Tangan Gledek Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 27

SETELAH menyusuti air matanya. Kwan Kok Sun melanjutkan penuturannya. “Karena aku sudah menduga bahwa tanpa sesuatu tanda kelak sukar untuk mengakui anakku, aku sengaja memberi tanda itu.”

“Bagaimana caran ya? Jelaskan!” kata pula Ang-jiu Mo-li.

"Semenjak kecil aku selalu bermain-main dengan ular-ular berbisa itu, cara menangkap, memeliharanya, menolak racunnya dan apa saja yang ada hubungannya dengan ular. Pendeknya aku tidak berlebihan kalau mengaku bahwa aku adalah seorang ahli ular beracun. Kebetulan sekali ketika itu aku mempunyai seekor ular kecil merah yang namanya siang hwa ang coa (Ular merah Bunga Harum) yang kudapatkan di perbatasan Tibet. Ular kecil merah itu di sana terkenal sebagai rajanya ular, baunya harum sekali seperti selaksa kembang dan ular-ular lainnya, besar kecil beracun atau tidak terutama sekali yang beracun. baru mencium baunya saja sudah jadi jinak. tunduk dan takut. Nah, ular kubelek tubuhnya, kuambil sari racun yang wangi, kucampuri dengan obat penawar racunnya sehingga racun itu tidak berbahaya lagi, akan tetapi sari keharumannya masih kerja penuh. Sari ini lalu kumasuksan dalam urat-urat di kanan kiri punggung anak sehingga menjadi satu dengan peredaran darahnya, membuat tubuhnya menjadi harum baunya seperti Siang-bwe-ang-coa dan setiap ular tentu takkan berani mengganggu. Memang bukan tidak ada bahayanya memasukkan racun itu ke dalam urat-urat dekat pungung, salah -salah bisa mematikan anaknya. Akan tetapi kukatakan tadi, aku adalah seorang ahli dalam hal itu. Racun itu tidak mendatangkan bahaya bagi anakku, hanya meninggalkan dua bintik merah kecil di punggungnya dan sebaliknya dapat membuat tubuhnya menjadi harum dan anti gigitan ular berbisa."

Mendengar ini, Wanyen Ci Lun dan Soan Li tidak ragu-ragu akan tetapi Ang jiu Mo-li masih berkata kepada Soan Li. "Harap hujin suka mengujinya sekali lagi. Tanyakan tentang pakaian dan keadaan anak itu ketika ditemukan."

Dengan suara gemetar Soan Li bertanya dan jawaban Kwan Kok Sun tentang pakalan dan keadaan anak itu memang tepat sekali, cocok se perti keadaan anak itu ketika didapatkan di dalam taman.

“Tak salah lagi, kau adalah ayah Bi Li... kata Gak Soan Li, suaranya gemetar terharu, kedua matanya basah oleh air mata. Ibu ini merasa bingung dan gelisah sekali, takut kalau-kalau ayah sejati ini menuntut anaknya.

“Agaknya kau memang betul ayahnya, orang she Kwan. Akan tetapi, sekarang anakmu sudah remaja puteri dan semenjak bayi dipelihara oleh Wanyen Taijin dan isterinya. Kau sekarang mau apa?" Suaranya dingin, dan sudah pasti Ang-jiu Mo-li akan membantu suami- isteri ini mempertahankan puteri mereka.

"Aku tidak mau apa-apa, hanya ingin diberi ijin tinggal di sini, hidup di dekat anakku. Biar aku bekerja membantu Wanyen Taijin, biarpun bodoh dan lemah, kiranya aku ada sedikit tenaga untuk membantu kelak bila orang-orang Mongol datang menyerbu. Di samping itu, aku ingin menurunkan semua kepandaianku kepada puteriku. ingin pula memberi oleh-oleh berupa sebuah kitab yang istimewa kepadanya."

"Dari Omei-san...?” Ang-jiu Mo-Li me motong cepat. Kini Kwan Kok Sun yang memandang kepada wanita sakti itu penuh curiga.

“Kalau betul, apakah kau hendak merampasnya, Ang-jiu Mo-li? Kitab ini kudapatkan secara mati-matian dari tangan Thai Gu Cinjin dan hendak kuhadiahkan kepada puteriku. Biarpun aku akan mampus di tanganmu, aku tidak akan membiarkan kau mengambilnya untukmu sendiri!"

Tiba-tiba Ang-jiu Moli tertawa. Aneh, lenyap keangkeran wajahnya, lenyap sifat sifatnya yang ganas kalau Ang jiu Mo li tertawa. Sebaliknya nampak manis dan cantik sekali.

"Setan gundul, kau bicara ngaco! Aku sendiri yang mendapatkan sebuah kitab Omei-san kuajarkan kepada murid-muridku. Masa aku akan merampas kitab yang kau berikan kepada muridku? Aku hanya ingin tahu apakah betul-betul Thai Gu Cinjin mendapatkan banyak kitab dari Omei-san seperti kau katakan tadi?”

"Tidak. Tadi aku sengaja berkata demikian agar supaya kau jangan melepaskannya. Bahkan kitab inipun tadinya dia yang punya, satu-satunya kitab yang dapat ia ambil dari puncak Omei-san.” Lalu Kwan Kok Sun bercerita terus terang betapa ia mengatur siasat untuk menjebak Thai Gu Cinjin di istana dan untuk merampas kitab meminjam tangan Ang-jiu Mo-li. Mendengar ini, kembali Ang jiu Mo-li tertawa.

"0rang-orang macam kau dan Thai Gu Cinjin selalu mempergunakan tipu muslihat dan curang."

"Hidupku yang lampau sudah penuh kekejian, Ang-jiu Mo-li. Sekarang melihat keadaan anakku yang mulia hidupnya, aku betul hendak mencuci tangan, hendak menebus dosa dengan memperlihatkan kepada anakku bahwa bapaknya juga dapat menjadi manusia bersih. Asal saja Wanyen Taijin sudi menerima aku bekerja di sini , hidup di dekat anakku, biar disuruh berkorban nyawa aku siap sedia!"

Wanyen Ci Lun menjadi terharu. Tentu saja ia tidak mau menolak, bahkan andaikata orang ini hendak membawa pergi Bi Li, ia pun tidak bisa apa-apa. "Baiklah, Kwan-sicu. Kau kuterima bekerja dan menjadi perwira, sesuai dengan kepandaianmu. Akan tetapi tentang Bi Li... apakah kami harus… bicara terus terang padanya?”

"Ohhh, jangan... kasihan, dia... tentu akan kecewa sekaIi mendapatkan bahwa ayahnya hanya...“

"Harus diberitahu!" kata Wanyen Ci Lun yang berwatak agung dan jujur. "Betapapun akan pahit getirnya kenyataan harus dihadapinya dengan tabah.” Setelah berkata demikian, ketika itu juga ia menyuruh isterinya memanggil Bi Li.

Ketika itu telah menjelang pagi dan Bi Li yang baru saja pulas, bangun dengan mata masih mengantuk dan rambut yang awut-awutan. Namun hal ini bahkan menonjolkan kecantikannya yang aseli, membuat Kwan Kok Sun diam-diam kagum bukan main.

"Ayah panggil aku ada apakah?" tanya Bi Li kepada Wanyen Ci Lun karena ibunya hanya bilang bahwa dia dipanggil ayahnva untuk kepetluan penting sekali. Ketika Bi Li melirik dan melihat Kwan Kok Sun masih duduk di situ ia tersenyum dan wajahnya berseri -seri, katanya. “Kau masih di sini, orang tua gagah? Kebetulan sekali karena aku ingin sekali bertanya tentang ular hitam yang dapat kaupakai sebagai senjata itu. Sayang ular sebagus itu mati oleh tongkat Thai Gu Cinjin."

Dengan suara terharu Kwan Kok Sun menjawab. "Jangan khawatir, kalau kau suka aku bisa mendapatkan seekor ular seperti itu untukmu. Kita masih mempunyai banyak waktu untuk bercakap-cakap tentang segala macam ular, anak yang baik."

"Betulkah?, Aahh, aku ingin sekali mempunyai kawan baik yang bisa membantu dalam pertempuran seperti ular itu!" Wajah Bi Li berseri-seri dan dara remaja ini sudah lupa lagi bahwa ia keluar karena dipanggil ayahnya.

Sementara itu, menyaksikan ayah dan anak bercakap-cakap itu saja sudah merupakan hal yang mengharukan dan mendebarkan hati sehingga Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li memandang dengan melongo, bahkan Ang-jiu Mo-li juga diam saja tak bergerak. Kesunyian ini agaknya terasa oleh Bi Li, maka ketika ia menoleh dan melihat sikap ayah-bundanya. ia menjadi terheran dan berbareng ingat akan panggilan ayahnya.

"Ayah memanggil aku ada kepentingan apakah ayah?" tanyanya lagi sambil melangkah maju dan merangkul pundak ibunya dengan sikap manja.

"Bi Li, Kwan-sicu ini... dia inilah... ayahmu sendiri. Adapun aku dan ibumu itu hanya ayah dan ibu pungut saja."

Bi Li memandang bingung, mengira ayahnya bergurau lalu mendekati ayahnya, memegang tangannya. "Ayah kau bilang apa? Aku tidak mengerti."

Suara Wanyen Ci Lun agak gemetar ketika ia menguatkan hatinya dan bicara dengan jelas sementara Gak Soan Li menutupi muka untuk menyembunyikan matanya yang sudah basah. "Bi Li, ketahuilah. Ketika kau berusia setengah tahun, oleh ayahmu ini kau dititipkan kepada kami karena... karena ibumu sendiri meninggal dunia ketika kau terlahir…”

Ucapan ini saja sudah mcnunjukkan betapa luhur budi Pangeran Wanyen Ci Lun, tahu bahwa kalau ia me mberi tahu bahwa Bi Li dahulu ditinggalkan ayahnya di dalam taman seakan-akan dibuang, tentu perasaan gadis itu akan tersinggung, maka ia menolong Kwan Kok Sun dengan mengatakan bahwa Bi Li sengaja dititipkan! Akan tetapi, ucapan yang lemah lembut itu tetap saja merupaka pisau berkarat yang menancap di ulu hati Bi Li.

Dara ini meloncat mundur seakan-akan ditampar, mukanya pucat sekali seperti muka mayat. Soan Li menjerit dan menubruk gadis itu, terus dirangkul dan didekapnya kepala anaknya itu ke dadanya.

“Bi Li, jangan... jangan kau memandang aku seperti itu..." tangis Soan Li, "Aku tetap ibumu... kau anakku, jangan anggap aku bukan ibumu lagi...“

Namun Bi Li meronta dari pelukan ibu berdiri tegak dan sampai lama ia hanya menatap wajah Kwan Kok Sun, Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li berganti-ganti.

"Mengapa semua ini dirahasiakan tadinya. Mengapa...??" Bi Li tidak menangis, setitik air matapun tidak keluar, pandang matanya menyambar.

“Bi Li, anakku, kami memang tidak menganggap engkau seperti orang lain. Kau adalah anak kami dan... dan... kalau tidak ada kejadian malam ini, sampai sekarangpun rahasia itu akan kami simpan, kami bawa mati...”

Tiba-tiba Kwan Kok Sun tertawa keras dan berdiri dari bangkunya. “Ha ha ha, mengapa ribut-ribut untuk urusan ini? Tentu saja anak Bi Li masih menjadi anak Pangeran Wan-taijin dan hujin. Mana bisa lain? Bahkan nama Bi Li juga pemberian dari ayah bundamu ini. Mana bisa kau menjadi anakku? Tidak pantas, tidak pantas. Biarlah mulai sekarang, kau tetap anak terkasih dari Pangeran Wanyen Ci Lun ada pun aku. Tee-tok Kwan Kok Sun. menjadi gihu (ayah angkat) saja. Bagaimana? Maukah muridku?" Tiba-tiba Kwan Kok Sun menghadapi Ang-jiu Mo-li dan menjura. "Maaf, Toanio, bukan maksudku mendesak menjadi guru anak ini. Tentu saja kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada kebisaanku yang tidak ada arti nya, akan tetapi seperti kataku tadi, biarpun sedikit, kiranya aku dapat mewariskan kepandaianku, te rutama isi kitab itu..."

Diam-diam Ang jiu Mo-li memuji Kwan Kok Sun. Biarpun Kwan Kok Sun terkenal sebagai seorang yang disebut seorang jahat, seorang yang disebut Racun Bumi, namun dalam hal ini dia rupanya ingat akan budi Pangeran Wanyen Ci Lun sehingga ia dapat mengatasi keadaan tegang itu dengan merendahkan diri terima menjadi ayah angkat saja padahal dialah ayah sejati yang berhak mengaku Bi Li sebagai anaknya. Maka wanita sakti ini tersenyum dan berkata, "Kebetulan sekali, memang sudah terlalu lama aku menjadi guru mereka, baik sekali kau datang mengganti kedudukan ku."

"Bi Li, mulai sekarang kau boleh melanjutkan pelajaranmu di bawah petunjuk Kwa Kok Sun ini. Yang terpenting kau harus melatih Kwan Im-cam-mo dengan sempurna, dalam hal ini kiranya Sun-ji akan dapat dapat memberi petunjuk. Latihannya sudah lebih matang dari padamu. Nah, jaga baik-baik diri aku pergi. Wanyen Taijin dan hujin, terima kasih atas segala kebaikan kalian terhadap aku selama aku menjadi guru anak anak. Selamat tinggal!”

"Nio.nio...!” Bi Li memanggil terbata, akan tetapi watak Ang-jiu Mo-li keras sekali. Satu kali bilang putih, putih. Bilang hitam, hitam. Bayangannya melesat dan sekejap mata saja ia sudah lenyap dari situ. Wanyen Ci Lun juga girang sekali mendengar keputusan Kwan Kok Sun yang rela menjadi gihu (ayah angkat) saja dari Bi Li. Tadinya ia sudah khawatir kalau-kalau si gundul itu mempergunakan haknya dan membawa pergi gadis yang menjadi buah hati suami isteri itu.

"Bi Li, kau dengar tadi? Kau tetap puteriku yang terkasih. Hayo beri hormat kepada gihumu”!

Kebingungan Bi Li juga terobat oleh sikap Kok Sun tadi maka serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Kok Sun menyebut, "Gihu...!”

Kwan Kok Sun mengelus-elus kepala dara itu sambil mulutnya berbisik. "Anak baik... anak baik..." tak dapat ia melanjutkan kata-katanya dan matanya kembali menjadi basah.

"Aahhh...” semua orang kaget mendengar suara ini, Kok Sun cepat melompat ke arah pintu dan membuka pintu itu, akan tetapi tidak terlihat ada orang.

"Heran, siapakah yang bersuara tadi?" katanya perlahan. Hanya Bi Li yang dapat menduga suara siapa itu. Itulah suara Wan Sun kakaknya yang sekarang ternyata bukan kakakn ya lagi melainkan orang lain itu, lain ayah lain ibu!

Demikianlah, semenjak hari itu Kwan Kok Sun menjadi perwira Kerajaan Kin, diangkat oleh kaisar atas usul Pangeran Wanyen Ci Lun. Kali ini Kwan Kok Sun benar-benar jujur dalam pekerjaannya, sedikitnya, demikianlah keyakinan Pange ran Wanyen Ci Lun. Oleh karena itu, Kwan Kok Sun mendapat kepercayaan intuk mengurus perkara-perkara besar, di samping penghidupannya yang mulia terhormat di kota raja dan ketekunannya melatih ilmu silat kepada Bi Li.

Karena Bi Li memang mempunyai sifat suka akan ular ular berbisa, sifat pembawaannya sejak kecil ditambah pe ngaruh Racun Ular Merah yang mengeram di tubuhnya, maka gadis inipun suka mempelajari ilmu-ilmu tentang ular dari gihunya. Di samping ini juga Bi Li menerima latihan ilmu silat dari kitab Omei-san hasil rampasan Thai Gu Cinjin yang terjatuh ke dalam tangan Kwan Kok Sun, yaitu kitab Ilmu Pedang Cap-pek Sin-liong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Belas Naga Sakti).

Hubungan Bi Li dengan Wan Sun masih seperti biasa dan pemuda itu nampakuya tidak merobah sikap, menganggap Bi Li seperti adik sendiri, seakan-akan pemuda itu belum tahu akan rahasia itu. Pada suatu hari Kwan Kok Sun menerima tugas dari Pangeran Wanyen Ci Lun untuk berangkat ke selatan.

"Tentara Mongol sudah mulai bergerak ke arah selatan. Kita harus bersiap sedia dan di samping ini kita harus mengumpulkan bala bantuan sebanyak mungkin. Kwan sicu harap berusaha mencari Wan Sin Hong dan memberikan suratku kepadanya. Kemudian cobalah untuk minta bantuan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw dan kalau perlu beli tenaga me reka dengan hadiah-hadiah besar."

Berangkatlah Kwan Kok Sun yang diikuti oleh Wan Sun dan Wan Bi Li serta beberapa orang perwira yang berkepandaian tinggi, membawa perbekalan yang banyak, Kwan Kok Sun me nemui orang-orang kang-ouw dan banyak juga yang dapat terbujuk oleh Kwan Kok Sun dengan hadiah hadiah yang royal. Mereka yang kena bujuk berangkat ke kota raja Kerajaan Kin untuk menerima pangkat di sana sedangkan Kwan Kok Sun bersama dua orang anak pangeran itu melanjutkan perjalanan ke selatan.

Mendengar bahwa Wan Sin Hong berada di pantai laut selatan, Kwan Kok Sun membeli sebuah perahu indah dan berlayar ke laut Selatan. Selain ia sendiri hendak mencari kawan-kawan di daerah selatan juga Bi Li amat mendesaknya untuk mencari Wan Sin Hong sampai dapat. Gadis ini, juga Wan Sun, yang sudah sering kali mendengar nama Wan Sin Hong dipuji-puji ayahnya, ingin sekali bertemu dengan pendekar sakti itu. Bukan hanya karena saktinya, akan tetapi juga karena pendekar itu masih terhitung paman mereka dan mereka bahkan oleh Wanyen Ci Lun diberi she (nama keturunan) Wan, seperti Wan Sin Hong.

Demikianlah, seperti telah dituturkan dibagian depan, ketika perahu besar Kwan Kok Sun berada didekat pesisir selatan. ia menerima tamu istimewa yang datang menggunakan sebuah perahu pula. Tamu ini bukan lain adalah Toat-beng Kui-bo. Semua orang kang-ouw sudah mendengar tentang Kwan Kok Sun yang membagi-bagi harta benda untuk mencari bantuan orang-orang pandai guna menahan serbuan bangsa Mongol, juga Toat-beng Kui-bo mendengar akan hal ini.

Semenjak Toat beng Kui-bo membaca kitab DELAPAN JALAN UTAMA yang ia curi dari Omei-san kemudian oleh Tiang Bu "dipinjamkan" kepadanya, benar-benar isi hatinya be rubah sama sekali. Entah bagaimana mendengar akan sepak terjang Tee-tok Kwa Kok Sun yang kini men jadi panglima Kerajaan Kin dan sedang berusaha melawan serbuan bangsa Mongol. hati Toat-beng Kui-bo tergerak. Bukan sekali-kali oleh janji dan hadiah besar, melainkan tergerak untuk merebus dosa yang sudah-sudah dengan jalan membela tanah air dari serangan bangsa asing.

Biarpun kini yang menjadi kaisar adalah suku bangsa Kin, namun daerah utara itu termasuk ke wilayah Tiongkok juga dan kini hendak diserbu oleh orang orang Mongol yang biadab. Timbul jiwa patriot dalam dada nenek-nenek tua ini, maka ia segera menemui Kwan Kok Sun di perahunya untuk mendaftarkan diri menjadi sukarelawati!

Bukan main girangnya hati Kwan Kok Sun, karena ia tahu akan kelihaian nenek ini yang tidak kalah lihai oleh Ang-jiu Mo-li sendiri! Cepat ia mengeluarkan hadiah berupa barang-barang emas dan permata, diberikan kepada Toat beng Kui-bo sebagai “voorchot" dan "uang jasa”, akan tetapi ia melongo ketika Toat-bang Kui bo mengambil berang-barang itu lalu... melemparkannya ke dalam laut!

Tee-tok Kwan Kok Sun cepat-cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam. "Maaf, maaf... aku tidak sengaja hendak menghina locianpwe...“

"Sudahlah, katakan kepada Pangeran Wanyen Ci Lun bahwa orang-orang Mongol akan menjadi musuhku kalau mereka berani menginjakkan kaki di bumi Tiongkok!"

Setelah berkata demikian, nenek ini bersuit dan kelelawar-kelelawar yang be terbangan berkumpul dan hinggap di atas pundaknya, Kwan Kok Sun memberi perintah kepada orang-orangnya untuk mendayung perahu ke pantai, akan tetapi Toat beng Kui-bo sudah mendahuluinya melompat keluar menuju kesebuah perahu yang berdekatan, terus berlompatan sekali lompat ada lima enam tombak dari perahu lain sampai lenyap dari pandangan mata.

Tentu saja pertemuan ini amat mengharukan hati Bi Li dan Wan Sun, yang baru sekarang menyaksikan orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai. Perjalanan ini benar-benar menggembirakan hati mereka dan membuka mata mereka lebar-lebar bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai, yang sutu lebih pandai agaknya dari pada yang lain.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Mari kita kembali kepada Tiang Bu yang sudah agak lama kita tinggalkan. Seperti telah kita ketahui, Tiang Bu berlari-lari mengikuti tiga orang dara jelita yang membalapkan kuda tunggangan mereka. Sampai setengah hari lebih Ceng Ceng tidak mau menghentikan kuda hitamnya dan terpaksa Pek Lian dan Ang Lian juga melarikan terus kuda mereka. Yang paling sial adalah Tiang Bu, biarpun kepandaiannya tinggi, akan tetapi napas manusia mana bisa menyamai napas kuda dalam hal berlari?

Memang ilmu lari cepat dari Tiang Bu sudah tinggi sekali dan andaikata diadu cepat dengan kuda ia takkan kalah. Akan tetapi diadu kekuatan napas, tentu saja ia kalah. Kuda tetap kuda dan binatang ini memang telah ditakdirkan menjadi tukang lari, akan tetapi manusia bukan kuda.

"Ahhh. adik Ceng Ceng benar-benar kejam. Membiarkan orang berlari-lari setengah hari!” Pek Lian mengomel sambil melarikan kudanya di sebelah kuda Ang Lian. Adiknya melirik te rus berkata.

"Ah, mengapa sih, cici? Biarkan pemuaa muka monyet itu berlari-lari!"

"Moi-moi, di mana perikemanusiaanmu? Kau suka melihat orang tergoda dan tersiksa seperti itu?”

"Biar kapok! Siapa suruh dia menghina kita, merampas barang-barang itu dari tangan kita. Dia sudah dua kali menghina aku, sekarang dia berani main gila kepada adik Ceng Ceng. Biar dia tahu rasa!"

"Tidak bisa kau bilang demikian, adikku. Bagaimanapun juga, kita harus akui bahwa pemuda itu bukan orang jahat. Dia merampas barang-barang itu untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang menurut dia bernama Pangeran Wanyen Ci Lun dan agaknya dia ada hubungan dengan pangeran itu. Kemudian setelah dia mendengar bahwa kita merampas barang-barang untuk menolong rakyat jelata yang kelaparan dan menjadi korban banjir dia mengalah hanya ingin ikut untuk membuktikan dan menyaksikan sendiri. Dia tentu orang gagah yang seharusnya kita hargai, mengapa adik Ceng Ceng menghinanya begitu macam?”

Tiba-tiba Ang Lian memegang lengan cicinya dan menatap wajah cicinya dengan tajam penuh selidik. “Cici...! Kau... kau agaknya sudah jatuh hati kepadanya! Alangkah lucunya pilihanmu! Puluhan pemuda tampan dan gagah kau tampik, ehh... tahu-tahu sekarang jatuh terhadap seorang pemuda yang bermuka buruk...!"

Pek Lian mengipatkan pegangan adiknya dan mukanya menjadi merah sekali. “Gila! Segala apa kau ukur dengan cinta. Dasar gila cinta! Aku hanya bicara sesungguhnya. Pemuda itu pasti bukan orang sembarangan, setidaknya dia tentu murid orang sakti juga dia tidak melakukan kejahatan. Mengapa begitu saja kau terus menuduh aku jatuh hati?"

Setelah berkata demikian Pek Lian membalapkan kudanya menyusul Ceng Ceng sementara itu Tiang Bu nampak bayangannya di belakang sekali, berlari-lari dalam usahanya jangan sampai tertinggal oleh tiga orang nona itu. Ang Lian menoleh dan tersenyum mengejek, melambai lambaikan pecutnya.

"Cepat! Cepat! Mengapa larimu seperti keong buruk lambatnya?”

Tiang Bu hanya tersenyum saja dan lari seperti biasa. Diam-diam hati Tiang Bu berdebar aneh, setengah girang setengah bangga ketika mendengar percakapan tadi. Memang, biar pun ia berada jauh di belakang, ia selalu memasang pendengarannya yang luar biasa tajamnya sehingga ia dapat mendengar percakapan antara enci dan adik tadi. Mendengar kata-kata Pek Lian, hati Tiang Bu tergerak dan ia merasa suka kepada gadis berpakaian pria itu. Ia mempercepat larinya dan sebentar ia sudah melampaui kuda tunggangan Ang Lian.

“He, nona kecil galak! Kau ini menunggang kuda atau menunggang kura-kura begitu lambat?" ia balas mengejek.

Ang Lian menyumpah-nyumpah akan tetapi tidak berani memaksa kudanya berlari lebih cepat karena kalau kudanya terlalu lelah dan mogok di jalan bisa berabe. Sementara itu, Pek Li an yang membalap kudanya sudah berhasil menyusul Ceng Ceng dan merendengkan kudanya dengan kuda hitam itu.

"Kau menyusul aku ada apakah, Pek Lian?" tanya Ceng Ceng tersenyum. Ia memang sedang merasa kesepian maka senang melihat Pek Lian, ada kawannya mengobrol.

"Adik Ceng Ceng, aku mau bicara tentang orang muda itu. Apakah kita tidak akan berhenti dulu membiarkan dia beristirahat? sudah berlari setengah hari lamanya."

Ceng Ceng memandang dengan mata yang seperti bintang, wajahnya tak senang. Matanya berkata penuh ejekan, "Kau perduli apa akan dia?" Akan tetapi mulutnya menggerutu, "Kalau dia lelah biar dia berhenti sendiri. Aku tidak perduli apakah dia lelah atau akan mampus! Laki-laki kurang ajar dia!"

Pek Lian menarik napas panjang. Dia tahu bahwa bicara dengan nona ini sukar sekali karena Ceng Ceng jauh lebih cerewet dari pada Ang Lian juga lebih galak. Akan tetapi ia berkata terus. “Ceng-moi, kurasa orang itu bukan orang sembarangan. Lihat saja ilmu lari cerpatnya demikian lihai tentu dia murid seorang sakti. Kalau kita membiarkan dia yang hendak menjadi tamu orang tua kita berlari-larian seperti itu, apakah kelak tidak akan menerima teguran orang kang-ouw dan orang tua kita se ndiri?”

"Aku tidak perduli! Siapa sudi mengurusi manusia macam dia? Oh, aku tak sudi!" Setelah berkata demikian ia melempar pandangan mengejek ke arah Pek Lian lalu membalapkan kuda hitamnya cepat sekali.

Pek Lian tidak mengejar, karera selain kudanya kalah baik, juga ia sudah tidak ada nafsu untuk membujuk pula. Pada saat itu, bayangan Tiang Bu berkelebat melampaui kudanya dan ia mendengar pemuda itu berkata lirih,

"Pek Lian cici, terima kasih atas budimu yang mulia”

Pek Lian menjadi merah sekali mukanya. Bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa ia telah berusaha menolongnya. Saking jengah dan malunya ia lalu mengendurkan larinya kuda, menanti adiknya. Tiang Bu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat sehingga ia dapat menjajari kuda hitam yang ditunggangi oleh Ceng Ceng. Dara muda ini demi melihat pemuda itu kembali sudah menyusulnya, menjadi marah, menggigit bibir dan mencambuki kudanya yang sudah penuh keringat itu untuk berlari lebih cepat lagi.

"Kuda tolol, kau tak bisa lari cepat lagi?" bentak Ceng Ceng marah.

"Waduh lagaknya. Tentu saja enak-enak di punggung kuda mudah saja mencela dan memukul. Coba turun dan lari tentu seperti cacing merayap!" Tiang Bu menggoda.

Ceng Ceng masih muda dan panas darahnya. Mendengar ejekan ini ia marah bukan main. "Kau kira hanya kau saja yang punya dua kaki dan bisa berlari?”

"Memangnya kau punya kaki?" ejek Tiang Bu. "Hemm. kuberani bertaruh kedua kakimu takkan lebih cepat larinya dari pada cacing merayap."

"Manusia sombong buka lebar-lebar matamu." Ceng Ceng menjerit dan melompat dari atas kudanya, terus berlari cepat sekali mengerahkan ginkang dan lari cepatnya. Dara muda ini adalah puteri dari sepasang suami isteri yang sakti dan terkenal sebagai jago atau tokoh besar dari pantai timur. Tentu saja ilmu lari cepatnya juga luar biasa.

"Ha-ha, bagus sekali! Mari kita berlomba yang kalah boleh naik kuda!” kata Tiang Bu.

Tanpa menjawab Ceng Ceng mengerahkan seluruh kepandaiannya dan tubuhnya bagai seekor burung walet berge rak maju cepat se kali, seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak bumi atau terbang saja. Tentu saja ia malu kalau sampai kalah dan menunggang kuda lagi! Dalam kemarahannya ke pada Tiang Bu ia sampai tidak memperhatikan kata-kata pemuda itu. Sebaliknya, melihat dara itu lari sekuatnya, Tiang Bu tersenyum. Biarpun ia sudah mulai lelah, namun kalau ia mau dengan pengerahan te naga sekuatnya, dapat kiranya ia menyusul Ceng Ceng. Akan tetapi ia memang hendak menggoda gadis galak itu.

Melihat Ce ng Ceng berlari cepat sekali, ia lalu melompat ke atas kuda hitam dan... menjalankan kuda itu perlahn-lahan sampai Pek-Lian dan Ang Lian datang menyusulnya. Dua orang gadis ini hampir tak percaya apa yang mereka saks ikan. "Lho, itu kuda Ceng-moi, kok kau tunggangi? Mana dia Ceng-moi?” tegur Ang Lian.

Tiang Bu tertawa dan berkata keras, sengaja agar terdengar oleh Ceng Ceng yang lari di depan. "Ah, adik Ceng Ceng sudah demikian baik hati untuk merasa kasihan kepadaku dan meminjamkan kudanya. Dia rela jalan kaki. Bukan kah dia baik hati sekali?"

Mendengar ucapan ini, seketi ka Ceng Ceng hentikan larinya dan ia berdiri tegak menanti datangnya kuda hitam itu. "Turun kau dari kudaku!" bentaknya marah.

Akan totapi Tiang Bu enak-enak saja duduk di atas kuda itu. "Nona cilik, bukankah tadi kita sudah janji siapa yang kalah boleh naik kuda? Nah, aku yang berhak naik kuda!”

Biarpun watak Ceng Ceng keras sekali, namun sesuai dengan watak dan ajaran ayah bundanya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, ia berjiwa gagah dan tidak sudi mengingkari janji. Memang betul dia tidak berjanji apa-apa, akan tetapi ketika Tiang Bu mengucapkan taruhan tadi, ia tidak membantah dan berarti ia setuju!

"Kau menipuku, aku bodoh tidak melihat orarg macam apa kau in i. Pcnipu! Baik! Kau kalah cepat dalam berlari dan kau sudak lelah, kedua kakimu sudah pccah-pecah dan hampir lumpuh. Kau menang menipu, naik di atas punggung kudaku. Akan tetapi berikan bungkusan-bungkusan itu!"

Tiang Bu mengambil empat bungkusan dan memberikannya kepada Ceng-Ceng yang men ggendongnya, lalu gadis ini tempa berkata apa-apa lagi ccpat belari mendahului mereka. Tiang Bu tertawa berge lak, akan tetapi dalam hatinya ia memuji gadis itu. Karenu tadi hanya ingin menggoda, maka ia lalu men geprak kuda hitam menyusul Ceng Ceng. Dengan gerakan indah ia melompat ke de pan gadis itu dan ikut berlari di sebelahnya.

"Kasihan nona cilik berlari-lari. Kakinya nanti bengkak-bengkak. Kau tunggangi kudamu, biar aku yang berlari. Kalau percaya boleh kubawakan bungkusan-bungkusan itu..."

Mana Ceng Ceng sudi? Dara ini membuang muka dan mempercepat larinya. Juga Tiang Bu berlari terus di sebelah dara itu. Sekarang biarpun Ceng Ceng mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja pemuda berada di sampingnya, tak pernah tertinggal satu langkahpun. Baru gadis ini tahu dengan hati kecut dan kaget bahwa ilmu lari cepat pemuda ini sekali-kali tidak kalah olehnya bahkan melebihinya!

Sementara itu, Pek Lian dan Ang Lian yang berada di belakang melihat dua orang muda lari berdampingan sedangkan kuda hitamnya lari sendiri di belakang mereka tanpa ada yang menunggangi, menjadi terheran-heran.

"Hayaa... dunia sudah tua...” Ang Lian mengeluh. "En ci Pek Lian, tidak salah duga apa yang aku lihat itu? Mereka jalan berdampingan... saling mengalah... begitu mesra... aduh! Mungkinkah Ceng-moi juga sudah jatuh hati kepada pemuda dogol yang begitu pesek hidungnya dan begitu tebal bibirnya?"

Pek Lian ce pat membentak adiknya. “Hush, jangan usil mulut! Apanya yang tidak mungkin? Sudah kukatakan, pemuda itu bukan orang sembarangan dan... dan... kurasa... ia cukup berharga untuk orang seperti Ceng-moi sekalipun."

Biarpun mulutnya berkata demikian sungguh aneh dan dia sendiri tidak mengerti mengapa isi dadanya menjadi panas dan tidak enak, seakan-akan mendadak terserang masuk angin. Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat akhirnya empat orang muda itu tiba di lembah Sungai Huang-ho yang terserang banjir.

Keadaan di daerah ini memang amat mengenaskan. Sawah ladang yang tadinya ditumbuhi tanaman-tanaman subur kini menjadi telaga. Dusun-dusun terbenam dan semua harta benda musnah diamuk air bah. Penduduk berbondong-bondong mengungsi dan sekarang tujuan mereka adalah dusun Tungkan di sana terdapat makan dan hiburan. Di dusun inilah pusat pertolongan bagi mereka karena di sana Huang-ho Sian-jin dan orang-orang lainnya menggulung lengan baju dan bekerja keras mati-matian untuk mendapatkan batuan makanan dan pertolongan bagi para korban Sun gai Kuning yang mendahsyat itu.

Kedatangan Ceng Ceng, Pek Lian dan Ang-Lian yang membawa empat kantung barang-barang berharga dari kota raja mendapat sambutan meriah dan gembira sekali akan tetapi mereka segera memandang dengan mata penuh curiga dan memandang kepada Tiang Bu.

"Ayah, orang ini agaknya menjadi pelindung Pangeran Wanyen Ci Lun. Dia sengaja datang hendak menyaksikan apakah betul-betul kita hendak menggunakan harta ini untuk menolong korban banjir," begitu tiba di situ Ceng Ceng melapor kepada ayahnya.

Tiang Bu memandang dan melihat suami isteri yang gagah perkasa, seorang pendekar tenar Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya, Souw Cui Eng, sikap mereka angker dan mengingatkan Tiang Bu akan pasangan suami isteri Wan Sin Hong dan Hui-eng-niocu Siok Li Hwa. Dua ekor burung rajawali kepala putih yang berdiri tak jauh dari sepasang suami isteri ini meningatkan Tiang Bu akan dua ekor burung yang dulu menyerangnya di puncak Omei-san.

Juga di dekat sepasang suami isteri pendekar ini, Tiang Bu melihat seorang kakek tinggi besar yang be rwajah angker seperti Kwan Kong. Melihat Pek Lian dan Ang Lian menghampiri kakek ini, Tiang Bu dapat menduga bahwa tentu kakek gagah ini Huang-ho Sian-jin adanya. Diam-diam ia merasa kagum melihat orang-orang gagah yang bekerja untuk menolong para korban banjir ini. Setelah mereka, masih ada beberapa orang lagi yang yang rata-rata menunjukkan sikap gagah.

Tiang Bu mengangkat tangan kedepan dada memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata, “Harap cuwi maafkan aku datang mengganggu. Memang tidak salah bahwa aku yang datang untuk melihat-lihat setelah aku mendengar akan usaha cuwi yang mulia. Dan kiranya memang betul bahwa cuwi adalah orang-orang gagah yang patut dikagumi. Aku bukan pelindung Pangeran Wanyen Ci Lun, hanya pernah mendengar bahwa pangeran itu adalah seorang yang berbudi mulia, maka melihat barang-barangnya ada yang merampas, tentu saja tadinya aku bermaksud mengembalikan barang-barang itu. Akan tetapi, melihat bahwa barang-barang itu ternyata dipergunakan untuk menolong orang-orang tentu Pangeran Wanyen Ci Lun sendiri apabila mengetahui takkan menaruh keberatan. Cuma, kuharap supaya benda-benda yang tidak dapat dipergunakan menolong para korban, dikembalikan kepada pemiliknya.” Kalimat terakhir ini diucapkan Tiang Bu mengingat adanya benda-benda ajaib seperti katak yang didengar suaranya di kamar hotel dua orang gadis itu.

Semua orang yang tadinya melihat seorang pemuda tanggung mengikuti tiga orang gadis itu datang dengan maksud menyaksikan apakah betul barang-barang rampasan dipergunakan untuk menolong korban banjir, sudah menjadi gemas dan mendongkol. Kini mendengar ucapan Tiang Bu, mereka makin marah menganggap pemuda ini lancang dan basar mulut sekali. Namun Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya hanya mengerutkan kening dan tak senang, sedangkan Huang-ho Sian jin yang sudah mendapat bisikan dari Pek Lian bahwa pemuda ini seorang pandai, memandang penuh perhatian...

Tangan Gledek Jilid 27

Tangan Gledek Jilid 27

SETELAH menyusuti air matanya. Kwan Kok Sun melanjutkan penuturannya. “Karena aku sudah menduga bahwa tanpa sesuatu tanda kelak sukar untuk mengakui anakku, aku sengaja memberi tanda itu.”

“Bagaimana caran ya? Jelaskan!” kata pula Ang-jiu Mo-li.

"Semenjak kecil aku selalu bermain-main dengan ular-ular berbisa itu, cara menangkap, memeliharanya, menolak racunnya dan apa saja yang ada hubungannya dengan ular. Pendeknya aku tidak berlebihan kalau mengaku bahwa aku adalah seorang ahli ular beracun. Kebetulan sekali ketika itu aku mempunyai seekor ular kecil merah yang namanya siang hwa ang coa (Ular merah Bunga Harum) yang kudapatkan di perbatasan Tibet. Ular kecil merah itu di sana terkenal sebagai rajanya ular, baunya harum sekali seperti selaksa kembang dan ular-ular lainnya, besar kecil beracun atau tidak terutama sekali yang beracun. baru mencium baunya saja sudah jadi jinak. tunduk dan takut. Nah, ular kubelek tubuhnya, kuambil sari racun yang wangi, kucampuri dengan obat penawar racunnya sehingga racun itu tidak berbahaya lagi, akan tetapi sari keharumannya masih kerja penuh. Sari ini lalu kumasuksan dalam urat-urat di kanan kiri punggung anak sehingga menjadi satu dengan peredaran darahnya, membuat tubuhnya menjadi harum baunya seperti Siang-bwe-ang-coa dan setiap ular tentu takkan berani mengganggu. Memang bukan tidak ada bahayanya memasukkan racun itu ke dalam urat-urat dekat pungung, salah -salah bisa mematikan anaknya. Akan tetapi kukatakan tadi, aku adalah seorang ahli dalam hal itu. Racun itu tidak mendatangkan bahaya bagi anakku, hanya meninggalkan dua bintik merah kecil di punggungnya dan sebaliknya dapat membuat tubuhnya menjadi harum dan anti gigitan ular berbisa."

Mendengar ini, Wanyen Ci Lun dan Soan Li tidak ragu-ragu akan tetapi Ang jiu Mo-li masih berkata kepada Soan Li. "Harap hujin suka mengujinya sekali lagi. Tanyakan tentang pakaian dan keadaan anak itu ketika ditemukan."

Dengan suara gemetar Soan Li bertanya dan jawaban Kwan Kok Sun tentang pakalan dan keadaan anak itu memang tepat sekali, cocok se perti keadaan anak itu ketika didapatkan di dalam taman.

“Tak salah lagi, kau adalah ayah Bi Li... kata Gak Soan Li, suaranya gemetar terharu, kedua matanya basah oleh air mata. Ibu ini merasa bingung dan gelisah sekali, takut kalau-kalau ayah sejati ini menuntut anaknya.

“Agaknya kau memang betul ayahnya, orang she Kwan. Akan tetapi, sekarang anakmu sudah remaja puteri dan semenjak bayi dipelihara oleh Wanyen Taijin dan isterinya. Kau sekarang mau apa?" Suaranya dingin, dan sudah pasti Ang-jiu Mo-li akan membantu suami- isteri ini mempertahankan puteri mereka.

"Aku tidak mau apa-apa, hanya ingin diberi ijin tinggal di sini, hidup di dekat anakku. Biar aku bekerja membantu Wanyen Taijin, biarpun bodoh dan lemah, kiranya aku ada sedikit tenaga untuk membantu kelak bila orang-orang Mongol datang menyerbu. Di samping itu, aku ingin menurunkan semua kepandaianku kepada puteriku. ingin pula memberi oleh-oleh berupa sebuah kitab yang istimewa kepadanya."

"Dari Omei-san...?” Ang-jiu Mo-Li me motong cepat. Kini Kwan Kok Sun yang memandang kepada wanita sakti itu penuh curiga.

“Kalau betul, apakah kau hendak merampasnya, Ang-jiu Mo-li? Kitab ini kudapatkan secara mati-matian dari tangan Thai Gu Cinjin dan hendak kuhadiahkan kepada puteriku. Biarpun aku akan mampus di tanganmu, aku tidak akan membiarkan kau mengambilnya untukmu sendiri!"

Tiba-tiba Ang-jiu Moli tertawa. Aneh, lenyap keangkeran wajahnya, lenyap sifat sifatnya yang ganas kalau Ang jiu Mo li tertawa. Sebaliknya nampak manis dan cantik sekali.

"Setan gundul, kau bicara ngaco! Aku sendiri yang mendapatkan sebuah kitab Omei-san kuajarkan kepada murid-muridku. Masa aku akan merampas kitab yang kau berikan kepada muridku? Aku hanya ingin tahu apakah betul-betul Thai Gu Cinjin mendapatkan banyak kitab dari Omei-san seperti kau katakan tadi?”

"Tidak. Tadi aku sengaja berkata demikian agar supaya kau jangan melepaskannya. Bahkan kitab inipun tadinya dia yang punya, satu-satunya kitab yang dapat ia ambil dari puncak Omei-san.” Lalu Kwan Kok Sun bercerita terus terang betapa ia mengatur siasat untuk menjebak Thai Gu Cinjin di istana dan untuk merampas kitab meminjam tangan Ang-jiu Mo-li. Mendengar ini, kembali Ang jiu Mo-li tertawa.

"0rang-orang macam kau dan Thai Gu Cinjin selalu mempergunakan tipu muslihat dan curang."

"Hidupku yang lampau sudah penuh kekejian, Ang-jiu Mo-li. Sekarang melihat keadaan anakku yang mulia hidupnya, aku betul hendak mencuci tangan, hendak menebus dosa dengan memperlihatkan kepada anakku bahwa bapaknya juga dapat menjadi manusia bersih. Asal saja Wanyen Taijin sudi menerima aku bekerja di sini , hidup di dekat anakku, biar disuruh berkorban nyawa aku siap sedia!"

Wanyen Ci Lun menjadi terharu. Tentu saja ia tidak mau menolak, bahkan andaikata orang ini hendak membawa pergi Bi Li, ia pun tidak bisa apa-apa. "Baiklah, Kwan-sicu. Kau kuterima bekerja dan menjadi perwira, sesuai dengan kepandaianmu. Akan tetapi tentang Bi Li... apakah kami harus… bicara terus terang padanya?”

"Ohhh, jangan... kasihan, dia... tentu akan kecewa sekaIi mendapatkan bahwa ayahnya hanya...“

"Harus diberitahu!" kata Wanyen Ci Lun yang berwatak agung dan jujur. "Betapapun akan pahit getirnya kenyataan harus dihadapinya dengan tabah.” Setelah berkata demikian, ketika itu juga ia menyuruh isterinya memanggil Bi Li.

Ketika itu telah menjelang pagi dan Bi Li yang baru saja pulas, bangun dengan mata masih mengantuk dan rambut yang awut-awutan. Namun hal ini bahkan menonjolkan kecantikannya yang aseli, membuat Kwan Kok Sun diam-diam kagum bukan main.

"Ayah panggil aku ada apakah?" tanya Bi Li kepada Wanyen Ci Lun karena ibunya hanya bilang bahwa dia dipanggil ayahnva untuk kepetluan penting sekali. Ketika Bi Li melirik dan melihat Kwan Kok Sun masih duduk di situ ia tersenyum dan wajahnya berseri -seri, katanya. “Kau masih di sini, orang tua gagah? Kebetulan sekali karena aku ingin sekali bertanya tentang ular hitam yang dapat kaupakai sebagai senjata itu. Sayang ular sebagus itu mati oleh tongkat Thai Gu Cinjin."

Dengan suara terharu Kwan Kok Sun menjawab. "Jangan khawatir, kalau kau suka aku bisa mendapatkan seekor ular seperti itu untukmu. Kita masih mempunyai banyak waktu untuk bercakap-cakap tentang segala macam ular, anak yang baik."

"Betulkah?, Aahh, aku ingin sekali mempunyai kawan baik yang bisa membantu dalam pertempuran seperti ular itu!" Wajah Bi Li berseri-seri dan dara remaja ini sudah lupa lagi bahwa ia keluar karena dipanggil ayahnya.

Sementara itu, menyaksikan ayah dan anak bercakap-cakap itu saja sudah merupakan hal yang mengharukan dan mendebarkan hati sehingga Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li memandang dengan melongo, bahkan Ang-jiu Mo-li juga diam saja tak bergerak. Kesunyian ini agaknya terasa oleh Bi Li, maka ketika ia menoleh dan melihat sikap ayah-bundanya. ia menjadi terheran dan berbareng ingat akan panggilan ayahnya.

"Ayah memanggil aku ada kepentingan apakah ayah?" tanyanya lagi sambil melangkah maju dan merangkul pundak ibunya dengan sikap manja.

"Bi Li, Kwan-sicu ini... dia inilah... ayahmu sendiri. Adapun aku dan ibumu itu hanya ayah dan ibu pungut saja."

Bi Li memandang bingung, mengira ayahnya bergurau lalu mendekati ayahnya, memegang tangannya. "Ayah kau bilang apa? Aku tidak mengerti."

Suara Wanyen Ci Lun agak gemetar ketika ia menguatkan hatinya dan bicara dengan jelas sementara Gak Soan Li menutupi muka untuk menyembunyikan matanya yang sudah basah. "Bi Li, ketahuilah. Ketika kau berusia setengah tahun, oleh ayahmu ini kau dititipkan kepada kami karena... karena ibumu sendiri meninggal dunia ketika kau terlahir…”

Ucapan ini saja sudah mcnunjukkan betapa luhur budi Pangeran Wanyen Ci Lun, tahu bahwa kalau ia me mberi tahu bahwa Bi Li dahulu ditinggalkan ayahnya di dalam taman seakan-akan dibuang, tentu perasaan gadis itu akan tersinggung, maka ia menolong Kwan Kok Sun dengan mengatakan bahwa Bi Li sengaja dititipkan! Akan tetapi, ucapan yang lemah lembut itu tetap saja merupaka pisau berkarat yang menancap di ulu hati Bi Li.

Dara ini meloncat mundur seakan-akan ditampar, mukanya pucat sekali seperti muka mayat. Soan Li menjerit dan menubruk gadis itu, terus dirangkul dan didekapnya kepala anaknya itu ke dadanya.

“Bi Li, jangan... jangan kau memandang aku seperti itu..." tangis Soan Li, "Aku tetap ibumu... kau anakku, jangan anggap aku bukan ibumu lagi...“

Namun Bi Li meronta dari pelukan ibu berdiri tegak dan sampai lama ia hanya menatap wajah Kwan Kok Sun, Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li berganti-ganti.

"Mengapa semua ini dirahasiakan tadinya. Mengapa...??" Bi Li tidak menangis, setitik air matapun tidak keluar, pandang matanya menyambar.

“Bi Li, anakku, kami memang tidak menganggap engkau seperti orang lain. Kau adalah anak kami dan... dan... kalau tidak ada kejadian malam ini, sampai sekarangpun rahasia itu akan kami simpan, kami bawa mati...”

Tiba-tiba Kwan Kok Sun tertawa keras dan berdiri dari bangkunya. “Ha ha ha, mengapa ribut-ribut untuk urusan ini? Tentu saja anak Bi Li masih menjadi anak Pangeran Wan-taijin dan hujin. Mana bisa lain? Bahkan nama Bi Li juga pemberian dari ayah bundamu ini. Mana bisa kau menjadi anakku? Tidak pantas, tidak pantas. Biarlah mulai sekarang, kau tetap anak terkasih dari Pangeran Wanyen Ci Lun ada pun aku. Tee-tok Kwan Kok Sun. menjadi gihu (ayah angkat) saja. Bagaimana? Maukah muridku?" Tiba-tiba Kwan Kok Sun menghadapi Ang-jiu Mo-li dan menjura. "Maaf, Toanio, bukan maksudku mendesak menjadi guru anak ini. Tentu saja kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada kebisaanku yang tidak ada arti nya, akan tetapi seperti kataku tadi, biarpun sedikit, kiranya aku dapat mewariskan kepandaianku, te rutama isi kitab itu..."

Diam-diam Ang jiu Mo-li memuji Kwan Kok Sun. Biarpun Kwan Kok Sun terkenal sebagai seorang yang disebut seorang jahat, seorang yang disebut Racun Bumi, namun dalam hal ini dia rupanya ingat akan budi Pangeran Wanyen Ci Lun sehingga ia dapat mengatasi keadaan tegang itu dengan merendahkan diri terima menjadi ayah angkat saja padahal dialah ayah sejati yang berhak mengaku Bi Li sebagai anaknya. Maka wanita sakti ini tersenyum dan berkata, "Kebetulan sekali, memang sudah terlalu lama aku menjadi guru mereka, baik sekali kau datang mengganti kedudukan ku."

"Bi Li, mulai sekarang kau boleh melanjutkan pelajaranmu di bawah petunjuk Kwa Kok Sun ini. Yang terpenting kau harus melatih Kwan Im-cam-mo dengan sempurna, dalam hal ini kiranya Sun-ji akan dapat dapat memberi petunjuk. Latihannya sudah lebih matang dari padamu. Nah, jaga baik-baik diri aku pergi. Wanyen Taijin dan hujin, terima kasih atas segala kebaikan kalian terhadap aku selama aku menjadi guru anak anak. Selamat tinggal!”

"Nio.nio...!” Bi Li memanggil terbata, akan tetapi watak Ang-jiu Mo-li keras sekali. Satu kali bilang putih, putih. Bilang hitam, hitam. Bayangannya melesat dan sekejap mata saja ia sudah lenyap dari situ. Wanyen Ci Lun juga girang sekali mendengar keputusan Kwan Kok Sun yang rela menjadi gihu (ayah angkat) saja dari Bi Li. Tadinya ia sudah khawatir kalau-kalau si gundul itu mempergunakan haknya dan membawa pergi gadis yang menjadi buah hati suami isteri itu.

"Bi Li, kau dengar tadi? Kau tetap puteriku yang terkasih. Hayo beri hormat kepada gihumu”!

Kebingungan Bi Li juga terobat oleh sikap Kok Sun tadi maka serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Kok Sun menyebut, "Gihu...!”

Kwan Kok Sun mengelus-elus kepala dara itu sambil mulutnya berbisik. "Anak baik... anak baik..." tak dapat ia melanjutkan kata-katanya dan matanya kembali menjadi basah.

"Aahhh...” semua orang kaget mendengar suara ini, Kok Sun cepat melompat ke arah pintu dan membuka pintu itu, akan tetapi tidak terlihat ada orang.

"Heran, siapakah yang bersuara tadi?" katanya perlahan. Hanya Bi Li yang dapat menduga suara siapa itu. Itulah suara Wan Sun kakaknya yang sekarang ternyata bukan kakakn ya lagi melainkan orang lain itu, lain ayah lain ibu!

Demikianlah, semenjak hari itu Kwan Kok Sun menjadi perwira Kerajaan Kin, diangkat oleh kaisar atas usul Pangeran Wanyen Ci Lun. Kali ini Kwan Kok Sun benar-benar jujur dalam pekerjaannya, sedikitnya, demikianlah keyakinan Pange ran Wanyen Ci Lun. Oleh karena itu, Kwan Kok Sun mendapat kepercayaan intuk mengurus perkara-perkara besar, di samping penghidupannya yang mulia terhormat di kota raja dan ketekunannya melatih ilmu silat kepada Bi Li.

Karena Bi Li memang mempunyai sifat suka akan ular ular berbisa, sifat pembawaannya sejak kecil ditambah pe ngaruh Racun Ular Merah yang mengeram di tubuhnya, maka gadis inipun suka mempelajari ilmu-ilmu tentang ular dari gihunya. Di samping ini juga Bi Li menerima latihan ilmu silat dari kitab Omei-san hasil rampasan Thai Gu Cinjin yang terjatuh ke dalam tangan Kwan Kok Sun, yaitu kitab Ilmu Pedang Cap-pek Sin-liong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Belas Naga Sakti).

Hubungan Bi Li dengan Wan Sun masih seperti biasa dan pemuda itu nampakuya tidak merobah sikap, menganggap Bi Li seperti adik sendiri, seakan-akan pemuda itu belum tahu akan rahasia itu. Pada suatu hari Kwan Kok Sun menerima tugas dari Pangeran Wanyen Ci Lun untuk berangkat ke selatan.

"Tentara Mongol sudah mulai bergerak ke arah selatan. Kita harus bersiap sedia dan di samping ini kita harus mengumpulkan bala bantuan sebanyak mungkin. Kwan sicu harap berusaha mencari Wan Sin Hong dan memberikan suratku kepadanya. Kemudian cobalah untuk minta bantuan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw dan kalau perlu beli tenaga me reka dengan hadiah-hadiah besar."

Berangkatlah Kwan Kok Sun yang diikuti oleh Wan Sun dan Wan Bi Li serta beberapa orang perwira yang berkepandaian tinggi, membawa perbekalan yang banyak, Kwan Kok Sun me nemui orang-orang kang-ouw dan banyak juga yang dapat terbujuk oleh Kwan Kok Sun dengan hadiah hadiah yang royal. Mereka yang kena bujuk berangkat ke kota raja Kerajaan Kin untuk menerima pangkat di sana sedangkan Kwan Kok Sun bersama dua orang anak pangeran itu melanjutkan perjalanan ke selatan.

Mendengar bahwa Wan Sin Hong berada di pantai laut selatan, Kwan Kok Sun membeli sebuah perahu indah dan berlayar ke laut Selatan. Selain ia sendiri hendak mencari kawan-kawan di daerah selatan juga Bi Li amat mendesaknya untuk mencari Wan Sin Hong sampai dapat. Gadis ini, juga Wan Sun, yang sudah sering kali mendengar nama Wan Sin Hong dipuji-puji ayahnya, ingin sekali bertemu dengan pendekar sakti itu. Bukan hanya karena saktinya, akan tetapi juga karena pendekar itu masih terhitung paman mereka dan mereka bahkan oleh Wanyen Ci Lun diberi she (nama keturunan) Wan, seperti Wan Sin Hong.

Demikianlah, seperti telah dituturkan dibagian depan, ketika perahu besar Kwan Kok Sun berada didekat pesisir selatan. ia menerima tamu istimewa yang datang menggunakan sebuah perahu pula. Tamu ini bukan lain adalah Toat-beng Kui-bo. Semua orang kang-ouw sudah mendengar tentang Kwan Kok Sun yang membagi-bagi harta benda untuk mencari bantuan orang-orang pandai guna menahan serbuan bangsa Mongol, juga Toat-beng Kui-bo mendengar akan hal ini.

Semenjak Toat beng Kui-bo membaca kitab DELAPAN JALAN UTAMA yang ia curi dari Omei-san kemudian oleh Tiang Bu "dipinjamkan" kepadanya, benar-benar isi hatinya be rubah sama sekali. Entah bagaimana mendengar akan sepak terjang Tee-tok Kwa Kok Sun yang kini men jadi panglima Kerajaan Kin dan sedang berusaha melawan serbuan bangsa Mongol. hati Toat-beng Kui-bo tergerak. Bukan sekali-kali oleh janji dan hadiah besar, melainkan tergerak untuk merebus dosa yang sudah-sudah dengan jalan membela tanah air dari serangan bangsa asing.

Biarpun kini yang menjadi kaisar adalah suku bangsa Kin, namun daerah utara itu termasuk ke wilayah Tiongkok juga dan kini hendak diserbu oleh orang orang Mongol yang biadab. Timbul jiwa patriot dalam dada nenek-nenek tua ini, maka ia segera menemui Kwan Kok Sun di perahunya untuk mendaftarkan diri menjadi sukarelawati!

Bukan main girangnya hati Kwan Kok Sun, karena ia tahu akan kelihaian nenek ini yang tidak kalah lihai oleh Ang-jiu Mo-li sendiri! Cepat ia mengeluarkan hadiah berupa barang-barang emas dan permata, diberikan kepada Toat beng Kui-bo sebagai “voorchot" dan "uang jasa”, akan tetapi ia melongo ketika Toat-bang Kui bo mengambil berang-barang itu lalu... melemparkannya ke dalam laut!

Tee-tok Kwan Kok Sun cepat-cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam. "Maaf, maaf... aku tidak sengaja hendak menghina locianpwe...“

"Sudahlah, katakan kepada Pangeran Wanyen Ci Lun bahwa orang-orang Mongol akan menjadi musuhku kalau mereka berani menginjakkan kaki di bumi Tiongkok!"

Setelah berkata demikian, nenek ini bersuit dan kelelawar-kelelawar yang be terbangan berkumpul dan hinggap di atas pundaknya, Kwan Kok Sun memberi perintah kepada orang-orangnya untuk mendayung perahu ke pantai, akan tetapi Toat beng Kui-bo sudah mendahuluinya melompat keluar menuju kesebuah perahu yang berdekatan, terus berlompatan sekali lompat ada lima enam tombak dari perahu lain sampai lenyap dari pandangan mata.

Tentu saja pertemuan ini amat mengharukan hati Bi Li dan Wan Sun, yang baru sekarang menyaksikan orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai. Perjalanan ini benar-benar menggembirakan hati mereka dan membuka mata mereka lebar-lebar bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai, yang sutu lebih pandai agaknya dari pada yang lain.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Mari kita kembali kepada Tiang Bu yang sudah agak lama kita tinggalkan. Seperti telah kita ketahui, Tiang Bu berlari-lari mengikuti tiga orang dara jelita yang membalapkan kuda tunggangan mereka. Sampai setengah hari lebih Ceng Ceng tidak mau menghentikan kuda hitamnya dan terpaksa Pek Lian dan Ang Lian juga melarikan terus kuda mereka. Yang paling sial adalah Tiang Bu, biarpun kepandaiannya tinggi, akan tetapi napas manusia mana bisa menyamai napas kuda dalam hal berlari?

Memang ilmu lari cepat dari Tiang Bu sudah tinggi sekali dan andaikata diadu cepat dengan kuda ia takkan kalah. Akan tetapi diadu kekuatan napas, tentu saja ia kalah. Kuda tetap kuda dan binatang ini memang telah ditakdirkan menjadi tukang lari, akan tetapi manusia bukan kuda.

"Ahhh. adik Ceng Ceng benar-benar kejam. Membiarkan orang berlari-lari setengah hari!” Pek Lian mengomel sambil melarikan kudanya di sebelah kuda Ang Lian. Adiknya melirik te rus berkata.

"Ah, mengapa sih, cici? Biarkan pemuaa muka monyet itu berlari-lari!"

"Moi-moi, di mana perikemanusiaanmu? Kau suka melihat orang tergoda dan tersiksa seperti itu?”

"Biar kapok! Siapa suruh dia menghina kita, merampas barang-barang itu dari tangan kita. Dia sudah dua kali menghina aku, sekarang dia berani main gila kepada adik Ceng Ceng. Biar dia tahu rasa!"

"Tidak bisa kau bilang demikian, adikku. Bagaimanapun juga, kita harus akui bahwa pemuda itu bukan orang jahat. Dia merampas barang-barang itu untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang menurut dia bernama Pangeran Wanyen Ci Lun dan agaknya dia ada hubungan dengan pangeran itu. Kemudian setelah dia mendengar bahwa kita merampas barang-barang untuk menolong rakyat jelata yang kelaparan dan menjadi korban banjir dia mengalah hanya ingin ikut untuk membuktikan dan menyaksikan sendiri. Dia tentu orang gagah yang seharusnya kita hargai, mengapa adik Ceng Ceng menghinanya begitu macam?”

Tiba-tiba Ang Lian memegang lengan cicinya dan menatap wajah cicinya dengan tajam penuh selidik. “Cici...! Kau... kau agaknya sudah jatuh hati kepadanya! Alangkah lucunya pilihanmu! Puluhan pemuda tampan dan gagah kau tampik, ehh... tahu-tahu sekarang jatuh terhadap seorang pemuda yang bermuka buruk...!"

Pek Lian mengipatkan pegangan adiknya dan mukanya menjadi merah sekali. “Gila! Segala apa kau ukur dengan cinta. Dasar gila cinta! Aku hanya bicara sesungguhnya. Pemuda itu pasti bukan orang sembarangan, setidaknya dia tentu murid orang sakti juga dia tidak melakukan kejahatan. Mengapa begitu saja kau terus menuduh aku jatuh hati?"

Setelah berkata demikian Pek Lian membalapkan kudanya menyusul Ceng Ceng sementara itu Tiang Bu nampak bayangannya di belakang sekali, berlari-lari dalam usahanya jangan sampai tertinggal oleh tiga orang nona itu. Ang Lian menoleh dan tersenyum mengejek, melambai lambaikan pecutnya.

"Cepat! Cepat! Mengapa larimu seperti keong buruk lambatnya?”

Tiang Bu hanya tersenyum saja dan lari seperti biasa. Diam-diam hati Tiang Bu berdebar aneh, setengah girang setengah bangga ketika mendengar percakapan tadi. Memang, biar pun ia berada jauh di belakang, ia selalu memasang pendengarannya yang luar biasa tajamnya sehingga ia dapat mendengar percakapan antara enci dan adik tadi. Mendengar kata-kata Pek Lian, hati Tiang Bu tergerak dan ia merasa suka kepada gadis berpakaian pria itu. Ia mempercepat larinya dan sebentar ia sudah melampaui kuda tunggangan Ang Lian.

“He, nona kecil galak! Kau ini menunggang kuda atau menunggang kura-kura begitu lambat?" ia balas mengejek.

Ang Lian menyumpah-nyumpah akan tetapi tidak berani memaksa kudanya berlari lebih cepat karena kalau kudanya terlalu lelah dan mogok di jalan bisa berabe. Sementara itu, Pek Li an yang membalap kudanya sudah berhasil menyusul Ceng Ceng dan merendengkan kudanya dengan kuda hitam itu.

"Kau menyusul aku ada apakah, Pek Lian?" tanya Ceng Ceng tersenyum. Ia memang sedang merasa kesepian maka senang melihat Pek Lian, ada kawannya mengobrol.

"Adik Ceng Ceng, aku mau bicara tentang orang muda itu. Apakah kita tidak akan berhenti dulu membiarkan dia beristirahat? sudah berlari setengah hari lamanya."

Ceng Ceng memandang dengan mata yang seperti bintang, wajahnya tak senang. Matanya berkata penuh ejekan, "Kau perduli apa akan dia?" Akan tetapi mulutnya menggerutu, "Kalau dia lelah biar dia berhenti sendiri. Aku tidak perduli apakah dia lelah atau akan mampus! Laki-laki kurang ajar dia!"

Pek Lian menarik napas panjang. Dia tahu bahwa bicara dengan nona ini sukar sekali karena Ceng Ceng jauh lebih cerewet dari pada Ang Lian juga lebih galak. Akan tetapi ia berkata terus. “Ceng-moi, kurasa orang itu bukan orang sembarangan. Lihat saja ilmu lari cerpatnya demikian lihai tentu dia murid seorang sakti. Kalau kita membiarkan dia yang hendak menjadi tamu orang tua kita berlari-larian seperti itu, apakah kelak tidak akan menerima teguran orang kang-ouw dan orang tua kita se ndiri?”

"Aku tidak perduli! Siapa sudi mengurusi manusia macam dia? Oh, aku tak sudi!" Setelah berkata demikian ia melempar pandangan mengejek ke arah Pek Lian lalu membalapkan kuda hitamnya cepat sekali.

Pek Lian tidak mengejar, karera selain kudanya kalah baik, juga ia sudah tidak ada nafsu untuk membujuk pula. Pada saat itu, bayangan Tiang Bu berkelebat melampaui kudanya dan ia mendengar pemuda itu berkata lirih,

"Pek Lian cici, terima kasih atas budimu yang mulia”

Pek Lian menjadi merah sekali mukanya. Bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa ia telah berusaha menolongnya. Saking jengah dan malunya ia lalu mengendurkan larinya kuda, menanti adiknya. Tiang Bu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat sehingga ia dapat menjajari kuda hitam yang ditunggangi oleh Ceng Ceng. Dara muda ini demi melihat pemuda itu kembali sudah menyusulnya, menjadi marah, menggigit bibir dan mencambuki kudanya yang sudah penuh keringat itu untuk berlari lebih cepat lagi.

"Kuda tolol, kau tak bisa lari cepat lagi?" bentak Ceng Ceng marah.

"Waduh lagaknya. Tentu saja enak-enak di punggung kuda mudah saja mencela dan memukul. Coba turun dan lari tentu seperti cacing merayap!" Tiang Bu menggoda.

Ceng Ceng masih muda dan panas darahnya. Mendengar ejekan ini ia marah bukan main. "Kau kira hanya kau saja yang punya dua kaki dan bisa berlari?”

"Memangnya kau punya kaki?" ejek Tiang Bu. "Hemm. kuberani bertaruh kedua kakimu takkan lebih cepat larinya dari pada cacing merayap."

"Manusia sombong buka lebar-lebar matamu." Ceng Ceng menjerit dan melompat dari atas kudanya, terus berlari cepat sekali mengerahkan ginkang dan lari cepatnya. Dara muda ini adalah puteri dari sepasang suami isteri yang sakti dan terkenal sebagai jago atau tokoh besar dari pantai timur. Tentu saja ilmu lari cepatnya juga luar biasa.

"Ha-ha, bagus sekali! Mari kita berlomba yang kalah boleh naik kuda!” kata Tiang Bu.

Tanpa menjawab Ceng Ceng mengerahkan seluruh kepandaiannya dan tubuhnya bagai seekor burung walet berge rak maju cepat se kali, seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak bumi atau terbang saja. Tentu saja ia malu kalau sampai kalah dan menunggang kuda lagi! Dalam kemarahannya ke pada Tiang Bu ia sampai tidak memperhatikan kata-kata pemuda itu. Sebaliknya, melihat dara itu lari sekuatnya, Tiang Bu tersenyum. Biarpun ia sudah mulai lelah, namun kalau ia mau dengan pengerahan te naga sekuatnya, dapat kiranya ia menyusul Ceng Ceng. Akan tetapi ia memang hendak menggoda gadis galak itu.

Melihat Ce ng Ceng berlari cepat sekali, ia lalu melompat ke atas kuda hitam dan... menjalankan kuda itu perlahn-lahan sampai Pek-Lian dan Ang Lian datang menyusulnya. Dua orang gadis ini hampir tak percaya apa yang mereka saks ikan. "Lho, itu kuda Ceng-moi, kok kau tunggangi? Mana dia Ceng-moi?” tegur Ang Lian.

Tiang Bu tertawa dan berkata keras, sengaja agar terdengar oleh Ceng Ceng yang lari di depan. "Ah, adik Ceng Ceng sudah demikian baik hati untuk merasa kasihan kepadaku dan meminjamkan kudanya. Dia rela jalan kaki. Bukan kah dia baik hati sekali?"

Mendengar ucapan ini, seketi ka Ceng Ceng hentikan larinya dan ia berdiri tegak menanti datangnya kuda hitam itu. "Turun kau dari kudaku!" bentaknya marah.

Akan totapi Tiang Bu enak-enak saja duduk di atas kuda itu. "Nona cilik, bukankah tadi kita sudah janji siapa yang kalah boleh naik kuda? Nah, aku yang berhak naik kuda!”

Biarpun watak Ceng Ceng keras sekali, namun sesuai dengan watak dan ajaran ayah bundanya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, ia berjiwa gagah dan tidak sudi mengingkari janji. Memang betul dia tidak berjanji apa-apa, akan tetapi ketika Tiang Bu mengucapkan taruhan tadi, ia tidak membantah dan berarti ia setuju!

"Kau menipuku, aku bodoh tidak melihat orarg macam apa kau in i. Pcnipu! Baik! Kau kalah cepat dalam berlari dan kau sudak lelah, kedua kakimu sudah pccah-pecah dan hampir lumpuh. Kau menang menipu, naik di atas punggung kudaku. Akan tetapi berikan bungkusan-bungkusan itu!"

Tiang Bu mengambil empat bungkusan dan memberikannya kepada Ceng-Ceng yang men ggendongnya, lalu gadis ini tempa berkata apa-apa lagi ccpat belari mendahului mereka. Tiang Bu tertawa berge lak, akan tetapi dalam hatinya ia memuji gadis itu. Karenu tadi hanya ingin menggoda, maka ia lalu men geprak kuda hitam menyusul Ceng Ceng. Dengan gerakan indah ia melompat ke de pan gadis itu dan ikut berlari di sebelahnya.

"Kasihan nona cilik berlari-lari. Kakinya nanti bengkak-bengkak. Kau tunggangi kudamu, biar aku yang berlari. Kalau percaya boleh kubawakan bungkusan-bungkusan itu..."

Mana Ceng Ceng sudi? Dara ini membuang muka dan mempercepat larinya. Juga Tiang Bu berlari terus di sebelah dara itu. Sekarang biarpun Ceng Ceng mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja pemuda berada di sampingnya, tak pernah tertinggal satu langkahpun. Baru gadis ini tahu dengan hati kecut dan kaget bahwa ilmu lari cepat pemuda ini sekali-kali tidak kalah olehnya bahkan melebihinya!

Sementara itu, Pek Lian dan Ang Lian yang berada di belakang melihat dua orang muda lari berdampingan sedangkan kuda hitamnya lari sendiri di belakang mereka tanpa ada yang menunggangi, menjadi terheran-heran.

"Hayaa... dunia sudah tua...” Ang Lian mengeluh. "En ci Pek Lian, tidak salah duga apa yang aku lihat itu? Mereka jalan berdampingan... saling mengalah... begitu mesra... aduh! Mungkinkah Ceng-moi juga sudah jatuh hati kepada pemuda dogol yang begitu pesek hidungnya dan begitu tebal bibirnya?"

Pek Lian ce pat membentak adiknya. “Hush, jangan usil mulut! Apanya yang tidak mungkin? Sudah kukatakan, pemuda itu bukan orang sembarangan dan... dan... kurasa... ia cukup berharga untuk orang seperti Ceng-moi sekalipun."

Biarpun mulutnya berkata demikian sungguh aneh dan dia sendiri tidak mengerti mengapa isi dadanya menjadi panas dan tidak enak, seakan-akan mendadak terserang masuk angin. Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat akhirnya empat orang muda itu tiba di lembah Sungai Huang-ho yang terserang banjir.

Keadaan di daerah ini memang amat mengenaskan. Sawah ladang yang tadinya ditumbuhi tanaman-tanaman subur kini menjadi telaga. Dusun-dusun terbenam dan semua harta benda musnah diamuk air bah. Penduduk berbondong-bondong mengungsi dan sekarang tujuan mereka adalah dusun Tungkan di sana terdapat makan dan hiburan. Di dusun inilah pusat pertolongan bagi mereka karena di sana Huang-ho Sian-jin dan orang-orang lainnya menggulung lengan baju dan bekerja keras mati-matian untuk mendapatkan batuan makanan dan pertolongan bagi para korban Sun gai Kuning yang mendahsyat itu.

Kedatangan Ceng Ceng, Pek Lian dan Ang-Lian yang membawa empat kantung barang-barang berharga dari kota raja mendapat sambutan meriah dan gembira sekali akan tetapi mereka segera memandang dengan mata penuh curiga dan memandang kepada Tiang Bu.

"Ayah, orang ini agaknya menjadi pelindung Pangeran Wanyen Ci Lun. Dia sengaja datang hendak menyaksikan apakah betul-betul kita hendak menggunakan harta ini untuk menolong korban banjir," begitu tiba di situ Ceng Ceng melapor kepada ayahnya.

Tiang Bu memandang dan melihat suami isteri yang gagah perkasa, seorang pendekar tenar Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya, Souw Cui Eng, sikap mereka angker dan mengingatkan Tiang Bu akan pasangan suami isteri Wan Sin Hong dan Hui-eng-niocu Siok Li Hwa. Dua ekor burung rajawali kepala putih yang berdiri tak jauh dari sepasang suami isteri ini meningatkan Tiang Bu akan dua ekor burung yang dulu menyerangnya di puncak Omei-san.

Juga di dekat sepasang suami isteri pendekar ini, Tiang Bu melihat seorang kakek tinggi besar yang be rwajah angker seperti Kwan Kong. Melihat Pek Lian dan Ang Lian menghampiri kakek ini, Tiang Bu dapat menduga bahwa tentu kakek gagah ini Huang-ho Sian-jin adanya. Diam-diam ia merasa kagum melihat orang-orang gagah yang bekerja untuk menolong para korban banjir ini. Setelah mereka, masih ada beberapa orang lagi yang yang rata-rata menunjukkan sikap gagah.

Tiang Bu mengangkat tangan kedepan dada memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata, “Harap cuwi maafkan aku datang mengganggu. Memang tidak salah bahwa aku yang datang untuk melihat-lihat setelah aku mendengar akan usaha cuwi yang mulia. Dan kiranya memang betul bahwa cuwi adalah orang-orang gagah yang patut dikagumi. Aku bukan pelindung Pangeran Wanyen Ci Lun, hanya pernah mendengar bahwa pangeran itu adalah seorang yang berbudi mulia, maka melihat barang-barangnya ada yang merampas, tentu saja tadinya aku bermaksud mengembalikan barang-barang itu. Akan tetapi, melihat bahwa barang-barang itu ternyata dipergunakan untuk menolong orang-orang tentu Pangeran Wanyen Ci Lun sendiri apabila mengetahui takkan menaruh keberatan. Cuma, kuharap supaya benda-benda yang tidak dapat dipergunakan menolong para korban, dikembalikan kepada pemiliknya.” Kalimat terakhir ini diucapkan Tiang Bu mengingat adanya benda-benda ajaib seperti katak yang didengar suaranya di kamar hotel dua orang gadis itu.

Semua orang yang tadinya melihat seorang pemuda tanggung mengikuti tiga orang gadis itu datang dengan maksud menyaksikan apakah betul barang-barang rampasan dipergunakan untuk menolong korban banjir, sudah menjadi gemas dan mendongkol. Kini mendengar ucapan Tiang Bu, mereka makin marah menganggap pemuda ini lancang dan basar mulut sekali. Namun Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya hanya mengerutkan kening dan tak senang, sedangkan Huang-ho Sian jin yang sudah mendapat bisikan dari Pek Lian bahwa pemuda ini seorang pandai, memandang penuh perhatian...