Pedang Penakluk Iblis Jilid 22

Cerita silat online karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode pedang Penakluk Iblis Jilid 22

Pedang Penakluk Iblis Jilid 22

TIDAK hanya gadis itu yang menganggap jahat bahkan ayah-bunda gadis itu pun menuduh ia melakukan perbuatan yang jahat. Mereka semua membencinya! Hatinya menjadi panas. Baiklah, biar kelak mereka lihat bahwa mereka semua itu bodoh dan salah sangka. Biarlah mereka semua lihat bahwa Wan Sin Hong bukanlah seorang jahat seperti yang mereka kira, dan pada suatu hari ia akan memperlihatkan siapa dia sebenarnya, orang macam apa! Dengan pikiran yang memanaskan hatinya ini, Sin Hong melompat berdiri dan di lain saat ia telah lari seperti terbang cepatnya, memulai perjalanannya untuk menangkap Kong Ji dan menangkap orang yang merusak namanya.

********************

Serombongan orang naik ke Bukit Luliang-san. Mereka ini terdiri dari seorang wanita dan tiga orang laki-laki. Melihat cara mereka berlari cepat mendaki gunung itu mudah diketahui bahwa mereka adalah ahli-ahli silat kelas tinggi yang memiliki kepandaian lihai.

Orang takkan merasa aneh kalau sudah melihat dan mengenal mereka karena mereka itu bukan lain adalah Liok Kong Ji, Ba Mau Hoatsu, Giok Seng Cu dan Nalumei. Memang Kong Ji sudah memesan kepada Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu untuk mengadakan pertemuan di Gunung Luliang-san.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kong Ji menyuruh Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu pergi mencari See-thian Tok-ong untuk mengadakan hubungan dan kalau mungkin menarik See-thian Tok-ong untuk bekerja sama mencari kedudukan.

Adapun Kong Ji sendiri diam-diam mengikuti perjalanan Sin Hong, dan dia pula yang sudah mengatur agar Soan Li keluar pada saatnya untuk membunuh Sin Hong. Dia pula yang muncul untuk membantu Hui Lian dalam menghadapi Sin Hong dan pada waktu itu, Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu belum meninggalkannya.

Selelah kedua kakek ini pergi dan Kong Ji bersama Nalumei melanjutkan siasat mereka menyeret nama Sin Hong ke dalam lumpur kehinaan. Semua peristiwa telah dituturkan di bagian depan dan kiranya tidak sukar diduga bahwa semua pengalaman Sin Hong itu sudah diatur oleh Kong Ji yang licin dan cerdik sekali.

Kemudian, setelah melihat Sin Hong membawa lari Soan Li, Kong Ji menjadi menyesal sekali. Diam-diam dia merasa sayang, karena selain Soan Li merupakan senjata yang ampuh untuk menjadi bukti akan kejahatan Sin Hong, juga ia telah merasa suka kepada bekas sucinya itu. Bahkan ia tahu bahwa Soan Li telah mengandung dan betapapun juga, ia merasa khawatir akan keselamatan Soan Li. Andaikata ia tidak menaruh kasihan kepada Soan Li setidaknya ia memikirkan keadaan anak keturunannya yang dikandung oleh Soan Li.

"Sin Hong terlalu lihai," pikirnya, "kiranya aku sendiri tak dapat menangani kalau bertempur dengan dia." Timbul khawatirannya dan teringatlah ia akan kitab yang dulu pernah dilihatnya di dasar jurang di puncak Luliang-san, kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Oleh karena itu ia lalu pergi ke Luliang-san bersama Nalumei, bukan hanya untuk mengambil kitab, juga untuk mengadakan pertemuan dengan Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu.

Pada waktu itu, Kong Ji telah menjadi seorang tokoh yang banyak kaki tangannya. Ia telah menjadi seorang kaya dan dengan harta curiannya ia telah dapat memikat hati banyak orang kang-ouw di dunia, tentu saja orang-orang yang lemah. Pembantu-pembantunya banyak sekali dan boleh dibilang di setiap kota besar dan dusun yang ramai, ia menaruh orangnya untuk memata-matai gerak gerik orang yang ia anggap berbahaya.

Setelah ia meninggalkan pesan bagi para pembantunya untuk mengawasi gerak-gerik Sin Hong dan orang-orang yang dianggapnya musuh seperti Go Ciang Le seanak isteri, Cam-kauw Sin-kai dan semua anggauta Hek-kin-kaipang, juga Lie Bu Tek, barulah Kong Ji pergi ke Luliang-san bersama Nalumei. Tak lupa ia mengirim utusan menyusul Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu, minta kepada mereka untuk cepat pergi ke Luliang-san.

Berbeda dengan Kong Ji yang melakukan perjalanan seenaknya bersama Nalumei, sekalian berpesiar bersama kekasihnya ini yang sudah banyak berjasa membantunya. Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu melakukan perjalanan secepatnya begitu mendengar pesan Kong Ji. Maka tidak mengherankan apabila empat orang ini dapat bertemu di kaki Bukit Luliang-san.

"Syukur Jiwi Suhu sudah datang!" Kong Ji menyambut gembira. "Bagaimana hasilnya? Sukakah See-thian Tok-ong bekerja sama?"

"Orang seperti See-thian Tok-ong tidak mudah diajak berunding," Kata Giok Seng Cu. "Bahkan hampir saja ia membunuhku dan tidak mau melupakan urusan lama. Baiknya ada Ba Mau Hoatsu yang menyabarkan hatinya dan dapat menuturkan maksud kedatangan kami. Akhirnya mau juga ia mendengar kata-kata kami.”

"Bagaimana? Sukakah dia?"

Ba Mau Hoatsu menggeleng kepalanya. "Sukar membujuknya. Dia tentu saja tidak mau membantu sebelum melihat segi-segi kebaikannya untuk dirinya sendiri. Dia seorang yang biasa berkuasa mana dia suka menurut kepada bekas muridnya sendiri?"

Merah wajah Kong Ji. "See-thian Tok-ong manusia keparat sombong! Apa dia kira aku takut menghadapinya?"

"Bukan begitu, Liok-sicu. Dia tidak mengucapkan kata-kata menghina, hanya dia nyatakan bahwa kelak pada waktu pemilihan Bengcu, dia akan hadir dan akan melihat gelagat. Banyak kemungkinan dia dapat bekerja sama dengan kita demikian janjinya."

Kong Ji merasa puas. Biarpun belum pasti, akan tetapi dengan adanya janji ini, berarti ia telah menarik Pihak See-thian Tok-ong sebagai kawan, karena memang sesungguhnya bukan hal yang amat baik kalau menjadikan tokoh barat itu sebagai lawan.

"Kalau begitu mari kita untuk sementara ini, selagi masih ada waktu beberapa bulan, kita beristirahat di puncak Luliang-san untuk memperdalam ilmu silat. Kita menghadapi pertentangan besar dan berat kelak di puncak Ngo-heng-san."

Kedua orang kakek itu setuju, oleh karena memang mereka tahu bahwa Luliang-san adalah tempat yang amat indah dan amat baik untuk bertapa dan untuk memperdalam ilmu silat. Kalau tidak demikian, tak mungkin mendiang Pak Kek Siansu memilih tempat di situ. Gunung itu memiliki banyak puncak yang indah dan di antaranya yang paling indah adalah bekas tempat kediarnan Pak Kek Siansu, yakni Jeng-in-thia (Ruang Awan hijau).

Kong Ji bersama Nalumei menempati Jeng-in-thia dan dia tidak membuang waktu sia-sia segera ia berusaha menuruni jurang di puncak Jeng-in-thia. Akan tetapi, melihat jurang demikian curam hingga tidak nampak dasarnya, ia menjadi ngeri. Dicarinya akal, namun sia-sia belaka.

"Jurang macam ini tak mungkin dituruni dengan jalan biasa," kata Nalumei, gadis utara yang sudah biasa dengan jurang-jurang yang amat curam.

"Memang betul katamu," jawab Ko Ji, "Dahulu aku pernah menuruninya akan tetapi, dengan pertolongan seekor burung rajawali." Dengan singkat ia lalu menceritakan pengalamannya dahulu ketika mengunjungi puncak ini bersama See-thian Tok-ong, "sayang burung itu telah kutewaskan. Tanpa bantuan burung itu, agaknya sukar sekali untuk mengambil kitab itu."

"Akan tetapi, kurasa pasti ada jalan tembusan yang menuju ke gua itu. Kalau tidak demikian, bagaimana Pak Kek Siansu menaruh dan menyimpan kitab dan pedang di tempat itu?" kata Nalumei.

Kong Ji yang juga mempunyai kecerdikan luar biasa, sudah mempunyai dugaan seperti itu, maka bersama Nalumei menyelidiki keadaan puncak itu. Sampai hampir dua bulan ia menyelidiki setiap hari, melakukan usaha dengan diam-diam dan tidak memberi tahu kepada Giok Seng Cu atau Ba Mau Hoatsu, akan tetapi mereka bukan orang-orang bodoh.

Kedua orang kakek ini mengerti akan kehendak Kong Ji mendatangi bukit itu, maka diam-diam mereka berdua juga memasang mata. Bahkan di luar tahu Kong Ji, keduanya berjanji hendak bekerja sama membiarkan pemuda itu mencari kitab dan kalau sudah dapat mereka akan merampasnya bersama. Kedua orang kakek ini tunduk kepada Kong Ji hanya karena terpaksa dan kalah kepandaian.

Dalam diri Kong Ji mereka melihat tenaga bantuan yang amat kuat yang akan melindungi mereka dari musuh-musuh lain, dan yang mungkin akan dapat mengangkat derajat mereka di tempat tinggi. Akan tetapi, kalau ada kitab peninggalan Pak Kek Siansu yang akan membuat mereka memiliki kepandaian tertinggi di kolong langit, tentu saja mereka akan berusaha merampasnya dan tidak sudi lagi diperintah oleh pemuda itu!

Demiklanlah, masing-masing bersiap demi kepentingan sendiri, dan kadang- kadang kedua orang kakek itu mengunjungi Kong Ji di Jeng-in-thia, bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa tentang usaha Kong Ji mencari jalan tembus ke tempat penyimpanan kitab.

Akhirnya Kong Ji dapat juga menemukan terowongan yang menuju ke gua dasar jurang. Hal ini terjadi secara kebetulan saja. Karena sia-sia mencari sampai berbulan-bulan, kesabarannya habis dan Kong Ji mulai marah-marah. Di dalam gua di mana terdapat tempat tidur Pak Kek Siansu, ia memaki-maki kakek yang sudah meninggal itu yang dikatakannya penipu dan pembohong besar. Kemudian ia mencabut pedang Pak-kek Sin kiam dan dengan marah ia mengamuk. Seperti orang gila ia membacok-bacok pembaringan itu sampai tanpa disengaja pedang di tangannya membacok palang besi rahasia yang mengganjal di belaka pembaringan.

Terdengar suara berkerotokan dan ribut-ribut di belakang tempat tidur. Kong ji terkejut dan memandang penuh keheranan. Kemudian ia memanggil Nalumei yang menanti di luar gua. Wanita ini telah kenal baik akan watak Kong Ji yang kadang-kadang seperti iblis, maka ia pun tidak peduli ketika Kong Ji mengamuk dan merusak kamar gua itu. Mendengar panggilan Kong Ji, ia cepat berlari masuk dan bukan main girangnya ketika ia bersama Kong Ji melihat sebuah pintu rahasia terbuka dan bergerak di belakang pembaringan!

"Ah, inilah pintu rahasianya!" kata Kong Ji sambil melompat dan mendorong dengan tangannya yang kuat. Pintu terdorong dan terbukalah jalan terowongan. Kong Ji yang sudah tak sabar lagi melompat masuk, akan tetapi tiba-tiba legannya dipegang oleh Nalumei.

"Perlahan dulu! Bagaimana kalau nanti kedua orang tua itu datang mencari kita?"

Kong Ji menengok, tersenyum dan menowel pipi Nalumei. "Kau manis, hampir aku lupa." Ia lalu berlari cepat turun dari puncak dan mencari dua orang kakek itu di lereng. Setelah bertemu ia berkata.

"Jiwi Suhu, waktu untuk berkumpul di Ngo-heng-san sudah hampir tiba, sekarang satu setengah bulan lagi. Oleh karena itu, kurasa lebih baik Jiwi Suhu turun gunung lebih dulu untuk mengumpulkan kawan-kawan kita yang akan memperkuat dan memperbanyak suara di sana. Juga penting sekali mencoba lagi untuk menarik See-thian Tok-ong di pihak kita."

"Dan kau sendiri, apakah tidak turun gunung, Sicu?" tanya Ba Mau Hoatsu sedangkan Giok Seng Cu pura-pura tidak mengacuhkan, akan tetapi sebetulnya ia menaruh perhatian besar dan merasa amat bercuriga.

"Aku dan Nalumei akan menyusul kemudian. Nalumei agak kurang enak badan, harus beristirahat beberapa hari lagi baru dapat berangkat. Harap Jiwi suka berangkat lebih dulu mengatur persiapan," kata Kong Ji.

Dua orang kakek itu menyatakan baik lalu berkemas dan pergi turun gunung. Kong Ji cepat kembali ke gua di mana Nalumei menanti dengan tak sabar lagi. Dalam hal ini Kong Ji berlaku sembrono dan ia sudah menaruh kepercayaan besar kepada dua orang kakek itu. Padahal Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu sebetulnya tidak terus turun gunung, melainkan berhenti, berunding kemudian keduanya secara diam-diam naik lagi ke puncak melalui lereng lain!

Dengan hati berdebar Kong Ji dan Nalumei mengikuti jalan terowongan yang amat panjang dan gelap. Kong Ji berjaIan di depan dan Nalumei memegang ujung bajunya di belakang, sedangkan Kong Ji bersiap sedia dengan pedang di tangan menjaga kalau-kalau ada serangan dari depan. Jalan terowongan itu berliku-liku dan kadang-kadang menurun, karena gelap maka rasanya jauh sekali dan seakan-akan tiada habisnya.

Akhirnya mereka melihat cahaya dan tak lama lagi keluarlah mereka dari terowongan dan tiba di tempat yang indah sekali, yakni di lereng gunung Luliang-san, lereng tersembunyi, tempat indah yang dulu menjadi tempat kediaman Wan-Sin Hong. Kong ji mengenaI tempat ini dan segera ia berlari mencari gua tempat penyimpan kitab peninggalan Pak-Kek Siansu.

"Di sinilah tempatnya!" katanya berkali-kali ke arah sebuah batu besar yang menutup mulut gua. Kong ji kelihatan gembira sekali dan tegang sehingga tidak memperhatikan keadaan lain di sekitarnya. Ketika ia tidak mendengar jawaban Nalumei, ia menengok dan melihat wajah kekasihnya itu pucat sekali.

"Kau kenapa?" tanyanya heran.

Nalumei menggeleng-geleng kepalanya. "Mungkin aku agak pening setelah melalui terowongan yang gelap tadi. Baru saja aku seperti melihat berkelebatnya bayangan orang!"

Kong Ji melirik ke kanan kiri. "Tak mungkin, kalau kau sampai dapat melihat mengapa aku tidak? Setidaknya tentu aku mendengar kalau ada orang bergerak.”

Memang Kong Ji amat mengandalkan kepandaiannya sendiri dan tidak memandang mata kepada orang lain. Nalumei tak berkata apa-apa lagi, melainkan ikut dengan Kong Ji yang sudah menghampiri batu besar yang menutup mulut gua. Dengan tenaga Tin-san-kang yang sudah sempurna, sekali dorong saja batu itu menggelinding ke samping. Tenaga Kong Ji benar-benar jauh bedanya dengan dulu ketika ia turun di tempat ini bersama burung rajawali. Dulu ia harus mengerahkan tenaga untuk nenggeser batu, sekarang ia merasa amat mudah menggulingkan batu itu.

Dengan senyum bangga ia melangkah masuk diikuti oleh Nalumei yang berjaIan di belakangnya. Kong Ji berlari, tak sabar lagi. Alangkah girangnya ketika dari jauh ia sudah melihat peti itu, masih seperti dulu terletak di dalam kamar gua. Dihampirinya peti itu, dibukanya tutupnya dan dengan girang ia mengambil kitab kuno yang terdapat di dalam peti. Sambil tertawa-tawa ia membaca huruf huruf yang menghias sampul kitab, yang berbunyi,

PAK KEK SIN CIANG HOAT PIT KIP.

"Mari kita memeriksa isinya di luar, di sini terlalu gelap," Kata Kong Ji pada Nalumei yang mendekat-dekat untuk ikut membaca.

Mereka berjalan sambil tertawa-tawa keluar dari gua, seperti dua orang anak kecil mendapatkan mainan baru yang menarik.

"Aku akan menjagoi dunia, aku akan menundukkan dunia kang-ouw. Ha ha ha, tunggu sebentar lagi kau Sin Hong. Aku akan membekuk batang lehermu seperti kucing menangkap tikus. Ha ha ha! Kong Ji tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema menyeramkan karena ia masih berada di dalam gua.

Setelah tiba di luar gua, Kong Ji cepat-cepat membalik-balik lembaran kitab dan matanya terbentur lalu terpaku pada huruf-huruf besar di lembaran pertama. Mukanya menjadi pucat. Nalumei yang belum lama mempelajari huruf-huruf dari Kong Ji, membaca tulisan itu lambat-lambat.

"Liok Kong Ji, apakah kau mau menjadi ahli sejarah?" Demikian bunyi huruf huruf itu ketika dibaca oleh Nalumei.

Kong Ji cepat membalik-balik lembaran berikutnya dan sekali pandang saja, tahulah ia bahwa buku itu adalah sejarah kuno, dan hanya disampulnya saja ditulis bahwa kitab itu adalah kitab ilmu silat! Ia telah ditipu orang! Siapa yang telah menipunya? Dan siapa dia yang telah tahu bahwa kitab itu akan terjatuh di tangannya sehingga berani menuliskan kalimat yang mengejeknya itu?

"Bedebah!" Kong Ji memaki sambil membanting kitab itu ke atas tanah.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari jauh, seakan-akan menjawab makian dan kemarahan Kong Ji, seakan-akan mentertawakannya. Kemudian suara ketawa itu diikuti oleh bentakan-bentakan dan suara orang bertempur. Kong Ji terkejut mendengar suara Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu, maka cepat ia melompat dan berlari cepat menuju ke tempat ribut-ribut itu yang agaknya timbul dari balik gunungan batu.

Ketika ia mengitari gunungan itu muncul di belakangnya, ia melihat Giok Seng Cu merintih-rintih dan sedang merayap bangun. Sedangkan Ba Mau Hoatsu yang tinggi besar itu tengah bertempur melawan seorang pemuda yang bukan lain adalah Wan Sin Hong! Sepasang roda dari Ba Mau Hoatsu telah terlempar jauh dan pada saat Kong ji muncul Ba Mau Hoatsu telah terdesak hebat tiba-tiba hwesio tinggi besar ini menggerakkan kedua tangannya dan memukul kepala Sin Hong dengan kedua tangan itu dengan sekuat tenaga. Agaknya ia sudah berlaku nekat karena maklum takkan menang menghadapi pemuda aneh ini. Sin Hong mengeluarkan suara mengejek, kedua tangannya bergerak dan di lain saat kedua tangannya itu telah menangkap dua pergelangan lengan Ba Mau Hoatsu.

"Pendeta keparat yang keji, bersiaplah menghadap Ayah Bundaku untuk menebus dosamu!" terdengar Sin Hong berkata dan pemuda itu mengerahkan sin-kangnya melalui jari-jari tangannya.

Tiba-tiba Ba Mau Hoatsu membelalakkan matanya, mengeluarkan pekik menyeramkan sekali, tubuhnya seperti kaku dan rasa sakit menjalar dari pergelangan tangan, terus menembus jantung dan isi perutnya! Sin Hong membentak keras dan tubuh yang tinggi besar dari hwesio itu telah diangkatnya di atas kepala, lalu dibanting.

"Brukkk!"

Ba Mau Hoatsu terguling-guling akan tetapi sudah tak dapat mengeluarkan suara lagi, karena sebelum diangkat dan dibantingpun ia sudah tewas. Dengan tenaga dalam yang mengerikan hanya menggencet pergelangan lengan, Sin Hong sudah dapat menewaskan hwesio kosen ini, hwesio yang menjadi pembunuh ayah bundanya, yang baru sekarang ia dapat membalasnya.

Ketika Sin Hong memandang ke depan, ternyata Giok Seng Cu, juga Kong Ji dan Nalumei telah lenyap dan situ, Sin Hong mengejar ke dalam terowongan, akan tetapi tiba-tiba menyambar batu-batu besar yang disambitkan dari dalam. Sambitan ini dilakukan oleh orang-orang yang bertenaga besar, maka tentu saja amat berbahaya dan terpaksa Sin Hong tidak dapat mendesak terus. Di dalam terowongan yang demikian gelap dan berbahaya, tentu saja ia tidak berdaya dan kalau ia nekat mendekati musuh- musuhnya ia mungkin akan terkena celaka oleh serangan gelap.

Bagaimanakah tahu-tahu Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu dapat bertempur dengan Sin Hong?

Mari kita mundur sebentar. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sin Hong yang marah besar mencari jejak Kong Ji, ingin sekali ia menangkap Kong Ji dan menyeretnya ke depan Soan Li untuk membuat pengakuan. Akhirnya ia mendengar bahwa Kong Ji berada di Luliang-san. Ia menjadi girang sekali, karena ia tahu apa kehendak Kong Ji ke Luliang-san. Tentu akan mengambil kitab peninggalan Pak Kek Siansu, pikirnya.

Oleh karena itu, dia diam ia mengejar ke puncak Luliang-san. Sambil bersembunyi ia mendapat kenyataan bahwa biarpun di puncak Lulian-san, ternyata Kong Ji belum mendapat tempat rahasia untuk masuk ke dalam jurang. Ia menanti dengan sabar sampai tiba saatnya Kong Ji mendapatkan terowongan itu.

Dengan kepandaiannya Sin Hong mendahului masuk ke dalam jurang dengan bantuan akan-akar seperti dahulu pernah ia lakukan ketika membawa gihunya ke dalam jurang. Dengan cepat ia lalu menuliskan kalimat di lembar pertama dari kitab sejarah yang sengaja ia taruh di situ menggantikan kitab ilmu silat peninggalan Pak Kek Siansu yang sebenarnya ia bakar habis.

Setelah itu, ia mengintai dari luar guha dan melihat betapa Kong Ji kecele. Pada saat itu ia melihat Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu muncul dari terowongan. Bukan main girang hati Sin Hong melihat musuh besarnya, Ba Mau Hoatsu, orang yang sudah membunuh ayah bundanya. Saking girangnya ia tertawa bergelak, sebagian untuk mentertawakan dan mengejek Kong Ji, sebagian pula untuk menyatakan kegirangan hatinya mendapat kesempatan bertemu dengan musuh besarnya.

Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu ketika melihat munculnya Sin Hong secara tiba-tiba menjadi kaget sekali. Seperti telah kita ketahui, dua orang kakek ini diam-diam memasuki terowongan mengikuti Kong Ji, bermaksud untuk merampas kitab peninggalan Pak Kek Siansu apabila benar-benar terdapat di tempat rahasia itu. Tak mereka sang sangka bahwa mereka akan bertemu dengan Sin Hong di tempat itu.

Giok Seng Cu sudah pernah merasai kelihaian Sin Hong, maka ia merasa agak gentar amat kaget. Sebaliknya, Ba Mau Hoatsu yang mengenaI Sin Hong sebagai bocah tolol yang dulu dijadikan kuda oleh Gak Soan Li, memandang rendah dan tidak senang karena dianggapnya pemuda ini merupakan gangguan.

"Tolol, apa kerjamu di sini?" serunya dan cepat Ba Mau Hoatsu menendang ke arah perut Sin Hong dengan maksud sekali tendang menewaskan pemuda itu agar selanjutnya jangan menjadi gangguan. Akan tetapi, di lain saat tubuhnya terlempar dan jatuh berdebuk di atas tanah. Ia terkejut bukan main.

Ketika menghadapi tendangan tadi, Sin Hong hanya menggerakkan tangan, menyambut kakinya yang menendang lalu mendorong dan Ba Mau Hoatsu, tokoh Tibet yang ditakuti banyak orang, terlempar dan terjengkang!

Sambil mengeluarkan gerengan marah Ba Mau Hoatsu mengambil senjatanya yang lihai, yakni sepasang roda. Melihat Ba Mau Hoatsu hendak menyerang dengan senjatanya yang lihai, Giok Seng Cu merasa malu untuk tinggal diam. Apalagi ia melihat Ba Mau Hoatsu bersenjata dan ia tahu pula akan kelihatan kawan ini, maka ia pikir mustahil kalau mereka berdua tak mampu menewaskan bocah aneh ini.

. Maka otomatis ia pun melompat dekat dan berbareng pada saat Ba Mau Hoatsu menyerang dengan sepasang roda ke arah kepala Sin Hong, Giok Seng Cu juga mengirim serangan pukulan Tin-san-kang ke arah dada pemuda itu.

Serangan ini bukan main hebatnya. Sepasang roda dari Ba Mau Hoatsu bagaikan dua ekor garuda liar menyambar-nyambar dari atas dan sekali saja kepalanya terkena pukulan roda, pasti akan pecah dan isi kepala berantakan. Apalagi pukulan yang dilakukan oleh Giok Seng Cu. Dia ini adalah pencipta Ilmu Pukulan Tin-san-kang yang mempunyai tenaga ribuan kati, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatrrya. Baru angin pukulannya saja sudah mampu merobohkan seorang ahli silat kenamaan.

Akan tetapi Sin Hong yang juga maklum bahwa menghadapi dua orang tokoh besar ini maju bersama, bukanlah hal yang ringan. Ia berlaku cerdik. Melihat betapa sepasang roda dari Ba Mau Hoatsu amat ganas, ia cepat berkelebat dan sekali melompat ia telah menjauhi Ba Mau Hoatsu dan berada di depan Giok Seng Cu.

Pada saat itu, kakek rambut panjang ini tengah melakukan pukulan Tin-san-kang dan sambil melompat Sin Hong berpoksai membuat salto sehingga hawa pukulan itu lewat di bawah tubuhnya dan ia telah mendahului Giok Seng Cu, mengirim pukulan balasan dari udara sebelum kakek itu menarik kembali tangannya.

Giok Seng Cu mengeluarkan teriakan kaget. Cepat ia menangkis dengan tangan kiri, namun terlambat. Gerakan pemuda itu terlalu cepat dan tidak terduga datangnya, maka lehernya telah terkena hawa pukulan dari atas dan ia menderita luka dalam dada. Ia terhuyung dan roboh, mengeluh dan merintih-rintih karena pukulan yang dilakukan oleh Sin Hong tadi benar-benar luar biasa kuatnya.

Setelah merobohkan. Giok Seng Cu, Sin Hong menghadapi Ba Mau Hoatsu. Dua kali tangannya tergerak, terdengar suara keras dan sepasang roda dari Ba Mau Hoatsu telah kena ia patahkan dengan pukulan tangan. Sepasang roda itu terlempar ke atas tanah dan Ba Mau Hoatsu menjadi pucat. Hwesio tinggi besar ini tidak melihat jalan keluar, maka ia berlaku nekat dan menyerang Sin Hong dengan tangan kosong.

Selanjutnya Ba Mau Hoatsu tewas di tangan Sin Hong seperti telah diceritakan di depan. Akan tetapi, ternyata Kong Ji berlaku amat cerdik. Melihat betapa Giok Seng Cu terluka dan Ba Mau Hoatsu sudah didesak hebat oleh Sin Hong, Kong Ji lalu menyeret tubuh Giok Seng Cu, bersama Nalumei ia melarikan diri keluar dari tempat itu melalui terowongan.

Ketika Sin Hong mengejar ia menghujani pemuda itu dengan batu-batu karang dari tempat gelap. Juga Nalumei membantunya menyambitkan batu-batu ke arah Sin Hong sehingga Sin Hong terpaksa mundur kembali. Dengan cepat Kong Ji mengajak Nalumei dan Giok Seng Cu keluar, kemudian ia menutup gua atau kamar di mana terdapat pintu rahasia terowongan itu dengan batu karang yang besar. Tidak hanya satu atau dua buah saja, akan tetapi puluhan banyaknya.

Dengan bantuan Nalumei, kemudian Giok Seng Cu yang sudah mengatur napas dan mengobati lukanya juga membantu. Kong Ji mematikan jalan keluar terowongan itu dengan menimbun batu-batu karang yang amat banyak. Tak mungkin orang dapat membongkar batu-batu karang yang ditumpuk-tumpuk itu dari dalam terowongan dan kiranya Sin Hong takkan dapat keluar dari dasar jurang itu kalau tidak ada orang yang menolongnya dari luar!

Kong Ji tertawa bergelak. "Ha ha Sin Hong, sekarang kau telah dikubur hidup-hidup! Giok Seng Cu Suhu, sakit hatimu karena terluka olehnya sudah balas. Dia tentu akan mampus kelaparan, atau kalau tidak, dia akan menjadi penghuni dasar jurang itu selama hidupnya. Ha ha ha!"

"Sayang Ba Mau Hoatsu tewas..." hanya ini yang dapat diucapkan oleh Giok Seng Cu karena ia sedang memutar otak untuk menghadapi kecurigaan Kong Ji. Akhirnya yang dikhawatirkan itu terbukti juga, karena tiba-tiba Kong Ji menghentikan suara ketawanya dan dengan pandang mata tajam ia bertanya,

"Aku masih merasa heran dan tidak mengerti mengapa jiwi Suhu yang kusangka sudah turun gunung seperti yang kita rencanakan, tahu-tahu bisa berada di tempat itu?"

Baiknya Giok Seng Cu telah lebih dulu mencari alasan, maka tanpa ragu-ragu dan tidak gugup sedikitpun juga ia menjawab, "Baru saja aku dan Ba Mau Hoatsu hendak turun gunung, di jalan kami melihat berkelebatnya bayangan orang. Kami mengejar dan orang itu memasuki pintu rahasia di terowongan ini. Kami mengejar terus sampai di bawah dan di sanalah kami disambut oleh Wan Sin Hong. Kau turun ke sana hendak apakah Aha, aku ingat sekarang, tentu untuk mengambil kitab peninggalan Pak Kek Siansu, bukan?"

Kong ji teringat akan kitab yang telah dipalsu, maka ia merasa mendongkol sekali kepada Sin Hong, hanya mengangguk. Akan tetapi Giok Seng Cu tentu saja tidak puas dengan jawaban ini, lalu mendesak.

"Sudah kau dapatkankah? Boleh melihat sebentar kitab peninggalan Supek itu?"

Kong Ji cemberut. "Kitab apa? Bangsat itu tiada guna. Aku telah dipermainkan olehnya Si bedebah. Akan tetapi dia sudah dikubur hidup-hidup, puas sudah!"

"Apa...? Bagaimana...?" Giok Seng Cu memandang ragu dan curiga, akan tetapi matanya yang tajam dan berpengalaman itu memang sudah tahu bahwa Kong Ji keluar dari tempat itu tidak membawa kitab.

"Apakah Suhu begitu bodoh hingga tidak dapat menduga? Dari mana bangsat Wan Sin Hong itu mendapatkan kepandaiannya yang tinggi. Siapa gurunya? Bukankah semua itu kesalahan Suhu semula?"

Giok Seng Cu berubah air mukanya. “Kesalahanku? Apa maksudmu?"

Kong Ji mengejek dengan nada suara kurang ajar. "Kalau Suhu dahulu tidak melemparkan Sin Hong ke dalam jurang dari puncak Jeng-in-thia, bagaimana bocah itu bisa mewarisi kitab dari Pak Kek Siansu?"

Giok Seng Cu melengak. Kini tahulah ia mengapa tadi dalam pertempuran hanya Ba Mau Hoatsu yang ditewaskan oleh Sin Hong dan dia diampuni. Ini tadinya ia heran benar, akan tetapi sekarang baru ia ingat bahwa mungkin sekali Sin Hong mengampuninya karena dialah yang sesungguhnya berjasa. Kalau dia dahulu tidak melemparkan Sin Hong ke dalam jurang, bagaimana bocah itu bisa menjadi seorang demikian sakti?"

"Akan tetapi sudahlah, sekarang Sin Hong tak mungkin dapat keluar dari kuburannya," kata Kong Ji. "Biarpun Ba Mau Hoatsu sudah tewas akan tetapi dengan kawan-kawan lain kita pasti akan berhasil dalam cita-cita kita. Apalagi kalau See-thian Tok-ong dapat didekati, siapa yang dapat melawan kita? Suhu mari bawa aku menemui See-thian Tok- ong, biar aku sendiri yang bicara dengan dia."

Berangkatlah tiga orang itu. Kong Ji, Giok Seng Cu, dan Nalumei menuruni Gunung Luliang-san, meninggalkan Sin Hong yang terpendam hidup-hidup di dalam jurang. Setibanya di kaki gunung Kong ji berkata kepada Nalumei,

"Nalumei... kekasihku... Sekaranglah waktunya kawan-kawan dari utara bersiap sedia. Pemilihan bengcu di Ngo-beng-san sudah dekat waktunya, kita perlu menyiapkan bantuan. Lebih baik kau sekarang juga pergi ke utara dan membawa pasukan bantuan kita ke Ngoheng-san. Biar kita berjumpa di sana."

Nalumei tidak membantah karena memang inilah cita-citanya. Memimpin Suku bangsa yang masih setia kepadanya untuk mencari kedudukan dan kalau mungkin kelak menumpas pasukan yang dipimpin oleh Temu Cin sebagai pembalasan dendam. Juga karena Ngo-heng-an letaknya di sebelah utara, maka dua tempat dimana ia akan bertemu dengan suku bangsanya tidak jauh lagi, hanya kembali ke selatan beberapa ratus li saja.

Dari kaki Gunung Luliang-san itu, berpencarlah mereka. Nalumei seorang diri menuju ke utara, adapun Kong Ji dan Giok Seng Cu menuju ke barat untuk mencari See thian Tok-ong dan mengumpulkan kawan-kawan, yakni orang-orang kang-ouw yang sudah menjadi kaki tangan Kong Ji.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Pada masa itu, kerajaan bangsa Kin sudah hampir runtuh. Kekuasaannya sudah mulai menyuram. Banyak gubernur propinsi-propinsi di bagian selatan sudah memberontak, berdiri sendiri dan tidak lagi mengakui kekuasaan Kerajaan Kin. Namun, di kota raja sendiri, kerajaan ini masih berdiri karena terjaga kuat oleh bala tentara Kin yang memang tadinya merupakan pasukan-pasukan gagah perkasa dan kuat sekali. Pemberontakan rakyat yang tiada hentinya semenjak barisan Kin menguasai Tiongkok, hanya dapat bergerak di luar kota raja saja.

Keluarga Kerajaan Kin sudah dapat meraba dan menduga bahwa kekuasaan mereka takkan dapat bertahan lama lagi. Oleh karena itu, para pangeran dan bangsawan yang tadinya memegang Jabatan di daerah-daerah luar kota raja telah sama berkumpul atau mengungsi di kota raja memperkuat kedudukan di kota pusat itu. Oleh karena para bangsawan ini meninggalkan daerah sambil membawa harta benda, maka keadaan di kora raja makin ramai saja. Perdagangan makin menjadi dan keadaan kota makin mewah.

Penjagaan kota amat kuat. Mata-mata yang diambil dari barisan pengawal disebar di seluruh kota, memeriksa dan menyelidiki siapa saja yang dicurigai juga ahli-ahli silat kelas tinggi yang menjadi pengawal-pengawal istana dan pengawal pribadi kaisar, berkumpul di istana setiap saat siap waspada menjaga keselamatan keluarga raja.

Kini setiap bangsawan gelisah. Berita tentang gerakan Temu Cin yang memimpin bangsa Mongol di utara sudah terdengar oleh mereka. Ancaman dari selatan masih di ambang pintu, kini dari pintu belakang datang pula ancaman yang lebih mengerikan lagi.

Setelah bahaya mengancam dari mana-mana, barulah kaisar dan keluarganya maklum bahwa dalam keadaan bahaya, harta benda tidak ada gunanya dan bahkan harta benda itulah yang memancing datangnya bahaya. Mereka segera berunding dan pada hari-hari berikutnya, di mana-mana terpasang surat pengumuman yang menyatakan bahwa kaisar membutuhkan pasukan baru. Dibutuhkan orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi untuk menjadi anggauta pasukan dengan bayaran yang amat tinggi, sepuluh kali lebih tinggi upah yang biasa terima oleh seorang anggauta pasukan pengawal!

Mengalirlah ahli-ahli silat yang tertarik oleh bayaran tinggi, karena memang pada masa itu, mencari uang bukanlah hal yang amat mudah, apalagi bagi mereka yang kepandaiannya hanya mainkan senjata. Pasukan pengawal dan barisan penjaga kota raja ditambah dengan seribu orang lebih, sebagian besar dari mereka ini adalah ahli-ahli silat. Ada pula orang-orang yang kepandaian silatnya tinggi, diterima menjadi busu pengawal kaisar pribadi atau menjadi komandan-komandan pasukan penjaga keamanan.

Dengan adanya tambahan pasukan penjaga ini, kotanya makin terjaga kuat dan boleh dikata setiap orang penduduk atau tamu yang berada dikota raja, mempunyai seorang pengawas atau penyelidik sendiri. Pendek kata, mata-mata kaisar berserakan di kota raja sehingga ke mana juapun seorang pendatang kota raja berada, akan bertumbukan dengan seorang mata-mata istana!

Akan tetapi, sungguh di luar persangkaan kaisar bahwa di antara sekian banyaknya busu, terdapat di antara mereka itu mata-mata dari utara, utusan-utusan dari Temu Cin yang sengaja mengirim orang cerdik pandai menyelundup ke kota raja untuk menyelidiki keadaan kota raja musuh! Dan tidak ini saja, juga di antara mereka terdapat mata-mata dari rakyat pejuang atau rakyat yang semenjak dahulu bergerak untuk menumbangkan Kerajaan Kin. Dan para mata-mata dari dua musuh ini bayak yang menjadi busu atau pengawal istana!

Ada pula di antatanya yang bercampuran dengan penduduk dan bekerja sebagai pedagang dan lain-lain. Pendek kata, kota raja di masa itu merupakan tempat yang aneh. Aneh dan mengerikan, di mana kadang-kadang terdengar pekik di waktu malam dan seorang dua orang lenyap. Ada kalanya yang lenyap hanya nyawanya, kadang-kadang dengan tubuhnya sama sekali, lenyap tak meninggalkan bekas. Kota raja di waktu itu sama dengan arena pertempuran di mana mata-mata mengadu siasat dan berperang melawan pengawal istana.

Pada suatu hari itu, seorang gadis yang memasuki pintu gerbang kotaraja. Semua orang yang bertemu dengan gadis ini pasti memandang dan menengok dengan kagum. Tidak saja wajahnya cantik manis, juga sikapnya gagah sekali. Mudah saja diduga bahwa gadis ini tentu seorang ahli silat, tidak hanya kentara dari sikapnya yang gagah, juga terbukti oleh pedang yang tergantung di pinggangnya.

Gadis itu berjalan dengan langkah tegap dan gagah, memandang lurus ke depan, sama sekali tidak menaruh peduli terhadap pandang mata kaum pria yang mengikuti setiap gerak-geriknya. Sudah terlalu banyak dan terlalu sering ia mengalami hal ini, dipandang dengan kagun dan penuh gairah oleh mata lelaki, maka kini hal itu dianggapnya sudah jamak.

Di dalam kamus hatinya sudah ia catat bahwa memang begitulah sifat mata kaum pria dan kalau ada mata yang tidak mengikuti dan mengagumi gerak-gerik seorang gadis cantik baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, maka bukan mata laki-laki itu!

Tak pernah ia membalas pandang mata orang. Kalau ada ia memandang sesuatu, itu adalah papan nama toko dan rumah-rumah, seperti mencari sesuatu. Memang, dia sedang mencari sebuah rumah penginapan yang patut disewa kamarnya oleh seorang gadis yang datang seorang diri.

Akhirnya gadis itu memasuki sebuah hotel yang nampaknya bersih dan besar, yakni hotel Thian Lok Likoan. Seorang pelayan setengah tua yang berpakaian bersih dan bersikap sopan ramah menyambutnya, melirik sedetik ke arah gagang pedang yang tergantung di pinggang nona itu.

"Ada keperluan apakah, Nona?" tanyanya singkat akan tetapi sikapnya sopan, kedua tangannya menjura dan memberi hormat.

"Aku mau sewa kamar," jawab gadis itu singkat pula sambil matanya menyambar ke sekeliling ruangan depan yang nampak sunyi, akan tetapi matanya yang tajam menangkap gerakan-gerakan orang di ruang dalam, agaknya banyak yang berada di dalam gedung itu.

"Nona seorang diri-saja? Ataukah masih ada banyak orang?"

"Seorang diri. Sediakan kamar sedang untuk aku sendiri."

"Baiklah, Nona. Silakan Nona ikut ke kantor untuk mengisi nama lebih dulu."

Gadis itu mengerutkan kening dan sepasang alisnya yang hitam dan indah bentuknya itu bergerak-gerak. Hatinya tidak senang. ia sudah lama merantau sudah banyak kota besar dijelajahi, dan sering menginap di hotel besar, namun belum pernah ada aturan macam ini. Akan tetapi karena ia sudah mendengar bahwa kota raja memang berlaku peraturan-peraturan keras, ia diam saja dan berjalan tegap mengikuti pelayan itu ke ruang dalam.

Benar seperti diduganya tadi, di ruang dalam terdapat banyak sekali orang. Hotel itu ternyata menerima banyak sekali tamu dan tamu-tamu inilah yang memenuhi ruangan tengah. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang, riuh rendah suara bicara mereka dalam berbagai bahasa daerah. Melihat gadis itu masuk bersama pelayan, semua suara berhenti dan semua mata memandang ke arah gadis itu penuh gairah. Namun gadis itu tidak peduli, terus berjalan sambil mengangkat dada dan muka, bibir dirapatkan dan hidung agak diangkat mengejek.

Empat orang laki-laki yang kelihatan seperti tamu-tamu biasa, berpakaian seperti pedagang, segera berdiri dan mengikuti gadis itu ke kantor. Mereka ini sebetulnya adalah mata-mata kota raja yang bertugas di ruang dalam itu, tugasnya menyelidiki para tamu dan diam-diam mendengarkan isi percakapan mereka.

Pelayan itu membawanya ke sebuah kantoran yang cukup besar dan di situ terdapat tiga orang laki-laki yang duduk menghadapi meja besar. Seorang di antaranya adalah seorang juru tulis biasa yang memegang pit dan menghadapi buku tamu, sedangkan yang dua lagi adalah orang-orang bertubuh tinggi, tegap pakaiannya seperti biasa dipakai oleh tukang-tukang pukul! Makin tak enak dan tak senang hati gadis itu, namun pada mukanya ia memperlihatkan sikap tenang saja.

Juru tulis yang kurus kering dan bermata sipit itu mengangkat muka memandang ke arah gadis itu. Bibirnya yang tipis kering terbuka yang dimaksudkan sebagai senyum menarik, akan tetapi jadinya hanya menyeringai memperlihatkan sederet gigi kuning kehitaman.

"Ah, Ciang lopek, ada tamu baru?” katanya kepada pelayan yang mengantarkan gadis itu. "Silakan, Nona, salahkan masuk dan duduklah. Siapa nama Nona berapa usia, dan di mana tempat tinggal dari mana hendak ke mana?" Melihat kalimat yang keluar secara cepat otomatis ini, mudah diduga bahwa kalimat itu adalah penggunaan sehari-hari, setiap kali ada tamu masuk sehingga si cecak kering ini sudah menjadi hafal.

Gadis itu mendongkol bukan main. Kalau hanya ditanya nama saja, masih mending. Akan tetapi cecak kering itu menanyakan usia, tempat tinggal segala macam! Ia mulai marah, kentara dari kulit mukanya yang putih halus itu kini merah dan sinar matanya menjadi tambah berkilat. Celakanya, ada orang yang menyiram minyak pada api, ada orang yang membikin kemarahannya menjadi-jadi.

Orang ini adalah seorang di antara tukang pukul yang tadi duduk bercakap-cakap dengan Si Juru Tulis. Dia yang bicara ini selain bertubuh tinggi besar, juga matanya lebar seperti gundu dan kumisnya tebal menghitam, membuat wajahnya nampak angker menakutkan.

"Pedang itu harus ditinggalkan di kantor, hanya akan dikembalikan kalau Nona akan meninggalkan hotel kami. Tak seorang pun boleh membawa-bawa senjata dalam hotel kami," katanya sambil menudingkan telunjuk yang besar ke arah pedang gadis itu.

"Dan pula," menyambung tukang pukul ke dua, yang juga tinggi besar, akan tetapi mukanya licin mengkilap seperti dipelitur dan sikapnya menunjukkan sifatnya yang mata keranjang dan ceriwis "untuk apa sih Nona manis membawa- bawa pedang? Kalau terkerat pedang kan sayang?"

Nona itu menjadi makin marah. Hampir saja ia tak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi ia hanya melirik ke arah tempat senjata yang berada di pojok kantoran itu, agaknya senjata para tamu yang dititipkan di situ. Juga ia melihat empat orang laki-laki berpakaian pedagang berdiri di luar kantor mendengarkan. Sikap empat orang ini lebih menarik perhatiannya dan membuatnya bersikap hati-hati. Dua orang tukang pukul itu hanya bangsa kasaran saja, mudah dihadapi.

Akan tetapi empat orang pedagang yang berdiri memandang itu, gerak-gerak mereka bukan sembarangan. Hm, benar-benar banyak orang pandai di kota raja, pikir gadis itu. Ia menyapu wajah dua orang tukang pukul, juru tulis dan pelayan itu dengan sinar mata tajam, kemudian sambil tersenyum-senyum ia berkata,

"Begitukah aturannya? Haruskah nama dan segala macam dituliskan di buku tamu? Hm, kesinikan pit itu. Kau ini cecak kering mana bisa menulis dengan baik! Jangan-jangan salah namaku kau tuliskan!"

Sebelum Juru tulis itu dapat menutup kembali mulutnya yang celangap bengong mendengar kata-kata ini, pit di tangannya sudah berpindah ke tangan gadis itu! Kemudian dengan tenang gadis itu mencelupkan pit ke dalam tinta hitam dan berkata,

"Namaku" Nah, inilah namaku, baca baik-baik!" Pitnya digerakkan dan ia menuliskan huruf besar yang berbunyi Go, yakni nama keturunannya, akan tetapi bukan ditulis di atas buku, melainkan di atas muka Si Juru Tulis! Gerakannya demikian cepat sehingga juru tulis itu tidak sempat mengelak, hanya mulutnya ngeluarkan suara "Uh... ah...!" dan... terjadilah huruf itu, besar dan jelas di mukanya dari pipi kiri ke pipi kanan dan jidat sampai ke dagu!

"Nah, itulah namaku," kata gadis itu tersenyum manis, sambil berpaling kepada pelayan. "Eh. Lopek, apakah kau juga ingin mengetahui usiaku pula?" Pelayan itu menjadi pucat dan cepat-cepat menggeleng kepalanya.

"Tidak, Nona... tidak..." ia keluar dari kantoran dengan kaki gemetar. Setelah tiba di luar, pelayan ini berkata dengan suara memohon, "Nona, sudah menjadi peraturan untuk mengisi buku tamu, harap Nona tidak membikin susah kami...”

Nona itu memandang kepada dua orang tukang pukul yang sudah berdiri marah. "He, kau monyet berkumis, nama nonamu akan kutulis di sini, baca baik-baik." Sambil berkata demikian, Nona itu menuliskan pit di atas meja kayu dan nampak guratan-guratan dalam di meja itu seperti digurat pisau! Tiga huruf GO HUI LIAN tergurat di atas meja!

Dua orang tukang pukul tinggi besar yang tadinya berdiri marah, melihat demonstrasi tenaga lweekang dari gadis manis ini, menjadi tertegun. Sebagai ahli silat mereka maklum bahwa gadis yang remaja dan cantik ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mereka berlaku hati-hati dan tidak berani bersikap sembrono. Penjaga yang kumisan segera menjura dengan hormat kepada Hui Lian dan berkata,

"Cukup, Go-lihiap. Sekarang kami tahu bahwa kau adalah seorang pandai. Maafkan kalau kami bersikap lancang. Akan tetapi hendaknya kau tahu bahwa setiap orang tamu yang bermalam di hotel kami, harus mendaftarkan nama dan alamat. Ini termasuk peraturan dari istana yang harus ditaati oleh seluruh penduduk kota raja dan harus ditaati pula oleh kami."

Melihat sikap ini, kemarahan Hui Lian reda. Akan tetapi ia masih mendongkol, kini kemendongkolannya ditujukan kepada peraturan kaisar yang memang tidak disukainya. Untuk memuaskan kemendongkolannya, gadis ini berlaku sembrono dan tanpa disadarinya ia berkata lantang,

"Hem, begitukah peraturan di kota raja? Bagus! Semua orang agaknya tidak percaya. Mau tahu alamatku? Baiklah catat yang jelas. Aku adalah Go Hui Lian, puteri dari Hwa I Enghiong Ciang Le yang bertempat tinggal di Ka bun-to. Masih kurang jelas?"

Dua orang tukang pukul yang menjaga kantoran hotel itu tiba-tiba mmenjadi pucat mendengar nama Hwa I Enghiong Ciang Le disebut sebut, apalagi setelah tahu bahwa gadis ini adalah puteri dari tokoh besar pemberontak itu. Go Ciang Le adalah seorang pemberontak besar yang pernah mengacaukan istana kotaraja (Baca Pendekar Budiman).

"Ah, baik… baik, Go lihiap. Harap kau ikut dengan pelayan untuk diantar ke dalam kamar terbaik di hotel ini. Maafkan kami... dan harap saja Lihiap tidak marah-marah dan mengeluarkan omongan keras karena kami benar-benar tidak mengharapkan keributan di hotel ini,” kata Si kumisan dengan sikap takut.

Hui Lian tersenyum mengejek. Hatinya panas karena dengan mendengungkan nama besar ayahnya ia telah berhasil membikin orang menjadi ketakutan. Tanpa menoleh lagi ia lalu mengikuti pelayan tua yang tadi mengantarnya ke kantor hotel yang kini cepat mengantarkannya ke sebuah kamar kosong yang benar-benar bersih menyenangkan.

Hui Lian masih terlampau muda sehingga kadang-kadang ia menurutkan nafsu hatinya dan kehilangan sifat hati-hati. Apalagi ia memang tidak tahu akan keadaan kota raja di waktu itu, maka secara sembrono saja ia memperkenalkan dari sebagai puteri dari Hwa I Enghiong. Kalau ia tahu, biarpun Hui Lian seorang dara perkasa yang tidak kenal arti takut, namun tentu ia takkan begitu sembrono untuk memancing kesulitan.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, gadis ini setelah bertemu dengan Sin Hong dan amat kecewa hatinya melihat pemuda aneh yang dibencinya akan tetapi juga yang membuat hatinya selalu berdebar kalau teringat kepadanya, kecewa karena melihat Sin Hong membawa lari Gak Soan Li, lalu berlari cepat pulang ke Kim-bu-to. Ia ingin menuturkan semua pengalamannya kepada ayah bundanya, juga tentang diri Sin Hong yang aneh serta tentang sikap Soan Li yang amat janggal dan aneh pula.

Karena ia melakukan perjalanan cepat sekali, tak lama kemudian ia tiba di Kim-bu-to. Akan tetapi Hui Lian kecewa lagi mendapatkan ayah bundanya tidak berada di rumah. Maka ia cepat pergi lagi menuju ke kota raja karena ia mengira bahwa ayah bundanya pergi ke tempat ini.

Sudah seringkali ia mendengar ibunya bercerita tentang keindahan kota raja dan sering pula ibunya menyatakan rindunya kepada kota besar ini. Maka ia dapat menduga bahwa ayah bundanya tentu pergi menyusulnya dan menyusul Soan Li, akan tetapi ke manakah ia harus mencari mereka? Karena tidak mempunyai pegangan dan tidak dapat menduga pasti ke mana ayah bundanya pergi, lalu menuju ke kota raja dengan harapan barangkali ayah bundanya juga pergi ke sana.

Tanpa disadarinya, di kota raja begitu tiba ia telah memancing kesulitan. Benar-benar ia memancing kesulitan di kantor hotel tadi, karena ketika ia menuju ke kantor diantar oleh pelayan, empat orang yang berpakaian seperti pedagang dan yang tadi mendengar dari luar kantoran saling pandang penuh ketegangan, kemudian mereka berempat ke luar dari hotel dengan cepat!

Baru saja Hui Lian meletakkan buntalan pakaiannya di atas meja dan hendak bertukar pakaian, pintunya diketuk orang perlahan sekali.

"Siapa?" tanyanya, kening berkerut.

"Lihiap, bukalah. Penting sekali..." terdengar suara orang, kedengarannya penuh kegelisahan.

Hui Lian menunda niatnya berganti pakaian, lalu membuka daun pintu. Begitu daun pintu terbuka, seorang laki-laki pendek kecil sehingga sepintas lalu seperti seorang anak berusia sepuluh tahun, menyelinap memasuki kamarnya. Lalu secepat kilat orang itu menutup kembali daun pintu kamar Hui Lian.

Bukan main marahnya gadis ini dan tangannya sudah gatal-gatal hendak memukul, bibirnya sudah bergemetar hendak memaki. Akan tetapi orang itu menaruh telunjuk di depan bibirnya, dan berkata perlahan, "Ssstt, Lihiap, jangan salah sangka, Aku adalah mata-mata yang dikirim oleh Temu Cin!"

Hui Lian melengak. Keterangan membuatnya terheran, akan tetapi tidak melenyapkan rasa kurang senangnya. "Biarpun kau dikirim oleh Giam-lo-ong (Raja maut), tidak patut kau memasuki kamarku secara ini!" bentaknya.

"Sssttt, jangan keras-keras, Lihiap. Kau berada dalam bahaya maut! Aku datang karena mendengar namamu tadi nama yang dijunjung tinggi oleh Temu Cin. Kau tidak tahu keadaan di sini, dan sekali kau tadi menyebut nama Ayahmu yang mulia, celakakalah kau. Lekas kau lari dari sini dan pergi keluar dari kotaraja sebelum bahaya datang menimpa."

Hui Lian tenang-tenang saja, bahkan memandang kepada orang kate dengan curiga dan kurang percaya. Ia memang tidak takut mendengar bahaya mengancamnya, dan lebih khawatir kalau-kalau ia akan tertipu oleh orang yang belum dikenalnya ini daripada mengkhawatirkan bahaya yang mengancam, kalau benar-benar ada bahaya.

"Mengapa aku harus keluar dan kota raja? Lebih baik kau yang segera keluar dari kamar ini sebelum aku kehabisan kesabaran dan melemparmu keluar seperti anjing!"

Orang itu menghela napas panjang. "Lahiap, kau tidak percaya kepadaku. Kau tidak tahu bahwa kawan-kawanku banyak sekali yang dikirim oleh Temu Cin di kota raja. Aku bukan seorang bahkan ada beberapa orang yang menjadi busu. Kau percayalah kepadaku, Lihiap karena mendatangimu ini saja sudah merupakan bahaya besar bagiku, sudah merupakan pekerjaan dengan taruhan nyawa. Kalau mereka melihat aku berada di sini, tentu besok aku tidak akan berada dunia ini lagi."

Melihat kesungguhan sikap orang kate itu, Hui Lian mulai menaruh perhatian. "Siapakah mereka yang kau anggap sebagai bahaya yang mengancam diriku?" tanyanya.

"Para busu... mereka itu lihai dan bermata tajam... lekas kau lari Lihiap. Lekaslah, aku tidak dapat lama-lama berada di sini." Orang kate itu membuka daun pintu, akan tetapi baru dibuka sedikit saja, ia telah menutupkan kembali dan mukanya menjadi pucat. "Celaka..." katanya ketakutan.

"Hayo keluar dari kamarku. Kau takut apa?" Hui Lian menegurnya. Hampir saja ia menendang laki-laki itu saking jengkelnya.

Orang ini ketakutan tidak karuan dan tidak berani keluar dari kamarnya. Kalau ada orang melihat seorang laki-laki berada di kamarnya, bukankah hal itu merupakan suatu aib yang memalukan sekali? Seorang laki-laki berada di kamar seorang gadis, biarpun lelaki itu seorang kate yang tidak berharga maupun seorang pelayan misalnya asal dia seorang lelaki dewasa hal sudah jauh melebihi kepantasan!

"Lahiap, celaka sekali. Kita sudah terkurung oleh pasukan busu dan tidak ada jalan keluar lagi!"

Hui Lian kehabisan sabarnya. Ia mendorong daun pintu dan tidak melihat apa-apa, hanya dari jauh kelihatan empat orang pedagang yang tadi mendengarkan percakapan di kantor hotel. Dengan gemas ia melangkah lagi ke dalam kamarnya dan menendang orang kate itu sambil membentak,

"Keluarlah kau!"

Hui Lian tidak mau berlaku keji kepada orang kate yang tidak dikenalnya ini, yang disangkanya tentu orang berotak miring maka ia menendang biasa saja, hanya untuk membuat orang itu terpental keluar. Akan tetapi alangkah herannya ketika dengan kesigapan luar biasa, orang kate itu dapat mengelak dari tendangan Hui Lian dengan sangat mudahnya dan sebelum Hui Lian hilang keheranannya dan dapat menyerang lagi, si Kate itu sudah cepat melompat ke atas. Terdengar suara keras dari kayu patah dan genteng pecah, dan ternyata si Kate itu telah menerobos melalui langit-langit kamar itu, menembus ke atas rumah!

Hui Lian berdiri terpukau. Kelihaian si Kate itu tidak terlalu mengherankan baginya, akan tetapi yang ia tidak sangka adalah Si Kate yang dikiranya orang gila itu ternyata memiliki kepandaian sedemikian tingginya. Mulailah ia percaya akan kata-kata Si Kate tadi dan kini Hui Lian membuka pintu kamarnya untuk mengintai keluar.

Apa yang dilihatnya? Empat orang berpakaian pedagang tadi masih berdiri di sana, akan tetapi sekarang dikawani oleh belasan orang berpakaian sebagai perwira istana yang berdiri tegak bagaikan patung, mengurung kamarnya! Hati Hui Lian berdebar. Betulkah kata-kata orang kate tadi? ia menyapu belasan orang itu dengan kerling matanya dan mendapat kenyataan bahwa setiap orang membawa senjata tajam di pinggang atau punggungnya sedangkan mereka semua memandang kepadanya dengan mata tak pernah berkedip. Akan tetapi dengan matanya yang berpandangan tajam, Hui Lian melihat tangan mereka bergerak perlahan ke arah gagang senjata atau kantung senjata rahasia, siap menghadapi pertempuran!

Melihat ini Hui Lian cepat menutupkan kembali daun pintu kamarnya. Kalau semua orang itu menyerangnya dengan senjata rahasia ia bisa celaka pikirnya. Ia memandang ke atas, ke arah langit-langit yang sudah berlubang karena diterjang oleh tubuh orang kate tadi. Pada saat itu ia mendengar suara gaduh di atas genteng, disusul suara pekik kesakitan dan dua orang roboh berdebum di atas genteng kamarnya.

Hui Lian memandang ke atas penuh perhatian, tidak mengerti apakah yang telah terjadi di atas genteng itu. Kemudian ia melihat benda cair menitik turun dari atas, melalui lubang yang dibuat oleh tubuh si Kate tadi. Ketika ia memandang penuh perhatian, Hui Lian bergidik. Benda cair itu berwarna merah berbau amis... darah!

Hui Lian berdebar hatinya, tegang. Tahulah ia kini bahwa Si Kate tadi bukan orang gila, bukan pula main-main dan benar-benar memang ada bahaya mengancam. Cepat ia menyambar buntalan pakaiannya, diikatkan di punggungnya. Ia meraba gagang pedangnya siap menghadapi segala kemungkinan. Ketika hendak berlaku nekat dan melangkah keluar dari kamar melalui pintu terdengar suara bentakan dari luar pintu. "Go Hui Lian, kami datang atas perintah Kaisar untuk menangkapmu. Lebih baik kau menyerah saja. Kami tidak suka mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita!"

Hui Lian mencabut pedangnya. Tanpa membuka pintu ia menjawab, suaranya lantang, sedikit pun tidak takut. "Aku Go Hui Lian tidak merasa melakukan dosa di sini, mengapa hendak ditangkap?"

"Ayahmu Go Ciang Le seorang pemberontak, sejak dahulu menjadi musuh besar istana, sedangkan kau sendiri mengadakan hubungan dengan bandit besar Temu Cin, bagaimana kau bilang tidak berdosa? Pula, mata-mata orang Mongol Si Kate baru saja meninggalkan kamarmu, apakah kau masih hendak menyangkal lagi? Dia hendak lari dan kini mayatnya menggeletak tak bernyawa di atas genteng kamarmu. Maka lebih baik menyerah untuk kami tangkap agar kami tak usah mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita," suara lantang itu menjawab dari luar kamar.

Hui Lian menjadi marah. Ia melompat ke arah pintu dan menendang daun pintu sehingga terbuka lebar-lebar. Dengan gagah ia berdiri di tengah. "Tikus-tikus istana, buka telingamu lebar-lebar! Ayahku seorang pendekar gagah perkasa, seorang patriot sejati Pembela rakyat, tikus-tikus macam kalian mana ada harga untuk menyebut namanya? Aku memang pernah bertemu dengan Temu Cin pemimpin bangsa Mongol akan tetapi hal ini apa hubungannya dengan istana? Kalian peduli apakah aku bertemu dengan Temu Cin atau dengan Raja Neraka sekali pun? Tentang orang kate yang tadi memasuki kamarku, aku tidak mengenalnya dan mengira dia seorang berotak miring. Dia mampus atau tidak, sama sekali aku tidak peduli. Siapa mau menangkap aku? Silakan maju untuk berkenalan dengan pedangku!"

Mendengar suara lantang dan melihat sikap yang gagah berani dari gadis ini, para busu tercengang dan untuk beberapa lama tidak berani sembarangan bergerak. Kemudian terdengar aba-aba "tangkap saja!" dari atas genteng.

Yang pertama kali bergerak adalah empat orang yang berpakalan pedagang tadi. Mereka berempat melompat maju dan berhadapan dengan Hui Lian, masing-masing memegang golok tipis.

"Nona, bukankah menyerah lebih baik? Mungkin hakim istana akan meringankan hukumanmu, menimbang bahwa kau hanyalah puteri dan Hwa I Enghiong dan bukan kau sendiri yang memberontak," kata seorang di antara mereka yang bermuka panjang dan suaranya lunak seperti suara orang perempuan.

Hui Lian mengeluarkan suara ejekan dan tersenyum simpul, "Mengapa sungkan-sungkan? Bukankah kalian ini anjing- anjing istana yang suka menangkap orang-orang tidak berdosa? Mau tangkap tangkaplah kalau kalian ada kepandaian.” Gadis ini melintangkan pedangnya di depan dada, sikapnya menantang sekali. Memang ia tidak takut sama sekali, bahkan ada kegembiraan hatinya untuk nguji sampai di mana kelihaian para busu istana yang terkenal kebuasan sampai di mana-mana itu.

"Hem, kau sombong dan tak tahu diri. Terpaksa kami turun tangan!" kata busu itu dan berbareng dengan habisnya kata-kata terakhir, bersama tiga orang kawannya ia menyerbu.

Empat batang golok tipis yang berkilau saking tajamnya menyambar ke arah Hui Lian dalam gerakan mengancam karena empat orang ini masih merasa sungkan untuk membunuh seorang gadis remaja demikian cantiknya. Kalau boleh dan dapat, mereka akan lebih suka menangkap saja dan menghadapkan gadis ini di depan pengadilan, daripada membawa mayatnya.

Akan tetapi dalam sekejap mata mereka sadar daripada mimpi enak ini. Begitu Hui Lian menggerakkan pedangnya, terdengar suara nyaring dan dua golok menjadi buntung, sedangkan yang dua lagi hampir terlepas dari pegangan karena tangan mereka tergetar hebat! Sampai memekik kaget empat orang busu berpakaian pedagang ini melompat mundur, muka mereka berubah pucat dan keringat dingin membasahi leher dan jidat.

Hui Lian tersenyum dan menahan pedangnya, tidak mau membalas serangan mereka. "Masih ada yang hendak menangkapku?" tantangnya sambil menyapu ruangan itu dengan kerling matanya yang tajam.

Empat orang busu yang berpakaian pedagang itu bukanlah busu tingkat tertinggi. Mereka itu tugasnya hanya menjadi mata-mata dan pengawas di hotel Thian Lok Likoan, dan biarpun kalau diukur dengan kepandaian ahli-ahli biasa saja mereka itu sudah termasuk jago-jago silat yang sukar dilawan, tetapi bagi Hui Lian mereka itu tidak ada artinya sama sekali. Para pengepung adalah busu-busu yang terdiri beberapa tingkatan...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.