Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

30. SIAPAKAH GOLONGAN MURKA HARTA?

Setelah berada di luar dan berhadapan dengan banyak orang itu, Thai-san Sianjin lalu menjura dan dengan sikap tenang dia berkata. “Saudara-saudara sekalian! Kami Thai-san-pai tidak sedang mengadakan perayaan dan tidak menyebar undangan, akan tetapi Saudara-saudara berdatangan dari semua penjuru dan memasuki wilayah kami tanpa memberitahu. Ada kepentingan besar apakah yang membuat Saudara sekalian datang dan mengepung tempat kami?”

Huo Lo-sian tertawa bergelak sambil menghadapkan mukanya ke atas dan perutnya bergelombang, “Hua-ha-ha, Ketua Thai-san-pai, jangan pura-pura bodoh dan menyembunyikan kenyataan. Beritanya sudah tersebar bahwa Thai-san-pai yang mencuri harta karun itu! Aku sudah menduga sejak semula. Hayo serahkan setengahnya kepadaku dan aku akan membantumu mengusir semua orang ini!”

“Heh, Lo-sian! Jangan lupa, akulah yang akan mengalahkan semua orang ini kalau mereka berani campur tangan!” kata Bu-tek Sin-liong dengan lantang dan dia memandang ke sekeliling sikapnya menantang.

“Ho-ho, nanti dulu, Huo Lo-sian!” Tiba-tiba muncul Hek Mo-ko, didampingi Pek Mo-ko. “Kalau harta karun itu berada di Thai-san, maka sudah sepantasnya kalau dibagi rata kepada semua penghuni Thai-san termasuk kami. Ini baru adil namanya dan kami menuntut bagian kami sebagai penduduk Thai-san!”

“Hi-hi-heh-heh-heh…!” Terdengar suara melengking setengah tawa setengah tangis yang keluar dari leher Song-bun Mo-li sehingga membuat banyak orang merasa serem. “Kui-ong, dengar itu orang-orang sinting bicara seenak perutnya sendiri, heh-heh-hi-hik!”

“Hemm, kalian orang-orang tidak tahu malu! Membicarakan harta karun yang menjadi hak milik kami!” kata Cui-beng Kui-ong dengan suaranya yang berat dan mengandung wibawa kuat sekali.

Mendengar ini, Ceng Ceng yang berdiri di samping Thai-san Sianjin berkata dengan suaranya yang lembut namun nyaring sehingga terdengar banyak orang. “Cui-beng Kui-ong, bicara tentang hak milik, siapa yang mempunyai hak milik atas harta karun itu? Aku berada di sini, apakah engkau tidak malu mengatakan bahwa harta karun itu hak milikmu?”

Banyak suara terdengar memberi sambutan atas ucapan Ceng Ceng itu, terutama mereka yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah Pek-eng Sianli, puteri mendiang Liu Bok Eng yang dianggap berhak atas harta karun itu. Kui-tung Sin-kai yang sudah tahu dari Ceng Ceng tentang harta karun itu, berkata lantang.

“Hemm, siapa pun sudah mendengar bahwa harta karun itu yang berhak adalah bekas Panglima Liu Bok Eng yang diwariskan kepada puterinya, Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng! Kemudian harta karun itu dicuri orang yang mengaku sebagai penghuni Thai-san. Sungguh lucu kalau sekarang ada orang lain yang mengakui sebagai haknya!”

Mendengar ini, Cui-beng Kui-ong memandang kepada ketua Ang-tung Kai-pang dengan mata melotot, lalu dia menghardik. “Pengemis kotor jangan ikut campur!” Tangannya yang memegang tongkat bergerak, menudingkan tongkat berujung runcing itu ke arah Kui-tung Sin-kai dan tiba-tiba ada sinar hitam kecil meluncur dari ujung tongkat itu ke arah leher ketua Kai-pang itu!

“Tringg…!” Sinar hitam itu adalah sebatang panah kecil dan menyambar cepat, namun Kui-tung Sin-kai bukan orang sembarangan. Dia sudah mengangkat tongkat merah dengan gerakan menangkis dan panah kecil itu tertangkis dan terpental jauh!

“Hi-hi-heh-heh, Kui-ong! Mengapa melayani segala macam jembel busuk? Harta karun berada di Thai-san-pai, mari kita bekuk ketuanya dan paksa dia menyerahkan harta itu kepada kita, hi-hi-hik!” Song-bun Mo-li melangkah maju. Cui-beng Kui-ong juga maju diikuti Kong Sek yang sudah mencabut pedangnya.

“Ho-ho, perlahan dulu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li! Kami juga berhak atas harta karun itu karena harta itu sudah berada di Thai-san. Kami penghuni Thai-san sejak dulu!” terdengar bentakan dan Hek Mo-ko bersama Pek Mo-ko sudah melompat ke depan, diikuti barisan anak buah mereka!

“Ha-ha, kami juga tidak mau ketinggalan! Kalau Thai-san-pai mau membagi dengan kami, kami akan membantu Thai-san-pai untuk mengusir kalian!” kata pula Huo Lo-sian.

“Hai, kalian semua dengarlah baik-baik!” tiba-tiba Kong Sek berseru dengan suara lantang. “Harta karun itu tadinya berada di Bukit Sorga, tempat kediaman dan milik Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li. Oleh karena itu mereka berdualah yang sesungguhnya berhak atas harta itu. Kini ada yang mencurinya dan pencurinya adalah Thai-san-pai, maka jangan halangi kami untuk merampasnya kembali dari Thai-san-pai!”

“Kong Sek, manusia tak mengenal malu! Engkau sejak dulu belajar ilmu dari Ayahku, engkau murid Ayahku, bagaimana kini engkau mengaku murid kakek dan nenek iblis ini?” Cu Ai Yin membentak marah sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah pemuda yang tadinya menjadi suhengnya, bahkan biarpun belum sah, menjadi tunangannya itu.

Sambil tersenyum mengejek Kong Sek menjawab. “Ayahmu adalah calon ayah mertuaku, sedangkan guruku sekarang adalah Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li!”

“Keparat!” Bu-tek Sin-liong membentak sambil menatap wajah Kong Sek dengan mata terbelalak marah. “Siapa sudi mempunyai mantu atau murid seorang jahanam macam kamu?”

Keadaan menjadi tegang dan agaknya Thai-san-pai akan menghadapi penyerbuan banyak pihak yang agaknya percaya bahwa harta karun itu berada di Thai-san-pai dan ingin berlumba merebutnya. Pada saat itu, tanpa memperlihatkan diri, Pouw Cun Giok juga berada di situ. Dia bersembunyi di atas sebuah pohon besar dan hanya mengintai untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Diam-diam dia telah melakukan penyelidikan setelah berpisah dari kakak beradik kembar The Kui Lan dan The Kui Lin. Kemudian, mendengar berita bahwa harta karun berada di Thai-san-pai, dia datang pula ke tempat itu, hanya tidak memperlihatkan diri.

Demikian pula dengan Yauw Tek dan Li Hong. Mereka datang pula ke situ dan Li Hong tadinya ingin keluar dari persembunyian untuk menemui kakak angkatnya, Ceng Ceng, dan membantunya membela Thai-san-pai. Akan tetapi Yauw Tek menahannya dan menganjurkannya untuk tetap bersembunyi, mengintai dan melihat perkembangan selanjutnya. Li Hong kini telah mengalami perubahan yang tentu akan mengherankan hati mereka yang telah mengenalnya. Dahulu ia merupakan seorang gadis yang berwatak liar dan galak, tidak dapat dikendalikan siapa pun. Akan tetapi kini, setelah ia menyerahkan dirinya dan menjadi kekasih Yauw Tek, ia seolah-olah menjadi jinak dan penurut.

Melihat keadaan menjadi tegang dan gawat, Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, segera maju dan menggabungkan diri dengan tuan rumah, yaitu Thai-san-pai. Mereka berdiri dekat Ceng Ceng dan memandang kepada Cui-beng Kui-ong dengan mata berapi karena dendam dan marah teringat akan dua orang murid wanita yang telah dihina dan dibunuh kakek iblis itu!

“Totiang, kami dari Go-bi-pai akan membantu Thai-san-pai menghadapi para iblis dan manusia sesat yang hendak mengganggu!” kata Thian-li Niocu setelah memberi hormat kepada Thai-san Sianjin. Ketua Thai-san-pai membalas penghormatan itu sambil membungkuk hormat dan senang.

Setelah orang-orang Go-bi-pai maju membela Thai-san-pai, kini mereka yang berjiwa pendekar dan tahu bahwa Ceng Ceng bermaksud mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, berbondong menggabungkan diri dengan Thai-san-pai. Mereka adalah lima orang Hoa-san Ngo-heng-tin, Ang-tung Kai-pang, dan beberapa orang tokoh bersih dunia kang-ouw. Hanya lima orang hwesio (Pendeta Buddha) dari Siauw-lim-pai yang sejak tadi hanya diam saja, kini masih berdiri, agaknya tidak memihak dan hanya ingin melihat perkembangan keadaan yang menegangkan itu.

Perlu diketahui bahwa Pemerintah Kerajaan Boan (Mongol) berusaha mendekati Siauw-lim-pai. Keluarga Kaisar Mongol sebagian besar beragama Buddha, maka dengan sendirinya mereka itu condong berbaik dengan para pendeta Buddha (Hwesio). Apalagi karena mereka mengetahui bahwa Siauw-lim-pai yang menyebarkan Agama Buddha juga dikenal sebagai tempat penggemblengan para pendekar yang tangguh. Pemerintah Mongol bersikap longgar kepada para hwesio, bahkan membebaskan mereka dari pajak dan kewajiban lain yang memberatkan.

Oleh karena sikap yang baik dari Pemerintah Mongol inilah yang membuat para pimpinan Siauw-lim-pai berhati-hati dan memesan kepada para muridnya agar bersikap bijaksana dan lunak, tidak memperlihatkan sikap bermusuhan atau menentang pemerintah Kerajan Mongol. Ini pula yang menyebabkan lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu kini hanya sebagai penonton yang tidak berpihak.

Melihat betapa banyaknya orang yang menggabungkan diri dengan Thai-san-pai, rombongan Huo Lo-sian, Hek Pek Mo-ko, dan Cui-beng Kui-ong menjadi ragu. Keadaan Thai-san-pai kini sungguh kuat. Selain Thai-san-pai sendiri merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan, kini yang bergabung dengan mereka adalah wakil-wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang, masih ditambah lagi dengan adanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, dua orang gadis kembar The Kui Lan dan The Kui Lin dari Lembah Seribu Bunga, dan beberapa orang pendekar lain yang bersikap membela Thai-san-pai. Bukan saja Thai-san-pai kini menjadi kuat sekali, akan tetapi mereka pun masih harus berhadapan dengan para saingan yang hendak memperebutkan harta karun!

Bu-tek Sin-liong Cu Liong adalah seorang datuk yang gila ilmu silat dan gila bertanding! Kini, melihat banyaknya tokoh persilatan berkumpul di situ, kedua tangannya sudah gatal-gatal rasanya karena ingin sekali dia untuk pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan mereka. Dia tidak peduli akan harta karun, tidak membutuhkan harta karun. Yang dibutuhkan adalah mempertahankan nama julukannya Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding)! Dia ingin membuktikan bahwa tidak percuma dia berjuluk Tanpa Tanding. Dengan gagah dia lalu melangkah maju dan memandang ke sekeliling.

“Sobat sekalian!” katanya lantang. “Aku Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak peduli apakah harta karun itu ada ataukah tidak. Akan tetapi setelah di sini berkumpul banyak tokoh persilatan yang terkenal, aku tidak mau sia-siakan kesempatan ini! Aku tantang siapa saja yang berani maju untuk bertanding ilmu silat dengan aku untuk menemukan siapa yang pantas menjadi Thian-te Te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Kolong Langit)!”

Biarpun tantangan ini membuat merah muka para datuk yang tentu saja tidak takut melawan Bu-tek Sin-liong, namun pada saat itu mereka hanya memikirkan harta karun dan sama sekali tidak ingin bertanding hanya untuk mencari kemenangan kosong belaka. Pada saat itu, Pouw Cun Giok mengambil keputusan untuk bertindak. Dia tahu bahwa orang-orang yang biasanya disebut para datuk dan tokoh dunia persllatan itu sudah dimabok harta karun yang kabarnya menghebohkan itu. Untuk mendapatkan dan memperebutkan itu, agaknya mereka siap untuk mengadu nyawa!

Hal ini amat berbahaya karena darah mereka sedang panas. Kalau tantangan Bu-tek Sin-liong itu ada yang menyambutnya, bukan tidak mungkin perkelahian itu akan menjalar dan orang-orang akan nekat menyerbu Thai-san-pai untuk merebut harta karun yang dikabarkan berada di Thai-san-pai. Biarpun banyak yang membela Thai-san-pai, namun pertempuran besar itu pasti akan menjatuhkan banyak korban terbunuh.

cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan pengerahan gin-kang yang memang menjadi keahliannya sehingga dengan gin-kangnya yang amat tinggi itu dia dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sukar diikuti dengan pandang mata dan dia mendapat julukan Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), Pouw Cun Giok melompat ke hadapan mereka dan berkelebatan bagaikan seekor burung menyambar-nyambar. Semua orarg terkejut karena hanya melihat bayangan yang berkelebat ke sana sini, lalu terdengar suaranya lantang.

“Para Lo-cianpwe dan Saudara sekalian! Jangan mudah ditipu berita bohong yang disebarkan orang untuk memancing kekacauan. Harta karun itu tidak berada di Thai-san-pai. Harap Cu-wi (Anda Sekalian) menyadari ini dan jangan tertipu. Harta karun itu berada di tangan orang yang sengaja menyebarkan fitnah kepada Thai-san-pai agar Cu-wi saling tuduh dan saling bentrok di sini. Kalau Cu-wi memaksa dan menuduh Thai-san-pai, terpaksa aku yang muda dan bodoh akan membelanya!” Setelah berhenti bicara, Cun Giok juga berhenti bergerak cepat dan kini dia telah berdiri dekat Thai-san Sianjin.

“Giok-ko……!” seruan ini keluar dari mulut Ceng Ceng, Kui Lan, dan Kui Lin. Mereka girang melihat munculnya pemuda ini. Terutama sekali Ceng Ceng, begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cun Giok, hati mereka berdua tergetar.

“Bu-eng-cu Pouw Cun Giok! Jahanam busuk!” Kong Sek memaki dan dia hendak langsung menyerang, akan tetapi Cui-beng Kui-ong memegang lengannya dan mencegahnya. Orang-orang yang belum mengenal Cun Giok, terkejut mendengar disebutnya Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan) karena nama ini menjadi amat terkenal setelah peristiwa pembunuhan atas diri Panglima Kong Tek Kok dan banyak perajurit di kota raja.

Melihat Thai-san-pai terancam, Hoa-san Ngo-heng-tin maju dan dengan lantang Thian-huo Tosu berkata. “Kami dari Hoa-san-pai tidak mencari permusuhan, akan tetapi kami percaya bahwa Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu. Maka kalau mereka difitnah, kami siap membelanya!”

Biarpun tidak mengeluarkan kata-kata, namun sikap para murid Go-bi-pai dan Ang-tung Kai-pang, juga beberapa orang pendekar, tampak dari sikap mereka bahwa mereka siap bertempur membela Thai-san-pai!

Thai-san Sianjin kini mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata. “Sobat sekalian, percayalah bahwa kami sama sekali tidak tahu apa-apa tentang harta karun, apalagi mencurinya. Kalau kami mencurinya, tidak mungkin para orang gagah di sini membela kami. Maka, kami harap kalian tidak sembarangan menuduh dan mempercayai berita bohong, dan memancing keributan dan permusuhan di sini. Kalau memang ada yang mencuri harta karun dan mengaku tinggal di Thai-san, marilah kita berlumba mencarinya, dan tidak saling bermusuhan memperebutkan barang yang tidak ketahuan di mana adanya!”

“Siapa yang butuh dan peduli akan harta benda? Sekarang, selagi kita berkumpul, hayo aku tantang siapa saja yang berani pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan aku, Bu-tek Sin-liong, silakan maju!” Terdengar kakek gagah perkasa yang gila bertanding itu berseru.

Akan tetapi, semua orang menganggap ucapan Thai-san Sianjin tadi benar dan mereka tidak peduli akan tantangan Bu-tek Sin-liong. Selain agak jerih menyambut tantangan Majikan Bukit Merak ini, juga mereka semua datang ke Thai-san karena tertarik kepada harta karun Kerajaan Sung, bukan untuk mengadu ilmu yang mungkin akan mendatangkan maut bagi mereka. Mati untuk sesuatu yang tidak ada artinya, sungguh bodoh! Mereka lalu mulai bubaran meninggalkan tempat itu. Ai Yin ingin sekali menemui Cun Giok, akan tetapi ayahnya sudah menarik lengannya, diajak pergi dari situ bersama Huo Lo-sian dan yang lain-lain.

Sementara itu, dengan ramah dan hormat Thai-san Sianjin mempersilakan mereka yang tadi berpihak dan mendukung Thai-san-pai untuk masuk dan berbincang-bincang di bangunan induk Thai-san-pai. Yang menerima undangan itu adalah Thian-li Niocu dari Go-bi-pai dan lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai, Hoa-san Ngo-heng-tin, The Kui Lan dan The Kui Lin bersama dua orang murid Bu-tong-pai Liong Kun dan Thio Kui, Liu Ceng Ceng, dan Pouw Cun Giok.

Setelah semua orang duduk dalam ruangan yang luas, Thai-san Sianjin mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka semua. Para tamu yang dlhormati itu dijamu minuman dan Ketua Thai-san-pai itu lalu berkata dengan ramah.

“Terima kasih atas pembelaan Cu-wi yang terhormat, terutama sekali atas kepercayaan Cu-wi bahwa kami sungguh tidak mengambil harta karun itu. Kami juga mendengar bahwa harta karun peninggalan Kerajaan Sung itu kabarnya dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Kalau hal itu benar, marilah kita masing-masing menyelidiki karena Thai-san itu luas sekali. Akan tetapi tentu Cu-wi sudah mengetahui bahwa sesungguhnya yang berhak memiliki adalah Nona Liu Ceng Ceng ini, yang menerima peta sebagai warisan ayahnya, yaitu Panglima Kerajaan Sung, mendiang Liu Bok Eng. Sekarang, kami harap Nona Liu suka menceritakan kembali asal-usul harta karun itu kepada kami semua agar kami mengetahui lebih jelas, juga niat Nona Liu mendapatkan harta karun itu.”

Semua mata memandang kepada Ceng Ceng. Cun Giok tidak berani memandang langsung karena setiap kali bertemu pandang dengan gadis yang dicintanya itu, hatinya tergetar. Dia merasa bahwa dia telah melukai perasaan hati gadis itu ketika dahulu menceritakan bahwa dia telah bertunangan dengan gadis lain, padahal antara dia dan Ceng Ceng sudah terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam. Akan tetapi dalam pandang mata Ceng Ceng kepadanya, sama sekali tidak terkandung penyesalan atau kemarahan, hanya keharuan yang membuat Cun Giok semakin tunduk, iba dan haru memenuhi hatinya.

Kemudian terdengar Ceng Ceng bercerita dengan suaranya yang selalu lembut dan tenang itu. “Cu-wi yang terhormat, saya akan menceritakan dengan singkat saja. Harta karun itu adalah harta Kerajaan Sung yang dikorup atau dicuri oleh Thaikam Bong yang dulu berkuasa dalam istana. Harta itu lalu disembunyikan oleh Thaikam Bong dan dia membuat sehelai peta untuk tempat persembunyian harta itu. Ketika Ayah sebagai panglima menyerbu dan membinasakan thaikam yang korup, jahat dan yang bersekutu dengan orang Mongol itu, Ayah menemukan peta itu dan menyimpannya. Kemudian sebelum Ayah dan Ibu tewas dikeroyok pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan dan para pembantunya, Ayah meninggalkan peta itu kepada saya. Dengan cara yang licik Panglima Kim Bayan dapat memaksa saya dan Twako Pouw Cun Giok ini dengan menawan adik angkat saya Tan Li Hong. Kami terpaksa menyerahkan peta dan membantunya mencari harta karun. Ternyata harta karun itu ditanam di Bukit Sorga akan tetapi setelah kami temukan, peti tempat harta karun itu kosong dan hanya ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Kami berhasil meloloskan diri dan sejak itulah tersiar berita bahwa harta karun itu dicuri orang dari Thai-san maka semua orang lalu berbondong-bondong datang ke Thai-san. Kami sendiri juga datang ke Thai-san karena saya merasa berkewajiban untuk menemukan harta karun itu dan memenuhi pesan Ayahku bahwa harta karun itu harus saya serahkan kepada yang berhak menerimanya.”

“Siapa yang berhak menerimanya itu? Nona Liu, harap jelaskan agar kita semua mengetahui dan merasa yakin bahwa kami berada di pihak yang benar,” kata Thai-san Sianjin.

“Seperti yang sudah saya ceritakan kepada siapa saja, saya sendiri atau mendiang Ayah sama sekali tidak menginginkan harta karun itu untuk diri kami sendiri. Harta karun itu milik Kerajaan Sung, maka jangan sampai terjatuh ke tangan Pemerintah Mongol atau ke tangan orang lain. Yang berhak menerimanya adalah para patriot yang akan berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol.”

Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.

“Kalau demikian tujuannya, kami semua siap untuk membantumu menemukan harta karun itu, Nona Liu!” kata mereka. Mereka lalu bersepakat untuk mencari secara berpencar dan kalau ada yang menemukan tanda-tanda di mana adanya harta karun itu, mereka akan memberi kabar melalui Thai-san-pai agar mereka dapat bersama-sama merampas harta karun itu untuk diserahkan kepada Liu Ceng Ceng agar dapat disumbangkan kepada para patriot pejuang. Setelah bersepakat, mereka pun berpamit.

Yang masih tinggal di Thai-san-pai kini adalah Pouw Cun Giok, Liu Ceng Ceng, The Kui Lan, The Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Enam orang muda ini mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap dan saling berkenalan. Kui Lin dengan lincahnya memperkenalkan dua orang murid Bu-tong-pai kepada Cun Giok. Dalam suasana gembira, mereka mengatur rencana pencarian harta karun itu.

“Enci Ceng Ceng, kami berdua akan membantumu dan kami akan mencari. Kalau berhasil, tentu kami akan memberi kabar melalui Thai-san-pai,” kata Kui Lan.

“Kami berdua akan menemani kalian, Adik Lan dan Lin!” kata Liong Kun gembira.

Ceng Ceng dan Cun Giok tersenyum. Dua orang pemuda Bu-tong-pai itu sama sekali tidak menyembunyikan rasa kagum dan sukanya kepada dua orang gadis kembar itu.

“Baiklah, dan terima kasih atas bantuan kalian,” kata Ceng Ceng.

Dua pasang orang muda itu setelah berpamit kepada Ceng Ceng dan Cun Giok, juga kepada pimpinan Thai-san-pai, lalu meninggalkan perkampungan itu, melakukan perjalanan berempat untuk menyelidiki harta karun yang masih belum diketahui di mana tempatnya dan siapa pula pencurinya...

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 30

30. SIAPAKAH GOLONGAN MURKA HARTA?

Setelah berada di luar dan berhadapan dengan banyak orang itu, Thai-san Sianjin lalu menjura dan dengan sikap tenang dia berkata. “Saudara-saudara sekalian! Kami Thai-san-pai tidak sedang mengadakan perayaan dan tidak menyebar undangan, akan tetapi Saudara-saudara berdatangan dari semua penjuru dan memasuki wilayah kami tanpa memberitahu. Ada kepentingan besar apakah yang membuat Saudara sekalian datang dan mengepung tempat kami?”

Huo Lo-sian tertawa bergelak sambil menghadapkan mukanya ke atas dan perutnya bergelombang, “Hua-ha-ha, Ketua Thai-san-pai, jangan pura-pura bodoh dan menyembunyikan kenyataan. Beritanya sudah tersebar bahwa Thai-san-pai yang mencuri harta karun itu! Aku sudah menduga sejak semula. Hayo serahkan setengahnya kepadaku dan aku akan membantumu mengusir semua orang ini!”

“Heh, Lo-sian! Jangan lupa, akulah yang akan mengalahkan semua orang ini kalau mereka berani campur tangan!” kata Bu-tek Sin-liong dengan lantang dan dia memandang ke sekeliling sikapnya menantang.

“Ho-ho, nanti dulu, Huo Lo-sian!” Tiba-tiba muncul Hek Mo-ko, didampingi Pek Mo-ko. “Kalau harta karun itu berada di Thai-san, maka sudah sepantasnya kalau dibagi rata kepada semua penghuni Thai-san termasuk kami. Ini baru adil namanya dan kami menuntut bagian kami sebagai penduduk Thai-san!”

“Hi-hi-heh-heh-heh…!” Terdengar suara melengking setengah tawa setengah tangis yang keluar dari leher Song-bun Mo-li sehingga membuat banyak orang merasa serem. “Kui-ong, dengar itu orang-orang sinting bicara seenak perutnya sendiri, heh-heh-hi-hik!”

“Hemm, kalian orang-orang tidak tahu malu! Membicarakan harta karun yang menjadi hak milik kami!” kata Cui-beng Kui-ong dengan suaranya yang berat dan mengandung wibawa kuat sekali.

Mendengar ini, Ceng Ceng yang berdiri di samping Thai-san Sianjin berkata dengan suaranya yang lembut namun nyaring sehingga terdengar banyak orang. “Cui-beng Kui-ong, bicara tentang hak milik, siapa yang mempunyai hak milik atas harta karun itu? Aku berada di sini, apakah engkau tidak malu mengatakan bahwa harta karun itu hak milikmu?”

Banyak suara terdengar memberi sambutan atas ucapan Ceng Ceng itu, terutama mereka yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah Pek-eng Sianli, puteri mendiang Liu Bok Eng yang dianggap berhak atas harta karun itu. Kui-tung Sin-kai yang sudah tahu dari Ceng Ceng tentang harta karun itu, berkata lantang.

“Hemm, siapa pun sudah mendengar bahwa harta karun itu yang berhak adalah bekas Panglima Liu Bok Eng yang diwariskan kepada puterinya, Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng! Kemudian harta karun itu dicuri orang yang mengaku sebagai penghuni Thai-san. Sungguh lucu kalau sekarang ada orang lain yang mengakui sebagai haknya!”

Mendengar ini, Cui-beng Kui-ong memandang kepada ketua Ang-tung Kai-pang dengan mata melotot, lalu dia menghardik. “Pengemis kotor jangan ikut campur!” Tangannya yang memegang tongkat bergerak, menudingkan tongkat berujung runcing itu ke arah Kui-tung Sin-kai dan tiba-tiba ada sinar hitam kecil meluncur dari ujung tongkat itu ke arah leher ketua Kai-pang itu!

“Tringg…!” Sinar hitam itu adalah sebatang panah kecil dan menyambar cepat, namun Kui-tung Sin-kai bukan orang sembarangan. Dia sudah mengangkat tongkat merah dengan gerakan menangkis dan panah kecil itu tertangkis dan terpental jauh!

“Hi-hi-heh-heh, Kui-ong! Mengapa melayani segala macam jembel busuk? Harta karun berada di Thai-san-pai, mari kita bekuk ketuanya dan paksa dia menyerahkan harta itu kepada kita, hi-hi-hik!” Song-bun Mo-li melangkah maju. Cui-beng Kui-ong juga maju diikuti Kong Sek yang sudah mencabut pedangnya.

“Ho-ho, perlahan dulu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li! Kami juga berhak atas harta karun itu karena harta itu sudah berada di Thai-san. Kami penghuni Thai-san sejak dulu!” terdengar bentakan dan Hek Mo-ko bersama Pek Mo-ko sudah melompat ke depan, diikuti barisan anak buah mereka!

“Ha-ha, kami juga tidak mau ketinggalan! Kalau Thai-san-pai mau membagi dengan kami, kami akan membantu Thai-san-pai untuk mengusir kalian!” kata pula Huo Lo-sian.

“Hai, kalian semua dengarlah baik-baik!” tiba-tiba Kong Sek berseru dengan suara lantang. “Harta karun itu tadinya berada di Bukit Sorga, tempat kediaman dan milik Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li. Oleh karena itu mereka berdualah yang sesungguhnya berhak atas harta itu. Kini ada yang mencurinya dan pencurinya adalah Thai-san-pai, maka jangan halangi kami untuk merampasnya kembali dari Thai-san-pai!”

“Kong Sek, manusia tak mengenal malu! Engkau sejak dulu belajar ilmu dari Ayahku, engkau murid Ayahku, bagaimana kini engkau mengaku murid kakek dan nenek iblis ini?” Cu Ai Yin membentak marah sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah pemuda yang tadinya menjadi suhengnya, bahkan biarpun belum sah, menjadi tunangannya itu.

Sambil tersenyum mengejek Kong Sek menjawab. “Ayahmu adalah calon ayah mertuaku, sedangkan guruku sekarang adalah Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li!”

“Keparat!” Bu-tek Sin-liong membentak sambil menatap wajah Kong Sek dengan mata terbelalak marah. “Siapa sudi mempunyai mantu atau murid seorang jahanam macam kamu?”

Keadaan menjadi tegang dan agaknya Thai-san-pai akan menghadapi penyerbuan banyak pihak yang agaknya percaya bahwa harta karun itu berada di Thai-san-pai dan ingin berlumba merebutnya. Pada saat itu, tanpa memperlihatkan diri, Pouw Cun Giok juga berada di situ. Dia bersembunyi di atas sebuah pohon besar dan hanya mengintai untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Diam-diam dia telah melakukan penyelidikan setelah berpisah dari kakak beradik kembar The Kui Lan dan The Kui Lin. Kemudian, mendengar berita bahwa harta karun berada di Thai-san-pai, dia datang pula ke tempat itu, hanya tidak memperlihatkan diri.

Demikian pula dengan Yauw Tek dan Li Hong. Mereka datang pula ke situ dan Li Hong tadinya ingin keluar dari persembunyian untuk menemui kakak angkatnya, Ceng Ceng, dan membantunya membela Thai-san-pai. Akan tetapi Yauw Tek menahannya dan menganjurkannya untuk tetap bersembunyi, mengintai dan melihat perkembangan selanjutnya. Li Hong kini telah mengalami perubahan yang tentu akan mengherankan hati mereka yang telah mengenalnya. Dahulu ia merupakan seorang gadis yang berwatak liar dan galak, tidak dapat dikendalikan siapa pun. Akan tetapi kini, setelah ia menyerahkan dirinya dan menjadi kekasih Yauw Tek, ia seolah-olah menjadi jinak dan penurut.

Melihat keadaan menjadi tegang dan gawat, Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, segera maju dan menggabungkan diri dengan tuan rumah, yaitu Thai-san-pai. Mereka berdiri dekat Ceng Ceng dan memandang kepada Cui-beng Kui-ong dengan mata berapi karena dendam dan marah teringat akan dua orang murid wanita yang telah dihina dan dibunuh kakek iblis itu!

“Totiang, kami dari Go-bi-pai akan membantu Thai-san-pai menghadapi para iblis dan manusia sesat yang hendak mengganggu!” kata Thian-li Niocu setelah memberi hormat kepada Thai-san Sianjin. Ketua Thai-san-pai membalas penghormatan itu sambil membungkuk hormat dan senang.

Setelah orang-orang Go-bi-pai maju membela Thai-san-pai, kini mereka yang berjiwa pendekar dan tahu bahwa Ceng Ceng bermaksud mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, berbondong menggabungkan diri dengan Thai-san-pai. Mereka adalah lima orang Hoa-san Ngo-heng-tin, Ang-tung Kai-pang, dan beberapa orang tokoh bersih dunia kang-ouw. Hanya lima orang hwesio (Pendeta Buddha) dari Siauw-lim-pai yang sejak tadi hanya diam saja, kini masih berdiri, agaknya tidak memihak dan hanya ingin melihat perkembangan keadaan yang menegangkan itu.

Perlu diketahui bahwa Pemerintah Kerajaan Boan (Mongol) berusaha mendekati Siauw-lim-pai. Keluarga Kaisar Mongol sebagian besar beragama Buddha, maka dengan sendirinya mereka itu condong berbaik dengan para pendeta Buddha (Hwesio). Apalagi karena mereka mengetahui bahwa Siauw-lim-pai yang menyebarkan Agama Buddha juga dikenal sebagai tempat penggemblengan para pendekar yang tangguh. Pemerintah Mongol bersikap longgar kepada para hwesio, bahkan membebaskan mereka dari pajak dan kewajiban lain yang memberatkan.

Oleh karena sikap yang baik dari Pemerintah Mongol inilah yang membuat para pimpinan Siauw-lim-pai berhati-hati dan memesan kepada para muridnya agar bersikap bijaksana dan lunak, tidak memperlihatkan sikap bermusuhan atau menentang pemerintah Kerajan Mongol. Ini pula yang menyebabkan lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu kini hanya sebagai penonton yang tidak berpihak.

Melihat betapa banyaknya orang yang menggabungkan diri dengan Thai-san-pai, rombongan Huo Lo-sian, Hek Pek Mo-ko, dan Cui-beng Kui-ong menjadi ragu. Keadaan Thai-san-pai kini sungguh kuat. Selain Thai-san-pai sendiri merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan, kini yang bergabung dengan mereka adalah wakil-wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang, masih ditambah lagi dengan adanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, dua orang gadis kembar The Kui Lan dan The Kui Lin dari Lembah Seribu Bunga, dan beberapa orang pendekar lain yang bersikap membela Thai-san-pai. Bukan saja Thai-san-pai kini menjadi kuat sekali, akan tetapi mereka pun masih harus berhadapan dengan para saingan yang hendak memperebutkan harta karun!

Bu-tek Sin-liong Cu Liong adalah seorang datuk yang gila ilmu silat dan gila bertanding! Kini, melihat banyaknya tokoh persilatan berkumpul di situ, kedua tangannya sudah gatal-gatal rasanya karena ingin sekali dia untuk pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan mereka. Dia tidak peduli akan harta karun, tidak membutuhkan harta karun. Yang dibutuhkan adalah mempertahankan nama julukannya Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding)! Dia ingin membuktikan bahwa tidak percuma dia berjuluk Tanpa Tanding. Dengan gagah dia lalu melangkah maju dan memandang ke sekeliling.

“Sobat sekalian!” katanya lantang. “Aku Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak peduli apakah harta karun itu ada ataukah tidak. Akan tetapi setelah di sini berkumpul banyak tokoh persilatan yang terkenal, aku tidak mau sia-siakan kesempatan ini! Aku tantang siapa saja yang berani maju untuk bertanding ilmu silat dengan aku untuk menemukan siapa yang pantas menjadi Thian-te Te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Kolong Langit)!”

Biarpun tantangan ini membuat merah muka para datuk yang tentu saja tidak takut melawan Bu-tek Sin-liong, namun pada saat itu mereka hanya memikirkan harta karun dan sama sekali tidak ingin bertanding hanya untuk mencari kemenangan kosong belaka. Pada saat itu, Pouw Cun Giok mengambil keputusan untuk bertindak. Dia tahu bahwa orang-orang yang biasanya disebut para datuk dan tokoh dunia persllatan itu sudah dimabok harta karun yang kabarnya menghebohkan itu. Untuk mendapatkan dan memperebutkan itu, agaknya mereka siap untuk mengadu nyawa!

Hal ini amat berbahaya karena darah mereka sedang panas. Kalau tantangan Bu-tek Sin-liong itu ada yang menyambutnya, bukan tidak mungkin perkelahian itu akan menjalar dan orang-orang akan nekat menyerbu Thai-san-pai untuk merebut harta karun yang dikabarkan berada di Thai-san-pai. Biarpun banyak yang membela Thai-san-pai, namun pertempuran besar itu pasti akan menjatuhkan banyak korban terbunuh.

cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan pengerahan gin-kang yang memang menjadi keahliannya sehingga dengan gin-kangnya yang amat tinggi itu dia dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sukar diikuti dengan pandang mata dan dia mendapat julukan Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), Pouw Cun Giok melompat ke hadapan mereka dan berkelebatan bagaikan seekor burung menyambar-nyambar. Semua orarg terkejut karena hanya melihat bayangan yang berkelebat ke sana sini, lalu terdengar suaranya lantang.

“Para Lo-cianpwe dan Saudara sekalian! Jangan mudah ditipu berita bohong yang disebarkan orang untuk memancing kekacauan. Harta karun itu tidak berada di Thai-san-pai. Harap Cu-wi (Anda Sekalian) menyadari ini dan jangan tertipu. Harta karun itu berada di tangan orang yang sengaja menyebarkan fitnah kepada Thai-san-pai agar Cu-wi saling tuduh dan saling bentrok di sini. Kalau Cu-wi memaksa dan menuduh Thai-san-pai, terpaksa aku yang muda dan bodoh akan membelanya!” Setelah berhenti bicara, Cun Giok juga berhenti bergerak cepat dan kini dia telah berdiri dekat Thai-san Sianjin.

“Giok-ko……!” seruan ini keluar dari mulut Ceng Ceng, Kui Lan, dan Kui Lin. Mereka girang melihat munculnya pemuda ini. Terutama sekali Ceng Ceng, begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cun Giok, hati mereka berdua tergetar.

“Bu-eng-cu Pouw Cun Giok! Jahanam busuk!” Kong Sek memaki dan dia hendak langsung menyerang, akan tetapi Cui-beng Kui-ong memegang lengannya dan mencegahnya. Orang-orang yang belum mengenal Cun Giok, terkejut mendengar disebutnya Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan) karena nama ini menjadi amat terkenal setelah peristiwa pembunuhan atas diri Panglima Kong Tek Kok dan banyak perajurit di kota raja.

Melihat Thai-san-pai terancam, Hoa-san Ngo-heng-tin maju dan dengan lantang Thian-huo Tosu berkata. “Kami dari Hoa-san-pai tidak mencari permusuhan, akan tetapi kami percaya bahwa Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu. Maka kalau mereka difitnah, kami siap membelanya!”

Biarpun tidak mengeluarkan kata-kata, namun sikap para murid Go-bi-pai dan Ang-tung Kai-pang, juga beberapa orang pendekar, tampak dari sikap mereka bahwa mereka siap bertempur membela Thai-san-pai!

Thai-san Sianjin kini mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata. “Sobat sekalian, percayalah bahwa kami sama sekali tidak tahu apa-apa tentang harta karun, apalagi mencurinya. Kalau kami mencurinya, tidak mungkin para orang gagah di sini membela kami. Maka, kami harap kalian tidak sembarangan menuduh dan mempercayai berita bohong, dan memancing keributan dan permusuhan di sini. Kalau memang ada yang mencuri harta karun dan mengaku tinggal di Thai-san, marilah kita berlumba mencarinya, dan tidak saling bermusuhan memperebutkan barang yang tidak ketahuan di mana adanya!”

“Siapa yang butuh dan peduli akan harta benda? Sekarang, selagi kita berkumpul, hayo aku tantang siapa saja yang berani pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan aku, Bu-tek Sin-liong, silakan maju!” Terdengar kakek gagah perkasa yang gila bertanding itu berseru.

Akan tetapi, semua orang menganggap ucapan Thai-san Sianjin tadi benar dan mereka tidak peduli akan tantangan Bu-tek Sin-liong. Selain agak jerih menyambut tantangan Majikan Bukit Merak ini, juga mereka semua datang ke Thai-san karena tertarik kepada harta karun Kerajaan Sung, bukan untuk mengadu ilmu yang mungkin akan mendatangkan maut bagi mereka. Mati untuk sesuatu yang tidak ada artinya, sungguh bodoh! Mereka lalu mulai bubaran meninggalkan tempat itu. Ai Yin ingin sekali menemui Cun Giok, akan tetapi ayahnya sudah menarik lengannya, diajak pergi dari situ bersama Huo Lo-sian dan yang lain-lain.

Sementara itu, dengan ramah dan hormat Thai-san Sianjin mempersilakan mereka yang tadi berpihak dan mendukung Thai-san-pai untuk masuk dan berbincang-bincang di bangunan induk Thai-san-pai. Yang menerima undangan itu adalah Thian-li Niocu dari Go-bi-pai dan lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai, Hoa-san Ngo-heng-tin, The Kui Lan dan The Kui Lin bersama dua orang murid Bu-tong-pai Liong Kun dan Thio Kui, Liu Ceng Ceng, dan Pouw Cun Giok.

Setelah semua orang duduk dalam ruangan yang luas, Thai-san Sianjin mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka semua. Para tamu yang dlhormati itu dijamu minuman dan Ketua Thai-san-pai itu lalu berkata dengan ramah.

“Terima kasih atas pembelaan Cu-wi yang terhormat, terutama sekali atas kepercayaan Cu-wi bahwa kami sungguh tidak mengambil harta karun itu. Kami juga mendengar bahwa harta karun peninggalan Kerajaan Sung itu kabarnya dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Kalau hal itu benar, marilah kita masing-masing menyelidiki karena Thai-san itu luas sekali. Akan tetapi tentu Cu-wi sudah mengetahui bahwa sesungguhnya yang berhak memiliki adalah Nona Liu Ceng Ceng ini, yang menerima peta sebagai warisan ayahnya, yaitu Panglima Kerajaan Sung, mendiang Liu Bok Eng. Sekarang, kami harap Nona Liu suka menceritakan kembali asal-usul harta karun itu kepada kami semua agar kami mengetahui lebih jelas, juga niat Nona Liu mendapatkan harta karun itu.”

Semua mata memandang kepada Ceng Ceng. Cun Giok tidak berani memandang langsung karena setiap kali bertemu pandang dengan gadis yang dicintanya itu, hatinya tergetar. Dia merasa bahwa dia telah melukai perasaan hati gadis itu ketika dahulu menceritakan bahwa dia telah bertunangan dengan gadis lain, padahal antara dia dan Ceng Ceng sudah terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam. Akan tetapi dalam pandang mata Ceng Ceng kepadanya, sama sekali tidak terkandung penyesalan atau kemarahan, hanya keharuan yang membuat Cun Giok semakin tunduk, iba dan haru memenuhi hatinya.

Kemudian terdengar Ceng Ceng bercerita dengan suaranya yang selalu lembut dan tenang itu. “Cu-wi yang terhormat, saya akan menceritakan dengan singkat saja. Harta karun itu adalah harta Kerajaan Sung yang dikorup atau dicuri oleh Thaikam Bong yang dulu berkuasa dalam istana. Harta itu lalu disembunyikan oleh Thaikam Bong dan dia membuat sehelai peta untuk tempat persembunyian harta itu. Ketika Ayah sebagai panglima menyerbu dan membinasakan thaikam yang korup, jahat dan yang bersekutu dengan orang Mongol itu, Ayah menemukan peta itu dan menyimpannya. Kemudian sebelum Ayah dan Ibu tewas dikeroyok pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan dan para pembantunya, Ayah meninggalkan peta itu kepada saya. Dengan cara yang licik Panglima Kim Bayan dapat memaksa saya dan Twako Pouw Cun Giok ini dengan menawan adik angkat saya Tan Li Hong. Kami terpaksa menyerahkan peta dan membantunya mencari harta karun. Ternyata harta karun itu ditanam di Bukit Sorga akan tetapi setelah kami temukan, peti tempat harta karun itu kosong dan hanya ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Kami berhasil meloloskan diri dan sejak itulah tersiar berita bahwa harta karun itu dicuri orang dari Thai-san maka semua orang lalu berbondong-bondong datang ke Thai-san. Kami sendiri juga datang ke Thai-san karena saya merasa berkewajiban untuk menemukan harta karun itu dan memenuhi pesan Ayahku bahwa harta karun itu harus saya serahkan kepada yang berhak menerimanya.”

“Siapa yang berhak menerimanya itu? Nona Liu, harap jelaskan agar kita semua mengetahui dan merasa yakin bahwa kami berada di pihak yang benar,” kata Thai-san Sianjin.

“Seperti yang sudah saya ceritakan kepada siapa saja, saya sendiri atau mendiang Ayah sama sekali tidak menginginkan harta karun itu untuk diri kami sendiri. Harta karun itu milik Kerajaan Sung, maka jangan sampai terjatuh ke tangan Pemerintah Mongol atau ke tangan orang lain. Yang berhak menerimanya adalah para patriot yang akan berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol.”

Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.

“Kalau demikian tujuannya, kami semua siap untuk membantumu menemukan harta karun itu, Nona Liu!” kata mereka. Mereka lalu bersepakat untuk mencari secara berpencar dan kalau ada yang menemukan tanda-tanda di mana adanya harta karun itu, mereka akan memberi kabar melalui Thai-san-pai agar mereka dapat bersama-sama merampas harta karun itu untuk diserahkan kepada Liu Ceng Ceng agar dapat disumbangkan kepada para patriot pejuang. Setelah bersepakat, mereka pun berpamit.

Yang masih tinggal di Thai-san-pai kini adalah Pouw Cun Giok, Liu Ceng Ceng, The Kui Lan, The Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Enam orang muda ini mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap dan saling berkenalan. Kui Lin dengan lincahnya memperkenalkan dua orang murid Bu-tong-pai kepada Cun Giok. Dalam suasana gembira, mereka mengatur rencana pencarian harta karun itu.

“Enci Ceng Ceng, kami berdua akan membantumu dan kami akan mencari. Kalau berhasil, tentu kami akan memberi kabar melalui Thai-san-pai,” kata Kui Lan.

“Kami berdua akan menemani kalian, Adik Lan dan Lin!” kata Liong Kun gembira.

Ceng Ceng dan Cun Giok tersenyum. Dua orang pemuda Bu-tong-pai itu sama sekali tidak menyembunyikan rasa kagum dan sukanya kepada dua orang gadis kembar itu.

“Baiklah, dan terima kasih atas bantuan kalian,” kata Ceng Ceng.

Dua pasang orang muda itu setelah berpamit kepada Ceng Ceng dan Cun Giok, juga kepada pimpinan Thai-san-pai, lalu meninggalkan perkampungan itu, melakukan perjalanan berempat untuk menyelidiki harta karun yang masih belum diketahui di mana tempatnya dan siapa pula pencurinya...