Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

31. OBROLAN PERTAMA SEPASANG...

Seperti dengan sendirinya, tanpa berunding dan bersepakat, Cun Giok dan Ceng Ceng juga berpamit kepada tuan rumah untuk melanjutkan penyelidikan mereka.

“Mudah-mudahan kalian berdua memperoleh hasil yang baik, Pouw-sicu dan Liu-siocia. Pinto juga akan menyebar murid Thai-san-pai untuk melakukan penyelidikan lagi,” kata Ketua Thai-san-pai.

Cun Giok dan Ceng Ceng melakukan perjalanan berdua, keluar dari perkampungan Thai-san-pai tanpa mengeluarkan suara. Padahal, seribu satu macam ucapan yang memenuhi hati mereka, akan tetapi entah mengapa, sukar rasanya untuk bicara setelah mereka kini berdua saja. Karena merasa seperti terjebak ke dalam suasana hening dan macet ini.

Sebagai seorang wanita, Ceng Ceng merasa sukar dan malu untuk membuka pembicaraan. Akan tetapi keadaan seperti itu sungguh tidak nyaman rasanya di hati sehingga ia menarik napas panjang dua kali. Tarikan napas panjang yang halus ini tidak terlewatkan oleh pendengaran Cun Giok. Dia tiba-tiba merasa betapa canggung dan tidak enaknya suasana itu dan dia merasa telah membuat gadis yang dikasihinya ini menderita yang dinyatakan dengan helaan napas panjang dua kali tadi.

“Ceng-moi...”

“Giok-ko...” Entah siapa yang mendahului, akan tetapi keduanya berhenti melangkah dan saling pandang. Agaknya, hanya dengan menyebut nama itu saja sudah mewakili segenap perasaan yang menekan menyatakan diri!

“Ceng-moi, mari kita mengaso sebentar. Duduklah,” kata Cun Giok sambil menghampiri sekumpulan batu yang cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atas batu. Setelah mereka duduk, Cun Giok mendapatkan ketenangan hatinya sehingga tanpa ketegangan seperti yang dia rasakan tadi, dia bertanya. “Ceng-moi, cukup lama kita saling berpisah. Bagaimana keadaanmu selama ini?”

“Terima kasih kepada Thian (Tuhan) aku selalu dalam lindungan-Nya dan baik-baik saja. Bagaimana dengan engkau, Giok-ko?”

“Aku juga baik-baik saja, Ceng-moi.” Pertanyaan pertama mereka itu saja yang dikeluarkan dengan suara penuh perhatian sudah menunjukkan betapa mereka itu selalu saling memikirkan dan saling mengkhawatirkan.

“Ceng-moi, mengapa engkau hanya seorang diri saja? Mana Adik angkatmu, mengapa... Li Hong tidak bersamamu?”

Ceng Ceng tersenyum dan melihat senyum itu saja, belum mendengar jawabannya, sudah membuat hati Cun Giok lega. Ah, baru sekarang dia merasakan betapa dekat dengan Ceng Ceng mendatangkan kedamaian dan agaknya tiada hal yang dapat merisaukannya karena sikap gadis itu selalu demikian tenang, sabar, dan penuh senyum tulus seolah tidak ada masalah apa pun yang akan mampu menggoyahkannya.

“Adikku yang manis dan bengal itu. Entah kenapa ia menghilang dan tidak kembali padaku. Akan tetapi aku tidak khawatir, Giok-ko, karena ada Yauw-twako yang mengejarnya dan sekarang tentu Yauw-twako sudah menemaninya.”

“Yauw-twako? Siapa itu? Apa yang terjadi?” tanya Cun Giok heran.

“Panjang ceritanya, Giok-ko. Akan tetapi yang lain itu nanti kuceritakan, sekarang berita yang amat menggembirakan dulu untukmu.”

“Eh? Berita baik untukku? Apa itu, Ceng-moi?”

“Ketahuilah bahwa Adik Tan Li Hong itu adalah piauw-moimu (adik misanmu).”

“Apa? Bagaimana...?”

“Giok-ko, ayah dari Li Hong, yaitu Tan Kun Tek yang dulu tinggal di Seng-hai-lian, adalah kakak dari mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian.”

Cun Giok terbelalak akan tetapi hatinya girang. “Ah, sungguh menggembirakan! Li Hong yang nakal, dan galak itu adikku sendiri! Ya, aku ingat bahwa Suhu pernah bilang Ibu mempunyal seorang kakak dekat Nan-king, akan tetapi karena tak pernah bertemu, aku lupa lagi. Kiranya kakak Ibuku itu ayah Li Hong! Akan tetapi, bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu, Ceng-moi?”

“Aku ikut Hong-moi ke Pulau Ular untuk bertemu dengan ibunya yang sudah kita kenal. Ingat waktu kita berdua berkunjung ke pulau berbahaya itu?”

“Tentu saja aku ingat. Ibu Li Hong adalah Ban-tok Kui-bo...”

“Bukan, Giok-ko. Ketika kita berkunjung ke sana, Ban-tok Kui-bo adalah gurunya, bukan ibunya. Akan tetapi sekarang ia telah menjadi ibunya, ibu tiri.”

“Eh? Aku tidak mengerti. Kaubilang tadi Li Hong itu puteri pamanku...”

“Benar. Paman Tan Kun Tek itu dahulu sebelum menikah dengan ibu kandung Hong-moi, adalah pacar Ban-tok Kui-bo yang kini berganti julukan Ban-tok Niocu. Nah, ketika Paman Tan Kun Tek menikah dengan gadis lain, ia menjadi marah. Ia mendendam dan ketika Paman Tan Kun Tek mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Adik Tan Li Hong, ia lalu menculik anak itu, dibawanya ke Pulau Ular dan diambil murid.”

“Ah, kasihan sekali Hong-moi!”

“Akan tetapi semua itu kini berakhir dengan kebahagiaan bagi keluarga itu, Giok-ko. Setelah Hong-moi dewasa, Ban-tok Niocu menceritakan semua itu dan membiarkan Hong-moi mencari ayah ibunya. Bahkan mereka berdua telah menyelamatkan Paman Tan Kun Tek dan isterinya yang ditawan Kim Bayan. Akhirnya Paman Tan Kun Tek dan isterinya tinggal di Pulau Ular dan Ban-tok Niocu menjadi isteri Paman Tan Kun Tek. Mereka menjadi satu keluarga yang bahagia dan tidak terdapat permusuhan lagi di antara mereka. Nah, ketika aku berkunjung ke Pulau Ular bersama Hong-moi, Paman Tan Kun Tek yang mendengar disebutnya namamu, lalu menceritakan tentang mendiang ibumu kepada kami. Wah, Hong-moi merasa terharu dan gembira bukan main ketika mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya dan ia ingin sekali segera bertemu dengan kakak misannya, Giok-ko!”

Cun Giok tertawa. “Ha-ha, anak nakal itu! Kiranya adikku sendiri! Akan tetapi, di mana ia sekarang dan siapa orang yang kausebut Yauw-twako tadi, Ceng-moi?”

“Begini, Giok-ko. Aku dan Hong-moi meninggalkan Pulau Ular dan pergi ke Thai-san untuk mencari harta karun seperti juga semua orang setelah mendengar bahwa harta karun itu dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Akan tetapi kami berdua ditemani seorang pemuda bernama Yauw Tek. Sebelum kami berangkat, anak buah Pulau Ular melaporkan bahwa ada seorang pemuda berperahu dikeroyok oleh banyak pasukan Mongol dalam empat buah perahu besar. Mendengar ini kami lalu pergi menolongnya. Dia terluka akan tetapi tidak parah dan setelah kami selamatkan, dan kami bawa ke pulau, dia menceritakan bahwa dia bernama Yauw Tek dan sejak kecil ayah ibunya telah meninggal. Dia merantau sampai ke Himalaya dan mempelajari ilmu silat dari para pertapa di sana, kemudian dia belajar pula dari para Pendeta Lhama di Tibet. Ilmu silatnya hebat juga. Ketika mendengar bahwa aku dan Hong-moi hendak mencari harta karun yang dicuri orang dan berada di Thai-san, dia menyatakan hendak ikut dan membantu. Sikapnya baik dan sopan sekali, maka kami tidak keberatan dia menyertai kami.”

“Hemm, menarik sekali. Lalu bagaimana, Ceng-moi?”

“Kami bertiga mengunjungi Ang-tung Kai-pang dan perkumpulan itu ditantang Hek Pek Mo-ko. Karena Hek Pek Mo-ko amat lihai, maka Yauw Tek lalu membantu Ang-tung Kai-pang, bersama Kui-tung Sin-kai akan menghadapi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi ketika mereka berhadapan, Hek Pek Mo-ko memperlihatkan sikap yang kurang ajar. Hong-moi marah dan menyerang mereka, aku membantunya. Hek Pek Mo-ko melarikan diri dan Hong-moi melakukan pengejaran. Karena khawatir kalau-kalau Hong-moi terjebak, maka Yauw Tek mengejarnya. Setelah menanti beberapa lama dan mereka belum kembali, aku lalu ikut mengejar. Akan tetapi aku tidak dapat menemukan mereka dan sampai sekarang aku berpisah dari mereka. Nah, begitulah, Giok-ko.”

“Hemm, Hong-moi memang terlalu berani sehingga terkadang kurang perhitungan dan hal ini dapat membahayakan dirinya sendiri. Aku akan mencarinya... hemm, mari kita pergi mencarinya, Ceng-moi. Aku khawatir kalau ia mengalami hal yang membahayakan.”

“Jangan khawatir, Giok-ko. Aku yakin bahwa dengan adanya Yauw-twako, ia akan selamat. Yauw-twako benar-benar lihai, Giok-ko, dan selain dari itu... mereka berdua... agaknya kalau aku tidak salah kira, mereka berdua itu saling mencinta.”

Cun Giok mengangguk-angguk. “Hemm, begitukah? syukurlah kalau ia menemukan seorang pemuda yang tepat untuk menjadi calon suaminya.”

“Kalau engkau merasa khawatir, mari kita mencari mereka, Giok-ko. Ketika itu, Hong-moi pergi mengejar Hek Pek Mo-ko, dan kedua iblis itu melarikan diri, kukira mereka itu pasti kembali ke tempat tinggal mereka yaitu di sebelah Utara pegunungan ini. Tentu Hong-moi dan Yauw-twako juga mengejar ke arah sana.”

“Ceng-moi, aku sungguh gembira sekali mendengar bahwa Li Hong adalah adik misanku sendiri. Dengan demikian aku harap ia tidak akan marah lagi kepadaku.”

“Tidak, Giok-ko. Ia juga gembira sekali mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya. Ia tidak marah kepadamu, engkau tidak bersalah apa-apa, Giok-ko. Oya, engkau belum menceritakan tentang pengalamanmu sejak berpisah dari kami. Kemana saja engkau pergi, Giok-ko?”

Wajah Cun Giok berubah muram karena dia teringat akan peristiwa yang menyebabkan kematian tunangannya. Maka, beberapa lamanya dia tidak mampu memberi jawaban.

“Giok-ko, maafkan aku kalau pertanyaanku tadi mengganggumu. Kalau engkau tidak ingin menceritakan, sudahlah, aku tarik kembali pertanyaanku tadi.”

Cun Giok menghela napas beberapa kali, menenangkan perasaannya baru menjawab. “Aku yang minta maaf, Ceng-moi. Apa yang kualami memang membuat hatiku menjadi menyesal dan sedih sekali karena aku telah berbuat dosa yang besar sekali kepada tunanganku Siok Eng. Dosaku yang tak dapat diampuni lagi karena aku menyebabkan tunanganku itu, ayahnya, juga encinya dan kakak iparnya, mengalami kematian yang mengenaskan...” Cun Giok menundukkan mukanya karena merasa betapa kedua matanya menjadi basah oleh air mata.

“Aih, Giok-ko…! Engkau mengejutkan hatiku! Mereka tewas? Mengapa, Giok-ko? Engkau harus ceritakan padaku agar hatiku tidak merasa penasaran.”

Cun Giok lalu dengan nada sedih menceritakan tentang terbasminya keluarga Siok Eng oleh putera Kim Bayan yang bernama Kim Magu dan temannya yang bernama Kui Con, di Cin-yang. Betapa mereka itu tewas gara-gara dua orang pemuda anak pejabat itu tergila¬gila kepada Siok Eng dan Siok Hwa namun ditolak sehingga mereka lalu menggunakan paksaan, menculik dua orang wanita itu dan membunuh Siok Kan dan Chao Kung. Kemudian tunangannya, Siok Eng dan encinya itu pun tewas di tangan kedua orang muda itu.

“Aih, sungguh keterlaluan dua orang pemuda itu. Giok-ko, aku ikut merasa berduka dengan malapetaka yang menimpa keluarga tunanganmu! Betapa malang nasibmu, Giok-ko...” kata Ceng Ceng dan tiba-tiba ia teringat akan peristiwa yang ia alami di Cin-yang dahulu. “Ah, aku teringat sekarang akan dua orang pemuda yang kauceritakan itu, Giok-ko! Dan aku pun teringat akan keluarga Siok yang mereka ganggu! Ah, aku pernah bertemu dengan tunanganmu itu, encinya, kakak iparnya, dan ayahnya!”

“Benarkah itu, Ceng-moi?” tanya Cun Giok. “Aku pernah mendengar akan peristiwa itu dan sudah menduga bahwa engkaulah orangnya yang menolong mereka.”

“Sama sekali tidak kusangka bahwa Enci Siok Eng adalah tunanganmu, Giok-ko. Aku sudah memberi hajaran cukup keras kepada dua orang pemuda she Kim dan she Kui itu, dan aku menitipkan keluarga Siok kepada Kepada Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam yang terkenal adil. Yo-thaijin berjanji akan melindungi keluarga itu. Bagaimana dua orang pemuda jahat itu dapat mengganggu lagi?”

“Ceng-moi, Yo-thaijin itu juga dibunuh oleh Panglima Kim Bayan sebelum peristiwa yang menimpa keluarga Siok terjadi.”

Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. “Ah, sungguh jahat sekali Kim Bayan, bahkan puteranya juga amat jahat. Kiranya setelah kuberi hajaran kepada mereka, masih juga belum jera.”

“Akan tetapi sekarang mereka takkan dapat melakukan kejahatan lagi, Ceng-moi.”

“Engkau telah membunuh mereka, Giok-ko?”

Cun Giok menggelengkan kepalanya, “Tidak, Ceng-moi. Aku telah banyak belajar darimu dan aku tidak mau membunuh orang yang tidak dapat melawan. Akan tetapi aku telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak mungkin dapat melakukan kekejaman mengganggu orang lagi.”

Tiba-tiba Ceng Ceng mengeluarkan seruan tertahan, dan ketika Cun Giok memandang kepadanya, gadis itu memejamkan kedua matanya dan sepasang alisnya berkerut.

“Ceng-moi, ada apakah...?”

Ceng Ceng sejenak tidak menjawab. Ia sedang melawan dan mendorong keluar perasaannya sendiri yang tiba-tiba muncul. Tadi ia merasa betapa diam-diam ada kegirangan menyelinap dalam hatinya mendengar bahwa Siok Eng, tunangan Cun Giok, telah tiada! Ia merasa betapa jahatnya perasaan ini sehingga untuk melawannya, ia mengeluarkan seruan dan memejamkan kedua matanya. Ia merasa betapa jahatnya perasaan itu, bergirang mendengar tunangan Cun Giok tewas! Akhirnya ia dapat menenangkan hatinya, membuka kedua matanya dan menghela napas panjang. Kedua matanya basah dan wajahnya berubah kemerahan. Ketika ia melihat betapa Cun Giok memandang kepadanya dengan heran dan khawatir, ia berkata lirih.

“Giok-ko, sudahlah, tidak baik mengenang kembali peristiwa lalu yang hanya mendatangkan perasaan duka dan mungkin akan mendatangkan perasaan dendam dan benci yang akan meracuni hati kita sendiri. Lebih baik kita sekarang melanjutkan perjalanan mencari Adik Li Hong, dan menyelidiki tentang harta karun itu. Aku merasa yakin bahwa harta karun itu pasti berada di pegunungan ini, entah di mana dan entah siapa yang kini menguasainya.”

Cun Giok menghela napas panjang. “Engkau benar sekali, Ceng-moi. Mari kita lanjutkan perjalanan.”

Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan mereka, menuju ke arah utara untuk mencari Li Hong.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo
Yauw Tek duduk di atas akar pohon yang tersembul memanjang dari permukaan tanah di luar hutan kecil dan Li Hong duduk di sebelahnya. Mereka berada di sebuah lereng yang tinggi dan pemandangan indah terbentang di bawah, depan mereka. Sejenak Yauw Tek mengamati wajah Li Hong, wajah yang jelita dan melihat rambut halus melingkar di leher yang putih halus itu, dia tidak dapat menahan gelora hatinya dan membelai rambut halus di leher gadis itu. Li Hong menggelinjang dan menoleh kepada pemuda itu, tersenyum senang melihat betapa pandang mata pemuda itu penuh kasih sayang kepadanya.

“Hong-moi, engkau sungguh cantik jelita……!” bisik Yauw Tek dan Li Hong merasa senang bukan main.

Selama ini, sejak peristiwa di dalam gubuk di mana karena pengaruh obat perangsang Li Hong menyerahkan diri kepada Yauw Tek, hubungan antara mereka berdua menjadi semakin mesra dan akrab. Yauw Tek selalu memperlihatkan sikap yang amat menyenangkan hatinya. Pemuda itu amat mencintanya, juga menghormatinya, sikapnya selalu sopan sehingga ia pun semakin jatuh cinta. Mendapat pujian itu, yang seringkali diucapkan Yauw Tek dengan pandang mata penuh kagum dan kasih sayang, Li Hong tersenyum dan di lain saat ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu yang merangkulnya.

“Koko, katakan bahwa engkau masih mencintaku,” bisiknya.

“Aih, Hong-moi, mengapa engkau berkata demikian? Kata masih mencinta itu menunjukkan seolah cintaku kepadamu belum hilang dan kelak akan hilang! Tidak, Hong-moi, aku bukan masih mencintamu, melainkan selama hidupku akan mencintamu, bahkan setelah mati kelak aku ingin selalu bersamamu.”

Mendengar ini, Li Hong menghela napas dengan hati merasa bahagia sekali dan ia menyandarkan kepala di dada yang bidang itu dan memejamkan matanya. Bibirnya tersenyum manis.

“Koko, aku ingin engkau ikut bersamaku ke Pulau Ular menemui Ayah dan kedua orang Ibuku dan di sana engkau dapat melamarku dengan resmi. Kita langsungkan pernikahan di sana.”

“Moi-moi, apakah engkau sungguh mencintaku...?”

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 31

31. OBROLAN PERTAMA SEPASANG...

Seperti dengan sendirinya, tanpa berunding dan bersepakat, Cun Giok dan Ceng Ceng juga berpamit kepada tuan rumah untuk melanjutkan penyelidikan mereka.

“Mudah-mudahan kalian berdua memperoleh hasil yang baik, Pouw-sicu dan Liu-siocia. Pinto juga akan menyebar murid Thai-san-pai untuk melakukan penyelidikan lagi,” kata Ketua Thai-san-pai.

Cun Giok dan Ceng Ceng melakukan perjalanan berdua, keluar dari perkampungan Thai-san-pai tanpa mengeluarkan suara. Padahal, seribu satu macam ucapan yang memenuhi hati mereka, akan tetapi entah mengapa, sukar rasanya untuk bicara setelah mereka kini berdua saja. Karena merasa seperti terjebak ke dalam suasana hening dan macet ini.

Sebagai seorang wanita, Ceng Ceng merasa sukar dan malu untuk membuka pembicaraan. Akan tetapi keadaan seperti itu sungguh tidak nyaman rasanya di hati sehingga ia menarik napas panjang dua kali. Tarikan napas panjang yang halus ini tidak terlewatkan oleh pendengaran Cun Giok. Dia tiba-tiba merasa betapa canggung dan tidak enaknya suasana itu dan dia merasa telah membuat gadis yang dikasihinya ini menderita yang dinyatakan dengan helaan napas panjang dua kali tadi.

“Ceng-moi...”

“Giok-ko...” Entah siapa yang mendahului, akan tetapi keduanya berhenti melangkah dan saling pandang. Agaknya, hanya dengan menyebut nama itu saja sudah mewakili segenap perasaan yang menekan menyatakan diri!

“Ceng-moi, mari kita mengaso sebentar. Duduklah,” kata Cun Giok sambil menghampiri sekumpulan batu yang cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atas batu. Setelah mereka duduk, Cun Giok mendapatkan ketenangan hatinya sehingga tanpa ketegangan seperti yang dia rasakan tadi, dia bertanya. “Ceng-moi, cukup lama kita saling berpisah. Bagaimana keadaanmu selama ini?”

“Terima kasih kepada Thian (Tuhan) aku selalu dalam lindungan-Nya dan baik-baik saja. Bagaimana dengan engkau, Giok-ko?”

“Aku juga baik-baik saja, Ceng-moi.” Pertanyaan pertama mereka itu saja yang dikeluarkan dengan suara penuh perhatian sudah menunjukkan betapa mereka itu selalu saling memikirkan dan saling mengkhawatirkan.

“Ceng-moi, mengapa engkau hanya seorang diri saja? Mana Adik angkatmu, mengapa... Li Hong tidak bersamamu?”

Ceng Ceng tersenyum dan melihat senyum itu saja, belum mendengar jawabannya, sudah membuat hati Cun Giok lega. Ah, baru sekarang dia merasakan betapa dekat dengan Ceng Ceng mendatangkan kedamaian dan agaknya tiada hal yang dapat merisaukannya karena sikap gadis itu selalu demikian tenang, sabar, dan penuh senyum tulus seolah tidak ada masalah apa pun yang akan mampu menggoyahkannya.

“Adikku yang manis dan bengal itu. Entah kenapa ia menghilang dan tidak kembali padaku. Akan tetapi aku tidak khawatir, Giok-ko, karena ada Yauw-twako yang mengejarnya dan sekarang tentu Yauw-twako sudah menemaninya.”

“Yauw-twako? Siapa itu? Apa yang terjadi?” tanya Cun Giok heran.

“Panjang ceritanya, Giok-ko. Akan tetapi yang lain itu nanti kuceritakan, sekarang berita yang amat menggembirakan dulu untukmu.”

“Eh? Berita baik untukku? Apa itu, Ceng-moi?”

“Ketahuilah bahwa Adik Tan Li Hong itu adalah piauw-moimu (adik misanmu).”

“Apa? Bagaimana...?”

“Giok-ko, ayah dari Li Hong, yaitu Tan Kun Tek yang dulu tinggal di Seng-hai-lian, adalah kakak dari mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian.”

Cun Giok terbelalak akan tetapi hatinya girang. “Ah, sungguh menggembirakan! Li Hong yang nakal, dan galak itu adikku sendiri! Ya, aku ingat bahwa Suhu pernah bilang Ibu mempunyal seorang kakak dekat Nan-king, akan tetapi karena tak pernah bertemu, aku lupa lagi. Kiranya kakak Ibuku itu ayah Li Hong! Akan tetapi, bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu, Ceng-moi?”

“Aku ikut Hong-moi ke Pulau Ular untuk bertemu dengan ibunya yang sudah kita kenal. Ingat waktu kita berdua berkunjung ke pulau berbahaya itu?”

“Tentu saja aku ingat. Ibu Li Hong adalah Ban-tok Kui-bo...”

“Bukan, Giok-ko. Ketika kita berkunjung ke sana, Ban-tok Kui-bo adalah gurunya, bukan ibunya. Akan tetapi sekarang ia telah menjadi ibunya, ibu tiri.”

“Eh? Aku tidak mengerti. Kaubilang tadi Li Hong itu puteri pamanku...”

“Benar. Paman Tan Kun Tek itu dahulu sebelum menikah dengan ibu kandung Hong-moi, adalah pacar Ban-tok Kui-bo yang kini berganti julukan Ban-tok Niocu. Nah, ketika Paman Tan Kun Tek menikah dengan gadis lain, ia menjadi marah. Ia mendendam dan ketika Paman Tan Kun Tek mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Adik Tan Li Hong, ia lalu menculik anak itu, dibawanya ke Pulau Ular dan diambil murid.”

“Ah, kasihan sekali Hong-moi!”

“Akan tetapi semua itu kini berakhir dengan kebahagiaan bagi keluarga itu, Giok-ko. Setelah Hong-moi dewasa, Ban-tok Niocu menceritakan semua itu dan membiarkan Hong-moi mencari ayah ibunya. Bahkan mereka berdua telah menyelamatkan Paman Tan Kun Tek dan isterinya yang ditawan Kim Bayan. Akhirnya Paman Tan Kun Tek dan isterinya tinggal di Pulau Ular dan Ban-tok Niocu menjadi isteri Paman Tan Kun Tek. Mereka menjadi satu keluarga yang bahagia dan tidak terdapat permusuhan lagi di antara mereka. Nah, ketika aku berkunjung ke Pulau Ular bersama Hong-moi, Paman Tan Kun Tek yang mendengar disebutnya namamu, lalu menceritakan tentang mendiang ibumu kepada kami. Wah, Hong-moi merasa terharu dan gembira bukan main ketika mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya dan ia ingin sekali segera bertemu dengan kakak misannya, Giok-ko!”

Cun Giok tertawa. “Ha-ha, anak nakal itu! Kiranya adikku sendiri! Akan tetapi, di mana ia sekarang dan siapa orang yang kausebut Yauw-twako tadi, Ceng-moi?”

“Begini, Giok-ko. Aku dan Hong-moi meninggalkan Pulau Ular dan pergi ke Thai-san untuk mencari harta karun seperti juga semua orang setelah mendengar bahwa harta karun itu dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Akan tetapi kami berdua ditemani seorang pemuda bernama Yauw Tek. Sebelum kami berangkat, anak buah Pulau Ular melaporkan bahwa ada seorang pemuda berperahu dikeroyok oleh banyak pasukan Mongol dalam empat buah perahu besar. Mendengar ini kami lalu pergi menolongnya. Dia terluka akan tetapi tidak parah dan setelah kami selamatkan, dan kami bawa ke pulau, dia menceritakan bahwa dia bernama Yauw Tek dan sejak kecil ayah ibunya telah meninggal. Dia merantau sampai ke Himalaya dan mempelajari ilmu silat dari para pertapa di sana, kemudian dia belajar pula dari para Pendeta Lhama di Tibet. Ilmu silatnya hebat juga. Ketika mendengar bahwa aku dan Hong-moi hendak mencari harta karun yang dicuri orang dan berada di Thai-san, dia menyatakan hendak ikut dan membantu. Sikapnya baik dan sopan sekali, maka kami tidak keberatan dia menyertai kami.”

“Hemm, menarik sekali. Lalu bagaimana, Ceng-moi?”

“Kami bertiga mengunjungi Ang-tung Kai-pang dan perkumpulan itu ditantang Hek Pek Mo-ko. Karena Hek Pek Mo-ko amat lihai, maka Yauw Tek lalu membantu Ang-tung Kai-pang, bersama Kui-tung Sin-kai akan menghadapi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi ketika mereka berhadapan, Hek Pek Mo-ko memperlihatkan sikap yang kurang ajar. Hong-moi marah dan menyerang mereka, aku membantunya. Hek Pek Mo-ko melarikan diri dan Hong-moi melakukan pengejaran. Karena khawatir kalau-kalau Hong-moi terjebak, maka Yauw Tek mengejarnya. Setelah menanti beberapa lama dan mereka belum kembali, aku lalu ikut mengejar. Akan tetapi aku tidak dapat menemukan mereka dan sampai sekarang aku berpisah dari mereka. Nah, begitulah, Giok-ko.”

“Hemm, Hong-moi memang terlalu berani sehingga terkadang kurang perhitungan dan hal ini dapat membahayakan dirinya sendiri. Aku akan mencarinya... hemm, mari kita pergi mencarinya, Ceng-moi. Aku khawatir kalau ia mengalami hal yang membahayakan.”

“Jangan khawatir, Giok-ko. Aku yakin bahwa dengan adanya Yauw-twako, ia akan selamat. Yauw-twako benar-benar lihai, Giok-ko, dan selain dari itu... mereka berdua... agaknya kalau aku tidak salah kira, mereka berdua itu saling mencinta.”

Cun Giok mengangguk-angguk. “Hemm, begitukah? syukurlah kalau ia menemukan seorang pemuda yang tepat untuk menjadi calon suaminya.”

“Kalau engkau merasa khawatir, mari kita mencari mereka, Giok-ko. Ketika itu, Hong-moi pergi mengejar Hek Pek Mo-ko, dan kedua iblis itu melarikan diri, kukira mereka itu pasti kembali ke tempat tinggal mereka yaitu di sebelah Utara pegunungan ini. Tentu Hong-moi dan Yauw-twako juga mengejar ke arah sana.”

“Ceng-moi, aku sungguh gembira sekali mendengar bahwa Li Hong adalah adik misanku sendiri. Dengan demikian aku harap ia tidak akan marah lagi kepadaku.”

“Tidak, Giok-ko. Ia juga gembira sekali mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya. Ia tidak marah kepadamu, engkau tidak bersalah apa-apa, Giok-ko. Oya, engkau belum menceritakan tentang pengalamanmu sejak berpisah dari kami. Kemana saja engkau pergi, Giok-ko?”

Wajah Cun Giok berubah muram karena dia teringat akan peristiwa yang menyebabkan kematian tunangannya. Maka, beberapa lamanya dia tidak mampu memberi jawaban.

“Giok-ko, maafkan aku kalau pertanyaanku tadi mengganggumu. Kalau engkau tidak ingin menceritakan, sudahlah, aku tarik kembali pertanyaanku tadi.”

Cun Giok menghela napas beberapa kali, menenangkan perasaannya baru menjawab. “Aku yang minta maaf, Ceng-moi. Apa yang kualami memang membuat hatiku menjadi menyesal dan sedih sekali karena aku telah berbuat dosa yang besar sekali kepada tunanganku Siok Eng. Dosaku yang tak dapat diampuni lagi karena aku menyebabkan tunanganku itu, ayahnya, juga encinya dan kakak iparnya, mengalami kematian yang mengenaskan...” Cun Giok menundukkan mukanya karena merasa betapa kedua matanya menjadi basah oleh air mata.

“Aih, Giok-ko…! Engkau mengejutkan hatiku! Mereka tewas? Mengapa, Giok-ko? Engkau harus ceritakan padaku agar hatiku tidak merasa penasaran.”

Cun Giok lalu dengan nada sedih menceritakan tentang terbasminya keluarga Siok Eng oleh putera Kim Bayan yang bernama Kim Magu dan temannya yang bernama Kui Con, di Cin-yang. Betapa mereka itu tewas gara-gara dua orang pemuda anak pejabat itu tergila¬gila kepada Siok Eng dan Siok Hwa namun ditolak sehingga mereka lalu menggunakan paksaan, menculik dua orang wanita itu dan membunuh Siok Kan dan Chao Kung. Kemudian tunangannya, Siok Eng dan encinya itu pun tewas di tangan kedua orang muda itu.

“Aih, sungguh keterlaluan dua orang pemuda itu. Giok-ko, aku ikut merasa berduka dengan malapetaka yang menimpa keluarga tunanganmu! Betapa malang nasibmu, Giok-ko...” kata Ceng Ceng dan tiba-tiba ia teringat akan peristiwa yang ia alami di Cin-yang dahulu. “Ah, aku teringat sekarang akan dua orang pemuda yang kauceritakan itu, Giok-ko! Dan aku pun teringat akan keluarga Siok yang mereka ganggu! Ah, aku pernah bertemu dengan tunanganmu itu, encinya, kakak iparnya, dan ayahnya!”

“Benarkah itu, Ceng-moi?” tanya Cun Giok. “Aku pernah mendengar akan peristiwa itu dan sudah menduga bahwa engkaulah orangnya yang menolong mereka.”

“Sama sekali tidak kusangka bahwa Enci Siok Eng adalah tunanganmu, Giok-ko. Aku sudah memberi hajaran cukup keras kepada dua orang pemuda she Kim dan she Kui itu, dan aku menitipkan keluarga Siok kepada Kepada Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam yang terkenal adil. Yo-thaijin berjanji akan melindungi keluarga itu. Bagaimana dua orang pemuda jahat itu dapat mengganggu lagi?”

“Ceng-moi, Yo-thaijin itu juga dibunuh oleh Panglima Kim Bayan sebelum peristiwa yang menimpa keluarga Siok terjadi.”

Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. “Ah, sungguh jahat sekali Kim Bayan, bahkan puteranya juga amat jahat. Kiranya setelah kuberi hajaran kepada mereka, masih juga belum jera.”

“Akan tetapi sekarang mereka takkan dapat melakukan kejahatan lagi, Ceng-moi.”

“Engkau telah membunuh mereka, Giok-ko?”

Cun Giok menggelengkan kepalanya, “Tidak, Ceng-moi. Aku telah banyak belajar darimu dan aku tidak mau membunuh orang yang tidak dapat melawan. Akan tetapi aku telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak mungkin dapat melakukan kekejaman mengganggu orang lagi.”

Tiba-tiba Ceng Ceng mengeluarkan seruan tertahan, dan ketika Cun Giok memandang kepadanya, gadis itu memejamkan kedua matanya dan sepasang alisnya berkerut.

“Ceng-moi, ada apakah...?”

Ceng Ceng sejenak tidak menjawab. Ia sedang melawan dan mendorong keluar perasaannya sendiri yang tiba-tiba muncul. Tadi ia merasa betapa diam-diam ada kegirangan menyelinap dalam hatinya mendengar bahwa Siok Eng, tunangan Cun Giok, telah tiada! Ia merasa betapa jahatnya perasaan ini sehingga untuk melawannya, ia mengeluarkan seruan dan memejamkan kedua matanya. Ia merasa betapa jahatnya perasaan itu, bergirang mendengar tunangan Cun Giok tewas! Akhirnya ia dapat menenangkan hatinya, membuka kedua matanya dan menghela napas panjang. Kedua matanya basah dan wajahnya berubah kemerahan. Ketika ia melihat betapa Cun Giok memandang kepadanya dengan heran dan khawatir, ia berkata lirih.

“Giok-ko, sudahlah, tidak baik mengenang kembali peristiwa lalu yang hanya mendatangkan perasaan duka dan mungkin akan mendatangkan perasaan dendam dan benci yang akan meracuni hati kita sendiri. Lebih baik kita sekarang melanjutkan perjalanan mencari Adik Li Hong, dan menyelidiki tentang harta karun itu. Aku merasa yakin bahwa harta karun itu pasti berada di pegunungan ini, entah di mana dan entah siapa yang kini menguasainya.”

Cun Giok menghela napas panjang. “Engkau benar sekali, Ceng-moi. Mari kita lanjutkan perjalanan.”

Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan mereka, menuju ke arah utara untuk mencari Li Hong.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo
Yauw Tek duduk di atas akar pohon yang tersembul memanjang dari permukaan tanah di luar hutan kecil dan Li Hong duduk di sebelahnya. Mereka berada di sebuah lereng yang tinggi dan pemandangan indah terbentang di bawah, depan mereka. Sejenak Yauw Tek mengamati wajah Li Hong, wajah yang jelita dan melihat rambut halus melingkar di leher yang putih halus itu, dia tidak dapat menahan gelora hatinya dan membelai rambut halus di leher gadis itu. Li Hong menggelinjang dan menoleh kepada pemuda itu, tersenyum senang melihat betapa pandang mata pemuda itu penuh kasih sayang kepadanya.

“Hong-moi, engkau sungguh cantik jelita……!” bisik Yauw Tek dan Li Hong merasa senang bukan main.

Selama ini, sejak peristiwa di dalam gubuk di mana karena pengaruh obat perangsang Li Hong menyerahkan diri kepada Yauw Tek, hubungan antara mereka berdua menjadi semakin mesra dan akrab. Yauw Tek selalu memperlihatkan sikap yang amat menyenangkan hatinya. Pemuda itu amat mencintanya, juga menghormatinya, sikapnya selalu sopan sehingga ia pun semakin jatuh cinta. Mendapat pujian itu, yang seringkali diucapkan Yauw Tek dengan pandang mata penuh kagum dan kasih sayang, Li Hong tersenyum dan di lain saat ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu yang merangkulnya.

“Koko, katakan bahwa engkau masih mencintaku,” bisiknya.

“Aih, Hong-moi, mengapa engkau berkata demikian? Kata masih mencinta itu menunjukkan seolah cintaku kepadamu belum hilang dan kelak akan hilang! Tidak, Hong-moi, aku bukan masih mencintamu, melainkan selama hidupku akan mencintamu, bahkan setelah mati kelak aku ingin selalu bersamamu.”

Mendengar ini, Li Hong menghela napas dengan hati merasa bahagia sekali dan ia menyandarkan kepala di dada yang bidang itu dan memejamkan matanya. Bibirnya tersenyum manis.

“Koko, aku ingin engkau ikut bersamaku ke Pulau Ular menemui Ayah dan kedua orang Ibuku dan di sana engkau dapat melamarku dengan resmi. Kita langsungkan pernikahan di sana.”

“Moi-moi, apakah engkau sungguh mencintaku...?”