Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 37 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

37. PIE BU PEREBUTAN HARTA KARUN

SETELAH berkata demikian, Pangeran Youtechin menoleh kepada para pembantunya dan berkata dengan nada tegas. “Sekali lagi kuperintahkan agar kalian tidak ada yang campur tangan dalam pi-bu ini!”

Melihat sikap Pangeran Youtechin ini, Cun Giok segera memutar tubuh menghadapi para pendukung Ceng Ceng dan berseru dengan lantang. “Aku mohon Cu-wi (Anda Sekalian) dapat menjaga nama dan kehormatan kita dan tidak turun tangan membantuku dalam pi-bu ini!”

Kini dua orang pemuda yang tampan gagah itu saling berhadapan dalam jarak kurang lebih tiga meter. Karena keduanya maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan tangguh, Pangeran Youtechin mendengar kelihaian Cun Glok dari Li Hong sebaliknya Cun Giok mendengar akan kelihaian pangeran itu dari Ceng Ceng, kedua orang pemuda itu tidak berani memandang rendah lawan.

Pangeran Youtechin lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan terbuka di kanan kiri pinggang. Cun Giok juga memasang kuda-kuda yang disebut pembukaan “Menunggang Kuda” yang sama karena itulah kuda-kuda terbaik untuk menghadapi serangan tangan kosong lawan. Melihat betapa pangeran itu tidak mencabut pedang, Cun Giok juga tidak mencabut pedangnya. Setelah dalam kedudukan memasang kuda-kuda seperti itu untuk sejenak dan hanya saling pandang dengan sinar mata tajam seolah hendak mengukur kepandaian lawan lewat pandang mata masing-masing, Pangeran Youtechin berkata,

“Bu-eng-cu, silakan!” Ucapan ini merupakan tantangan halus agar lawan mulai menyerang.

“Pangeran, aku telah siap, silakan!” Cun Giok balas menantang.

Mendengar ini, Pangeran Youtechin perlahan-lahan menggerakkan kedua tangan di kanan kiri pinggang itu ke atas seperti menarik sesuatu yang berat ke atas sampai depan dada, lalu membalikkan kedua tangan seperti menekan benda berat ke bawah. Dengan gerakan ini dia menghimpun tenaga sakti menjalar ke dalam kedua lengan tangannya.

Melihat ini, Cun Giok mengangkat kedua tangan tinggi ke atas kepala lalu menurunkan perlahan-lahan dan mengumpulkan pula tenaga saktinya, siap menyambut serangan lawan karena dari gerakan pangeran tadi dia dapat menduga bahwa lawan akan menyerang dengan pukulan tenaga sakti. Benar saja dugaannya ketika pangeran itu berseru nyaring.

“Sambut seranganku ini!” Pangeran Youtechin menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan tanpa mengubah posisi kakinya, lalu disusul dorongan tangan kiri.

“Wuuuttt! Wuuuttt!”

Angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Cun Giok, akan tetapi Si Pendekar Tanpa Bayangan ini sudah menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.

“Syuuuttt! Syuuuttt!”

Dari kedua telapak tangannya juga menyambar tenaga yang tak kalah hebatnya.

“Dess! Desss!”

Dua tenaga sakti bertemu di udara dan kedua orang pemuda itu merasa betapa tubuh mereka tergetar. Mereka merasa penasaran dan kini mereka saling serang menggunakan tenaga sakti, menyerang dalam jarak tiga meter. Angin pukulan mereka menderu-deru sampai terasa oleh mereka yang menonton, akan tetapi tak seorang pun dari mereka berdua yang dapat terdorong oleh serangan lawan. Karena merasa penasaran, tiba-tiba kedua orang pemuda itu berseru nyaring sambil mendorongkan kedua tangan mereka.

“Wuuuuttt! Bresss!”

Dua tenaga dahsyat bertemu dan keduanya terpental dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Ternyata tenaga sakti mereka seimbang dan hal ini diketahui pula oleh para tokoh yang menjadi penonton.

Pangeran Youtechin merasa penasaran sekali. Selama dia meninggalkan Tibet, dalam perantauannya belum pernah dia bertemu orang yang mampu menandingi kekuatan tenaga saktinya. Maka, biarpun dengan wajah berseri karena disamping rasa penasarannya, dia juga merasa kagum dan gembira mendapatkan lawan seimbang, dia lalu melompat dan kini berhadapan langsung dengan Cun Giok. Dia kini menyerang dengan pukulan langsung dengan jurus Hio-te-hoan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga), tangan kanannya meluncur ke depan mencengkeram ke arah dada lawan. Serangan ini cepat dan kuat sekali.

Cun Giok juga mengerahkan tenaga dan cepat dia menangkis dengan jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung, Timbun Lautan) yang merupakan tangkisan dan sekaligus ketika tangan kiri menangkis serangan lawan, tangan kanannya menghantam dari atas ke bawah ke arah kepala pangeran itu.

“Haitt!” Pangeran Youtechin cepat mengelak dengan gerakan Kim-le-coan-po (lkan Emas Terjang Ombak), lalu sambil membalikkan tubuh dia balas menyerang dengan jurus Sin-liong-pai-bwe (Naga Sakti Sabetkan Ekor), kakinya mencuat dalam tendangan kilat yang hebat sekali. Saking cepatnya datangnya tendangan, Cun Giok tidak sempat mengelak dan menggunakan lengannya untuk menangkis.

“Dukkk!!” Kini keduanya serang menyerang dengan gerakan cepat dan kuat sehingga terdengar bunyi dak-duk-dak-duk berulang-ulang.

Hebat bukan main pertandingan silat tangan kosong itu. Puncak pertandingan adalah ketika Pangeran Youtechin bersilat dengan ilmu silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin), yang dilawan oleh Cun Giok dengan ilmu silat Ngo-heng-kun. Tidak kurang dari limapuluh jurus mereka saling serang dalam keadaan seimbang. Tiba-tiba terdengar suara berdebuk dua kali dan keduanya terhuyung ke belakang. Keduanya terhuyung dengan muka berubah agak pucat. Cun Giok menekan dada kiri dengan tangan kanan sedangkan pangeran itu menekan dada kanan dengan tangan kirinya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Ternyata dalam saat yang hampir berbareng, Cun Giok terpukul dada kirinya dan Pangeran Youtechin terpukul dada kanannya! Sejenak keduanya menggosok-gosok bagian dada yang terkena pukulan.

“Pangeran, ilmu silatmu sungguh hebat, aku merasa kagum!” kata Cun Giok dengan jujur.

“Jangan terlalu merendahkan diri, Bu-eng-cu! Aku juga terkena pukulanmu. Keadaan kita masih seimbang. Mari kita tentukan siapa yang lebih unggul dengan senjata kita!” Setelah berkata demikian, pangeran itu menghunus pedangnya yang indah dan yang ujungnya bercabang.

Cun Giok juga mencabut Kim-kong-kiam yang bersinar emas. “Silahkan, Pangeran!” kata Cun Giok.

Li Hong sejak tadi mengamati pertandingan silat tangan kosong itu dengan muka penuh kecemasan. Hatinya merasa lega ketika kedua orang muda itu sama-sama terhuyung ke belakang dan agaknya hanya menderita luka ringan oleh pukulan masing-masing. Akan tetapi begitu melihat mereka berdua sudah mencabut pedang, kekhawatirannya memuncak dan ia tidak menahan diri lagi lalu berseru.

“Giok-ko, jangan bunuh suamiku! Pangeran, jangan bunuh kakak misanku!!” Gadis ini setelah berseru nyaring lalu menangis. Akan tetapi agaknya seruan yang nyaring, itu tidak didengarkan atau tidak diperhatikan dua orang muda itu karena Pangeran Youtechin telah mulai menyerang dengan pedangnya. Cun Giok menangkis dengan cepat.

“Tranggg...!!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua orang muda yang merasa betapa tangan mereka tergetar, cepat memeriksa pedang masing-masing. Akan tetapi ternyata pedang mereka tidak rusak oleh benturan yang amat kuat tadi. Maka kembali mereka sudah saling menyerang.

Ceng Ceng merangkul Li Hong dan menghiburnya. “Hong-moi, jangan cengeng. Malu ditonton banyak orang. Tenanglah, kukira mereka tidak akan saling bunuh karena mereka berdua menyayangmu. Kalau hanya terluka, hal itu sudah wajar dalam sebuah pi-bu. Mudah-mudahan saja, siapa pun di antara mereka yang kalah, tidak akan menderita luka parah.”

Pertandingan pedang itu benar-benar mengasyikkan akan tetapi juga menegangkan untuk ditonton. Bergantian mereka menyerang dengan menggunakan jurus-jurus terampuh.

“Hyaatt...!”

Pangeran itu menyerang dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat). Pedangnya diputar lalu tiba-tiba pedang itu meluncur ke arah tenggorokan lawan. Cun Giok cepat menggerakkan jurus In-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari) dan beruntun dia menangkis pedang pangeran itu yang menyerang bertubi-tubi sampai tiga kali. Terdengar bunyi berdenting-denting ketika berturut-turut kedua pedang itu beradu. Kemudian Cun Giok membalas. Dia menyerang dengan jurus Liu-seng-kan-goat (Bintang Mengejar Bulan), serangannya berkelanjutan karena begitu dielakkan lawan, pedangnya terus melakukan pengejaran ke mana pun lawan bergerak!

Diserang secara berkelanjutan itu, Pangeran Youtechin merasa kewalahan dan terpaksa dia memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Dia menangkis dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Cahaya Putih Menutup Matahari) sehingga kembali terdengar suara berdentangan ketika sepasang pedang itu saling bertemu dan mengeluarkan bunga api yang berpijar-pijar.

Setelah mereka bertanding pedang selama limapuluh jurus lebih, tiba-tiba Pangeran Youtechin mengubah gerakan pedangnya dan kini dia mainkan ilmu pedang Liap-in-kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengejar Awan) yang gerakannya aneh dan pedang itu sukar dibendung karena menyerang dengan bertubi-tubi. Menghadapi ilmu pedang yang hebat ini, Cun Giok lalu mainkan Ngo-heng Kiam-sut (Ilmu Pedang Lima Anasir) yang sudah disempurnakan oleh Pak-kong Lojin, kakek gurunya yang kemudian juga menggemblengnya.

Dua macam ilmu pedang itu sama dahsyatnya. Lima orang tokoh Hoa-san-pai, yaitu Thian-huo Tosu, Thian-kim Tosu, Thian-bhok Tosu, Thian-sui Tosu, dan Thian-tho Tosu yang dikenal sebagai Hoa-san Ngo-heng-tin juga mahir ilmu pedang Ngo-heng. Akan tetapi melihat Cun Giok mainkan ilmu pedang Ngo-heng itu, mereka terkagum-kagum. Memang pada dasarnya bersumber sama, akan tetapi pada ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu terdapat banyak kembangan yang tidak mereka kenal dan mereka harus mengakui bahwa Ngo-heng Kiam-sut yang dimainkan Cun Giok sungguh amat dahsyat dan jauh Iebih rumit.

Dua orang muda itu memang hebat. Tingkat ilmu silat dan tenaga sakti mereka berimbang sehingga sukarlah mendesak lawan. Setelah bertanding kurang lebih seratus jurus, Cun Giok yang sudah mengambil keputusan untuk memenangkan Ceng Ceng walaupun dia akan membuat kecewa adik misannya, segera mulai mengerahkan gin-kang yang dikuasainya. Memang dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), Cun Giok telah memiliki tingkat yang amat tinggi sehingga karena kecepatan gerakannya, dia mendapat julukan Bu-eng-cu atau Si Tanpa Bayangan!

Maka, begitu dia mengerahkan gin-kangnya dan memainkan Ngo-heng Kiam-sut, Pangeran Youtechin terkejut bukan main. Dia merasa seolah-olah bertanding melawan bayangan yang kadang-kadang lenyap dan tahu-tahu berada di belakang atau kanan kirinya. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar pantas disebut Pendekar Tanpa Bayangan karena memiliki gin-kang yang luar biasa. Dia memutar pedangnya dengan cepat namun tetap saja dia dibuat pusing dengan ke¬cepatan gerakan lawannya.

Para penonton kini memandang dengan penuh kagum. Dua gulungan sinar pedang itu bagaikan seekor naga emas dan naga perak melayang-layang dan saling belit, saling sambar dengan dahsyatnya. Kalau tubuh Sang Pangeran masih tampak dan berkelebatan terbungkus sinar pedang, tubuh Bu-eng-cu Pouw Cun Giok benar-benar lenyap tak tampak bayangannya! Pangeran Youtechin melawan mati-matian dan lebih mengandalkan telinganya daripada matanya karena tubuh lawan yang tidak dapat dilihatnya itu masih dapat dia tangkap dengan pendengarannya.

“Cringgg....!!”

Tiba-tiba terdengar bunyi berdencing nyaring, tampak bunga api berpijar disusul teriakan Pangeran Youtechin karena dia merasa pergelangan tangan kanannya tertotok dan pedangnya terpental ke atas. Sebelum dia sempat menangkap kembali pedangnya yang terbang karena dihantam pedang lawan, Cun Giok sudah mendahuluinya melompat ke atas dan ketika dia turun kembali, pedang milik pangeran itu telah berada di tangan kirinya!

Dengan terampasnya pedang, semua orang juga mengetahui bahwa pangeran itu telah dikalahkan Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang mewakili Liu Ceng Ceng! Pangeran Youtechin juga mengakui hal ini dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih kepada Cun Giok yang telah mengalahkannya tanpa melukainya. Dia tahu bahwa jika Cun Giok mau, dia tentu sudah roboh terluka.

Li Hong melompat dan sudah berada dekat Cun Giok. Ia menjulurkan tangannya minta pedang pangeran itu dikembalikan. Cun Giok dapat menanggapi gerakan Li Hong tanpa kata itu. Dia menyerahkan pedang rampasan kepada adik misannya. Li Hong menerima pedang dan menghampiri Pangeran Youtechin. Diserahkannya pedang itu kepada Sang Pangeran sambil berkata lembut,

“Pangeran, engkau telah kalah.”

Pangeran Youtechin menerima pedang itu sambil menghela napas panjang. Dia memandang kepada Pouw Cun Giok yang telah berdiri dekat Ceng Ceng, lalu berkata nyaring agar terdengar oleh semua orang yang berada di situ.

“Bu-eng-cu, kami mengaku kalah dan sesuai dengan perjanjian, harta karun itu boleh dimiliki Nona Liu Ceng Ceng dengan sah. Kalau ada pihak yang hendak merebutnya, kami akan membantu Nona Liu untuk menentang mereka!”

Mendengar ucapan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli mengerutkan alisnya dan merasa penasaran sekali. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak berani menentang pangeran yang memegang tanda kekuasaan Kaisar.

“Pangeran, kami mohon diri, akan kembali ke Bukit Sorga,” kata Cui-beng Kui-ong dan dengan muka keruh dia dan Song-bun Moli berkelebat dan lenyap dari situ.

Kong Sek yang merasa penasaran sekali, terutama kepada Pouw Cun Giok namun juga merasa tidak berdaya untuk membalas dendam karena tingkat kepandaian Cun Giok jauh melampaui tingkatnya, memandang kepada Pendekar Tanpa Bayangan dengan mata mencorong penuh kebencian. Dia lalu menudingkan telunjuknya kepada musuh besarnya itu dan berkata dengan marah.

“Jahanam Pouw Cun Giok, kau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku datang mengambil kepalamu untuk membalas kematian ayah!” Setelah berkata demikian, dia memberi hormat kepada Pangeran Youtechin lalu meninggalkan tempat itu.

Kini Liu Ceng Ceng menghadapi para tokoh kang-ouw yang tadi berdiri di belakangnya dan yang mendukungnya, mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat lalu berkata. “Cu-wi yang budiman, saya Liu Ceng Ceng atas nama mendiang ayah Liu Bok Eng berterima kasih sekali atas dukungan Cu-wi sehingga harta karun itu dapat saya peroleh untuk memenuhi pesan terakhir ayahku. Karena sekarang urusan mengenai harta karun telah dapat diselesaikan, maka saya harap tidak akan terjadi lagi keributan dan pertengkaran mengenai harta karun. Sekali lagi, banyak terima kasih saya ucapkan kepada Cu-wi yang budiman.”

Para tokoh kang-ouw senang mendengar ucapan gadis itu dan mereka lalu meninggalkan bukit itu. Diam-diam Bu-tek Sin-liong Cu Liong dan muridnya, Cu Ai Yin, juga telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit.

Kini yang masih berada di depan guha hanya Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng, berhadapan dengan Pangeran Youtechin dan Tan Li Hong. Pangeran Youtechin memandang Li Hong dengan wajah muram lalu berkata dengan suara mengandung kesedihan.

“Dinda Li Hong, sekarang sebaiknya engkau pulang dulu ke Coa-to (Pulau Ular). Aku harus kembali ke kota raja untuk mempertanggung-jawabkan kegagalanku mengemban tugas mendapatkan harta karun seperti yang diperintahkan Sribaginda Kaisar.”

Li Hong memegang kedua lengan pangeran itu, menatap wajah pangeran muda itu penuh kasih sayang lalu berkata. “Tidak, Pangeran. Aku harus ikut bersamamu ke kota raja!”

Pangeran itu merangkul kekasihnya. “Jangan, Adinda. Engkau pulanglah ke Pulau Ular dan tunggu di sana. Percayalah, kalau aku dapat terbebas dari hukuman karena gagal melaksanakan tugas, aku akan memberitahu kepada ayahku tentang perjodohan kita dan ayah pasti akan mengirim orang untuk menyampaikan pinangan secara resmi kepada orang tuamu dan kita dapat menikah dengan resmi.”

“Tidak, tidak, Pangeran!” Li Hong berkeras dan menyandarkan mukanya di pundak pangeran itu. Sepasang matanya menjadi merah dan tangisnya sudah berada di ambang pelupuk matanya. “Kalau engkau terhukum, biarlah aku juga menemanimu. Kita pertanggungjawabkan bersama. Aku akan membelamu sampai mati, Pangeran...” Li Hong menangis tersedu-sedu di dada Pangeran Youtechin.

Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang dengan terkejut dan heran. Mereka tertegun menyaksikan adegan itu. Melihat Li Hong menangis demikian sedihnya merupakan penglihatan yang luar biasa anehnya! Betapa kuat perkasanya cinta. Cinta membuat Li Hong yang tadinya merupakan seorang gadis yang pemberani, keras hati dan ganas itu menjadi demikian lemah dan cengeng! Hampir mereka tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri keadaan Li Hong di saat itu...

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 37

37. PIE BU PEREBUTAN HARTA KARUN

SETELAH berkata demikian, Pangeran Youtechin menoleh kepada para pembantunya dan berkata dengan nada tegas. “Sekali lagi kuperintahkan agar kalian tidak ada yang campur tangan dalam pi-bu ini!”

Melihat sikap Pangeran Youtechin ini, Cun Giok segera memutar tubuh menghadapi para pendukung Ceng Ceng dan berseru dengan lantang. “Aku mohon Cu-wi (Anda Sekalian) dapat menjaga nama dan kehormatan kita dan tidak turun tangan membantuku dalam pi-bu ini!”

Kini dua orang pemuda yang tampan gagah itu saling berhadapan dalam jarak kurang lebih tiga meter. Karena keduanya maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan tangguh, Pangeran Youtechin mendengar kelihaian Cun Glok dari Li Hong sebaliknya Cun Giok mendengar akan kelihaian pangeran itu dari Ceng Ceng, kedua orang pemuda itu tidak berani memandang rendah lawan.

Pangeran Youtechin lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan terbuka di kanan kiri pinggang. Cun Giok juga memasang kuda-kuda yang disebut pembukaan “Menunggang Kuda” yang sama karena itulah kuda-kuda terbaik untuk menghadapi serangan tangan kosong lawan. Melihat betapa pangeran itu tidak mencabut pedang, Cun Giok juga tidak mencabut pedangnya. Setelah dalam kedudukan memasang kuda-kuda seperti itu untuk sejenak dan hanya saling pandang dengan sinar mata tajam seolah hendak mengukur kepandaian lawan lewat pandang mata masing-masing, Pangeran Youtechin berkata,

“Bu-eng-cu, silakan!” Ucapan ini merupakan tantangan halus agar lawan mulai menyerang.

“Pangeran, aku telah siap, silakan!” Cun Giok balas menantang.

Mendengar ini, Pangeran Youtechin perlahan-lahan menggerakkan kedua tangan di kanan kiri pinggang itu ke atas seperti menarik sesuatu yang berat ke atas sampai depan dada, lalu membalikkan kedua tangan seperti menekan benda berat ke bawah. Dengan gerakan ini dia menghimpun tenaga sakti menjalar ke dalam kedua lengan tangannya.

Melihat ini, Cun Giok mengangkat kedua tangan tinggi ke atas kepala lalu menurunkan perlahan-lahan dan mengumpulkan pula tenaga saktinya, siap menyambut serangan lawan karena dari gerakan pangeran tadi dia dapat menduga bahwa lawan akan menyerang dengan pukulan tenaga sakti. Benar saja dugaannya ketika pangeran itu berseru nyaring.

“Sambut seranganku ini!” Pangeran Youtechin menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan tanpa mengubah posisi kakinya, lalu disusul dorongan tangan kiri.

“Wuuuttt! Wuuuttt!”

Angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Cun Giok, akan tetapi Si Pendekar Tanpa Bayangan ini sudah menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.

“Syuuuttt! Syuuuttt!”

Dari kedua telapak tangannya juga menyambar tenaga yang tak kalah hebatnya.

“Dess! Desss!”

Dua tenaga sakti bertemu di udara dan kedua orang pemuda itu merasa betapa tubuh mereka tergetar. Mereka merasa penasaran dan kini mereka saling serang menggunakan tenaga sakti, menyerang dalam jarak tiga meter. Angin pukulan mereka menderu-deru sampai terasa oleh mereka yang menonton, akan tetapi tak seorang pun dari mereka berdua yang dapat terdorong oleh serangan lawan. Karena merasa penasaran, tiba-tiba kedua orang pemuda itu berseru nyaring sambil mendorongkan kedua tangan mereka.

“Wuuuuttt! Bresss!”

Dua tenaga dahsyat bertemu dan keduanya terpental dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Ternyata tenaga sakti mereka seimbang dan hal ini diketahui pula oleh para tokoh yang menjadi penonton.

Pangeran Youtechin merasa penasaran sekali. Selama dia meninggalkan Tibet, dalam perantauannya belum pernah dia bertemu orang yang mampu menandingi kekuatan tenaga saktinya. Maka, biarpun dengan wajah berseri karena disamping rasa penasarannya, dia juga merasa kagum dan gembira mendapatkan lawan seimbang, dia lalu melompat dan kini berhadapan langsung dengan Cun Giok. Dia kini menyerang dengan pukulan langsung dengan jurus Hio-te-hoan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga), tangan kanannya meluncur ke depan mencengkeram ke arah dada lawan. Serangan ini cepat dan kuat sekali.

Cun Giok juga mengerahkan tenaga dan cepat dia menangkis dengan jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung, Timbun Lautan) yang merupakan tangkisan dan sekaligus ketika tangan kiri menangkis serangan lawan, tangan kanannya menghantam dari atas ke bawah ke arah kepala pangeran itu.

“Haitt!” Pangeran Youtechin cepat mengelak dengan gerakan Kim-le-coan-po (lkan Emas Terjang Ombak), lalu sambil membalikkan tubuh dia balas menyerang dengan jurus Sin-liong-pai-bwe (Naga Sakti Sabetkan Ekor), kakinya mencuat dalam tendangan kilat yang hebat sekali. Saking cepatnya datangnya tendangan, Cun Giok tidak sempat mengelak dan menggunakan lengannya untuk menangkis.

“Dukkk!!” Kini keduanya serang menyerang dengan gerakan cepat dan kuat sehingga terdengar bunyi dak-duk-dak-duk berulang-ulang.

Hebat bukan main pertandingan silat tangan kosong itu. Puncak pertandingan adalah ketika Pangeran Youtechin bersilat dengan ilmu silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin), yang dilawan oleh Cun Giok dengan ilmu silat Ngo-heng-kun. Tidak kurang dari limapuluh jurus mereka saling serang dalam keadaan seimbang. Tiba-tiba terdengar suara berdebuk dua kali dan keduanya terhuyung ke belakang. Keduanya terhuyung dengan muka berubah agak pucat. Cun Giok menekan dada kiri dengan tangan kanan sedangkan pangeran itu menekan dada kanan dengan tangan kirinya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Ternyata dalam saat yang hampir berbareng, Cun Giok terpukul dada kirinya dan Pangeran Youtechin terpukul dada kanannya! Sejenak keduanya menggosok-gosok bagian dada yang terkena pukulan.

“Pangeran, ilmu silatmu sungguh hebat, aku merasa kagum!” kata Cun Giok dengan jujur.

“Jangan terlalu merendahkan diri, Bu-eng-cu! Aku juga terkena pukulanmu. Keadaan kita masih seimbang. Mari kita tentukan siapa yang lebih unggul dengan senjata kita!” Setelah berkata demikian, pangeran itu menghunus pedangnya yang indah dan yang ujungnya bercabang.

Cun Giok juga mencabut Kim-kong-kiam yang bersinar emas. “Silahkan, Pangeran!” kata Cun Giok.

Li Hong sejak tadi mengamati pertandingan silat tangan kosong itu dengan muka penuh kecemasan. Hatinya merasa lega ketika kedua orang muda itu sama-sama terhuyung ke belakang dan agaknya hanya menderita luka ringan oleh pukulan masing-masing. Akan tetapi begitu melihat mereka berdua sudah mencabut pedang, kekhawatirannya memuncak dan ia tidak menahan diri lagi lalu berseru.

“Giok-ko, jangan bunuh suamiku! Pangeran, jangan bunuh kakak misanku!!” Gadis ini setelah berseru nyaring lalu menangis. Akan tetapi agaknya seruan yang nyaring, itu tidak didengarkan atau tidak diperhatikan dua orang muda itu karena Pangeran Youtechin telah mulai menyerang dengan pedangnya. Cun Giok menangkis dengan cepat.

“Tranggg...!!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua orang muda yang merasa betapa tangan mereka tergetar, cepat memeriksa pedang masing-masing. Akan tetapi ternyata pedang mereka tidak rusak oleh benturan yang amat kuat tadi. Maka kembali mereka sudah saling menyerang.

Ceng Ceng merangkul Li Hong dan menghiburnya. “Hong-moi, jangan cengeng. Malu ditonton banyak orang. Tenanglah, kukira mereka tidak akan saling bunuh karena mereka berdua menyayangmu. Kalau hanya terluka, hal itu sudah wajar dalam sebuah pi-bu. Mudah-mudahan saja, siapa pun di antara mereka yang kalah, tidak akan menderita luka parah.”

Pertandingan pedang itu benar-benar mengasyikkan akan tetapi juga menegangkan untuk ditonton. Bergantian mereka menyerang dengan menggunakan jurus-jurus terampuh.

“Hyaatt...!”

Pangeran itu menyerang dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat). Pedangnya diputar lalu tiba-tiba pedang itu meluncur ke arah tenggorokan lawan. Cun Giok cepat menggerakkan jurus In-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari) dan beruntun dia menangkis pedang pangeran itu yang menyerang bertubi-tubi sampai tiga kali. Terdengar bunyi berdenting-denting ketika berturut-turut kedua pedang itu beradu. Kemudian Cun Giok membalas. Dia menyerang dengan jurus Liu-seng-kan-goat (Bintang Mengejar Bulan), serangannya berkelanjutan karena begitu dielakkan lawan, pedangnya terus melakukan pengejaran ke mana pun lawan bergerak!

Diserang secara berkelanjutan itu, Pangeran Youtechin merasa kewalahan dan terpaksa dia memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Dia menangkis dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Cahaya Putih Menutup Matahari) sehingga kembali terdengar suara berdentangan ketika sepasang pedang itu saling bertemu dan mengeluarkan bunga api yang berpijar-pijar.

Setelah mereka bertanding pedang selama limapuluh jurus lebih, tiba-tiba Pangeran Youtechin mengubah gerakan pedangnya dan kini dia mainkan ilmu pedang Liap-in-kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengejar Awan) yang gerakannya aneh dan pedang itu sukar dibendung karena menyerang dengan bertubi-tubi. Menghadapi ilmu pedang yang hebat ini, Cun Giok lalu mainkan Ngo-heng Kiam-sut (Ilmu Pedang Lima Anasir) yang sudah disempurnakan oleh Pak-kong Lojin, kakek gurunya yang kemudian juga menggemblengnya.

Dua macam ilmu pedang itu sama dahsyatnya. Lima orang tokoh Hoa-san-pai, yaitu Thian-huo Tosu, Thian-kim Tosu, Thian-bhok Tosu, Thian-sui Tosu, dan Thian-tho Tosu yang dikenal sebagai Hoa-san Ngo-heng-tin juga mahir ilmu pedang Ngo-heng. Akan tetapi melihat Cun Giok mainkan ilmu pedang Ngo-heng itu, mereka terkagum-kagum. Memang pada dasarnya bersumber sama, akan tetapi pada ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu terdapat banyak kembangan yang tidak mereka kenal dan mereka harus mengakui bahwa Ngo-heng Kiam-sut yang dimainkan Cun Giok sungguh amat dahsyat dan jauh Iebih rumit.

Dua orang muda itu memang hebat. Tingkat ilmu silat dan tenaga sakti mereka berimbang sehingga sukarlah mendesak lawan. Setelah bertanding kurang lebih seratus jurus, Cun Giok yang sudah mengambil keputusan untuk memenangkan Ceng Ceng walaupun dia akan membuat kecewa adik misannya, segera mulai mengerahkan gin-kang yang dikuasainya. Memang dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), Cun Giok telah memiliki tingkat yang amat tinggi sehingga karena kecepatan gerakannya, dia mendapat julukan Bu-eng-cu atau Si Tanpa Bayangan!

Maka, begitu dia mengerahkan gin-kangnya dan memainkan Ngo-heng Kiam-sut, Pangeran Youtechin terkejut bukan main. Dia merasa seolah-olah bertanding melawan bayangan yang kadang-kadang lenyap dan tahu-tahu berada di belakang atau kanan kirinya. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar pantas disebut Pendekar Tanpa Bayangan karena memiliki gin-kang yang luar biasa. Dia memutar pedangnya dengan cepat namun tetap saja dia dibuat pusing dengan ke¬cepatan gerakan lawannya.

Para penonton kini memandang dengan penuh kagum. Dua gulungan sinar pedang itu bagaikan seekor naga emas dan naga perak melayang-layang dan saling belit, saling sambar dengan dahsyatnya. Kalau tubuh Sang Pangeran masih tampak dan berkelebatan terbungkus sinar pedang, tubuh Bu-eng-cu Pouw Cun Giok benar-benar lenyap tak tampak bayangannya! Pangeran Youtechin melawan mati-matian dan lebih mengandalkan telinganya daripada matanya karena tubuh lawan yang tidak dapat dilihatnya itu masih dapat dia tangkap dengan pendengarannya.

“Cringgg....!!”

Tiba-tiba terdengar bunyi berdencing nyaring, tampak bunga api berpijar disusul teriakan Pangeran Youtechin karena dia merasa pergelangan tangan kanannya tertotok dan pedangnya terpental ke atas. Sebelum dia sempat menangkap kembali pedangnya yang terbang karena dihantam pedang lawan, Cun Giok sudah mendahuluinya melompat ke atas dan ketika dia turun kembali, pedang milik pangeran itu telah berada di tangan kirinya!

Dengan terampasnya pedang, semua orang juga mengetahui bahwa pangeran itu telah dikalahkan Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang mewakili Liu Ceng Ceng! Pangeran Youtechin juga mengakui hal ini dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih kepada Cun Giok yang telah mengalahkannya tanpa melukainya. Dia tahu bahwa jika Cun Giok mau, dia tentu sudah roboh terluka.

Li Hong melompat dan sudah berada dekat Cun Giok. Ia menjulurkan tangannya minta pedang pangeran itu dikembalikan. Cun Giok dapat menanggapi gerakan Li Hong tanpa kata itu. Dia menyerahkan pedang rampasan kepada adik misannya. Li Hong menerima pedang dan menghampiri Pangeran Youtechin. Diserahkannya pedang itu kepada Sang Pangeran sambil berkata lembut,

“Pangeran, engkau telah kalah.”

Pangeran Youtechin menerima pedang itu sambil menghela napas panjang. Dia memandang kepada Pouw Cun Giok yang telah berdiri dekat Ceng Ceng, lalu berkata nyaring agar terdengar oleh semua orang yang berada di situ.

“Bu-eng-cu, kami mengaku kalah dan sesuai dengan perjanjian, harta karun itu boleh dimiliki Nona Liu Ceng Ceng dengan sah. Kalau ada pihak yang hendak merebutnya, kami akan membantu Nona Liu untuk menentang mereka!”

Mendengar ucapan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli mengerutkan alisnya dan merasa penasaran sekali. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak berani menentang pangeran yang memegang tanda kekuasaan Kaisar.

“Pangeran, kami mohon diri, akan kembali ke Bukit Sorga,” kata Cui-beng Kui-ong dan dengan muka keruh dia dan Song-bun Moli berkelebat dan lenyap dari situ.

Kong Sek yang merasa penasaran sekali, terutama kepada Pouw Cun Giok namun juga merasa tidak berdaya untuk membalas dendam karena tingkat kepandaian Cun Giok jauh melampaui tingkatnya, memandang kepada Pendekar Tanpa Bayangan dengan mata mencorong penuh kebencian. Dia lalu menudingkan telunjuknya kepada musuh besarnya itu dan berkata dengan marah.

“Jahanam Pouw Cun Giok, kau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku datang mengambil kepalamu untuk membalas kematian ayah!” Setelah berkata demikian, dia memberi hormat kepada Pangeran Youtechin lalu meninggalkan tempat itu.

Kini Liu Ceng Ceng menghadapi para tokoh kang-ouw yang tadi berdiri di belakangnya dan yang mendukungnya, mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat lalu berkata. “Cu-wi yang budiman, saya Liu Ceng Ceng atas nama mendiang ayah Liu Bok Eng berterima kasih sekali atas dukungan Cu-wi sehingga harta karun itu dapat saya peroleh untuk memenuhi pesan terakhir ayahku. Karena sekarang urusan mengenai harta karun telah dapat diselesaikan, maka saya harap tidak akan terjadi lagi keributan dan pertengkaran mengenai harta karun. Sekali lagi, banyak terima kasih saya ucapkan kepada Cu-wi yang budiman.”

Para tokoh kang-ouw senang mendengar ucapan gadis itu dan mereka lalu meninggalkan bukit itu. Diam-diam Bu-tek Sin-liong Cu Liong dan muridnya, Cu Ai Yin, juga telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit.

Kini yang masih berada di depan guha hanya Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng, berhadapan dengan Pangeran Youtechin dan Tan Li Hong. Pangeran Youtechin memandang Li Hong dengan wajah muram lalu berkata dengan suara mengandung kesedihan.

“Dinda Li Hong, sekarang sebaiknya engkau pulang dulu ke Coa-to (Pulau Ular). Aku harus kembali ke kota raja untuk mempertanggung-jawabkan kegagalanku mengemban tugas mendapatkan harta karun seperti yang diperintahkan Sribaginda Kaisar.”

Li Hong memegang kedua lengan pangeran itu, menatap wajah pangeran muda itu penuh kasih sayang lalu berkata. “Tidak, Pangeran. Aku harus ikut bersamamu ke kota raja!”

Pangeran itu merangkul kekasihnya. “Jangan, Adinda. Engkau pulanglah ke Pulau Ular dan tunggu di sana. Percayalah, kalau aku dapat terbebas dari hukuman karena gagal melaksanakan tugas, aku akan memberitahu kepada ayahku tentang perjodohan kita dan ayah pasti akan mengirim orang untuk menyampaikan pinangan secara resmi kepada orang tuamu dan kita dapat menikah dengan resmi.”

“Tidak, tidak, Pangeran!” Li Hong berkeras dan menyandarkan mukanya di pundak pangeran itu. Sepasang matanya menjadi merah dan tangisnya sudah berada di ambang pelupuk matanya. “Kalau engkau terhukum, biarlah aku juga menemanimu. Kita pertanggungjawabkan bersama. Aku akan membelamu sampai mati, Pangeran...” Li Hong menangis tersedu-sedu di dada Pangeran Youtechin.

Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang dengan terkejut dan heran. Mereka tertegun menyaksikan adegan itu. Melihat Li Hong menangis demikian sedihnya merupakan penglihatan yang luar biasa anehnya! Betapa kuat perkasanya cinta. Cinta membuat Li Hong yang tadinya merupakan seorang gadis yang pemberani, keras hati dan ganas itu menjadi demikian lemah dan cengeng! Hampir mereka tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri keadaan Li Hong di saat itu...