Pedang Penakluk Iblis Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Penakluk Iblis Jilid 27

PENJAHAT itu hanya merupakan bayangan yang bergerak cepat sekali dan di dalam gelap, Cun Eng tidak dapat mengenal betul wajah orang yang menyerang dan mengganggunya, maka amatlah sukar penjahat itu ditangkap. Yang menjadi pegangan para pengejarnya hanyalah nama penjahat itu.

Dan anehnya, setiap kali tiba di suatu dusun atau kota, mereka mendengar nama ini yang seakan-akan sengaja ditinggalkan oleh penjahat itu untuk memberi tahu mereka akan jejaknya. Demikianlah akhirnya Siok Hwa mengejar sampai di Ngo-heng-san dan di situ kehilangan jejak penjahat yang dikejar-kejarnya.

Siapakah sebenarnya Siok Li Hwa? Sepuluh tahun yang lalu, ketika Pat-Jiu Nio-nio meninggal dunia karena usia tua, perkumpulannya, yakni Hui-eng pai yang mempunyai seratus orang lebih anggauta terdiri wanita semua, terpaksa bubar. Tak seorang pun yang sanggup menggantikan kedudukan Pat-Jiu Nio-nio karena semua mengerti bahwa untuk memimpin perkumpulan ini, orang itu harus memiliki kepandaian yang amat tinggi.

Sedangkan Pat-Jiu Nio nio tidak mempunyai murid langsung. Semua anggautanya memang diberi pelajaran ilmu silat, akan tetapi mereka ini tidak mewarisi semua ilmunya dan biarpun untuk anggapan umum semua anggauta Hui-eng pai rata-rata memiliki kepandaian tinggi, kalau dibandingkan dengan kepandaian Pat-Jiu Nio-nio, masih amat jauh, belum ada persepuluhnya.

Inilah yang membuat semua anggauta ragu-ragu dan akhirnya perkumpulan itu dibubarkan. Gedung indah tempat tinggal Pat jiu Nio-nio di puncak tersembunyi diGunung Go-bi-san menjadi sunyi dan dijadikan sebagai kuil di mana tinggal lima orang bekas anggauta Hui-eng pai yang mengambil keputusan untuk menjadi pertapa atau pendeta wanita di tempat itu!

Yang lain-lain lalu bubaran mengambil jalan hidup masing-masing setelah menerima bagian dari harta peninggalan ketua mereka. Di antara para anggauta ini, terdapat seorang gadis cilik berusia kurang lebih sembilan tahun, Gadis ini adalah Siok Li Hwa, seorang gadis yatim piatu yang ditolong dari bahaya kelaparan di daerah selatan yang kering oleh Pat jiu Nio-nio empat tahun yang lalu.

Gadis cilik ini amat cantik manis menimbulkan rasa suka pada Pat jiu Nio-nio, maka gadis ini dijadikan pelayan pribadinya. Makin lama Pat-itu Nio-nio makin suka kepada gadis cilik ini, sehigga di waktu malam Ketua Hui-eng pang yang tidak mempunyai keluarga ini lalu memberi pelajaran ilmu membaca dan menulis kepada Siok Li Hwa. Bahkan ia pun mulai memberi pelajaran ilmu silat dasar seperti yang ia ajarkan pada semua anggauta Hui eng-pang. Tentu saja ia tidak langsung mengajari sendiri, hanya menyuruh seorang anggautanya yang sudah pandai. Akan tetapi tentang pelajaran ilmu surat dia sendiri yang mengajar.

Siok Li Hwa merasa senang sekali tinggal di situ dan gadis ini ternyata berotak tajam. Tidak saja huruf-huruf yang sukar itu dilalapnya dengan mudah juga semua pelajaran ilmu silat dapat dipahami dalam waktu singkat. Melihat kecerdikannya, Pat-jiu Nio-nio semakin sayang kepadanya. Mulailah memberi pelajaran ilmu silat sendiri pada gadis cilik ini, yaitu pelajaran teori ilmu silat yang mengandung sari pelajaran ilmu silat tinggi. Juga ia menceritakan tentang tata usaha dan peraturan dari perkumpulan Hui-eng-pai yang istimewa. karena terdiri dari wanita semua.

“Kaum wanita terlalu dihina dan direndahkan oleh kaum pria, Li Hwa.“ Pernah Pat-pu Nio-nio berkata, “'lihat betapa banyaknya wanita dianggap sebagai hewan peliharaan dan dianggap rendah serta tiada berguna. Orang-orang itu bangga kalau mempunyai anak laki-laki, sebaliknya kecewa kalau mempunyai anak perempuan. Banyak sekali suami yang mengambil isteri berikut bini muda pula sampai beberapa orang jumlahnya.

Semua itu karena kaum wanita lemah. Oleh karena itu, perkumpulan Hui-eng-pai harus menjadi pelopor, membangkitkan semangat para wanita agar kelak jangan sampai diinjak-injak dan dijajah oleh kaum pria.“ Seringkali Li Hwa mendengar kalimat-kalimat seperti ini yang membanjir keluar dari mulut Pat jiu Nio-nio.

Akan tetapi sayang, ketika Li Hwa berusia empat belas tahun, Pat-jiu Nio-nio meninggal dunia karena usia tua. Orang yang paling berduka di antara para anggauta perkumpulan itu adalah Siok Li Hwa yang merasa seperti ditinggal ayah-bundanya sendiri. Beberapa jam setelah Pat- jiu Nio-nio dianggap meninggal, Li Hwa menjaga jenazah Pat-jiu Nio-nio seorang diri di dalarn kamar jenazah.

Ia memeluki jenazah itu sambil menangis, dan menolak keras ketika para saudara tuanya mengajak ia keluar. Menjelang tengah malam, kurang lebih enam jam setelah Pat-jiu Nio-nio disangka mati, tiba-tiba ia mendengar suara nenek itu perlahan.

“Siok Li Hwa...“

Li Hwa mengangkat mukanya dan pucatlah ia ketika melihat betapa nenek itu bergerak-gerak dan membuka mata. Akan tetapi hanya sebentar saja ia kaget. Di lain saat ia sudah girang bukan main dan cepat-cepat ia berlutut. Pat jiu Nio-nio tidak bangkit, hanya rebah saja sambil menggerak-gerakan jari tangannya membuat tulisan di udara. Sian Li Hwa adalah seorang anak yang cerdik sekali. Ia memperhatikan gerak jari tangan itu dan tahulah ia bahwa nenek itu menuliskan huruf-huruf yang berbunyi:

“Ambil peti merah di sudut kamar dan bawa ke sini!“

Li Hwa cepat berdiri dan melakukan perintah itu. Ia tahu bahwa peti merah itu berisi beberapa jilid kitab kuning karena sudah seringkali ia melihat nenek itu tekun membaca kitab-kitab itu sampai jauh malam, bahkan kadang-kadang sampai hampir pagi. Karena melihat nenek itu sudah lemah sekali, maka Li Hwa menaruh peti itu di pinggir pembaringan. Ia cemas juga melihat nenek itu kini sudah rebah telentang dengan kedua mata dipejamkan tak bergerak seperti tadi ketika belum bergerak dan sudah dianggap mati.

“Nio-mo... ini petinya...“ katanya di dekat telinga nenek itu.

Pat-jiu, Nio-nio membuka matanya yang sudah tak bersinar lagi. Agaknya suatu yang amat menjadi pikirannya yang membuat nenek ini seakan akan hidup lagi! Atau memang tadinya ia belum mati betul dan pikiran tentang sesuatu yang ditinggalkan itu agaknya memberi daya hidup, sungguhpun ia hanya dapat menggerakkan tangan dan hanya dapat mengeluarkan suara memanggil nama Li Hwa tadi. Kini ia kembali menggerak-gerakkan telunjuknya di udara seperti orang menulis huruf. Siok Li Hwa cepat memandang dan menaruh perhatian sepenuhnya. Sambil memandang, membaca hurut-huruf yang ditulis di udara itu.

“Kau pelajari kitab-kitabku, cari Cheng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) tanya pada Hwesio Go-bi, dan pimpin Hui-eng-pai!“

Setelah menuliskan huruf terakhir lengan yang kurus itu hilang tenaganya jatuh di atas dadanya dan kali ini Pat-jiu Nio-nio benar-benar kehilangan nyawanya!

Demikianlah, setelah perkumpulan ini bubar sendirinya dan para anggautanya, kecuali lima orang anggauta tertua mengambil keputusan menjadi pertapa di gedung seperti istana ini, pergi meninggalkan puncak sunyi itu, Li Hwa ikut tinggal di situ. Diam-diam ia mempelajari isi peti dan ternyata di dalamnya terdapat tiga buah kitab kuno.

Sebuah kitab ilmu silat dan ilmu pedang, sebuah lagi terisi pelajaran tentang lweekang, latihan napas, samadhi dan ilmu-ilmu tinggi tentang tenaga di dalam tubuh, dan yang ke tiga adalah sebuah kitab tentang pelajaran ilmu pengobatan dan tentang peraturan-peraturan Perkumpulan Hui-eng-pai. Dengan amat keras hati dan tekun, Li Hwa mempelajari semua ini, melatih dengan amat rajinnya sehingga ia akhirnya berhasil mewarisi ilmu silat yang tinggi dari mendiang Pat-jiu Nio-nio.

Lima orang pendeta wanita bekas anggauta Hui-eng-pai juga mengetahui hal ini dan diam-diam mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai orang yang mampu melanjutkan cita-cita guru besar mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, mereka inilah yang membantu memberi petunjuk-petunjuk, karena biarpun dalam hal ilmu silat mereka sudah kalah jauh oleh Li Hwa, namun dalam hal pengalaman mereka menang banyak. Ketika Li Hwa menuturkan tentang Cheng-liong-kiam dan hwesio di Gobi-san seperti yang dipesankan oleh Pat-jiu Nio- nio, lima orang pendeta itu nampak terkejut sekali.

“Aduh, mengapa kau diharuskan mencari pedang itu?“ kata seorang di antara mereka. “Dulu Nio nio sendiri tidak berhasil mendapatkan pedang itu. Terutama hwesio Gobi yang dimaksudkan, tentulah ketua dan Go-bi-pai yang berada di puncak ke tujuh dan deretan puncak- puncak di pegunungan ini. Di sana terdapat sebuah kelenteng besar dan didiami oleh hwesio-hwesio yang tinggi silatnya. Kiranya hanya mereka itulah yang dapat menunjukkan dimana adanya Cheng-liong-kiam, karena kami sendiri pernah mendengar namun tidak tahu di mana adanya pedang pusaka itu.”

”Kalau begitu, aku harus pergi mencari hwesio itu dan harus kudapatkan pedang Cheng-liong-kiain sesuai dengan pesan mendiang Nio-nio!” kata Li Hwa dengan suara menyatakan kebulatan tekadnya. Gadis berusia belasan tahun dengan semangat menyala-nyala lalu pergi ke puncak di mana terdapat kelenteng Go-bi-pai yang angker dan besar.

Ia diterima oleh Kian Hok Taisu, ketua dari Go-bi-pai. Hwesio tua ini terheran-heran melihat seorang gadis cantik jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pat-jiu Nio nio dan mengaku hendak menyampaikan pesanan mendiang Put-jiu Nio-nio.

”Nona cilik, bagaimana kau bisa mengaku sebagai ahli waris Pat-jtu Nio-nio?” tanya ketua Go-bi-pai ini dengan suara sabar.

Siok Li Hwa selamanya tinggal di atas gunung dan tak pernah bergaul di dunia ramai maka sikapnya kaku, dingin dan polos, tidak pandai bersopan dan bermanis-manis.

”Tai-suhu,” katanya tanpa memberi hormat dan berdiri dengan tegak, ”sebelum meninggal dunia. Nio-nio menyerahkan tugas kepadaku, menurunkan kepandaiannya melalui kitab-kitab pelajaran kepadaku dan memesan supaya aku pergi menemui hwesio Go-bi pai dan tanya tentang Pedang Cheng-liong-kiam. Maka harap kau orang tua suka memenuhi keiginan Nio-nio dan katakan kepadaku dimana adanya pedang Cheng-liong-kiam itu agar dapat kuambil.”

Sepasang mata Kian Hok Taisu yang besar itu terbelalak heran dan di sana-sini terdengar suara ketawa ditahan dan beberapa orang hwesio yang ikut mendengar kata-kata lantang ini.

“Kau...? Kau yang diwajibkan oleh mendiang Pat-jiu Nio-nio untuk mengambil Cheng-liong-kiam? Ah, jangan main-main, Nona. Pat-jiuw Nio-nio sendiri sudah mencoba mengambilnya sampai lima kali akan tetapi selalu ia gagal dan akhirnya ia sampai-sampai tidak mau muncul di dunia kangouw dan menyembunyikan diri. Sekarang kau yang masih begini muda, kau mau mengambil pusaka itu? Nona, mata pedang tak dapat melihat orang dan kalau kita tidak hati- hati mudah sekali kita terluka olehnya. Harap kau batalkan saja niat ini dan pulang dengan selamat. Nasihat pinceng, ini bukan main-main dan demi kebaikanmu sendiri.“

“Hwesio tua baru berjumpa satu kali kau sudah memberi nasihat dan mengkhawatirkan keselamatanku. Sungguh kau baik hati. Akan tetapi aku tidak perduli akan semua nasihatmu itu. Baiknya kau lekas beri tahu di mana adanya Cheng-liong-kiam itu agar aku dapat pergi mengambilnya dan habis perkara. Jangan kau putar-putar omongan yang tidak ada gunanya bagiku.“ gadis ini tidak marah, akan tetapi oleh karena ia tidak dapat mengatur kata-katanya, maka terdengar kasar dan tidak hormat.

Baiknya Kian Hok Taisu adalah seorang pendeta Buddha yang sudah tinggi ilmunya, maka ia tidak menjadi marah, hanya tersenyum lebar dan diam-diam bahkan mengagumi semangat gadis itu. Jarang ia melihat seorang wanita dengan semangat perlawanan yang menyala-nyala dan keberanian yang begini besar.

“Omitohud!“ Ta memuja nama Buddha sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada. “Begitukah kehendakmu, Nona. Baiklah, mari kau ikut pinceng, biar kau mencoba merampas pedang itu.” Setelah berkata demikian, hwesio tua itu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke sebelah dalam kelenteng yang luas itu. Beberapa orang hwesio lain juga berjalan masuk. Siok Li Hwa merasa sangat heran. Tak disangkanya tempat itu ternyata dekat saja, bahkan adanya di sebelah dalam kelenteng ini! Akan tetapi tanpa banyak cakap ia pun lalu berjalan mengikuti Kian Hok Taisu.

Ternyata bahwa Ketua Go-bi-pai membawanya ke sebuah ruangan amat lebar. Melihat betapa ruangan kosong dan di pojok terdapat rak tempat senjata, mudah diduga bahwa tentulah Lian-bu-thia, tempat belajar silat dari Partai Go-bi- pai. Tempat itu memang luas sekali, kiranya cukup untuk seratus orang berlatih silat dalam saat yang sama.

Kian Hok Taisu berhenti di tengah- tengah ruangan membalikkan tubuh menghadapi Li Hwa yang berdiri bengong tak mengerti. Hwesio-hwesio lain yang kini jumlahnya bertambah, ada dua puluh orang mengundurkan diri dan duduk di atas lantai dalam keadaan berkeliling membuat ruangan yang cukup lebar di tengah-tengah seperti orang hendak nonton demonstrasi silat.

Kemudian seorang hwesio dengan sikap hormat dan langkah tegap mendatangi dari dalam, kedua tangannya menyangga sebuah bungkusan panjang. la melangkah terus sampai di depan Kian Hok Taisu, lalu membungkuk dan menyodorkan bungkusan kain putih yang tadi dibawanya. Hwesto tua itu menyambut bungkusan kain putih dan memberikan kain itu kepada pembawa bungkusan tadi. Dan dalam bungkusan itu dikeluarkannya sebatang pedang yang bagus sekali, yang ketika dihunus dari sarungnya mengeluarkan cahaya hijau.

Pembawa bungkusan itu lalu mengundurkan diri dan duduk bersila di dekat kawan-kawannya yang lain, yang semua sekarang memandang penuh perhatian ke tengah lapangan di mana guru besar mereka dengan pedang hijau di tangan berhadapan dengan Siok Li Hwa.

“Nona, silakanlah,“ kata hwesio tua itu sambil melintangkan pedang hijau di depan dada, sikap seorang yang menanti datangnya serangan lawan!

Tentu saja Siok Li Hwa mengelak dan tidak bergerak, memandang dan terheran-heran, bahkan ia ragu-ragu apakah hwesio tua ini kurang waras otaknya.

“Silakan bagaimanakah? Kau suruh aku berbuat apa, Tai suhu?“ tanyanya sambil memandang tajam.

“Tentu saja merampas pedang ini dari tangan pinceng kalau kau dapat, habis apa lagi? Bukankah untuk keperluan ini kau datang ke sini?“

Biarpun Li Hwa seorang yang cerdik, akan tetapi semua ini melampaui batas kemampuannya berpikir. Ia menjadi bingung dan dengan berkerut ia menegur. “Hwesio tua, harap kau jangan main gila. Aku tidak ada waktu untuk main- main! Apa sih maksudmu mengajak bertanding?“

Kini giliran Kian Hok Taisu yang terbelalak heran. Kemudian hwesio ini mengerti dan tertawalah dia, tertawa geli. “Aha, jadi kau malah belum mengerti akan maksud pesanan mendiang Pat jiu Nio-nio? Benar-benar lucu. Duduk lah, Nona, biar pinto menceritakan kepadamu sejelasnya.“

Setelah berkata demikian hwesio itu lalu duduk bersila di atas lantai, di tempat ia tadi berdiri. Biarpun dengan sikap kurang sabar, Li Hwa terpasa duduk juga untuk mendengarkan keterangan hwesio tua itu atas sikapnya tadi yang benar-benar ia tidak mengerti. Dia datang untuk menanyakan tempat Ceng-liong-kiam, mengapa datang-datang ditantang berkelahi? Dan pedang di tangan hwesio tua itu, pedang indah yang bercahaya hijau, apakah hubungannya dengan Cheng-liong kiam? Apakah itu yang disebut Cheng-liong-kiam?

“Nona, semua ini dimulai dengan kelakar! Dengan lelucon antara mendiang Pat-jiu Nio-nio dan Paman Guruku yang sudah meninggal dunia. Pedang ini yang disebut Cheng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) dan tadinya adalah pedang Pat-jiu Nio-nio. Ketika itu Pat jiu Nio-nio masih muda, gagah perkasa dan jenaka. Sayang sekali ia terlalu mengagulkan kepandaian sendiri sehingga timbul sombongnya. Di hadapan Paman Guruku. Pat-jiu Nio-nio berani menyatakan bahwa barang siapa dapat menghadapi pedangnya dengan tangan kosong dan merampas pedang maka pedang itu akan diberikan dengan cuma-cuma.“ Kian Hok Taisu menarik napas panjang, lalu melanjutkan.

“Pada waktu itu, Paman Guruku juga masih muda dan berdarah panas. Mendengar kesombongan Pat-jiu Nio-nio, ia lalu menggulung lengan baju dan menantang. Maka mulailah pertempuran. Pat-jiu Nio-ruo memegang Cheng liong-kiam dan paman guruku bertangan kosong. Karena tingkat kepandaian Paman Guruku lebih tinggi, akhirnya pedang itu terampas! Paman Guruku hendak mengembalikannya dan menganggap hal itu sebagai lelucon, siapa kira bahwa Pat-jiu Nio-nio merasa terhina dan berkata dengan marah bahwa kelak akan tiba masanya ia datang mengambil kembali pedangnya itu dengan cara yang sama, yakni mengalahkan Paman Guruku yang berpedang dengan tangan kosong! Kemudian wanita yang keras hati itu memperdalam ilmu silatnya. Akan tetapi, berulang-ulang sampai tiga kali ia datang tetap saja ia tidak berhasil merampas pedang. Bahkan yang keempat kalinya ia terluka oleh Paman Guruku.“

Sampai di sini Kian Hok Taisu menahan napas panjang. “Sungguh menyedihkan sekali, perkara lelucon seperti itu mendatangkan dendam yang mendalam. Bahkan Paman Guruku yang marah melihat sikap Pat-jiu Nio-nio juga timbul panas hatinya dan bertekad tidak mau mengembalikan pedang begitu saja sebelum ia dikalahkan! Oleh karena itulah, ketika bahwa pedang ini harus pinceng simpan baik-baik dan apabila Pat-jiu Nio-nio datang hendak mengambilnya, pinceng harus pula menghadapinya dengan syarat yang sama, yakni apabila Pat-jiu Nio-nio dengan tangan kosong dapat merampasnya, baru pedang itu boleh diberikan, ditambah pernyataan maaf dari mendiang paman guruku. Dua tahun kemudian, benar saja Pat-jiu Nio-nio datang dan terpaksa pinceng melayaninya. Setelah pertandingan yang sangat melelahkan, barulah pinceng berhasil mengalahkannya dan membuatnya pergi dengan penasaran.”

Kian Hok Taisu memandang kepada Siok Li Hwa, lalu berkata, ”Ketika mendengar bahwa Pat-jiu Nio-nio sudah meninggal dunia, yakni lima tahun yang lalu, hati pinceng sudah lega dan melupakan urusan ini. Pedang ini disimpan di kamar pusaka, dijadikan sebuah di antara senjata-senjata pusaka Go-bi-pai. Eh, tidak tahunya hari ini kau datang dan menyatakan sebagai wakil Pat-jiu Nio-nio hendak mengambil Cheng-liong-kiam. Bukankah hal ini benar-benar tak dapat disangka sebelumnya? Nah, demikianlah, Nona. Setelah mendengar penuturan ini, bagaimana pendapatmu?”

”Aku tetap hendak melakukan pesan mendiang Nio-nio tetap hendak mengambil kembali pedang pusaka itu!” kata Li Hwa dengan suara tetap.

Hwesio tua itu nampak kecewa dan berduka, ”Nona, kau tahu bahwa pinceng tak dapat memberikan pedang ini begitu saja tanpa memenuhi syarat yang sudah pinceng janjikan kepada Paman Guruku. Hanya kalau dapat merampas kembali, pedang ini dapat kembali ke dalam tanganmu. Akan tetapi kau masih begini muda, bagaimana pinceng yang tua bangka ada muka untuk melayanimu bertempur? Nona, lebih baik diatur begini saja. Kau pulanglah saja dan kau tunggu kalau pinceng sudah mati, pedang ini pasti akan diantarkan ke tempat tinggalmu. Yang bertanggung jawab terhadap pedang ini dan sudah berjanji kepada mendiang Paman Guruku hanya pinceng seorang. Kalau pinceng mati, berarti janji itu pun telah mati pula dan pinceng akan memesan kepada para anak murid agar kelak sepeninggal pinceng, pedang ini akan diantarkan kembali kepadamu. Bagaimana?” Kakek gundul itu memandang kepada Li Hwa dengan penuh harapan.

Akan tetapi gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri dan berkata, dengan suara nyaring. ”Kian Hok Taisu, kau bicara tentang enaknya jalan pikiranmu sendiri saja. Sudah jelas bahwa pedang itu dahulunya adalah milik Nio-nio. Mengapa sekarang kau begitu susah-susah memutar-mutar omongan? Kalau memang kau tidak menghendaki keributan serahkan saja pedang itu kepadaku, habis perkara bukan? Kalau kau menunggu sampai kau mati, baru mengembalikan, aah, tak usah mencari-cari alasan, bilang saja terus terang bahwa kau suka memiliki pedang itu tidak ingin mengembalikan!”

Kian Hok Taisu menjadi merah mukanya, akan tetapi ia tetap sabar. suaranya agak keras ketika ia berkata, ”Nona, kau masih begini muda tetapi kata-katamu keras. Agaknya seperti kau inilah dahulu Pat-jiu Nio-nio di waktu muda. Soal mengembalikan pedang adalah soal mudah. Akan tetapi adalah menyangkut soal nama dan kehormatan. Pat-jiu Nio-nio sampai lima kali berusaha mengambil pedangnya tanpa hasil. Masa sekarang begitu kau datang tanpa perlawanan pinceng harus mengembalikan pedang itu begitu saja? Akan kemanakah larinya nama dan kehormatan pinceng sebagai Ketua Go-bi-pai?”

”Hem, Hwesio Tua. Kau bicara tentang nama dan kehormatan, apakah aku yang muda juga tidak menjaga nama dan kehormatan? Aku harus menebus penghinaan yang dirasakan oleh Nio-nio di samping merampas kembali pokiam itu. Kau telah berjanji akan memenuhi pesan Paman Gurumu sampai mati apakah kau kira aku pun tidak berani memenuhi pesan Nio nio dengan taruhan nyawaku?“

“Jadi kau benar-benar hendak merampas pedang ini?“ Kian Hok Taisu berkata sambil menggerak-gerakkan pedang Cheng-liong-kiam sehingga kelihatan sinar kehijauan.

“Tentu saja.”

Kembali terdengar suara ketawa dari beberapa orang hwesio yang menonton di situ karena kata-kata itu dianggap amat lucu. Bagaimana seorang gadis cantik jelita dan muda yang nampaknya begitu halus dan lemah akan merampas pedang di tangan Ketua Go-bi-pai?

“Nona, kau masih begini muda. Pinceng tak enak hati menghadapimu dengan pedang di tangan, sedangkan kau sendiri bertangan kosong. Kaullhat, di pojok sana itu terdapat rak senjata. Kaupilih senjata yang paling baik untuk menghadapi pinceng dan apabila pinceng sampai terluka sedikit saja oleh senjatamu, biarlah pinceng mengaku kalah. Akan tetapi, kalau sampai kau yang terkalahkan harap kau jangan bantah-bantahan lagi dan menunggu sampai pinceng menutup mata untuk selamanya baru pedang ini akan diantarkan kepadamu.“

Li Hwa tidak menjawab, melainkan segera menghampiri rak senjata dan memilih sebatang pedang yang cukup baik. Kemudian ia melompat menghadapi Kian Hok Taisu sambil memutar pedang berkata, “Hwesio tua, lihat pedang““ Pedangnya digerakkan cepat dan ia telah menyerang dengan dahsyat.

Melihat cara serangan ini, tak terasa lagi Kian Hok Talsu berseru, “Omitohud, kau benar-benar ahli waris Pat-jiu Nio-nio!“ la pun tidak tinggal diam dan pedang Cheng-liong-kiam di tangannya diangkat untuk menangkis serangan nona itu.

Akan tetapi Li Hwa tidak menanti sampai pedangnya tertangkis. Melihat bahwa serangan pertama ini gagal dan itu akan tertangkis apabila dilanjutkan, ia telah menarik kembali pedangnya dan langsung ditusukkan, merupakan serangan kedua yang tak kalah dahsyatnya dan begitu otomatis seperti serangan berantai. Padahal yang dimainkan itu adalah jurus ke dua yang berlainan sama sekali. Inilah sifat ilmu silat yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan Pat-jiu Nio-nio. Mengandalkan kepada kecepatan gerakan sehingga mendesak lawan dan tidak memberi kesempatan untuk lawan balas menyerang.

Akan tetapi Kian Hok Taisu adalah orang ahli silat kelas tinggi. Dahulu ketika Pat-jiu Nio-nio sendiri datang hendak merampas pedang, wanita sakti itu dapat dikalahkannya. Apalagi sekarang yang datang hanya murid Pat-jiu Nio-nio yang kepandaiannya belum matang. Setelah menggagalkan serangan Li Hwa sampai dua belas jurus akhirnya pedang Cheng-liong-kiam berhasil membabat pedang di tangan gadis itu. Terdengar suara keras dan pedang di tangan Li Hwa buntung menjadi dua.

Akan tetapi gadis itu tidak menjadi gentar, sebaliknya ia melompat ke pojok ruangan dan di lain saat ia telah kembali menghadapi Kian Hok Taisu dan menyerang dengan sebatang golok yang tadi diambilnya dari rak senjata! Serangan-serangannya kalah hebatnya oleh serangan pertama dengan pedang yang telah buntung tadi.

Kian Hok Taisu cepat menyambut serangan ini dan sebentar kemudian dua orang ini sudah lenyap terbungkus gulungan sinar senjata, bertempur dengan hebatnya di ruangan itu, membuat para hwesio yang menonton menahan napas. Tak mereka sangka bahwa gadis muda ini ternyata lihai sekali dan memiliki kecepatan gerakan yang membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar senjata yang di mainkan. Kembali belasan jurus lewat dan ditutup oleh suara nyaring ketika golok di tangan Li Hwa terbabat putus lagi oleh Cheng-liong-kiam!

“Cih! Tak malu mengandalkan kemenangan pada pedang curian!“ Li Hwa menyindir dengan hati mendongkol dan di lain saat ia telah melompat berjungkir balik dari tengah ruangan ke rak senjata lalu kembali ke tengah ruangan menghadapi lawannya dengan sebatang tombak! Dengan tombak ini ia menyerang bagaikan gelombang menderu dan terpaksa Kian Hok Taisu melayaninya.

Ketua Go-bi-pai ini diam-diam terkejut sekali. Gadis muda ini ternyata tidak saja mewarisi kepandaian Pat-jiu Nio-nio akan tetapi juga mewarisi wataknya yang keras dan berani dan dalam hal ini, kiranya malah lebih keras, lebih berani, dan lebih nekad daripada Pat-jiu Nio-nio sendiri!

Berkali-kali Li Hwa berganti senjata dan senjata-senjata yang buntung oleh cheng-liong-kiam dan berserakan di ruangan itu sudah amat banyak. Pedang, golok, tombak, toya, pian, dan rantai. Kini gadis itu memegang sebilah tombak cagak dan menyerang makin lama makin dahsyat. Diam-diam Ketua Go-bi-pai kagum. Gadis semuda ini sudah miliki gerakan demikian hebat dan bahkan sudah pandai mainkan delapan belas macam senjata. Benar-benar jarang ada keduanya. Apalagi kalau disertai keberanian sebesar itu benar-benar merupakan gadis pilihan yang pasti akan dapat menjunjung tinggi namanya di dunia kang-ouw kelak. Akan tetapi kalau sampai tersesat jalan hidupnya, gadis ini akan menjadi penyeleweng yang tidak kepalang tanggung, dan merupakan ancaman hebat.

Tombak cagak yang dimainkan oleh Li Hwa kali ini adalah sebuah senjata yang ringan, maka gerakan gadis itu juga cepat bukan main. Namun, tetap saja setelah dua puluh jurus lewat, tombak itu patah menjadi dua bertemu dengan Cheng liong-kiam. Kini Kian Hok Taisu mengharapkan gadis itu mau mengalah dan pergi. Akan tetapi ia kecele, karena sebaliknya, gadis itu lalu menarik ikat pinggangnya yang terbuat daripada sutera kuning yang panjang dan mulailah Li Hwa menyerang dengan senjata istimewa.

Kali ini Kian Hok Taisu terkejut sekali. Semenjak tadi, ia tidak pernah mau menyerang Li Hwa, hanya menjaga diri dan tiap kali ada kesempatan, mematahkan senjata lawannya mengandalkan ketajaman pedang Cheng-liong- kiam. Melihat tingkat kepandaian Li Hwa, hal ini tidak mungkin ia lakukan, yakni hanya menjaga diri tanpa membalas, apabila tidak memegang pedang pusaka yang ampuh. Sekarang Li Hwa menyerangnya dengan ikat pinggang sutera dan dalam tangan seorang ahli lweekang, sabuk sutera ini dapat menjadi senjata yang amat berbahaya dan tidak dapat diputus oleh tajamnya pedang.

Di lain pihak, tadi ketika berganti-ganti senjata, diam-diam Li Hwa mengasah otaknya. Di dalam kitab Pat-jiu Nio-nio ia memang mendapat beberapa bagian yang menarik, yang menuturkan betapa Pat-jiu Nio-nio, menggunakan tipu untuk menghadapi lawan tangguh akan tetapi selalu gagal. Kegagalan ini ditulis terang terangan di dalam kitab, bahkan digambarkan keadaan pertempuran, tiap tipu apa yang dipergunakan oleh Pat jiu Nio-nio dan bagaimana ia mengalami gagalan.

Coretan-coretan seperti ini ada lima macam dan tadinya Li Hwa tidak mengerti maksudnya, hanya mengira bahwa itu adalah pemberitahuan tentang siasat pertempuran. Akan tetapi sekarang baru ia mengerti bahwa setiap kali menyerang ke Go-bi-pai dan dikalahkan, Pat-jiu Nio-nio lalu menuliskan semua kegagalannya itu di dalam kitab!

Li Hwa semenjak tadi mengerahkan otaknya mengingat-ingat coretan yang lima macam itu. Teringatlah ia bahwa usaha Pat-jiu Nio-nio gagal seperti tersebut dalam coretan-coretan itu adalah karena Pat-jiu Nio-nio selalu mempergunakan kekerasan. Ilmu silat Go-bi-pai adalah ilmu silat yang banyak mengandalkan tenaga “yang“ (kekerasan) dan karenanya tokoh-tokohnya tentu saja memiliki tenaga yang kuat. Kalau diserang dengan tenaga kasar pula, maka banyak lawan yang harus tunduk dan kalah terhadap tokoh-tokoh Go-bi-pai.

Kemudian Li Hwa teringat bahwa di samping lima coretan tentang kegagalan Pat-jiu Nio-nio, terdapat coretan lain di bagian bawah yang menggambarkan seolah-olah Pat jiu Nio-nio mencari siasat bagaimana cara mengalahkan lawan yang sudah lima kali tidak dapat dikalahkan itu. Sekarang, setelah mendengar riwayat Pat jiu Nio-nio dan mendengar semua keterangan Kian Hok Taisu, barulah Li Hwa menjadi jelas dan semua coretan itu kini “hidup“ dalam ingatannya.

Ia tadi sengaja menukar-nukar senjata untuk memberi kesempatan padanya mengingat semua coretan itu. Setelah ia paham betul, barulah ia membuang senjata- senjata yang sudah buntung dan sebagai gantinya ia mengeluarkan ikat pinggangnya dari sutera!

Baru sekarang Li Hwa benar-benar menyerang dalam arti kata sedalam-daTamnya. Ia mengerahkan seluruh tenaga lweekang bagian “Im“, yakni tenaga lemas dan mengeluarkan tipu-tipu atau jurus-jurus ilmu silat seperti yang digambarkan dalam coretan-coretan ke enam dari Pat-jiu Nio-nio. Bukan tubuh Kian Hok Taisu yang diserangnya, melain bagian lengan yang memegang pedang atau gagang pedang.

Kadang-kadang ujung ikat pinggang sutera itu menyambar-nyambar bagai ular, menerjang dengan totokan ke arah pundak kanan atau sambungan siku pergelangan tangan atau menyerang jari tangan yang memegang gagang pedang. Semua jalan darah di bagian lengan tak luput dan sasaran sehingga boleh dibilang sabuk sutera itu hidup mengikuti jalannya pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan.

Ke manapun juga tangan kanan Kian Hok Taisu dengan pedang hijau itu bergerak, selalu sabuk sutera mengikuti dan menyerang dengan totokan-totokan dan kepretan-kepretan lihai. Pertempuran kali ini amat indah dipandang. Kian Hok Taisu yang tidak membiarkan lengannya tertotok, menggerakkan Cheng liong-kiam dengan cepat sehingga merupakan gulungan sinar hijau. Kini sinar hijau itu ke manapun juga diikuti oleh segunduk sinar kuning yang seakan-akan membayangi sinar hijau. Sinar ini adalah sinar dari sabuk sutera kuning yang digerakkan secara cepat oleh Li Hwa.

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Kian Hok Taisu mulai sibuk. Beberapa kali pedang Cheng-liong-kiam ia sabetkan ke arah sabuk sutera akan tetapi karena sabuk itu lemas dan kuat, serta dimainkan oleh Li Hwa dengan pengerahan tenaga “im“ hasilnya sia sia saja, sabuk itu tidak mau putus. Kini terpaksa Kian Hok Taisu melakukan serangan balasan, karena hanya dengan serangan balasan saja ia dapat menahan desakan Li Hwa.

Baru sekarang pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran, saling serang dan saling mempertahankan dan baru sekarang Li Hwa mendapat kenyataan bahwa hwesio tua itu benar-benar lihai. Pedang yang dimainkan itu berubah menjadi gulungan sinar hijau yang amat kuat, mengurung dan menindihnya sehingga sebentar saja Li Hwa terkurung dan terdesak hebat. Keadaan jadi sebaliknya. Kalau tadinya Li Hwa selalu menjadi penyerang dan hwesio itu yang mempertahankan, adalah sekarang gadis itu yang diserang dan terdesak hebat oleh Kian Hok Taisu dengan pedangnya yang ampuh.

Li Hwa mulai putus asa. Gadis maklum bahwa andalkata hwesio itu tidak memegang pusaka yang ampuh belum tentu ia dapat menang. Apalagi sekarang hwesio itu mainkan Cheng liong-kiam yang amat tajam sedangkan senjatanya sendiri hanya sehelai sabuk sutera! Bagaimanapun juga, tak mungkin ia menang, tak mungkin ia dapat merampas pedang.

Apakah riwayat Pat-jiu Nio-nio akan terulang lagi? Apakah nasibnya akan seperti Pat-jiu Nio-nio, setiap kali berusaha merampas pedang dan gagal? Tidak pikir Li Hwa dengan hati dan kepala panas, aku tidak mau seperti itu. Sekarang juga aku harus dapat merampas pedang atau biar aku mati di bawah pukulan pedang itu! Pikiran ini membuat Li Hwa menjadi nekat. Kini ia menyerang dengan tangan kirinya. Sabuk sutera dan tangan kiri dengan gerakan-gerakan nekad dan cepat menyerang ke arah lengan yang memegang pedang.

Kian Hok Taisu mengeluarkan suara terkejut. Hampir saja pedang Cheng-liong-kiam mampir di leher nona itu kalau ia tak cepat-cepat menahan tenaganya dan menarik kembali pedangnya. Nona itu sekarang menyerangnya dengan hebat dan nekad, sama sekali tidak memperdulikan ancaman pedang lagi, merangsek hebat ke arah lengan kanan yang memegang pedang dengan tekad bulat untuk merampasnya!

Kian Hok Taisu mengeluh di dalam hatinya. Tak mungkin ia melukai nona ini. Hatinya tidak tega melukai seorang gadis muda. Bukan hanya tidak tega, juga ia merasa malu kalau harus mengundurkan gadis ini dengan melukainya, apalagi membunuhnya. Terpaksa ia menghentikan semua serangannya karena gadis itu tidak mau menjaga diri lagi dan kini terpaksa ia mengerahkan kepandaiannya untuk menjaga agar pedang jangan sampai terampas.

Akan tetapi usahanya ini jauh lebih berat daripada tadi. Kalau tadi Li Hwa masih memperhatikan penjagaan diri sehingga serangan-serangan tidak sepenuhnya, adalah sekarang gadis yang nekad itu sama sekali tidak perhatikan tentang penjagaan diri dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk merampas pedang, bahkan kini bukan hanya dengan tangan kanan yang memegang sabuk sutera, melainkan dibantu pula oleh tangan kirinya yang mainkan ilmu silat semacam ilmu mencengkeram. Gerakannya cepat dan dahsyat dan diam-diam Kia Hok Taisu kagum, kakek gundul ini tahu bahwa ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang aseli, ciptaan dari Pat-jiu Nio-nio dan yang diajarkan kepada seluruh anggauta Hui-eng-pai.

Kian Hok Taisu hanya dapat mempertahankan pedangnya selama empat puluh jurus. Dengan keadaan yang amat terdesak, akhirnya ujung sabuk sutera itu berhasil menotok jalan darah di pundaknya. Biarpun ia sudah mengerahkan tenaga menolak hawa totokan, namun karena jalan darahnya terkena tepat sekali, jalan darah itu masih kena digetarkan yang membuat lengannya kesemutan dan gerakannya menjadi lambat. Kesempatan tidak disia-siakan oleh Li Hwa. Gadis itu menggerakkan tangan kanan dengan cepat dan di lain saat pedang itu sudah pindah ke dalam tangannya!

Kian Hok Taisu menghentikan gerakannya, menarik napas dan berkata, “Pinceng terima kalah. Kau patut sekali mewarisi pokiam (pedang pusaka) itu, Nona. Harap saja pedang itu di tanganmu akan mendatangkan kebaikan untuk dunia dan jangan sampai digunakan untuk melakukan kejahatan- kejahatan.“

Li Hwa bukan seorang yang bodoh dan buta. Ia tahu bahwa dalam hal perebutan pedang tadi, ia berhasil hanya karena hwesio tua ini mengalah. Kalau hwesio itu menghendaki, sudah sejak tadi ia roboh terluka oleh pedang. Maka ia lalu menjura dan berkata, “Taisu, terima kasih bahwa kau sudah mengembalikan pedang sehingga aku dapat memenuhi pesanan Nio-nio. Pedang ini asalnya milik Nio-nio dan karena Nio-nio bukan orang jahat, bagaimanapun pedang ini akan dapat dilakukan untuk perbuatan jahat? Nah, selamat tinggal sampai berjumpa kembali, Tai-suhu.”

Setelah berkata demikian, nona itu berkelebat, kelihatan sinar kehijauan dari pedang Cheng-liong-kiam yang berada di tangannya dan sebentar saja Li Hwa lenyap dari depan Kian Hok Taisu.

Kakek gundul itu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya “Omitohud... lihai sekali bocah itu. Setelah pedang itu berada di tangannya, biarpun pinceng sendiri belum tentu aku dapat menundukkannya...“

Demikianlah setelah dapat merampas kembali pedang Cheng-liong-kiam, Li Hwa lalu menjalankan pesan yang ketiga dari mendiang Pat-jiu Nio-nio, yakni membangun kembali perkumpulan Hui-eng-pai. Untuk ini ia dapat banyak bantuan dari lima pendeta perempuan bekas anggauta terpenting dari Hui-eng-pai dahulu. Untuk memenuhi kehendaknya Li Hwa tidak ragu-ragu untuk menculik gadis-gadis kampung dan gunung untuk dijadikan anggauta perkumpulannya!

Dalam hal ini ia selalu memilih gadis yang cantik dan bersih. Tak lama kemudian, ia telah dapat mengumpulkan seratus orang anggauta perkumpulan Hui-eng-pai, seratus orang gadis yang rata-rata memiliki kecantikan mengagumkan. Mulailah ia mengatur anggautanya, melatih ilmu silat dan melakukan pekerjaan untuk kepentingan mereka semua di puncak tersembunyi dari Go-bi-pai itu.

Sementara itu, setelah mendapatkan Cheng-liong-kiam, Li Hwa tidak membuang waktu dengan sia-sia belaka. Ia memperdalam ilmu silatnya dan di dalam kitab memang terdapat ilmu pedang yang disebut Cheng-liong-kiam-sut, yakni Ilmu Pedang Naga Hijau yang tentu saja amat cocok dan tepat kalau untuk mainkan ilmu pedang ini digunakan pedang Cheng-liong-kiam sendiri!

Ilmu silatnya maju pesat dan demikian hebat kemajuan yang diperoleh Li Hwa sehingga kepandaiannya sudah menyusul tingkat mendiang Pat-jiu Nio-nio. Bahkan ia kini sudah dapat meniru pekik burung elang yang dahulu hanya dapat dilakukan oleh Pat- jiu Nio-nio, pekik yang menjadi tanda dari perserikatan itu. Anggauta-anggauta lain dapat juga mengeluarkan pekik itu akan tetapi harus dibantu dengan alat tiup terbuat daripada daun bambu muda. Hanya Li Hwa seoranglah yang dapat mengeluarkan pekik ini tanpa bantuan alat, melainkan dengan pengerahan tenaga lweekang yang tinggi. Oleh karena ini, pekiknya adalah pekik yang lebih aseli dan yang berbeda daripada pekik para anggautanya, sehingga dapat dibedakan siapa kepalanya siapa anak buahnya.

Kurang lebih tiga bulan sebelum pertemuan di puncak Ngo-heng-san itu, terjadilah hal yang menggegerkan penghidupan para anggauta Hui-eng-pai di puncak Go-bi-san. Peristiwa ini terjadi pada suatu malam, yang menimpa seorang di antara para anggauta yang bernama Cun Eng, seorang gadis yang manis dan menarik, memiliki potongan tubuh yang menggairahkan. Selagi gadis ini seorang diri meronda sebagaimana tiap malam dilakukan secara bergiliran untuk menjaga keamanan gedung seperti istana itu, tiba-tiba ia melihat bayangan hitam berkelebat.

Sebelum Cun Eng dapat melihat siapa bayangan itu, tahu-tahu ia telah diserang, tertotok roboh. Bayangan itu ternyata ialah seorang laki-laki yang berkepandaian tinggi dan yang kemudian membawa Cun Eng pergi dan situ. Gadis ini tidak berdaya lagi dan tak kuasa mempertahankan diri dari gangguan laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Ta hanya dapat melihat bentuk badan orang itu, dan mendengar suaranya ketika laki-laki itu hendak meninggalkannya berkata.

“Manis, kalau kelak kau merasa rindu kepadaku dan hendak mencariku, carilah di dunia kang-ouw. Namaku Wan Sin Hong sudah cukup terkenal.“

Cun Eng sambil menangis lalu melaporkan penghinaan ini kepada Li Hwa yang membuat sepasang alis Li Hwa berdiri saking marahnya.

“Keparat jahanam Wan Sin Hong, kalau belum memenggal lehermu aku tak mau pulang!“ serunya marah. Cepat mengumpulkan para anggauta yang sudah agak pandai sebanyak empat puluh orang kemudian ia melakukan pengejaran yang tiada henti-hentinya. Di mana saja ia mendengar jejak Wan Sin Hong tentu akan disusulnya sampai akhirnya tiba di Puncak Ngo-heng-san!

Demikianlah sebabnya mengapa begitu melihat Liok Kong Ji, Li Hwa terus saja menerjang. Hal ini adalah karena Cun Eng yang memberi tahu kepadanya bahwa pemuda yang memegang hudtim itu seperti orang yang telah melakukan perbuatan keji kepadanya. Tni pula sebabnya mengapa Li Hwa menjadi marah dan menendang Cun Eng karena itu tidak berani mengambil keputusan apakah Li Kong Ji itu orang yang mereka kejar-kejar atau bukan.

Kecewa karena tidak bisa menentukan penjahat yang dikejar-kejarnya sampai berbulan-bulan, Li Hwa lalu menghibur dirinya dengan menonton pemilihan bengcu yang tanpa disengaja ia kunjungi.

Setelah melihat bahwa tempat itu sudah penuh dengan orang-orang gagah dari seluruh penjuru dan tidak ada tamu baru yang datang lagi, tiga ciangbunjin dari Thian san pai, Kum-lun-pai dan Bu-tong-pai yang dianggap sebagai pemimpin pertemuan, saling memberi tanda bahwa urusan segera dapat dimulai dan pertemuan dibuka.

Tai Wi Siansu, Ketua Kun-lun-pai yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan dianggap yang paling tua, segera berdiri dan diapit oleh Leng Hwat Taisu Ketua Thian-san-pai dan Bu Kek Siansu Ketua Bu-tong-pai, ia bicara dengan suaranya yang tenang, halus dan penuh kesabaran, akan tetapi karena diucapkan dengan tenaga lweekang, maka dapat didengar oleh semua orang yang berkumpul di situ, bahkan orang-orang yang berdiri paling pinggir dapat juga mendengar dengan jelas.

“Cuwi sekalian tentu sudah mengerti apa maksud kita bersama mengadakan pertemuan di tempat yang bebas ini.” Ia membuka kata-katanya dengan tenang. “Yang dimaksudkan bebas adalah karena Ngo-heng-san memang tidak ada partai persilatan sehingga pertemuan diadakan di tempat ini merupakan pertemuan bebas, jadi bukan merupakan undangan dari partai atau pihak tertentu. Dengan demikian, maka tidak adalah tuan rumah atau tamu.”

“Sekarang setelah kita semua berkumpul dan kelihatannya di sini sudah penuh dengan wakil-wakil dari semua golongan, marilah kita masing masing mengajukan calon bengcu agar pemilihan dapat segera dilakukan.“ Demikian Tai Wi Siansu mengakhiri kata-katanya yang singkat.

Ramai suara hadirin yang hendak mengajukan calon masing-masing. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras, ternyata yang bicara adalah Liok Kong Ji. Pemuda ini mengerahkan suaranya sehingga mengatasi suara orang- orang bicara.

“Nanti dulu, Tai Wi Siansu! Aku mau tahu dengan cara bagaimanakah calon-calon itu akan dipilih? Bagaimana cara untuk menetapkan bengcu yang dipilih?“

Wi Siansu memandang dengan sinar mata dingin ke arah pemuda itu. Kakek ini yang dahulu pernah bertemu dengan Kong Ji ketika ia ikut mengejar dan mengepung penjahat Wan Sin Hong, memang kurang suka melihat pemuda ini yang biarpun berkepandaian tinggi, namun sikapnya amat tidak menyenangkan dan agak sombong.

“Tentu saja akan dipergunakan aturan lama yang sudah dipakai oleh nenek moyang kita. Di antara para calon bengcu harus kita pilih bersama dan masing-masing boleh menyatakan pendapatnya mengapa memilih bengcu itu, kemudian pertentangan pendapat diselesaikan dengan melihat keadaan calon bengcu maing-masmg. Kalau perlu boleh diukur tentang pribadi, kepandaian, keturunan dan lain-lain.“

Liok Kong Ji mengeluarkan suara dingin. “Aturan lama yang sudah usang!“ Ia lalu menghadapi semua orang dan berkata nyaring. “Aturan lama yang sudah usang itu hanya akan memancing keributan di antara kita sendiri. Menurut pendapatku, lebih baik kalau diadakan pemilihan di antara calon bengcu berdasar suara terbanyak! Yang paling banyak dapat sokongan suara dialah yang menang,“

Kembali terdengar suara gaduh ribut menyambut usul ini. Seorang tosu tinggi kurus berjenggot putih, yakni Yang Seng Cu, murid tertua dari Tai Siansu, berdiri dan berkata keras.

“Aturan itu tidak boleh dipakai sama sekali! Kita tidak bisa meninggalkan aturan lama yang sudah disaring orang- orang gagah jaman dahulu. Memilih berdasarkan suara terbanyak amat berbahaya. Tentu saja yang menang adalah mereka yang membawa banyak konco dan kaki tangan, sedangkan mereka yang dengan jujur datang hanya membawa sedikit kawan akan kalah suara. Paling perlu dilihat buktinya apakah emas yang dipilih itu tulen atau palsu. Memilih bengcu sama dengan memilih barang berharga, harus diteliti benar-benar. Kalau sampai kita salah pilih dan mendapatkan seorang yang berwatak bejat menjadi bengcu, bukankah kita bersama diseret ke lembah kehinaan? Paling baik para calon bengcu itu memperlihatkan kepandaian masing-masing agar kita semua dapat membuka mata dan menilai.”

“Akur! ini akur sekali!“ terdengar banyak suara menyambut.

“Tidak cocok! Lebih baik menurut usul Tung-nam Tai-bengcu'“ terdengar suara di sana-sini dan jumlah suara ini banyak sekali. Diam-diam Tai Wi Siansu terkejut dan berdebar hatinya. Mengapa di antara orang-orang yang menyatakan setuju akan usul Liok Kong Ji itu terdapat orang-orang dari rombongan Siauwlim dan partai-partai lain?

Benar-benar aneh sekali. Kong Ji tersenyum. “Sudahlah, hal ini tak perlu diributkan. Kita lihat saja macam apa calon-calon bengcu yang dimajukan. Tentang mengukur kepandaian boleh saja, bahkan tentu para pemilih juga menjagoi dan membela calon masing-masing.” Kata kata ini merupakan sindiran bahwa tentu akan terjadi keributan dan pertentangan mengadu kepandaian dalam pemilihan ini dan menyatakan tidak takut sama sekali. Hal ini memang tidak aneh. Setiap kali orang-orang kangouw yang rata-rata mengandalkan kekerasan dan kepandaian ini melakukan pemilihan sesuatu, pasti akan terjadi bentrok dan pertempuran akan tetapi akhirnya hal itu akan beres yang dipilih didapatkan dengan tepat dan cocok, sedangkan pertempuran itu bahkan ada baiknya karena biasanya lalu siapa atau pihak mana yang betul dan pihak mana yang menyeleweng. Oleh karena itu, semua orang gagah tidak takut menghadapi bentrok dalam pemilihan ini.

Karena mengira bahwa calon-calon bengcu yang diajukan tentu banyak sekali, Tai Wi Siansu segera minta nama-nama calon bengcu itu disebutkan. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia hanya mendapatkan lima orang calon saja! Pertama-tama adalah Liok Kong Ji yang disebut Tung-nam Tai-bengcu, kedua adalah dia sendiri, orang ketiga adalah Go Ciang Le yang dipilih oleh tokoh-tokoh partai lain terutama sekali oleh Tai Wi Siansu sendiri.

Ke empat adalah See-thian Tok-ong yang didukung oleh anak isterinya dan delapan orang pengiringnya, juga oleh beberapa orang kang-ouw yang sudah mendengar nama besar Raja Racun dari Barat ini. Adapun orang kelima adalah Cam-kauw Sin-kai yang ditunjuk dan diusulkan oleh Ciang Le dan isterinya serta oleh Lie Bu Tek pendekar buntung.

”Hanya lima orang saja calon bengcu?” tanya Tai Wi Siansu dengan wajah terheran-heran. ”Pada pemilihan bengcu dahulu, calonnya saja mendekati lima puluh orang!”

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang anggauta Hui-eng-pai telah berdiri di depan Tai Wi Siansu. Dengan hormat dia menjura dan bertanya. “Totiang, saya disuruh oleh Niocu untuk bertanya apakah para calon bengcu ini nanti mengukur kepandaian masing-masing?“

Tai WI Siansu mengangguk-angguk “Memang seharusnya demikianlah.“

Gadis yang manis dan bertahi lalat pada telinga kirinya ini berseri wajahnya dan berkata cepat. “Kalau begitu harap catat ketua kami sebagai calon ke enam!“

Tat Wi Siansu mengerutkan keningnya dan mengerling ke arah rombongan Hui-eng-pai di mana ia melihat Li Hwa duduk sambil tersenyum manis dan sepasang matanya bersinar-sinar. Ia hanya bisa mengangguk menyatakan setuju dan gadis suruhan itu melompat kembali ke tempatnya di mana dia dan kawan-kawannya berbistk dan nampaknya bergembira.

“Calon ke enam telah dipilih, yakni Hui-eng Niocu Siok Li Hwa Ketua Hui eng-pai!“ kata Tat Wi Siansu memperkenalkan kepada orang banyak. Terdengar orang bertepuk tangan menyambut pemberitahuan ini. Dapat dimengerti bahwa yang bersorak ini sebagian besar adalah orang-orang muda yang mengagumi kecantikan Li Hwa. Pula di situ hanya ada seorang saja wanita yang berani terjun menjadi calon bengcu, siapakah yang tidak menjadi kagum? Akan tetapi diam-diam. banyak yang tertawa geli kalau memikirkan alangkah janggalnya kalau dunia kang-ouw dikepalai oleh seorang bengcu wanita!

Hal ini memang disengaja oleh Li Hwa. Tidak saja ia teringat akan pesan mendiang Pat-jiu Nio-nio bahwa ia harus dapat mengangkat derajat wanita dan ini memperlihatkan bahwa wanita pun tak kalah oleh pria, juga sebagai seorang muda yang berdarah panas ia sudah gatal- gatal tangan untuk menguji kepandaiannya dengan para calon bengcu! Jarang ia bertemu dengan lawan yang tangguh dan sekaranglah saatnya baginya untuk menguji kepandaian yang sekian lamanya ia pelajari dengan rajin sekali.

Kemudian Kong Ji meloncat ke depan, mengibas-ngibaskan hudtimnya dengan lagak sombong sekali. “Biarpun pemilihan calon bengcu itu tidak didasarkan suara terbanyak, akan tetapi setidaknya harus diumumkan dan didengar oleh semua orang siapa-siapakah yang memilih calon-calon bengcu yang sekarang ini agar tidak main gila dalam pemilihan ini dan agar diketahui oleh semua orang bahwa calon yang diajukan benar-benar dikehendaki orang banyak di dunia kang-ouw!“

Wajah Tai Wi Siansu menjadi merah. Kata-kata ini mengandung sindiran dan pernyataan tidak percaya kepada para pemimpin pertemuan seakan-akan para pemimpin pertemuan akan berlaku curang dalam pemillhan ini!

“Sudah tentu!“ kata Tai Wi Siansu kasar, karena memang betapapun juga permintaan ini cukup pantas dan tak dapat ditolak lagi. Tai Wi Siansu lalu berkata kepada orang banyak. “Cuwi-enghiong yang berada di sini harap suka mengangkat tangan apabila nama calon bengcu pilihan pinto sebut. Kemudian setelah memandang ke empat penjuru ia berkata dengan suaranya yang ringan tapi halus.

“Calon pertama, Tung-nam Tai-bengcu Liok Kong Ji!“ Terdengar suara gemuruh orang-orang menyambut dengan sorakan dan banyak sekali lengan tangan kanan diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Melihat banyaknya pendukung, Tai Wi Siansu tidak merasa aneh. Akan tetapi ketika ia dengan perhatian ke arah para penyokong calon ia menjadi kaget sengah mati. Demikian pun Leng Hoat Taisu

Ketua Thian-san-pai dan Bu Kek Siansu Ketua Bu-tong-pai semua menahan napas agar tidak mengeluarkan seruan kaget. Mereka hanya dapat saling pandang, penuh rahasia dan perasaan terkejut dan terheran-heran. Kini dengan jelas terlihat oleh mereka bahwa semua wakil yang terdiri dari rombongan-rombongan kecil wakil-wakil dari partai-partai besar di dunia, Kiang san-pai ikut mengangkat lengan menyokong nama Liok Kong Ji Juga semua pemimpin dari partai-partai kecil lainnya seperti partai-partai Im-yang-bu-pai, Bu-cin-pang, Kwan-cin-pai, Shansi Kai-pang.

Twa-to Bu-pai dan lain-lain juga menyokong Liok Kong Ji. Kalau partai-partai ini menyokong pemuda itu, masih tidak aneh karena bukankah pemuda itu juga sudah diangkat sebagai bengcu dari timur dan selatan oleh mereka ini? Akan tetapi, kalau partai-partai Siauw-lim-pai, Go-bi-pai lain-lain ikut memilihnya, inilah hebat.

Juga tokoh-tokoh lain yang tidak ikut memilih Liok Kong Ji, saling pandang dengan hati kecut. Dilihat begitu saja malah yang memilih Liok Kong Ji lebih dari setengah orang yang hadir di situ dan kalau sampai terjadi keributan akibat rebutan kursi bengcu, pemuda itu bersama pendukungnya yang amat banyak tentu merupakan lawan yang amat berat. Apalagi ketika di antara para pendukung itu terdapat tokoh besar seperti Gi Seng Cu, para ketua partai dan wakil-wakil partai besar yang amat banyak pula anak buahnya. Akan tetapi kini sudah terdengar lagi. suara Tat Wi Siansu yang mengumumkan nama calon ke dua.

“Calon ke dua, Hwa I Enghiong Go Ciang Le!“

Nama besar Go Ciang Le murid Pak Kek Siansu, siapakah yang belum pernah mendengar? Semua orang memandang kepada pendekar besar itu, kagum dan segan. Akan tetapi yang mendukung pendekar besar ini tidak berapa banyak. Hal ini disebabkan oleh karena bukan saja mereka yang hadir itu sebagian besar adalah kaki tangan Liok Kong Ji, akan tetapi juga karena selama ini Go Ciang Le menyembunyikan diri saja tidak terjun di dunia kang-ouw sehingga orang-orang hanya mengenal nama besarnya saja akan tetapi tidak pernah menyaksikan sepak-terjangnya. Tentu saja orang-orang masih ragu-ragu untuk memilihnya sebagai bengcu. Akan tetapi sebaliknya, tokoh-tokoh besar seperti Tat Wi Siansu tidak ragu-ragu lagi untuk memilih Go Ciang Le sebagai bengcu.

“Calon ke tiga, Cam-kauw Sin-kai!“

Pendukung kakek pengemis sakti ini banyak juga, karena selain Ciang Le, isterinya, Lie Bu Tek dan beberapa orang tokoh perkumpulan-perkumpulan pengemis yang sudah mengenal kakek ini, juga ada orang-orang kang-ouw yang sudah lama mengagumi Cam-kauw Sin-kai memberikan suaranya dan mengangkat tangan tanda mendukung. Cam- kauw Sin-kai sendiri hanya tertawa tawa berkata perlahan. “Tua bangka macam aku mana pantas menjadi bengcu?“

Tai Wi Siansu sudah mengumumkan lagi. “Calon ke empat, See-thian Tok-ong" suaranya terdengar nyaring dan nama menimbulkan gelisah dan rasa ngeri dalam hati para pendengarnya. Nama Racun dari Barat ini sudah terkenal bagai tokoh berwatak iblis yang menakutkan, apalagi sekarang menyaksikan orangnya yang memang menyeramkan. Kecut-kecut hati semua orang yang memilih calon lain, karena di samping Liok Kong Ji yang banyak pengikutnya, See-thian Tok-ong inilah yang merupakan lawan berat dan juga merupakan orang yang tak disuka.

“Calon ke lima, yang sesungguhnya tak perlu diadakan, adalah pinto sendiri,“ kata Tat Wi Siansu. Kata kata ini disambut oleh suara ketawa banyak orang yang menganggap kakek itu berkelakar. Memang lumayan juga kelakar ini, untuk selingan dan menghibur hati yang berdebar tegang menghadapi pemilihan bengcu dan mendengar nama See thian Tok-ong tadi.

Tiba-tiba terjadi keributan kecil di rombongan Teng-san-pai... Semua orang memandang dan ternyata yang membikin ribut adalah Cam-kauw Sin-kai. Kakak pengemis sakti ini entah kapan, tahu-tahu telah berada di situ dan menyerang seorang di antara rombongan Teng-san-pai itu sambil berseru,

“Kau tukang colong ayam!“ Seruan ini dibarengi oleh serangannya memukul ke dada dengan tangan kanan dan mencengkeram pusar dengan tangan kiri. Serangan yang hebat, cepat dan kuat sekali!

. Semua orang terkejut melihat ini, terutama orang yang diserangnya itu. Orang itu adalah seorang yang berpakaian seperti tosu dan dia adalah seorang di antara para wakil Teng-san-pai, muka dan lagaknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat pandai. Menghadapi serangan yang demikian dahsyat dari Cam-kauw Sin-kai tosu ini cepat membanting tubuh ke belakang sambil berpoksai dengan cara berjungkir balik.

Akan tetapi terdengar suara ketawa bergelak dan kaki Cam-kauw Sin-kay menyentuh pantatnya sehingga tosu itu terpental dan jatuh bergulingan seperti sebuah bal karet ditendang. Cam-kauw Sin-kay mengeluarkan suara ketawa bergelak-gelak, suara ketawanya aneh sekali dan pengemis ini lalu melompat kembali ke dekat Gak Soan Li. Memang sejak tadi, pengemis ini nampak bicara perlahan-lahan dengan nona yang siuman dari pingsan ini.

Ciang Le, isterinya, dan Lie Bu Tek memandang kepada pengemis tua itu dengan heran. Mereka tidak melihat sesuatu alasan mengapa Cam-kauw Sin- kai melakukan penghinaan kepada wakil Teng-san-pai itu. Akan tetapi Cam-kauw Sin-kai yang melihat pandang mata mereka hanya tersenyum-senyum, wajahnya berseri-seri aneh. Kemudian ia berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil berkata kepada Tai Wi Siansu

“Masih ada lagi calon ke tujuh, akulah orangnya yang memilihnya dan harap diumumkan!“ Semua orang mendengar ucapan yang dilakukan dengan pengerahan lweekang yang tinggi ini.

Tai Wi Siansu sudah mengenal siapa adanya Cam-kauw Sin-kai dan melihat kelakuan pengemis tua ini, Ketua Kun- lun-pai tersenyum dan menjawab sabar. “Cam-kauw Sin-kai, kau umumkan sendiri agar kita semua mendengar, Siapakah adanya calon pilihanmu yang terhormat itu?“

Cam-kauw Sin-kai memandang ke empat penjuru memutar-mutar tubuhnya lalu berkata dengan keras sekali setelah mengumpulkan tenaga dan napasnya. “Aku mengajukan calon bengcu kiranya paling tepat pada waktu ini menjadi pemimpin kita, dia itu bernama Wan Sin Hong!“

Untuk sedetik terdengar suara seruan kaget, lalu disusul suasana sunyi senyap. orang-orang memandang kepada Cam-kauw Sin-kai seolah-olah pengemis itu telah berubah ingatannya. Bahkan orang-orang yang berpihak kepadanya juga memandang dengan heran. Ciang Le sendiri memandang dengan muka tercengang, sedangkan Lie Bu Tek memandang kepada Cam-kauw Sin-kai dengan mata menjadi basah air mata!

Ketika Cam-kauw. Sin-kai menyebut nama bengcu yang dipilihnya, nama “Wan Sin Hong“ la sebutkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga lama setelah ia menutup mulut gema suaranya masih terdengar dari sekeliling puncak itu.

Tiba-tiba dari jauh sekali, terdengar suara ketawa yang aneh gemanya bergemuruh seperti suara geluduk dari jauh. Semua orang terkejut sekali, bahkan Ciang Le dan tokoh-tokoh besar yang berada di situ juga kaget karena hanya orang yang memiliki khikang tinggi bukan main yang dapat mengeluarkan suara seperti itu gemanya!

Akan tetapi suara itu hanya timbul sebentar saja karena lalu lenyap tak disusul oleh suara apapun juga. Kemudien terdengar pekik lain yang nyaring sekali, disusul oleh pekikan semacam itu yang kurang nyaring, kemudian nampak bayangan-bayangan putih berkelebatan, bayangan-bayangan putih yang cepat sekali gerakannya laksana kelompok burung garuda menyambar.

Adalah pekik yang dikeluarkan oleh Siok Li Hwa, disambut oleh pekik dari para anggautanya. Pekik ini merupakan pekik aba-aba dan sebentar saja Li Hwa dan para anggautanya sudah mengurung tempat di mana berdiri Cam-kauw Sin-kai dan rombongan Go Ciang Le! Li Hwa sendiri lalu melangkah maju, pedang hijau berkilauan di tangannya. Ia menghadapi Cam-kauw Sin-kai dengan wajah keren dan mata berapi-api...

Pedang Penakluk Iblis Jilid 27

Pedang Penakluk Iblis Jilid 27

PENJAHAT itu hanya merupakan bayangan yang bergerak cepat sekali dan di dalam gelap, Cun Eng tidak dapat mengenal betul wajah orang yang menyerang dan mengganggunya, maka amatlah sukar penjahat itu ditangkap. Yang menjadi pegangan para pengejarnya hanyalah nama penjahat itu.

Dan anehnya, setiap kali tiba di suatu dusun atau kota, mereka mendengar nama ini yang seakan-akan sengaja ditinggalkan oleh penjahat itu untuk memberi tahu mereka akan jejaknya. Demikianlah akhirnya Siok Hwa mengejar sampai di Ngo-heng-san dan di situ kehilangan jejak penjahat yang dikejar-kejarnya.

Siapakah sebenarnya Siok Li Hwa? Sepuluh tahun yang lalu, ketika Pat-Jiu Nio-nio meninggal dunia karena usia tua, perkumpulannya, yakni Hui-eng pai yang mempunyai seratus orang lebih anggauta terdiri wanita semua, terpaksa bubar. Tak seorang pun yang sanggup menggantikan kedudukan Pat-Jiu Nio-nio karena semua mengerti bahwa untuk memimpin perkumpulan ini, orang itu harus memiliki kepandaian yang amat tinggi.

Sedangkan Pat-Jiu Nio nio tidak mempunyai murid langsung. Semua anggautanya memang diberi pelajaran ilmu silat, akan tetapi mereka ini tidak mewarisi semua ilmunya dan biarpun untuk anggapan umum semua anggauta Hui-eng pai rata-rata memiliki kepandaian tinggi, kalau dibandingkan dengan kepandaian Pat-Jiu Nio-nio, masih amat jauh, belum ada persepuluhnya.

Inilah yang membuat semua anggauta ragu-ragu dan akhirnya perkumpulan itu dibubarkan. Gedung indah tempat tinggal Pat jiu Nio-nio di puncak tersembunyi diGunung Go-bi-san menjadi sunyi dan dijadikan sebagai kuil di mana tinggal lima orang bekas anggauta Hui-eng pai yang mengambil keputusan untuk menjadi pertapa atau pendeta wanita di tempat itu!

Yang lain-lain lalu bubaran mengambil jalan hidup masing-masing setelah menerima bagian dari harta peninggalan ketua mereka. Di antara para anggauta ini, terdapat seorang gadis cilik berusia kurang lebih sembilan tahun, Gadis ini adalah Siok Li Hwa, seorang gadis yatim piatu yang ditolong dari bahaya kelaparan di daerah selatan yang kering oleh Pat jiu Nio-nio empat tahun yang lalu.

Gadis cilik ini amat cantik manis menimbulkan rasa suka pada Pat jiu Nio-nio, maka gadis ini dijadikan pelayan pribadinya. Makin lama Pat-itu Nio-nio makin suka kepada gadis cilik ini, sehigga di waktu malam Ketua Hui-eng pang yang tidak mempunyai keluarga ini lalu memberi pelajaran ilmu membaca dan menulis kepada Siok Li Hwa. Bahkan ia pun mulai memberi pelajaran ilmu silat dasar seperti yang ia ajarkan pada semua anggauta Hui eng-pang. Tentu saja ia tidak langsung mengajari sendiri, hanya menyuruh seorang anggautanya yang sudah pandai. Akan tetapi tentang pelajaran ilmu surat dia sendiri yang mengajar.

Siok Li Hwa merasa senang sekali tinggal di situ dan gadis ini ternyata berotak tajam. Tidak saja huruf-huruf yang sukar itu dilalapnya dengan mudah juga semua pelajaran ilmu silat dapat dipahami dalam waktu singkat. Melihat kecerdikannya, Pat-jiu Nio-nio semakin sayang kepadanya. Mulailah memberi pelajaran ilmu silat sendiri pada gadis cilik ini, yaitu pelajaran teori ilmu silat yang mengandung sari pelajaran ilmu silat tinggi. Juga ia menceritakan tentang tata usaha dan peraturan dari perkumpulan Hui-eng-pai yang istimewa. karena terdiri dari wanita semua.

“Kaum wanita terlalu dihina dan direndahkan oleh kaum pria, Li Hwa.“ Pernah Pat-pu Nio-nio berkata, “'lihat betapa banyaknya wanita dianggap sebagai hewan peliharaan dan dianggap rendah serta tiada berguna. Orang-orang itu bangga kalau mempunyai anak laki-laki, sebaliknya kecewa kalau mempunyai anak perempuan. Banyak sekali suami yang mengambil isteri berikut bini muda pula sampai beberapa orang jumlahnya.

Semua itu karena kaum wanita lemah. Oleh karena itu, perkumpulan Hui-eng-pai harus menjadi pelopor, membangkitkan semangat para wanita agar kelak jangan sampai diinjak-injak dan dijajah oleh kaum pria.“ Seringkali Li Hwa mendengar kalimat-kalimat seperti ini yang membanjir keluar dari mulut Pat jiu Nio-nio.

Akan tetapi sayang, ketika Li Hwa berusia empat belas tahun, Pat-jiu Nio-nio meninggal dunia karena usia tua. Orang yang paling berduka di antara para anggauta perkumpulan itu adalah Siok Li Hwa yang merasa seperti ditinggal ayah-bundanya sendiri. Beberapa jam setelah Pat- jiu Nio-nio dianggap meninggal, Li Hwa menjaga jenazah Pat-jiu Nio-nio seorang diri di dalarn kamar jenazah.

Ia memeluki jenazah itu sambil menangis, dan menolak keras ketika para saudara tuanya mengajak ia keluar. Menjelang tengah malam, kurang lebih enam jam setelah Pat-jiu Nio-nio disangka mati, tiba-tiba ia mendengar suara nenek itu perlahan.

“Siok Li Hwa...“

Li Hwa mengangkat mukanya dan pucatlah ia ketika melihat betapa nenek itu bergerak-gerak dan membuka mata. Akan tetapi hanya sebentar saja ia kaget. Di lain saat ia sudah girang bukan main dan cepat-cepat ia berlutut. Pat jiu Nio-nio tidak bangkit, hanya rebah saja sambil menggerak-gerakan jari tangannya membuat tulisan di udara. Sian Li Hwa adalah seorang anak yang cerdik sekali. Ia memperhatikan gerak jari tangan itu dan tahulah ia bahwa nenek itu menuliskan huruf-huruf yang berbunyi:

“Ambil peti merah di sudut kamar dan bawa ke sini!“

Li Hwa cepat berdiri dan melakukan perintah itu. Ia tahu bahwa peti merah itu berisi beberapa jilid kitab kuning karena sudah seringkali ia melihat nenek itu tekun membaca kitab-kitab itu sampai jauh malam, bahkan kadang-kadang sampai hampir pagi. Karena melihat nenek itu sudah lemah sekali, maka Li Hwa menaruh peti itu di pinggir pembaringan. Ia cemas juga melihat nenek itu kini sudah rebah telentang dengan kedua mata dipejamkan tak bergerak seperti tadi ketika belum bergerak dan sudah dianggap mati.

“Nio-mo... ini petinya...“ katanya di dekat telinga nenek itu.

Pat-jiu, Nio-nio membuka matanya yang sudah tak bersinar lagi. Agaknya suatu yang amat menjadi pikirannya yang membuat nenek ini seakan akan hidup lagi! Atau memang tadinya ia belum mati betul dan pikiran tentang sesuatu yang ditinggalkan itu agaknya memberi daya hidup, sungguhpun ia hanya dapat menggerakkan tangan dan hanya dapat mengeluarkan suara memanggil nama Li Hwa tadi. Kini ia kembali menggerak-gerakkan telunjuknya di udara seperti orang menulis huruf. Siok Li Hwa cepat memandang dan menaruh perhatian sepenuhnya. Sambil memandang, membaca hurut-huruf yang ditulis di udara itu.

“Kau pelajari kitab-kitabku, cari Cheng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) tanya pada Hwesio Go-bi, dan pimpin Hui-eng-pai!“

Setelah menuliskan huruf terakhir lengan yang kurus itu hilang tenaganya jatuh di atas dadanya dan kali ini Pat-jiu Nio-nio benar-benar kehilangan nyawanya!

Demikianlah, setelah perkumpulan ini bubar sendirinya dan para anggautanya, kecuali lima orang anggauta tertua mengambil keputusan menjadi pertapa di gedung seperti istana ini, pergi meninggalkan puncak sunyi itu, Li Hwa ikut tinggal di situ. Diam-diam ia mempelajari isi peti dan ternyata di dalamnya terdapat tiga buah kitab kuno.

Sebuah kitab ilmu silat dan ilmu pedang, sebuah lagi terisi pelajaran tentang lweekang, latihan napas, samadhi dan ilmu-ilmu tinggi tentang tenaga di dalam tubuh, dan yang ke tiga adalah sebuah kitab tentang pelajaran ilmu pengobatan dan tentang peraturan-peraturan Perkumpulan Hui-eng-pai. Dengan amat keras hati dan tekun, Li Hwa mempelajari semua ini, melatih dengan amat rajinnya sehingga ia akhirnya berhasil mewarisi ilmu silat yang tinggi dari mendiang Pat-jiu Nio-nio.

Lima orang pendeta wanita bekas anggauta Hui-eng-pai juga mengetahui hal ini dan diam-diam mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai orang yang mampu melanjutkan cita-cita guru besar mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, mereka inilah yang membantu memberi petunjuk-petunjuk, karena biarpun dalam hal ilmu silat mereka sudah kalah jauh oleh Li Hwa, namun dalam hal pengalaman mereka menang banyak. Ketika Li Hwa menuturkan tentang Cheng-liong-kiam dan hwesio di Gobi-san seperti yang dipesankan oleh Pat-jiu Nio- nio, lima orang pendeta itu nampak terkejut sekali.

“Aduh, mengapa kau diharuskan mencari pedang itu?“ kata seorang di antara mereka. “Dulu Nio nio sendiri tidak berhasil mendapatkan pedang itu. Terutama hwesio Gobi yang dimaksudkan, tentulah ketua dan Go-bi-pai yang berada di puncak ke tujuh dan deretan puncak- puncak di pegunungan ini. Di sana terdapat sebuah kelenteng besar dan didiami oleh hwesio-hwesio yang tinggi silatnya. Kiranya hanya mereka itulah yang dapat menunjukkan dimana adanya Cheng-liong-kiam, karena kami sendiri pernah mendengar namun tidak tahu di mana adanya pedang pusaka itu.”

”Kalau begitu, aku harus pergi mencari hwesio itu dan harus kudapatkan pedang Cheng-liong-kiain sesuai dengan pesan mendiang Nio-nio!” kata Li Hwa dengan suara menyatakan kebulatan tekadnya. Gadis berusia belasan tahun dengan semangat menyala-nyala lalu pergi ke puncak di mana terdapat kelenteng Go-bi-pai yang angker dan besar.

Ia diterima oleh Kian Hok Taisu, ketua dari Go-bi-pai. Hwesio tua ini terheran-heran melihat seorang gadis cantik jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pat-jiu Nio nio dan mengaku hendak menyampaikan pesanan mendiang Put-jiu Nio-nio.

”Nona cilik, bagaimana kau bisa mengaku sebagai ahli waris Pat-jtu Nio-nio?” tanya ketua Go-bi-pai ini dengan suara sabar.

Siok Li Hwa selamanya tinggal di atas gunung dan tak pernah bergaul di dunia ramai maka sikapnya kaku, dingin dan polos, tidak pandai bersopan dan bermanis-manis.

”Tai-suhu,” katanya tanpa memberi hormat dan berdiri dengan tegak, ”sebelum meninggal dunia. Nio-nio menyerahkan tugas kepadaku, menurunkan kepandaiannya melalui kitab-kitab pelajaran kepadaku dan memesan supaya aku pergi menemui hwesio Go-bi pai dan tanya tentang Pedang Cheng-liong-kiam. Maka harap kau orang tua suka memenuhi keiginan Nio-nio dan katakan kepadaku dimana adanya pedang Cheng-liong-kiam itu agar dapat kuambil.”

Sepasang mata Kian Hok Taisu yang besar itu terbelalak heran dan di sana-sini terdengar suara ketawa ditahan dan beberapa orang hwesio yang ikut mendengar kata-kata lantang ini.

“Kau...? Kau yang diwajibkan oleh mendiang Pat-jiu Nio-nio untuk mengambil Cheng-liong-kiam? Ah, jangan main-main, Nona. Pat-jiuw Nio-nio sendiri sudah mencoba mengambilnya sampai lima kali akan tetapi selalu ia gagal dan akhirnya ia sampai-sampai tidak mau muncul di dunia kangouw dan menyembunyikan diri. Sekarang kau yang masih begini muda, kau mau mengambil pusaka itu? Nona, mata pedang tak dapat melihat orang dan kalau kita tidak hati- hati mudah sekali kita terluka olehnya. Harap kau batalkan saja niat ini dan pulang dengan selamat. Nasihat pinceng, ini bukan main-main dan demi kebaikanmu sendiri.“

“Hwesio tua baru berjumpa satu kali kau sudah memberi nasihat dan mengkhawatirkan keselamatanku. Sungguh kau baik hati. Akan tetapi aku tidak perduli akan semua nasihatmu itu. Baiknya kau lekas beri tahu di mana adanya Cheng-liong-kiam itu agar aku dapat pergi mengambilnya dan habis perkara. Jangan kau putar-putar omongan yang tidak ada gunanya bagiku.“ gadis ini tidak marah, akan tetapi oleh karena ia tidak dapat mengatur kata-katanya, maka terdengar kasar dan tidak hormat.

Baiknya Kian Hok Taisu adalah seorang pendeta Buddha yang sudah tinggi ilmunya, maka ia tidak menjadi marah, hanya tersenyum lebar dan diam-diam bahkan mengagumi semangat gadis itu. Jarang ia melihat seorang wanita dengan semangat perlawanan yang menyala-nyala dan keberanian yang begini besar.

“Omitohud!“ Ta memuja nama Buddha sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada. “Begitukah kehendakmu, Nona. Baiklah, mari kau ikut pinceng, biar kau mencoba merampas pedang itu.” Setelah berkata demikian, hwesio tua itu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke sebelah dalam kelenteng yang luas itu. Beberapa orang hwesio lain juga berjalan masuk. Siok Li Hwa merasa sangat heran. Tak disangkanya tempat itu ternyata dekat saja, bahkan adanya di sebelah dalam kelenteng ini! Akan tetapi tanpa banyak cakap ia pun lalu berjalan mengikuti Kian Hok Taisu.

Ternyata bahwa Ketua Go-bi-pai membawanya ke sebuah ruangan amat lebar. Melihat betapa ruangan kosong dan di pojok terdapat rak tempat senjata, mudah diduga bahwa tentulah Lian-bu-thia, tempat belajar silat dari Partai Go-bi- pai. Tempat itu memang luas sekali, kiranya cukup untuk seratus orang berlatih silat dalam saat yang sama.

Kian Hok Taisu berhenti di tengah- tengah ruangan membalikkan tubuh menghadapi Li Hwa yang berdiri bengong tak mengerti. Hwesio-hwesio lain yang kini jumlahnya bertambah, ada dua puluh orang mengundurkan diri dan duduk di atas lantai dalam keadaan berkeliling membuat ruangan yang cukup lebar di tengah-tengah seperti orang hendak nonton demonstrasi silat.

Kemudian seorang hwesio dengan sikap hormat dan langkah tegap mendatangi dari dalam, kedua tangannya menyangga sebuah bungkusan panjang. la melangkah terus sampai di depan Kian Hok Taisu, lalu membungkuk dan menyodorkan bungkusan kain putih yang tadi dibawanya. Hwesto tua itu menyambut bungkusan kain putih dan memberikan kain itu kepada pembawa bungkusan tadi. Dan dalam bungkusan itu dikeluarkannya sebatang pedang yang bagus sekali, yang ketika dihunus dari sarungnya mengeluarkan cahaya hijau.

Pembawa bungkusan itu lalu mengundurkan diri dan duduk bersila di dekat kawan-kawannya yang lain, yang semua sekarang memandang penuh perhatian ke tengah lapangan di mana guru besar mereka dengan pedang hijau di tangan berhadapan dengan Siok Li Hwa.

“Nona, silakanlah,“ kata hwesio tua itu sambil melintangkan pedang hijau di depan dada, sikap seorang yang menanti datangnya serangan lawan!

Tentu saja Siok Li Hwa mengelak dan tidak bergerak, memandang dan terheran-heran, bahkan ia ragu-ragu apakah hwesio tua ini kurang waras otaknya.

“Silakan bagaimanakah? Kau suruh aku berbuat apa, Tai suhu?“ tanyanya sambil memandang tajam.

“Tentu saja merampas pedang ini dari tangan pinceng kalau kau dapat, habis apa lagi? Bukankah untuk keperluan ini kau datang ke sini?“

Biarpun Li Hwa seorang yang cerdik, akan tetapi semua ini melampaui batas kemampuannya berpikir. Ia menjadi bingung dan dengan berkerut ia menegur. “Hwesio tua, harap kau jangan main gila. Aku tidak ada waktu untuk main- main! Apa sih maksudmu mengajak bertanding?“

Kini giliran Kian Hok Taisu yang terbelalak heran. Kemudian hwesio ini mengerti dan tertawalah dia, tertawa geli. “Aha, jadi kau malah belum mengerti akan maksud pesanan mendiang Pat jiu Nio-nio? Benar-benar lucu. Duduk lah, Nona, biar pinto menceritakan kepadamu sejelasnya.“

Setelah berkata demikian hwesio itu lalu duduk bersila di atas lantai, di tempat ia tadi berdiri. Biarpun dengan sikap kurang sabar, Li Hwa terpasa duduk juga untuk mendengarkan keterangan hwesio tua itu atas sikapnya tadi yang benar-benar ia tidak mengerti. Dia datang untuk menanyakan tempat Ceng-liong-kiam, mengapa datang-datang ditantang berkelahi? Dan pedang di tangan hwesio tua itu, pedang indah yang bercahaya hijau, apakah hubungannya dengan Cheng-liong kiam? Apakah itu yang disebut Cheng-liong-kiam?

“Nona, semua ini dimulai dengan kelakar! Dengan lelucon antara mendiang Pat-jiu Nio-nio dan Paman Guruku yang sudah meninggal dunia. Pedang ini yang disebut Cheng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) dan tadinya adalah pedang Pat-jiu Nio-nio. Ketika itu Pat jiu Nio-nio masih muda, gagah perkasa dan jenaka. Sayang sekali ia terlalu mengagulkan kepandaian sendiri sehingga timbul sombongnya. Di hadapan Paman Guruku. Pat-jiu Nio-nio berani menyatakan bahwa barang siapa dapat menghadapi pedangnya dengan tangan kosong dan merampas pedang maka pedang itu akan diberikan dengan cuma-cuma.“ Kian Hok Taisu menarik napas panjang, lalu melanjutkan.

“Pada waktu itu, Paman Guruku juga masih muda dan berdarah panas. Mendengar kesombongan Pat-jiu Nio-nio, ia lalu menggulung lengan baju dan menantang. Maka mulailah pertempuran. Pat-jiu Nio-ruo memegang Cheng liong-kiam dan paman guruku bertangan kosong. Karena tingkat kepandaian Paman Guruku lebih tinggi, akhirnya pedang itu terampas! Paman Guruku hendak mengembalikannya dan menganggap hal itu sebagai lelucon, siapa kira bahwa Pat-jiu Nio-nio merasa terhina dan berkata dengan marah bahwa kelak akan tiba masanya ia datang mengambil kembali pedangnya itu dengan cara yang sama, yakni mengalahkan Paman Guruku yang berpedang dengan tangan kosong! Kemudian wanita yang keras hati itu memperdalam ilmu silatnya. Akan tetapi, berulang-ulang sampai tiga kali ia datang tetap saja ia tidak berhasil merampas pedang. Bahkan yang keempat kalinya ia terluka oleh Paman Guruku.“

Sampai di sini Kian Hok Taisu menahan napas panjang. “Sungguh menyedihkan sekali, perkara lelucon seperti itu mendatangkan dendam yang mendalam. Bahkan Paman Guruku yang marah melihat sikap Pat-jiu Nio-nio juga timbul panas hatinya dan bertekad tidak mau mengembalikan pedang begitu saja sebelum ia dikalahkan! Oleh karena itulah, ketika bahwa pedang ini harus pinceng simpan baik-baik dan apabila Pat-jiu Nio-nio datang hendak mengambilnya, pinceng harus pula menghadapinya dengan syarat yang sama, yakni apabila Pat-jiu Nio-nio dengan tangan kosong dapat merampasnya, baru pedang itu boleh diberikan, ditambah pernyataan maaf dari mendiang paman guruku. Dua tahun kemudian, benar saja Pat-jiu Nio-nio datang dan terpaksa pinceng melayaninya. Setelah pertandingan yang sangat melelahkan, barulah pinceng berhasil mengalahkannya dan membuatnya pergi dengan penasaran.”

Kian Hok Taisu memandang kepada Siok Li Hwa, lalu berkata, ”Ketika mendengar bahwa Pat-jiu Nio-nio sudah meninggal dunia, yakni lima tahun yang lalu, hati pinceng sudah lega dan melupakan urusan ini. Pedang ini disimpan di kamar pusaka, dijadikan sebuah di antara senjata-senjata pusaka Go-bi-pai. Eh, tidak tahunya hari ini kau datang dan menyatakan sebagai wakil Pat-jiu Nio-nio hendak mengambil Cheng-liong-kiam. Bukankah hal ini benar-benar tak dapat disangka sebelumnya? Nah, demikianlah, Nona. Setelah mendengar penuturan ini, bagaimana pendapatmu?”

”Aku tetap hendak melakukan pesan mendiang Nio-nio tetap hendak mengambil kembali pedang pusaka itu!” kata Li Hwa dengan suara tetap.

Hwesio tua itu nampak kecewa dan berduka, ”Nona, kau tahu bahwa pinceng tak dapat memberikan pedang ini begitu saja tanpa memenuhi syarat yang sudah pinceng janjikan kepada Paman Guruku. Hanya kalau dapat merampas kembali, pedang ini dapat kembali ke dalam tanganmu. Akan tetapi kau masih begini muda, bagaimana pinceng yang tua bangka ada muka untuk melayanimu bertempur? Nona, lebih baik diatur begini saja. Kau pulanglah saja dan kau tunggu kalau pinceng sudah mati, pedang ini pasti akan diantarkan ke tempat tinggalmu. Yang bertanggung jawab terhadap pedang ini dan sudah berjanji kepada mendiang Paman Guruku hanya pinceng seorang. Kalau pinceng mati, berarti janji itu pun telah mati pula dan pinceng akan memesan kepada para anak murid agar kelak sepeninggal pinceng, pedang ini akan diantarkan kembali kepadamu. Bagaimana?” Kakek gundul itu memandang kepada Li Hwa dengan penuh harapan.

Akan tetapi gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri dan berkata, dengan suara nyaring. ”Kian Hok Taisu, kau bicara tentang enaknya jalan pikiranmu sendiri saja. Sudah jelas bahwa pedang itu dahulunya adalah milik Nio-nio. Mengapa sekarang kau begitu susah-susah memutar-mutar omongan? Kalau memang kau tidak menghendaki keributan serahkan saja pedang itu kepadaku, habis perkara bukan? Kalau kau menunggu sampai kau mati, baru mengembalikan, aah, tak usah mencari-cari alasan, bilang saja terus terang bahwa kau suka memiliki pedang itu tidak ingin mengembalikan!”

Kian Hok Taisu menjadi merah mukanya, akan tetapi ia tetap sabar. suaranya agak keras ketika ia berkata, ”Nona, kau masih begini muda tetapi kata-katamu keras. Agaknya seperti kau inilah dahulu Pat-jiu Nio-nio di waktu muda. Soal mengembalikan pedang adalah soal mudah. Akan tetapi adalah menyangkut soal nama dan kehormatan. Pat-jiu Nio-nio sampai lima kali berusaha mengambil pedangnya tanpa hasil. Masa sekarang begitu kau datang tanpa perlawanan pinceng harus mengembalikan pedang itu begitu saja? Akan kemanakah larinya nama dan kehormatan pinceng sebagai Ketua Go-bi-pai?”

”Hem, Hwesio Tua. Kau bicara tentang nama dan kehormatan, apakah aku yang muda juga tidak menjaga nama dan kehormatan? Aku harus menebus penghinaan yang dirasakan oleh Nio-nio di samping merampas kembali pokiam itu. Kau telah berjanji akan memenuhi pesan Paman Gurumu sampai mati apakah kau kira aku pun tidak berani memenuhi pesan Nio nio dengan taruhan nyawaku?“

“Jadi kau benar-benar hendak merampas pedang ini?“ Kian Hok Taisu berkata sambil menggerak-gerakkan pedang Cheng-liong-kiam sehingga kelihatan sinar kehijauan.

“Tentu saja.”

Kembali terdengar suara ketawa dari beberapa orang hwesio yang menonton di situ karena kata-kata itu dianggap amat lucu. Bagaimana seorang gadis cantik jelita dan muda yang nampaknya begitu halus dan lemah akan merampas pedang di tangan Ketua Go-bi-pai?

“Nona, kau masih begini muda. Pinceng tak enak hati menghadapimu dengan pedang di tangan, sedangkan kau sendiri bertangan kosong. Kaullhat, di pojok sana itu terdapat rak senjata. Kaupilih senjata yang paling baik untuk menghadapi pinceng dan apabila pinceng sampai terluka sedikit saja oleh senjatamu, biarlah pinceng mengaku kalah. Akan tetapi, kalau sampai kau yang terkalahkan harap kau jangan bantah-bantahan lagi dan menunggu sampai pinceng menutup mata untuk selamanya baru pedang ini akan diantarkan kepadamu.“

Li Hwa tidak menjawab, melainkan segera menghampiri rak senjata dan memilih sebatang pedang yang cukup baik. Kemudian ia melompat menghadapi Kian Hok Taisu sambil memutar pedang berkata, “Hwesio tua, lihat pedang““ Pedangnya digerakkan cepat dan ia telah menyerang dengan dahsyat.

Melihat cara serangan ini, tak terasa lagi Kian Hok Talsu berseru, “Omitohud, kau benar-benar ahli waris Pat-jiu Nio-nio!“ la pun tidak tinggal diam dan pedang Cheng-liong-kiam di tangannya diangkat untuk menangkis serangan nona itu.

Akan tetapi Li Hwa tidak menanti sampai pedangnya tertangkis. Melihat bahwa serangan pertama ini gagal dan itu akan tertangkis apabila dilanjutkan, ia telah menarik kembali pedangnya dan langsung ditusukkan, merupakan serangan kedua yang tak kalah dahsyatnya dan begitu otomatis seperti serangan berantai. Padahal yang dimainkan itu adalah jurus ke dua yang berlainan sama sekali. Inilah sifat ilmu silat yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan Pat-jiu Nio-nio. Mengandalkan kepada kecepatan gerakan sehingga mendesak lawan dan tidak memberi kesempatan untuk lawan balas menyerang.

Akan tetapi Kian Hok Taisu adalah orang ahli silat kelas tinggi. Dahulu ketika Pat-jiu Nio-nio sendiri datang hendak merampas pedang, wanita sakti itu dapat dikalahkannya. Apalagi sekarang yang datang hanya murid Pat-jiu Nio-nio yang kepandaiannya belum matang. Setelah menggagalkan serangan Li Hwa sampai dua belas jurus akhirnya pedang Cheng-liong-kiam berhasil membabat pedang di tangan gadis itu. Terdengar suara keras dan pedang di tangan Li Hwa buntung menjadi dua.

Akan tetapi gadis itu tidak menjadi gentar, sebaliknya ia melompat ke pojok ruangan dan di lain saat ia telah kembali menghadapi Kian Hok Taisu dan menyerang dengan sebatang golok yang tadi diambilnya dari rak senjata! Serangan-serangannya kalah hebatnya oleh serangan pertama dengan pedang yang telah buntung tadi.

Kian Hok Taisu cepat menyambut serangan ini dan sebentar kemudian dua orang ini sudah lenyap terbungkus gulungan sinar senjata, bertempur dengan hebatnya di ruangan itu, membuat para hwesio yang menonton menahan napas. Tak mereka sangka bahwa gadis muda ini ternyata lihai sekali dan memiliki kecepatan gerakan yang membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar senjata yang di mainkan. Kembali belasan jurus lewat dan ditutup oleh suara nyaring ketika golok di tangan Li Hwa terbabat putus lagi oleh Cheng-liong-kiam!

“Cih! Tak malu mengandalkan kemenangan pada pedang curian!“ Li Hwa menyindir dengan hati mendongkol dan di lain saat ia telah melompat berjungkir balik dari tengah ruangan ke rak senjata lalu kembali ke tengah ruangan menghadapi lawannya dengan sebatang tombak! Dengan tombak ini ia menyerang bagaikan gelombang menderu dan terpaksa Kian Hok Taisu melayaninya.

Ketua Go-bi-pai ini diam-diam terkejut sekali. Gadis muda ini ternyata tidak saja mewarisi kepandaian Pat-jiu Nio-nio akan tetapi juga mewarisi wataknya yang keras dan berani dan dalam hal ini, kiranya malah lebih keras, lebih berani, dan lebih nekad daripada Pat-jiu Nio-nio sendiri!

Berkali-kali Li Hwa berganti senjata dan senjata-senjata yang buntung oleh cheng-liong-kiam dan berserakan di ruangan itu sudah amat banyak. Pedang, golok, tombak, toya, pian, dan rantai. Kini gadis itu memegang sebilah tombak cagak dan menyerang makin lama makin dahsyat. Diam-diam Ketua Go-bi-pai kagum. Gadis semuda ini sudah miliki gerakan demikian hebat dan bahkan sudah pandai mainkan delapan belas macam senjata. Benar-benar jarang ada keduanya. Apalagi kalau disertai keberanian sebesar itu benar-benar merupakan gadis pilihan yang pasti akan dapat menjunjung tinggi namanya di dunia kang-ouw kelak. Akan tetapi kalau sampai tersesat jalan hidupnya, gadis ini akan menjadi penyeleweng yang tidak kepalang tanggung, dan merupakan ancaman hebat.

Tombak cagak yang dimainkan oleh Li Hwa kali ini adalah sebuah senjata yang ringan, maka gerakan gadis itu juga cepat bukan main. Namun, tetap saja setelah dua puluh jurus lewat, tombak itu patah menjadi dua bertemu dengan Cheng liong-kiam. Kini Kian Hok Taisu mengharapkan gadis itu mau mengalah dan pergi. Akan tetapi ia kecele, karena sebaliknya, gadis itu lalu menarik ikat pinggangnya yang terbuat daripada sutera kuning yang panjang dan mulailah Li Hwa menyerang dengan senjata istimewa.

Kali ini Kian Hok Taisu terkejut sekali. Semenjak tadi, ia tidak pernah mau menyerang Li Hwa, hanya menjaga diri dan tiap kali ada kesempatan, mematahkan senjata lawannya mengandalkan ketajaman pedang Cheng-liong- kiam. Melihat tingkat kepandaian Li Hwa, hal ini tidak mungkin ia lakukan, yakni hanya menjaga diri tanpa membalas, apabila tidak memegang pedang pusaka yang ampuh. Sekarang Li Hwa menyerangnya dengan ikat pinggang sutera dan dalam tangan seorang ahli lweekang, sabuk sutera ini dapat menjadi senjata yang amat berbahaya dan tidak dapat diputus oleh tajamnya pedang.

Di lain pihak, tadi ketika berganti-ganti senjata, diam-diam Li Hwa mengasah otaknya. Di dalam kitab Pat-jiu Nio-nio ia memang mendapat beberapa bagian yang menarik, yang menuturkan betapa Pat-jiu Nio-nio, menggunakan tipu untuk menghadapi lawan tangguh akan tetapi selalu gagal. Kegagalan ini ditulis terang terangan di dalam kitab, bahkan digambarkan keadaan pertempuran, tiap tipu apa yang dipergunakan oleh Pat jiu Nio-nio dan bagaimana ia mengalami gagalan.

Coretan-coretan seperti ini ada lima macam dan tadinya Li Hwa tidak mengerti maksudnya, hanya mengira bahwa itu adalah pemberitahuan tentang siasat pertempuran. Akan tetapi sekarang baru ia mengerti bahwa setiap kali menyerang ke Go-bi-pai dan dikalahkan, Pat-jiu Nio-nio lalu menuliskan semua kegagalannya itu di dalam kitab!

Li Hwa semenjak tadi mengerahkan otaknya mengingat-ingat coretan yang lima macam itu. Teringatlah ia bahwa usaha Pat-jiu Nio-nio gagal seperti tersebut dalam coretan-coretan itu adalah karena Pat-jiu Nio-nio selalu mempergunakan kekerasan. Ilmu silat Go-bi-pai adalah ilmu silat yang banyak mengandalkan tenaga “yang“ (kekerasan) dan karenanya tokoh-tokohnya tentu saja memiliki tenaga yang kuat. Kalau diserang dengan tenaga kasar pula, maka banyak lawan yang harus tunduk dan kalah terhadap tokoh-tokoh Go-bi-pai.

Kemudian Li Hwa teringat bahwa di samping lima coretan tentang kegagalan Pat-jiu Nio-nio, terdapat coretan lain di bagian bawah yang menggambarkan seolah-olah Pat jiu Nio-nio mencari siasat bagaimana cara mengalahkan lawan yang sudah lima kali tidak dapat dikalahkan itu. Sekarang, setelah mendengar riwayat Pat jiu Nio-nio dan mendengar semua keterangan Kian Hok Taisu, barulah Li Hwa menjadi jelas dan semua coretan itu kini “hidup“ dalam ingatannya.

Ia tadi sengaja menukar-nukar senjata untuk memberi kesempatan padanya mengingat semua coretan itu. Setelah ia paham betul, barulah ia membuang senjata- senjata yang sudah buntung dan sebagai gantinya ia mengeluarkan ikat pinggangnya dari sutera!

Baru sekarang Li Hwa benar-benar menyerang dalam arti kata sedalam-daTamnya. Ia mengerahkan seluruh tenaga lweekang bagian “Im“, yakni tenaga lemas dan mengeluarkan tipu-tipu atau jurus-jurus ilmu silat seperti yang digambarkan dalam coretan-coretan ke enam dari Pat-jiu Nio-nio. Bukan tubuh Kian Hok Taisu yang diserangnya, melain bagian lengan yang memegang pedang atau gagang pedang.

Kadang-kadang ujung ikat pinggang sutera itu menyambar-nyambar bagai ular, menerjang dengan totokan ke arah pundak kanan atau sambungan siku pergelangan tangan atau menyerang jari tangan yang memegang gagang pedang. Semua jalan darah di bagian lengan tak luput dan sasaran sehingga boleh dibilang sabuk sutera itu hidup mengikuti jalannya pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan.

Ke manapun juga tangan kanan Kian Hok Taisu dengan pedang hijau itu bergerak, selalu sabuk sutera mengikuti dan menyerang dengan totokan-totokan dan kepretan-kepretan lihai. Pertempuran kali ini amat indah dipandang. Kian Hok Taisu yang tidak membiarkan lengannya tertotok, menggerakkan Cheng liong-kiam dengan cepat sehingga merupakan gulungan sinar hijau. Kini sinar hijau itu ke manapun juga diikuti oleh segunduk sinar kuning yang seakan-akan membayangi sinar hijau. Sinar ini adalah sinar dari sabuk sutera kuning yang digerakkan secara cepat oleh Li Hwa.

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Kian Hok Taisu mulai sibuk. Beberapa kali pedang Cheng-liong-kiam ia sabetkan ke arah sabuk sutera akan tetapi karena sabuk itu lemas dan kuat, serta dimainkan oleh Li Hwa dengan pengerahan tenaga “im“ hasilnya sia sia saja, sabuk itu tidak mau putus. Kini terpaksa Kian Hok Taisu melakukan serangan balasan, karena hanya dengan serangan balasan saja ia dapat menahan desakan Li Hwa.

Baru sekarang pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran, saling serang dan saling mempertahankan dan baru sekarang Li Hwa mendapat kenyataan bahwa hwesio tua itu benar-benar lihai. Pedang yang dimainkan itu berubah menjadi gulungan sinar hijau yang amat kuat, mengurung dan menindihnya sehingga sebentar saja Li Hwa terkurung dan terdesak hebat. Keadaan jadi sebaliknya. Kalau tadinya Li Hwa selalu menjadi penyerang dan hwesio itu yang mempertahankan, adalah sekarang gadis itu yang diserang dan terdesak hebat oleh Kian Hok Taisu dengan pedangnya yang ampuh.

Li Hwa mulai putus asa. Gadis maklum bahwa andalkata hwesio itu tidak memegang pusaka yang ampuh belum tentu ia dapat menang. Apalagi sekarang hwesio itu mainkan Cheng liong-kiam yang amat tajam sedangkan senjatanya sendiri hanya sehelai sabuk sutera! Bagaimanapun juga, tak mungkin ia menang, tak mungkin ia dapat merampas pedang.

Apakah riwayat Pat-jiu Nio-nio akan terulang lagi? Apakah nasibnya akan seperti Pat-jiu Nio-nio, setiap kali berusaha merampas pedang dan gagal? Tidak pikir Li Hwa dengan hati dan kepala panas, aku tidak mau seperti itu. Sekarang juga aku harus dapat merampas pedang atau biar aku mati di bawah pukulan pedang itu! Pikiran ini membuat Li Hwa menjadi nekat. Kini ia menyerang dengan tangan kirinya. Sabuk sutera dan tangan kiri dengan gerakan-gerakan nekad dan cepat menyerang ke arah lengan yang memegang pedang.

Kian Hok Taisu mengeluarkan suara terkejut. Hampir saja pedang Cheng-liong-kiam mampir di leher nona itu kalau ia tak cepat-cepat menahan tenaganya dan menarik kembali pedangnya. Nona itu sekarang menyerangnya dengan hebat dan nekad, sama sekali tidak memperdulikan ancaman pedang lagi, merangsek hebat ke arah lengan kanan yang memegang pedang dengan tekad bulat untuk merampasnya!

Kian Hok Taisu mengeluh di dalam hatinya. Tak mungkin ia melukai nona ini. Hatinya tidak tega melukai seorang gadis muda. Bukan hanya tidak tega, juga ia merasa malu kalau harus mengundurkan gadis ini dengan melukainya, apalagi membunuhnya. Terpaksa ia menghentikan semua serangannya karena gadis itu tidak mau menjaga diri lagi dan kini terpaksa ia mengerahkan kepandaiannya untuk menjaga agar pedang jangan sampai terampas.

Akan tetapi usahanya ini jauh lebih berat daripada tadi. Kalau tadi Li Hwa masih memperhatikan penjagaan diri sehingga serangan-serangan tidak sepenuhnya, adalah sekarang gadis yang nekad itu sama sekali tidak perhatikan tentang penjagaan diri dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk merampas pedang, bahkan kini bukan hanya dengan tangan kanan yang memegang sabuk sutera, melainkan dibantu pula oleh tangan kirinya yang mainkan ilmu silat semacam ilmu mencengkeram. Gerakannya cepat dan dahsyat dan diam-diam Kia Hok Taisu kagum, kakek gundul ini tahu bahwa ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang aseli, ciptaan dari Pat-jiu Nio-nio dan yang diajarkan kepada seluruh anggauta Hui-eng-pai.

Kian Hok Taisu hanya dapat mempertahankan pedangnya selama empat puluh jurus. Dengan keadaan yang amat terdesak, akhirnya ujung sabuk sutera itu berhasil menotok jalan darah di pundaknya. Biarpun ia sudah mengerahkan tenaga menolak hawa totokan, namun karena jalan darahnya terkena tepat sekali, jalan darah itu masih kena digetarkan yang membuat lengannya kesemutan dan gerakannya menjadi lambat. Kesempatan tidak disia-siakan oleh Li Hwa. Gadis itu menggerakkan tangan kanan dengan cepat dan di lain saat pedang itu sudah pindah ke dalam tangannya!

Kian Hok Taisu menghentikan gerakannya, menarik napas dan berkata, “Pinceng terima kalah. Kau patut sekali mewarisi pokiam (pedang pusaka) itu, Nona. Harap saja pedang itu di tanganmu akan mendatangkan kebaikan untuk dunia dan jangan sampai digunakan untuk melakukan kejahatan- kejahatan.“

Li Hwa bukan seorang yang bodoh dan buta. Ia tahu bahwa dalam hal perebutan pedang tadi, ia berhasil hanya karena hwesio tua ini mengalah. Kalau hwesio itu menghendaki, sudah sejak tadi ia roboh terluka oleh pedang. Maka ia lalu menjura dan berkata, “Taisu, terima kasih bahwa kau sudah mengembalikan pedang sehingga aku dapat memenuhi pesanan Nio-nio. Pedang ini asalnya milik Nio-nio dan karena Nio-nio bukan orang jahat, bagaimanapun pedang ini akan dapat dilakukan untuk perbuatan jahat? Nah, selamat tinggal sampai berjumpa kembali, Tai-suhu.”

Setelah berkata demikian, nona itu berkelebat, kelihatan sinar kehijauan dari pedang Cheng-liong-kiam yang berada di tangannya dan sebentar saja Li Hwa lenyap dari depan Kian Hok Taisu.

Kakek gundul itu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya “Omitohud... lihai sekali bocah itu. Setelah pedang itu berada di tangannya, biarpun pinceng sendiri belum tentu aku dapat menundukkannya...“

Demikianlah setelah dapat merampas kembali pedang Cheng-liong-kiam, Li Hwa lalu menjalankan pesan yang ketiga dari mendiang Pat-jiu Nio-nio, yakni membangun kembali perkumpulan Hui-eng-pai. Untuk ini ia dapat banyak bantuan dari lima pendeta perempuan bekas anggauta terpenting dari Hui-eng-pai dahulu. Untuk memenuhi kehendaknya Li Hwa tidak ragu-ragu untuk menculik gadis-gadis kampung dan gunung untuk dijadikan anggauta perkumpulannya!

Dalam hal ini ia selalu memilih gadis yang cantik dan bersih. Tak lama kemudian, ia telah dapat mengumpulkan seratus orang anggauta perkumpulan Hui-eng-pai, seratus orang gadis yang rata-rata memiliki kecantikan mengagumkan. Mulailah ia mengatur anggautanya, melatih ilmu silat dan melakukan pekerjaan untuk kepentingan mereka semua di puncak tersembunyi dari Go-bi-pai itu.

Sementara itu, setelah mendapatkan Cheng-liong-kiam, Li Hwa tidak membuang waktu dengan sia-sia belaka. Ia memperdalam ilmu silatnya dan di dalam kitab memang terdapat ilmu pedang yang disebut Cheng-liong-kiam-sut, yakni Ilmu Pedang Naga Hijau yang tentu saja amat cocok dan tepat kalau untuk mainkan ilmu pedang ini digunakan pedang Cheng-liong-kiam sendiri!

Ilmu silatnya maju pesat dan demikian hebat kemajuan yang diperoleh Li Hwa sehingga kepandaiannya sudah menyusul tingkat mendiang Pat-jiu Nio-nio. Bahkan ia kini sudah dapat meniru pekik burung elang yang dahulu hanya dapat dilakukan oleh Pat- jiu Nio-nio, pekik yang menjadi tanda dari perserikatan itu. Anggauta-anggauta lain dapat juga mengeluarkan pekik itu akan tetapi harus dibantu dengan alat tiup terbuat daripada daun bambu muda. Hanya Li Hwa seoranglah yang dapat mengeluarkan pekik ini tanpa bantuan alat, melainkan dengan pengerahan tenaga lweekang yang tinggi. Oleh karena ini, pekiknya adalah pekik yang lebih aseli dan yang berbeda daripada pekik para anggautanya, sehingga dapat dibedakan siapa kepalanya siapa anak buahnya.

Kurang lebih tiga bulan sebelum pertemuan di puncak Ngo-heng-san itu, terjadilah hal yang menggegerkan penghidupan para anggauta Hui-eng-pai di puncak Go-bi-san. Peristiwa ini terjadi pada suatu malam, yang menimpa seorang di antara para anggauta yang bernama Cun Eng, seorang gadis yang manis dan menarik, memiliki potongan tubuh yang menggairahkan. Selagi gadis ini seorang diri meronda sebagaimana tiap malam dilakukan secara bergiliran untuk menjaga keamanan gedung seperti istana itu, tiba-tiba ia melihat bayangan hitam berkelebat.

Sebelum Cun Eng dapat melihat siapa bayangan itu, tahu-tahu ia telah diserang, tertotok roboh. Bayangan itu ternyata ialah seorang laki-laki yang berkepandaian tinggi dan yang kemudian membawa Cun Eng pergi dan situ. Gadis ini tidak berdaya lagi dan tak kuasa mempertahankan diri dari gangguan laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Ta hanya dapat melihat bentuk badan orang itu, dan mendengar suaranya ketika laki-laki itu hendak meninggalkannya berkata.

“Manis, kalau kelak kau merasa rindu kepadaku dan hendak mencariku, carilah di dunia kang-ouw. Namaku Wan Sin Hong sudah cukup terkenal.“

Cun Eng sambil menangis lalu melaporkan penghinaan ini kepada Li Hwa yang membuat sepasang alis Li Hwa berdiri saking marahnya.

“Keparat jahanam Wan Sin Hong, kalau belum memenggal lehermu aku tak mau pulang!“ serunya marah. Cepat mengumpulkan para anggauta yang sudah agak pandai sebanyak empat puluh orang kemudian ia melakukan pengejaran yang tiada henti-hentinya. Di mana saja ia mendengar jejak Wan Sin Hong tentu akan disusulnya sampai akhirnya tiba di Puncak Ngo-heng-san!

Demikianlah sebabnya mengapa begitu melihat Liok Kong Ji, Li Hwa terus saja menerjang. Hal ini adalah karena Cun Eng yang memberi tahu kepadanya bahwa pemuda yang memegang hudtim itu seperti orang yang telah melakukan perbuatan keji kepadanya. Tni pula sebabnya mengapa Li Hwa menjadi marah dan menendang Cun Eng karena itu tidak berani mengambil keputusan apakah Li Kong Ji itu orang yang mereka kejar-kejar atau bukan.

Kecewa karena tidak bisa menentukan penjahat yang dikejar-kejarnya sampai berbulan-bulan, Li Hwa lalu menghibur dirinya dengan menonton pemilihan bengcu yang tanpa disengaja ia kunjungi.

Setelah melihat bahwa tempat itu sudah penuh dengan orang-orang gagah dari seluruh penjuru dan tidak ada tamu baru yang datang lagi, tiga ciangbunjin dari Thian san pai, Kum-lun-pai dan Bu-tong-pai yang dianggap sebagai pemimpin pertemuan, saling memberi tanda bahwa urusan segera dapat dimulai dan pertemuan dibuka.

Tai Wi Siansu, Ketua Kun-lun-pai yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan dianggap yang paling tua, segera berdiri dan diapit oleh Leng Hwat Taisu Ketua Thian-san-pai dan Bu Kek Siansu Ketua Bu-tong-pai, ia bicara dengan suaranya yang tenang, halus dan penuh kesabaran, akan tetapi karena diucapkan dengan tenaga lweekang, maka dapat didengar oleh semua orang yang berkumpul di situ, bahkan orang-orang yang berdiri paling pinggir dapat juga mendengar dengan jelas.

“Cuwi sekalian tentu sudah mengerti apa maksud kita bersama mengadakan pertemuan di tempat yang bebas ini.” Ia membuka kata-katanya dengan tenang. “Yang dimaksudkan bebas adalah karena Ngo-heng-san memang tidak ada partai persilatan sehingga pertemuan diadakan di tempat ini merupakan pertemuan bebas, jadi bukan merupakan undangan dari partai atau pihak tertentu. Dengan demikian, maka tidak adalah tuan rumah atau tamu.”

“Sekarang setelah kita semua berkumpul dan kelihatannya di sini sudah penuh dengan wakil-wakil dari semua golongan, marilah kita masing masing mengajukan calon bengcu agar pemilihan dapat segera dilakukan.“ Demikian Tai Wi Siansu mengakhiri kata-katanya yang singkat.

Ramai suara hadirin yang hendak mengajukan calon masing-masing. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras, ternyata yang bicara adalah Liok Kong Ji. Pemuda ini mengerahkan suaranya sehingga mengatasi suara orang- orang bicara.

“Nanti dulu, Tai Wi Siansu! Aku mau tahu dengan cara bagaimanakah calon-calon itu akan dipilih? Bagaimana cara untuk menetapkan bengcu yang dipilih?“

Wi Siansu memandang dengan sinar mata dingin ke arah pemuda itu. Kakek ini yang dahulu pernah bertemu dengan Kong Ji ketika ia ikut mengejar dan mengepung penjahat Wan Sin Hong, memang kurang suka melihat pemuda ini yang biarpun berkepandaian tinggi, namun sikapnya amat tidak menyenangkan dan agak sombong.

“Tentu saja akan dipergunakan aturan lama yang sudah dipakai oleh nenek moyang kita. Di antara para calon bengcu harus kita pilih bersama dan masing-masing boleh menyatakan pendapatnya mengapa memilih bengcu itu, kemudian pertentangan pendapat diselesaikan dengan melihat keadaan calon bengcu maing-masmg. Kalau perlu boleh diukur tentang pribadi, kepandaian, keturunan dan lain-lain.“

Liok Kong Ji mengeluarkan suara dingin. “Aturan lama yang sudah usang!“ Ia lalu menghadapi semua orang dan berkata nyaring. “Aturan lama yang sudah usang itu hanya akan memancing keributan di antara kita sendiri. Menurut pendapatku, lebih baik kalau diadakan pemilihan di antara calon bengcu berdasar suara terbanyak! Yang paling banyak dapat sokongan suara dialah yang menang,“

Kembali terdengar suara gaduh ribut menyambut usul ini. Seorang tosu tinggi kurus berjenggot putih, yakni Yang Seng Cu, murid tertua dari Tai Siansu, berdiri dan berkata keras.

“Aturan itu tidak boleh dipakai sama sekali! Kita tidak bisa meninggalkan aturan lama yang sudah disaring orang- orang gagah jaman dahulu. Memilih berdasarkan suara terbanyak amat berbahaya. Tentu saja yang menang adalah mereka yang membawa banyak konco dan kaki tangan, sedangkan mereka yang dengan jujur datang hanya membawa sedikit kawan akan kalah suara. Paling perlu dilihat buktinya apakah emas yang dipilih itu tulen atau palsu. Memilih bengcu sama dengan memilih barang berharga, harus diteliti benar-benar. Kalau sampai kita salah pilih dan mendapatkan seorang yang berwatak bejat menjadi bengcu, bukankah kita bersama diseret ke lembah kehinaan? Paling baik para calon bengcu itu memperlihatkan kepandaian masing-masing agar kita semua dapat membuka mata dan menilai.”

“Akur! ini akur sekali!“ terdengar banyak suara menyambut.

“Tidak cocok! Lebih baik menurut usul Tung-nam Tai-bengcu'“ terdengar suara di sana-sini dan jumlah suara ini banyak sekali. Diam-diam Tai Wi Siansu terkejut dan berdebar hatinya. Mengapa di antara orang-orang yang menyatakan setuju akan usul Liok Kong Ji itu terdapat orang-orang dari rombongan Siauwlim dan partai-partai lain?

Benar-benar aneh sekali. Kong Ji tersenyum. “Sudahlah, hal ini tak perlu diributkan. Kita lihat saja macam apa calon-calon bengcu yang dimajukan. Tentang mengukur kepandaian boleh saja, bahkan tentu para pemilih juga menjagoi dan membela calon masing-masing.” Kata kata ini merupakan sindiran bahwa tentu akan terjadi keributan dan pertentangan mengadu kepandaian dalam pemilihan ini dan menyatakan tidak takut sama sekali. Hal ini memang tidak aneh. Setiap kali orang-orang kangouw yang rata-rata mengandalkan kekerasan dan kepandaian ini melakukan pemilihan sesuatu, pasti akan terjadi bentrok dan pertempuran akan tetapi akhirnya hal itu akan beres yang dipilih didapatkan dengan tepat dan cocok, sedangkan pertempuran itu bahkan ada baiknya karena biasanya lalu siapa atau pihak mana yang betul dan pihak mana yang menyeleweng. Oleh karena itu, semua orang gagah tidak takut menghadapi bentrok dalam pemilihan ini.

Karena mengira bahwa calon-calon bengcu yang diajukan tentu banyak sekali, Tai Wi Siansu segera minta nama-nama calon bengcu itu disebutkan. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia hanya mendapatkan lima orang calon saja! Pertama-tama adalah Liok Kong Ji yang disebut Tung-nam Tai-bengcu, kedua adalah dia sendiri, orang ketiga adalah Go Ciang Le yang dipilih oleh tokoh-tokoh partai lain terutama sekali oleh Tai Wi Siansu sendiri.

Ke empat adalah See-thian Tok-ong yang didukung oleh anak isterinya dan delapan orang pengiringnya, juga oleh beberapa orang kang-ouw yang sudah mendengar nama besar Raja Racun dari Barat ini. Adapun orang kelima adalah Cam-kauw Sin-kai yang ditunjuk dan diusulkan oleh Ciang Le dan isterinya serta oleh Lie Bu Tek pendekar buntung.

”Hanya lima orang saja calon bengcu?” tanya Tai Wi Siansu dengan wajah terheran-heran. ”Pada pemilihan bengcu dahulu, calonnya saja mendekati lima puluh orang!”

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang anggauta Hui-eng-pai telah berdiri di depan Tai Wi Siansu. Dengan hormat dia menjura dan bertanya. “Totiang, saya disuruh oleh Niocu untuk bertanya apakah para calon bengcu ini nanti mengukur kepandaian masing-masing?“

Tai WI Siansu mengangguk-angguk “Memang seharusnya demikianlah.“

Gadis yang manis dan bertahi lalat pada telinga kirinya ini berseri wajahnya dan berkata cepat. “Kalau begitu harap catat ketua kami sebagai calon ke enam!“

Tat Wi Siansu mengerutkan keningnya dan mengerling ke arah rombongan Hui-eng-pai di mana ia melihat Li Hwa duduk sambil tersenyum manis dan sepasang matanya bersinar-sinar. Ia hanya bisa mengangguk menyatakan setuju dan gadis suruhan itu melompat kembali ke tempatnya di mana dia dan kawan-kawannya berbistk dan nampaknya bergembira.

“Calon ke enam telah dipilih, yakni Hui-eng Niocu Siok Li Hwa Ketua Hui eng-pai!“ kata Tat Wi Siansu memperkenalkan kepada orang banyak. Terdengar orang bertepuk tangan menyambut pemberitahuan ini. Dapat dimengerti bahwa yang bersorak ini sebagian besar adalah orang-orang muda yang mengagumi kecantikan Li Hwa. Pula di situ hanya ada seorang saja wanita yang berani terjun menjadi calon bengcu, siapakah yang tidak menjadi kagum? Akan tetapi diam-diam. banyak yang tertawa geli kalau memikirkan alangkah janggalnya kalau dunia kang-ouw dikepalai oleh seorang bengcu wanita!

Hal ini memang disengaja oleh Li Hwa. Tidak saja ia teringat akan pesan mendiang Pat-jiu Nio-nio bahwa ia harus dapat mengangkat derajat wanita dan ini memperlihatkan bahwa wanita pun tak kalah oleh pria, juga sebagai seorang muda yang berdarah panas ia sudah gatal- gatal tangan untuk menguji kepandaiannya dengan para calon bengcu! Jarang ia bertemu dengan lawan yang tangguh dan sekaranglah saatnya baginya untuk menguji kepandaian yang sekian lamanya ia pelajari dengan rajin sekali.

Kemudian Kong Ji meloncat ke depan, mengibas-ngibaskan hudtimnya dengan lagak sombong sekali. “Biarpun pemilihan calon bengcu itu tidak didasarkan suara terbanyak, akan tetapi setidaknya harus diumumkan dan didengar oleh semua orang siapa-siapakah yang memilih calon-calon bengcu yang sekarang ini agar tidak main gila dalam pemilihan ini dan agar diketahui oleh semua orang bahwa calon yang diajukan benar-benar dikehendaki orang banyak di dunia kang-ouw!“

Wajah Tai Wi Siansu menjadi merah. Kata-kata ini mengandung sindiran dan pernyataan tidak percaya kepada para pemimpin pertemuan seakan-akan para pemimpin pertemuan akan berlaku curang dalam pemillhan ini!

“Sudah tentu!“ kata Tai Wi Siansu kasar, karena memang betapapun juga permintaan ini cukup pantas dan tak dapat ditolak lagi. Tai Wi Siansu lalu berkata kepada orang banyak. “Cuwi-enghiong yang berada di sini harap suka mengangkat tangan apabila nama calon bengcu pilihan pinto sebut. Kemudian setelah memandang ke empat penjuru ia berkata dengan suaranya yang ringan tapi halus.

“Calon pertama, Tung-nam Tai-bengcu Liok Kong Ji!“ Terdengar suara gemuruh orang-orang menyambut dengan sorakan dan banyak sekali lengan tangan kanan diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Melihat banyaknya pendukung, Tai Wi Siansu tidak merasa aneh. Akan tetapi ketika ia dengan perhatian ke arah para penyokong calon ia menjadi kaget sengah mati. Demikian pun Leng Hoat Taisu

Ketua Thian-san-pai dan Bu Kek Siansu Ketua Bu-tong-pai semua menahan napas agar tidak mengeluarkan seruan kaget. Mereka hanya dapat saling pandang, penuh rahasia dan perasaan terkejut dan terheran-heran. Kini dengan jelas terlihat oleh mereka bahwa semua wakil yang terdiri dari rombongan-rombongan kecil wakil-wakil dari partai-partai besar di dunia, Kiang san-pai ikut mengangkat lengan menyokong nama Liok Kong Ji Juga semua pemimpin dari partai-partai kecil lainnya seperti partai-partai Im-yang-bu-pai, Bu-cin-pang, Kwan-cin-pai, Shansi Kai-pang.

Twa-to Bu-pai dan lain-lain juga menyokong Liok Kong Ji. Kalau partai-partai ini menyokong pemuda itu, masih tidak aneh karena bukankah pemuda itu juga sudah diangkat sebagai bengcu dari timur dan selatan oleh mereka ini? Akan tetapi, kalau partai-partai Siauw-lim-pai, Go-bi-pai lain-lain ikut memilihnya, inilah hebat.

Juga tokoh-tokoh lain yang tidak ikut memilih Liok Kong Ji, saling pandang dengan hati kecut. Dilihat begitu saja malah yang memilih Liok Kong Ji lebih dari setengah orang yang hadir di situ dan kalau sampai terjadi keributan akibat rebutan kursi bengcu, pemuda itu bersama pendukungnya yang amat banyak tentu merupakan lawan yang amat berat. Apalagi ketika di antara para pendukung itu terdapat tokoh besar seperti Gi Seng Cu, para ketua partai dan wakil-wakil partai besar yang amat banyak pula anak buahnya. Akan tetapi kini sudah terdengar lagi. suara Tat Wi Siansu yang mengumumkan nama calon ke dua.

“Calon ke dua, Hwa I Enghiong Go Ciang Le!“

Nama besar Go Ciang Le murid Pak Kek Siansu, siapakah yang belum pernah mendengar? Semua orang memandang kepada pendekar besar itu, kagum dan segan. Akan tetapi yang mendukung pendekar besar ini tidak berapa banyak. Hal ini disebabkan oleh karena bukan saja mereka yang hadir itu sebagian besar adalah kaki tangan Liok Kong Ji, akan tetapi juga karena selama ini Go Ciang Le menyembunyikan diri saja tidak terjun di dunia kang-ouw sehingga orang-orang hanya mengenal nama besarnya saja akan tetapi tidak pernah menyaksikan sepak-terjangnya. Tentu saja orang-orang masih ragu-ragu untuk memilihnya sebagai bengcu. Akan tetapi sebaliknya, tokoh-tokoh besar seperti Tat Wi Siansu tidak ragu-ragu lagi untuk memilih Go Ciang Le sebagai bengcu.

“Calon ke tiga, Cam-kauw Sin-kai!“

Pendukung kakek pengemis sakti ini banyak juga, karena selain Ciang Le, isterinya, Lie Bu Tek dan beberapa orang tokoh perkumpulan-perkumpulan pengemis yang sudah mengenal kakek ini, juga ada orang-orang kang-ouw yang sudah lama mengagumi Cam-kauw Sin-kai memberikan suaranya dan mengangkat tangan tanda mendukung. Cam- kauw Sin-kai sendiri hanya tertawa tawa berkata perlahan. “Tua bangka macam aku mana pantas menjadi bengcu?“

Tai Wi Siansu sudah mengumumkan lagi. “Calon ke empat, See-thian Tok-ong" suaranya terdengar nyaring dan nama menimbulkan gelisah dan rasa ngeri dalam hati para pendengarnya. Nama Racun dari Barat ini sudah terkenal bagai tokoh berwatak iblis yang menakutkan, apalagi sekarang menyaksikan orangnya yang memang menyeramkan. Kecut-kecut hati semua orang yang memilih calon lain, karena di samping Liok Kong Ji yang banyak pengikutnya, See-thian Tok-ong inilah yang merupakan lawan berat dan juga merupakan orang yang tak disuka.

“Calon ke lima, yang sesungguhnya tak perlu diadakan, adalah pinto sendiri,“ kata Tat Wi Siansu. Kata kata ini disambut oleh suara ketawa banyak orang yang menganggap kakek itu berkelakar. Memang lumayan juga kelakar ini, untuk selingan dan menghibur hati yang berdebar tegang menghadapi pemilihan bengcu dan mendengar nama See thian Tok-ong tadi.

Tiba-tiba terjadi keributan kecil di rombongan Teng-san-pai... Semua orang memandang dan ternyata yang membikin ribut adalah Cam-kauw Sin-kai. Kakak pengemis sakti ini entah kapan, tahu-tahu telah berada di situ dan menyerang seorang di antara rombongan Teng-san-pai itu sambil berseru,

“Kau tukang colong ayam!“ Seruan ini dibarengi oleh serangannya memukul ke dada dengan tangan kanan dan mencengkeram pusar dengan tangan kiri. Serangan yang hebat, cepat dan kuat sekali!

. Semua orang terkejut melihat ini, terutama orang yang diserangnya itu. Orang itu adalah seorang yang berpakaian seperti tosu dan dia adalah seorang di antara para wakil Teng-san-pai, muka dan lagaknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat pandai. Menghadapi serangan yang demikian dahsyat dari Cam-kauw Sin-kai tosu ini cepat membanting tubuh ke belakang sambil berpoksai dengan cara berjungkir balik.

Akan tetapi terdengar suara ketawa bergelak dan kaki Cam-kauw Sin-kay menyentuh pantatnya sehingga tosu itu terpental dan jatuh bergulingan seperti sebuah bal karet ditendang. Cam-kauw Sin-kay mengeluarkan suara ketawa bergelak-gelak, suara ketawanya aneh sekali dan pengemis ini lalu melompat kembali ke dekat Gak Soan Li. Memang sejak tadi, pengemis ini nampak bicara perlahan-lahan dengan nona yang siuman dari pingsan ini.

Ciang Le, isterinya, dan Lie Bu Tek memandang kepada pengemis tua itu dengan heran. Mereka tidak melihat sesuatu alasan mengapa Cam-kauw Sin- kai melakukan penghinaan kepada wakil Teng-san-pai itu. Akan tetapi Cam-kauw Sin-kai yang melihat pandang mata mereka hanya tersenyum-senyum, wajahnya berseri-seri aneh. Kemudian ia berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil berkata kepada Tai Wi Siansu

“Masih ada lagi calon ke tujuh, akulah orangnya yang memilihnya dan harap diumumkan!“ Semua orang mendengar ucapan yang dilakukan dengan pengerahan lweekang yang tinggi ini.

Tai Wi Siansu sudah mengenal siapa adanya Cam-kauw Sin-kai dan melihat kelakuan pengemis tua ini, Ketua Kun- lun-pai tersenyum dan menjawab sabar. “Cam-kauw Sin-kai, kau umumkan sendiri agar kita semua mendengar, Siapakah adanya calon pilihanmu yang terhormat itu?“

Cam-kauw Sin-kai memandang ke empat penjuru memutar-mutar tubuhnya lalu berkata dengan keras sekali setelah mengumpulkan tenaga dan napasnya. “Aku mengajukan calon bengcu kiranya paling tepat pada waktu ini menjadi pemimpin kita, dia itu bernama Wan Sin Hong!“

Untuk sedetik terdengar suara seruan kaget, lalu disusul suasana sunyi senyap. orang-orang memandang kepada Cam-kauw Sin-kai seolah-olah pengemis itu telah berubah ingatannya. Bahkan orang-orang yang berpihak kepadanya juga memandang dengan heran. Ciang Le sendiri memandang dengan muka tercengang, sedangkan Lie Bu Tek memandang kepada Cam-kauw Sin-kai dengan mata menjadi basah air mata!

Ketika Cam-kauw. Sin-kai menyebut nama bengcu yang dipilihnya, nama “Wan Sin Hong“ la sebutkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga lama setelah ia menutup mulut gema suaranya masih terdengar dari sekeliling puncak itu.

Tiba-tiba dari jauh sekali, terdengar suara ketawa yang aneh gemanya bergemuruh seperti suara geluduk dari jauh. Semua orang terkejut sekali, bahkan Ciang Le dan tokoh-tokoh besar yang berada di situ juga kaget karena hanya orang yang memiliki khikang tinggi bukan main yang dapat mengeluarkan suara seperti itu gemanya!

Akan tetapi suara itu hanya timbul sebentar saja karena lalu lenyap tak disusul oleh suara apapun juga. Kemudien terdengar pekik lain yang nyaring sekali, disusul oleh pekikan semacam itu yang kurang nyaring, kemudian nampak bayangan-bayangan putih berkelebatan, bayangan-bayangan putih yang cepat sekali gerakannya laksana kelompok burung garuda menyambar.

Adalah pekik yang dikeluarkan oleh Siok Li Hwa, disambut oleh pekik dari para anggautanya. Pekik ini merupakan pekik aba-aba dan sebentar saja Li Hwa dan para anggautanya sudah mengurung tempat di mana berdiri Cam-kauw Sin-kai dan rombongan Go Ciang Le! Li Hwa sendiri lalu melangkah maju, pedang hijau berkilauan di tangannya. Ia menghadapi Cam-kauw Sin-kai dengan wajah keren dan mata berapi-api...