Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 29 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

29: TUMBUHNYA BIBIT-BIBIT...

Setelah dapat menenangkan hatinya, Cun Giok melanjutkan ceritanya.

“Kelakuanku membunuh Pangeran Lu Kok Kong itu membuat Bibi Pouw Sui Hong meninggal dunia saking kaget dan sedihnya. Lu Siang Ni yang juga tinggi ilmu silatnya hendak membalas kematian ibunya, akan tetapi setelah ia mengetahui sebab aku membunuh ayahnya, ia dapat mengerti. Kami berdua lalu membalas dendam kepada panglima yang dulu membasmi keluarga Pouw. Kami berdua berhasil membunuh Panglima Kong Tek Kok di tanah kuburan Bibi Pouw Sui Hong. Akan tetapi Adik misanku itu, Lu Siang Ni juga membunuh diri di depan makam orang tuanya. Ah, aku menyesal sekali, sungguh menyesal sekali.”

Ceng Ceng yang merasa terharu, melihat pemuda itu menangis di depannya. Ia bangkit dan menghampiri, menyentuh pundak Cun Giok dan berkata lembut namun membesarkan hati.

“Twako, bagiku engkau sama sekali tidak bersalah karena ketika membunuh Pangeran Lu, engkau hendak membalaskan sakit hati bibimu, engkau tidak tahu akan keadaannya. Kesalahanmu hanya bahwa engkau kurang teliti menyelidiki keadaan mereka. Akan tetapi tidak perlu hal-hal yang lalu dikenang dan menjadi tekanan batinmu. Hal yang lalu dapat dijadikan pelajaran agar di masa depan kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Twako, engkau murid seorang pendekar patriot yang sakti dan bijaksana, tentu engkau tahu bahwa menyesali hal yang sudah lalu tidak ada gunanya lagi dan membenamkan diri dalam kesedihan bukanlah sikap seorang pendekar.”

Ucapan itu lembut sekali, lebih bersifat menghibur daripada menegur, dan terasa oleh Cun Giok bagaikan air dingin yang menyiram hati dan pikirannya. Dia mengangkat muka memandang wajah yang cantik dan tampak keibuan itu, lalu tersenyum, menghapus pipinya yang basah.

“Maafkan aku, Nona Liu...”

“Jangan sebut Nona, Twako. Orang tua kita bersahabat karib, bukankah kita juga sahabat dan bukan orang lain?”

“Baiklah, Siauw-moi (Adik Perempuan)...” Cun Giok kembali tersenyum dan sekali ini bukan senyum paksaan. Hatinya terasa ringan kembali. “Sekarang tiba giliranmu untuk bercerita tentang dirimu karena tadi engkau telah menguras semua riwayat diriku.”

Ceng Ceng tersenyum manis. Semakin manis kalau ia tersenyum karena lesung pipi kanan itu tampak semakin nyata.

“Giok-ko (Kakak Giok), seperti telah kukatakan tadi, ayahku bernama Liu Bok Eng dan tinggal di Nan-king. Dahulu Ayah menjadi seorang panglima Kerajaan Sung yang ikut berperang melawan pasukan Mongol sampai jatuhnya pertahanan terakhir di Kan-ton. Setelah Kerajaan Sung berakhir (tahun 1279) Ayah tidak lagi mencampuri urusan kerajaan dan kini lebih banyak mengasingkan diri dan berjalan-jalan ke gunung-gunung. Aku merupakan anak tunggal. Ibuku masih ada dan aku bernama Liu Ceng, di tempat tinggalku, Ayah dan yang lain-lain biasa menyebutku Ceng Ceng. Aku sejak kecil belajar ilmu silat dari Ayah. Kemudian aku belajar ilmu sastra dan pengobatan dari Susiok (Paman Guru) Im Yang Yok-sian, adik seperguruan Ayah yang menjadi pertapa di Hoa-san. Setelah tamat belajar, dengan perkenan Ayah, aku pergi merantau ke utara untuk melihat keadaan setelah bangsa Mongol memegang pemerintahan, dan menambah pengalaman.”

“Akan tetapi, Ceng-moi, mengapa engkau tadi membiarkan dirimu ditawan dalam kuil? Padahal aku yakin kalau engkau menghendaki, engkau dapat dengan mudah meloloskan diri dan kalau engkau melawan, mereka tidak akan mampu menawanmu!”

Ceng Ceng tersenyum. “Begini, Giok-ko. Selama dalam perjalanan, aku melaksanakan pesan ayah agar aku selalu menolong rakyat yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pembesar Mongol. Nah, aku selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, dan dengan pengetahuanku tentang pengobatan, aku juga membantu rakyat yang menderita sakit. Aku juga menentang cara kerja pembesar yang melakukan paksaan terhadap rakyat untuk kerja paksa yang sewenang-wenang. Karena aku menentang para pembesar yang sewenang-wenang, memberi hajaran keras kepada mereka, aku lalu dicari dan dikejar-kejar.”

“Dan mereka yang kau tolong lalu memberi julukan Pek-eng Sianli kepadamu, bukan?”

“Benar, julukan yang terlalu tinggi untukku. Nah, malam tadi, karena aku dikejar-kejar Panglima Kim Bayan yang cukup lihai dan dia membawa banyak pembantu perwira, aku bersembunyi di rumah kakek dan nenek yang sederhana di dusun tadi. Dan inilah kesalahanku! Agaknya ada mata-mata mereka yang mengetahui tempat persembunyianku. Malam tadi Panglima Kim Bayan menyerbu bersama pasukannya. Tentu saja aku melawan, akan tetapi setelah aku merobohkan banyak pengeroyok, Panglima Kim tiba-tiba menangkap kakek dan nenek pemilik rumah dan mengancam akan membunuh mereka kalau aku tidak menyerah. Terpaksa, untuk menyelamatkan mereka, aku menyerah dan ditawan, lalu dibawa ke kuil tadi. Panglima Kim sendiri agaknya puas melihat aku sudah ditawan dan meninggalkan aku di bawah pengawasan orang-orangnya. Tentu dia mengira aku tidak mampu melarikan diri karena para penjaga dibekali obat peledak yang mengandung pembius. Akan tetapi aku selalu bersedia obat penyembuh luka dan obat pemunah racun sehingga aku tidak khawatir. Kemudian engkau datang menolongku!”

Cun Giok tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh aku merasa malu, Ceng-moi! Aku telah bertindak tolol, mencoba untuk menolongmu dan sebaliknya malah engkau yang menyelamatkan aku dari asap pembius!”

“Tidak, Giok-ko. Bagaimanapun juga, aku pun akan bertindak sama kalau aku menjadi engkau. Aku berterima kasih kepadamu. Twako, aku pernah mendengar akan peristiwa hebat di tanah kuburan kota raja itu. Aku mendengar bahwa banyak perajurit dan seorang panglima yang terkenal terbunuh oleh seorang pendekar yang dijuluki Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan). Melihat gin-kangmu tadi, aku berani bertaruh bahwa pasti engkau yang berjuluk Bu-eng-cu itu!”

Cun Giok menghela napas panjang. “Memang benar, Ceng-moi. Akulah yang membunuhi mereka, bersama adik misanku Siang Ni. Ah, kalau saja adik misanku Lu Siang Ni tidak membunuh diri, betapa lega dan bahagianya hati kami berdua dapat membalaskan dendam keluarga Pouw.”

“Akan tetapi, mengapa adik misanmu itu membunuh diri, Twako?”

Cun Giok menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Ceng-moi, aku tidak tahu. Musuh besar kami itu adalah gurunya sendiri...”

Biarpun mulutnya berkata demikian, namun dalam hatinya Cun Giok setengah dapat menduga mengapa Siang Ni demikian bencinya kepada gurunya itu sehingga membacoki tubuh gurunya itu sampai lumat kemudian membunuh diri di depan makam orang tuanya. Satu-satunya kemungkinan hanya bahwa adik misannya itu ternoda dan merasa dirinya hina dan kotor maka tidak ingin melanjutkan hidupnya setelah dapat membalas dendam.

“Ah, sudahlah, Giok-ko. Apa yang sudah terjadi tak dapat diubah dan tidak perlu disesalkan. Manusia tidak mungkin dapat mengubah apa yang sudah menjadi garis hidupnya. Mati dan hidup sudah ditentukan oleh Thian (Tuhan), dan sebab-sebab kematian yang bermacam-macam itu pun tepat dan sesuai dengan Karma masing-masing. Yang penting kita tidak melakukan perbuatan jahat yang berdosa.”

“Akan tetapi aku berdosa, Ceng-moi. .Aku telah membunuh Pangeran Lu sehingga menyebabkan kematian bibiku sendiri.”

“Apa yang kaulakukan memang salah, Giok-ko. Akan tetapi kesalahan itu kaulakukan tanpa kau sadari, tanpa kau sengaja dan kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja bukanlah dosa. Letak kesalahanmu hanyalah bahwa engkau kurang hati-hati, kurang teliti sehingga patut dijadikan pelajaran dan pengalaman yang mendidik.”

Agak ringan rasa hati Cun Giok dan dia merasa kagum bukan main. Gadis ini masih muda, usianya baru sembilanbelas tahun, akan tetapi wawasannya sudah mendalam dan ucapannya mengandung makna yang bukan hanya untuk menghibur, akan tetapi lebih membuka pengertian sehingga meringankan tekanan batin yang dideritanya semenjak Siang Ni membunuh diri di tanah kuburan itu.

“Ah, aku dapat mengerti maksudmu, Ceng-moi dan terima kasih. Sekarang engkau hendak pergi ke mana, Ceng-moi?”

“Tadinya aku hendak merantau dan melihat kota raja. Akan tetapi setelah peristiwa ini, Panglima Kim Bayan pasti tidak akan tinggal diam dan aku menjadi seorang buruan seperti engkau, Giok-ko. Aku tidak jadi pergi ke kota raja, aku akan mengunjungi Susiok (Paman Guru) yang bertapa di Hoa-san.” Lalu ia memandang wajah Cun Giok dan bertanya, “Dan engkau sendiri, hendak pergi ke mana, Giok-ko?”

Hati Cun Giok merasa amat kagum dan tertarik kepada gadis yang halus budi ini. Dia ingin lebih memperdalam persahabatannya dengan Ceng Ceng, maka dia berkata dengan suara agak ragu. “Ceng-moi. Sudah lama aku mendengar dari Kakek Guru Pak-kong Lojin bahwa ketua Hoa-san-pai yang berada di Pegunungan Hoa-san adalah sahabat karibnya, bahkan mereka berdua telah mengangkat saudara ketika masih muda. Aku ingin juga pergi berkunjung ke Hoa-san-pai karena aku juga tidak mungkin dapat berkunjung ke kota raja. Kalau boleh, aku ingin melakukan perjalanan bersamamu ke Hoa-san. Akan tetapi kalau engkau tidak setuju, tidak mengapa, kita mengambil jalan masing-masing.”

“Ketua Hoa-san-pai? Dia bernama Goat-liang Sanjin dan Paman Guru Im Yang Tok-sian juga bersahabat dengan dia!”

“Ah, kebetulan sekali! Engkau mengenal para pimpinan Hoa-san-pai, Ceng-moi?”

Gadis itu tersenyum. “Ketika aku digembleng oleh Susiok Im Yang Yok-sian, dua kali aku ikut paman guruku berkunjung ke sana. Hoa-san-pai berada di lereng barat, sedangkan tempat pertapaan paman guruku berada di lereng timur. Aku pernah berjumpa dengan Goat-liang Sanjin dan yang lain-lain, akan tetapi besar kemungkinan mereka tidak ingat kepadaku.”

“Wah, kalau begitu aku tidak akan tersesat mencari Hoa-san-pai, tentu saja kalau engkau tidak keberatan melakukan perjalanan bersamaku, Ceng-moi!”

“Mengapa keberatan? Tidak ada salahnya kalau hanya melakukan perjalanan bersama, Giok-ko.”

“Ah, terima kasih, Ceng-moi!” kata Cun Giok dengan girang. “Sambil melakukan perjalanan kita selalu siap untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dan keadilan!”

“Aku setuju, Giok-ko.”

Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Kalau mereka melewati daerah pegunungan atau hutan yang sepi, mereka mempergunakan ilmu berlari cepat. Akan tetapi kalau mereka melalui tempat-tempat yang ramai, mereka melakukan perjalanan biasa.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Selama melakukan perjalanan bersama menuju ke Hoa-san, Cun Giok merasa semakin kagum kepada Ceng Ceng. Dia melihat betapa gadis yang lembut itu amat bijaksana, bahkan dia harus mengakui bahwa seringkali terbuka hatinya menerima petunjuk tentang kehidupan dari gadis itu.

Di lain pihak, Ceng Ceng juga kagum dan suka kepada Cun Giok. Baru sekarang ditemukannya seorang pemuda yang selalu bersikap sopan, baik pandang matanya, sikapnya maupun bicaranya. Berdekatan dengan Cun Giok ia merasa terlindung dan aman.

Di sepanjang perjalanan, kedua orang muda ini selalu mengulurkan tangan untuk menentang kejahatan. Banyak gerombolan-gerombolan penjahat yang suka merampok dan bertindak sewenang-wenang memaksakan kehendak sendiri, menerima hajaran keras dari Bu-eng-cu dan Pek-eng Sianli dan kedua julukan ini menjadi semakin terkenal. Sepak terjang mereka demikian cepat sehingga para lawan mereka hampir tidak sempat mengenali wajah kedua orang pendekar muda itu.

Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan selama puluhan hari, Cun Giok dan Ceng Ceng berhenti di sebuah hutan. Bukit Hoa-san sudah tampak dari situ, tak jauh lagi, bahkan mereka sudah berada di kaki bukit. Hubungan antara mereka kini sudah akrab sekali setelah mengalami banyak suka duka selama puluhan hari dalam perjalanan itu.

“Ceng-moi, mengapa kita berhenti di sini?” tanya Cun Giok sambil menatap wajah gadis itu.

Mereka berdiri berhadapan dan keduanya merasakan kehangatan kehadiran masing-masing. Kini mereka sudah saling mengenal betul, saling mengetahui dan mengenal watak masing-masing dan diam-diam mereka berdua saling tertarik, walaupun keduanya tak pernah menyatakannya dengan sikap, pandang mata, atau ucapan. Sejenak keduanya berdiri berhadapan dan saling pandang.

Ceng Ceng melihat betapa wajah pemuda itu menyinarkan pandang mata yang mesra, namun bersih dari nafsu berahi. Ia merasa jantungnya berdebar, akan tetapi dengan cepat ia mampu menguasai perasaan hatinya dan menutupnya dengan senyum manis.

“Giok-ko, seperti sudah kukatakan dahulu kepadamu, Hoa-san-pai terletak di lereng bukit sebelah barat, sedangkan tempat tinggal Susiok berada di lereng sebelah timur. Kalau dari sini engkau mengambil jalan itu, terus mendaki, di lereng pertama sudah tampak bangunan pusat Hoa-san-pai di lereng tiga. Aku akan mengambil jalan ini ke tempat Susiok. Nah, kita berpisah di sini, Giok-ko.”

Ucapan itu lembut, akan tetapi Cun Giok seolah mendengar kata-kata keras yang membuatnya terkejut. “Jadi... jadi kita... akan berpisah di sini...?” tanyanya lirih dan agak gagap.

Ceng Ceng tersenyum. Entah bagaimana ia sendiri tidak mengerti mengapa melihat kegagapan pemuda itu ia merasa senang sekali! Ia tersenyum manis dan matanya menyinarkan kasih keibuan. Dalam keadaan seperti itu, ia seolah melihat Cun Giok seperti seorang anak-anak yang membutuhkan hiburan dan nasihat.

“Giok-ko, engkau tentu mengerti bahwa bagi dua orang sahabat, tidak ada pertemuan tanpa perpisahan dan perpisahan pun tidak menutup kemungkinan bertemu kembali.”

Cun Giok menghela napas panjang. Tentu saja dia mengerti, akan tetapi dengan jujur dia berkata, “Ceng-moi, sudah puluhan hari kita mengadakan perjalanan bersama, mengalami banyak peristiwa dan pertempuran bersama. Terus terang saja, rasanya amat berat untuk berpisah dari sisimu. Bagaimana kalau aku ikut denganmu ke tempat pertapaan paman gurumu lebih dulu? Aku tidak tergesa-gesa pergi ke Hoa-san-pai, tidak ada urusan khusus.”

Ceng Ceng tersenyum, debar jantungnya semakin menguat, akan tetapi ia tetap tenang ketika berkata lagi dengan suara lembut, “Giok-ko, bukannya melarang engkau pergi ke tempat tinggal Susiok, akan tetapi akan tampak janggal kalau aku menghadap paman guruku bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Biarpun kita tidak melanggar kesusilaan, akan tetapi tetap saja tampak janggal dan menimbulkan kesan tidak sopan. Engkau tentu mengerti maksudku, Giok-ko, maka maafkanlah. Kita mengambil jalan masing-masing. Masih banyak kesempatan bagi kita untuk dapat saling bertemu kembali. Nah, selamat berpisah, Giok-ko.”

Gadis itu tidak memberi kesempatan kepada Cun Giok untuk menjawab. Ia mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, lalu tubuhnya berkelebat menjadi bayangan putih yang melesat ke arah lereng bukit sebelah timur.

Cun Giok mengikuti bayangan itu dengan pandang matanya. Setelah bayangan itu lenyap dari pandang matanya, dia menghela napas panjang. Tiba-tiba timbul kegelisahan dalam hatinya. Baru sekarang dia merasa banwa dia telah jatuh cinta kepada seorang gadis! Akan tetapi dia teringat kepada Siok Eng dan dia termenung.

Dahulu, belum ada perasaan cinta seperti ini dalam hatinya terhadap Siok Eng, walaupun harus dia akui bahwa dia menyukai gadis itu. Bagaimana pun juga, dia telah terikat kepada Siok Eng. Terikat perjodohan! Dulu dia menerima begitu saja untuk menyenangkan hati gurunya. Cun Giok menjadi bimbang, lalu dia melanjutkan perjalanan menuju ke lereng bukit sebelah barat.

********************

Sama sekali Cun Giok dan Ceng Ceng tidak pernah menduga bahwa baru kemarin terjadi peristiwa yang hebat dan menggemparkan di Bukit Hoa-san. Kemarin malam, ketika Goat-liang Sanjin sedang bersila dalam kamarnya, bersamadhi, dan para murid Hoa-san-pai sudah tidur, daun pintu kamar ketua Hoa-san-pai itu diketuk perlahan dari luar.

Goat-liang Sanjin yang sudah berusia delapanpuluh tahun menduga bahwa yang mengetuk pintu kamarnya tentu seorang di antara para murid tingkat pertama yang mempunyai urusan penting sehingga berani mengetuk daun pintu kamarnya. Maka dia pun membuka matanya dan berkata tenang ke arah pintu.

“Masuklah!”

Daun pintu terbuka dari luar dan sesosok tubuh manusia memasuki kamar itu. Tanpa mengangkat mukanya yang ditundukkan, Goat-liang Sanjin bertanya.

“Keperluan apa yang mendorongmu untuk menemui pinto (aku) malam-malam begini?” Akan tetapi orang itu setelah tiba di depan Goat-liang Sanjin yang duduk bersila di atas pembaringan, tanpa mengeluarkan kata-kata sudah menyerangnya dengan pukulan ke arah kepala kakek itu!

Goat-liang Sanjin adalah ketua Hoa-san-pai, tentu saja dia telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi. Dia pun peka sekali dan biar tidak menduga ada orang menyerangnya, namun dia dapat merasakan datangnya serangan. Akan tetapi dia sudah sangat tua, maka begitu dia menangkis, dua lengan bertemu dan Goat-liang Sanjin terjengkang di atas pembaringannya. Bayangan itu kembali menyerang dan kini pukulan telapak tangan kirinya dengan tepat mengenai dada ketua Hoa-san-pai.

“Plakk...!” Goat-liang Sanjin mengeluh dan kalau tadinya dia hendak bangkit, kini dia terkulai dan roboh di atas pembaringan.

Orang itu hendak menyusulkan pukulan maut, akan tetapi pada saat itu, dari pintu berlompatan masuk tiga orang laki-laki berpakaian sebagai tosu, berusia antara empat puluh sampai limapuluh tahun. Mereka bertiga terkejut melihat Goat-liang Sanjin rebah dan mengeluh kesakitan dan melihat seorang laki-laki muda yang tidak jelas wajahnya karena dia membelakangi lampu kecil di atas meja.

“Siapa engkau?”

“Apa yang kaulakukan di sini?”

Akan tetapi orang itu tidak mempedulikan teguran itu. Dia mengurungkan serangan keduanya dan dengan cepat tubuhnya melompat dan menerobos pintu yang terbuka. Karena tidak tahu apa yang telah terjadi, maka tiga orang tosu (pendeta To) itu tidak menghalangi orang tadi pergi. Mereka cepat melompat ke dekat pembaringan dan begitu melihat keadaan Goat-liang Sanjin mereka terkejut dan marah bukan main karena guru mereka itu telah menderita luka dalam yang amat parah!

“Cepat tangkap dia...” Goat-liang Sanjin masih dapat berkata lemah dan dia tergolek pingsan.

Tiga orang tosu itu cepat berlompatan keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Ketika tiga orang tosu itu memeriksa seluruh kompleks bangunan perguruan Hoa-san-pai yang cukup luas, mereka tidak menemukan apa-apa. Bahkan para murid yang bertugas jaga tidak ada yang melihat orang asing memasuki perkampungan mereka.

Kini dua orang tosu lain yang berpakaian sama dengan mereka, bergabung dengan mereka. Lima orang tosu itu lalu bergegas memasuki kamar guru mereka dan mereka mendapatkan guru mereka yang tua menggeletak pingsan...

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 29

29: TUMBUHNYA BIBIT-BIBIT...

Setelah dapat menenangkan hatinya, Cun Giok melanjutkan ceritanya.

“Kelakuanku membunuh Pangeran Lu Kok Kong itu membuat Bibi Pouw Sui Hong meninggal dunia saking kaget dan sedihnya. Lu Siang Ni yang juga tinggi ilmu silatnya hendak membalas kematian ibunya, akan tetapi setelah ia mengetahui sebab aku membunuh ayahnya, ia dapat mengerti. Kami berdua lalu membalas dendam kepada panglima yang dulu membasmi keluarga Pouw. Kami berdua berhasil membunuh Panglima Kong Tek Kok di tanah kuburan Bibi Pouw Sui Hong. Akan tetapi Adik misanku itu, Lu Siang Ni juga membunuh diri di depan makam orang tuanya. Ah, aku menyesal sekali, sungguh menyesal sekali.”

Ceng Ceng yang merasa terharu, melihat pemuda itu menangis di depannya. Ia bangkit dan menghampiri, menyentuh pundak Cun Giok dan berkata lembut namun membesarkan hati.

“Twako, bagiku engkau sama sekali tidak bersalah karena ketika membunuh Pangeran Lu, engkau hendak membalaskan sakit hati bibimu, engkau tidak tahu akan keadaannya. Kesalahanmu hanya bahwa engkau kurang teliti menyelidiki keadaan mereka. Akan tetapi tidak perlu hal-hal yang lalu dikenang dan menjadi tekanan batinmu. Hal yang lalu dapat dijadikan pelajaran agar di masa depan kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Twako, engkau murid seorang pendekar patriot yang sakti dan bijaksana, tentu engkau tahu bahwa menyesali hal yang sudah lalu tidak ada gunanya lagi dan membenamkan diri dalam kesedihan bukanlah sikap seorang pendekar.”

Ucapan itu lembut sekali, lebih bersifat menghibur daripada menegur, dan terasa oleh Cun Giok bagaikan air dingin yang menyiram hati dan pikirannya. Dia mengangkat muka memandang wajah yang cantik dan tampak keibuan itu, lalu tersenyum, menghapus pipinya yang basah.

“Maafkan aku, Nona Liu...”

“Jangan sebut Nona, Twako. Orang tua kita bersahabat karib, bukankah kita juga sahabat dan bukan orang lain?”

“Baiklah, Siauw-moi (Adik Perempuan)...” Cun Giok kembali tersenyum dan sekali ini bukan senyum paksaan. Hatinya terasa ringan kembali. “Sekarang tiba giliranmu untuk bercerita tentang dirimu karena tadi engkau telah menguras semua riwayat diriku.”

Ceng Ceng tersenyum manis. Semakin manis kalau ia tersenyum karena lesung pipi kanan itu tampak semakin nyata.

“Giok-ko (Kakak Giok), seperti telah kukatakan tadi, ayahku bernama Liu Bok Eng dan tinggal di Nan-king. Dahulu Ayah menjadi seorang panglima Kerajaan Sung yang ikut berperang melawan pasukan Mongol sampai jatuhnya pertahanan terakhir di Kan-ton. Setelah Kerajaan Sung berakhir (tahun 1279) Ayah tidak lagi mencampuri urusan kerajaan dan kini lebih banyak mengasingkan diri dan berjalan-jalan ke gunung-gunung. Aku merupakan anak tunggal. Ibuku masih ada dan aku bernama Liu Ceng, di tempat tinggalku, Ayah dan yang lain-lain biasa menyebutku Ceng Ceng. Aku sejak kecil belajar ilmu silat dari Ayah. Kemudian aku belajar ilmu sastra dan pengobatan dari Susiok (Paman Guru) Im Yang Yok-sian, adik seperguruan Ayah yang menjadi pertapa di Hoa-san. Setelah tamat belajar, dengan perkenan Ayah, aku pergi merantau ke utara untuk melihat keadaan setelah bangsa Mongol memegang pemerintahan, dan menambah pengalaman.”

“Akan tetapi, Ceng-moi, mengapa engkau tadi membiarkan dirimu ditawan dalam kuil? Padahal aku yakin kalau engkau menghendaki, engkau dapat dengan mudah meloloskan diri dan kalau engkau melawan, mereka tidak akan mampu menawanmu!”

Ceng Ceng tersenyum. “Begini, Giok-ko. Selama dalam perjalanan, aku melaksanakan pesan ayah agar aku selalu menolong rakyat yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pembesar Mongol. Nah, aku selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, dan dengan pengetahuanku tentang pengobatan, aku juga membantu rakyat yang menderita sakit. Aku juga menentang cara kerja pembesar yang melakukan paksaan terhadap rakyat untuk kerja paksa yang sewenang-wenang. Karena aku menentang para pembesar yang sewenang-wenang, memberi hajaran keras kepada mereka, aku lalu dicari dan dikejar-kejar.”

“Dan mereka yang kau tolong lalu memberi julukan Pek-eng Sianli kepadamu, bukan?”

“Benar, julukan yang terlalu tinggi untukku. Nah, malam tadi, karena aku dikejar-kejar Panglima Kim Bayan yang cukup lihai dan dia membawa banyak pembantu perwira, aku bersembunyi di rumah kakek dan nenek yang sederhana di dusun tadi. Dan inilah kesalahanku! Agaknya ada mata-mata mereka yang mengetahui tempat persembunyianku. Malam tadi Panglima Kim Bayan menyerbu bersama pasukannya. Tentu saja aku melawan, akan tetapi setelah aku merobohkan banyak pengeroyok, Panglima Kim tiba-tiba menangkap kakek dan nenek pemilik rumah dan mengancam akan membunuh mereka kalau aku tidak menyerah. Terpaksa, untuk menyelamatkan mereka, aku menyerah dan ditawan, lalu dibawa ke kuil tadi. Panglima Kim sendiri agaknya puas melihat aku sudah ditawan dan meninggalkan aku di bawah pengawasan orang-orangnya. Tentu dia mengira aku tidak mampu melarikan diri karena para penjaga dibekali obat peledak yang mengandung pembius. Akan tetapi aku selalu bersedia obat penyembuh luka dan obat pemunah racun sehingga aku tidak khawatir. Kemudian engkau datang menolongku!”

Cun Giok tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh aku merasa malu, Ceng-moi! Aku telah bertindak tolol, mencoba untuk menolongmu dan sebaliknya malah engkau yang menyelamatkan aku dari asap pembius!”

“Tidak, Giok-ko. Bagaimanapun juga, aku pun akan bertindak sama kalau aku menjadi engkau. Aku berterima kasih kepadamu. Twako, aku pernah mendengar akan peristiwa hebat di tanah kuburan kota raja itu. Aku mendengar bahwa banyak perajurit dan seorang panglima yang terkenal terbunuh oleh seorang pendekar yang dijuluki Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan). Melihat gin-kangmu tadi, aku berani bertaruh bahwa pasti engkau yang berjuluk Bu-eng-cu itu!”

Cun Giok menghela napas panjang. “Memang benar, Ceng-moi. Akulah yang membunuhi mereka, bersama adik misanku Siang Ni. Ah, kalau saja adik misanku Lu Siang Ni tidak membunuh diri, betapa lega dan bahagianya hati kami berdua dapat membalaskan dendam keluarga Pouw.”

“Akan tetapi, mengapa adik misanmu itu membunuh diri, Twako?”

Cun Giok menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Ceng-moi, aku tidak tahu. Musuh besar kami itu adalah gurunya sendiri...”

Biarpun mulutnya berkata demikian, namun dalam hatinya Cun Giok setengah dapat menduga mengapa Siang Ni demikian bencinya kepada gurunya itu sehingga membacoki tubuh gurunya itu sampai lumat kemudian membunuh diri di depan makam orang tuanya. Satu-satunya kemungkinan hanya bahwa adik misannya itu ternoda dan merasa dirinya hina dan kotor maka tidak ingin melanjutkan hidupnya setelah dapat membalas dendam.

“Ah, sudahlah, Giok-ko. Apa yang sudah terjadi tak dapat diubah dan tidak perlu disesalkan. Manusia tidak mungkin dapat mengubah apa yang sudah menjadi garis hidupnya. Mati dan hidup sudah ditentukan oleh Thian (Tuhan), dan sebab-sebab kematian yang bermacam-macam itu pun tepat dan sesuai dengan Karma masing-masing. Yang penting kita tidak melakukan perbuatan jahat yang berdosa.”

“Akan tetapi aku berdosa, Ceng-moi. .Aku telah membunuh Pangeran Lu sehingga menyebabkan kematian bibiku sendiri.”

“Apa yang kaulakukan memang salah, Giok-ko. Akan tetapi kesalahan itu kaulakukan tanpa kau sadari, tanpa kau sengaja dan kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja bukanlah dosa. Letak kesalahanmu hanyalah bahwa engkau kurang hati-hati, kurang teliti sehingga patut dijadikan pelajaran dan pengalaman yang mendidik.”

Agak ringan rasa hati Cun Giok dan dia merasa kagum bukan main. Gadis ini masih muda, usianya baru sembilanbelas tahun, akan tetapi wawasannya sudah mendalam dan ucapannya mengandung makna yang bukan hanya untuk menghibur, akan tetapi lebih membuka pengertian sehingga meringankan tekanan batin yang dideritanya semenjak Siang Ni membunuh diri di tanah kuburan itu.

“Ah, aku dapat mengerti maksudmu, Ceng-moi dan terima kasih. Sekarang engkau hendak pergi ke mana, Ceng-moi?”

“Tadinya aku hendak merantau dan melihat kota raja. Akan tetapi setelah peristiwa ini, Panglima Kim Bayan pasti tidak akan tinggal diam dan aku menjadi seorang buruan seperti engkau, Giok-ko. Aku tidak jadi pergi ke kota raja, aku akan mengunjungi Susiok (Paman Guru) yang bertapa di Hoa-san.” Lalu ia memandang wajah Cun Giok dan bertanya, “Dan engkau sendiri, hendak pergi ke mana, Giok-ko?”

Hati Cun Giok merasa amat kagum dan tertarik kepada gadis yang halus budi ini. Dia ingin lebih memperdalam persahabatannya dengan Ceng Ceng, maka dia berkata dengan suara agak ragu. “Ceng-moi. Sudah lama aku mendengar dari Kakek Guru Pak-kong Lojin bahwa ketua Hoa-san-pai yang berada di Pegunungan Hoa-san adalah sahabat karibnya, bahkan mereka berdua telah mengangkat saudara ketika masih muda. Aku ingin juga pergi berkunjung ke Hoa-san-pai karena aku juga tidak mungkin dapat berkunjung ke kota raja. Kalau boleh, aku ingin melakukan perjalanan bersamamu ke Hoa-san. Akan tetapi kalau engkau tidak setuju, tidak mengapa, kita mengambil jalan masing-masing.”

“Ketua Hoa-san-pai? Dia bernama Goat-liang Sanjin dan Paman Guru Im Yang Tok-sian juga bersahabat dengan dia!”

“Ah, kebetulan sekali! Engkau mengenal para pimpinan Hoa-san-pai, Ceng-moi?”

Gadis itu tersenyum. “Ketika aku digembleng oleh Susiok Im Yang Yok-sian, dua kali aku ikut paman guruku berkunjung ke sana. Hoa-san-pai berada di lereng barat, sedangkan tempat pertapaan paman guruku berada di lereng timur. Aku pernah berjumpa dengan Goat-liang Sanjin dan yang lain-lain, akan tetapi besar kemungkinan mereka tidak ingat kepadaku.”

“Wah, kalau begitu aku tidak akan tersesat mencari Hoa-san-pai, tentu saja kalau engkau tidak keberatan melakukan perjalanan bersamaku, Ceng-moi!”

“Mengapa keberatan? Tidak ada salahnya kalau hanya melakukan perjalanan bersama, Giok-ko.”

“Ah, terima kasih, Ceng-moi!” kata Cun Giok dengan girang. “Sambil melakukan perjalanan kita selalu siap untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dan keadilan!”

“Aku setuju, Giok-ko.”

Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Kalau mereka melewati daerah pegunungan atau hutan yang sepi, mereka mempergunakan ilmu berlari cepat. Akan tetapi kalau mereka melalui tempat-tempat yang ramai, mereka melakukan perjalanan biasa.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Selama melakukan perjalanan bersama menuju ke Hoa-san, Cun Giok merasa semakin kagum kepada Ceng Ceng. Dia melihat betapa gadis yang lembut itu amat bijaksana, bahkan dia harus mengakui bahwa seringkali terbuka hatinya menerima petunjuk tentang kehidupan dari gadis itu.

Di lain pihak, Ceng Ceng juga kagum dan suka kepada Cun Giok. Baru sekarang ditemukannya seorang pemuda yang selalu bersikap sopan, baik pandang matanya, sikapnya maupun bicaranya. Berdekatan dengan Cun Giok ia merasa terlindung dan aman.

Di sepanjang perjalanan, kedua orang muda ini selalu mengulurkan tangan untuk menentang kejahatan. Banyak gerombolan-gerombolan penjahat yang suka merampok dan bertindak sewenang-wenang memaksakan kehendak sendiri, menerima hajaran keras dari Bu-eng-cu dan Pek-eng Sianli dan kedua julukan ini menjadi semakin terkenal. Sepak terjang mereka demikian cepat sehingga para lawan mereka hampir tidak sempat mengenali wajah kedua orang pendekar muda itu.

Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan selama puluhan hari, Cun Giok dan Ceng Ceng berhenti di sebuah hutan. Bukit Hoa-san sudah tampak dari situ, tak jauh lagi, bahkan mereka sudah berada di kaki bukit. Hubungan antara mereka kini sudah akrab sekali setelah mengalami banyak suka duka selama puluhan hari dalam perjalanan itu.

“Ceng-moi, mengapa kita berhenti di sini?” tanya Cun Giok sambil menatap wajah gadis itu.

Mereka berdiri berhadapan dan keduanya merasakan kehangatan kehadiran masing-masing. Kini mereka sudah saling mengenal betul, saling mengetahui dan mengenal watak masing-masing dan diam-diam mereka berdua saling tertarik, walaupun keduanya tak pernah menyatakannya dengan sikap, pandang mata, atau ucapan. Sejenak keduanya berdiri berhadapan dan saling pandang.

Ceng Ceng melihat betapa wajah pemuda itu menyinarkan pandang mata yang mesra, namun bersih dari nafsu berahi. Ia merasa jantungnya berdebar, akan tetapi dengan cepat ia mampu menguasai perasaan hatinya dan menutupnya dengan senyum manis.

“Giok-ko, seperti sudah kukatakan dahulu kepadamu, Hoa-san-pai terletak di lereng bukit sebelah barat, sedangkan tempat tinggal Susiok berada di lereng sebelah timur. Kalau dari sini engkau mengambil jalan itu, terus mendaki, di lereng pertama sudah tampak bangunan pusat Hoa-san-pai di lereng tiga. Aku akan mengambil jalan ini ke tempat Susiok. Nah, kita berpisah di sini, Giok-ko.”

Ucapan itu lembut, akan tetapi Cun Giok seolah mendengar kata-kata keras yang membuatnya terkejut. “Jadi... jadi kita... akan berpisah di sini...?” tanyanya lirih dan agak gagap.

Ceng Ceng tersenyum. Entah bagaimana ia sendiri tidak mengerti mengapa melihat kegagapan pemuda itu ia merasa senang sekali! Ia tersenyum manis dan matanya menyinarkan kasih keibuan. Dalam keadaan seperti itu, ia seolah melihat Cun Giok seperti seorang anak-anak yang membutuhkan hiburan dan nasihat.

“Giok-ko, engkau tentu mengerti bahwa bagi dua orang sahabat, tidak ada pertemuan tanpa perpisahan dan perpisahan pun tidak menutup kemungkinan bertemu kembali.”

Cun Giok menghela napas panjang. Tentu saja dia mengerti, akan tetapi dengan jujur dia berkata, “Ceng-moi, sudah puluhan hari kita mengadakan perjalanan bersama, mengalami banyak peristiwa dan pertempuran bersama. Terus terang saja, rasanya amat berat untuk berpisah dari sisimu. Bagaimana kalau aku ikut denganmu ke tempat pertapaan paman gurumu lebih dulu? Aku tidak tergesa-gesa pergi ke Hoa-san-pai, tidak ada urusan khusus.”

Ceng Ceng tersenyum, debar jantungnya semakin menguat, akan tetapi ia tetap tenang ketika berkata lagi dengan suara lembut, “Giok-ko, bukannya melarang engkau pergi ke tempat tinggal Susiok, akan tetapi akan tampak janggal kalau aku menghadap paman guruku bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Biarpun kita tidak melanggar kesusilaan, akan tetapi tetap saja tampak janggal dan menimbulkan kesan tidak sopan. Engkau tentu mengerti maksudku, Giok-ko, maka maafkanlah. Kita mengambil jalan masing-masing. Masih banyak kesempatan bagi kita untuk dapat saling bertemu kembali. Nah, selamat berpisah, Giok-ko.”

Gadis itu tidak memberi kesempatan kepada Cun Giok untuk menjawab. Ia mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, lalu tubuhnya berkelebat menjadi bayangan putih yang melesat ke arah lereng bukit sebelah timur.

Cun Giok mengikuti bayangan itu dengan pandang matanya. Setelah bayangan itu lenyap dari pandang matanya, dia menghela napas panjang. Tiba-tiba timbul kegelisahan dalam hatinya. Baru sekarang dia merasa banwa dia telah jatuh cinta kepada seorang gadis! Akan tetapi dia teringat kepada Siok Eng dan dia termenung.

Dahulu, belum ada perasaan cinta seperti ini dalam hatinya terhadap Siok Eng, walaupun harus dia akui bahwa dia menyukai gadis itu. Bagaimana pun juga, dia telah terikat kepada Siok Eng. Terikat perjodohan! Dulu dia menerima begitu saja untuk menyenangkan hati gurunya. Cun Giok menjadi bimbang, lalu dia melanjutkan perjalanan menuju ke lereng bukit sebelah barat.

********************

Sama sekali Cun Giok dan Ceng Ceng tidak pernah menduga bahwa baru kemarin terjadi peristiwa yang hebat dan menggemparkan di Bukit Hoa-san. Kemarin malam, ketika Goat-liang Sanjin sedang bersila dalam kamarnya, bersamadhi, dan para murid Hoa-san-pai sudah tidur, daun pintu kamar ketua Hoa-san-pai itu diketuk perlahan dari luar.

Goat-liang Sanjin yang sudah berusia delapanpuluh tahun menduga bahwa yang mengetuk pintu kamarnya tentu seorang di antara para murid tingkat pertama yang mempunyai urusan penting sehingga berani mengetuk daun pintu kamarnya. Maka dia pun membuka matanya dan berkata tenang ke arah pintu.

“Masuklah!”

Daun pintu terbuka dari luar dan sesosok tubuh manusia memasuki kamar itu. Tanpa mengangkat mukanya yang ditundukkan, Goat-liang Sanjin bertanya.

“Keperluan apa yang mendorongmu untuk menemui pinto (aku) malam-malam begini?” Akan tetapi orang itu setelah tiba di depan Goat-liang Sanjin yang duduk bersila di atas pembaringan, tanpa mengeluarkan kata-kata sudah menyerangnya dengan pukulan ke arah kepala kakek itu!

Goat-liang Sanjin adalah ketua Hoa-san-pai, tentu saja dia telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi. Dia pun peka sekali dan biar tidak menduga ada orang menyerangnya, namun dia dapat merasakan datangnya serangan. Akan tetapi dia sudah sangat tua, maka begitu dia menangkis, dua lengan bertemu dan Goat-liang Sanjin terjengkang di atas pembaringannya. Bayangan itu kembali menyerang dan kini pukulan telapak tangan kirinya dengan tepat mengenai dada ketua Hoa-san-pai.

“Plakk...!” Goat-liang Sanjin mengeluh dan kalau tadinya dia hendak bangkit, kini dia terkulai dan roboh di atas pembaringan.

Orang itu hendak menyusulkan pukulan maut, akan tetapi pada saat itu, dari pintu berlompatan masuk tiga orang laki-laki berpakaian sebagai tosu, berusia antara empat puluh sampai limapuluh tahun. Mereka bertiga terkejut melihat Goat-liang Sanjin rebah dan mengeluh kesakitan dan melihat seorang laki-laki muda yang tidak jelas wajahnya karena dia membelakangi lampu kecil di atas meja.

“Siapa engkau?”

“Apa yang kaulakukan di sini?”

Akan tetapi orang itu tidak mempedulikan teguran itu. Dia mengurungkan serangan keduanya dan dengan cepat tubuhnya melompat dan menerobos pintu yang terbuka. Karena tidak tahu apa yang telah terjadi, maka tiga orang tosu (pendeta To) itu tidak menghalangi orang tadi pergi. Mereka cepat melompat ke dekat pembaringan dan begitu melihat keadaan Goat-liang Sanjin mereka terkejut dan marah bukan main karena guru mereka itu telah menderita luka dalam yang amat parah!

“Cepat tangkap dia...” Goat-liang Sanjin masih dapat berkata lemah dan dia tergolek pingsan.

Tiga orang tosu itu cepat berlompatan keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Ketika tiga orang tosu itu memeriksa seluruh kompleks bangunan perguruan Hoa-san-pai yang cukup luas, mereka tidak menemukan apa-apa. Bahkan para murid yang bertugas jaga tidak ada yang melihat orang asing memasuki perkampungan mereka.

Kini dua orang tosu lain yang berpakaian sama dengan mereka, bergabung dengan mereka. Lima orang tosu itu lalu bergegas memasuki kamar guru mereka dan mereka mendapatkan guru mereka yang tua menggeletak pingsan...