang wanita yang menurut penglihatan Bun Houw berpakaian terlalu menyolok, terlalu mewah sehingga hampir dia tidak mengenal lagi ibu Ling Ay atau Nyonya Cia Kun Ti! Akan tetapi ketika nyonya setengah tua itu menoleh kepadanya, dia segera mengenalnya dan cepat Bun Houw bersoja (dirangkap kedua tangan depan dada) sambil membungkuk.

"Bibi Cia, selamat berjumpa...!” katanya sopan.

Wanita itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Memang terjadi perubahan besar pada diri Bun Houw. Dia bukan lagi seorang pemuda remaja seperti enam tahun yang lalu. Kini dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh tegap, pakaiannya sederhana sekali. Akhirnya, wanita itu mengenalnya, hal yang mudah saja karena ia tadi melihat pemuda itu berada di depan makam keluarga Kwi, dan puterinya bicara dengan pemuda itu. Siapa lagi kalau bukan Kwa Bun Houw.

"Huh, engkaukah...?” katanya dengan sikap angkuh karena memang hati nyonya ini merasa tidak enak dan marah melihat puterinya bicara dengan bekas tunangannya itu. Ia lalu memegang lengan Ling Ay dan menariknya pergi diri situ.

"Ling Ay, hayo kita kembali. Suamimu mencarimu!” Ia sengaja menekankan kata "suamimu" seolah olah hendak memperdengarkannya kepada Bun Houw.

Ling Ay tidak membantah dan membiarkan dirinya ditarik ibunya pergi dari situ. Akan tetapi ia masih menoleh satu kali dan memandang kepada Bun Houw yang cepat berkata sambil tersenyum. "Terima kasih bahwa engkan sudi bersembahyang di depan makam ini!”

Cia Kun Ti yang muncul di belakang isterinya, kini berdiri berhadapan dengan Bun Houw. Melihat ayah Ling Ay. Bun Houw segera memberi hormat.

"Paman Cia. selamat berjumpa."

"Aih, Bun Houw, kiranya engkau? Engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa. Kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini?” seru Cia Kun Ti dengan kegembiraan yang wajar dan tidak dibuat-buat.

Melihat ini, senang rasa hati Bun Houw. Sikap ayah kandung Ling Ay ini sungguh berbeda jauh dengan sikap ibunya. "Ah, hanya merantau saja kesana sini meluaskan pengetahuan, paman. Kebetulan hari Ceng Beng ini saya kembali ke Nan-ping, untuk bersembahyang di sini."

Sejenak Cia Kun Ti melihat pemuda itu mengatur peralatan sembahyang di depan kedua makam itu. Pemuda itu hanya membawa beberapa macam buah dan kembang sebagai korban. "Dan selanjutnya, apakah engkau akan kembali tinggal di Nan-ping? Kalau engkau hendak mulai lagi berdagang seperti mendiang ayahmu, aku suka menbantumu. Bun Houw. Aku dapat menanggung sehingga engkau akan memperoleh dagangan dengan pembayaran cicilan, aku suka membantumu karena aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu.”

Bun Houw tersenyum dan memandang dengan hati terharu. dia memberi hormat lagi. "Terima kasih banyak atas kebaikanmu, paman Cia. Di Nan-ping saya sudah tidak mempunyai apa-apalagi, bagaimana dapat berdagang? Pula, saya tidak suka berdagang, saya lebih suka merantau."

Cia Kun Ti menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, kegagalannya berbesan dengan sahabat baiknya, mendiang Kwa Tin, sampai sekarang kadang-kadang membuat dia merasa menyesal bukan main dia mengenal benar sababat baiknya itu. dan tahu bahwa Kwa Tin seorang yang gagah perkasa dan berhati mulia, dan diapun suka sekali kepada Bun Houw ini. Hanya karena pengaruh isterinya, terpaksa dia membiarkan anaknya tidak menjadi isteri Bun Houw, dan menjadi isteri putera kepala daerah.

Dia mencoba-coba untuk menghibur hatinya, dan mengatakan kepada diri sendiri betapa bahagia hidupnya karena kini dia menjadi ayah mertua seorang mantu bangsawan yang membuat dia seorang terhormat. Namun, usahanya ini selalu gagal. Dia melihat kenyataan betapa kehormatan yang diperolehnya sebagai besan kepala daerah adalah kehormatan semu, atau kehormatan yang diperlihatkan orang-orang secara palsu dan pura-pura belaka. Bahkan dia merasa yakin babwa banyak penduduk Nan-ping yang diam-diam mentertawakan dia dan isterinya, Apalagi kalau isterinya berlagak seperti nyonya bangsawan!

Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah sikap keluarga besannya. Bukan hanya kedua orang besannya, juga mantunya sendiri seringkali bahkan memandang rendah kepada mereka. Sebagai contohnya, kalau mantunya membutuhkan sesuatu untuk dibicarakan, mantunya itu bukan datang ke rumah mertuanya, melainkan mengutus seorang petugas untuk memanggil mertuanya. Cia Kun Ti merasa seolah olah menjadi semacam bawahan saja dari mantunya.

"Heii, mau apa engkau di situ terus? Kita mau pulang sekarang!"

Terdengar teguran dan ternyata Nyonya Cia Kun Ti yang menegur suaminya itu dari tempat agak jauh. Baru teriakannya itu saja sudah sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang nyonya bangsawan yang halus budi pekertinya Cia Kun Ti menarik napas panjang, kembali merasa betapa dia kini sebagai seorang pelayan saja. Dia dan isterinya. Pelayan dari mantunya, putera bangsawan! Dia dan Isterinya, bahkan puteri mereka, seolah hanya menjadi pelengkap hidup Cun Hok Seng putera kepala daerah.

“'Bun Houw, aku pergi dulu. Kuharap engkau suka singgah di rumahku. Jangan sungkan, Ling Ay kini telah tinggal di rumah suaminya. Aku kadang merasa kesepian. Engkau singgahlah, Bun Houw. Biarpun engkau tidak menjadi mantuku, engkau tetap putera seorang sahabatku terbaik.”

Bun Houw merasa terharu dan cepat memberi hormat. "Entahlah, paman, akan tetapi sikap dan ucapan paman ini akan selalu teringat olehku dan kuanggap paman seorang sahabat ayahku yang amat baik. Terima kasih, paman.”

Cia Kun Ti lalu pergi meninggalkan Bun Houw, bergabung dengan isteri dan anaknya dan kembali dia merasa sebagai pelengkap ketika mengikuti rombongan itu melangkah keluar dari tanah kuburan. Dia merasa muak kalau menoleh dan memandang kepada isierinya yang melangkah perlahan seperti seorang permaisuri saja, mengangguk ke kanan kiri kepada orang orang yang memberi hormat kepada rombongan mereka. Dia tahu bahwa bukan isterinya yang menerima penghormatan itu, melainkan putera kepala daerah yang menjadi mantunya. Akan tetapi yang repot menyambut penghormatan itu malah isterinya, mengangguk ke kanan kiri sambil mengatur senyum "bangsawan"!

Satelah Cia Kun Ti pergi, Bun Houw lalu melanjutkan niatnya untuk bersembahyang kepada mendiang ayah dan ibu kandungnya. Selain bersembahyang sebagai tanda penghormatan terhadap ayah ibunya melalui kenangan, juga diam-diam dia memintakan ampun kepada ayah Ibunya atas pembatalan ikatan perjodohannya dengan Ling Ay. Dia minta agar ayah dan ibunya suka mengampuni Ling Ay, dan orang tuanya, terutama ayahnya, dan dalam sembahyang itu dia menjalakan bahwa dia telah rela melihat Ling Ay digandeng pria lain sebagai isttri pria itu.

Setelah tanah kuburan itu menjadi sunyi karena para pengunjungnya sudah pulang semua. Bun Houw tinggal seorang diri. Dia masih duduk di atas tanah berumput tebal di depan makam ayah ibunya, termenung. Pertemuannya dengan Ling Ay menggugah kenangan lama. Pada hal ketika dia berkunjung ke Nan-ping, satu satunya niat di hatinya hanyalah bersembahyang di kuburan ayah ibunya. Sedikit pun dia tidak berniat untuk bertemu dengan Ling Ay dan keluarganya. Dia menganggap bahwa hubungannya dengan keluarga Cia sudah putus dan sudah tidak ada sangkut paut apapun juga antara dia dan wanita itu.

Bun Houw menarik napas panjang, lalu bangkit dan mulai membersihkan tumput dan semak-semak yang mengotori makam kedua orang tuanya. Dia tidak perlu mengenangkan Ling Ay lagi. Ia sudah menjadi iateri orang, Isteri putera kepala daerah pula! Dia tersenyum. Ling Ay menjadi mantu kepala daerah! Sungguh tidak pernah disangkanya. Sukurlah, katanya dalam hati. Sukur bahwa kini Ling Ay menjadi isteri seorang bangsawan yang kaya, dan suaminya itupun seorang laki-laki muda yang tampan. Tentu Ling Ay hidup berbahagia. Diapun sudah rela, dia ikut berbahagia kalau melihat bekas tunangannya itu hidup berbahagia. Akan tetapi, benarkah ini?

Benarlah dia rela? Bun Houw tiba-tiba menghentikan pekerjaannya dan kembali duduk termenung. Kenapa bayangan wajah Ling Ay yang semakin cantik jelita itu selalu nampak olehnya? Kenapa bukan perasaan senang yang terasa di hatinya, walaupun hatinya memaksa agar dia mengaku senang, melainkan rasa perih kalau dia membayangkan Ling Ay digandeng pria lain ? Kenapa ada perasaan iri dan cemburu?

”Kau gila!" Dia memaki diri sendiri dan seperti orang marah dia mengamuk terhadap rumput dan semak-semak, dicabutinya dengan kasar seolah-olah rumput dan semak itu yang membuat dia sengsara.

Karena dia mempengunakan kekuatan tubuhnya, maka dia dapat bekerja dengan cepat dan dalam waktu sebentar saja, semua rumput dan semak yang mengotori makam itu telah dibersihkannya, sehingga dua gundukan tanah itu kini kelihatan seperti baru saja. Hanya batu nisan sederhana yang masih nampak kotor, dengan ukiran kasar dari nama kedua ayah Ibunya. Bun Houw lalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan batu-batu nisan itu menjadi bersih mengkilap.

Pada saat itu, tiba-tiba dia menghentikan pekerjaannya, lalu mengambil buntalan pakaiannya dan mengikatnya di punggung, dan mengambil pula tongkatnya, menyelipkan tongkat butut itu di ikat pinggangnya. Dia melihat dan mendergar datangnya tiga orang menghampiri tempat itu, akan tetapi mengira bahwa mereka tentu juga pengunjung taman kuburan itu untuk bersembahyang.

Akan tetapi, langkah tiga orang itu berhenti di dekatnya dan terdengar seorang di antara mereka bertanya, "Hemm, inikah orangnya?”

Dijawab suara lain, "Benar, inilah anjing tak tahu diri itu!”

Suara orang ke tiga menyusul. "Bocah gelandangan ini berani menghina nyonya muda kita? Dia patut dihajar sampai mampus!”

Karena kini merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali dia dan tiga orang pendatang itu, maka Bun Houw baru tahu bahwa dialah orangnya yang mereka bicarakan dan mereka maki sebagai anjing dan bocah gelandangan. diapun membalikkan tubuhnya memandang kepada mereka dengan alis berkerut.

Mereka itu tiga orang laki-laki yang melihat pakaiannya saja jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, atau yang biasa dipakai oleh para tukang pukul. Pakaian ringkas dan di pinggang mereka terselip golok. Mereka itu berusia antara tiga puluh sampai empatpuluh tahun, sikap mereka bengis dan ketiganya menyeringai dengan senyum mengejek dan memandang rendah kepada Bun Houw. Tubuh mereka yang kokoh itu menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga badan yang kuat dan terlatih dan senyum mereka mengandung kesadisan, membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat merasakan kesenangan dari penyiksaan terhadap orang lain.

Bun Houw mendahului mereka bertanya, suaranya halus dan sikapnya tenang, "Sam-wi (kalian bertiga) bicara tentang seseorang, siapakah yang sam-wi bicarakan itu?"

Orang yang dahinya codet bekas luka memanjang dan yang agaknya memimpin mereka, menjawab, "Anjing geladak, siapa lagi kalau bukan kamu yang kami bicarakan!”

Bun Houw mesih menahan kesabarannya. Tidak perlu bersitegang urat leher dengan orang-orang macam ini, pikirnya. "Aku tak pernah mengenal kalian bertiga, kenapa kalian datang-datang memaki dan menghina aku ? Apakah kekalahanku terhadap kalian?”

Orang ke dua yang mukanya hitam tertawa bergelak dan memandang kepada kedua temannya, "Ha ha ha, lihat, anjing ini masih berani menggonggong! Sungguh tak tahu diri!”

Kini orang ke tiga yang kumisnya berjuntai ke bawah dan jarang seperti kumis tikus, melangkah maju dan bertolak pinggang dengan tangan kiri, sedangkan telunjuk kanannya ditudingkan ke arah hidung Bun Houw.

"Keparat, engkau sungguh tak tahu diri. Perbuatanmu sudah cukup bagi kami untuk menyiksamu dan bahkan membunuhmu. Akan tetapi agar jangan engkau mampus penasaran, buka telingamu baik baik. Engkau telah lancang sekali dan berani menghina nyonya muda kami. Engkau berani mengajaknya bicara di depan umum! Perbuatan tak pantas Liu Sungguh merupakan dosa besar!"

Bun Houw mengerutkan alisnya. Hatinya merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Ling Ay! Tentu Ling Ay nyonya muda itu, akan tetapi walaupun dia tadi sudah mengkhawatirkan bahwa percakapan antara mereka berdua saja di tempat umum akan dapat merugikan kehormatan Ling Ay, dia tidak mengira bahwa akan begini berat akibatnya terhadap dirinya. Karena merasa penasaran, dia pura-pura tidak mengerti.

"Nanti dulu, sobat. Harap jangan menuduh membuta tuli! Nyonya muda siapakah yang kau maksudkan? Dan penghinaan bagaimana yang kulakukan kepadanya? Aku sungguh tidak mengerti."

Kini si condet melangkah maju. "Engkau masih bertanya lagi? Jahanam busuk memang! Nyonya muda kami adalah isteri putera kepala daerah kami, dan engkau ini, engkau jembel gelandangan busuk, tadi di tempat ini berani menegur dan mengajak beliau bercakap cakap, itu merupakan penghinaan besar bagi keluarga kepala daerah kami! Karena itu, engkau akan kami hajar!”

"Ah, itukah yang kalian maksudkan? Dan siapa yang mengutus kalian untuk menghajar aku? Apakah kepala daerah? Atau puteranya? Atau nyonya muda itu sendiri?"

"Kami adalah pengawal mereka yang tadi mengawal dan mengawasi tempat ini untuk menjaga keamanan mereka. Kami melihat sendiri dan tidak usah majikan kami memerintah, kami berkewajiban untuk turun tangan sendiri. Nih, bersiaplah engkau untuk mampus, atau kau akan kami ampuni asalkan kau mampu menebus nyawamu."

Bun Houw memandang dengan sikap masih tenang, akan tetapi senyumnya dibarengi kerut di antara alisaya makin mendalam, Dia cukup maklum apa yang mereka maksudkan, Juga dia tahu bahwa tiga orang ini sungguh merupakan tiga orang yang biasa mempengunakan kekerasan untuk melakukan penekanan dan pemerasan. Entah sudah berapa banyak orang yang tidak berdosa menjadi korban kekerasan dan pemerasan mereka.

"Hemm, menebus nyawa bagaimana maksud kalian?" Dia bertanya, suaranya kini tidak sehalus tadi, diam-diam memperhitungkan apa yang akan dilakukannya terhadap tiga orang jahat ini, Mereka ini sudah sepatutnya dihajar, pikirnya, agar mereka jera dan tidak berani lagi mengganggu orang lain.

Si codet menyeringai lebar dan mendekati Bun Houw. "Engkau bukan kanak-kanak lagi, masih bertanya? Kau keluarkan semua milikmu. ingin kami melihatnya apakah sudah cukup untuk menebus nyawamu. Makin besar tebusannya, makin ringanlah hukumanmu. Kalau kamu sanggup cukup, kau kami bebaskan dan boleh cepat-cepat melarikan diri keluar kota. Kalau hanya kami anggap setengah harga, kau akan kami siksa sampai setengah mati, akan tetapi tidak sampai mati. Lihat saja berapa engkau mampu bayar."

Bun Houw mengeluarkan kantung kecil dari buntatannya dan membuka kantung itu, memperlihatkan emas yang dia dapat dari gurunya, "Apakah sebegini sudah cukup!”

Melihat emas berkilatan dalam buntalan kantung kecil itu, mata tiga orang itu terbelalak lebar seperti seekor srigala melihat darah. Seperti di komando saja, tiga buah tangan menyambar untuk merampas kantung di tangan Bun Houw itu. Akan tetapi mereka bertiga terkejut karena tiba-tiba saja kantung itu lenyap dan ternyata pemuda itu telah mengelak dan menyimpan kembali kantung kecil itu dalam buntalan pakaiannya.

"Hei, serahkan kantung itu kepada kami!” bentak si codet.

Bun Houw tersenyum. "Bagaimana? Sudah cukupkah itu untuk menebus nyawaku?"

"Cukup, cukup... kau berikan seluruh buntalan di punggungmu itu, dan kau boleh pergi dari sini, cepat keluar kota dan tidak akan kami sakiti lagi."

"Kalau tidak kuberikan?" tantang Bun Houw sambil memegang tongkatnya

Tiga orang itu melongo, akan tetapi akhirnya mereka saling pandang dan tertawa bergelak. "Tidak kau berikan? Akan kuhajar engkau sampai mampus, dan semua milikmu itu tetap menjadi milik kami."

"Kalau begitu, kalian yang mengaku petugas kepala daerah ini, tiada lain hanyalah pemeras pemeras dan perampok-perampok busuk!"

Tentu saja tiga orang jagoan itu menjadi terkejut karena tidak pernah mereka sangka bahwa pemuda sederhana itu berani marah-marah dan memaki mereka!

"Jahanam busuk, engkau memang pantas dihajar sampai mampus!” bentak si kumis tikus dan dia sudah menyerang dengan tonjokan kepalan kanan ke arah muka Bun Houw.

Akan tetapi, dengan sedikit menarik kepala ke belakang, tonjokan itu hanya lewat saja, mengenai angin kosong. Akan tetapi dua orang yang lain juga sudah menyerang, si codet mencengkeram ke arah leher, sedangkan si muka hitam menampar ke arah kepala Bun Houw dengan kuat sekali. Bahkan si kumis tikus yang tonjokannya luput juga sudah menyambung dengan tonjokan kepalan kiri ke arah perut.

"Hemm!" Bun Houw hanya mendengus dan begitu kedua tangannya bergerak dikembangkan, tiga orang itu terpelanting dan terjengkang, bahkan terbanting keras!

Mereka bertiga menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu berani melawan, bahkan tadi mereka merasakan dorongan kedua tangan yang dikembangkan itu mengandung tenaga yang amat kuat sehingga mereka terjengkang. Mereka berloncatan bangun berdiri lagi dan tanpa dikomando lagi, mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing.

"Anjing busuk kucincang kau...!” bentak si codet yang kemarahannya meluap-luap karena ketika terbanting ke belakang tadi, kepalanya bertemu dengan batu sehingga mengucurkan darah.

"Siuuuut...!”

Goloknya menyambar ganas dari depan, mengarah kepala Bun Houw yang agaknya akan dibelah menjadi dua. Namun, tubuh Bun Houw mendorong ke kiri dan sambaran golok itu luput. Bun Houw menarik kaki kanannya sambil memutar tubuh dan pada saat itu, kembali ada golok menyambar dari sebelah depan dan belakang. Dia mengelak lagi dan menyelinap di antara sinar kedua batang golok yang menyambar itu. Tiga orang lawannya menjadi semakin panas hati mereka dan semakin marah. Sambil menyumpah-nyumpah, mereka menggerakkan golok mereka, menyerang seperti berlomba saja untuk lebih dulu membacok roboh pemuda bandel itu. Akan tetapi, sampai tiga empat kali serangan, Bun Houw selalu mengelak. Dia hendak memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk membuka mata dan melihat bahwa sebenarnya mereka itu bukanlah lawannya yang seimbang. Namun, orang orang yang biasa mengandalkan kekerasan untuk menindas orang lain itu mana mau menyadari kelemahan sendiri. Makin banyak gagal, makin penasaran rasa hati mereka dan serangan mereka menjadi semakin gencar.

"Kalian memang manusia tak tahu diri!” tiba-tiba di antara sambaran tiga batang golok itu, Bun Houw mengeluarkan suara bentakan dan begitu dia menggerakkan tongkat bututnya menangkis, disambung dengan tamparan-tamparan tangan kanan karena tongkat itu dipegangnya dengan tangan kiri, maka tiga batang golok itu terpental dan disusul oleh tubuh mereka bertiga yang juga terpelanting roboh.

Akan tetapi dasar orang orang tak tahu diri yang bagaikan katak dalam tempurung mereka selalu merasa diri sendiri yang paling kuat dan hebat, tiga orang itu belum menyadari dan mengakui kekalahan mereka. Biarpun sekali ini mereka terbanting keras sehingga kepala terasa pening, namun mereka bangkit lagi, mengambil golok masing-masing dan menyerang semakin nekat bagaikan tiga ekor srigala yang pantang menyerah.

Bun Houw mengerutkan alisnya. Melihat datangnya tiga golok yang menyambar ganas, dengan tujuan membunuh, dia lalu menggerakkan tongkatnya dengan tangan kiri, mengerahkan tenaganya dan tongkat itu bukan menyambut golok, melainkan menyambar pergelangan lengan yang memegang golok.

Terdengar teriakan susul menyusul, dan tiga golok beterbangan, disusul tiga orang yang kini memhungkuk-bungkuk, tangan kiri memegangi lengan kanan karena lengan itu tadi bertemu tongkat dengan kerasnya, terdengar suara berkeretek dan tulang tiga buah lengan kanan itu telah patah!

Melihat mereka kini tidak mampu melawan lagi, Bun Houw tidak tagi memperdulikan mereka. dia lalu menyelipkan tongkat di ikat pinggang, lalu bersoa ke arah kedua makam orang tuanya dan meninggalkan taman kuburan itu tanpa menengok satu kalipun kepada tiga orang itu. Mereka itu masih mengaduh-aduh sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri, hampir menangis saking nyerinya dan baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi!

Namun, tetap saja mereka tidak menyadari bahwa pemuda itu masih mengampuni mereka dan tidak membunuh bahkan tidak melukai secara berat, hanya menangkis dan membuat lengan kanan mereka patah tulang saja. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi, baru mereka meninggalkan tempat itu, mengambil golok mereka dan kini mereka kehilangan segala kegirangan mereka, menekuk lengan kanan dan menahan lengan itu dengan tangan kiri, kemudian merekapun kembali ke kota untuk melapor kepada atasan mereka, gelisah karena mereka tentu akan mendapat kemarahan dari atasan mereka.

********************

Serial Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

"Sungguh engkau seorang perempuan yang tidak tahu malu!"

Mungkin sudah lima kali Cun Hok Seng meneriakkan kata-kata itu kepada Cia Ling Ay, isterinya yang hanya duduk di atas kursi dengan muka menunduk, muka yang kemerahan namun pandang mata yang ditundukkan itu penuh dengan perasaan marah dan penasaran. Suaminya telah menuduhnya secara keji! Begitu tiba di rumah, sepulang mereka dari taman kuburan, suaminya memanggilnya, juga memanggil ibunya dan mereka berdua kini berada di dalam kamar itu, menjadi bulan bulanan kemarahan putera kepala daerah itu.

"Sudah kukatakan bahwa aku tidak melakukan sesuatu yang hina!” Akhirnya ia membantah sambil membalikkan tubuh, menghadapi suaminya dan memandang dengan sinar mata penasaran. Suaminya tadinya mondar mandir di dalam kamar itu, memarahi isterinya dan ibu mertuanya bengantian.

Cun Hok Seng menahan langkahnya dan berdiri di depan isterinya. mukanya merah sekali, matanya bersinar penuh kemarahan. "Apa kau bilang? Engkau mengadakan pertemuan dan bercakap cakap berdua saja dengan seorang laki-laki asing, dan kau masih berani bilang tidak melakukan sesuatu yang hina? Perbuatan itu sudah cukup hina, merendahkan martabatku, menodai kehormatanku. Apakah engkau maksudkan bahwa baru disebut hina kalau engkau sudah tidur bersama dia di satu ranjang?"

"Kau tidak berhak menuduh sekeji itu!” Kini Ling Ay bangkit berdiri dan memandang suaminya dengan kemarahan meluap. "Sudah kuceritakan bahwa dia itu bukan orang asing, namanya Kwa Bun Houw dan dahulu orang tuanya adalah sahabat baik orang tuaku."

"Bagus! Kalau begitu memang engkau sudah kenal baik dengan dia, maka berjanji mengadakan pertemuan di taman kuburan, ya?”

"Itu tidak benar! Ketika selesai bersembahyang di makam keluarga Cun dan keluarga Cia, dan melihat engkau bercakap-cakap dengan para temanmu, aku keisengan dan ingin bersembahyang di depan kuburan mendiang paman Kwa Tin dan isterinya. Dan selagi bersembahyang itulah dia muncul! Kami tidak pernah saling jumpa sejak enam tahun yang lalu, maka kemunculannya itu suatu hal yang kebetulan saja dan karena berjumpa setelah berpisah bertahun-tahun, anehkah kalau kami bercakap-cakap sedikit dan hanya sebentar?”

"Bohong! Aku tidak percaya! Kalian tentu mempunyai hubungan kotor! Ibu, hayo kau akui saja, bukankah antara Ling Ay dan pemuda itu ada hubungan yang amat akrab?"

Sejak tadi, nyonya Cia Kun Ti hanya mendengarkan saja dengan hati kecut dan muka pucat. Ia merasa menyesal sekali mengapa puterinya masih mau bercakap-cakap dengan Bun Houw sehingga hal itu dilihat para pengawal mantunya dan dilaporkan. Kini mantunya marah-marah, ia pikir bahwa urusan dahulu dengan Bun Houw tidak perlu disembunyikan, karena kalau kelak mantunya mengetahui dari orang lain, hal itu bahkan akan membuat putera kepala daerah itu semakin marah, mengira bahwa ia memang sengaja menyembunyikan kenyataan itu.

"Sesungguhnya begini, mantuku yang baik. Benar seperti yang diceritakan Ling Ay, pemuda itu bukan orang asing. Bahkan dahulu, ketika masih sama-sama kecil, oleh ayah kedua pihak diadakan perjanjian ikatan perjodohan antara Ling Ay dan Bun Houw..."

"Ahhh, begitukah?" Cun Hok Seng berseru sambil tersenyum mengejek.

Ling Ay mengerutkan alisnya, diam-diam ia mencela ibunya yang menceritakan hal-hal lampau yang sebenarnya tidak perlu disebut-sebut.

"Akan tetapi, sejak kematian keluarga Kwa suami isteri, sejak Bun Houw menjadi yatim piatu, ikatan perjodohan itu dibikin putus. Hal itu sudah terjadi enam tahun yang lalu."

"Hemm, bagus sekali! Tentu pertemuan di taman kuburan itu untuk melepas rindu antara dua orang yang dulu saling bertunangan! Memalukan!"

"Sama sekali tidak! Semua itu fitnah, hanya dugaan, tidak benar!" Ling Ay membantah marah.

"Ibu, bawa ia ke kamar dan tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Orang itu, siapa namanya tadi? Kwa Bun Houw? Ya. dia harus dibunuh."

"Ihhh...!” Mendengar ini, Ling Ay mengeluarkan jeritan kaget.

"Benar, memang dia harus dibunuh, anak kurang ajar dan tidak tahu sopan itu!” Nyonya Cia Kun Ti berkata karena memang ia menyesal sekali bahwa Bun Houw berani menemui Ling Ay di taman kuburan sehingga kini akibatnya, ia dan puterinya mendapat kemarahan besar dari mantunya.

Mendengar jerit Ling Ay dan melihat betapa wajah isterinya itu menjadi pucat mendengar dia akan membunuh Bun Houw, hati Cun Hok Seng menjadi semakin panas. "Kalian saling mencintai. Keparat. Panggil Ibu, bawa ia pergi ke kamarnya!"

Nyonya Cia Kun Ti cepat menggandeng tangan puterinya dan menariknya pergi meninggalkan kamar Cun Hok Seng yang sedang marah-marah itu. Setelah tiba di dalam kamar. ia menutupkan daun pintu dan memarahi anaknya yang segera melempar tubuh ke atas pembaringan sambil menangis.

"Kau memang anak yang bodoh! Tadipun aku sudah marah dan merasa khawatir melihat engkau bicara dengan jahanam itu di taman kuburan!" Nyonya itu mengomel panjang pendek.

Ling Ay tidak memperdulikan, hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan bantal. Ia masih merasa ngeri mendengar ancaman suaminya hendak membunuh Bun Houw. Teringat akan itu, ia membuka bantalnya dan berkata kepada ibunya yang masih mengomel itu.

"Ibu, kenapa dia hendak membunuh Houw-ko? Dia sama sekali tidak bersalah! Dia sama sekali tidak berdosa!”

"Huh, engkau malah memikirkan keselamatan jahanam itu? Pikirkan keselamatan kita sendiri! Dia memang harus dibunuh, biar kita cepat menjadi bersih dan tidak lagi mendapat marah."

"Tapi, dia sama sekali tidak bersalah, ibu. Dia datang untuk menyembahyangi makam ayah ibunya. Dia tidak tahu bahwa aku berada di sana. Kami saling jumpa hanya karena kebetulan saja, tidak kami sengaja. Dan karena sudah berjumpa di depan makam orang tuanya, kami hanya saling sapa dan saling tegur. Bukankah itu wajar dan jamak? Dia sopan, bahkan memberi selamat kepadaku atas pernikahan ku dengan pria lain. Dan sekarang, dia akan dibunuh...! Aih, ibu, apa yang harus kulakukan...? Pembunuhan itu harus dicegah! Houw-ko tidak bersalah apa-apa...!”

Akan tetapi, lbunya marah-marah. "Kau anak tolol! Biar seribu orang Bun Houw dibunuh, asal kita selamat, tidak mengapa. Kenapa engkau ribut-ribut? Sudahlah, kalau suamimu mendengar omonganmu ini, dia akan menjadi semakin marah!"

Ling Ay hanya dapit menangis semakin sedih dengan hati gelisah memikirkan Bun Houw yang akan dibunuh tanpa kesalahan apapun.

********************

"Kalian ini gentong gentong nasi yang tiada guna! Menghajar seorang pemuda gelandangan saja tidak mampu! Huh, malah patah tulang lengan. Sungguh memalukan sekali dan kami ikut merasa malu!" bentak kakek berusia enam-puluhan tahun itu.

Dia seorang kakek yang biarpun usianya sudah enampuluh tahun, namun wajahnya masih nampak segar dan tubuhnya juga masih nampak kokoh kekar walaupun tidak terlalu tinggi besar melainkan sedang sedang saja. Sepasang matanya mencorong tajam dan rambutnya yang sudah bercampur banyak uban itu disisir rapi dan diikat dengan pita sutera biru. Akan tetapi pakaiannya serba putih, dari sutera mahal dan di pinggangnya tengantung sebatang pedang. Dia ini bukan orang sembarangan dan di dunia kang-ouw namanya sudah amat terkenal sebagal Pek-i Mo-ko (Iblis Baju Putih). Akan tetapi, di kota Nan-ping dia lebih dikenal sebagai Ciong Tai-hiap (Pendekar Besar Ciong)!

Sungguh seorang yang memiliki pribadi aneh. Di dunia kang-ouw dikenal sebagai Iblis, akan tetapi masyarakat menyebutnya pendekar! Sebutan pendekar ini setelah dia menjadi pembantu utama dari kepala daerah Nan-ping, dan biarpun tidak resmi menjadi komandan pasukan pengawal, namun sesungguhnya Ciong Kui Le inilah yang menjadi kepala pengawal dan kepala semua tukang pukul dan jagoan yang menghambakan diri kepada kepala daerah! Karena dia dikenal sebagai kepala penjaga keamanan seburuh keluarga kepala daerah Cun, tidak aneh kalau dia disebut Tai-hiap (Pendekar Besar), Apalagi karena memang semua orang tahu betapa lihai Ilmu silat dan ilmu pedang orang she Ciong ini.

Dia duduk dalam sebuah ruangan dari bangunan yang berada di sebelah gedung tempat tinggal kepala daerah Cun. Bangunan ini cukup besar dan memiliki banyak kamar. Di tempat inilah berkumpul semua jagoan yang bekerja untuk kepala daerah. Merekalah yang bertugas mengamankan kota Nan-ping dari rongrongan orang jahat. Karena mereka adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw, bahkan Pek-I Mo-ko amat ditakuti dan menjadi datuk sesat, maka setelah dia dan anak buahnya yang menjamin keamanan kota Nan-ping, maka tidak ada penjahat berani berkutik. Kota Nan-ping menjadi aman dari kejahatan karena dilindungi oleh penjahat-penjahat besar!

Akan tetapi, kalau pemerasan dari penjahat tidak pernah terjadi, maka pemerasan satu-satunya datang dari kepala daerah melalui peraturan-peraturan yang mencekik leher rakyat dan penduduk Nan-ping pada umumnya! Sudah bukan rahasia lagi betapa para hartawan mengalirkan sebagaian besar kekayaan dan penghasilannya ke dalam rumah gedung kepala daerah Cun! Semua ini mereka lakukan demi keamanan diri dan usaha dagang mereka. Kalau tidak, maka banyak sudah terjadi pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan secara sembunyi, tentu saja oleh para jagoan yang dipimpin oleh Ciong Tai-hiap!

Dan kalau ada penjahat dari luar daerah yang belum tahu berani mengacau, tampillah sang pendekar berpakaian putih ini untuk menghajarnya, bahkan ada pula yang dibunuhnya dan digantungnya di depan umum sehingga pada umumnya, penduduk mengagumi kakek baju putih yang di tempat umum tidak pernah melakukan kekerasan itu! Kekerasan yang dilakukan di depan umum hanya terhadap para penjahat dan sikapnya terhadap rakyat melindungi! Hanya mereka yang pernah menentang kehendak kepala daerah saja yang tahu betapa sadisnya "pendekar" ini menyiksa orang untuk mematahkan semangat perlawanan mereka terhadap kepala daerah Cun.

Ciong Tai-hiap ini pula yang menyuruh tiga orang anak buahnya untuk menghajar Bun Houw, setelah dia mendapat perintah dari Cun Hok Seng yang mendengar laporan dari seorang pengawalnya bahwa isterinya tadi bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing.

"Hajar pemuda itu sampai cacat dan usir dia pergi dari Nan-ping," demikian perintah Cun Hok Seng pada Ciong Tai-hiap yang melanjutkan perintah itu kepada tiga orang pembantunya yang terkenal dengan ketajaman golok dan kekerasan tangan mereka.

Akan tetapi apa yang terjadi? Tiga orang jagoan yang disuruhnya menghajar Bun Houw itu pulang dengan lengan kanan mereka patah tulang! Maka, tidak mengherankan kalau dia marah-marah. Biarpun yang dikalahkan orang lain itu bukan dia, hanya anak buahnya, itu pun bukan anak buah yang pilihan, namun hal itu sama saja dengan menampar pipinya, merendahkan dan menghinanya. Yang hadir dalam ruangan itu ada belasan orang. Seorang di antara mereka, melihat pemimpinnya marah dan mendengar bahwa tiga otang rekannya itu patah tulang lengan kanan mereka oleh lawan, segera berkata,

"Ciong toako (kakak tua Ciong), agaknya orang itu berisi, maka biarlah aku yang akan mewakili mu untuk menghajarnya."

Semua orang memandang kepada pembicara itu dan mereka semua merasa yakin bahwa kalau yang turun tangan orang ini, maka segalanya tentu akan beres. Dia seorang pria berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus sekali sehingga kedua pipinya sampai peyot dan cekung seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi, semua orang tahu belaka siapa adanya tokoh yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) ini! Bahkan kakek pakaian putih itu sendiri mengangguk-angguk, akan tetapi dia berkata,

"Bukan engkau, Kiam-mo. Engkau sudah memiliki tugas sendiri yang lebih penting sebentar malam, bukan Engkau barus membantu Ngo-kwi (Lima Iblis) yang menerima tugas dari Loya (Tuan Tua, yaitu Kepala Daerah), dan tugas itu harus kalian berenam selesaikan dengan baik karena amat penting sekali. Menghajar seorang bocah kurang ajar bukan hal yang terlalu penting. Yang lain saja!”

"Ha-ha-ha. benar sekali!” Tiba-tiba seorang di antara mereka, laki-laki yang tubuhnya bulat seperti bola, usianya empat puluhan, tertawa bengelak. Orang ini memang aneh. Pakaiannya kedodoran dan bajunya tidak mempunyai kancing lagi bagian depan sehingga perutnya yang buncit nampak bagian atas, dadanya juga telanjang, nampak kulit dada putih, dan sepasang bukit dada yang besar seperti kepunyaan wanita. Saking gendutnya, dia nampak, seperti bola memiliki kaki dan tangan. Anehnya, kepalanya kecil, seperti kepala kanak-kanak, matanya sipit dan mulutnya lebar separuh kepala yang selalu tertawa dan selalu dijejali makanan dan minuman.

"Untuk menyembelih, seekor kelenci. perlu apa menggunakan golok besar? Kalau hanya menghadapi seorang bocah ingusan, serahkan saja kepadaku, toa-ko. Katakan siapa namanya, di mana aku dapat menangkapnya, lalu aku harus apakan dia. Dihajar setengah mati, diseret ke sini, atau dibunuh sekaligus. Katakan dan perintahkan saja. Cukup aku, tidak perlu merepotkan Bu-tek toako Bu-tek Kiam-mo! Ha-ha-ha!”

Sehabis bicara dan tertawa lebar, si gendut ini menyambar guci arak di atas meja, lalu menuangkan isi guci ke dalam mulutnya yang lebar sehingga terdengar suara menggelogok masuknya arak ke dalam perutnya yang seperti gentong besar itu.

Sekali ini, Pek-I Mo-ko mengangguk-angguk dan tersenyum lega. "Memang tepat sekali kalau engkau yang maju, Gu-siauwte (adik Gu). karena kalau yang maju kurang dapat diandalkan, kukhawatir akan gagal lagi. Dan kalian bertiga, cepat obati luka di lengan, kalian, kemudian temani Gu-siauwte ini dan ajak dia mencari bocah itu sampai dapat! Gu-siauwte, sebaiknya kalau bertemu dengan dia, habisi saja dan usahakan agar mayatnya tidak dilihat orang."

"Ha-ha-ha, itu perkara mudah, toako. Tanggung sebelum hari gelap, bocah itu sudah tidak ada lagi, baik nyawanya maupun badannya, ha-ha-ha!”

Dia lalu bangkit dan memberi isarat kepada tiga orang jagoan yang tadi dikalahkan Bun Houw, lagaknya seperti memberi isarat kepada tiga ekor anjingnya saja. Memang dalam hal tingkatan, si gendut ini jauh lebih tinggi dari pada tiga jagoan yang patah tulang lengannya itu. Dia bernama Gu Mouw, berjuluk Siauw-bin Pek-ti (Babi Putih Muka Senyum) sesuai dengan kulitnya yang putih mulus dan mukanya yang selalu tersenyum, dan dalam urutan kedudukannya di dalam kelompok jagoan yang dipelihara Kepala daerah Cun di kota Nan-ping, dia menduduki tingkat ke tiga!

Orang partama tentu saja Pek-i Mo-ko Ciong Kui Le, orang ke dua adalah si kurus kering Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe dan orang ke tiga adulan si gendut ini. Masih ada orang ke empat yang merupakan sekelompok dari lima orang bersaudara yang dikenal dengan sebutan Ngo-kwi (Lima Iblis) yang tadi disebut-sebut oleb Pek-I Mo-ko. Tiga orang jagoan yang patah tulang lengan kanannya itu dengan girang lalu meninggalkan ruangan mengikuti Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw.

Mereka merasa lega tidak menerima hukuman, dan merekapun merasa yakin bahwa kalau sampai orang ke tiga ini maju, tentu pemuda itu akan dapat dikalahkan. Mereka masih memiliki lengan kiri yang sehat, dan kalau pemuda sudah roboh, mereka akan dapat dengan sepuas hati membalas dendam sakit hati mereka, mereka akan mematah-matahkan seluruh tulang di tubuh pemuda itu! Bagi orang yang sudah terbiasa menjadi hamba nafsu dendam, perasaan dendam memang manis dan mendatangkan semangat!

Karena nafsu dendam ini, mereka segera mengobati lengan yang patah tulangnya, membalut kuat dan menggantungnya, kemudian mereka bertiga tidak ketinggalan membawa golok mereka, mengikuti si gendut Gu Mouw yang masih terus tertawa-tawa gembira dan nampaknya dia tenang saja, seolah-olah tugasnya itu merupakan pekerjaan sepele yang akan dapat dirampungkan dengan amat mudahnya.

Nan-ping bukan sebuah kota yang terlalu luas, Apalagi bagi para jagoan yang sudah mengenal seluruh seluk beluk kota itu, dan di mana-mana mereka disambut orang dengan ketakutan dan patuh sehingga untuk mencari Bun Houw bukan pekerjaan sukar bagi mereka. Sebelum lewat lengah hari, mereka sudah mendapat keterangan bahwa pemuda yang mereka cari itu baru saja keluar dari kota Nan-ping. melalui pintu gerbang barat. Mereka segera melakukan pengejaran dengan menunggang kuda dan benar saja, kurang lebih dua li di luar kota Nan-ping, mereka dapat menyusul pemuda yang sedang berlenggang seenaknya itu.

Pemuda itu memang Bun Houw. Dia meninggalkan kota Nan-ping, tanah tumpah darahnya, kampung halamannya, kota di mana dia dilahirkan dan dibesarkan selama lima belas tahun, kota di mana terdapat segala macam kenangan dari yang paling manis sampai yang paling pahit. Terpaksa dia meninggalkan kota itu. Untuk apa berlama-lama kalau hanya akan mendatangkan perasaan pahit dan juga ancaman-ancaman kedamaian hidupnya?

Di sana ada Ling Ay yang sudah menjadi mantu kepala daerah! Dan suaminya agaknya memusuhinya, mungkin karena cemburu melihat dia bercakap-cakap sebentar dengan Ling Ay di depan makam ayah ibunya. Dia harus pergi, secepatnya. Bukan karena dia takut menghadapi ancaman itu. Sama sekali bukan, melainkan dia harus cepat pergi demi ketenteraman rumah tangga Ling Ay!

Ketika mendengar derap kaki beberapa akor kuda dari arah belakang, dia masih belum menyangka buruk, hanya mengira bahwa tentu ada rombongan orang berkuda meninggalkan kota Nan-ping pula. Akan tetapi tiba-tiba setelah empat ekor kuda datang dekat di belakangnya dia mendengar bentakan orang.

"Orang muda yang sombong, berhenti dulu!"

Bun Houw menahan langkahnya, memutar tubuhnya dan dia melihat tiga orang penjahat yang dia patahkan tulang lengannya tadi, berada di atas punggung kuda masing-masing dengan sikap angkuh dan marah, dengan lengan kanan dibalut dan digantung di depan dada. Orang ke empat adalah seorang yang tubuhnya gendut bukan main, dan agaknya amat berat sehingga kuda yang ditungganginya berpeluh dan terengah-engah, tidak seperti tiga ekor kuda lainnya. Akan tetapi si gendut itu tidak kelihatan jahat, bahkan mukanya yang kecil kekanak-kanakan itu dipenuhi senyum mulutnya yang lebar.

"Hemm, kiranya kalian bertiga yang datang mengejarku. Ada Apalagi?" Bun Houw bertanya dengan sikap tenang.

"Ha-ha-ha-ha!” Laki-laki gendut itu tertawa bergelak, ketika dia tertawa itu, perutnya yang bagian atasnya nampak karena bajunya tidak ada kancingnya, bergelombang dan kuda yang ditungganginya gemetar keempat kakinya. Melihat ini, diam-diam Bun Houw mengerti bahwa si gendut ini bukan orang sembarangan dan memiliki tenaga yang dahsyat.

"Bagus, bagus! Jadi engkau inikah pemuda yang telah mematahkan tulang tiga orang jagoan kalahan ini? Heh-heh-heh!"

Diapun merosot turun dari atas punggung kuda. melalui belakang kuda! Bun Houw merasa geli dan dia tersenyum, akan tetapi tiga orang tukang pukul itu cemberut karena diejek sebagai jagoan kalahan! Namun, tentu saja mereka tidak berani berkutik atau mengeluarkan bantahan terhadap si gendut yang merupakan seorang atasan bagi mereka.

Karena Bun Houw belum tahu siapa si gendut itu yang sikapnya terhadap dirinya tidak memusuhi, maka diapun bersikap ramah, mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan lalu menjawab, "Sesungguhnya aku tidak pernah mempunyai pikiran hendak mematahkan tulang lengan mereka. Aka tetapi mereka itu keliru mempergunakan tangan, tidak untuk bekerja dengan baik melainkan hendak membunuhku, sehingga mereka kesalahan tangan dan akibatnya tulang mereka patah. Sungguh, mereka sendiri yang mencari penyakit dan mereka yang bersalah sedangkan aku tidak pernah mengganggu mereka, mengenal merekapun tidak.”

Bun Houw mengira bahwa si gendut yang kelihatan ramah itu tentu akan dapat menerima, alasannya dan mempertimbangkan keadaannya dengan bijaksana. Oleh karena itu, alangkah terkejutnya mendengar si gendut itu. sambil mulutnya masih tersenyum lebar, berkata dengan lantang.

"Orang muda, aku datang untuk membunuhmu! Terserah kepadamu apakah engkau akan mengambil nyawamu sendiri atau harus kupaksa nyawamu meninggalkan tubuhmu, ha-ha-ha!”

Berkerut sepasang alis Bun Houw dan kini matanya berkilat ketika dia memandang wajah si gendut yang seperti anak kecil itu. Kiranya si gendut ini hanya nampaknya saja baik hati namun sesungguhnya memiliki kekejaman yang tidak kalah dibandingkan tiga orang jagoan yang patah tulang lenpan mereka itu.

"Ah, kiranya begitu? Sobat yang gendut, coba katakan, mengapa engkau datang hendak mengambil nyawaku?" tanyanya, sikapnya masih tenang sekali dan hal ini saja sudah membuat Siauw bin Pek-ti Gu Mouw penasaran. Orang mau diambil nyawanya kok masih enak-enak saja. sungguh tak tahu diri benar pemuda ini!

"Bocah sombong," katanya dan karena mulutnya masih menyeringai tersenyum, tahulah Bun Houw bahwa senyum itu bukan senyum ramah atau buatan, memang mulutnya terlalu lebar sehingga selalu nampak tersenyum dan terbuka.

"Engkau berhadapan dengan tuan besarmu Gu Mouw yang hendak mengambil nyawamu! Apakah engkau tidak cepat berlutut minta ampun?"

"Sobat gendut she Gu, engkau bukan malaikat maut pencabut nyawa, dan akupun bukan orang yang mudah saja menyerahkan nyawa! berhati-hatilah, jangan sampai kesalahan tangan seperti tiga orang temanmu itu dan engkau sendiri yang akan menderita." Dalam ucapan itu, walaupun halus. Bun Houw telah memperingatkan dan mengejek calon lawannya.

"Ha-ha-ha, bagus! Aku lebih senang kalau engkau melawan, menggembirakan sekali! Nah, coba kau ia sambut ini, orang muda!" Tiba-tiba saja si gendut sudah menerjang ke depan dan kedua tangannya dengan cepat sekali telah mengirim pukulan dari kanan kiri, yang kanan menghantam ke arah pelipis kiri Bun Houw yang kiri menyambar dahsyat untuk menghantam lambung.

Namun, Bun Houw, yang sudah bersiap siaga itu dengan mudah melangkah mundur dua langkah dan dua pukulan itupun. hanya mengenai angin saja. Namun, si gendut yang bundar itu memang hebat. Biarpun tubuhnya bulat dan berat, dia mampu bengerak cepat dan begitu kedua pukulannya tidak mengenai sasaran, tubuhnya sudah menggelundung dengan cepat. Nampaknya saja menggelinding saking besarnya perut itu namun sesungguhnya, dia melangkah cepat ke depan dan kembali dia sudah memukul dengan kedua tangannya didorong ke depan, telapak tangannya terbuka...