Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

32. KAU... KAU... SEORANG PANGERAN?

MENDENGAR pertanyaan ini, Li Hong menegakkan diri dan memandang wajah pemuda itu dengan heran dan penasaran. “Koko, kenapa engkau bertanya begitu? Bukankah aku telah menjadi isterimu walaupun hal itu belum diresmikan orang tuaku? Tentu saja aku mencintamu!”

“Engkau akan tetap mencintaku walaupun andaikata aku orang macam apa, bangsa apa, golongan apa dan siapapun juga orang tuaku?”

“Aneh-aneh pertanyaanmu ini, Koko. Bukankah orang tuamu telah tiada?”

“Jawab dulu pertanyaanku tadi, Moi-moi. Jawabanmu amat penting bagiku.”

“Baiklah, Koko. Aku tetap mencintamu walaupun engkau bangsa apa pun dan siapa pun orang tuamu. Aku telah menjadi isterimu dan selama hidupku aku akan tetap menjadi isterimu yang dicinta dan mencinta. Hanya kematian yang dapat memisahkan kita!” jawab Li Hong dengan tegas.

“Hong-moi...!” Yauw Tek merangkulnya dan mencium dahi gadis itu dengan mesra. “Bahagia sekali hatiku mendengar jawabanmu, sungguh tidak keliru aku memilihmu menjadi kekasih dan calon isteriku!”

“Akan tetapi, mengapa engkau bertanya seperti itu, Koko?”

“Ini ada hubungannya dengan permintaanmu tadi, Hong-moi. Permintaanmu agar aku ikut denganmu ke Pulau Ular dan melamarmu kepada orang tuamu.”

“Akan tetapi, bukankah hal itu sudah semestinya, Koko? Bukankah kita menghendaki menjadi suami isteri yang resmi, diresmikan orang tuaku?”

“Tentu saja, Moi-moi, aku ingin hidup denganmu sebagai suami isteri yang diresmikan orang tua. Akan tetapi tidak sekarang.”

“Koko, apakah engkau ingin mencari harta karun itu lebih dulu?”

“Bukan hanya itu, Hong-moi.” Pemuda itu menghela napas panjang lalu melanjutkan. “Hong-moi, aku minta maaf kepadamu, sesungguhnya aku berbohong ketika mengatakan bahwa orang tuaku telah meninggal dunia. Sebenarnya, Ayah Ibuku masih hidup. Karena itu, urusan pernikahan, untuk meminangmu maksudku, harus dilakukan oleh orang tuaku kepada orang tuamu.”

“Ah, bagus sekali! Aku ikut girang bahwa ayah ibumu masih ada, Koko. Siapakah mereka dan di mana mereka tinggal? Mari kita menghadap mereka, Koko!”

Yauw Tek menggelengkan kepalanya. “Sekarang belum dapat aku menceritakan, Moi-moi. Bersabarlah, kelak engkau pasti akan mengetahui dan yakinlah, pada suatu hari orang tuaku pasti akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu di Pulau Ular untuk menikahkan kita secara resmi.”

“Akan tetapi, Koko...”

Yauw Tek mendekap muka Li Hong dan menciumnya. “Bersabarlah, Hong-moi. Engkau cinta dan percaya padaku, bukan? Aku berjanji, setelah selesai urusanku di sini, engkau pasti akan kuajak menemui orang tuaku!”

Li Hong terpaksa mengangguk walaupun hatinya merasa penasaran dan heran sekali. Ia tidak ingin memaksa dan membikin kekasihnya menjadi tidak senang. Tiba-tiba Li Hong melompat dari pangkuan Yauw Tek, tangan kirinya meraih ke kantung senjata rahasianya dan cepat ia mengambil beberapa batang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang menjadi senjata rahasianya yang ampuh. Akan tetapi Yauw Tek menangkap lengannya.

“Tenang, Moi-moi. Jangan sampai salah menyerang bukan musuh!”

Li Hong memandang ke arah jajaran pohon besar darimana ia tadi mendengar gerakan orang. Muncul lima orang yang memiliki gerakan ringan, berpakaian seperti petani biasa namun sikap mereka gagah berwibawa. Lima orang itu dengan gesit berlompatan ke depan Yauw Tek dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu dengan sikap hormat sekali. Yauw Tek memandang tajam dan mengerutkan sepasang alisnya.

“Hemm, ada kepentingan apa kalian menghadap tanpa dipanggil?” tanyanya.

Seorang di antara lima orang itu, yang bertubuh tinggi kurus, berusia sekitar lima puluh tahun, berkata setelah menempelkan dahi ke atas tanah. “Mohon beribu ampun, Pangeran. Karena ada berita penting sekali, maka hamba berlima memberanikan diri menghadap tanpa dipanggil. Ampunkan kalau kami mengganggu.”

“Cepat katakan! Ada berita penting apakah?”

“Ada berita bahwa harta karun telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan dan pasukannya. Kini mereka sedang bergerak membawa harta karun turun gunung, di sebelah selatan lereng sana.” Orang itu menunjuk ke arah lereng tak jauh dari situ.

“Hemm, bayangi dan selidiki, kerahkan pasukan untuk membayangi, jangan lepaskan mereka.”

“Baik, Pangeran. Hamba mohon pamit.”

“Pergilah!”

Lima orang itu melompat dan lenyap di antara pohon-pohon dalam hutan.

Li Hong masih berdiri terbelalak. Matanya terbuka lebar-lebar menatap wajah Yauw Tek dan mulutnya ternganga. Ia seolah telah berubah menjadi patung saking kaget dan herannya. Ia merasa seperti bermimpi! Yauw Tek seorang pangeran?

“Hong-moi...!” Yauw Tek mendekat dan merangkulnya.

Li Hong melangkah mundur. “Kau... kau... seorang Pangeran? Akan tetapi mengapa...”

Yauw Tek maju, menangkap tangan Li Hong dan menariknya sehingga gadis itu kembali jatuh ke dalam pelukannya. “Hong-moi, ingat ucapanmu tadi. Engkau mencintaku dan akan selalu mencintaku tak peduli aku ini orang apa?”

Li Hong merasa lemas dan membiarkan dirinya dipeluk. “Akan tetapi, kalau engkau seorang pangeran, mengapa engkau menyamar sebagai Yauw Tek? Siapakah engkau? Dan mengapa seorang pangeran berada di sini dan... dan... memperisteri aku...?”

“Mari kita duduk lagi, Hong-moi dan akan kuceritakan semua tentang diriku. Percayalah, aku tidak akan membohongimu, aku cinta padamu, Hong-moi.”

Li Hong menjadi tenang kembali, walaupun jantungnya masih berdebar penuh keheranan dan ketegangan. Ia duduk di atas akar pohon dan Yauw Tek duduk di depannya.

“Dengarlah pengakuanku, Hong-moi dan kuharap engkau tidak akan menyesal mempunyai seorang calon suami seperti aku yang telah membohongimu. Aku adalah Pangeran Youtechin, sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat, terutama dari para Pendeta Lhama di Tibet. Belasan tahun aku bahkan tinggal di sana. Ayahku adalah Pangeran Banagan, masih adik tiri dari mendiang Kaisar Kubilai Khan. Ketika aku setahun yang lalu pulang ke kota raja, dan mengetahui bahwa aku telah mempelajari berbagai ilmu, Ayah, menugaskan aku untuk mengabdi Kerajaan Goan kami, dengan persetujuan Kaisar, bahkan aku mendapatkan tanda kekuasaan dari Kaisar. Aku bertugas mengamankan negara dan mengamati para pembesar kami yang menyeleweng. Aku telah melaporkan banyak pembesar yang korup dan jahat dan dari istana telah dikeluarkan perintah untuk menangkapi dan menghukum mereka. Karena itu, diam-diam aku dimusuhi banyak pembesar dan panglima yang menganggap aku sebagai ancaman bagi kedudukan mereka. Diam-diam mereka itu berusaha untuk membunuh atau menyingkirkan aku.”

“Karena itukah engkau dulu dikepung dan dikeroyok di perairan Pulau Ular?”

“Ya, itu satu di antara usaha mereka membunuhku.”

“Akan tetapi mengapa engkau berperahu dekat Pulau Ular dan ketika kami tolong, engkau mengaku bernama Yauw Tek?”

“Dalam perjalananku memang aku menyamar sebagai seorang pemuda Han bernama Yauw Tek. Terus terang saja, Hong-moi, aku mendengar berita tentang harta karun peninggalan Kerajaan Sung maka aku mewakili pemerintah untuk menyelidiki dan mendapatkan harta karun itu. Aku sudah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa Panglima Kim Bayan yang ditugaskan pemerintah, berniat untuk menguasai harta karun untuk dirinya sendiri. Setelah mendengar bahwa asal mula peta harta karun itu menjadi millk Nona Liu Ceng Ceng, maka aku mengambil kesimpulan bahwa sumber pertama yang akan dapat memberi keterangan jelas tentang harta karun itu adalah Nona Liu. Para pengikutku yang melakukan penyelidikan memberitahu bahwa Nona Liu berada di Pulau Ular, maka aku lalu menggunakan perahu menyusul ke sana. Akan tetapi setelah dekat, aku dikepung pasukan dan dikeroyok sehingga terluka. Untung ada keluargamu yang menolongku, Hong-moi. Ketika aku mendengar bahwa Nona Liu dan engkau akan menyelidiki ke Thai-san mencari harta karun, aku lalu menawarkan diri membantu dan kalian menerimaku. Itulah kesempatan baik bagiku untuk mendapatkan harta karun itu agar dapat kuserahkan kepada pemerintahan kami.”

“Akan tetapi... Ko... eh, Pangeran...”

“Hush, Hong-moi. Jangan sebut aku pangeran. Sekarang ini aku masih tetap Yauw Tek bagimu. Kelak kalau engkau sudah menjadi isteriku dan tinggal di istana Ayah, boleh saja aku disebut Pangeran. Nah, engkau tadi hendak berkata apa, Hong-moi?”

“Koko, harta karun itu adalah peninggalan Kerajaan Sung, mengapa engkau hendak menyerahkannya kepada Kerajaan Mongol? Bukankah yang berhak adalah Kerajaan Sung atau pendukungnya?”

“Hong-moi, peraturan dalam perang, harta benda yang kalah menjadi hak milik yang menang, maka harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milik Kerajaan Mongol. Kerajaan Sung sudah terbasmi dan tidak ada lagi, bukan? Dan jangan lupa, aku adalah seorang Pangeran Mongol, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membela Kerajaan Mongol. Aku tidak menyalahkan Nona Liu Ceng Ceng dan teman-temannya kalau hendak menyerahkan harta itu kepada para pejuang, akan tetapi sekarang ini sudah tidak ada perang sehingga yang kalian sebut pejuang itu bukan lain adalah pemberontak. Apakah kalian menghendaki perang lagi yang selalu menyengsarakan rakyat jelata?”

“Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku tidak mengerti soal perang dan sebetulnya aku tidak begitu peduli. Aku hanya terbawa oleh Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok.”

“Akan tetapi sekarang engkau adalah keluargaku, Hong-moi, keluargaku terdekat. Engkau isteriku walaupun belum diresmikan orang tua kita. Kalau urusan harta karun ini sudah selesai, orang tuaku pasti akan mengirim utusan untuk meminangmu dari orang tuamu di Pulau Ular, dan kita menikah dengan resmi. Maka, sekarang juga engkau harus mengambil keputusan, Hong-moi, engkau akan membantu aku, atau membantu orang lain?” Setelah berkata demikian, Yauw Tek atau Pangeran Youtechin itu merangkul Li Hong. Gadis itu balas merangkul.

“Sudah tentu aku membantumu, Koko, akan tetapi aku minta dengan sangat, jangan engkau memusuhi dan mencelakakan kakak angkatku Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok.”

“Aku berjanji tidak akan memusuhi mereka, Hong-moi, tentu saja kalau mereka yang memusuhi aku, aku harus membela diri. Bukankah engkau juga akan membela aku kalau aku dimusuhi orang?”

Li Hong hanya mengangguk, namun hatinya merasa risau sekali.

“Sekarang, mari kita hadang rombongan Kim Bayan yang katanya telah menemukan harta karun itu! Kalau ternyata dia hendak menguasai sendiri harta itu, akan kuhukum dia!”

Mereka lalu cepat meninggalkan tempat itu dan menuju ke arah yang ditunjuk anak buah pangeran itu yang sebetulnya terdiri dari jagoan-jagoan istana yang menyamar.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Di sebuah antara bukit-bukit yang tersebar banyak sekali di Pegunungan Thai-san, Kim Bayan mengumpulkan para perwira pembantunya yang belasan orang banyaknya, dan pasukannya yang tidak kurang dari duaratus orang jumlahnya. Dengan para pembantunya dia mengadakan perundingan.

“Siasat kita untuk mengadu domba di Thai-san-pai telah gagal. Dan agaknya memang Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu,” kata Kim Bayan yang diam-diam mengintai ketika semua orang berkumpul di depan pintu gerbang Thai-san-pai. “Kita harus mencari siasat yang lebih baik untuk memancing keluar pencuri harta karun itu sehingga kita dapat merampasnya.”

Setelah berunding sampai lama akhirnya mereka menemukan siasat yang mereka anggap baik sekali untuk memancing keluar pencuri aseli harta karun yang diperebutkan itu.

“Kita siarkan bahwa kita telah menemukan harta karun itu dan kita bawa turun gunung. Tentu mereka akan berbondong datang dan berusaha merampasnya dari kita. Kita tinggal melihat saja, kalau ada mereka yang tidak datang mencoba merampas harta karun, berarti di antara mereka itulah pencurinya. Kalau harta karun sudah ada padanya, tentu dia tidak percaya akan berita itu dan tidak akan mengganggu kita,” kata Kim Bayan.

Setelah semua setuju dan pasukan maklum akan siasat yang dimainkan pemimpin mereka, mulailah mereka menyiarkan kabar bahwa harta karun sudah ditemukan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin Panglima Kim Bayan dan bahwa pasukan akan membawa harta karun itu turun gunung!

Kalau berita bahwa harta berada di Thai-san-pai cukup menimbulkan kekacauan, berita kedua ini lebih menggemparkan lagi. Berita pertama hanya merupakan dugaan bahwa Thai-san-pai pencurinya, tanpa adanya bukti. Akan tetapi kini Panglima Kim Bayan telah menemukan harta karun dan pasukannya sedang membawa harta karun itu turun gunung! Berarti sekarang ada buktinya dan tentu saja semua orang yang mencari harta karun itu menjadi gempar dan berbondong-bondong mereka hendak melihat sendiri dan kalau mungkin merampasnya!

Setelah mempersiapkan segalanya, pada suatu pagi, rombongan pasukan yang dipimpin Panglima Kim Bayan menuruni gunung mengawal sebuah gerobak dorong di mana terdapat dua buah peti besar. Melihat betapa beberapa orang perajurit mendorong kereta itu dengan sukar, bahkan ada yang membantu dengan menariknya dari depan, maka dapat diketahui bahwa dua buah peti hitam itu tentu berat sekali.

Klm Bayan dan dua belas orang perwira pembantunya menunggang kuda berada di depan, diiringkan dua losin perajurit berkuda. Di bagian terbelakang ada dua losin perajurit berkuda lagi yang dipimpin seorang perwira. Puluhan orang perajurit yang lain berjalan kaki. Kereta atau gerobak dorong itu berada di tengah, dijaga ketat!

Dalam perjalanan menuruni gunung yang hanya dapat dilakukan secara lambat ini, rombongan itu beberapa kali mendapat gangguan mereka yang mencoba untuk merampas peti. Akan tetapi pengganggu itu dengan mudah dipukul mundur oleh Kim Bayan dan para perwiranya, ada yang tewas dan yang lainnya melarikan diri.

Diam-diam Kim Bayan mencatat mereka yang telah berusaha merampas peti sebagai orang-orang yang sama sekali tidak mencuri harta karun. Mereka yang telah mencuri dan memiliki harta karun itu pasti tidak akan mau mencoba merebut peti itu dan dapat menduga bahwa peti itu kosong. Hanya yang belum mendapatkan harta karun sajalah yang akan mencoba untuk merebut peti yang dibawanya turun gunung. Dia tinggal memperhatikan dan mencatat saja siapa-siapa yang tidak muncul untuk merampas peti. Merekalah atau seorang di antara mereka yang menjadi pencurinya!

Makin ke bawah, semakin banyak orang yang berusaha merampas peti-peti di atas gerobak itu. Bahkan mulai bermunculan para datuk dan perkumpulan besar. Yang pertama muncul adalah Ang-tung Kai-pang yang dipimpin sendiri oleh Kui-tung Sin-kai. Mereka terdiri dari sekitar tujuh puluh orang dan mereka menghadang di bagian lereng yang terbuka dan landai, merupakan padang rumput yang luas. Kedua rombongan itu berhadapan dan Panglima Kim Bayan membentak nyaring.

“Hei! Kalian ini rombongan pengemis mau apa menghadang pasukan kami?”

Kui-tung Sin-kai melangkah maju menghadapi Kim Bayan dan dia berkata dengan suara tidak kalah nyaringnya. “Panglima Kim Bayan, tinggalkan peti harta karun itu, baru engkau dan pasukanmu boleh melanjutkan perjalanan turun gunung!”

“Setan busuk! Pengemis kotor! Berani engkau hendak merampas harta milik kerajaan?”

“Bukan kami yang merampok, melainkan engkau, Panglima Kim! Harta karun itu yang berhak adalah keluarga Liu, akan tetapi engkau telah merampoknya. Kami hanya ingin mengembalikan kepada yang berhak!”

“Ho-ho, keparat! Minggirlah, pengemis, jembel busuk!” Kim Bayan melompat turun, diikuti dua belas orang perwira pembantunya dan mereka telah mencabut golok.

Biarpun dari sikap Kui-tung Sin-kai itu Kim Bayan tahu bahwa harta karun itu tidak berada pada Ang-tung Kai-pang, namun dia merasa perlu untuk membasmi perkumpulan pengemis yang bersikap menentang Kerajaan Mongol itu. Kim Bayan sudah melompat dan menyerang Kui-tung Sin-kai dengan goloknya. Ketua Ang-tung Kai-pang ini pun menggerakkan tongkat merahnya, menangkis dan balas menyerang. Dua belas orang perwira pembantu Kim Bayan juga disambut para pimpinan pembantu dari Ang-tung Kai-pang. Terjadilah pertempuran, apalagi ketika anak buah Ang-tung Kai-pang juga bertempur melawan para perajurit anak buah Kim Bayan.

Akan tetapi, ilmu silat Kim Bayan masih terlalu tangguh bagi Kui-tung Sin-kai sehingga dia mulai terdesak oleh sinar golok yang bergulung-gulung. Juga para pembantunya tidak kuat melawan para perwira. Apalagi anak buah Ang-tung Kai-pang yang kalah banyak jumlahnya, sedangkan para perajurit yang menjadi anak buah Kim Bayan itu merupakan perajurit pilihan yang tangguh dari balatentara Mongol. Banyak anggauta Ang-tung Kai-pang yang roboh tewas atau terluka.

Ketika Kui-tung Sin-kai sendiri mengalami terluka pada pundaknya, ketua ini maklum bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu, pasti pihaknya kalah dan akan jatuh lebih banyak korban lagi. Maka, dengan hati menyesal, Kui-tung Sin-kai lalu melompat ke belakang dan memberi isyarat kepada para pembantu dan anak buahnya untuk mundur dan melarikan diri.

Sambil mengeluarkan sorak kemenangan dan membantu kawan-kawan yang terluka, pasukan yang dipimpin Kim Bayan itu melanjutkan perjalanan. Setelah mereka pergi, barulah para anggauta Ang-tung Kai-pang muncul untuk merawat teman yang terluka dan mengurus teman yang tewas.

Penghadangan selanjutnya dilakukan oleh rombongan Thai-san-pai yang lebih kuat dan merupakan lawan berat bagi Kim Bayan dan pasukannya. Rombongan murid Thai-san-pai itu dipimpin sendiri oleh Thai-san Sianjin Thio Kong, dibantu lima orang sutenya dan memimpin anak buah sebanyak delapanpuluh orang lebih!

“Hemm, agaknya Thai-san-pai yang menghadang perjalanan pasukan Kerajaan! Mau apa kalian?” bentak Kim Bayan.

“Kim Bayan manusia licik! Para murid kami yang menyelidiki melaporkan bahwa engkaulah yang menyebar fitnah, mengatakan bahwa kami Thai-san-pai yang mencuri harta karun Kerajaan Sung. Tidak tahunya engkau sendiri yang diam-diam hendak melarikan harta karun itu. Tinggalkan harta karun itu atau terpaksa kami menggunakan kekerasan!”

“Heh, Ketua Thai-san-pai! Apakah kalian hendak memberontak terhadap Kerajaan Goan (Mongol)?”

“Tidak ada yang memberontak! Akan tetapi engkau yang mencuri harta karun yang bukan hakmu. Tinggalkan harta karun itu dan pergilah dari wilayah kami!”

Kedua pihak bertempur dan sekali ini Kim Bayan harus mengakui bahwa dia mendapat lawan yang amat kuat. Dia sendiri bertanding mati-matian melawan Thai-san Sianjin. Akan tetapi permainan golok besarnya sukar dapat menembus sepasang pedang yang dimainkan oleh Ketua Thai-san-pai dengan cepat dan kuat itu. Sebaliknya, dia mulai terdesak oleh lawan...

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 32

32. KAU... KAU... SEORANG PANGERAN?

MENDENGAR pertanyaan ini, Li Hong menegakkan diri dan memandang wajah pemuda itu dengan heran dan penasaran. “Koko, kenapa engkau bertanya begitu? Bukankah aku telah menjadi isterimu walaupun hal itu belum diresmikan orang tuaku? Tentu saja aku mencintamu!”

“Engkau akan tetap mencintaku walaupun andaikata aku orang macam apa, bangsa apa, golongan apa dan siapapun juga orang tuaku?”

“Aneh-aneh pertanyaanmu ini, Koko. Bukankah orang tuamu telah tiada?”

“Jawab dulu pertanyaanku tadi, Moi-moi. Jawabanmu amat penting bagiku.”

“Baiklah, Koko. Aku tetap mencintamu walaupun engkau bangsa apa pun dan siapa pun orang tuamu. Aku telah menjadi isterimu dan selama hidupku aku akan tetap menjadi isterimu yang dicinta dan mencinta. Hanya kematian yang dapat memisahkan kita!” jawab Li Hong dengan tegas.

“Hong-moi...!” Yauw Tek merangkulnya dan mencium dahi gadis itu dengan mesra. “Bahagia sekali hatiku mendengar jawabanmu, sungguh tidak keliru aku memilihmu menjadi kekasih dan calon isteriku!”

“Akan tetapi, mengapa engkau bertanya seperti itu, Koko?”

“Ini ada hubungannya dengan permintaanmu tadi, Hong-moi. Permintaanmu agar aku ikut denganmu ke Pulau Ular dan melamarmu kepada orang tuamu.”

“Akan tetapi, bukankah hal itu sudah semestinya, Koko? Bukankah kita menghendaki menjadi suami isteri yang resmi, diresmikan orang tuaku?”

“Tentu saja, Moi-moi, aku ingin hidup denganmu sebagai suami isteri yang diresmikan orang tua. Akan tetapi tidak sekarang.”

“Koko, apakah engkau ingin mencari harta karun itu lebih dulu?”

“Bukan hanya itu, Hong-moi.” Pemuda itu menghela napas panjang lalu melanjutkan. “Hong-moi, aku minta maaf kepadamu, sesungguhnya aku berbohong ketika mengatakan bahwa orang tuaku telah meninggal dunia. Sebenarnya, Ayah Ibuku masih hidup. Karena itu, urusan pernikahan, untuk meminangmu maksudku, harus dilakukan oleh orang tuaku kepada orang tuamu.”

“Ah, bagus sekali! Aku ikut girang bahwa ayah ibumu masih ada, Koko. Siapakah mereka dan di mana mereka tinggal? Mari kita menghadap mereka, Koko!”

Yauw Tek menggelengkan kepalanya. “Sekarang belum dapat aku menceritakan, Moi-moi. Bersabarlah, kelak engkau pasti akan mengetahui dan yakinlah, pada suatu hari orang tuaku pasti akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu di Pulau Ular untuk menikahkan kita secara resmi.”

“Akan tetapi, Koko...”

Yauw Tek mendekap muka Li Hong dan menciumnya. “Bersabarlah, Hong-moi. Engkau cinta dan percaya padaku, bukan? Aku berjanji, setelah selesai urusanku di sini, engkau pasti akan kuajak menemui orang tuaku!”

Li Hong terpaksa mengangguk walaupun hatinya merasa penasaran dan heran sekali. Ia tidak ingin memaksa dan membikin kekasihnya menjadi tidak senang. Tiba-tiba Li Hong melompat dari pangkuan Yauw Tek, tangan kirinya meraih ke kantung senjata rahasianya dan cepat ia mengambil beberapa batang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang menjadi senjata rahasianya yang ampuh. Akan tetapi Yauw Tek menangkap lengannya.

“Tenang, Moi-moi. Jangan sampai salah menyerang bukan musuh!”

Li Hong memandang ke arah jajaran pohon besar darimana ia tadi mendengar gerakan orang. Muncul lima orang yang memiliki gerakan ringan, berpakaian seperti petani biasa namun sikap mereka gagah berwibawa. Lima orang itu dengan gesit berlompatan ke depan Yauw Tek dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu dengan sikap hormat sekali. Yauw Tek memandang tajam dan mengerutkan sepasang alisnya.

“Hemm, ada kepentingan apa kalian menghadap tanpa dipanggil?” tanyanya.

Seorang di antara lima orang itu, yang bertubuh tinggi kurus, berusia sekitar lima puluh tahun, berkata setelah menempelkan dahi ke atas tanah. “Mohon beribu ampun, Pangeran. Karena ada berita penting sekali, maka hamba berlima memberanikan diri menghadap tanpa dipanggil. Ampunkan kalau kami mengganggu.”

“Cepat katakan! Ada berita penting apakah?”

“Ada berita bahwa harta karun telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan dan pasukannya. Kini mereka sedang bergerak membawa harta karun turun gunung, di sebelah selatan lereng sana.” Orang itu menunjuk ke arah lereng tak jauh dari situ.

“Hemm, bayangi dan selidiki, kerahkan pasukan untuk membayangi, jangan lepaskan mereka.”

“Baik, Pangeran. Hamba mohon pamit.”

“Pergilah!”

Lima orang itu melompat dan lenyap di antara pohon-pohon dalam hutan.

Li Hong masih berdiri terbelalak. Matanya terbuka lebar-lebar menatap wajah Yauw Tek dan mulutnya ternganga. Ia seolah telah berubah menjadi patung saking kaget dan herannya. Ia merasa seperti bermimpi! Yauw Tek seorang pangeran?

“Hong-moi...!” Yauw Tek mendekat dan merangkulnya.

Li Hong melangkah mundur. “Kau... kau... seorang Pangeran? Akan tetapi mengapa...”

Yauw Tek maju, menangkap tangan Li Hong dan menariknya sehingga gadis itu kembali jatuh ke dalam pelukannya. “Hong-moi, ingat ucapanmu tadi. Engkau mencintaku dan akan selalu mencintaku tak peduli aku ini orang apa?”

Li Hong merasa lemas dan membiarkan dirinya dipeluk. “Akan tetapi, kalau engkau seorang pangeran, mengapa engkau menyamar sebagai Yauw Tek? Siapakah engkau? Dan mengapa seorang pangeran berada di sini dan... dan... memperisteri aku...?”

“Mari kita duduk lagi, Hong-moi dan akan kuceritakan semua tentang diriku. Percayalah, aku tidak akan membohongimu, aku cinta padamu, Hong-moi.”

Li Hong menjadi tenang kembali, walaupun jantungnya masih berdebar penuh keheranan dan ketegangan. Ia duduk di atas akar pohon dan Yauw Tek duduk di depannya.

“Dengarlah pengakuanku, Hong-moi dan kuharap engkau tidak akan menyesal mempunyai seorang calon suami seperti aku yang telah membohongimu. Aku adalah Pangeran Youtechin, sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat, terutama dari para Pendeta Lhama di Tibet. Belasan tahun aku bahkan tinggal di sana. Ayahku adalah Pangeran Banagan, masih adik tiri dari mendiang Kaisar Kubilai Khan. Ketika aku setahun yang lalu pulang ke kota raja, dan mengetahui bahwa aku telah mempelajari berbagai ilmu, Ayah, menugaskan aku untuk mengabdi Kerajaan Goan kami, dengan persetujuan Kaisar, bahkan aku mendapatkan tanda kekuasaan dari Kaisar. Aku bertugas mengamankan negara dan mengamati para pembesar kami yang menyeleweng. Aku telah melaporkan banyak pembesar yang korup dan jahat dan dari istana telah dikeluarkan perintah untuk menangkapi dan menghukum mereka. Karena itu, diam-diam aku dimusuhi banyak pembesar dan panglima yang menganggap aku sebagai ancaman bagi kedudukan mereka. Diam-diam mereka itu berusaha untuk membunuh atau menyingkirkan aku.”

“Karena itukah engkau dulu dikepung dan dikeroyok di perairan Pulau Ular?”

“Ya, itu satu di antara usaha mereka membunuhku.”

“Akan tetapi mengapa engkau berperahu dekat Pulau Ular dan ketika kami tolong, engkau mengaku bernama Yauw Tek?”

“Dalam perjalananku memang aku menyamar sebagai seorang pemuda Han bernama Yauw Tek. Terus terang saja, Hong-moi, aku mendengar berita tentang harta karun peninggalan Kerajaan Sung maka aku mewakili pemerintah untuk menyelidiki dan mendapatkan harta karun itu. Aku sudah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa Panglima Kim Bayan yang ditugaskan pemerintah, berniat untuk menguasai harta karun untuk dirinya sendiri. Setelah mendengar bahwa asal mula peta harta karun itu menjadi millk Nona Liu Ceng Ceng, maka aku mengambil kesimpulan bahwa sumber pertama yang akan dapat memberi keterangan jelas tentang harta karun itu adalah Nona Liu. Para pengikutku yang melakukan penyelidikan memberitahu bahwa Nona Liu berada di Pulau Ular, maka aku lalu menggunakan perahu menyusul ke sana. Akan tetapi setelah dekat, aku dikepung pasukan dan dikeroyok sehingga terluka. Untung ada keluargamu yang menolongku, Hong-moi. Ketika aku mendengar bahwa Nona Liu dan engkau akan menyelidiki ke Thai-san mencari harta karun, aku lalu menawarkan diri membantu dan kalian menerimaku. Itulah kesempatan baik bagiku untuk mendapatkan harta karun itu agar dapat kuserahkan kepada pemerintahan kami.”

“Akan tetapi... Ko... eh, Pangeran...”

“Hush, Hong-moi. Jangan sebut aku pangeran. Sekarang ini aku masih tetap Yauw Tek bagimu. Kelak kalau engkau sudah menjadi isteriku dan tinggal di istana Ayah, boleh saja aku disebut Pangeran. Nah, engkau tadi hendak berkata apa, Hong-moi?”

“Koko, harta karun itu adalah peninggalan Kerajaan Sung, mengapa engkau hendak menyerahkannya kepada Kerajaan Mongol? Bukankah yang berhak adalah Kerajaan Sung atau pendukungnya?”

“Hong-moi, peraturan dalam perang, harta benda yang kalah menjadi hak milik yang menang, maka harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milik Kerajaan Mongol. Kerajaan Sung sudah terbasmi dan tidak ada lagi, bukan? Dan jangan lupa, aku adalah seorang Pangeran Mongol, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membela Kerajaan Mongol. Aku tidak menyalahkan Nona Liu Ceng Ceng dan teman-temannya kalau hendak menyerahkan harta itu kepada para pejuang, akan tetapi sekarang ini sudah tidak ada perang sehingga yang kalian sebut pejuang itu bukan lain adalah pemberontak. Apakah kalian menghendaki perang lagi yang selalu menyengsarakan rakyat jelata?”

“Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku tidak mengerti soal perang dan sebetulnya aku tidak begitu peduli. Aku hanya terbawa oleh Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok.”

“Akan tetapi sekarang engkau adalah keluargaku, Hong-moi, keluargaku terdekat. Engkau isteriku walaupun belum diresmikan orang tua kita. Kalau urusan harta karun ini sudah selesai, orang tuaku pasti akan mengirim utusan untuk meminangmu dari orang tuamu di Pulau Ular, dan kita menikah dengan resmi. Maka, sekarang juga engkau harus mengambil keputusan, Hong-moi, engkau akan membantu aku, atau membantu orang lain?” Setelah berkata demikian, Yauw Tek atau Pangeran Youtechin itu merangkul Li Hong. Gadis itu balas merangkul.

“Sudah tentu aku membantumu, Koko, akan tetapi aku minta dengan sangat, jangan engkau memusuhi dan mencelakakan kakak angkatku Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok.”

“Aku berjanji tidak akan memusuhi mereka, Hong-moi, tentu saja kalau mereka yang memusuhi aku, aku harus membela diri. Bukankah engkau juga akan membela aku kalau aku dimusuhi orang?”

Li Hong hanya mengangguk, namun hatinya merasa risau sekali.

“Sekarang, mari kita hadang rombongan Kim Bayan yang katanya telah menemukan harta karun itu! Kalau ternyata dia hendak menguasai sendiri harta itu, akan kuhukum dia!”

Mereka lalu cepat meninggalkan tempat itu dan menuju ke arah yang ditunjuk anak buah pangeran itu yang sebetulnya terdiri dari jagoan-jagoan istana yang menyamar.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Di sebuah antara bukit-bukit yang tersebar banyak sekali di Pegunungan Thai-san, Kim Bayan mengumpulkan para perwira pembantunya yang belasan orang banyaknya, dan pasukannya yang tidak kurang dari duaratus orang jumlahnya. Dengan para pembantunya dia mengadakan perundingan.

“Siasat kita untuk mengadu domba di Thai-san-pai telah gagal. Dan agaknya memang Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu,” kata Kim Bayan yang diam-diam mengintai ketika semua orang berkumpul di depan pintu gerbang Thai-san-pai. “Kita harus mencari siasat yang lebih baik untuk memancing keluar pencuri harta karun itu sehingga kita dapat merampasnya.”

Setelah berunding sampai lama akhirnya mereka menemukan siasat yang mereka anggap baik sekali untuk memancing keluar pencuri aseli harta karun yang diperebutkan itu.

“Kita siarkan bahwa kita telah menemukan harta karun itu dan kita bawa turun gunung. Tentu mereka akan berbondong datang dan berusaha merampasnya dari kita. Kita tinggal melihat saja, kalau ada mereka yang tidak datang mencoba merampas harta karun, berarti di antara mereka itulah pencurinya. Kalau harta karun sudah ada padanya, tentu dia tidak percaya akan berita itu dan tidak akan mengganggu kita,” kata Kim Bayan.

Setelah semua setuju dan pasukan maklum akan siasat yang dimainkan pemimpin mereka, mulailah mereka menyiarkan kabar bahwa harta karun sudah ditemukan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin Panglima Kim Bayan dan bahwa pasukan akan membawa harta karun itu turun gunung!

Kalau berita bahwa harta berada di Thai-san-pai cukup menimbulkan kekacauan, berita kedua ini lebih menggemparkan lagi. Berita pertama hanya merupakan dugaan bahwa Thai-san-pai pencurinya, tanpa adanya bukti. Akan tetapi kini Panglima Kim Bayan telah menemukan harta karun dan pasukannya sedang membawa harta karun itu turun gunung! Berarti sekarang ada buktinya dan tentu saja semua orang yang mencari harta karun itu menjadi gempar dan berbondong-bondong mereka hendak melihat sendiri dan kalau mungkin merampasnya!

Setelah mempersiapkan segalanya, pada suatu pagi, rombongan pasukan yang dipimpin Panglima Kim Bayan menuruni gunung mengawal sebuah gerobak dorong di mana terdapat dua buah peti besar. Melihat betapa beberapa orang perajurit mendorong kereta itu dengan sukar, bahkan ada yang membantu dengan menariknya dari depan, maka dapat diketahui bahwa dua buah peti hitam itu tentu berat sekali.

Klm Bayan dan dua belas orang perwira pembantunya menunggang kuda berada di depan, diiringkan dua losin perajurit berkuda. Di bagian terbelakang ada dua losin perajurit berkuda lagi yang dipimpin seorang perwira. Puluhan orang perajurit yang lain berjalan kaki. Kereta atau gerobak dorong itu berada di tengah, dijaga ketat!

Dalam perjalanan menuruni gunung yang hanya dapat dilakukan secara lambat ini, rombongan itu beberapa kali mendapat gangguan mereka yang mencoba untuk merampas peti. Akan tetapi pengganggu itu dengan mudah dipukul mundur oleh Kim Bayan dan para perwiranya, ada yang tewas dan yang lainnya melarikan diri.

Diam-diam Kim Bayan mencatat mereka yang telah berusaha merampas peti sebagai orang-orang yang sama sekali tidak mencuri harta karun. Mereka yang telah mencuri dan memiliki harta karun itu pasti tidak akan mau mencoba merebut peti itu dan dapat menduga bahwa peti itu kosong. Hanya yang belum mendapatkan harta karun sajalah yang akan mencoba untuk merebut peti yang dibawanya turun gunung. Dia tinggal memperhatikan dan mencatat saja siapa-siapa yang tidak muncul untuk merampas peti. Merekalah atau seorang di antara mereka yang menjadi pencurinya!

Makin ke bawah, semakin banyak orang yang berusaha merampas peti-peti di atas gerobak itu. Bahkan mulai bermunculan para datuk dan perkumpulan besar. Yang pertama muncul adalah Ang-tung Kai-pang yang dipimpin sendiri oleh Kui-tung Sin-kai. Mereka terdiri dari sekitar tujuh puluh orang dan mereka menghadang di bagian lereng yang terbuka dan landai, merupakan padang rumput yang luas. Kedua rombongan itu berhadapan dan Panglima Kim Bayan membentak nyaring.

“Hei! Kalian ini rombongan pengemis mau apa menghadang pasukan kami?”

Kui-tung Sin-kai melangkah maju menghadapi Kim Bayan dan dia berkata dengan suara tidak kalah nyaringnya. “Panglima Kim Bayan, tinggalkan peti harta karun itu, baru engkau dan pasukanmu boleh melanjutkan perjalanan turun gunung!”

“Setan busuk! Pengemis kotor! Berani engkau hendak merampas harta milik kerajaan?”

“Bukan kami yang merampok, melainkan engkau, Panglima Kim! Harta karun itu yang berhak adalah keluarga Liu, akan tetapi engkau telah merampoknya. Kami hanya ingin mengembalikan kepada yang berhak!”

“Ho-ho, keparat! Minggirlah, pengemis, jembel busuk!” Kim Bayan melompat turun, diikuti dua belas orang perwira pembantunya dan mereka telah mencabut golok.

Biarpun dari sikap Kui-tung Sin-kai itu Kim Bayan tahu bahwa harta karun itu tidak berada pada Ang-tung Kai-pang, namun dia merasa perlu untuk membasmi perkumpulan pengemis yang bersikap menentang Kerajaan Mongol itu. Kim Bayan sudah melompat dan menyerang Kui-tung Sin-kai dengan goloknya. Ketua Ang-tung Kai-pang ini pun menggerakkan tongkat merahnya, menangkis dan balas menyerang. Dua belas orang perwira pembantu Kim Bayan juga disambut para pimpinan pembantu dari Ang-tung Kai-pang. Terjadilah pertempuran, apalagi ketika anak buah Ang-tung Kai-pang juga bertempur melawan para perajurit anak buah Kim Bayan.

Akan tetapi, ilmu silat Kim Bayan masih terlalu tangguh bagi Kui-tung Sin-kai sehingga dia mulai terdesak oleh sinar golok yang bergulung-gulung. Juga para pembantunya tidak kuat melawan para perwira. Apalagi anak buah Ang-tung Kai-pang yang kalah banyak jumlahnya, sedangkan para perajurit yang menjadi anak buah Kim Bayan itu merupakan perajurit pilihan yang tangguh dari balatentara Mongol. Banyak anggauta Ang-tung Kai-pang yang roboh tewas atau terluka.

Ketika Kui-tung Sin-kai sendiri mengalami terluka pada pundaknya, ketua ini maklum bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu, pasti pihaknya kalah dan akan jatuh lebih banyak korban lagi. Maka, dengan hati menyesal, Kui-tung Sin-kai lalu melompat ke belakang dan memberi isyarat kepada para pembantu dan anak buahnya untuk mundur dan melarikan diri.

Sambil mengeluarkan sorak kemenangan dan membantu kawan-kawan yang terluka, pasukan yang dipimpin Kim Bayan itu melanjutkan perjalanan. Setelah mereka pergi, barulah para anggauta Ang-tung Kai-pang muncul untuk merawat teman yang terluka dan mengurus teman yang tewas.

Penghadangan selanjutnya dilakukan oleh rombongan Thai-san-pai yang lebih kuat dan merupakan lawan berat bagi Kim Bayan dan pasukannya. Rombongan murid Thai-san-pai itu dipimpin sendiri oleh Thai-san Sianjin Thio Kong, dibantu lima orang sutenya dan memimpin anak buah sebanyak delapanpuluh orang lebih!

“Hemm, agaknya Thai-san-pai yang menghadang perjalanan pasukan Kerajaan! Mau apa kalian?” bentak Kim Bayan.

“Kim Bayan manusia licik! Para murid kami yang menyelidiki melaporkan bahwa engkaulah yang menyebar fitnah, mengatakan bahwa kami Thai-san-pai yang mencuri harta karun Kerajaan Sung. Tidak tahunya engkau sendiri yang diam-diam hendak melarikan harta karun itu. Tinggalkan harta karun itu atau terpaksa kami menggunakan kekerasan!”

“Heh, Ketua Thai-san-pai! Apakah kalian hendak memberontak terhadap Kerajaan Goan (Mongol)?”

“Tidak ada yang memberontak! Akan tetapi engkau yang mencuri harta karun yang bukan hakmu. Tinggalkan harta karun itu dan pergilah dari wilayah kami!”

Kedua pihak bertempur dan sekali ini Kim Bayan harus mengakui bahwa dia mendapat lawan yang amat kuat. Dia sendiri bertanding mati-matian melawan Thai-san Sianjin. Akan tetapi permainan golok besarnya sukar dapat menembus sepasang pedang yang dimainkan oleh Ketua Thai-san-pai dengan cepat dan kuat itu. Sebaliknya, dia mulai terdesak oleh lawan...