Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

12. SILAHKAN AYAH MENGHUKUMKU

Li Hong bertepuk tangan dan ia pun melompat berdiri, menghadapi ayah ibunya. “Ayah, jelas bahwa Yauw-twako telah dapat menandingi dan mengungguli ilmu silat tangan kosongku dan ilmu pedang Enci Ceng! Dia pantas menemani kami mencari harta karun itu, bukan?”

Tan Kun Tek dan dua orang isterinya tersenyum. Dia dan Gak Li tadi dapat melihat betapa dalam ilmu silat tangan kosong, Yauw Tek jelas lebih tangguh dibandingkan Li Hong dan dalam pertandingan ilmu pedang, walaupun Ceng Ceng unggul dalam kecepatan gerakan, namun pemuda itu memiliki ilmu pedang yang aneh sehingga tahu-tahu dapat mencuri di antara hujan serangan Ceng Ceng untuk menyentuh pita rambut gadis itu dengan ujung rantingnya. Jelas bahwa ilmu pedang pemuda itu memang hebat sekali.

“Mari kita bicarakan hal ini di dalam,” kata Tan Kun Tek dan mereka semua menuju ke ruangan dalam dan duduk mengelilingi meja besar yang bundar.

“Kami mengakui bahwa ilmu silat Yauw Tek cukup tangguh untuk dapat menemani kalian berdua dan memperkuat keadaan kalian. Akan tetapi, Yauw Tek, engkau harus mengetahui bahwa perjalanan mencari harta karun ini merupakan pekerjaan yang berat dan berbahaya. Banyak tokoh kang-ouw tentu akan berusaha untuk mendapatkannya karena berita tentang harta karun yang mungkin dicuri orang yang tinggal di Thai-san pasti tersiar luas. Pula, kami kira engkau perlu juga mengetahui siapa yang tinggal di Thai-san agar engkau dan dua orang anak kami tidak bertindak gegabah,” kata Gak Li. Lalu ia menceritakan kepada Yauw Tek tentang tokoh-tokoh di Thai-san seperti yang pernah ia ceritakan kepada dua orang gadis itu.

Setelah mendengarkan Gak Li memperkenalkan tokoh-tokoh itu sampai selesai, Yauw Tek berkata. “Bibi, maafkan pertanyaan saya. Karena saya masih hijau dan tidak banyak mengenal tokoh-tokoh dunia kang-ouw (sungai telaga), maka mohon petunjuk Bibi sekalian, siapakah di antara para tokoh di Bu-lim (Rimba Persilatan) yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu?”

Gak Li menghela napas panjang. “Inilah yang harus kalian bertiga selidiki. Tadi engkau telah mendengar cerita anak kami tentang hilangnya harta karun yang tersembunyi di Bukit Sorga. Pencuri itu hanya meninggalkan tulisan THAI SAN dalam peti harta. Tulisan ini dapat juga diartikan sebagai kesombongan Si Pencuri yang mengaku dan menantang bahwa dia berada di Thai-san, akan tetapi bukan tidak mungkin hal ini dilakukan Si Pencuri hanya untuk menipu dan menyesatkan para pencari harta karun. Karena itu, tugas kalian tidak ringan, sebelum berusaha merampas harta karun, haruslah lebih dulu menyelidiki secara teliti apakah benar pencuri itu tinggal di Thai-san dan kalau benar, siapa orangnya.”

Setelah menerima nasihat dari Ban-tok Niocu Gak Li dan Tan Kun Tek yang lebih banyak mengenal Bu-lim (Rimba Persilatan) dengan tokoh-tokohnya, dua hari kemudian berangkatlah Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong meninggalkan Pulau Ular. Kini dua orang gadis itu percaya betul kepada Yauw Tek yang selain lihai juga halus budi bahasanya dan sopan santun.

Sementara itu Yauw Tek semakin kagum kepada keluarga Majikan Pulau Ular. Bukan hanya kagum kepada keluarganya yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi juga kagum akan kehebatan pulau yang selain mempunyai banyak anak buah, juga mengandung banyak rahasia sehingga kuat menghadapi penyerbuan dari luar.

Setelah tiba di daratan, mereka bertiga menggunakan tiga ekor kuda yang sudah dipersiapkan, melanjutkan perjalanan jauh mereka menuju Thai-san. Selama dalam perjalanan ini, hubungan antara tiga orang itu semakin akrab dan dua orang gadis itu yakin benar bahwa Yauw Tek adalah seorang pendekar muda pilihan yang hanya dapat disejajarkan dengan seorang pendekar muda seperti Pouw Cun Giok.

Bahkan mereka menganggapnya lebih baik dari Cun Giok karena pemuda itu telah mengecewakan hati mereka. Mengecewakan hati Ceng Ceng karena ternyata dia telah mempunyai tunangan sehingga Li Hong yang kini amat sayang kepada Ceng Ceng menjadi sakit hatinya. Setelah kini mendengar bahwa Pouw Cun Giok adalah kakak misannya, putera bibinya yang sudah meninggal, Li Hong menjadi semakin gemas dan ia berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau bertemu dengan Cun Giok nanti, ia akan memarahi kakak misannya itu!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Laki-laki tinggi besar bermuka merah itu mengerutkan alisnya yang tebal. Jenggot dan kumisnya yang terawat baik itu menambah kegagahan dan kejantanannya. Usianya sekitar limapuluh enam tahun dan dia duduk di atas kursi yang diukir dengan kepala singa.

Laki-laki gagah perkasa ini adalah Cu Liong yang berjuluk Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding). Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak membayangkan tenaga yang amat kuat. Dari julukannya saja, mudah diduga bahwa dia tentu seorang yang amat lihai dan tangguh sekali. Hanya ada kesan sombong dalam julukannya itu, seolah dia hendak me¬ngatakan bahwa dialah orang yang paling kuat dan paling lihai ilmu silatnya sehingga tidak ada orang lain yang mampu menandingi dan mengalahkannya!

Majikan Bukit Merak ini duduk berhadapan dengan seorang pemuda. Pemuda berusia sekitar duapuluh empat tahun ini pun bertubuh tinggi besar dan gagah. Wajahnya cukup tampan, sepasang matanya membayangkan ketinggian hatinya. Mungkin karena dia merasa menjadi murid Naga Sakti Tanpa Tanding, dia pun merasa dirinya seperti naga muda yang tanpa tanding pula!

Pemuda tinggi besar berpakaian mewah ini adalah murid Bu-tek Sin-liong yang bernama Kong Sek. Murid Cu Liong yang mendapatkan pelajaran ilmu silat secara khusus hanya Kong Sek seorang, di samping puteri datuk itu sendiri yang bernama Cu Ai Yin. Anak buah Pulau Merak yang berjumlah sekitar limapuluh orang hanya diberi pelajaran ilmu silat tingkat dasar saja.

Bu-tek Sin-liong bukan seorang antek penjajah Mongol, juga bukan golongan patriot yang menentang Kerajaan Mongol. Dia tidak peduli akan pertentangan kekuasaan itu. Maka baginya tidak pantang untuk bersahabat dengan orang-orang Bu-lim yang menentang penjajah Mongol, juga memiliki sahabat orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi dan menjadi pembesar Mongol.

Satu di antara sahabatnya adalah mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok. Karena persahabatan inilah dia menerima putera panglima itu, ialah Kong Sek menjadi muridnya. Andaikata mendiang Kong Tek Kok dulu bukan seorang panglima Mongol, tetap saja dia akan menerima Kong Sek menjadi muridnya, mengingat bahwa ayahnya sahabat baiknya yang dengan dia saling mengagumi ilmu silat masing-masing.

Akan tetapi terjadilah peristiwa itu. Puterinya, Cu Ai Yin, menyelamatkan nyawa pemuda bernama Pouw Cun Giok itu dari ancaman bahaya karena menderita sakit. Kemudian, diketahuinya bahwa Pouw Cun Giok adalah Si Tanpa Bayangan yang telah membunuh Kong Tek Kok dan Pangeran Lu, Cu Liong membela muridnya Kong Sek, yang dikalahkan Cun Giok untuk menangkap dan membawa Cun Giok ke kota raja sebagai pembunuh agar diadili. Hal ini tidak dapat diterima oleh Cu Ai Yin yang melarikan diri dari rumah tanpa pamit. Dan sekarang, muridnya, Kong Sek, datang menghadap sambil mengeluh dan lengannya terluka goresan pedang yang menurut laporan muridnya dilakukan oleh puterinya.

Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengerutkan alis dengan marah sekali. Hampir dia tidak percaya akan laporan muridnya, maka dia membentak dengan kaku.

“Benarkah laporanmu itu? Hayo coba ulangi!” kata datuk itu sambil meraba-raba jenggotnya.

Terpaksa Kong Sek mengulang pelaporannya. Dia menceritakan betapa ketika dia membawa Pouw Cun Giok sebagai tawanan, dikawal para perajuritnya, tiba-tiba muncul Cu Ai Yin yang memaksa membebaskan tawanan itu!

“Sumoi (Adik Seperguruan) bukan hanya membebaskan Pouw Cun Giok dengan paksa, bahkan ia dan tawanan itu mengamuk, merobohkan para perajurit dan Sumoi melukai lengan teecu (murid).”

“Kurang ajar! Berani ia berbuat begitu? Membela orang luar dan menentang ayahnya sendiri?”

“Sumoi memang keterlaluan, Suhu. Akan tetapi teecu dapat memaafkannya. Harap Suhu jangan terlalu memarahinya kalau ia pulang. Tentang si jahanam Pouw Cun Giok, harap Suhu jangan khawatir, teecu pasti akan dapat menangkapnya. Teecu akan membawa pasukan untuk mengejar, mencari dan menangkapnya.” Kemudian dia menambahkan, suaranya lirih membujuk. “Suhu, melihat betapa Sumoi terkadang liar membawa kehendak sendiri dan tidak dapat dikendalikan, bagaimana kalau Suhu melangsungkan dengan segera pernikahan kami? Kalau ia sudah menjadi isteri teecu, tentu ia akan berubah sehingga Suhu tidak akan terlalu pusing dibuatnya.”

Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk lemah dan pandang matanya tampak ragu. “Sebaiknya begitu, mungkin lebih baik begitu...” Dia lalu memberi tanda dengan tangannya menyuruh muridnya pergi.

“Selamat tinggal, Suhu. Teecu hendak kembali ke kota raja dan melaporkan tentang Pouw Cun Giok kepada panglima bagian keamanan, minta dibantu pasukan untuk mencari jahanam itu.”

Cu Liong hanya mengangguk dan pemuda itu segera meninggalkan tempat itu lalu turun dari Bukit Merak dan menuju ke kota raja.

Setelah muridnya pergi, Bu-tek Sin-liong Cu Liong duduk termenung di kursinya. Teringat dia akan keadaan keluarganya. Dia telah malang melintang di dunia persilatan dan berhasil mengumpulkan kekayaan yang cukup besar. Ketika usianya hampir empat puluh tahun, dia menikah dan mempunyai seorang anak, yaitu Cu Ai Yin. Setelah mempunyai anak, barulah dia merasa berkeluarga dan dia lalu tinggal di Bukit Merak bersama Isteri dan anaknya. Akan tetapi, baru setahun tinggal di situ, isterinya meninggal dunia karena sakit, padahal ketika itu usia Cu Ai Yin baru tiga tahun.

Setelah isterinya meninggal dan dia harus memelihara puterinya seorang diri, Cu Liong lalu mengambil empat orang wanita muda menjadi selir-selirnya, bahkan dia lalu menerima sebanyak limapuluh orang yang menjadi anak buahnya di Bukit Merak.

Bu-tek Sin-liong Cu Liong menghela napas panjang. Dia amat menyayang puterinya, akan tetapi sekali ini Ai Yin bertindak keterlaluan. Tidak saja gadis itu berani minggat tanpa pamit, juga puterinya itu telah membebaskan Pouw Cun Giok bahkan melukai Kong Sek, putera mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok, suhengnya sendiri.

Mengingat puterinya, terbayanglah semua kenangan tentang Cu Ai Yin. Gadis itu amat disayangnya, juga biasanya gadis itu amat sayang dan patuh kepadanya walaupun agak manja. Dan dia tahu betul bahwa Ai Yin adalah seorang gadis yang keras hati dan teguh pendiriannya. Bahkan niatnya untuk menjodohkan puterinya itu dengan muridnya, Kong Sek, agaknya tidak disetujui Ai Yin.

Dan sekarang, agaknya Ai Yin jatuh cinta atau memilih seorang pemuda buruan pemerintah seperti Pouw Cun Giok. Dia sendiri memang kagum kepada pemuda itu yang memiliki ilmu silat lihai sekali, juga wajah pemuda itu cukup tampan, tidak kalah oleh ketampanan Kong Sek. Akan tetapi Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu itu adalah seorang buronan yang telah membunuh sahabat baiknya, Kong Tek Kok, dan Pangeran Lu Kok Kong, di samping membunuh banyak perajurit.

Pemuda itu adalah seorang pemberontak yang selalu menjadi buruan pemerintah. Dia membayangkan betapa kehidupan puterinya akan selalu menderita dan terancam bahaya kalau menjadi isteri Pouw Cun Giok. Sebaliknya kalau Ai Yin menjadi isteri Kong Sek, ia tentu akan menjadi seorang puteri bangsawan yang dimuliakan dan dihormati.

Berhari-hari lamanya laki-laki setengah tua yang jantan dan gagah perkasa ini lebih banyak duduk melamun di dalam kamarnya. Bahkan dia melarang empat orang isterinya mendekatinya. Dia merasa tidak bahagia. Empat orang isterinya itu tidak ada yang mempunyai anak. Anaknya hanya Cu Ai Yin seorang dan kini anaknya itu pergi meninggalkannya. Baru terasa betapa sunyi hidupnya tanpa adanya Ai Yin di situ. Dia ingin menyusul dan mencari puterinya, akan tetapi ke mana? Anaknya pergi tanpa pamit dan dia tidak dapat menduganya ke mana anaknya pergi.

Setelah mengurung diri dengan muka muram selama beberapa bulan lamanya, akhirnya Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak kuat menahan lagi keinginannya untuk mencari dan menemukan puterinya. Pada suatu hari dia memanggil keempat isterinya lalu berkata kepada mereka.

“Kalian berempat jagalah rumah baik-baik, Aku akan pergi meninggalkan Bukit Merak untuk entah berapa lamanya, tergantung kapan aku dapat menemukan Ai Yin. Aku akan pergi mencari Ai Yin dan baru pulang kalau ia telah dapat kutemukan. Sekarang panggil semua anak buah untuk berkumpul di sini.”

Setelah semua anak buahnya datang, Cu Liong memesan agar mereka semua melaksanakan tugas seperti biasa dan jangan ada yang melanggar peraturan. Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar seruan seorang anak buah yang bertugas jaga di gapura perkampungan, yang berseru sambil berlari-lari datang ke ruangan depan gedung di mana para anak buah berkumpul menghadap majikan Bukit Merak.

“Thai-ya (Tuan Besar)... Siocia (Nona) telah pulang!”

Mendengar ini Cu Liong bangkit dari duduknya, wajahnya yang beberapa hari lamanya ini muram dan kusut, tiba-tiba menjadi berseri dan pandang matanya bersinar gembira. Tak lama kemudian dia melihat Cu Ai Yin berjalan cepat memasuki pekarangan dan menuju ke ruangan depan gedung itu. Begitu melihat ayahnya, Ai Yin yang juga rindu kepada ayahnya lari menghampiri dan di lain saat ia telah berada dalam rangkulan ayahnya.

“Anak nakal!” Cu Liong mengomel akan tetapi mulutnya tersenyum lega. “Ke mana saja engkau pergi? Hayo kita bicara di dalam!”

Ayah dan anak itu bergandengan tangan memasuki ruangan dalam dan empat orang selir itu lalu membubarkan para anak buah yang ikut merasa lega bahwa nona majikan mereka sudah pulang dengan selamat. Empat orang wanita selir yang usianya antara tigapuluh lima tahun itu tidak berani mengganggu ayah dan anak yang bicara di ruangan dalam. Mereka tidak berani memasuki ruangan itu tanpa dipanggil.

Cu Liong tidak mau langsung memarahi puterinya. Dia khawatir kalau-kalau puterinya yang berhati keras itu marah dan pergi lagi. Setelah mereka duduk, dia bertanya. “Ai Yin, ke mana saja engkau pergi selama ini?”

Sambil memandang kepada ayahnya dengan sikap manja, Ai Yin menjawab, “Ayah, telah lama sekali aku ingin melihat dunia ramai di luar wilayah Bukit Merak. Aku pergi merantau.”

“Hemm, mengapa engkau pergi tanpa pamit?”

“Maafkan aku, Ayah...” Ai Yin merengek.

“Hemm, jawab dulu mengapa engkau pergi tanpa pamit kepada Ayahmu?”

“Karena aku... ketika itu, aku marah dan jengkel, Ayah.”

“Eh? Marah dan jengkel? Kepadaku? Mengapa?”

“Karena Ayah hendak memaksa aku menikah dengan Suheng...”

“Hemm, siapa yang memaksa? Aku hanya ingin engkau menjadi isteri bangsawan dan terhormat. Pula, apa salahnya menjadi isteri Kong Sek? Dia seorang pemuda bangsawan yang baik, cukup tampan dan gagah. Pula, aku melihat bahwa hubunganmu dengannya tampak akrab.”

“Aku memang suka kepada Suheng, Ayah, akan tetapi tidak mencintanya dan tidak ingin menjadi isterinya. Ayah tidak akan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak kusukai dan tidak ingin kulakukan, bukan?”

“Ya sudahlah, aku tidak akan memaksamu menikah dengan siapapun juga apabila tidak engkau sukai. Akan tetapi ada sebuah hal yang membuat aku menjadi penasaran. Mengapa engkau membela seorang asing seperti Pouw Cun Giok itu, menentang keputusanku untuk membawa pembunuh dan pemberontak itu ke kota raja untuk diadili, bahkan engkau tega melukai lengan Suhengmu sendiri? Nah, jawab, apa alasanmu membela Pouw Cun Giok mati-matian?”

Cun Ai Yin tersenyum dan mengangguk-angguk “Hemm, aku mengerti, Ayah. Sudah pasti Suheng Kong Sek itu mengadu kepada Ayah, bukan? Hal ini saja membuktikan bahwa dia adalah seorang yang curang dan pembohong besar!”

“Eh? Apa maksudmu, Ai Yin? Engkau malah memaki dia curang dan pembohong besar?”

“Ayah, Ayah tahu bahwa sejak kecil Ayah mendidikku untuk bersikap adil dan hidup sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan sebagai seorang gagah. Pouw Cun Giok berada di sini adalah aku yang menolongnya ketika dia kudapatkan pingsan di tepi sungai, berarti dia adalah tanggung jawabku. Kemudian Ayah dapat menerimanya sebagai tamu setelah kita mengujinya dan ternyata dia adalah seorang pendekar yang tinggi ilmunya. Kemudian muncul Suheng yang menyerang Cun Giok dan dalam perkelahian mereka Suheng juga bukan tandingan Cun Giok. Akan tetapi Ayah mencampuri urusan mereka dan membela Suheng.”

“Tentu saja!” bantah Cu Liong. “Pouw Cun Giok itu membunuh ayah Kong Sek, yaitu Panglima Besar Kong Tek Kok yang menjadi sahabat baikku. Dan tentu saja aku membela Kong Sek karena dia muridku. Apa salahnya dengan itu?”

“Ayah telah khilaf dan tidak adil, membela satu pihak saja tanpa mempertimbangkan persoalannya. Ketahuilah, Cun Giok membunuh Kong Tek Kok karena panglima itu telah membasmi seluruh keluarganya, yaitu keluarga Pouw di So-couw. Kakek Buyutnya, Ayahnya, Ibunya, semua terbasmi oleh Panglima Kong Tek Kok! Bukankah sudah sepantasnya kalau Cun Giok membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk itu? Kemudian ketika diserang Suheng, Cun Giok mengalah dan tidak melukainya, padahal kalau dia mau, tentu dengan mudah dia dapat membunuh Suheng! Dia tidak mau mengaitkan Suheng dengan dosa-dosa Ayahnya. Kemudian, Ayah mencampuri dan hendak menangkap Cun Giok agar dibawa Suheng ke pengadilan di kota raja. Lagi-lagi Cun Giok mengalah, tidak melawan dan menyerah karena dia merasa telah ditolong Ayah maka tidak mau membantah dan menentang kehendak Ayah yang berat sebelah itu. Bukankah itu menunjukkan bahwa Cun Giok memiliki watak jantan dan seorang pendekar sejati?”

Cu Liong mengangguk-angguk. “Hemm, mungkin aku telah keliru, akan tetapi agaknya engkau membela Cun Giok' mati-matian, membebaskannya dengan kekerasan dan melukai Kong Sek. Apakah tindakanmu itu bisa dianggap adil dapat dibenarkan?”

“Lebih dari adil dan seratus persen benar, Ayah! Ayah telah dikelabuhi kebohongan Suheng Kong Sek. Sesungguhnya kejadiannya begini, Ayah. Ketika aku melarikan diri dari sini, di tengah perjalanan tanpa kusengaja aku melihat Kong Sek mengayun pedang hendak membunuh Cun Giok yang menjadi tawanan tak berdaya itu. Tentu saja aku tidak bisa melihat perbuatan licik dan curang lagi sewenang-wenang itu. Aku lalu menangkis dan ketahuilah, Ayah, pada saat itu Cun Giok dengan mudah mampu mematahkan belenggu dan membebaskan diri sendiri! Jelas dia di sini mengalah dan mau ditawan karena melihat muka Ayah. Suheng Kong Sek tidak mau mengerti, mengerahkan pasukan untuk menyerang aku dan Cun Giok. Tentu saja kami berdua melakukan perlawanan dan aku melukai, lengan Suheng. Kalau aku tidak ingat dia itu Suhengku, tentu pedangku bukan menggores lengan, melainkan memenggal lehernya! Akhirnya dia melarikan diri bersama pasukannya. Nah, harap Ayah pertimbangkan. Kalau Ayah masih tetap menganggap aku yang bersalah, silakan Ayah menghukumku, biar dihukum mati sekalipun aku tidak akan membantah, Ayah.”

Setelah berkata demikian, Ai Yin yang merasa penasaran dan terharu, tak dapat menahan diri dan menangis terisak-isak...!

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 12

12. SILAHKAN AYAH MENGHUKUMKU

Li Hong bertepuk tangan dan ia pun melompat berdiri, menghadapi ayah ibunya. “Ayah, jelas bahwa Yauw-twako telah dapat menandingi dan mengungguli ilmu silat tangan kosongku dan ilmu pedang Enci Ceng! Dia pantas menemani kami mencari harta karun itu, bukan?”

Tan Kun Tek dan dua orang isterinya tersenyum. Dia dan Gak Li tadi dapat melihat betapa dalam ilmu silat tangan kosong, Yauw Tek jelas lebih tangguh dibandingkan Li Hong dan dalam pertandingan ilmu pedang, walaupun Ceng Ceng unggul dalam kecepatan gerakan, namun pemuda itu memiliki ilmu pedang yang aneh sehingga tahu-tahu dapat mencuri di antara hujan serangan Ceng Ceng untuk menyentuh pita rambut gadis itu dengan ujung rantingnya. Jelas bahwa ilmu pedang pemuda itu memang hebat sekali.

“Mari kita bicarakan hal ini di dalam,” kata Tan Kun Tek dan mereka semua menuju ke ruangan dalam dan duduk mengelilingi meja besar yang bundar.

“Kami mengakui bahwa ilmu silat Yauw Tek cukup tangguh untuk dapat menemani kalian berdua dan memperkuat keadaan kalian. Akan tetapi, Yauw Tek, engkau harus mengetahui bahwa perjalanan mencari harta karun ini merupakan pekerjaan yang berat dan berbahaya. Banyak tokoh kang-ouw tentu akan berusaha untuk mendapatkannya karena berita tentang harta karun yang mungkin dicuri orang yang tinggal di Thai-san pasti tersiar luas. Pula, kami kira engkau perlu juga mengetahui siapa yang tinggal di Thai-san agar engkau dan dua orang anak kami tidak bertindak gegabah,” kata Gak Li. Lalu ia menceritakan kepada Yauw Tek tentang tokoh-tokoh di Thai-san seperti yang pernah ia ceritakan kepada dua orang gadis itu.

Setelah mendengarkan Gak Li memperkenalkan tokoh-tokoh itu sampai selesai, Yauw Tek berkata. “Bibi, maafkan pertanyaan saya. Karena saya masih hijau dan tidak banyak mengenal tokoh-tokoh dunia kang-ouw (sungai telaga), maka mohon petunjuk Bibi sekalian, siapakah di antara para tokoh di Bu-lim (Rimba Persilatan) yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu?”

Gak Li menghela napas panjang. “Inilah yang harus kalian bertiga selidiki. Tadi engkau telah mendengar cerita anak kami tentang hilangnya harta karun yang tersembunyi di Bukit Sorga. Pencuri itu hanya meninggalkan tulisan THAI SAN dalam peti harta. Tulisan ini dapat juga diartikan sebagai kesombongan Si Pencuri yang mengaku dan menantang bahwa dia berada di Thai-san, akan tetapi bukan tidak mungkin hal ini dilakukan Si Pencuri hanya untuk menipu dan menyesatkan para pencari harta karun. Karena itu, tugas kalian tidak ringan, sebelum berusaha merampas harta karun, haruslah lebih dulu menyelidiki secara teliti apakah benar pencuri itu tinggal di Thai-san dan kalau benar, siapa orangnya.”

Setelah menerima nasihat dari Ban-tok Niocu Gak Li dan Tan Kun Tek yang lebih banyak mengenal Bu-lim (Rimba Persilatan) dengan tokoh-tokohnya, dua hari kemudian berangkatlah Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong meninggalkan Pulau Ular. Kini dua orang gadis itu percaya betul kepada Yauw Tek yang selain lihai juga halus budi bahasanya dan sopan santun.

Sementara itu Yauw Tek semakin kagum kepada keluarga Majikan Pulau Ular. Bukan hanya kagum kepada keluarganya yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi juga kagum akan kehebatan pulau yang selain mempunyai banyak anak buah, juga mengandung banyak rahasia sehingga kuat menghadapi penyerbuan dari luar.

Setelah tiba di daratan, mereka bertiga menggunakan tiga ekor kuda yang sudah dipersiapkan, melanjutkan perjalanan jauh mereka menuju Thai-san. Selama dalam perjalanan ini, hubungan antara tiga orang itu semakin akrab dan dua orang gadis itu yakin benar bahwa Yauw Tek adalah seorang pendekar muda pilihan yang hanya dapat disejajarkan dengan seorang pendekar muda seperti Pouw Cun Giok.

Bahkan mereka menganggapnya lebih baik dari Cun Giok karena pemuda itu telah mengecewakan hati mereka. Mengecewakan hati Ceng Ceng karena ternyata dia telah mempunyai tunangan sehingga Li Hong yang kini amat sayang kepada Ceng Ceng menjadi sakit hatinya. Setelah kini mendengar bahwa Pouw Cun Giok adalah kakak misannya, putera bibinya yang sudah meninggal, Li Hong menjadi semakin gemas dan ia berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau bertemu dengan Cun Giok nanti, ia akan memarahi kakak misannya itu!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Laki-laki tinggi besar bermuka merah itu mengerutkan alisnya yang tebal. Jenggot dan kumisnya yang terawat baik itu menambah kegagahan dan kejantanannya. Usianya sekitar limapuluh enam tahun dan dia duduk di atas kursi yang diukir dengan kepala singa.

Laki-laki gagah perkasa ini adalah Cu Liong yang berjuluk Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding). Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak membayangkan tenaga yang amat kuat. Dari julukannya saja, mudah diduga bahwa dia tentu seorang yang amat lihai dan tangguh sekali. Hanya ada kesan sombong dalam julukannya itu, seolah dia hendak me¬ngatakan bahwa dialah orang yang paling kuat dan paling lihai ilmu silatnya sehingga tidak ada orang lain yang mampu menandingi dan mengalahkannya!

Majikan Bukit Merak ini duduk berhadapan dengan seorang pemuda. Pemuda berusia sekitar duapuluh empat tahun ini pun bertubuh tinggi besar dan gagah. Wajahnya cukup tampan, sepasang matanya membayangkan ketinggian hatinya. Mungkin karena dia merasa menjadi murid Naga Sakti Tanpa Tanding, dia pun merasa dirinya seperti naga muda yang tanpa tanding pula!

Pemuda tinggi besar berpakaian mewah ini adalah murid Bu-tek Sin-liong yang bernama Kong Sek. Murid Cu Liong yang mendapatkan pelajaran ilmu silat secara khusus hanya Kong Sek seorang, di samping puteri datuk itu sendiri yang bernama Cu Ai Yin. Anak buah Pulau Merak yang berjumlah sekitar limapuluh orang hanya diberi pelajaran ilmu silat tingkat dasar saja.

Bu-tek Sin-liong bukan seorang antek penjajah Mongol, juga bukan golongan patriot yang menentang Kerajaan Mongol. Dia tidak peduli akan pertentangan kekuasaan itu. Maka baginya tidak pantang untuk bersahabat dengan orang-orang Bu-lim yang menentang penjajah Mongol, juga memiliki sahabat orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi dan menjadi pembesar Mongol.

Satu di antara sahabatnya adalah mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok. Karena persahabatan inilah dia menerima putera panglima itu, ialah Kong Sek menjadi muridnya. Andaikata mendiang Kong Tek Kok dulu bukan seorang panglima Mongol, tetap saja dia akan menerima Kong Sek menjadi muridnya, mengingat bahwa ayahnya sahabat baiknya yang dengan dia saling mengagumi ilmu silat masing-masing.

Akan tetapi terjadilah peristiwa itu. Puterinya, Cu Ai Yin, menyelamatkan nyawa pemuda bernama Pouw Cun Giok itu dari ancaman bahaya karena menderita sakit. Kemudian, diketahuinya bahwa Pouw Cun Giok adalah Si Tanpa Bayangan yang telah membunuh Kong Tek Kok dan Pangeran Lu, Cu Liong membela muridnya Kong Sek, yang dikalahkan Cun Giok untuk menangkap dan membawa Cun Giok ke kota raja sebagai pembunuh agar diadili. Hal ini tidak dapat diterima oleh Cu Ai Yin yang melarikan diri dari rumah tanpa pamit. Dan sekarang, muridnya, Kong Sek, datang menghadap sambil mengeluh dan lengannya terluka goresan pedang yang menurut laporan muridnya dilakukan oleh puterinya.

Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengerutkan alis dengan marah sekali. Hampir dia tidak percaya akan laporan muridnya, maka dia membentak dengan kaku.

“Benarkah laporanmu itu? Hayo coba ulangi!” kata datuk itu sambil meraba-raba jenggotnya.

Terpaksa Kong Sek mengulang pelaporannya. Dia menceritakan betapa ketika dia membawa Pouw Cun Giok sebagai tawanan, dikawal para perajuritnya, tiba-tiba muncul Cu Ai Yin yang memaksa membebaskan tawanan itu!

“Sumoi (Adik Seperguruan) bukan hanya membebaskan Pouw Cun Giok dengan paksa, bahkan ia dan tawanan itu mengamuk, merobohkan para perajurit dan Sumoi melukai lengan teecu (murid).”

“Kurang ajar! Berani ia berbuat begitu? Membela orang luar dan menentang ayahnya sendiri?”

“Sumoi memang keterlaluan, Suhu. Akan tetapi teecu dapat memaafkannya. Harap Suhu jangan terlalu memarahinya kalau ia pulang. Tentang si jahanam Pouw Cun Giok, harap Suhu jangan khawatir, teecu pasti akan dapat menangkapnya. Teecu akan membawa pasukan untuk mengejar, mencari dan menangkapnya.” Kemudian dia menambahkan, suaranya lirih membujuk. “Suhu, melihat betapa Sumoi terkadang liar membawa kehendak sendiri dan tidak dapat dikendalikan, bagaimana kalau Suhu melangsungkan dengan segera pernikahan kami? Kalau ia sudah menjadi isteri teecu, tentu ia akan berubah sehingga Suhu tidak akan terlalu pusing dibuatnya.”

Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk lemah dan pandang matanya tampak ragu. “Sebaiknya begitu, mungkin lebih baik begitu...” Dia lalu memberi tanda dengan tangannya menyuruh muridnya pergi.

“Selamat tinggal, Suhu. Teecu hendak kembali ke kota raja dan melaporkan tentang Pouw Cun Giok kepada panglima bagian keamanan, minta dibantu pasukan untuk mencari jahanam itu.”

Cu Liong hanya mengangguk dan pemuda itu segera meninggalkan tempat itu lalu turun dari Bukit Merak dan menuju ke kota raja.

Setelah muridnya pergi, Bu-tek Sin-liong Cu Liong duduk termenung di kursinya. Teringat dia akan keadaan keluarganya. Dia telah malang melintang di dunia persilatan dan berhasil mengumpulkan kekayaan yang cukup besar. Ketika usianya hampir empat puluh tahun, dia menikah dan mempunyai seorang anak, yaitu Cu Ai Yin. Setelah mempunyai anak, barulah dia merasa berkeluarga dan dia lalu tinggal di Bukit Merak bersama Isteri dan anaknya. Akan tetapi, baru setahun tinggal di situ, isterinya meninggal dunia karena sakit, padahal ketika itu usia Cu Ai Yin baru tiga tahun.

Setelah isterinya meninggal dan dia harus memelihara puterinya seorang diri, Cu Liong lalu mengambil empat orang wanita muda menjadi selir-selirnya, bahkan dia lalu menerima sebanyak limapuluh orang yang menjadi anak buahnya di Bukit Merak.

Bu-tek Sin-liong Cu Liong menghela napas panjang. Dia amat menyayang puterinya, akan tetapi sekali ini Ai Yin bertindak keterlaluan. Tidak saja gadis itu berani minggat tanpa pamit, juga puterinya itu telah membebaskan Pouw Cun Giok bahkan melukai Kong Sek, putera mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok, suhengnya sendiri.

Mengingat puterinya, terbayanglah semua kenangan tentang Cu Ai Yin. Gadis itu amat disayangnya, juga biasanya gadis itu amat sayang dan patuh kepadanya walaupun agak manja. Dan dia tahu betul bahwa Ai Yin adalah seorang gadis yang keras hati dan teguh pendiriannya. Bahkan niatnya untuk menjodohkan puterinya itu dengan muridnya, Kong Sek, agaknya tidak disetujui Ai Yin.

Dan sekarang, agaknya Ai Yin jatuh cinta atau memilih seorang pemuda buruan pemerintah seperti Pouw Cun Giok. Dia sendiri memang kagum kepada pemuda itu yang memiliki ilmu silat lihai sekali, juga wajah pemuda itu cukup tampan, tidak kalah oleh ketampanan Kong Sek. Akan tetapi Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu itu adalah seorang buronan yang telah membunuh sahabat baiknya, Kong Tek Kok, dan Pangeran Lu Kok Kong, di samping membunuh banyak perajurit.

Pemuda itu adalah seorang pemberontak yang selalu menjadi buruan pemerintah. Dia membayangkan betapa kehidupan puterinya akan selalu menderita dan terancam bahaya kalau menjadi isteri Pouw Cun Giok. Sebaliknya kalau Ai Yin menjadi isteri Kong Sek, ia tentu akan menjadi seorang puteri bangsawan yang dimuliakan dan dihormati.

Berhari-hari lamanya laki-laki setengah tua yang jantan dan gagah perkasa ini lebih banyak duduk melamun di dalam kamarnya. Bahkan dia melarang empat orang isterinya mendekatinya. Dia merasa tidak bahagia. Empat orang isterinya itu tidak ada yang mempunyai anak. Anaknya hanya Cu Ai Yin seorang dan kini anaknya itu pergi meninggalkannya. Baru terasa betapa sunyi hidupnya tanpa adanya Ai Yin di situ. Dia ingin menyusul dan mencari puterinya, akan tetapi ke mana? Anaknya pergi tanpa pamit dan dia tidak dapat menduganya ke mana anaknya pergi.

Setelah mengurung diri dengan muka muram selama beberapa bulan lamanya, akhirnya Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak kuat menahan lagi keinginannya untuk mencari dan menemukan puterinya. Pada suatu hari dia memanggil keempat isterinya lalu berkata kepada mereka.

“Kalian berempat jagalah rumah baik-baik, Aku akan pergi meninggalkan Bukit Merak untuk entah berapa lamanya, tergantung kapan aku dapat menemukan Ai Yin. Aku akan pergi mencari Ai Yin dan baru pulang kalau ia telah dapat kutemukan. Sekarang panggil semua anak buah untuk berkumpul di sini.”

Setelah semua anak buahnya datang, Cu Liong memesan agar mereka semua melaksanakan tugas seperti biasa dan jangan ada yang melanggar peraturan. Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar seruan seorang anak buah yang bertugas jaga di gapura perkampungan, yang berseru sambil berlari-lari datang ke ruangan depan gedung di mana para anak buah berkumpul menghadap majikan Bukit Merak.

“Thai-ya (Tuan Besar)... Siocia (Nona) telah pulang!”

Mendengar ini Cu Liong bangkit dari duduknya, wajahnya yang beberapa hari lamanya ini muram dan kusut, tiba-tiba menjadi berseri dan pandang matanya bersinar gembira. Tak lama kemudian dia melihat Cu Ai Yin berjalan cepat memasuki pekarangan dan menuju ke ruangan depan gedung itu. Begitu melihat ayahnya, Ai Yin yang juga rindu kepada ayahnya lari menghampiri dan di lain saat ia telah berada dalam rangkulan ayahnya.

“Anak nakal!” Cu Liong mengomel akan tetapi mulutnya tersenyum lega. “Ke mana saja engkau pergi? Hayo kita bicara di dalam!”

Ayah dan anak itu bergandengan tangan memasuki ruangan dalam dan empat orang selir itu lalu membubarkan para anak buah yang ikut merasa lega bahwa nona majikan mereka sudah pulang dengan selamat. Empat orang wanita selir yang usianya antara tigapuluh lima tahun itu tidak berani mengganggu ayah dan anak yang bicara di ruangan dalam. Mereka tidak berani memasuki ruangan itu tanpa dipanggil.

Cu Liong tidak mau langsung memarahi puterinya. Dia khawatir kalau-kalau puterinya yang berhati keras itu marah dan pergi lagi. Setelah mereka duduk, dia bertanya. “Ai Yin, ke mana saja engkau pergi selama ini?”

Sambil memandang kepada ayahnya dengan sikap manja, Ai Yin menjawab, “Ayah, telah lama sekali aku ingin melihat dunia ramai di luar wilayah Bukit Merak. Aku pergi merantau.”

“Hemm, mengapa engkau pergi tanpa pamit?”

“Maafkan aku, Ayah...” Ai Yin merengek.

“Hemm, jawab dulu mengapa engkau pergi tanpa pamit kepada Ayahmu?”

“Karena aku... ketika itu, aku marah dan jengkel, Ayah.”

“Eh? Marah dan jengkel? Kepadaku? Mengapa?”

“Karena Ayah hendak memaksa aku menikah dengan Suheng...”

“Hemm, siapa yang memaksa? Aku hanya ingin engkau menjadi isteri bangsawan dan terhormat. Pula, apa salahnya menjadi isteri Kong Sek? Dia seorang pemuda bangsawan yang baik, cukup tampan dan gagah. Pula, aku melihat bahwa hubunganmu dengannya tampak akrab.”

“Aku memang suka kepada Suheng, Ayah, akan tetapi tidak mencintanya dan tidak ingin menjadi isterinya. Ayah tidak akan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak kusukai dan tidak ingin kulakukan, bukan?”

“Ya sudahlah, aku tidak akan memaksamu menikah dengan siapapun juga apabila tidak engkau sukai. Akan tetapi ada sebuah hal yang membuat aku menjadi penasaran. Mengapa engkau membela seorang asing seperti Pouw Cun Giok itu, menentang keputusanku untuk membawa pembunuh dan pemberontak itu ke kota raja untuk diadili, bahkan engkau tega melukai lengan Suhengmu sendiri? Nah, jawab, apa alasanmu membela Pouw Cun Giok mati-matian?”

Cun Ai Yin tersenyum dan mengangguk-angguk “Hemm, aku mengerti, Ayah. Sudah pasti Suheng Kong Sek itu mengadu kepada Ayah, bukan? Hal ini saja membuktikan bahwa dia adalah seorang yang curang dan pembohong besar!”

“Eh? Apa maksudmu, Ai Yin? Engkau malah memaki dia curang dan pembohong besar?”

“Ayah, Ayah tahu bahwa sejak kecil Ayah mendidikku untuk bersikap adil dan hidup sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan sebagai seorang gagah. Pouw Cun Giok berada di sini adalah aku yang menolongnya ketika dia kudapatkan pingsan di tepi sungai, berarti dia adalah tanggung jawabku. Kemudian Ayah dapat menerimanya sebagai tamu setelah kita mengujinya dan ternyata dia adalah seorang pendekar yang tinggi ilmunya. Kemudian muncul Suheng yang menyerang Cun Giok dan dalam perkelahian mereka Suheng juga bukan tandingan Cun Giok. Akan tetapi Ayah mencampuri urusan mereka dan membela Suheng.”

“Tentu saja!” bantah Cu Liong. “Pouw Cun Giok itu membunuh ayah Kong Sek, yaitu Panglima Besar Kong Tek Kok yang menjadi sahabat baikku. Dan tentu saja aku membela Kong Sek karena dia muridku. Apa salahnya dengan itu?”

“Ayah telah khilaf dan tidak adil, membela satu pihak saja tanpa mempertimbangkan persoalannya. Ketahuilah, Cun Giok membunuh Kong Tek Kok karena panglima itu telah membasmi seluruh keluarganya, yaitu keluarga Pouw di So-couw. Kakek Buyutnya, Ayahnya, Ibunya, semua terbasmi oleh Panglima Kong Tek Kok! Bukankah sudah sepantasnya kalau Cun Giok membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk itu? Kemudian ketika diserang Suheng, Cun Giok mengalah dan tidak melukainya, padahal kalau dia mau, tentu dengan mudah dia dapat membunuh Suheng! Dia tidak mau mengaitkan Suheng dengan dosa-dosa Ayahnya. Kemudian, Ayah mencampuri dan hendak menangkap Cun Giok agar dibawa Suheng ke pengadilan di kota raja. Lagi-lagi Cun Giok mengalah, tidak melawan dan menyerah karena dia merasa telah ditolong Ayah maka tidak mau membantah dan menentang kehendak Ayah yang berat sebelah itu. Bukankah itu menunjukkan bahwa Cun Giok memiliki watak jantan dan seorang pendekar sejati?”

Cu Liong mengangguk-angguk. “Hemm, mungkin aku telah keliru, akan tetapi agaknya engkau membela Cun Giok' mati-matian, membebaskannya dengan kekerasan dan melukai Kong Sek. Apakah tindakanmu itu bisa dianggap adil dapat dibenarkan?”

“Lebih dari adil dan seratus persen benar, Ayah! Ayah telah dikelabuhi kebohongan Suheng Kong Sek. Sesungguhnya kejadiannya begini, Ayah. Ketika aku melarikan diri dari sini, di tengah perjalanan tanpa kusengaja aku melihat Kong Sek mengayun pedang hendak membunuh Cun Giok yang menjadi tawanan tak berdaya itu. Tentu saja aku tidak bisa melihat perbuatan licik dan curang lagi sewenang-wenang itu. Aku lalu menangkis dan ketahuilah, Ayah, pada saat itu Cun Giok dengan mudah mampu mematahkan belenggu dan membebaskan diri sendiri! Jelas dia di sini mengalah dan mau ditawan karena melihat muka Ayah. Suheng Kong Sek tidak mau mengerti, mengerahkan pasukan untuk menyerang aku dan Cun Giok. Tentu saja kami berdua melakukan perlawanan dan aku melukai, lengan Suheng. Kalau aku tidak ingat dia itu Suhengku, tentu pedangku bukan menggores lengan, melainkan memenggal lehernya! Akhirnya dia melarikan diri bersama pasukannya. Nah, harap Ayah pertimbangkan. Kalau Ayah masih tetap menganggap aku yang bersalah, silakan Ayah menghukumku, biar dihukum mati sekalipun aku tidak akan membantah, Ayah.”

Setelah berkata demikian, Ai Yin yang merasa penasaran dan terharu, tak dapat menahan diri dan menangis terisak-isak...!