Tangan Gledek Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 10

Pak-kek Sam-kui tinggal di sebuah rumah besar dan mereka mempunyai banyak pelayan laki-laki dan wanita. Tiang Bu mendapat sebuah kamar sendiri dan bocah ini merasa lega dan senang karena. ternyata tiga orang suhunya tidak tinggal bersama banyak orang yang dijumpainya tadi.

Dengan amat tekun Tiang Bu berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Pak-kek Samkui. Biarpun bocah ini tidak suka dengan ilmu-ilmu silat mereka yang dianggapnya kasar dan penuh gerakan-gerakan curang, namun harus ia akui bahwa ilmu silat mereka itu hebat sekali, lagi sukar dipelajari. Dengan sabar dan rajin ia berlatih terus, dan kini ia mendapat kesempatan untuk mulai melatih diri dengan gerakan-gerakan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang sudah dihafal teorinya.

Tiap malam ia berlatih di dalam kamarnya dengan amat tekun sehingga dalam waktu setahun saja Tiang Bu telah memperoleh kemajuan pesat. Ilmu silat yang ia dapat dari kitab dari Omei-san itu benar-benar hebat. Gerakan-gerakan kaki tangan dalam Ilmu Silat Pat -hong-hong-i ini mengandung kekuatan yang mendorong kemampuannya dalam berlatih Iweekang menurut petunjuk Pak-kek Sam-kui.

Tiga orang kakek ini sampai terheran-heran melihat kemajuan yang luar biasa dari murid mereka. Mereka hanya merasa heran dan gembira, sama sekali tidak mengira bahwa kemajuan Tiang Bu itu sebagian besar berkat latihan-latihannya di waktu malam di dalam kamarnya!

Tiang Bu merasa menyesal sekali bahwa kamarnya tidak cukup luas untuk berlatih Pat-hong-hong-i, karena pukulan-pukulan dari ilmu silat ini mengandung hawa pukulan yang menderu sehingga kalau ia berlatih terlalu cepat dan terlalu mengerahkan tenaga, suara hawa pukulan itu akan terdengar oleh ketiga suhunya. Alangkah senangnya kalau ia dapat berlatih di luar, di udara terbuka, pikirnya.

Akhirnya kesempatan itu tiba. Pak-kek Sam-kui mulai melakukan tugas-tugas baru, membantu pasukan-pasukan menggempur suku-suku bangsa yang belum mau taluk di daerah perbatasan selatan dan barat. Pengaruh bala tentara Mongol mulai berkembang dan membesar. Temu Cin mulai memperluas wilayahnya ke barat menyerbu daerah Sin-kiang dan ke selatan menalukkan suku-suku bangsa perantau, memaksa mereka menggabung dengan bala tentaranya. Bahkan ia mulai mendesak kedudukan orang-orang bermata biru di utara!

Kesempatan selagi guru-gurunya tidak ada, dipergunakan oleh Tiang Bu sebaik-baiknya. Biarpun para pelayan memperlakukannya dengan baik dan hormat mengingat bahwa anak ini murid dari Pak-kek Sam-kui, namun Tiang Bu tidak berani berlatih silat di dekat rumah itu. Ia sengaja keluar dari rumah, bahkan keluar dari perkampungan dan berlatih silat di dalam sebuah hutan yang sunyi. Di dalam hutan ini ia boleh berlatih sesuka hatinya. Ia bersilat Sam-hoan Sam-bu sehingga ketangkasannya yang dulu kembali setelah ia latihan beberapa kali.

Juga Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang dilatihnya makin maju saja. Ia merasa tubuhnya ringan dan kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan kalau ia mainkan Pat-hong-hong-i. Sampai sehari penuh ia melatih di dalam hutan ini, bahkan kadang-kadang ia datang di situ pada malam hari secara diam-diam kalau para pelayan sudah tidur pulas.

Kalau ia lelah, ia duduk di atas batu karang dan melamun. Di samping kegirangannya melihat kemajuannya sendiri, kadang-kadang ia juga merasa sedih. Ia tidak kerasan tinggal di daerah utara yang amat dingin ini. Dan celakanya tiga orang gurunya sama sekali tidak mau mempedulikannya sehingga pakaiannya tak pernah diganti, masih tetap compang-camping.

Bahkan baju yang dipakainya itu kini sudah tidak berlengan lagi, atau hanya berlengan setengah. Terpaksa ia potong sebatas Siku dan potongannya dipergunakan untuk menambali bagian-bagian yang sudah robek dan berlubang. akan tetapi kepada siapa ia harus mengeluh? Tiga orang gurunya memang manusia-manusia aneh. Mereka menduduki pangkat-pangkat besar, kaya raya dan hidupnya mewah, namun pakaian ketiga orang gurunya itu pun hampir tak perhah diganti!

Biarlah, pikirnya menghibur hati sendiri. Aku mendapat makan cukup, ini saja sudah baik sekali. Kelak kalau ada kekuatan, aku harus segera minggat dari tempat ini. Dengan pikiran seperti ini Tiang Bu dapat menahan hidup diutara sampai dua tahun lebih. Ia masih belum berani melarikan diri oleh karena maklum akan luasnya pengaruh bangsa Mongol dan bahwa Temu Cin mempunyai banyak sekali kaki tangan di mana-mana. Kalau ia harus pergi, pergi ke manakah? Pergi ke selatan tentu akan dapat dikejar oleh tiga orang gurunya, karena kepandaiannya sendiri masih jauh untuk dapat dipergunakan menjaga diri dalam tempat berbahaya itu.

Ketika itu Pak-kek Sam-kui melakukan tugas penting sampai dua bulan lebih. Tiang Bu menjadi senang sekali dan waktu yang dua bulan lebih itu ia pergunakan untuk melatih Pat-hong-hong-i dan Sam-hoan Sam-bu sebaik-baiknya, sehingga boleh dibilang siang malam ia berada di dalam hutan itu. Memang ia memiliki bakat yang baik sekali, pula otaknya memang cerdas maka ia kini telah dapat memainkan dua macam ilmu silat tinggi ini secara cukup baik.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejak ia datang, kurang lebih dua bulan kemudian, Panglima Besar Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji telah berangkat ke selatan, sesuai dengan siasat Temu Cin, yaitu mengumpulkan bala bantuan di selatan dan kalau mungkin menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menentangnya di daerah Cin. Semenjak pertemuan pertama itu, Tiang Bu sudah lupa lagi akan panglima itu. Kalau saja ia tahu bahwa orang itu bukan lain adalah ayahnya sendiri!

Akan tetapi ia tidak tahu, tak seorang pun tahu. Juga Kong Ji sendiri tidak tahu. Di dalam dunia ini kiranya hanya tiga orang yang tahu betul akan hal itu, mereka adalah Wan Sin Hong, Go Hui Lian dan Coa Hong Kin.

Pada hari itu seperti biasa Tiang Bu pagi- pagi sudah pergi ke hutan dan di tempat biasa ia mulai berlatih Ilmu Silat Pat-hong-hong-i. Angin pukulan yang keluar dari kedua tangannya menderu-deru mengeluarkan suara. Benar-benar luar biasa ilmu silat ini dan lebih luar biasa lagi adalah anak itu yang dalam usia sembilan tahun sudah dapat bersilat seperti itu baiknya. Saking asyiknya Tiang Bu berlatih ia sama sekali tidak tahu bahwa Pak-kek Sam-kui sudah berdiri tak jauh dari situ, memandang dengan mata bersinar marah sekali!

"Setan cilik! Kau telah menipu dan menghina kami! Kau harus mampus!" seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw dengan marah sekali.

Tiang Bu menjadi pucat ketika ia menghentikan gerakan kaki tangannya dan menoleh kepada mereka. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan menanti dengan tenang apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Bangsat rendah, ilmu silat apa yang kau latih tadi?" tanya Giam-lo-ong Ci Kui dengan suara menggeledek.

Tiang Bu maklum bahwa membohong takkan ada gunanya setelah mereka itu menyaksikan dengan mata sendiri. Ia berlutut sambil berkata, "Teecu berlatih Ilmu Silat Pat-hong-hong-i."

"Dari siapa kau belajar ilmu setan itu?" tanya pula Ci Kui, agak tertegur melihat muridnya bicara demikian terus terang.

"Dari... dari sebuah kitab di bawah petunjuk mendiang Bu Hok Lokai."

Kembali tiga orang kakek itu melengak. Jadi orang jembel yang mati di pinggir jalan itu adalah Bu Hok Lokai dan menjadi guru Tiang Bu? Benar-benar mereka tidak pernah menyangkanya.

"Apalagi yang kau pelajari dari jembel itu selain ilmu tadi dan mengemis?" Ci Kui bertanya, suaranya mengandung ejekan.

"Teecu diberi pelajaran ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu..." Baru saja ia bicara sampai di sini, Liok-te Mo-ko Ang Bouw sudah tak dapat menahan sabar lagi.

"Bagus, coba kita lihat sampai di mana lihainya dua ilmu silat itu!" Sambil berkata demikian ia melompat maju menerkam Tiang Bu dengan buasnya!

Tiang Bu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia berada dalam bahaya besar karena ia sudah mengenal baik watak tiga orang gurunya ini. Cepat ia menggerakkan kakinya, melesat ke belakang dan di lain saat ia telah dapat mengelak beberapa serangan Ang Bouw yang bertubi-tubi dengan mempergunakan gerakan Pat-honghong-i yang tadi dilatihnya.

"Setan alas! Dia dapat mengelak!" seru Sin-saikong Ang Louw yang segera maju pula menyerbu. "Biar aku yang membunuh setan ini!"

"Tidak, aku yang harus merobohkannya," kata Ci Kui yang maju pula menyerang. Di lain saat Tiang Bu sedang diserbu oleh tiga orang suhunya!

"Celaka..." anak ini mengeluh, menghadapi seorang saja ia tahu bahwa akhirnya akan terpukul binasa, apalagi ketiga-tiganya maju bersama. Namun ia tidak putus asa dan cepat mainkan Pat-hong hong-i sebaik-baiknya.

Untung baginya bahwa karena memandang rendah, tiga orang kakek itu tidak mempergunakan ilmu silat lain dan menggunakan Ilmu Silat Hui-houw-tong-te untuk menyerangnya. Mungkin Pak-kek Sam-kui merasa malu kalau mengghinakan ilmu silat lain yang belum dikenal Tiang Bu. Hui-houw» tong-te sudah dipelajari oleh Tiang Bu secara baik-baik, maka sudah cukup adil kiranya kalau mereka juga menggunakan ilmu ini untuk menyerang.

Sama sekali mereka lupa bahwa tiga orang kakek yang sudah kenamaan di dunia kang-ouw mengeroyok seorang bocah berusia sembilan-sepuluh tahun, benar-benar merupakan hal yang menggelikan dan menjemukan. Akan tetapi Pak-kek Sam-kui bukanlah orang-orang biasa, mereka berwatak jahat dan aneh dan segala niat di dalam hati mereka lakukan tanpa mempedulikan anggapan orang lain.

Melihat datangnya serangan dari tiga jurusan Tiang Bu yang cerdik lalu mengubah gerakannya dan mainkan ilmu mengelak Sam-hoan Sam-bu. Ilmu ini lebih tepat untuk menghadapi keroyokan tiga orang, apalagi karena dengan ilmu ini perhatiannya seluruhnya dipusatkan untuk menghindarkan diri dari serangan, sama sekali tidak ada jurus menyerang.

Pak-kek Sam-kui benar-benar merasa penasaran sekali. Bocah itu gerakannya lincah melebihi burung walet, gesit melebih kera. Dipukul sana melesat ke sini, dicegat sini menerobos sana, benar-benar sukar ditangkap atau dipukul. Gerakan kaki yang juga langkah berubah dan tangannya yang bergerak ke sana ke mari seperti menari itu benar-benar sukar di-ikuti. Sampai dua puluh jurus Tiang Bu selalu dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi ia mulai lelah dan langkah-langkahnya mulai dikenal oleh Pak-kek Sam-kui. Sekali bergerak, Pak-kek Sam-kui sudah mengambil kedudukan yang mencegat dan mematikan tiga langkahnya, Tiang Bu terjepit dan sekali pukul ia akan mati.

"Pak-kek Sam-kui tak tahu malu! Pergi kalian!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang tongkat panjang dengan ukiran kepala naga berkelebat menyambar ke arah tiga orang itu dengan hebat sekali. Sambaran tongkat ini benar hebat, menyambarnya ke arah kepala Pak-kek Sam-kui jadi melewati atas kepala Tiang Bu. Ton gkat itu sekaligus menyerang tiga orang pengurung Tiang Bu tanpa membahayakan bocah itu sendiri.

Pak-kek Sam-kui kaget sekali dan tidak berani menangkis sambaran tongkat yang angin pukulannya panas ini. Mereka cepat melompat mundur dan ketika mereka memandang, ternyata yang berdiri di depan mereka adalah seorang hwesio gundul tinggi besar dengan jubah merah dan tongkat kepala naga yang panjang. Pendeta Lama baju merah dari Tibet.

"Thai Gu Cinjin...!" Giam-lo-ong Ci Kui berseru kaget. Tak disangkanya sama sekali pendeta Lama ini bisa berkeliaran sampai di sini! "Kau datang ke Mongol ada keperluan apakah?"

Seperti diketahui, Thai Gu Cinjin ini adalah hwesio Lama dari Tibet yang telah berhasil mencuri sebuah kitab dari Gunung Omei-san. Di bagian depan telah diceritakan bahwa karena takut dirampas oleh Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin ini menitipkan kitab curiannya kepada Tiang Bu dan kemudian setelah Ang-jiu Mo-li gagal mendapatkan kitab di tangannya, ia pun gagal mendapatkan bocah yang dititipi kitab itu!

Kemudian setelah mencari sekian lama tanpa hasil, ia mendengar bahwa bocah itu adalah murid Pak-kek Sam-kui, maka bergegas ia pergi ke Mongol untuk mencari Pak-kek Sam-kui. Kebetulan sekali ia mendengarkan percakapan antara Pak-kek Sam-kui dah Tiang Bu, dan melihat betapa bocah itu terancam bahaya maut.

Kalau saja ia sudah mendapatkan kitabnya kembali, kiranya ia takkan peduli apakah Pak-kek Sam-kui hendak memecah dada atau kepala bocah itu. Akan tetapi ia harus mendapatkan kitabnya lebih dulu, maka cepat ia mencegah, Pak-kek Samkui membunuh Tiang Bu.

"Pak-kek Sam-kui, kalau tidak ada urusan penting untuk apa pinceng jauh-jauh datang ke tempat buruk ini . Seperti kalian ketahui, pinceng kehilangan kitab pelajaran ilmu silat yang dulu pin-ceng titipkan kepada Setan Cilik ini. Setelah pinceng mendapatkan kembali kitab itu, kalian mau bunuh dia boleh bunuh, pinceng tidak ada urusan lagi." Kemudian tanpa menghiraukan Pak-kek Sann-kui lagi, Thai Gu Cinjin melangkah maju menghadapi Tiang Bu dan membentak. "Anak setan, mana kitab yang kutitipkan padamu dulu?"

Diam-diam Tiang Bu mengeluh akan nasibnya yang benar-benar buruk. Baru saja terlepas dari tangan Pak-kek Sam-kui, ternyata yang menolongnya adalah hwesio yang ia bawa lari kitabnya dan yang tentu marah sekali kepadanya. Ini sama halnya dengan terlepas dari mulut harimau jatuh di mulut naga. Akan tetapi sudah kepalang. Ia maklum takkan dapat hidup lebih lama lagi, maka timbul keberaniannya yang luar biasa.

"Losuhu, kitab itu sudah teecu bakar."

Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu itu berubah hijau. Tongkat kepala naga di tangannya menggigil, agaknya hendak dijatuhkan ke atas kepala Tiang Bu. Kalau hal ini terjadi, tentu kepala bocah itu akan remuk seperti telur ayam dipukul dengan batu. "Anak setan! Jangan kau membohong. Tadi pinceng lihat ilmu silatmu Pat-honghong-i dari kitab itu cukup baik. Dari mana kau belajar kalau tidak dari, kitab itu? Mana sekarang kitabnya?"

"Teecu katakan sudah teecu bakar. Tentu saja teecu belajar dari kitab itu. Setelah isinya teecu pindahkan ke dalam otak, lalu kitab itu teecu bakar."

"Jadi kau hafal semua isi kitab itu?" tanya Thai Gu Cinjin terheran.

Tiang Bu mengangguk. "Hafal di luar kepala segala teori dan gerakannya."

Sengaja Tiang Bu menyombong karena melihat lubang jarum untuk lolos. Barangkali hal ini yang akan menyambung nyawaku pikirnya. Betul saja dugaan bocah cerdik ini. Sekali menggerakkan tangan kiri, Thai Gu Cinjin sudah menyambar tubuhnya dan dikempitnya demikian kuat sehingga Tiang Bu khawatir dadanya akan pecah.

"Pak-kek Sam-kui, bocah ini kubawa. Setelah isi kitab kuperas keluar dari kepalanya, pinceng akan mewakili kalian mencabut nyawanya."

Pak-kek Sam-kui tak beram membantah. Mereka maklum bahwa pendeta Lama ini kepandaiannya lebih tinggi daripada mereka sehingga kalau terjadi pertempuran, kiranya mereka akan kalah. Dan lagi apa sih gunanya bertempur? Mereka tidak sudi menjadi guru-guru Tiang Bu lagi dan akan lebih baik kalau anak itu dibawa dan juga kalau mereka yang membunuh, mereka takut kelak dibunuh oleh Thai Gu Cinjin. Betapapun juga akan pembalasan yang mungkin datang dari fihak Wan Sin Hong!

"Sesukamulah, Thai Gu Cinjin. Kami tidak membutuhkan bocah ini. Sebaiknya kalau bocah ini dibunuh karena kelak ia hanya akan mendatangkan malapetaka saja." kata Ci Kui.

Thai Gu Cin Jin hanya tersenyum dan mengeluarkan suara ketawa menghina seakan-akan mentertawakan nasihat Ci Kui ini, kemudian dengan gerakan yang amat cepat ia berlari keluar dari hutan menpju ke selatan. Untuk kesekian kali-nya; Tiang Bu terjatuh ke dalam tangan seorang sakti lain lagi yang akan mengubah seluruh keadaan hidupnya selanjutnya.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Mari kita menengok keadaan Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Telah diceritakan betapa tulang paha dari Hui-eng N iocu Siok Li Hwa parah terkena ledakan senjata rahasia dari serdadu-serdadu Mongol, kemudian Sin Hong terpaksa sekali menolong dan merawatnya karena kalau ia tidak mau, gadis itu pun tidak mau dirawat orang lain dan rela mati terlantar di dalam hutan!

Wan Sin Hong yang dapat mengenal watak orang maklum bahwa gadis seperti Li Hwa ini tidak takut mati dan akan membuktikan apa yang di katakannya. Oleh karena itu, juga karena ia memang kasihan dan suka kepada dara liar ini, ia memondong tubuh Li Hwa yang terluka, membawanya ke dalam sebuah goa yang menjadi tempat tinggal sementara karena Li Hwa tidak boleh kembali ke Hui-engpai kalau membawa laki-laki. Ia merawat paha yang pecah tulangnya itu sehingga Li Hwa yang mencinta Sin Hong dengan seluruh jiwa raganya merasa amat bahagia! Memang lucu sekali. Alangkah mudahnya bahagia datang bagi orang yang dimabuk cinta!

Setelah berbulan-bulan hidup di dekat Siok Li Hwa, Sin Hong mendapat kenyataan bahwa gadis yang nampaknya liar dan keras ini, sesungguhnya mempunyai watak yang baik sekali dan berhati emas. Selain Li Hwa amat mencintanya, juga gerak gerik gadis itu makin meresap mencocoki seleranya, kelihatan manis, menarik dan menawan hati. Heran dia! Mungkinkah dia mencinta Li Hwa? Atau mungkinkah cinta kasih gadis itu kepadanya yang amat mendalam membawa pengaruh dan "menular" kepadanya?

Sin Hong menjadi bingung kaiau perasaan cinta kasih terhadap Li Hwa merangsang di hatinya. ia berpikir-pikir. Dulu aku mencinta Gak Soan Li, lalu aku merasa bahwa yang kucinta Go Hui Lian. Sekarang... aku mencinta Siok Li Hwa! Begini mudah berubahkah hatiku? Begini murah dan palsukah cintaku? Aku tak boleh tergesa-gesa. Harus kubuktikan lebih dulu apakah perasaanku kali ini betul-betul murni. Sudah dua kali aku mecinta orang dan selalu gagal merangkai cinta kasih menjadi sebuah pernikahan yang membahagiakan. Kali ini aku tak boleh gagal lagi dan tidak boleh sembarangan mengaku cinta sebelum aku tahu pasti bahwa perasaan yang timbul ini murni!

Selagi ia melamun itu, dari dalam goa keluarlah Siok Li Hwa, jalannya masih perlahan akan tetapi tidak terasa sakit lagi. "Sin Hong, sepagi ini kau sudah melamun. Memikirkan apa sih?" Tegur dara itu dengan suara manis.

Sin Hong terkejut mendengar suara orang yang sedang menjadi buah lamunannya itu. Ia berpaling dan matanya bersinar melihat Li Hwa keluar dari goa. Pakaiannya kumal, rambutnya awut-awutan dan matanya masih mengantuk Akan tetapi nampak cantik dalam pandang matanya, kecantikan aseli. Sin Hong menekan kekaguman hatinya dan membelokkan perhatian gadis itu dengan tegurannya.

"Kau sudah tidak pincang lagi, Li Hwa. Akan tetapi hati-hati, jangan terlalu cepat berjalan! Dan kau bangun terlalu siang. Makin pagi makin baik merendam pahamu di telaga. Hayo kuantar ke sana cepat-cepat, jangan sampai matahari keburu keluar!"

Li Hwa nnemandang kepada pemuda itu dengan mata bersinar dan wajahnya yang sayu berseri. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan ke dada dengan sikap menghormat sekali, lalu berkata nadanya menggoda. "Baiklah, Tuan Perawat. Hamba akan mentaati segala perintah Tuan." Setelah berkata demikian gadis ini hendak lari ke telaga yang tak jauh dari situ letaknya.

"Bandel...!" Sin Hong mendamprat dan dilain saat gadis itu sudah dipondongnya dan dibawanya lari ke telaga seperti yang setiap hari ia lakukan sebelum Li Hwa kuat berjalan.

Li Hwa menyandarkan kepalanya di dada Sin Hong sambil memejamkan matanya. Terasa enak dan nyaman dalam pondongan tangan yang kuat itu, seperti anak kecil dipondong ibunya, terayun-ayun dan penuh perasaan aman. "Sin Hong, sudah seminggu lebih kau tidak memondongku. Aku sengaja keluar agak siang supaya kau khawatir aku terlambat merendam kakiku..."

"Hemmmmm, kau memang bengal sekali. Jadi kau sengaja bangun siang dan memperlambat pergi merendam kaki ke telaga hanya agar aku memondongmu ke sini?"

"Habis, aku rindu akan pondonganmu sih!" jawabnya manja dan genit.

Sin Hong menurunkan Li Hwa di pinggir telaga di atas sebuah batu yang berada di pinggir telaga sehingga dengan duduk di atas batu itu Li Hwa dapat merendam kakinya dan dapat pula mandi seperti yang biasa ia lakukan apabila pada pagi hari merendam kaki.

"Mandilah, aku hendak pulang dulu," kata Sin Hong. Kata-kata "pulang" ini memang sudah biasa mereka katakan kalau mereka bermaksud kembali ke dalam goa besar yang seakan-akan sudah menjadi rumah tinggal mereka. Setelah berkata demikian, Sin Hong membalikkan tubuh hendak meninggalkan tempat itu agar Li Hwa dapat mandi dan merendah kaki dengan leluasa.

"Sin Hong, jangan tinggalkan aku...!"

"Eh, eh, kau seperti anak kecil saja, Li Hwa. Bukankah sudah beberapa hari ini kau berendam seorang diri?"

"Dulu kau selalu membantuku merendam kaki..." cela Li Hwa manja.

Sin Hong memandang dan tersenyum gemas. "Dulu. tulang pahamu masih belum tersambung benar, kau tidak bisa turun seorang diri. Sudah tentu aku membantumu. Akan tetapi sekarang... kau sudah kuat, tidak saja dapat merendam kaki, akan tetapi juga dapat turun mandi. Apa kau ini anak kecil yang harus kumandikan?" Tiba-tiba muka Sin Hong menjadi merah oleh kata-kata terakhir yang terlanjur ia ucapkan itu.

"Mengapa tidak...?" Li Hwa menjawab, senyum dan pandang matanya menantang sehingga muka Sin Hong menjadi makin merah.

"Sudahlah Li Hwa. Jangan main-main. Lekas kau mandi dan aku menunggu di depan goa."

”Sin Hong, kalau aku terjeblos ke dalam lubang di telaga lagi, aku sekarang takkan menjerit kalau kau pergi"

Sin Hong teringat ketika beberapa hari yang lalu ia meninggalkan Li Hwa mandi seorang diri, tiba-tiba ia mendengar gadis itu menjerit. Cepat bagaikan terbang ia lari dari depan goa menuju ke telaga itu dan melihat gadjis itu tenggelam dan hanya kelihatan dua tangannya saja di permukaan air. Dapat dibayangkan betapa kagetnya. Tanpa ingat apa-apa lagi ia lalu melompat ke dalam air dan menolong gadis itu yang setelah ia tarik tangannya ternyata bahwa gadis itu telah terjeblos ke dalam sebuah lubang yang dalam.

Setelah Li Hwa selamat baru ia insaf, bahwa ia berada dalam keadaan yang amat tidak pantas berdekatan dengan gadis yang baru man di! Cepat ia melepaskan Li Hwa yang sudah selamat dan melompat ke pinggir, dengan muka membelakangi Li Hwa ia mengomeli gadis itu yang tertawa-tawa! Teringat akan ini, terpaksa Sin Hong tidak berani meninggalkan tempat itu dan ia me narik napas panjang merasa kalah oleh gadis yang pintar menggoda dan keras kepala itu.

"Baiklah, aku akan menunggu di sini, akan tetapi jangan kau ke tengah. Mandi di pinggir juga cukup, mengapa mesti ke tengah di mana banyak lubangn ya yang tak tersangka-sangka?"

Li Hwa tersenyum penuh kemenangan dan dia kini tanpa sungkan-sungkan lagi lalu menanggalkan pakaian dan merendam paha sekalian mandi. Ia bermain-main dengan air bahkan sambil tertawa-tawa beberapa kali menggunakan air untuk dipercikkan ke pinggir ke arah Sin Hong. Tiada hentinya ia menggoda pemuda itu dan mengajaknya bercakap-cakap. Akan tetapi Sin Hong selalu menjawab tanpa menoleh.

Diam-diam Li Hwa makin suka melihat sikap Sin Hong yang sopan ini, makin suka dan juga geli hatinya. Perasaan wanitanya dapat meraba betapa sangat inginnya hati pemuda itu menoleh dan melihatnya namun, ditahan- tahannya. Ini semua hanya karena Wan Sin Hong adalah seorang pemuda yang hebat, seorang pemuda yang berhati kuat, beriman teguh. Pemuda pilihan dan karenanya Li Hwa menjadi makin cinta saja.

Sebetulnya, berkat perawatan Sin Hong yang amat telaten dan penuh perhatian, juga karena pengobatan Sin Hong yang luar biasa, tulang paha yang patah itu sudah tersambung baik dan kaki Li Hwa sudah sembuh sama sekali. Akan tetapi karena gadis itu takut kalau-kalau Sin Hong akan meninggalkannya, maka ia berlaku pura-pura masih sakit! Gadis ini amat berkhawatir kalau-kalau Sin Hong akan pergi dari sampingnya dan hal ini akan merupakan siksaan batin baginya. Ia tidak kuat lagi kalau harus berpisah dari dekat pemuda itu. Setelah selesai merendam kakinya dan mandi, Li Hwa cepat mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian lagi. Rambutnya yang hltam panjang itu dikepang dan diperasnya.

"Mari kita pulang, Sin Hong," katanya setelah selesai.

Baru Sin Hong mau menoleh dan memandang gadis itu yang nampak segar dan cantik, biarpun kini rambutnya menjadi tidak karuan karena basah. "Marilah, aku hendak bicara sesuatu dengan kau, Li Hwa," jawab Sin Hong.

Mereka berjalan kaki berdampingan. Telaga itu terletak di sebelah barat goa sehingga ketika mereka "pulang" mereka menyongsong terbitnya matahari. Pagi yang cerah dan indah. Musim semi telah tiba sehingga hutan itu penuh bunga dan daun. Burung-burung menyambut matahari, bunga-bunga tersenyum kepada mereka. Pagi nan indah, Li Hwa berjalan perlahan di samping Sin Hong sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Sesungguhnya gadis ini merasa amat gelisah karena kata-kata Sin Hong tadi.

Ia takut ditinggalkan, Akan tetapi ia menahan hatinya dan mengobati kegelisahannya dengan bernyanyi-nyanyi, Di antara anak buah Hui-eng-pai terdapat banyak wanita yang pandai bernyanyi dan Li Hwa yang mempunyai suara merdu mempelajari banyak macam nyan yian.

Sin Hong berjalan dengan pikiran penuh pertanyaan dan kesangsian. Gadis di sampingnya ini memang aneh sekali. Ia sampai merasa heran memikirkan mengapa Li Hwa demikian mencintanya. Belum pernah seingatnya ada wanita yang mencintanya sebesar cinta Li Hwa kepadanya. Sudah beberapa kali para ketua Hui-eng-pai datang dan membujuk Li Hwa untuk kembali seorang diri di Hui-eng-pai, menduduki kembali kedudukan ketua. Akan tetapi tetap Li Hwa menolak.

"Tempatku adalah di dekat Wan-bengcu. Kalian kembalilah. Kalau perlu, bubarkan saja Hui-eng-pai. Aku tidak mau lagi memimpin dan aku akan hidup membantu Wan-bengcu."

Adapun Li Hwa yang bernyanyi-nyanyi kecil itu juga melamun. Selama beberapa bulan ini Sin Hong hidup di dekatnya siang malam. Belum pernah satu kali pun Sin Hong memperlihatkan bahwa pemuda itu membalas cinta kasihnya dan pemuda ini selalu bersikap penuh sopan santun. Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa Sin Hong selalu menjaganya, selalu merawatnya dan wajah yang tampan dan tenang itu nampak berseri gembira setiap kali mendapat kenyataan bahwa kakinya berangsur sembuh. Apakah benar-benar pemuda ini tega meninggalkannya? Tidak, ia akan menolak untuk ditinggalkan!

Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa dadanya berdebar gelisah ketika mendengar kata-kata Sin Hong yang menyatakan hendak bicara sesuatu dengan dia. Karena kegelisahan inilah maka Li Hwa untuk sementara lupa akan peranannya sebagai seorang gadis yang "tak pernah sembuh kakinya". Biasanya ia selalu berpura-pura kakinya masih sakit dan belum sembuh betul sehingga jalannya tak begitu cepat. Akan tetapi sekarang, saking tegangnya perasaan, ia berjalan cepat dan terus mengikuti Sin Hong yang sengaja mempercepat langkahnya.

Setelah mereka tiba di depan goa, Sin Hong berhenti dan memutar tubuh menghadapi Li Hwa sambil berkata. "Li Hwa, kakimu sudah sembuh. Jalanmu sudah kuat dan cepat!"

Li Hwa kaget sekali. Baru ia sadar bahwa ia tadi telah berjalan cepat sekali, terlalu cepat bagi seorang yang kakinya masih sakit! "Tidak... tidak...!" ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tahu bahwa kali ini ia tidak dapat membohong lagi. Ia hanya berdiri bingung dan mukanya berubah pucat, matanya terbelalak lebar seperti orang ketakutan.

Melihat keadaan gadis ini, Sin Hong menghela napas dan berkata perlahan setelah dua kali menelan ludah, sukar baginya untuk mengeluarkan suara pada saat itu. "Li Hwa, setiap pertemuan tentu akan berakhir dengan perpisahan. Kini sudah tiba masanya kita harus berpisah."

"Tidak... Sin Hong, kau tidak boleh meninggalkan aku...!" Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada menjerit akan tetapi keluarnya perlahan sekali seperti bisikan yang serak terhalang isak. Mata yang terbelalak itu mulai membasah, bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah itu mulai menggigil dan digigit-gigitnya menahan tangis. "Sin Hong... jangan tinggalkan aku!!" Dan tiba-tiba gadis ini menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Hong, menundukkan kepala. Pundaknya bergoyang-goyang dan isaknya ditahan-tahannya. "Sin Hong... kau boleh tinggalkan aku setelah kau bunuh dulu aku..."

Melihat ini, kembali Sin Hong merasa ada debar aneh di dalam dadanya. Ia cepat memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkat bangun. Mereka berdiri berhadapan. kedua tangan Sin Hong masih menyentuh pundak Li Hwa.

"Li Hwa, angkat muka dan berlakulah gagah! Tidak semestinya kau berlutut di depanku. Li Hwa, kau melarang aku pergi, apakah selama hidupku aku harus berdiam di sini di goa ini seperti... mahluk jaman purba? Aku telah ditugaskan sebagai seorang bengcu dan pekerjaanku banyak. Apa akan kata orang di dunia kalau Wan-bengcu menyembunyikah diri saja di sini bersamamu?"

"Sin Hong," Li Hwa berkata dengan air mata masih menetes turun di kedua pipinya. "Kau boleh pergi dari sini, akan tetapi aku ikut! Kalau kau pergi meninggalkan aku dengan paksa... aku... aku akan membunuh diri!"

Sin Hong menarik napas panjang. Hal ini sudah ia duga, bahkan ia sudah mengerti bahwa dara ini pasti akan berkata demikian. "Li Hwa, apa kau sudah pikirkan masak-masak apa artinya ucapanmu? Kau adalah seorang ketua perkumpulan yang besar. Hidupmu di sini sudah senang dan mewah. Kau ikut aku? Aku ini orang apakah? Tidak karuan tempat tinggalku, lagi pula, kau sendiri tidak tahu bahwa kini kedudukanku terancam, tokoh-tokoh selatan memusuhiku, orang-orang dari utara mengarah nyawaku, dan agaknya tokoh-tokoh di daerah Cin juga sudah mulai tak percaya kepadaku karena aku keturunan pangeran bangsa Cin. Kau mau ikut aku? Kau tahu bahaya setiap waktu mengancam diriku dan kalau kau ikut, berarti kau pun terancam bahaya pula."

Mendengar ini, Li Hwa memandang kepada Sin Hong dengan marah. Matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api. "Sin Hong, kau kira aku ini gadis macam apakah? Kau pemberani, apa kau kira aku pun takut mati? Apalagi hanya menghadapi bahaya, biarpun harus menyerbu lautan api, kalau bersamamu aku rela dan berani! Sin Hong harus berapa kalikah aku menyatakan bahwa hidupku hanya untukmu seorang? Tanpa kau disampingku lebih baik aku mati!"

"Li Hwa... Li Hwa...! Tentu saja aku tahu akan cinta kasihmu kepadaku dan aku percaya sepenuhnya akan perasaanmu yang murni itu. Aku merasa amat berbahagia bahwa seorang serendah aku mendapat penghormatan sebesar ini, mendapat cinta kasih seorang gadis sepertimu. Baiklah, Li Hwa. Hal ini memang sudah kupertimbangkan masak-masak. Kau boleh ikut dengan aku, selamanya sampai kau bosan."

"Kau gila...!" Li Hwa bersorak seperti anak kecil lalu memandang kepada Sin Hong dengan bibir cemberut. "Sin Hong, kau benar-benar gila kalau mengira aku akan menjadi bosan."

Sin Hong tersenyum, diam-diam terharu sekali melihat gadis ini. "Li Hwa, dengarlah baik-baik. Kita sudah sama-sama dewasa, bukan orang-orang muda yang masih hijau. Kita sama tahu apa artinya dan apa bahayanya apabila kita berdua selalu berkumpul dan melakukan perjalanan bersama. Li Hwa, marilah kita duduk dan mari kita bicara sebagai seorang laki-laki dan seorang perempuan dewasa yang penuh pengertian dan berpandangan luas. Aku perlu membuka isi hatiku sebelum melakukan perjalanan berdua bersamamu."

Dengan wajah berseri dan muka kemerahan karena kata-kata yang baru diucapkan oleh Sin Hong itu Li Hwa mengangguk dan me reka memilih tempat duduk di atas batu-batu hitam yang banyak terdapat di tempat itu, di bawah lindungan bayangan pohon yang teduh.

"Li Hwa, mari kita selidiki keadaan kita masing-masing. Dan mari kita membuka isi hati secara jujur."

Sin Hong memulai dan wajahnya yang nampak sungguh-sungguh membuat Li Hwa berdebar dan gadis ini tidak berani main-main dan berjenaka seperti biasanya.

"Lebih dulu aku akan bicara tentang dirimu. Kau seorang gadis yang menjadi ketua Hui-eng-pai, kau telah rela menghadapi kekurangan dan kesengsaraan karena kau mencinta kepada seorang seperti aku dan sudah sewajarnyalah kalau kau menjadi seorang isteri yang berbudi dan membahagiakan hati suamimu..."

Tangan Gledek Jilid 10

Tangan Gledek Jilid 10

Pak-kek Sam-kui tinggal di sebuah rumah besar dan mereka mempunyai banyak pelayan laki-laki dan wanita. Tiang Bu mendapat sebuah kamar sendiri dan bocah ini merasa lega dan senang karena. ternyata tiga orang suhunya tidak tinggal bersama banyak orang yang dijumpainya tadi.

Dengan amat tekun Tiang Bu berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Pak-kek Samkui. Biarpun bocah ini tidak suka dengan ilmu-ilmu silat mereka yang dianggapnya kasar dan penuh gerakan-gerakan curang, namun harus ia akui bahwa ilmu silat mereka itu hebat sekali, lagi sukar dipelajari. Dengan sabar dan rajin ia berlatih terus, dan kini ia mendapat kesempatan untuk mulai melatih diri dengan gerakan-gerakan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang sudah dihafal teorinya.

Tiap malam ia berlatih di dalam kamarnya dengan amat tekun sehingga dalam waktu setahun saja Tiang Bu telah memperoleh kemajuan pesat. Ilmu silat yang ia dapat dari kitab dari Omei-san itu benar-benar hebat. Gerakan-gerakan kaki tangan dalam Ilmu Silat Pat -hong-hong-i ini mengandung kekuatan yang mendorong kemampuannya dalam berlatih Iweekang menurut petunjuk Pak-kek Sam-kui.

Tiga orang kakek ini sampai terheran-heran melihat kemajuan yang luar biasa dari murid mereka. Mereka hanya merasa heran dan gembira, sama sekali tidak mengira bahwa kemajuan Tiang Bu itu sebagian besar berkat latihan-latihannya di waktu malam di dalam kamarnya!

Tiang Bu merasa menyesal sekali bahwa kamarnya tidak cukup luas untuk berlatih Pat-hong-hong-i, karena pukulan-pukulan dari ilmu silat ini mengandung hawa pukulan yang menderu sehingga kalau ia berlatih terlalu cepat dan terlalu mengerahkan tenaga, suara hawa pukulan itu akan terdengar oleh ketiga suhunya. Alangkah senangnya kalau ia dapat berlatih di luar, di udara terbuka, pikirnya.

Akhirnya kesempatan itu tiba. Pak-kek Sam-kui mulai melakukan tugas-tugas baru, membantu pasukan-pasukan menggempur suku-suku bangsa yang belum mau taluk di daerah perbatasan selatan dan barat. Pengaruh bala tentara Mongol mulai berkembang dan membesar. Temu Cin mulai memperluas wilayahnya ke barat menyerbu daerah Sin-kiang dan ke selatan menalukkan suku-suku bangsa perantau, memaksa mereka menggabung dengan bala tentaranya. Bahkan ia mulai mendesak kedudukan orang-orang bermata biru di utara!

Kesempatan selagi guru-gurunya tidak ada, dipergunakan oleh Tiang Bu sebaik-baiknya. Biarpun para pelayan memperlakukannya dengan baik dan hormat mengingat bahwa anak ini murid dari Pak-kek Sam-kui, namun Tiang Bu tidak berani berlatih silat di dekat rumah itu. Ia sengaja keluar dari rumah, bahkan keluar dari perkampungan dan berlatih silat di dalam sebuah hutan yang sunyi. Di dalam hutan ini ia boleh berlatih sesuka hatinya. Ia bersilat Sam-hoan Sam-bu sehingga ketangkasannya yang dulu kembali setelah ia latihan beberapa kali.

Juga Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang dilatihnya makin maju saja. Ia merasa tubuhnya ringan dan kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan kalau ia mainkan Pat-hong-hong-i. Sampai sehari penuh ia melatih di dalam hutan ini, bahkan kadang-kadang ia datang di situ pada malam hari secara diam-diam kalau para pelayan sudah tidur pulas.

Kalau ia lelah, ia duduk di atas batu karang dan melamun. Di samping kegirangannya melihat kemajuannya sendiri, kadang-kadang ia juga merasa sedih. Ia tidak kerasan tinggal di daerah utara yang amat dingin ini. Dan celakanya tiga orang gurunya sama sekali tidak mau mempedulikannya sehingga pakaiannya tak pernah diganti, masih tetap compang-camping.

Bahkan baju yang dipakainya itu kini sudah tidak berlengan lagi, atau hanya berlengan setengah. Terpaksa ia potong sebatas Siku dan potongannya dipergunakan untuk menambali bagian-bagian yang sudah robek dan berlubang. akan tetapi kepada siapa ia harus mengeluh? Tiga orang gurunya memang manusia-manusia aneh. Mereka menduduki pangkat-pangkat besar, kaya raya dan hidupnya mewah, namun pakaian ketiga orang gurunya itu pun hampir tak perhah diganti!

Biarlah, pikirnya menghibur hati sendiri. Aku mendapat makan cukup, ini saja sudah baik sekali. Kelak kalau ada kekuatan, aku harus segera minggat dari tempat ini. Dengan pikiran seperti ini Tiang Bu dapat menahan hidup diutara sampai dua tahun lebih. Ia masih belum berani melarikan diri oleh karena maklum akan luasnya pengaruh bangsa Mongol dan bahwa Temu Cin mempunyai banyak sekali kaki tangan di mana-mana. Kalau ia harus pergi, pergi ke manakah? Pergi ke selatan tentu akan dapat dikejar oleh tiga orang gurunya, karena kepandaiannya sendiri masih jauh untuk dapat dipergunakan menjaga diri dalam tempat berbahaya itu.

Ketika itu Pak-kek Sam-kui melakukan tugas penting sampai dua bulan lebih. Tiang Bu menjadi senang sekali dan waktu yang dua bulan lebih itu ia pergunakan untuk melatih Pat-hong-hong-i dan Sam-hoan Sam-bu sebaik-baiknya, sehingga boleh dibilang siang malam ia berada di dalam hutan itu. Memang ia memiliki bakat yang baik sekali, pula otaknya memang cerdas maka ia kini telah dapat memainkan dua macam ilmu silat tinggi ini secara cukup baik.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejak ia datang, kurang lebih dua bulan kemudian, Panglima Besar Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji telah berangkat ke selatan, sesuai dengan siasat Temu Cin, yaitu mengumpulkan bala bantuan di selatan dan kalau mungkin menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menentangnya di daerah Cin. Semenjak pertemuan pertama itu, Tiang Bu sudah lupa lagi akan panglima itu. Kalau saja ia tahu bahwa orang itu bukan lain adalah ayahnya sendiri!

Akan tetapi ia tidak tahu, tak seorang pun tahu. Juga Kong Ji sendiri tidak tahu. Di dalam dunia ini kiranya hanya tiga orang yang tahu betul akan hal itu, mereka adalah Wan Sin Hong, Go Hui Lian dan Coa Hong Kin.

Pada hari itu seperti biasa Tiang Bu pagi- pagi sudah pergi ke hutan dan di tempat biasa ia mulai berlatih Ilmu Silat Pat-hong-hong-i. Angin pukulan yang keluar dari kedua tangannya menderu-deru mengeluarkan suara. Benar-benar luar biasa ilmu silat ini dan lebih luar biasa lagi adalah anak itu yang dalam usia sembilan tahun sudah dapat bersilat seperti itu baiknya. Saking asyiknya Tiang Bu berlatih ia sama sekali tidak tahu bahwa Pak-kek Sam-kui sudah berdiri tak jauh dari situ, memandang dengan mata bersinar marah sekali!

"Setan cilik! Kau telah menipu dan menghina kami! Kau harus mampus!" seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw dengan marah sekali.

Tiang Bu menjadi pucat ketika ia menghentikan gerakan kaki tangannya dan menoleh kepada mereka. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan menanti dengan tenang apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Bangsat rendah, ilmu silat apa yang kau latih tadi?" tanya Giam-lo-ong Ci Kui dengan suara menggeledek.

Tiang Bu maklum bahwa membohong takkan ada gunanya setelah mereka itu menyaksikan dengan mata sendiri. Ia berlutut sambil berkata, "Teecu berlatih Ilmu Silat Pat-hong-hong-i."

"Dari siapa kau belajar ilmu setan itu?" tanya pula Ci Kui, agak tertegur melihat muridnya bicara demikian terus terang.

"Dari... dari sebuah kitab di bawah petunjuk mendiang Bu Hok Lokai."

Kembali tiga orang kakek itu melengak. Jadi orang jembel yang mati di pinggir jalan itu adalah Bu Hok Lokai dan menjadi guru Tiang Bu? Benar-benar mereka tidak pernah menyangkanya.

"Apalagi yang kau pelajari dari jembel itu selain ilmu tadi dan mengemis?" Ci Kui bertanya, suaranya mengandung ejekan.

"Teecu diberi pelajaran ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu..." Baru saja ia bicara sampai di sini, Liok-te Mo-ko Ang Bouw sudah tak dapat menahan sabar lagi.

"Bagus, coba kita lihat sampai di mana lihainya dua ilmu silat itu!" Sambil berkata demikian ia melompat maju menerkam Tiang Bu dengan buasnya!

Tiang Bu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia berada dalam bahaya besar karena ia sudah mengenal baik watak tiga orang gurunya ini. Cepat ia menggerakkan kakinya, melesat ke belakang dan di lain saat ia telah dapat mengelak beberapa serangan Ang Bouw yang bertubi-tubi dengan mempergunakan gerakan Pat-honghong-i yang tadi dilatihnya.

"Setan alas! Dia dapat mengelak!" seru Sin-saikong Ang Louw yang segera maju pula menyerbu. "Biar aku yang membunuh setan ini!"

"Tidak, aku yang harus merobohkannya," kata Ci Kui yang maju pula menyerang. Di lain saat Tiang Bu sedang diserbu oleh tiga orang suhunya!

"Celaka..." anak ini mengeluh, menghadapi seorang saja ia tahu bahwa akhirnya akan terpukul binasa, apalagi ketiga-tiganya maju bersama. Namun ia tidak putus asa dan cepat mainkan Pat-hong hong-i sebaik-baiknya.

Untung baginya bahwa karena memandang rendah, tiga orang kakek itu tidak mempergunakan ilmu silat lain dan menggunakan Ilmu Silat Hui-houw-tong-te untuk menyerangnya. Mungkin Pak-kek Sam-kui merasa malu kalau mengghinakan ilmu silat lain yang belum dikenal Tiang Bu. Hui-houw» tong-te sudah dipelajari oleh Tiang Bu secara baik-baik, maka sudah cukup adil kiranya kalau mereka juga menggunakan ilmu ini untuk menyerang.

Sama sekali mereka lupa bahwa tiga orang kakek yang sudah kenamaan di dunia kang-ouw mengeroyok seorang bocah berusia sembilan-sepuluh tahun, benar-benar merupakan hal yang menggelikan dan menjemukan. Akan tetapi Pak-kek Sam-kui bukanlah orang-orang biasa, mereka berwatak jahat dan aneh dan segala niat di dalam hati mereka lakukan tanpa mempedulikan anggapan orang lain.

Melihat datangnya serangan dari tiga jurusan Tiang Bu yang cerdik lalu mengubah gerakannya dan mainkan ilmu mengelak Sam-hoan Sam-bu. Ilmu ini lebih tepat untuk menghadapi keroyokan tiga orang, apalagi karena dengan ilmu ini perhatiannya seluruhnya dipusatkan untuk menghindarkan diri dari serangan, sama sekali tidak ada jurus menyerang.

Pak-kek Sam-kui benar-benar merasa penasaran sekali. Bocah itu gerakannya lincah melebihi burung walet, gesit melebih kera. Dipukul sana melesat ke sini, dicegat sini menerobos sana, benar-benar sukar ditangkap atau dipukul. Gerakan kaki yang juga langkah berubah dan tangannya yang bergerak ke sana ke mari seperti menari itu benar-benar sukar di-ikuti. Sampai dua puluh jurus Tiang Bu selalu dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi ia mulai lelah dan langkah-langkahnya mulai dikenal oleh Pak-kek Sam-kui. Sekali bergerak, Pak-kek Sam-kui sudah mengambil kedudukan yang mencegat dan mematikan tiga langkahnya, Tiang Bu terjepit dan sekali pukul ia akan mati.

"Pak-kek Sam-kui tak tahu malu! Pergi kalian!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang tongkat panjang dengan ukiran kepala naga berkelebat menyambar ke arah tiga orang itu dengan hebat sekali. Sambaran tongkat ini benar hebat, menyambarnya ke arah kepala Pak-kek Sam-kui jadi melewati atas kepala Tiang Bu. Ton gkat itu sekaligus menyerang tiga orang pengurung Tiang Bu tanpa membahayakan bocah itu sendiri.

Pak-kek Sam-kui kaget sekali dan tidak berani menangkis sambaran tongkat yang angin pukulannya panas ini. Mereka cepat melompat mundur dan ketika mereka memandang, ternyata yang berdiri di depan mereka adalah seorang hwesio gundul tinggi besar dengan jubah merah dan tongkat kepala naga yang panjang. Pendeta Lama baju merah dari Tibet.

"Thai Gu Cinjin...!" Giam-lo-ong Ci Kui berseru kaget. Tak disangkanya sama sekali pendeta Lama ini bisa berkeliaran sampai di sini! "Kau datang ke Mongol ada keperluan apakah?"

Seperti diketahui, Thai Gu Cinjin ini adalah hwesio Lama dari Tibet yang telah berhasil mencuri sebuah kitab dari Gunung Omei-san. Di bagian depan telah diceritakan bahwa karena takut dirampas oleh Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin ini menitipkan kitab curiannya kepada Tiang Bu dan kemudian setelah Ang-jiu Mo-li gagal mendapatkan kitab di tangannya, ia pun gagal mendapatkan bocah yang dititipi kitab itu!

Kemudian setelah mencari sekian lama tanpa hasil, ia mendengar bahwa bocah itu adalah murid Pak-kek Sam-kui, maka bergegas ia pergi ke Mongol untuk mencari Pak-kek Sam-kui. Kebetulan sekali ia mendengarkan percakapan antara Pak-kek Sam-kui dah Tiang Bu, dan melihat betapa bocah itu terancam bahaya maut.

Kalau saja ia sudah mendapatkan kitabnya kembali, kiranya ia takkan peduli apakah Pak-kek Sam-kui hendak memecah dada atau kepala bocah itu. Akan tetapi ia harus mendapatkan kitabnya lebih dulu, maka cepat ia mencegah, Pak-kek Samkui membunuh Tiang Bu.

"Pak-kek Sam-kui, kalau tidak ada urusan penting untuk apa pinceng jauh-jauh datang ke tempat buruk ini . Seperti kalian ketahui, pinceng kehilangan kitab pelajaran ilmu silat yang dulu pin-ceng titipkan kepada Setan Cilik ini. Setelah pinceng mendapatkan kembali kitab itu, kalian mau bunuh dia boleh bunuh, pinceng tidak ada urusan lagi." Kemudian tanpa menghiraukan Pak-kek Sann-kui lagi, Thai Gu Cinjin melangkah maju menghadapi Tiang Bu dan membentak. "Anak setan, mana kitab yang kutitipkan padamu dulu?"

Diam-diam Tiang Bu mengeluh akan nasibnya yang benar-benar buruk. Baru saja terlepas dari tangan Pak-kek Sam-kui, ternyata yang menolongnya adalah hwesio yang ia bawa lari kitabnya dan yang tentu marah sekali kepadanya. Ini sama halnya dengan terlepas dari mulut harimau jatuh di mulut naga. Akan tetapi sudah kepalang. Ia maklum takkan dapat hidup lebih lama lagi, maka timbul keberaniannya yang luar biasa.

"Losuhu, kitab itu sudah teecu bakar."

Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu itu berubah hijau. Tongkat kepala naga di tangannya menggigil, agaknya hendak dijatuhkan ke atas kepala Tiang Bu. Kalau hal ini terjadi, tentu kepala bocah itu akan remuk seperti telur ayam dipukul dengan batu. "Anak setan! Jangan kau membohong. Tadi pinceng lihat ilmu silatmu Pat-honghong-i dari kitab itu cukup baik. Dari mana kau belajar kalau tidak dari, kitab itu? Mana sekarang kitabnya?"

"Teecu katakan sudah teecu bakar. Tentu saja teecu belajar dari kitab itu. Setelah isinya teecu pindahkan ke dalam otak, lalu kitab itu teecu bakar."

"Jadi kau hafal semua isi kitab itu?" tanya Thai Gu Cinjin terheran.

Tiang Bu mengangguk. "Hafal di luar kepala segala teori dan gerakannya."

Sengaja Tiang Bu menyombong karena melihat lubang jarum untuk lolos. Barangkali hal ini yang akan menyambung nyawaku pikirnya. Betul saja dugaan bocah cerdik ini. Sekali menggerakkan tangan kiri, Thai Gu Cinjin sudah menyambar tubuhnya dan dikempitnya demikian kuat sehingga Tiang Bu khawatir dadanya akan pecah.

"Pak-kek Sam-kui, bocah ini kubawa. Setelah isi kitab kuperas keluar dari kepalanya, pinceng akan mewakili kalian mencabut nyawanya."

Pak-kek Sam-kui tak beram membantah. Mereka maklum bahwa pendeta Lama ini kepandaiannya lebih tinggi daripada mereka sehingga kalau terjadi pertempuran, kiranya mereka akan kalah. Dan lagi apa sih gunanya bertempur? Mereka tidak sudi menjadi guru-guru Tiang Bu lagi dan akan lebih baik kalau anak itu dibawa dan juga kalau mereka yang membunuh, mereka takut kelak dibunuh oleh Thai Gu Cinjin. Betapapun juga akan pembalasan yang mungkin datang dari fihak Wan Sin Hong!

"Sesukamulah, Thai Gu Cinjin. Kami tidak membutuhkan bocah ini. Sebaiknya kalau bocah ini dibunuh karena kelak ia hanya akan mendatangkan malapetaka saja." kata Ci Kui.

Thai Gu Cin Jin hanya tersenyum dan mengeluarkan suara ketawa menghina seakan-akan mentertawakan nasihat Ci Kui ini, kemudian dengan gerakan yang amat cepat ia berlari keluar dari hutan menpju ke selatan. Untuk kesekian kali-nya; Tiang Bu terjatuh ke dalam tangan seorang sakti lain lagi yang akan mengubah seluruh keadaan hidupnya selanjutnya.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Mari kita menengok keadaan Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Telah diceritakan betapa tulang paha dari Hui-eng N iocu Siok Li Hwa parah terkena ledakan senjata rahasia dari serdadu-serdadu Mongol, kemudian Sin Hong terpaksa sekali menolong dan merawatnya karena kalau ia tidak mau, gadis itu pun tidak mau dirawat orang lain dan rela mati terlantar di dalam hutan!

Wan Sin Hong yang dapat mengenal watak orang maklum bahwa gadis seperti Li Hwa ini tidak takut mati dan akan membuktikan apa yang di katakannya. Oleh karena itu, juga karena ia memang kasihan dan suka kepada dara liar ini, ia memondong tubuh Li Hwa yang terluka, membawanya ke dalam sebuah goa yang menjadi tempat tinggal sementara karena Li Hwa tidak boleh kembali ke Hui-engpai kalau membawa laki-laki. Ia merawat paha yang pecah tulangnya itu sehingga Li Hwa yang mencinta Sin Hong dengan seluruh jiwa raganya merasa amat bahagia! Memang lucu sekali. Alangkah mudahnya bahagia datang bagi orang yang dimabuk cinta!

Setelah berbulan-bulan hidup di dekat Siok Li Hwa, Sin Hong mendapat kenyataan bahwa gadis yang nampaknya liar dan keras ini, sesungguhnya mempunyai watak yang baik sekali dan berhati emas. Selain Li Hwa amat mencintanya, juga gerak gerik gadis itu makin meresap mencocoki seleranya, kelihatan manis, menarik dan menawan hati. Heran dia! Mungkinkah dia mencinta Li Hwa? Atau mungkinkah cinta kasih gadis itu kepadanya yang amat mendalam membawa pengaruh dan "menular" kepadanya?

Sin Hong menjadi bingung kaiau perasaan cinta kasih terhadap Li Hwa merangsang di hatinya. ia berpikir-pikir. Dulu aku mencinta Gak Soan Li, lalu aku merasa bahwa yang kucinta Go Hui Lian. Sekarang... aku mencinta Siok Li Hwa! Begini mudah berubahkah hatiku? Begini murah dan palsukah cintaku? Aku tak boleh tergesa-gesa. Harus kubuktikan lebih dulu apakah perasaanku kali ini betul-betul murni. Sudah dua kali aku mecinta orang dan selalu gagal merangkai cinta kasih menjadi sebuah pernikahan yang membahagiakan. Kali ini aku tak boleh gagal lagi dan tidak boleh sembarangan mengaku cinta sebelum aku tahu pasti bahwa perasaan yang timbul ini murni!

Selagi ia melamun itu, dari dalam goa keluarlah Siok Li Hwa, jalannya masih perlahan akan tetapi tidak terasa sakit lagi. "Sin Hong, sepagi ini kau sudah melamun. Memikirkan apa sih?" Tegur dara itu dengan suara manis.

Sin Hong terkejut mendengar suara orang yang sedang menjadi buah lamunannya itu. Ia berpaling dan matanya bersinar melihat Li Hwa keluar dari goa. Pakaiannya kumal, rambutnya awut-awutan dan matanya masih mengantuk Akan tetapi nampak cantik dalam pandang matanya, kecantikan aseli. Sin Hong menekan kekaguman hatinya dan membelokkan perhatian gadis itu dengan tegurannya.

"Kau sudah tidak pincang lagi, Li Hwa. Akan tetapi hati-hati, jangan terlalu cepat berjalan! Dan kau bangun terlalu siang. Makin pagi makin baik merendam pahamu di telaga. Hayo kuantar ke sana cepat-cepat, jangan sampai matahari keburu keluar!"

Li Hwa nnemandang kepada pemuda itu dengan mata bersinar dan wajahnya yang sayu berseri. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan ke dada dengan sikap menghormat sekali, lalu berkata nadanya menggoda. "Baiklah, Tuan Perawat. Hamba akan mentaati segala perintah Tuan." Setelah berkata demikian gadis ini hendak lari ke telaga yang tak jauh dari situ letaknya.

"Bandel...!" Sin Hong mendamprat dan dilain saat gadis itu sudah dipondongnya dan dibawanya lari ke telaga seperti yang setiap hari ia lakukan sebelum Li Hwa kuat berjalan.

Li Hwa menyandarkan kepalanya di dada Sin Hong sambil memejamkan matanya. Terasa enak dan nyaman dalam pondongan tangan yang kuat itu, seperti anak kecil dipondong ibunya, terayun-ayun dan penuh perasaan aman. "Sin Hong, sudah seminggu lebih kau tidak memondongku. Aku sengaja keluar agak siang supaya kau khawatir aku terlambat merendam kakiku..."

"Hemmmmm, kau memang bengal sekali. Jadi kau sengaja bangun siang dan memperlambat pergi merendam kaki ke telaga hanya agar aku memondongmu ke sini?"

"Habis, aku rindu akan pondonganmu sih!" jawabnya manja dan genit.

Sin Hong menurunkan Li Hwa di pinggir telaga di atas sebuah batu yang berada di pinggir telaga sehingga dengan duduk di atas batu itu Li Hwa dapat merendam kakinya dan dapat pula mandi seperti yang biasa ia lakukan apabila pada pagi hari merendam kaki.

"Mandilah, aku hendak pulang dulu," kata Sin Hong. Kata-kata "pulang" ini memang sudah biasa mereka katakan kalau mereka bermaksud kembali ke dalam goa besar yang seakan-akan sudah menjadi rumah tinggal mereka. Setelah berkata demikian, Sin Hong membalikkan tubuh hendak meninggalkan tempat itu agar Li Hwa dapat mandi dan merendah kaki dengan leluasa.

"Sin Hong, jangan tinggalkan aku...!"

"Eh, eh, kau seperti anak kecil saja, Li Hwa. Bukankah sudah beberapa hari ini kau berendam seorang diri?"

"Dulu kau selalu membantuku merendam kaki..." cela Li Hwa manja.

Sin Hong memandang dan tersenyum gemas. "Dulu. tulang pahamu masih belum tersambung benar, kau tidak bisa turun seorang diri. Sudah tentu aku membantumu. Akan tetapi sekarang... kau sudah kuat, tidak saja dapat merendam kaki, akan tetapi juga dapat turun mandi. Apa kau ini anak kecil yang harus kumandikan?" Tiba-tiba muka Sin Hong menjadi merah oleh kata-kata terakhir yang terlanjur ia ucapkan itu.

"Mengapa tidak...?" Li Hwa menjawab, senyum dan pandang matanya menantang sehingga muka Sin Hong menjadi makin merah.

"Sudahlah Li Hwa. Jangan main-main. Lekas kau mandi dan aku menunggu di depan goa."

”Sin Hong, kalau aku terjeblos ke dalam lubang di telaga lagi, aku sekarang takkan menjerit kalau kau pergi"

Sin Hong teringat ketika beberapa hari yang lalu ia meninggalkan Li Hwa mandi seorang diri, tiba-tiba ia mendengar gadis itu menjerit. Cepat bagaikan terbang ia lari dari depan goa menuju ke telaga itu dan melihat gadjis itu tenggelam dan hanya kelihatan dua tangannya saja di permukaan air. Dapat dibayangkan betapa kagetnya. Tanpa ingat apa-apa lagi ia lalu melompat ke dalam air dan menolong gadis itu yang setelah ia tarik tangannya ternyata bahwa gadis itu telah terjeblos ke dalam sebuah lubang yang dalam.

Setelah Li Hwa selamat baru ia insaf, bahwa ia berada dalam keadaan yang amat tidak pantas berdekatan dengan gadis yang baru man di! Cepat ia melepaskan Li Hwa yang sudah selamat dan melompat ke pinggir, dengan muka membelakangi Li Hwa ia mengomeli gadis itu yang tertawa-tawa! Teringat akan ini, terpaksa Sin Hong tidak berani meninggalkan tempat itu dan ia me narik napas panjang merasa kalah oleh gadis yang pintar menggoda dan keras kepala itu.

"Baiklah, aku akan menunggu di sini, akan tetapi jangan kau ke tengah. Mandi di pinggir juga cukup, mengapa mesti ke tengah di mana banyak lubangn ya yang tak tersangka-sangka?"

Li Hwa tersenyum penuh kemenangan dan dia kini tanpa sungkan-sungkan lagi lalu menanggalkan pakaian dan merendam paha sekalian mandi. Ia bermain-main dengan air bahkan sambil tertawa-tawa beberapa kali menggunakan air untuk dipercikkan ke pinggir ke arah Sin Hong. Tiada hentinya ia menggoda pemuda itu dan mengajaknya bercakap-cakap. Akan tetapi Sin Hong selalu menjawab tanpa menoleh.

Diam-diam Li Hwa makin suka melihat sikap Sin Hong yang sopan ini, makin suka dan juga geli hatinya. Perasaan wanitanya dapat meraba betapa sangat inginnya hati pemuda itu menoleh dan melihatnya namun, ditahan- tahannya. Ini semua hanya karena Wan Sin Hong adalah seorang pemuda yang hebat, seorang pemuda yang berhati kuat, beriman teguh. Pemuda pilihan dan karenanya Li Hwa menjadi makin cinta saja.

Sebetulnya, berkat perawatan Sin Hong yang amat telaten dan penuh perhatian, juga karena pengobatan Sin Hong yang luar biasa, tulang paha yang patah itu sudah tersambung baik dan kaki Li Hwa sudah sembuh sama sekali. Akan tetapi karena gadis itu takut kalau-kalau Sin Hong akan meninggalkannya, maka ia berlaku pura-pura masih sakit! Gadis ini amat berkhawatir kalau-kalau Sin Hong akan pergi dari sampingnya dan hal ini akan merupakan siksaan batin baginya. Ia tidak kuat lagi kalau harus berpisah dari dekat pemuda itu. Setelah selesai merendam kakinya dan mandi, Li Hwa cepat mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian lagi. Rambutnya yang hltam panjang itu dikepang dan diperasnya.

"Mari kita pulang, Sin Hong," katanya setelah selesai.

Baru Sin Hong mau menoleh dan memandang gadis itu yang nampak segar dan cantik, biarpun kini rambutnya menjadi tidak karuan karena basah. "Marilah, aku hendak bicara sesuatu dengan kau, Li Hwa," jawab Sin Hong.

Mereka berjalan kaki berdampingan. Telaga itu terletak di sebelah barat goa sehingga ketika mereka "pulang" mereka menyongsong terbitnya matahari. Pagi yang cerah dan indah. Musim semi telah tiba sehingga hutan itu penuh bunga dan daun. Burung-burung menyambut matahari, bunga-bunga tersenyum kepada mereka. Pagi nan indah, Li Hwa berjalan perlahan di samping Sin Hong sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Sesungguhnya gadis ini merasa amat gelisah karena kata-kata Sin Hong tadi.

Ia takut ditinggalkan, Akan tetapi ia menahan hatinya dan mengobati kegelisahannya dengan bernyanyi-nyanyi, Di antara anak buah Hui-eng-pai terdapat banyak wanita yang pandai bernyanyi dan Li Hwa yang mempunyai suara merdu mempelajari banyak macam nyan yian.

Sin Hong berjalan dengan pikiran penuh pertanyaan dan kesangsian. Gadis di sampingnya ini memang aneh sekali. Ia sampai merasa heran memikirkan mengapa Li Hwa demikian mencintanya. Belum pernah seingatnya ada wanita yang mencintanya sebesar cinta Li Hwa kepadanya. Sudah beberapa kali para ketua Hui-eng-pai datang dan membujuk Li Hwa untuk kembali seorang diri di Hui-eng-pai, menduduki kembali kedudukan ketua. Akan tetapi tetap Li Hwa menolak.

"Tempatku adalah di dekat Wan-bengcu. Kalian kembalilah. Kalau perlu, bubarkan saja Hui-eng-pai. Aku tidak mau lagi memimpin dan aku akan hidup membantu Wan-bengcu."

Adapun Li Hwa yang bernyanyi-nyanyi kecil itu juga melamun. Selama beberapa bulan ini Sin Hong hidup di dekatnya siang malam. Belum pernah satu kali pun Sin Hong memperlihatkan bahwa pemuda itu membalas cinta kasihnya dan pemuda ini selalu bersikap penuh sopan santun. Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa Sin Hong selalu menjaganya, selalu merawatnya dan wajah yang tampan dan tenang itu nampak berseri gembira setiap kali mendapat kenyataan bahwa kakinya berangsur sembuh. Apakah benar-benar pemuda ini tega meninggalkannya? Tidak, ia akan menolak untuk ditinggalkan!

Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa dadanya berdebar gelisah ketika mendengar kata-kata Sin Hong yang menyatakan hendak bicara sesuatu dengan dia. Karena kegelisahan inilah maka Li Hwa untuk sementara lupa akan peranannya sebagai seorang gadis yang "tak pernah sembuh kakinya". Biasanya ia selalu berpura-pura kakinya masih sakit dan belum sembuh betul sehingga jalannya tak begitu cepat. Akan tetapi sekarang, saking tegangnya perasaan, ia berjalan cepat dan terus mengikuti Sin Hong yang sengaja mempercepat langkahnya.

Setelah mereka tiba di depan goa, Sin Hong berhenti dan memutar tubuh menghadapi Li Hwa sambil berkata. "Li Hwa, kakimu sudah sembuh. Jalanmu sudah kuat dan cepat!"

Li Hwa kaget sekali. Baru ia sadar bahwa ia tadi telah berjalan cepat sekali, terlalu cepat bagi seorang yang kakinya masih sakit! "Tidak... tidak...!" ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tahu bahwa kali ini ia tidak dapat membohong lagi. Ia hanya berdiri bingung dan mukanya berubah pucat, matanya terbelalak lebar seperti orang ketakutan.

Melihat keadaan gadis ini, Sin Hong menghela napas dan berkata perlahan setelah dua kali menelan ludah, sukar baginya untuk mengeluarkan suara pada saat itu. "Li Hwa, setiap pertemuan tentu akan berakhir dengan perpisahan. Kini sudah tiba masanya kita harus berpisah."

"Tidak... Sin Hong, kau tidak boleh meninggalkan aku...!" Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada menjerit akan tetapi keluarnya perlahan sekali seperti bisikan yang serak terhalang isak. Mata yang terbelalak itu mulai membasah, bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah itu mulai menggigil dan digigit-gigitnya menahan tangis. "Sin Hong... jangan tinggalkan aku!!" Dan tiba-tiba gadis ini menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Hong, menundukkan kepala. Pundaknya bergoyang-goyang dan isaknya ditahan-tahannya. "Sin Hong... kau boleh tinggalkan aku setelah kau bunuh dulu aku..."

Melihat ini, kembali Sin Hong merasa ada debar aneh di dalam dadanya. Ia cepat memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkat bangun. Mereka berdiri berhadapan. kedua tangan Sin Hong masih menyentuh pundak Li Hwa.

"Li Hwa, angkat muka dan berlakulah gagah! Tidak semestinya kau berlutut di depanku. Li Hwa, kau melarang aku pergi, apakah selama hidupku aku harus berdiam di sini di goa ini seperti... mahluk jaman purba? Aku telah ditugaskan sebagai seorang bengcu dan pekerjaanku banyak. Apa akan kata orang di dunia kalau Wan-bengcu menyembunyikah diri saja di sini bersamamu?"

"Sin Hong," Li Hwa berkata dengan air mata masih menetes turun di kedua pipinya. "Kau boleh pergi dari sini, akan tetapi aku ikut! Kalau kau pergi meninggalkan aku dengan paksa... aku... aku akan membunuh diri!"

Sin Hong menarik napas panjang. Hal ini sudah ia duga, bahkan ia sudah mengerti bahwa dara ini pasti akan berkata demikian. "Li Hwa, apa kau sudah pikirkan masak-masak apa artinya ucapanmu? Kau adalah seorang ketua perkumpulan yang besar. Hidupmu di sini sudah senang dan mewah. Kau ikut aku? Aku ini orang apakah? Tidak karuan tempat tinggalku, lagi pula, kau sendiri tidak tahu bahwa kini kedudukanku terancam, tokoh-tokoh selatan memusuhiku, orang-orang dari utara mengarah nyawaku, dan agaknya tokoh-tokoh di daerah Cin juga sudah mulai tak percaya kepadaku karena aku keturunan pangeran bangsa Cin. Kau mau ikut aku? Kau tahu bahaya setiap waktu mengancam diriku dan kalau kau ikut, berarti kau pun terancam bahaya pula."

Mendengar ini, Li Hwa memandang kepada Sin Hong dengan marah. Matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api. "Sin Hong, kau kira aku ini gadis macam apakah? Kau pemberani, apa kau kira aku pun takut mati? Apalagi hanya menghadapi bahaya, biarpun harus menyerbu lautan api, kalau bersamamu aku rela dan berani! Sin Hong harus berapa kalikah aku menyatakan bahwa hidupku hanya untukmu seorang? Tanpa kau disampingku lebih baik aku mati!"

"Li Hwa... Li Hwa...! Tentu saja aku tahu akan cinta kasihmu kepadaku dan aku percaya sepenuhnya akan perasaanmu yang murni itu. Aku merasa amat berbahagia bahwa seorang serendah aku mendapat penghormatan sebesar ini, mendapat cinta kasih seorang gadis sepertimu. Baiklah, Li Hwa. Hal ini memang sudah kupertimbangkan masak-masak. Kau boleh ikut dengan aku, selamanya sampai kau bosan."

"Kau gila...!" Li Hwa bersorak seperti anak kecil lalu memandang kepada Sin Hong dengan bibir cemberut. "Sin Hong, kau benar-benar gila kalau mengira aku akan menjadi bosan."

Sin Hong tersenyum, diam-diam terharu sekali melihat gadis ini. "Li Hwa, dengarlah baik-baik. Kita sudah sama-sama dewasa, bukan orang-orang muda yang masih hijau. Kita sama tahu apa artinya dan apa bahayanya apabila kita berdua selalu berkumpul dan melakukan perjalanan bersama. Li Hwa, marilah kita duduk dan mari kita bicara sebagai seorang laki-laki dan seorang perempuan dewasa yang penuh pengertian dan berpandangan luas. Aku perlu membuka isi hatiku sebelum melakukan perjalanan berdua bersamamu."

Dengan wajah berseri dan muka kemerahan karena kata-kata yang baru diucapkan oleh Sin Hong itu Li Hwa mengangguk dan me reka memilih tempat duduk di atas batu-batu hitam yang banyak terdapat di tempat itu, di bawah lindungan bayangan pohon yang teduh.

"Li Hwa, mari kita selidiki keadaan kita masing-masing. Dan mari kita membuka isi hati secara jujur."

Sin Hong memulai dan wajahnya yang nampak sungguh-sungguh membuat Li Hwa berdebar dan gadis ini tidak berani main-main dan berjenaka seperti biasanya.

"Lebih dulu aku akan bicara tentang dirimu. Kau seorang gadis yang menjadi ketua Hui-eng-pai, kau telah rela menghadapi kekurangan dan kesengsaraan karena kau mencinta kepada seorang seperti aku dan sudah sewajarnyalah kalau kau menjadi seorang isteri yang berbudi dan membahagiakan hati suamimu..."