Tangan Gledek Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 07

Mari kita ikuti perjalanan Tiang Bu, anak yang nasibnya amat luar biasa itu sehingga semenjak kecil sudah mengalami hal-hal yang hebat dan dia sendiri berganti-ganti jatuh ke dalam tangan orang-orang aneh berkepandaian tinggi.

Telah diceritakan di bagian depan betapa nasib telah melemparkannya ke dalam tangan Bu Hok Lokai, seorang jembel tua perantau yang berilmu tinggi dan jalannya terpincang-pincang. Sampai setahun ia ikut merantau dengan Bu Hok Lokai ini, naik turun gunung, keluar masuk kota dan dusun dan telah menyeberangi entah berapa banyak sungai. Pekerjaan Bu Hok Lokai tak lain hanya mengemis dan kadang-kadang kalau bertemu dengan orang-orang pandai bermain catur, ia sampai lupa diri.

Kakek pengemis pincang ini kuat ber-main catur sampai tiga hari tiga malam tanpa beristirahat sejenak pun, berganti-ganti lawan. Kegemarannya bermain catur luar biasa sekali dan kalau di suatu kota terdapat banyak ahli catur, ia kadang-kadang lupa untuk melanjutkan perjalanannya.

Oleh karena gurunya setiap hari hanya mengemis, sebagai muridnya Tiang Bu tak berdaya dan tidak bisa berbuat lain kecuali mengemis. Sebetulnya anak ini tidak sudi mengemis dan sebagai seorang yang pernah hidup bersama dengan Pak-kek Sam-kui, ia pernah melakukan pencurian makanan untuk dia sendiri dan terutama untuk menyenangkan hati Bu Hok Lokai gurunya.

Akan tetapi tak disangka-sangkanya Bu Hok Lokai menjadi marah sekali, memaki makinya dan mengancam hendak meninggalkannya, bahkan hendak turun tangan membunuhnya!

"Tidak sudi aku mempunyai murid maling! Jangan menjadi muridku, dekat saja aku tidak sudi dengan segala maling dan pencuri. Lebih baik tidak makan dan kelaparan daripada mencuri," kata kakek ini marah-marah. "Selama kau berada di sampingku, sekali lagi kau melakukan pencurian aku takkan segan-segan turun tangan membunuhmu!"

Semenjak itu, Tiang Bu merasa jera dan tidak berani lagi untuk melakukan pencurian. Ia rela menderita, bahkan kadang-kadang beberapa hari tidak makan! Ia sama sekali tidak tahu karena masih terlalu kecil, bahwa gurunya ini kadang-kadang sengaja membawa muridnya menderita, sengaja membiarkan muridnya kelaparan dan sengsara untuk menambah benih-benih ksatria, agar muridnya ini tahu dan merasa betapa sengsaranya orang yang miskin dan kelak suka mempergunakan kepandaian untuk menolong orang yang sengsara.

Di samping hidup yan g serba kuran g dan sengsara ini, dengan amat tekunnya Tiang Bu berlatih silat dibawah pimpinan Bu Hok Lokai. Atas nasihat Bu Hok Lokai, Tiang Bu menghafal isi kitab dari Omei-san itu di luar kepala, kemudian kitab itu dibakar! Tiang Bu memang memiliki kecerdikan luar biasa maka tidak sukar baginya untuk menghafal. Dalam waktu setengah tahun, semua dasar dan teori Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang termuat dalam kitab itu telah hafal olehnya.

Setahun setengah telah lewat semenjak ia ikut dengan Bu Hok Lokai dan pada suatu hari ia dan gurunya tiba di kota raja. Girang sekali hati Tiang Bu ketika ia melihat dinding tinggi yang mengelilingi kota raja. Sudah lama sekali ia mendengar orang bicara tentang kota raja yang besar, indah dan ramai. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa di tempat ini ia dan gurunya akan mengalami penstiwa hebat.

"Tiang Bu, kita berhenti di sini saja. Hari sudah hampir gelap dan tidak enak memasuki kota raja di waktu pintu-pintu gerbang sudah mau ditutup, akan dicurigai. Besok pagi-pagi saja kita masuk ke kota. Lagi pula, apanya sih yang bagus dilihat di waktu malam? Kita mengaso di bawah jembatan sana itu. Dulu aku pernah meneduh di sana."

Tiang Bu merasa kecewa karena ia ingin sekali cepat-cepat memasuki kota kaisar. Akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak gurunya. Sambil menggandeng tangan gurunya, ia menuruni jalan kecil menurun di tepi jalan raya. Jalan ini menuju ke kolong jembatan besar yang berada di situ. Ketika mereka tiba di kolong jembatan, baru Tiang Bu melihat bahwa tempat itu amat luas dan memang enak dipakai mengaso. Panas tidak kepanasan, hujan tidak kehujanan lagi pula, hawanya hangat di situ.

Di sudut seberang terdapat seorang laki-laki yang duduk dengan muka tersembunyi di antara lututnya yang diangkat. Orang ini pakaiannya compang-camping dan kotor seperti seorang jembel yang sudah melarat betul-betul. Akan tetapi kepala yang mukanya disembunyikan itu gundul peslontos. Sukar menaksir berapa usia orang ini. Ia tidak bergerak, akan tetapi terdengar ia menggumam dengan kata-kata tak jelas.

“Dia cantik... aduh dia cantik mungil... seperti Ibunya... anakku... cantik seperti Siu Lan... ah Siu Lan... kalau saja kau bisa melihatnya... cantik... " lalu orang itu mengeluarkan suara ham-hem-ham-hem tidak karuan.

Selagi Tiang Bu memandang kepada orang gundul itu dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia mendengar Bu Hok Lokai menarik napas panjang dan berkata. "Perempuan... di mana-mana terdapat korbanmu..." Tiang Bu memandang suhunya dengan mata bertanya. ”Apa Suhu mengenal dia?" tanyanya.

Gurunya menghempaskan diri di atas rumput yang tumbuh di situ, lalu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Aku tidak mengenalnya, akan tetapi aku dapat menduga bahwa dia tentu menjadi korban wanita pula, seperti aku."

Mendengar ini, seketika perhatian Tiang Bu kepada orang itu lenyap, dan pindah kepada gurun ya. Ia pun duduk di dekat suhunya dan bertanya.

"Kau, Suhu? Korban wanita?"

Bu Hok Lokai mengangguk-an gguk dan matanya menatap air di bawah jembatan. Ia termenung dan terbayanglah peristiwa lama yang kadang-kadang membikin perih hatinya, perih hati yang selalu ditahan-tahan. Sekarang, mendapat kawan seorang murid yang disayangnya, ia mendapat kesempatan membuka isi hatinya, melempar ke luar semua penasaran yang meluap di dalam lubuk hati.

"Tiang Bu, sebetulnya kau masih kecil untuk mendengar penuturanku ini. Akan tetapi apa boleh buat, harus kuceritakan kepadamu karena aku tidak tahan lagi. Pula, baik sekali bagimu agar menjadi peringatan bahwa kau harus selalu berhatihati dan waspada kalau kelak berhadapan dengan wanita, apabila wanita cantik yang menarik hatimu nanti. Aku sudah tua dan siapa tahu aku akan mati sebelum menceritakan hal ini kepadamu, maka biarlah sekarang saja kuceritakan kepadamu. Kau lihat keadaanku. Seorang tua bangka sudah mau mampus, tidak berada di rumah anak cucunya melainkan merantau sebatang kara, menjadi pengemis dengan kaki terpincang-pincang. Ini semua gara-gara wanita cantik."

Tiang Bu melongo. Sama sekali tidak pernah disangkanya gurunya akan bicara begini. Akan tetapi karena ia diam-diam ingin sekali mengetahui riwayat suhunya, ia diam saja, memandang penuh perhatian dan membuka telinga baik-baik. Secara singkat, diselingi oleh tarikan napas dalam berkali-kali, Bu Hok Lokai menceritakan riwayatnya seperti berikut.

Dahulu Bu Hok Lokai bukan seorang pengemis. Dia adalah seorang keturunan bangsawan yang pandai ilmu silat dan ahli sastra sehingga ia terkenal sebagai seorang bun-bu-cwan-jai. Hanya sedikit sayang bahwa Lai Cin, demikian nama aselinya, mempunyai wajah yang tak dapat dibilang menarik atau tampan di waktu mudanya. Sebagai seorang bangsawan muda yang pandai dan beruang ia selalu menolak kehendak orang tuanya apabila hendak dijodohkan dengan alasan bahwa calon isteri itu kurang menarik, tidak memenuhi idam-idaman hatinya.

Akhirnya ia meni kah juga dengan seorang gadis tercantik di kotanya, dan pernikahan itu dirayakan dengan ramai dan meriah. Ia mencinta isterinya itu dengan sepenuh hati bahkan boleh dlbilang bahwa Lai Cin jatuh berlutut di bawah pengaruh isterinya yang cantik jelita itu sehingga banyak orang mentertawakannya diam-diam dan mengabarkan bahwa Lai Cin mempergunakan sepatu isterinya untuk tempat ia makan dan minum!

Ini semua kiranya takkan mengurangi kebahagiaan hidup Lai Cin kalau saja isterinya itu mempuriyai kesetiaan. Lai Cin sejak kecil mempunyai seorang sahabat baik yang kemudian menjadi suhengnya (kakak seperguruannya). Suheng-nya ini bernama Lauw Tek In, seorang pemuda gagah dan ganteng, terkenal sebagai seorang pemuda perantau dan pemogoran.

Seringkali Lauw Tek In datang berkunjung ke rumah Lai Cin dan bermalam sampai beberapa pekan dirumah sutenya yang besar dan bagus itu. Semua takkan mengganggu kebahagiaan rumah tangga Lai Cin kalau saja isterinya bukan seorang yang lemah iman dan sahabatnya bukan orang yan g berhati anjing. Pada suatu hari Lai Cin mendapatkan isterinya itu bermain gila dengan suhengnya!

Tidak ada peristiwa hebat di dunia ini yang akan dapat menghancurkan hati Lai Cin seperti keadaan hati dan perasaannya ketika ia menyaksikan perbuatan isterinya yang tercinta dan sahabatnya yang boleh dikata menjadi juga saudara tuanya yang ia sayang dan hormati itu. Ia menjadi mata gelap dan menyerang suheng-nya itu mati-matian. Sebagai suhengnya, tentu saja kepandaian Lauw Tek In lebih tinggi daripada kepandaian Lai Cin.

Akan tetapi, pada waktu itu Lai Cin adalah seorang patah hati yang nekad dan menyerang seperti orang gila, sebaliknya Lauw Tek In yang merasa berdosa, telah menjadi gentar dan gugup sehingga akhir pertempuran di dalam kamar itu, Lauw Tek In tewas dan sebaliknya Lai Cin terkena pukulan lihai dari suhengnya sehingga tulang kakinya rusak dan tak dapat diperbaiki lagi membuat ia terpincang-pincang selama hidup. Lai Cin yang sudah hampir gila saking marah dan terpukul batinnya itu lalu mencekik sampai mati isterinya sendiri.

Dalam keadaan terluka dan tak dapat berjalan, ia terpaksa menyerah ketika ditangkap oleh yang berwajib. Akan tetapi dalam pemeriksaan, ia sama sekali tidak mau menceritakan keadaan sebenarnya, hanya menceritakan bahwa ia bertengkar mulut dengan isterinya, kemudian datang suhengnya yang bermalam di situ untuk melerai. Dalam kemarahannya ia malah mengeluarkan kata-kata menghina kepada suhengnya, terjadi pertempuran sampai suhengnya tewas. Kemudian, menyesal karena suhengnya mati dan menganggap isterinya yang menjadi gara-gara, ia membunuh isterinya itu.

Alasan ini sebetulnya tak dapat diterima dan orang-orang sudah dapat mendugaduga sendiri akan peristiwa di kamar itu. Akan tetapi siapakah berani banyak membuka mulut. Juga para pembesar tidak berani berlaku keras, karena orang tua Lai Cin mempergunakan semua harta mereka untuk menolong putera tunggal ini, Lai Cin tidak dihukum mati, melainkan dihukum buang. Di dalam penjara, lambat laun kakinya menjadi sembuh biarpun pincang, setelah sehat benar ia lalu melarikan diri dari penjara dan hidup di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar pincang yang berwatak aneh.

Kemudian, melihat betapa bebas hidup para pengemis, ia pun menjadi jembel . sampai di hari tuanya. Hatinya sudah menjadi dingin terhadap kemewahan dunia, perasaannya sudah mati terhadap kecantikan wanita. Kegembiraan hidupnya lenyap terbawa oleh isterinya yang sebenarnya amat dikasihinya itu.

"Demikianlah, muridku. Hidupku selama ini hampa dan kaulah satu-satunya orang yang kuharapkan akan dapat hidup sempurna, kuharapkan dapat menjadi seorang gagah dan budiman. Dan aku merasa khawatir kalau aku teringat akan nasibku, jangan-jangan kau pun akan menjadi korban. Banyak sekali orang gagah yang akhirn ya rusak binasa hanya oleh senyum manis dan kerling memikat. Banyak sekali contohnya, termasuk orang gundul itu. Maka kau kelak harus berhati-hati, Tiang Bu. Jangan kauukur hati wanita dari senyum dan kerlingnya. Jangan seperti aku... sampai sekarang aku tidak dapat melupakan dia... biarpun dia telah menipuku, telah menghinaku..."

Tiang Bu merasa kasihan melihat kakek tua pincang ini, yang menunduk dan kelihatan seperti orang mau menangis. Tentu saja Tiang Bu yang baru berusia tujuh tahun lebih itu merasa asing mendengar kata-kata gurunya seperti itu. Akan tetapi ia cukup cerdik untuk menangkap isinya, dan ia merasa kasihan kepada gurunya yang bernasib malang itu.

"Kata-kata, bohong dan berbisa, jahat sekali."

Tiba-tiha orang gundul yang tadi duduk sambil menyembunyikan muka di antara lututnya, berteriak marah sambil mengangkat muka memandang. "Kakek sial, tidak semua wanita seperti binimu yang berjalan serong. Tidak semua wanita suka berzina dan menipu suaminya. Tidak semua wanita cantik berhati palsu seperti binimu. Isteriku yang manis, isteriku yang cantik jelita melebihi binimu, isteriku Sui Lan cantik lahir batin. Dia pun mati muda, dia pun tidak cinta kepadaku seperti binimu yang tidak mencintamu. Akan tetapi dia tidak berjalan serong seperti binimu. Untuk mengakhiri ketidak-cintanya kepadaku, dia bukan berzina dengan orang lain, melainkan berzina dengan maut sampai maut merenggut nyawanya, meninggalkan seorang bayi! Jangan bilang wanita cantik berhati palsu kakek sialan. Isteriku Sui Lan seorang bidadari, seorang dewi berhati mulia!"

Setelah melontarkan kata-kata penuh kemarahan ini, orang gundul ini lalu menyembunyikan lagi mukanya di antara kedua lututnya dan melihat betapa tubuh dan pundakn ya bergerak-gerak dapat diduga bahwa dia tentu sedang menangis.

Tiang Bu melongo ketika melihat orang itu. Muka orang itu seperti muka kanakkanak, tentu saja tidak bisa dikata tampan karena orangnya sudah dewasa, tiga puluh lima atau empat puluh tahun usianya akan tetapi berwajah kekanak-kanakan, kepalanya gundul dan matanya liar. Terdengar Bu Hok Lokai menarik napas panjang.

"Dia lebih menderita daripada aku. Kesedihanku karena kehilangan dia dapat kuhibur dengan anggapan bahwa dia seorang palsu dan jahat, akan tetapi orang itu, kasihan sekali... dia selalu akan terkenang kepada isterinya yang berhati mulia. Ah, sudahlah. Tak perlu membangkit-bangkitkan urusan lama yang menyebalkan hati,. Hayo, Tiang Bu. Kau berlatih, Pat-hong-hong-i dapat kau sempurnakan kelak kalau lweekangmu sudah baik. Sekarang kau harus melatih Sam-hoan Sam-bu sampai baik betul, untuk bekal penjagaan diri sebelum kau dapat menguasai Pat-hong-hong-i."

Tiang Bu segera melakukan perintah suhunya dengan senang hati. Ia selalu merasa girang kalau berlatih, karena setiap kali berlatih, di bawah pengawasan suhunya, ia tentu mendapat kemajuan setingkat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ilmu Silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin) adalah ilmu silat yang terdapat dalam kitab yang secara kebetulan terjatuh ke dalam tangan Tiang Bu dan oleh karena ilmu silat tinggi ini tidak mudah dipelajari Tiang Bu, atas nasihat gurunya, menghafal isi kitab di luar kepala sebelum melatih prakteknya.

Adapun Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu adalah ilmu silat istimewa, ilmu penjagaan diri yang didapatkan oleh Bu Hok Lokai dari seorang sakti dari Omei-san, yakni orang sakti ke dua di Omei-san yang bernama Tiong Jin Hwesio sebagai hadiah ketika ia diajak bermain catur oleh dua orang sakti di Omei-san.

Dengan penuh semangat Tiang Bu berlatih Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu, tubuhnya berputaran seperti orang menari, nampak gesit sekali dan kedua kaki kecil yang bergerak-gerak di atas tanah itu seakan-akan tidak menyentuh tanah saking cepat dan ringan gerakannya. Dalam bersilat ini, berbunyi perut Tiang Bu. Telah sehari semalam ia tidak makan apa-apa, perutnya kosong dan cacing perutnya menggeliat-geliat. Cepat anak yang sudah mengikuti banyak orang pandai dan sudah melatih diri dengan dasar-dasar ilmu silat dan lweekang tinggi ini menggunakan tenaga perut untuk menekan bunyi di perutnya sehingga tidak terdengar terlalu keras.

"Anak kecil kelaparan disuruh berlatih silat. Benar-benar keterlaluan jembel tua sialan ini." Kata-kata ini membuat Tiang Bu tertegun dan otomatis ia menghentikan latihannya. Kalau gurunya yang mendengar suara yang keluar dari perutnya tadi, masih tidak mengherankan karena selain gurunya duduk tak jauh dari tempat ia berlatih, juga ia sudah tahu akan kelihaian kakek pincang ini. Akan tetapi yang bicara itu adalah orang gundul yang dudukn ya jauh di sudut sebelah sana jembatan!

Ketika Tiang Bu menengok ke arah orang gundul itu tiba-tiba ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang gundul itu masih duduk seperti tadi, akan tetapi tidak lagi menyembunyikan muka dan menangis, melainkan sedang makan ular! Ular yang masih hidup nampak menggeliat-geliat, ekor ular dipegang oleh tangan kiri sedang kepala ular sudah masuk ke dalam mulut dan dikunyah-kunyah!

Ketika Tiang Bu melirik kepada suhunya, ia melihat kakek ini pun memandang ke arah orang gundul itu dengan pandang mata aneh dan mukanya merah. Tiang Bu mengira bahwa suhunya merasa dibikin malu oleh kata-kata Si Gundul itu, maka ia hendak membela gurunya dan berkata lantang.

"Gundul Pemakan Ular! Jangan menghina guruku, siapa bilang aku lapar?"

Orang gundul itu memandang kepadanya dengan mulut tersenyum sehingga kelihatan lidahnya yang merah karena darah ular. Ia menggigit putus tubuh ular itu tinggal ekornya saja, lalu berkata, "Bocah bernyali beruang, kau lapar dan perlu makan. Terimalah hadiahku ini!" Tangannya bergerak dan ekor ular itu melayang cepat ke arah muka Tiang Bu.

Tidak percuma Tiang Bu berlatih Sam-hoan Sam-bu selama setahun lebih. Setiap datang serangan, tubuhnya otomatis bergerak mengelak. Demikian pula, biarpun sambitan itu cepat sekali datangnya, ia menuruti gerak otomatis ini, kakinya bergeser, tubuhnya miring dan ekor ular itu lewat tepat di pinggir telinganya.

"Jangan menolak hadiah, Tiang Bu!” kata Bu Hok Lokai yang cepat mengulurkan tangan menangkap ekor ular itu. Caranya menangkap luar biasa sekali karena begitu ia mengulur tangan, seakan-akan ekor ular itu terbang ke arah tangannya. Kakek itu memandang ekor ular di tangannya, lalu memberikan benda menjijikkan itu kepada muridnya sambil berkata, "Sahabat itu betul. Perutmu memang lapar dan hadiah ini berharga sekali, hayo lekas makan ini dan menyatakan terima kasih!"

Tiang Bu menerima buntut ular itu dengan muka berubah pucat. Apakah gurunya sudah menjadi gila, menyuruh ia makan buntut ular, dan bahkan menghaturkan terima kasih? Akan tetapi, melihat wajah gurunya begitu sungguh-sungguh dan dia memang seorang anak yang taat, Tiang Bu tidak membantah. Cepat ia menjura ke arah orang gundul yang masih memandang padanya sambil mulutnya bergerak-gerak mengunyah daging di mulutnya.

"Sahabat aneh, terima kasih atas pemberianmu," katanya lalu dengan mata dipejamkan ia memasukkan ekor ular ke mulutnya, dikunyah beberapa kali, lidah dan mulutnya merasa betapa ekor ular itu seakan-akan bergerak dan menggeliat-geliat kesakitan ketika ia menggigitnya.

Dapat dibayangkan betapa jijik dan muak rasa tenggorokan dan perutnya, namun Tiang Bu tidak ingin membikin malu suhunya di depan orang lain. Ia mengerahkan tenaga dalam menolak rasa hendak muntah dan menelan bulat-bulat ekor ular itu ke dalam perutnya. Aneh, begitu buntut ular itu memasuki perut, ia mendengar perutnya berbunyi berkeruyukan tak dapat dicegah lagi. Ia berusaha mengerahkan tenaga dalam perutnya, namun luar biasa sekali, semua tenaga di dalam perutnya telah lenyap, tubuhnya terasa ringan dan hangat enak dan nyaman!

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Orang gundul itu makin kagum memandang kepada Tiang Bu. Bocah yang dapat berlatih silat demikian tahan uji, sehingga dalam keadaan kelaparan masih demikian tekun berlatih mentaati kehendak guru, kemudian berani membela nama baik gurun ya di depan orang lain yang dianggap menghina gurunya, yang dapat mengelak dari sambitan dengan amat cekatan, lalu mentaati perintah guru rela berkorban perasaan dan rela makan buntut ular mentah, kemudian kalau gurunya menyuruh dia makan lalu menghaturkan terima kasih bocah itu malah menghaturkan terima kasih dulu baru makan. Benar-benar bocah yang sukar dicari bandingannya dan patut menjadi murid!

“Jembel tua sialan, kau tinggalkan bocah itu untuk menjadi muridku kau tidak becus mengatur murid, memberi makan saja tidak mampu, apalagi mengajar silat yang baik. Mulai saat ini dia menjadi muridku!"

Bu Hok Lokai tersenyum dan matanya berkedip-kedip memandang orang gundul itu. "Sahabat Gundul Pemakan Ular, kau ini siapakah yang begini lihai dapat menangkap dan makan ular hijau dari daerah barat?

"Kau mengenal ular hijau tadi? Bagus matamu awas betul. Aku siapa kau tak perlu tahu, segala macam jembel tua sialan, mana harga mengenal aku? Lebih baik kau pergi dan tinggalkan bocah ini habis perkara. Daripada timbul marahku dan kau mampus di bawah jembatan ini."

Bukan main mendongkolnya hati Tiang Bu mendengar kata-kata orang gundul aneh yang ternyata berwatak sombong dan jahat ini. Juga Bu Hok Lokai, seorang tua yang sudah banyak makan garam dunia dan biasanya amat penyabar, sekarang menjadi merah mukanya.

"Sahabat Gundul Pemakan Ular, biarpun hanya seorang jembel tua sialan, aku Bu Hok Lokai tidak biasa lari seperti anjing dipukul menghadapi siapapun juga. Apa kau kira setelah kau memberi hadiah ular yang benar-benar berharga dan menjadi obat istimewa untuk muridku, kau lalu boleh berbuat sekehendak hatimu terhadap kami?"

Tiang Bu merasa puas sekali melihat sikap gurunya dan mendengar dampratan ini, maka ia pun memandang kepada orang gundul itu dengan muka mengejek. Orang gundul itu mengeluarkan suara di hidungnya, memandang kepada Bu Hok Lokai dan berkata menggeleng-geleng kepala,

"Sayang, membunuh orang sialan seperti engkau memang tidak ada harganya, akan tetapi kau mencari mampus sendiri."

Kata-katanya dikeluarkan dengan lambat-lambat dan muka yang kekanak-kanakan itu tidak memperlihatkan perubahan apa-apa, namun hebat sekali gerakan kedua tangannya. Dua tangan itu bertubi-tubi melakukan gerakan memukul ke depan dan saking cepatnya gerakan ini sampai dua buah lengan itu seakan-akan berubah menjadi delapan. Gerakan ini mendatangkan hawa pukulan hebat yang menyerang Bu Hok Lokai, disusul oleh gerakan tubuhnya yang tiba-tiba melayang ke arah kakek pincang dengan kedua tangan terus melakukan gerakan memukul.

"Hebat...” Bu Hok Lokai berseru kaget dan cepat bagaikan belut kakek ini menggerak-gerakkan tubuhnya melenggang-lenggok. Dalam saat yang amat berbahaya itu ia sudah berhasil mainkan Sam-hoan Sam-bu yang paling sukar akan tetapi ia berhasil membebaskan diri dari serentetan serangan hawa pukulan yang amat luar biasa.

Bu Hok Lokai tidak mau membiarkan lawan terus mendesaknya. Tahu bahwa lawannya yang kelihatan masih seperti kanak-kanak mukanya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa dan jahat karena pukulan tadi saja sudah mengandung hawa maut, ia pun lalu cepat maju membalas dengan serangan-serangan kilat. Bu Hok Lokai mempergunakan tongkat bututnya dengan cara istimewa. Sayang kakinya sudah pincang, kalau saja ia belum bercacat seperti dulu, kiranya orang gundul itu akan dapat ia kalahkan.

Di lain fihak Si Gundul itu benar-benar lihai sekali dan memiliki ilmu silat yang mengerikan. Ketika pertempuran sudah berlangsung puluhan jurus, kedua lengan orang gundul itu perlahan-lahan berubah menghitam seperti dibakar dan pukulan-pukulan yang ia lancarkan juga semakin hebat, kini mengandung hawa pukulan yang keluar dari sepasang lengan hitamnya.

Bu Hok Lokai bukan main kagetnya. Ia pernah mendengar cerita orang tentang ilmu silat jahat yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang kabarnya diciptakan oleh seorang manusia iblis dari barat berjuluk See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Barat). Inilah gerangan ilmu silat keji itu? Namun ia tidak sempat menduga-duga dan menghadapi lawan yang begini berbahayanya, Bu Hok Lokai mengubah gerakan-gerakannya.

Kedua kakinya tetap mainkan langkah-langkah Sam-hoan Sam-bu untuk melindungi tubuh dari serangan lawan, karena dengan langkah-langkah ini ia demikian gesit sehingga sukar diserang lawan, akan tetapi kedua tangannya melakukan serangan-serangan balasan yang dahsyat. Ilmu Samhoan Sam-bu sifatnya tidak menyerang, melainkan menghindarkan diri dari serangan lawan, maka pemegang peran utama hanya kedua kaki. Bu Hok Lokai yang sudah menguasai ilmu ini dengan sempurna, kini mencampurnya dengan ilmu serangan dari ilmu silatnya sendiri.

Tangan kanan yan g menyerang dengan tongkat, tangan kiri menyusul dengan totokan atau tonjokan, juga kadang-kadang dengan gerakan yan g amat cepat, tongkat itu telah berada di tangan kiri, menyerang diikuti tonjokan tangan kanan. Tanpa dapat diduga-duga oleh lawan, tongkat ini berpindah-pindah sehingga lawan gundul itu benar-benar menjadi pening dibuatnya dan telah dua kali tongkat Bu Hok Lokai mengenai sasaran, sekali di pundak dan kedua kali di dada. Akan tetapi, lawan itu ternyata lihai sekali. Totokan di pundak hanya merobek baju dan merusak kulit sedikit, sedangkan gebukan di dada hanya membuat ia terhuyung-huyung dan batuk-batuk beberapa kali, akan tetapi belum cukup kuat untuk merobohkannya.

Tiang Bu girang sekali melihat suhunya dapat melukai lawan dan ia merasa pasti bahwa suhunya akan menang. Akan tetapi sebaliknya, Bu Hok Lokai merasa khawatir sekali. Lain orang pasti akan roboh binasa atau sedikitnya terluka berat terkena dua kali serangannya tadi. Akan tetapi orang ini biarpun terluka oleh tongkatnya, luka itu agaknya tidak terlampau berat sehingga ia masih dapat terus melakukan serangan.

Akan tetapi sebetulnya, gebukan tongkat Bu Hok Lokai pada dada tadi sudah mendatangkan luka hebat di dalam dada Si Gundul. Hanya karena orang ini memang memiliki kekuatan yang jauh melebihi orang lain, dan pula karena dia seorang nekad, maka dia masih belum roboh. Begitu terkena gebukan tongkat, Si Gundul ini lalu mengeluarkan seruan ganas dan di lain saat tangan kanan dan kiri merogoh saku mengeluarkan dua ekor ular merah, seekor di tangan kanan dan seekor di tangan kiri!

Tiang Bu mengeluarkan seruan tertahan melihat dua ekor ular ini dan merasa ngeri. Juga Bu Hok Lokai nampak terkejut sehingga kakek ini melompat mundur dua tombak. "Masih ada hubungan apa kau dengan See-thian Tok-ong?" tanyanya.

Si Gundul aneh itu tertawa terbahak-bahak melihat kakek jembel pincang itu melompat mundur ketakutan. Tanpa menjawab ia melangkah maju dan menyerang dengan ular merah di tangan kiri. Ular itu kecil saja dan panjangnya tiga kaki, berada di tangan Si Gundul ini merupakan senjata istimewa, pedang hidup yang gigitannya melebihi sepuluh kali tikaman pedang lihainya. Ang-coa (Ular merah) macam ini memiliki bisa yang tidak ada obat penawarnya di dunia, artinya siapa pun juga yang terkena gigitannya pasti akan menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut).

Bu Hok Lokai terkejut bukan main melihat permainan ilmu silat yang mempergunakan ular demikian hebatnya. Ia maklum bahwa pertandingan ini adalah pertandingan mati hidup, maka ia pun tidak mau mengalah lagi. Cepat ia mengeluarkan suara seperti harimau mengaum dan kakek pincang ini berubah menjadi seorang yang amat tangkas dan ganas, Tongkatnya berputaran menyambar mengeluarkan angin, penuh dengan tenaga lweekang. Ia sengaja mengarah kepada dua ekor ular yang meluncur pergi datang bagaikan beterbangan itu dan akhirnya ia berhasil menangkis seekor ular di tangan kiri lawannya.

Si Gundul memekik marah ketika darah dan otak muncrat dari kepala ular merahnya yang remuk kepalanya. Cepat bagaikan kilat ia melemparkan tubuh ular ke arah lawannya. Bu Hok Lokai mengelak ke kiri dan tongkatnya menyambar kini mengarah lambung lawannya dengan dorongan keras. Si Gundul yang nampaknya marah sekali, seakan-akan tidak melihat dorongan tongkat, bahkan ia membarengi gerakan lawan dengan melemparkan ular merah di tangan kanannya ke arah kakek itu!

Akibat dari adu tenaga ini hebat sekali. Tongkat di tangan Bu Hok Lokai berhasil "memasuki" lambung dan mendorong sedemikian kerasnya sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar dibarengi pekik kesakitan, terjerumus ke dalam air di bawah jembatan dan hebatnya, bagaikan seekor ikan orang gundul itu berenang ke seberang, mendarat dan lari terhuyung-huyung menghilang dari situ.

Bu Hok Lokai tidak mengeluarkan suara apa-apa, akan tetapi tarikan mukanya seperti orang menghadapi Raja Maut di depannya. Memang, sesungguhnya kakek ini menghadapi maut karena ular merah di tangan orang gundul tadi kini telah menyantel di pundaknya. Gigi ular yang kecil runcing berbisa itu telah menancap ke dalam daging pundaknya dan seketika itu juga Bu Hok Lokai merasa betapa hawa racun ular telah terbawa oleh aliran darah ke seluruh anggauta tubuhnya!

"Suhu...!" Tiang Bu berseru kaget dan melangkah maju. Dengan berani anak ini hendak membetot ular yang menggigit pundak gurunya. Akan tetapi dengan tangannya Bu Hok Lokai memberi tanda supaya Tiang Bu jangan bergerak. Kemudian tangan kanannya menangkap ekor ular yang menggeliat-geliat dan memasukkan ekor ular yang masih menggigit pundaknya itu ke dalam mulut, terus menggigit dan menyedot darahnya!

Hebat sekali tenaga sedotan dari kakek ini karena sebentar saja ular itu menjadi lemas, gigitannya terlepas dari pundak dan tubuhnya terlepas jatuh di atas tanah lalu mati tanpa dapat menggeliat lagi karena darahnya sudah terhisap habis oleh Bu Hok Lokai! Akan tetapi bersama dengan matinya ular, tubuh kakek itu pun roboh pingsan.

Tiang Bu menubruk dan memeluk gurunya, diguncang-guncangn ya sambil memanggil-manggil. "Suhu...! Suhu..."

Tak lama kemudian Bu Hok Lokai siuman kembali. Nyata ia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membantu "obat" yang disedotnya dari tubuh ular tadi. Mukanya sebentar pucat. Racun yang amat kuat dan bertentangan berperang tanding di dalam tubuhnya, saling memperebutkan kedudukan dan kemenangan untuk menguasai nyawa kakek itu"

"Tiang Bu, aku takkan tertolong lagi. Tanpa darah ular tadi, sekarang tentu aku sudah mampus. Racun ang-coa memang tidak ada obatnya. Paling lama sehari semalam..." dan Kakek itu roboh pingsan tak dapat siuman kembali selama satu malam di bawah jembatan itu.

Tiang Bu menjadi bingung, tak dapat berbuat sesuatu memeluki tubuh gurunya. Se-malam itu Tiang Bu tidak tidur, terus menjaga gurunya. Ia mencetak wajah orang gundul itu di dalam ingatannya dan bersumpah di dalam hati bahwa kelak ia pasti akan dapat membalaskan sakit hati gurunya ini.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Hok Lokai siuman, membikin girang hati Tiang Bu. Kini kakek itu nampak lebih sehat daripada tadi malam sehingga anak itu mempunyai harapan besar bahwa gurunya kiranya akan dapat sembuh.

"Tiang Bu, mari kita ke kota raja. Aku harus membawa kau ke sana dan memperlihatkan keadaan kota raja yang sudah ingin sekali kau lihat. Marilah, selagi masih ada kesempatan terakhir bagiku." Kakek itu bangun berdiri bersandarkan tongkatnya.

"Suhu, kau masih belum sehat benar. Biarlah tidak melihat kota raja juga tidak apa asal Suhu sembuh kembali. Lebih baik Suhu beristirahat di sini, biar teecu mencari makanan untuk Suhu"

"Hush, dalam saat seperti sekarang aku tidak boleh dibantah. Hayo ikut aku ke kota raja, di sana banyak makanan, perutmu juga sudah lapar!" kata Bu Hok Lokai dengan suara gembira seakan-akan nyawanya tidak terancam maut.

Dengan terpincang-pincang, dibantu oleh muridnya, Bu Hok Lokai mengajak Tiang Bu memasuki pintu gerbang istana yang terjaga oleh tentara bertombak. banyak sekali orang keluar masuk melalui pintu gerbang ini. Bu Hok Lokai dan muridnya sama sekali tidak menarik perhatian orang karena mereka ini tidak lebih hanya seorang jembel tua bersama seorang pengemis muda yang pakaiannya sudah compang-camping dan penuh tambalan. Yang tua terpincang-pincang dan yang muda menggan deng tangannya dengan muka memperlihatkan kekhawatiran besar.

Dengan muka yang gembira Bu Hok Lokai membawa muridnya mengelilingi kota raja, memperlihatkan bagian-bagian yang menarik, bahkan menunjukkan gedunggedung besar tempat tinggal para orang berpangkat. Tiang Bu sama sekali tidak memperlihatkan muka gembira juga tidak tertarik melihat rumah-rumah besar itu bahkan merasa benci melihat betapa di luar pekarangan gedung-gedung itu banyak sekali terdapat jembel-jembel setengah kelaparan berkeliaran ke sana ke mari. Perbedaan keadaan yang amat menyolok.

Keadaan Bu Hok Lokai sebetulnya sudah payah sekali. Makin lama makin payahlah kakek ini dan tadi pun hanya karena pengerahan tenaga yang luar biasa saja maka masih berjalan-jalan. Dengan pengerahan tenaga dalamnya, maka racun ular yang bekerja di tubuhnya makin ganas. Menjelang senja ia tak dapat menahan lagi, jalannya terhuyung-huyung dan napasnya terengah-engah.

"Suhu...!" Tiang Bu yang merasa betapa tangan suhunya panas seperti terbakar itu cepat-cepat membawa kakek itu ke pinggir jalan. Bu Hok Lokai sudah kehabisan tenaga dan kakek ini menjatuhkan diri di atas rumput.

"Tiang Bu, saatnya sudah hampir tiba. Kau... kau terpaksa harus hidup seorang diri... kasihan... yang baik-baik menjaga diri sendiri, muridku... " Wajah kakek itu membayangkan keharuan ketika ia memandang kepada Tiang Bu.

"Suhu...” Tiang Bu hanya dapat memegangi tangan suhunya, matanya yang lebar itu nampak sedih sekali akan tetapi ia tidak menangis. Melihat suhunya terengah-engah dan bibirnya kering sekali, ia lalu berdiri dan berkata.

"Suhu, teecu hendak mencarikan Suhu minum."

"Ya... minum... arak, enak sekali..." Kakek itu menjulurkan lidah untuk membasahi bibirnya nampaknya ingin sekali minum.

Tiang Bu menjadi ngeri hatinya melihat lidah gurunya sudah menjadi hitam sekali. Cepat ia melompat pergi dan berlari-lari menuju ke rumah makan yang tadi ia lewati bersama gurunya. Ia tahu bahwa mengemis arak adalah hal yang langka dan tak mungkin ia akan bisa mendapatkan arak dengan jalan mengemis. Mencuri? Ia teringat akan larangan-larangan suhunya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tak perlu banyak ragu. Ia mempergunakan kepandaian dan kecepatannya.

Selagi orang-orang di dalam rumah makan sibuk dengan makan minum atau memesan masakan, ia menyelinap dan dari meja seorang tamu yang sudah setengah mabuk ia berhasil menyambar secawan arak penuh. Tiang Bu berlari-lari ke tempat gurunya dan hatinya perih melihat gurunya sudah melenggut seperti orang mengantuk, mukanya merah sekali, tanda bahwa racun ular ang-coa sudah menguasai keadaan.

"Suhu, minumlah..." katanya sambil berjongkok dan memberikan cawan arak itu kepada gurunya. Melihat tangan kakek itu menggigil dan matanya sudah setengah tertutup, Tiang Bu lalu membawa cawan itu ke mulut gurunya. Bu Hok Lokai minum arak itu dengan lahap, nampaknya enak dan segar sekali.

"Arak enak... kau anak baik... hati-hati..." Dan lemaslah seluruh tubuh Bu Hok Lokai, tubuhnya terkulai dan nyawanya melayang!

"Suhu...!" Tiang Bu melempar cawan yang masih di tangannya, kemudian ia lalu menubruk dan me meluk mayat suhu-nya sambil menangis. Anak ini memang hanya dapat menangis untuk orang lain, anehnya betapapun hebat penderitaan yang ia alami, ia takkan mau menangis.

Tangisnya menarik perhatian orang dan tak lama kemudian jalan raya itu penuh orang yang merubung untuk melihat apa yang telah terjadi di situ. Sudah lajim bahwa orang-orang lebih banyak tertarik dan ingin tahu daripada ingin menolong. Di antara sekian banyaknya orang, tak seorang pun mau turun tangan menolong...

Tangan Gledek Jilid 07

Tangan Gledek Jilid 07

Mari kita ikuti perjalanan Tiang Bu, anak yang nasibnya amat luar biasa itu sehingga semenjak kecil sudah mengalami hal-hal yang hebat dan dia sendiri berganti-ganti jatuh ke dalam tangan orang-orang aneh berkepandaian tinggi.

Telah diceritakan di bagian depan betapa nasib telah melemparkannya ke dalam tangan Bu Hok Lokai, seorang jembel tua perantau yang berilmu tinggi dan jalannya terpincang-pincang. Sampai setahun ia ikut merantau dengan Bu Hok Lokai ini, naik turun gunung, keluar masuk kota dan dusun dan telah menyeberangi entah berapa banyak sungai. Pekerjaan Bu Hok Lokai tak lain hanya mengemis dan kadang-kadang kalau bertemu dengan orang-orang pandai bermain catur, ia sampai lupa diri.

Kakek pengemis pincang ini kuat ber-main catur sampai tiga hari tiga malam tanpa beristirahat sejenak pun, berganti-ganti lawan. Kegemarannya bermain catur luar biasa sekali dan kalau di suatu kota terdapat banyak ahli catur, ia kadang-kadang lupa untuk melanjutkan perjalanannya.

Oleh karena gurunya setiap hari hanya mengemis, sebagai muridnya Tiang Bu tak berdaya dan tidak bisa berbuat lain kecuali mengemis. Sebetulnya anak ini tidak sudi mengemis dan sebagai seorang yang pernah hidup bersama dengan Pak-kek Sam-kui, ia pernah melakukan pencurian makanan untuk dia sendiri dan terutama untuk menyenangkan hati Bu Hok Lokai gurunya.

Akan tetapi tak disangka-sangkanya Bu Hok Lokai menjadi marah sekali, memaki makinya dan mengancam hendak meninggalkannya, bahkan hendak turun tangan membunuhnya!

"Tidak sudi aku mempunyai murid maling! Jangan menjadi muridku, dekat saja aku tidak sudi dengan segala maling dan pencuri. Lebih baik tidak makan dan kelaparan daripada mencuri," kata kakek ini marah-marah. "Selama kau berada di sampingku, sekali lagi kau melakukan pencurian aku takkan segan-segan turun tangan membunuhmu!"

Semenjak itu, Tiang Bu merasa jera dan tidak berani lagi untuk melakukan pencurian. Ia rela menderita, bahkan kadang-kadang beberapa hari tidak makan! Ia sama sekali tidak tahu karena masih terlalu kecil, bahwa gurunya ini kadang-kadang sengaja membawa muridnya menderita, sengaja membiarkan muridnya kelaparan dan sengsara untuk menambah benih-benih ksatria, agar muridnya ini tahu dan merasa betapa sengsaranya orang yang miskin dan kelak suka mempergunakan kepandaian untuk menolong orang yang sengsara.

Di samping hidup yan g serba kuran g dan sengsara ini, dengan amat tekunnya Tiang Bu berlatih silat dibawah pimpinan Bu Hok Lokai. Atas nasihat Bu Hok Lokai, Tiang Bu menghafal isi kitab dari Omei-san itu di luar kepala, kemudian kitab itu dibakar! Tiang Bu memang memiliki kecerdikan luar biasa maka tidak sukar baginya untuk menghafal. Dalam waktu setengah tahun, semua dasar dan teori Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang termuat dalam kitab itu telah hafal olehnya.

Setahun setengah telah lewat semenjak ia ikut dengan Bu Hok Lokai dan pada suatu hari ia dan gurunya tiba di kota raja. Girang sekali hati Tiang Bu ketika ia melihat dinding tinggi yang mengelilingi kota raja. Sudah lama sekali ia mendengar orang bicara tentang kota raja yang besar, indah dan ramai. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa di tempat ini ia dan gurunya akan mengalami penstiwa hebat.

"Tiang Bu, kita berhenti di sini saja. Hari sudah hampir gelap dan tidak enak memasuki kota raja di waktu pintu-pintu gerbang sudah mau ditutup, akan dicurigai. Besok pagi-pagi saja kita masuk ke kota. Lagi pula, apanya sih yang bagus dilihat di waktu malam? Kita mengaso di bawah jembatan sana itu. Dulu aku pernah meneduh di sana."

Tiang Bu merasa kecewa karena ia ingin sekali cepat-cepat memasuki kota kaisar. Akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak gurunya. Sambil menggandeng tangan gurunya, ia menuruni jalan kecil menurun di tepi jalan raya. Jalan ini menuju ke kolong jembatan besar yang berada di situ. Ketika mereka tiba di kolong jembatan, baru Tiang Bu melihat bahwa tempat itu amat luas dan memang enak dipakai mengaso. Panas tidak kepanasan, hujan tidak kehujanan lagi pula, hawanya hangat di situ.

Di sudut seberang terdapat seorang laki-laki yang duduk dengan muka tersembunyi di antara lututnya yang diangkat. Orang ini pakaiannya compang-camping dan kotor seperti seorang jembel yang sudah melarat betul-betul. Akan tetapi kepala yang mukanya disembunyikan itu gundul peslontos. Sukar menaksir berapa usia orang ini. Ia tidak bergerak, akan tetapi terdengar ia menggumam dengan kata-kata tak jelas.

“Dia cantik... aduh dia cantik mungil... seperti Ibunya... anakku... cantik seperti Siu Lan... ah Siu Lan... kalau saja kau bisa melihatnya... cantik... " lalu orang itu mengeluarkan suara ham-hem-ham-hem tidak karuan.

Selagi Tiang Bu memandang kepada orang gundul itu dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia mendengar Bu Hok Lokai menarik napas panjang dan berkata. "Perempuan... di mana-mana terdapat korbanmu..." Tiang Bu memandang suhunya dengan mata bertanya. ”Apa Suhu mengenal dia?" tanyanya.

Gurunya menghempaskan diri di atas rumput yang tumbuh di situ, lalu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Aku tidak mengenalnya, akan tetapi aku dapat menduga bahwa dia tentu menjadi korban wanita pula, seperti aku."

Mendengar ini, seketika perhatian Tiang Bu kepada orang itu lenyap, dan pindah kepada gurun ya. Ia pun duduk di dekat suhunya dan bertanya.

"Kau, Suhu? Korban wanita?"

Bu Hok Lokai mengangguk-an gguk dan matanya menatap air di bawah jembatan. Ia termenung dan terbayanglah peristiwa lama yang kadang-kadang membikin perih hatinya, perih hati yang selalu ditahan-tahan. Sekarang, mendapat kawan seorang murid yang disayangnya, ia mendapat kesempatan membuka isi hatinya, melempar ke luar semua penasaran yang meluap di dalam lubuk hati.

"Tiang Bu, sebetulnya kau masih kecil untuk mendengar penuturanku ini. Akan tetapi apa boleh buat, harus kuceritakan kepadamu karena aku tidak tahan lagi. Pula, baik sekali bagimu agar menjadi peringatan bahwa kau harus selalu berhatihati dan waspada kalau kelak berhadapan dengan wanita, apabila wanita cantik yang menarik hatimu nanti. Aku sudah tua dan siapa tahu aku akan mati sebelum menceritakan hal ini kepadamu, maka biarlah sekarang saja kuceritakan kepadamu. Kau lihat keadaanku. Seorang tua bangka sudah mau mampus, tidak berada di rumah anak cucunya melainkan merantau sebatang kara, menjadi pengemis dengan kaki terpincang-pincang. Ini semua gara-gara wanita cantik."

Tiang Bu melongo. Sama sekali tidak pernah disangkanya gurunya akan bicara begini. Akan tetapi karena ia diam-diam ingin sekali mengetahui riwayat suhunya, ia diam saja, memandang penuh perhatian dan membuka telinga baik-baik. Secara singkat, diselingi oleh tarikan napas dalam berkali-kali, Bu Hok Lokai menceritakan riwayatnya seperti berikut.

Dahulu Bu Hok Lokai bukan seorang pengemis. Dia adalah seorang keturunan bangsawan yang pandai ilmu silat dan ahli sastra sehingga ia terkenal sebagai seorang bun-bu-cwan-jai. Hanya sedikit sayang bahwa Lai Cin, demikian nama aselinya, mempunyai wajah yang tak dapat dibilang menarik atau tampan di waktu mudanya. Sebagai seorang bangsawan muda yang pandai dan beruang ia selalu menolak kehendak orang tuanya apabila hendak dijodohkan dengan alasan bahwa calon isteri itu kurang menarik, tidak memenuhi idam-idaman hatinya.

Akhirnya ia meni kah juga dengan seorang gadis tercantik di kotanya, dan pernikahan itu dirayakan dengan ramai dan meriah. Ia mencinta isterinya itu dengan sepenuh hati bahkan boleh dlbilang bahwa Lai Cin jatuh berlutut di bawah pengaruh isterinya yang cantik jelita itu sehingga banyak orang mentertawakannya diam-diam dan mengabarkan bahwa Lai Cin mempergunakan sepatu isterinya untuk tempat ia makan dan minum!

Ini semua kiranya takkan mengurangi kebahagiaan hidup Lai Cin kalau saja isterinya itu mempuriyai kesetiaan. Lai Cin sejak kecil mempunyai seorang sahabat baik yang kemudian menjadi suhengnya (kakak seperguruannya). Suheng-nya ini bernama Lauw Tek In, seorang pemuda gagah dan ganteng, terkenal sebagai seorang pemuda perantau dan pemogoran.

Seringkali Lauw Tek In datang berkunjung ke rumah Lai Cin dan bermalam sampai beberapa pekan dirumah sutenya yang besar dan bagus itu. Semua takkan mengganggu kebahagiaan rumah tangga Lai Cin kalau saja isterinya bukan seorang yang lemah iman dan sahabatnya bukan orang yan g berhati anjing. Pada suatu hari Lai Cin mendapatkan isterinya itu bermain gila dengan suhengnya!

Tidak ada peristiwa hebat di dunia ini yang akan dapat menghancurkan hati Lai Cin seperti keadaan hati dan perasaannya ketika ia menyaksikan perbuatan isterinya yang tercinta dan sahabatnya yang boleh dikata menjadi juga saudara tuanya yang ia sayang dan hormati itu. Ia menjadi mata gelap dan menyerang suheng-nya itu mati-matian. Sebagai suhengnya, tentu saja kepandaian Lauw Tek In lebih tinggi daripada kepandaian Lai Cin.

Akan tetapi, pada waktu itu Lai Cin adalah seorang patah hati yang nekad dan menyerang seperti orang gila, sebaliknya Lauw Tek In yang merasa berdosa, telah menjadi gentar dan gugup sehingga akhir pertempuran di dalam kamar itu, Lauw Tek In tewas dan sebaliknya Lai Cin terkena pukulan lihai dari suhengnya sehingga tulang kakinya rusak dan tak dapat diperbaiki lagi membuat ia terpincang-pincang selama hidup. Lai Cin yang sudah hampir gila saking marah dan terpukul batinnya itu lalu mencekik sampai mati isterinya sendiri.

Dalam keadaan terluka dan tak dapat berjalan, ia terpaksa menyerah ketika ditangkap oleh yang berwajib. Akan tetapi dalam pemeriksaan, ia sama sekali tidak mau menceritakan keadaan sebenarnya, hanya menceritakan bahwa ia bertengkar mulut dengan isterinya, kemudian datang suhengnya yang bermalam di situ untuk melerai. Dalam kemarahannya ia malah mengeluarkan kata-kata menghina kepada suhengnya, terjadi pertempuran sampai suhengnya tewas. Kemudian, menyesal karena suhengnya mati dan menganggap isterinya yang menjadi gara-gara, ia membunuh isterinya itu.

Alasan ini sebetulnya tak dapat diterima dan orang-orang sudah dapat mendugaduga sendiri akan peristiwa di kamar itu. Akan tetapi siapakah berani banyak membuka mulut. Juga para pembesar tidak berani berlaku keras, karena orang tua Lai Cin mempergunakan semua harta mereka untuk menolong putera tunggal ini, Lai Cin tidak dihukum mati, melainkan dihukum buang. Di dalam penjara, lambat laun kakinya menjadi sembuh biarpun pincang, setelah sehat benar ia lalu melarikan diri dari penjara dan hidup di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar pincang yang berwatak aneh.

Kemudian, melihat betapa bebas hidup para pengemis, ia pun menjadi jembel . sampai di hari tuanya. Hatinya sudah menjadi dingin terhadap kemewahan dunia, perasaannya sudah mati terhadap kecantikan wanita. Kegembiraan hidupnya lenyap terbawa oleh isterinya yang sebenarnya amat dikasihinya itu.

"Demikianlah, muridku. Hidupku selama ini hampa dan kaulah satu-satunya orang yang kuharapkan akan dapat hidup sempurna, kuharapkan dapat menjadi seorang gagah dan budiman. Dan aku merasa khawatir kalau aku teringat akan nasibku, jangan-jangan kau pun akan menjadi korban. Banyak sekali orang gagah yang akhirn ya rusak binasa hanya oleh senyum manis dan kerling memikat. Banyak sekali contohnya, termasuk orang gundul itu. Maka kau kelak harus berhati-hati, Tiang Bu. Jangan kauukur hati wanita dari senyum dan kerlingnya. Jangan seperti aku... sampai sekarang aku tidak dapat melupakan dia... biarpun dia telah menipuku, telah menghinaku..."

Tiang Bu merasa kasihan melihat kakek tua pincang ini, yang menunduk dan kelihatan seperti orang mau menangis. Tentu saja Tiang Bu yang baru berusia tujuh tahun lebih itu merasa asing mendengar kata-kata gurunya seperti itu. Akan tetapi ia cukup cerdik untuk menangkap isinya, dan ia merasa kasihan kepada gurunya yang bernasib malang itu.

"Kata-kata, bohong dan berbisa, jahat sekali."

Tiba-tiha orang gundul yang tadi duduk sambil menyembunyikan muka di antara lututnya, berteriak marah sambil mengangkat muka memandang. "Kakek sial, tidak semua wanita seperti binimu yang berjalan serong. Tidak semua wanita suka berzina dan menipu suaminya. Tidak semua wanita cantik berhati palsu seperti binimu. Isteriku yang manis, isteriku yang cantik jelita melebihi binimu, isteriku Sui Lan cantik lahir batin. Dia pun mati muda, dia pun tidak cinta kepadaku seperti binimu yang tidak mencintamu. Akan tetapi dia tidak berjalan serong seperti binimu. Untuk mengakhiri ketidak-cintanya kepadaku, dia bukan berzina dengan orang lain, melainkan berzina dengan maut sampai maut merenggut nyawanya, meninggalkan seorang bayi! Jangan bilang wanita cantik berhati palsu kakek sialan. Isteriku Sui Lan seorang bidadari, seorang dewi berhati mulia!"

Setelah melontarkan kata-kata penuh kemarahan ini, orang gundul ini lalu menyembunyikan lagi mukanya di antara kedua lututnya dan melihat betapa tubuh dan pundakn ya bergerak-gerak dapat diduga bahwa dia tentu sedang menangis.

Tiang Bu melongo ketika melihat orang itu. Muka orang itu seperti muka kanakkanak, tentu saja tidak bisa dikata tampan karena orangnya sudah dewasa, tiga puluh lima atau empat puluh tahun usianya akan tetapi berwajah kekanak-kanakan, kepalanya gundul dan matanya liar. Terdengar Bu Hok Lokai menarik napas panjang.

"Dia lebih menderita daripada aku. Kesedihanku karena kehilangan dia dapat kuhibur dengan anggapan bahwa dia seorang palsu dan jahat, akan tetapi orang itu, kasihan sekali... dia selalu akan terkenang kepada isterinya yang berhati mulia. Ah, sudahlah. Tak perlu membangkit-bangkitkan urusan lama yang menyebalkan hati,. Hayo, Tiang Bu. Kau berlatih, Pat-hong-hong-i dapat kau sempurnakan kelak kalau lweekangmu sudah baik. Sekarang kau harus melatih Sam-hoan Sam-bu sampai baik betul, untuk bekal penjagaan diri sebelum kau dapat menguasai Pat-hong-hong-i."

Tiang Bu segera melakukan perintah suhunya dengan senang hati. Ia selalu merasa girang kalau berlatih, karena setiap kali berlatih, di bawah pengawasan suhunya, ia tentu mendapat kemajuan setingkat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ilmu Silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin) adalah ilmu silat yang terdapat dalam kitab yang secara kebetulan terjatuh ke dalam tangan Tiang Bu dan oleh karena ilmu silat tinggi ini tidak mudah dipelajari Tiang Bu, atas nasihat gurunya, menghafal isi kitab di luar kepala sebelum melatih prakteknya.

Adapun Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu adalah ilmu silat istimewa, ilmu penjagaan diri yang didapatkan oleh Bu Hok Lokai dari seorang sakti dari Omei-san, yakni orang sakti ke dua di Omei-san yang bernama Tiong Jin Hwesio sebagai hadiah ketika ia diajak bermain catur oleh dua orang sakti di Omei-san.

Dengan penuh semangat Tiang Bu berlatih Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu, tubuhnya berputaran seperti orang menari, nampak gesit sekali dan kedua kaki kecil yang bergerak-gerak di atas tanah itu seakan-akan tidak menyentuh tanah saking cepat dan ringan gerakannya. Dalam bersilat ini, berbunyi perut Tiang Bu. Telah sehari semalam ia tidak makan apa-apa, perutnya kosong dan cacing perutnya menggeliat-geliat. Cepat anak yang sudah mengikuti banyak orang pandai dan sudah melatih diri dengan dasar-dasar ilmu silat dan lweekang tinggi ini menggunakan tenaga perut untuk menekan bunyi di perutnya sehingga tidak terdengar terlalu keras.

"Anak kecil kelaparan disuruh berlatih silat. Benar-benar keterlaluan jembel tua sialan ini." Kata-kata ini membuat Tiang Bu tertegun dan otomatis ia menghentikan latihannya. Kalau gurunya yang mendengar suara yang keluar dari perutnya tadi, masih tidak mengherankan karena selain gurunya duduk tak jauh dari tempat ia berlatih, juga ia sudah tahu akan kelihaian kakek pincang ini. Akan tetapi yang bicara itu adalah orang gundul yang dudukn ya jauh di sudut sebelah sana jembatan!

Ketika Tiang Bu menengok ke arah orang gundul itu tiba-tiba ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang gundul itu masih duduk seperti tadi, akan tetapi tidak lagi menyembunyikan muka dan menangis, melainkan sedang makan ular! Ular yang masih hidup nampak menggeliat-geliat, ekor ular dipegang oleh tangan kiri sedang kepala ular sudah masuk ke dalam mulut dan dikunyah-kunyah!

Ketika Tiang Bu melirik kepada suhunya, ia melihat kakek ini pun memandang ke arah orang gundul itu dengan pandang mata aneh dan mukanya merah. Tiang Bu mengira bahwa suhunya merasa dibikin malu oleh kata-kata Si Gundul itu, maka ia hendak membela gurunya dan berkata lantang.

"Gundul Pemakan Ular! Jangan menghina guruku, siapa bilang aku lapar?"

Orang gundul itu memandang kepadanya dengan mulut tersenyum sehingga kelihatan lidahnya yang merah karena darah ular. Ia menggigit putus tubuh ular itu tinggal ekornya saja, lalu berkata, "Bocah bernyali beruang, kau lapar dan perlu makan. Terimalah hadiahku ini!" Tangannya bergerak dan ekor ular itu melayang cepat ke arah muka Tiang Bu.

Tidak percuma Tiang Bu berlatih Sam-hoan Sam-bu selama setahun lebih. Setiap datang serangan, tubuhnya otomatis bergerak mengelak. Demikian pula, biarpun sambitan itu cepat sekali datangnya, ia menuruti gerak otomatis ini, kakinya bergeser, tubuhnya miring dan ekor ular itu lewat tepat di pinggir telinganya.

"Jangan menolak hadiah, Tiang Bu!” kata Bu Hok Lokai yang cepat mengulurkan tangan menangkap ekor ular itu. Caranya menangkap luar biasa sekali karena begitu ia mengulur tangan, seakan-akan ekor ular itu terbang ke arah tangannya. Kakek itu memandang ekor ular di tangannya, lalu memberikan benda menjijikkan itu kepada muridnya sambil berkata, "Sahabat itu betul. Perutmu memang lapar dan hadiah ini berharga sekali, hayo lekas makan ini dan menyatakan terima kasih!"

Tiang Bu menerima buntut ular itu dengan muka berubah pucat. Apakah gurunya sudah menjadi gila, menyuruh ia makan buntut ular, dan bahkan menghaturkan terima kasih? Akan tetapi, melihat wajah gurunya begitu sungguh-sungguh dan dia memang seorang anak yang taat, Tiang Bu tidak membantah. Cepat ia menjura ke arah orang gundul yang masih memandang padanya sambil mulutnya bergerak-gerak mengunyah daging di mulutnya.

"Sahabat aneh, terima kasih atas pemberianmu," katanya lalu dengan mata dipejamkan ia memasukkan ekor ular ke mulutnya, dikunyah beberapa kali, lidah dan mulutnya merasa betapa ekor ular itu seakan-akan bergerak dan menggeliat-geliat kesakitan ketika ia menggigitnya.

Dapat dibayangkan betapa jijik dan muak rasa tenggorokan dan perutnya, namun Tiang Bu tidak ingin membikin malu suhunya di depan orang lain. Ia mengerahkan tenaga dalam menolak rasa hendak muntah dan menelan bulat-bulat ekor ular itu ke dalam perutnya. Aneh, begitu buntut ular itu memasuki perut, ia mendengar perutnya berbunyi berkeruyukan tak dapat dicegah lagi. Ia berusaha mengerahkan tenaga dalam perutnya, namun luar biasa sekali, semua tenaga di dalam perutnya telah lenyap, tubuhnya terasa ringan dan hangat enak dan nyaman!

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Orang gundul itu makin kagum memandang kepada Tiang Bu. Bocah yang dapat berlatih silat demikian tahan uji, sehingga dalam keadaan kelaparan masih demikian tekun berlatih mentaati kehendak guru, kemudian berani membela nama baik gurun ya di depan orang lain yang dianggap menghina gurunya, yang dapat mengelak dari sambitan dengan amat cekatan, lalu mentaati perintah guru rela berkorban perasaan dan rela makan buntut ular mentah, kemudian kalau gurunya menyuruh dia makan lalu menghaturkan terima kasih bocah itu malah menghaturkan terima kasih dulu baru makan. Benar-benar bocah yang sukar dicari bandingannya dan patut menjadi murid!

“Jembel tua sialan, kau tinggalkan bocah itu untuk menjadi muridku kau tidak becus mengatur murid, memberi makan saja tidak mampu, apalagi mengajar silat yang baik. Mulai saat ini dia menjadi muridku!"

Bu Hok Lokai tersenyum dan matanya berkedip-kedip memandang orang gundul itu. "Sahabat Gundul Pemakan Ular, kau ini siapakah yang begini lihai dapat menangkap dan makan ular hijau dari daerah barat?

"Kau mengenal ular hijau tadi? Bagus matamu awas betul. Aku siapa kau tak perlu tahu, segala macam jembel tua sialan, mana harga mengenal aku? Lebih baik kau pergi dan tinggalkan bocah ini habis perkara. Daripada timbul marahku dan kau mampus di bawah jembatan ini."

Bukan main mendongkolnya hati Tiang Bu mendengar kata-kata orang gundul aneh yang ternyata berwatak sombong dan jahat ini. Juga Bu Hok Lokai, seorang tua yang sudah banyak makan garam dunia dan biasanya amat penyabar, sekarang menjadi merah mukanya.

"Sahabat Gundul Pemakan Ular, biarpun hanya seorang jembel tua sialan, aku Bu Hok Lokai tidak biasa lari seperti anjing dipukul menghadapi siapapun juga. Apa kau kira setelah kau memberi hadiah ular yang benar-benar berharga dan menjadi obat istimewa untuk muridku, kau lalu boleh berbuat sekehendak hatimu terhadap kami?"

Tiang Bu merasa puas sekali melihat sikap gurunya dan mendengar dampratan ini, maka ia pun memandang kepada orang gundul itu dengan muka mengejek. Orang gundul itu mengeluarkan suara di hidungnya, memandang kepada Bu Hok Lokai dan berkata menggeleng-geleng kepala,

"Sayang, membunuh orang sialan seperti engkau memang tidak ada harganya, akan tetapi kau mencari mampus sendiri."

Kata-katanya dikeluarkan dengan lambat-lambat dan muka yang kekanak-kanakan itu tidak memperlihatkan perubahan apa-apa, namun hebat sekali gerakan kedua tangannya. Dua tangan itu bertubi-tubi melakukan gerakan memukul ke depan dan saking cepatnya gerakan ini sampai dua buah lengan itu seakan-akan berubah menjadi delapan. Gerakan ini mendatangkan hawa pukulan hebat yang menyerang Bu Hok Lokai, disusul oleh gerakan tubuhnya yang tiba-tiba melayang ke arah kakek pincang dengan kedua tangan terus melakukan gerakan memukul.

"Hebat...” Bu Hok Lokai berseru kaget dan cepat bagaikan belut kakek ini menggerak-gerakkan tubuhnya melenggang-lenggok. Dalam saat yang amat berbahaya itu ia sudah berhasil mainkan Sam-hoan Sam-bu yang paling sukar akan tetapi ia berhasil membebaskan diri dari serentetan serangan hawa pukulan yang amat luar biasa.

Bu Hok Lokai tidak mau membiarkan lawan terus mendesaknya. Tahu bahwa lawannya yang kelihatan masih seperti kanak-kanak mukanya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa dan jahat karena pukulan tadi saja sudah mengandung hawa maut, ia pun lalu cepat maju membalas dengan serangan-serangan kilat. Bu Hok Lokai mempergunakan tongkat bututnya dengan cara istimewa. Sayang kakinya sudah pincang, kalau saja ia belum bercacat seperti dulu, kiranya orang gundul itu akan dapat ia kalahkan.

Di lain fihak Si Gundul itu benar-benar lihai sekali dan memiliki ilmu silat yang mengerikan. Ketika pertempuran sudah berlangsung puluhan jurus, kedua lengan orang gundul itu perlahan-lahan berubah menghitam seperti dibakar dan pukulan-pukulan yang ia lancarkan juga semakin hebat, kini mengandung hawa pukulan yang keluar dari sepasang lengan hitamnya.

Bu Hok Lokai bukan main kagetnya. Ia pernah mendengar cerita orang tentang ilmu silat jahat yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang kabarnya diciptakan oleh seorang manusia iblis dari barat berjuluk See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Barat). Inilah gerangan ilmu silat keji itu? Namun ia tidak sempat menduga-duga dan menghadapi lawan yang begini berbahayanya, Bu Hok Lokai mengubah gerakan-gerakannya.

Kedua kakinya tetap mainkan langkah-langkah Sam-hoan Sam-bu untuk melindungi tubuh dari serangan lawan, karena dengan langkah-langkah ini ia demikian gesit sehingga sukar diserang lawan, akan tetapi kedua tangannya melakukan serangan-serangan balasan yang dahsyat. Ilmu Samhoan Sam-bu sifatnya tidak menyerang, melainkan menghindarkan diri dari serangan lawan, maka pemegang peran utama hanya kedua kaki. Bu Hok Lokai yang sudah menguasai ilmu ini dengan sempurna, kini mencampurnya dengan ilmu serangan dari ilmu silatnya sendiri.

Tangan kanan yan g menyerang dengan tongkat, tangan kiri menyusul dengan totokan atau tonjokan, juga kadang-kadang dengan gerakan yan g amat cepat, tongkat itu telah berada di tangan kiri, menyerang diikuti tonjokan tangan kanan. Tanpa dapat diduga-duga oleh lawan, tongkat ini berpindah-pindah sehingga lawan gundul itu benar-benar menjadi pening dibuatnya dan telah dua kali tongkat Bu Hok Lokai mengenai sasaran, sekali di pundak dan kedua kali di dada. Akan tetapi, lawan itu ternyata lihai sekali. Totokan di pundak hanya merobek baju dan merusak kulit sedikit, sedangkan gebukan di dada hanya membuat ia terhuyung-huyung dan batuk-batuk beberapa kali, akan tetapi belum cukup kuat untuk merobohkannya.

Tiang Bu girang sekali melihat suhunya dapat melukai lawan dan ia merasa pasti bahwa suhunya akan menang. Akan tetapi sebaliknya, Bu Hok Lokai merasa khawatir sekali. Lain orang pasti akan roboh binasa atau sedikitnya terluka berat terkena dua kali serangannya tadi. Akan tetapi orang ini biarpun terluka oleh tongkatnya, luka itu agaknya tidak terlampau berat sehingga ia masih dapat terus melakukan serangan.

Akan tetapi sebetulnya, gebukan tongkat Bu Hok Lokai pada dada tadi sudah mendatangkan luka hebat di dalam dada Si Gundul. Hanya karena orang ini memang memiliki kekuatan yang jauh melebihi orang lain, dan pula karena dia seorang nekad, maka dia masih belum roboh. Begitu terkena gebukan tongkat, Si Gundul ini lalu mengeluarkan seruan ganas dan di lain saat tangan kanan dan kiri merogoh saku mengeluarkan dua ekor ular merah, seekor di tangan kanan dan seekor di tangan kiri!

Tiang Bu mengeluarkan seruan tertahan melihat dua ekor ular ini dan merasa ngeri. Juga Bu Hok Lokai nampak terkejut sehingga kakek ini melompat mundur dua tombak. "Masih ada hubungan apa kau dengan See-thian Tok-ong?" tanyanya.

Si Gundul aneh itu tertawa terbahak-bahak melihat kakek jembel pincang itu melompat mundur ketakutan. Tanpa menjawab ia melangkah maju dan menyerang dengan ular merah di tangan kiri. Ular itu kecil saja dan panjangnya tiga kaki, berada di tangan Si Gundul ini merupakan senjata istimewa, pedang hidup yang gigitannya melebihi sepuluh kali tikaman pedang lihainya. Ang-coa (Ular merah) macam ini memiliki bisa yang tidak ada obat penawarnya di dunia, artinya siapa pun juga yang terkena gigitannya pasti akan menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut).

Bu Hok Lokai terkejut bukan main melihat permainan ilmu silat yang mempergunakan ular demikian hebatnya. Ia maklum bahwa pertandingan ini adalah pertandingan mati hidup, maka ia pun tidak mau mengalah lagi. Cepat ia mengeluarkan suara seperti harimau mengaum dan kakek pincang ini berubah menjadi seorang yang amat tangkas dan ganas, Tongkatnya berputaran menyambar mengeluarkan angin, penuh dengan tenaga lweekang. Ia sengaja mengarah kepada dua ekor ular yang meluncur pergi datang bagaikan beterbangan itu dan akhirnya ia berhasil menangkis seekor ular di tangan kiri lawannya.

Si Gundul memekik marah ketika darah dan otak muncrat dari kepala ular merahnya yang remuk kepalanya. Cepat bagaikan kilat ia melemparkan tubuh ular ke arah lawannya. Bu Hok Lokai mengelak ke kiri dan tongkatnya menyambar kini mengarah lambung lawannya dengan dorongan keras. Si Gundul yang nampaknya marah sekali, seakan-akan tidak melihat dorongan tongkat, bahkan ia membarengi gerakan lawan dengan melemparkan ular merah di tangan kanannya ke arah kakek itu!

Akibat dari adu tenaga ini hebat sekali. Tongkat di tangan Bu Hok Lokai berhasil "memasuki" lambung dan mendorong sedemikian kerasnya sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar dibarengi pekik kesakitan, terjerumus ke dalam air di bawah jembatan dan hebatnya, bagaikan seekor ikan orang gundul itu berenang ke seberang, mendarat dan lari terhuyung-huyung menghilang dari situ.

Bu Hok Lokai tidak mengeluarkan suara apa-apa, akan tetapi tarikan mukanya seperti orang menghadapi Raja Maut di depannya. Memang, sesungguhnya kakek ini menghadapi maut karena ular merah di tangan orang gundul tadi kini telah menyantel di pundaknya. Gigi ular yang kecil runcing berbisa itu telah menancap ke dalam daging pundaknya dan seketika itu juga Bu Hok Lokai merasa betapa hawa racun ular telah terbawa oleh aliran darah ke seluruh anggauta tubuhnya!

"Suhu...!" Tiang Bu berseru kaget dan melangkah maju. Dengan berani anak ini hendak membetot ular yang menggigit pundak gurunya. Akan tetapi dengan tangannya Bu Hok Lokai memberi tanda supaya Tiang Bu jangan bergerak. Kemudian tangan kanannya menangkap ekor ular yang menggeliat-geliat dan memasukkan ekor ular yang masih menggigit pundaknya itu ke dalam mulut, terus menggigit dan menyedot darahnya!

Hebat sekali tenaga sedotan dari kakek ini karena sebentar saja ular itu menjadi lemas, gigitannya terlepas dari pundak dan tubuhnya terlepas jatuh di atas tanah lalu mati tanpa dapat menggeliat lagi karena darahnya sudah terhisap habis oleh Bu Hok Lokai! Akan tetapi bersama dengan matinya ular, tubuh kakek itu pun roboh pingsan.

Tiang Bu menubruk dan memeluk gurunya, diguncang-guncangn ya sambil memanggil-manggil. "Suhu...! Suhu..."

Tak lama kemudian Bu Hok Lokai siuman kembali. Nyata ia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membantu "obat" yang disedotnya dari tubuh ular tadi. Mukanya sebentar pucat. Racun yang amat kuat dan bertentangan berperang tanding di dalam tubuhnya, saling memperebutkan kedudukan dan kemenangan untuk menguasai nyawa kakek itu"

"Tiang Bu, aku takkan tertolong lagi. Tanpa darah ular tadi, sekarang tentu aku sudah mampus. Racun ang-coa memang tidak ada obatnya. Paling lama sehari semalam..." dan Kakek itu roboh pingsan tak dapat siuman kembali selama satu malam di bawah jembatan itu.

Tiang Bu menjadi bingung, tak dapat berbuat sesuatu memeluki tubuh gurunya. Se-malam itu Tiang Bu tidak tidur, terus menjaga gurunya. Ia mencetak wajah orang gundul itu di dalam ingatannya dan bersumpah di dalam hati bahwa kelak ia pasti akan dapat membalaskan sakit hati gurunya ini.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Hok Lokai siuman, membikin girang hati Tiang Bu. Kini kakek itu nampak lebih sehat daripada tadi malam sehingga anak itu mempunyai harapan besar bahwa gurunya kiranya akan dapat sembuh.

"Tiang Bu, mari kita ke kota raja. Aku harus membawa kau ke sana dan memperlihatkan keadaan kota raja yang sudah ingin sekali kau lihat. Marilah, selagi masih ada kesempatan terakhir bagiku." Kakek itu bangun berdiri bersandarkan tongkatnya.

"Suhu, kau masih belum sehat benar. Biarlah tidak melihat kota raja juga tidak apa asal Suhu sembuh kembali. Lebih baik Suhu beristirahat di sini, biar teecu mencari makanan untuk Suhu"

"Hush, dalam saat seperti sekarang aku tidak boleh dibantah. Hayo ikut aku ke kota raja, di sana banyak makanan, perutmu juga sudah lapar!" kata Bu Hok Lokai dengan suara gembira seakan-akan nyawanya tidak terancam maut.

Dengan terpincang-pincang, dibantu oleh muridnya, Bu Hok Lokai mengajak Tiang Bu memasuki pintu gerbang istana yang terjaga oleh tentara bertombak. banyak sekali orang keluar masuk melalui pintu gerbang ini. Bu Hok Lokai dan muridnya sama sekali tidak menarik perhatian orang karena mereka ini tidak lebih hanya seorang jembel tua bersama seorang pengemis muda yang pakaiannya sudah compang-camping dan penuh tambalan. Yang tua terpincang-pincang dan yang muda menggan deng tangannya dengan muka memperlihatkan kekhawatiran besar.

Dengan muka yang gembira Bu Hok Lokai membawa muridnya mengelilingi kota raja, memperlihatkan bagian-bagian yang menarik, bahkan menunjukkan gedunggedung besar tempat tinggal para orang berpangkat. Tiang Bu sama sekali tidak memperlihatkan muka gembira juga tidak tertarik melihat rumah-rumah besar itu bahkan merasa benci melihat betapa di luar pekarangan gedung-gedung itu banyak sekali terdapat jembel-jembel setengah kelaparan berkeliaran ke sana ke mari. Perbedaan keadaan yang amat menyolok.

Keadaan Bu Hok Lokai sebetulnya sudah payah sekali. Makin lama makin payahlah kakek ini dan tadi pun hanya karena pengerahan tenaga yang luar biasa saja maka masih berjalan-jalan. Dengan pengerahan tenaga dalamnya, maka racun ular yang bekerja di tubuhnya makin ganas. Menjelang senja ia tak dapat menahan lagi, jalannya terhuyung-huyung dan napasnya terengah-engah.

"Suhu...!" Tiang Bu yang merasa betapa tangan suhunya panas seperti terbakar itu cepat-cepat membawa kakek itu ke pinggir jalan. Bu Hok Lokai sudah kehabisan tenaga dan kakek ini menjatuhkan diri di atas rumput.

"Tiang Bu, saatnya sudah hampir tiba. Kau... kau terpaksa harus hidup seorang diri... kasihan... yang baik-baik menjaga diri sendiri, muridku... " Wajah kakek itu membayangkan keharuan ketika ia memandang kepada Tiang Bu.

"Suhu...” Tiang Bu hanya dapat memegangi tangan suhunya, matanya yang lebar itu nampak sedih sekali akan tetapi ia tidak menangis. Melihat suhunya terengah-engah dan bibirnya kering sekali, ia lalu berdiri dan berkata.

"Suhu, teecu hendak mencarikan Suhu minum."

"Ya... minum... arak, enak sekali..." Kakek itu menjulurkan lidah untuk membasahi bibirnya nampaknya ingin sekali minum.

Tiang Bu menjadi ngeri hatinya melihat lidah gurunya sudah menjadi hitam sekali. Cepat ia melompat pergi dan berlari-lari menuju ke rumah makan yang tadi ia lewati bersama gurunya. Ia tahu bahwa mengemis arak adalah hal yang langka dan tak mungkin ia akan bisa mendapatkan arak dengan jalan mengemis. Mencuri? Ia teringat akan larangan-larangan suhunya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tak perlu banyak ragu. Ia mempergunakan kepandaian dan kecepatannya.

Selagi orang-orang di dalam rumah makan sibuk dengan makan minum atau memesan masakan, ia menyelinap dan dari meja seorang tamu yang sudah setengah mabuk ia berhasil menyambar secawan arak penuh. Tiang Bu berlari-lari ke tempat gurunya dan hatinya perih melihat gurunya sudah melenggut seperti orang mengantuk, mukanya merah sekali, tanda bahwa racun ular ang-coa sudah menguasai keadaan.

"Suhu, minumlah..." katanya sambil berjongkok dan memberikan cawan arak itu kepada gurunya. Melihat tangan kakek itu menggigil dan matanya sudah setengah tertutup, Tiang Bu lalu membawa cawan itu ke mulut gurunya. Bu Hok Lokai minum arak itu dengan lahap, nampaknya enak dan segar sekali.

"Arak enak... kau anak baik... hati-hati..." Dan lemaslah seluruh tubuh Bu Hok Lokai, tubuhnya terkulai dan nyawanya melayang!

"Suhu...!" Tiang Bu melempar cawan yang masih di tangannya, kemudian ia lalu menubruk dan me meluk mayat suhu-nya sambil menangis. Anak ini memang hanya dapat menangis untuk orang lain, anehnya betapapun hebat penderitaan yang ia alami, ia takkan mau menangis.

Tangisnya menarik perhatian orang dan tak lama kemudian jalan raya itu penuh orang yang merubung untuk melihat apa yang telah terjadi di situ. Sudah lajim bahwa orang-orang lebih banyak tertarik dan ingin tahu daripada ingin menolong. Di antara sekian banyaknya orang, tak seorang pun mau turun tangan menolong...