Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 33 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

33. PANGLIMA MONGOL KORBAN SIASAT SENDIRI

Demikian pula, permainan pedang lima orang sute dari Ketua Thai-san-pai tidak tertandingi dua belas orang perwira dan dua orang di antara mereka bahkan telah terluka. Biarpun jumlah perajurit lebih banyak daripada jumlah murid Thai-san-pai, namun murid-murid itu telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi sehingga pertempuran di antara kedua pihak itu berlangsung seru.

Selagi Kim Bayan merasa khawatir karena pihaknya terdesak dan dia akan membuka rahasia bahwa kedua buah peti itu kosong sehingga tidak ada yang perlu direbutkan dan dipertentangkan untuk menghemikan pertempuran, tiba-tiba muncul Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.

Tanpa banyak cakap, kedua orang ini sudah melompat dekat gerobak. Mereka hendak merampas dua buah peti, akan tetapi enam orang perajurit menghadangnya dengan tombak di tangan. Hek Pek Mo-ko mengeluarkan suara tawa mengejek dan mengamuk. Kasihan para perajurit itu. Tentu saja mereka bukan lawan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang amat lihai dan sebentar saja mereka berenam roboh. Akan tetapi selagi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko sambil tertawa hendak merampas peti, tiba-tiba muncul Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin!

“Ha-ha-ha, Iblis Hitam Putih tak tahu malu! Jangan seenaknya saja mengambil harta karun!” bentak Huo Lo-sian sambil tertawa.

Melihat munculnya Huo Lo-sian, Pek Mo-ko marah sekali dan cepat dia menyerang dengan dorongan telapak tangannya yang seputih kapur. Uap putih yang amat kuat menyambar ke arah Huo Lo-sian. Akan tetapi majikan Bukit Merah ini tidak gentar dan menyambut dengan dorongan tangannya pula.

“Desss...”

Kedua orang datuk ini terpental ke belakang. Ternyata tenaga sakti mereka berimbang dan Huo Lo-sian yang juga sudah tahu betapa lihainya Pek Mo-ko, segera mencabut senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji. Pek Mo-ko juga telah mencabut pedangnya dan dua orang datuk itu segera saling serang dengan dahsyatnya.

Pertemuan golok dan pedang menimbulkan suara berdentang nyaring diikuti percikan bunga api. Pek Mo-ko menyelingi serangan pedangnya dengan dorongan telapak tangan kiri yang seputih kapur. Kalau telapak tangan itu dipukulkan, maka ada semacam uap putih meluncur ke arah lawan. Itulah Ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang menjadi andalan Pek Mo-ko. Akan tetapi lawannya kini adalah Huo Lo-sian yang berilmu tinggi maka setiap kali Pek Mo-ko mengirim serangan Pek-tok-ciang, Huo Lo-sian menangkis dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sehingga setiap kali dua tenaga sakti ini bertemu, kedua orang datuk itu terdorong mundur tanpa menderita luka. Mereka kini berusaha mati-matian untuk mengalahkan lawan dan pertandingan berlangsung seru dan mati-matian.

Orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu kemurkaan mengejar harta benda, beranggapan bahwa hanya harta benda atau uang yang akan dapat membahagiakan hidupnya, bagaikan orang buta. Mereka sama sekali tidak merasa bahwa mereka sudah dicengkeram daya rendah harta benda dan mau melakukan apa saja, halal maupun haram, untuk mendapatkannya. Padahal, harta benda yang diperebutkan secara haram itu karena bukan hak miliknya sehingga dapat dikatakan merampas atau merampok, hanya akan mendatangkan kesengsaraan belaka kepada mereka.

Yang kalah dan mati dalam perebutan itu jelas tidak akan dapat menikmati harta benda, demikian pula kalau dia sampai terluka parah dan menjadi cacat. Yang menang dan mendapatkan harta benda itu pun akan selalu tersiksa karena selalu terancam orang lain yang hendak merampas benda itu atau terancam oleh mereka yang hendak membalas dendam atas warganya yang telah dikalahkan, dilukai atau dibunuh dalam perebutan harta benda itu. Orang-orang yang menjadi hamba nafsu seperti ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, baik melalui penipuan, pencurian, perampokan, korupsi dan sebagainya lagi.

Berbeda dengan orang yang menjadi majikan dari nafsunya, mengatur dan mengendalikannya, tidak akan membuta dalam mencari uang, karena nafsunya terkendali sehingga selalu mencarinya dengan cara yang benar, cara yang halal, dapat membedakan antara mencari dan mencuri atau menipu. Mencari uang dengan jalan yang benar merupakan kewajiban bagi manusia karena memang hidup ini tidak mungkin tanpa menggunakan uang. Akan tetapi bukan berarti dia harus mencari uang dengan jalan mencuri atau merampas hak orang lain atau menipu.


Sementara Pek Mo-ko bertanding mati-matian melawan Huo Lo-sian, Hek Mo-ko berhadapan dengan Bu-tek Sin-liong. Dia sebetulnya merasa gentar menghadapi datuk besar majikan Bukit Merak ini, akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, terpaksa dia melawan dan menyerang dengan golok di tangan kanan dan dengan pukulan Hek-tok-ciang di tangan kiri. Bu-tek Sin-liong adalah seorang yang paling suka bertanding mengadu ilmu. Lebih lihai lawannya, dia lebih gembira melayaninya, maka dengan gembira dia lalu menerjang Hek Mo-ko dan keduanya sudah saling serang dengan dahsyatnya.

Pertempuran di tempat itu menjadi semakin seru. Pihak Thai-san-pai mendesak pihak pasukan yang dipimpin Kim Bayan sedangkan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko terdesak oleh Bu-tek Sin-liong dan Huo Lo-sian. Adapun Cu Ai Yin yang tadinya hanya menonton saja, ketika teringat kepada Pouw Cun Giok dan keinginannya untuk menyerahkan harta karun itu kepada pemuda itu, lalu melompat dengan gerakan ringan mendekati dua buah peti yang berada di atas kereta. Akan tetapi sebelum ia sempat menyentuh peti harta karun itu, selosin orang perajurit yang bertugas menjaga harta karun itu, segera menyambutnya dengan pengeroyokan.

Selosin orang perajurit ini merupakan perajurit pilihan yang memiliki kepandaian ilmu silat lumayan maka mereka ditugaskan menjaga dan mempertahankan dua buah peti itu. Ai Yin mengamuk dengan siang-kiam (sepasang pedang) pendek dengan gerakan yang amat cepat sehingga yang tampak hanya gulungan sinar sepasang pedangnya, membuat selosin orang perajurit itu terkejut dan saling bantu untuk menyelamatkan diri dari sambaran sinar pedang gadis perkasa itu. Baru saja Ai Yin merobohkan tiga orang perajurit yang mengeroyoknya, tiba-tiba seorang pemuda tinggi besar muncul dan menangkis pedang Ai Yin yang menyambar-nyambar.

“Tranggg...!”

Ai Yin terkejut karena tangkisan itu cukup kuat dan ketika ia memandang, ia menjadi marah sekali karena yang menangkisnya itu adalah Kong Sek, murid ayahnya atau suhengnya sendiri. Akan tetapi Kong Sek tidak menjawab. Cintanya terhadap Ai Yin kini memudar setelah dia mendapat kenyataan betapa Ai Yin lebih condong membela Pouw Cun Giok dan bahkan memusuhinya. Dia sudah melepaskan harapannya untuk berjodoh dengan gadis itu. Maka, tanpa bicara dia lalu menyerang dengan pedangnya, membantu perajurit yang mengeroyok Ai Yin.

Ternyata Kong Sek tidak datang seorang diri. Seperti telah diketahui, pemuda ini telah menjadi sekutu Cui-beng Kui-ong dan kini dia hendak menggunakan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli menginginkan harta karun itu untuk membantunya membalas dendamnya terhadap Pouw Cun Giok! Maka, kini pun dia tidak muncul sendiri. Ketika dia membantu para perajurit menahan Ai Yin yang hendak mengambil atau merampas harta karun, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli cepat melompat dekat kereta atau gerobak yang memuat dua buah peti hitam.

Empat orang perajurit menyambut mereka akan tetapi sekali kakek dan nenek iblis itu menggerakkan tangannya, empat orang perajurit itu memekik dan tubuh mereka terlempar dengan kepala pecah dan tewas seketika! Akan tetapi baru saja dua orang kakek dan nenek iblis itu membunuh empat orang perajurit, sebelum mereka sempat menghampiri dua buah peti dalam gerobak, tampak bayangan yang gerakannya cepat seperti terbang meluncur ke arah gerobak dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berada di atas gerobak.

Pemuda itu bukan lain adalah Pouw Cun Giok yang datang bersama Ceng Ceng. Akan tetapi hanya Cun Giok sendiri yang melayang ke atas gerobak dan sebelum ada yang sempat mencegah, Cun Giok mengerahkan tenaga, menghantam ke arah dua buah peti hitam itu.

“Wuuuttt! Brak-brakk…!” Dua buah peti itu pecah berantakan dan batu-batu kerikil yang berada dalam peti-peti itu berhamburan!

“Peti itu hanya berisi batu-batu!” terdengar banyak orang berteriak dan teriakan ini sekaligus menghentikan semua orang yang berkelahi. Mereka menahan senjata, melompat ke belakang dan menghampiri gerobak, lalu dengan mata terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang sudah pecah dan batu-batu kerikil yang berhamburan!

Bukan hanya mereka yang tadinya berkelahi kini memandang bengong. Juga rombongan-rombongan pencari harta yang baru datang seperti Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai, dua orang murid utusan Bu-tong-pai yaitu Liong Kun dan Thia Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin, mereka semua kini memandang dengan heran melihat betapa dua buah peti yang diperebutkan itu hanya berisi batu-batu kerikil!

“Kita semua tertipu! Panglima Kim Bayan hanya membawa peti harta karun palsu!” seru Pouw Cun Giok lantang.

Semua orang yang tadinya berkelahi kini mengomel panjang pendek, merasa tertipu dan dipermainkan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menyalahkan Kim Bayan, karena mereka sendirilah yang datang menghadang dan mencoba untuk merampas harta karun yang mereka kira benar-benar telah ditemukan panglima itu dan pasukannya.

Yang merasa amat marah adalah Cui-beng Kui-ong. Dia mengeluarkan suara gerengan dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah berdiri di depan Panglima Kim Bayan. Mukanya merah dan tubuhnya yang kurus itu seperti menjadi semakin bongkok, akan tetapi sikap dan suaranya penuh wibawa ketika dia membentak.

“Kim Bayan! Apa yang kau lakukan ini? Hanya dengan pangkatmu sebagai panglima, engkau berani mempermainkan kami?”

Panglima Kim Bayan cepat memberi hormat kepada gurunya dengan membungkuk sampai dalam. “Maafkan saya, Suhu. Bukan maksud saya mempermainkan Suhu dan Subo. Siasat ini saya pergunakan untuk memancing mereka yang mencari harta karun. Yang datang hendak merampas dua peti itu pasti bukan pencurinya. Dengan jalan ini saya dapat mengetahui siapa yang menjadi pencurinya, yaitu mereka yang tidak datang mencoba untuk merampas peti-peti ini.”

“Dan engkau melakukan siasat ini tanpa memberi laporan kepadaku? Apakah engkau bermaksud untuk mendapatkan harta itu bagi dirimu sendiri? Engkau membikin malu kami berdua!”

“Dia pantas dihukum!” terdengar Song-bun Moli berseru dengan suaranya yang serak dan tinggi.

Biarpun dia berhadapan dengan suhu dan subonya, akan tetapi Kim Bayan teringat bahwa dia adalah seorang panglima kerajaan dan biarpun dua orang kakek nenek itu pun merupakan orang-orang berjasa dan dianugerahi Kaisar, namun mereka tidak memiliki kedudukan resmi. Maka, kini dihina di depan orang banyak, dia menjadi malu dan bangkit melawan.

“Suhu dan Subo, saya adalah panglima kerajaan, tidak akan merampas harta karun untuk diri sendiri. Akan tetapi Suhu dan Subo bukan utusan kerajaan, sepatutnya membantu kami mencari harta karun itu untuk diserahkan kepada Yang Mulia Sri Baginda Kaisar!”

“Bangsat! Berani engkau menuduh kami? Jangan dikira kami tidak tahu bahwa usahamu mencari harta karun ini sama sekali bukan atas perintah Sribaginda Kaisar. Engkau memang tidak pantas lagi menjadi murid kami!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cui-beng Kui-ong menerjang menyerang Kim Bayan, muridnya sendiri itu, dengan tongkatnya.

Kim Bayan terkejut. Tak disangkanya kakek itu berani menyerangnya. Biarpun dia murid kakek itu, namun dia berkedudukan sebagai seorang panglima kerajaan! Akan tetapi kakek itu sudah menyerangnya, maka cepat dia menggunakan golok yang masih dipegangnya untuk menangkis.

“Tranggg...!”

Bunga api berpijar, akan tetapi disusul teriakan Panglima Kim Bayan yang roboh berkelojotan karena sebatang anak panah kecil sudah menancap di tenggorokannya. Tak lama kemudian panglima itu pun diam dan tewas.

Sebetulnya Kim Bayan tentu saja sudah tahu bahwa di ujung tongkat gurunya itu tersembunyi anak panak kecil yang beracun. Akan tetapi dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa gurunya tega untuk membunuhnya, apalagi selain murid kakek itu dia pun seorang panglima kerajaan. Akan tetapi ternyata Cui-beng Kui-ong yang berwatak aneh itu sama sekali tidak mempedulikan semua itu dan langsung membunuh muridnya sendiri yang dia anggap menghina dan mempermalukannya karena dia dan Song-bun Moli juga tertipu dan ikut menghadang, bahkan tadi hampir saja merampas dua buah peti yang ternyata isinya hanya batu kerikil...!

cerita silat online karya kho ping hoo

Melihat Kim Bayan dibunuh kakek itu, para perwira yang membantu Kim Bayan menjadi terkejut dan marah. Tentu saja mereka mempunyai rasa setia kawan kepada Kim Bayan, maka mereka memberi isyarat kepada para perajurit untuk mengepung Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Kong Sek berdiri di luar kepungan karena tadi dia bertanding melawan Cu Ai Yin dan kini setelah perkelahian berhenti dia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi Ai Yin tetap berhadapan dengan dia, agaknya siap menentangnya kalau pemuda ini hendak menyerang Cun Giok. Semua orang kini mengarahkan perhatiannya kepada kakek dan nenek iblis itu yang dikepung para perwira dan perajurit mereka.

Melihat sikap para perwira dan perajurit itu, Cui-beng Kui-ong mengerutkan alisnya dan membentak marah. “Heh, kalian mau apa? Apakah kalian buta, tidak mengenal siapa kami dan berani hendak menentang kami?”

Seorang perwira yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, menjawab lantang. “Kami semua mengenal siapa Ji-wi (Kalian Berdua), akan tetapi Ji-wi telah membunuh panglima kami, berarti Ji-wi memberontak terhadap kerajaan dan harus kami tangkap!”

“He-he-heh! Kui-ong, tikus-tikus ini hendak menangkap kita! Mari kita kirim mereka ke neraka menyusul Bayan!” Song-bun Moli terkekeh. Kakek dan nenek itu siap untuk membasmi para perwira dan perajurit itu, sedangkan semua orang yang berada di situ hanya menonton dengan hati tegang.

“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua sosok tubuh berkelebat dan seorang pemuda dan seorang gadis sudah berdiri di depan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Mereka adalah Yauw Tek dan Li Hong!

Para perwira dan perajurit yang segera mengenal pemuda itu sebagai Pangeran Youtechin, segera menjatuhkan diri berlutut memberi hormat. Kakek dan nenek itu tidak banyak mengenal para pangeran, akan tetapi mereka mengenal Pangeran Youtechin karena pangeran muda ini dikenal sebagai seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak merasa lebih rendah derajatnya dan tidak menyambut pangeran itu dengan penghormatan yang berlebihan. Mereka berdua hanya menghormati Kaisar, apalagi Cui-beng Kui-ong yang menganggap dirinya sebagai penasihat Kaisar dan sudah memiliki jasa besar. Maka kini menghadapi Yauw Tek atau Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong berkata dengan sikap angkuh.

“Pangeran, mengapa Pangeran menahan kami berdua yang hendak memberi hajaran kepada tikus-tikus ini?”

“Cui-beng Kui-ong. Lihat, dengan siapa engkau berhadapan?” Yauw Tek membentak dan dia mengeluarkan sebuah kim-pai (lencana emas) dan memperlihatkannya kepada Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli.

Cui-beng Kui-ong terkejut sekali melihat lencana emas yang ada cap dari kaisar itu karena lencana itu menandakan bahwa dia berhadapan dengan orang yang telah diberi kekuasaan oleh Kaisar dan dapat bertindak atas nama Kaisar! Maka, dia seolah kini berhadapan dengan Kaisar sendiri. Cepat Cui-beng Kui-ong memberi hormat dan Song-bun Moli mengikutinya.

“Maaf, kami tidak tahu bahwa Paduka adalah utusan Sribaginda Kaisar yang diberi Kim-pai, Pangeran Youtechin! Kami siap mentaati perintah Paduka!”

Semua orang juga terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda adalah seorang Pangeran Mongol yang memiliki kekuasaan besar. Terutama sekali Ceng Ceng. Ia terkejut dan heran, sama sekali tidak pernah mengira bahwa Yauw Tek adalah seorang pangeran yang menyamar. Pada saat itu, Li Hong menghampiri Ceng Ceng dan keduanya saling rangkul.

“Hong-moi... dia... dia itu... pangeran?” Ceng Ceng berbisik.

Li Hong mengangguk dan tersenyum. “Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan, Enci Ceng.”

Dalam suara gadis ini terdapat kebanggaan dan diam-diam Ceng Ceng ikut merasa senang melihat adik angkatnya berbahagia. Karena perhatian mereka ditujukan kepada Yauw Tek dan kakek nenek iblis itu, maka Ceng Ceng belum sempat mempertemukan Li Hong dengan Cun Giok, kakak misan gadis dari Pulau Ular itu.

Kini Yauw Tek atau Pangeran Youtechin berkata kepada Cui-beng Kui-ong. “Cui-beng Kui-ong, engkau bersalah membunuh seorang panglima kerajaan. Sepatutnya engkau ditangkap dan diadili, akan tetapi mengingat bahwa Kim Bayan adalah muridmu, biarlah kami menganggap bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya, tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Akan tetapi kalian berdua harus memperlihatkan bukti bahwa kalian tidak bermaksud memberontak terhadap kerajaan dengan membantu kami mencari harta karun!”

“Baik, kami siap membantu Paduka dan terima kasih atas kebijaksanaan Paduka, Pangeran!” kata Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang kini tampaknya 'mati kutu' menghadap seorang pangeran yang memegang sebuah Kim-pai tanda kekuasaan dari Kaisar.

Kini Yauw Tek memutar tubuhnya menghadapi mereka yang telah berkumpul di situ. Mereka semua kini memandang pemuda yang ternyata seorang pangeran yang besar kekuasaannya sehingga sepasang kakek nenek iblis seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli juga gentar dan tunduk kepadanya. Mereka itu adalah Huo Lo-sian dan Bu-tek Sin-liong dan anak buah Bukit Merah, Ketua Thai-san-pai dan para muridnya, para utusan Go-bi-pai, juga utusan Kun-lun-pai, Ketua Ang-tung Kai-pang dan para anggautanya, Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka, Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid dan utusan Bu-tong-pai dan dua orang gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, Ceng Ceng dan Cun Giok yang kini ditemani Li Hong, dan beberapa tokoh lain yang tertarik datang ke Thai-san-pai untuk melihat keadaan dan juga ingin sekali ikut mencari harta karun.

Dengan suara lantang Pangeran Youtechin lalu berkata kepada mereka. “Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat. Kita semua tahu untuk apa kita berbondong-bondong datang ke Thai-san ini. Jelas bahwa kita semua datang dengan satu tujuan, yaitu mencari dan mendapatkan harta karun yang kita kira berada di sini karena setelah tempat penyimpanan harta itu didapatkan di Bukit Sorga, yang ditemukan hanya peti kosong yang ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Tentu Cuwi mengetahui bahwa harta karun itu sebetulnya menjadi hak milik Pemerintah Kerajaan...”

“Harta karun itu adalah harta karun Kerajaan Sung!” Tiba-tiba ada suara wanita berseru lantang memotong ucapan pangeran itu. Ketika semua mata memandang, ternyata yang berseru itu adalah seorang gadis muda cantik jelita yang gagah perkasa, di rambutnya terdapat setangkai bunga putih.

Bu-tek Sin-liong Cu Liong memandang puterinya, Pek-hwa (Dewi Berbunga Putih) Cu Ai Yin dengan bangga atas keberanian puterinya itu walaupun sebetulnya dia tidak setuju puterinya membela Kerajaan Sung yang sudah jatuh. Dia adalah seorang tokoh yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan kerajaan...


Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 33

33. PANGLIMA MONGOL KORBAN SIASAT SENDIRI

Demikian pula, permainan pedang lima orang sute dari Ketua Thai-san-pai tidak tertandingi dua belas orang perwira dan dua orang di antara mereka bahkan telah terluka. Biarpun jumlah perajurit lebih banyak daripada jumlah murid Thai-san-pai, namun murid-murid itu telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi sehingga pertempuran di antara kedua pihak itu berlangsung seru.

Selagi Kim Bayan merasa khawatir karena pihaknya terdesak dan dia akan membuka rahasia bahwa kedua buah peti itu kosong sehingga tidak ada yang perlu direbutkan dan dipertentangkan untuk menghemikan pertempuran, tiba-tiba muncul Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.

Tanpa banyak cakap, kedua orang ini sudah melompat dekat gerobak. Mereka hendak merampas dua buah peti, akan tetapi enam orang perajurit menghadangnya dengan tombak di tangan. Hek Pek Mo-ko mengeluarkan suara tawa mengejek dan mengamuk. Kasihan para perajurit itu. Tentu saja mereka bukan lawan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang amat lihai dan sebentar saja mereka berenam roboh. Akan tetapi selagi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko sambil tertawa hendak merampas peti, tiba-tiba muncul Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin!

“Ha-ha-ha, Iblis Hitam Putih tak tahu malu! Jangan seenaknya saja mengambil harta karun!” bentak Huo Lo-sian sambil tertawa.

Melihat munculnya Huo Lo-sian, Pek Mo-ko marah sekali dan cepat dia menyerang dengan dorongan telapak tangannya yang seputih kapur. Uap putih yang amat kuat menyambar ke arah Huo Lo-sian. Akan tetapi majikan Bukit Merah ini tidak gentar dan menyambut dengan dorongan tangannya pula.

“Desss...”

Kedua orang datuk ini terpental ke belakang. Ternyata tenaga sakti mereka berimbang dan Huo Lo-sian yang juga sudah tahu betapa lihainya Pek Mo-ko, segera mencabut senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji. Pek Mo-ko juga telah mencabut pedangnya dan dua orang datuk itu segera saling serang dengan dahsyatnya.

Pertemuan golok dan pedang menimbulkan suara berdentang nyaring diikuti percikan bunga api. Pek Mo-ko menyelingi serangan pedangnya dengan dorongan telapak tangan kiri yang seputih kapur. Kalau telapak tangan itu dipukulkan, maka ada semacam uap putih meluncur ke arah lawan. Itulah Ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang menjadi andalan Pek Mo-ko. Akan tetapi lawannya kini adalah Huo Lo-sian yang berilmu tinggi maka setiap kali Pek Mo-ko mengirim serangan Pek-tok-ciang, Huo Lo-sian menangkis dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sehingga setiap kali dua tenaga sakti ini bertemu, kedua orang datuk itu terdorong mundur tanpa menderita luka. Mereka kini berusaha mati-matian untuk mengalahkan lawan dan pertandingan berlangsung seru dan mati-matian.

Orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu kemurkaan mengejar harta benda, beranggapan bahwa hanya harta benda atau uang yang akan dapat membahagiakan hidupnya, bagaikan orang buta. Mereka sama sekali tidak merasa bahwa mereka sudah dicengkeram daya rendah harta benda dan mau melakukan apa saja, halal maupun haram, untuk mendapatkannya. Padahal, harta benda yang diperebutkan secara haram itu karena bukan hak miliknya sehingga dapat dikatakan merampas atau merampok, hanya akan mendatangkan kesengsaraan belaka kepada mereka.

Yang kalah dan mati dalam perebutan itu jelas tidak akan dapat menikmati harta benda, demikian pula kalau dia sampai terluka parah dan menjadi cacat. Yang menang dan mendapatkan harta benda itu pun akan selalu tersiksa karena selalu terancam orang lain yang hendak merampas benda itu atau terancam oleh mereka yang hendak membalas dendam atas warganya yang telah dikalahkan, dilukai atau dibunuh dalam perebutan harta benda itu. Orang-orang yang menjadi hamba nafsu seperti ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, baik melalui penipuan, pencurian, perampokan, korupsi dan sebagainya lagi.

Berbeda dengan orang yang menjadi majikan dari nafsunya, mengatur dan mengendalikannya, tidak akan membuta dalam mencari uang, karena nafsunya terkendali sehingga selalu mencarinya dengan cara yang benar, cara yang halal, dapat membedakan antara mencari dan mencuri atau menipu. Mencari uang dengan jalan yang benar merupakan kewajiban bagi manusia karena memang hidup ini tidak mungkin tanpa menggunakan uang. Akan tetapi bukan berarti dia harus mencari uang dengan jalan mencuri atau merampas hak orang lain atau menipu.


Sementara Pek Mo-ko bertanding mati-matian melawan Huo Lo-sian, Hek Mo-ko berhadapan dengan Bu-tek Sin-liong. Dia sebetulnya merasa gentar menghadapi datuk besar majikan Bukit Merak ini, akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, terpaksa dia melawan dan menyerang dengan golok di tangan kanan dan dengan pukulan Hek-tok-ciang di tangan kiri. Bu-tek Sin-liong adalah seorang yang paling suka bertanding mengadu ilmu. Lebih lihai lawannya, dia lebih gembira melayaninya, maka dengan gembira dia lalu menerjang Hek Mo-ko dan keduanya sudah saling serang dengan dahsyatnya.

Pertempuran di tempat itu menjadi semakin seru. Pihak Thai-san-pai mendesak pihak pasukan yang dipimpin Kim Bayan sedangkan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko terdesak oleh Bu-tek Sin-liong dan Huo Lo-sian. Adapun Cu Ai Yin yang tadinya hanya menonton saja, ketika teringat kepada Pouw Cun Giok dan keinginannya untuk menyerahkan harta karun itu kepada pemuda itu, lalu melompat dengan gerakan ringan mendekati dua buah peti yang berada di atas kereta. Akan tetapi sebelum ia sempat menyentuh peti harta karun itu, selosin orang perajurit yang bertugas menjaga harta karun itu, segera menyambutnya dengan pengeroyokan.

Selosin orang perajurit ini merupakan perajurit pilihan yang memiliki kepandaian ilmu silat lumayan maka mereka ditugaskan menjaga dan mempertahankan dua buah peti itu. Ai Yin mengamuk dengan siang-kiam (sepasang pedang) pendek dengan gerakan yang amat cepat sehingga yang tampak hanya gulungan sinar sepasang pedangnya, membuat selosin orang perajurit itu terkejut dan saling bantu untuk menyelamatkan diri dari sambaran sinar pedang gadis perkasa itu. Baru saja Ai Yin merobohkan tiga orang perajurit yang mengeroyoknya, tiba-tiba seorang pemuda tinggi besar muncul dan menangkis pedang Ai Yin yang menyambar-nyambar.

“Tranggg...!”

Ai Yin terkejut karena tangkisan itu cukup kuat dan ketika ia memandang, ia menjadi marah sekali karena yang menangkisnya itu adalah Kong Sek, murid ayahnya atau suhengnya sendiri. Akan tetapi Kong Sek tidak menjawab. Cintanya terhadap Ai Yin kini memudar setelah dia mendapat kenyataan betapa Ai Yin lebih condong membela Pouw Cun Giok dan bahkan memusuhinya. Dia sudah melepaskan harapannya untuk berjodoh dengan gadis itu. Maka, tanpa bicara dia lalu menyerang dengan pedangnya, membantu perajurit yang mengeroyok Ai Yin.

Ternyata Kong Sek tidak datang seorang diri. Seperti telah diketahui, pemuda ini telah menjadi sekutu Cui-beng Kui-ong dan kini dia hendak menggunakan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli menginginkan harta karun itu untuk membantunya membalas dendamnya terhadap Pouw Cun Giok! Maka, kini pun dia tidak muncul sendiri. Ketika dia membantu para perajurit menahan Ai Yin yang hendak mengambil atau merampas harta karun, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli cepat melompat dekat kereta atau gerobak yang memuat dua buah peti hitam.

Empat orang perajurit menyambut mereka akan tetapi sekali kakek dan nenek iblis itu menggerakkan tangannya, empat orang perajurit itu memekik dan tubuh mereka terlempar dengan kepala pecah dan tewas seketika! Akan tetapi baru saja dua orang kakek dan nenek iblis itu membunuh empat orang perajurit, sebelum mereka sempat menghampiri dua buah peti dalam gerobak, tampak bayangan yang gerakannya cepat seperti terbang meluncur ke arah gerobak dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berada di atas gerobak.

Pemuda itu bukan lain adalah Pouw Cun Giok yang datang bersama Ceng Ceng. Akan tetapi hanya Cun Giok sendiri yang melayang ke atas gerobak dan sebelum ada yang sempat mencegah, Cun Giok mengerahkan tenaga, menghantam ke arah dua buah peti hitam itu.

“Wuuuttt! Brak-brakk…!” Dua buah peti itu pecah berantakan dan batu-batu kerikil yang berada dalam peti-peti itu berhamburan!

“Peti itu hanya berisi batu-batu!” terdengar banyak orang berteriak dan teriakan ini sekaligus menghentikan semua orang yang berkelahi. Mereka menahan senjata, melompat ke belakang dan menghampiri gerobak, lalu dengan mata terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang sudah pecah dan batu-batu kerikil yang berhamburan!

Bukan hanya mereka yang tadinya berkelahi kini memandang bengong. Juga rombongan-rombongan pencari harta yang baru datang seperti Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai, dua orang murid utusan Bu-tong-pai yaitu Liong Kun dan Thia Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin, mereka semua kini memandang dengan heran melihat betapa dua buah peti yang diperebutkan itu hanya berisi batu-batu kerikil!

“Kita semua tertipu! Panglima Kim Bayan hanya membawa peti harta karun palsu!” seru Pouw Cun Giok lantang.

Semua orang yang tadinya berkelahi kini mengomel panjang pendek, merasa tertipu dan dipermainkan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menyalahkan Kim Bayan, karena mereka sendirilah yang datang menghadang dan mencoba untuk merampas harta karun yang mereka kira benar-benar telah ditemukan panglima itu dan pasukannya.

Yang merasa amat marah adalah Cui-beng Kui-ong. Dia mengeluarkan suara gerengan dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah berdiri di depan Panglima Kim Bayan. Mukanya merah dan tubuhnya yang kurus itu seperti menjadi semakin bongkok, akan tetapi sikap dan suaranya penuh wibawa ketika dia membentak.

“Kim Bayan! Apa yang kau lakukan ini? Hanya dengan pangkatmu sebagai panglima, engkau berani mempermainkan kami?”

Panglima Kim Bayan cepat memberi hormat kepada gurunya dengan membungkuk sampai dalam. “Maafkan saya, Suhu. Bukan maksud saya mempermainkan Suhu dan Subo. Siasat ini saya pergunakan untuk memancing mereka yang mencari harta karun. Yang datang hendak merampas dua peti itu pasti bukan pencurinya. Dengan jalan ini saya dapat mengetahui siapa yang menjadi pencurinya, yaitu mereka yang tidak datang mencoba untuk merampas peti-peti ini.”

“Dan engkau melakukan siasat ini tanpa memberi laporan kepadaku? Apakah engkau bermaksud untuk mendapatkan harta itu bagi dirimu sendiri? Engkau membikin malu kami berdua!”

“Dia pantas dihukum!” terdengar Song-bun Moli berseru dengan suaranya yang serak dan tinggi.

Biarpun dia berhadapan dengan suhu dan subonya, akan tetapi Kim Bayan teringat bahwa dia adalah seorang panglima kerajaan dan biarpun dua orang kakek nenek itu pun merupakan orang-orang berjasa dan dianugerahi Kaisar, namun mereka tidak memiliki kedudukan resmi. Maka, kini dihina di depan orang banyak, dia menjadi malu dan bangkit melawan.

“Suhu dan Subo, saya adalah panglima kerajaan, tidak akan merampas harta karun untuk diri sendiri. Akan tetapi Suhu dan Subo bukan utusan kerajaan, sepatutnya membantu kami mencari harta karun itu untuk diserahkan kepada Yang Mulia Sri Baginda Kaisar!”

“Bangsat! Berani engkau menuduh kami? Jangan dikira kami tidak tahu bahwa usahamu mencari harta karun ini sama sekali bukan atas perintah Sribaginda Kaisar. Engkau memang tidak pantas lagi menjadi murid kami!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cui-beng Kui-ong menerjang menyerang Kim Bayan, muridnya sendiri itu, dengan tongkatnya.

Kim Bayan terkejut. Tak disangkanya kakek itu berani menyerangnya. Biarpun dia murid kakek itu, namun dia berkedudukan sebagai seorang panglima kerajaan! Akan tetapi kakek itu sudah menyerangnya, maka cepat dia menggunakan golok yang masih dipegangnya untuk menangkis.

“Tranggg...!”

Bunga api berpijar, akan tetapi disusul teriakan Panglima Kim Bayan yang roboh berkelojotan karena sebatang anak panah kecil sudah menancap di tenggorokannya. Tak lama kemudian panglima itu pun diam dan tewas.

Sebetulnya Kim Bayan tentu saja sudah tahu bahwa di ujung tongkat gurunya itu tersembunyi anak panak kecil yang beracun. Akan tetapi dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa gurunya tega untuk membunuhnya, apalagi selain murid kakek itu dia pun seorang panglima kerajaan. Akan tetapi ternyata Cui-beng Kui-ong yang berwatak aneh itu sama sekali tidak mempedulikan semua itu dan langsung membunuh muridnya sendiri yang dia anggap menghina dan mempermalukannya karena dia dan Song-bun Moli juga tertipu dan ikut menghadang, bahkan tadi hampir saja merampas dua buah peti yang ternyata isinya hanya batu kerikil...!

cerita silat online karya kho ping hoo

Melihat Kim Bayan dibunuh kakek itu, para perwira yang membantu Kim Bayan menjadi terkejut dan marah. Tentu saja mereka mempunyai rasa setia kawan kepada Kim Bayan, maka mereka memberi isyarat kepada para perajurit untuk mengepung Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Kong Sek berdiri di luar kepungan karena tadi dia bertanding melawan Cu Ai Yin dan kini setelah perkelahian berhenti dia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi Ai Yin tetap berhadapan dengan dia, agaknya siap menentangnya kalau pemuda ini hendak menyerang Cun Giok. Semua orang kini mengarahkan perhatiannya kepada kakek dan nenek iblis itu yang dikepung para perwira dan perajurit mereka.

Melihat sikap para perwira dan perajurit itu, Cui-beng Kui-ong mengerutkan alisnya dan membentak marah. “Heh, kalian mau apa? Apakah kalian buta, tidak mengenal siapa kami dan berani hendak menentang kami?”

Seorang perwira yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, menjawab lantang. “Kami semua mengenal siapa Ji-wi (Kalian Berdua), akan tetapi Ji-wi telah membunuh panglima kami, berarti Ji-wi memberontak terhadap kerajaan dan harus kami tangkap!”

“He-he-heh! Kui-ong, tikus-tikus ini hendak menangkap kita! Mari kita kirim mereka ke neraka menyusul Bayan!” Song-bun Moli terkekeh. Kakek dan nenek itu siap untuk membasmi para perwira dan perajurit itu, sedangkan semua orang yang berada di situ hanya menonton dengan hati tegang.

“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua sosok tubuh berkelebat dan seorang pemuda dan seorang gadis sudah berdiri di depan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Mereka adalah Yauw Tek dan Li Hong!

Para perwira dan perajurit yang segera mengenal pemuda itu sebagai Pangeran Youtechin, segera menjatuhkan diri berlutut memberi hormat. Kakek dan nenek itu tidak banyak mengenal para pangeran, akan tetapi mereka mengenal Pangeran Youtechin karena pangeran muda ini dikenal sebagai seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak merasa lebih rendah derajatnya dan tidak menyambut pangeran itu dengan penghormatan yang berlebihan. Mereka berdua hanya menghormati Kaisar, apalagi Cui-beng Kui-ong yang menganggap dirinya sebagai penasihat Kaisar dan sudah memiliki jasa besar. Maka kini menghadapi Yauw Tek atau Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong berkata dengan sikap angkuh.

“Pangeran, mengapa Pangeran menahan kami berdua yang hendak memberi hajaran kepada tikus-tikus ini?”

“Cui-beng Kui-ong. Lihat, dengan siapa engkau berhadapan?” Yauw Tek membentak dan dia mengeluarkan sebuah kim-pai (lencana emas) dan memperlihatkannya kepada Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli.

Cui-beng Kui-ong terkejut sekali melihat lencana emas yang ada cap dari kaisar itu karena lencana itu menandakan bahwa dia berhadapan dengan orang yang telah diberi kekuasaan oleh Kaisar dan dapat bertindak atas nama Kaisar! Maka, dia seolah kini berhadapan dengan Kaisar sendiri. Cepat Cui-beng Kui-ong memberi hormat dan Song-bun Moli mengikutinya.

“Maaf, kami tidak tahu bahwa Paduka adalah utusan Sribaginda Kaisar yang diberi Kim-pai, Pangeran Youtechin! Kami siap mentaati perintah Paduka!”

Semua orang juga terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda adalah seorang Pangeran Mongol yang memiliki kekuasaan besar. Terutama sekali Ceng Ceng. Ia terkejut dan heran, sama sekali tidak pernah mengira bahwa Yauw Tek adalah seorang pangeran yang menyamar. Pada saat itu, Li Hong menghampiri Ceng Ceng dan keduanya saling rangkul.

“Hong-moi... dia... dia itu... pangeran?” Ceng Ceng berbisik.

Li Hong mengangguk dan tersenyum. “Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan, Enci Ceng.”

Dalam suara gadis ini terdapat kebanggaan dan diam-diam Ceng Ceng ikut merasa senang melihat adik angkatnya berbahagia. Karena perhatian mereka ditujukan kepada Yauw Tek dan kakek nenek iblis itu, maka Ceng Ceng belum sempat mempertemukan Li Hong dengan Cun Giok, kakak misan gadis dari Pulau Ular itu.

Kini Yauw Tek atau Pangeran Youtechin berkata kepada Cui-beng Kui-ong. “Cui-beng Kui-ong, engkau bersalah membunuh seorang panglima kerajaan. Sepatutnya engkau ditangkap dan diadili, akan tetapi mengingat bahwa Kim Bayan adalah muridmu, biarlah kami menganggap bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya, tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Akan tetapi kalian berdua harus memperlihatkan bukti bahwa kalian tidak bermaksud memberontak terhadap kerajaan dengan membantu kami mencari harta karun!”

“Baik, kami siap membantu Paduka dan terima kasih atas kebijaksanaan Paduka, Pangeran!” kata Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang kini tampaknya 'mati kutu' menghadap seorang pangeran yang memegang sebuah Kim-pai tanda kekuasaan dari Kaisar.

Kini Yauw Tek memutar tubuhnya menghadapi mereka yang telah berkumpul di situ. Mereka semua kini memandang pemuda yang ternyata seorang pangeran yang besar kekuasaannya sehingga sepasang kakek nenek iblis seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli juga gentar dan tunduk kepadanya. Mereka itu adalah Huo Lo-sian dan Bu-tek Sin-liong dan anak buah Bukit Merah, Ketua Thai-san-pai dan para muridnya, para utusan Go-bi-pai, juga utusan Kun-lun-pai, Ketua Ang-tung Kai-pang dan para anggautanya, Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka, Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid dan utusan Bu-tong-pai dan dua orang gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, Ceng Ceng dan Cun Giok yang kini ditemani Li Hong, dan beberapa tokoh lain yang tertarik datang ke Thai-san-pai untuk melihat keadaan dan juga ingin sekali ikut mencari harta karun.

Dengan suara lantang Pangeran Youtechin lalu berkata kepada mereka. “Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat. Kita semua tahu untuk apa kita berbondong-bondong datang ke Thai-san ini. Jelas bahwa kita semua datang dengan satu tujuan, yaitu mencari dan mendapatkan harta karun yang kita kira berada di sini karena setelah tempat penyimpanan harta itu didapatkan di Bukit Sorga, yang ditemukan hanya peti kosong yang ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Tentu Cuwi mengetahui bahwa harta karun itu sebetulnya menjadi hak milik Pemerintah Kerajaan...”

“Harta karun itu adalah harta karun Kerajaan Sung!” Tiba-tiba ada suara wanita berseru lantang memotong ucapan pangeran itu. Ketika semua mata memandang, ternyata yang berseru itu adalah seorang gadis muda cantik jelita yang gagah perkasa, di rambutnya terdapat setangkai bunga putih.

Bu-tek Sin-liong Cu Liong memandang puterinya, Pek-hwa (Dewi Berbunga Putih) Cu Ai Yin dengan bangga atas keberanian puterinya itu walaupun sebetulnya dia tidak setuju puterinya membela Kerajaan Sung yang sudah jatuh. Dia adalah seorang tokoh yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan kerajaan...