Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

40: PEMBUNUH GELAP BERBAJU PUTIH

Mereka cepat menyalakan penerangan yang lebih besar dan seorang dari mereka yang paling tua memeriksa keadaan gurunya. Dia terkejut dan cepat menarik kembali tangannya ketika meraba dada Goat-liang Sanjin karena dada itu terasa panas seperti terbakar! Ketika diteliti, ternyata baju kakek itu berlubang dan ada tapak lima buah jari tangan berwarna hitam tergambar pada dada Goat-liang Sanjin.

“Aih! Suhu telah terkena pukulan beracun yang amat hebat!” katanya dan kini mereka semua melakukan pemeriksaan. Ketika mereka mencoba untuk membantu guru mereka dengan menempelkan tangan pada tubuh yang panas itu, tenaga sin-kang (tenaga sakti) mereka membalik!

Tentu saja mereka terkejut sekali dan hanya dapat membalurkan obat luar di dada yang terkena pukulan lima jari tangan menghitam itu. Mereka tidak berani memberi obat dalam karena belum tahu pukulan beracun apa yang melukai guru mereka. Juga semua usaha mereka untuk membuat guru mereka siuman dari pingsannya gagal karena ketika menotok jalan darah tubuh gurunya, hasilnya membuat jalan darah itu semakin kacau!

Lima orang itu berunding, apa yang harus mereka lakukan dan mereka menduga-duga siapa orangnya yang dapat memukul dan melukai guru mereka. Penyerang itu pasti orang yang memiliki ilmu yang amat dahsyat. Padahal, lima orang tosu itu adalah para murid tingkat pertama dari Goat-liang Sanjin. Bahkan mereka berlima yang diserahi tugas mewakili guru mereka memimpin Partai Persilatan Hoa-san-pai karena guru mereka sudah tua dan hanya lebih banyak bertapa daripada melibatkan diri dalam urusan dunia.

Lima orang tosu itu adalah orang-orang yang terkenal nama mereka di dunia persilatan. Siapa yang tidak mengenal Hoa-san Ngo-heng-tin (Pasukan Lima Unsur dari Hoa-san)? Kalau mereka maju bersama, mereka membentuk Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat dahsyat dan kuat. Bahkan nama mereka juga memakai nama lima unsur itu, yalah Huo (Api), Kim (Emas), Bhok (Kayu), Sui (Air), dan Tho (Tanah).

Nama mereka adalah Thian Huo Tosu berusia limapuluh tahun dan bertubuh tinggi kurus, menjadi pimpinan dari Ngo-heng-tin mereka, yang kedua Thian Kim Tosu berusia empatpuluh delapan tahun dan bertubuh sedang berwajah tampan, ketiga Thian Bhok Tosu berusia empatpuluh enam tahun bertubuh gendut pendek, keempat Thian Sui Tosu berusia empatpuluh empat tahun bertubuh tinggi besar dan kelima adalah Thian Tho Tosu berusia empatpuluh dua tahun dan bermuka hitam.

Kelima orang tosu ini tentu saja sudah memiliki tingkat ilmu silat yang tangguh. Keistimewaan mereka adalah ilmu Ngo-heng-kun (Silat Lima Unsur) dan Ngo-heng Kiam-sut (Ilmu Pedang Lima Unsur) dan puncak kekuatan mereka adalah kalau mereka maju berlima membentuk Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur).

“Heran, siapakah orang yang dapat melukai Suhu seperti ini?” kata Thian Huo Tosu.

“Luka Suhu amat hebat dan aneh. Bahkan usaha kita untuk mengusir hawa beracun dengan pengerahan sin-kang kita juga gagal!” kata Thian Kim Tosu.

“Orang itu tentu musuh besar Suhu. Akan tetapi bagaimana mungkin? Melihat bentuk tubuhnya, dia hanya seorang pemuda yang usianya tidak lebih dari duapuluh tahun. Padahal Suhu telah hampir duapuluh tahun tidak mau terlibat urusan dunia! Siapakah laki-laki muda itu? Melihat betapa dia dapat melukai Suhu, dan cara perginya demikian cepat, bahkan tidak ada murid penjaga yang melihatnya, dapat diketahui bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi,” kata Thian Bok Tosu.

“Sudahlah, kiranya tidak perlu untuk memusingkan hal itu pada saat ini. Yang terpenting adalah bagaimana kita dapat menyembuhkan Suhu yang terluka parah,” kata Thian Sui Tosu.

“Benar sekali!” kata Thian Tho Tosu. “Keselamatan dan pulihnya kesehatan Suhu adalah yang paling penting!”

“Hemm, aku pun memikirkan hal itu. Kukira, hanya satu orang saja yang akan mampu mengobati Suhu sampai sembuh. Orang itu adalah...”

“Im Yang Yok-sian!” Kata empat orang saudara seperguruannya serempak.

Thian Huo Tosu mengangguk. “Benar, pinto (aku) kira, hanya dialah satu-satunya orang yang dapat mengobati dan menyembuhkan Suhu dan dia tinggal tak jauh dari sini.”

“Kalau begitu, biar aku sekarang juga pergi berkunjung ke sana dan mohon pertolongannya!” kata Thian Tho Tosu yang bermuka hitam.

“Jangan, Sute. Tidak sopan malam-malam begini mengganggu Yok-sian. Lebih baik besok pagi saja kita berlima yang pergi ke sana. Kalau kita pergi berlima berarti bahwa kita sangat mengharapkan pertolongannya,” kata Thian Huo Tosu.

“Akan tetapi seperti kita sudah mendengar, sudah bertahun-tahun Im Yang Yok-sian bertapa seperti Suhu. Tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia. Bagaimana kalau beliau menolak permintaan kita?” kata Thian Bhok Tosu dengan suara ragu.

“Pinto kira, kalau kita berlima yang mohon kepadanya dan yang membutuhkan pertolongan adalah Suhu, dia pasti akan mau menolong.”

Demikianlah, dengan hati gelisah lima orang tosu yang gagah perkasa itu menjaga guru mereka. Hati mereka bukan hanya gelisah, melainkan juga merasa tidak berdaya. Pada keesokan harinya, setelah memesan kepada para murid untuk melakukan penjagaan ketat, Hoa-san Ngo-heng-tin ini meninggalkan perkampungan Hoa-san-pai dan berlari cepat menuju ke lereng bukit sebelah timur. Mereka memang tidak berangkat terlalu pagi agar jangan mengganggu Dewa Obat itu.

Akan tetapi, ketika lima orang tosu itu tiba di depan pondok sederhana Im Yang Yok-sian, mereka melihat banyak orang dusun, laki-laki dan perempuan, berkumpul di depan pondok dan kelihatan bingung dan gelisah.

Thian Huo Tosu segera bertanya kepada mereka. “Apakah yang terjadi maka kalian berkumpul di sini? Mana Im Yang Yok-sian, kami ingin bertemu dan bicara.”

Seorang dari para penduduk dusun yang sudah tua berkata dengan suara gemetar. “Totiang (Bapak Pendeta), tadi ketika dua orang penduduk dusun datang ke sini pagi-pagi untuk minta obat, pintu rumah terbuka dan ketika mereka melihat ke dalam, mereka mendapatkan Im Yang Yok-sian telah tewas menggeletak di lantai!”

Lima orang tosu itu terkejut sekali dan mereka segera memasuki pondok sederhana itu. Mereka melihat tubuh Dewa Obat itu telah diangkat oleh penduduk dan direbahkan di atas pembaringan kayu. Mereka segera memeriksanya dan mereka terkejut melihat Dewa Obat itu ternyata telah tewas dan di dada dan lambungnya terdapat bekas telapak tangan menghitam!

Dewa Obat itu telah dipukul dengan pukulan beracun yang sama dengan yang diderita guru mereka! Tentu oleh orang yang sama pula! Agaknya karena menerima pukulan sampai dua kali, di dada dan lambung, Si Dewa Obat tidak dapat bertahan hidup dan tewas seketika. Hal ini membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian penyerang guru mereka itu.

Setelah memeriksa dengan cermat dan melihat bahwa Si Dewa Obat benar-benar tewas oleh dua pukulan itu, lima orang tosu Hoa-san-pai itu lalu berpamit dari para penduduk dusun yang akan mengurus jenazah Dewa Obat yang seringkali menolong mereka itu. Ternyata Si Dewa Obat itu tinggal seorang diri di pondoknya.

Dapat dibayangkan betapa gelisahnya hati lima orang tosu itu ketika tiba di perkampungan Hoa-san-pai melihat bahwa guru mereka belum juga siuman dari pingsannya dan tubuhnya tetap panas! Berapa lama suhu mereka akan dapat bertahan? Kembali sehari semalam lima orang tosu itu tidak dapat tidur nyenyak dan mereka selalu merasa gelisah.

Karena tidak mengenal ilmu pukulan beracun yang diderita guru mereka, mereka tetap tidak berani meminumkan obat karena kalau salah obat keadaan guru mereka akan menjadi lebih parah. Mereka hanya mencoba untuk memberi obat luar di dada yang dicap lima jari menghitam itu.

Pada keesokan harinya, ketika lima orang tosu itu menjaga guru mereka yang belum juga siuman, seorang murid dengan napas memburu datang melapor bahwa di luar perkampungan ada seorang pemuda yang dikeroyok para murid Hoa-san-pai.

“Sikapnya mencurigakan, agaknya dia minta bertemu dengan pimpinan Hoa-san-pai. Karena mencurigakan, para suheng (kakak seperguruan) minta agar dia meninggalkan pedangnya sebelum memasuki perkampungan, akan tetapi dia menolak. Karena para suheng menjadi semakin curiga maka kami berusaha menangkapnya, akan tetapi dia lihai sekali.”

Lima orang tosu itu segera berlompatan keluar dan benar saja, mereka melihat seorang pemuda dikeroyok oleh duapuluh lebih murid Hoa-san-pai. Sebagian besar para pengeroyok itu adalah murid tingkat dua dan tiga yang ilmu silatnya sudah lumayan, akan tetapi senjata mereka berupa pedang, golok, dan tombak sama sekali tidak dapat menyentuh tubuh pemuda yang bergerak sedemikian cepatnya sehingga para murid itu seolah menyerang bayangan saja!

“Kalian semua mundur!” teriak Thian Huo Tosu melihat betapa banyak murid sudah roboh terkena tamparan pemuda itu, walaupun yang tertampar itu tidak luka parah dan hanya senjata mereka yang terlempar dan tubuh mereka terpelanting. Pemuda itu bukan lain adalah Pouw Cun Giok!

cerita silat online karya kho ping hoo

Seperti kita ketahui, Cun Giok berpisah dari Ceng Ceng. Gadis itu menuju ke lereng timur untuk menemui gurunya sedangkan dia sendiri pergi ke lereng barat untuk mengunjungi Goat-liang Sanjin ketua Hoa-san-pai yang menjadi sahabat baik Pak-kong Lojin, kakek gurunya. Ketika dia tiba di depan gapura perkampungan Hoa-san-pai di lereng sebelah barat Hoa-san, dia segera dihadang oleh belasan orang yang tampak bengis dan penuh curiga memandangnya.

“Hei, berhenti dulu! Siapa engkau berkeliaran di sini dan apa keperluanmu?” seorang dari mereka bertanya dengan suara membentak.

Cun Giok tersenyum dan mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Maafkan kalau aku mengganggu. Aku datang berkunjung untuk bertemu dengan ketua Hoa-san-pai.”

“Ketua Hoa-san-pai tidak menerima tamu, sedang sibuk. Hayo engkau mengaku lebih dulu siapa engkau dan apa keperluanmu!”

“Kalau ketua Hoa-san-pai tidak dapat menemui aku, maka aku ingin bicara dengan para pimpinan Hoa-san-pai,” kata Cun Giok yang tidak mau mengakui nama dan keperluannya karena dia melihat sikap mereka yang penuh curiga dan tidak ramah.

“Dia tentu penjahat itu!” tiba-tiba terdengar suara dan seolah-olah seruan ini merupakan komando karena tiba-tiba saja mereka semua menyerbu dan menyerang Cun Giok.

Tentu saja Cun Giok tidak tinggal diam. Dia menggunakan gin-kangnya yang istimewa untuk berkelebatan menghindar dari semua serangan, membagi-bagi tamparan yang hanya dibatasi untuk membuat para pengeroyok melepaskan senjata dan terpelanting.

Pada saat itu, muncul lima orang tosu pimpinan itu. Begitu Thian Huo Tosu membentak dan menyuruh semua murid mundur, para anggauta Hoa-san-pai itu serentak mundur dan mengepung dengan lingkaran besar. Mereka hanya menonton dan siap dengan senjata di tangan.

Sementara itu, Thian Huo Tosu memberi isyarat kepada adik-adik seperguruannya dan mereka berlima sudah mencabut pedang dan mengepung Cun Giok. Melihat betapa pemuda itu dapat bergerak sedemikian cepatnya, mereka berlima yakin bahwa tentu pemuda ini yang malam tadi menyerang dan melukai guru mereka dan pagi tadi membunuh Im Yang Yok-sian. Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka berlima bergerak dan menyerang Cun Giok dengan pedang mereka.

Dengan bentakan nyaring lima orang yang membentuk Barisan Pedang Lima Unsur itu menyerang sambung menyambung. Cun Giok terkejut bukan main! Kalau saja dia tidak mempunyai gin-kang yang luar biasa, akan sukarlah menyelamatkan diri dari serangan pedang bertubi-tubi yang saling mendukung sehingga sulitlah untuk mengelak.

Hanya berkat gerakannya yang luar biasa cepatnya sehingga dia seolah-olah menghilang dan berkelebat tanpa ada bayangan yang jelas, dia dapat menghindarkan diri. Akan tetapi permainan pedang Barisan Ngo-heng itu memang hebat sekali. Gerakan mereka susul menyusul dengan rapinya, bukan saja saling mendukung dan saling melindungi, melainkan juga memiliki kecepatan tinggi karena serangan itu susul menyusul tiada hentinya.

Cun Giok menjadi bingung juga. Tentu saja dia tidak ingin melukai seorang dari mereka. Dia tahu bahwa mereka itu menyerangnya membabi-buta tentu ada sebab tertentu dan serangan mereka ini hanya merupakan suatu kesalah-pahaman. Dia pun mengenal ilmu pedang Ngo-heng Kiam-sut karena dia mendapat pelajaran dari mendiang gurunya kemudian diperdalam oleh kakek gurunya. Akan tetapi, Ngo-heng Kiam-sut yang dilakukan lima orang dan membentuk Ngo-heng Kiam-tin ini sungguh amat dahsyat.

“Tunggu dulu! Saya tidak ingin berkelahi dengan Ngo-wi Totiang (Lima Bapak Pendeta)!” Serunya sambil melompat ke belakang.

Akan tetapi lima orang tosu yang kini merasa yakin bahwa pemuda ini yang melukai guru mereka karena pemuda itu amat lihai dan mampu menghindarkan semua serangan mereka, menjadi semakin marah dan mereka tidak mempedulikan seruan Cun Giok. Mereka bahkan menyerang semakin hebat!

Karena dia mulai terdesak, terpaksa Cun Giok mencabut pedangnya. Sinar keemasan berkelebat ketika dia mencabut Kim-kong-kiam (Pedang Sinar Emas) dan ketika dia mainkan pedangnya yang bergulung-gulung membuat perisai keemasan melindungi tubuhnya, lima orang tosu itu terkejut bukan main.

Cun Giok memang sengaja memainkan ilmu pedang Ngo-heng untuk mengimbangi serangan mereka. Dan setiap kali pedangnya bertemu dengan pedang lima orang tosu itu, para murid tingkat pertama Hoa-san-pai itu merasa betapa lengan mereka tergetar hebat!

Akan tetapi karena Cun Giok tidak ingin melukai mereka, juga dia menjaga agar jangan sampai pedang pusakanya merusak pedang mereka dan dia hanya bertahan saja, maka perkelahian itu berlangsung seru.

Setelah mereka mengepung dan menyerang sampai tiga puluh jurus lebih dan belum juga seorang di antara mereka dapat melukai pemuda itu, lima orang tosu Hoa-san-pai itu menjadi semakin penasaran. Pemuda itu tidak pernah balas menyerang dan hal ini mendatangkan dua dugaan di hati mereka.

Pertama, pemuda itu repot melindungi diri sehingga tidak sempat balas menyerang, atau pemuda itu sedemikian lihainya sehingga ingin mempermainkan mereka. Dan gerakan pedang pemuda itu selalu menggunakan Ngo-heng Kiam-sut yang demikian hebatnya!

Pada saat itu, sesosok bayangan putih memasuki lingkaran dengan melompati para murid yang membuat lingkaran itu dari luar. “Tahan senjata! Hentikan perkelahian!”

Lima orang tosu itu mendengar suara wanita ini segera berloncatan mundur dan mereka melihat seorang gadis cantik berpakaian putih berdiri di dekat pemuda itu, berhadapan dengan mereka.

“Siancai! Bukankah engkau Nona Ceng Ceng murid Im Yang Yok-sian?” kata Thian Huo Tosu dan mendengar ucapan orang pertama dari Ngo-heng Kiam-tin itu para sutenya juga segera teringat dan mengenal Ceng Ceng. “Mengapa engkau menghentikan perkelahian kami?

“Totiang, pemuda ini bukan musuh...”

“Siapa bilang? Nona Ceng Ceng, dialah yang melukai guru kami dan dia pula yang telah membunuh gurumu, Im Yang Yok-sian! Hayo kau bantu kami membunuh penjahat kejam ini!” kata Thian Huo Tosu.

“Bukan! Ngo-wi Totiang keliru menuduh orang! Dia bukan pembunuh Susiok Im Yang Yok-sian! Ketahuilah bahwa dia ini baru datang pagi hari ini bersama aku mendaki Hoa-san. Berminggu-minggu dia melakukan perjalanan menuju Hoa-san ini bersamaku. Totiang, tadi aku berpisah di kaki bukit dengan dia, dan aku langsung menuju ke pondok Susiok Im Yang Yok-sian. Di sana kulihat Susiok telah tewas dibunuh orang dan menurut para penduduk dusun yang mengurus jenazah Susiok, katanya Totiang berlima telah datang ke sana. Karena mengira bahwa Ngo-wi Totiang tentu mengetahui siapa pembunuh Susiok, maka aku segera lari ke sini dan melihat Ngo-wi (Kalian Berlima) berkelahi dengan sahabatku ini.”

“Siancai... Kalau begitu kami salah sangka? Sicu (orang gagah), siapakah Sicu dan apa maksud Sicu berkunjung ke sini?” tanya Thian Huo Tosu.

“Totiang, tadi saya hendak memberi penjelasan akan tetapi Totiang berlima tidak memberi kesempatan kepada saya. Nama saya Pouw Cun Giok dan saya diberitahu oleh Sukong Pak-kong Lojin bahwa Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin adalah sahabat baik Sukong. Maka setelah berada di kaki bukit, saya ingin berkunjung dan memberi hormat kepada beliau.”

“Siancai...! Sungguh kami telah terburu nafsu. Kami menyangka bahwa engkau adalah musuh yang telah melukai Suhu dan membunuh Im Yang Yok-sian, maka kami lalu menyerangmu! Kiranya engkau adalah cucu murid Lo-cianpwe Pak-kong Lojin! Maafkan kami, Sicu. Karena kita semua ini orang-orang sendiri, mari kalian masuk dan kita bicara di dalam.”

“Ah, jadi Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin terluka oleh orang yang membunuh Susiok?” Ceng Ceng bertanya, kaget dan semakin penasaran.

“Mari kita bicara di dalam,” ajak Thian Huo Tosu dan mereka bertujuh lalu memasuki perkampungan dan duduk di ruangan depan rumah induk Hoa-san-pai.

Thian Huo Tosu lalu menceritakan peristiwa yang terjadi.

“Kemarin malam, selagi Suhu duduk bersamadhi, tiba-tiba Beliau diserang orang. Kami mendengar dan segera memasuki kamar Suhu, akan tetapi penyerang itu dapat melarikan diri. Gerakannya amat cepat dan kami hanya melihat bahwa dia seorang laki-laki muda tanpa kami dapat melihat jelas mukanya. Ketika kami memeriksa Suhu, ternyata Suhu pingsan dan terluka hebat. Pukulan beracun yang meninggalkan tanda hitam di dadanya amat parah. Kami berusaha mengobati, namun gagal. Kami lalu teringat kepada Im Yang Yok-sian dan kami pada keesokan harinya pergi ke sana untuk mohon pertolongannya mengobati Suhu. Akan tetapi setelah tiba di sana, orang-orang dusun sudah berada di sana dan ternyata Beliau telah tewas terbunuh orang. Ketika kami memeriksa, ternyata Beliau tewas karena pukulan yang sama seperti diderita Suhu. Hanya bedanya, Suhu belum tewas karena pembunuh itu hanya sempat memukulnya satu kali di dada dan keburu kami datang. Sedangkan Im Yang Yok-sian menerima pukulan dua kali sehingga tewas. Demikianlah, ketika Pouw Sicu ini muncul, kami yang sedang bingung dan penasaran, melihat dia begitu lihai, lalu menduga bahwa tentu dia pembunuhnya dan kami mengeroyoknya.”

“Suhu tewas karena pukulan yang kalau aku tidak salah disebut Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam Getarkan Jantung). Pukulan itu amat jahat dan biarpun aku sudah mempelajari ilmu pengobatan dari Susiok, namun luka akibat pukulan itu sukar disembuhkan.”

“Kalau begitu, tolonglah, Nona. Tolong engkau periksa keadaan Suhu. Siapa tahu engkau akan dapat mengobatinya.” Lima orang tosu itu bangkit dan serentak memberi hormat kepada Ceng Ceng.

“Baiklah, akan kuperiksa. Akan tetapi aku tidak yakin apakah aku akan mampu mengobatinya.”

Mereka lalu memasuki kamar Goat-liang Sanjin. Tiga orang murid yang menjaga di dalam kamar itu lalu disuruh keluar oleh Thian Huo Tosu...

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 30

40: PEMBUNUH GELAP BERBAJU PUTIH

Mereka cepat menyalakan penerangan yang lebih besar dan seorang dari mereka yang paling tua memeriksa keadaan gurunya. Dia terkejut dan cepat menarik kembali tangannya ketika meraba dada Goat-liang Sanjin karena dada itu terasa panas seperti terbakar! Ketika diteliti, ternyata baju kakek itu berlubang dan ada tapak lima buah jari tangan berwarna hitam tergambar pada dada Goat-liang Sanjin.

“Aih! Suhu telah terkena pukulan beracun yang amat hebat!” katanya dan kini mereka semua melakukan pemeriksaan. Ketika mereka mencoba untuk membantu guru mereka dengan menempelkan tangan pada tubuh yang panas itu, tenaga sin-kang (tenaga sakti) mereka membalik!

Tentu saja mereka terkejut sekali dan hanya dapat membalurkan obat luar di dada yang terkena pukulan lima jari tangan menghitam itu. Mereka tidak berani memberi obat dalam karena belum tahu pukulan beracun apa yang melukai guru mereka. Juga semua usaha mereka untuk membuat guru mereka siuman dari pingsannya gagal karena ketika menotok jalan darah tubuh gurunya, hasilnya membuat jalan darah itu semakin kacau!

Lima orang itu berunding, apa yang harus mereka lakukan dan mereka menduga-duga siapa orangnya yang dapat memukul dan melukai guru mereka. Penyerang itu pasti orang yang memiliki ilmu yang amat dahsyat. Padahal, lima orang tosu itu adalah para murid tingkat pertama dari Goat-liang Sanjin. Bahkan mereka berlima yang diserahi tugas mewakili guru mereka memimpin Partai Persilatan Hoa-san-pai karena guru mereka sudah tua dan hanya lebih banyak bertapa daripada melibatkan diri dalam urusan dunia.

Lima orang tosu itu adalah orang-orang yang terkenal nama mereka di dunia persilatan. Siapa yang tidak mengenal Hoa-san Ngo-heng-tin (Pasukan Lima Unsur dari Hoa-san)? Kalau mereka maju bersama, mereka membentuk Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat dahsyat dan kuat. Bahkan nama mereka juga memakai nama lima unsur itu, yalah Huo (Api), Kim (Emas), Bhok (Kayu), Sui (Air), dan Tho (Tanah).

Nama mereka adalah Thian Huo Tosu berusia limapuluh tahun dan bertubuh tinggi kurus, menjadi pimpinan dari Ngo-heng-tin mereka, yang kedua Thian Kim Tosu berusia empatpuluh delapan tahun dan bertubuh sedang berwajah tampan, ketiga Thian Bhok Tosu berusia empatpuluh enam tahun bertubuh gendut pendek, keempat Thian Sui Tosu berusia empatpuluh empat tahun bertubuh tinggi besar dan kelima adalah Thian Tho Tosu berusia empatpuluh dua tahun dan bermuka hitam.

Kelima orang tosu ini tentu saja sudah memiliki tingkat ilmu silat yang tangguh. Keistimewaan mereka adalah ilmu Ngo-heng-kun (Silat Lima Unsur) dan Ngo-heng Kiam-sut (Ilmu Pedang Lima Unsur) dan puncak kekuatan mereka adalah kalau mereka maju berlima membentuk Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur).

“Heran, siapakah orang yang dapat melukai Suhu seperti ini?” kata Thian Huo Tosu.

“Luka Suhu amat hebat dan aneh. Bahkan usaha kita untuk mengusir hawa beracun dengan pengerahan sin-kang kita juga gagal!” kata Thian Kim Tosu.

“Orang itu tentu musuh besar Suhu. Akan tetapi bagaimana mungkin? Melihat bentuk tubuhnya, dia hanya seorang pemuda yang usianya tidak lebih dari duapuluh tahun. Padahal Suhu telah hampir duapuluh tahun tidak mau terlibat urusan dunia! Siapakah laki-laki muda itu? Melihat betapa dia dapat melukai Suhu, dan cara perginya demikian cepat, bahkan tidak ada murid penjaga yang melihatnya, dapat diketahui bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi,” kata Thian Bok Tosu.

“Sudahlah, kiranya tidak perlu untuk memusingkan hal itu pada saat ini. Yang terpenting adalah bagaimana kita dapat menyembuhkan Suhu yang terluka parah,” kata Thian Sui Tosu.

“Benar sekali!” kata Thian Tho Tosu. “Keselamatan dan pulihnya kesehatan Suhu adalah yang paling penting!”

“Hemm, aku pun memikirkan hal itu. Kukira, hanya satu orang saja yang akan mampu mengobati Suhu sampai sembuh. Orang itu adalah...”

“Im Yang Yok-sian!” Kata empat orang saudara seperguruannya serempak.

Thian Huo Tosu mengangguk. “Benar, pinto (aku) kira, hanya dialah satu-satunya orang yang dapat mengobati dan menyembuhkan Suhu dan dia tinggal tak jauh dari sini.”

“Kalau begitu, biar aku sekarang juga pergi berkunjung ke sana dan mohon pertolongannya!” kata Thian Tho Tosu yang bermuka hitam.

“Jangan, Sute. Tidak sopan malam-malam begini mengganggu Yok-sian. Lebih baik besok pagi saja kita berlima yang pergi ke sana. Kalau kita pergi berlima berarti bahwa kita sangat mengharapkan pertolongannya,” kata Thian Huo Tosu.

“Akan tetapi seperti kita sudah mendengar, sudah bertahun-tahun Im Yang Yok-sian bertapa seperti Suhu. Tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia. Bagaimana kalau beliau menolak permintaan kita?” kata Thian Bhok Tosu dengan suara ragu.

“Pinto kira, kalau kita berlima yang mohon kepadanya dan yang membutuhkan pertolongan adalah Suhu, dia pasti akan mau menolong.”

Demikianlah, dengan hati gelisah lima orang tosu yang gagah perkasa itu menjaga guru mereka. Hati mereka bukan hanya gelisah, melainkan juga merasa tidak berdaya. Pada keesokan harinya, setelah memesan kepada para murid untuk melakukan penjagaan ketat, Hoa-san Ngo-heng-tin ini meninggalkan perkampungan Hoa-san-pai dan berlari cepat menuju ke lereng bukit sebelah timur. Mereka memang tidak berangkat terlalu pagi agar jangan mengganggu Dewa Obat itu.

Akan tetapi, ketika lima orang tosu itu tiba di depan pondok sederhana Im Yang Yok-sian, mereka melihat banyak orang dusun, laki-laki dan perempuan, berkumpul di depan pondok dan kelihatan bingung dan gelisah.

Thian Huo Tosu segera bertanya kepada mereka. “Apakah yang terjadi maka kalian berkumpul di sini? Mana Im Yang Yok-sian, kami ingin bertemu dan bicara.”

Seorang dari para penduduk dusun yang sudah tua berkata dengan suara gemetar. “Totiang (Bapak Pendeta), tadi ketika dua orang penduduk dusun datang ke sini pagi-pagi untuk minta obat, pintu rumah terbuka dan ketika mereka melihat ke dalam, mereka mendapatkan Im Yang Yok-sian telah tewas menggeletak di lantai!”

Lima orang tosu itu terkejut sekali dan mereka segera memasuki pondok sederhana itu. Mereka melihat tubuh Dewa Obat itu telah diangkat oleh penduduk dan direbahkan di atas pembaringan kayu. Mereka segera memeriksanya dan mereka terkejut melihat Dewa Obat itu ternyata telah tewas dan di dada dan lambungnya terdapat bekas telapak tangan menghitam!

Dewa Obat itu telah dipukul dengan pukulan beracun yang sama dengan yang diderita guru mereka! Tentu oleh orang yang sama pula! Agaknya karena menerima pukulan sampai dua kali, di dada dan lambung, Si Dewa Obat tidak dapat bertahan hidup dan tewas seketika. Hal ini membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian penyerang guru mereka itu.

Setelah memeriksa dengan cermat dan melihat bahwa Si Dewa Obat benar-benar tewas oleh dua pukulan itu, lima orang tosu Hoa-san-pai itu lalu berpamit dari para penduduk dusun yang akan mengurus jenazah Dewa Obat yang seringkali menolong mereka itu. Ternyata Si Dewa Obat itu tinggal seorang diri di pondoknya.

Dapat dibayangkan betapa gelisahnya hati lima orang tosu itu ketika tiba di perkampungan Hoa-san-pai melihat bahwa guru mereka belum juga siuman dari pingsannya dan tubuhnya tetap panas! Berapa lama suhu mereka akan dapat bertahan? Kembali sehari semalam lima orang tosu itu tidak dapat tidur nyenyak dan mereka selalu merasa gelisah.

Karena tidak mengenal ilmu pukulan beracun yang diderita guru mereka, mereka tetap tidak berani meminumkan obat karena kalau salah obat keadaan guru mereka akan menjadi lebih parah. Mereka hanya mencoba untuk memberi obat luar di dada yang dicap lima jari menghitam itu.

Pada keesokan harinya, ketika lima orang tosu itu menjaga guru mereka yang belum juga siuman, seorang murid dengan napas memburu datang melapor bahwa di luar perkampungan ada seorang pemuda yang dikeroyok para murid Hoa-san-pai.

“Sikapnya mencurigakan, agaknya dia minta bertemu dengan pimpinan Hoa-san-pai. Karena mencurigakan, para suheng (kakak seperguruan) minta agar dia meninggalkan pedangnya sebelum memasuki perkampungan, akan tetapi dia menolak. Karena para suheng menjadi semakin curiga maka kami berusaha menangkapnya, akan tetapi dia lihai sekali.”

Lima orang tosu itu segera berlompatan keluar dan benar saja, mereka melihat seorang pemuda dikeroyok oleh duapuluh lebih murid Hoa-san-pai. Sebagian besar para pengeroyok itu adalah murid tingkat dua dan tiga yang ilmu silatnya sudah lumayan, akan tetapi senjata mereka berupa pedang, golok, dan tombak sama sekali tidak dapat menyentuh tubuh pemuda yang bergerak sedemikian cepatnya sehingga para murid itu seolah menyerang bayangan saja!

“Kalian semua mundur!” teriak Thian Huo Tosu melihat betapa banyak murid sudah roboh terkena tamparan pemuda itu, walaupun yang tertampar itu tidak luka parah dan hanya senjata mereka yang terlempar dan tubuh mereka terpelanting. Pemuda itu bukan lain adalah Pouw Cun Giok!

cerita silat online karya kho ping hoo

Seperti kita ketahui, Cun Giok berpisah dari Ceng Ceng. Gadis itu menuju ke lereng timur untuk menemui gurunya sedangkan dia sendiri pergi ke lereng barat untuk mengunjungi Goat-liang Sanjin ketua Hoa-san-pai yang menjadi sahabat baik Pak-kong Lojin, kakek gurunya. Ketika dia tiba di depan gapura perkampungan Hoa-san-pai di lereng sebelah barat Hoa-san, dia segera dihadang oleh belasan orang yang tampak bengis dan penuh curiga memandangnya.

“Hei, berhenti dulu! Siapa engkau berkeliaran di sini dan apa keperluanmu?” seorang dari mereka bertanya dengan suara membentak.

Cun Giok tersenyum dan mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Maafkan kalau aku mengganggu. Aku datang berkunjung untuk bertemu dengan ketua Hoa-san-pai.”

“Ketua Hoa-san-pai tidak menerima tamu, sedang sibuk. Hayo engkau mengaku lebih dulu siapa engkau dan apa keperluanmu!”

“Kalau ketua Hoa-san-pai tidak dapat menemui aku, maka aku ingin bicara dengan para pimpinan Hoa-san-pai,” kata Cun Giok yang tidak mau mengakui nama dan keperluannya karena dia melihat sikap mereka yang penuh curiga dan tidak ramah.

“Dia tentu penjahat itu!” tiba-tiba terdengar suara dan seolah-olah seruan ini merupakan komando karena tiba-tiba saja mereka semua menyerbu dan menyerang Cun Giok.

Tentu saja Cun Giok tidak tinggal diam. Dia menggunakan gin-kangnya yang istimewa untuk berkelebatan menghindar dari semua serangan, membagi-bagi tamparan yang hanya dibatasi untuk membuat para pengeroyok melepaskan senjata dan terpelanting.

Pada saat itu, muncul lima orang tosu pimpinan itu. Begitu Thian Huo Tosu membentak dan menyuruh semua murid mundur, para anggauta Hoa-san-pai itu serentak mundur dan mengepung dengan lingkaran besar. Mereka hanya menonton dan siap dengan senjata di tangan.

Sementara itu, Thian Huo Tosu memberi isyarat kepada adik-adik seperguruannya dan mereka berlima sudah mencabut pedang dan mengepung Cun Giok. Melihat betapa pemuda itu dapat bergerak sedemikian cepatnya, mereka berlima yakin bahwa tentu pemuda ini yang malam tadi menyerang dan melukai guru mereka dan pagi tadi membunuh Im Yang Yok-sian. Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka berlima bergerak dan menyerang Cun Giok dengan pedang mereka.

Dengan bentakan nyaring lima orang yang membentuk Barisan Pedang Lima Unsur itu menyerang sambung menyambung. Cun Giok terkejut bukan main! Kalau saja dia tidak mempunyai gin-kang yang luar biasa, akan sukarlah menyelamatkan diri dari serangan pedang bertubi-tubi yang saling mendukung sehingga sulitlah untuk mengelak.

Hanya berkat gerakannya yang luar biasa cepatnya sehingga dia seolah-olah menghilang dan berkelebat tanpa ada bayangan yang jelas, dia dapat menghindarkan diri. Akan tetapi permainan pedang Barisan Ngo-heng itu memang hebat sekali. Gerakan mereka susul menyusul dengan rapinya, bukan saja saling mendukung dan saling melindungi, melainkan juga memiliki kecepatan tinggi karena serangan itu susul menyusul tiada hentinya.

Cun Giok menjadi bingung juga. Tentu saja dia tidak ingin melukai seorang dari mereka. Dia tahu bahwa mereka itu menyerangnya membabi-buta tentu ada sebab tertentu dan serangan mereka ini hanya merupakan suatu kesalah-pahaman. Dia pun mengenal ilmu pedang Ngo-heng Kiam-sut karena dia mendapat pelajaran dari mendiang gurunya kemudian diperdalam oleh kakek gurunya. Akan tetapi, Ngo-heng Kiam-sut yang dilakukan lima orang dan membentuk Ngo-heng Kiam-tin ini sungguh amat dahsyat.

“Tunggu dulu! Saya tidak ingin berkelahi dengan Ngo-wi Totiang (Lima Bapak Pendeta)!” Serunya sambil melompat ke belakang.

Akan tetapi lima orang tosu yang kini merasa yakin bahwa pemuda ini yang melukai guru mereka karena pemuda itu amat lihai dan mampu menghindarkan semua serangan mereka, menjadi semakin marah dan mereka tidak mempedulikan seruan Cun Giok. Mereka bahkan menyerang semakin hebat!

Karena dia mulai terdesak, terpaksa Cun Giok mencabut pedangnya. Sinar keemasan berkelebat ketika dia mencabut Kim-kong-kiam (Pedang Sinar Emas) dan ketika dia mainkan pedangnya yang bergulung-gulung membuat perisai keemasan melindungi tubuhnya, lima orang tosu itu terkejut bukan main.

Cun Giok memang sengaja memainkan ilmu pedang Ngo-heng untuk mengimbangi serangan mereka. Dan setiap kali pedangnya bertemu dengan pedang lima orang tosu itu, para murid tingkat pertama Hoa-san-pai itu merasa betapa lengan mereka tergetar hebat!

Akan tetapi karena Cun Giok tidak ingin melukai mereka, juga dia menjaga agar jangan sampai pedang pusakanya merusak pedang mereka dan dia hanya bertahan saja, maka perkelahian itu berlangsung seru.

Setelah mereka mengepung dan menyerang sampai tiga puluh jurus lebih dan belum juga seorang di antara mereka dapat melukai pemuda itu, lima orang tosu Hoa-san-pai itu menjadi semakin penasaran. Pemuda itu tidak pernah balas menyerang dan hal ini mendatangkan dua dugaan di hati mereka.

Pertama, pemuda itu repot melindungi diri sehingga tidak sempat balas menyerang, atau pemuda itu sedemikian lihainya sehingga ingin mempermainkan mereka. Dan gerakan pedang pemuda itu selalu menggunakan Ngo-heng Kiam-sut yang demikian hebatnya!

Pada saat itu, sesosok bayangan putih memasuki lingkaran dengan melompati para murid yang membuat lingkaran itu dari luar. “Tahan senjata! Hentikan perkelahian!”

Lima orang tosu itu mendengar suara wanita ini segera berloncatan mundur dan mereka melihat seorang gadis cantik berpakaian putih berdiri di dekat pemuda itu, berhadapan dengan mereka.

“Siancai! Bukankah engkau Nona Ceng Ceng murid Im Yang Yok-sian?” kata Thian Huo Tosu dan mendengar ucapan orang pertama dari Ngo-heng Kiam-tin itu para sutenya juga segera teringat dan mengenal Ceng Ceng. “Mengapa engkau menghentikan perkelahian kami?

“Totiang, pemuda ini bukan musuh...”

“Siapa bilang? Nona Ceng Ceng, dialah yang melukai guru kami dan dia pula yang telah membunuh gurumu, Im Yang Yok-sian! Hayo kau bantu kami membunuh penjahat kejam ini!” kata Thian Huo Tosu.

“Bukan! Ngo-wi Totiang keliru menuduh orang! Dia bukan pembunuh Susiok Im Yang Yok-sian! Ketahuilah bahwa dia ini baru datang pagi hari ini bersama aku mendaki Hoa-san. Berminggu-minggu dia melakukan perjalanan menuju Hoa-san ini bersamaku. Totiang, tadi aku berpisah di kaki bukit dengan dia, dan aku langsung menuju ke pondok Susiok Im Yang Yok-sian. Di sana kulihat Susiok telah tewas dibunuh orang dan menurut para penduduk dusun yang mengurus jenazah Susiok, katanya Totiang berlima telah datang ke sana. Karena mengira bahwa Ngo-wi Totiang tentu mengetahui siapa pembunuh Susiok, maka aku segera lari ke sini dan melihat Ngo-wi (Kalian Berlima) berkelahi dengan sahabatku ini.”

“Siancai... Kalau begitu kami salah sangka? Sicu (orang gagah), siapakah Sicu dan apa maksud Sicu berkunjung ke sini?” tanya Thian Huo Tosu.

“Totiang, tadi saya hendak memberi penjelasan akan tetapi Totiang berlima tidak memberi kesempatan kepada saya. Nama saya Pouw Cun Giok dan saya diberitahu oleh Sukong Pak-kong Lojin bahwa Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin adalah sahabat baik Sukong. Maka setelah berada di kaki bukit, saya ingin berkunjung dan memberi hormat kepada beliau.”

“Siancai...! Sungguh kami telah terburu nafsu. Kami menyangka bahwa engkau adalah musuh yang telah melukai Suhu dan membunuh Im Yang Yok-sian, maka kami lalu menyerangmu! Kiranya engkau adalah cucu murid Lo-cianpwe Pak-kong Lojin! Maafkan kami, Sicu. Karena kita semua ini orang-orang sendiri, mari kalian masuk dan kita bicara di dalam.”

“Ah, jadi Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin terluka oleh orang yang membunuh Susiok?” Ceng Ceng bertanya, kaget dan semakin penasaran.

“Mari kita bicara di dalam,” ajak Thian Huo Tosu dan mereka bertujuh lalu memasuki perkampungan dan duduk di ruangan depan rumah induk Hoa-san-pai.

Thian Huo Tosu lalu menceritakan peristiwa yang terjadi.

“Kemarin malam, selagi Suhu duduk bersamadhi, tiba-tiba Beliau diserang orang. Kami mendengar dan segera memasuki kamar Suhu, akan tetapi penyerang itu dapat melarikan diri. Gerakannya amat cepat dan kami hanya melihat bahwa dia seorang laki-laki muda tanpa kami dapat melihat jelas mukanya. Ketika kami memeriksa Suhu, ternyata Suhu pingsan dan terluka hebat. Pukulan beracun yang meninggalkan tanda hitam di dadanya amat parah. Kami berusaha mengobati, namun gagal. Kami lalu teringat kepada Im Yang Yok-sian dan kami pada keesokan harinya pergi ke sana untuk mohon pertolongannya mengobati Suhu. Akan tetapi setelah tiba di sana, orang-orang dusun sudah berada di sana dan ternyata Beliau telah tewas terbunuh orang. Ketika kami memeriksa, ternyata Beliau tewas karena pukulan yang sama seperti diderita Suhu. Hanya bedanya, Suhu belum tewas karena pembunuh itu hanya sempat memukulnya satu kali di dada dan keburu kami datang. Sedangkan Im Yang Yok-sian menerima pukulan dua kali sehingga tewas. Demikianlah, ketika Pouw Sicu ini muncul, kami yang sedang bingung dan penasaran, melihat dia begitu lihai, lalu menduga bahwa tentu dia pembunuhnya dan kami mengeroyoknya.”

“Suhu tewas karena pukulan yang kalau aku tidak salah disebut Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam Getarkan Jantung). Pukulan itu amat jahat dan biarpun aku sudah mempelajari ilmu pengobatan dari Susiok, namun luka akibat pukulan itu sukar disembuhkan.”

“Kalau begitu, tolonglah, Nona. Tolong engkau periksa keadaan Suhu. Siapa tahu engkau akan dapat mengobatinya.” Lima orang tosu itu bangkit dan serentak memberi hormat kepada Ceng Ceng.

“Baiklah, akan kuperiksa. Akan tetapi aku tidak yakin apakah aku akan mampu mengobatinya.”

Mereka lalu memasuki kamar Goat-liang Sanjin. Tiga orang murid yang menjaga di dalam kamar itu lalu disuruh keluar oleh Thian Huo Tosu...