Tangan Gledek Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 28

SEORANG diantara yang hadir, seorang laki-laki tinggi tegap berkepala botak bermata lebar, melompat maju. Orang ini bukan orang sembarangan, ia bernama Tan-Boan-It berjuluk Huang-ho Kim-go (Buaya Emas dari Huang-ho) dan menjadi jagoan terkenal di sepanjang Sungai Kuning. Selamanya Tan-Boan-It ini tidak pernah mengancingkan bajunya yang terbuka terus memperlihatkan dada bidang penuh bulu hitam.

Dia seorang kasar dan jujur, akan tetapi tak pernah ketinggalan untuk turun tangan, apabila orang-orang membutuhkan pertolongannya. Melihat lagak dan kata-kata Tiang Bu, Buaya Emas ini tak dapat menahan lagi perutnya yang menjadi panas hendak meledak. Kepalan tangannya yang sebesar kepala orang menyambar ke arah hidung Tiang Bu, dibarengi bentakannya, "Bocah lancang dan sombong, menggelindinglah pergi!"

Akan tetapi kenyataannya benar-benar berlawanan dengan bentakannya, karena bukan Tiang Bu yang menggelinding, melainkan dia sendiri, betul-betul "menggelinding," seperti roda. Ketika tadi pukulan keras dari kepalan besar itu mendekati hidungnya, dengan tenang Tiang Bu menangkap pergelangan tangan itu mengerahkan tenaga dan Si Buaya Emas merasa seakan-akan tubuhnya dimasuki api. Tak tertahan lagi ia membungkuk dan sekali Tiang Bu mengerakkan kaki mendorong sambil me mutar tangan orang disentakkan ke pinggir tubuh si tinggi tegap itu terguling dan terus bergulingan sampai jauh karena tak dapat ditahan lagi!

Huang-ho Sian-jin maklum bahwa si Tan Boan It memang “mencari penyakit” sendiri. Akan tetapi betapapun juga, Buaya Emas ini adalah pembantunya dan seorang tamunya tidak seharusnya dihina orang di dalam rumahnya. Ia melangkah maju dan menghadapi Tiang Bu.

“Orang muda, kau datang-datang memamerkan kepandaian. Aku adalah tuan rumah di sini, kalau kau mau mencoba kepandaian jangan mencari orang lain, mari kita bermain main. Kau datang di sini, akulah tuan rumahnya yang harus menyambut."

Sebetulnya ucapan ini hanya untuk alasan saja, sebenarnya Huang-ho Sian-jin ketika mendengar dari Pek Lian bahwa kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, sudah gatal-gatal tangan hendak mencoba. Akan tetapi, Tiang Bu tidak mau melayani kakek ini. Memang ia datang bukan hendak mencari perkara, pertama-tama untuk menyaksikan apakah betul-betul harta benda Pangeran Wanyen Ci Lun dipergunakan untuk maksud baik dan terutama sekali hendak bertemu dengan Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong. Maka ia menjura kepada Huang ho Sian-jin sambil berkata,

"Harap lo-enghiong maafkan aku, karena tidak ingin bertempur. Twako yang kasar ini kurang hati-hati hingga ia mewakili aku menggelinding, harap jangan salahkan aku. Maaf, lo-enghiong, kalau disuruh bertanding dengan kau, aku terima kalah."

Merah wajah Huang-ho Sian-jin. Biarpun pemuda itu menolak dan menyatakan takut, namun cara mengatakannya jelas memperoloknya dan tidak memperlihatkan rasa takut sama sekali. Dengan menahan marah ia lalu mengambii sebuah cawan dari atas meja.

“Betapapun juga kau sudah datang ke sini berarti kau tamuku. Nah, aku tuan rumah menghormatimu dengan secawan arak penuh. Terimalah!”

Sambil berkata demikian Huang-ho Sian jin menuangkan arak dari guci ke dalam cawan itu sampai penuh sekali, hampir meluber akan tetapi anehnya arak yang tingginya melampaui mulut cawan itu tidak mau meluber! Dengan cawan penuh sekali ini ia menghampiri Tiang Bu dan menyodorkan cawan itu.

Tiang Bu kaget sekali, ia kurang pengalaman dan belum pernah melihat pertunjukan macam ini. Main sulapkah kakek ani? Juga tidak biasa minum arak. Akan tetapi ia tahu bahwa penghormatan orang kalau ia tolak, berarti penghinaan dan agaknya kakek ini sengaja mencari cari jalan supaya bisa mengadu kepandaian dengannya. Terpaksa ia mengangkat tangan menerima cawan itu. akan tetapi lebih dulu mengerahkan lweekangnya dengan penggunaan tenaga "menyedot".

Karena kurang pengalaman, ia terlalu banyak mempergunakan tenaganya. tidak ingat akan kehebatan tenaga sinkangnya. Begitu cawan tersentuh olehnya. cawan itu bagaikan tertarik lalu terbetot dari genggaman Huang-ho Sian-jin. membuat kakek itu berubah air mukanya. Kini cawan berada di dalam genggaman Tiang Bu dan dengan hati girang pemuda melihat bahwa tenaga "menyedot" dari lwee-kangnya benar-benar dapat menahan arak tumpah. Bahkan dengan tenaganya yang besar ia dapat “main-main" dengan arak itu, dapat ia membuat kelebihan arak di atas mulut " doyong" ke kanan atau ke kini.

Semua orang melihat dengan kagum dan heran. Pemuda bisa memegang cawan dan araknya tidak tumpah atau luber, ini sudah menandakan betapa hebat tenaga Iweekang pemuda cilik itu. Adapun Tiang Bu sendiri yang tidak tahu bahwa dirinya dikagumi orang, lalu tersenyum dan membungkuk ke pada Huang-ho Sian-jin.

“Lo-enghiong, kau orang tua baik sekali. Tentu aku tidak berani menolak, cuma masalahnya. selamanya aku belum pernah minum arak keras. Biarlah aku mencobanya!" Ia lalu mengangkat cawan itu ke atas dan menggulingkannya ke arah mulutnya yang sudah dibuka lebar-lebar.

Dan sekarang semua orang celangap! Bahkan Huang ho Kim-go Tan Boan It yang sudah merayap bangun, melongo dan mendekati Tiang Bu untuk menonton permainan “sulap" ini dari dekat. Ternyata bahwa biarpun cawan itu sudah dituangkan terbalik, arak di dalamnya tetap tidak mau keluar, hanya "nontot” keluar seperti benda keras atau air yang sudah membeku! Setelah menjungkirkan cawan ini agak lama bahkan mengayun-ayunnya supaya araknya keluar namun sia-sia, Tiang Bu menghela napas dan membalikkan cawan kembali.

"Apa kataku, lo-enghiong? Bukan saja aku tidak biasa minum arak, bahkan araknya sendiri agaknya segan diminum orang seperti aku. Biarlah aku mewakilkannya kepada sahabat ini.”

Ia menggerakkan cawann ya dan kini di dalam cawan itu muncrat keluar semua arak secara tepat sekali memasuki mulut Tan Boan It yang masih melongo Orang tinggi besar ini gelagapan dan tanpa dapat dicegah lagi arak ditelannya! Biarpun tadinya semua orang tercengang menyaksikan kelihaian pemuda itu, melihat adegan terakhir tak tertahan lagi mereka tertawa, bahkan Ang Lian dan Ceng Ceng cekikikan.

Yang paling terkejut adalah Huang-ho Sian-jin se ndiri. Tadi ketika tangan pemuda itu menyentuh cawan dalam menerima tawarannya, ia rasakan tangannya panas dan menggigil. Tadinya ia masih sangsi, akan tetapi melihat betapa selanjutnya pemuda itu mendemonstrasikan tenaga lweekang yang jauh melebihinya, ia jadi kesima dan baru percaya akan keterangan Pek Lian bahwa pemuda ini memang sakti.

Akan tetapi Pek thouw tiauw-ong Lie-Kong tidak puas. Dia adalah seorang yang menganggap paling tinggi di antara semua orang yang berada di situ, dianggap yang paling pandai dan menduduki tempat paling terhormat. Sekarang bocah ini mendemonstrasikan ke pandaian, sedikit banyak membuat pamornya nyuram. Ia melangkah maju, wajahnya yang tampan gagah itu berkerut tak senang dan suaranya ketus.

"Bocah lancang, kau siapakah dan apa maksudmu bertingkah di sini!”

Tiang Bu cepat menjura kepadanya dan berkata, "Sudah kukatakan tadi bahwa aku pertama-tama ingin menyaksikan apakah betul-betul barang barang rampasan itu dipergunakan untuk menolong rakyat yang sengsara. Kedua kalinya aku sengaja datang untuk mencari Pek-thauw tiauw-ong Lie Kong untuk urusan penting!”

Jawaban ini benar-be nar tak disangka, bukan saja Lie Kong, isterinya dan puterinya yang tercengang mendengarnya, bahkan semua orang menjadi tertarik. Sikap pemuda yang lihai ini amat menarik perhatian dan aneh. Biarpun sikapnya sederhana dan seperti orang bodoh, namun di dalam kesederhanaannya terbayang kegagahan dan keberanian yang tiada taranya.

"Akulah Lie Kong, kau mau apa?"

Tiang Su tidak kaget karena memang ia sudah tahu. Suaranya tetap ramah ketika ia menjawab. "Lie lo-enghiong, namaku Tiang Bu, aku datang diri Omei-san dan memenuhi pesan suhuku aku harus minta kembali kitab yang kau pinjam dari Omei-san." Karena di situ terdapat banyak orang, maka Tiang Bu sengaja mengganti ucapan "curi" jadi "pinjam" karena ia tidak berniat membikin malu orang tua Ceng Ceng! Sesungguhnya, pertemuannya dengan Ceng Ceng banyak mempengaruhi sikapnya ini, kalau ia tidak bertemu dengan Ceng Ceng, kiranya sikapnya terhadap para pencuri kilab Omni-san akan sangat keras.

Baru sekarang Lie Kong terkejut dalam hatinya. Tidak tahunya bocah ini adalah murid dua orang kakek sakti Omei-san, pantas saja kepandaiannya demikian hebat. Dan kedatangannya hendak minta kembali kitab yang telah dicurinya! Tentu saja Lie Kong tahu akan sikap Tiang Bu yang hendak menolong mukanya. Ia ingin turun tangan sendiri mempertahankan kitabnya sekalian mencoba sampai mana kepandaian murid Omei-san ini, akan tetapi sebagai seorang tokoh besar, ia merasa malu untuk bertanding melawan bocah di depan begitu banyak sahabat.

Sedangkan Huang ho Sian-jin sendiri yang tadi merasa "berbahaya" kalau bertanding melawan bocah ini lalu mundur, apalagi dia. Pula... diam-diam Lie Kong kagum melihat Tiang Bu, yang biarpun tak dapat dibilang seorang pemuda tampan, namun sudah jelas memiliki kepandaian tinggi dan juga pribadi yang halus tidak suka menyinggung orang. Satu-satunya orang yang dipermainkannya tadi hanyalah Huang-ho Kim-go Tan Boan It, inipun karena kesalahan Buaya Emas itu sendiri yang mulai lebih dulu.

“Jadi kau murid 0mei-san? Memang benar ada sebuah kitab 0mei-san pada kami akan tetapi kitab itu sudah kuserahkan kepada anakku untuk dipelajari... Terserah kepadanya apakah mau mengembalikannya sekarang kepadamu atau tidak," kata Lie Kong sambil melirik ke arah Ceng Ceng.

Kaget sekali Ceng Ceng mendengar ucapan ayahnya ini dan seketika mukanya menjadi merah. Ia masih belum mengerti mengapa ayahnya begitu “pengecut" untuk menjatuhkan tanggung jawab kepundaknya biarpun memang betul kitab itu ayahnya tetah diserahkan ke padanya. Mengapa ayahnya tidak menghadapi sendiri pemuda itu? Saking bingungnya dan tidak mau ribut mulut dengan Tiang Bu yang pandai bicara itu di depan orang banyak, ia lalu lari sambil berkata, “Aku tidak mau mengembalikan!”

Melihat Ceng Ceng lari, Tiang Bu tak banyak cakap lagi lalu mengejar. "Harus di kembalikan kepadaku!” katanya.

Demikianlah, baru saja sampai dua orang muda ini kembali sudah berkejar-kejaran! Lie Kong hanya tersenyum, lalu dengan tenang ia bersama isterinya mengajak Huang-ho Sian-jin memeriksa isi empat kantong itu. Semua orang kagum dan gembira melihat demikian banyaknya barang berharga yang kalau dijual akan menghasilkan cukup bahan makanan bagi para pengungsi untuk beberpa bulan lamanya. Lie Kong membagi-bagi empat permata itu kepada para pembantu dengan tugas supaya benda-benda itu ditukarkan bahan makanan, selebihnya diserahkan kepada Huang-ho Sian jin untuk disimpan sebagai cadangan. Semua benda itu adalah benda berharga terdiri dari emas permata hanya sebuah cepuk atau kotak kecil yang ternyata berisi seekor katak hijau disimpan oleh Lie Kong ke dalam sakunya.

"Benda macam ini tidak dapat ditukar makanan" katanya perlahan. Biarpun ia seorang tokoh kang-ouw yang ulung, namun binatang macam ini merupakan teka-teki baginya. tidak tahu binatang apa itu dan apa pula khasiatnya, hanya yakin bahwa binatang itu tentu mempunyai khasiat yang luar biasa maka ia simpan dalam saku. Setelah beres membagi-bagi tugas, Lie Kong mengajak isterinya untuk menyusul Ceng Ceng, Karena merasa khawatir juga.

Lie Kong berlari cepat, berendeng dengan isterinya. Ketika tanpa disengaja tangannya menyentuh tangan isterinya, tiba-tiba ia berhenti berlari, memegang lengan isterinya dan dipeluknya isterinya itu penuh kasih sayang.

Souw Cui Eng mangipatkan tangan suaminya yang memeluknya erat dan mendorong muka suaminya itu yang mendekat mukanya. “Eh, apa kau tiba-tiba kemasukan setan? Maka di tengah jalan bersikap seperti ini? Cih, memalukan sekali!"

Akan tetapi suaminya memandangnya dengan mata aneh. "Cui Eng... sekarang aku mengerti khasiat kodok hijau ini...! Coba kau yang membawanya." Dengan terheran-heran Souw Cut Eng menerima cepuk itu dan memasukkannya ke dalam saku bujunya. Tidak ada akibat apa-apa.

"Mungkin belum, harus agak lama." kata suaminya. "Mari kita berlari terus dan lihat akibatnya nanti."

Akan tetapi sampai lama mereka berlari, tidak ada reaksi apa-apa pada diri Souw Cui Eng. "Hemm, sekarang aku dapat menduga. Katak macam ini pernah aku mendengarnya, namanya katak pembangkit asmara. Ada sepasang. yang jantan kalau berdekatan dengan seorang wanita dapat membangkitkan nafsu asmara, sebaliknya yang betina merangsang seorang laki laki. Tentu ini yang betina maka padamu tidak berakibat apa-apa." Selanjutnya dalam mengejar Ceng Ceng, katak itu terus disimpan oleh Souw Cut Eng biarpun nyonya ini kadang-kadang merasa jijik harus mengantongi seekor katak.

Kita kembali kepada Ceng Ceng dan Tiang Bu. Gadis itu berlari cepat sekali di sepanjang lembah Huang-ho. Tiang Bu mengejar terus di belakangnya, tidak segera menyusul karena ia memang sengaja hendak melihat sampai ke mana nona itu akan lari dan berapa lama kekuatan gadis itu. Ternyata Ceng Ceng memiliki daya tahan yang besar dan gadis ini biarpun baru saja datang dan sudah lama berlari-lari dengan Tiang Bu, ternyata sekarang masih kuat berlari-lari sampai setengah hari. Menjelang senja mereka sudah melalui jarak ratusan li jauhnya dan belum juga Ceng Ceng berhenti. Tiba-tiba gadis itu mempercepat larinya, Tiang Bu juga mengerahkan tenaga.

Mereka tiba di lembah sungai yang indah, Di bagian ini sungai itu lebar sehingga air tidak begitu hebat meluapnya. Di luar sebuah hutan cemara kelihatan sebuah kelenteng tua dan Ceng Ceng berlari memasuki pekarangan kelenteng ini.

"He. jangan injak ularku!" tiba-tiba terdengar bentakan dan tahu-tahu tangan Ceng Ceng sudah dipegang dan dibetot orang. Ceng Ceng kaget bukan main karena betotan ini kuat sekali. Apalagi ketika ia menoleh ternyata bahwa yang menariknya juga seorang dara cantik jelita sekali. Usianya sebaya dengan dia sendiri. Gadis muda ini tadinya duduk di balik semak-semak dan kini tangan kirinya memegang seekor ular hitam yang kecil dan liar! Ceng Ceng sampai berdiri bulu tengkuknya saking merasa jijik dan ngeri.

"Kenapa kau berlari dan seperti dikejar setan?" tanya gadis cantik jelita itu. suaranya merdu dan senyumnya manis.

Dalam kaget dan herannya karena di tempat sunyi ini muncul wanita cantik, apalagi pakaiannya serba indah, Ceng Ceng mengira bahwa ia tentu berhadapan dengan siluman atau bidadari. Buktinya ketika membetot tangannya tadi tenaganya besar bukan main dan memegang ular berbisa pula.

"Memang aku dikejar... dikejar orang jahat..." jawabnya gagap.

"Kau sembunyi di sana, biar aku menghajarnya!” jawab gadis cantik itu. Ceng Ceng melompat dan lenyap di dalam kelenteng.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya buat Tiang Bu ketika tiba di pekarangan kelenteng, ia tidak melihat Ceng Ceng, sebaliknya melihat seorang gadis lain yang sebaya dengan Ceng Ceng akan tetapi yang memiliki kecantikan luar biasa. Lebih cantik malah dari pada Ceng Ceng, atau kalau tidak lebih cantik, memiliki sifat kecantikan berbeda namun tidak kalah menarik dan menggairahkan. Bagi Tiang Bu, gadis ini benar-benar hebat dan sampai berdiri bengong bagaikan patung. Pemuda ini berdiri tegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak memandangi mahluk indah di depannya.

Akan tetapi ketika ia melihat ular hitam kecil yang melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat di tangan kiri gadis itu, ia jadi kaget setengah mati. Gadis itu menggerak-gerakka bibirn ya mengarah senyum dan sepasang matanya yang lebih indah dari pada mata burun Hong itu mengikuti pandangan mata kaget dari Tiang Bu yang mengarah tangan kirinya. Dengan halus ia lalu melepaskan ular kecil itu ke dalam semak-semak. kemudian ia bertanya, suaranya tetap merdu namun mengandung kekerasan.

“Kau ini orang apakah. mengejar-ngejar seorang gadis di tempat sunyi. Kalau saja yang dikejar dan yang mengejar itu orang orang biasa, tentu gadis ini akan menjatuhkan tangan besi tanpa bertanya lagi. Akan tetapi ketika membetot tangan Ceng Ceng tadi, dapat merasai tenaga lweekang yang tinggi dari gadis itu. Bagaimana scoring gadis kosen seperti itu lari ketakutan menghadapi seorang pemuda petani atau nelayan yang sederhana ini?

"Jangan salah sangka," Tiang Bu cepat-cepat menjawab karena ia takut kalau-kalau si jelita ini menyangka ia akan berbuat jahat terhadap Ceng Ceng, "gadis tadi mencuri kitabku dan aku mengejarnya untuk minta kembali kitab itu.”

Mendengar ini, sikap gadis cantik itu berubah, keningnya yang halus putih berkerut dan alis yang hitam lentik itu berdiri. "Begitukah, mari kita cari dan tanya dia. Aku tidak sudi menolong seorang maling!"

Setelah berkata demikian, gadis itu berjalan memasuki kelenteng. Gerakan kaki yang ringan bertenaga dan gerakannya maju yang amat cepat itu kembali membuat Tiang Bu maklum bahwa gadis jelita itu memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, mungkin tidak kalah oleh Ceng Ceng!

Begitu memasuki kelenteng, Tiang Bu menahan napas saking kagum dan heran. Kelenteng itu sudah tua dan di luarnya buruk sekali. Akan tetapi ketika ia masuk ke ruangan dalam, ternyata di situ amat indah penuh dengan hiasan tembok yang serba mabal dan indah. Lukisan-lukisan yang bagus dan hidup, pot -pot bunga telukir naga di atas meja-meja yang indah pula. Benar-benar mengagumkan.

Akan tetapi ia tidak sempat untuk memikirkan semua ini kerena gadis itu telah membawanya keruang belakang di mana terdapat seorang muda gagah. Melihat pemuda ini, Tiang Bu tiba-tiba merasa sungkan karena men gingat akan keadaan sendiri. Pemuda itu berpakaian indah, wajahnya yang berkulit putih itu tan pan dan gagah sekali, dengan rambut hitam panjang digelung ke atas dan diikat dengan sutera kuning. Tubuhnya tegap dan matanya tajam, potongan seorang "pendekar muda” kalangan bangsawan!

Dibanding dengan pemuda itu, Tiang Bu harus mengaku bahwa ia kalah dalam segala-galanya! Tidak nempil, seperti gagak dengan garuda! Apalagi ketika mereka berdua memasuki ruangan belakang itu, pemuda tampan gagah ini sedang berdiri memegang batang pedang dengan sarungnya yang indah pula.

“Moi-moi, kukira kau sudah mengusir pergi pemuda kurang ajar itu. Kenapa dia juga masuk?"

"Koko, mana gadis tadi? Dia membohongi aku. Dia itu seorang maling yang dikejar saudara ini."

“Maling?” Pemuda tampan itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Moi-moi, jangan menuduh sembarangan. Dia itu adalah puteri dari Pek thouw tiauw-ong Lie Kong seorang pendekar besar dari pentai timur, Mana bisa seorang maling? Orang ini yang jahat, maksudnya, jangan kita kena tipunya..." Sambil berkata demikian, pemuda itu melompat dan tangan kirinya mencengkeram pundak Tiang Bu.

“Kau siapakah dan apa niatmu mengejar seorang gadis baik-baik?”

Tiang Bu tidak mengelak, akan tetapi ketika pundaknya kena dicengkeram, ia terkejut merasakan tenaga dahsyat pemuda itu yang tentu saja akan membuat tulang pundaknya hancur. Cepat ia mengerahkan tenaga lweekangnya dan kini pemuda itu yang berteriak kaget sambil melompat ke belakang dan menarik tangannya yang terasa panas dan lumpuh!

Tiang Bu mempergunakan kesempatan itu melompat sambil berkata. "Maaf, urusanku bukan urusan kalian, lain kali aku datang belajar kenal!” Dan di lain saat tububnya sudah berkelebat keluar mengejar Ceng Ceng yang ternyata sudah lari kembali.

Pemuda dan pemudi mewah itu mengejar, namun ketika tiba di depan kelenteng mereka tidak melihat Tiang Bu.

"Hebat... pemuda dusun itu lihai sekali...” terdengar pemuda itu menggerutu.

“Koko, kau harus ingat akan nasihat nio-nio. Mengukur kepandaian orang jangan didasarkan keadaan muka atau pakaiannya. Begitu bertemu aku sudah menduga dia itu bukan sembarangan."

Sementara itu, Tiang Bu terus mengejar Ceng Ceng yang kini berlari ke arah tempat semula. Akan tetapi karena hari sudah mulai malam dan kesabaran Tiang Bu sudah menipis, pemuda ini mengerahkan ginkangnya akhirnya ia dapat menyusul Ceng Ceng.

“Bocah kepala batu, kau berhentilah,” Tiang Bu membentak, tangan kanannya digearakkan untuk menangkap lengan Ceng Ceng. Tiba-tiba Ceng Ceng memutar tubuhnya dan secepat kilat menyambar ke arab dada Tiang Bu. Tanpa peringatan lebih dulu tahu-tahu Ceng Ceng sudah menyerang Tiang Bu dengan pedang.

"Bagus. kini kita dapat mengadu kepandaian!" kata Tiang Bu yang cepat mengelak dan menggunakan dua jari tangan untuk mengetuk pergelangan tengan gadis itu. Namun Ceng Ceng juga lihai sekali dan dapat bergerak cepat, ringan kaki tangannya serta lincah gerakannya. Lebih hebat pula, ilmu pedang dia ini luar biasa sekali. Seperti pernah dilihat oleh Tiang Bu, gerak langkah kaki gadis itu menyerupai Ilmu Silat Pat kwa-kun-hoat yang pernah ia pelajari, akan tetapi pecahan-pecahannya lain lagi.

Sungguhpun berdasarkan langkah segi delapan, namun daya serangannya bermacam-macam, ada yang lembek ada yang keras dan sukar sekali diduga perubahan-perubahannya. Dalam beberapa belas jurus saja, tubuh Tiang Bu sudah terkurung oleh pedang yang sinarnya bercabang delapan, menyambar nyambar laksana kilat di musim hujan!

“Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!” Tiang Bu memuji dan pemuda ini harus mempergunakan semua kepandaiannya untuk menghindarkan diri dari ancaman sinar pedang. Baiknya ia telah mewarisi sinkang dari dua orang kakek sakti di Omei-san sehingga kadang-kadang ia dapat mempergunakan kuku jarinya untuk menyentil pedang lawan. Di lain fihak, Ceng Ceng merasa kagum dan heran bukan main. Memang ia sudah menduga bahwa pemuda ini lihai sekali.

Hal ini sudah ia buktikan ketika mereka beradu kekuatan lari. Akan tetapi melawannya dengan tangan kosong dan menghadapi pedang dengan sentilan kuku jari? Inilah hampir tak dapat dipercaya! Ia telah memainkan Ilmu Silat Pat-sian-jut-bun dari kitab yang dibawa oleh ayahnya dari Omei-san dan ayahnya sendiri ketika melihat ia mainkan ilmu pedang ini sudah mengaku bahwa ilmu pedang ini hebat sekali. Ayahnya sendiri tidak mungkin dapat menghadapinya hanya dengan sentilan kuku jari seperti yang dilakukan oleh pemuda dusun ini!

Akan tetapi, betapapun tinggi kepandaian Tiang Bu dan betapapun mudah baginya menyelamatkan diri dari ancaman pedang gadis itu, namun harus ia akui bahwa untuk mengalahkan Ceng Ceng tanpa melukai bukanlah hal yang mudah. Gadis itu nekat sekali dan sama sekali tak mau menyerah biar pun beberapa kali tangannya tergetar ketika pedang disentil oleh jari tangan Tiang Bu.

Akan tetapi makin lama Ceng Ceng menjadi makin lemas dan ia sudah lelah sekali. Malam mulai menyelimuti bumi dan keadaan menjadi remang-remang. Baiknya sore-sore bulan sudah keluar dan melihat langit yang cerah, dapat dibayan gkan datangnya malam yang terang dan indah, Ceng Ceng mulai marah dan memaki-maki.

“Pemuda sombong, tak tahu malu! Meminta kitab? Boleh bunuh dulu aku!”

"Gadis kepala batu! Mengapa mau mengukuhi kitab orang?” Tiang Bu membentak dan pada saat pedang gadis itu menusuk ulu hatinya, ia cepat miringkan tubuh sehingga pedang itu meleset di dekat dada, di bawah ketiak. Secepat kilat Tiang Bu menurunkan lengan. Sedangkan tangan kirinya ditotokkan ke arah pundak kanan Ceng Ceng. Totokan itu mengarah Kian-keng-kiat dan kalau mengenai sasaran tentu gadis itu akan roboh lemas. Ceng Ceng tidak sudi memberikan pundaknya ditotok, terpaksa ia melompat mundur dan melepaskan pedangnya,

Di lain saat Tiang Bu sudah mengejar dengan pedang rampasan di tangan. Pedang itu ditodonglan ke arah tenggorokan Ceng Ceng dan ia berkata keren. “Hayo kau kembalikan kitab itu kepadaku!”

Akan tetapi Ceng Ceng malah bertolak pinggang dan mengedikkan mukanya, mambusungkan dadanya menantang. "Tusuklah...! Tusuklah...! Apa kau kira aku takut mati?”

“Ceng Ceng, siapa mau membunuhmu? Aku hanya ingin minta kembali kitab dari Omei-san itu. Kalau kau sudah mempelajarinya, mengapa kau masih mengukuhi kitabnya? Untuk apa bagimu?” kata Tiang Bu sambil menurunkan pedangnya.

"Habis bagimu sendiri untuk apakah? Kau sudah memiliki kepandaian kau sendiri sudah mempelajari banyak ilmu dari Omei-san. Mengapa aku mempelajari sebuah saja kau sudah iri hati? Apa kau mau kangkangi semua kepandaian di dunia ini?"

"Tidak demikian, jangan salah mengerti. aku minta kembali semua kitab yang diambil orang dari Omei-san, ini untuk mematuhi perintah suhuku. Bahayanya, kalau kitab terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah kepandaian dari ilmu itu akan dipakai untuk kejahatan dan kareranya suhu-suhuku ikut berdosa?"

Gadis itu tersenyum mengejek, maksudnya menyakitkan hati Tiang Bu, tidak tahu bahwa senyumnya itu dalam pandangan Tiang Bu manis sekali dan sama sekali tidak menyakiti hati bahkan menyenangkan! "Bodoh! Kitab sudah kupelajari, kau ambil kembali ada gunanya apakah? Biarpun kitabnya tidak ada, tetap saja aku dapat mempergunakan ilmunya.”

"Akan tetapi aku percaya kau bukan orang jahat," kata Tiang Bu.

"Kalau benar kau percaya begitu, mengapa kau tetap hendak minta kembali kitab itu. Mengapa tidak kau percayakan ketanganku. Kau memang sombong dan murka!"

Sambil berkata demikian, Ceng Ceng tiba-tiba menyerang dengan pukulan keras. Tian Bu mengangkat tangan dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, sekali mengerahkan tenaga "menyedot" gadis itu tidak dapat meronta pula! Ia berusaha untuk memberontak melepaskan tangannya namun sia-sia. Dengan marah gadis itu menggerakkan tangannya menampar muka Tiang Bu, akan tetapi bagaikan seorang dewasa menghadapi seorang anak kecil yang rewel, Tiang Bu kembali dapat menangkap sebelah lengan ini ke dalam tangan yang sudah memegang tangan kanan jadi kini dua lengan gadis itu menjadi satu dipegang oleh Tiang Bu.

“Kau masih belum kapok? Hayo katakan di mana kitab itu?” kata Tiang Bu.

"Di dalam saku baju dalamku! Kalau kau berani ambil. kau laki-laki ceriwis, kurang ajar dan cabul!" Ce ng Ceng menantang.

Pada saat itu berkelebat dua bayangan datang. Mereka ini adalah Lie Kong dan isterinya. Melihat kedatangan mereka, Tiang Bu cepat melepaskan tangan Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah sekali. Ceng Ceng berlari menubruk ibunya sambil menangis.

"Maaf," kata Tiang Bu menjura, "aku tidak bermaksud menghina puterimu, Lie loenghiong. Akan tetapi dia bandel…”

Lie Kong tersenyum. Tadi ia sudah menyaksikan sambil bersembunyi dan melihat betapa hebat kepandaian Tiang Bu ketika menghadapi ilmu pedang anaknya. Tanpa ragu lagi pendekar ini maklum bahwa dia sendiri masih belum tentu dapat menangkan Tiang Bu. Saking kagumnya, timbul maksudnya mengambil mantu pemuda ini!

“Tiang Bu, apakah kau murid tunggal Omei-san?"

"Betul, lo enghiong."

"Kau bernama keturunan apakah?"

Tiang Bu bingung. Kalau ditanya tentang shenya, ia paling sukar menjawab dan hatinya tertusuk, teringat ia akan keadaannya masih belum pasti siapa ayah bundanya. Mengaku she Coa, ia tidak suka membohong mengaku she Liok, ia malu berayah Liok Kong Ji. "Aku... aku sendiri belum tahu, lo-enghiong. Namaku cukup dengan Tiang Bu saja.

Lie Kong tersenyum. Jawaban begini saja tidak mengherankan hatinya. Memang orang-orang yang berkepandaian selalu berwatak aneh, maka tidak mengherankan kalau pemuda ini juga berwatak aneh, agaknya tidak mau mengaku siapa orang tuanya.

“Tiang Bu, tentang kitab itu, kiranya apa yang diucapkan oleb Ceng Ceng tadi tidak terlalu salah. Kitab itu aman ada padanya, dialah yang bertanggung jawab bahwa ilmu itu takkan dipergunakan untuk kejahatan. Pula... kalau kau setuju, kami akan merasa girang sekali kalau kau suka memberikan kitab itu kepadanya sebagai... sebagai tanda mata!”

"Apa maksudmu, lo-enghiong?" tanya Tiang Bu heran.

Lie Kong memang biasa berkata terus terang, Sambil tersenyum akan tetapi matanya memandang sungguh-sungguh ia berkata, "Aku tadi sudah bersepakat dengan isteriku bahwa kalau kau tidak keberatan, kami bermaksud menjodohkan anak tunggal kami yang bodoh itu dengan kau, Tiang Bu. Bagaimana jawabmu?”

Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, kiranya Tiang Bu takkan begitu terkejut seperti ketika mendengar "pinangan” ini. Seujung rambut dibagi tujuh ia tak pernah mengharapkan hal langka ini terjadi. Bagaimana sampai begitu "berharga tinggi” dipinang oleh seorang pendekar besar seperti Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong untuk dijodohkan dengan seorang dara jelita seperti Ceng Ceng? Bagaimana ia harus menjawab? Ceng Ceng cantik seperti bidadari, wataknya menggatalkan hati, gerak geriknya menggairahkan dan terus terang saja, hati Tiang Bu tertarik dan suka sekali. Kalau ia menolak berarti ia sudah berotak miring!

Akan tetapi sebelum ia dapat menjawab, Ceng Ceng mendahuluinya dengan teriakan marah. “Tidak...!” Aku tidak sudi dijodohkan dengan pemuda berwajah monyet itu! Hidungnya pesek, bibirnya tebal, aku tidak suka!”

Kalau saja Tiang Bu lebih tua usianya dan sudah mendalam pengertiannya tentang hubungan laki-laki dan wanita, tentu ia akan merasa terhina sekali mendengar akan ponolakan Ceng Ceng. Akan tetapi, kini mendengar bahwa Ceng Ceng menolaknya karena hidungnya pesek dan bibirnya tebal, ia makin tertawa!

"Terima kasih, lo-enghiong. Aku tidak mau kawin, apalagi dengan seorang bocah kepala batu dan galak seperti dia itu. Aku hanya minta kembali kitab suhu. Aku yakin lo-enghiong yang ternama tidak akan sudi mengangkangi kitab orang lain." Saking jengkelnya Tiang Bu mengeluarkan sindiran ini.

Merah wajah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong men dengar ini, wajahnya yang tampano menjadi berkerut dan ia membentak puterinya. "Ceng Ceng, bocah lancang! Hayo kau kembalikan kitab itu kepada murid 0mei-san ini!”

Ceng Ceng yang masib memeluk ibunya itu kini berkata dengan suara sedih dan takut. "Tak mungkin, ayah. Kitab itu... telah dirampas orang setengah bulan yang lalu…”

Kagetlah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya. akan tetapi dengan gemas Tiang Bu mencela, "Bohong! Tadi kau bilang berada di dalam saku baju dalammu...!" Ia menghentikan kata-katanya dan mukanya menjadi merah.

Ceng Ceog melerok. "Siapa bicara denganmu? Aku bicara dengan ayahku, dan kau tidak boleh turut campur!"

“Ceng Ceng, jangan kau main-main! Dimana kitab itu?" Ayahnya mendesak.

Dengan suara mengandung kekecewaan, kedukaan, dan takut kepada ayahnya, dara itu lalu bercerita. "Ketika itu aku sedang berlatih bagian terakhir dari Pat-sian-jut-bun yang paling sukar. Karena ingin supaya gerakanku dalam bagian terakhir ini sempurna, aku keluarkan kitab itu dan membentangkannya di atas tanah. Setelah mempelajari aku lalu berlatih. Kitab itu masih terhentang di atas tanah. Kupikir keadaan di sana aman;karena di tengah hutan yang sunyi. Sama sekali tak terduga, tiba- tiba muncul dua orang gedis yang cantik genit. Tadinya kukira dua orang gadis yang datang itu enci Pek Lian dan enci Ang Lian maka aku tidak begitu khawatir. Siapa kira begitu datang dan begitu aku melihat bahwa mereka itu sama sekali asing bagiku, belum aku sempat mengambil kitab Pat siant-bun, seorang di antaranya telah menyambar dan merampas kitab.” Demikian Ceng Ceng memulai dengan penuturannya, didengarkan dengan penuh perhatian dan dengan kening berkerut oleh ayah bundanya dan Tiang Bu.

Gadis ini melanjutkan ceritanya. Melihat kitabnya dirampas orang, tentu saja ia menjadi marah bukan main, akan tetapi juga heran dan ingin tahu siapa adanya mereka itu.

"Eh, maling-maling cilik, kau berani mengambil kitabku? Hayo kembalikan!” bentaknya untuk sejenak tidak menyerang segera karena terlalu heran ada orang berani merampas kitabnya.

Sebaliknya, dua orang gadis itu agaknya juga tidak memandang sebelah mata kepada Ceng Ceng, bahkan kurang memperhatikan, buktinya mereka berdua bicara sendiri tanpa memperdulikan makian Ceng Ceng.

"Adik Kim, tak salah lagi, inilah kitab Omei-san itu yang dicuri oleh keluarga dari timur." kata gadis pertama yang manis dan di dagunya terdapat tahi lalat kecil yang menambah manisnya.

"Benar, cici, dan budak parempuan ini agaknya anaknya." jawab gadis ke dua yang miliki sepasang mata yang indah dan sepenuhnya membayangkan watak genit baik dipandang dari alisnya yang panjang kecil dengan ujung menjungat ke atas, bulu matanya yang bitam panjang melengkung mendatangkan bayang-bayang pada pelupuk matanya dan kerling mata yang meruncing ke sudut.

Sementara itu Ceng Ceng sudah kehabisan kesabarannya. Cepat pedangnya bergerak me nerjang gadis pertama yang tadi mengambil kitab sambil berseru. “Maling kecil, kau mencari mampus!"

Akan tetapi, sinar pedang yang kemerahan menangkis pedangnya itu dan ternyata gadis ke dua yang bermata genit itu telah menangkis dengan sebatang pedang pendek yang merah. Melihat cara lawan ini menangkis, diam-diam Ceng Ceng terkejut dan maklum babwa ia menghadapi lawan yang tidak rendah kepandaiannya. Ia mengeluarkan seruan keras dan kini ia menyerang makin hebat, mendesak gadis berpedang merah sambil mainkan Ilmu silat yang baru ia pelajari dari kitab Omei-san itu. Gadis berpedang merah itu ternyata hebat pula ilmu pedangnya, cepat dan kuat gerakan pedang dan tenaganyapun tidak kalah oleh Ceng Ceng. Namun menghadapi desakan puteri Pek-thouw tiauw-ong ini yang marah sekali, ia terpaksa main mundur.

“Enci Lin. Budak ini kepandaiannya boleh juga. Bantu aku!" teriak gadis berpedang merah.

Tak lama kemudian sinar putih menyambar cepat dan Ceng Ceng terpaksa melompat mundur sambil menangkis datangnya serangan sinar putih yang ternyata lebih cepat dan kuat dari pada sinar pedang marah. Ternyata bahwa ilmu pedang gadis bertahi lalat di dagunya itu malah lebih tinggi dari pada! Namun dalam menangkis seran gan ini, Ceng Ceng merasa yakin bahwa ia masih dapat mengimbangi kepandaian gadis berpedang putih ini, kalau saja ia tidak dikeroyok. Kini mereka maju bersama dan sepasang s inar marah dan putih itu menyambar-nyambar seperti kilat, membuat ia sibuk juga dan akhirnya terpaksa main mundur!

Dua orang gadis kakak beradik itu lalu tertawa dan si tahi lalat di dagu berkata, "A Kim, budak ini manis sekali, jangan bunuh dia. Biarkan dia hidup dan kelak datang menyusul kita agar ada ke gembiraan." Setelah berkata demikian. gadis itu bersama adiknya melompat dan berlari cepat.

"Demikianlah, ayah. Kitab itu mereka bawa pergi. Aku tidak berani memberitahukan ayah atau ibu, selain takut mendapat marah juga... malu. Tadinya anak pikir akan diam-diam menyusul mereka dan merampas kembali, akan tetapi ayah mengajakku ke sini untuk membantu Huang-ho Sian-jin, terpaksa maksud itu tertunda."

Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong membanting-banting kakinya. "Bocah bodoh! Selain kena dikalahkan orang, kau masih berkepala batu tidak segera memberi tahu kepadaku. Mereka itu benar-benar berani menghina kita. Apa kau tidak ada ingatan untuk bertanya siapa mereka itu pada waktu mereka pergi?"

"Ada kutanya nama mereka, ayah. Mereka mengaku bernama Liok Cui Lin dan adiknya Liok Cui Kim, bahkan sebelum pergi mereka menyatakan bahwa mereka tinggal di dalam Hutan Ui-tiok-lim (Hutan Bambo Kuning) di lembah Sungai Luan-ho di luar tembok besar dekat Kota Raja Kin”

"Ui-tio-lim...?" Pek thouw-tiauw-ong Lie Kong terkejut mendengar disebutnya tempat ini dan ia saling pandang dengan isterinya.

Tempat itu sudah mereka kenal, sebuah tempat yang amat berbahaya, yang ratusan tahun yang lalu dibangun oleh seorang tokoh jahat dari utara. Tempat ini penuh rahasia dan tangan-tangan maut menjangkau dari tempat-tempat tersembunyi sehingga sudah sejak lama sekali tak seorangpun berani mendatangi tempat yang dianggap sebagai sarang iblis itu. Dan sekarang ditinggali oleh dua orang gadis yang sanggup merampas kitab dari tangan Ceng Ceng!

"Eh, mana dia...?" Tiba-tiba Lie Kong bertanya kaget ketika menengok tidak melihat Tiang Bu di situ.

“Entah. dia tadi melangkah ke sini dan agaknya ada bayangan berkelebat di dekatku." kata Souw Cui Eng, isterinya, kemudian nyonya itu menjadi pucat. “Katak itu lelah hilang berikut tempatnya"

Lie Kong makin kagum. "Hebat sekali!” Bocah itu, tentu dia yang mengambilnya, Ceng Ceng, apa kau tadi malihat Tiang Bu pergi?”

Gadis itu memang sejak tadi memperhatikan Tiang Bu, akan tetapi iapun hanya melihat pemuda itu berkelebat dan lenyap, maka ia menggeleng kepala. Lie Kong nenarik napas panjang.

“Ceng Ceng, aku masih tetap ingin sekali menjodohkan kau dengan dia. Di dunia ini kiranya tidak mudah bagimu mencari jodoh seperti orang muda tadi. Sekarang kita bersiap-siap setelah selesai urusan di sini kita mengejar dua orang gadis Liok itu ke utara.”

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Tiang Bu memang telah mencuri katak dalam peti yang disimpan oleh Souw Cui Eng. Tadinya Tiang Bu merasa curiga karena nyonya ini beberapa kali meraba saku baju seakan-akan takut kalau ada barang penting lenyap dari saku itu. Ia tadinya mengira bahwa mungkin sekali kitab itu diam-diam disimpan nyonya ini. Maka mendengar penuturan Ceng Ceng bahwa kitab dari Omei-san itu telah dirampas oleh dua orang anak perempuan Liok, ia menjadi kaget sekali. Karena tidak ada harapan lagi untuk mendapatkan kitab dari keluarga ini.

Tiang Bu lalu cepat pergi setelah lebih dulu ia menggunakan kepandaian dan kecepatannya untuk menyambar isi saku nyonya itu yang ternyata adalah peti kecil dengan katak ajaib yang pernah dilihatnya. Kebetulan, pikirnya. Harta benda itu memang sudah sepatutnya kalau dipergunakan untuk menolong para korban banjir. Akan tetapi katak wasiat ini siapa tahu kalau-kalau menjadi benda simpanan Pangeran Wanyen Ci Lun, biar kuambil dan kukembalikan kepadanya.

Setelah pergi dari lembah Sungai Huang-ho itu, Tiang Bu teringat akan pemuda dan dia gadis yang lihai dan yang tinggal di dalam kelenteng itu. Ia ingin tahu mereka itu siapa, terutama gadis itu benar-benar amat menarik hatinya. Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, Tiang Bu menyusul ke kuil yang pernah dilihatnya ketika ia mengejar Ceng Ceng. Ia ingin cepat bertemu dengan pemuda dan gadis yang aneh itu, ingin berkenalan, terutama sekali dengan gadisnya. Wajah gadis itu serasa tidak asing baginya, serasa pernah dilihatnya, entah di mana dan bilamana ia sudah lupa lagi.

Ketika ia tiba di dekat kelenteng tua, ia melihat banyak orang se dang hilir mudik mengangkuti barang-barang dari dalam kelenteng. Terayata yang diangkuti itu adalah barang-barang perabot rumah tangga yang indah yang tadinya menghias isi kelenteng! Apakah mereka hendak pindah?

Tiang Bu benar-benar menjadi terheran-heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengangkut adalah orang-orang berpakaian seperti tentara seragam. Dan mereka bekerja nampak tergesa-gesa sekali. Selagi Tiang Bu bingung tak tahu harus berbuat apa, ia mendengar suara senjata beradu di tempat jauh, arah dekat sungai. Terdengar suara lain lagi yang mendesak supaya para se rdadu itu bekerja lebih cepat...

Tangan Gledek Jilid 28

Tangan Gledek Jilid 28

SEORANG diantara yang hadir, seorang laki-laki tinggi tegap berkepala botak bermata lebar, melompat maju. Orang ini bukan orang sembarangan, ia bernama Tan-Boan-It berjuluk Huang-ho Kim-go (Buaya Emas dari Huang-ho) dan menjadi jagoan terkenal di sepanjang Sungai Kuning. Selamanya Tan-Boan-It ini tidak pernah mengancingkan bajunya yang terbuka terus memperlihatkan dada bidang penuh bulu hitam.

Dia seorang kasar dan jujur, akan tetapi tak pernah ketinggalan untuk turun tangan, apabila orang-orang membutuhkan pertolongannya. Melihat lagak dan kata-kata Tiang Bu, Buaya Emas ini tak dapat menahan lagi perutnya yang menjadi panas hendak meledak. Kepalan tangannya yang sebesar kepala orang menyambar ke arah hidung Tiang Bu, dibarengi bentakannya, "Bocah lancang dan sombong, menggelindinglah pergi!"

Akan tetapi kenyataannya benar-benar berlawanan dengan bentakannya, karena bukan Tiang Bu yang menggelinding, melainkan dia sendiri, betul-betul "menggelinding," seperti roda. Ketika tadi pukulan keras dari kepalan besar itu mendekati hidungnya, dengan tenang Tiang Bu menangkap pergelangan tangan itu mengerahkan tenaga dan Si Buaya Emas merasa seakan-akan tubuhnya dimasuki api. Tak tertahan lagi ia membungkuk dan sekali Tiang Bu mengerakkan kaki mendorong sambil me mutar tangan orang disentakkan ke pinggir tubuh si tinggi tegap itu terguling dan terus bergulingan sampai jauh karena tak dapat ditahan lagi!

Huang-ho Sian-jin maklum bahwa si Tan Boan It memang “mencari penyakit” sendiri. Akan tetapi betapapun juga, Buaya Emas ini adalah pembantunya dan seorang tamunya tidak seharusnya dihina orang di dalam rumahnya. Ia melangkah maju dan menghadapi Tiang Bu.

“Orang muda, kau datang-datang memamerkan kepandaian. Aku adalah tuan rumah di sini, kalau kau mau mencoba kepandaian jangan mencari orang lain, mari kita bermain main. Kau datang di sini, akulah tuan rumahnya yang harus menyambut."

Sebetulnya ucapan ini hanya untuk alasan saja, sebenarnya Huang-ho Sian-jin ketika mendengar dari Pek Lian bahwa kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, sudah gatal-gatal tangan hendak mencoba. Akan tetapi, Tiang Bu tidak mau melayani kakek ini. Memang ia datang bukan hendak mencari perkara, pertama-tama untuk menyaksikan apakah betul-betul harta benda Pangeran Wanyen Ci Lun dipergunakan untuk maksud baik dan terutama sekali hendak bertemu dengan Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong. Maka ia menjura kepada Huang ho Sian-jin sambil berkata,

"Harap lo-enghiong maafkan aku, karena tidak ingin bertempur. Twako yang kasar ini kurang hati-hati hingga ia mewakili aku menggelinding, harap jangan salahkan aku. Maaf, lo-enghiong, kalau disuruh bertanding dengan kau, aku terima kalah."

Merah wajah Huang-ho Sian-jin. Biarpun pemuda itu menolak dan menyatakan takut, namun cara mengatakannya jelas memperoloknya dan tidak memperlihatkan rasa takut sama sekali. Dengan menahan marah ia lalu mengambii sebuah cawan dari atas meja.

“Betapapun juga kau sudah datang ke sini berarti kau tamuku. Nah, aku tuan rumah menghormatimu dengan secawan arak penuh. Terimalah!”

Sambil berkata demikian Huang-ho Sian jin menuangkan arak dari guci ke dalam cawan itu sampai penuh sekali, hampir meluber akan tetapi anehnya arak yang tingginya melampaui mulut cawan itu tidak mau meluber! Dengan cawan penuh sekali ini ia menghampiri Tiang Bu dan menyodorkan cawan itu.

Tiang Bu kaget sekali, ia kurang pengalaman dan belum pernah melihat pertunjukan macam ini. Main sulapkah kakek ani? Juga tidak biasa minum arak. Akan tetapi ia tahu bahwa penghormatan orang kalau ia tolak, berarti penghinaan dan agaknya kakek ini sengaja mencari cari jalan supaya bisa mengadu kepandaian dengannya. Terpaksa ia mengangkat tangan menerima cawan itu. akan tetapi lebih dulu mengerahkan lweekangnya dengan penggunaan tenaga "menyedot".

Karena kurang pengalaman, ia terlalu banyak mempergunakan tenaganya. tidak ingat akan kehebatan tenaga sinkangnya. Begitu cawan tersentuh olehnya. cawan itu bagaikan tertarik lalu terbetot dari genggaman Huang-ho Sian-jin. membuat kakek itu berubah air mukanya. Kini cawan berada di dalam genggaman Tiang Bu dan dengan hati girang pemuda melihat bahwa tenaga "menyedot" dari lwee-kangnya benar-benar dapat menahan arak tumpah. Bahkan dengan tenaganya yang besar ia dapat “main-main" dengan arak itu, dapat ia membuat kelebihan arak di atas mulut " doyong" ke kanan atau ke kini.

Semua orang melihat dengan kagum dan heran. Pemuda bisa memegang cawan dan araknya tidak tumpah atau luber, ini sudah menandakan betapa hebat tenaga Iweekang pemuda cilik itu. Adapun Tiang Bu sendiri yang tidak tahu bahwa dirinya dikagumi orang, lalu tersenyum dan membungkuk ke pada Huang-ho Sian-jin.

“Lo-enghiong, kau orang tua baik sekali. Tentu aku tidak berani menolak, cuma masalahnya. selamanya aku belum pernah minum arak keras. Biarlah aku mencobanya!" Ia lalu mengangkat cawan itu ke atas dan menggulingkannya ke arah mulutnya yang sudah dibuka lebar-lebar.

Dan sekarang semua orang celangap! Bahkan Huang ho Kim-go Tan Boan It yang sudah merayap bangun, melongo dan mendekati Tiang Bu untuk menonton permainan “sulap" ini dari dekat. Ternyata bahwa biarpun cawan itu sudah dituangkan terbalik, arak di dalamnya tetap tidak mau keluar, hanya "nontot” keluar seperti benda keras atau air yang sudah membeku! Setelah menjungkirkan cawan ini agak lama bahkan mengayun-ayunnya supaya araknya keluar namun sia-sia, Tiang Bu menghela napas dan membalikkan cawan kembali.

"Apa kataku, lo-enghiong? Bukan saja aku tidak biasa minum arak, bahkan araknya sendiri agaknya segan diminum orang seperti aku. Biarlah aku mewakilkannya kepada sahabat ini.”

Ia menggerakkan cawann ya dan kini di dalam cawan itu muncrat keluar semua arak secara tepat sekali memasuki mulut Tan Boan It yang masih melongo Orang tinggi besar ini gelagapan dan tanpa dapat dicegah lagi arak ditelannya! Biarpun tadinya semua orang tercengang menyaksikan kelihaian pemuda itu, melihat adegan terakhir tak tertahan lagi mereka tertawa, bahkan Ang Lian dan Ceng Ceng cekikikan.

Yang paling terkejut adalah Huang-ho Sian-jin se ndiri. Tadi ketika tangan pemuda itu menyentuh cawan dalam menerima tawarannya, ia rasakan tangannya panas dan menggigil. Tadinya ia masih sangsi, akan tetapi melihat betapa selanjutnya pemuda itu mendemonstrasikan tenaga lweekang yang jauh melebihinya, ia jadi kesima dan baru percaya akan keterangan Pek Lian bahwa pemuda ini memang sakti.

Akan tetapi Pek thouw tiauw-ong Lie-Kong tidak puas. Dia adalah seorang yang menganggap paling tinggi di antara semua orang yang berada di situ, dianggap yang paling pandai dan menduduki tempat paling terhormat. Sekarang bocah ini mendemonstrasikan ke pandaian, sedikit banyak membuat pamornya nyuram. Ia melangkah maju, wajahnya yang tampan gagah itu berkerut tak senang dan suaranya ketus.

"Bocah lancang, kau siapakah dan apa maksudmu bertingkah di sini!”

Tiang Bu cepat menjura kepadanya dan berkata, "Sudah kukatakan tadi bahwa aku pertama-tama ingin menyaksikan apakah betul-betul barang barang rampasan itu dipergunakan untuk menolong rakyat yang sengsara. Kedua kalinya aku sengaja datang untuk mencari Pek-thauw tiauw-ong Lie Kong untuk urusan penting!”

Jawaban ini benar-be nar tak disangka, bukan saja Lie Kong, isterinya dan puterinya yang tercengang mendengarnya, bahkan semua orang menjadi tertarik. Sikap pemuda yang lihai ini amat menarik perhatian dan aneh. Biarpun sikapnya sederhana dan seperti orang bodoh, namun di dalam kesederhanaannya terbayang kegagahan dan keberanian yang tiada taranya.

"Akulah Lie Kong, kau mau apa?"

Tiang Su tidak kaget karena memang ia sudah tahu. Suaranya tetap ramah ketika ia menjawab. "Lie lo-enghiong, namaku Tiang Bu, aku datang diri Omei-san dan memenuhi pesan suhuku aku harus minta kembali kitab yang kau pinjam dari Omei-san." Karena di situ terdapat banyak orang, maka Tiang Bu sengaja mengganti ucapan "curi" jadi "pinjam" karena ia tidak berniat membikin malu orang tua Ceng Ceng! Sesungguhnya, pertemuannya dengan Ceng Ceng banyak mempengaruhi sikapnya ini, kalau ia tidak bertemu dengan Ceng Ceng, kiranya sikapnya terhadap para pencuri kilab Omni-san akan sangat keras.

Baru sekarang Lie Kong terkejut dalam hatinya. Tidak tahunya bocah ini adalah murid dua orang kakek sakti Omei-san, pantas saja kepandaiannya demikian hebat. Dan kedatangannya hendak minta kembali kitab yang telah dicurinya! Tentu saja Lie Kong tahu akan sikap Tiang Bu yang hendak menolong mukanya. Ia ingin turun tangan sendiri mempertahankan kitabnya sekalian mencoba sampai mana kepandaian murid Omei-san ini, akan tetapi sebagai seorang tokoh besar, ia merasa malu untuk bertanding melawan bocah di depan begitu banyak sahabat.

Sedangkan Huang ho Sian-jin sendiri yang tadi merasa "berbahaya" kalau bertanding melawan bocah ini lalu mundur, apalagi dia. Pula... diam-diam Lie Kong kagum melihat Tiang Bu, yang biarpun tak dapat dibilang seorang pemuda tampan, namun sudah jelas memiliki kepandaian tinggi dan juga pribadi yang halus tidak suka menyinggung orang. Satu-satunya orang yang dipermainkannya tadi hanyalah Huang-ho Kim-go Tan Boan It, inipun karena kesalahan Buaya Emas itu sendiri yang mulai lebih dulu.

“Jadi kau murid 0mei-san? Memang benar ada sebuah kitab 0mei-san pada kami akan tetapi kitab itu sudah kuserahkan kepada anakku untuk dipelajari... Terserah kepadanya apakah mau mengembalikannya sekarang kepadamu atau tidak," kata Lie Kong sambil melirik ke arah Ceng Ceng.

Kaget sekali Ceng Ceng mendengar ucapan ayahnya ini dan seketika mukanya menjadi merah. Ia masih belum mengerti mengapa ayahnya begitu “pengecut" untuk menjatuhkan tanggung jawab kepundaknya biarpun memang betul kitab itu ayahnya tetah diserahkan ke padanya. Mengapa ayahnya tidak menghadapi sendiri pemuda itu? Saking bingungnya dan tidak mau ribut mulut dengan Tiang Bu yang pandai bicara itu di depan orang banyak, ia lalu lari sambil berkata, “Aku tidak mau mengembalikan!”

Melihat Ceng Ceng lari, Tiang Bu tak banyak cakap lagi lalu mengejar. "Harus di kembalikan kepadaku!” katanya.

Demikianlah, baru saja sampai dua orang muda ini kembali sudah berkejar-kejaran! Lie Kong hanya tersenyum, lalu dengan tenang ia bersama isterinya mengajak Huang-ho Sian-jin memeriksa isi empat kantong itu. Semua orang kagum dan gembira melihat demikian banyaknya barang berharga yang kalau dijual akan menghasilkan cukup bahan makanan bagi para pengungsi untuk beberpa bulan lamanya. Lie Kong membagi-bagi empat permata itu kepada para pembantu dengan tugas supaya benda-benda itu ditukarkan bahan makanan, selebihnya diserahkan kepada Huang-ho Sian jin untuk disimpan sebagai cadangan. Semua benda itu adalah benda berharga terdiri dari emas permata hanya sebuah cepuk atau kotak kecil yang ternyata berisi seekor katak hijau disimpan oleh Lie Kong ke dalam sakunya.

"Benda macam ini tidak dapat ditukar makanan" katanya perlahan. Biarpun ia seorang tokoh kang-ouw yang ulung, namun binatang macam ini merupakan teka-teki baginya. tidak tahu binatang apa itu dan apa pula khasiatnya, hanya yakin bahwa binatang itu tentu mempunyai khasiat yang luar biasa maka ia simpan dalam saku. Setelah beres membagi-bagi tugas, Lie Kong mengajak isterinya untuk menyusul Ceng Ceng, Karena merasa khawatir juga.

Lie Kong berlari cepat, berendeng dengan isterinya. Ketika tanpa disengaja tangannya menyentuh tangan isterinya, tiba-tiba ia berhenti berlari, memegang lengan isterinya dan dipeluknya isterinya itu penuh kasih sayang.

Souw Cui Eng mangipatkan tangan suaminya yang memeluknya erat dan mendorong muka suaminya itu yang mendekat mukanya. “Eh, apa kau tiba-tiba kemasukan setan? Maka di tengah jalan bersikap seperti ini? Cih, memalukan sekali!"

Akan tetapi suaminya memandangnya dengan mata aneh. "Cui Eng... sekarang aku mengerti khasiat kodok hijau ini...! Coba kau yang membawanya." Dengan terheran-heran Souw Cut Eng menerima cepuk itu dan memasukkannya ke dalam saku bujunya. Tidak ada akibat apa-apa.

"Mungkin belum, harus agak lama." kata suaminya. "Mari kita berlari terus dan lihat akibatnya nanti."

Akan tetapi sampai lama mereka berlari, tidak ada reaksi apa-apa pada diri Souw Cui Eng. "Hemm, sekarang aku dapat menduga. Katak macam ini pernah aku mendengarnya, namanya katak pembangkit asmara. Ada sepasang. yang jantan kalau berdekatan dengan seorang wanita dapat membangkitkan nafsu asmara, sebaliknya yang betina merangsang seorang laki laki. Tentu ini yang betina maka padamu tidak berakibat apa-apa." Selanjutnya dalam mengejar Ceng Ceng, katak itu terus disimpan oleh Souw Cut Eng biarpun nyonya ini kadang-kadang merasa jijik harus mengantongi seekor katak.

Kita kembali kepada Ceng Ceng dan Tiang Bu. Gadis itu berlari cepat sekali di sepanjang lembah Huang-ho. Tiang Bu mengejar terus di belakangnya, tidak segera menyusul karena ia memang sengaja hendak melihat sampai ke mana nona itu akan lari dan berapa lama kekuatan gadis itu. Ternyata Ceng Ceng memiliki daya tahan yang besar dan gadis ini biarpun baru saja datang dan sudah lama berlari-lari dengan Tiang Bu, ternyata sekarang masih kuat berlari-lari sampai setengah hari. Menjelang senja mereka sudah melalui jarak ratusan li jauhnya dan belum juga Ceng Ceng berhenti. Tiba-tiba gadis itu mempercepat larinya, Tiang Bu juga mengerahkan tenaga.

Mereka tiba di lembah sungai yang indah, Di bagian ini sungai itu lebar sehingga air tidak begitu hebat meluapnya. Di luar sebuah hutan cemara kelihatan sebuah kelenteng tua dan Ceng Ceng berlari memasuki pekarangan kelenteng ini.

"He. jangan injak ularku!" tiba-tiba terdengar bentakan dan tahu-tahu tangan Ceng Ceng sudah dipegang dan dibetot orang. Ceng Ceng kaget bukan main karena betotan ini kuat sekali. Apalagi ketika ia menoleh ternyata bahwa yang menariknya juga seorang dara cantik jelita sekali. Usianya sebaya dengan dia sendiri. Gadis muda ini tadinya duduk di balik semak-semak dan kini tangan kirinya memegang seekor ular hitam yang kecil dan liar! Ceng Ceng sampai berdiri bulu tengkuknya saking merasa jijik dan ngeri.

"Kenapa kau berlari dan seperti dikejar setan?" tanya gadis cantik jelita itu. suaranya merdu dan senyumnya manis.

Dalam kaget dan herannya karena di tempat sunyi ini muncul wanita cantik, apalagi pakaiannya serba indah, Ceng Ceng mengira bahwa ia tentu berhadapan dengan siluman atau bidadari. Buktinya ketika membetot tangannya tadi tenaganya besar bukan main dan memegang ular berbisa pula.

"Memang aku dikejar... dikejar orang jahat..." jawabnya gagap.

"Kau sembunyi di sana, biar aku menghajarnya!” jawab gadis cantik itu. Ceng Ceng melompat dan lenyap di dalam kelenteng.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya buat Tiang Bu ketika tiba di pekarangan kelenteng, ia tidak melihat Ceng Ceng, sebaliknya melihat seorang gadis lain yang sebaya dengan Ceng Ceng akan tetapi yang memiliki kecantikan luar biasa. Lebih cantik malah dari pada Ceng Ceng, atau kalau tidak lebih cantik, memiliki sifat kecantikan berbeda namun tidak kalah menarik dan menggairahkan. Bagi Tiang Bu, gadis ini benar-benar hebat dan sampai berdiri bengong bagaikan patung. Pemuda ini berdiri tegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak memandangi mahluk indah di depannya.

Akan tetapi ketika ia melihat ular hitam kecil yang melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat di tangan kiri gadis itu, ia jadi kaget setengah mati. Gadis itu menggerak-gerakka bibirn ya mengarah senyum dan sepasang matanya yang lebih indah dari pada mata burun Hong itu mengikuti pandangan mata kaget dari Tiang Bu yang mengarah tangan kirinya. Dengan halus ia lalu melepaskan ular kecil itu ke dalam semak-semak. kemudian ia bertanya, suaranya tetap merdu namun mengandung kekerasan.

“Kau ini orang apakah. mengejar-ngejar seorang gadis di tempat sunyi. Kalau saja yang dikejar dan yang mengejar itu orang orang biasa, tentu gadis ini akan menjatuhkan tangan besi tanpa bertanya lagi. Akan tetapi ketika membetot tangan Ceng Ceng tadi, dapat merasai tenaga lweekang yang tinggi dari gadis itu. Bagaimana scoring gadis kosen seperti itu lari ketakutan menghadapi seorang pemuda petani atau nelayan yang sederhana ini?

"Jangan salah sangka," Tiang Bu cepat-cepat menjawab karena ia takut kalau-kalau si jelita ini menyangka ia akan berbuat jahat terhadap Ceng Ceng, "gadis tadi mencuri kitabku dan aku mengejarnya untuk minta kembali kitab itu.”

Mendengar ini, sikap gadis cantik itu berubah, keningnya yang halus putih berkerut dan alis yang hitam lentik itu berdiri. "Begitukah, mari kita cari dan tanya dia. Aku tidak sudi menolong seorang maling!"

Setelah berkata demikian, gadis itu berjalan memasuki kelenteng. Gerakan kaki yang ringan bertenaga dan gerakannya maju yang amat cepat itu kembali membuat Tiang Bu maklum bahwa gadis jelita itu memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, mungkin tidak kalah oleh Ceng Ceng!

Begitu memasuki kelenteng, Tiang Bu menahan napas saking kagum dan heran. Kelenteng itu sudah tua dan di luarnya buruk sekali. Akan tetapi ketika ia masuk ke ruangan dalam, ternyata di situ amat indah penuh dengan hiasan tembok yang serba mabal dan indah. Lukisan-lukisan yang bagus dan hidup, pot -pot bunga telukir naga di atas meja-meja yang indah pula. Benar-benar mengagumkan.

Akan tetapi ia tidak sempat untuk memikirkan semua ini kerena gadis itu telah membawanya keruang belakang di mana terdapat seorang muda gagah. Melihat pemuda ini, Tiang Bu tiba-tiba merasa sungkan karena men gingat akan keadaan sendiri. Pemuda itu berpakaian indah, wajahnya yang berkulit putih itu tan pan dan gagah sekali, dengan rambut hitam panjang digelung ke atas dan diikat dengan sutera kuning. Tubuhnya tegap dan matanya tajam, potongan seorang "pendekar muda” kalangan bangsawan!

Dibanding dengan pemuda itu, Tiang Bu harus mengaku bahwa ia kalah dalam segala-galanya! Tidak nempil, seperti gagak dengan garuda! Apalagi ketika mereka berdua memasuki ruangan belakang itu, pemuda tampan gagah ini sedang berdiri memegang batang pedang dengan sarungnya yang indah pula.

“Moi-moi, kukira kau sudah mengusir pergi pemuda kurang ajar itu. Kenapa dia juga masuk?"

"Koko, mana gadis tadi? Dia membohongi aku. Dia itu seorang maling yang dikejar saudara ini."

“Maling?” Pemuda tampan itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Moi-moi, jangan menuduh sembarangan. Dia itu adalah puteri dari Pek thouw tiauw-ong Lie Kong seorang pendekar besar dari pentai timur, Mana bisa seorang maling? Orang ini yang jahat, maksudnya, jangan kita kena tipunya..." Sambil berkata demikian, pemuda itu melompat dan tangan kirinya mencengkeram pundak Tiang Bu.

“Kau siapakah dan apa niatmu mengejar seorang gadis baik-baik?”

Tiang Bu tidak mengelak, akan tetapi ketika pundaknya kena dicengkeram, ia terkejut merasakan tenaga dahsyat pemuda itu yang tentu saja akan membuat tulang pundaknya hancur. Cepat ia mengerahkan tenaga lweekangnya dan kini pemuda itu yang berteriak kaget sambil melompat ke belakang dan menarik tangannya yang terasa panas dan lumpuh!

Tiang Bu mempergunakan kesempatan itu melompat sambil berkata. "Maaf, urusanku bukan urusan kalian, lain kali aku datang belajar kenal!” Dan di lain saat tububnya sudah berkelebat keluar mengejar Ceng Ceng yang ternyata sudah lari kembali.

Pemuda dan pemudi mewah itu mengejar, namun ketika tiba di depan kelenteng mereka tidak melihat Tiang Bu.

"Hebat... pemuda dusun itu lihai sekali...” terdengar pemuda itu menggerutu.

“Koko, kau harus ingat akan nasihat nio-nio. Mengukur kepandaian orang jangan didasarkan keadaan muka atau pakaiannya. Begitu bertemu aku sudah menduga dia itu bukan sembarangan."

Sementara itu, Tiang Bu terus mengejar Ceng Ceng yang kini berlari ke arah tempat semula. Akan tetapi karena hari sudah mulai malam dan kesabaran Tiang Bu sudah menipis, pemuda ini mengerahkan ginkangnya akhirnya ia dapat menyusul Ceng Ceng.

“Bocah kepala batu, kau berhentilah,” Tiang Bu membentak, tangan kanannya digearakkan untuk menangkap lengan Ceng Ceng. Tiba-tiba Ceng Ceng memutar tubuhnya dan secepat kilat menyambar ke arab dada Tiang Bu. Tanpa peringatan lebih dulu tahu-tahu Ceng Ceng sudah menyerang Tiang Bu dengan pedang.

"Bagus. kini kita dapat mengadu kepandaian!" kata Tiang Bu yang cepat mengelak dan menggunakan dua jari tangan untuk mengetuk pergelangan tengan gadis itu. Namun Ceng Ceng juga lihai sekali dan dapat bergerak cepat, ringan kaki tangannya serta lincah gerakannya. Lebih hebat pula, ilmu pedang dia ini luar biasa sekali. Seperti pernah dilihat oleh Tiang Bu, gerak langkah kaki gadis itu menyerupai Ilmu Silat Pat kwa-kun-hoat yang pernah ia pelajari, akan tetapi pecahan-pecahannya lain lagi.

Sungguhpun berdasarkan langkah segi delapan, namun daya serangannya bermacam-macam, ada yang lembek ada yang keras dan sukar sekali diduga perubahan-perubahannya. Dalam beberapa belas jurus saja, tubuh Tiang Bu sudah terkurung oleh pedang yang sinarnya bercabang delapan, menyambar nyambar laksana kilat di musim hujan!

“Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!” Tiang Bu memuji dan pemuda ini harus mempergunakan semua kepandaiannya untuk menghindarkan diri dari ancaman sinar pedang. Baiknya ia telah mewarisi sinkang dari dua orang kakek sakti di Omei-san sehingga kadang-kadang ia dapat mempergunakan kuku jarinya untuk menyentil pedang lawan. Di lain fihak, Ceng Ceng merasa kagum dan heran bukan main. Memang ia sudah menduga bahwa pemuda ini lihai sekali.

Hal ini sudah ia buktikan ketika mereka beradu kekuatan lari. Akan tetapi melawannya dengan tangan kosong dan menghadapi pedang dengan sentilan kuku jari? Inilah hampir tak dapat dipercaya! Ia telah memainkan Ilmu Silat Pat-sian-jut-bun dari kitab yang dibawa oleh ayahnya dari Omei-san dan ayahnya sendiri ketika melihat ia mainkan ilmu pedang ini sudah mengaku bahwa ilmu pedang ini hebat sekali. Ayahnya sendiri tidak mungkin dapat menghadapinya hanya dengan sentilan kuku jari seperti yang dilakukan oleh pemuda dusun ini!

Akan tetapi, betapapun tinggi kepandaian Tiang Bu dan betapapun mudah baginya menyelamatkan diri dari ancaman pedang gadis itu, namun harus ia akui bahwa untuk mengalahkan Ceng Ceng tanpa melukai bukanlah hal yang mudah. Gadis itu nekat sekali dan sama sekali tak mau menyerah biar pun beberapa kali tangannya tergetar ketika pedang disentil oleh jari tangan Tiang Bu.

Akan tetapi makin lama Ceng Ceng menjadi makin lemas dan ia sudah lelah sekali. Malam mulai menyelimuti bumi dan keadaan menjadi remang-remang. Baiknya sore-sore bulan sudah keluar dan melihat langit yang cerah, dapat dibayan gkan datangnya malam yang terang dan indah, Ceng Ceng mulai marah dan memaki-maki.

“Pemuda sombong, tak tahu malu! Meminta kitab? Boleh bunuh dulu aku!”

"Gadis kepala batu! Mengapa mau mengukuhi kitab orang?” Tiang Bu membentak dan pada saat pedang gadis itu menusuk ulu hatinya, ia cepat miringkan tubuh sehingga pedang itu meleset di dekat dada, di bawah ketiak. Secepat kilat Tiang Bu menurunkan lengan. Sedangkan tangan kirinya ditotokkan ke arah pundak kanan Ceng Ceng. Totokan itu mengarah Kian-keng-kiat dan kalau mengenai sasaran tentu gadis itu akan roboh lemas. Ceng Ceng tidak sudi memberikan pundaknya ditotok, terpaksa ia melompat mundur dan melepaskan pedangnya,

Di lain saat Tiang Bu sudah mengejar dengan pedang rampasan di tangan. Pedang itu ditodonglan ke arah tenggorokan Ceng Ceng dan ia berkata keren. “Hayo kau kembalikan kitab itu kepadaku!”

Akan tetapi Ceng Ceng malah bertolak pinggang dan mengedikkan mukanya, mambusungkan dadanya menantang. "Tusuklah...! Tusuklah...! Apa kau kira aku takut mati?”

“Ceng Ceng, siapa mau membunuhmu? Aku hanya ingin minta kembali kitab dari Omei-san itu. Kalau kau sudah mempelajarinya, mengapa kau masih mengukuhi kitabnya? Untuk apa bagimu?” kata Tiang Bu sambil menurunkan pedangnya.

"Habis bagimu sendiri untuk apakah? Kau sudah memiliki kepandaian kau sendiri sudah mempelajari banyak ilmu dari Omei-san. Mengapa aku mempelajari sebuah saja kau sudah iri hati? Apa kau mau kangkangi semua kepandaian di dunia ini?"

"Tidak demikian, jangan salah mengerti. aku minta kembali semua kitab yang diambil orang dari Omei-san, ini untuk mematuhi perintah suhuku. Bahayanya, kalau kitab terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah kepandaian dari ilmu itu akan dipakai untuk kejahatan dan kareranya suhu-suhuku ikut berdosa?"

Gadis itu tersenyum mengejek, maksudnya menyakitkan hati Tiang Bu, tidak tahu bahwa senyumnya itu dalam pandangan Tiang Bu manis sekali dan sama sekali tidak menyakiti hati bahkan menyenangkan! "Bodoh! Kitab sudah kupelajari, kau ambil kembali ada gunanya apakah? Biarpun kitabnya tidak ada, tetap saja aku dapat mempergunakan ilmunya.”

"Akan tetapi aku percaya kau bukan orang jahat," kata Tiang Bu.

"Kalau benar kau percaya begitu, mengapa kau tetap hendak minta kembali kitab itu. Mengapa tidak kau percayakan ketanganku. Kau memang sombong dan murka!"

Sambil berkata demikian, Ceng Ceng tiba-tiba menyerang dengan pukulan keras. Tian Bu mengangkat tangan dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, sekali mengerahkan tenaga "menyedot" gadis itu tidak dapat meronta pula! Ia berusaha untuk memberontak melepaskan tangannya namun sia-sia. Dengan marah gadis itu menggerakkan tangannya menampar muka Tiang Bu, akan tetapi bagaikan seorang dewasa menghadapi seorang anak kecil yang rewel, Tiang Bu kembali dapat menangkap sebelah lengan ini ke dalam tangan yang sudah memegang tangan kanan jadi kini dua lengan gadis itu menjadi satu dipegang oleh Tiang Bu.

“Kau masih belum kapok? Hayo katakan di mana kitab itu?” kata Tiang Bu.

"Di dalam saku baju dalamku! Kalau kau berani ambil. kau laki-laki ceriwis, kurang ajar dan cabul!" Ce ng Ceng menantang.

Pada saat itu berkelebat dua bayangan datang. Mereka ini adalah Lie Kong dan isterinya. Melihat kedatangan mereka, Tiang Bu cepat melepaskan tangan Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah sekali. Ceng Ceng berlari menubruk ibunya sambil menangis.

"Maaf," kata Tiang Bu menjura, "aku tidak bermaksud menghina puterimu, Lie loenghiong. Akan tetapi dia bandel…”

Lie Kong tersenyum. Tadi ia sudah menyaksikan sambil bersembunyi dan melihat betapa hebat kepandaian Tiang Bu ketika menghadapi ilmu pedang anaknya. Tanpa ragu lagi pendekar ini maklum bahwa dia sendiri masih belum tentu dapat menangkan Tiang Bu. Saking kagumnya, timbul maksudnya mengambil mantu pemuda ini!

“Tiang Bu, apakah kau murid tunggal Omei-san?"

"Betul, lo enghiong."

"Kau bernama keturunan apakah?"

Tiang Bu bingung. Kalau ditanya tentang shenya, ia paling sukar menjawab dan hatinya tertusuk, teringat ia akan keadaannya masih belum pasti siapa ayah bundanya. Mengaku she Coa, ia tidak suka membohong mengaku she Liok, ia malu berayah Liok Kong Ji. "Aku... aku sendiri belum tahu, lo-enghiong. Namaku cukup dengan Tiang Bu saja.

Lie Kong tersenyum. Jawaban begini saja tidak mengherankan hatinya. Memang orang-orang yang berkepandaian selalu berwatak aneh, maka tidak mengherankan kalau pemuda ini juga berwatak aneh, agaknya tidak mau mengaku siapa orang tuanya.

“Tiang Bu, tentang kitab itu, kiranya apa yang diucapkan oleb Ceng Ceng tadi tidak terlalu salah. Kitab itu aman ada padanya, dialah yang bertanggung jawab bahwa ilmu itu takkan dipergunakan untuk kejahatan. Pula... kalau kau setuju, kami akan merasa girang sekali kalau kau suka memberikan kitab itu kepadanya sebagai... sebagai tanda mata!”

"Apa maksudmu, lo-enghiong?" tanya Tiang Bu heran.

Lie Kong memang biasa berkata terus terang, Sambil tersenyum akan tetapi matanya memandang sungguh-sungguh ia berkata, "Aku tadi sudah bersepakat dengan isteriku bahwa kalau kau tidak keberatan, kami bermaksud menjodohkan anak tunggal kami yang bodoh itu dengan kau, Tiang Bu. Bagaimana jawabmu?”

Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, kiranya Tiang Bu takkan begitu terkejut seperti ketika mendengar "pinangan” ini. Seujung rambut dibagi tujuh ia tak pernah mengharapkan hal langka ini terjadi. Bagaimana sampai begitu "berharga tinggi” dipinang oleh seorang pendekar besar seperti Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong untuk dijodohkan dengan seorang dara jelita seperti Ceng Ceng? Bagaimana ia harus menjawab? Ceng Ceng cantik seperti bidadari, wataknya menggatalkan hati, gerak geriknya menggairahkan dan terus terang saja, hati Tiang Bu tertarik dan suka sekali. Kalau ia menolak berarti ia sudah berotak miring!

Akan tetapi sebelum ia dapat menjawab, Ceng Ceng mendahuluinya dengan teriakan marah. “Tidak...!” Aku tidak sudi dijodohkan dengan pemuda berwajah monyet itu! Hidungnya pesek, bibirnya tebal, aku tidak suka!”

Kalau saja Tiang Bu lebih tua usianya dan sudah mendalam pengertiannya tentang hubungan laki-laki dan wanita, tentu ia akan merasa terhina sekali mendengar akan ponolakan Ceng Ceng. Akan tetapi, kini mendengar bahwa Ceng Ceng menolaknya karena hidungnya pesek dan bibirnya tebal, ia makin tertawa!

"Terima kasih, lo-enghiong. Aku tidak mau kawin, apalagi dengan seorang bocah kepala batu dan galak seperti dia itu. Aku hanya minta kembali kitab suhu. Aku yakin lo-enghiong yang ternama tidak akan sudi mengangkangi kitab orang lain." Saking jengkelnya Tiang Bu mengeluarkan sindiran ini.

Merah wajah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong men dengar ini, wajahnya yang tampano menjadi berkerut dan ia membentak puterinya. "Ceng Ceng, bocah lancang! Hayo kau kembalikan kitab itu kepada murid 0mei-san ini!”

Ceng Ceng yang masib memeluk ibunya itu kini berkata dengan suara sedih dan takut. "Tak mungkin, ayah. Kitab itu... telah dirampas orang setengah bulan yang lalu…”

Kagetlah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya. akan tetapi dengan gemas Tiang Bu mencela, "Bohong! Tadi kau bilang berada di dalam saku baju dalammu...!" Ia menghentikan kata-katanya dan mukanya menjadi merah.

Ceng Ceog melerok. "Siapa bicara denganmu? Aku bicara dengan ayahku, dan kau tidak boleh turut campur!"

“Ceng Ceng, jangan kau main-main! Dimana kitab itu?" Ayahnya mendesak.

Dengan suara mengandung kekecewaan, kedukaan, dan takut kepada ayahnya, dara itu lalu bercerita. "Ketika itu aku sedang berlatih bagian terakhir dari Pat-sian-jut-bun yang paling sukar. Karena ingin supaya gerakanku dalam bagian terakhir ini sempurna, aku keluarkan kitab itu dan membentangkannya di atas tanah. Setelah mempelajari aku lalu berlatih. Kitab itu masih terhentang di atas tanah. Kupikir keadaan di sana aman;karena di tengah hutan yang sunyi. Sama sekali tak terduga, tiba- tiba muncul dua orang gedis yang cantik genit. Tadinya kukira dua orang gadis yang datang itu enci Pek Lian dan enci Ang Lian maka aku tidak begitu khawatir. Siapa kira begitu datang dan begitu aku melihat bahwa mereka itu sama sekali asing bagiku, belum aku sempat mengambil kitab Pat siant-bun, seorang di antaranya telah menyambar dan merampas kitab.” Demikian Ceng Ceng memulai dengan penuturannya, didengarkan dengan penuh perhatian dan dengan kening berkerut oleh ayah bundanya dan Tiang Bu.

Gadis ini melanjutkan ceritanya. Melihat kitabnya dirampas orang, tentu saja ia menjadi marah bukan main, akan tetapi juga heran dan ingin tahu siapa adanya mereka itu.

"Eh, maling-maling cilik, kau berani mengambil kitabku? Hayo kembalikan!” bentaknya untuk sejenak tidak menyerang segera karena terlalu heran ada orang berani merampas kitabnya.

Sebaliknya, dua orang gadis itu agaknya juga tidak memandang sebelah mata kepada Ceng Ceng, bahkan kurang memperhatikan, buktinya mereka berdua bicara sendiri tanpa memperdulikan makian Ceng Ceng.

"Adik Kim, tak salah lagi, inilah kitab Omei-san itu yang dicuri oleh keluarga dari timur." kata gadis pertama yang manis dan di dagunya terdapat tahi lalat kecil yang menambah manisnya.

"Benar, cici, dan budak parempuan ini agaknya anaknya." jawab gadis ke dua yang miliki sepasang mata yang indah dan sepenuhnya membayangkan watak genit baik dipandang dari alisnya yang panjang kecil dengan ujung menjungat ke atas, bulu matanya yang bitam panjang melengkung mendatangkan bayang-bayang pada pelupuk matanya dan kerling mata yang meruncing ke sudut.

Sementara itu Ceng Ceng sudah kehabisan kesabarannya. Cepat pedangnya bergerak me nerjang gadis pertama yang tadi mengambil kitab sambil berseru. “Maling kecil, kau mencari mampus!"

Akan tetapi, sinar pedang yang kemerahan menangkis pedangnya itu dan ternyata gadis ke dua yang bermata genit itu telah menangkis dengan sebatang pedang pendek yang merah. Melihat cara lawan ini menangkis, diam-diam Ceng Ceng terkejut dan maklum babwa ia menghadapi lawan yang tidak rendah kepandaiannya. Ia mengeluarkan seruan keras dan kini ia menyerang makin hebat, mendesak gadis berpedang merah sambil mainkan Ilmu silat yang baru ia pelajari dari kitab Omei-san itu. Gadis berpedang merah itu ternyata hebat pula ilmu pedangnya, cepat dan kuat gerakan pedang dan tenaganyapun tidak kalah oleh Ceng Ceng. Namun menghadapi desakan puteri Pek-thouw tiauw-ong ini yang marah sekali, ia terpaksa main mundur.

“Enci Lin. Budak ini kepandaiannya boleh juga. Bantu aku!" teriak gadis berpedang merah.

Tak lama kemudian sinar putih menyambar cepat dan Ceng Ceng terpaksa melompat mundur sambil menangkis datangnya serangan sinar putih yang ternyata lebih cepat dan kuat dari pada sinar pedang marah. Ternyata bahwa ilmu pedang gadis bertahi lalat di dagunya itu malah lebih tinggi dari pada! Namun dalam menangkis seran gan ini, Ceng Ceng merasa yakin bahwa ia masih dapat mengimbangi kepandaian gadis berpedang putih ini, kalau saja ia tidak dikeroyok. Kini mereka maju bersama dan sepasang s inar marah dan putih itu menyambar-nyambar seperti kilat, membuat ia sibuk juga dan akhirnya terpaksa main mundur!

Dua orang gadis kakak beradik itu lalu tertawa dan si tahi lalat di dagu berkata, "A Kim, budak ini manis sekali, jangan bunuh dia. Biarkan dia hidup dan kelak datang menyusul kita agar ada ke gembiraan." Setelah berkata demikian. gadis itu bersama adiknya melompat dan berlari cepat.

"Demikianlah, ayah. Kitab itu mereka bawa pergi. Aku tidak berani memberitahukan ayah atau ibu, selain takut mendapat marah juga... malu. Tadinya anak pikir akan diam-diam menyusul mereka dan merampas kembali, akan tetapi ayah mengajakku ke sini untuk membantu Huang-ho Sian-jin, terpaksa maksud itu tertunda."

Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong membanting-banting kakinya. "Bocah bodoh! Selain kena dikalahkan orang, kau masih berkepala batu tidak segera memberi tahu kepadaku. Mereka itu benar-benar berani menghina kita. Apa kau tidak ada ingatan untuk bertanya siapa mereka itu pada waktu mereka pergi?"

"Ada kutanya nama mereka, ayah. Mereka mengaku bernama Liok Cui Lin dan adiknya Liok Cui Kim, bahkan sebelum pergi mereka menyatakan bahwa mereka tinggal di dalam Hutan Ui-tiok-lim (Hutan Bambo Kuning) di lembah Sungai Luan-ho di luar tembok besar dekat Kota Raja Kin”

"Ui-tio-lim...?" Pek thouw-tiauw-ong Lie Kong terkejut mendengar disebutnya tempat ini dan ia saling pandang dengan isterinya.

Tempat itu sudah mereka kenal, sebuah tempat yang amat berbahaya, yang ratusan tahun yang lalu dibangun oleh seorang tokoh jahat dari utara. Tempat ini penuh rahasia dan tangan-tangan maut menjangkau dari tempat-tempat tersembunyi sehingga sudah sejak lama sekali tak seorangpun berani mendatangi tempat yang dianggap sebagai sarang iblis itu. Dan sekarang ditinggali oleh dua orang gadis yang sanggup merampas kitab dari tangan Ceng Ceng!

"Eh, mana dia...?" Tiba-tiba Lie Kong bertanya kaget ketika menengok tidak melihat Tiang Bu di situ.

“Entah. dia tadi melangkah ke sini dan agaknya ada bayangan berkelebat di dekatku." kata Souw Cui Eng, isterinya, kemudian nyonya itu menjadi pucat. “Katak itu lelah hilang berikut tempatnya"

Lie Kong makin kagum. "Hebat sekali!” Bocah itu, tentu dia yang mengambilnya, Ceng Ceng, apa kau tadi malihat Tiang Bu pergi?”

Gadis itu memang sejak tadi memperhatikan Tiang Bu, akan tetapi iapun hanya melihat pemuda itu berkelebat dan lenyap, maka ia menggeleng kepala. Lie Kong nenarik napas panjang.

“Ceng Ceng, aku masih tetap ingin sekali menjodohkan kau dengan dia. Di dunia ini kiranya tidak mudah bagimu mencari jodoh seperti orang muda tadi. Sekarang kita bersiap-siap setelah selesai urusan di sini kita mengejar dua orang gadis Liok itu ke utara.”

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Tiang Bu memang telah mencuri katak dalam peti yang disimpan oleh Souw Cui Eng. Tadinya Tiang Bu merasa curiga karena nyonya ini beberapa kali meraba saku baju seakan-akan takut kalau ada barang penting lenyap dari saku itu. Ia tadinya mengira bahwa mungkin sekali kitab itu diam-diam disimpan nyonya ini. Maka mendengar penuturan Ceng Ceng bahwa kitab dari Omei-san itu telah dirampas oleh dua orang anak perempuan Liok, ia menjadi kaget sekali. Karena tidak ada harapan lagi untuk mendapatkan kitab dari keluarga ini.

Tiang Bu lalu cepat pergi setelah lebih dulu ia menggunakan kepandaian dan kecepatannya untuk menyambar isi saku nyonya itu yang ternyata adalah peti kecil dengan katak ajaib yang pernah dilihatnya. Kebetulan, pikirnya. Harta benda itu memang sudah sepatutnya kalau dipergunakan untuk menolong para korban banjir. Akan tetapi katak wasiat ini siapa tahu kalau-kalau menjadi benda simpanan Pangeran Wanyen Ci Lun, biar kuambil dan kukembalikan kepadanya.

Setelah pergi dari lembah Sungai Huang-ho itu, Tiang Bu teringat akan pemuda dan dia gadis yang lihai dan yang tinggal di dalam kelenteng itu. Ia ingin tahu mereka itu siapa, terutama gadis itu benar-benar amat menarik hatinya. Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, Tiang Bu menyusul ke kuil yang pernah dilihatnya ketika ia mengejar Ceng Ceng. Ia ingin cepat bertemu dengan pemuda dan gadis yang aneh itu, ingin berkenalan, terutama sekali dengan gadisnya. Wajah gadis itu serasa tidak asing baginya, serasa pernah dilihatnya, entah di mana dan bilamana ia sudah lupa lagi.

Ketika ia tiba di dekat kelenteng tua, ia melihat banyak orang se dang hilir mudik mengangkuti barang-barang dari dalam kelenteng. Terayata yang diangkuti itu adalah barang-barang perabot rumah tangga yang indah yang tadinya menghias isi kelenteng! Apakah mereka hendak pindah?

Tiang Bu benar-benar menjadi terheran-heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengangkut adalah orang-orang berpakaian seperti tentara seragam. Dan mereka bekerja nampak tergesa-gesa sekali. Selagi Tiang Bu bingung tak tahu harus berbuat apa, ia mendengar suara senjata beradu di tempat jauh, arah dekat sungai. Terdengar suara lain lagi yang mendesak supaya para se rdadu itu bekerja lebih cepat...