Tangan Gledek Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 08

PALING banyak mereka itu hanya menggeleng-gelengkan kepala menyatakan kasihan. Ini masih mending bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang begitu melihat seorang jembel mati di pinggir jalan, lalu meludah dan berkata menyesal.

"Dasar tak tahu diri! Ketika hidup menyusahkan orang, mengganggu orang makan dan mengotorkan pemandangan. Sesudah mati masih membuat susah orang membikin jijik. Mengapa kalau mau mampus saja memilih tempat di jalan raya dan tidak pergi saja ke kuburan dan menggali tanah sebelumnya?"

Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan. "Minggir! Pangerah Wanyen sekeluarga dalam keretanya lewat!"

Betul saja, dari tikungan jalan muncul sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat ekor kuda. Kendaraan ini cukup besar maka para penjaga berteriak-teriak menyuruh orang untuk minggir. Ketika kendaraan itu lewat di tempat itu, dari dalam kendaraan terdengar perintah,

"Berhenti!"

Tak lama kemudian, beberapa orang pengawal mengusir orang-orang yan g merubung jenazah Bu Hok Lokai yang ditangisi oleh Tiang Bu.

"Minggir, minggir...! Ongya hendak memeriksa kejadian ini!"

Orang-orang yang berada di situ segera mengundurkan diri dan menonton dari jarak jauh.

"Untung sekali, pengemis itu." Terdengar orang berkata.

Memang, semua orang di kota raja sudah mendengar akan kebaikan hati keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun yang jauh berbeda dengan bangsawan-bangsawan lain. Bangsawan dan hartawan atau orang berpangkat lainnya mana sudi berdekatan dengan bangsa pengemis.

Jangan kata dengan kaum jembel, dengan rakyat kecil saja mereka tidak mau mempedulikan dan tidak sudi berhubungan. Akan tetapi sebaliknya Pangeran Wanyen Ci Lun dan keluarganya terkenal sebagai keluarga bangsawan yang berbudi mulia, yang tak pernah menolak permintaan tolong rakyat sengsara, yang tidak sombong bahkan mendekati rakyat jelata. Inilah sebabnya maka para penonton menganggap bahwa pengemis yang kematian kakeknya itu beruntung karena bertemu dengan kendaraan keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun pada saat kesengsaraan.

Pintu kendaraan terbuka dan turunlah seorang laki-laki bangsawan yang berwajah tampan peramah, berusia tiga puluh tahun lebih dan sikapnya agung. Inilah Pangeran Wanyeh Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat terkenal di kalangan rakyat, namun juga amat berpengaruh di dalam istana oleh karena ia terkenal cerdik dan merupakan penasehat kaisar dalam banyak persoalan.

"Ah, kasihan sekali..." suara ini terdengar dari dalam kereta, suara halus seorang wanita dan tak lama kernudian dari atas kereta turun pula seorang wanita cantik jelita dan bersikap gagah, di belakang Pangeran Wanyen Ci Lun.

Dia ini adalah isteri terkasih dari pangeran itu, bukan lain adalah Gak Soan Li, pendekar wanita yang perkasa itu. Di belakang ibunya ini turun pula Wan Sun yang berusia enam tahun lebih dan Wan Bi Li yang berusia empat lima tahun digandeng oleh kakaknya. Kalau orang tua-tua lain tentu akan melarang anak-anak mereka turur dari kendaraan melihat jenazah seorang Kakek jembel, akan tetapi Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li tidak melarang dua orang anaknya itu turun, bahkan tidak melarang ketika Wan Bi Li mendekati jenazah Bu Hok Lokai dan bocah berumur lima tahun itu berseru.

"Dia mati digigit ular!"

Wanyen Ci Lun mendekati Tiang Bu dan bertanya dengan suara ramah menghibur. "Anak sengsara, dia apamukah?"

"Dia adalah... guruku..."

Wan Sun tertarik sekali. Anak ini wataknya agak keras dan tidak mau kalah, mendengar disebutnya guru, ia segera bertanya kepada Tiang Bu yang sudah mengeringkan air matanya karena malu melihat banyak orang, "Guru apa...? Guru silatkah, atau menulis?"

Tiang Bu tidak mau membuka rahasianya, karena urusan persilatan mendatangkan bencana saja. Buktinya, gurunya juga tewas karena ada orang hendak mengambilnya sebagai murid. Ia menggeleng-gelengkan kepala tanpa menjawab. Akan tetapi Wan Sun tidak puas.

"Kalau bukan guru silat atau surat, habis ia guru apa, dan kau belajar apa?"

"Guru... mengemis!" jawab Tiang Bu.

Dan Wan Sun tersentak ke belakang oleh jawaban ini. Wajahnya yang tampan seketika itu juga memperlihatkan perasaan kasihan. "Di mana rumahmu?" tanya Pangeran Wanyen Ci Lun kepada Tiang Bu.

"Aku tidak punya rumah, kata guruku, tanah ini lantaiku dan langit atapku," jawab Tiang Bu, jawabannya yang kasar itu tidak membikin marah Wanyen Ci Lun, sebaliknya ia menarik napas panjang karena merasa kasihan. Anak jembel tidak terpelajar, sampai-sampai membawa diri bersopan santun saja tidak bisa.

"Anak, jangan kau bersedih. Jenazah gurumu ini serahkan saja kepada kami untuk mengurus penguburannya dengan baik-baik. Tentang kau sendiri, kalau kau suka, kau boleh ikut dengan kami menjadi pelayan dan bekerja di rumah kami."

Biarpun hatinya sedang berduka dan Tiang Bu berjiwa sederhana, namun ia masih tahu akan terima kasih, dan diam-diam merasa heran dan kagum mengapa di dunia yang didiami penuh orang-orang jahat ini terdapat seorang bangsawan tinggi seperti ini. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan Wanyen Ci Lun sambil berkata dan mendongakkan kepalanya menatap wajah pangeran itu.

"Tai-ya sungguh mulia dan hamba selamanya akan ingat kepada Tai-ya sebagai seorang muliawan. Hamba berjanji akan berusaha membalas kebaikan Tai-ya, dan andaikata hamba tak dapat memenuhi janji ini, biarlah Thian yang akan membalas budi Tai-ya. Mohon tanya siapakah nama Tai-ya agar selama hidup hamba takkan lupa?"

Kalau Pangeran Wanyen Ci Lun bukan seorang pangeran yang sudah banyak melakukan perantauan di dunia kang-ouw dan menyaksikan keanehan-keanehan, tentu ia akan menganggap bocah itu lancang dan kurang ajar. Akan tetapi ia tahu bahwa bocah ini bukanlah bocah biasa, maka sambil tersenyum ramah ia menjawab.

"Aku bernama Wanyen Ci Lun dan kau tak perlu mengingat tentang budi. Asal kau mau bekerja kepada kami, sudah cukup baik dan..."

Kata-kata Wanyen Ci Lun terhenti karena pada saat itu terdengar suara ketawa aneh sekali, suara ketawa bermacam-macam ada yan g seperti ringkik kuda, ada seperti burung hantu dan ada yang seperti auman harimau. Kemudian tiba-tiba berkelebat bayangan orang orang dan tahu-tahu tiga orang kakek yang mengerikan telah berdiri di tengah-tengah tempat yang dikelilingi orang itu! Tiang Bu terkejut sekali ketika mengenal mereka, karena mereka itu bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui. Tiga Iblis Kutub Utara!

"Bocah gila, kiranya kau minggat sampai di sini!" seru Giam-lo-ong Ci Kui Si Jangkung Gundul dan sepasang matanya berputaran mengerikan.

"Dia menipu kita!" Seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw Si Muka Burun g dengan mata di pejam-pejamkan, alisnya berkerut-kerut.

Terdengar auman keras menggetarkan dan Sin-saikong Ang Louw Si Muka Singa melompat maju. "Bocah jahanam harus mampus saja!" Ia mengangkat tangan hendak memukul kepala Tiang Bu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Siluman-siluman tak tahu sopan. Mundurlah!" Bentakan ini dibarengi dengan sinar pedang yang dengan amat cepatnya menyabet ke depan tubuh Ang Louw sehingga kalau Si Muka Singa itu melanjutkan pukulannya kepada Tiang Bu, tentu lengannya akan terbabat pedang. Cepat sekali Ang Louw menarik tangannya dan menggerakkan jari tangannya menyentil pedang itu.

"Cringgg...!" Pedang terpental akan tetapi tidak terlepas dari tangan Gak Soan Li. Namun nyonya ini kaget setengah mati karena sentilan pada pedangnya itu membuat tangannya hampir lumpuh.

"Bagus, Toanio lihai juga..." Ang Louw memuji. Memang ia merasa kagum melihat seorang wanita bangsawan yang cantik dan masih muda ternyata memiliki kepandaian tinggi sehingga pedang yang dipegangn ya tidak terlepas oleh sentilan jarinya. "Kami berurusan dengan murid sendiri, apakah Toanio mau mencampuri?"

Pangeran Wanyen Ci Lun membentak para pengawalnya yang sudah mencabut senjata dan mengurung tiga orang aneh itu. Dari sentilan tadi dan melihat wajah isterinya, pangeran ini maklum bahwa tiga orang kakek aneh yang muncul secara tiba-tiba itu tentulah bukan orang-orang biasa. Ia cepat menjura kepada mereka dan berkata,

"Sam-wi Lo-enghiong harap suka memaafkan kami dan kiranya urusan ini perlu dibuat terang agar jangan terjadi hal yang tidak diinginkan. Tentu saja isteriku tidak akan mencampuri urusan orang lain, hanya tadi isteriku melihat seorang bocah mau dipukul mati, tentu saja merasa kasihan dan bermaksud menolong. Tidak tahu siapakah Sam-wi Lo-cianpwe dan ada hubungan apa dengan bocah yang kematian gurunya ini."

"Kematian gurunya? Hah, kami gurunya. Siapa yang mati, dan siapakah kau ini, bangsawan muda?" tanya Giam-lo-ong Ci Kui.

"Kami tadi mendapatkan anak ini menangisi jenazah seorang kakek tua di tempat ini dan menurut pengakuannya, kakek itu adalah gurunya."

"Guru mengemis!" Wan Sun cepat menyambung kata-kata ayahnya. Bocah ini pun cerdik. Dari sikap dan kata-kata tiga orang kakek aneh itu, Wan Sun menduga bahwa Tiang Bu tentulah telah lari dan bertukar guru, maka ia cepat-cepat menyambung kata-kata ayahnya untuk menolong Tiang Bu.

Tiga orang kakek itu saling pandang dengan heran, lalu Ang Bouw bertanya kepada Tiang Bu yang masih berlutut. "He, setan cilik. Benarkah kau menjadi murid orang lain untuk belajar mengemis?"

"Betul, Sam-suhu."

Tiga orang kakek itu tertawa bergelak dan banyak penonton menjadi ketakutan, bahkan ada yang menggigil kaki mereka mendengar suara ketawa ini. Kemudian mereka memandang kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dan bertanyalah Giam-lo-ong Ci Kui dengan nada terharu.

"Bagaimana seorang bangsawan besar seperti kau ini mau mengurus perkara para jembel? Siapakah kau?"

Wanyen Ci Lun tersenyum mendengar ini, "Aku adalah Wanyen Ci Lun..."

"Pangeran Wanyen Ci Lun?" Tiga orang kakek itu menegaskan dengan suara hampir berbareng.

"Betul, apakah Sam-wi Locianpwe sudah mendengar namaku yang tidak berharga?"

Kembali tiga orang kakek aneh itu tertawa bergelak-gelak. "Mungkin namamu tidak berharga, akan tetapi, kepala Pangeran Wanyen Ci Lun berharga sekali" kata-kata ini dikeluarkan oleh Ci Kui dan serentak mereka maju menyerang pangeran itu!

Namun Gak Soan Li sudah waspada. Sejak tadi ia sudah siap sedia dan curiga terhadap tiga orang kakek ini maka diam-diam ia sudah memberi isarat kepada para pengawal. Begitu tiga orang kakek itu bergerak, Soan Li sudah memutar pedangnya menerjang Giam-lo-ong Ci Kui sedangkan sepuluh orang pengawal yang berkepandaian lumayan telah menyerang pula sambil memutar senjata melindungi Pangeran Wanyen Ci Lun.

Pertempuran hebat segera terjadi di jalan raya itu. Para penonton bubar dan lari ke sana ke mari panik. Para pengawal itu ternyata sama sekali bukan tandingan Pak-kek Sam-kui yang bertempur sambil tertawa-tawa. Sebentar saja empat orang pengawal roboh binasa dengan kepala pecah, terkena pukulan-pukulan Liok-te Moko Ang Bouw dan Sin-saikong Ang Louw. Yang lain -lain menjadi gentar juga menghadapi dua orang kakek yang lihai sekali ini.

Sementara itu, biarpun Giam-lo-ong Ci Kui paling lihai di antara tiga orang kakek ini, namun ia menemui tandingan yang tidak begitu empuk seperti dua orang adiknya. Gak Soan Li adalah pendekar wanita yang ilmu pedangnya kuat dan ganas. Sungguhpun tingkat kepandaiannya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan Giam-lo-ong Ci Kui, namun kakek gundul ini tidak dapat cepat-cepat mengalahkan nyonya pangeran ini. Gak Soan Li terkurung dan terdesak hebat oleh Giam-lo -ong Ci Kui yang mempergunakan kain selendangnya sebagai senjata. Nyonya ini menjadi nekad dan pedangnya menyambar-nyambar seperti naga mengamuk.

Pangeran Wanyen Ci Lun maklum bahwa isterinya berada dalam bahaya. Ia menjadi gelisah sekali. Untuk membantu isterinya, ia tahu bahwa hal itu hanya akan mengacaukan pertahanan Soan Li, karena kepandaiannya sendiri masih belum ada artinya kalau dipergunakan untuk menghadapi seorang selihai kakek gundul ini. Ia lalu mengeluarkan alat memanggil dan melengkinglah suitan berkali-kali dari mulut pangeran ini, sebagai tanda kepada seluruh pengawal di istana bahwa ada bahaya mengancam.

Tanda bahaya seperti ini akan mendatangkan seribu orang pengawal bersama puluhan orang panglima yang berkepandaian tinggi yang tersebar di seluruh kota raja, terutama sekali di lingkungan istana! Hanya orang-orang besar seperti Pangeran Wanyen Ci Lun yang memiliki hak membunyikan tanda bahaya ini.

Akan tetapi terlambat. Pada saat ia meniup alat itu Giam-lo-ong Ci Kui telah berhasil melibat pedang di tangan Soan Li dengan kain selendangnya dan sekali betot saja pedang itu telah berpindah tangan. Kemudian sambil tertawa-tawa mengejek Ci Kui menggunakan pedang rampasannya untuk membabat batang leher Wanyen Ci Lun sambil berseru.

"Wanyen Ci Lun, kesinikan kepalamu untuk kubawa!"

Akan tetapi Gak Soan Li sudah kena dirampas pedangnya, melihat bahaya besar mengancam jiwa suaminya, cepat meloncat bagaikan seekor kucing, menubruk kakek itu sambil membentak.

"Jangan bunuh suamiku!"

Giam-lo-ong Ci Kui terkejut sekali. Gerakan nyonya ini demikian cepat dan nekad sehingga tak dapat disangsikan lagi bahwa pedang di tangannya tentu akan membabat putus lengan kanan nyonya yang berusaha menyelamatkan suaminya itu juga Wanyen Ci Lun menjadi pucat sekali, lalu meramkan matanya agar jangan menyaksikan betapa isterinya terbabat oleh pedang sendiri.

"Traaangngng!"

Pedang di tangan Giam-lo-ong Ci Kui terbentur oleh sebuah sinar terang dan aneh sekali, kakek yang tinggi kepandaiannya ini sampai terhuyung-huyung ke belakang dan pedang itu patah menjadi dua! Melihat bahwa yang membentur pedang di tangannya itu adalah sebutir pat-kwa-ci (biji segi delapan), berubah muka Ci Kui dan ia berseru kepada adik-adiknya.

"Melihat muka Ang-jiu Mo-li, kita ampunkan Wanyen Ci Lun dan mari kita pergi"

Ang Bouw dan Ang Louw juga terkejut sekali apalagi mendengar seruan suheng mereka itu, cepat mereka melompat pergi melalui kepala banyak orang. Akan tetapi Ci Kui tidak mau pergi begitu saja, tangan kirinya menyambar dan di lain saat tubuh Tiang Bu telah dikempitnya dan dibawa lari pergi bersama dua orang sutenya.

Tak seorang pun berani mengejar mereka yang cepat lenyap dari pandangan mata. Wanyen Ci Lun memeluk isterinya dengan hati penuh rasa syukur bahwa isterinya terbebas dari kematian. Juga Soan Li mengucurkan air mata melihat suaminya selamat. Wan Sun dan Wan Bi Li mendekap baju ibu mereka karena dua orang anak ini masih merasa ketakutan.

"Sungguh beruntung ada seorang sakti menolong." bisik Soan Li kepada suaminya. Ia lalu menjura ke empat penjuru dan berkata dengan suara nyaring, mengerahkan khikangnya agar suaranya terdengar dari tempat jauh.

"Locianpwe yang telah menolong nyawa keluarga Wanyen dari bahaya maut, harap sudi memperlihatkan diri agar kami dapat menghaturkan terima kasih!"

Semua orang yang mendengar kata-kata nyonya pangeran ini menjadi terheran-heran akan tetapi mereka melongo ketika tiba-tiba terdengar suara perlahan akan tetapi jelas sekali sehingga seperti orang berbisik di dekat telinga.

“Kalian pulanglah, pinni (aku) menanti kalian di rumah."

Pangeran Wanyen Ci Lun terheran dan tidak mengerti, akan tetapi isterinya lalu menarik tangannya dan mengajak dua orang anaknya cepat meninggalkan tempat itu dan kembali ke istana mereka. Kereta dijalankan lagi, jenazah empat orang pengawal diurus oleh kawan-kawannya dan ramailah orang berbicara tentang peristiwa aneh tadi. Banyak yang memuji akan kegagahan nyonya pangeran.

Di dalam kendaraannya, Wanyen Ci Lun berkata kepada isterinya. "Apakah yang terjadi dengan bocah yang kematian gurunya itu, dan mengapa tiga orang iblis itu membawanya?"

Soan Li mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya. "Entahlah, akan tetapi jangan kita pedulikan anak itu. Semenjak melihatnya aku sudah merasa tidak suka kepadanya."

"Eh, mengapakah kau ada perasaan demikian? Kita baru melihat dia untuk pertama kali dan apa salahnya?"

"Aku tidak tahu. Begitu melihatnya, aku mendapat perasaan seakan-akan bocah itu hanya mendatangkan malapetaka belaka. Dan tepat sekali perasaan itu, baru saja ia kita ajak bicara, muncul malapetaka berupa tiga orang lihai. Apalagi kalau diingat bahwa tiga orang iblis itu mengakuinya sebagai murid. Ah, anak itu tentu bukan manusia baik, dan entah siapa pula kakek jembel yang sudah menjadi mayat itu."

Wanyen Ci Lun menarik napas panjang. "Memang dunia kang-ouw banyak sekali manusia aneh, dan makin lama makin banyak kita melihat orang-orang pandai luar biasa. Aku kira bahwa kakek jembel yang sudah mati itu pun orang luar biasa." Pangeran ini teringat akan ucapan puterinya ketika mereka baru turun dari kendaraan. "Bi Li, kau tadi bilang dia mati digigit ular. Betulkah itu?"

"Betul Ayah," jawab Bi Li dengan kepala tunduk dan anak ini rupanya masih kaget karena peristiwa hebat tadi.

"Siapapun juga adanya kakek jembel itu, aku sudah menyuruh pengawal merawat jenazahnya baik-baik. Yang kuherankan adalah tiga orang iblis tadi. Mereka itu belum pernah kukenal, akan tetapi mengapa begitu mendengar namaku mereka lalu berusaha membunuhku?"

Gak Soan Li nampak bergidik ngeri. "Mereka itu lihai sekali. Seorang saja di antara mereka memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kepandaianku. Kiranya kepandaian mereka sudah setingkat dengan kepandaian mendiang Suhu Hwa l Enghiong Go Ciang Le! Aku pun tidak dapat menduga siapa adanya mereka itu. Mereka memang lihai luar biasa. Akan tetapi kalau aku mengingat akan penolong kita yang dengan satu lemparan pat-kwa-ci telah berhasil menolong nyawa kita dan mengusir tiga orang iblis itu, sukar membayangkan betapa tingginya ilmu kepandaian penolong kita itu."

Diam-diam Wanyen Ci Lun menduga bahwa orang yang menolong mereka itu bukan lain tentulah Wan Sin Hong adanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau menyebut-nyebut nama orang ini di depan isterinya dan pula ia juga masih meragukan kebenaran dugaannya. Andaikata benar Wan Sin Hong yang menolong tadi, mengapa pendekar itu tidak mau terang-terangan, bahkan mengapa pula menyuruh mereka pulang dan suaranya berbeda dengan suara Wan Sin Hong.

Begitu kereta berhenti di depan pekarangan istananya Soan Li melompat turun dan bertanya kepada para penjaga di depan apakah tadi ada tamu datang. Para penjaga menjawab tak melihat seorang pun tamu datang di situ. Wanyen Ci Lun tahu bahwa isterinya tentu mengira penolong itu mendahului datang di situ. Ia merasa kasihan melihat isterinya! nampak kecewa mendengar jawaban para penjaga. Diam-diam makin tebal dugaan Wanyen Ci Lun bahwa penolong mereka tentulah Wan Sin Hong yang tidak mau menemui secara berterang dan agaknya malam nanti baru akan muncul di kamarnya sendiri.

Akan tetapi, alangkah kaget dan heran hatinya ketika mereka semua tiba di ruangan dalam, di situ mereka melihat seorang wanita berpakaian seperti seorang pertapa, berwarna putih semua. Mukanya cantik sekali dan kemerah-merahan, rambutnya hitam panjang terurai di punggung dan pundak sehingga biarpun rambut itu mendatangkan keindahan namun agak menyeramkan. Sebuah pedang menempel di pundak dan wanita ini berdiri dengan mata bersinar-sinar, memandang ke arah Wan Sun dan Wan Bi Li.

Gak Soan Li menjadi kaget dan kagum sekali. Tidak saja wanita ini dapat mendahului mereka, bahkan dapat memasuki istana tanpa terlihat oleh seorang pun penjaga dan pengawal! Ini saja sudah membuktikan betapa tinggi kepandaian wanita ini. Soan Li merasa pasti bahwa inilah orangnya yang telah menolongnya tadi, biarpun ia kaget sekali karena tidak mengira bahwa penolongnya seorang wanita demikian cantiknya.

Baginya mudah saja menentukan bahwa inilah orangnya, karena tadi ia mendengar iblis jangkung gundul menyebut nama Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah) sedangkan wanita cantik di depannya ini mempunyai dua buah tangan yang merah seperti diwarnai gin-cu! Karena sudah yakin bahwa inilah penolongnya, Soan Li tanpa ragu-ragu lagi lalu menggandeng tangan dua orang anaknya menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu sekeluarga menghaturkan terima kasih atas pertolongan Locianpwe sehingga nyawa kami sekeluarga terpelihara," kata Soan Li dengan sikap merendah sekali.

Adapun Wanyen Ci Lun yang menjadi tertegun karena sama sekali tak disangkanya bahwa wanita cantik ini yang tadi menolongnya, hanya menjura. Sebagai seorang pangeran tentu saja ia tidak bisa berlutut di depan siapapun juga. Ia memberi hormat dengan menjura dan berkata.

"Siankouw, selamat datang di rumah kami dan maafkan kalau kami terlalu lama di jalan membuat Siankouw terlalu lama menanti."

Wanita itu menggerak-gerakkan tangan kirinya dan terdengar ia berkata, suaranya halus akan tetapi tajam menusuk telinga. "Tidak apa, tidak apa! Kalian ini keluarga bangsawan agung, mengapa memberi hormat kepada orang rendah seperti aku? Hujin, bangunlah!" Sekali ia mengibaskan tangan, Soan Li merasa seperti tubuhnya diangkat oleh tangan yang kuat sekali sehingga ia bangkit berdiri dengan tiba-tiba. Anehnya, dua orang anaknya tidak ikut berdiri, jelas bahwa wanita aneh ini tidak menyuruh dua orang bocah itu berdiri.

"Locianpwe, silakan duduk..." kata pula Soan Li.

"Tak usah, aku tidak lama di sini. Hanya ada sedikit urusan hendak disampaikan kepada kalian suami isteri."

Wanyen Ci Lun dan Soan Li merasa tidak enak sekali. Kalau seorang aneh dan sakti seperti wanita ini bilang ada urusan, betapapun kecilnya urusan itu pasti amat pentingnya.

"Bolehkan kami mengetahui lebih dulu siapakah sebetulnya Siankouw ini? Sungguh tidak enak bagi kami kalau belum mengetahui nama besar penolong kami." kata Wanyen Ci Lun karena pangeran ini tidak berani berlaku sembrono dan lancang sebelum mengenal siapa wanita ini. Kalau kawan tidak apa, akan tetapi kalau lawan ia dapat bersiap-siap mendatangkan bala bantuan.

"Lihat saja kedua tanganku yang merah dan kalian akan tahu siapa aku ini," jawab wanita itu dengan suara dingin seakan-akan mengejek.

"Kalau teecu tidak salah duga, Locianpwe ini tentulah Ang-jiu Nio-nio (Dewi Bertangan Merah), bukan?" kata Soan Li cepat, khawatir kalau-kalau suaminya salah bicara.

Wanita itu tertawa, wajahnya manis sekali kalau tertawa akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, hanya patut terdengar di tengah malam di dalam kuburan yang sunyi. Suara ketawa siluman!

"Hujin terlalu sungkan. Di dunia ini, tidak ada orang yang menyebut aku dengan sebutan Nio-nio. Panggil saja sebutanku yang sesungguhnya, yaitu Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)."

"Mana berani teecu berlaku kurang ajar? Seorang sakti seperti Locianpwe patutnya menjadi seorang dewi. Hanya orang kurang ajar dan buta saja yang berani menyebut iblis wanita," kata Soan Li penasaran. Ia merasa amat kagum terhadap penolongnya ini, maka tentu saja hatinya tidak mengijinkan orang menyebutkan iblis wanita.

"Sudahlah, kau boleh menyebutku apa saja." Ang-jiu Mo-li berkata dengan wajah ramah dan senyum manis. Biarpun dia ganas dan liar seperti iblis, tetap saja dia seorang wanita yang memiliki sifat-sifat kewanitaan pula, yakni paling suka akan pujian! "Sekarang baik kuberitahukan tentang maksud kunjungan ku. Aku melihat dua orang anakmu ini bertulang baik sekali dan kebetulan sekali memang aku hendak mencari murid. Pendeknya aku datang untuk membawa mereka bersama-sama dan menjadi murid-muridku."

Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Wanyen Ci Lun mendengar ini. Ia cepat memandang kepada isterinya untuk melihat reaksi isterinya akan maksud wanita aneh itu, dan untuk mempersiapkan segala kemungkinan kalau saja isterinya sependapat dengan dia yaitu tidak setuju anak mereka dibawa pergi. Akan tetapi kekagetannya menjadi kekhawatiran juga keheranan ketika isterinya dengan wajah berseri lalu berkata kepada dua orang anaknya.

"Sun-ji dan Bi Li, hayo kalian lekas memberi hormat kepada Nio-nio!"

Dua orang anak itu mentaati perintah ibunya dan mereka cepat memberi hormat sampai jidat mereka membentur lantai. Adapun Soan Li sendiri tanpa menanti suaminya menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan rencananya, cepat berkata menjawab Ang-jiu Mo-li.

"Terima kasih hanyak atas perhatian Nio-nio terhadap dua orang anakku yang bodoh. Sungguh mereka mendapat anugerah besar sekali dari Thian bahwa Nio-nio telah sudi mengambil mereka sebagai murid. Aku akan segera menyuruh pelayan menyediakan sebuah kamar bersih dan tenang untuk Nio-nio dan menyediakan tiga orang pelayan untuk melayani segala keperluan Nio-nio di sini."

Baru lega hati Wanyen Ci Lun mendengar kata-kata isterinya ini dan ia mengharap wanita aneh itu akan menerima usul ini. Bagi Wanyen Ci Lun, dua orang anaknya mendapat guru pandai tentu saja merupakan hal yang menggembirakan karena pangeran ini dapat merasai pentingnya ilmu silat. Yang membuat ia menjadi merasa khawatir hanya kalau kedua anakn ya dibawa pergi oleh wanita itu. Hal ini ia merasa berat sekali, apalagi dalam suasana seperti sekarang di waktu kerajaan menghadapi ancaman musuh-musuhnya dan ia mempunyai rencana untuk menyuruh anak isterinya mengungsi.

Kalau dua orang anaknya di bawa pergi, habis Soan Li bagaimana, dan dia sendiri akan selalu mengkhawatirkan keadaan anak isterinya. Beda soalnya kalau anak isterinya mengungsi ke Kim-bun-to di rumah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, ia merasa yakin bahwa anak isterinya berada di tempat yang aman dan di tangan kawan-kawan sendiri yang boleh dipercaya.

Ang-jiu Mo-li tersenyum dan diam-diam ia kagum atas kecerdikan nyonya pangeran itu, yang telah mendahuluinya dengan usul supaya ia tinggal di situ dalam mengajar dua bocah itu. "Mereka takkan maju kalau belajar di sini saja. Mereka harus melakukan perantauan, harus mengalami betapa sulitnya hidup di luar istana yang serba ada. Pinni bermaksud mengajak mereka merantau di dunia kang-ouw dan pinni bermaksud menjadikan mereka dua orang yang kelak akan menjagoi kolong langit!"

Wanyen Ci Lun menjadi pucat, akan tetapi Soan Li dengan wajah tenang tidak berubah menjawab. "Nio-nio, biarpun aku tidak mempunyai kepandaian yang berarti, namun dahulu aku adalah murid Hwa l Enghiong, maka aku pun maklum akan kebenaran kata-kata Nio-nio tadi. Memang tentu saja kami tidak akan berkeberatan kalau sewaktu-waktu Nio-nio mengajak mereka merantau. Akan tetapi tentu saja jangan sekarang di waktu mereka masih kanak-kanak, selain membutuhkan kasih sayang ayah ibu, juga mereka perlu mempelajari ilmu surat. Tentu saja Nio-nio tidak akan suka kalau kelak ada orang-orang kang-ouw bilang bahwa kedua orang murid Nio-nio hanyalah orang-orang kasar yang tidak mengenal mata surat bukan? Oleh karena itulah, Nio-nio, kami mengharap dengan sangat, memohon kepadamu sudikah membagi anak-anak ini di antara kita. Maksudku, di waktu kecil Nio-nio mengajar mereka di sini dan kami berjanji takkan mengganggu Nio-nio, dan kelak kalau sudah besar, kadang-kadang boleh saja Nio-nio ajak mereka merantau. Bukankah jalan ini paling baik dan adil dan Nio-nio tidak mengecewakan menjadi pujaan kami keluarga Wanyen?"

Ang-jiu Mo-li menatap wajah Gak Soan Li. Tadinya ia hendak marah mendengar orang berani membantah kehendaknya, akan tetapi Ang-jiu Mo-li bukan seorang bodoh. Ia sudah tahu betapa besar kekuasaan Pangeran Wanyen Ci Lun dan bahwa kota raja bukanlah tempat di mana ia boleh sembarangan bergerak. Sekali ia melakukan pelanggaran dan keluarga ini nekat melakukan perlawanan, ia tentu akan menghadapi pengawal-pengawal istana yang pandai-pandai dan terutama sekali yang amat banyak jumlahnya.

Ia amat suka melihat dua orang anak itu, terutama sekali Bi Li. Sinar mata anak ini mendatangkan rasa sayang dalam hatinya karena ia maklum bahwa kalau anak ini terdidik baik, kelak akan lebih lihai daripada dirinya sendiri! Pula tempat ini amat indah, dan menyenangkan, apa salahnya kalau dia tinggal di situ untuk beberapa lamanya. Kalau sudah bosan, mudah saja baginya untuk pergi. Kalau perlu, ia dapat juga membawa kedua muridnya minggat.

"Hujin, kau benar-benar seorang ibu yang penuh kasih sayang kepada anak-anaknya dan seorang wanita yang berani dan cerdik. Baiklah, pinni menerima usulmu itu dan biarlah untuk sementara ini pinni tinggal di sini mengajar kedua anakmu..."

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati suami isteri itu. Sibuk mereka menyediakan kamar yang indah dan bersih untuk Ang-jiu Mo-li, bahkan malamnya Pangeran Wanyen Ci Lun menjamu makan minum kepada guru anak-anaknya. Dalam perjamuan ini mereka bertiga bicara dengan ramah dan berceritalah Ang-jiu Mo-li siapa adanya tiga orang kakek itu.

"Mereka bertiga adalah kaki tangan Raja Mongol yang bernama Temu Cin. Tentu saja mereka hendak membunuh Wanyen Ongya, karena kalau hal itu berhasil mereka tentu akan mendapat hadiah dari raja mereka. Adapun jembel tua yang mampus di pinggir jalan itu, kalau tidak salah adalah Bu Hok Lokai, seorang kangouw yang tidak berdosa dan tak pernah bermusuhan dengan orang. Entah siapa yang membunuhnya. Bocah itu memang murid Pak-kek Sam-kui karena pinni pernah melihat dia bersama tiga orang Mongol itu. Pinni juga tidak tahu bagaimana ia bisa bersama Bu Hok Lokai."

Di dalam percakapan itu, setelah banyak minum arak wangi, Ang-jiu Mo-li dengan bangga menceritakan bahwa dia adalah murid dari seorang pertapa setengah dewa di Gunung Himalaya, dan dalam kesombongannya ia menyatakan bahwa jangankan menghadapi Pak-kek Sam-kui, biarpun orang-orang seperti See-thian Tok-ong, Ba Mau Hoatsu, atau Giok Seng Cu, kalau mereka itu masih hidup, mudah ia akan dapat mengalahkan mereka. Biarpun Gak Soan Li dan suaminya masih kurang percaya, namun suami-isteri ini sudah merasa girang dan beruntung sekali bahwa kedua anak mereka tidak terpisahkan dari mereka, juga di situ sekarang tinggal seorang sakti yang selain dapat menurunkan kepandaian kepada Wan Sun dan Wan Bi Li juga merupakan pembantu dan penjaga keamanan yang boleh diandalkan.

Tanpa melihat bukti juga mereka sudah percaya, karena orang yang dapat menundukkan dengan amat mudahnya orang-orang berkepandaian tinggi seperti Pak-kek Sam-kui, tak dapat disangsikan lagi tentu memiliki kesaktian istimewa. Dan kepercayaan mereka ini memang betul-betul tidak sia-sia. Memang sesungguhnya Ang-jiu Mo-li adalah seorang sakti, dan kiranya pada masa itu jarang ada orang memiliki ilmu kepandaian setinggi ilmu yang dimiliki Ang-jiu Mo-li! Diam-diam Pangeran Wanyen Ci Lun teringat akan sahabat baik dan saudaranya Wan Sin Hong. Manakah yang lebih pandai, pikirnya, antara guru anak-anaknya ini dengan Wan-bengcu?

Malam harinya ketika Wanyen Ci Lun berada di dalam kamar tidur bersama isterinya ia berkata, "Aku makin mengkhawatirkan nasib bocah yang dibawa pergi oleh Pak-kek Sam-kui. Kalau mereka itu orang-orang Mongol yang kejam dan jahat, kasihan sekali bocah itu. Entah mengapa, sebaliknya dari perasaanmu, aku merasa suka dan kasihan kepada anak itu."

"Aah, mengapa mesti memikirkan bocah buruk seperti dia? Melihat mukanya saja aku sudah tidak suka dan muka itu membayangkan watak yang jahat. Murid Pak-kek Sam-kui mana bisa baik? Lebih baik kita pikirkan keadaan anak-anak kita dan mudah-mudahan saja Ang-jiu Nio-nio tidak hendak membawa mereka merantau sebelum mereka dewasa. Suamiku harap kau jangan salah sangka. Aku tadi begitu saja menerima Ang-jiu N io-nio sebagai guru anak-anak kita, karena selain dia memang berilmu tinggi, kalau kita menolak dan dia memaksa, siapakah yang dapat menahan dia membawa pergi anak-anak kita?"

Wanyen Ci Lun mengangguk-angguk dan merangkul pundak isterinya yang terkasih. "Soan Li, kau memang seorang yang pandai sekali. Aku kagum kepadamu. Tanpa kau di sampingku tadi, entah apa yang telah terjadi atas diriku. Hanya saja... sayang bocah bermuka buruk tadi..."

"Ah, ada-ada saja. Mari kita tidur dan lupakan bocah buruk rupa itu!" jawab Soan Li.

Kalau saja Soan Li tahu bahwa "bocah buruk" itu bukan lain adalah anaknya sendiri! Anaknya sendiri keturunan dari Liok Kong Ji si manusia jahanam! Seandainya ia tahu, apa yang akan diperbuatnya? Menerima bocah itu seperti anak sendiri ataukah menghunus pedang dan membunuhnya? Entahlah, hati wanita sukar diduga isinya, apalagi isi hati seorang wanita seperti Gak Soan Li!

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Sekarang kita ikuti perjalanan Tiang Bu. Bocah ini sama sekali tidak berdaya ketika Giam-lo-ong Ci Kui mengempitnya dan membawanya lari dengan cepat sekali karena Ci Kui dan dua orang sutenya takut setengah mati kalau sampai bertemu dengan Ang-jiu Mo-li! Pak-kek Sam-kui adalah orang-orang utara, tentu saja mereka sudah tahu siapa adanya Ang-jiu Mo-li. Bukan tahu saja, bahkan dahulu ketika Temu Cin mencoba membujuk Ang-jiu Mo-li supaya membantu barisan Mongol dan wanita itu menolak sehingga terjadi pertempuran, Pak-kek Sam-kui pernah merasai kelihaian tangan wanita itu.

Mereka tentu akan tewas dalam tangan wanita sakti itu kalau saja Temu Cin tidak mengerahkan panglima-panglimanya. Setelah para panglima Mongol, dipimpin oleh Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji dan Butek Sin-ciang Bouw Gun, yaitu dua orang panglima-panglima tertinggi dari Temu Cin di waktu itu, baru Ang-jiu Mo-li melarikan diri, tidak kuat menghadapi keroyokan sekian banyaknya orang pandai. Maka tidak mengherankan apabila tiga kakek seperti iblis ini lari tunggang-langgang ketika melihat pat-kwa-ci, senjata rahasia Ang-jiu Mo-li yang amat lihai.

Ilmu lari cepat dari Pak-kek Sam-kui memang luar biasa. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan tidak pernah berhenti, tak lama kemudian mereka telah memasuki hutan besar, puluhan li jauhnya di sebelah utara kota raja. Giam-lo-ong Ci Kui melemparkan Tiang Bu ke atas tanah dan tiga orang kakek itu berdiri memandang kepada Tiang Bu. Menarik sekali kalau mempelajari tarikan suara mereka bertiga. Ada bayangan orang marah, curiga dan lain perasaan yang sukar dilukiskan!

"Tiang Bu, mengapa kau lari dari kami. Apa yang terjadi padamu ketika kita berada di lereng Taihang-san?"

Tiang Bu sudah mengenal watak tiga orang gurunya yang aneh dan kejam, maka ia maklum pula bahwa ia tidak boleh berterus terang apalagi tentang belajar ilmu silat dari lain guru. Hal itu tentu akan dianggap sebagai sesuatu yang amat menghina oleh Pak-kek Sam-kui...

Tangan Gledek Jilid 08

Tangan Gledek Jilid 08

PALING banyak mereka itu hanya menggeleng-gelengkan kepala menyatakan kasihan. Ini masih mending bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang begitu melihat seorang jembel mati di pinggir jalan, lalu meludah dan berkata menyesal.

"Dasar tak tahu diri! Ketika hidup menyusahkan orang, mengganggu orang makan dan mengotorkan pemandangan. Sesudah mati masih membuat susah orang membikin jijik. Mengapa kalau mau mampus saja memilih tempat di jalan raya dan tidak pergi saja ke kuburan dan menggali tanah sebelumnya?"

Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan. "Minggir! Pangerah Wanyen sekeluarga dalam keretanya lewat!"

Betul saja, dari tikungan jalan muncul sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat ekor kuda. Kendaraan ini cukup besar maka para penjaga berteriak-teriak menyuruh orang untuk minggir. Ketika kendaraan itu lewat di tempat itu, dari dalam kendaraan terdengar perintah,

"Berhenti!"

Tak lama kemudian, beberapa orang pengawal mengusir orang-orang yan g merubung jenazah Bu Hok Lokai yang ditangisi oleh Tiang Bu.

"Minggir, minggir...! Ongya hendak memeriksa kejadian ini!"

Orang-orang yang berada di situ segera mengundurkan diri dan menonton dari jarak jauh.

"Untung sekali, pengemis itu." Terdengar orang berkata.

Memang, semua orang di kota raja sudah mendengar akan kebaikan hati keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun yang jauh berbeda dengan bangsawan-bangsawan lain. Bangsawan dan hartawan atau orang berpangkat lainnya mana sudi berdekatan dengan bangsa pengemis.

Jangan kata dengan kaum jembel, dengan rakyat kecil saja mereka tidak mau mempedulikan dan tidak sudi berhubungan. Akan tetapi sebaliknya Pangeran Wanyen Ci Lun dan keluarganya terkenal sebagai keluarga bangsawan yang berbudi mulia, yang tak pernah menolak permintaan tolong rakyat sengsara, yang tidak sombong bahkan mendekati rakyat jelata. Inilah sebabnya maka para penonton menganggap bahwa pengemis yang kematian kakeknya itu beruntung karena bertemu dengan kendaraan keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun pada saat kesengsaraan.

Pintu kendaraan terbuka dan turunlah seorang laki-laki bangsawan yang berwajah tampan peramah, berusia tiga puluh tahun lebih dan sikapnya agung. Inilah Pangeran Wanyeh Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat terkenal di kalangan rakyat, namun juga amat berpengaruh di dalam istana oleh karena ia terkenal cerdik dan merupakan penasehat kaisar dalam banyak persoalan.

"Ah, kasihan sekali..." suara ini terdengar dari dalam kereta, suara halus seorang wanita dan tak lama kernudian dari atas kereta turun pula seorang wanita cantik jelita dan bersikap gagah, di belakang Pangeran Wanyen Ci Lun.

Dia ini adalah isteri terkasih dari pangeran itu, bukan lain adalah Gak Soan Li, pendekar wanita yang perkasa itu. Di belakang ibunya ini turun pula Wan Sun yang berusia enam tahun lebih dan Wan Bi Li yang berusia empat lima tahun digandeng oleh kakaknya. Kalau orang tua-tua lain tentu akan melarang anak-anak mereka turur dari kendaraan melihat jenazah seorang Kakek jembel, akan tetapi Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li tidak melarang dua orang anaknya itu turun, bahkan tidak melarang ketika Wan Bi Li mendekati jenazah Bu Hok Lokai dan bocah berumur lima tahun itu berseru.

"Dia mati digigit ular!"

Wanyen Ci Lun mendekati Tiang Bu dan bertanya dengan suara ramah menghibur. "Anak sengsara, dia apamukah?"

"Dia adalah... guruku..."

Wan Sun tertarik sekali. Anak ini wataknya agak keras dan tidak mau kalah, mendengar disebutnya guru, ia segera bertanya kepada Tiang Bu yang sudah mengeringkan air matanya karena malu melihat banyak orang, "Guru apa...? Guru silatkah, atau menulis?"

Tiang Bu tidak mau membuka rahasianya, karena urusan persilatan mendatangkan bencana saja. Buktinya, gurunya juga tewas karena ada orang hendak mengambilnya sebagai murid. Ia menggeleng-gelengkan kepala tanpa menjawab. Akan tetapi Wan Sun tidak puas.

"Kalau bukan guru silat atau surat, habis ia guru apa, dan kau belajar apa?"

"Guru... mengemis!" jawab Tiang Bu.

Dan Wan Sun tersentak ke belakang oleh jawaban ini. Wajahnya yang tampan seketika itu juga memperlihatkan perasaan kasihan. "Di mana rumahmu?" tanya Pangeran Wanyen Ci Lun kepada Tiang Bu.

"Aku tidak punya rumah, kata guruku, tanah ini lantaiku dan langit atapku," jawab Tiang Bu, jawabannya yang kasar itu tidak membikin marah Wanyen Ci Lun, sebaliknya ia menarik napas panjang karena merasa kasihan. Anak jembel tidak terpelajar, sampai-sampai membawa diri bersopan santun saja tidak bisa.

"Anak, jangan kau bersedih. Jenazah gurumu ini serahkan saja kepada kami untuk mengurus penguburannya dengan baik-baik. Tentang kau sendiri, kalau kau suka, kau boleh ikut dengan kami menjadi pelayan dan bekerja di rumah kami."

Biarpun hatinya sedang berduka dan Tiang Bu berjiwa sederhana, namun ia masih tahu akan terima kasih, dan diam-diam merasa heran dan kagum mengapa di dunia yang didiami penuh orang-orang jahat ini terdapat seorang bangsawan tinggi seperti ini. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan Wanyen Ci Lun sambil berkata dan mendongakkan kepalanya menatap wajah pangeran itu.

"Tai-ya sungguh mulia dan hamba selamanya akan ingat kepada Tai-ya sebagai seorang muliawan. Hamba berjanji akan berusaha membalas kebaikan Tai-ya, dan andaikata hamba tak dapat memenuhi janji ini, biarlah Thian yang akan membalas budi Tai-ya. Mohon tanya siapakah nama Tai-ya agar selama hidup hamba takkan lupa?"

Kalau Pangeran Wanyen Ci Lun bukan seorang pangeran yang sudah banyak melakukan perantauan di dunia kang-ouw dan menyaksikan keanehan-keanehan, tentu ia akan menganggap bocah itu lancang dan kurang ajar. Akan tetapi ia tahu bahwa bocah ini bukanlah bocah biasa, maka sambil tersenyum ramah ia menjawab.

"Aku bernama Wanyen Ci Lun dan kau tak perlu mengingat tentang budi. Asal kau mau bekerja kepada kami, sudah cukup baik dan..."

Kata-kata Wanyen Ci Lun terhenti karena pada saat itu terdengar suara ketawa aneh sekali, suara ketawa bermacam-macam ada yan g seperti ringkik kuda, ada seperti burung hantu dan ada yang seperti auman harimau. Kemudian tiba-tiba berkelebat bayangan orang orang dan tahu-tahu tiga orang kakek yang mengerikan telah berdiri di tengah-tengah tempat yang dikelilingi orang itu! Tiang Bu terkejut sekali ketika mengenal mereka, karena mereka itu bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui. Tiga Iblis Kutub Utara!

"Bocah gila, kiranya kau minggat sampai di sini!" seru Giam-lo-ong Ci Kui Si Jangkung Gundul dan sepasang matanya berputaran mengerikan.

"Dia menipu kita!" Seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw Si Muka Burun g dengan mata di pejam-pejamkan, alisnya berkerut-kerut.

Terdengar auman keras menggetarkan dan Sin-saikong Ang Louw Si Muka Singa melompat maju. "Bocah jahanam harus mampus saja!" Ia mengangkat tangan hendak memukul kepala Tiang Bu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Siluman-siluman tak tahu sopan. Mundurlah!" Bentakan ini dibarengi dengan sinar pedang yang dengan amat cepatnya menyabet ke depan tubuh Ang Louw sehingga kalau Si Muka Singa itu melanjutkan pukulannya kepada Tiang Bu, tentu lengannya akan terbabat pedang. Cepat sekali Ang Louw menarik tangannya dan menggerakkan jari tangannya menyentil pedang itu.

"Cringgg...!" Pedang terpental akan tetapi tidak terlepas dari tangan Gak Soan Li. Namun nyonya ini kaget setengah mati karena sentilan pada pedangnya itu membuat tangannya hampir lumpuh.

"Bagus, Toanio lihai juga..." Ang Louw memuji. Memang ia merasa kagum melihat seorang wanita bangsawan yang cantik dan masih muda ternyata memiliki kepandaian tinggi sehingga pedang yang dipegangn ya tidak terlepas oleh sentilan jarinya. "Kami berurusan dengan murid sendiri, apakah Toanio mau mencampuri?"

Pangeran Wanyen Ci Lun membentak para pengawalnya yang sudah mencabut senjata dan mengurung tiga orang aneh itu. Dari sentilan tadi dan melihat wajah isterinya, pangeran ini maklum bahwa tiga orang kakek aneh yang muncul secara tiba-tiba itu tentulah bukan orang-orang biasa. Ia cepat menjura kepada mereka dan berkata,

"Sam-wi Lo-enghiong harap suka memaafkan kami dan kiranya urusan ini perlu dibuat terang agar jangan terjadi hal yang tidak diinginkan. Tentu saja isteriku tidak akan mencampuri urusan orang lain, hanya tadi isteriku melihat seorang bocah mau dipukul mati, tentu saja merasa kasihan dan bermaksud menolong. Tidak tahu siapakah Sam-wi Lo-cianpwe dan ada hubungan apa dengan bocah yang kematian gurunya ini."

"Kematian gurunya? Hah, kami gurunya. Siapa yang mati, dan siapakah kau ini, bangsawan muda?" tanya Giam-lo-ong Ci Kui.

"Kami tadi mendapatkan anak ini menangisi jenazah seorang kakek tua di tempat ini dan menurut pengakuannya, kakek itu adalah gurunya."

"Guru mengemis!" Wan Sun cepat menyambung kata-kata ayahnya. Bocah ini pun cerdik. Dari sikap dan kata-kata tiga orang kakek aneh itu, Wan Sun menduga bahwa Tiang Bu tentulah telah lari dan bertukar guru, maka ia cepat-cepat menyambung kata-kata ayahnya untuk menolong Tiang Bu.

Tiga orang kakek itu saling pandang dengan heran, lalu Ang Bouw bertanya kepada Tiang Bu yang masih berlutut. "He, setan cilik. Benarkah kau menjadi murid orang lain untuk belajar mengemis?"

"Betul, Sam-suhu."

Tiga orang kakek itu tertawa bergelak dan banyak penonton menjadi ketakutan, bahkan ada yang menggigil kaki mereka mendengar suara ketawa ini. Kemudian mereka memandang kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dan bertanyalah Giam-lo-ong Ci Kui dengan nada terharu.

"Bagaimana seorang bangsawan besar seperti kau ini mau mengurus perkara para jembel? Siapakah kau?"

Wanyen Ci Lun tersenyum mendengar ini, "Aku adalah Wanyen Ci Lun..."

"Pangeran Wanyen Ci Lun?" Tiga orang kakek itu menegaskan dengan suara hampir berbareng.

"Betul, apakah Sam-wi Locianpwe sudah mendengar namaku yang tidak berharga?"

Kembali tiga orang kakek aneh itu tertawa bergelak-gelak. "Mungkin namamu tidak berharga, akan tetapi, kepala Pangeran Wanyen Ci Lun berharga sekali" kata-kata ini dikeluarkan oleh Ci Kui dan serentak mereka maju menyerang pangeran itu!

Namun Gak Soan Li sudah waspada. Sejak tadi ia sudah siap sedia dan curiga terhadap tiga orang kakek ini maka diam-diam ia sudah memberi isarat kepada para pengawal. Begitu tiga orang kakek itu bergerak, Soan Li sudah memutar pedangnya menerjang Giam-lo-ong Ci Kui sedangkan sepuluh orang pengawal yang berkepandaian lumayan telah menyerang pula sambil memutar senjata melindungi Pangeran Wanyen Ci Lun.

Pertempuran hebat segera terjadi di jalan raya itu. Para penonton bubar dan lari ke sana ke mari panik. Para pengawal itu ternyata sama sekali bukan tandingan Pak-kek Sam-kui yang bertempur sambil tertawa-tawa. Sebentar saja empat orang pengawal roboh binasa dengan kepala pecah, terkena pukulan-pukulan Liok-te Moko Ang Bouw dan Sin-saikong Ang Louw. Yang lain -lain menjadi gentar juga menghadapi dua orang kakek yang lihai sekali ini.

Sementara itu, biarpun Giam-lo-ong Ci Kui paling lihai di antara tiga orang kakek ini, namun ia menemui tandingan yang tidak begitu empuk seperti dua orang adiknya. Gak Soan Li adalah pendekar wanita yang ilmu pedangnya kuat dan ganas. Sungguhpun tingkat kepandaiannya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan Giam-lo-ong Ci Kui, namun kakek gundul ini tidak dapat cepat-cepat mengalahkan nyonya pangeran ini. Gak Soan Li terkurung dan terdesak hebat oleh Giam-lo -ong Ci Kui yang mempergunakan kain selendangnya sebagai senjata. Nyonya ini menjadi nekad dan pedangnya menyambar-nyambar seperti naga mengamuk.

Pangeran Wanyen Ci Lun maklum bahwa isterinya berada dalam bahaya. Ia menjadi gelisah sekali. Untuk membantu isterinya, ia tahu bahwa hal itu hanya akan mengacaukan pertahanan Soan Li, karena kepandaiannya sendiri masih belum ada artinya kalau dipergunakan untuk menghadapi seorang selihai kakek gundul ini. Ia lalu mengeluarkan alat memanggil dan melengkinglah suitan berkali-kali dari mulut pangeran ini, sebagai tanda kepada seluruh pengawal di istana bahwa ada bahaya mengancam.

Tanda bahaya seperti ini akan mendatangkan seribu orang pengawal bersama puluhan orang panglima yang berkepandaian tinggi yang tersebar di seluruh kota raja, terutama sekali di lingkungan istana! Hanya orang-orang besar seperti Pangeran Wanyen Ci Lun yang memiliki hak membunyikan tanda bahaya ini.

Akan tetapi terlambat. Pada saat ia meniup alat itu Giam-lo-ong Ci Kui telah berhasil melibat pedang di tangan Soan Li dengan kain selendangnya dan sekali betot saja pedang itu telah berpindah tangan. Kemudian sambil tertawa-tawa mengejek Ci Kui menggunakan pedang rampasannya untuk membabat batang leher Wanyen Ci Lun sambil berseru.

"Wanyen Ci Lun, kesinikan kepalamu untuk kubawa!"

Akan tetapi Gak Soan Li sudah kena dirampas pedangnya, melihat bahaya besar mengancam jiwa suaminya, cepat meloncat bagaikan seekor kucing, menubruk kakek itu sambil membentak.

"Jangan bunuh suamiku!"

Giam-lo-ong Ci Kui terkejut sekali. Gerakan nyonya ini demikian cepat dan nekad sehingga tak dapat disangsikan lagi bahwa pedang di tangannya tentu akan membabat putus lengan kanan nyonya yang berusaha menyelamatkan suaminya itu juga Wanyen Ci Lun menjadi pucat sekali, lalu meramkan matanya agar jangan menyaksikan betapa isterinya terbabat oleh pedang sendiri.

"Traaangngng!"

Pedang di tangan Giam-lo-ong Ci Kui terbentur oleh sebuah sinar terang dan aneh sekali, kakek yang tinggi kepandaiannya ini sampai terhuyung-huyung ke belakang dan pedang itu patah menjadi dua! Melihat bahwa yang membentur pedang di tangannya itu adalah sebutir pat-kwa-ci (biji segi delapan), berubah muka Ci Kui dan ia berseru kepada adik-adiknya.

"Melihat muka Ang-jiu Mo-li, kita ampunkan Wanyen Ci Lun dan mari kita pergi"

Ang Bouw dan Ang Louw juga terkejut sekali apalagi mendengar seruan suheng mereka itu, cepat mereka melompat pergi melalui kepala banyak orang. Akan tetapi Ci Kui tidak mau pergi begitu saja, tangan kirinya menyambar dan di lain saat tubuh Tiang Bu telah dikempitnya dan dibawa lari pergi bersama dua orang sutenya.

Tak seorang pun berani mengejar mereka yang cepat lenyap dari pandangan mata. Wanyen Ci Lun memeluk isterinya dengan hati penuh rasa syukur bahwa isterinya terbebas dari kematian. Juga Soan Li mengucurkan air mata melihat suaminya selamat. Wan Sun dan Wan Bi Li mendekap baju ibu mereka karena dua orang anak ini masih merasa ketakutan.

"Sungguh beruntung ada seorang sakti menolong." bisik Soan Li kepada suaminya. Ia lalu menjura ke empat penjuru dan berkata dengan suara nyaring, mengerahkan khikangnya agar suaranya terdengar dari tempat jauh.

"Locianpwe yang telah menolong nyawa keluarga Wanyen dari bahaya maut, harap sudi memperlihatkan diri agar kami dapat menghaturkan terima kasih!"

Semua orang yang mendengar kata-kata nyonya pangeran ini menjadi terheran-heran akan tetapi mereka melongo ketika tiba-tiba terdengar suara perlahan akan tetapi jelas sekali sehingga seperti orang berbisik di dekat telinga.

“Kalian pulanglah, pinni (aku) menanti kalian di rumah."

Pangeran Wanyen Ci Lun terheran dan tidak mengerti, akan tetapi isterinya lalu menarik tangannya dan mengajak dua orang anaknya cepat meninggalkan tempat itu dan kembali ke istana mereka. Kereta dijalankan lagi, jenazah empat orang pengawal diurus oleh kawan-kawannya dan ramailah orang berbicara tentang peristiwa aneh tadi. Banyak yang memuji akan kegagahan nyonya pangeran.

Di dalam kendaraannya, Wanyen Ci Lun berkata kepada isterinya. "Apakah yang terjadi dengan bocah yang kematian gurunya itu, dan mengapa tiga orang iblis itu membawanya?"

Soan Li mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya. "Entahlah, akan tetapi jangan kita pedulikan anak itu. Semenjak melihatnya aku sudah merasa tidak suka kepadanya."

"Eh, mengapakah kau ada perasaan demikian? Kita baru melihat dia untuk pertama kali dan apa salahnya?"

"Aku tidak tahu. Begitu melihatnya, aku mendapat perasaan seakan-akan bocah itu hanya mendatangkan malapetaka belaka. Dan tepat sekali perasaan itu, baru saja ia kita ajak bicara, muncul malapetaka berupa tiga orang lihai. Apalagi kalau diingat bahwa tiga orang iblis itu mengakuinya sebagai murid. Ah, anak itu tentu bukan manusia baik, dan entah siapa pula kakek jembel yang sudah menjadi mayat itu."

Wanyen Ci Lun menarik napas panjang. "Memang dunia kang-ouw banyak sekali manusia aneh, dan makin lama makin banyak kita melihat orang-orang pandai luar biasa. Aku kira bahwa kakek jembel yang sudah mati itu pun orang luar biasa." Pangeran ini teringat akan ucapan puterinya ketika mereka baru turun dari kendaraan. "Bi Li, kau tadi bilang dia mati digigit ular. Betulkah itu?"

"Betul Ayah," jawab Bi Li dengan kepala tunduk dan anak ini rupanya masih kaget karena peristiwa hebat tadi.

"Siapapun juga adanya kakek jembel itu, aku sudah menyuruh pengawal merawat jenazahnya baik-baik. Yang kuherankan adalah tiga orang iblis tadi. Mereka itu belum pernah kukenal, akan tetapi mengapa begitu mendengar namaku mereka lalu berusaha membunuhku?"

Gak Soan Li nampak bergidik ngeri. "Mereka itu lihai sekali. Seorang saja di antara mereka memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kepandaianku. Kiranya kepandaian mereka sudah setingkat dengan kepandaian mendiang Suhu Hwa l Enghiong Go Ciang Le! Aku pun tidak dapat menduga siapa adanya mereka itu. Mereka memang lihai luar biasa. Akan tetapi kalau aku mengingat akan penolong kita yang dengan satu lemparan pat-kwa-ci telah berhasil menolong nyawa kita dan mengusir tiga orang iblis itu, sukar membayangkan betapa tingginya ilmu kepandaian penolong kita itu."

Diam-diam Wanyen Ci Lun menduga bahwa orang yang menolong mereka itu bukan lain tentulah Wan Sin Hong adanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau menyebut-nyebut nama orang ini di depan isterinya dan pula ia juga masih meragukan kebenaran dugaannya. Andaikata benar Wan Sin Hong yang menolong tadi, mengapa pendekar itu tidak mau terang-terangan, bahkan mengapa pula menyuruh mereka pulang dan suaranya berbeda dengan suara Wan Sin Hong.

Begitu kereta berhenti di depan pekarangan istananya Soan Li melompat turun dan bertanya kepada para penjaga di depan apakah tadi ada tamu datang. Para penjaga menjawab tak melihat seorang pun tamu datang di situ. Wanyen Ci Lun tahu bahwa isterinya tentu mengira penolong itu mendahului datang di situ. Ia merasa kasihan melihat isterinya! nampak kecewa mendengar jawaban para penjaga. Diam-diam makin tebal dugaan Wanyen Ci Lun bahwa penolong mereka tentulah Wan Sin Hong yang tidak mau menemui secara berterang dan agaknya malam nanti baru akan muncul di kamarnya sendiri.

Akan tetapi, alangkah kaget dan heran hatinya ketika mereka semua tiba di ruangan dalam, di situ mereka melihat seorang wanita berpakaian seperti seorang pertapa, berwarna putih semua. Mukanya cantik sekali dan kemerah-merahan, rambutnya hitam panjang terurai di punggung dan pundak sehingga biarpun rambut itu mendatangkan keindahan namun agak menyeramkan. Sebuah pedang menempel di pundak dan wanita ini berdiri dengan mata bersinar-sinar, memandang ke arah Wan Sun dan Wan Bi Li.

Gak Soan Li menjadi kaget dan kagum sekali. Tidak saja wanita ini dapat mendahului mereka, bahkan dapat memasuki istana tanpa terlihat oleh seorang pun penjaga dan pengawal! Ini saja sudah membuktikan betapa tinggi kepandaian wanita ini. Soan Li merasa pasti bahwa inilah orangnya yang telah menolongnya tadi, biarpun ia kaget sekali karena tidak mengira bahwa penolongnya seorang wanita demikian cantiknya.

Baginya mudah saja menentukan bahwa inilah orangnya, karena tadi ia mendengar iblis jangkung gundul menyebut nama Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah) sedangkan wanita cantik di depannya ini mempunyai dua buah tangan yang merah seperti diwarnai gin-cu! Karena sudah yakin bahwa inilah penolongnya, Soan Li tanpa ragu-ragu lagi lalu menggandeng tangan dua orang anaknya menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu sekeluarga menghaturkan terima kasih atas pertolongan Locianpwe sehingga nyawa kami sekeluarga terpelihara," kata Soan Li dengan sikap merendah sekali.

Adapun Wanyen Ci Lun yang menjadi tertegun karena sama sekali tak disangkanya bahwa wanita cantik ini yang tadi menolongnya, hanya menjura. Sebagai seorang pangeran tentu saja ia tidak bisa berlutut di depan siapapun juga. Ia memberi hormat dengan menjura dan berkata.

"Siankouw, selamat datang di rumah kami dan maafkan kalau kami terlalu lama di jalan membuat Siankouw terlalu lama menanti."

Wanita itu menggerak-gerakkan tangan kirinya dan terdengar ia berkata, suaranya halus akan tetapi tajam menusuk telinga. "Tidak apa, tidak apa! Kalian ini keluarga bangsawan agung, mengapa memberi hormat kepada orang rendah seperti aku? Hujin, bangunlah!" Sekali ia mengibaskan tangan, Soan Li merasa seperti tubuhnya diangkat oleh tangan yang kuat sekali sehingga ia bangkit berdiri dengan tiba-tiba. Anehnya, dua orang anaknya tidak ikut berdiri, jelas bahwa wanita aneh ini tidak menyuruh dua orang bocah itu berdiri.

"Locianpwe, silakan duduk..." kata pula Soan Li.

"Tak usah, aku tidak lama di sini. Hanya ada sedikit urusan hendak disampaikan kepada kalian suami isteri."

Wanyen Ci Lun dan Soan Li merasa tidak enak sekali. Kalau seorang aneh dan sakti seperti wanita ini bilang ada urusan, betapapun kecilnya urusan itu pasti amat pentingnya.

"Bolehkan kami mengetahui lebih dulu siapakah sebetulnya Siankouw ini? Sungguh tidak enak bagi kami kalau belum mengetahui nama besar penolong kami." kata Wanyen Ci Lun karena pangeran ini tidak berani berlaku sembrono dan lancang sebelum mengenal siapa wanita ini. Kalau kawan tidak apa, akan tetapi kalau lawan ia dapat bersiap-siap mendatangkan bala bantuan.

"Lihat saja kedua tanganku yang merah dan kalian akan tahu siapa aku ini," jawab wanita itu dengan suara dingin seakan-akan mengejek.

"Kalau teecu tidak salah duga, Locianpwe ini tentulah Ang-jiu Nio-nio (Dewi Bertangan Merah), bukan?" kata Soan Li cepat, khawatir kalau-kalau suaminya salah bicara.

Wanita itu tertawa, wajahnya manis sekali kalau tertawa akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, hanya patut terdengar di tengah malam di dalam kuburan yang sunyi. Suara ketawa siluman!

"Hujin terlalu sungkan. Di dunia ini, tidak ada orang yang menyebut aku dengan sebutan Nio-nio. Panggil saja sebutanku yang sesungguhnya, yaitu Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)."

"Mana berani teecu berlaku kurang ajar? Seorang sakti seperti Locianpwe patutnya menjadi seorang dewi. Hanya orang kurang ajar dan buta saja yang berani menyebut iblis wanita," kata Soan Li penasaran. Ia merasa amat kagum terhadap penolongnya ini, maka tentu saja hatinya tidak mengijinkan orang menyebutkan iblis wanita.

"Sudahlah, kau boleh menyebutku apa saja." Ang-jiu Mo-li berkata dengan wajah ramah dan senyum manis. Biarpun dia ganas dan liar seperti iblis, tetap saja dia seorang wanita yang memiliki sifat-sifat kewanitaan pula, yakni paling suka akan pujian! "Sekarang baik kuberitahukan tentang maksud kunjungan ku. Aku melihat dua orang anakmu ini bertulang baik sekali dan kebetulan sekali memang aku hendak mencari murid. Pendeknya aku datang untuk membawa mereka bersama-sama dan menjadi murid-muridku."

Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Wanyen Ci Lun mendengar ini. Ia cepat memandang kepada isterinya untuk melihat reaksi isterinya akan maksud wanita aneh itu, dan untuk mempersiapkan segala kemungkinan kalau saja isterinya sependapat dengan dia yaitu tidak setuju anak mereka dibawa pergi. Akan tetapi kekagetannya menjadi kekhawatiran juga keheranan ketika isterinya dengan wajah berseri lalu berkata kepada dua orang anaknya.

"Sun-ji dan Bi Li, hayo kalian lekas memberi hormat kepada Nio-nio!"

Dua orang anak itu mentaati perintah ibunya dan mereka cepat memberi hormat sampai jidat mereka membentur lantai. Adapun Soan Li sendiri tanpa menanti suaminya menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan rencananya, cepat berkata menjawab Ang-jiu Mo-li.

"Terima kasih hanyak atas perhatian Nio-nio terhadap dua orang anakku yang bodoh. Sungguh mereka mendapat anugerah besar sekali dari Thian bahwa Nio-nio telah sudi mengambil mereka sebagai murid. Aku akan segera menyuruh pelayan menyediakan sebuah kamar bersih dan tenang untuk Nio-nio dan menyediakan tiga orang pelayan untuk melayani segala keperluan Nio-nio di sini."

Baru lega hati Wanyen Ci Lun mendengar kata-kata isterinya ini dan ia mengharap wanita aneh itu akan menerima usul ini. Bagi Wanyen Ci Lun, dua orang anaknya mendapat guru pandai tentu saja merupakan hal yang menggembirakan karena pangeran ini dapat merasai pentingnya ilmu silat. Yang membuat ia menjadi merasa khawatir hanya kalau kedua anakn ya dibawa pergi oleh wanita itu. Hal ini ia merasa berat sekali, apalagi dalam suasana seperti sekarang di waktu kerajaan menghadapi ancaman musuh-musuhnya dan ia mempunyai rencana untuk menyuruh anak isterinya mengungsi.

Kalau dua orang anaknya di bawa pergi, habis Soan Li bagaimana, dan dia sendiri akan selalu mengkhawatirkan keadaan anak isterinya. Beda soalnya kalau anak isterinya mengungsi ke Kim-bun-to di rumah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, ia merasa yakin bahwa anak isterinya berada di tempat yang aman dan di tangan kawan-kawan sendiri yang boleh dipercaya.

Ang-jiu Mo-li tersenyum dan diam-diam ia kagum atas kecerdikan nyonya pangeran itu, yang telah mendahuluinya dengan usul supaya ia tinggal di situ dalam mengajar dua bocah itu. "Mereka takkan maju kalau belajar di sini saja. Mereka harus melakukan perantauan, harus mengalami betapa sulitnya hidup di luar istana yang serba ada. Pinni bermaksud mengajak mereka merantau di dunia kang-ouw dan pinni bermaksud menjadikan mereka dua orang yang kelak akan menjagoi kolong langit!"

Wanyen Ci Lun menjadi pucat, akan tetapi Soan Li dengan wajah tenang tidak berubah menjawab. "Nio-nio, biarpun aku tidak mempunyai kepandaian yang berarti, namun dahulu aku adalah murid Hwa l Enghiong, maka aku pun maklum akan kebenaran kata-kata Nio-nio tadi. Memang tentu saja kami tidak akan berkeberatan kalau sewaktu-waktu Nio-nio mengajak mereka merantau. Akan tetapi tentu saja jangan sekarang di waktu mereka masih kanak-kanak, selain membutuhkan kasih sayang ayah ibu, juga mereka perlu mempelajari ilmu surat. Tentu saja Nio-nio tidak akan suka kalau kelak ada orang-orang kang-ouw bilang bahwa kedua orang murid Nio-nio hanyalah orang-orang kasar yang tidak mengenal mata surat bukan? Oleh karena itulah, Nio-nio, kami mengharap dengan sangat, memohon kepadamu sudikah membagi anak-anak ini di antara kita. Maksudku, di waktu kecil Nio-nio mengajar mereka di sini dan kami berjanji takkan mengganggu Nio-nio, dan kelak kalau sudah besar, kadang-kadang boleh saja Nio-nio ajak mereka merantau. Bukankah jalan ini paling baik dan adil dan Nio-nio tidak mengecewakan menjadi pujaan kami keluarga Wanyen?"

Ang-jiu Mo-li menatap wajah Gak Soan Li. Tadinya ia hendak marah mendengar orang berani membantah kehendaknya, akan tetapi Ang-jiu Mo-li bukan seorang bodoh. Ia sudah tahu betapa besar kekuasaan Pangeran Wanyen Ci Lun dan bahwa kota raja bukanlah tempat di mana ia boleh sembarangan bergerak. Sekali ia melakukan pelanggaran dan keluarga ini nekat melakukan perlawanan, ia tentu akan menghadapi pengawal-pengawal istana yang pandai-pandai dan terutama sekali yang amat banyak jumlahnya.

Ia amat suka melihat dua orang anak itu, terutama sekali Bi Li. Sinar mata anak ini mendatangkan rasa sayang dalam hatinya karena ia maklum bahwa kalau anak ini terdidik baik, kelak akan lebih lihai daripada dirinya sendiri! Pula tempat ini amat indah, dan menyenangkan, apa salahnya kalau dia tinggal di situ untuk beberapa lamanya. Kalau sudah bosan, mudah saja baginya untuk pergi. Kalau perlu, ia dapat juga membawa kedua muridnya minggat.

"Hujin, kau benar-benar seorang ibu yang penuh kasih sayang kepada anak-anaknya dan seorang wanita yang berani dan cerdik. Baiklah, pinni menerima usulmu itu dan biarlah untuk sementara ini pinni tinggal di sini mengajar kedua anakmu..."

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati suami isteri itu. Sibuk mereka menyediakan kamar yang indah dan bersih untuk Ang-jiu Mo-li, bahkan malamnya Pangeran Wanyen Ci Lun menjamu makan minum kepada guru anak-anaknya. Dalam perjamuan ini mereka bertiga bicara dengan ramah dan berceritalah Ang-jiu Mo-li siapa adanya tiga orang kakek itu.

"Mereka bertiga adalah kaki tangan Raja Mongol yang bernama Temu Cin. Tentu saja mereka hendak membunuh Wanyen Ongya, karena kalau hal itu berhasil mereka tentu akan mendapat hadiah dari raja mereka. Adapun jembel tua yang mampus di pinggir jalan itu, kalau tidak salah adalah Bu Hok Lokai, seorang kangouw yang tidak berdosa dan tak pernah bermusuhan dengan orang. Entah siapa yang membunuhnya. Bocah itu memang murid Pak-kek Sam-kui karena pinni pernah melihat dia bersama tiga orang Mongol itu. Pinni juga tidak tahu bagaimana ia bisa bersama Bu Hok Lokai."

Di dalam percakapan itu, setelah banyak minum arak wangi, Ang-jiu Mo-li dengan bangga menceritakan bahwa dia adalah murid dari seorang pertapa setengah dewa di Gunung Himalaya, dan dalam kesombongannya ia menyatakan bahwa jangankan menghadapi Pak-kek Sam-kui, biarpun orang-orang seperti See-thian Tok-ong, Ba Mau Hoatsu, atau Giok Seng Cu, kalau mereka itu masih hidup, mudah ia akan dapat mengalahkan mereka. Biarpun Gak Soan Li dan suaminya masih kurang percaya, namun suami-isteri ini sudah merasa girang dan beruntung sekali bahwa kedua anak mereka tidak terpisahkan dari mereka, juga di situ sekarang tinggal seorang sakti yang selain dapat menurunkan kepandaian kepada Wan Sun dan Wan Bi Li juga merupakan pembantu dan penjaga keamanan yang boleh diandalkan.

Tanpa melihat bukti juga mereka sudah percaya, karena orang yang dapat menundukkan dengan amat mudahnya orang-orang berkepandaian tinggi seperti Pak-kek Sam-kui, tak dapat disangsikan lagi tentu memiliki kesaktian istimewa. Dan kepercayaan mereka ini memang betul-betul tidak sia-sia. Memang sesungguhnya Ang-jiu Mo-li adalah seorang sakti, dan kiranya pada masa itu jarang ada orang memiliki ilmu kepandaian setinggi ilmu yang dimiliki Ang-jiu Mo-li! Diam-diam Pangeran Wanyen Ci Lun teringat akan sahabat baik dan saudaranya Wan Sin Hong. Manakah yang lebih pandai, pikirnya, antara guru anak-anaknya ini dengan Wan-bengcu?

Malam harinya ketika Wanyen Ci Lun berada di dalam kamar tidur bersama isterinya ia berkata, "Aku makin mengkhawatirkan nasib bocah yang dibawa pergi oleh Pak-kek Sam-kui. Kalau mereka itu orang-orang Mongol yang kejam dan jahat, kasihan sekali bocah itu. Entah mengapa, sebaliknya dari perasaanmu, aku merasa suka dan kasihan kepada anak itu."

"Aah, mengapa mesti memikirkan bocah buruk seperti dia? Melihat mukanya saja aku sudah tidak suka dan muka itu membayangkan watak yang jahat. Murid Pak-kek Sam-kui mana bisa baik? Lebih baik kita pikirkan keadaan anak-anak kita dan mudah-mudahan saja Ang-jiu Nio-nio tidak hendak membawa mereka merantau sebelum mereka dewasa. Suamiku harap kau jangan salah sangka. Aku tadi begitu saja menerima Ang-jiu N io-nio sebagai guru anak-anak kita, karena selain dia memang berilmu tinggi, kalau kita menolak dan dia memaksa, siapakah yang dapat menahan dia membawa pergi anak-anak kita?"

Wanyen Ci Lun mengangguk-angguk dan merangkul pundak isterinya yang terkasih. "Soan Li, kau memang seorang yang pandai sekali. Aku kagum kepadamu. Tanpa kau di sampingku tadi, entah apa yang telah terjadi atas diriku. Hanya saja... sayang bocah bermuka buruk tadi..."

"Ah, ada-ada saja. Mari kita tidur dan lupakan bocah buruk rupa itu!" jawab Soan Li.

Kalau saja Soan Li tahu bahwa "bocah buruk" itu bukan lain adalah anaknya sendiri! Anaknya sendiri keturunan dari Liok Kong Ji si manusia jahanam! Seandainya ia tahu, apa yang akan diperbuatnya? Menerima bocah itu seperti anak sendiri ataukah menghunus pedang dan membunuhnya? Entahlah, hati wanita sukar diduga isinya, apalagi isi hati seorang wanita seperti Gak Soan Li!

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Sekarang kita ikuti perjalanan Tiang Bu. Bocah ini sama sekali tidak berdaya ketika Giam-lo-ong Ci Kui mengempitnya dan membawanya lari dengan cepat sekali karena Ci Kui dan dua orang sutenya takut setengah mati kalau sampai bertemu dengan Ang-jiu Mo-li! Pak-kek Sam-kui adalah orang-orang utara, tentu saja mereka sudah tahu siapa adanya Ang-jiu Mo-li. Bukan tahu saja, bahkan dahulu ketika Temu Cin mencoba membujuk Ang-jiu Mo-li supaya membantu barisan Mongol dan wanita itu menolak sehingga terjadi pertempuran, Pak-kek Sam-kui pernah merasai kelihaian tangan wanita itu.

Mereka tentu akan tewas dalam tangan wanita sakti itu kalau saja Temu Cin tidak mengerahkan panglima-panglimanya. Setelah para panglima Mongol, dipimpin oleh Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji dan Butek Sin-ciang Bouw Gun, yaitu dua orang panglima-panglima tertinggi dari Temu Cin di waktu itu, baru Ang-jiu Mo-li melarikan diri, tidak kuat menghadapi keroyokan sekian banyaknya orang pandai. Maka tidak mengherankan apabila tiga kakek seperti iblis ini lari tunggang-langgang ketika melihat pat-kwa-ci, senjata rahasia Ang-jiu Mo-li yang amat lihai.

Ilmu lari cepat dari Pak-kek Sam-kui memang luar biasa. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan tidak pernah berhenti, tak lama kemudian mereka telah memasuki hutan besar, puluhan li jauhnya di sebelah utara kota raja. Giam-lo-ong Ci Kui melemparkan Tiang Bu ke atas tanah dan tiga orang kakek itu berdiri memandang kepada Tiang Bu. Menarik sekali kalau mempelajari tarikan suara mereka bertiga. Ada bayangan orang marah, curiga dan lain perasaan yang sukar dilukiskan!

"Tiang Bu, mengapa kau lari dari kami. Apa yang terjadi padamu ketika kita berada di lereng Taihang-san?"

Tiang Bu sudah mengenal watak tiga orang gurunya yang aneh dan kejam, maka ia maklum pula bahwa ia tidak boleh berterus terang apalagi tentang belajar ilmu silat dari lain guru. Hal itu tentu akan dianggap sebagai sesuatu yang amat menghina oleh Pak-kek Sam-kui...