Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

13. LULUHNYA KEKERASAN HATI SANG AYAH

Melihat puterinya menangis, Bu-tek Sin-liong merangkulnya. “Sudahlah, kalau begitu halnya, ternyata aku telah salah pilih ketika menerimanya sebagai murid. Sudah, jangan menangis. Aku tidak menyalahkanmu dan kalau Kong Sek datang ke sini, aku akan memaki dan memarahinya!”

“Apakah sekarang setelah melihat kelakuannya, Ayah masih ingin mengambil dia sebagai mantu?” tanya Ai Yin sambil menahan isaknya.

“Hemm, untuk itu... ah, kalau engkau tidak mau, aku pun tidak akan memaksamu.”

“Ah, terima kasih, Ayah! Hatiku menjadi lega sekarang. Ternyata Cun Giok memang benar sekali!”

“Eh? Cun Giok benar sekali? Apa maksudmu?”

“Ayah, dalam perjalananku ketika aku melewati sebuah dusun, ada tiga orang perajurit Mongol bersikap kurang ajar terhadapku. Aku menghajar mereka dan membunuh dua orang di antara mereka akan tetapi yang seorang dapat lolos. Agaknya yang lolos itu lalu memberi tahu kawan-kawannya dan aku dikejar-kejar. Ketika aku menyeberangi sungai dengan sebuah perahu, tiba-tiba muncul dua perahu besar yang penuh dengan perajurit Mongol. Aku melawan dan mengamuk, berhasil membunuh banyak perajurit yang mengeroyokku, akan tetapi ketika aku dihujani anak panah, sebatang anak panah mengenai punggungku sehingga aku terjatuh ke dalam air sungai.”

“Ah...! Keparat pasukan itu! Lalu bagaimana, Ai Yin?”

“Dalam keadaan pingsan aku hanyut, akan tetapi ada yang menolongku dan membawaku berenang ke darat. Orang itu menyelamatkan aku dari maut dan mengobati luka di punggungku.”

“Bagus, siapa orang itu?”

“Dia adalah Pouw Cun Giok, Ayah.”

“Ahh! Dia? Hemm, dia telah membayar hutang kepadamu karena engkau juga menyelamatkan nyawanya.”

“Setelah menolongku dia lalu bercerita tentang urusannya dengan Panglima Besar Kong Tek Kok. Setelah itu, mendengar ceritaku bahwa aku minggat dari Bukit Merak karena hendak dipaksa menikah dengan Kong Sek, Cun Giok menasihati aku agar aku segera pulang dan minta maaf padamu, Ayah. Dia meyakinkan aku bahwa Ayah yang menyayangku pasti tidak akan memaksaku menikah dengan orang yang tidak aku suka.”

Bu-tek Sin-liong mengelus jenggotnya dan tersenyum. “Hemm, Ai Yin, agaknya engkau akrab dengan Pouw Cun Giok dan dia amat baik kepadamu. Katakan, apakah pemuda itu mencintaimu?”

Wajah gadis itu menjadi kemerahan. “Aku... aku mana tahu, Ayah? Dia memang baik sekali padaku, akan tetapi tentang hal itu, aku... ah, bagaimana aku dapat mengetahui isi hatinya?”

“Hemm, apakah engkau mencintanya?”

Wajah Ai Yin menjadi semakin merah dan beberapa kali ia mengerutkan alis, menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya sebelum menjawab. “Ini... aku pun tidak tahu, Ayah! Dia memang baik sekali dan aku kagum padanya, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu cinta itu bagaimana.”

“Ha-ha-ha, kalau engkau cinta padanya, dia harus mau menjadi suamimu. Akan kuceritakan hal ini dengan dia kalau aku bertemu dengan Cun Giok.”

“Ih, Ayah! Malu dong kalau kita yang mulai membicarakan soal itu! Sudahlah, Ayah, jangan kita bicarakan soal itu sekarang. Ada berita yang lebih penting lagi dan Ayah pasti tertarik mendengarnya.”

“Berita tentang apa, Ai Yin?”

“Tentang Harta Karun Kerajaan Sung!”

“Harta karun Kerajaan Sung? Apa itu dan bagaimana ceritanya?” Bu-tek Sin-long tertarik sekali.

Ai Yin sudah mendengar tentang harta karun itu dari Cun Giok maka ia menceritakan dengan singkat bahwa harta karun itu milik Kerajaan Sung yang disembunyikan, akan tetapi ketika tempat persembunyian itu ditemukan, harta karun telah lenyap. Peti harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya terdapat tulisan huruf THAI SAN.

“Sekarang, berita itu telah tersebar luas, Ayah. Semua orang di Bu-lim (Rimba Persilatan, kaum pendekar) dan Kang-ouw (Sungai Telaga, kaum sesat) hendak mencari dan memperebutkan harta itu. Mereka semua mencari ke Thai-san. Cun Giok juga hendak pergi ke sana untuk mencari pencuri harta dan merebutnya.”

“Hemm, untuk apa mereka semua memperebutkan harta itu?”

“Ayah, menurut cerita Cun Giok, harta itu adalah hasil korupsi seorang pembesar korup dari Kerajaan Sung yang bernama Thaikam Bong. Dia mencuri harta karun itu dan menyembunyikannya, lalu membuat peta. Peta itu tadinya terjatuh ke tangan Cun Giok dan kawan-kawannya, akan tetapi mereka tertawan oleh Panglima Kim Bayan, bahkan Suheng Kong Sek juga berada dalam rombongan Panglima Kim Bayan. Cun Giok dan kawan-kawannya dipaksa membantu Panglima Kim Bayan mencari harta karun menurut petunjuk peta. Akan tetapi, ketika ditemukan tempat itu hartanya telah lenyap, tinggal peti kosong di mana terdapat tulisan THAI SAN.”

”Hemm, biarkan mereka berebut. Aku tidak butuh harta karun. Hartaku sudah cukup.”

“Akan tetapi, Ayah. Harta karun itu banyak sekali dan pula, perebutan itu juga berarti persaingan nama, siapa yang berhasil mendapatkan harta karun, berarti dialah yang paling kuat!”

Kelemahan Bu-tek Sin-liong adalah soal nama besar. Dia menggunakan julukan Bu-tek (Tidak Terlawan) sudah menunjukkan betapa dia amat mementingkan nama besar. Maka begitu Ai Yin yang cerdik menyebut tentang persaingan nama besar, hatinya segera tertarik. “Siapa saja yang memperebutkan harta karun itu?”

“Aku tidak tahu, Ayah. Akan tetapi yang jelas ada tiga golongan. Pertama adalah orang-orang Kerajaan Mongol seperti Panglima Besar Kim Bayan dan mungkin juga Suheng Kong Sek dan mereka ini berusaha mendapatkan harta karun mungkin untuk diserahkan kepada pemerintah Kerajaan Mongol atau mungkin juga untuk diri mereka sendiri. Golongan kedua adalah para tokoh sesat, para petualang yang ingin memiliki harta besar itu, atau para datuk dan tokoh besar yang ingin membuat nama besar. Adapun golongan ketiga adalah para pendekar yang menentang Kerajaan Mongol dan seperti yang diceritakan Cun Giok, mereka ini berusaha mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para pejuang yang menentang dan ingin menumbangkan kekuasaan penjajah Mongol.”

Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk. Hatinya semakin tertarik. “Dan bagaimana dengan engkau, Ai Yin? Apakah engkau juga ingin mencari harta itu?”

“Aku ingin sekali, Ayah, bukan karena ingin memiliki harta itu, melainkan ingin mencari pengalaman. Perebutan harta karun itu tentu ramai sekali, Ayah. Banyak orang-orang sakti akan datang ke tempat itu. Kalau aku datang ke sana, tentu aku akan mendapatkan banyak pengalaman. Akan tetapi, terus terang saja, aku agak takut, Ayah. Dengan kepandaian yang kumiliki, bagaimana mungkin aku dapat menghadapi orang-orang sakti itu dengan aman?”

“Apakah engkau tidak ingin ke sana agar dapat bertemu dengan Cun Giok?” tanya Sang Ayah.

“Aih, Ayah. Tentu saja kalau bertemu dia, kami dapat bekerja sama. Aku akan membantunya memperebutkan harta itu.”

“Dan dia akan menyerahkan kepada para pejuang? Bukankah kita ini orang-orang yang tidak ingin memihak, baik memihak Kerajaan Mongol maupun memihak para pejuang yang memusuhinya?”

“Tentu saja, Ayah. Akan tetapi aku hanya membantu, karena Cun Giok adalah sahabat baikku. Akan tetapi kalau Ayah pergi juga, tentu saja aku akan membantu Ayah.”

“Baik, kita pergi ke Thai-san!” akhirnya Bu-tek Sin-liong tertarik juga karena kalau dia dapat merampas harta karun itu, seluruh tokoh di dunia persilatan akan mengakuinya sebagai pendekar yang benar-benar Bu-tek (Tanpa Tanding)! Ai Yin gembira sekali mendengar ini dan ia merangkul ayahnya dengan gembira dan manja.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pegunungan Thai-san adalah sebuah pegunungan yang amat luas. Thai-san memiliki banyak puncak yang tinggi menjulang ke langit dan menembus awan. Ratusan bukit-bukit terdapat di pegunungan itu. Biasanya, pegunungan ini sepi karena biarpun tanah pegunungan itu cukup subur, namun banyak bagian daerah itu merupakan daerah rawan yang ditakuti penduduk. Hanya di bagian timur, yang menjadi pusat Partai Persilatan Thai-san-pai saja yang tidak ditakuti rakyat sehingga di daerah itu terdapat beberapa buah desa yang dihuni para petani. Akan tetapi di daerah barat, utara, dan selatan merupakan daerah rawan yang amat berbahaya dan dikabarkan sebagai daerah maut oleh penduduk di sekitar Thai-san.

Di daerah Barat dikuasai oleh seorang yang oleh penduduk dianggap sebagai seorang manusia iblis. Tidak ada yang mengetahui nama tokoh ini, karena hanya julukannya saja dikenal orang. Julukannya adalah Huo Lo-sian (Dewa Api) dan siapa saja yang kebetulan melihat dia, dari jauh saja orang itu akan melarikan diri ketakutan. Tokoh ini berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya mirip muka singa penuh berewok. Hebatnya, baik rambutnya yang panjang riap-riapan maupun berewoknya yang menutupi muka itu berwarna kemerahan seperti api!

Huo Lo-sian yang menguasai pegunungan bagian barat ini mempunyai anak buah sebanyak kurang lebih lima puluh orang. Mereka tinggal di sebuah perkampungan bersama keluarga para anak buahnya dan Huo Lo-sian sendiri tinggal di sebuah rumah gedung di tengah perkampungan, sedangkan anak buahnya tinggal di pondok-pondok di sekeliling rumah gedung itu bersama keluarga mereka. Huo Lo-sian tidak mempunyai keluarga. Sejak dulu datuk ini tidak pernah berkeluarga, hanya hidup seorang diri saja. Wataknya amat aneh dan ganas maka andaikata dia berkeluarga, tentu keluarganya tidak akan dapat tinggal bersama seorang seperti dia.

Tentu saja wataknya yang ganas liar dan kasar itu dicontoh anak buahnya. Anak buahnya dapat dikenal dengan pakaian mereka yang serba hijau. Mereka memang segolongan perampok, akan tetapi kalau saja ada yang berani melanggar wilayah kekuasaan mereka, jangan harap orang itu dapat keluar dari situ dengan selamat!

Adapun tokoh yang menguasai bagian Utara pegunungan itu adalah sepasang orang kembar yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), Yang pertama atau yang lebih tua berjuluk Hek Mo-ko (Iblis Hitam), disebut demikian karena memang mukanya hitam seperti arang, juga kedua telapak tangannya hitam. Adapun orang kedua atau yang lebih muda dijuluki Pek Mo-ko, yang artinya Iblis Putih. Muka Pek Mo-ko juga aneh, putih seperti kapur sehingga lebih mengerikan lagi dibandingkan kakaknya. Juga telapak tangan Pek Mo-ko berwarna putih seperti kapur.

Kalau bagian barat yang menjadi tempat tinggal Huo Lo-sian disebut Bukit Merah, maka bagian Utara tempat tinggal Hek Pek Mo-ko inl dikenal dengan sebutan Bukit Batu. Hek Pek Mo-ko juga mempunyai anak buah sebanyak kurang lebih lima puluh orang.

Di bagian selatan pegunungan itu, disebut Bukit Cemara, menjadi markas perkumpulan Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang sebetulnya memiliki cabang hampir di semua kota besar, bahkan di kota raja juga ada. Akan tetapi pusatnya, atau tempat tinggal tokoh utama berada di Bukit Cemara di bagian Selatan Pegunungan Thai-san. Ketuanya adalah seorang pengemis tua berusia sekitar lima puluh lima tahun yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan). Di situ tinggal kurang lebih seratus orang murid atau anggotanya.

Perkumpulan ini dahulunya juga merupakan perkumpulan orang-orang yang anti penjajah. Akan tetapi setelah penjajah Mongol berkuasa, mereka menjadi diam dan tidak acuh. Hal ini adalah karena mereka takut kalau-kalau pemerintah baru akan membasmi mereka. Karena mereka merupakan perkumpulan pengemis, maka tentu akan mudah diketahui pemerintah dan tidak sulit membasmi para pengemis ini. Demikianlah, Kui-tung Sin-kai memberi peringatan keras kepada para anggautanya di seluruh kota-kota besar agar tidak mengambil sikap memusuhi pemerintah.

Demikianlah, di empat penjuru Pegunungan Thai-san terdapat empat golongan yang dipimpin orang-orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja besar kemungkinan masih ada tokoh-tokoh rahasia yang lain yang menyendiri, pertapa-pertapa sakti yang mengasingkan diri dari dunia luar. Akan tetapi, yang paling terpandang dan disegani di dunia persilatan tentu saja adalah Thai-san-pai, sebuah perguruan silat yang terkenal memiliki murid-murid yang menjadi pendekar gagah perkasa. Thai-san-pai, seperti aliran persilatan lain kecuali Siauw-lim-pai yang dipimpin para hwesio (Pendeta Buddha) yang menyebarkan Agama Buddha, dipimpin oleh para tosu (Pendeta Agama To).

Pada waktu itu, yang menjadi ketua Thai-san-pai adalah Thai-san Sianjin Thio Kong, seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya bersih tanpa kumis, hanya terhias jenggot pendek yang dipotong rapi sehingga tampak tampan. Namun tarikan mulut dan pandang matanya menimbulkan kesan angkuh, seperti sikap kebanyakan pemimpin perkumpulan yang besar dan kuat. Selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga saktinya.

Thai-san Sianjin ini amat terkenal kelihaian siang-kiamnya (sepasang pedangnya). Murid Thai-san-pai terdiri dari sekitar seratus orang dan ketuanya diwakili lima orang sutenya (adik seperguruannya). Mereka berlima itu dikenal dengan sebutan Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti Thai-san). Sebagai adik-adik seperguruan Ketua Thai-san-pai, tentu saja ilmu silat mereka juga tinggi. Bahkan kalau mereka berlima maju bersama, tingkat kepandaian mereka hanya kalah sedikit dibandingkan tingkat suheng (kakak seperguruan) mereka.

Pada masa itu, biarpun terdapat banyak agama dan aliran kebatinan, namun yang terbesar dan dianut sebagian besar rakyat adalah tiga agama, yaitu Agama Buddha, Agama To, dan Agama Khong-hu-cu.

Sungguhpun semua agama di dunia ini berdasarkan wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa, yang diturunkan kepada manusia untuk memberi tuntunan agar manusia hidup di dunia ini dapat menjadi penyalur berkat dari Tuhan, saling mengasihi, saling tolong, dan bersama-sama mengatur agar kehidupan manusia di dunia ini tenteram, damai, aman dan sejahtera, namun kenyataannya oleh manusia bahkan dipertentangkan.

Banyak yang tidak dapat melihat kenyataan bahwa semua agama itu menuntun manusia agar mendekati dan kembali kepada Sang Sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Tunggal. Memang cara yang ditempuh saling berbeda karena wahyu-wahyu itu diturunkan dalam waktu yang berbeda, kepada bangsa yang latar beIakang kebudayaannya berbeda.

Namun, biarpun cara atau jalan itu berlainan dan berbeda, itu hanya merupakan upacaranya belaka. Intinya adalah membimbing manusia agar berusaha mendekati Tuhan dengan hidup sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Bukti bahwa semua agama itu merupakan wahyu dari Tuhan adalah bahwa semua agama, biarpun dengan cara yang berbeda, pada intinya adalah hidup melalui jalan kebenaran dan kebajikan, dan menjauhi dosa dan kejahatan.

Namun sungguh menyedihkan melihat betapa manusia dikuasai oleh nafsu-nafsunya sendiri sehingga memiliki ke-akuan yang amat kuat, lebih kuat daripada pelajaran agama masing-masing. Karena ke-akuan inilah yang masing-masing menganggap agama sendiri yang benar, jalannya sendiri yang tepat menuju kepada Tuhan, sedangkan agama lain itu salah dan nyeleweng, bahkan ada yang lebih bengis lagi menganggap bahwa Tuhan yang disembah agama lain itu bukan Tuhan mereka, bukan Tuhan yang asli! Masing-masing memperebutkan Kebenaran, lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu sudah tidak benar lagi.

Ada pula golongan yang dapat menerima tiga agama terbesar saat itu. Mereka mempelajari ketiganya dan melihat perpecahan bahkan permusuhan di antara agama-agama itu, mereka lebih suka mengasingkan diri, bertapa di tempat-tempat sunyi, tidak mencampuri urusan manusia ramai yang hanya mendatangkan pertentangan dan permusuhan.


Thai-san-pai termasuk umat beragama To yang bersikap keras, yang menolak pelajaran agama lain, menganggap golongan sendiri yang paling benar, paling baik, dan karenanya paling dekat dengan Tuhan, seolah Tuhan hanya milik pribadi golongan mereka sendiri. Sikap umat beragama seperti inilah yang menimbulkan persaingan dan pertentangan sehingga seringkali terjadi perang di antara mereka.

Biarpun Thai-san-pai menganut aliran agama yang teguh dan fanatik, namun mereka tidak pernah memusuhi golongan atau agama lain secara terbuka. Mereka bukanlah golongan sesat yang memiliki watak jahat.

Karena berita tentang harta karun yang dicuri orang yang mengaku berasal dari Thai-san itu tersebar luas, maka Thai-san-pai juga sudah mendengar berita itu. Thai-san Sianjin memanggil kelima orang sutenya dan mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa akibat pengakuan pencuri harta karun itu, pasti Thai-san-pai merupakan satu di antara golongan yang dicurigai mencuri harta karun.

Juga diam-diam mereka ingin ikut menemukan harta karun itu, karena di lubuk hati para pimpinan Thai-san-pai itu, mereka juga membenci pemerintahan penjajah Mongol dan mereka akan merasa lebih suka kalau harta karun terjatuh ke tangan para pejuang. Mulai hari itu, para murid diperintahkan untuk melakukan penjagaan ketat di sekeliling perkampungan Thai-san-pai. Bahkan Thai-san Ngo-sin-kiam sendiri sering mengadakan perondaan, menjaga segala kemungkinan.

Pada suatu pagi, ketika matahari telah naik agak tinggi sehingga sinarnya mulai mengusir hawa dingin di puncak bukit yang menjadi markas Thai-san-pai, tampak Pouw Cun Giok berjalan santai di samping sepasang gadis kembar, yaitu The Kui Lan dan The Kui Lin. Seperti kita ketahui, Cun Giok bersahabat dengan sepasang gadis kembar puteri The Toanio majikan Lembah Seribu Bunga dan ketika dia bercerita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dicuri orang, Kui Lan dan Kui Lin merengek kepada ibu mereka, minta agar diperkenankan ikut dan membantu Cun Giok mencari harta karun itu ke Thai-san.

Ketika mereka bertiga tiba di kaki Pegunungan Thai-san yang amat luas, Kui Lin berkata dengan alis berkerut. “Wah, Thai-san merupakan pegunungan yang demikian panjang dan luasnya. Bagaimana mungkin mencari pencuri itu? Untuk menjelajahi pegunungan ini, kukira biar sampai bertahun-tahun sekalipun pasti tidak akan dapat selesai!”

”Kukira tidak perlu menjelajahi seluruh pegunungan ini, Lin-moi,” kata Cun Giok. “Aku mendengar bahwa perkumpulan terbesar di daerah ini adalah Thai-san-pai, aliran persilatan yang cukup terkenal walaupun tidak sebesar Siauw-lim-pai atau Bu-tong-pai. Aku memang tidak percaya kalau Thai-san-pai yang terdiri dari para pendekar itu melakukan pencurian harta karun dan dengan sombongnya menantang para ahli silat dengan memberitahukan tempat tinggalnya. Akan tetapi setidaknya kita akan bisa mendapatkan keterangan dari mereka.”

“Kalau begitu sebaiknya kita mencari dan mengunjungi Thai-san-pai, Giok-ko!” kata Kui Lan.

Mereka lalu mencari keterangan kepada penduduk dusun di sekitar kaki Pegunungan Thai-san. Dengan mudah mereka mendapatkan keterangan karena semua orang di daerah itu tahu belaka di mana adanya markas Thai-san-pai, yaitu di bagian Timur pegunungan itu...

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 13

13. LULUHNYA KEKERASAN HATI SANG AYAH

Melihat puterinya menangis, Bu-tek Sin-liong merangkulnya. “Sudahlah, kalau begitu halnya, ternyata aku telah salah pilih ketika menerimanya sebagai murid. Sudah, jangan menangis. Aku tidak menyalahkanmu dan kalau Kong Sek datang ke sini, aku akan memaki dan memarahinya!”

“Apakah sekarang setelah melihat kelakuannya, Ayah masih ingin mengambil dia sebagai mantu?” tanya Ai Yin sambil menahan isaknya.

“Hemm, untuk itu... ah, kalau engkau tidak mau, aku pun tidak akan memaksamu.”

“Ah, terima kasih, Ayah! Hatiku menjadi lega sekarang. Ternyata Cun Giok memang benar sekali!”

“Eh? Cun Giok benar sekali? Apa maksudmu?”

“Ayah, dalam perjalananku ketika aku melewati sebuah dusun, ada tiga orang perajurit Mongol bersikap kurang ajar terhadapku. Aku menghajar mereka dan membunuh dua orang di antara mereka akan tetapi yang seorang dapat lolos. Agaknya yang lolos itu lalu memberi tahu kawan-kawannya dan aku dikejar-kejar. Ketika aku menyeberangi sungai dengan sebuah perahu, tiba-tiba muncul dua perahu besar yang penuh dengan perajurit Mongol. Aku melawan dan mengamuk, berhasil membunuh banyak perajurit yang mengeroyokku, akan tetapi ketika aku dihujani anak panah, sebatang anak panah mengenai punggungku sehingga aku terjatuh ke dalam air sungai.”

“Ah...! Keparat pasukan itu! Lalu bagaimana, Ai Yin?”

“Dalam keadaan pingsan aku hanyut, akan tetapi ada yang menolongku dan membawaku berenang ke darat. Orang itu menyelamatkan aku dari maut dan mengobati luka di punggungku.”

“Bagus, siapa orang itu?”

“Dia adalah Pouw Cun Giok, Ayah.”

“Ahh! Dia? Hemm, dia telah membayar hutang kepadamu karena engkau juga menyelamatkan nyawanya.”

“Setelah menolongku dia lalu bercerita tentang urusannya dengan Panglima Besar Kong Tek Kok. Setelah itu, mendengar ceritaku bahwa aku minggat dari Bukit Merak karena hendak dipaksa menikah dengan Kong Sek, Cun Giok menasihati aku agar aku segera pulang dan minta maaf padamu, Ayah. Dia meyakinkan aku bahwa Ayah yang menyayangku pasti tidak akan memaksaku menikah dengan orang yang tidak aku suka.”

Bu-tek Sin-liong mengelus jenggotnya dan tersenyum. “Hemm, Ai Yin, agaknya engkau akrab dengan Pouw Cun Giok dan dia amat baik kepadamu. Katakan, apakah pemuda itu mencintaimu?”

Wajah gadis itu menjadi kemerahan. “Aku... aku mana tahu, Ayah? Dia memang baik sekali padaku, akan tetapi tentang hal itu, aku... ah, bagaimana aku dapat mengetahui isi hatinya?”

“Hemm, apakah engkau mencintanya?”

Wajah Ai Yin menjadi semakin merah dan beberapa kali ia mengerutkan alis, menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya sebelum menjawab. “Ini... aku pun tidak tahu, Ayah! Dia memang baik sekali dan aku kagum padanya, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu cinta itu bagaimana.”

“Ha-ha-ha, kalau engkau cinta padanya, dia harus mau menjadi suamimu. Akan kuceritakan hal ini dengan dia kalau aku bertemu dengan Cun Giok.”

“Ih, Ayah! Malu dong kalau kita yang mulai membicarakan soal itu! Sudahlah, Ayah, jangan kita bicarakan soal itu sekarang. Ada berita yang lebih penting lagi dan Ayah pasti tertarik mendengarnya.”

“Berita tentang apa, Ai Yin?”

“Tentang Harta Karun Kerajaan Sung!”

“Harta karun Kerajaan Sung? Apa itu dan bagaimana ceritanya?” Bu-tek Sin-long tertarik sekali.

Ai Yin sudah mendengar tentang harta karun itu dari Cun Giok maka ia menceritakan dengan singkat bahwa harta karun itu milik Kerajaan Sung yang disembunyikan, akan tetapi ketika tempat persembunyian itu ditemukan, harta karun telah lenyap. Peti harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya terdapat tulisan huruf THAI SAN.

“Sekarang, berita itu telah tersebar luas, Ayah. Semua orang di Bu-lim (Rimba Persilatan, kaum pendekar) dan Kang-ouw (Sungai Telaga, kaum sesat) hendak mencari dan memperebutkan harta itu. Mereka semua mencari ke Thai-san. Cun Giok juga hendak pergi ke sana untuk mencari pencuri harta dan merebutnya.”

“Hemm, untuk apa mereka semua memperebutkan harta itu?”

“Ayah, menurut cerita Cun Giok, harta itu adalah hasil korupsi seorang pembesar korup dari Kerajaan Sung yang bernama Thaikam Bong. Dia mencuri harta karun itu dan menyembunyikannya, lalu membuat peta. Peta itu tadinya terjatuh ke tangan Cun Giok dan kawan-kawannya, akan tetapi mereka tertawan oleh Panglima Kim Bayan, bahkan Suheng Kong Sek juga berada dalam rombongan Panglima Kim Bayan. Cun Giok dan kawan-kawannya dipaksa membantu Panglima Kim Bayan mencari harta karun menurut petunjuk peta. Akan tetapi, ketika ditemukan tempat itu hartanya telah lenyap, tinggal peti kosong di mana terdapat tulisan THAI SAN.”

”Hemm, biarkan mereka berebut. Aku tidak butuh harta karun. Hartaku sudah cukup.”

“Akan tetapi, Ayah. Harta karun itu banyak sekali dan pula, perebutan itu juga berarti persaingan nama, siapa yang berhasil mendapatkan harta karun, berarti dialah yang paling kuat!”

Kelemahan Bu-tek Sin-liong adalah soal nama besar. Dia menggunakan julukan Bu-tek (Tidak Terlawan) sudah menunjukkan betapa dia amat mementingkan nama besar. Maka begitu Ai Yin yang cerdik menyebut tentang persaingan nama besar, hatinya segera tertarik. “Siapa saja yang memperebutkan harta karun itu?”

“Aku tidak tahu, Ayah. Akan tetapi yang jelas ada tiga golongan. Pertama adalah orang-orang Kerajaan Mongol seperti Panglima Besar Kim Bayan dan mungkin juga Suheng Kong Sek dan mereka ini berusaha mendapatkan harta karun mungkin untuk diserahkan kepada pemerintah Kerajaan Mongol atau mungkin juga untuk diri mereka sendiri. Golongan kedua adalah para tokoh sesat, para petualang yang ingin memiliki harta besar itu, atau para datuk dan tokoh besar yang ingin membuat nama besar. Adapun golongan ketiga adalah para pendekar yang menentang Kerajaan Mongol dan seperti yang diceritakan Cun Giok, mereka ini berusaha mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para pejuang yang menentang dan ingin menumbangkan kekuasaan penjajah Mongol.”

Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk. Hatinya semakin tertarik. “Dan bagaimana dengan engkau, Ai Yin? Apakah engkau juga ingin mencari harta itu?”

“Aku ingin sekali, Ayah, bukan karena ingin memiliki harta itu, melainkan ingin mencari pengalaman. Perebutan harta karun itu tentu ramai sekali, Ayah. Banyak orang-orang sakti akan datang ke tempat itu. Kalau aku datang ke sana, tentu aku akan mendapatkan banyak pengalaman. Akan tetapi, terus terang saja, aku agak takut, Ayah. Dengan kepandaian yang kumiliki, bagaimana mungkin aku dapat menghadapi orang-orang sakti itu dengan aman?”

“Apakah engkau tidak ingin ke sana agar dapat bertemu dengan Cun Giok?” tanya Sang Ayah.

“Aih, Ayah. Tentu saja kalau bertemu dia, kami dapat bekerja sama. Aku akan membantunya memperebutkan harta itu.”

“Dan dia akan menyerahkan kepada para pejuang? Bukankah kita ini orang-orang yang tidak ingin memihak, baik memihak Kerajaan Mongol maupun memihak para pejuang yang memusuhinya?”

“Tentu saja, Ayah. Akan tetapi aku hanya membantu, karena Cun Giok adalah sahabat baikku. Akan tetapi kalau Ayah pergi juga, tentu saja aku akan membantu Ayah.”

“Baik, kita pergi ke Thai-san!” akhirnya Bu-tek Sin-liong tertarik juga karena kalau dia dapat merampas harta karun itu, seluruh tokoh di dunia persilatan akan mengakuinya sebagai pendekar yang benar-benar Bu-tek (Tanpa Tanding)! Ai Yin gembira sekali mendengar ini dan ia merangkul ayahnya dengan gembira dan manja.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pegunungan Thai-san adalah sebuah pegunungan yang amat luas. Thai-san memiliki banyak puncak yang tinggi menjulang ke langit dan menembus awan. Ratusan bukit-bukit terdapat di pegunungan itu. Biasanya, pegunungan ini sepi karena biarpun tanah pegunungan itu cukup subur, namun banyak bagian daerah itu merupakan daerah rawan yang ditakuti penduduk. Hanya di bagian timur, yang menjadi pusat Partai Persilatan Thai-san-pai saja yang tidak ditakuti rakyat sehingga di daerah itu terdapat beberapa buah desa yang dihuni para petani. Akan tetapi di daerah barat, utara, dan selatan merupakan daerah rawan yang amat berbahaya dan dikabarkan sebagai daerah maut oleh penduduk di sekitar Thai-san.

Di daerah Barat dikuasai oleh seorang yang oleh penduduk dianggap sebagai seorang manusia iblis. Tidak ada yang mengetahui nama tokoh ini, karena hanya julukannya saja dikenal orang. Julukannya adalah Huo Lo-sian (Dewa Api) dan siapa saja yang kebetulan melihat dia, dari jauh saja orang itu akan melarikan diri ketakutan. Tokoh ini berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya mirip muka singa penuh berewok. Hebatnya, baik rambutnya yang panjang riap-riapan maupun berewoknya yang menutupi muka itu berwarna kemerahan seperti api!

Huo Lo-sian yang menguasai pegunungan bagian barat ini mempunyai anak buah sebanyak kurang lebih lima puluh orang. Mereka tinggal di sebuah perkampungan bersama keluarga para anak buahnya dan Huo Lo-sian sendiri tinggal di sebuah rumah gedung di tengah perkampungan, sedangkan anak buahnya tinggal di pondok-pondok di sekeliling rumah gedung itu bersama keluarga mereka. Huo Lo-sian tidak mempunyai keluarga. Sejak dulu datuk ini tidak pernah berkeluarga, hanya hidup seorang diri saja. Wataknya amat aneh dan ganas maka andaikata dia berkeluarga, tentu keluarganya tidak akan dapat tinggal bersama seorang seperti dia.

Tentu saja wataknya yang ganas liar dan kasar itu dicontoh anak buahnya. Anak buahnya dapat dikenal dengan pakaian mereka yang serba hijau. Mereka memang segolongan perampok, akan tetapi kalau saja ada yang berani melanggar wilayah kekuasaan mereka, jangan harap orang itu dapat keluar dari situ dengan selamat!

Adapun tokoh yang menguasai bagian Utara pegunungan itu adalah sepasang orang kembar yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), Yang pertama atau yang lebih tua berjuluk Hek Mo-ko (Iblis Hitam), disebut demikian karena memang mukanya hitam seperti arang, juga kedua telapak tangannya hitam. Adapun orang kedua atau yang lebih muda dijuluki Pek Mo-ko, yang artinya Iblis Putih. Muka Pek Mo-ko juga aneh, putih seperti kapur sehingga lebih mengerikan lagi dibandingkan kakaknya. Juga telapak tangan Pek Mo-ko berwarna putih seperti kapur.

Kalau bagian barat yang menjadi tempat tinggal Huo Lo-sian disebut Bukit Merah, maka bagian Utara tempat tinggal Hek Pek Mo-ko inl dikenal dengan sebutan Bukit Batu. Hek Pek Mo-ko juga mempunyai anak buah sebanyak kurang lebih lima puluh orang.

Di bagian selatan pegunungan itu, disebut Bukit Cemara, menjadi markas perkumpulan Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang sebetulnya memiliki cabang hampir di semua kota besar, bahkan di kota raja juga ada. Akan tetapi pusatnya, atau tempat tinggal tokoh utama berada di Bukit Cemara di bagian Selatan Pegunungan Thai-san. Ketuanya adalah seorang pengemis tua berusia sekitar lima puluh lima tahun yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan). Di situ tinggal kurang lebih seratus orang murid atau anggotanya.

Perkumpulan ini dahulunya juga merupakan perkumpulan orang-orang yang anti penjajah. Akan tetapi setelah penjajah Mongol berkuasa, mereka menjadi diam dan tidak acuh. Hal ini adalah karena mereka takut kalau-kalau pemerintah baru akan membasmi mereka. Karena mereka merupakan perkumpulan pengemis, maka tentu akan mudah diketahui pemerintah dan tidak sulit membasmi para pengemis ini. Demikianlah, Kui-tung Sin-kai memberi peringatan keras kepada para anggautanya di seluruh kota-kota besar agar tidak mengambil sikap memusuhi pemerintah.

Demikianlah, di empat penjuru Pegunungan Thai-san terdapat empat golongan yang dipimpin orang-orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja besar kemungkinan masih ada tokoh-tokoh rahasia yang lain yang menyendiri, pertapa-pertapa sakti yang mengasingkan diri dari dunia luar. Akan tetapi, yang paling terpandang dan disegani di dunia persilatan tentu saja adalah Thai-san-pai, sebuah perguruan silat yang terkenal memiliki murid-murid yang menjadi pendekar gagah perkasa. Thai-san-pai, seperti aliran persilatan lain kecuali Siauw-lim-pai yang dipimpin para hwesio (Pendeta Buddha) yang menyebarkan Agama Buddha, dipimpin oleh para tosu (Pendeta Agama To).

Pada waktu itu, yang menjadi ketua Thai-san-pai adalah Thai-san Sianjin Thio Kong, seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya bersih tanpa kumis, hanya terhias jenggot pendek yang dipotong rapi sehingga tampak tampan. Namun tarikan mulut dan pandang matanya menimbulkan kesan angkuh, seperti sikap kebanyakan pemimpin perkumpulan yang besar dan kuat. Selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga saktinya.

Thai-san Sianjin ini amat terkenal kelihaian siang-kiamnya (sepasang pedangnya). Murid Thai-san-pai terdiri dari sekitar seratus orang dan ketuanya diwakili lima orang sutenya (adik seperguruannya). Mereka berlima itu dikenal dengan sebutan Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti Thai-san). Sebagai adik-adik seperguruan Ketua Thai-san-pai, tentu saja ilmu silat mereka juga tinggi. Bahkan kalau mereka berlima maju bersama, tingkat kepandaian mereka hanya kalah sedikit dibandingkan tingkat suheng (kakak seperguruan) mereka.

Pada masa itu, biarpun terdapat banyak agama dan aliran kebatinan, namun yang terbesar dan dianut sebagian besar rakyat adalah tiga agama, yaitu Agama Buddha, Agama To, dan Agama Khong-hu-cu.

Sungguhpun semua agama di dunia ini berdasarkan wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa, yang diturunkan kepada manusia untuk memberi tuntunan agar manusia hidup di dunia ini dapat menjadi penyalur berkat dari Tuhan, saling mengasihi, saling tolong, dan bersama-sama mengatur agar kehidupan manusia di dunia ini tenteram, damai, aman dan sejahtera, namun kenyataannya oleh manusia bahkan dipertentangkan.

Banyak yang tidak dapat melihat kenyataan bahwa semua agama itu menuntun manusia agar mendekati dan kembali kepada Sang Sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Tunggal. Memang cara yang ditempuh saling berbeda karena wahyu-wahyu itu diturunkan dalam waktu yang berbeda, kepada bangsa yang latar beIakang kebudayaannya berbeda.

Namun, biarpun cara atau jalan itu berlainan dan berbeda, itu hanya merupakan upacaranya belaka. Intinya adalah membimbing manusia agar berusaha mendekati Tuhan dengan hidup sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Bukti bahwa semua agama itu merupakan wahyu dari Tuhan adalah bahwa semua agama, biarpun dengan cara yang berbeda, pada intinya adalah hidup melalui jalan kebenaran dan kebajikan, dan menjauhi dosa dan kejahatan.

Namun sungguh menyedihkan melihat betapa manusia dikuasai oleh nafsu-nafsunya sendiri sehingga memiliki ke-akuan yang amat kuat, lebih kuat daripada pelajaran agama masing-masing. Karena ke-akuan inilah yang masing-masing menganggap agama sendiri yang benar, jalannya sendiri yang tepat menuju kepada Tuhan, sedangkan agama lain itu salah dan nyeleweng, bahkan ada yang lebih bengis lagi menganggap bahwa Tuhan yang disembah agama lain itu bukan Tuhan mereka, bukan Tuhan yang asli! Masing-masing memperebutkan Kebenaran, lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu sudah tidak benar lagi.

Ada pula golongan yang dapat menerima tiga agama terbesar saat itu. Mereka mempelajari ketiganya dan melihat perpecahan bahkan permusuhan di antara agama-agama itu, mereka lebih suka mengasingkan diri, bertapa di tempat-tempat sunyi, tidak mencampuri urusan manusia ramai yang hanya mendatangkan pertentangan dan permusuhan.


Thai-san-pai termasuk umat beragama To yang bersikap keras, yang menolak pelajaran agama lain, menganggap golongan sendiri yang paling benar, paling baik, dan karenanya paling dekat dengan Tuhan, seolah Tuhan hanya milik pribadi golongan mereka sendiri. Sikap umat beragama seperti inilah yang menimbulkan persaingan dan pertentangan sehingga seringkali terjadi perang di antara mereka.

Biarpun Thai-san-pai menganut aliran agama yang teguh dan fanatik, namun mereka tidak pernah memusuhi golongan atau agama lain secara terbuka. Mereka bukanlah golongan sesat yang memiliki watak jahat.

Karena berita tentang harta karun yang dicuri orang yang mengaku berasal dari Thai-san itu tersebar luas, maka Thai-san-pai juga sudah mendengar berita itu. Thai-san Sianjin memanggil kelima orang sutenya dan mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa akibat pengakuan pencuri harta karun itu, pasti Thai-san-pai merupakan satu di antara golongan yang dicurigai mencuri harta karun.

Juga diam-diam mereka ingin ikut menemukan harta karun itu, karena di lubuk hati para pimpinan Thai-san-pai itu, mereka juga membenci pemerintahan penjajah Mongol dan mereka akan merasa lebih suka kalau harta karun terjatuh ke tangan para pejuang. Mulai hari itu, para murid diperintahkan untuk melakukan penjagaan ketat di sekeliling perkampungan Thai-san-pai. Bahkan Thai-san Ngo-sin-kiam sendiri sering mengadakan perondaan, menjaga segala kemungkinan.

Pada suatu pagi, ketika matahari telah naik agak tinggi sehingga sinarnya mulai mengusir hawa dingin di puncak bukit yang menjadi markas Thai-san-pai, tampak Pouw Cun Giok berjalan santai di samping sepasang gadis kembar, yaitu The Kui Lan dan The Kui Lin. Seperti kita ketahui, Cun Giok bersahabat dengan sepasang gadis kembar puteri The Toanio majikan Lembah Seribu Bunga dan ketika dia bercerita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dicuri orang, Kui Lan dan Kui Lin merengek kepada ibu mereka, minta agar diperkenankan ikut dan membantu Cun Giok mencari harta karun itu ke Thai-san.

Ketika mereka bertiga tiba di kaki Pegunungan Thai-san yang amat luas, Kui Lin berkata dengan alis berkerut. “Wah, Thai-san merupakan pegunungan yang demikian panjang dan luasnya. Bagaimana mungkin mencari pencuri itu? Untuk menjelajahi pegunungan ini, kukira biar sampai bertahun-tahun sekalipun pasti tidak akan dapat selesai!”

”Kukira tidak perlu menjelajahi seluruh pegunungan ini, Lin-moi,” kata Cun Giok. “Aku mendengar bahwa perkumpulan terbesar di daerah ini adalah Thai-san-pai, aliran persilatan yang cukup terkenal walaupun tidak sebesar Siauw-lim-pai atau Bu-tong-pai. Aku memang tidak percaya kalau Thai-san-pai yang terdiri dari para pendekar itu melakukan pencurian harta karun dan dengan sombongnya menantang para ahli silat dengan memberitahukan tempat tinggalnya. Akan tetapi setidaknya kita akan bisa mendapatkan keterangan dari mereka.”

“Kalau begitu sebaiknya kita mencari dan mengunjungi Thai-san-pai, Giok-ko!” kata Kui Lan.

Mereka lalu mencari keterangan kepada penduduk dusun di sekitar kaki Pegunungan Thai-san. Dengan mudah mereka mendapatkan keterangan karena semua orang di daerah itu tahu belaka di mana adanya markas Thai-san-pai, yaitu di bagian Timur pegunungan itu...