Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

36. MARI KITA BUKTIKAN, GIOK KO!

Ceng Ceng memungut benda itu dan memeriksanya. “Aih, Giok-ko, kurasa tidak salah lagi. Inilah yang disebut Liong-cu-giok seperti yang diceritakan mendiang Suhu Im-yang Yok-sian. Menurut cerita Suhu, benda ini selain amat kuat dan tidak dapat tergores senjata tajam mana pun, juga dapat mengisap segala macam racun, merupakan obat yang mujarab sekali terhadap orang yang keracunan. Kiong-hi (selamat), Giok-ko! Engkau beruntung sekali menemukan mustika ini!” Ceng Ceng menyerahkan batu kemala itu kepada Cun Giok, akan tetapi Cun Giok tidak mau menerimanya.

“Ambillah, Ceng-moi. Liong-cu-giok itu lebih pantas menjadi milikmu sebagai seorang ahli pengobatan.”

“Tapi, Giok-ko. Engkau yang menemukannya dan engkau yang berhak memiliki. Benda ini merupakan mustika yang langka sekali dan tidak dapat dinilai harganya!”

Cun Giok tersenyum. “Menurut pendapatku, tidak ada benda di dunia ini yang cukup berharga bagimu, Ceng-moi. Ambillah, aku rela memberikannya kepadamu. Pula, kukira engkau memang berhak memilikinya karena kalau tidak ada engkau yang tadi menyerang kedua mata ular itu, mungkin sekali sekarang aku telah ditelan ular dan berada dalam perutnya!”

Ceng Ceng menghela napas panjang. “Baik, Giok-ko. Terima kaslh. Engkau memang baik sekali.” Ia memasukkan batu kemala itu ke dalam ikat pinggangnya.

“Nah, sekarang aku tahu, Ceng-moi. Tentu delapan orang ini mencari harta karun di sini akan tetapi mereka semua tewas oleh ular besar tadi. Mari kita tinggalkan saja tempat menyeramkan ini.” Dia memandang ke arah delapan buah kerangka manusia itu.

“Nanti dulu, Giok-ko. Batu kemala ini memang amat berharga, akan tetapi batu kemala ini hanya untuk kita, untuk aku karena telah kauberikan kepadaku. Akan tetapi, untuk kepentingan Ayah Ibuku, aku harus menemukan harta karun itu, agar kematian Ayah Ibu yang mempertahankan peta dengan nyawa mereka, tidak sia-sia.”

“Akan tetapi, ke mana lagi kita akan mencari, Ceng-moi?”

“Giok-ko, kukira pendapatmu tentang delapan orang yang mati di sini tidak begitu cocok. Lihat, alat-alat menggali itu berada di dekat masing-masing, berarti mungkin mereka tewas terbunuh ketika masih memegang alat menggali itu. Dan lihat alat-alat cangkul dan sekop juga linggis itu. Pada mata alat itu masih terdapat gumpalan tanah. Ini berarti bahwa mereka sedang atau habis menggali tanah ketika mereka terbunuh. Juga, kurasa mereka tidak dibunuh ular tadi. Kalau dibunuh ular, tentu mayat mereka sudah habis dimakan ular itu dalam waktu sekian lamanya. Pula, delapan orang yang semua memegang alat seperti cangkul, sekop dan linggis itu, tentu akan melakukan perlawanan terhadap ular yang menyerang mereka. Sebelum mereka semua terbunuh, mereka tentu dapat pula melarikan diri keluar guha. Bagaimana pendapatmu, Giok-ko?”

Cun Giok memandang kagum. “Engkau hebat, Ceng-moi. Semua perkiraanmu itu tepat sekali dan sungguh bodoh aku tidak dapat melihat semua tanda itu. Lalu kesimpulannya bagaimana?”

“Menurut pendapatku, kesimpulannya begini. Mungkin ketika mereka memasuki guha ini, belum ada ular besar itu dan belum ada pula semak belukar depan guha. Agaknya mereka menggali di sini dan sebelum kita menarik kesimpulan lebih lanjut, baiknya kita buktikan dulu apakah perkiraanku itu benar. Mungkin mereka menggali di lantai guha ini, menggali bukan untuk mengambil sesuatu, melainkan untuk menyimpan sesuatu! Ba¬gaimana?”

Wajah Cun Giok berseri. Ah, kalau begitu, harta karun itu berada di lantai guha ini?” Dia menunjuk ke bawah.

“Mari kita buktikan, Giok-ko!”

Mereka lalu bekerja. Mula-mula mereka memindahkan kerangka delapan orang itu ke luar guha. Kemudian mereka mempergunakan cangkul dan sekop untuk menggali lantai guha. Hati mereka gembira dan jantung mereka berdebar tegang ketika mendapat kenyataan betapa lantai guha itu tidak keras, berarti lantai itu bukan dari tanah berbatu, melainkan tanah lunak! Hal ini memperbesar kemungkinan bahwa tempat itu memang pernah digali orang!

Mereka menjadi tambah bersemangat dan menggali dengan cepat. Akhirnya cangkul mereka bertemu dengan benda keras dan setelah tanah di atasnya dibersihkan, tampaklah sebuah peti besi. Pemuda dan gadis itu lalu menarik peti itu dari kanan kiri, mengangkat peti dan menaruhnya di mulut guha yang lebih terang. Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar, keduanya lalu membuka peti itu dan... mereka terpesona, mata mereka silau oleh harta benda yang terdapat di dalam peti! Bahkan perak pun tidak ada, yang ada hanya emas, semuanya dari emas! Perhiasan-perhiasan beraneka macam, terbuat dari emas permata yang biasanya hanya dipakai oleh para permaisuri, selir Kaisar dan para puteri istana! Di bagian bawah terdapat emas beratus-ratus kati!

“Ayah, akhirnya aku dapat memenuhi pesanmu!” Ceng Ceng berseru dan ia pun menangis tersedu-sedu sambil berlutut di samping peti harta karun itu.

Ketika Cun Giok yang merasa terharu mendekatinya dan menyentuh pundaknya dengan Iembut, Ceng Ceng mengangkat muka dan begitu melihat Cun Giok, ia pun menubruk dan mereka saling berangkulan. Ceng Ceng menangis di dada pemuda itu. Sejenak Cun Giok membiarkan gadis itu menangis karena itulah yang terbaik bagi gadis yang agaknya sudah lama dihimpit berbagai kepahitan hidup. Biarlah Ceng Ceng melampiaskan semua kepahitan itu melalui air matanya yang membanjir dan membasahi baju sampai membasahi dadanya. Air mata itu seolah menembus kulit dadanya dan menyirami perasaan hatinya mendatangkan kesejukan dalam hatinya sendiri yang juga dihimpit banyak kepahitan hidup.

Akan tetapi Ceng Ceng adalah seorang gadis yang sudah memiliki kekuatan batin sehingga setelah melalui tangisnya itu ia menumpahkan semua perasaannya, kini ia sudah tenang kembali. Ia menarik mukanya dari dada Cun Giok, melepaskan rangkulannya dan sambil mengusap sisa air mata yang menempel di pelupuk matanya, ia berkata lembut. “Giok-ko, maafkanlah kelemahanku. Karena merasa girang dan berbahagia menemukan harta karun ini dan dapat memenuhi pesan Ayahku, maka aku menjadi lemah dan menangis. Lihat, aku membuat bajumu menjadi basah. Maafkan aku, Giok-ko.”

“Ah, tidak apa-apa, Ceng-moi. Aku ikut bersyukur bahwa engkau dapat menemukan harta karun ini.”

“Berkat bantuanmu, Giok-ko.”

“Tidak, Ceng-moi. Tadi pun aku ragu apakah harta karun ini ada dan apakah berada di sini. Engkau yang tampaknya begitu yakin dan ternyata engkau benar. Menurut pendapatmu, apa yang terjadi dengan harta karun dan delapan kerangka manusia itu, Ceng-moi?”

“Melihat tanda-tanda tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya Thaikam Bong yang mencuri harta ini dari istana Kerajaan Sung, sengaja menyembunyikan peti harta karun ini di sini. Delapan orang itu tentu orang-orangnya yang mengerjakan penggalian untuk menyimpan harta karun. Kemudian, karena tidak ingin ada orang mengetahuinya, dan agar jangan ada yang membocorkan rahasianya itu, dia lalu membunuh delapan orang itu, setelah harta karun ditanam dengan baik. Dan Thaikam yang korup itu pula yang sengaja menanam semak belukar di depan guha untuk mencegah orang memasuki guha. Dan dia membiarkan mayat delapan orang itu di dalam guha karena kalau ada orang yang nekat membabat semak belukar masuk guha, tentu akan takut kalau melihat delapan buah kerangka manusia itu. Kemudian, menurut perkiraanku, agar dia tidak lupa tempat ini, dia sengaja membuat peta itu.”

“Akan tetapi, mengapa di Bukit Sorga dekat kota raja itu terdapat peti yang di dalamnya ada tulisan THAI SAN?”

“Agaknya Thaikam Bong memang cerdik dan licik. Dia juga memperhitungkan bahwa peta yang dibuatnya itu mungkin membawa orang ke Bukit Sorga yang berada di sebelah selatan kota raja. Dan mungkin karena dia sudah tua, dia hendak mewariskan peta itu kepada orang lain dan dia memberi tanda THAI SAN pada peti itu kalau-kalau pewarisnya salah memperhitungkan dan mendapatkan peti kosong itu. Juga tentu saja dia hendak mengelabuhi orang-orang lain, kalau-kalau peta itu terjatuh ke tangan orang lain.”

“Bagus, Ceng-moi! Jasamu sungguh besar sekali terhadap Kerajaan. Engkau telah membantu Kerajaan dengan menemukan kembali harta karun yang menjadi hak milik Kerajaan. Aku akan melaporkan kepada Sribaginda Kaisar akan jasa besarmu ini agar engkau mendapat imbalan yang sepantasnya!” Yang bicara itu adalah Yauw Tek atau Pangeran Youtechin yang tiba-tiba muncul dan sudah berdiri di hadapan Ceng Ceng dan Cun Giok.

Ceng Ceng dan Cun Giok memandang kepada Pangeran Mongol itu, lalu kepada Li Hong yang datang dan berjalan perlahan menghampiri mereka. Li Hong tersenyum-senyum dan tampak canggung dan malu-malu. Akan tetapi melihat betapa Cun Giok dan Ceng Ceng memandang kepadanya, ia segera berkata kepada mereka sambil tersenyum, namun ucapannya terdengar tegas.

“Enci Ceng dan Giok-ko, jangan memandang kepadaku seperti itu! Urusan harta karun adalah urusan yang dapat dibicarakan antara Enci Ceng dan Pangeran, sama sekali aku tidak ikut campur. Hanya kuminta Pangeran tidak memusuhi kalian dan kuharap saja agar urusan itu dapat diselesaikan dengan cara damai. Enci Ceng adalah kakak angkatku dan Giok-ko adalah kakak misanku, kalian berdua di satu pihak adalah kakak-kakakku, dan di lain pihak, Pangeran Youtechin adalah... calon suamiku. Karena itu, dalam urusan harta karun ini aku tidak mencampuri. Aku akan membantu kalian berdua kalau memperebutkan harta karun dengan orang lain, demikian pula aku akan membantu Pangeran Youtechin kalau dia berebutan dengan pihak lain. Nah, terserah, akan tetapi harap dapat menyelesaikan urusan ini dengan damai tanpa permusuhan.”

cerita silat online karya kho ping hoo

Cun Giok dan Ceng Ceng merasa terharu. Bagaimanapun juga, Li Hong sudah bicara dengan sejujurnya, mengakui bahwa ia telah menerima pangeran itu sebagai calon suaminya! Mereka harus menghormati cinta kasih Li Hong yang dijatuhkan kepada pangeran, pemuda yang tampan dan lihai, juga berpenampilan lembut itu. Ceng Ceng maju menghampiri Li Hong dan dua orang gadis itu saling rangkul.

“Hong-moi, aku mengerti dan tidak akan membawamu dalam urusan ini,” kata Ceng Ceng sambil mencium pipi adik angkatnya itu.

Setelah mencium adik angkatnya, Ceng Ceng lalu menghadapi Pangeran Youtechin dan berkata lembut. “Pangeran...”

“Ah Ceng-moi. Biarlah engkau mengenal aku sebagai Yauw Tek saja.”

“Akan tetapi engkau adalah seorang Pangeran, maka sudah semestinya kalau aku menyebutmu Pangeran. Pangeran, kata-katamu tadi keliru. Aku mencari harta karun sama sekali bukan untuk pemerintah Kerajaan Mongol, dan juga harta karun itu milik Kerajaan Sung. Mendiang ayahku menyita dari seorang Thaikam yang korup, menyita petanya maka dapat dikatakan bahwa harta karun itu yang berhak adalah mendiang ayahku. Sebagai pewarisnya, akulah yang berhak memiliki harta karun ini. Kukira hal ini tidak perlu kujelaskan lebih banyak karena ketika engkau muncul sebagai Yauw Tek, engkau sudah mendengar semua.”

“Aku mengerti, Ceng-moi. Akan tetapi perlu kau ingat bahwa harta karun itu berasal dari milik Kerajaan Sung yang telah dikalahkan Kerajaan Goan kami, maka semua milik Kerajaan Sung yang kalah sudah sewajarnya menjadi rampasan dan milik kerajaan yang menang. Selain itu, harta karun itu terdapat di Thai-san yang juga menjadi wilayah Kerajaan Goan, maka pemilik yang berhak dan sah adalah Kerajaan Goan,” bantah Pangeran Youtechin.

“Nanti dulu, Pangeran Youtechin!” Cun Giok berkata penasaran akan tetapi suaranya tetap halus karena dia ingat bahwa pangeran itu adalah calon suami adik misannya dan harus dia akui bahwa pendapat pangeran itu dipandang dari pihak Kerajaan Mongol memang tidak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi dipandang dari pihak rakyat Han tentu saja membuat hatinya penasaran. “Pendapatmu itu memang benar, akan tetapi itu kebenaran pemerintah yang menang dan menjadi penjajah. Tentu engkau tahu benar bahwa harta karun itu didapatkan oleh Kerajaan Sung yang telah jatuh dari milik rakyat jelata. Maka setelah kerajaan itu jatuh, sudah sepatutnya kalau harta karun itu dikembalikan kepada rakyat! Adapun tempat ditemukannya harta karun ini, yaitu Pegunungan Thai-san, sejak jaman dahulu adalah milik rakyat jelata di mana mereka terlahir dan mati. Ini adalah tanah air dan tanah tumpah darah rakyat jelata, maka segala sesuatu yang didapatkan di tanah air ini adalah hak milik rakyat. Kami membantu Adik Liu Ceng Ceng mendapatkan harta karun yang petanya ditinggalkan ayahnya dan setelah kami temukan, bagaimana mungkin hendak kau minta begitu saja untuk diserahkan kepada kerajaanmu? Ini sungguh tidak adil!”

Sebelum Pangeran Youtechin menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa aneh. Tawa yang keluar dari dua mulut, akan tetapi begitu aneh tawa itu sehingga menyeramkan, apalagi yang satu tawanya seperti tangis. Muncullah sepasang kakek dan nenek iblis yang bukan lain adalah Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli!

“Heh-heh, Pangeran, mengapa Paduka masih mengajak mereka bercakap-cakap? Rampas saja harta karun itu, kami akan membantu Paduka dan hadiahnya bagi saya cukup serahkan gadis ahli obat itu kepada saya!” kata Cui-beng Kui-ong.

“Hi-hik, benar sekali, Pangeran. Dan serahkan pemuda itu sebagai hadiah kepada saya!” Song-bun Moli tidak mau kalah.

Akan tetapi pada saat itu tampak banyak orang berlompatan dan sebentar saja puluhan orang sudah berdiri di belakang Cun Giok dan Ceng Ceng. Mereka adalah rombongan Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai yang diwakili Thian-li Niocu dan para muridnya, Bu-tong-pai yang diwakili oleh Liong Kun dan Thio Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin. Tampak pula Bu-tek Sin-liong Cu Liong bersama puterinya, Cu Ai Yin, akan tetapi datuk ini berdiri di tempat netral, agaknya tidak berpihak kepada siapa pun.

“Pangeran, mereka itu hendak memberontak terhadap kerajaan kita!” kata Kong Sek dengan nada marah. Agaknya, melihat Cun Giok, dia sudah tidak sabar untuk berdiam diri dan hendak mempergunakan kekuatan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli untuk membunuh Cun Giok sebagai balas dendam terhadap kematian ayahnya.

Akan tetapi Pangeran Youtechin memberi isyarat dengan tangan agar Kong Sek dan dua orang kakek nenek iblis itu tidak turun tangan. Lalu dia memandang kepada mereka yang baru datang itu. Thai-san Sianjin Thio Kong, ketua Thai-san-pai berkata dengan lantang namun cukup menghormat.

“Pangeran, kami sama sekali tidak hendak memberontak terhadap pemerintah! Kami hanya membenarkan Nona Liu Ceng Ceng bahwa harta karun itu adalah berasal dari rakyat jelata dan harus kembali kepada rakyat yang menjadi pemiliknya. Ada pun harta karun itu ditemukan di Thai-san, maka kami Thai-san-pai yang sudah ratusan tahun tinggal di sini, dapat mengatakan bahwa tempat ini merupakan daerah wilayah kami. Kami percaya bahwa pemerintah tentu menghormati hak rakyat atas daerah yang menjadi kekuasaannya.”

“Kami mendukung Nona Liu Ceng Ceng, dan kalau ada yang hendak merampas harta karun milik rakyat dari tangannya, kami siap untuk membelanya!” kata Thian-li Niocu wakil dari Go-bi-pai. Terdengar suara berisik karena semua yang diam-diam anti penjajahan mendukung Ceng Ceng.

Menghadapi semua ucapan itu dan melihat puluhan pasang mata memandangnya dengan sikap penasaran, Pangeran Youtechin tampak tenang saja. Berbeda dengan Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang sudah marah dan ingin menerjang dan mengamuk, Pangeran itu kembali memberi isyarat kepada tiga orang pengikutnya untuk berdiam diri, kemudian dengan sikap tenang dan suaranya lantang namun mulutnya tersenyum dia berkata.

“Kami mengerti bahwa kalian tidak hendak memberontak terhadap pemerintah, dan kami juga tidak ingin bermusuhan dengan para tokoh dunia kang-ouw! Kalian menghendaki harta karun untuk diberikan kepada rakyat jelata, sebaliknya pemerintah menghendaki harta karun itu juga hendak dipergunakan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mengatur negara dari rakyat, untuk menyjahterakan rakyat memerlukan biaya yang amat besar. Harta karun itu memang peninggalan Kerajaan Sung, maka setelah Kerajaan Sung kalah, maka dengan sendirinya harta karun itu menjadi milik kerajaan kami yang menang. Aku, Pangeran Youtechin, sama sekali tidak menginginkan harta itu untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk diserahkan kepada kerajaan, kepada pemerintah!”

Ketika pangeran itu berhenti sebentar, kesempatan ini dipergunakan oleh Cun Giok untuk menjawab. “Pangeran Youtechin, kami tidak dapat membantah kebenaran ucapan Paduka, akan tetapi kebenaran itu dipandang dari pihak kerajaan. Adik Ceng Ceng juga memiliki kebenaran pendiriannya sendiri. Ia menerima warisan peta dari ayahnya dengan pesan khusus, maka sebagai anak yang berbakti tentu saja ia harus melaksanakan pesan atau perintah yang diwariskan ayahnya. Adapun kami semua yang membela Adik Ceng Ceng juga mempunyai kewajiban, yaitu berbakti kepada bangsa dan tanah air, membela kepentingan rakyat, maka kami mendukung niat Adik Ceng Ceng untuk mengembalikan harta karun kepada rakyat jelata.”

Pangeran Youtechin mengangguk-angguk. “Dua pihak memiliki alasan dan pendirian masing-masing, itu hal yang wajar. Tidak ada yang dapat disalahkan karena alasan masing-masing benar. Kalian adalah pendekar-pendekar yang setia membela kepentingan rakyat akan tetapi lupa bahwa kalian juga berkewajiban untuk membela dan setia kepada pemerintah yang berkuasa dan berwenang. Adapun kami tentu saja berkewajiban untuk berbakti kepada pemerintah kerajaan kami dan sekaligus juga mementingkan kesejahteraan rakyat yang akan dilaksanakan dan diatur oleh pemerintah.”

“Pangeran, kita hajar saja pemberontak-pemberontak ini!” kata Cui-beng Kui-ong yang sudah tidak sabar lagi.

“Cui-beng Kui-ong, kami bukan pemberontak! Kami tidak takut kepadamu demi membela hak kami!” Ketua Thai-san-pai juga berseru lantang.

Li Hong yang melihat betapa kedua pihak mulai panas, meninggalkan Ceng Ceng dan melompat ke dekat Pangeran Youtechin. Ia menatap wajah pangeran itu dan berkata lirih. “Pangeran, jangan memusuhi kakak misanku Pouw Cun Giok dan kakak angkatku, Liu Ceng Ceng. Ingat akan janjimu kepadaku!”

Pangeran itu tersenyum, menyentuh lengan Li Hong dan mengangguk. Kemudian dia menoleh ke arah Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang agaknya sudah siap dengan senjata masing-masing. “Aku perintahkan kalian jangan menyerang siapapun juga sebelum aku kehendaki!”

Kakek dan nenek itu terpaksa menaati, mereka mengangguk dan bahkan melangkah ke belakang. Biarpun dengan bersungut-sungut karena dia tidak diberi kesempatan menyerang musuh besarnya, yaitu Pouw Cun Giok, Kong Sek terpaksa mundur pula mengikuti kakek dan nenek iblis itu. Setelah itu, Pangeran Youtechin kembali menghadapi Ceng Ceng, Cun Giok para tokoh kang-ouw yang mendukung mereka.

“Cu-wi Enghiong (Para Pendekar Sekalian)! Sesungguhnya, yang langsung berurusan tentang harta karun adalah Nona Liu Ceng Ceng dan kami. Nona Liu Ceng Ceng sebagai pewaris ayahnya yang akan melaksanakan pesan ayahnya dan kami sebagai wakil kerajaan yang bertindak atas nama Sribaginda Kaisar. Ketahuilah bahwa kami sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan Nona Liu Ceng Ceng yang merupakan sahabat baik kami dan terutama sekali ia adalah kakak angkat dari calon isteriku, Nona Tan Li Hong. Juga kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan para pendekar dan tokoh kang-ouw yang mendukung Nona Liu Ceng Ceng. Kami harap Cu-wi (Anda Sekalian) juga tidak mengambil sikap bermusuhan dengan kami. Sama sekali bukan berarti bahwa kami merasa takut. Kami tidak takut, akan tetapi kalau sampai di antara kita terjadi bentrokan dan pertempuran, lalu kami tewas, akibatnya akan hebat. Kami adalah wakil pemerintah yang mendapat hak dari Sri Baginda Kaisar, maka kalau sampai kami tewas di tangan kalian, tentu kalian dianggap pemberontak dan pemerintah akan mengerahkan bala tentara untuk membasmi kalian! Ini bukan gertakan belaka, melainkan peringatan agar hal itu tidak sampai terjadi. Sekarang begini saja. Karena kedua pihak memiliki alasan masing-masing yang kuat, maka pertentangan karena perebutan harta karun itu kita selesaikan dengan cara yang adil dan gagah seperti biasa dilakukan di dalam dunia persilatan. Agar jangan menimbulkan banyak korban dan permusuhan besar, maka aku, Pangeran Youtechin dan dalam hal ini menjadi utusan istimewa dari Sri Baginda Kaisar, mengajak Nona Liu Ceng Ceng untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) untuk menentukan siapa yang menang dan berhak mendapatkan harta karun itu. Tentu saja, Nona Liu Ceng Ceng boleh memilih wakilnya yang akan bertanding melawanku.”

Mendengar ucapan yang panjang lebar dari pangeran itu, para tokoh kang-ouw dan anak buah mereka saling berbisik sehingga keadaan menjadi agak berisik. Namun pada umumnya, mereka terkesan dan menganggap pangeran itu bicara dengan adil dan gagah seperti sikap seorang pendekar tulen. Diam-diam mereka merasa heran. Tadinya, dalam anggapan mereka, semua orang Mongol, terutama para pembesar dan bangsawannya, adalah orang-orang yang angkuh, sombong dan sewenang-wenang. Akan tetapi sekarang muncul seorang pangeran selain tampan iuga bersikap ramah dan dapat mengambil keputusan bijaksana dan adil, tidak hendak mencari kemenangan sendiri.

Para pimpinan rombongan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw seperti Thai-san Sianjin Thio Kong Ketua Thai-san-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin, Kui-tung Sin-kai Ketua Ang-tung Kai-pang, Thian-li Niocu tokoh Go-bi-pai, dua orang pemuda wakil Bu-tong-pai dan yang lain-lain mengangguk-angguk kagum dan setuju dengan peraturan yang dikemukakan Pangeran Youtechin untuk mencegah pertempuran dan permusuhan dengan pi-bu. Bahkan Bu-tek Sin-liong yang berwatak keras dan jujur, tidak berpihak itu tak dapat menahan kegembiraannya untuk menonton orang mengadu ilmu silat dan berseru,

“Bagus! Bagus sekali diadakan pi-bu itu!”

Ceng Ceng melangkah maju hendak menyambut tantangan pi-bu itu, akan tetapi Cun Giok memegang lengannya.

“Giok-ko, akulah yang berkepentingan dan aku yang ditantang pi-bu!” kata Ceng Ceng.

“Ceng-moi, kepentinganmu adalah kepentinganku juga, dan tadi Pangeran Youtechin mengatakan bahwa engkau boleh mewakilkan orang lain untuk bertanding melawannya. Biarlah aku yang mewakilimu, Ceng-moi.” Tanpa menanti jawaban, Cun Giok melompat ke depan pangeran itu.

“Pangeran, akulah yang mewakili Nona Liu Ceng Ceng untuk bertanding melawanmu!” katanya lantang.

“Ah, sudah kuduga engkau yang akan maju, Pouw Cun Giok! Aku gembira sekali karena aku tahu bahwa engkau yang berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan) dan merupakan lawan yang amat lihai dan aku senang sekali tidak harus bertanding melawan Nona Liu Ceng Ceng!” Kata Pangeran Youtechin yang sudah banyak mendengar tentang Cun Giok dari Li Hong. Memang dia ingin sekali mengukur sampai di mana kepandaian pendekar yang dipuji-puji oleh Li Hong yang merupakan adik misan pendekar itu...

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 36

36. MARI KITA BUKTIKAN, GIOK KO!

Ceng Ceng memungut benda itu dan memeriksanya. “Aih, Giok-ko, kurasa tidak salah lagi. Inilah yang disebut Liong-cu-giok seperti yang diceritakan mendiang Suhu Im-yang Yok-sian. Menurut cerita Suhu, benda ini selain amat kuat dan tidak dapat tergores senjata tajam mana pun, juga dapat mengisap segala macam racun, merupakan obat yang mujarab sekali terhadap orang yang keracunan. Kiong-hi (selamat), Giok-ko! Engkau beruntung sekali menemukan mustika ini!” Ceng Ceng menyerahkan batu kemala itu kepada Cun Giok, akan tetapi Cun Giok tidak mau menerimanya.

“Ambillah, Ceng-moi. Liong-cu-giok itu lebih pantas menjadi milikmu sebagai seorang ahli pengobatan.”

“Tapi, Giok-ko. Engkau yang menemukannya dan engkau yang berhak memiliki. Benda ini merupakan mustika yang langka sekali dan tidak dapat dinilai harganya!”

Cun Giok tersenyum. “Menurut pendapatku, tidak ada benda di dunia ini yang cukup berharga bagimu, Ceng-moi. Ambillah, aku rela memberikannya kepadamu. Pula, kukira engkau memang berhak memilikinya karena kalau tidak ada engkau yang tadi menyerang kedua mata ular itu, mungkin sekali sekarang aku telah ditelan ular dan berada dalam perutnya!”

Ceng Ceng menghela napas panjang. “Baik, Giok-ko. Terima kaslh. Engkau memang baik sekali.” Ia memasukkan batu kemala itu ke dalam ikat pinggangnya.

“Nah, sekarang aku tahu, Ceng-moi. Tentu delapan orang ini mencari harta karun di sini akan tetapi mereka semua tewas oleh ular besar tadi. Mari kita tinggalkan saja tempat menyeramkan ini.” Dia memandang ke arah delapan buah kerangka manusia itu.

“Nanti dulu, Giok-ko. Batu kemala ini memang amat berharga, akan tetapi batu kemala ini hanya untuk kita, untuk aku karena telah kauberikan kepadaku. Akan tetapi, untuk kepentingan Ayah Ibuku, aku harus menemukan harta karun itu, agar kematian Ayah Ibu yang mempertahankan peta dengan nyawa mereka, tidak sia-sia.”

“Akan tetapi, ke mana lagi kita akan mencari, Ceng-moi?”

“Giok-ko, kukira pendapatmu tentang delapan orang yang mati di sini tidak begitu cocok. Lihat, alat-alat menggali itu berada di dekat masing-masing, berarti mungkin mereka tewas terbunuh ketika masih memegang alat menggali itu. Dan lihat alat-alat cangkul dan sekop juga linggis itu. Pada mata alat itu masih terdapat gumpalan tanah. Ini berarti bahwa mereka sedang atau habis menggali tanah ketika mereka terbunuh. Juga, kurasa mereka tidak dibunuh ular tadi. Kalau dibunuh ular, tentu mayat mereka sudah habis dimakan ular itu dalam waktu sekian lamanya. Pula, delapan orang yang semua memegang alat seperti cangkul, sekop dan linggis itu, tentu akan melakukan perlawanan terhadap ular yang menyerang mereka. Sebelum mereka semua terbunuh, mereka tentu dapat pula melarikan diri keluar guha. Bagaimana pendapatmu, Giok-ko?”

Cun Giok memandang kagum. “Engkau hebat, Ceng-moi. Semua perkiraanmu itu tepat sekali dan sungguh bodoh aku tidak dapat melihat semua tanda itu. Lalu kesimpulannya bagaimana?”

“Menurut pendapatku, kesimpulannya begini. Mungkin ketika mereka memasuki guha ini, belum ada ular besar itu dan belum ada pula semak belukar depan guha. Agaknya mereka menggali di sini dan sebelum kita menarik kesimpulan lebih lanjut, baiknya kita buktikan dulu apakah perkiraanku itu benar. Mungkin mereka menggali di lantai guha ini, menggali bukan untuk mengambil sesuatu, melainkan untuk menyimpan sesuatu! Ba¬gaimana?”

Wajah Cun Giok berseri. Ah, kalau begitu, harta karun itu berada di lantai guha ini?” Dia menunjuk ke bawah.

“Mari kita buktikan, Giok-ko!”

Mereka lalu bekerja. Mula-mula mereka memindahkan kerangka delapan orang itu ke luar guha. Kemudian mereka mempergunakan cangkul dan sekop untuk menggali lantai guha. Hati mereka gembira dan jantung mereka berdebar tegang ketika mendapat kenyataan betapa lantai guha itu tidak keras, berarti lantai itu bukan dari tanah berbatu, melainkan tanah lunak! Hal ini memperbesar kemungkinan bahwa tempat itu memang pernah digali orang!

Mereka menjadi tambah bersemangat dan menggali dengan cepat. Akhirnya cangkul mereka bertemu dengan benda keras dan setelah tanah di atasnya dibersihkan, tampaklah sebuah peti besi. Pemuda dan gadis itu lalu menarik peti itu dari kanan kiri, mengangkat peti dan menaruhnya di mulut guha yang lebih terang. Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar, keduanya lalu membuka peti itu dan... mereka terpesona, mata mereka silau oleh harta benda yang terdapat di dalam peti! Bahkan perak pun tidak ada, yang ada hanya emas, semuanya dari emas! Perhiasan-perhiasan beraneka macam, terbuat dari emas permata yang biasanya hanya dipakai oleh para permaisuri, selir Kaisar dan para puteri istana! Di bagian bawah terdapat emas beratus-ratus kati!

“Ayah, akhirnya aku dapat memenuhi pesanmu!” Ceng Ceng berseru dan ia pun menangis tersedu-sedu sambil berlutut di samping peti harta karun itu.

Ketika Cun Giok yang merasa terharu mendekatinya dan menyentuh pundaknya dengan Iembut, Ceng Ceng mengangkat muka dan begitu melihat Cun Giok, ia pun menubruk dan mereka saling berangkulan. Ceng Ceng menangis di dada pemuda itu. Sejenak Cun Giok membiarkan gadis itu menangis karena itulah yang terbaik bagi gadis yang agaknya sudah lama dihimpit berbagai kepahitan hidup. Biarlah Ceng Ceng melampiaskan semua kepahitan itu melalui air matanya yang membanjir dan membasahi baju sampai membasahi dadanya. Air mata itu seolah menembus kulit dadanya dan menyirami perasaan hatinya mendatangkan kesejukan dalam hatinya sendiri yang juga dihimpit banyak kepahitan hidup.

Akan tetapi Ceng Ceng adalah seorang gadis yang sudah memiliki kekuatan batin sehingga setelah melalui tangisnya itu ia menumpahkan semua perasaannya, kini ia sudah tenang kembali. Ia menarik mukanya dari dada Cun Giok, melepaskan rangkulannya dan sambil mengusap sisa air mata yang menempel di pelupuk matanya, ia berkata lembut. “Giok-ko, maafkanlah kelemahanku. Karena merasa girang dan berbahagia menemukan harta karun ini dan dapat memenuhi pesan Ayahku, maka aku menjadi lemah dan menangis. Lihat, aku membuat bajumu menjadi basah. Maafkan aku, Giok-ko.”

“Ah, tidak apa-apa, Ceng-moi. Aku ikut bersyukur bahwa engkau dapat menemukan harta karun ini.”

“Berkat bantuanmu, Giok-ko.”

“Tidak, Ceng-moi. Tadi pun aku ragu apakah harta karun ini ada dan apakah berada di sini. Engkau yang tampaknya begitu yakin dan ternyata engkau benar. Menurut pendapatmu, apa yang terjadi dengan harta karun dan delapan kerangka manusia itu, Ceng-moi?”

“Melihat tanda-tanda tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya Thaikam Bong yang mencuri harta ini dari istana Kerajaan Sung, sengaja menyembunyikan peti harta karun ini di sini. Delapan orang itu tentu orang-orangnya yang mengerjakan penggalian untuk menyimpan harta karun. Kemudian, karena tidak ingin ada orang mengetahuinya, dan agar jangan ada yang membocorkan rahasianya itu, dia lalu membunuh delapan orang itu, setelah harta karun ditanam dengan baik. Dan Thaikam yang korup itu pula yang sengaja menanam semak belukar di depan guha untuk mencegah orang memasuki guha. Dan dia membiarkan mayat delapan orang itu di dalam guha karena kalau ada orang yang nekat membabat semak belukar masuk guha, tentu akan takut kalau melihat delapan buah kerangka manusia itu. Kemudian, menurut perkiraanku, agar dia tidak lupa tempat ini, dia sengaja membuat peta itu.”

“Akan tetapi, mengapa di Bukit Sorga dekat kota raja itu terdapat peti yang di dalamnya ada tulisan THAI SAN?”

“Agaknya Thaikam Bong memang cerdik dan licik. Dia juga memperhitungkan bahwa peta yang dibuatnya itu mungkin membawa orang ke Bukit Sorga yang berada di sebelah selatan kota raja. Dan mungkin karena dia sudah tua, dia hendak mewariskan peta itu kepada orang lain dan dia memberi tanda THAI SAN pada peti itu kalau-kalau pewarisnya salah memperhitungkan dan mendapatkan peti kosong itu. Juga tentu saja dia hendak mengelabuhi orang-orang lain, kalau-kalau peta itu terjatuh ke tangan orang lain.”

“Bagus, Ceng-moi! Jasamu sungguh besar sekali terhadap Kerajaan. Engkau telah membantu Kerajaan dengan menemukan kembali harta karun yang menjadi hak milik Kerajaan. Aku akan melaporkan kepada Sribaginda Kaisar akan jasa besarmu ini agar engkau mendapat imbalan yang sepantasnya!” Yang bicara itu adalah Yauw Tek atau Pangeran Youtechin yang tiba-tiba muncul dan sudah berdiri di hadapan Ceng Ceng dan Cun Giok.

Ceng Ceng dan Cun Giok memandang kepada Pangeran Mongol itu, lalu kepada Li Hong yang datang dan berjalan perlahan menghampiri mereka. Li Hong tersenyum-senyum dan tampak canggung dan malu-malu. Akan tetapi melihat betapa Cun Giok dan Ceng Ceng memandang kepadanya, ia segera berkata kepada mereka sambil tersenyum, namun ucapannya terdengar tegas.

“Enci Ceng dan Giok-ko, jangan memandang kepadaku seperti itu! Urusan harta karun adalah urusan yang dapat dibicarakan antara Enci Ceng dan Pangeran, sama sekali aku tidak ikut campur. Hanya kuminta Pangeran tidak memusuhi kalian dan kuharap saja agar urusan itu dapat diselesaikan dengan cara damai. Enci Ceng adalah kakak angkatku dan Giok-ko adalah kakak misanku, kalian berdua di satu pihak adalah kakak-kakakku, dan di lain pihak, Pangeran Youtechin adalah... calon suamiku. Karena itu, dalam urusan harta karun ini aku tidak mencampuri. Aku akan membantu kalian berdua kalau memperebutkan harta karun dengan orang lain, demikian pula aku akan membantu Pangeran Youtechin kalau dia berebutan dengan pihak lain. Nah, terserah, akan tetapi harap dapat menyelesaikan urusan ini dengan damai tanpa permusuhan.”

cerita silat online karya kho ping hoo

Cun Giok dan Ceng Ceng merasa terharu. Bagaimanapun juga, Li Hong sudah bicara dengan sejujurnya, mengakui bahwa ia telah menerima pangeran itu sebagai calon suaminya! Mereka harus menghormati cinta kasih Li Hong yang dijatuhkan kepada pangeran, pemuda yang tampan dan lihai, juga berpenampilan lembut itu. Ceng Ceng maju menghampiri Li Hong dan dua orang gadis itu saling rangkul.

“Hong-moi, aku mengerti dan tidak akan membawamu dalam urusan ini,” kata Ceng Ceng sambil mencium pipi adik angkatnya itu.

Setelah mencium adik angkatnya, Ceng Ceng lalu menghadapi Pangeran Youtechin dan berkata lembut. “Pangeran...”

“Ah Ceng-moi. Biarlah engkau mengenal aku sebagai Yauw Tek saja.”

“Akan tetapi engkau adalah seorang Pangeran, maka sudah semestinya kalau aku menyebutmu Pangeran. Pangeran, kata-katamu tadi keliru. Aku mencari harta karun sama sekali bukan untuk pemerintah Kerajaan Mongol, dan juga harta karun itu milik Kerajaan Sung. Mendiang ayahku menyita dari seorang Thaikam yang korup, menyita petanya maka dapat dikatakan bahwa harta karun itu yang berhak adalah mendiang ayahku. Sebagai pewarisnya, akulah yang berhak memiliki harta karun ini. Kukira hal ini tidak perlu kujelaskan lebih banyak karena ketika engkau muncul sebagai Yauw Tek, engkau sudah mendengar semua.”

“Aku mengerti, Ceng-moi. Akan tetapi perlu kau ingat bahwa harta karun itu berasal dari milik Kerajaan Sung yang telah dikalahkan Kerajaan Goan kami, maka semua milik Kerajaan Sung yang kalah sudah sewajarnya menjadi rampasan dan milik kerajaan yang menang. Selain itu, harta karun itu terdapat di Thai-san yang juga menjadi wilayah Kerajaan Goan, maka pemilik yang berhak dan sah adalah Kerajaan Goan,” bantah Pangeran Youtechin.

“Nanti dulu, Pangeran Youtechin!” Cun Giok berkata penasaran akan tetapi suaranya tetap halus karena dia ingat bahwa pangeran itu adalah calon suami adik misannya dan harus dia akui bahwa pendapat pangeran itu dipandang dari pihak Kerajaan Mongol memang tidak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi dipandang dari pihak rakyat Han tentu saja membuat hatinya penasaran. “Pendapatmu itu memang benar, akan tetapi itu kebenaran pemerintah yang menang dan menjadi penjajah. Tentu engkau tahu benar bahwa harta karun itu didapatkan oleh Kerajaan Sung yang telah jatuh dari milik rakyat jelata. Maka setelah kerajaan itu jatuh, sudah sepatutnya kalau harta karun itu dikembalikan kepada rakyat! Adapun tempat ditemukannya harta karun ini, yaitu Pegunungan Thai-san, sejak jaman dahulu adalah milik rakyat jelata di mana mereka terlahir dan mati. Ini adalah tanah air dan tanah tumpah darah rakyat jelata, maka segala sesuatu yang didapatkan di tanah air ini adalah hak milik rakyat. Kami membantu Adik Liu Ceng Ceng mendapatkan harta karun yang petanya ditinggalkan ayahnya dan setelah kami temukan, bagaimana mungkin hendak kau minta begitu saja untuk diserahkan kepada kerajaanmu? Ini sungguh tidak adil!”

Sebelum Pangeran Youtechin menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa aneh. Tawa yang keluar dari dua mulut, akan tetapi begitu aneh tawa itu sehingga menyeramkan, apalagi yang satu tawanya seperti tangis. Muncullah sepasang kakek dan nenek iblis yang bukan lain adalah Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli!

“Heh-heh, Pangeran, mengapa Paduka masih mengajak mereka bercakap-cakap? Rampas saja harta karun itu, kami akan membantu Paduka dan hadiahnya bagi saya cukup serahkan gadis ahli obat itu kepada saya!” kata Cui-beng Kui-ong.

“Hi-hik, benar sekali, Pangeran. Dan serahkan pemuda itu sebagai hadiah kepada saya!” Song-bun Moli tidak mau kalah.

Akan tetapi pada saat itu tampak banyak orang berlompatan dan sebentar saja puluhan orang sudah berdiri di belakang Cun Giok dan Ceng Ceng. Mereka adalah rombongan Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai yang diwakili Thian-li Niocu dan para muridnya, Bu-tong-pai yang diwakili oleh Liong Kun dan Thio Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin. Tampak pula Bu-tek Sin-liong Cu Liong bersama puterinya, Cu Ai Yin, akan tetapi datuk ini berdiri di tempat netral, agaknya tidak berpihak kepada siapa pun.

“Pangeran, mereka itu hendak memberontak terhadap kerajaan kita!” kata Kong Sek dengan nada marah. Agaknya, melihat Cun Giok, dia sudah tidak sabar untuk berdiam diri dan hendak mempergunakan kekuatan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli untuk membunuh Cun Giok sebagai balas dendam terhadap kematian ayahnya.

Akan tetapi Pangeran Youtechin memberi isyarat dengan tangan agar Kong Sek dan dua orang kakek nenek iblis itu tidak turun tangan. Lalu dia memandang kepada mereka yang baru datang itu. Thai-san Sianjin Thio Kong, ketua Thai-san-pai berkata dengan lantang namun cukup menghormat.

“Pangeran, kami sama sekali tidak hendak memberontak terhadap pemerintah! Kami hanya membenarkan Nona Liu Ceng Ceng bahwa harta karun itu adalah berasal dari rakyat jelata dan harus kembali kepada rakyat yang menjadi pemiliknya. Ada pun harta karun itu ditemukan di Thai-san, maka kami Thai-san-pai yang sudah ratusan tahun tinggal di sini, dapat mengatakan bahwa tempat ini merupakan daerah wilayah kami. Kami percaya bahwa pemerintah tentu menghormati hak rakyat atas daerah yang menjadi kekuasaannya.”

“Kami mendukung Nona Liu Ceng Ceng, dan kalau ada yang hendak merampas harta karun milik rakyat dari tangannya, kami siap untuk membelanya!” kata Thian-li Niocu wakil dari Go-bi-pai. Terdengar suara berisik karena semua yang diam-diam anti penjajahan mendukung Ceng Ceng.

Menghadapi semua ucapan itu dan melihat puluhan pasang mata memandangnya dengan sikap penasaran, Pangeran Youtechin tampak tenang saja. Berbeda dengan Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang sudah marah dan ingin menerjang dan mengamuk, Pangeran itu kembali memberi isyarat kepada tiga orang pengikutnya untuk berdiam diri, kemudian dengan sikap tenang dan suaranya lantang namun mulutnya tersenyum dia berkata.

“Kami mengerti bahwa kalian tidak hendak memberontak terhadap pemerintah, dan kami juga tidak ingin bermusuhan dengan para tokoh dunia kang-ouw! Kalian menghendaki harta karun untuk diberikan kepada rakyat jelata, sebaliknya pemerintah menghendaki harta karun itu juga hendak dipergunakan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mengatur negara dari rakyat, untuk menyjahterakan rakyat memerlukan biaya yang amat besar. Harta karun itu memang peninggalan Kerajaan Sung, maka setelah Kerajaan Sung kalah, maka dengan sendirinya harta karun itu menjadi milik kerajaan kami yang menang. Aku, Pangeran Youtechin, sama sekali tidak menginginkan harta itu untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk diserahkan kepada kerajaan, kepada pemerintah!”

Ketika pangeran itu berhenti sebentar, kesempatan ini dipergunakan oleh Cun Giok untuk menjawab. “Pangeran Youtechin, kami tidak dapat membantah kebenaran ucapan Paduka, akan tetapi kebenaran itu dipandang dari pihak kerajaan. Adik Ceng Ceng juga memiliki kebenaran pendiriannya sendiri. Ia menerima warisan peta dari ayahnya dengan pesan khusus, maka sebagai anak yang berbakti tentu saja ia harus melaksanakan pesan atau perintah yang diwariskan ayahnya. Adapun kami semua yang membela Adik Ceng Ceng juga mempunyai kewajiban, yaitu berbakti kepada bangsa dan tanah air, membela kepentingan rakyat, maka kami mendukung niat Adik Ceng Ceng untuk mengembalikan harta karun kepada rakyat jelata.”

Pangeran Youtechin mengangguk-angguk. “Dua pihak memiliki alasan dan pendirian masing-masing, itu hal yang wajar. Tidak ada yang dapat disalahkan karena alasan masing-masing benar. Kalian adalah pendekar-pendekar yang setia membela kepentingan rakyat akan tetapi lupa bahwa kalian juga berkewajiban untuk membela dan setia kepada pemerintah yang berkuasa dan berwenang. Adapun kami tentu saja berkewajiban untuk berbakti kepada pemerintah kerajaan kami dan sekaligus juga mementingkan kesejahteraan rakyat yang akan dilaksanakan dan diatur oleh pemerintah.”

“Pangeran, kita hajar saja pemberontak-pemberontak ini!” kata Cui-beng Kui-ong yang sudah tidak sabar lagi.

“Cui-beng Kui-ong, kami bukan pemberontak! Kami tidak takut kepadamu demi membela hak kami!” Ketua Thai-san-pai juga berseru lantang.

Li Hong yang melihat betapa kedua pihak mulai panas, meninggalkan Ceng Ceng dan melompat ke dekat Pangeran Youtechin. Ia menatap wajah pangeran itu dan berkata lirih. “Pangeran, jangan memusuhi kakak misanku Pouw Cun Giok dan kakak angkatku, Liu Ceng Ceng. Ingat akan janjimu kepadaku!”

Pangeran itu tersenyum, menyentuh lengan Li Hong dan mengangguk. Kemudian dia menoleh ke arah Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang agaknya sudah siap dengan senjata masing-masing. “Aku perintahkan kalian jangan menyerang siapapun juga sebelum aku kehendaki!”

Kakek dan nenek itu terpaksa menaati, mereka mengangguk dan bahkan melangkah ke belakang. Biarpun dengan bersungut-sungut karena dia tidak diberi kesempatan menyerang musuh besarnya, yaitu Pouw Cun Giok, Kong Sek terpaksa mundur pula mengikuti kakek dan nenek iblis itu. Setelah itu, Pangeran Youtechin kembali menghadapi Ceng Ceng, Cun Giok para tokoh kang-ouw yang mendukung mereka.

“Cu-wi Enghiong (Para Pendekar Sekalian)! Sesungguhnya, yang langsung berurusan tentang harta karun adalah Nona Liu Ceng Ceng dan kami. Nona Liu Ceng Ceng sebagai pewaris ayahnya yang akan melaksanakan pesan ayahnya dan kami sebagai wakil kerajaan yang bertindak atas nama Sribaginda Kaisar. Ketahuilah bahwa kami sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan Nona Liu Ceng Ceng yang merupakan sahabat baik kami dan terutama sekali ia adalah kakak angkat dari calon isteriku, Nona Tan Li Hong. Juga kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan para pendekar dan tokoh kang-ouw yang mendukung Nona Liu Ceng Ceng. Kami harap Cu-wi (Anda Sekalian) juga tidak mengambil sikap bermusuhan dengan kami. Sama sekali bukan berarti bahwa kami merasa takut. Kami tidak takut, akan tetapi kalau sampai di antara kita terjadi bentrokan dan pertempuran, lalu kami tewas, akibatnya akan hebat. Kami adalah wakil pemerintah yang mendapat hak dari Sri Baginda Kaisar, maka kalau sampai kami tewas di tangan kalian, tentu kalian dianggap pemberontak dan pemerintah akan mengerahkan bala tentara untuk membasmi kalian! Ini bukan gertakan belaka, melainkan peringatan agar hal itu tidak sampai terjadi. Sekarang begini saja. Karena kedua pihak memiliki alasan masing-masing yang kuat, maka pertentangan karena perebutan harta karun itu kita selesaikan dengan cara yang adil dan gagah seperti biasa dilakukan di dalam dunia persilatan. Agar jangan menimbulkan banyak korban dan permusuhan besar, maka aku, Pangeran Youtechin dan dalam hal ini menjadi utusan istimewa dari Sri Baginda Kaisar, mengajak Nona Liu Ceng Ceng untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) untuk menentukan siapa yang menang dan berhak mendapatkan harta karun itu. Tentu saja, Nona Liu Ceng Ceng boleh memilih wakilnya yang akan bertanding melawanku.”

Mendengar ucapan yang panjang lebar dari pangeran itu, para tokoh kang-ouw dan anak buah mereka saling berbisik sehingga keadaan menjadi agak berisik. Namun pada umumnya, mereka terkesan dan menganggap pangeran itu bicara dengan adil dan gagah seperti sikap seorang pendekar tulen. Diam-diam mereka merasa heran. Tadinya, dalam anggapan mereka, semua orang Mongol, terutama para pembesar dan bangsawannya, adalah orang-orang yang angkuh, sombong dan sewenang-wenang. Akan tetapi sekarang muncul seorang pangeran selain tampan iuga bersikap ramah dan dapat mengambil keputusan bijaksana dan adil, tidak hendak mencari kemenangan sendiri.

Para pimpinan rombongan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw seperti Thai-san Sianjin Thio Kong Ketua Thai-san-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin, Kui-tung Sin-kai Ketua Ang-tung Kai-pang, Thian-li Niocu tokoh Go-bi-pai, dua orang pemuda wakil Bu-tong-pai dan yang lain-lain mengangguk-angguk kagum dan setuju dengan peraturan yang dikemukakan Pangeran Youtechin untuk mencegah pertempuran dan permusuhan dengan pi-bu. Bahkan Bu-tek Sin-liong yang berwatak keras dan jujur, tidak berpihak itu tak dapat menahan kegembiraannya untuk menonton orang mengadu ilmu silat dan berseru,

“Bagus! Bagus sekali diadakan pi-bu itu!”

Ceng Ceng melangkah maju hendak menyambut tantangan pi-bu itu, akan tetapi Cun Giok memegang lengannya.

“Giok-ko, akulah yang berkepentingan dan aku yang ditantang pi-bu!” kata Ceng Ceng.

“Ceng-moi, kepentinganmu adalah kepentinganku juga, dan tadi Pangeran Youtechin mengatakan bahwa engkau boleh mewakilkan orang lain untuk bertanding melawannya. Biarlah aku yang mewakilimu, Ceng-moi.” Tanpa menanti jawaban, Cun Giok melompat ke depan pangeran itu.

“Pangeran, akulah yang mewakili Nona Liu Ceng Ceng untuk bertanding melawanmu!” katanya lantang.

“Ah, sudah kuduga engkau yang akan maju, Pouw Cun Giok! Aku gembira sekali karena aku tahu bahwa engkau yang berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan) dan merupakan lawan yang amat lihai dan aku senang sekali tidak harus bertanding melawan Nona Liu Ceng Ceng!” Kata Pangeran Youtechin yang sudah banyak mendengar tentang Cun Giok dari Li Hong. Memang dia ingin sekali mengukur sampai di mana kepandaian pendekar yang dipuji-puji oleh Li Hong yang merupakan adik misan pendekar itu...

Loading...