Tangan Gledek Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 14

Sementara itu, daun-daun masih rontok seperti hujan dan anehnya, daun -daun ini melayang cepat dan kalau mengenai tubuh terasa sakit-sakit seperti jarum-jarum disambitkan saja! Li Hwa dan Sin Hong menggunakan kedua tangan untuk mengebut ke kanan kiri sehingga daun-daun yang mendekati mereka pada runtuh ke bawah. Kemudian tidak hanya daun-daun yang beterbangan hingga sukar untuk melihat ke depan, bahkan pasir dan tanah debu berhamburan ke atas menyerang mata mereka.

"Keluar dari tempat ini!" Seru Sin Hong Sambil menarik lengan Li Hwa dan mengajaknya melompat jauh keluar dari bawah pohonpohon itu.

"Mana Tiang Bu...?" tanya Li Hwa.

"Entahlah. Biar aku mencarinya!" kata Sin Hong dan baru ia sadar betapa dalam bahaya ini, baginya yang terpenting lebih dahulu adalah menyelamatkan Li Hwa dari bahaya!

"Lihat itu..." jerit Li Hwa sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebuah pohon besar yang berdiri.

Sin Hong menengok dan melihat pemandangan yang aneh dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Di puncak pohon itu, di antara daun-daun dan ranting-ranting seperti seekor burung besar, duduk bersila seorang kakek gun dul botak yan g tubuhnya kurus dan jangkung sekali. Kakek itu tangan kirinya mengempit tubuh Tiang Bu yang entah kapan telah ditangkapnya, sedangkan tangan kanannyu melakukan gerakan mendorong, menarik, dan memutar-mutar ke arah pohon-pohon dan tanah di mana tadi mereka berdiri. Dan dari tangan kanannya itu seakan-akan keluar angin puyuh yang membuat daun-daun hijau rontok dan pasir serta debu di tanah membubung naik! Tenaga seperti ini selama hidupnya belum pernah disaksikan oleh Sin Hong, apalagi oleh Li Hwa.

Melihat dua orang muda itu melompat jauh, kakek gundul itu menghentikan gerakan-gerakan tangannya dan seketika angin puyuh berhenti. Kakek itu laki menibuka mulut sambil menengadah dan keluarlah suara nyanyian yang parau dan serak, sama sekali tidak sedap didengar telinga. Akan tetapi kata-kata dalam nyanyian itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sin Hong dan Li Hwa.

"Di antara Ciunglai dan Tailiang Barang simpanan dicuri orang, Lam-thian Heng-te buta dan tuli. Dua cacing tua menunggu mati Tak ingin mati seperti macan. Lebih baik tak diketahui kawan lawan. Akan tetapi, Thian Maha Kuasa. DiturunkanNya calon Naga! Cacing tua berubah pikiran. Berkenan tinggalkan sedikit warisan."

Kata-kata dalam nyanyian ini amat menarik hati Sin Hong. Akan tetapi selagi ia hendak mengajukan pertanyaan, tiba-tiba sinar terang berkelebat di puncak pohon tinggi itu dan di lain saat kakek gundul itu lenyap bersama Tiang Bu!

"Celaka! Kembali Tiang Bu diculik orang!" kata Li Hwa mendongkol.

"Beruntung sekali anak itu..." kata Sin Hong perlahan sambil menarik napas panjang, hatinya masih tegang menyaksikan kehebatan kakek tadi.

"Beruntung? Apa maksudmu, Sin Hong?" tanya Li Hwa.

"Li Hwa, apakah kau tidak memperhatikan nyanyian kakek tadi?"

"Aku mendengar, akan tetapi apa sih artinya nyanyian tidak karuan itu?"

"Apakali kau belum pernah mendengar tentang dua orang kakek sakti setengah dewa yang bertapa di Omeisan dan yang tidak mau mempedulikan urusan duniawi, akan tetapi ditakuti semua orang karena luar biasa lihainya?"

"Tentu saja aku pernah mendengar tentang dua orang kakek itu. Bukankah mereka itu berada di daerah selatan?"

Sin Hong mengangguk. "Tahukah kau, di antara Ciunglat dan Tailiangsan dua pegunungan yang disebut dalam nyanyiannya tadi terdapat apa?"

Li Hwa mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan rapi. Sepasang matanya yang jeli dipejam-pejamkan, akan tetapi karena ia belum terlalu jauh merantau dan tidak mengenal daerah selatan, ia tak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepala setelah lama berpikir.

"Eh, kiraku kau akan menyebut nama tempat itu, alisnya berkerut-kerut dan matamu berkedap-kedip, tak tahunya jawabanmu hanya menggeleng kepala!" Sin Hong menggoda dan Li Hwa tertawa manis.

"Ketahuilah, di antara dua pegunungan di sebelah barat Propinsi Secuan itu terdapat Gunung Omeisan. Dia tadi bilang dalam nyanyiannya bahwa baran g simpanan dicuri orang. Tentu ada sesuatu yang hilang sehingga kakek itu sampai keluar dari tempat pertapaan dan berada di sini. Kalau tidak amat penting, tak mungkin seorang sakti yang sudah menjauhkan segala keduniawian mau pergi sebegitu jauhnya."

"Selanjutnya dia bilang Lamthian Hengte buta dan tuli, dua cacing tua menunggu mati. Tak ingin mati seperti macan, lebih baik tak diketahui kawan dan lawan. Apa artinya itu?" tanya Li Hwa.

"Aha, kiranya ingatanmu pun kuat sekali Li Hwa. Kau sudah hafal nyanyian itu di luar kepala!" teriak Sin Hong dengan muka berseri.

"Habis, apa kaukira aku sebodoh kerbau? Sin Hong, jangan kau menggoda orang saja, aku menjadi gemas melihamu!" kata Li Hwa cemberut, marah dibuat -buat. Sin Hong tersenyum lebar. "Dan aku jadi senang melihatmu marah-marah dan gemas. Kau makin manis kalau cemberut, Li Hwa."

Wajah Li Hwa menjadi merah sekali sehingga cap tangan di pipinya tidak kelihatan. Untuk ke dua kalinya dalam hari ini ia merasa hatinya berdetak tidak karuan karena girangnya mendengar Sin Hong yang selama ini "alim" sekali, berturut-turut menyebutnya "cantik menarik" dan sekarang "manis"!

"Betulkah itu, Sin Hong?" tanyanya pula lirih, pertanyaan yang sama ketika ia disebut cantik menarik.

“Apanya yang betul, Li Hwa?" Sin Hong balas bertanya. Sebetulnya pemuda ini sudah dapat menduga betapa girangpya gadis ini karena pujian-pujiannya, akan tetapi ia sengaja berpura-pura bodoh untuk menggoda.

"Betulkah bahwa aku... bahwa kau anggap aku... manis?" Li Hwa kini menundukkan mukanya, suaranya perlahan sikapnya malu-malu.

Sin Hong berdebar penuh bahagia hatinya, juga ia merasa heran. Biasanya Li Hwa bersikap terus terang dan dalam menyatakan cinta kasihnya tidak malu-malu? Mengapa setelah ia mulai menyatakan bahwa ia pun membalas cinta kasih itu, Li Hwa nampak malu-malu dan tidak berani memandangn ya? Aneh sekali kaum wanita, pikir Sin Hong.

"Li Hwa, terus terang saja. Baru sekarang hatiku terbuka, baru sekarang mataku terbuka. Kaulah wanita yang paling cantik dan manis di dunia ini!"

Li Hwa meramkan mata menahan air mata yang hendak mengucur keluar, kedua kakinya lemas sehingga ia menjatuhkan diri berlutut. Cepat-cepat ia menutupi mukanya dengan kedua tangan agar Sin Hong tidak melihat ia mengucurkan air mata!

"Eh, kau kenapakah?" Sin Hong bertanya sambil menyentuh pundaknya.

Li Hwa menggoyang kepala dan pundak, diam-diam menghapus air matanya, lalu berdiri dan tersenyum lebar. Matanya masih basah akan tetapi tidak ada air mata yang keluar lagi. "Tidak apa-apa, hayo jelaskan keteranganmu tentang nyanyian tadi!" katanya, sikapnya biasa seperti sediakala.

Kembali Sin Hong terheran-heran. Memang Li Hwa seorang wanita luar biasa, pikirnya. Akan tetapi ia tidak mau menggoda terus dan melanjutkan penjelasannya untuk menerangkan arti nyanyian kakek tadi.

"Dia bilang Lamthian Hengte buta dan tuli. Lamthian Hengte berarti kakak beradik dari dunia selatan, siapa lagi kalau bukan dua oran g kakek sakti di Omeisan? Dengan pengakuan buta tuli, dimaksudkan bahwa dua orang kakek itu seperti dua ekor cacing tua menunggu mati. Ucapan ini untuk menyatakan kerendahan hati mereka yang menyamakan diri sendiri seperti cacing. Memang orang-orang sakti selalu menuruti jalan merendah, makin tinggi kepandaiannya makin ia merendahkan diri. Ada peribahasa yang menyatakan bahwa macan mati meninggalkan kulitnya dan manusia mati meninggalkan nama baiknya. Akan tetapi dua orang kakek Omeisan tidak mau mencari nama atau meninggalkan nama tersohor, malah merasa lebih baik tidak berhubungan dengan orang luar sehingga tidak punya kawan juga tidak punya lawan!"

"Ah, jelaslah sekarang kuberi keterangan Sin Hong. Benar-benar dia telah merendahkan diri secara berlebihan!", kata Li Hwa, memandang kepada Sin Hong dengan kagum. Biarpun mulutnya berkata demikian, seakan-akan memuji dan kagum kepada kakek sakti itu namun matanya jelas menyatakan bahwa sebenarnya Sin Hong-lah orangnya yang ia kagumi!

"Kemudian ia bilang bahwa thian telah menurunkan seorang calon Naga yang berarti seorang calon pendekar besar. Tak salah lagi tentu yang ia maksudkan Si Tiang Bu! Memang anak itu luar biasa sekali. Kau melihat sendiri betapa sekecil itu ia telah menguasai dua macam ilmu silat yang amat luar biasa, yang selama hidupku baru sekali itu kulihat. Kemudian setelah melihat Tiang Bu, agaknya hatinya tergerak dan pendiriannya untuk mati dan meninggalkan nama berubah. Ia berniat akan meninggalkan sedikit warisan, tentu sebagai seorang sakti warisannya adalah ilmu kesaktian yang akan ditinggalkan kepada Tiang Bu."

"Jadi dia mengambil Tiang Bu sebagai muridnya?" kata Li Hwa sambil mengangguk-angguk. "Pantas saja kau bilang bahwa Tiang Bu beruntung sekali."

Sin Hong mengerutkan keningnya. "Betapapun juga, kalau teringat riwayat ayahnya, kadang-kadang aku menjadi ragu-ragu. Kalau betul dugaanku tadi bahwa Tiang Bu akan menjadi murid orang pandai sehingga dia sendiri kelak memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari ayahnya sendiri, kemudian kalau dia... dia menuruni watak ayahnya, bukanlah itu hebat sekali?"

Li Hwa maklum akan kegelisahan hati Sin Hong karena ia pun tahu betapa jahat ayah anak itu, yakni Liok Kong Ji manusia iblis yang tiada taranya dalam hal kejahatan. Keduanya, termenung dan perlahan Li Hwa berkata,

"Mudah-mudahan tidak begitu jahat..." Kemudian dua orang muda itu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Gunung Omeisan adalah sebuah gunung yang tinggi dan indah dipandang dari jauh namun sukar didaki orang. Banyak jurang-jurang yang amat curam, lereng yang terjal penuh gunung- gunungan batu karang yang tinggi meruncing seperti menara-menara alam yang penuh rahasia. Karena keadaan di Gunung Omeisan ini amat sukar dan berbahaya sekali, maka hampir tidak ada orang pernah mendaki. Kalau ada juga, maka hanya sampai di lereng.

Mereka ini adalah pemburu-pemburu ahli -ahli silat atau penduduk-penduduk di daerah itu yang datang untuk berburu, mencari daun-daun obat, mencari kayu- kayu berharga dan lain-lain. Akan tetapi tak ada yang berani mencoba naik melalui lereng batu-batu karang yang amat terjal itu. Bukan saja tidak berani karena berbahaya, terutama sekali karena mereka tahu bahwa di puncak karang itu tinggal dua orang kakek sakti yang mereka anggap sebagai dewa dan tak berani mereka mengganggu dua orang kakek itu.

Pada suatu pagi yang amat dingin, dari atas puncak gunung Omeisan itu nampak dua titik hitam-hitam bergerak-gerak ke sana kemari, cepat dan gesit. Dilihat dari jauh, orang akan rnengira bahwa itu adalah dua ekor burung besar dan kecil. Akan tetapi setelah dua titik itu makin turun, akan nampaklah bahwa mereka itu adalah seorang kakek gundul jangkun g kurus dan seorang pemuda tanggung yang berlompatan ke sana kemari di atas ujung batu-batu yang runcing!

Pemuda tanggung itu adalah Tiang Bu! Dan kakek itu adalah kakek gundul jangkung yan g dulu membawanya pergi dari depan Sin Hong dan Li Hwa. Siapakah gerangan kakek lihai ini? Tepat seperti dugaan Sin Hong dahulu, kakek ini adalah seorang di antara dua kakek sakti dari Omei-san. Dia adalah Tiong Jin Hwesio, dan yang seorang lagi adalah seorang kakek yang sudah lebih tua dari Tiong Jin hwesio yang berusia tujuh puluh tahun, yaitu suhengnya yang bernama Tiong Sin Hwesio berusia delapan puluh tahun dan rambutnya panjang sudah putih semua.

Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio adalah dua orang pertapa yang sudah puluhan tahun menyembunyikan diri tidak mau berurusan dengan dunia luar.Kepandaian mereka luar biasa tingginya. Hal ini tidak mengherankan kalau diingat bahwa Tiong Sin Hwesio adalah pewaris dari ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Tat Mo Couwsu sedangkan Tiong Jin Hwesio mewarisi ilmu-ilmu dari Hoan Hian Couwsu!

Dua orang kakek tua ini hidup sebagai pertapa di puncak Omeisan di mana mereka bangun sebuah pondok berbentuk kelenteng yang cukup besar dan indah. Tiong Jin Hwesio mempunyai kepandaian mengukir, maka semua tiang-iang dan payon-payon pondo k itu diukirnya, sehingga merupakan bangunan yan g akan mengagumkan hati orang-orang kota.

Kesenangan dua orang pertapa ini hanya bersamadhi dan melatih ilmu-ilmu yang mereka pelajari. Memang aneh sekali kalau dipikir. Hidup sebagai pertapa dan bermaksud tinggal di situ sampai mati, akan tetapi keduanya amat tekun memperdalam ilmu kepandaian mereka. Di samping ini, mereka paling suka main catur sehingga dahulu Bu Hok Lokai sampai dibawa ke situ hanya untuk diajak bermain catur!

Bukan hanya Bu Hok Lokai, sudah banyak orang-orang yang terkenal ahli main catur, biarpun tinggalnya dikota raja atau jauh sekali dari situ, tetap akan diculik dan mereka bawa ke puncak Omeisan untuk diajak main catur!

Karena kesenangan bermain catur inilah yang memungkinkan Thai Gu Cinjin yang amat licin dan banyak tipu muslihat itu untuk mencuri sebuah kitab dari kedua kakek itu. Dengan mengajak dua orang ahli catur dari Tibet, Thai Gu Cinjin mendaki Gunung Omeisan. Tentu saja diterima dengan girang sekali oleh dua orang kakek itu karena ia membawa dua orang ahli catur itu. Kalau saja ia tidak membawa dua orang ahli catur itu, sudah tentu dia tidak diperbolehkan naik ke puncak.

. Segera Tiong Hwesio dan Tiong Jin Hwesio tenggelam dalam permainan catur menghadapi dua orang ahli dari Tibet yang dibawa oleh Thai Gu Cinjin itu. Dan bukan main permainan ini. Sampai tiga hari tiga malam! Waktu itulah yang memungkinkan Thai Gu Cinjin menyelinap ke dalam pondok dan akhirnya ia berhasil mencuri sebuah kitab yang berisi pelajaran Ilmu Silat Pat-hong hong-i.

Sampai lama sekali setelah Thai Gu Cinjin dan dua orang ahli catur itu pergi turun dan Omeisan baru dua orang kakek ini tahu akan kehilangan sebuah kitab pusaka. Tiong Jin Hwesio menjadi marah dan turun gunung untuk mencari. Karena turunnya ini yang menyebabkah beberapa orang lihai di dunia kahgouw tahu bahwa kitab Omeisan dicuri Thai Gu Cinjin sehingga di mana-mana pendeta Lama jubah merah ini dihadang orang untuk dirampas kitabnya.

Dan akhirnya, seperti telah diceritakan semula, kitab itu terjatuh ke tangan Tiang Bu secara kebetulan sekali dan karena bocah ini mempelajari Pat hong hong i, maka Tiong Jin Hwesio dapat mengenal ilmu silat itu dan membawa bocah ini ke Omeisan. Juga Tiong Sin Hweslo suka sekali rnelihat Tiang Bu, yang memiliki bakat luar biasa, maka ia pun setuju dengan niat sutenya untuk me ngangkat Tiang Bu menjadi ahli waris Omeisan!

Memang pada dasarnya Tiang Bu berbakat dan suka sekali akan ilmu silat. Tak dapat disangkal bah wa hatinya amat rindu akan pulang, rindu kepada ayah bundan ya, terutama sekali rindu kepada Lee Goat. Akan tetapi, kesukaannya belajar silat mengatasi kerinduannya sehingga rindunya terobati ketika ia mulai belajar ilmu sitat di puncak Omeisan

la tekun sekali dan ditambah kecerdikannya, dua orang kakek sakti di Omeisan menjadi makin sayang kepadanya. Akan tetapi dua orang sakti itu tidak memperlihatkan kasih sayang mereka, bahkan mereka bersikap keras dan tidak saja Tiang Bu harus berlatih berat sekali, juga anak ini harus bekerja keras. Setiap hari Tiang Bu harus membersihkan pondok, mencari kayu, menimba air, mencuci daun-daun, dan lain-lain.

Namun bocah yang tahu diri ini melakukan semua pekerjaannya tanpa mengeluh. Ia menerima semua pekerjaan berat itu sebagai biaya pelajarannya. Ia tidak tahu bahwa pekerjaan-pekerjaan itu sebetulnya termasuk "latihan" pula, latihan untuk menguatkan tubuhnya sehingga tubuh dan pikirannya menjadi biasa akan penderitaan lahir. Seorang gagah harus kuat menahan penderitaan lahir.

Baru saja lima tahun Tiang Bu belajar ilmu di Omeisan, ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali. Pada pagi hari itu, ia dilatih oleh Tiong Jin Hwesio dalam ilmu yang disebut Liap tinsut (Ilmu Mengejar Awan)! Itulah semacam ilmu lari cepat atau ilmu melompat yang berdasarkan ginkang yang sempurna.

Akan tetapi pemuda tanggung ini sudah pandai sekali melompati jurang yang sepuluh tombak lebarnya, berlompatan dari ujung batu karang ke ujung lain yang amat runcing sehingga menuruni lereng yang terjal serta melalui daerah jurang yang curam itu baginya bukan apa-apa lagi

Tiong Jin Hwesio yang melatih gin kang padanya, membawanya ke tempat berbahaya di daerah gunun g itu. Makin lama kakek ini membawa Tiang Bu ke tempat yang makin sukar sehingga beberapa bulan kemudian tidak ada sebuah pun tempat yang tak dapat didatangi Tiang Bu. Tentu saja kakek ini merasa puas sekali. Juga dalam ilmu-ilmu yang lain Tiang Bu memperlihatkan kemajuannya. Biarpun dua orang suhunya menghujaninya dengan pelajaran-pelajaran berat, namun ia dapat mengatur waktunya dan dapat menerima semua itu dengan baik.

"Pinceng dan Jisuhumu (Gurumu yang ke Dua) tak pernah mempergunakan senjata. Thian sudah mengaruniai kita dengan tangan kaki, pan ca indera dan akal budi. Mengapa pula kita harus mengandalkan bantuan senjata seperti pedang atau golok? Tidak, biarpun hanya dengan tangan dan kaki, asal dilatih baik tidak akan kalah menghadapi senjata yang bagaimanapun juga," kata Tiong Sin Hwesio kepada muridnya.

Memang keistimewaan inilah yang membuat Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio terkenal sebagai orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Mereka tak pernah mempergunakan senjata, akan tetapi selama ini, tak seorang pun yan g berani mencoba-coba dapat mengalahkan mereka. Banyak sudah ahli-ahli pedang, ahli-ahli tombak dan ahli-ahli senjata lainnya sengaja datang untuk mencoba-coba karena mereka ini sebagai ahli senjata tentu saja tidak suka dicela. Akan tetapi mereka semua roboh dengan mudah saja oleh Tiong Sin Hwesip dan Tiong Jin Hwesio.

"Thian melengkapi kita dengan akal budi. Untuk apakah ke mana-mana rnembawa senjata tajam seperti jagal? Kalau memang perlu, setiap benda di depan kita, baik benda itu berupa setangkai kembang, sebatang ranting, atau sehe lai daun, dapat kita pergunakan untuk membela diri. Bukan senjata yang istimewa, melainkan orangnya yang berada dibelakang senjata. Golok pusaka, pedang mustika, segala yang runcing-runcing dari yang tajam-tajam takkan ada artinya apabila orang yang memegangnya tolol.

Sebaliknya, sehelai daun akan lebih berguna daripada sebatang pedang apabila orang yang mempergunakannya mengerti bagaimana harus mempergunakannya," demikian Tiong Sin Hwesio melanjutkan nasihatnya kepada Tiang Bu yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan mencatatnya baik-baik di hati dan ingatannya.

Dilihat dari semua nasihat ini, sama sekali tidak mengherankan apabila Tiang Bu tak pernah mendapat pelajaran bersilat dengan senjata apa pun juga. I a hanya menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong, ini pun tidak begitu dipentingkan oleh dua orang kakek itu. Yang lebih dipentingkan adalah penggemblengan dalam memperkuat hawa sinkang di dalam tubuh, mengumpulkan tenaga-tenaga tersembunyi sehingga dapat dipergunakan dengan baik-baik.

Dapat dimengerti apabila tanpa disadarinya, Tiang Bu telah memiliki tenaga lweekang yang hebat dan memiliki ilmu khikang dan ginkang yang istimewa. Dengan sinkang orang dapat memiliki tubuh yang kuat dan kebal, dengan lweekang orang dapat mengatur tenaga sehingga tenaga seratus kati menjadi seribu kati, dengan khikang orang dapat mengatur pernapasan sehingga tidak saja isi dadanya bersih, juga terutama sekali napasnya panjang dan kuat.

Dengan ginkang orang dapat mengatur gerakan yang lincah, ringan dan cepat. Kalau semua ini sudah terpenuhi, berarti orang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi! Dengan dasar-dasar ini, orang sudah menjadi kuat dan sukar dikalahkan.

Beberapa bulan kemudian pada suatu hari Tiang Bu duduk mengaso di bawah sebatang pohon. Ia tidak lelah, karena tubuhnya sudah kuat sekali, dan mengerjakan pekerjaan mengangkut air dari lereng ke puncak sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Yang membuat ia ingin beristirahat di bawah pohon adalah panas terik matahari yang membakar kulit. Musim panas sedang hebat-hebatnya, sehingga di lereng Omeisan yang biasanya dingin itu pun tidak luput dari serangan hawa panas matahari.

Hawa panas, bayangan pohon, ditambah silirnya angin gunung membuat Tiang Bu duduk melenggut bersandarkan tongkat pikulannya. Tempat ia berhenti mengaso itu adalah di lereng selatan di mana terdapat sebuah kelenteng kuno yang sudah mulai rusak karena tidak dipakai lagi. Di depan kelenteng itu terdapat pagar terbuat daripada kayu besi yang berukir indah. Di luar pagar inilah Tiang Bu duduk mengaso, melenggut dan mengantuk karena malam tadi ia terlalu malam berlatih teori ilmu silat sampai lupa waktu.

Tiba-tiba ia mendengar suara senjata beradu nyaring sekali, seakan-akan berada di dekat telinganya. Tiang Bu membuka matanya dan dengan terheran-heran ia melihat dua orang gadis cilik sedang bertempur. Keduanya mempergunakan sebatang pedang dan gerakan mereka lincah dan indah.

"Cringg.....!" pedang berkali-kali bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata.

Kantuk yang tadi menguasai mata Tiang Bu seketika lenyap, terganti oleh perhatian dan keheranan. Ia melihat gadis cilik itu kedua-duanya sama pandai dan usia mereka pun sebaya, paling banyak sepuluh tahunan. Akan tetapi keduanya telah memiiiki kepandaian ilmu pedang yang hebat. Ketika Tiang Bu memandang penuh perhatian kepada seorang di antara dua anak perempuan itu, hatinya berdebar aneh. Ia seperti sudah kenal baik bocah itu, kenal baik sekali. Hidung yang kecil meruncing, bibir itu, mata itu...!

"Lee Goat...!" tak terasa lagi Tiang Bu menyebut nama ini dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah melompat seperti melayang ke tempat pertempuran dan di lain saat ia telah menyodorkan tongkat pikulan yang sejak tadi dipegangnya itu di tengah-tengah antara dua orang gadis cilik yang masih bertempur.

"Tranggg...! Tranggg...!"

Dua buah pedang terpental dan terlepas dan pegangan. Padahal Tiang Bu tidak melakukan pukulan, bahkan dua pedang yangtadi menghantam tongkat pikulannya, namun karena tenaga sinkang yang luar biasa dari Tiang Bu, dua batang pedang itu telah terpental . Dua orang gadis cilik itu memandang dengan kaget, cepat memungut pedang masing-masing kemudian mereka menghadapi Tiang Bu dari dua jurusan yang berlawanan. Akan tetapi, Tiang Bu hanya memperhatikan gadis cilik adiknya yang ditinggal ketika baru berusia dua tiga tahun itu. Telah delapan tahun lebih ia meninggalkan rumah berpisah dari adiknya.

"Kau... bukankah kau... Lee Goat...?" tanya Tiang Bu, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar, penuh harapan.

Gadis cilik itu memandang kepadanya dengan mata jernih dan kosong. Sama sekali tidak mengenal, lalu mengerutkan kening dan berkata. "Bukan. Aku tidak bernama Lee Goat"

"Betulkah? Kau... kau serupa betul dengan dia..." kata pula Tiang Bu, dadanya penuh kekecewaan.

"Hemm, kau ini siapakah berani menggangguku?" tanya gadis cilik itu tiba-tiba dengan marah.

Tiang Bu mendengar sambarah angin ketika punggungnya hendak ditusuk oleh dara cilik yang berada. di belakangnya. Dengan gerakan enak saja Tiang Bu miringkan tubuhnya, perasaan dan pendengarannya sudah sedemikian tajamnya sehingga punggungnya seperti bermata maka kelitan ini membuat pedang gadis cilik itu menusuk angin. Dan sebelum ia dapat menyerang lagi, Tiang Bu menggunakan jari tangannya menyentil tengah-tengah pedang sambil berseru.

"Bocah cilik jangan main-main dengan pedang!"

Sentilan jari tangannya dengan tepat mengenai pedang dan gadis itu berseru kaget, pedangnya seperti direnggut oleh tenaga yang kuat dan tahu-tahu telah terlepas dari pegangannya, meluncur kebawah dan menancap di atas tanah!

"Bi Li, jangan berkelahi...!" terdengar seruan orang dan seorang pemuda tanggun g yang sebaya dengan Tiang Bu tampan dan gagah dengan pakaian indah, datang berlari-lari ke tempat itu. Jauh di belakang pemuda ini nampak pula beberapa orang tua datang dari jurusan yang berlainan.

Melihat ini Tiang Bu yang merasa kecewa karena gadis cilik yang disangka Lee Goat itu ternyata bukan adiknya, segera menyeret pikulannya dan pergi dari tempat itu. Ia tidak melihat betapa gadis cilik yang disangka adiknya tadi memandang kepadanya dengan mata penuh pertanyaan dan keheranan. Sementara itu, bocah perempuan yang seorang lagi memandang kepadanya dengan pandan g mata kagum dan tertarik sekali.

Setelah melihat munculnya ban yak orang, keheranannya bertambah dan hati Tiang Bu menjadi tidak enak, Tidak biasanya di lereng ini terdapat begitu banyak orang. Ia tidak kembali ke puncak, melainkan bersembunyi di dalam rumpun tebal sambil mengintai keluar. Dilihatnya dua orang gadis cilik yang tadi bertempur itu sudah saling menjauhi, gadis yang menyerangnya bersama pemuda tanggun g tadi menengok ke arah seorang wanita yang datang seperti terbang cepatnya ke arah mereka. Adapun gadis yang wajahnya seperti Lee Goat juga menanti datangnya seorang laki-laki. Melihat orang laki-laki ini, Tiang Bu berdebar jantungnya. Laki-laki ini bukan laln adalah Wan Sin Hong!

Bagaimana Sin Hong bisa sampai disitu dan siapakah mereka semua itu? Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti pengalaman Wan Sin Hong dan Li Hwa. Seperti telah dituturkan, Sin Hong dan Li Hwa melanjutkan perjalanan mereka.

"Sin Hong, sekarang kita ke mana?" tanya Li Hwa sambil mengerling ke wajah Sin Hong di sebelah kanannya.

"Aku akan pergi ke Kim-bun-to. Harus kuberitakan tentang keadaan Tiang Bu kepada Hui Lian dan Hong Kin. Selain itu, aku sudah terlalu lama meninggalkan Luliangsan. Aku harus menengok tempat itu kalau-kalau ada orang mencari aku."

Demikianlah, Sin Hong dan Li Hwa lalu menuju ke Luliangsan, tempat di mana Sin Hong tinggal selama ia menjadi bengcu. Ketika tiba di lereng Luliangsan, mereka melihat bahwa puncak Luliangsan telah kedatangan banyak tamu dari dunia kangouw. Mereka itu adalah tokoh-tokoh besar atau wakil-wakil partai besar yang dahulu telah rnemilih Sin Hong rnenjadi bengcu.

Bu Kek Siansu, ketua Butongpai yang nampak paling tua di antara para tokoh itu, maju menyambut kedatangan Sin Hong sambil mernbungkuk. Sin Hong buru-buru memberi hormat dan berkata

“Ah, kiranya Bu Kek Siansu Locianpwe dan para Locianpwe yang terhormat. Sungguh menyesal sekali baru sekarang siauwte datang, membikin Cuwi sekalian terlalu lama menanti."

"Kami baru sepekan menanti disini. Pinto sekarang mewakili kami semua karena Tai Wi Siansu sudah meninggal dunia setahun yang lalu," kata Bu kek Siansu.

Sin Hong mengerutkan alisnya. “Sayang sekali belum sempat aku bertemu dengan Tai Wi Siansu Locianpwe di Kun lun san. Semoga arwahnya mendapat tempat yang mulia."

Melihat sikap mereka yang dingin, Sln Hong diam-diam dapat menduga bahwa kedatangan mereka ini tentulah untuk urusan kedudukan bengcu. Tentu semua orang ini sudah mendengar bahwa dia adalah keturunan bangsa Kin dan karenanya mereka tidak sudi mempunyai bengcu keluarga Kaisar bangsa yang dianggap musuh! Akan tetapi ia berlaku tenang, lalu bertanya

"Tidak tahu urusan penting apakah yang membawa Cuwi sekalian rnendaki Luliangsan? Apa kiranya yang dapat kulakukan untuk Cuwi sekalian?"

"Wan-sicu, pinto mewakili semua saudara di sini untuk memberi penjelasan dan pinto akan bicara singkat saja," kata Bu Kek Siansu.

Mendengar kakek ini menyebutnya Wan-sicu dan bukan Wan-bengcu, Sin Hong tersenyum dingin. Tahulah ia karena sudah jelas sekali bahwa orang tidak memandangnya sebagai bengcu lagi. "Bicaralah, Bu Kek Siansu," katanya singkat.

"Sebelum kamu datang ke sini, lebih dulu setahun yang lalu Tai Wi Siansu telah memimpin pertemuan. Dalam pertemuan itu dibicarakan tentang kedudukan Wan-sicu. Oleh karena sudah jelas bahwa Wansicu keturunan Wan-Kan atau pangeran Wanyen Kan, maka terpaksa kami semua tidak dapat menerima kau menjadl bengcu kami. Akan tetapi, mengingat kau telah lama membantu kami, kami menghentikanmu dengan hormat, bahkan kami mengajak Wansicu untuk bersama kami membujuk calon bengcu yang hendak kami angkat."

Sin Hong tersenyum lebar. Dadanya terasa lega, Kedudukan bengcu selama ini merepotkannya, membuat hidupnya terikat. "Bagus! Aku harus berterima kasih kepada Cuwi yang membebaskan aku dari tugas bengcu yang maha berat. Tentu saja aku bersedia membantu membujuknya. Siapakah calon bengcu itu gerangan?"

"Dia adalah seorang dari kakek sakti di Omeisan," kata Bu Kek Siansu.

Kening Sin Hong berkerut. Ia teringat akan sikap orang-orang gagah di dunia sebelah selatan yang amat kasar ketika mengunjunginya di Luliangsan beberapa tahun yang lalu. "Hemm, mengapa Cuwi memilih orang selatan?" tegurnya. "Kalau mereka yang dipilih, terserah. Akan tetapi aku tidak berani memastikan apakah aku akan ikut membujuk mereka yang sama sekali tidak kukenal. Betapapun juga, terima kasih atas pembebasan tugas bengcu.

"Sebagai tanda bahwa aku sama sekali tidak kecil hati dibebaskan dari tugas bengcu, dan untuk menyatakan terima kasih, sekarang aku hendak mengumumkan secara terus terang bahwa biarpun aku memang benar keturunan bangsawan Wanyen, namun aku tidak dapat membela Kerajaan Kin! Untuk menyatakan bahwa di dalam tubuhku masih mengalir darah Han, aku hanya akan membela rakyat apabila terjadi perang yang datangnya dari utara."

Mendengar kata-kata ini, sebagian besar orang gagah yang memang menaruh rasa hormat dan suka kepada Sin Hong bertepuk tangan gembira dan memuji Sin Hong sebagai orang gagah yan g patut dlkagumi. "Cuwi sekalian!" kata pula Sin Hong dengan suara keras sehingga suara gaduh itu berhenti karena semua orang rnemperhatikannya. "Aku hendak mohon pertolongan Cuwi sekalian, terutama para Locianpwe yang terhormat. Oleh karena sekarang diriku tidak terikat lagi oleh tugas berat dan telah bebas, maka aku bermaksud melangsungkan ikatan jodoh dengan Hui eng N iocu Siok Li Hwa di tempat ini. Untuk keperluan itu, aku sangat mengharapkan bantuan para Locianpwe untuk menyelenggarakannya, sebagai wali-wali atau pengganti orang-orang tua, oleh karena baik aku maupun calon isteriku adalah orang-orang yatim piatu, bahkan guru-guru pun telah meninggal dunia. Tidak tahu apakah para Lociaripwe sudi menolong kami?” Kata-kata terakhir itu diucapkan oleh Sin Hong dengan suara terharu.

Ketika Sin Hong bicara, semua orang mendengarkan dengan tak bersuara, akan tetapi begitu ia habis bicara, terdengar sorak-sorai gemuruh tanda bahwa orang-orang itu menyambut berita ini dengan gembira sekali. Para locianpwe juga maju untuk memberi selamat dan menyatakan bersedia untuk membantu dua orang muda itu mengesahkan perjodohan mereka.

Para tokoh dunia kangouw berikut para anggauta yang ikut di puncak Luliangsan itu, jumlahnya ada lima pul uh orang lebih. Mereka ini la!u sibuk mengatur ini itu, menghias gua tempat tinggal Sin Hong sebaik-baiknya, membangun pondok atau ruangan darurat untuk tempat berpesta. Ada pula yang turun gunung cepat-cepat untuk mencari bahan-bahan guna berpesta berikut tukang-tukang masaknya, arak, daging dan lain-lain.

Dalam waktu tiga hari saja semua sudah siap dan pada pagi hari ke empatnya dilangsungkanlah pernikahan antara Sin Hong dan Li Hwa secara sederhana namun cukup meriah! Hanya sayangnya bagi Li Hwa, di antara para tamu tidak ada seorang pun tamu wanita!

Setelah kedua pengantin diberi restu oleh para locianpwe, lalu diarak menuju makam Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu di puncak untuk bersembahyang di depan kedua makam ini. Kemudian kedua mempelai dengan diantar oleh para locianpwe turun ke lereng gunung untuk bersembahyang di depan makam Luliang Samlojin.

Setelah upacara ini selesai, berpestalah mereka di ruangan darurat di depan gua itu. Menjelang senja semua tamu minta diri dan rneninggalkan puncak Luliangsan, Sin Hong dan isterinya mengantar mereka sampai di tikungan sambil tiada hentinya menghaturkan terima kasih mereka.

Kemudian sambil bergandengan tangan kedua mempelai ini dengan hati penuh kebahagiaan kembali ke puncak untuk beristirahat di dalam gua tempat tinggal Sin Hong yang sudah dihias seada-adanya oleh para tamu tadi. Ketika melangsungkan perjodohannya Sin Hong berusia tiga puluh tahun dan Li Hwa berusia lebih muda dua tahun. Sukar untuk melukiskan kegembiraan kedua mempelai ini, hanya mereka berdua yang mengalamilah yang dapat merasakan!

Beberapa bulan kemudian Sin Hong mengajak isterinya pergi ke Pulau Kin bun to untuk memberi kabar kepada Hui Lian dan Hong Kin tentang Tiang Bu. Hong Kin dan Hui Lian menyambut kedatangan Sin Hong dengan gembira apalagi setelah diberi tahu bahwa Sin Hong telah menikah dengan Hui eng N iocu Siok Li Hwa yang gagah perkasa. Mereka segera mengucapkan selamat dan Hui Lian menegur.

"Wan-susiok (Paman Guru Wan) mengapa tidak memberi kabar lebih dulu kepada kami? Kalau diberi tahu, biarpun jauh kami pasti akan datang untuk menghadiri pesta pernikahan itu!" Hui Lian menyebut Sin Hong paman guru karena memang Sin Hong masih terhitung paman gurunya sendiri. Ayahnya dahulu adalah murid Pak Kek Siansu, demikian pula Sin Hong.

Sin Hong tersenyum. "Perjodohan kami dilangsungkan secara serentak dan mendadak, mana ada kesempatan memberi kabar!" Ia lalu menuturkan secara singkat tentang kedatangan orang-orang kan gouw di puncak Luliangsan untuk membebaskannya dari tugas bengcu dan betapa dalam kesempatan itu ia lalu minta bantuan mereka untuk merayakan kelangsungan perjodohannya. Kemudian Sin Hong bercerita tentang Tiang Bu.

"Anak itu memang aneh sekali nasibnya." katanya mengakhiri ceritanya. "Selalu berpindah ke dalam tangan orang-orang pandai, bahkan sekarang kurasa ia telah menjadi murid kakek sakti di Omeisan. Biarlah lain kali kita menengok ke sana."

Hui Lian dan Hong Kin agak kecewa karena Tiang Bu tidak turut pulang akan tetapi mereka lega mendengar bahwa anak itu selamat, bahkan menjadi muid orang pandai.

"Tadinya kami bermaksud untuk menyerahkan Tiang Bu kepada Susiok agar dididik dalam ilmu silat, akan tetapi sekarang dia telah menjadi murid Ji Omeisan biarlah kami menyerahkan anak kami saja agar diterima sebagai mund oleh Susiok berdua." kata Hui Lian yang segera memanggil anak perempuannya yang berada di dalam.

Tak lama kemudian muncullah seorang bocah perempuan berusia lima enam tahun, cantik manis, dan mungil sekali. Bocah ini memandang kepada Sin Hong dan Li Hwa dengan mata bening dan penuh pertanyaan karena ia tidak mengenal mereka.

"Lee Goat, beri hormat kepada Suhu dan Subomu ini!" kata Hui Lian kepadanya sambil menuding ke arah Sin Hong dan Li Hwa.

Untuk sesaat bocah itu memandang kepada Sin Hong dan Li Hwa penuh perhatian terutama sekali ke arah pedang yang tergantung di pinggan g Sin Hong dan menempel di punggung Li Hwa. Kemudian ia maju dan berlutut sambil berkata hormat.

"Suhu...! Subo...!"

Sin Hong dan Li Hwa saling pandang sambil tersenyum. Sekali bertemu pandang saja suami isteri ini maklum bahwa masing-masing amat tertarik dan suka kepada bocah itu. Sin Hong tertawa dan mengangkat bangun bocah itu sambil berkata...

Tangan Gledek Jilid 14

Tangan Gledek Jilid 14

Sementara itu, daun-daun masih rontok seperti hujan dan anehnya, daun -daun ini melayang cepat dan kalau mengenai tubuh terasa sakit-sakit seperti jarum-jarum disambitkan saja! Li Hwa dan Sin Hong menggunakan kedua tangan untuk mengebut ke kanan kiri sehingga daun-daun yang mendekati mereka pada runtuh ke bawah. Kemudian tidak hanya daun-daun yang beterbangan hingga sukar untuk melihat ke depan, bahkan pasir dan tanah debu berhamburan ke atas menyerang mata mereka.

"Keluar dari tempat ini!" Seru Sin Hong Sambil menarik lengan Li Hwa dan mengajaknya melompat jauh keluar dari bawah pohonpohon itu.

"Mana Tiang Bu...?" tanya Li Hwa.

"Entahlah. Biar aku mencarinya!" kata Sin Hong dan baru ia sadar betapa dalam bahaya ini, baginya yang terpenting lebih dahulu adalah menyelamatkan Li Hwa dari bahaya!

"Lihat itu..." jerit Li Hwa sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebuah pohon besar yang berdiri.

Sin Hong menengok dan melihat pemandangan yang aneh dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Di puncak pohon itu, di antara daun-daun dan ranting-ranting seperti seekor burung besar, duduk bersila seorang kakek gun dul botak yan g tubuhnya kurus dan jangkung sekali. Kakek itu tangan kirinya mengempit tubuh Tiang Bu yang entah kapan telah ditangkapnya, sedangkan tangan kanannyu melakukan gerakan mendorong, menarik, dan memutar-mutar ke arah pohon-pohon dan tanah di mana tadi mereka berdiri. Dan dari tangan kanannya itu seakan-akan keluar angin puyuh yang membuat daun-daun hijau rontok dan pasir serta debu di tanah membubung naik! Tenaga seperti ini selama hidupnya belum pernah disaksikan oleh Sin Hong, apalagi oleh Li Hwa.

Melihat dua orang muda itu melompat jauh, kakek gundul itu menghentikan gerakan-gerakan tangannya dan seketika angin puyuh berhenti. Kakek itu laki menibuka mulut sambil menengadah dan keluarlah suara nyanyian yang parau dan serak, sama sekali tidak sedap didengar telinga. Akan tetapi kata-kata dalam nyanyian itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sin Hong dan Li Hwa.

"Di antara Ciunglai dan Tailiang Barang simpanan dicuri orang, Lam-thian Heng-te buta dan tuli. Dua cacing tua menunggu mati Tak ingin mati seperti macan. Lebih baik tak diketahui kawan lawan. Akan tetapi, Thian Maha Kuasa. DiturunkanNya calon Naga! Cacing tua berubah pikiran. Berkenan tinggalkan sedikit warisan."

Kata-kata dalam nyanyian ini amat menarik hati Sin Hong. Akan tetapi selagi ia hendak mengajukan pertanyaan, tiba-tiba sinar terang berkelebat di puncak pohon tinggi itu dan di lain saat kakek gundul itu lenyap bersama Tiang Bu!

"Celaka! Kembali Tiang Bu diculik orang!" kata Li Hwa mendongkol.

"Beruntung sekali anak itu..." kata Sin Hong perlahan sambil menarik napas panjang, hatinya masih tegang menyaksikan kehebatan kakek tadi.

"Beruntung? Apa maksudmu, Sin Hong?" tanya Li Hwa.

"Li Hwa, apakah kau tidak memperhatikan nyanyian kakek tadi?"

"Aku mendengar, akan tetapi apa sih artinya nyanyian tidak karuan itu?"

"Apakali kau belum pernah mendengar tentang dua orang kakek sakti setengah dewa yang bertapa di Omeisan dan yang tidak mau mempedulikan urusan duniawi, akan tetapi ditakuti semua orang karena luar biasa lihainya?"

"Tentu saja aku pernah mendengar tentang dua orang kakek itu. Bukankah mereka itu berada di daerah selatan?"

Sin Hong mengangguk. "Tahukah kau, di antara Ciunglat dan Tailiangsan dua pegunungan yang disebut dalam nyanyiannya tadi terdapat apa?"

Li Hwa mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan rapi. Sepasang matanya yang jeli dipejam-pejamkan, akan tetapi karena ia belum terlalu jauh merantau dan tidak mengenal daerah selatan, ia tak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepala setelah lama berpikir.

"Eh, kiraku kau akan menyebut nama tempat itu, alisnya berkerut-kerut dan matamu berkedap-kedip, tak tahunya jawabanmu hanya menggeleng kepala!" Sin Hong menggoda dan Li Hwa tertawa manis.

"Ketahuilah, di antara dua pegunungan di sebelah barat Propinsi Secuan itu terdapat Gunung Omeisan. Dia tadi bilang dalam nyanyiannya bahwa baran g simpanan dicuri orang. Tentu ada sesuatu yang hilang sehingga kakek itu sampai keluar dari tempat pertapaan dan berada di sini. Kalau tidak amat penting, tak mungkin seorang sakti yang sudah menjauhkan segala keduniawian mau pergi sebegitu jauhnya."

"Selanjutnya dia bilang Lamthian Hengte buta dan tuli, dua cacing tua menunggu mati. Tak ingin mati seperti macan, lebih baik tak diketahui kawan dan lawan. Apa artinya itu?" tanya Li Hwa.

"Aha, kiranya ingatanmu pun kuat sekali Li Hwa. Kau sudah hafal nyanyian itu di luar kepala!" teriak Sin Hong dengan muka berseri.

"Habis, apa kaukira aku sebodoh kerbau? Sin Hong, jangan kau menggoda orang saja, aku menjadi gemas melihamu!" kata Li Hwa cemberut, marah dibuat -buat. Sin Hong tersenyum lebar. "Dan aku jadi senang melihatmu marah-marah dan gemas. Kau makin manis kalau cemberut, Li Hwa."

Wajah Li Hwa menjadi merah sekali sehingga cap tangan di pipinya tidak kelihatan. Untuk ke dua kalinya dalam hari ini ia merasa hatinya berdetak tidak karuan karena girangnya mendengar Sin Hong yang selama ini "alim" sekali, berturut-turut menyebutnya "cantik menarik" dan sekarang "manis"!

"Betulkah itu, Sin Hong?" tanyanya pula lirih, pertanyaan yang sama ketika ia disebut cantik menarik.

“Apanya yang betul, Li Hwa?" Sin Hong balas bertanya. Sebetulnya pemuda ini sudah dapat menduga betapa girangpya gadis ini karena pujian-pujiannya, akan tetapi ia sengaja berpura-pura bodoh untuk menggoda.

"Betulkah bahwa aku... bahwa kau anggap aku... manis?" Li Hwa kini menundukkan mukanya, suaranya perlahan sikapnya malu-malu.

Sin Hong berdebar penuh bahagia hatinya, juga ia merasa heran. Biasanya Li Hwa bersikap terus terang dan dalam menyatakan cinta kasihnya tidak malu-malu? Mengapa setelah ia mulai menyatakan bahwa ia pun membalas cinta kasih itu, Li Hwa nampak malu-malu dan tidak berani memandangn ya? Aneh sekali kaum wanita, pikir Sin Hong.

"Li Hwa, terus terang saja. Baru sekarang hatiku terbuka, baru sekarang mataku terbuka. Kaulah wanita yang paling cantik dan manis di dunia ini!"

Li Hwa meramkan mata menahan air mata yang hendak mengucur keluar, kedua kakinya lemas sehingga ia menjatuhkan diri berlutut. Cepat-cepat ia menutupi mukanya dengan kedua tangan agar Sin Hong tidak melihat ia mengucurkan air mata!

"Eh, kau kenapakah?" Sin Hong bertanya sambil menyentuh pundaknya.

Li Hwa menggoyang kepala dan pundak, diam-diam menghapus air matanya, lalu berdiri dan tersenyum lebar. Matanya masih basah akan tetapi tidak ada air mata yang keluar lagi. "Tidak apa-apa, hayo jelaskan keteranganmu tentang nyanyian tadi!" katanya, sikapnya biasa seperti sediakala.

Kembali Sin Hong terheran-heran. Memang Li Hwa seorang wanita luar biasa, pikirnya. Akan tetapi ia tidak mau menggoda terus dan melanjutkan penjelasannya untuk menerangkan arti nyanyian kakek tadi.

"Dia bilang Lamthian Hengte buta dan tuli. Lamthian Hengte berarti kakak beradik dari dunia selatan, siapa lagi kalau bukan dua oran g kakek sakti di Omeisan? Dengan pengakuan buta tuli, dimaksudkan bahwa dua orang kakek itu seperti dua ekor cacing tua menunggu mati. Ucapan ini untuk menyatakan kerendahan hati mereka yang menyamakan diri sendiri seperti cacing. Memang orang-orang sakti selalu menuruti jalan merendah, makin tinggi kepandaiannya makin ia merendahkan diri. Ada peribahasa yang menyatakan bahwa macan mati meninggalkan kulitnya dan manusia mati meninggalkan nama baiknya. Akan tetapi dua orang kakek Omeisan tidak mau mencari nama atau meninggalkan nama tersohor, malah merasa lebih baik tidak berhubungan dengan orang luar sehingga tidak punya kawan juga tidak punya lawan!"

"Ah, jelaslah sekarang kuberi keterangan Sin Hong. Benar-benar dia telah merendahkan diri secara berlebihan!", kata Li Hwa, memandang kepada Sin Hong dengan kagum. Biarpun mulutnya berkata demikian, seakan-akan memuji dan kagum kepada kakek sakti itu namun matanya jelas menyatakan bahwa sebenarnya Sin Hong-lah orangnya yang ia kagumi!

"Kemudian ia bilang bahwa thian telah menurunkan seorang calon Naga yang berarti seorang calon pendekar besar. Tak salah lagi tentu yang ia maksudkan Si Tiang Bu! Memang anak itu luar biasa sekali. Kau melihat sendiri betapa sekecil itu ia telah menguasai dua macam ilmu silat yang amat luar biasa, yang selama hidupku baru sekali itu kulihat. Kemudian setelah melihat Tiang Bu, agaknya hatinya tergerak dan pendiriannya untuk mati dan meninggalkan nama berubah. Ia berniat akan meninggalkan sedikit warisan, tentu sebagai seorang sakti warisannya adalah ilmu kesaktian yang akan ditinggalkan kepada Tiang Bu."

"Jadi dia mengambil Tiang Bu sebagai muridnya?" kata Li Hwa sambil mengangguk-angguk. "Pantas saja kau bilang bahwa Tiang Bu beruntung sekali."

Sin Hong mengerutkan keningnya. "Betapapun juga, kalau teringat riwayat ayahnya, kadang-kadang aku menjadi ragu-ragu. Kalau betul dugaanku tadi bahwa Tiang Bu akan menjadi murid orang pandai sehingga dia sendiri kelak memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari ayahnya sendiri, kemudian kalau dia... dia menuruni watak ayahnya, bukanlah itu hebat sekali?"

Li Hwa maklum akan kegelisahan hati Sin Hong karena ia pun tahu betapa jahat ayah anak itu, yakni Liok Kong Ji manusia iblis yang tiada taranya dalam hal kejahatan. Keduanya, termenung dan perlahan Li Hwa berkata,

"Mudah-mudahan tidak begitu jahat..." Kemudian dua orang muda itu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Gunung Omeisan adalah sebuah gunung yang tinggi dan indah dipandang dari jauh namun sukar didaki orang. Banyak jurang-jurang yang amat curam, lereng yang terjal penuh gunung- gunungan batu karang yang tinggi meruncing seperti menara-menara alam yang penuh rahasia. Karena keadaan di Gunung Omeisan ini amat sukar dan berbahaya sekali, maka hampir tidak ada orang pernah mendaki. Kalau ada juga, maka hanya sampai di lereng.

Mereka ini adalah pemburu-pemburu ahli -ahli silat atau penduduk-penduduk di daerah itu yang datang untuk berburu, mencari daun-daun obat, mencari kayu- kayu berharga dan lain-lain. Akan tetapi tak ada yang berani mencoba naik melalui lereng batu-batu karang yang amat terjal itu. Bukan saja tidak berani karena berbahaya, terutama sekali karena mereka tahu bahwa di puncak karang itu tinggal dua orang kakek sakti yang mereka anggap sebagai dewa dan tak berani mereka mengganggu dua orang kakek itu.

Pada suatu pagi yang amat dingin, dari atas puncak gunung Omeisan itu nampak dua titik hitam-hitam bergerak-gerak ke sana kemari, cepat dan gesit. Dilihat dari jauh, orang akan rnengira bahwa itu adalah dua ekor burung besar dan kecil. Akan tetapi setelah dua titik itu makin turun, akan nampaklah bahwa mereka itu adalah seorang kakek gundul jangkun g kurus dan seorang pemuda tanggung yang berlompatan ke sana kemari di atas ujung batu-batu yang runcing!

Pemuda tanggung itu adalah Tiang Bu! Dan kakek itu adalah kakek gundul jangkung yan g dulu membawanya pergi dari depan Sin Hong dan Li Hwa. Siapakah gerangan kakek lihai ini? Tepat seperti dugaan Sin Hong dahulu, kakek ini adalah seorang di antara dua kakek sakti dari Omei-san. Dia adalah Tiong Jin Hwesio, dan yang seorang lagi adalah seorang kakek yang sudah lebih tua dari Tiong Jin hwesio yang berusia tujuh puluh tahun, yaitu suhengnya yang bernama Tiong Sin Hwesio berusia delapan puluh tahun dan rambutnya panjang sudah putih semua.

Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio adalah dua orang pertapa yang sudah puluhan tahun menyembunyikan diri tidak mau berurusan dengan dunia luar.Kepandaian mereka luar biasa tingginya. Hal ini tidak mengherankan kalau diingat bahwa Tiong Sin Hwesio adalah pewaris dari ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Tat Mo Couwsu sedangkan Tiong Jin Hwesio mewarisi ilmu-ilmu dari Hoan Hian Couwsu!

Dua orang kakek tua ini hidup sebagai pertapa di puncak Omeisan di mana mereka bangun sebuah pondok berbentuk kelenteng yang cukup besar dan indah. Tiong Jin Hwesio mempunyai kepandaian mengukir, maka semua tiang-iang dan payon-payon pondo k itu diukirnya, sehingga merupakan bangunan yan g akan mengagumkan hati orang-orang kota.

Kesenangan dua orang pertapa ini hanya bersamadhi dan melatih ilmu-ilmu yang mereka pelajari. Memang aneh sekali kalau dipikir. Hidup sebagai pertapa dan bermaksud tinggal di situ sampai mati, akan tetapi keduanya amat tekun memperdalam ilmu kepandaian mereka. Di samping ini, mereka paling suka main catur sehingga dahulu Bu Hok Lokai sampai dibawa ke situ hanya untuk diajak bermain catur!

Bukan hanya Bu Hok Lokai, sudah banyak orang-orang yang terkenal ahli main catur, biarpun tinggalnya dikota raja atau jauh sekali dari situ, tetap akan diculik dan mereka bawa ke puncak Omeisan untuk diajak main catur!

Karena kesenangan bermain catur inilah yang memungkinkan Thai Gu Cinjin yang amat licin dan banyak tipu muslihat itu untuk mencuri sebuah kitab dari kedua kakek itu. Dengan mengajak dua orang ahli catur dari Tibet, Thai Gu Cinjin mendaki Gunung Omeisan. Tentu saja diterima dengan girang sekali oleh dua orang kakek itu karena ia membawa dua orang ahli catur itu. Kalau saja ia tidak membawa dua orang ahli catur itu, sudah tentu dia tidak diperbolehkan naik ke puncak.

. Segera Tiong Hwesio dan Tiong Jin Hwesio tenggelam dalam permainan catur menghadapi dua orang ahli dari Tibet yang dibawa oleh Thai Gu Cinjin itu. Dan bukan main permainan ini. Sampai tiga hari tiga malam! Waktu itulah yang memungkinkan Thai Gu Cinjin menyelinap ke dalam pondok dan akhirnya ia berhasil mencuri sebuah kitab yang berisi pelajaran Ilmu Silat Pat-hong hong-i.

Sampai lama sekali setelah Thai Gu Cinjin dan dua orang ahli catur itu pergi turun dan Omeisan baru dua orang kakek ini tahu akan kehilangan sebuah kitab pusaka. Tiong Jin Hwesio menjadi marah dan turun gunung untuk mencari. Karena turunnya ini yang menyebabkah beberapa orang lihai di dunia kahgouw tahu bahwa kitab Omeisan dicuri Thai Gu Cinjin sehingga di mana-mana pendeta Lama jubah merah ini dihadang orang untuk dirampas kitabnya.

Dan akhirnya, seperti telah diceritakan semula, kitab itu terjatuh ke tangan Tiang Bu secara kebetulan sekali dan karena bocah ini mempelajari Pat hong hong i, maka Tiong Jin Hwesio dapat mengenal ilmu silat itu dan membawa bocah ini ke Omeisan. Juga Tiong Sin Hweslo suka sekali rnelihat Tiang Bu, yang memiliki bakat luar biasa, maka ia pun setuju dengan niat sutenya untuk me ngangkat Tiang Bu menjadi ahli waris Omeisan!

Memang pada dasarnya Tiang Bu berbakat dan suka sekali akan ilmu silat. Tak dapat disangkal bah wa hatinya amat rindu akan pulang, rindu kepada ayah bundan ya, terutama sekali rindu kepada Lee Goat. Akan tetapi, kesukaannya belajar silat mengatasi kerinduannya sehingga rindunya terobati ketika ia mulai belajar ilmu sitat di puncak Omeisan

la tekun sekali dan ditambah kecerdikannya, dua orang kakek sakti di Omeisan menjadi makin sayang kepadanya. Akan tetapi dua orang sakti itu tidak memperlihatkan kasih sayang mereka, bahkan mereka bersikap keras dan tidak saja Tiang Bu harus berlatih berat sekali, juga anak ini harus bekerja keras. Setiap hari Tiang Bu harus membersihkan pondok, mencari kayu, menimba air, mencuci daun-daun, dan lain-lain.

Namun bocah yang tahu diri ini melakukan semua pekerjaannya tanpa mengeluh. Ia menerima semua pekerjaan berat itu sebagai biaya pelajarannya. Ia tidak tahu bahwa pekerjaan-pekerjaan itu sebetulnya termasuk "latihan" pula, latihan untuk menguatkan tubuhnya sehingga tubuh dan pikirannya menjadi biasa akan penderitaan lahir. Seorang gagah harus kuat menahan penderitaan lahir.

Baru saja lima tahun Tiang Bu belajar ilmu di Omeisan, ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali. Pada pagi hari itu, ia dilatih oleh Tiong Jin Hwesio dalam ilmu yang disebut Liap tinsut (Ilmu Mengejar Awan)! Itulah semacam ilmu lari cepat atau ilmu melompat yang berdasarkan ginkang yang sempurna.

Akan tetapi pemuda tanggung ini sudah pandai sekali melompati jurang yang sepuluh tombak lebarnya, berlompatan dari ujung batu karang ke ujung lain yang amat runcing sehingga menuruni lereng yang terjal serta melalui daerah jurang yang curam itu baginya bukan apa-apa lagi

Tiong Jin Hwesio yang melatih gin kang padanya, membawanya ke tempat berbahaya di daerah gunun g itu. Makin lama kakek ini membawa Tiang Bu ke tempat yang makin sukar sehingga beberapa bulan kemudian tidak ada sebuah pun tempat yang tak dapat didatangi Tiang Bu. Tentu saja kakek ini merasa puas sekali. Juga dalam ilmu-ilmu yang lain Tiang Bu memperlihatkan kemajuannya. Biarpun dua orang suhunya menghujaninya dengan pelajaran-pelajaran berat, namun ia dapat mengatur waktunya dan dapat menerima semua itu dengan baik.

"Pinceng dan Jisuhumu (Gurumu yang ke Dua) tak pernah mempergunakan senjata. Thian sudah mengaruniai kita dengan tangan kaki, pan ca indera dan akal budi. Mengapa pula kita harus mengandalkan bantuan senjata seperti pedang atau golok? Tidak, biarpun hanya dengan tangan dan kaki, asal dilatih baik tidak akan kalah menghadapi senjata yang bagaimanapun juga," kata Tiong Sin Hwesio kepada muridnya.

Memang keistimewaan inilah yang membuat Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio terkenal sebagai orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Mereka tak pernah mempergunakan senjata, akan tetapi selama ini, tak seorang pun yan g berani mencoba-coba dapat mengalahkan mereka. Banyak sudah ahli-ahli pedang, ahli-ahli tombak dan ahli-ahli senjata lainnya sengaja datang untuk mencoba-coba karena mereka ini sebagai ahli senjata tentu saja tidak suka dicela. Akan tetapi mereka semua roboh dengan mudah saja oleh Tiong Sin Hwesip dan Tiong Jin Hwesio.

"Thian melengkapi kita dengan akal budi. Untuk apakah ke mana-mana rnembawa senjata tajam seperti jagal? Kalau memang perlu, setiap benda di depan kita, baik benda itu berupa setangkai kembang, sebatang ranting, atau sehe lai daun, dapat kita pergunakan untuk membela diri. Bukan senjata yang istimewa, melainkan orangnya yang berada dibelakang senjata. Golok pusaka, pedang mustika, segala yang runcing-runcing dari yang tajam-tajam takkan ada artinya apabila orang yang memegangnya tolol.

Sebaliknya, sehelai daun akan lebih berguna daripada sebatang pedang apabila orang yang mempergunakannya mengerti bagaimana harus mempergunakannya," demikian Tiong Sin Hwesio melanjutkan nasihatnya kepada Tiang Bu yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan mencatatnya baik-baik di hati dan ingatannya.

Dilihat dari semua nasihat ini, sama sekali tidak mengherankan apabila Tiang Bu tak pernah mendapat pelajaran bersilat dengan senjata apa pun juga. I a hanya menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong, ini pun tidak begitu dipentingkan oleh dua orang kakek itu. Yang lebih dipentingkan adalah penggemblengan dalam memperkuat hawa sinkang di dalam tubuh, mengumpulkan tenaga-tenaga tersembunyi sehingga dapat dipergunakan dengan baik-baik.

Dapat dimengerti apabila tanpa disadarinya, Tiang Bu telah memiliki tenaga lweekang yang hebat dan memiliki ilmu khikang dan ginkang yang istimewa. Dengan sinkang orang dapat memiliki tubuh yang kuat dan kebal, dengan lweekang orang dapat mengatur tenaga sehingga tenaga seratus kati menjadi seribu kati, dengan khikang orang dapat mengatur pernapasan sehingga tidak saja isi dadanya bersih, juga terutama sekali napasnya panjang dan kuat.

Dengan ginkang orang dapat mengatur gerakan yang lincah, ringan dan cepat. Kalau semua ini sudah terpenuhi, berarti orang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi! Dengan dasar-dasar ini, orang sudah menjadi kuat dan sukar dikalahkan.

Beberapa bulan kemudian pada suatu hari Tiang Bu duduk mengaso di bawah sebatang pohon. Ia tidak lelah, karena tubuhnya sudah kuat sekali, dan mengerjakan pekerjaan mengangkut air dari lereng ke puncak sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Yang membuat ia ingin beristirahat di bawah pohon adalah panas terik matahari yang membakar kulit. Musim panas sedang hebat-hebatnya, sehingga di lereng Omeisan yang biasanya dingin itu pun tidak luput dari serangan hawa panas matahari.

Hawa panas, bayangan pohon, ditambah silirnya angin gunung membuat Tiang Bu duduk melenggut bersandarkan tongkat pikulannya. Tempat ia berhenti mengaso itu adalah di lereng selatan di mana terdapat sebuah kelenteng kuno yang sudah mulai rusak karena tidak dipakai lagi. Di depan kelenteng itu terdapat pagar terbuat daripada kayu besi yang berukir indah. Di luar pagar inilah Tiang Bu duduk mengaso, melenggut dan mengantuk karena malam tadi ia terlalu malam berlatih teori ilmu silat sampai lupa waktu.

Tiba-tiba ia mendengar suara senjata beradu nyaring sekali, seakan-akan berada di dekat telinganya. Tiang Bu membuka matanya dan dengan terheran-heran ia melihat dua orang gadis cilik sedang bertempur. Keduanya mempergunakan sebatang pedang dan gerakan mereka lincah dan indah.

"Cringg.....!" pedang berkali-kali bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata.

Kantuk yang tadi menguasai mata Tiang Bu seketika lenyap, terganti oleh perhatian dan keheranan. Ia melihat gadis cilik itu kedua-duanya sama pandai dan usia mereka pun sebaya, paling banyak sepuluh tahunan. Akan tetapi keduanya telah memiiiki kepandaian ilmu pedang yang hebat. Ketika Tiang Bu memandang penuh perhatian kepada seorang di antara dua anak perempuan itu, hatinya berdebar aneh. Ia seperti sudah kenal baik bocah itu, kenal baik sekali. Hidung yang kecil meruncing, bibir itu, mata itu...!

"Lee Goat...!" tak terasa lagi Tiang Bu menyebut nama ini dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah melompat seperti melayang ke tempat pertempuran dan di lain saat ia telah menyodorkan tongkat pikulan yang sejak tadi dipegangnya itu di tengah-tengah antara dua orang gadis cilik yang masih bertempur.

"Tranggg...! Tranggg...!"

Dua buah pedang terpental dan terlepas dan pegangan. Padahal Tiang Bu tidak melakukan pukulan, bahkan dua pedang yangtadi menghantam tongkat pikulannya, namun karena tenaga sinkang yang luar biasa dari Tiang Bu, dua batang pedang itu telah terpental . Dua orang gadis cilik itu memandang dengan kaget, cepat memungut pedang masing-masing kemudian mereka menghadapi Tiang Bu dari dua jurusan yang berlawanan. Akan tetapi, Tiang Bu hanya memperhatikan gadis cilik adiknya yang ditinggal ketika baru berusia dua tiga tahun itu. Telah delapan tahun lebih ia meninggalkan rumah berpisah dari adiknya.

"Kau... bukankah kau... Lee Goat...?" tanya Tiang Bu, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar, penuh harapan.

Gadis cilik itu memandang kepadanya dengan mata jernih dan kosong. Sama sekali tidak mengenal, lalu mengerutkan kening dan berkata. "Bukan. Aku tidak bernama Lee Goat"

"Betulkah? Kau... kau serupa betul dengan dia..." kata pula Tiang Bu, dadanya penuh kekecewaan.

"Hemm, kau ini siapakah berani menggangguku?" tanya gadis cilik itu tiba-tiba dengan marah.

Tiang Bu mendengar sambarah angin ketika punggungnya hendak ditusuk oleh dara cilik yang berada. di belakangnya. Dengan gerakan enak saja Tiang Bu miringkan tubuhnya, perasaan dan pendengarannya sudah sedemikian tajamnya sehingga punggungnya seperti bermata maka kelitan ini membuat pedang gadis cilik itu menusuk angin. Dan sebelum ia dapat menyerang lagi, Tiang Bu menggunakan jari tangannya menyentil tengah-tengah pedang sambil berseru.

"Bocah cilik jangan main-main dengan pedang!"

Sentilan jari tangannya dengan tepat mengenai pedang dan gadis itu berseru kaget, pedangnya seperti direnggut oleh tenaga yang kuat dan tahu-tahu telah terlepas dari pegangannya, meluncur kebawah dan menancap di atas tanah!

"Bi Li, jangan berkelahi...!" terdengar seruan orang dan seorang pemuda tanggun g yang sebaya dengan Tiang Bu tampan dan gagah dengan pakaian indah, datang berlari-lari ke tempat itu. Jauh di belakang pemuda ini nampak pula beberapa orang tua datang dari jurusan yang berlainan.

Melihat ini Tiang Bu yang merasa kecewa karena gadis cilik yang disangka Lee Goat itu ternyata bukan adiknya, segera menyeret pikulannya dan pergi dari tempat itu. Ia tidak melihat betapa gadis cilik yang disangka adiknya tadi memandang kepadanya dengan mata penuh pertanyaan dan keheranan. Sementara itu, bocah perempuan yang seorang lagi memandang kepadanya dengan pandan g mata kagum dan tertarik sekali.

Setelah melihat munculnya ban yak orang, keheranannya bertambah dan hati Tiang Bu menjadi tidak enak, Tidak biasanya di lereng ini terdapat begitu banyak orang. Ia tidak kembali ke puncak, melainkan bersembunyi di dalam rumpun tebal sambil mengintai keluar. Dilihatnya dua orang gadis cilik yang tadi bertempur itu sudah saling menjauhi, gadis yang menyerangnya bersama pemuda tanggun g tadi menengok ke arah seorang wanita yang datang seperti terbang cepatnya ke arah mereka. Adapun gadis yang wajahnya seperti Lee Goat juga menanti datangnya seorang laki-laki. Melihat orang laki-laki ini, Tiang Bu berdebar jantungnya. Laki-laki ini bukan laln adalah Wan Sin Hong!

Bagaimana Sin Hong bisa sampai disitu dan siapakah mereka semua itu? Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti pengalaman Wan Sin Hong dan Li Hwa. Seperti telah dituturkan, Sin Hong dan Li Hwa melanjutkan perjalanan mereka.

"Sin Hong, sekarang kita ke mana?" tanya Li Hwa sambil mengerling ke wajah Sin Hong di sebelah kanannya.

"Aku akan pergi ke Kim-bun-to. Harus kuberitakan tentang keadaan Tiang Bu kepada Hui Lian dan Hong Kin. Selain itu, aku sudah terlalu lama meninggalkan Luliangsan. Aku harus menengok tempat itu kalau-kalau ada orang mencari aku."

Demikianlah, Sin Hong dan Li Hwa lalu menuju ke Luliangsan, tempat di mana Sin Hong tinggal selama ia menjadi bengcu. Ketika tiba di lereng Luliangsan, mereka melihat bahwa puncak Luliangsan telah kedatangan banyak tamu dari dunia kangouw. Mereka itu adalah tokoh-tokoh besar atau wakil-wakil partai besar yang dahulu telah rnemilih Sin Hong rnenjadi bengcu.

Bu Kek Siansu, ketua Butongpai yang nampak paling tua di antara para tokoh itu, maju menyambut kedatangan Sin Hong sambil mernbungkuk. Sin Hong buru-buru memberi hormat dan berkata

“Ah, kiranya Bu Kek Siansu Locianpwe dan para Locianpwe yang terhormat. Sungguh menyesal sekali baru sekarang siauwte datang, membikin Cuwi sekalian terlalu lama menanti."

"Kami baru sepekan menanti disini. Pinto sekarang mewakili kami semua karena Tai Wi Siansu sudah meninggal dunia setahun yang lalu," kata Bu kek Siansu.

Sin Hong mengerutkan alisnya. “Sayang sekali belum sempat aku bertemu dengan Tai Wi Siansu Locianpwe di Kun lun san. Semoga arwahnya mendapat tempat yang mulia."

Melihat sikap mereka yang dingin, Sln Hong diam-diam dapat menduga bahwa kedatangan mereka ini tentulah untuk urusan kedudukan bengcu. Tentu semua orang ini sudah mendengar bahwa dia adalah keturunan bangsa Kin dan karenanya mereka tidak sudi mempunyai bengcu keluarga Kaisar bangsa yang dianggap musuh! Akan tetapi ia berlaku tenang, lalu bertanya

"Tidak tahu urusan penting apakah yang membawa Cuwi sekalian rnendaki Luliangsan? Apa kiranya yang dapat kulakukan untuk Cuwi sekalian?"

"Wan-sicu, pinto mewakili semua saudara di sini untuk memberi penjelasan dan pinto akan bicara singkat saja," kata Bu Kek Siansu.

Mendengar kakek ini menyebutnya Wan-sicu dan bukan Wan-bengcu, Sin Hong tersenyum dingin. Tahulah ia karena sudah jelas sekali bahwa orang tidak memandangnya sebagai bengcu lagi. "Bicaralah, Bu Kek Siansu," katanya singkat.

"Sebelum kamu datang ke sini, lebih dulu setahun yang lalu Tai Wi Siansu telah memimpin pertemuan. Dalam pertemuan itu dibicarakan tentang kedudukan Wan-sicu. Oleh karena sudah jelas bahwa Wansicu keturunan Wan-Kan atau pangeran Wanyen Kan, maka terpaksa kami semua tidak dapat menerima kau menjadl bengcu kami. Akan tetapi, mengingat kau telah lama membantu kami, kami menghentikanmu dengan hormat, bahkan kami mengajak Wansicu untuk bersama kami membujuk calon bengcu yang hendak kami angkat."

Sin Hong tersenyum lebar. Dadanya terasa lega, Kedudukan bengcu selama ini merepotkannya, membuat hidupnya terikat. "Bagus! Aku harus berterima kasih kepada Cuwi yang membebaskan aku dari tugas bengcu yang maha berat. Tentu saja aku bersedia membantu membujuknya. Siapakah calon bengcu itu gerangan?"

"Dia adalah seorang dari kakek sakti di Omeisan," kata Bu Kek Siansu.

Kening Sin Hong berkerut. Ia teringat akan sikap orang-orang gagah di dunia sebelah selatan yang amat kasar ketika mengunjunginya di Luliangsan beberapa tahun yang lalu. "Hemm, mengapa Cuwi memilih orang selatan?" tegurnya. "Kalau mereka yang dipilih, terserah. Akan tetapi aku tidak berani memastikan apakah aku akan ikut membujuk mereka yang sama sekali tidak kukenal. Betapapun juga, terima kasih atas pembebasan tugas bengcu.

"Sebagai tanda bahwa aku sama sekali tidak kecil hati dibebaskan dari tugas bengcu, dan untuk menyatakan terima kasih, sekarang aku hendak mengumumkan secara terus terang bahwa biarpun aku memang benar keturunan bangsawan Wanyen, namun aku tidak dapat membela Kerajaan Kin! Untuk menyatakan bahwa di dalam tubuhku masih mengalir darah Han, aku hanya akan membela rakyat apabila terjadi perang yang datangnya dari utara."

Mendengar kata-kata ini, sebagian besar orang gagah yang memang menaruh rasa hormat dan suka kepada Sin Hong bertepuk tangan gembira dan memuji Sin Hong sebagai orang gagah yan g patut dlkagumi. "Cuwi sekalian!" kata pula Sin Hong dengan suara keras sehingga suara gaduh itu berhenti karena semua orang rnemperhatikannya. "Aku hendak mohon pertolongan Cuwi sekalian, terutama para Locianpwe yang terhormat. Oleh karena sekarang diriku tidak terikat lagi oleh tugas berat dan telah bebas, maka aku bermaksud melangsungkan ikatan jodoh dengan Hui eng N iocu Siok Li Hwa di tempat ini. Untuk keperluan itu, aku sangat mengharapkan bantuan para Locianpwe untuk menyelenggarakannya, sebagai wali-wali atau pengganti orang-orang tua, oleh karena baik aku maupun calon isteriku adalah orang-orang yatim piatu, bahkan guru-guru pun telah meninggal dunia. Tidak tahu apakah para Lociaripwe sudi menolong kami?” Kata-kata terakhir itu diucapkan oleh Sin Hong dengan suara terharu.

Ketika Sin Hong bicara, semua orang mendengarkan dengan tak bersuara, akan tetapi begitu ia habis bicara, terdengar sorak-sorai gemuruh tanda bahwa orang-orang itu menyambut berita ini dengan gembira sekali. Para locianpwe juga maju untuk memberi selamat dan menyatakan bersedia untuk membantu dua orang muda itu mengesahkan perjodohan mereka.

Para tokoh dunia kangouw berikut para anggauta yang ikut di puncak Luliangsan itu, jumlahnya ada lima pul uh orang lebih. Mereka ini la!u sibuk mengatur ini itu, menghias gua tempat tinggal Sin Hong sebaik-baiknya, membangun pondok atau ruangan darurat untuk tempat berpesta. Ada pula yang turun gunung cepat-cepat untuk mencari bahan-bahan guna berpesta berikut tukang-tukang masaknya, arak, daging dan lain-lain.

Dalam waktu tiga hari saja semua sudah siap dan pada pagi hari ke empatnya dilangsungkanlah pernikahan antara Sin Hong dan Li Hwa secara sederhana namun cukup meriah! Hanya sayangnya bagi Li Hwa, di antara para tamu tidak ada seorang pun tamu wanita!

Setelah kedua pengantin diberi restu oleh para locianpwe, lalu diarak menuju makam Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu di puncak untuk bersembahyang di depan kedua makam ini. Kemudian kedua mempelai dengan diantar oleh para locianpwe turun ke lereng gunung untuk bersembahyang di depan makam Luliang Samlojin.

Setelah upacara ini selesai, berpestalah mereka di ruangan darurat di depan gua itu. Menjelang senja semua tamu minta diri dan rneninggalkan puncak Luliangsan, Sin Hong dan isterinya mengantar mereka sampai di tikungan sambil tiada hentinya menghaturkan terima kasih mereka.

Kemudian sambil bergandengan tangan kedua mempelai ini dengan hati penuh kebahagiaan kembali ke puncak untuk beristirahat di dalam gua tempat tinggal Sin Hong yang sudah dihias seada-adanya oleh para tamu tadi. Ketika melangsungkan perjodohannya Sin Hong berusia tiga puluh tahun dan Li Hwa berusia lebih muda dua tahun. Sukar untuk melukiskan kegembiraan kedua mempelai ini, hanya mereka berdua yang mengalamilah yang dapat merasakan!

Beberapa bulan kemudian Sin Hong mengajak isterinya pergi ke Pulau Kin bun to untuk memberi kabar kepada Hui Lian dan Hong Kin tentang Tiang Bu. Hong Kin dan Hui Lian menyambut kedatangan Sin Hong dengan gembira apalagi setelah diberi tahu bahwa Sin Hong telah menikah dengan Hui eng N iocu Siok Li Hwa yang gagah perkasa. Mereka segera mengucapkan selamat dan Hui Lian menegur.

"Wan-susiok (Paman Guru Wan) mengapa tidak memberi kabar lebih dulu kepada kami? Kalau diberi tahu, biarpun jauh kami pasti akan datang untuk menghadiri pesta pernikahan itu!" Hui Lian menyebut Sin Hong paman guru karena memang Sin Hong masih terhitung paman gurunya sendiri. Ayahnya dahulu adalah murid Pak Kek Siansu, demikian pula Sin Hong.

Sin Hong tersenyum. "Perjodohan kami dilangsungkan secara serentak dan mendadak, mana ada kesempatan memberi kabar!" Ia lalu menuturkan secara singkat tentang kedatangan orang-orang kan gouw di puncak Luliangsan untuk membebaskannya dari tugas bengcu dan betapa dalam kesempatan itu ia lalu minta bantuan mereka untuk merayakan kelangsungan perjodohannya. Kemudian Sin Hong bercerita tentang Tiang Bu.

"Anak itu memang aneh sekali nasibnya." katanya mengakhiri ceritanya. "Selalu berpindah ke dalam tangan orang-orang pandai, bahkan sekarang kurasa ia telah menjadi murid kakek sakti di Omeisan. Biarlah lain kali kita menengok ke sana."

Hui Lian dan Hong Kin agak kecewa karena Tiang Bu tidak turut pulang akan tetapi mereka lega mendengar bahwa anak itu selamat, bahkan menjadi muid orang pandai.

"Tadinya kami bermaksud untuk menyerahkan Tiang Bu kepada Susiok agar dididik dalam ilmu silat, akan tetapi sekarang dia telah menjadi murid Ji Omeisan biarlah kami menyerahkan anak kami saja agar diterima sebagai mund oleh Susiok berdua." kata Hui Lian yang segera memanggil anak perempuannya yang berada di dalam.

Tak lama kemudian muncullah seorang bocah perempuan berusia lima enam tahun, cantik manis, dan mungil sekali. Bocah ini memandang kepada Sin Hong dan Li Hwa dengan mata bening dan penuh pertanyaan karena ia tidak mengenal mereka.

"Lee Goat, beri hormat kepada Suhu dan Subomu ini!" kata Hui Lian kepadanya sambil menuding ke arah Sin Hong dan Li Hwa.

Untuk sesaat bocah itu memandang kepada Sin Hong dan Li Hwa penuh perhatian terutama sekali ke arah pedang yang tergantung di pinggan g Sin Hong dan menempel di punggung Li Hwa. Kemudian ia maju dan berlutut sambil berkata hormat.

"Suhu...! Subo...!"

Sin Hong dan Li Hwa saling pandang sambil tersenyum. Sekali bertemu pandang saja suami isteri ini maklum bahwa masing-masing amat tertarik dan suka kepada bocah itu. Sin Hong tertawa dan mengangkat bangun bocah itu sambil berkata...