Tangan Gledek Jilid 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 32

“Kita harus menggunakan akal. Kau tetap bersikap seperti tadi, penuh kepercayaan. Seperti biasa ia akan mengembalikan Leng Leng kalau kau menyusul ke sana. Kemudian secara diam diam kita akan pergi dari sini."

Dengan hati berdebar gelisan mereka menanti-nanti, akan tetapi sampai keesokan harinya, Toat-beng Kui-bo tak kunjung datang. Terpaksa Li Hwa lalu naik menyusul ke tempat tinggal nenek itu, sedangkan Sin Hong menanti dari tempat yang tidak begitu jauh sambil mengintai. Tak lama kemudian ia melihat Li Hwa berlari kembali sambil menangis.

"Celaka... dia... dia sudah pergi membawa Leng Leng!" katanya.

Sin Hong menjadi pucat dan berlaku nekad. Ia cepat lari ke arah tujuh buah gua besar dan mencari, bersiap un tuk menempur Toat beng Kui-bo. Akan tetapi betul seperti kata-kata isterinya, nenek itu tidak kelihatan bayan gannya lagi. Agaknya nenek itu dapat menduga bahwa Li Hwa takkan mau mengaku dia sebagai ibu lagi dan dengan marah lalu pergi membawa Leng Leng.

"Sudahlah, jangan kau menangis." Sin Hong menghibur isterinya. "Bagaimanapun juga dia amat sayang kepada Leng Leng. Dia pergi tentu karena takut kalau kita membawa anak itu pergi meninggalkamnya, maka ia mendahului dan membawa anak kita."

"Ke mana kita harus mengejar dan mencarinya?”

"Kalau tidak salah dugaanku, dia tentu pergi mencari Ang-jiu Mo-li. Tentu dia marah sekal i kepada Ang. jiu Mo-li karena Si Tangan Merah itulah yang membuka rahasianya. Maka kita harus mencari di utara, di kota raja Kerajaan Kin, karena aku mendengar bahwa Ang-jiu Mo-li pernah menjadi guru dari anak-anak Pangeran Wanyen Ci Lun dan kiranya tidak terlalu salah kalau kita mencari dia di sana."

Tanpa membuang waktu lagi, suami isteri ini menyusul ke kota raja dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka bertemu dengan Pangeran Wanyen Ci Lun setelah berhasil mcmasuki kora raja, hal yang tidak mudah karena kota raja itu sudah terkurung oleh bala tentara Mongol.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

"Demikianlah, kita menyusul ke sini. Ternyata terlambat dan baru kemarin anakku diculik oleh kaki tangan Liok Kong Ji.” Sin Hong mengakhiri penuturannya sambil membanting kaki.

Dari ruangan datang Li Hwa berlari sambil menangis. Nyonya inipun mendengar Gak Soan Li tentang penculikan atas diri Le ng Leng pada malam tadi oleh orang-orang Mongol. Sambil menangis ia berlari mencari suaminya.

"Kita harus mengejar ke s ana. sekarang juga!" Nyonya ini berteriak marah. "Biar kita mengadu jiwa dengan iblis jahat Liok Kong Ji!”

Sin Hong menyabarkan isterinya. “Mari kita berunding dulu dan mengatur siasat jangan terburu nafsu."

Gak Soan Li dan Go Hui Lian juga menyusul ke situ untuk menghibur Li Hwa dan sekarang merekapun dipersilahkan duduk di ruangan itu. Mendengar disebutnya nama Liok Ko Ji oleh Li Hwa tadi, tak tertahan lagi Soan Li bertanya,

"Heran sekali, bukankah iblis yang namanya Liok Kong Ji itu dahulu sudah mampus kubunuh dengan pedangku? Bagaimana sekarang bisa muncul di antara orang-orang Mongol?" ia bertanya demikian sambil memandang kepada suaminya, padahal Pangeran Wanyen jugu maklum kepada siapa pertanyaan ini ditujukan. Maka ia lalu berkata kepada Sin Hong.

"Saudara Sin Hong hanya kaulah yang dapat menjawab pertanyaan isteriku tadi. Sudah lama kami terganggu oleh pertanyaan yang tak terjawab ini."

Sin Hong menarik napas panjang. "Memang yang terbunuh dahulu itu bukan Liok Kong Ji. Dia terlalu licin dan siang-siang sudah menyediakan orang ke dua yang mukanya memang serupa dengan dia. Orang itulah yang terbunuh sedangkan dia sendiri melarikan diri ke utara dan menggabung kepada orang-orang Mongol.”

"Dan sejak dulu kau sudah tahu akan ini?" tanya Pangeran Wanyen.

Sin Hong mengangguk. "Sengaja aku diam saja agar jangan menggelisahkan hati banyak orang, iblis itu memang jahat sekali dan sampai sekarang ia masih saja mendatangkan kesusahan kepadaku. Akan tetapi sekarang aku akan menyusul ke sana dan sekali ini perhitungan terakhir harus dibuat. Dia atau aku yang mati."

"Adik Li Hwa. jangan khawatir, kami akan ikut membantumu," tiba-tiba Hui Lian berkata yang disetujui oleh Hong Kin dan Lee Giok.

Sin Hong menggeleng kepala. "Untuk memasuki perkemahan orang orang Mongol secara sembunyi, lebih baik dilakukan oleh seorang saja. Makin banyak makin berbahaya karena ketahuan seorang saja bearti akan menggagalkan urusan. Bahkan Li Hwa sendiri harus menanti di sini dan akulah yang akan pergi ke sana. Kalau aku berhasil merampas kembali Leng Leng tanpa pertempuran, itulah paling baik. Kalau tidak, terpaksa aku harus mengadu nyawa dengan Li ok Kong Ji. Malam nanti aku berangkat dan terima kasih atas kesediaan kalian membantu dan berkorban.”

Percakapan dilanjutkan dan mereka menuturkan riwayat masing-masing selama berpisah. Dengan girang akan tetapi juga terharu sekali Hong Kin dan Hui Lian mendengar penuturan Sin Hong tentang diri Tian Bu yang menurut Sin Hong kini sudah memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan betapa pemuda itu disiksa oleh keraguan karena pengakuan Liok Kong Ji kepadanya sebagai anaknya. Tentu saja ketika menceritakan hal Tiang Bu, Sin Hong sengaja agar jangan sampai terdengar oleh Soan Li yang sedang bercakap-cakap dengan Li Hwa. Juga Lee Goat, Wan Sun dan Wan Bi Li sudah ikut bercakap-cakap dengan gembira.

Dalam kesempatan ini terdorong oleh kegembiraan bertemu dengan sababat baik Sin Hong melupakan kedudukannya dan timbul niat yang amat baik. Ia menghampiri Pangeran Wanyen Ci Lun dan membisikkan sesuatu, kemudian iapun memberi tahu dengan suara perlahan kepada Coa Hong Kin. Dua orang ini saling pandang, tersenyum dan kemudian mengangguk setuju. Tak lama kemudian larilah Lee Goat keluar sari ruangan itu dengan muka merah ketika Pangeran Wanyen Ci Lun dan Coa Hong Kin mengumumkan pertunangan antara Wan Sun dan Coa Lee Goat!

Adapun Wun Sun yang mendengar ini, juga menjadi merah sekali mukanya, akan tetapi lirikan matanya sekilas ke arah Bi Li membayangkan kehancuran hatinya. Pemudaa ini semenjak mendengar bahwa Bi Li bukan adik kandungnya, yaitu ketika ia mendengarkan percakapan antara ayah bundanya dan Kwan Kok Sun, berubahlah pandangannya terhadap gadis yang selama ini ia sayang sebagai adik sendiri itu. Diam-diam bersemi cinta kasih yang lain dalam hatinya terhadap Wan Bi Li.

Maka dapat dibayangkan betapa hancur hatinya mendengar keputusan ayahnya bahwa ia dijodohkan dengan Coa Lee Goat, sungguhpun harus akui bahwa Lee Goat bukan gadis sembarangan dan tidak tercela sedikitpun juga. Setelah mengerling sekilas ke arah Bi Li dengan hati hancur, iapun mengerling ke arah Wan Sin Hong dengan hati menaruh dendam.

Tadinya tiap kali memandang kepada Wan Sin Hong, pemuda ini merasa kagum dan juga bangga karena pendekar itu masih satu she dengan dia dan masih terhitung paman. Akan tetapi setelah Sin Hong mengusulkan perjodohan itu, diam-diam Wan Sun menjadi marah dan sakit hati kepada Sin Hong.

Malam tiba. Sin Hong sudah berkemas menyiapkan pedangnya dan berpakaian serba ringkas, Li Hwa tadinya merengek hendak ikut karena ia mengkhawatirkan keselamat suaminya, akan tetapi setelah Sin Hong menjelaskan bahwa pergi dua orang akan lebih berbahaya, ia mengalah. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar berkali-kali disusul sorak-sorai menggegap-gempita.

"Musuh menyerbu…!”

"Mereka membobol dari empat jurusan...!"

“Siap…! Lawan...!"

Teriakan ini simpang siur. Sin Hong dan Li Hwa menjadi pucat karena suara ledakan tadi hebat luar biasa membuat kamar mereka seperti hendak roboh. Cepat mereka melompat keluar dan hampir mereka bertumbukan dengan Coa Hong Kin dan isterinya yang juga berlari keluar.

“Tantara Mongol melakukan serbuan besar-besaran," kata Hong Kin.

"Mari kita cari Pangeran Wanyen Ci Lun. Kita bantu dia!" kata Sin Hong dengan hati tetap dan suara tenang. Tadinya memang pendekar ini tidak ada nafsu untuk mencampuri urusan perang, akan tetapi karena Kong Ji berada di pihak sana dan puterinya sekarang diculik pula oleh orang-orang Mongol, ia tidak bisa tinggal diam saja. Datang pula Lee Goat dan berlima mereka lari ke ruangan besar di mana Pangeran Wanyen Ci Lun sudah berkumpul dengan para panglima, membagi-bagi perintah.

Juga Kwan Kok Sun, Wan Sun. dan Wan Bi Li sudah berada di situ, semua berpakaian dinas, Gak Soan Li tidak setinggalan. N yonya ini dulu mendampingi suaminya, sedetikpun tak mau ditinggal. Pedang tajam berkilauan berada di tangan kanannya dan pakaiannya ringkas, membuat ia nampak gagah biarpun wajahnya agak pucat. Setelah selesai me mbagi-bagi tugas dan semua panglima sudah pergi melakukan penjagaan sekuatnya. Wanyen Ci Lun berpaling kepada Sin Hong dan memegang kedua tangannya.

"Saudaraku yang baik, sayang sekali sebelum kau merampas kembali anakmu, setan-setan itu sudah datang menyerbu. Seperti sudah kukhawatirkan, mereka kini agaknya mengerahkan seluruh kekuatan, menyerbu dari empat penjuru. Kau dengar tembok bagian utara sudah bobol dan agaknya malam ini kita harus menyerah kalah. Akan jatuh banyak korban...” suara pangeran itu menggetar, “akan tetapi aku akan mempertahankannya dengan titik darah penghabisan! Aku hanya minta kepadamu, Wan Sin Hong saudaraku, kau selamatkan dua orang anakku. Jangan mereka ikut berkorban seperti aku dan... dan istriku yang setia ini."

"Jangan khawatir, kami akan membantumu menghadapi iblis-iblis Mongol itu apabila mereka betul-betul menyerbu ke sini,” jawab Sin Hong terharu.

"Jangan... kau jaga saja Bi Li dan Wan Sun. Jangan biarkan mereka membuang nyawa sia-sia... nah, selamat tinggal, aku harus pimpin sendiri anak buahku!" Wanyen Ci Lun bersama isterinya keluar, akan tetapi sebelumnya mereka menghampiri Bi Li dan Wan Sun. Pangeran itu dengan suara mamerintah berkata, "Kalian kutugaskan menjaga rumah kita agar jangan dimasuki orang-orang jahat dalam keadaan sekacau ini!”

“Baik, ayah!” jawab mereka bcrbareng, nampak bangga karena mendapat bagian tugas.

Perang hebat terjadi pada malam itu. Darah membanjiri kota raja. Tentara Mongol mengamuk laksana iblis-iblis neraka mencari kurban. Rumah-rumah dirampok dan dibakar orang-orang dibunuh, wanita-wanita cantik diculik. Jerit tangis bercampur aduk dengan pekik marah dan kesakitan. Api mengaamuk membakari rumah. Perlawanan fihak tentara Kin juga patut dipuji pantang mundur. Namun mereka kalah banyak dan makin lama makin terdesak mundur. Balatentara Kin makin mendekati lingkungan Istana yang sudah hampir kosong karena ditinggalkan oleh para pembesar yang sudah mengungsi lama sebelum penyerbuan terjadi.

Dalam kekecauan seperti itu balatentara Mongol tak dapat ditahan lagi. Se bagian, mereka yang jahat dan memang tadinya orang-orang jahat seperti perampok dan lain-lain yang menggabungkan diri hanya dengan maksud mencari kesempatan, menyerbu ke dalam istana untuk mencari benda-benda berharga. Akan tetapi beberapa orang yang “kesasar” ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun, hanya mengantarkan nyawa karena di sana mereka disambut oleh orang-orang gagah!

Sin Hong dan isterinya juga keluar. Di sana sini mereka merobohkan beberapa orang musuh yang sedang menyeret wanita atau sedang membakari rumah. Melihat keadaan yang tak tertahankan lagi , Sin Hong maklum bahwa melakukan perlawanan akan sia-sia belaka. Ia mengajak Li Hwa kembali ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun. Ternyaia di situ pun sudah terjdi pertempuran. Wan Sun, Wan Bi Li dibantu oleh Hui Lian dan Hong Kin serta Lee Goat sedang mengamuk, dikeroyok oleh belasan orang tentara Mongol yang buas. Sin Hong marah sekali. Pedangnya berkelebatan dan para pengeroyok itu seben tar saja terbasmi habis.

"Wan Sun, Bi Li, tak mungkin dapat dipertahankan lagi. Pertahanan sudah bobol, perlawanan hampir tidak ada lagi. Sebentar lagi mereka semua pasti akan menyerbu ke mari dan kita takkan dapat mempertahankan lagi. Mari kita keluar dari sini dengan jalan darah dapat kita keluar dari kepungan." kata Sin Hong.

"Tidak…! Kita harus mencari ayah, Bi Li.” Wan Sun menyambar lengan adiknya, "Mari...!" Dan tanpa dapat dicegah lagi kakak beradik itu berlari keluar mercari ayah mereka.

Sin Hong hanya manggeleng kepala, akan tetapi diam-diam ia merasa kagum. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mencegah mereka pergi dan memaksa mereka itu ikut dengan dia menyelamatkan diri. Akan tetapi ia tak tega berbuat demikian. Ia tidak mau menghalangi sikap mereka yang gagah perkasa yang hendak membela ayah dan membela negara.

"Biarkan mereka, mereka memang berhak. Kalau Thian manghe ndaki, mereka akan dapat lolos dengan selamat."

kata Sin. Hong. Kemudian ia bersama isterinya, Hong Kin. Hui Lian dan Lee Goat inenyerbu keluar dan membuka jalan darah ke selatan. Pekerjaan ini bukan mudah karena di mana-mana mereka dihalangi oleh tentara Mongol yang tentu saja tidak mau melepaskan rombongan di mana ada tiga orang wanitanya yang can tik-cantik. Akan tetapi mereka ini bukan lawan berat bagi Sin Hong dan kawan-kawannya. Akhirnya Sin Hong berhasil membawa rombongannya melalui pintu selatan yang sudah tak terjaga lagi. Kota raja menjadi lautan api di sana-sini bertumpukan mayat-mayat dan orang-orang terluka. Jerit wanita-wanita diseret, orang-orang dibunuh, memenuhi udara.

"Kalian pulang dulu ke Kim-bun-to, aku akan berusaha mencari Kong Ji dan membuat perhitungan!" kata Sin Hong.

Li Hwa maklum bahwa suaminya lebih bebas kalau bergerak sendiri menghadapi lawan-lawan yang amat berbahaya seperti Kong Ji dan tokoh-tokoh Mongol, maka ia tidak membantah dan melanjutkan parjalanan cepat ke selatan. Sedangkan Sin Hong barkelebat kembali ke kota raja yang geger itu. Di mana-mana masih terdapat pertempuran mati-matian, yaitu perlawanan dari sisa-sisa pengawal dan panglima yang tidak mau menyearah kalah.

Dengan tubuh penuh luka-luka dan mandi darah, Pangeran Wanyen Ci Lun berlari terhuyung-huyung menuju ke istana sambil memondong tubuh Gak Soan Li yang juga penuh luka dan sudah pingsan. Pangeran ini bersama anak buahnya melakukan perlawanan juga Soan Li membantunya.

Ketika memasuki istananya, beberapa orang serdadu menyerbunya. Namun dalam keadaan terluka. Pangeran Wanyen Ci Lun masih gagah dan setelah serdadu perampok kena dirobohkan, yang lain pada lari. Istana itu sudah awut-awutan, barang-barang berharga sudah menjadi rebutan. Akan tetapi Wanyen Ci Lun merasa lega karena tidak melihat anak-anaknya menjadi korban. Ia hanya mengharapkan anak-anaknya sudah pergi bersama Sin Hong. Setelah tiba di ruang tengah, ia tidak kuat lagi. Darah sudah te rlalu banyak keluar dari tubuhn ya. Ia roboh terguling dengan Soan Li masih dalam pelukannya. Soan Li membuka matanya, nampaknya kaget dan takut. Akan tetapi menjadi tenang lagi kelika melihat bahwa ia berada dalam pelukan suaminya yang duduk menyandar tembok.

"Kau... kau gagah sekali..." ia memuji suaminya yang mandi darah. Tadi ia mengamuk tanpa memperdulikan keselamatan nyawa sendiri, padahal para pangeran dan para pembesar yang lain sudah siang-siang lari mengungsi, tak lupa membawa harta mereka.

Wanyen Ci Lun meraba pipi isterinya dengan sentuhan mesra. "Kaupun gagah perkasa dan kau isteriku yang setia...”

Di luar suara peperangan masih ramai. Sorak-sorai suara serdadu-serdadu Mongol membuktikan bahwa pertahanan tentara Kin makin runtuh. Pangeran Wanyen Ci Lun menghela napas. "Runtuhlah kekuasaan Kin dan sebentar lagi kalau iblis-iblis itu masuk ke sini, kita akan mati."

Akan tetapi Soan Li tidak merasa gentar. "Tidak apa mati disampingmu." jawabnya. "Suamiku, dalam saat terakhir ini, aku ingin sekali keraguanku lenyap. Jawablah, siapakah sebenarnya Wan Sin Hong itu? Begitu bertemu muka, aku merasa bahwa dahulu aku pernah bertemu dengan dia... dan... dia serupa benar dengan... dengan..." Ia tak berani, melanjutkan kata-katanya dan memandang wajah suaminya.

Wanyen Ci Lun tersenyum dan mengangguk. "Sama dengan Gong Lam...?"

Kini Soan Li yang mengangguk. "Memang dia itu Gong Lam, isteriku. Mula-mula kau bertemu dengan dia, dengan Win Sin Hong yang mengaku bernama Gong Lam. Kemudian muncul iblis busuk Kong Ji yang mengaku bernama Wan Sin Hong dan kemudian mengaku bernama Gong Lam. Kau diberinya minum racun yang merampas ingatanmu. Kemudian muncullah aku yang begitu melihatmu terus jatuh cinta. Atas kehendak Wan Sin Hong, aku terpaksa mengaku sebagai Gong Lam pula untuk membantu ingatanmu yang ketika itu belum sadar betul.”

Soan Li merangkul suaminya."Kau memang mulia... dan bagaimana dengan... dengan anak si keparat itu? Betul-betulkah ketika Hui Lian menyatakan bahwa anak itu sudah... sudah mati?"

Pada seat itu, dari luar menerobos seorang pemuda. Gerakannya ringan dan gesit sekali. Ternyata dia ini adalah Liok Cui Kong yang malam kemarin datang di istana ini bersama gurunya dan berhasil menculik Leng Leng. Pemuda ini tentu saja ikut menyerbu kota raja dan begitu tentara Mongol berhasil menguasai istana, pertama-tama yang ia lakukan adalah lari ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun, karena ia teringat akan Wan Bi Li gadis jelita yang membuat ia rindu dan gandrung itu. Melihat Pangeran Wanyen Ci Lun duduk bersandar tembok sambil memeluk tubuh isterinya, keduanya bermandi darah dan sudah lemah sekali. Cui Kong tertawa mengejek.

"Pangeran Wanyen Ci Lun, mana kegagahanmu? Ha-ha-ha-ha, akhirnya Kerajaan Kin harus bertekuk lutut juga. Kemarin kau masih kaya raya dan menikmati kemuliaan, sekarang akan habislah semua harta benda berikut nyawa keluargamu. Ha-ha-ha!"

Gak Soan Li dan Pangeran Wanyen Ci Lun heran sekali melihat persamaan pemuda ini dengan Liok Kong Ji, yaitu persamaan dalam gerak-gerik dan kekejamannya. Dalam hal rupa memang berbeda, Cui Kong bahkan lebih tampan. Akan tetapi pemuda ini benar-benar mewarisi sifat-sifat jahat dari Liok Kong Ji.

"Iblis kecil...! kami mati sebagai orang-orang gagah, sebagai patriot bangsa, matipun tidak menyesal, sebaliknya kau dan kawan-kawanmu hidup sebagai manusia-manusia hina dina, sebagai orang orang Han yang tak tahu malu, panjual negara penjilat bangsa Mongol!"

"Bangsat!" Cui Kong marah sekali dan melompat maju. Huncwe digerakkan ke atas siap memukul kepala pangeran itu yang memandangnya dengan mata tak berkedip, sama sekali tidak gentar menghadapi maut. Dia dan isterinya sudah tidak berdaya tidak ada tenaga untuk menggerakkan badan melakukan perlawanan.

Akan tetepi Cui Kong menahan huncwenya ketika teringat akan gadis jelita yang tidak ia lihat di situ. "Bagaimanapun juga, kalau teringat akan puterimu aku jadi tidak tega membunuhmu. Eh, Pangeran Wanyen, di mana puterimu? Biarkan aku menolongnya dari bahaya. Katakan di mana dia dan puterimu itu akan hidup, terlepas dari bahaya maut dan hidup menikmati kebahagiaan dengan aku...”

“Keparat!” Soan Li mempergunakan tenaga terakhir, melompat bangun dan menubruk dengan pedangnya. Akan tetapi sekali sampok saja pedang itu terlepas dari pegangan dan tubuh nyonya itu terpelanting ke atas lantai.

"Huh huh, kalian memang tidak patut dibaiki. Mampuslah!” Sambil berkata demikian, Cui Kong kembali menggerakkan huncwenya, kali ini hendak memukul kepala Soan Li. Akan tetapi...

“Traangg...!” huncwe itu terpental entah ke mana dan di lain detik di depan Cui Kong yang kaget sekali itu telah berdiri... Tiang Bu!

“kau...??” Cui Kong menjadi pucat seperti melihat setan. Dua tahun lebih telah lewat dan ia tahu betul bahwa pemuda di depannya ini sudah mati ketika terguling ke dalam jurang. Sekarang tiba-tiba dan dengan pukulan tangan saja mampu membikin huncwenya te rlempar. Setankah dia? Apakah ini arwah Tiang Bu yang muncul?

Tiang Bu tersenyum dingin. "Ya, aku Tiang Bu. Masih ingatkah kau? Cui Kong manusia jahanam, di mana-mana kau menyebar kejahatan. Benar-benar iblis seperti kau ini harus diberi hajaran keras!”

Cui Kong yang mengingat bahwa ia berada di tempat itu sebagai pemenang dan di seluruh kota terdapat barisan Mongol dan kawan-kawannya, tiba-tiba menjadi berani dan sombong. "Kau kira aku takut kepadamu? Terimalah ini!" Cui Kong memukul dengan keras ke arah dada Tiang Bu.

"Blekkk...!"

Bukan Tiang Bu yang roboh, melainkan Cui Kong yang terheran heran tercampur kesakitan terbayang pada mukanya. Memang tak masuk di akal kalau ada orang dengan dada terbuka menerima pukulanaya tadi, bukan saja orang ini tidak rubuh, bahkan kepalan tangannya kini lengket pada dada tak dapat ditarik kembali. Sebelum lenyap kagetnya, Tiang Bu menggerakkan kedua tangannya menangkap kaki dan lehernya lalu... tubuh Cui Kong l dilemparkan jauh, nabrak meja bangku sampai bergulingan. Baru saja Cui Kong merangkak bangun, ia sudah ditangkap lagi, dilontarkan ke atas sampai mengenai langit-langit dan jatuh menimpa meja.

"Braakkk!" Meja itu remuk. Baiknya Cui Kong bukan orang sembarangan sehingga biarpun tubuhnya dibikin "main bal" oleh Tiang Bu. namun ia hanya merasa sakit-sakit dan lecet-lecet, tidak menderita luka dalam. Cui Kong berusaha menggunakan tenaganya memukul lagi ketika Tiang Bu dengan langkah lebar menghampirinya, akan tetapi seperti seorang dewasa melawan anak kecil, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram lagi dan kembali ia dilempar.

"Buuuk... kraak!" kembali beberapa bangku bergulingan dan tubub Cui Kong menjadi makin lemas.

"Tiang Bu... tahan...!” teriaknya terengah-engah. "Apa kau mau membunuh saudara sendiri? ingat, ayah Liok Kong Ji adalah ayahku dan ayahmu pula, biarpun aku pernah bersalah padamu, kau tentu bisa memandang muka ayah dan mengampuninya…”

"Aku tidak perduli... kembali tubuh Cui Kong ditangkap dan dilempar, saking gemasnya dilempar keras sehingga keluar pintu.

Benar-benar Cui Kong merasa penasaran dan juga mendongkol sekali bagaimana ia diperlakukan orang seperti seekor kirik (anjing kecil) saja, ditangkap dan dilempar seperti benda mati saja.

Tiang Bu hendak menghajar lagi, akan tetapi jerit menyayat hati di dekatnya. Ternyata Soan Li sudah bangun dan duduk dengan mata terbelalak, muka yang berlepotan darah itu pucat sekali.

“Kau... kau anak Liok Kong Ji...? Kau... kau...!" Soan Li tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah roboh pingsan lagi.

Tiang Bu melompat mendekati dan kecepatan pemuda ini luar biasa sekali sehingga ia masih dapat memegang kepala Soan Li sehingga tidak terbanting pada lantai. Dengan lembut ia merebahkan kepala itu dan memandang wajah Soan Li dengan kasihan.

"Apa kau yang bernama Tiang Bu dan dulu ketika kecil kau ikut Coa Hong Kin dan Go Hui Lian sebagai anak mereka?" pertanyaan yang dikeluarkan dengan lembut ini mengejutkan Tiang Bu. Ia menoleh dan menghampiri Pangeran Wanyen Ci Lun yang juga sudah bangun dan dengan terhuyung-huyung menghampiri isternya.

Tiang Bu sekali lompat sudah berada di dekat mereka. "Maaf aku datang terlambat Wanyen Taijin,” kata Tiang Bu. "Seharusnya dua tahun lebih yang lalu aku sudah datang mengahadap, membawa surat dari Wan Sin Hong siok-siok."

Akan tetapi Wanyen Ci Lun sudah payah keadaannya dan tidak begitu memperhatikan kata-kata anak muda itu. Juga Soan Li yang sudah siuman kembali dan kini menyandarkan kepala pada suaminya, sudah terengah-engah napasnya. Kedua suami isteri ini memandang kepada Tiang Bu.

"Soan Li, isteriku yang baik, inilah dia Tiang Bu, anakmu yang kau dapat secara paksa dari jahanam Liok Kong Ji itu...” kata Pangeran Wanyen Ci Lun perlahan dan suaranya mengandung penuh kasih sayang.

Soan Li tersedu. "Dia... dia... aku tidak sudi mengakuinya sebagai anak... aku dahulu ingin membunuhnya... tapi ah... dia tidak berdosa... Tiang Bu... kau... anakku...“

Tiang Bu menjadi pucat sekali wajahnya. Sin Hong pernah berpesan kepadanya bahwa kalau ia ingin mengetahui rahasia kelahirannya ia harus datang kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dan apa yang sekarang ia dengar dan saksikan adalah hal-hal di luar dugaannya sama sekali. Bagaimana nyonya pangeran ini mengakuinya sebagai anak pula? Apakah karena terluka hebat dan dalam sakratul maut nyonya ini bicara tidak karuan?

"Wanyen Taijin, kau orang yang dipercaya penuh oleh Wan siok-siok, katakanlah apa artinya semua ini?” tanyanya, suaranya penuh keharuan dan tubuhnya menggigil

"Tiang Bu, dia inilah ibumu! Isteriku inilah ibumu yang sejati sebelum dia menjadi Isteriku."

Tiang Bu... anak yang tadinya hendak kubunuh sendiri... kau tidak berdosa, nak. Ampunkan ibumu...”

"Ibu..." Tiang Bu menubruk kaki Soan Li dan membentur-benturkan jidatnya pada lantai di depan ibunya. Air matanya bercucuran. Kemudian kelihatan beringas. "Ibu, siapa yang melukaimu seperti ini? Apakah jahanam Cui Kong tadi? Biar kuseret dia kesini...!”

Ia sudah melompat keluar dengan gerakan yang cepat sekali, akan tetapi tentu saja ia sudah tak dapat menemukan Cui Kong di luar. Pemuda itu sudah menjadi gentar sekali terhadap Tiang Bu dan siang-siang sudah menyeret kakinya lari dari situ.

"Tiang Bu... bukan... bukan... dia...!" kata Soan Li lemah.

Mendengar kata-kata ini, Tiang Bu berlari cepat kembali ke dalam dan berlutut lagi di depan ibunya. "Aku terluka karena membela suamiku melawan orang-orang Mongol. Sudah sepatutnya kami berkorban nyawa demi negara. Aku... aku girang sekali kau menjadi seorang pandai... syukur dulu aku tidak membunuh mu... kau anak... anakku..."

sampai di sini Soan Li tidak kuat lagi dan menghembuskan napas terakhir dalam pelukan suaminya yang juga sudah lemah sekali kehabisan darah.

“Taijin, katakan siapa sebenarnya ayahku...” Tiang Bu mengeraskan hatinya supaya tidak menangis menghadapi ibunya yang telah tewas. Baru saja ia ditemukan dengan ibu kandungnya, ia telah ditinggal lagi untuk selamanya.

"Ayahmu... ayahmu...“ Pangeran Wanyen Ci Lun tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saking sedihnya melihat isterinya mendahuluinya, pangeran ini menjadi lemas dan tidak ingat diri!

“Taijin... Taijin...!”

Akan terapi pada saat itu dari luar terdengar suara hiruk pikuk dan menyerbulah sepasukan tentara Mongol, dua puluh orang banyaknya. Mereka adalah sebagian dari pada tentara Mongol yang mulai merampoki habis istana-istana dilingkungan istana kaisar itu. Gedung Pangeraa Wanyen amat besar dan indah, maka saking gembira mereka bersorak- sorak. sama sekali tidak mengira bahwa masih ada orang berani berada di gedung itu.

"Setan-setan keji, kalian mau apa? Mundur!" bentak Tiang Bu dengan suara menyeramkan.

Akan tetapi seorang pemuda seperti Tiang Bu ini, mana ditakuti oleh mereka? Sambil tertawa-tawa seakan-akan sikap pemuda itu lucu sekali, mereka menyerbu. Akan tetapi suara ketawa mereka itu segera berubah menjadi jerit dan pekik kesakitan, bahkan pekik kematian ketika sekali pemuda itu berkelebat, mereka menjadi sungsang sumbel dan terlempar dengan kepala remuk, kaki tangan patah atau dada pecah!

Setelah merobohkan lima orang sekaligus, Tiang Bu melompat ke dekat Wanyen Ci Lun lagi, takut kalau-kalau pangeran ini akan tewas sebelum memberi keterangan kepadanya. Melihat pengeran itu sudah empas-empis ia bertanya di dekat telinganya. “Wan Taijin. ini aku Tiang Bu bertanya kepadamu. Siapakah sebetulnya ayahku?”

Bibir Wanyen Ci Lun begerak-gerak. akan tetapi pada saat itu, enam orang serdadu Mongol menyerbu dengan golok mereka. Tiang Bu menggerakkan kedua kakinya dan empat orang roboh. Yang dua nekad membacok terus akan tetapi tangan Tiang Bu bergerak mereka roboh dengan leher hampir putus terbacok oleh golok sendiri.

"Taijin, siapakah ayahku...?"

Dengan pengerahan tenaga terakhir. Wan-yen Ci Lun menjawab berbisik. "Ayahmu... Liok Kong Ji... ibumu Gak Soan Li ini... ketika masih gadis... menjadi... korban kakejian Liok Kong Ji... kaulah keturunannya..."

Tiba tiba wajah Wanyen Ci Lun berubah beringas dan ia memaki-maki dengan suara keras. "Kong Ji iblis bermuka manusia! Kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk. dosamu akan menyeretmu ke neraka jahanam...!” Pangeran itu menjadi lemas dan menghambuskan nafas terakhir di samping tubuh isterinya.

Tiang Bu menjadi makin pucat. Tak terasa lagi kedua kakinya lemah dan seperti lumpuh. Tubuhnya menggigil, air mata membanjir turun. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Dia putera seorang penjahat besar, anak seorang yang berwatak iblis, keji dan kejam. Dia terlahir dari perhubungan yang tidak sah, bahkan dari penumpahan nafsu binatang yang serendah-rendahnya di mana manusia iblis itu mempermalukan ibunya yang tidak berdosa.

"Aka bunuh dia...! Aku akan bunuh dia...! Ahhhh... dia... ayahku... Thian Yang Maha Kuasa, apa yang harus kulakukan...??”

Dengan bimbang dan sedih Tiang Bu menangis di dekat janazah ibunya. Teringat ia akan peristiwa yang menimpa dirinya dilempar ke dalam jurang oleh Cui Kong yang jahat, putera angkat Liok Kong Ji.

Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tiang Bu yang di luar tahunya terpengaruh oleh hawa beracun katak pembangkit asmara, ditambah pula oleh dorongan yang sudah mengeram di dalam darahnya roboh di bawah kekuatan Cui Lin dan Cut Kim, dua gadis jalita yang mempergunakan kecantikan mereka untuk mengalahkannya. Kemudian, dalam keadaan lemas dan tubuh penuh hawa racun katak itu Tiang Bu tidak berda ya sama sekali, kedua kalinya dirusak oleb Cui Kong yang mematahkan tulang-tulang kaki itu kemudian dilempar ke dalam jurang. Kalau saja tidak kebetulan ada pohon yang menahannya dan dapat dipeluknya, tent u, tubuh pemuda itu akan terbanting ke dasar jurang dan hancur binasa.

Sampai tiga hari tiga malam Tiang Bu tidak mampu bergerak. Tubuhnya sakit dan panas. Tenaga dari hawa sinkangnya sudah hampir habis sehingga tubuhnya lemah sekali. Baiknya ia teringat akan bekal obat-obatan yang masih disimpan di saku bajunya. Obat-obat pemberian dari Wan Sin Hong. Dengan pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, Tiang Bu yang kini sudah sadar akan keadaan dirinya itu mengambil beberapa buah pel dan ditelannya pel-pel itu secara berturut-turut dalam tiga hari. Keadaannya banyak baik.

Setelah kedua tangannya bertenaga lagi, ia mulai membenarkan tulang kakinya yang patah oleh pukulan huncwe Lui Kong. Ia telah mendapat pelajaran kilat dari Sin Hong tentang cara menyambung tulang patah, kepandaian khusus dan istimewa ini adalah warisan dari Raja Obat Kwa Siucai guru Sin Hong, maka berbeda dengan cara penyambungan tulang biasa.

Dalam waktu sembilan hari saja tulang-tulang itu sudah tersambung sendiri berkat dan cara penyambungan yang istimewa ini. Selama beberapa hari itu, Tiang Bu hanya mengisi perutnya dengan daun-daun dan rumput kemudian dengan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa pohon yang telah menolong nyawanya itu adalah pohon yang berbuah dan buahnya enak dimakan pula. Makin terjaminlah perutnya dan ia kembali tertolong oleh pohon itu dari bahaya kelaparan.

Akan tetapi orang tidak mungkin dapat hidup dari daun-daun, rumput, dan sedikit buah melulu, maka setelah kedua kakinya dapat digerakkan mulailah Tiang Bu menyelidiki tempat itu, mencari jalan ke luar. Sebelum ia pergi jauh, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari atas jurang, dan muncul kepala seorang laki.laki. Tiang Bu memandang dan merasa kaget serta heran sekali karena orang itu bukan lain adalah Liok Kong Ji!

"Tiang Bu, kau di situ...?” terdengar Kong Ji berseru sambil melongok ke bawah.

"Kau mau apa mencariku?” jawab Tiang Bu ketus. Ia benci kepada orang yang mengaku sebagai ayahnya ini, apa lagi ia mederita celaka karena tiga orang muda yang menjadi kaki tangan Liok Kong Ji.

“Syukur kau masih hidup! Kalau kau dibunuhnya aku tidak akan mengampuni Cui Kong." Setelah berkata demikian. dengan gerakan lincah dan gesit Liok Kong Ji melompat-lompat, terus turun ke dalam jurang menghampiri Tiang Bu yang memandang dengan penuh perhatian. Ginkang orang ini hebat juga, pikirnya.

Mereka berhadapan. Ayah dan anak. Kong Ji memandang penuh perhatian dan tertarik. Tiang Bu memandang dan merasa sebal. "Kau mau apa datang ke sini? Mau bunuh aku? Cobalah...!” kata Tiang Bu, biarpun tubuhnya masih belum sehat benar ia sudah siap menghadapi pertempuran terakhir.

Kong Ji tersenyum dan menatap sepasang mata pemuda yang tajam sekali itu dengan matanya yang juga sama tajamnya. Wajah dua orang ini jauh sekali perbedaannya, akan tetapi kalau orang memperhatikan sinar mata mereka akan nampaklah persamaan yang luar biasa. Mata yang tajam sinarnya, tajam gesit membayangkan kecerdasan otak luar biasa. Hanya bedanya. kalau mata Kong Ji membayangkan kekejaman, adalah mata Tiang Bu membayangkan kehalusan budi...

Tangan Gledek Jilid 32

Tangan Gledek Jilid 32

“Kita harus menggunakan akal. Kau tetap bersikap seperti tadi, penuh kepercayaan. Seperti biasa ia akan mengembalikan Leng Leng kalau kau menyusul ke sana. Kemudian secara diam diam kita akan pergi dari sini."

Dengan hati berdebar gelisan mereka menanti-nanti, akan tetapi sampai keesokan harinya, Toat-beng Kui-bo tak kunjung datang. Terpaksa Li Hwa lalu naik menyusul ke tempat tinggal nenek itu, sedangkan Sin Hong menanti dari tempat yang tidak begitu jauh sambil mengintai. Tak lama kemudian ia melihat Li Hwa berlari kembali sambil menangis.

"Celaka... dia... dia sudah pergi membawa Leng Leng!" katanya.

Sin Hong menjadi pucat dan berlaku nekad. Ia cepat lari ke arah tujuh buah gua besar dan mencari, bersiap un tuk menempur Toat beng Kui-bo. Akan tetapi betul seperti kata-kata isterinya, nenek itu tidak kelihatan bayan gannya lagi. Agaknya nenek itu dapat menduga bahwa Li Hwa takkan mau mengaku dia sebagai ibu lagi dan dengan marah lalu pergi membawa Leng Leng.

"Sudahlah, jangan kau menangis." Sin Hong menghibur isterinya. "Bagaimanapun juga dia amat sayang kepada Leng Leng. Dia pergi tentu karena takut kalau kita membawa anak itu pergi meninggalkamnya, maka ia mendahului dan membawa anak kita."

"Ke mana kita harus mengejar dan mencarinya?”

"Kalau tidak salah dugaanku, dia tentu pergi mencari Ang-jiu Mo-li. Tentu dia marah sekal i kepada Ang. jiu Mo-li karena Si Tangan Merah itulah yang membuka rahasianya. Maka kita harus mencari di utara, di kota raja Kerajaan Kin, karena aku mendengar bahwa Ang-jiu Mo-li pernah menjadi guru dari anak-anak Pangeran Wanyen Ci Lun dan kiranya tidak terlalu salah kalau kita mencari dia di sana."

Tanpa membuang waktu lagi, suami isteri ini menyusul ke kota raja dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka bertemu dengan Pangeran Wanyen Ci Lun setelah berhasil mcmasuki kora raja, hal yang tidak mudah karena kota raja itu sudah terkurung oleh bala tentara Mongol.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

"Demikianlah, kita menyusul ke sini. Ternyata terlambat dan baru kemarin anakku diculik oleh kaki tangan Liok Kong Ji.” Sin Hong mengakhiri penuturannya sambil membanting kaki.

Dari ruangan datang Li Hwa berlari sambil menangis. Nyonya inipun mendengar Gak Soan Li tentang penculikan atas diri Le ng Leng pada malam tadi oleh orang-orang Mongol. Sambil menangis ia berlari mencari suaminya.

"Kita harus mengejar ke s ana. sekarang juga!" Nyonya ini berteriak marah. "Biar kita mengadu jiwa dengan iblis jahat Liok Kong Ji!”

Sin Hong menyabarkan isterinya. “Mari kita berunding dulu dan mengatur siasat jangan terburu nafsu."

Gak Soan Li dan Go Hui Lian juga menyusul ke situ untuk menghibur Li Hwa dan sekarang merekapun dipersilahkan duduk di ruangan itu. Mendengar disebutnya nama Liok Ko Ji oleh Li Hwa tadi, tak tertahan lagi Soan Li bertanya,

"Heran sekali, bukankah iblis yang namanya Liok Kong Ji itu dahulu sudah mampus kubunuh dengan pedangku? Bagaimana sekarang bisa muncul di antara orang-orang Mongol?" ia bertanya demikian sambil memandang kepada suaminya, padahal Pangeran Wanyen jugu maklum kepada siapa pertanyaan ini ditujukan. Maka ia lalu berkata kepada Sin Hong.

"Saudara Sin Hong hanya kaulah yang dapat menjawab pertanyaan isteriku tadi. Sudah lama kami terganggu oleh pertanyaan yang tak terjawab ini."

Sin Hong menarik napas panjang. "Memang yang terbunuh dahulu itu bukan Liok Kong Ji. Dia terlalu licin dan siang-siang sudah menyediakan orang ke dua yang mukanya memang serupa dengan dia. Orang itulah yang terbunuh sedangkan dia sendiri melarikan diri ke utara dan menggabung kepada orang-orang Mongol.”

"Dan sejak dulu kau sudah tahu akan ini?" tanya Pangeran Wanyen.

Sin Hong mengangguk. "Sengaja aku diam saja agar jangan menggelisahkan hati banyak orang, iblis itu memang jahat sekali dan sampai sekarang ia masih saja mendatangkan kesusahan kepadaku. Akan tetapi sekarang aku akan menyusul ke sana dan sekali ini perhitungan terakhir harus dibuat. Dia atau aku yang mati."

"Adik Li Hwa. jangan khawatir, kami akan ikut membantumu," tiba-tiba Hui Lian berkata yang disetujui oleh Hong Kin dan Lee Giok.

Sin Hong menggeleng kepala. "Untuk memasuki perkemahan orang orang Mongol secara sembunyi, lebih baik dilakukan oleh seorang saja. Makin banyak makin berbahaya karena ketahuan seorang saja bearti akan menggagalkan urusan. Bahkan Li Hwa sendiri harus menanti di sini dan akulah yang akan pergi ke sana. Kalau aku berhasil merampas kembali Leng Leng tanpa pertempuran, itulah paling baik. Kalau tidak, terpaksa aku harus mengadu nyawa dengan Li ok Kong Ji. Malam nanti aku berangkat dan terima kasih atas kesediaan kalian membantu dan berkorban.”

Percakapan dilanjutkan dan mereka menuturkan riwayat masing-masing selama berpisah. Dengan girang akan tetapi juga terharu sekali Hong Kin dan Hui Lian mendengar penuturan Sin Hong tentang diri Tian Bu yang menurut Sin Hong kini sudah memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan betapa pemuda itu disiksa oleh keraguan karena pengakuan Liok Kong Ji kepadanya sebagai anaknya. Tentu saja ketika menceritakan hal Tiang Bu, Sin Hong sengaja agar jangan sampai terdengar oleh Soan Li yang sedang bercakap-cakap dengan Li Hwa. Juga Lee Goat, Wan Sun dan Wan Bi Li sudah ikut bercakap-cakap dengan gembira.

Dalam kesempatan ini terdorong oleh kegembiraan bertemu dengan sababat baik Sin Hong melupakan kedudukannya dan timbul niat yang amat baik. Ia menghampiri Pangeran Wanyen Ci Lun dan membisikkan sesuatu, kemudian iapun memberi tahu dengan suara perlahan kepada Coa Hong Kin. Dua orang ini saling pandang, tersenyum dan kemudian mengangguk setuju. Tak lama kemudian larilah Lee Goat keluar sari ruangan itu dengan muka merah ketika Pangeran Wanyen Ci Lun dan Coa Hong Kin mengumumkan pertunangan antara Wan Sun dan Coa Lee Goat!

Adapun Wun Sun yang mendengar ini, juga menjadi merah sekali mukanya, akan tetapi lirikan matanya sekilas ke arah Bi Li membayangkan kehancuran hatinya. Pemudaa ini semenjak mendengar bahwa Bi Li bukan adik kandungnya, yaitu ketika ia mendengarkan percakapan antara ayah bundanya dan Kwan Kok Sun, berubahlah pandangannya terhadap gadis yang selama ini ia sayang sebagai adik sendiri itu. Diam-diam bersemi cinta kasih yang lain dalam hatinya terhadap Wan Bi Li.

Maka dapat dibayangkan betapa hancur hatinya mendengar keputusan ayahnya bahwa ia dijodohkan dengan Coa Lee Goat, sungguhpun harus akui bahwa Lee Goat bukan gadis sembarangan dan tidak tercela sedikitpun juga. Setelah mengerling sekilas ke arah Bi Li dengan hati hancur, iapun mengerling ke arah Wan Sin Hong dengan hati menaruh dendam.

Tadinya tiap kali memandang kepada Wan Sin Hong, pemuda ini merasa kagum dan juga bangga karena pendekar itu masih satu she dengan dia dan masih terhitung paman. Akan tetapi setelah Sin Hong mengusulkan perjodohan itu, diam-diam Wan Sun menjadi marah dan sakit hati kepada Sin Hong.

Malam tiba. Sin Hong sudah berkemas menyiapkan pedangnya dan berpakaian serba ringkas, Li Hwa tadinya merengek hendak ikut karena ia mengkhawatirkan keselamat suaminya, akan tetapi setelah Sin Hong menjelaskan bahwa pergi dua orang akan lebih berbahaya, ia mengalah. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar berkali-kali disusul sorak-sorai menggegap-gempita.

"Musuh menyerbu…!”

"Mereka membobol dari empat jurusan...!"

“Siap…! Lawan...!"

Teriakan ini simpang siur. Sin Hong dan Li Hwa menjadi pucat karena suara ledakan tadi hebat luar biasa membuat kamar mereka seperti hendak roboh. Cepat mereka melompat keluar dan hampir mereka bertumbukan dengan Coa Hong Kin dan isterinya yang juga berlari keluar.

“Tantara Mongol melakukan serbuan besar-besaran," kata Hong Kin.

"Mari kita cari Pangeran Wanyen Ci Lun. Kita bantu dia!" kata Sin Hong dengan hati tetap dan suara tenang. Tadinya memang pendekar ini tidak ada nafsu untuk mencampuri urusan perang, akan tetapi karena Kong Ji berada di pihak sana dan puterinya sekarang diculik pula oleh orang-orang Mongol, ia tidak bisa tinggal diam saja. Datang pula Lee Goat dan berlima mereka lari ke ruangan besar di mana Pangeran Wanyen Ci Lun sudah berkumpul dengan para panglima, membagi-bagi perintah.

Juga Kwan Kok Sun, Wan Sun. dan Wan Bi Li sudah berada di situ, semua berpakaian dinas, Gak Soan Li tidak setinggalan. N yonya ini dulu mendampingi suaminya, sedetikpun tak mau ditinggal. Pedang tajam berkilauan berada di tangan kanannya dan pakaiannya ringkas, membuat ia nampak gagah biarpun wajahnya agak pucat. Setelah selesai me mbagi-bagi tugas dan semua panglima sudah pergi melakukan penjagaan sekuatnya. Wanyen Ci Lun berpaling kepada Sin Hong dan memegang kedua tangannya.

"Saudaraku yang baik, sayang sekali sebelum kau merampas kembali anakmu, setan-setan itu sudah datang menyerbu. Seperti sudah kukhawatirkan, mereka kini agaknya mengerahkan seluruh kekuatan, menyerbu dari empat penjuru. Kau dengar tembok bagian utara sudah bobol dan agaknya malam ini kita harus menyerah kalah. Akan jatuh banyak korban...” suara pangeran itu menggetar, “akan tetapi aku akan mempertahankannya dengan titik darah penghabisan! Aku hanya minta kepadamu, Wan Sin Hong saudaraku, kau selamatkan dua orang anakku. Jangan mereka ikut berkorban seperti aku dan... dan istriku yang setia ini."

"Jangan khawatir, kami akan membantumu menghadapi iblis-iblis Mongol itu apabila mereka betul-betul menyerbu ke sini,” jawab Sin Hong terharu.

"Jangan... kau jaga saja Bi Li dan Wan Sun. Jangan biarkan mereka membuang nyawa sia-sia... nah, selamat tinggal, aku harus pimpin sendiri anak buahku!" Wanyen Ci Lun bersama isterinya keluar, akan tetapi sebelumnya mereka menghampiri Bi Li dan Wan Sun. Pangeran itu dengan suara mamerintah berkata, "Kalian kutugaskan menjaga rumah kita agar jangan dimasuki orang-orang jahat dalam keadaan sekacau ini!”

“Baik, ayah!” jawab mereka bcrbareng, nampak bangga karena mendapat bagian tugas.

Perang hebat terjadi pada malam itu. Darah membanjiri kota raja. Tentara Mongol mengamuk laksana iblis-iblis neraka mencari kurban. Rumah-rumah dirampok dan dibakar orang-orang dibunuh, wanita-wanita cantik diculik. Jerit tangis bercampur aduk dengan pekik marah dan kesakitan. Api mengaamuk membakari rumah. Perlawanan fihak tentara Kin juga patut dipuji pantang mundur. Namun mereka kalah banyak dan makin lama makin terdesak mundur. Balatentara Kin makin mendekati lingkungan Istana yang sudah hampir kosong karena ditinggalkan oleh para pembesar yang sudah mengungsi lama sebelum penyerbuan terjadi.

Dalam kekecauan seperti itu balatentara Mongol tak dapat ditahan lagi. Se bagian, mereka yang jahat dan memang tadinya orang-orang jahat seperti perampok dan lain-lain yang menggabungkan diri hanya dengan maksud mencari kesempatan, menyerbu ke dalam istana untuk mencari benda-benda berharga. Akan tetapi beberapa orang yang “kesasar” ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun, hanya mengantarkan nyawa karena di sana mereka disambut oleh orang-orang gagah!

Sin Hong dan isterinya juga keluar. Di sana sini mereka merobohkan beberapa orang musuh yang sedang menyeret wanita atau sedang membakari rumah. Melihat keadaan yang tak tertahankan lagi , Sin Hong maklum bahwa melakukan perlawanan akan sia-sia belaka. Ia mengajak Li Hwa kembali ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun. Ternyaia di situ pun sudah terjdi pertempuran. Wan Sun, Wan Bi Li dibantu oleh Hui Lian dan Hong Kin serta Lee Goat sedang mengamuk, dikeroyok oleh belasan orang tentara Mongol yang buas. Sin Hong marah sekali. Pedangnya berkelebatan dan para pengeroyok itu seben tar saja terbasmi habis.

"Wan Sun, Bi Li, tak mungkin dapat dipertahankan lagi. Pertahanan sudah bobol, perlawanan hampir tidak ada lagi. Sebentar lagi mereka semua pasti akan menyerbu ke mari dan kita takkan dapat mempertahankan lagi. Mari kita keluar dari sini dengan jalan darah dapat kita keluar dari kepungan." kata Sin Hong.

"Tidak…! Kita harus mencari ayah, Bi Li.” Wan Sun menyambar lengan adiknya, "Mari...!" Dan tanpa dapat dicegah lagi kakak beradik itu berlari keluar mercari ayah mereka.

Sin Hong hanya manggeleng kepala, akan tetapi diam-diam ia merasa kagum. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mencegah mereka pergi dan memaksa mereka itu ikut dengan dia menyelamatkan diri. Akan tetapi ia tak tega berbuat demikian. Ia tidak mau menghalangi sikap mereka yang gagah perkasa yang hendak membela ayah dan membela negara.

"Biarkan mereka, mereka memang berhak. Kalau Thian manghe ndaki, mereka akan dapat lolos dengan selamat."

kata Sin. Hong. Kemudian ia bersama isterinya, Hong Kin. Hui Lian dan Lee Goat inenyerbu keluar dan membuka jalan darah ke selatan. Pekerjaan ini bukan mudah karena di mana-mana mereka dihalangi oleh tentara Mongol yang tentu saja tidak mau melepaskan rombongan di mana ada tiga orang wanitanya yang can tik-cantik. Akan tetapi mereka ini bukan lawan berat bagi Sin Hong dan kawan-kawannya. Akhirnya Sin Hong berhasil membawa rombongannya melalui pintu selatan yang sudah tak terjaga lagi. Kota raja menjadi lautan api di sana-sini bertumpukan mayat-mayat dan orang-orang terluka. Jerit wanita-wanita diseret, orang-orang dibunuh, memenuhi udara.

"Kalian pulang dulu ke Kim-bun-to, aku akan berusaha mencari Kong Ji dan membuat perhitungan!" kata Sin Hong.

Li Hwa maklum bahwa suaminya lebih bebas kalau bergerak sendiri menghadapi lawan-lawan yang amat berbahaya seperti Kong Ji dan tokoh-tokoh Mongol, maka ia tidak membantah dan melanjutkan parjalanan cepat ke selatan. Sedangkan Sin Hong barkelebat kembali ke kota raja yang geger itu. Di mana-mana masih terdapat pertempuran mati-matian, yaitu perlawanan dari sisa-sisa pengawal dan panglima yang tidak mau menyearah kalah.

Dengan tubuh penuh luka-luka dan mandi darah, Pangeran Wanyen Ci Lun berlari terhuyung-huyung menuju ke istana sambil memondong tubuh Gak Soan Li yang juga penuh luka dan sudah pingsan. Pangeran ini bersama anak buahnya melakukan perlawanan juga Soan Li membantunya.

Ketika memasuki istananya, beberapa orang serdadu menyerbunya. Namun dalam keadaan terluka. Pangeran Wanyen Ci Lun masih gagah dan setelah serdadu perampok kena dirobohkan, yang lain pada lari. Istana itu sudah awut-awutan, barang-barang berharga sudah menjadi rebutan. Akan tetapi Wanyen Ci Lun merasa lega karena tidak melihat anak-anaknya menjadi korban. Ia hanya mengharapkan anak-anaknya sudah pergi bersama Sin Hong. Setelah tiba di ruang tengah, ia tidak kuat lagi. Darah sudah te rlalu banyak keluar dari tubuhn ya. Ia roboh terguling dengan Soan Li masih dalam pelukannya. Soan Li membuka matanya, nampaknya kaget dan takut. Akan tetapi menjadi tenang lagi kelika melihat bahwa ia berada dalam pelukan suaminya yang duduk menyandar tembok.

"Kau... kau gagah sekali..." ia memuji suaminya yang mandi darah. Tadi ia mengamuk tanpa memperdulikan keselamatan nyawa sendiri, padahal para pangeran dan para pembesar yang lain sudah siang-siang lari mengungsi, tak lupa membawa harta mereka.

Wanyen Ci Lun meraba pipi isterinya dengan sentuhan mesra. "Kaupun gagah perkasa dan kau isteriku yang setia...”

Di luar suara peperangan masih ramai. Sorak-sorai suara serdadu-serdadu Mongol membuktikan bahwa pertahanan tentara Kin makin runtuh. Pangeran Wanyen Ci Lun menghela napas. "Runtuhlah kekuasaan Kin dan sebentar lagi kalau iblis-iblis itu masuk ke sini, kita akan mati."

Akan tetapi Soan Li tidak merasa gentar. "Tidak apa mati disampingmu." jawabnya. "Suamiku, dalam saat terakhir ini, aku ingin sekali keraguanku lenyap. Jawablah, siapakah sebenarnya Wan Sin Hong itu? Begitu bertemu muka, aku merasa bahwa dahulu aku pernah bertemu dengan dia... dan... dia serupa benar dengan... dengan..." Ia tak berani, melanjutkan kata-katanya dan memandang wajah suaminya.

Wanyen Ci Lun tersenyum dan mengangguk. "Sama dengan Gong Lam...?"

Kini Soan Li yang mengangguk. "Memang dia itu Gong Lam, isteriku. Mula-mula kau bertemu dengan dia, dengan Win Sin Hong yang mengaku bernama Gong Lam. Kemudian muncul iblis busuk Kong Ji yang mengaku bernama Wan Sin Hong dan kemudian mengaku bernama Gong Lam. Kau diberinya minum racun yang merampas ingatanmu. Kemudian muncullah aku yang begitu melihatmu terus jatuh cinta. Atas kehendak Wan Sin Hong, aku terpaksa mengaku sebagai Gong Lam pula untuk membantu ingatanmu yang ketika itu belum sadar betul.”

Soan Li merangkul suaminya."Kau memang mulia... dan bagaimana dengan... dengan anak si keparat itu? Betul-betulkah ketika Hui Lian menyatakan bahwa anak itu sudah... sudah mati?"

Pada seat itu, dari luar menerobos seorang pemuda. Gerakannya ringan dan gesit sekali. Ternyata dia ini adalah Liok Cui Kong yang malam kemarin datang di istana ini bersama gurunya dan berhasil menculik Leng Leng. Pemuda ini tentu saja ikut menyerbu kota raja dan begitu tentara Mongol berhasil menguasai istana, pertama-tama yang ia lakukan adalah lari ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun, karena ia teringat akan Wan Bi Li gadis jelita yang membuat ia rindu dan gandrung itu. Melihat Pangeran Wanyen Ci Lun duduk bersandar tembok sambil memeluk tubuh isterinya, keduanya bermandi darah dan sudah lemah sekali. Cui Kong tertawa mengejek.

"Pangeran Wanyen Ci Lun, mana kegagahanmu? Ha-ha-ha-ha, akhirnya Kerajaan Kin harus bertekuk lutut juga. Kemarin kau masih kaya raya dan menikmati kemuliaan, sekarang akan habislah semua harta benda berikut nyawa keluargamu. Ha-ha-ha!"

Gak Soan Li dan Pangeran Wanyen Ci Lun heran sekali melihat persamaan pemuda ini dengan Liok Kong Ji, yaitu persamaan dalam gerak-gerik dan kekejamannya. Dalam hal rupa memang berbeda, Cui Kong bahkan lebih tampan. Akan tetapi pemuda ini benar-benar mewarisi sifat-sifat jahat dari Liok Kong Ji.

"Iblis kecil...! kami mati sebagai orang-orang gagah, sebagai patriot bangsa, matipun tidak menyesal, sebaliknya kau dan kawan-kawanmu hidup sebagai manusia-manusia hina dina, sebagai orang orang Han yang tak tahu malu, panjual negara penjilat bangsa Mongol!"

"Bangsat!" Cui Kong marah sekali dan melompat maju. Huncwe digerakkan ke atas siap memukul kepala pangeran itu yang memandangnya dengan mata tak berkedip, sama sekali tidak gentar menghadapi maut. Dia dan isterinya sudah tidak berdaya tidak ada tenaga untuk menggerakkan badan melakukan perlawanan.

Akan tetepi Cui Kong menahan huncwenya ketika teringat akan gadis jelita yang tidak ia lihat di situ. "Bagaimanapun juga, kalau teringat akan puterimu aku jadi tidak tega membunuhmu. Eh, Pangeran Wanyen, di mana puterimu? Biarkan aku menolongnya dari bahaya. Katakan di mana dia dan puterimu itu akan hidup, terlepas dari bahaya maut dan hidup menikmati kebahagiaan dengan aku...”

“Keparat!” Soan Li mempergunakan tenaga terakhir, melompat bangun dan menubruk dengan pedangnya. Akan tetapi sekali sampok saja pedang itu terlepas dari pegangan dan tubuh nyonya itu terpelanting ke atas lantai.

"Huh huh, kalian memang tidak patut dibaiki. Mampuslah!” Sambil berkata demikian, Cui Kong kembali menggerakkan huncwenya, kali ini hendak memukul kepala Soan Li. Akan tetapi...

“Traangg...!” huncwe itu terpental entah ke mana dan di lain detik di depan Cui Kong yang kaget sekali itu telah berdiri... Tiang Bu!

“kau...??” Cui Kong menjadi pucat seperti melihat setan. Dua tahun lebih telah lewat dan ia tahu betul bahwa pemuda di depannya ini sudah mati ketika terguling ke dalam jurang. Sekarang tiba-tiba dan dengan pukulan tangan saja mampu membikin huncwenya te rlempar. Setankah dia? Apakah ini arwah Tiang Bu yang muncul?

Tiang Bu tersenyum dingin. "Ya, aku Tiang Bu. Masih ingatkah kau? Cui Kong manusia jahanam, di mana-mana kau menyebar kejahatan. Benar-benar iblis seperti kau ini harus diberi hajaran keras!”

Cui Kong yang mengingat bahwa ia berada di tempat itu sebagai pemenang dan di seluruh kota terdapat barisan Mongol dan kawan-kawannya, tiba-tiba menjadi berani dan sombong. "Kau kira aku takut kepadamu? Terimalah ini!" Cui Kong memukul dengan keras ke arah dada Tiang Bu.

"Blekkk...!"

Bukan Tiang Bu yang roboh, melainkan Cui Kong yang terheran heran tercampur kesakitan terbayang pada mukanya. Memang tak masuk di akal kalau ada orang dengan dada terbuka menerima pukulanaya tadi, bukan saja orang ini tidak rubuh, bahkan kepalan tangannya kini lengket pada dada tak dapat ditarik kembali. Sebelum lenyap kagetnya, Tiang Bu menggerakkan kedua tangannya menangkap kaki dan lehernya lalu... tubuh Cui Kong l dilemparkan jauh, nabrak meja bangku sampai bergulingan. Baru saja Cui Kong merangkak bangun, ia sudah ditangkap lagi, dilontarkan ke atas sampai mengenai langit-langit dan jatuh menimpa meja.

"Braakkk!" Meja itu remuk. Baiknya Cui Kong bukan orang sembarangan sehingga biarpun tubuhnya dibikin "main bal" oleh Tiang Bu. namun ia hanya merasa sakit-sakit dan lecet-lecet, tidak menderita luka dalam. Cui Kong berusaha menggunakan tenaganya memukul lagi ketika Tiang Bu dengan langkah lebar menghampirinya, akan tetapi seperti seorang dewasa melawan anak kecil, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram lagi dan kembali ia dilempar.

"Buuuk... kraak!" kembali beberapa bangku bergulingan dan tubub Cui Kong menjadi makin lemas.

"Tiang Bu... tahan...!” teriaknya terengah-engah. "Apa kau mau membunuh saudara sendiri? ingat, ayah Liok Kong Ji adalah ayahku dan ayahmu pula, biarpun aku pernah bersalah padamu, kau tentu bisa memandang muka ayah dan mengampuninya…”

"Aku tidak perduli... kembali tubuh Cui Kong ditangkap dan dilempar, saking gemasnya dilempar keras sehingga keluar pintu.

Benar-benar Cui Kong merasa penasaran dan juga mendongkol sekali bagaimana ia diperlakukan orang seperti seekor kirik (anjing kecil) saja, ditangkap dan dilempar seperti benda mati saja.

Tiang Bu hendak menghajar lagi, akan tetapi jerit menyayat hati di dekatnya. Ternyata Soan Li sudah bangun dan duduk dengan mata terbelalak, muka yang berlepotan darah itu pucat sekali.

“Kau... kau anak Liok Kong Ji...? Kau... kau...!" Soan Li tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah roboh pingsan lagi.

Tiang Bu melompat mendekati dan kecepatan pemuda ini luar biasa sekali sehingga ia masih dapat memegang kepala Soan Li sehingga tidak terbanting pada lantai. Dengan lembut ia merebahkan kepala itu dan memandang wajah Soan Li dengan kasihan.

"Apa kau yang bernama Tiang Bu dan dulu ketika kecil kau ikut Coa Hong Kin dan Go Hui Lian sebagai anak mereka?" pertanyaan yang dikeluarkan dengan lembut ini mengejutkan Tiang Bu. Ia menoleh dan menghampiri Pangeran Wanyen Ci Lun yang juga sudah bangun dan dengan terhuyung-huyung menghampiri isternya.

Tiang Bu sekali lompat sudah berada di dekat mereka. "Maaf aku datang terlambat Wanyen Taijin,” kata Tiang Bu. "Seharusnya dua tahun lebih yang lalu aku sudah datang mengahadap, membawa surat dari Wan Sin Hong siok-siok."

Akan tetapi Wanyen Ci Lun sudah payah keadaannya dan tidak begitu memperhatikan kata-kata anak muda itu. Juga Soan Li yang sudah siuman kembali dan kini menyandarkan kepala pada suaminya, sudah terengah-engah napasnya. Kedua suami isteri ini memandang kepada Tiang Bu.

"Soan Li, isteriku yang baik, inilah dia Tiang Bu, anakmu yang kau dapat secara paksa dari jahanam Liok Kong Ji itu...” kata Pangeran Wanyen Ci Lun perlahan dan suaranya mengandung penuh kasih sayang.

Soan Li tersedu. "Dia... dia... aku tidak sudi mengakuinya sebagai anak... aku dahulu ingin membunuhnya... tapi ah... dia tidak berdosa... Tiang Bu... kau... anakku...“

Tiang Bu menjadi pucat sekali wajahnya. Sin Hong pernah berpesan kepadanya bahwa kalau ia ingin mengetahui rahasia kelahirannya ia harus datang kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dan apa yang sekarang ia dengar dan saksikan adalah hal-hal di luar dugaannya sama sekali. Bagaimana nyonya pangeran ini mengakuinya sebagai anak pula? Apakah karena terluka hebat dan dalam sakratul maut nyonya ini bicara tidak karuan?

"Wanyen Taijin, kau orang yang dipercaya penuh oleh Wan siok-siok, katakanlah apa artinya semua ini?” tanyanya, suaranya penuh keharuan dan tubuhnya menggigil

"Tiang Bu, dia inilah ibumu! Isteriku inilah ibumu yang sejati sebelum dia menjadi Isteriku."

Tiang Bu... anak yang tadinya hendak kubunuh sendiri... kau tidak berdosa, nak. Ampunkan ibumu...”

"Ibu..." Tiang Bu menubruk kaki Soan Li dan membentur-benturkan jidatnya pada lantai di depan ibunya. Air matanya bercucuran. Kemudian kelihatan beringas. "Ibu, siapa yang melukaimu seperti ini? Apakah jahanam Cui Kong tadi? Biar kuseret dia kesini...!”

Ia sudah melompat keluar dengan gerakan yang cepat sekali, akan tetapi tentu saja ia sudah tak dapat menemukan Cui Kong di luar. Pemuda itu sudah menjadi gentar sekali terhadap Tiang Bu dan siang-siang sudah menyeret kakinya lari dari situ.

"Tiang Bu... bukan... bukan... dia...!" kata Soan Li lemah.

Mendengar kata-kata ini, Tiang Bu berlari cepat kembali ke dalam dan berlutut lagi di depan ibunya. "Aku terluka karena membela suamiku melawan orang-orang Mongol. Sudah sepatutnya kami berkorban nyawa demi negara. Aku... aku girang sekali kau menjadi seorang pandai... syukur dulu aku tidak membunuh mu... kau anak... anakku..."

sampai di sini Soan Li tidak kuat lagi dan menghembuskan napas terakhir dalam pelukan suaminya yang juga sudah lemah sekali kehabisan darah.

“Taijin, katakan siapa sebenarnya ayahku...” Tiang Bu mengeraskan hatinya supaya tidak menangis menghadapi ibunya yang telah tewas. Baru saja ia ditemukan dengan ibu kandungnya, ia telah ditinggal lagi untuk selamanya.

"Ayahmu... ayahmu...“ Pangeran Wanyen Ci Lun tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saking sedihnya melihat isterinya mendahuluinya, pangeran ini menjadi lemas dan tidak ingat diri!

“Taijin... Taijin...!”

Akan terapi pada saat itu dari luar terdengar suara hiruk pikuk dan menyerbulah sepasukan tentara Mongol, dua puluh orang banyaknya. Mereka adalah sebagian dari pada tentara Mongol yang mulai merampoki habis istana-istana dilingkungan istana kaisar itu. Gedung Pangeraa Wanyen amat besar dan indah, maka saking gembira mereka bersorak- sorak. sama sekali tidak mengira bahwa masih ada orang berani berada di gedung itu.

"Setan-setan keji, kalian mau apa? Mundur!" bentak Tiang Bu dengan suara menyeramkan.

Akan tetapi seorang pemuda seperti Tiang Bu ini, mana ditakuti oleh mereka? Sambil tertawa-tawa seakan-akan sikap pemuda itu lucu sekali, mereka menyerbu. Akan tetapi suara ketawa mereka itu segera berubah menjadi jerit dan pekik kesakitan, bahkan pekik kematian ketika sekali pemuda itu berkelebat, mereka menjadi sungsang sumbel dan terlempar dengan kepala remuk, kaki tangan patah atau dada pecah!

Setelah merobohkan lima orang sekaligus, Tiang Bu melompat ke dekat Wanyen Ci Lun lagi, takut kalau-kalau pangeran ini akan tewas sebelum memberi keterangan kepadanya. Melihat pengeran itu sudah empas-empis ia bertanya di dekat telinganya. “Wan Taijin. ini aku Tiang Bu bertanya kepadamu. Siapakah sebetulnya ayahku?”

Bibir Wanyen Ci Lun begerak-gerak. akan tetapi pada saat itu, enam orang serdadu Mongol menyerbu dengan golok mereka. Tiang Bu menggerakkan kedua kakinya dan empat orang roboh. Yang dua nekad membacok terus akan tetapi tangan Tiang Bu bergerak mereka roboh dengan leher hampir putus terbacok oleh golok sendiri.

"Taijin, siapakah ayahku...?"

Dengan pengerahan tenaga terakhir. Wan-yen Ci Lun menjawab berbisik. "Ayahmu... Liok Kong Ji... ibumu Gak Soan Li ini... ketika masih gadis... menjadi... korban kakejian Liok Kong Ji... kaulah keturunannya..."

Tiba tiba wajah Wanyen Ci Lun berubah beringas dan ia memaki-maki dengan suara keras. "Kong Ji iblis bermuka manusia! Kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk. dosamu akan menyeretmu ke neraka jahanam...!” Pangeran itu menjadi lemas dan menghambuskan nafas terakhir di samping tubuh isterinya.

Tiang Bu menjadi makin pucat. Tak terasa lagi kedua kakinya lemah dan seperti lumpuh. Tubuhnya menggigil, air mata membanjir turun. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Dia putera seorang penjahat besar, anak seorang yang berwatak iblis, keji dan kejam. Dia terlahir dari perhubungan yang tidak sah, bahkan dari penumpahan nafsu binatang yang serendah-rendahnya di mana manusia iblis itu mempermalukan ibunya yang tidak berdosa.

"Aka bunuh dia...! Aku akan bunuh dia...! Ahhhh... dia... ayahku... Thian Yang Maha Kuasa, apa yang harus kulakukan...??”

Dengan bimbang dan sedih Tiang Bu menangis di dekat janazah ibunya. Teringat ia akan peristiwa yang menimpa dirinya dilempar ke dalam jurang oleh Cui Kong yang jahat, putera angkat Liok Kong Ji.

Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tiang Bu yang di luar tahunya terpengaruh oleh hawa beracun katak pembangkit asmara, ditambah pula oleh dorongan yang sudah mengeram di dalam darahnya roboh di bawah kekuatan Cui Lin dan Cut Kim, dua gadis jalita yang mempergunakan kecantikan mereka untuk mengalahkannya. Kemudian, dalam keadaan lemas dan tubuh penuh hawa racun katak itu Tiang Bu tidak berda ya sama sekali, kedua kalinya dirusak oleb Cui Kong yang mematahkan tulang-tulang kaki itu kemudian dilempar ke dalam jurang. Kalau saja tidak kebetulan ada pohon yang menahannya dan dapat dipeluknya, tent u, tubuh pemuda itu akan terbanting ke dasar jurang dan hancur binasa.

Sampai tiga hari tiga malam Tiang Bu tidak mampu bergerak. Tubuhnya sakit dan panas. Tenaga dari hawa sinkangnya sudah hampir habis sehingga tubuhnya lemah sekali. Baiknya ia teringat akan bekal obat-obatan yang masih disimpan di saku bajunya. Obat-obat pemberian dari Wan Sin Hong. Dengan pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, Tiang Bu yang kini sudah sadar akan keadaan dirinya itu mengambil beberapa buah pel dan ditelannya pel-pel itu secara berturut-turut dalam tiga hari. Keadaannya banyak baik.

Setelah kedua tangannya bertenaga lagi, ia mulai membenarkan tulang kakinya yang patah oleh pukulan huncwe Lui Kong. Ia telah mendapat pelajaran kilat dari Sin Hong tentang cara menyambung tulang patah, kepandaian khusus dan istimewa ini adalah warisan dari Raja Obat Kwa Siucai guru Sin Hong, maka berbeda dengan cara penyambungan tulang biasa.

Dalam waktu sembilan hari saja tulang-tulang itu sudah tersambung sendiri berkat dan cara penyambungan yang istimewa ini. Selama beberapa hari itu, Tiang Bu hanya mengisi perutnya dengan daun-daun dan rumput kemudian dengan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa pohon yang telah menolong nyawanya itu adalah pohon yang berbuah dan buahnya enak dimakan pula. Makin terjaminlah perutnya dan ia kembali tertolong oleh pohon itu dari bahaya kelaparan.

Akan tetapi orang tidak mungkin dapat hidup dari daun-daun, rumput, dan sedikit buah melulu, maka setelah kedua kakinya dapat digerakkan mulailah Tiang Bu menyelidiki tempat itu, mencari jalan ke luar. Sebelum ia pergi jauh, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari atas jurang, dan muncul kepala seorang laki.laki. Tiang Bu memandang dan merasa kaget serta heran sekali karena orang itu bukan lain adalah Liok Kong Ji!

"Tiang Bu, kau di situ...?” terdengar Kong Ji berseru sambil melongok ke bawah.

"Kau mau apa mencariku?” jawab Tiang Bu ketus. Ia benci kepada orang yang mengaku sebagai ayahnya ini, apa lagi ia mederita celaka karena tiga orang muda yang menjadi kaki tangan Liok Kong Ji.

“Syukur kau masih hidup! Kalau kau dibunuhnya aku tidak akan mengampuni Cui Kong." Setelah berkata demikian. dengan gerakan lincah dan gesit Liok Kong Ji melompat-lompat, terus turun ke dalam jurang menghampiri Tiang Bu yang memandang dengan penuh perhatian. Ginkang orang ini hebat juga, pikirnya.

Mereka berhadapan. Ayah dan anak. Kong Ji memandang penuh perhatian dan tertarik. Tiang Bu memandang dan merasa sebal. "Kau mau apa datang ke sini? Mau bunuh aku? Cobalah...!” kata Tiang Bu, biarpun tubuhnya masih belum sehat benar ia sudah siap menghadapi pertempuran terakhir.

Kong Ji tersenyum dan menatap sepasang mata pemuda yang tajam sekali itu dengan matanya yang juga sama tajamnya. Wajah dua orang ini jauh sekali perbedaannya, akan tetapi kalau orang memperhatikan sinar mata mereka akan nampaklah persamaan yang luar biasa. Mata yang tajam sinarnya, tajam gesit membayangkan kecerdasan otak luar biasa. Hanya bedanya. kalau mata Kong Ji membayangkan kekejaman, adalah mata Tiang Bu membayangkan kehalusan budi...