Pedang Penakluk Iblis Jilid 29 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Penakluk Iblis Jilid 29

AKAN tetapi tiba-tiba seorang di antara para anggauta Kwan-cin-pai itu, seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, diam-diam mendekati Hui Lian dan Hong Kin. Ketika dua orang muda itu memandang, mereka merasa terkejut, heran, dan juga girang. Pemuda itu segera diam-diam lalu menggunakan sebatang pisau pendek yang amat tajam untuk membabat putus tali pengikat pergelangan, tangan mereka dan dalam sekejap mata bebaslah Hui Lian dan Hong Kin.

Dua orang muda yang berkepandaian tinggi ini lalu mengerahkan lweekang dan dengan jari tangan sendiri dapat membebskan totokan. Pada saat itu, Kong Ji tengah melancarkan serangan-serangan yang amat menghina kepada Ciang Le dan menghina nama baik Gak Soan Li semau-maunya. Mendengar dan melihat ini Hui Lian berbisik. “Celaka, nama Ayah akan tercemar...“

“Biar aku menolongnya...“ kata Hong Kin cepat-cepat. Mereka bertiga lalu menggunakan kesempatan selagi semua orang menonton perang kata-kata yang menegangkan menerobos keluar dari barisan dan Hong Kin lalu mengeluarkan kata-kata pengakuan bahwa dialah suami Soan Li!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, munculnya Hui Lian, Hong Kin dan pemuda yang menolong mereka yang kemudian ternyata Wan Sin Hong menimbulkan kegemparan. Seperti telah kita ketahui semua, Wan Sin Hong terkena serangan jarum-jarum rahasia dari Siok Li Hwa dan Liok Kong Ji sehingga roboh akan tetapi muncul manusia aneh bermuka merah darah yang menyambar tubuh wan Sin Hong dan lenyap dari situ!

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Setelah berhasil melukai Wan Sin Hong dengan jarum- jarumnya, Kong Ji dan Siok Li Hwa merasa heran dan penasaran sekali. Orang aneh muka merah tadi telah menolak serangan pedang mereka hanya dengan hawa pukulan dan kini orang aneh itu telah membawa lari tubuh Wan Sin Hong. Kong Ji yang melihat jarum beracun Hek-tok-ciam telah mengenai tepat tubuh Wan Sin Hong dan merobohkan pemuda yang paling ditakutinya itu, menjadi lega.

Dia tadinya kaget setengah mati melihat munculnya Wan Sin Hong. Bagaimana pemuda itu dapat muncul? Demikian ia bertanya-tanya dengan hati ngeri karena ia maklum bahwa kepandaian Wan Sin Hong amat tinggi. Maka melihat betapa semua orang memusuhi Sin Hong bahkan betapa Sin Hong telah roboh oleh jarum-jarumnya dan jarum-jarum yang dilepas oleh Siok Li Hwa, ia menjadi lega dan tidak mau mengejar. Apalagi karena ia menyaksikan betapa orang aneh bermuka merah yang ia belum tahu siapa adanya itu benar-benar tangguh dan lihai, maka ia menyerahkan pengejaran kepada Siok Li Hwa.

Memang Ketua Hui-eng-pai ini merasa penasaran sekali melihat Wan Si Hong musuh besarnya dilarikan orang aneh bermuka merah. Kalau belum membunuh Wan Sin Hong dan membawa kepalanya, hati Siok Li Hwa belum puas. Nama baik Hui-eng-pai telah dicemarkan hal ini baru satu kali terjadi selama ia hidup, maka Wan Sin Hong harus dibunuhnya!

Sambil membentak keras Siok Li Hwa mengejar orang aneh bermuka merah yang lenyap ke jurusan barat puncak. Para anak buahnya cepat-cepat mengejar sehingga mereka itu kelihatan seperti sekelompok garuda putih beterbangan turun gunung! Sementara itu Hui Lian yang memeluk ibunya, secara singkat lalu menceritakan semua pengalamannya yang terakhir. Karena tidak ada kesempatan dan waktu, Hui Lian hanya menceritakan yang paling penting saja, terutama yang berhubungan dengan keadaan di situ.

“Ibu dan Ayah, Saudara Coa Hong Kin tadi sengaja mengaku sebagai suami Suci, untuk membersihkan muka kita...“

Ciang Le menjadi girang sekali dan memandang ke arah Hong Kin yang bercakap-cakap perlahan dengan gurunya, memandang dengan penuh terima kasih. Sementara itu atas perintah Cam-kauw sin-kai, Hong Kin lalu memberi hormat kepada Ciang Le dan Bi Lan, juga kepala Lie Bu Tek. Adapun Cam-kauw Sin-kai sendiri dengan suara lantang tertawa dan berkata,

“Cuwi Enghiong yang hadir di sini semua menjadi saksi betapa besar kebohongan manusia she Liok! Dia tadi membuka mulut kotornya memburuk-burukkan dan menghina nama baik Hwa I Enghiong dan muridnya. Sekarang ternyata kata-katanya itu bohong belaka. Nona Gak Soan Li ada suaminya!“

Tai Wi Siansu cepat mencegah dilanjutkannya percekcokan karena sebagai pemimpin permilihan bengcu. ia berkewajiban untuk segera menyelesaikan tugasnya yang banyak terhalang oleh percekcokkan tadi.

“Saudara sekalian harap suka bersabar dan harap menghentikan segala caci maki satu kepada yang lain. Sekarang kita lanjutkan tentang pemillhan bengcu, diambil dan tujuh orang calon-calon tadi. Seperti sudah lajim dalam pemilihan bengcu, harap para calon sekarang membuktikan bahwa dia memang patut menjadi bengcu karena kepandaian silatnya. Dan oleh karena itu pinto sendiri di luar kehendak pinto telah dipilih menjadi calon bengcu, maka terpaksa pimpinan pinto serahkan kepada wakil pinto, yakni Bu Kek Siansu ciangbunjin dari Butong pai! Dan untuk mempersingkat waktu, pinto sendiri mempelopori para calon bengcu, dan pinto bersiap sedia mencoba kepandaian seorang di antara para calon.“

Setelah berkata demikian, Tai Wi Siansu yang sudah tua itu lalu melompat ke tengah lapangan dan menanti datangnya seorang di antara calon bengcu yang hendak memperlihatkan kepandaian. Sebetulnya, Ketua Kun-lun-pai yang sudah lanjut usianya ini tentu saja tidak mempunyai nafsu untuk menjadi bengcu.

Akan tetapi, untuk memperkuat pihak yang disukainya, dan pula melihat bahwa di antara para calon terdapat orang- orang seperti Liok Kong Ji dan See-thian Tok-ong, ia tentu saja tidak rela kalau sampai kedudukan bengcu dipegang oleh seorang di antara mereka ini dan daripada kedudukan bengcu dipegang oleh See-thian Tok-ong, lebih baik dia pegang sendiri!

Ia tahu pula bahwa dalam pemilihan bengcu, pasti akan terjadi adu tenaga, dengan masuknya menjadi calon bengcu, berarti ia memperkuat tenaga pihak yang disukainya. Kalau saja ia melihat bahwa para calon itu semua memenuhi syarat dan mencocoki hatinya, tidak nanti ia mau dipilih sebagai calon! Melihat majunya Tai Wi Siansu, tentu saja para calon seperti Cam-kauw Sin-kai dan Hwa I Enghiong Go Ciang Le tidak mau maju untuk melayani kakek itu mengukur kepandaian.

Bagi Cam-kauw Sin-kai dan Go Ciang Le, kalau kedudukan bengcu itu diserahkan kepada Tai Wi Siansu, mereka tidak akan membantah seperti halnya Tai Wi Siansu sendiri tentu tidak akan membantah kalau yang dipilih sebagai bengcu itu Cam-kauw Sin-kai atau Go Ciang Le. Dua orang calon yang tadi disebut Siok Li Hwa dan Wan Sin Hong tidak berada di situ dan kini tmggal dua orang calon yang lain, yakni Liok Kong Ji dan See Thian Tok-ong.

See-Thian Tok-ong hendak melompat maju menghadapi Ketua Kun-lun-pai akan tetapi Kong Ji sambil tertawa mencegahnya. “See-thian Tok-ong, mengapa terburu-buru? Tidakkah kau dapat melihat bahwa mereka itu semua bersekongkol? Lihat, aku berani bertaruh bahwa Hwa I Enghiong dan Cam- kauw Sin-kai tidak nanti mau maju menghadapi Tai Wi Siansu. Kau lihat sajalah dan jangan terburu-buru maju.“

See-thian Tok-ong memang orang yang kurang pedulian, maka ia tadi tidak mempedulikan keadaan, sehingga ia tidak memikirkan sejauh itu. Sekarang mendengar kata-kata Kong Ji, ia menunda niatnya dan benar-benar ia menanti. Memang apa yang dikatakan oleh Kong Ji ini benar belaka. Betapapun juga, tak nanti Ciang Le dan Cam-kauw Sin-kai mau maju menghadapi Tat Wi Siansu untuk bertanding ilmu.

Melihat ini See-thian Tok-ong sudah hilang sabar dan hendak maju pula. Akan tetapi Kong Ji sudah mendahuluinya, menyuruh seorang pembantunya untuk maju. Orang ini adalah seorang kakek tua yang bongkok kurus, kepalanya besar, rambutnya jarang dan putih sedang kulit mukanya kerut-merut jelek sekali.

Ia memegang sebatang tongkat bambu dan dari belakang pundaknya tersembul gagang pedang yang ujungnya berukirkan kepala setan yang menakutkan dan ronce-roncenya berwarna hitam. Dengan langkah sembarangan orang ini telah menghadapi Tai Wi Siansu, menyeringai sambil berkata dengan suaranya yang parau seperti suara burung gagak.

“Tai Wi Siansu, sudah lama sekali aku mendengar akan nama besar Ketua Kun-lun-pai yang katanya memiliki ilmu pedang yang tinggi sekali. Kebetulan hari ini aku mendapat kehormatan bertemu muka dan siapa kira kau yang sudah begini tua masih menginginkan kedudukan bengcu. Akan tetapi malah kebetulan, karena dengan demikian aku mendapat kesempatan untuk merasai kehebatan ilmu pedangmu. Bukankah setiap orang yang hadir berhak menguji kepandalan calon bengcu?“ Setelah berkata demikian, ia tertawa terbahak-bahak.

Melihat kakek ini, Tat Wi Siansu dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang pandai, akan tetapi karena belum mengenalnya, Tat Wi Siansu lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan bertanya.

“Sahabat siapakah? Dari golongan mana dan siapa nama sahabat yang terhormat?“ Sebagai seorang ciangbunjin (ketua) partai besar. Tai Wi Siansu tentu saja tidak mau mengadu kepandaian dengan seorang lawan yang tidak ternama. tentu Tai Wi Siansu akan mundur dun menyuruh murid saja untuk melawannya.

Kakek yang buruk rupa itu mengeluarkan suara menyindir. “Hemm, tentu saja Ketua Kun-lun-pal yang bernama besar tidak mengenal kepada seorang rendah seperti aku. Aku adalah Ketua Kwan-cin-pai dan tinggal di An-hwei.“

Tat Wi Siansu terkejut. “Aha, kiranya pinto berhadapan dengan Mo-kiam Siang koan Bu, jago nomor satu dan Propinsi An-hwei! Kau mau bermain-main dengan pinto? Marilah!“

Kakek buruk rupa itu memang Mokiam siangkoan Bu Ketua Kwan-cin-pai yang sudah menjadi pengikut Kong Ji. Pemuda ini belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian Tai Wi Siansu, maka ia tidak mau maju sendiri. Sebagai seorang calon bengcu atau bahkan seorang bengcu dari timur dan selatan, ia harus memegang harga diri.

Maka ia memberi tanda kepada Mokiam Siangkoan Bu untuk mencoba kepandaian kakek Kun-lun-pai itu sebelum ia sendiri turun tangan. Memang Kong Ji adalah seorang sang amat licik dan ia telah mengatur siasat rendah. Kawan-kawannya yang memiliki kepandaian tinggi cukup banyak, di antaranya adalah Siangkoan Bu sendiri, lalu ada di situ

Siang-pian Giam-ong Ma Ek Ketua Bu cin-pai, Sin houw Lo Bong Ketua Shan si-kai-pang, Twa-to Kwa Seng Ketu Twa-to Bu pai, ada pula Giok Seng Cu tangan kanannya, dan masih ada beberapa orang gagah dan Siauw-lim-pai. Go bi-pai, Heng-san-pai dan Hoa-san-pai. Ta hendak menggunakan tenaga orang-orang ini untuk menghadapi para calon bengcu yang lain.

Kalau sampai mereka semua ini kalah dan ia sendiri kiranya takkan dapat kemenangan, masih ada jalan lain, yakni melakukan pengeroyokan! Untuk keperluan ini di belakangnya sudah ada seribu lebih orang dari partai pendukungnya yang pada saat itu sudah berkumpul di sekitar puncak Ngo-heng-san! Bahkan masih mengharapkan munculnya Nalumei bersama pasukannya.

Mo-kiam Siangkoan Bu yang melihat bahwa Tai Wi Siansu sudah bersikap sedia dengan sebatang pedang tipis ditangan, lalu mengeluarkan suara meringkik seperti kuda dan cepat melakukan serangan pertama dengan tongkat bambunya. Tongkat ini ditusukkan ke arah mata Tai Wi Siansu dengan gerakan cepat.

Ketua Kun-lun-pai diam-diam marah dan mendongkol. Kalau ia diserang dengan pedang, itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi diserang dengan sebatang bambu, inilah penghinaan namanya! Pedang tipis di tangannya bergerak sedikit dan bambu di tangan Siangkoan Bu putus ujungya begitu bertemu dengan pedang, sedikit pun tidak mengeluarkan suara.

Akan tetapi, ternyata kemudian bahwa memang inilah semacam gerak tipu dari Siangkoan Bu karena begitu bambu terbabat, bambu ini terus saja langsung melakukan serangan menusuk ulu hati! Tadi memang sengaja ia “menyerahkan“ bambunya untuk dibabat, hanya ketika pedang lawan membabat ia miringkan bambu sehingga bambu itu kini menjadi runcing sekali dan tahu-tahu ia pergunakan untuk menusuk dada.

Senjata bambu ini tak boleh dipandang ringan, karena batang bambu yang kosong ini kalau terisi oleh hawa lweekang dari pemegangnya, bambu ini berubah menjadi senjata yang ampuh dan kuat, dan dalam penggunaan dalam serangan menusuk ini tidak kalah berbahayanya oleh senjata tajam dan runcing lain dari baja. Hebatnya, selagi bambu ini masih menusuk, tangan kiri Siangkoan Bu sudah bergerak ke pundak dan di lain saat, sebatang pedang dengan sinar kebiruan telah meluncur cepat menyusul serangan bambu, melakukan serangan ke dua dan menusuk lambung!

“Bagus!“ Tat Wi Siansu sendiri yang juga seorang ahli pedang dan Kun lunpai, memuji gerakan lawan ini yang memang benar-benar amat cepat indah dan berbahaya. Ketua Kun-lun-pai ini setelah menangkis bambu, cepat miringkan tubuh sehingga dua serangan sekaligus itu dapat dihindarkan. Kemudian tanpa memberi kesempatan kepada lawan, ia lalu membalas dengan penyerangan membabat dari kiri ke kanan dengan pedangnya.

Siangkoan Bu menangkis, dua pedang bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya melompat mundur untuk melihat pedang masing-masing. Mereka merasa lega melihat pedang masing-masing tidak rusak oleh pertemuan yang keras tadi tanda bahwa pedang mereka berimbang dalam kekuatannya.

Pedang di tangan Tai Siansu adalah sebatang pedang pusaka Kun-lun-pai biarpun amat tipis namun terbuat dari pada baja putih yang kuat sekali. Besi biasa saja dapat terputus dengan mudah oleh pedangnya. Di lain pihak, pedang di tangan Siangkoan Bu diberi nama Mo-bin-kiam (Pedang Muka Iblis), terbuat dari logam berwarna kebiruan yang amat keras dan juga pedang ini tajam sekali, cukup kuat untuk membuat putus logam-logam lain.

Dalam detik-detik selanjutnya dua orang kakek kosen ini sudah bertempur sengit. Sepasang pedang itu bergulung- gulung merupakan sinar berwarna putih dan biru, amat indah dipandang dan mendebarkan hati karena tegangnya. Semua orang tahu bahwa dalam permainan yang indah kelihatannya ini bersembunyi tangan-tangan maut yang setiap waktu dapat mencabut nyawa seorang di antara kedua pemainnya.

Kepandaian Siangkoan Bu memang tinggi. Tidak saja ia memiliki tenaga lweekang yang sudah tinggi sekali, juga ilmu pedangnya amat aneh, cepat dan ganas. Pantas saja ia diberi julukan Mo ,-kiam (Si Pedang Iblis) karena memang ia memiliki ilmu pedang yang kuat dan dahsyat.

Di lain pihak, siapakah yang tidak mendengar kelihaian Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat? Ilmu pedang partai besar Kun-lun-pai sudah tersohor di kolong langit. Gerakannya indah dan cepat mengandung kekuatan menyerang yang sukar dilawan, sebaliknya dalam bertahan amat kuatnya, merupakan benteng sinar pedang yang sukar ditembusi. Maka dapat dibayangkan betapa ramainya pertandingan ini, makim lama gerakan mereka makin cepat sehingga setelah lewat lima puluh jurus, keduanya lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka.

Bagi para penonton yang kurang tinggi ilmu silatnya, sukar dapat mengatakan siapakah di antara dua ahli pedang itu yang unggul dan siapa yang terdesak. Tentu saja dalam pandangan mata para ahli yang berada di situ, di antaranya Kong Ji dan Ciang Le, mudah saja terlihat bahwa lambat laun akan tetapi tentu, Ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu mendesak Mo-kiam Siangkoan Bu!

Akhirnya pada jurus ke delapan puluh, terdengar Tai Wi Siansu membentak keras, diikuti suara nyaring. Bambu di tangan Siangkoan Bu tadi putus menjadi dua sedangkan pedang birunya terlempar jauh ke belakang. Dia sendiri terhuyung-huyung dan cepat melompat berjungkir balik ke belakang, lalu berdiri dengan muka pucat. Darah mengucur keluar dari luka di kedua lengannya dekat siku. Ia menjura dan berkata,

“Terima kasih, Tai Wi Siansu. Memang ilmu pedang Kun-lun-pai hebat, bukan among kosong. Aku menerima kalah.“

Inilah kata-kata jujur yang mau tidak mau harus diucapkan oleh seorang jagoan kang-ouw yang telah kalah dalam sebuah pibu (adu kepandaian). Mo-kiam Siangkoan Bu terpaksa harus mengaku ini, karena ia sudah berhutang nyawa kepada kakek Kun lun-pai itu. Kalau dalam gebrakan tadi Tai Wi Siansu mau berlaku kejam, kiranya bukan hanya luka kecil pada kedua lengan saja yang dideritanya, melainkan jauh lebih hebat. Kemudian ia mengambil pedangnya dan berdiri di dekat pasukannya dengan muka muram. Ta telah menderita kekalahan dan karenanya merasa malu dan penasaran.

Di lain pihak, dengan napas agak memburu, Tai Wi Siansu berdiri tegak dengan pedang dilintangkan di depan dada. Kakek berusia delapan puluh tahun ini kelihatan gagah sekali dan sikapnya lemah lembut. Jenggotnya yang putih semua dan panjang itu berkibar-kibar tertiup angin dan sinar matanya penuh semangat, berapi-api.

Akan tetapi bagi siapa yang memillki pandang mata awas, dapat dilihat bahwa kakek tua renta ini sudah lelah sekali dan hanya tenaga lweekangnya yang tinggi saja yang dapat mengatur pernapasannya sehingga tidak terengah-engah, sungguhpun jalan darahnya sudah amat cepat membuat seluruh tubuh panas dan keringat keluar dari lengan dan jidat.

Tentu saja Kong Ji melihat pula dan maklum akan hal ini. Cepat pemuda ini melompat keluar dan tahu-tahu pedang Pak-kek Sin-kiam yang bercahaya keemasan telah berada di tangannya. “Tai Wi Siansu, kita sama-sama calon bengcu, mari kita menguji kepandaian masing-masing!“ Tanpa menanti jawaban, pemuda itu sudah menusuk dengan pedangnya ke arah tenggorokan kakek itu.

“Tidak adil...!“ Seru Leng Hoat Taisu Ketua Thian-san-pai dan sudah melompat dengan tongkat hitamnya untuk menggantikan Tai Wi Siansu.

Akan tetapi, sebagai ciangbunjin dari Kun-lun-pai, juga sebagai calon bengcu, Tai Wi Siansu merasa malu kalau harus mengaku kalah sebelum bertanding. Ta mengelak cepat dari serangan Kong Ji dan melihat majunya Leng Hoat Taisu yang bukan seorang calon bengcu ia berseru,

“Leng Hoat Toyu, kau mundurlah. Biar aku menghadapi bocah she Liok ini. Dia benar, kami sama-sama calon harus mengukur kepandaian dan tidak mengandalkan bantuan kawan.”

“Akan tetapi tadi ia juga mengajukan wakil.“ Leng Hoat Taisu mencoba membantah. Sementara itu, Kong Ji hanya tersenyum dan sebelum Tai Wi Siansu yang ragu-ragu itu mendapat kesempatan menjawab, pemuda ini sudah memberi api.

“Benar, Tai Wi Siansu, kau sudah tua tentu pertempuran tadi membuat kau lelah. Kalau mau mengaso dan mengatur napas dulu, silakan, aku yang muda akan melayani Leng Hoat Taisu, kemudian baru kita main-main. Tidak apa aku mengalah menghadapi dua orang beruntun, sudah sepatutnya yang muda mengalah!“ Senyumnya demikian penuh ejekan sehingga Tai Wi Siansu tidak ada muka lagi untuk mundur. Dengan muka merah saking marahnya. Tai Wi Siansu menggerakkan pedangnya membentak.

“Bocah she Liok. Alangkah sombongmu! Kaukira pinto takut kepadamu? Majulah!“

Melihat kenekatan Tai Wi Siansu terpaksa Leng Hoat Taisu mengundurkan diri dan ia memandang kepada Bu Kek Siansu dengan kepala digeleng-gelengkan dan mukanya memperlihatkan kekhawatiran. Kekalahan atau kemenangan dalam pibu bukanlah hal yang aneh. bahkan kematian dalam pibu tidak pernah dibuat penasaran oleh orang-orang gagah di dunia kang- ouw.

Akan tetapi kettdak-adilan membuat semua orang gagah penasaran dan pertandingan pibu antara Liok Kong Ji dan Tai Wi Siansu dianggap tidak adil. Akan tetapi oleh karena Tai Wi Siansu sendiri yang tidak kuat menghadapi ejekan Liok Kong Ji sudah menyatakan setuju. Tak seorang pun berhak mencampuri pertandingan ini. Mereka yang berpihak pada Tai Wi Siansu kini menonton dengan hati berdebar dan perasaan tegang.

Dengan mulut masih tersenyum Kong Ji memasang kuda-kuda, tubuhnya merendah hampir berjongkok, pedangnya disembunyikan di bawah lengan kiri, sedangkan lengan kirinya bergerak-gerak lambat ke depan dan belakang. Kuda-kuda macam ini tidak dikenal oleh Tai Wi Siansu sungguhpun kakek ini seorang jago pedang yang kenamaan.

Hal ini tidak mengherankan oleh karena Kong Ji, pemuda yang penuh akal dan amat cerdik ini ternyata telah dapat menciptakan kuda-kuda ini menurut Ilmu Pukulan Tin-san-kang dicampur dengan ilmu pedang berdasarkan Pak-kek Sin-ciang yang ia “curi” pelajari melalui Hui Lian! Maka yang mengenal kuda kuda ini hanya dua orang. Ini pun hanya setengah-setengah.

Ciang Le mengenal kuda-kuda ini dengan melihat pedang disembunyikan di bawah lengan kiri sebagai jurus yang hampir sama atau pada dasarnya sama dengan jurus Hok-te-ciong-kiam (Mendekam di Tanah Menyembunyikan Pedang) dari Ilmu Pedang Pak-kek-sin-kiam. Hanya tangan kiri yang jari-jari tangannya dibuka dan digerak-gerakkan lambat-lambat ke depan dan ke belakang itu tidak ada dalam gerakan Hok-te-ciong-kiam, maka Ciang Le menjadi terheran-heran.

Sebaliknya Giok Seng Cu mengenal baik gerakan tangan kiri itu, yang bukan lain adalah gerakan Tin-san-kang, gerakan mengumpulkan tenaga. Sebaliknya gerakan Hok-te-ciong-kiam tadi tidak dikenal oleh Giok Seng Cu. Memang ilmu pedang Pak-kek-sin-kiam-sut biarpun sumbernya sama dengan ilmu silat yang dipelajari oleh Giok Seng Cu dari mendiang Pak Hong Siansu, namun ilmu pedang ini jarang ada yang mengerti sedangkan Ciang Le sendiri pun hanya mempelajari sebagian saja.

Adapun Tai Wi Siansu yang sudah marah, menghadapi pasangan kuda-kuda pemuda itu dan melihat mulut yang tersenyum-senyum mengejek, tak dapat menahan sabar lagi. Kakek ini adalah Ketua Kun-lun-pai, ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali, maka tentu saja ia tidak gentar menghadapi segala macam kuda-kuda yang aneh sekalipun. Ta mengandalkan kekuatan pedangnya dan sambil berseru, “Lihat pedang“ ia menyerang Kong Ji yang kuda-kudanya rendah itu dengan sabetan pada kepala.

Kong Ji memang sudah menanti datangnya serangan ini. Ta mengumpulkan tenaganya menanti datangnya pedang lawan sampai dekat, kemudian sekaligus ia melompat dengan dua macam gerakan. Pedangnya membabat pedang lawan dengan pengerahan tenaga lweekang sedangkan tangan kirinya mendorong ke arah dada dengan tenaga Tin-san-kang sepenuhnya.

“Traanggg...!”

Pedang tipis di tangan Tai Wi Siansu menjadi buntung ujungnya ketika bertemu dengan Pak-kek Sin-kiam, dan dalam kagetnya Tat Wi Siansu sampai kurang memperhatikan datangnya hawa pukulan dari tangan kiri Kong Ji. Tiba-tiba kakek itu berteriak dan terhuyung-huyung mundur sampai enam tindak, terkena pukulan Tin-san-kang pada dadanya!

Wajah Tat Wi Siansu menjadi pucat sekali. Tidak hanya karena pedangnya menjadi buntung, akan tetapi terutama sekali karena hebatnya pukulan Tin san kang yang hawa pukulannya mengenai dadanya. Baiknya ia adalah seorang ahli yang sudah memiliki hawa sinkang di tubuhnya sehingga hawa ini secara otomatis telah dapat menolak pukulan Tin-san kang. Namun karena pukulan ini memang lihai bukan main, tenaga sinkang itu masih kalah kuat, membuat Tai Wi Siansu terhuyung-huyung dan menderita luka di dalam dadanya. Ta merasa dadanya sakit dan napasnya sesak, akan tetapi dengan pengerahan lweekang ia dapat mempertahankan lukanya, kemudian dengan marah ia menyerbu lagi!

Para tokoh yang memihak Tai Wi Siansu menjadi pucat. Sudah jelas bahwa kakek ini terluka dan kalau melanjutkan pertempuran, akan terancam bahaya. Akan tetapi mereka juga maklum bahwa tentu saja Tai Wi Siansu tidak sudi mengalah begitu saja. Dikalahkan oleh seorang begitu muda hanya dalam satu jurus, benar-benar merupakan hal yang sangat memalukan dan lebih baik putus nyawa daripada menyerah dalam sejurus! Pedang buntung di tangan Tai Wi Siansu masih amat lihai bergerak-gerak dan menyambar-nyambar laksana naga mengamuk. Biarpun buntung ujungnya, namun masih tajam dan masih dapat membabat leher atau pinggang lawan!

Akan tetapi, oleh luka-luka di dada itu, tenaga kakek ini makin berkurang dan Liok Kong Ji tanpa mengenal kasihan terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan Tin-san-kang dan pedang Pak-kek Sin-kiam selalu menyambar ke arah pedang tipis buntung itu dengan maksud merusak pedang ini sampai tak dapat dipergunakan lagi.

Tentu saja amat kewalahan kakek itu mempertahankan diri. Tidak saja ia harus mempertahankan diri dengan tangkisan-tangkisan terhadap serangan pukulan Tin-san-kang yang dahsyat juga ia harus berhati-hati agar pedangnya jangan bertemu lagi dengan pedang lawan. Hal ini tentu saja membuat permainan pedangnya canggung karena setiap kali harus ditarik mundur dan tidak dilanjutkan dalam serangannya takut kalau terbabat oleh Pak-kek Sin-kiam, maka makin lama makin terdesaklah Ketua Kun-lun pai itu.

Betapapun juga, Tai Wi Siansu patut dikagumi. Ta masih berhasil mempertahankan diri sampai lima puluh jurus Kong Ji menjadi marah dan penasaran kalau tadi hanya berusaha membabat putus pedang kakek ini dan hendak mengalahkan kakek ini tanpa membunuhnya adalah sekarang pedangnya berkelebatan mengarah tempat-tempat berbahava dan pukulan Tin-san-kang dilakukan oleh tangan kirinya mengarah tempat-tempat seperti lambung, ulu hati dan pusar!

Menghadapi gelombang serangan dahsyat ini Tai Wi Siansu yang napasnya sudah empas empis hanya kuat bertahan selama sepuluh jurus. Tiba-tiba pedangnya kena dibabat putus pada tengah tengahnya dan dalam elakannya terhadap pukulan Tin-san kang di dada, ia kurang cepat sehingga pundak kanannya terkena darongan tangan kiri Kong Ji. Kakek itu terpental seperti dilemparkan akan tetapi dapat jatuh dengan kedua kaki di atas tanah dan dalam keadaan berdiri.

Kelihatannya tidak apa-apa, hanya mukanya pucat dan pedang tinggal sepotong masih di tangannya. Tiba-tiba menyambitkan sisa pedang itu ke arah Kong Ji. Pemuda itu memukul pedang lengan tangan kiri sehingga pedang sepotong itu amblas ke dalam tanah tidak kelihatan lagi! Melihat ini, Tai Wi Siansu tiba-tiba muntahkan darah merah dan tubuhnya sempoyongan. Baiknya Leng Hoat Taisu sudah melompat dan memondong tubuhnya mundur.

Kekalahan Tai Wi Siansu sudah sah. Dengan kekalahan ini, berarti ketua Kunlun-pai itu tidak dianggap sebagai calon bengcu lagi, sudah “gugur“ dan harus diganti calon lain. Cam-kauw Sin-kai mendahului Ciang Le. Kakek pengemis ini melompat ke tengah lapangan. Lengan bajunya yang lebar berkibar dan ia sudah berdiri menghadapi Kong Ji. Sebelum pengemis sakti ini membuka mulut, Kong Ji sudah menoleh ke arah See-thian Tok-ong dan berkata,

“See thian Tok-ong, inginkah kau main-main dengan pengemis ini ataukah kau lebih suka nanti menghadapi Hwa I Enghiong?“

Memang Kong Ji pintar bukan main. Ia tahu bahwa Cam-kauw Sinkai seorang yang pandai dan merupakan lawan berat. Bukan ia gentar menghadapinya, akan tetapi baru saja ia merobohkan Tai Wi Siansu. Kalau sekarang ia menghadapi kakek pengemis ini, biarpun ia dapat menang, akan tetapi ia harus menyerahkan tenaga seperti yang tadi lakukan dalam menghadapi Tan Wi Siansu. Dan ini merugikan plhaknya. Kalau ia sudah lelah betul baru menghadapi Ciang Le nanti, berbahayalah kedudukannya. Oleh karena itu, ia hendak mengajukan See- thian Tok-ong dan dengan kata-katanya tadi berhasil memancing keluar See-thian Tok ong.

See-thian Tok-ong sudah pernah merasai kelihaian Ciang Le, maka sekarang mendengar kata-kata Kong Ji tentu saja ia lebih suka menghadapi Cam-kauw Sin-kai dan “menyerahkan“ Go Ciang Le kepada bocah she Liok bekas muridnya yang sekarang sudah menjadi seorang pemuda lihai bukan main itu. Atas pertanyaan Kong Ji tadi, See-thian Tok-ong bertukar pandang dengan puteranya dan di lain saat, Kwan Kok Sun telah bertindak menghampiri Cam-kauw Sin-kai. Melihat ini, Liok Kong Ji seperti seorang penjual obat berkata keras kepada para hadirin,

“Inilah dia Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, putera tunggal dari See-thian Tok-ong! Dia tentu saja berhak maju mewakili ayahnya. Eh, pengemis bangkotan, kau berhati- hatilah menghadapi Saudara Kwan Kok Sun ini!“

Sambil tertawa, Kong Ji lalu melompat mundur ke dalam rombongannya sendiri di mana diam-diam ia mengumpulkan tenaga dan mengatur napas agar kelelahannya dalam bertanding tadi dapat diusir dan tenaganya menjadi segar kembali dalam persiapan menghadapi lawan yang lebih berat lagi. Sementara itu, ketika Cam-kauw Sin-kai melihat bahwa lawan yang menghdapinya adalah bocah gundul putera See- thian Tok-ong yang terkenal jahat, segera maju membentak.

“Bocah setan, keluarkan senjatamu!" sambil berkata demikian, Cam-kauw Sin kai menggoyang-goyang tongkatnya dengan sikap seperti orang hendak menggebuk anjing. Ini bukan gerakan biasa karena ini merupakan kuda- kuda dari Ilmu Tongkat Cam-kauw-tung-hwat yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw, terkenal sebagai Ilmu Tongkat Pembunuh Anjing yang sukar dikalahkan.

Kwan Kok Sun menggerakkan hidungnya. “Jembel tua, untuk melawan orang macam engkau saja mengapa mesti mengeluarkan senjata? Kedua tanganku masih kuat untuk merobohkanmu. Majulah“

Bukan main marahnya Cam-kauw Sin-kai mendengar ejekan ini. Ia tadinya sudah segan-segan untuk melawan bocah ini, karena biarpun sudah dewasa, aneh sekali, pemuda gundul ini masih kelihatan seperti seorang anak- anak dari sepuluh tahun. Hanya tubuhnya saja yang besar akan tetapi kedua tangannya kecil, juga mukanya seperti muka anak-anak. Ia segan karena menghadapi Kwan Kok sun, ia seperti hendak bertanding melawan ejekan itu, ia menancapkan tongkatnya ke dalam tanah, lalu melangkah maju membentak.

“Bocah setan, sombong amat kau. Majulah kalau mukamu sudah gatal-gatal ingin ditampar!“

Kwan Kok Sun menyerang dengan kedua kepalan tangannya yang kecil!. Gerakannya kuat dan cepat, mendatangkan desir angin dan tiba-tiba Cam-kauw Sin-kai mencium bau yang amis memuakkan. Ia terkejut sekali dan tahu bahwa sebagai putera See-thian Tok-ong Si Raja Racun, sudah tentu sekali bocah ini pun seorang ahli racun. Hawa pukulan kedua tangannya saja sudah membawa bau racun yang kuat dan berbahaya.

Cepat pengemis sakti ini menyembunyikan tangannya ke dalam lengan baju dan dengan ujung lengan bajunya ia mengebut dan menangkis pukulan pukulan Kwan Kok Sun. Ilmu Silat Cam kauw Kun-hwat memang aneh. Ilmu silat ini diciptakan untuk menghajar orang-orang seperti menghajar anjing, maka gerakan-gerakannya aneh dan anjing yang bagaimana pun galaknya, tentu akan terpukul tunggang langgang dengan ilmu silat ini.

Demikian pula kalau menghadapi lawan manusia, ilmu silat ini amat aneh dan sukar diduga gerakan-gerakannya Giok Seng Cu sendiri ketika menghadapi murid Cam-kauw Sin-kai yakni pemuda Coa Hong Kin, dalam segebrakan saja terkena tamparan di pundaknya oleh pemuda itu yang mempergunakan ilmu Silat Cam-kauw Kun-hoat.

Baru saja bertempur belasan jurus sudah dua kali Kwan Kok Sun kena disentil telinganya oleh Cam kauw Sin-kai dengan ujung lengan baju dan ditampar pundaknya yang membuat pemuda gundul itu terhuyung huyung dan merasa sakit bukan main. Telnganya mengeluarkan darah dan pundaknya serasa retak tulangnya. Ia mengamuk dan tiba-tiba dari jari-jari tangan kiri yang dibuka menyambar sinar hijau. Inilah bubuk racun yang disebarkan ke arah muka Cam-kauw Sin-kai.

Kakek pengemis itu adalah seorang tokoh kang-ouw penggembara yang sudah kenyang makan garam, di samping pengalamannya banyak sekali tentu saja siang siang ia telah mengenal senjata racun ini. Dengan ujung lengan baju dilebarkan ia menggerak-gerakkan kedua tangannya sehingga serangan-serangan racun itu dapat disampok pergi, kemudian sambil berseru keras ia menerjang dengan tendangan berantai. Inilah tendangan That-kauw-soan-hong-twi (Menendang Angin Dengan Tendangan Berputar-putar), sebuah tipu gerakan dalam ilmu Silat Cam-kauw-kunhoat.

Kwan Kok Sun terkejut sekali dan biarpun ia juga memiliki gerakan yang gesit, akan tetapi ia hanya dapat mengelak sampai lima kali tendangan saja. Tendangan ke enam dan ke tujuh dengan tepat mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar ke belakang dan ke dua kakinya menjadi lumpuh, karena biarpun tulang-tulang pahanya tidak sampai patah, akan tetapi daging puhanya menjadi hitam biru dan jalan darahnya tertahan.

Akan tetapi Kwan Kok Sun benar-benar lihai. Setelah terpental, ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, sehingga jatuhnva di atas tanah dalam keadaan duduk. Ketika Cam-kauw Sin-kai mengejar, ia cepat mengangkat kedua tangannya, digerak-gerakkan bergantian ke depan.

Dilihat begitu saja, seakan-akan Kwan Kok Sun merasa takut dan hendak mencegah Cam-kauw Sin-kai turun tangan lebih lanjut atau maksudnva sudah menerima kalah. Demikian pula tadinya disangka oleh Cam-kauw Sin-kai sehingga pengemis sakti ini tidak membuat penjagaan, bahkan hendak maju menghampiri dan menolong bocah itu berdiri.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa ada angin menyambar dari depan menyerang dadanya dengan hebat. Itulah pukulan Hek- tok ciang yang dilancarkan dan jauh dengan mengandalkan lenaga hoat-sut (sihir) dari barat! Cam-kauw Sin-kai tidak sempat mengelak, maka ia cepat mengerahkan tenaga ke dada menolak. Ia berhasil menolak pukulan itu dan cepat melompat ke samping, akan tetapi pakaiannya di bagian dada menjadi hangus dan kulit dadanya terasa gatal-gatal!

“Kurang ajar!“ serunya dan ia telah mengepal tinju hendak memberi hajaran kepada Kwan Kok Sun, akan tetapi tiba-tiba pemuda gundul itu telah lenyap. Ternyata ibunya, Kwan Ji Nio, telah turun tangan menyambar tubuh puteranya. Tentu saja dengan adanya kejadian ini Kwan Kok Sun dianggap kalah.

Cam-kauw Sin-kai cepat mengeluarkan sebutir pel merah dari saku bajunya dan ditelannya. Ini hanya untuk penjagaan kalau-kalau pukulan Hek-tok-ciang tadi mengakibatkan luka di dalam dada. Kemudian ia mcncabut tongkatnya, karena melihat See thian Tok-ong sudah melompat maju untuk menggantikan puteranya yang kalah.

“Cam-kauw Sin-kai, jangan kau sombong karena dapat mengalahkan anak kecil. Inilah lawanmu!“ Sambil berkata demikian, See-thian Tok-ong mengeluarkan senjatanya yang dahsyat, yaitu sepasar Ngo-tok Mo-jiauw (Cakar Setan Lima Racun) yang amat mengerikan.

Akan tetapi Cam-kauw Sin-kai sudah maklum bahwa menjadi calon bengcu berarti menghadapi lawan-lawan berat, maka ia sudah siap menghadapi segala resikonya. Setelah berhadapan, dua orang kakek yang berilmu tinggi ini mulai saling menyerang dengan seru. Pertempuran kali ini lebih sengit daripada tadi. Gerakan See-thian Tok-ong benar-benar luar biasa sekali.

Sepasang cakar setan itu bergerak- gerak aneh, seperti menycrang dengan cara membabi buta, akan tetapi sebetulnya gerakan-gerakan ini menurutkan sistim silat yang aneh dan jarang terdapat di pedalaman Tiongkok. Yang amat berbahaya adalah hawa beracun yang keluar dari sepuluh kuku-kuku panjang dan cakar itu. Setiap cakar mempunyai lima kuku panjang dan lima warna yang mengeluarkan bau keras dan tidak enak lima macam, yang satu lebih hebat dari yang lain. Sekali gurat saja dengan kuku cakar setan ini akan mendatangkan maut!

Baiknya Cam-kauw Sin-kai memiliki Ilmu Silat Cam-kauw-tung-hwat yang juga amat aneh gerakan-gerakannya dan sukar diduga perubahan gerakannya. Juga tongkatnya ternyata amat berbahaya karena setiap serangan merupakan totokan atau tusukan maut. Oleh karena itu, tidak mudah bagi See-thian Tok-ong untuk mengalahkan lawannya dalam waktu singkat. Pertahanan Cam-kauw Sin-kai benar-benar kokoh kuat dan tongkatnya kini meupakan lingkaran yang sukar sekali diterobos.

Pertempuran kali ini berjalan sampai seratus jurus lebih, masing-masing mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, maklum bahwa lawan amat berat dan sekali terkena serangan berarti menghadapi bahaya maut. Akan tetapi tak lama pengemis sakti itu makin terdesak. Yang membuat ia tidak kuat adalah bau dari hawa beracun yang keluar dari Ngo tok Ma-Jiauw itu. Biarpun ia sudah menahan napas dan menarik napas amat hati-hati, tidak urung ia terpengaruh juga oleh hawa beracun itu, yang membuat kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang.

Cam-kauw Sin-kai maklum kalau tidak cepat-cepat dapat merobohkan lawannya, ia akan kalah. Sambil berseru keras ia lalu mainkan jurus-jurus terakhir yang paling hebat dari ilmu silatnya. Tongkatnya melayang-layang turun naik dengan gerakan cepat dan aneh. Biarpun See-thian Tok-ong lihai bukan main, ia menjadi terkejut dan bingung. Tak dapat ia menghindarkan diri ketika tongkat itu menusuk dengan cara tusukan bertubi-tubi yang dimulai dari atas ke bawah.

Sebuah tusukan mengenai pangkal lengan kirinya dan untuk sedetik lengan kiri itu menjadi lumpuh sehingga sebuah senjatanya terlepas dari pegangan. Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, hanya dua tiga detik lebih lambat. Ngo-tok Ngo-jiauw di tangan kanan See-thian Tok-ong berhasil menggurat pundak Cam-kauw Sin-kai!

Kakek pengemis ini merasa pundaknya gatal panas dan seperti ditusuk-tusuk jarum. Cepat ia melompat jauh ke belakang dan begitu ia turun ke tanah, ia lalu mengambil segenggam pil penawar racun yang terus ditelannya! Namun tetap saja ia menjadi limbung dan terpaksa ia duduk di atas tanah, bersila sambil mengerahkan tenaga lweekang untuk mengusir pengaruh racun yang hebat itu.

See-thian Tok-ong mengeluarkan suara ketawa aneh. Tangan kirinya sudah pulih kembali dan kini sepasang Ngo- tok Mo-jiauw sudah dipegangnya dengan sikap menantang. Ta maklum bahwa kakek pengemis itu pasti akan tewas, paling lama dalam waktu dua puluh empat jam lagi.

“Iblis dari barat rasakan pembalasanku!“

Tiba-tiba Coa Hong Kin membentak marah dan pemuda ini mencahut pedang, hendak melompat ke tengah lapangan untuk menuntut balas atas kekalahan suhunya. Akan tetapi sebuah tangan yang amat kuat memegang pundaknya, mencegahnya dan terdengar suara Ciang Le yang tenang dan berpengaruh.

“Dia bukan lawanmu. Biar aku menghadapinya. Tangan kuat yang menahan pundaknya itu terlepas dan tahu-tahu tubuh Ciang Le sudah berada di tengah lapangan menghadapi See-thian Tok-ong. Hong Kin lalu menghampiri suhunya dan dengan bantuan muridnya. kakek pengemis ini berjalan kembali ke dalam rombongannya di mana ia lalu direbahkan d atas rumput dan dirawat oleh Hong Kin dibantu oleh Lie Bu Tek, Hui Lian dan Bi Lan.

Sementara itu, See-thian Tok-ong melihat Ciang Le datang, tanpa banyak cakap lagi segera menyerang dengan Ngo tok Mo-jiauw, menyerang bertubi-tubi dengan sepasang senjata itu. Ciang Le tidak mau berlaku lambat, ia melompat jauh ke kanan untuk menghindarkan diri dan untuk mencabut pedangnya. See-thian Tok-ong sudah pernah merasai kelihatan tangan Ciang Le, maka ia berlaku hati-hati sekali dan dengan penuh perhatian serta pengerahan tenaga dan kepandaian, Raja Racun dari barat ini mulai mendesak Hwa I Enghiong.

Akan tetapi sebentar saja See thian Tok-ong mengeluh di dalam hati. Ilmu pedang dari Hwa I Enghiong benar-benar hebat dan kuat luar biasa. Juga pedang yang digunakan oleh Hwa I Enghiong adalah Kim-kong kiam, pedang yang mengeluarkan sinar emas seperti pedang Pak kek Sin-kiam, akan tetapi sinar pedang Pak-kek Sin-kiam lebih putih dan lebih gemilang. Biarpun demikian pedang Kim kong-kiam termasuk pedang pusaka yang ampuh dan kuat.

Dahulu ketika untuk pertama kali bertemu dengan Ciang Le, biarpun See-thian Tok-ong memegang Pak-kek Sin-kiam, masih saja ia tidak dapat merobohkan Ciang Le, yang bertangan kosong, maka tentu saja ia sudah cukup maklum akan kelihaian ilmu silat dari Hwa I Enghiong. Akan tetapi sekarang lain lagi keadaannya, See-thtan Tok-ong memegang sepasang senjatanya yang diandalkan, yaitu Ngo-tok Mo-jiauw dan dalam hal ilmu silat dengan Ngo-tok Mo-jiauw sesungguhnya Raja Racun ini jauh lebih lihai daripada kalau ia menggunakan senjata lain.

Ia telah mencipta ilmu silat yang khusus untuk mainkan sepasang senjata yang mengerikan itu. Dan di samping ini, betapapun lihai Hwa I Enghiong Go Ciang Le, seperti Cam-kau Sin-kai tadi ia pun mulai terkena pengaruh bau senjata aneh Ngo-tok Mo-jiau tadi.

“Celaka,“ pikir Ciang Le sambil memutar pedang Kim-kong-kiam lebih hebat lagi. “aku harus cepat-cepat merobohkanya!“

Setelah mengambil keputusan ini dan melihat kesempatan, Ciang Le lalu menyerang dengan Ilmu Pedang Pak-kek Kiam-hoat bagian yang paling lihai. Pedangnya berkelebat mengancam dari atas seperti burung elang menyambar- nyambar kepala mengeluarkan angin dan suara mendesing-desing mengerikan.

See thian Tok-ong terkejut sekali, tahu bahwa serangan ini merupakan ancaman maut yang dapat memenggal leher atau memecahkan kepalanya, maka ia lalu mengerahkan dan menggunakan sepasang Ngo-tok Mo-jiauw untuk melindungi kepala dengan memutarnya seperti kitiran cepatnya. Akan tetapi tiba-tiba Ciang Le berseru.

“Pergilah!“

Tubuh See-thian Tok ong yang besar itu terlempar seperti batang pohon dilontarkan angin kuat. Inilah kehebatan jurus Ilmu pedang yang dimainkan oleh Ciang Le tadi. Nampaknya hebat dan dahsyat menyerang kepala, tidak tahunya kelihaiannya terletak pada serangan lanjutan yang dilakukan oleh kaki!

Ternyata bahwa pedang yang menyambar-nyambar tadi hanya pancingan belaka agar lawan yang bagaimana kuat pun akan melindungi kepalanya dan kurang memperhatikan tubuh bagian bawah. Oleh karena itu, dengan mudah Ciang Le dapat menendang perut See-thian Tok-ong sehingga tubuh Raja Racun itu terlempar jauh!

Akan tetapi Ciang Le juga terkena pengaruh hawa beracun sehingga mukanya agak pucat. Baiknya tendangannya tadi kuat sekali sehingga betapapun kuat tubuh See-thian Tok-ong, tendangan itu telah mendatangkan luka di dalam perutnya dan tidak memungkinkan Raja Racun ini bertempur terus. Maka tentu saja dianggap kalah dan gagal dalam pemilihan bengcu. Orang-orang yang berpihak kepada Hwa I Enghiong bersorak menyambut kemenangan ini. See-thian Tok-ong dirawat oleh delapan orang kawannya, para busu yang menyamar.

“Hwa l Enghiong jahanam..." tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat luar biasa dan tahu-tahu Kwan Ji Nio sudah menyerangnya dengan ranting bambu, menotok matanya.

Ciang Le melompat jauh ke belakang ia ragu-ragu, karena selain kepalanya masih pening akibat pengaruh hawa beracun dari Ngo-tok Mo-jiauw, juga ia merasa segan-segan untuk melayani seorang wanita.

“Mengasolah!“ tiba-tiba ia mendengar suara bisikan isterinya yang tahu-tahu telah berada di dekatnya. Ciang Le mundur, dan kini Bi Lan menghadapi Kwan Ji Nio. Dua orang tokoh wanita yang berilmu tinggi saling berhadapan, bagaikan dua ekor singa betina hendak saling terkam.

“Kwan Ji Nio, benar-benar girang sekali hatiku dapat bertemu dengan engkau di sini. Akan puas hatiku dapat melanjutkan pertandingan yang dahulu.“

Memang kurang lebih sembilan tahun yang lalu, dalam perebutan Pak-kek Sin-kiam, pernah Kwan ji Nio bertempur melawan Liang Bi Lan dan See-thian Tok-ong bertanding melawan Go Ciang Le, sedangkan Kok Sun bertempur menghadapi Go Hui Lian yang ketika itu, sebagaimana dapat diikuti dalam cerita bagian depan, tidak dilanjutkan karena Ciang Le, menawan Kok Sun dan memaksa suami isteri dari barat itu mengembalikan pedang unuk ditukar dengan Kok Sun.

Sekarang dua orang wanita kosen itu berhadapan lagi. Keduanya sama usianya, kurang lebih empat puluh tahun, sama cantiknya dan sama ramping tubuhnya. Akan tetapi sikap Bi Lan nampak jauh lebih gagah.

“Kau menggantikan suamimu untuk menjenguk neraka! Baik, bersiaplah untuk mampus!“ bentak Kwan Ji Nio yang serentak mengirim serangan bertubi-tubi dengan rantingnya.

Gerakannya cepat bukan main karena nyonya ini adalah ahli ilmu meringankan tubuh yang disebut Te in-hang (Lompatan Tangga Awan) sehingga ketika ia bergerak dalam serangan-serangannya, tiada ubahnya seperti seekor burung walet menyambar-nyambar. Kedua kakinya seperti tak pernah menyentuh tanah.

Bi Lan mengeluarkan suara ketawa mengejek dan di lain saat nyonya ini pun lenyap dari pandangan mata. Hanya sinar pedangnya saja yang nampak, menjadi gulungan sinar yang bundar, dan kedua kaki yang kadang-kadang kelihatan menyentuh bumi menyatakan bahwa nyonya ini masih ada di dalam bungkusan gulungan sinar pedang itu! Kali ini Kwan Ji Nio menemui batu keras! Kali ini ia menjumpai tandingan yang juga seorang ahli ginkang luar biasa.

Bi Lan telah mendapat latihan ginkang dari orang aneh, sepasang tosu kembar bernama Thian-te Siang-mo yang memiliki ginkang luar biasa (baca Pendekar Budiman). Dahulu ketika masih muda, Bi Lan telah dijuluki orang Sian- li Eng-cu (Bayangan Bidadari) karena memang gerakannya amat cepat sehingga kalau ia bergerak, yang kelihatan hanya bayangannya saja.

Kali ini pertempuran benar-benar hebat, mengalahkan kehebatan pertempuran yang lalu. Hal ini memang tidak aneh, karena keduanya adalah ahli-ahli gin-kang yang kepandaiannya sudah memuncak, maka dalam pertempuran ini, orang-orang hanya melihat gulungan sinar pedang dan gulungan sinar ranting yang saling belit dan saling tindih menjadi satu sukar diketahui mana yang lebih kuat.

Delapan puluh jurus telah lewat dan pertempuran makin memuncak saking ramainya. Hui Lian berdiri menonton sambil meremas-remas tangannya. Ta merasa meyesal mengapa tidak dia saja yang tadi menggantikan ayahnya. Ta khawatir kalau-kalau ibunya akan kalah, sungguhpun ia dapat melihat betapa ibunya kini medesak hebat kepada Tawannya.

Kalau dia yang maju, Hui Lian merasa pasti dapat merobohkan Kwan Ji Nio, paling lama dalam pertandingan lima puluh jurus. Biarpun masih kalah hebat dalam ginkang oleh ibunya akan tetapi dalam ilmu pedang, kiranya ia masih lebih mahir daripada ibunya. Tni adalah karena dia telah mempelajari Pak-kek Kiam-sut sedangkan ibunya tidak.

Akan tetapi ketika memperhatikan lagi, Hui Lian menarik napas lega. Tbunya pasti menang, dan benar saja, terdengar jerit kesakitan, ranting terlempar jatuh dan tubuh Kwan Ji Nio melompat ke ke belakang. Ta jatuh dengan kedua kaki di atas tanah, terhuyung huyung dan darah mengucur dari pahanya. Cepat Kong Ji menyuruh ahli-ahli pengobatan rombongannya merawat. Sejak tadi pun ia sudah menyuruh kawan-kawannya merawat See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun.

See-thian Tok-ong yang melihat pihaknya kalah semua, tentu saja menerima baik bantuan pemuda ini karena setelah dia dan anak isterinya kalah, paling baik sekarang menjagoi Kong Ji dan membantunya! Demikianlah sifat orang jahat. Mudah berubah, penjilat, dan pengecut. Selalu memilih tempat untuk keuntungannya sendiri tanpa memperdulikan kegagahan, keadilan, dan kejujuran.

Kini dari pihak Liok Kong ji muncul Giok Seng Cu. ”Aku mewakili Tung-nam Tui-bengcu,” katanya dengan suara kasar, “sekarang calon yang masih ada hanyalah Tai bengcu dan Go Ciang Le. Semenjak dahulu, Hwa I Enghiong hanya nienyembunyikan diri saja, mengapa sekarang tiba-tiba muncul hendak menduduki kursi bengcu? Apakah dia benar-benar begitu ingin menjadi bengcu?” Ucapan Giok Seng Cu ini penuh sindiran, membuat Bi Lan marah sekali.

“Giok Seng Cu, suamiku mengingini kedudukan bengcu masih tidak begitu memalukan, tidak seperti engkau yang begitu merendahkan diri menjadi kaki tangan seorang penjahat muda yang pernah menjadi muridmu. Di manakah kulit mukamu? Ketahuilah, suamiku tidak begitu ingin menjadi bengcu, hanya karena pilihan orang lain maka terpaksa ikut dalam lomba ini. Akan tetapi bukan semata-mata untuk meramaikan pemilihan, melainkan semata-mata untuk menghadapi manusia-manusia jahat yang hendak mempergunakan kepandaian menduduki kursi bengcu!“

Giok Seng Cu tersenyum mengejek “Bi Lan, kau masih saja bermulut besar seperti dulu. Pergilah dan biarkan suamimu yang maju!“ Giok Seng Cu melakukan tantangan ini karena ia melihat Hwa I Enghiong Go Ciang Le masih bersila sambil meramkan mata mengira bahwa CiangLe masih terluka dan karenanya iato bera ni menantang.

“Untuk melayani manusia rendah macam engkau saja, cukup dengan pedangku. Majulah!“ kata Bi Lan sambil menyerang.

Terjadi pertempuran hebat yang ke lihatannya berat sebelah karena Giok Seng Cu hamya bertangan kosong. Akan tetapi pada hakekatnya, kakek rambut pandang inilah yang mendesak Bi Lan dengan pukulan- pukulan Tin-san-kang. Sedangan pedang Bi Lan cukup ia layani dengan kibasan kedua lengan bajunya saja, sedangkan pukulan-pukulan Tin-san-kang dari jarak jauh membuat Bi Lan kewalahan. Nyonya ini baiknya memiliki kegesitan luar biasa sehingga dapat mengelak ke sana ke mari, hanya hawa pukulan saja yang menyerempet dan membuat pakaiannya berkibar-kibar. Akhirnya Bi Lan tak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi, ia bertempur sambil mundur.

“Ibu, kau sudah lelah. Biar aku menggantikanmu!” tiba- tiba terdengar bentakan nyaring dan Hui Lian sudah menyerang Seng Cu dengan pedangnya, sedangkan Bi Lan lalu melompat mundur untuk beristirahat karena ia betul betul lelah menghadapi Giok Seng Cu yang lihai.

Sebelum tertangkap oleh Kong Ji, Hui Lian sudah bertempur melawan Giok Seng Cu dan telah melukai kulit lengannya dengan ujung pedangnya. Oleh karena inilah gadis itu menjadi berani dan besar hati menghadapi Giok Seng Cu yang dianggapnya bertenaga besar akan tetapi tidak memiliki kepandaian tinggi.

la tidak tahu bahwa ketika melawannya sampai tergores pedang kulit lengannya, Giok Seng Cu tidak melawannya dengan sungguh-sungguh. Kakek ini tidak berani melukainya seperti yang dipesan oleh Kong Ji dan dalam pertempuran seperti itu, Giok Seng Cu hanya mengelak dan tak pernah menyerangnya. Serangan satu-satunya yang diajukan selalu hanyalah usaha untuk menangkapnya hidup-hidup tanpa melukai dirinya. Tentu saja dalam pertempuran seperti itu, Giok Seng Cu tidak dapat mengeluarkan semua kepandaiannya dan karena itulah ia sampai terluka oleh goresan pedang Hui Lian.

Akan tetapi sekarang lain lagi. Mereka berada di gelanggang pertempuran yang sungguh-sungguh dan tak terdengar perintah sesuatu dari Kong Ji. Oleh karena inilah Giok Seng Cu lalu menyerang dengan sepenuh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya. Hui Lian terkejut dan cepat-cepat melakukan perlawanan sengit.

Kong Ji berdiri tegak dengan hati tak enak. Tadi ia sudah terkejut sekali melihat munculnya Hui Lian dan Coa Hong Kin yang ternyata telah ditolong oleh Wan Sin Hong. Gagallah rencananya unmemaksa Ciang Le dengan mengancam Hui Lian yang sudah tertawan. Sekarang ia melihat gadis itu melakukan perlawanan sengit terhadap Giok Seng Cu, benar-benar hatinya tidak enak sekali. la dapat meramalkan bahwa nona itu pasti akan kalah oleh Giok Seng Cu.

Hal ini memang tidak apa-apa baginya, akan tetapi ia tahu betul akan silat kepandaian Giok Seng Cu. Kakek ini mengandalkan kelihaiannya semata-mata atas kemahiran ilmu silat dan senjatanya yang ampuh adalah Pukulan Tin-san-kang. OLeh karena setiap orang lawan dari kakek ini kalau kalah tentu akan roboh terkena pukulan Tin-san-kang dan ini berarti lima bagian tewas, tiga bagian terluka berat di dalam tubuh dan hanya dua bagian masih ada harapan hidup!

Bagi Kong Ji, kalau sampai Hui Lian tewas memang tidak apa-apa. Akan tetapi di dalam hati kecilnya ada rasa sayang kepada bekas sumoinva ini dan ia tidak tega kalau melihat Hui Lian tewas. Apalagi ia tahu bahwa kalau hal ini terjadi, permusuhan dengan pihak Hwa I Enghiong akan menjadi makan besar dan selamanya ia takkan merasa aman lagi. Dengan orang seperti Go Ciang Le itu lebih aman bersahabat daripada bermusuh, lebih baik menjadi kawan daripada menjadi lawan. Setidaknya jangan menanam rasa permusuhan besar dan dendam yang melahirkan pembalasan-pembalasan.

Diam-diam Kong it mengeluarkan suatu dari saku bajunya dan memandang ke arah pertempuran dengan penuh perhatian. Saat yang dikhawattrkan tiba. Ketika nona itu menyerang dengan pedangnya secara cepat sekali. Giok Seng Cu membuang diri ke kiri, terus bergulingan di atas tanah. Ini merupakan pancingan yang hanya dimengerti oleh Kong ji. Akan tetapi Hui Lian mengira bahwa ia telah dapat mendesak, maka dengan hati besar ia mengejar.

Tiba-tiba Giok Seng Cu membalikkan tubuh dan selagi tubuhrnya masih mendekam, ia mengirim pukulan Tin-san kang ke arah Hui Lian! Inilah hebatnya pancingan itu. Pukulan Tin-san-kang memang dilakukan dengan tubuh merendah, makin rendah makin kuatlah pukulan itu, maka dalam bergulingan Giok Seng Cu selain memancing lawan datang mengejar, juga dapat mengatur kedudukan yang amat baik untuk melakukan pukulan tiba-tiba.

Hui Lian melihat ini dan mengerti namun terlambat. Ketika ia mengelak angin pukulan Tin san-kang sudah menghantamnya biarpun ia sudah mengelak, pundaknya masih terdorong, membuat ia terguling! Giok Seng Cu mengeluarkan seruan girang, melompat dan mengejar, bermaksud mengirim pukulan ke dua yang tentu akan mematikan gadis itu. Terdengar Bi Lan menjerit dan Ciang Le menahan napas. Tentu saja kalau mereka mau, mereka dapat menyerang Giok Seng Cu, akan tetapi ini bukanlah laku orang gagah. Mereka ini lebih baik kehilangan puteri daripada harus melanggar peraturan kang-ouw.

Pada saat Giok Seng Cu memukul, kakek ani berteriak kesakitan mengurungkan pukulannya, bahkan ia sendiri terhuyung-huyung lalu berlari mendekati Kong Ji. Di pundaknya telah menancap tiga batang Hek-tok-ciam (Jarum racun Hitam) yang dilepas oleh Kong Ji dalam usahanya menolong Hui Lian.

Dengan muka sebentar pucat sebentar merah Hui Lian kembali ke rombongannya. Kong Ji setelah mengobati pundak Giok Seng Cu, lalu melompat ke tengah lapangan. Ciang Le juga melompat menghadapinya dengan Hwa I Enghlong berkata singkat.

“Kami telah berhutang nyawa anak kami kepadamu.“

Kong Ji menjura dengan hormat. “Harap maafkan Giok Seng Cu Suhu yang lancang tangan. Memang tidak sedikit pun aku mempunyai maksud bermusuhan denganmu. Kalau saja kau suka mengalah dan membiarkan aku menduduki kursi bengcu, bukankah ini berarti saling menolong dan menghindarkan pertandingan pertandingan yang membahayakan nyawa?”

Ciang Le tak dapat menjawab. ia bingung sekali. Ia memang harus membela kedudukan bengcu agar jangan terjatuh dalam tangan orang seperti Kong Ji. Akan tetapi di lain pihak, sebagai seorang gagah ia harus ingat budi. Betapapun jahatnya Kong Ji, baru saja tak dapat disangkal bahwa tanpa pertolongan Kong Ji yang mengorbankan pembantunya sendiri sampai dilukainya, sudah dapat ditentukan nyawa Hui Lian melayang di tangan Giok Seng Cu. Budi menolong nyawa adalah budi besar, hanya dapat dilunasi dengan menolong nyawa pula. Ciang Le berdiri bengong, kagum dan juga ngeri menyaksikan kelicikan dan kepintaran Liok Kong Ji. Bocah ini benar-benar seorang iblis yang kelak akan membahayakan dunia.

Pada saat itu, terdengar suara orang-orang yang hadir di situ dan semua mata memandang ke satu jurusan. Tentu saja Kong Ji dan Ciang Le juga tertarik dan mereka ikut menoleh. Kong Ji mengeluarkan seruan marah dan kaget sedangkan Ciang Le terheran-heran ketika melihat siapa yang datang itu.

Dengan sikap gagah dan senyum yang menambah cantiknya. Siok Li Hwa berjalan diikuti oleh pasukannya dan di sampingnya berjalan seorang pemuda membikin kaget, marah, dan heran semua orang. Pemuda itu yang berjalan dengan sikap tenang dan sederhana, sepeti juga sederhananya pakaiannya, bukan lain adalah Wan Sin Hong.

Kong Ji kaget setengah mati hampir ia tak dapat mempercayai kedua matanya sendiri. Wan Sin Hong sudah menjadi korban jarum Hek-tok-ciam dan jarum hijau dari Li Hwa, bagaimana sekarang datang lagi dalam keadaan segar dan sehat? Dan mengapa sekarang berjalan dalam suasana persahabatan dengan Li Hwa? Hatinya berdebar tidak karuan dan ia merasa tidak enak.

Sebaliknya, Ciang Le tidak heran melihat Wan Sin Hong dalam keadaan masih hidup dan sehat karena ia sudah mendengar dari Lian tadi siapa adanya orang yang terkena jarum-jarum yang dilepas oleh Kong Ji dan ketua Hui-eng-pai. Ia hanya heran melihat Wan Sin Hong berani muncul di tempat itu.

Bagaimanakah Wan Sin Hong yang tadinya sudah roboh oleh jarum rahasia dan dibawa pergi tubuhnya oleh seorang aneh yang bermuka merah dan dikejar oleh Li Hwa, kini datang dalam keadaan sehat bersama Siok Li Hwa? Mengapa mereka tidak kelihatan bermusuhan dan kemanakah perginya Si Muka Merah yang aneh tadi? Baiklah kita mengikuti pengalaman Hui-eng Niocu Siok Li Hwa ketika melakukan pengejaran kepada Wan Sin Hong yang dipondong pergi oleh manusia muka merah yang aneh...

Pedang Penakluk Iblis Jilid 29

Pedang Penakluk Iblis Jilid 29

AKAN tetapi tiba-tiba seorang di antara para anggauta Kwan-cin-pai itu, seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, diam-diam mendekati Hui Lian dan Hong Kin. Ketika dua orang muda itu memandang, mereka merasa terkejut, heran, dan juga girang. Pemuda itu segera diam-diam lalu menggunakan sebatang pisau pendek yang amat tajam untuk membabat putus tali pengikat pergelangan, tangan mereka dan dalam sekejap mata bebaslah Hui Lian dan Hong Kin.

Dua orang muda yang berkepandaian tinggi ini lalu mengerahkan lweekang dan dengan jari tangan sendiri dapat membebskan totokan. Pada saat itu, Kong Ji tengah melancarkan serangan-serangan yang amat menghina kepada Ciang Le dan menghina nama baik Gak Soan Li semau-maunya. Mendengar dan melihat ini Hui Lian berbisik. “Celaka, nama Ayah akan tercemar...“

“Biar aku menolongnya...“ kata Hong Kin cepat-cepat. Mereka bertiga lalu menggunakan kesempatan selagi semua orang menonton perang kata-kata yang menegangkan menerobos keluar dari barisan dan Hong Kin lalu mengeluarkan kata-kata pengakuan bahwa dialah suami Soan Li!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, munculnya Hui Lian, Hong Kin dan pemuda yang menolong mereka yang kemudian ternyata Wan Sin Hong menimbulkan kegemparan. Seperti telah kita ketahui semua, Wan Sin Hong terkena serangan jarum-jarum rahasia dari Siok Li Hwa dan Liok Kong Ji sehingga roboh akan tetapi muncul manusia aneh bermuka merah darah yang menyambar tubuh wan Sin Hong dan lenyap dari situ!

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Setelah berhasil melukai Wan Sin Hong dengan jarum- jarumnya, Kong Ji dan Siok Li Hwa merasa heran dan penasaran sekali. Orang aneh muka merah tadi telah menolak serangan pedang mereka hanya dengan hawa pukulan dan kini orang aneh itu telah membawa lari tubuh Wan Sin Hong. Kong Ji yang melihat jarum beracun Hek-tok-ciam telah mengenai tepat tubuh Wan Sin Hong dan merobohkan pemuda yang paling ditakutinya itu, menjadi lega.

Dia tadinya kaget setengah mati melihat munculnya Wan Sin Hong. Bagaimana pemuda itu dapat muncul? Demikian ia bertanya-tanya dengan hati ngeri karena ia maklum bahwa kepandaian Wan Sin Hong amat tinggi. Maka melihat betapa semua orang memusuhi Sin Hong bahkan betapa Sin Hong telah roboh oleh jarum-jarumnya dan jarum-jarum yang dilepas oleh Siok Li Hwa, ia menjadi lega dan tidak mau mengejar. Apalagi karena ia menyaksikan betapa orang aneh bermuka merah yang ia belum tahu siapa adanya itu benar-benar tangguh dan lihai, maka ia menyerahkan pengejaran kepada Siok Li Hwa.

Memang Ketua Hui-eng-pai ini merasa penasaran sekali melihat Wan Si Hong musuh besarnya dilarikan orang aneh bermuka merah. Kalau belum membunuh Wan Sin Hong dan membawa kepalanya, hati Siok Li Hwa belum puas. Nama baik Hui-eng-pai telah dicemarkan hal ini baru satu kali terjadi selama ia hidup, maka Wan Sin Hong harus dibunuhnya!

Sambil membentak keras Siok Li Hwa mengejar orang aneh bermuka merah yang lenyap ke jurusan barat puncak. Para anak buahnya cepat-cepat mengejar sehingga mereka itu kelihatan seperti sekelompok garuda putih beterbangan turun gunung! Sementara itu Hui Lian yang memeluk ibunya, secara singkat lalu menceritakan semua pengalamannya yang terakhir. Karena tidak ada kesempatan dan waktu, Hui Lian hanya menceritakan yang paling penting saja, terutama yang berhubungan dengan keadaan di situ.

“Ibu dan Ayah, Saudara Coa Hong Kin tadi sengaja mengaku sebagai suami Suci, untuk membersihkan muka kita...“

Ciang Le menjadi girang sekali dan memandang ke arah Hong Kin yang bercakap-cakap perlahan dengan gurunya, memandang dengan penuh terima kasih. Sementara itu atas perintah Cam-kauw sin-kai, Hong Kin lalu memberi hormat kepada Ciang Le dan Bi Lan, juga kepala Lie Bu Tek. Adapun Cam-kauw Sin-kai sendiri dengan suara lantang tertawa dan berkata,

“Cuwi Enghiong yang hadir di sini semua menjadi saksi betapa besar kebohongan manusia she Liok! Dia tadi membuka mulut kotornya memburuk-burukkan dan menghina nama baik Hwa I Enghiong dan muridnya. Sekarang ternyata kata-katanya itu bohong belaka. Nona Gak Soan Li ada suaminya!“

Tai Wi Siansu cepat mencegah dilanjutkannya percekcokan karena sebagai pemimpin permilihan bengcu. ia berkewajiban untuk segera menyelesaikan tugasnya yang banyak terhalang oleh percekcokkan tadi.

“Saudara sekalian harap suka bersabar dan harap menghentikan segala caci maki satu kepada yang lain. Sekarang kita lanjutkan tentang pemillhan bengcu, diambil dan tujuh orang calon-calon tadi. Seperti sudah lajim dalam pemilihan bengcu, harap para calon sekarang membuktikan bahwa dia memang patut menjadi bengcu karena kepandaian silatnya. Dan oleh karena itu pinto sendiri di luar kehendak pinto telah dipilih menjadi calon bengcu, maka terpaksa pimpinan pinto serahkan kepada wakil pinto, yakni Bu Kek Siansu ciangbunjin dari Butong pai! Dan untuk mempersingkat waktu, pinto sendiri mempelopori para calon bengcu, dan pinto bersiap sedia mencoba kepandaian seorang di antara para calon.“

Setelah berkata demikian, Tai Wi Siansu yang sudah tua itu lalu melompat ke tengah lapangan dan menanti datangnya seorang di antara calon bengcu yang hendak memperlihatkan kepandaian. Sebetulnya, Ketua Kun-lun-pai yang sudah lanjut usianya ini tentu saja tidak mempunyai nafsu untuk menjadi bengcu.

Akan tetapi, untuk memperkuat pihak yang disukainya, dan pula melihat bahwa di antara para calon terdapat orang- orang seperti Liok Kong Ji dan See-thian Tok-ong, ia tentu saja tidak rela kalau sampai kedudukan bengcu dipegang oleh seorang di antara mereka ini dan daripada kedudukan bengcu dipegang oleh See-thian Tok-ong, lebih baik dia pegang sendiri!

Ia tahu pula bahwa dalam pemilihan bengcu, pasti akan terjadi adu tenaga, dengan masuknya menjadi calon bengcu, berarti ia memperkuat tenaga pihak yang disukainya. Kalau saja ia melihat bahwa para calon itu semua memenuhi syarat dan mencocoki hatinya, tidak nanti ia mau dipilih sebagai calon! Melihat majunya Tai Wi Siansu, tentu saja para calon seperti Cam-kauw Sin-kai dan Hwa I Enghiong Go Ciang Le tidak mau maju untuk melayani kakek itu mengukur kepandaian.

Bagi Cam-kauw Sin-kai dan Go Ciang Le, kalau kedudukan bengcu itu diserahkan kepada Tai Wi Siansu, mereka tidak akan membantah seperti halnya Tai Wi Siansu sendiri tentu tidak akan membantah kalau yang dipilih sebagai bengcu itu Cam-kauw Sin-kai atau Go Ciang Le. Dua orang calon yang tadi disebut Siok Li Hwa dan Wan Sin Hong tidak berada di situ dan kini tmggal dua orang calon yang lain, yakni Liok Kong Ji dan See Thian Tok-ong.

See-Thian Tok-ong hendak melompat maju menghadapi Ketua Kun-lun-pai akan tetapi Kong Ji sambil tertawa mencegahnya. “See-thian Tok-ong, mengapa terburu-buru? Tidakkah kau dapat melihat bahwa mereka itu semua bersekongkol? Lihat, aku berani bertaruh bahwa Hwa I Enghiong dan Cam- kauw Sin-kai tidak nanti mau maju menghadapi Tai Wi Siansu. Kau lihat sajalah dan jangan terburu-buru maju.“

See-thian Tok-ong memang orang yang kurang pedulian, maka ia tadi tidak mempedulikan keadaan, sehingga ia tidak memikirkan sejauh itu. Sekarang mendengar kata-kata Kong Ji, ia menunda niatnya dan benar-benar ia menanti. Memang apa yang dikatakan oleh Kong Ji ini benar belaka. Betapapun juga, tak nanti Ciang Le dan Cam-kauw Sin-kai mau maju menghadapi Tat Wi Siansu untuk bertanding ilmu.

Melihat ini See-thian Tok-ong sudah hilang sabar dan hendak maju pula. Akan tetapi Kong Ji sudah mendahuluinya, menyuruh seorang pembantunya untuk maju. Orang ini adalah seorang kakek tua yang bongkok kurus, kepalanya besar, rambutnya jarang dan putih sedang kulit mukanya kerut-merut jelek sekali.

Ia memegang sebatang tongkat bambu dan dari belakang pundaknya tersembul gagang pedang yang ujungnya berukirkan kepala setan yang menakutkan dan ronce-roncenya berwarna hitam. Dengan langkah sembarangan orang ini telah menghadapi Tai Wi Siansu, menyeringai sambil berkata dengan suaranya yang parau seperti suara burung gagak.

“Tai Wi Siansu, sudah lama sekali aku mendengar akan nama besar Ketua Kun-lun-pai yang katanya memiliki ilmu pedang yang tinggi sekali. Kebetulan hari ini aku mendapat kehormatan bertemu muka dan siapa kira kau yang sudah begini tua masih menginginkan kedudukan bengcu. Akan tetapi malah kebetulan, karena dengan demikian aku mendapat kesempatan untuk merasai kehebatan ilmu pedangmu. Bukankah setiap orang yang hadir berhak menguji kepandalan calon bengcu?“ Setelah berkata demikian, ia tertawa terbahak-bahak.

Melihat kakek ini, Tat Wi Siansu dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang pandai, akan tetapi karena belum mengenalnya, Tat Wi Siansu lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan bertanya.

“Sahabat siapakah? Dari golongan mana dan siapa nama sahabat yang terhormat?“ Sebagai seorang ciangbunjin (ketua) partai besar. Tai Wi Siansu tentu saja tidak mau mengadu kepandaian dengan seorang lawan yang tidak ternama. tentu Tai Wi Siansu akan mundur dun menyuruh murid saja untuk melawannya.

Kakek yang buruk rupa itu mengeluarkan suara menyindir. “Hemm, tentu saja Ketua Kun-lun-pal yang bernama besar tidak mengenal kepada seorang rendah seperti aku. Aku adalah Ketua Kwan-cin-pai dan tinggal di An-hwei.“

Tat Wi Siansu terkejut. “Aha, kiranya pinto berhadapan dengan Mo-kiam Siang koan Bu, jago nomor satu dan Propinsi An-hwei! Kau mau bermain-main dengan pinto? Marilah!“

Kakek buruk rupa itu memang Mokiam siangkoan Bu Ketua Kwan-cin-pai yang sudah menjadi pengikut Kong Ji. Pemuda ini belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian Tai Wi Siansu, maka ia tidak mau maju sendiri. Sebagai seorang calon bengcu atau bahkan seorang bengcu dari timur dan selatan, ia harus memegang harga diri.

Maka ia memberi tanda kepada Mokiam Siangkoan Bu untuk mencoba kepandaian kakek Kun-lun-pai itu sebelum ia sendiri turun tangan. Memang Kong Ji adalah seorang sang amat licik dan ia telah mengatur siasat rendah. Kawan-kawannya yang memiliki kepandaian tinggi cukup banyak, di antaranya adalah Siangkoan Bu sendiri, lalu ada di situ

Siang-pian Giam-ong Ma Ek Ketua Bu cin-pai, Sin houw Lo Bong Ketua Shan si-kai-pang, Twa-to Kwa Seng Ketu Twa-to Bu pai, ada pula Giok Seng Cu tangan kanannya, dan masih ada beberapa orang gagah dan Siauw-lim-pai. Go bi-pai, Heng-san-pai dan Hoa-san-pai. Ta hendak menggunakan tenaga orang-orang ini untuk menghadapi para calon bengcu yang lain.

Kalau sampai mereka semua ini kalah dan ia sendiri kiranya takkan dapat kemenangan, masih ada jalan lain, yakni melakukan pengeroyokan! Untuk keperluan ini di belakangnya sudah ada seribu lebih orang dari partai pendukungnya yang pada saat itu sudah berkumpul di sekitar puncak Ngo-heng-san! Bahkan masih mengharapkan munculnya Nalumei bersama pasukannya.

Mo-kiam Siangkoan Bu yang melihat bahwa Tai Wi Siansu sudah bersikap sedia dengan sebatang pedang tipis ditangan, lalu mengeluarkan suara meringkik seperti kuda dan cepat melakukan serangan pertama dengan tongkat bambunya. Tongkat ini ditusukkan ke arah mata Tai Wi Siansu dengan gerakan cepat.

Ketua Kun-lun-pai diam-diam marah dan mendongkol. Kalau ia diserang dengan pedang, itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi diserang dengan sebatang bambu, inilah penghinaan namanya! Pedang tipis di tangannya bergerak sedikit dan bambu di tangan Siangkoan Bu putus ujungya begitu bertemu dengan pedang, sedikit pun tidak mengeluarkan suara.

Akan tetapi, ternyata kemudian bahwa memang inilah semacam gerak tipu dari Siangkoan Bu karena begitu bambu terbabat, bambu ini terus saja langsung melakukan serangan menusuk ulu hati! Tadi memang sengaja ia “menyerahkan“ bambunya untuk dibabat, hanya ketika pedang lawan membabat ia miringkan bambu sehingga bambu itu kini menjadi runcing sekali dan tahu-tahu ia pergunakan untuk menusuk dada.

Senjata bambu ini tak boleh dipandang ringan, karena batang bambu yang kosong ini kalau terisi oleh hawa lweekang dari pemegangnya, bambu ini berubah menjadi senjata yang ampuh dan kuat, dan dalam penggunaan dalam serangan menusuk ini tidak kalah berbahayanya oleh senjata tajam dan runcing lain dari baja. Hebatnya, selagi bambu ini masih menusuk, tangan kiri Siangkoan Bu sudah bergerak ke pundak dan di lain saat, sebatang pedang dengan sinar kebiruan telah meluncur cepat menyusul serangan bambu, melakukan serangan ke dua dan menusuk lambung!

“Bagus!“ Tat Wi Siansu sendiri yang juga seorang ahli pedang dan Kun lunpai, memuji gerakan lawan ini yang memang benar-benar amat cepat indah dan berbahaya. Ketua Kun-lun-pai ini setelah menangkis bambu, cepat miringkan tubuh sehingga dua serangan sekaligus itu dapat dihindarkan. Kemudian tanpa memberi kesempatan kepada lawan, ia lalu membalas dengan penyerangan membabat dari kiri ke kanan dengan pedangnya.

Siangkoan Bu menangkis, dua pedang bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya melompat mundur untuk melihat pedang masing-masing. Mereka merasa lega melihat pedang masing-masing tidak rusak oleh pertemuan yang keras tadi tanda bahwa pedang mereka berimbang dalam kekuatannya.

Pedang di tangan Tai Siansu adalah sebatang pedang pusaka Kun-lun-pai biarpun amat tipis namun terbuat dari pada baja putih yang kuat sekali. Besi biasa saja dapat terputus dengan mudah oleh pedangnya. Di lain pihak, pedang di tangan Siangkoan Bu diberi nama Mo-bin-kiam (Pedang Muka Iblis), terbuat dari logam berwarna kebiruan yang amat keras dan juga pedang ini tajam sekali, cukup kuat untuk membuat putus logam-logam lain.

Dalam detik-detik selanjutnya dua orang kakek kosen ini sudah bertempur sengit. Sepasang pedang itu bergulung- gulung merupakan sinar berwarna putih dan biru, amat indah dipandang dan mendebarkan hati karena tegangnya. Semua orang tahu bahwa dalam permainan yang indah kelihatannya ini bersembunyi tangan-tangan maut yang setiap waktu dapat mencabut nyawa seorang di antara kedua pemainnya.

Kepandaian Siangkoan Bu memang tinggi. Tidak saja ia memiliki tenaga lweekang yang sudah tinggi sekali, juga ilmu pedangnya amat aneh, cepat dan ganas. Pantas saja ia diberi julukan Mo ,-kiam (Si Pedang Iblis) karena memang ia memiliki ilmu pedang yang kuat dan dahsyat.

Di lain pihak, siapakah yang tidak mendengar kelihaian Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat? Ilmu pedang partai besar Kun-lun-pai sudah tersohor di kolong langit. Gerakannya indah dan cepat mengandung kekuatan menyerang yang sukar dilawan, sebaliknya dalam bertahan amat kuatnya, merupakan benteng sinar pedang yang sukar ditembusi. Maka dapat dibayangkan betapa ramainya pertandingan ini, makim lama gerakan mereka makin cepat sehingga setelah lewat lima puluh jurus, keduanya lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka.

Bagi para penonton yang kurang tinggi ilmu silatnya, sukar dapat mengatakan siapakah di antara dua ahli pedang itu yang unggul dan siapa yang terdesak. Tentu saja dalam pandangan mata para ahli yang berada di situ, di antaranya Kong Ji dan Ciang Le, mudah saja terlihat bahwa lambat laun akan tetapi tentu, Ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu mendesak Mo-kiam Siangkoan Bu!

Akhirnya pada jurus ke delapan puluh, terdengar Tai Wi Siansu membentak keras, diikuti suara nyaring. Bambu di tangan Siangkoan Bu tadi putus menjadi dua sedangkan pedang birunya terlempar jauh ke belakang. Dia sendiri terhuyung-huyung dan cepat melompat berjungkir balik ke belakang, lalu berdiri dengan muka pucat. Darah mengucur keluar dari luka di kedua lengannya dekat siku. Ia menjura dan berkata,

“Terima kasih, Tai Wi Siansu. Memang ilmu pedang Kun-lun-pai hebat, bukan among kosong. Aku menerima kalah.“

Inilah kata-kata jujur yang mau tidak mau harus diucapkan oleh seorang jagoan kang-ouw yang telah kalah dalam sebuah pibu (adu kepandaian). Mo-kiam Siangkoan Bu terpaksa harus mengaku ini, karena ia sudah berhutang nyawa kepada kakek Kun lun-pai itu. Kalau dalam gebrakan tadi Tai Wi Siansu mau berlaku kejam, kiranya bukan hanya luka kecil pada kedua lengan saja yang dideritanya, melainkan jauh lebih hebat. Kemudian ia mengambil pedangnya dan berdiri di dekat pasukannya dengan muka muram. Ta telah menderita kekalahan dan karenanya merasa malu dan penasaran.

Di lain pihak, dengan napas agak memburu, Tai Wi Siansu berdiri tegak dengan pedang dilintangkan di depan dada. Kakek berusia delapan puluh tahun ini kelihatan gagah sekali dan sikapnya lemah lembut. Jenggotnya yang putih semua dan panjang itu berkibar-kibar tertiup angin dan sinar matanya penuh semangat, berapi-api.

Akan tetapi bagi siapa yang memillki pandang mata awas, dapat dilihat bahwa kakek tua renta ini sudah lelah sekali dan hanya tenaga lweekangnya yang tinggi saja yang dapat mengatur pernapasannya sehingga tidak terengah-engah, sungguhpun jalan darahnya sudah amat cepat membuat seluruh tubuh panas dan keringat keluar dari lengan dan jidat.

Tentu saja Kong Ji melihat pula dan maklum akan hal ini. Cepat pemuda ini melompat keluar dan tahu-tahu pedang Pak-kek Sin-kiam yang bercahaya keemasan telah berada di tangannya. “Tai Wi Siansu, kita sama-sama calon bengcu, mari kita menguji kepandaian masing-masing!“ Tanpa menanti jawaban, pemuda itu sudah menusuk dengan pedangnya ke arah tenggorokan kakek itu.

“Tidak adil...!“ Seru Leng Hoat Taisu Ketua Thian-san-pai dan sudah melompat dengan tongkat hitamnya untuk menggantikan Tai Wi Siansu.

Akan tetapi, sebagai ciangbunjin dari Kun-lun-pai, juga sebagai calon bengcu, Tai Wi Siansu merasa malu kalau harus mengaku kalah sebelum bertanding. Ta mengelak cepat dari serangan Kong Ji dan melihat majunya Leng Hoat Taisu yang bukan seorang calon bengcu ia berseru,

“Leng Hoat Toyu, kau mundurlah. Biar aku menghadapi bocah she Liok ini. Dia benar, kami sama-sama calon harus mengukur kepandaian dan tidak mengandalkan bantuan kawan.”

“Akan tetapi tadi ia juga mengajukan wakil.“ Leng Hoat Taisu mencoba membantah. Sementara itu, Kong Ji hanya tersenyum dan sebelum Tai Wi Siansu yang ragu-ragu itu mendapat kesempatan menjawab, pemuda ini sudah memberi api.

“Benar, Tai Wi Siansu, kau sudah tua tentu pertempuran tadi membuat kau lelah. Kalau mau mengaso dan mengatur napas dulu, silakan, aku yang muda akan melayani Leng Hoat Taisu, kemudian baru kita main-main. Tidak apa aku mengalah menghadapi dua orang beruntun, sudah sepatutnya yang muda mengalah!“ Senyumnya demikian penuh ejekan sehingga Tai Wi Siansu tidak ada muka lagi untuk mundur. Dengan muka merah saking marahnya. Tai Wi Siansu menggerakkan pedangnya membentak.

“Bocah she Liok. Alangkah sombongmu! Kaukira pinto takut kepadamu? Majulah!“

Melihat kenekatan Tai Wi Siansu terpaksa Leng Hoat Taisu mengundurkan diri dan ia memandang kepada Bu Kek Siansu dengan kepala digeleng-gelengkan dan mukanya memperlihatkan kekhawatiran. Kekalahan atau kemenangan dalam pibu bukanlah hal yang aneh. bahkan kematian dalam pibu tidak pernah dibuat penasaran oleh orang-orang gagah di dunia kang- ouw.

Akan tetapi kettdak-adilan membuat semua orang gagah penasaran dan pertandingan pibu antara Liok Kong Ji dan Tai Wi Siansu dianggap tidak adil. Akan tetapi oleh karena Tai Wi Siansu sendiri yang tidak kuat menghadapi ejekan Liok Kong Ji sudah menyatakan setuju. Tak seorang pun berhak mencampuri pertandingan ini. Mereka yang berpihak pada Tai Wi Siansu kini menonton dengan hati berdebar dan perasaan tegang.

Dengan mulut masih tersenyum Kong Ji memasang kuda-kuda, tubuhnya merendah hampir berjongkok, pedangnya disembunyikan di bawah lengan kiri, sedangkan lengan kirinya bergerak-gerak lambat ke depan dan belakang. Kuda-kuda macam ini tidak dikenal oleh Tai Wi Siansu sungguhpun kakek ini seorang jago pedang yang kenamaan.

Hal ini tidak mengherankan oleh karena Kong Ji, pemuda yang penuh akal dan amat cerdik ini ternyata telah dapat menciptakan kuda-kuda ini menurut Ilmu Pukulan Tin-san-kang dicampur dengan ilmu pedang berdasarkan Pak-kek Sin-ciang yang ia “curi” pelajari melalui Hui Lian! Maka yang mengenal kuda kuda ini hanya dua orang. Ini pun hanya setengah-setengah.

Ciang Le mengenal kuda-kuda ini dengan melihat pedang disembunyikan di bawah lengan kiri sebagai jurus yang hampir sama atau pada dasarnya sama dengan jurus Hok-te-ciong-kiam (Mendekam di Tanah Menyembunyikan Pedang) dari Ilmu Pedang Pak-kek-sin-kiam. Hanya tangan kiri yang jari-jari tangannya dibuka dan digerak-gerakkan lambat-lambat ke depan dan ke belakang itu tidak ada dalam gerakan Hok-te-ciong-kiam, maka Ciang Le menjadi terheran-heran.

Sebaliknya Giok Seng Cu mengenal baik gerakan tangan kiri itu, yang bukan lain adalah gerakan Tin-san-kang, gerakan mengumpulkan tenaga. Sebaliknya gerakan Hok-te-ciong-kiam tadi tidak dikenal oleh Giok Seng Cu. Memang ilmu pedang Pak-kek-sin-kiam-sut biarpun sumbernya sama dengan ilmu silat yang dipelajari oleh Giok Seng Cu dari mendiang Pak Hong Siansu, namun ilmu pedang ini jarang ada yang mengerti sedangkan Ciang Le sendiri pun hanya mempelajari sebagian saja.

Adapun Tai Wi Siansu yang sudah marah, menghadapi pasangan kuda-kuda pemuda itu dan melihat mulut yang tersenyum-senyum mengejek, tak dapat menahan sabar lagi. Kakek ini adalah Ketua Kun-lun-pai, ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali, maka tentu saja ia tidak gentar menghadapi segala macam kuda-kuda yang aneh sekalipun. Ta mengandalkan kekuatan pedangnya dan sambil berseru, “Lihat pedang“ ia menyerang Kong Ji yang kuda-kudanya rendah itu dengan sabetan pada kepala.

Kong Ji memang sudah menanti datangnya serangan ini. Ta mengumpulkan tenaganya menanti datangnya pedang lawan sampai dekat, kemudian sekaligus ia melompat dengan dua macam gerakan. Pedangnya membabat pedang lawan dengan pengerahan tenaga lweekang sedangkan tangan kirinya mendorong ke arah dada dengan tenaga Tin-san-kang sepenuhnya.

“Traanggg...!”

Pedang tipis di tangan Tai Wi Siansu menjadi buntung ujungnya ketika bertemu dengan Pak-kek Sin-kiam, dan dalam kagetnya Tat Wi Siansu sampai kurang memperhatikan datangnya hawa pukulan dari tangan kiri Kong Ji. Tiba-tiba kakek itu berteriak dan terhuyung-huyung mundur sampai enam tindak, terkena pukulan Tin-san-kang pada dadanya!

Wajah Tat Wi Siansu menjadi pucat sekali. Tidak hanya karena pedangnya menjadi buntung, akan tetapi terutama sekali karena hebatnya pukulan Tin san kang yang hawa pukulannya mengenai dadanya. Baiknya ia adalah seorang ahli yang sudah memiliki hawa sinkang di tubuhnya sehingga hawa ini secara otomatis telah dapat menolak pukulan Tin-san kang. Namun karena pukulan ini memang lihai bukan main, tenaga sinkang itu masih kalah kuat, membuat Tai Wi Siansu terhuyung-huyung dan menderita luka di dalam dadanya. Ta merasa dadanya sakit dan napasnya sesak, akan tetapi dengan pengerahan lweekang ia dapat mempertahankan lukanya, kemudian dengan marah ia menyerbu lagi!

Para tokoh yang memihak Tai Wi Siansu menjadi pucat. Sudah jelas bahwa kakek ini terluka dan kalau melanjutkan pertempuran, akan terancam bahaya. Akan tetapi mereka juga maklum bahwa tentu saja Tai Wi Siansu tidak sudi mengalah begitu saja. Dikalahkan oleh seorang begitu muda hanya dalam satu jurus, benar-benar merupakan hal yang sangat memalukan dan lebih baik putus nyawa daripada menyerah dalam sejurus! Pedang buntung di tangan Tai Wi Siansu masih amat lihai bergerak-gerak dan menyambar-nyambar laksana naga mengamuk. Biarpun buntung ujungnya, namun masih tajam dan masih dapat membabat leher atau pinggang lawan!

Akan tetapi, oleh luka-luka di dada itu, tenaga kakek ini makin berkurang dan Liok Kong Ji tanpa mengenal kasihan terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan Tin-san-kang dan pedang Pak-kek Sin-kiam selalu menyambar ke arah pedang tipis buntung itu dengan maksud merusak pedang ini sampai tak dapat dipergunakan lagi.

Tentu saja amat kewalahan kakek itu mempertahankan diri. Tidak saja ia harus mempertahankan diri dengan tangkisan-tangkisan terhadap serangan pukulan Tin-san-kang yang dahsyat juga ia harus berhati-hati agar pedangnya jangan bertemu lagi dengan pedang lawan. Hal ini tentu saja membuat permainan pedangnya canggung karena setiap kali harus ditarik mundur dan tidak dilanjutkan dalam serangannya takut kalau terbabat oleh Pak-kek Sin-kiam, maka makin lama makin terdesaklah Ketua Kun-lun pai itu.

Betapapun juga, Tai Wi Siansu patut dikagumi. Ta masih berhasil mempertahankan diri sampai lima puluh jurus Kong Ji menjadi marah dan penasaran kalau tadi hanya berusaha membabat putus pedang kakek ini dan hendak mengalahkan kakek ini tanpa membunuhnya adalah sekarang pedangnya berkelebatan mengarah tempat-tempat berbahava dan pukulan Tin-san-kang dilakukan oleh tangan kirinya mengarah tempat-tempat seperti lambung, ulu hati dan pusar!

Menghadapi gelombang serangan dahsyat ini Tai Wi Siansu yang napasnya sudah empas empis hanya kuat bertahan selama sepuluh jurus. Tiba-tiba pedangnya kena dibabat putus pada tengah tengahnya dan dalam elakannya terhadap pukulan Tin-san kang di dada, ia kurang cepat sehingga pundak kanannya terkena darongan tangan kiri Kong Ji. Kakek itu terpental seperti dilemparkan akan tetapi dapat jatuh dengan kedua kaki di atas tanah dan dalam keadaan berdiri.

Kelihatannya tidak apa-apa, hanya mukanya pucat dan pedang tinggal sepotong masih di tangannya. Tiba-tiba menyambitkan sisa pedang itu ke arah Kong Ji. Pemuda itu memukul pedang lengan tangan kiri sehingga pedang sepotong itu amblas ke dalam tanah tidak kelihatan lagi! Melihat ini, Tai Wi Siansu tiba-tiba muntahkan darah merah dan tubuhnya sempoyongan. Baiknya Leng Hoat Taisu sudah melompat dan memondong tubuhnya mundur.

Kekalahan Tai Wi Siansu sudah sah. Dengan kekalahan ini, berarti ketua Kunlun-pai itu tidak dianggap sebagai calon bengcu lagi, sudah “gugur“ dan harus diganti calon lain. Cam-kauw Sin-kai mendahului Ciang Le. Kakek pengemis ini melompat ke tengah lapangan. Lengan bajunya yang lebar berkibar dan ia sudah berdiri menghadapi Kong Ji. Sebelum pengemis sakti ini membuka mulut, Kong Ji sudah menoleh ke arah See-thian Tok-ong dan berkata,

“See thian Tok-ong, inginkah kau main-main dengan pengemis ini ataukah kau lebih suka nanti menghadapi Hwa I Enghiong?“

Memang Kong Ji pintar bukan main. Ia tahu bahwa Cam-kauw Sinkai seorang yang pandai dan merupakan lawan berat. Bukan ia gentar menghadapinya, akan tetapi baru saja ia merobohkan Tai Wi Siansu. Kalau sekarang ia menghadapi kakek pengemis ini, biarpun ia dapat menang, akan tetapi ia harus menyerahkan tenaga seperti yang tadi lakukan dalam menghadapi Tan Wi Siansu. Dan ini merugikan plhaknya. Kalau ia sudah lelah betul baru menghadapi Ciang Le nanti, berbahayalah kedudukannya. Oleh karena itu, ia hendak mengajukan See- thian Tok-ong dan dengan kata-katanya tadi berhasil memancing keluar See-thian Tok ong.

See-thian Tok-ong sudah pernah merasai kelihaian Ciang Le, maka sekarang mendengar kata-kata Kong Ji tentu saja ia lebih suka menghadapi Cam-kauw Sin-kai dan “menyerahkan“ Go Ciang Le kepada bocah she Liok bekas muridnya yang sekarang sudah menjadi seorang pemuda lihai bukan main itu. Atas pertanyaan Kong Ji tadi, See-thian Tok-ong bertukar pandang dengan puteranya dan di lain saat, Kwan Kok Sun telah bertindak menghampiri Cam-kauw Sin-kai. Melihat ini, Liok Kong Ji seperti seorang penjual obat berkata keras kepada para hadirin,

“Inilah dia Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, putera tunggal dari See-thian Tok-ong! Dia tentu saja berhak maju mewakili ayahnya. Eh, pengemis bangkotan, kau berhati- hatilah menghadapi Saudara Kwan Kok Sun ini!“

Sambil tertawa, Kong Ji lalu melompat mundur ke dalam rombongannya sendiri di mana diam-diam ia mengumpulkan tenaga dan mengatur napas agar kelelahannya dalam bertanding tadi dapat diusir dan tenaganya menjadi segar kembali dalam persiapan menghadapi lawan yang lebih berat lagi. Sementara itu, ketika Cam-kauw Sin-kai melihat bahwa lawan yang menghdapinya adalah bocah gundul putera See- thian Tok-ong yang terkenal jahat, segera maju membentak.

“Bocah setan, keluarkan senjatamu!" sambil berkata demikian, Cam-kauw Sin kai menggoyang-goyang tongkatnya dengan sikap seperti orang hendak menggebuk anjing. Ini bukan gerakan biasa karena ini merupakan kuda- kuda dari Ilmu Tongkat Cam-kauw-tung-hwat yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw, terkenal sebagai Ilmu Tongkat Pembunuh Anjing yang sukar dikalahkan.

Kwan Kok Sun menggerakkan hidungnya. “Jembel tua, untuk melawan orang macam engkau saja mengapa mesti mengeluarkan senjata? Kedua tanganku masih kuat untuk merobohkanmu. Majulah“

Bukan main marahnya Cam-kauw Sin-kai mendengar ejekan ini. Ia tadinya sudah segan-segan untuk melawan bocah ini, karena biarpun sudah dewasa, aneh sekali, pemuda gundul ini masih kelihatan seperti seorang anak- anak dari sepuluh tahun. Hanya tubuhnya saja yang besar akan tetapi kedua tangannya kecil, juga mukanya seperti muka anak-anak. Ia segan karena menghadapi Kwan Kok sun, ia seperti hendak bertanding melawan ejekan itu, ia menancapkan tongkatnya ke dalam tanah, lalu melangkah maju membentak.

“Bocah setan, sombong amat kau. Majulah kalau mukamu sudah gatal-gatal ingin ditampar!“

Kwan Kok Sun menyerang dengan kedua kepalan tangannya yang kecil!. Gerakannya kuat dan cepat, mendatangkan desir angin dan tiba-tiba Cam-kauw Sin-kai mencium bau yang amis memuakkan. Ia terkejut sekali dan tahu bahwa sebagai putera See-thian Tok-ong Si Raja Racun, sudah tentu sekali bocah ini pun seorang ahli racun. Hawa pukulan kedua tangannya saja sudah membawa bau racun yang kuat dan berbahaya.

Cepat pengemis sakti ini menyembunyikan tangannya ke dalam lengan baju dan dengan ujung lengan bajunya ia mengebut dan menangkis pukulan pukulan Kwan Kok Sun. Ilmu Silat Cam kauw Kun-hwat memang aneh. Ilmu silat ini diciptakan untuk menghajar orang-orang seperti menghajar anjing, maka gerakan-gerakannya aneh dan anjing yang bagaimana pun galaknya, tentu akan terpukul tunggang langgang dengan ilmu silat ini.

Demikian pula kalau menghadapi lawan manusia, ilmu silat ini amat aneh dan sukar diduga gerakan-gerakannya Giok Seng Cu sendiri ketika menghadapi murid Cam-kauw Sin-kai yakni pemuda Coa Hong Kin, dalam segebrakan saja terkena tamparan di pundaknya oleh pemuda itu yang mempergunakan ilmu Silat Cam-kauw Kun-hoat.

Baru saja bertempur belasan jurus sudah dua kali Kwan Kok Sun kena disentil telinganya oleh Cam kauw Sin-kai dengan ujung lengan baju dan ditampar pundaknya yang membuat pemuda gundul itu terhuyung huyung dan merasa sakit bukan main. Telnganya mengeluarkan darah dan pundaknya serasa retak tulangnya. Ia mengamuk dan tiba-tiba dari jari-jari tangan kiri yang dibuka menyambar sinar hijau. Inilah bubuk racun yang disebarkan ke arah muka Cam-kauw Sin-kai.

Kakek pengemis itu adalah seorang tokoh kang-ouw penggembara yang sudah kenyang makan garam, di samping pengalamannya banyak sekali tentu saja siang siang ia telah mengenal senjata racun ini. Dengan ujung lengan baju dilebarkan ia menggerak-gerakkan kedua tangannya sehingga serangan-serangan racun itu dapat disampok pergi, kemudian sambil berseru keras ia menerjang dengan tendangan berantai. Inilah tendangan That-kauw-soan-hong-twi (Menendang Angin Dengan Tendangan Berputar-putar), sebuah tipu gerakan dalam ilmu Silat Cam-kauw-kunhoat.

Kwan Kok Sun terkejut sekali dan biarpun ia juga memiliki gerakan yang gesit, akan tetapi ia hanya dapat mengelak sampai lima kali tendangan saja. Tendangan ke enam dan ke tujuh dengan tepat mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar ke belakang dan ke dua kakinya menjadi lumpuh, karena biarpun tulang-tulang pahanya tidak sampai patah, akan tetapi daging puhanya menjadi hitam biru dan jalan darahnya tertahan.

Akan tetapi Kwan Kok Sun benar-benar lihai. Setelah terpental, ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, sehingga jatuhnva di atas tanah dalam keadaan duduk. Ketika Cam-kauw Sin-kai mengejar, ia cepat mengangkat kedua tangannya, digerak-gerakkan bergantian ke depan.

Dilihat begitu saja, seakan-akan Kwan Kok Sun merasa takut dan hendak mencegah Cam-kauw Sin-kai turun tangan lebih lanjut atau maksudnva sudah menerima kalah. Demikian pula tadinya disangka oleh Cam-kauw Sin-kai sehingga pengemis sakti ini tidak membuat penjagaan, bahkan hendak maju menghampiri dan menolong bocah itu berdiri.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa ada angin menyambar dari depan menyerang dadanya dengan hebat. Itulah pukulan Hek- tok ciang yang dilancarkan dan jauh dengan mengandalkan lenaga hoat-sut (sihir) dari barat! Cam-kauw Sin-kai tidak sempat mengelak, maka ia cepat mengerahkan tenaga ke dada menolak. Ia berhasil menolak pukulan itu dan cepat melompat ke samping, akan tetapi pakaiannya di bagian dada menjadi hangus dan kulit dadanya terasa gatal-gatal!

“Kurang ajar!“ serunya dan ia telah mengepal tinju hendak memberi hajaran kepada Kwan Kok Sun, akan tetapi tiba-tiba pemuda gundul itu telah lenyap. Ternyata ibunya, Kwan Ji Nio, telah turun tangan menyambar tubuh puteranya. Tentu saja dengan adanya kejadian ini Kwan Kok Sun dianggap kalah.

Cam-kauw Sin-kai cepat mengeluarkan sebutir pel merah dari saku bajunya dan ditelannya. Ini hanya untuk penjagaan kalau-kalau pukulan Hek-tok-ciang tadi mengakibatkan luka di dalam dada. Kemudian ia mcncabut tongkatnya, karena melihat See thian Tok-ong sudah melompat maju untuk menggantikan puteranya yang kalah.

“Cam-kauw Sin-kai, jangan kau sombong karena dapat mengalahkan anak kecil. Inilah lawanmu!“ Sambil berkata demikian, See-thian Tok-ong mengeluarkan senjatanya yang dahsyat, yaitu sepasar Ngo-tok Mo-jiauw (Cakar Setan Lima Racun) yang amat mengerikan.

Akan tetapi Cam-kauw Sin-kai sudah maklum bahwa menjadi calon bengcu berarti menghadapi lawan-lawan berat, maka ia sudah siap menghadapi segala resikonya. Setelah berhadapan, dua orang kakek yang berilmu tinggi ini mulai saling menyerang dengan seru. Pertempuran kali ini lebih sengit daripada tadi. Gerakan See-thian Tok-ong benar-benar luar biasa sekali.

Sepasang cakar setan itu bergerak- gerak aneh, seperti menycrang dengan cara membabi buta, akan tetapi sebetulnya gerakan-gerakan ini menurutkan sistim silat yang aneh dan jarang terdapat di pedalaman Tiongkok. Yang amat berbahaya adalah hawa beracun yang keluar dari sepuluh kuku-kuku panjang dan cakar itu. Setiap cakar mempunyai lima kuku panjang dan lima warna yang mengeluarkan bau keras dan tidak enak lima macam, yang satu lebih hebat dari yang lain. Sekali gurat saja dengan kuku cakar setan ini akan mendatangkan maut!

Baiknya Cam-kauw Sin-kai memiliki Ilmu Silat Cam-kauw-tung-hwat yang juga amat aneh gerakan-gerakannya dan sukar diduga perubahan gerakannya. Juga tongkatnya ternyata amat berbahaya karena setiap serangan merupakan totokan atau tusukan maut. Oleh karena itu, tidak mudah bagi See-thian Tok-ong untuk mengalahkan lawannya dalam waktu singkat. Pertahanan Cam-kauw Sin-kai benar-benar kokoh kuat dan tongkatnya kini meupakan lingkaran yang sukar sekali diterobos.

Pertempuran kali ini berjalan sampai seratus jurus lebih, masing-masing mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, maklum bahwa lawan amat berat dan sekali terkena serangan berarti menghadapi bahaya maut. Akan tetapi tak lama pengemis sakti itu makin terdesak. Yang membuat ia tidak kuat adalah bau dari hawa beracun yang keluar dari Ngo tok Ma-Jiauw itu. Biarpun ia sudah menahan napas dan menarik napas amat hati-hati, tidak urung ia terpengaruh juga oleh hawa beracun itu, yang membuat kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang.

Cam-kauw Sin-kai maklum kalau tidak cepat-cepat dapat merobohkan lawannya, ia akan kalah. Sambil berseru keras ia lalu mainkan jurus-jurus terakhir yang paling hebat dari ilmu silatnya. Tongkatnya melayang-layang turun naik dengan gerakan cepat dan aneh. Biarpun See-thian Tok-ong lihai bukan main, ia menjadi terkejut dan bingung. Tak dapat ia menghindarkan diri ketika tongkat itu menusuk dengan cara tusukan bertubi-tubi yang dimulai dari atas ke bawah.

Sebuah tusukan mengenai pangkal lengan kirinya dan untuk sedetik lengan kiri itu menjadi lumpuh sehingga sebuah senjatanya terlepas dari pegangan. Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, hanya dua tiga detik lebih lambat. Ngo-tok Ngo-jiauw di tangan kanan See-thian Tok-ong berhasil menggurat pundak Cam-kauw Sin-kai!

Kakek pengemis ini merasa pundaknya gatal panas dan seperti ditusuk-tusuk jarum. Cepat ia melompat jauh ke belakang dan begitu ia turun ke tanah, ia lalu mengambil segenggam pil penawar racun yang terus ditelannya! Namun tetap saja ia menjadi limbung dan terpaksa ia duduk di atas tanah, bersila sambil mengerahkan tenaga lweekang untuk mengusir pengaruh racun yang hebat itu.

See-thian Tok-ong mengeluarkan suara ketawa aneh. Tangan kirinya sudah pulih kembali dan kini sepasang Ngo- tok Mo-jiauw sudah dipegangnya dengan sikap menantang. Ta maklum bahwa kakek pengemis itu pasti akan tewas, paling lama dalam waktu dua puluh empat jam lagi.

“Iblis dari barat rasakan pembalasanku!“

Tiba-tiba Coa Hong Kin membentak marah dan pemuda ini mencahut pedang, hendak melompat ke tengah lapangan untuk menuntut balas atas kekalahan suhunya. Akan tetapi sebuah tangan yang amat kuat memegang pundaknya, mencegahnya dan terdengar suara Ciang Le yang tenang dan berpengaruh.

“Dia bukan lawanmu. Biar aku menghadapinya. Tangan kuat yang menahan pundaknya itu terlepas dan tahu-tahu tubuh Ciang Le sudah berada di tengah lapangan menghadapi See-thian Tok-ong. Hong Kin lalu menghampiri suhunya dan dengan bantuan muridnya. kakek pengemis ini berjalan kembali ke dalam rombongannya di mana ia lalu direbahkan d atas rumput dan dirawat oleh Hong Kin dibantu oleh Lie Bu Tek, Hui Lian dan Bi Lan.

Sementara itu, See-thian Tok-ong melihat Ciang Le datang, tanpa banyak cakap lagi segera menyerang dengan Ngo tok Mo-jiauw, menyerang bertubi-tubi dengan sepasang senjata itu. Ciang Le tidak mau berlaku lambat, ia melompat jauh ke kanan untuk menghindarkan diri dan untuk mencabut pedangnya. See-thian Tok-ong sudah pernah merasai kelihatan tangan Ciang Le, maka ia berlaku hati-hati sekali dan dengan penuh perhatian serta pengerahan tenaga dan kepandaian, Raja Racun dari barat ini mulai mendesak Hwa I Enghiong.

Akan tetapi sebentar saja See thian Tok-ong mengeluh di dalam hati. Ilmu pedang dari Hwa I Enghiong benar-benar hebat dan kuat luar biasa. Juga pedang yang digunakan oleh Hwa I Enghiong adalah Kim-kong kiam, pedang yang mengeluarkan sinar emas seperti pedang Pak kek Sin-kiam, akan tetapi sinar pedang Pak-kek Sin-kiam lebih putih dan lebih gemilang. Biarpun demikian pedang Kim kong-kiam termasuk pedang pusaka yang ampuh dan kuat.

Dahulu ketika untuk pertama kali bertemu dengan Ciang Le, biarpun See-thian Tok-ong memegang Pak-kek Sin-kiam, masih saja ia tidak dapat merobohkan Ciang Le, yang bertangan kosong, maka tentu saja ia sudah cukup maklum akan kelihaian ilmu silat dari Hwa I Enghiong. Akan tetapi sekarang lain lagi keadaannya, See-thtan Tok-ong memegang sepasang senjatanya yang diandalkan, yaitu Ngo-tok Mo-jiauw dan dalam hal ilmu silat dengan Ngo-tok Mo-jiauw sesungguhnya Raja Racun ini jauh lebih lihai daripada kalau ia menggunakan senjata lain.

Ia telah mencipta ilmu silat yang khusus untuk mainkan sepasang senjata yang mengerikan itu. Dan di samping ini, betapapun lihai Hwa I Enghiong Go Ciang Le, seperti Cam-kau Sin-kai tadi ia pun mulai terkena pengaruh bau senjata aneh Ngo-tok Mo-jiau tadi.

“Celaka,“ pikir Ciang Le sambil memutar pedang Kim-kong-kiam lebih hebat lagi. “aku harus cepat-cepat merobohkanya!“

Setelah mengambil keputusan ini dan melihat kesempatan, Ciang Le lalu menyerang dengan Ilmu Pedang Pak-kek Kiam-hoat bagian yang paling lihai. Pedangnya berkelebat mengancam dari atas seperti burung elang menyambar- nyambar kepala mengeluarkan angin dan suara mendesing-desing mengerikan.

See thian Tok-ong terkejut sekali, tahu bahwa serangan ini merupakan ancaman maut yang dapat memenggal leher atau memecahkan kepalanya, maka ia lalu mengerahkan dan menggunakan sepasang Ngo-tok Mo-jiauw untuk melindungi kepala dengan memutarnya seperti kitiran cepatnya. Akan tetapi tiba-tiba Ciang Le berseru.

“Pergilah!“

Tubuh See-thian Tok ong yang besar itu terlempar seperti batang pohon dilontarkan angin kuat. Inilah kehebatan jurus Ilmu pedang yang dimainkan oleh Ciang Le tadi. Nampaknya hebat dan dahsyat menyerang kepala, tidak tahunya kelihaiannya terletak pada serangan lanjutan yang dilakukan oleh kaki!

Ternyata bahwa pedang yang menyambar-nyambar tadi hanya pancingan belaka agar lawan yang bagaimana kuat pun akan melindungi kepalanya dan kurang memperhatikan tubuh bagian bawah. Oleh karena itu, dengan mudah Ciang Le dapat menendang perut See-thian Tok-ong sehingga tubuh Raja Racun itu terlempar jauh!

Akan tetapi Ciang Le juga terkena pengaruh hawa beracun sehingga mukanya agak pucat. Baiknya tendangannya tadi kuat sekali sehingga betapapun kuat tubuh See-thian Tok-ong, tendangan itu telah mendatangkan luka di dalam perutnya dan tidak memungkinkan Raja Racun ini bertempur terus. Maka tentu saja dianggap kalah dan gagal dalam pemilihan bengcu. Orang-orang yang berpihak kepada Hwa I Enghiong bersorak menyambut kemenangan ini. See-thian Tok-ong dirawat oleh delapan orang kawannya, para busu yang menyamar.

“Hwa l Enghiong jahanam..." tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat luar biasa dan tahu-tahu Kwan Ji Nio sudah menyerangnya dengan ranting bambu, menotok matanya.

Ciang Le melompat jauh ke belakang ia ragu-ragu, karena selain kepalanya masih pening akibat pengaruh hawa beracun dari Ngo-tok Mo-jiauw, juga ia merasa segan-segan untuk melayani seorang wanita.

“Mengasolah!“ tiba-tiba ia mendengar suara bisikan isterinya yang tahu-tahu telah berada di dekatnya. Ciang Le mundur, dan kini Bi Lan menghadapi Kwan Ji Nio. Dua orang tokoh wanita yang berilmu tinggi saling berhadapan, bagaikan dua ekor singa betina hendak saling terkam.

“Kwan Ji Nio, benar-benar girang sekali hatiku dapat bertemu dengan engkau di sini. Akan puas hatiku dapat melanjutkan pertandingan yang dahulu.“

Memang kurang lebih sembilan tahun yang lalu, dalam perebutan Pak-kek Sin-kiam, pernah Kwan ji Nio bertempur melawan Liang Bi Lan dan See-thian Tok-ong bertanding melawan Go Ciang Le, sedangkan Kok Sun bertempur menghadapi Go Hui Lian yang ketika itu, sebagaimana dapat diikuti dalam cerita bagian depan, tidak dilanjutkan karena Ciang Le, menawan Kok Sun dan memaksa suami isteri dari barat itu mengembalikan pedang unuk ditukar dengan Kok Sun.

Sekarang dua orang wanita kosen itu berhadapan lagi. Keduanya sama usianya, kurang lebih empat puluh tahun, sama cantiknya dan sama ramping tubuhnya. Akan tetapi sikap Bi Lan nampak jauh lebih gagah.

“Kau menggantikan suamimu untuk menjenguk neraka! Baik, bersiaplah untuk mampus!“ bentak Kwan Ji Nio yang serentak mengirim serangan bertubi-tubi dengan rantingnya.

Gerakannya cepat bukan main karena nyonya ini adalah ahli ilmu meringankan tubuh yang disebut Te in-hang (Lompatan Tangga Awan) sehingga ketika ia bergerak dalam serangan-serangannya, tiada ubahnya seperti seekor burung walet menyambar-nyambar. Kedua kakinya seperti tak pernah menyentuh tanah.

Bi Lan mengeluarkan suara ketawa mengejek dan di lain saat nyonya ini pun lenyap dari pandangan mata. Hanya sinar pedangnya saja yang nampak, menjadi gulungan sinar yang bundar, dan kedua kaki yang kadang-kadang kelihatan menyentuh bumi menyatakan bahwa nyonya ini masih ada di dalam bungkusan gulungan sinar pedang itu! Kali ini Kwan Ji Nio menemui batu keras! Kali ini ia menjumpai tandingan yang juga seorang ahli ginkang luar biasa.

Bi Lan telah mendapat latihan ginkang dari orang aneh, sepasang tosu kembar bernama Thian-te Siang-mo yang memiliki ginkang luar biasa (baca Pendekar Budiman). Dahulu ketika masih muda, Bi Lan telah dijuluki orang Sian- li Eng-cu (Bayangan Bidadari) karena memang gerakannya amat cepat sehingga kalau ia bergerak, yang kelihatan hanya bayangannya saja.

Kali ini pertempuran benar-benar hebat, mengalahkan kehebatan pertempuran yang lalu. Hal ini memang tidak aneh, karena keduanya adalah ahli-ahli gin-kang yang kepandaiannya sudah memuncak, maka dalam pertempuran ini, orang-orang hanya melihat gulungan sinar pedang dan gulungan sinar ranting yang saling belit dan saling tindih menjadi satu sukar diketahui mana yang lebih kuat.

Delapan puluh jurus telah lewat dan pertempuran makin memuncak saking ramainya. Hui Lian berdiri menonton sambil meremas-remas tangannya. Ta merasa meyesal mengapa tidak dia saja yang tadi menggantikan ayahnya. Ta khawatir kalau-kalau ibunya akan kalah, sungguhpun ia dapat melihat betapa ibunya kini medesak hebat kepada Tawannya.

Kalau dia yang maju, Hui Lian merasa pasti dapat merobohkan Kwan Ji Nio, paling lama dalam pertandingan lima puluh jurus. Biarpun masih kalah hebat dalam ginkang oleh ibunya akan tetapi dalam ilmu pedang, kiranya ia masih lebih mahir daripada ibunya. Tni adalah karena dia telah mempelajari Pak-kek Kiam-sut sedangkan ibunya tidak.

Akan tetapi ketika memperhatikan lagi, Hui Lian menarik napas lega. Tbunya pasti menang, dan benar saja, terdengar jerit kesakitan, ranting terlempar jatuh dan tubuh Kwan Ji Nio melompat ke ke belakang. Ta jatuh dengan kedua kaki di atas tanah, terhuyung huyung dan darah mengucur dari pahanya. Cepat Kong Ji menyuruh ahli-ahli pengobatan rombongannya merawat. Sejak tadi pun ia sudah menyuruh kawan-kawannya merawat See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun.

See-thian Tok-ong yang melihat pihaknya kalah semua, tentu saja menerima baik bantuan pemuda ini karena setelah dia dan anak isterinya kalah, paling baik sekarang menjagoi Kong Ji dan membantunya! Demikianlah sifat orang jahat. Mudah berubah, penjilat, dan pengecut. Selalu memilih tempat untuk keuntungannya sendiri tanpa memperdulikan kegagahan, keadilan, dan kejujuran.

Kini dari pihak Liok Kong ji muncul Giok Seng Cu. ”Aku mewakili Tung-nam Tui-bengcu,” katanya dengan suara kasar, “sekarang calon yang masih ada hanyalah Tai bengcu dan Go Ciang Le. Semenjak dahulu, Hwa I Enghiong hanya nienyembunyikan diri saja, mengapa sekarang tiba-tiba muncul hendak menduduki kursi bengcu? Apakah dia benar-benar begitu ingin menjadi bengcu?” Ucapan Giok Seng Cu ini penuh sindiran, membuat Bi Lan marah sekali.

“Giok Seng Cu, suamiku mengingini kedudukan bengcu masih tidak begitu memalukan, tidak seperti engkau yang begitu merendahkan diri menjadi kaki tangan seorang penjahat muda yang pernah menjadi muridmu. Di manakah kulit mukamu? Ketahuilah, suamiku tidak begitu ingin menjadi bengcu, hanya karena pilihan orang lain maka terpaksa ikut dalam lomba ini. Akan tetapi bukan semata-mata untuk meramaikan pemilihan, melainkan semata-mata untuk menghadapi manusia-manusia jahat yang hendak mempergunakan kepandaian menduduki kursi bengcu!“

Giok Seng Cu tersenyum mengejek “Bi Lan, kau masih saja bermulut besar seperti dulu. Pergilah dan biarkan suamimu yang maju!“ Giok Seng Cu melakukan tantangan ini karena ia melihat Hwa I Enghiong Go Ciang Le masih bersila sambil meramkan mata mengira bahwa CiangLe masih terluka dan karenanya iato bera ni menantang.

“Untuk melayani manusia rendah macam engkau saja, cukup dengan pedangku. Majulah!“ kata Bi Lan sambil menyerang.

Terjadi pertempuran hebat yang ke lihatannya berat sebelah karena Giok Seng Cu hamya bertangan kosong. Akan tetapi pada hakekatnya, kakek rambut pandang inilah yang mendesak Bi Lan dengan pukulan- pukulan Tin-san-kang. Sedangan pedang Bi Lan cukup ia layani dengan kibasan kedua lengan bajunya saja, sedangkan pukulan-pukulan Tin-san-kang dari jarak jauh membuat Bi Lan kewalahan. Nyonya ini baiknya memiliki kegesitan luar biasa sehingga dapat mengelak ke sana ke mari, hanya hawa pukulan saja yang menyerempet dan membuat pakaiannya berkibar-kibar. Akhirnya Bi Lan tak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi, ia bertempur sambil mundur.

“Ibu, kau sudah lelah. Biar aku menggantikanmu!” tiba- tiba terdengar bentakan nyaring dan Hui Lian sudah menyerang Seng Cu dengan pedangnya, sedangkan Bi Lan lalu melompat mundur untuk beristirahat karena ia betul betul lelah menghadapi Giok Seng Cu yang lihai.

Sebelum tertangkap oleh Kong Ji, Hui Lian sudah bertempur melawan Giok Seng Cu dan telah melukai kulit lengannya dengan ujung pedangnya. Oleh karena inilah gadis itu menjadi berani dan besar hati menghadapi Giok Seng Cu yang dianggapnya bertenaga besar akan tetapi tidak memiliki kepandaian tinggi.

la tidak tahu bahwa ketika melawannya sampai tergores pedang kulit lengannya, Giok Seng Cu tidak melawannya dengan sungguh-sungguh. Kakek ini tidak berani melukainya seperti yang dipesan oleh Kong Ji dan dalam pertempuran seperti itu, Giok Seng Cu hanya mengelak dan tak pernah menyerangnya. Serangan satu-satunya yang diajukan selalu hanyalah usaha untuk menangkapnya hidup-hidup tanpa melukai dirinya. Tentu saja dalam pertempuran seperti itu, Giok Seng Cu tidak dapat mengeluarkan semua kepandaiannya dan karena itulah ia sampai terluka oleh goresan pedang Hui Lian.

Akan tetapi sekarang lain lagi. Mereka berada di gelanggang pertempuran yang sungguh-sungguh dan tak terdengar perintah sesuatu dari Kong Ji. Oleh karena inilah Giok Seng Cu lalu menyerang dengan sepenuh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya. Hui Lian terkejut dan cepat-cepat melakukan perlawanan sengit.

Kong Ji berdiri tegak dengan hati tak enak. Tadi ia sudah terkejut sekali melihat munculnya Hui Lian dan Coa Hong Kin yang ternyata telah ditolong oleh Wan Sin Hong. Gagallah rencananya unmemaksa Ciang Le dengan mengancam Hui Lian yang sudah tertawan. Sekarang ia melihat gadis itu melakukan perlawanan sengit terhadap Giok Seng Cu, benar-benar hatinya tidak enak sekali. la dapat meramalkan bahwa nona itu pasti akan kalah oleh Giok Seng Cu.

Hal ini memang tidak apa-apa baginya, akan tetapi ia tahu betul akan silat kepandaian Giok Seng Cu. Kakek ini mengandalkan kelihaiannya semata-mata atas kemahiran ilmu silat dan senjatanya yang ampuh adalah Pukulan Tin-san-kang. OLeh karena setiap orang lawan dari kakek ini kalau kalah tentu akan roboh terkena pukulan Tin-san-kang dan ini berarti lima bagian tewas, tiga bagian terluka berat di dalam tubuh dan hanya dua bagian masih ada harapan hidup!

Bagi Kong Ji, kalau sampai Hui Lian tewas memang tidak apa-apa. Akan tetapi di dalam hati kecilnya ada rasa sayang kepada bekas sumoinva ini dan ia tidak tega kalau melihat Hui Lian tewas. Apalagi ia tahu bahwa kalau hal ini terjadi, permusuhan dengan pihak Hwa I Enghiong akan menjadi makan besar dan selamanya ia takkan merasa aman lagi. Dengan orang seperti Go Ciang Le itu lebih aman bersahabat daripada bermusuh, lebih baik menjadi kawan daripada menjadi lawan. Setidaknya jangan menanam rasa permusuhan besar dan dendam yang melahirkan pembalasan-pembalasan.

Diam-diam Kong it mengeluarkan suatu dari saku bajunya dan memandang ke arah pertempuran dengan penuh perhatian. Saat yang dikhawattrkan tiba. Ketika nona itu menyerang dengan pedangnya secara cepat sekali. Giok Seng Cu membuang diri ke kiri, terus bergulingan di atas tanah. Ini merupakan pancingan yang hanya dimengerti oleh Kong ji. Akan tetapi Hui Lian mengira bahwa ia telah dapat mendesak, maka dengan hati besar ia mengejar.

Tiba-tiba Giok Seng Cu membalikkan tubuh dan selagi tubuhrnya masih mendekam, ia mengirim pukulan Tin-san kang ke arah Hui Lian! Inilah hebatnya pancingan itu. Pukulan Tin-san-kang memang dilakukan dengan tubuh merendah, makin rendah makin kuatlah pukulan itu, maka dalam bergulingan Giok Seng Cu selain memancing lawan datang mengejar, juga dapat mengatur kedudukan yang amat baik untuk melakukan pukulan tiba-tiba.

Hui Lian melihat ini dan mengerti namun terlambat. Ketika ia mengelak angin pukulan Tin san-kang sudah menghantamnya biarpun ia sudah mengelak, pundaknya masih terdorong, membuat ia terguling! Giok Seng Cu mengeluarkan seruan girang, melompat dan mengejar, bermaksud mengirim pukulan ke dua yang tentu akan mematikan gadis itu. Terdengar Bi Lan menjerit dan Ciang Le menahan napas. Tentu saja kalau mereka mau, mereka dapat menyerang Giok Seng Cu, akan tetapi ini bukanlah laku orang gagah. Mereka ini lebih baik kehilangan puteri daripada harus melanggar peraturan kang-ouw.

Pada saat Giok Seng Cu memukul, kakek ani berteriak kesakitan mengurungkan pukulannya, bahkan ia sendiri terhuyung-huyung lalu berlari mendekati Kong Ji. Di pundaknya telah menancap tiga batang Hek-tok-ciam (Jarum racun Hitam) yang dilepas oleh Kong Ji dalam usahanya menolong Hui Lian.

Dengan muka sebentar pucat sebentar merah Hui Lian kembali ke rombongannya. Kong Ji setelah mengobati pundak Giok Seng Cu, lalu melompat ke tengah lapangan. Ciang Le juga melompat menghadapinya dengan Hwa I Enghlong berkata singkat.

“Kami telah berhutang nyawa anak kami kepadamu.“

Kong Ji menjura dengan hormat. “Harap maafkan Giok Seng Cu Suhu yang lancang tangan. Memang tidak sedikit pun aku mempunyai maksud bermusuhan denganmu. Kalau saja kau suka mengalah dan membiarkan aku menduduki kursi bengcu, bukankah ini berarti saling menolong dan menghindarkan pertandingan pertandingan yang membahayakan nyawa?”

Ciang Le tak dapat menjawab. ia bingung sekali. Ia memang harus membela kedudukan bengcu agar jangan terjatuh dalam tangan orang seperti Kong Ji. Akan tetapi di lain pihak, sebagai seorang gagah ia harus ingat budi. Betapapun jahatnya Kong Ji, baru saja tak dapat disangkal bahwa tanpa pertolongan Kong Ji yang mengorbankan pembantunya sendiri sampai dilukainya, sudah dapat ditentukan nyawa Hui Lian melayang di tangan Giok Seng Cu. Budi menolong nyawa adalah budi besar, hanya dapat dilunasi dengan menolong nyawa pula. Ciang Le berdiri bengong, kagum dan juga ngeri menyaksikan kelicikan dan kepintaran Liok Kong Ji. Bocah ini benar-benar seorang iblis yang kelak akan membahayakan dunia.

Pada saat itu, terdengar suara orang-orang yang hadir di situ dan semua mata memandang ke satu jurusan. Tentu saja Kong Ji dan Ciang Le juga tertarik dan mereka ikut menoleh. Kong Ji mengeluarkan seruan marah dan kaget sedangkan Ciang Le terheran-heran ketika melihat siapa yang datang itu.

Dengan sikap gagah dan senyum yang menambah cantiknya. Siok Li Hwa berjalan diikuti oleh pasukannya dan di sampingnya berjalan seorang pemuda membikin kaget, marah, dan heran semua orang. Pemuda itu yang berjalan dengan sikap tenang dan sederhana, sepeti juga sederhananya pakaiannya, bukan lain adalah Wan Sin Hong.

Kong Ji kaget setengah mati hampir ia tak dapat mempercayai kedua matanya sendiri. Wan Sin Hong sudah menjadi korban jarum Hek-tok-ciam dan jarum hijau dari Li Hwa, bagaimana sekarang datang lagi dalam keadaan segar dan sehat? Dan mengapa sekarang berjalan dalam suasana persahabatan dengan Li Hwa? Hatinya berdebar tidak karuan dan ia merasa tidak enak.

Sebaliknya, Ciang Le tidak heran melihat Wan Sin Hong dalam keadaan masih hidup dan sehat karena ia sudah mendengar dari Lian tadi siapa adanya orang yang terkena jarum-jarum yang dilepas oleh Kong Ji dan ketua Hui-eng-pai. Ia hanya heran melihat Wan Sin Hong berani muncul di tempat itu.

Bagaimanakah Wan Sin Hong yang tadinya sudah roboh oleh jarum rahasia dan dibawa pergi tubuhnya oleh seorang aneh yang bermuka merah dan dikejar oleh Li Hwa, kini datang dalam keadaan sehat bersama Siok Li Hwa? Mengapa mereka tidak kelihatan bermusuhan dan kemanakah perginya Si Muka Merah yang aneh tadi? Baiklah kita mengikuti pengalaman Hui-eng Niocu Siok Li Hwa ketika melakukan pengejaran kepada Wan Sin Hong yang dipondong pergi oleh manusia muka merah yang aneh...