Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

31: PANDANGAN GADIS YANG LUAR BIASA!

Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan mulai memeriksa keadaan Goat-liang Sanjin yang masih juga belum sadar. Setelah memeriksa denyut jantung dan keadaan peredaran darahnya, gadis itu menghela napas panjang.

“Bagaimana, Nona?” tanya Thian Huo Tosu dengan gelisah.

“Totiang, luka yang diderita Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin amat parah. Hawa beracun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang itu bukan hanya menggetarkan jantung, akan tetapi juga meracuni darah dan mengacaukan peredaran darah. Mendiang Susiok pernah memberitahu kepadaku tentang beberapa pukulan yang hanya dapat disembuhkan oleh pemukulnya dan Hek-tok Tong-sim-ciang ini salah satu di antaranya. Mungkin aku hanya dapat membantu meringankan penderitaannya saja, akan tetapi untuk dapat menyembuhkannya, aku harus dapat mencari pemukulnya.”

“Kalau begitu tolonglah semampu Nona, pinto sekalian para murid Hoa-san-pai akan berterima kasih sekali.”

Ceng Ceng menoleh kepada Cun Giok. “Giok-ko, maukah engkau menolongku? Aku membutuhkan bantuan sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat dan kukira engkau yang memiliki itu.”

“Tentu saja, Ceng-moi. Aku siap membantumu!” kata Cun Giok dan lima orang tosu itu mengangguk-angguk girang dan juga merasa malu karena tadi mereka mengeroyok dan berniat membunuh pemuda ini yang ternyata cucu murid Pak-kong Lojin yang mereka hormati dan kini pemuda itu masih hendak membantu Ceng Ceng menolong guru mereka!

Ceng Ceng minta kepada Thian Huo Tosu untuk membantu Goat-liang Sanjin yang, masih pingsan agar dapat duduk bersila dan tosu itu bersila di depan Goat-liang Sanjin sambil menahan kedua pundak kakek itu agar dapat duduk dan tidak terguling.

“Tahan saja agar jangan terguling, Totiang, dan jangan menggunakan tenaga dalam karena hal itu akan membahayakan Totiang sendiri,” kata Ceng Ceng. Kemudian ia menyuruh Cun Giok naik ke pembaringan dan duduk bersila di belakangnya sedangkan ia sendiri juga duduk bersila di belakang tubuh Goat-liang Sanjin yang sudah didudukkan dan kedua pundaknya ditahan Thian Huo Tosu dari depan.

“Giok-ko, kau kerahkan tenaga sakti Im yang dingin dan salurkan melalui punggungku untuk membantuku. Kita menggabungkan tenaga Im dan aku akan meneruskan tenaga itu ke dalam tubuh Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin untuk menahan tekanan hawa beracun yang amat panas itu. Pergunakan tenaga sakti sedang-sedang saja dan kurangi atau tambah menurut permintaanku nanti.”

“Baik, Ceng-moi,” kata Cun Giok dengan kagum kini dia melihat kelebihan yang lain lagi pada diri gadis yang dikaguminya itu.

Setelah memusatkan seluruh perhatiannya kepada kakek yang hendak ia obati, Ceng Ceng mulai menotok, menekan dan mengurut di sekitar punggung. Jari-jari tangannya terasa panas sekali seolah-olah hawa dalam tubuh kakek itu melawannya. Namun dengan tenaga sakti Im gabungan dengan Cun Giok, maka ia dapat mengalahkan rasa panas itu.

Sampai tidak kurang dari dua jam ia melakukan pengobatan. Thian Huo Tosu yang hanya menahan kedua pundak gurunya tanpa mengerahkan tenaga dalam, akhirnya terpengaruh juga oleh hawa dingin yang disalurkan Ceng Ceng sehingga dia mulai menggigil kedinginan! Untung baginya sebelum keadaannya lebih parah lagi, Goat-liang Sanjin mengeluh lalu terbatuk-batuk! Kakek itu telah sadar dari pingsannya.

Ceng Ceng menghentikan pengobatannya. Dengan girang Thian Huo Tosu membantu gurunya rebah telentang. Goat-liang Sanjin yang telentang itu membuka matanya dan dia melihat lima orang muridnya berada di dalam kamarnya bersama seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan.

“Di mana penyerang gelap itu?” Goat-liang Sanjin bertanya kepada para muridnya. “Apakah kalian berhasil menangkapnya?”

Lima orang tosu itu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai. “Hukumlah teecu berlima yang tidak berguna, Suhu. Teecu (murid) berlima gagal menangkapnya dan dia melarikan diri.”

Goat-liang Sanjin menghela napas panjang berkali-kali untuk mengurangi rasa nyeri di dadanya, lalu berkata dengan suara lirih. “Kalian tidak salah... orang itu memang lihai sekali...” Ketika dia melihat Cun Giok dan Ceng Ceng, dia melebarkan matanya. “Siapa... siapakah... mereka ini?”

Ceng Ceng makIum bahwa kakek itu telah lupa kepadanya, maka ia cepat berkata, “Lo-cianpwe mungkin sudah lupa kepada saya. Saya adalah murid dari mendiang Susiok Im Yang Yok-sian.”

Kakek itu mencoba bangkit saking kagetnya mendengar ini, akan tetapi Ceng Ceng cepat mencegahnya agar jangan bangkit dulu. “Kau bilang... mendiang...?”

Thian Huo Tosu lalu menerangkan. “Suhu, ketika teecu berlima melihat Suhu terluka parah, teecu segera pergi kepada Im Yang Yok-sian untuk mohon pertolongannya. Akan tetapi ketika teecu berlima tiba di sana, ternyata Beliau sudah tewas, terbunuh orang dengan pukulan yang sama dengan yang melukai Suhu.”

“Siancai...!” Kakek itu tampak lemas dan dia mengerutkan alisnya.

“Suhu, melihat Suhu pingsan selama dua hari, teecu sekalian menjadi bingung. Akan tetapi kemudian datang Nona Ceng Ceng dan ia bersama Pouw-sicu ini telah berhasil membuat Suhu siuman kembali.”

Goat-liang Sanjin kembali membuka matanya yang tadi terpejam, lalu dia memandang kepada Cun Giok. Melihat betapa mata kakek itu memandang penuh pertanyaan, Cun Giok tidak membiarkan kakek itu bicara lagi yang agaknya memeras tenaganya. Dia memberi hormat dan berkata,

“Lo-cianpwe, saya bernama Pouw Cun Giok, cucu murid Sukong Pak-kong Lojin di Ta-pie-san. Sukong pernah bercerita bahwa Lo-cianpwe adalah sahabat baiknya, maka ketika saya lewat di sini, saya ingin berkunjung dan bertemu Lo-cianpwe. Sungguh saya ikut bersedih melihat Lo-cianpwe berada dalam keadaan sakit.”

“Giok-ko dan Ngo-wi Totiang, saya kira lebih baik kalau kita biarkan Lo-cianpwe mengaso dan jangan dulu diajak banyak bicara. Sebaiknya Totiang buatkan bubur cair untuk memulihkan daya tahan tubuhnya.”

Semua orang setuju, apalagi melihat kakek itu mulai memejamkan mata seperti hendak tidur. Thian Bhok yang berwajah lucu bertubuh gemuk pendek itu yang segera membuatkan bubur untuk gurunya. Dia memang terkenal ahli masak dan dia yang menyuapi gurunya makan bubur cair. Mereka bercakap-cakap di ruangan dalam.

“Nona Ceng, bagaimana menurut pendapat Nona? Suhu kini tampak lebih sehat. Apakah Beliau akan dapat sembuh?” tanya Thian Huo Tosu.

Ceng Ceng menghela napas panjang. “Sulit mengatakan bahwa Beliau akan dapat sembuh, Totiang. Usahaku hanya dapat membuat panasnya menurun dan mengurangi rasa nyeri. Akan tetapi racun dari Hek-tok Tong-sim-ciang itu masih ada dan mengancam keselamatannya. Kalau daya tahan tubuhnya kuat, mungkin dia masih akan dapat bertahan selama seratus hari, akan tetapi melihat betapa Lo-cianpwe sudah tua, belum tentu Beliau akan dapat bertahan sampai tiga bulan.”

“Siancai...! Lalu, apakah ada obatnya yang dapat menyembuhkannya?” tanya Thian Kim Tosu yang tampan.

Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. “Seperti telah kukatakan tadi, pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang ini hanya dapat disembuhkan oleh orang yang memiliki ilmu itu.”

“Jadi kalau kami ingin melihat Suhu sembuh, kami harus dapat menemukan dan menangkap pembunuh itu?”

“Kiranya hanya begitulah, Totiang. Aku akan pergi mencarinya dan minta pertanggungan jawabnya, baik untuk pembunuhan yang dia lakukan terhadap Susiok Im Yang Yok-sian maupun untuk penyerangan yang dilakukan terhadap guru kalian.”

“Akan tetapi ini kewajiban kami, Nona Ceng Ceng! Kami yang akan mencarinya!” kata Thian Tho si muka hitam. Empat orang tosu yang lain membenarkan.

“Hemm, tahukah kalian siapa pembunuh itu dan dimana dapat menemukan dia.”

Lima orang tosu itu saling pandang dan mengangkat pundak.

“Nah, kalau kalian tidak tahu siapa dia dan di mana dia berada, bagaimana kalian akan dapat menemukannya?”

“Baiklah, Nona. Kami mengaku bodoh dan tidak mampu mencarinya. Akan tetapi apakah Nona mengetahuinya dan bagaimana kalau kami membantumu?” tanya Thian Huo Tosu.

“Aku belum yakin betul. Akan tetapi akan kucari dia sampai dapat. Mudah-mudahan sebelum seratus hari aku sudah bisa mendapatkan obat untuk guru kalian. Ingat, orang itu telah membunuh Susiok Im Yang Yok-sian. Aku harus menemukannya!”

Ceng Ceng dan Cun Giok lalu meninggalkan Hoa-san-pai dan mereka berdua kembali ke tempat tinggal mendiang Im Yang Yok-sian untuk melakukan upacara pemakaman jenazah Im Yang Yok-sian. Setelah pemakaman selesai, pada keesokan harinya Ceng Ceng dan Cun Giok meninggalkan Bukit Hoa-san. Setibanya di kaki bukit, Ceng Ceng berhenti.

“Giok-ko, di sini kita harus berpisah. Aku akan pergi mencari pembunuh Susiok Im Yang Yok-sian dan juga mencarikan obat untuk Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin.”

“Ceng-moi, melihat susiokmu dibunuh orang tanpa alasan dan ketua Hoa-san-pai dilukai berat, aku merasa berkewajiban untuk membantumu mencari pembunuh itu! Aku akan merasa bersalah dan tidak mengenal budi kalau sekarang aku tidak membantumu, Ceng-moi.”

Ceng Ceng merasa suka kepada pemuda ini. Setelah melakukan perjalanan jauh dan ketika menghadapi musuh gerombolan penjahat, pemuda ini telah memperlihatkan kegagahannya. Juga sikapnya sopan dan bijaksana sehingga ia sama sekali tidak merasa canggung melakukan perjalanan berdua dengannya. Mendengar pernyataan Cun Giok yang hendak membantunya, sebenarnya hatinya merasa girang sekali.

“Ah, Giok-ko. Aku hanya akan membuat engkau repot saja, padahal urusan ini tidak ada hubungannya denganmu.”

“Tentu saja ada hubungannya, Ceng-moi. Andaikata yang dibunuh secara pengecut dan kejam itu bukan susiokmu, apakah kiranya engkau dan aku akan tinggal diam dan tidak mencari pembunuh laknat itu? Nah, kalau engkau ingin mencari pembunuh itu dan mencarikan obat guna menyembuhkan Goat-liang Sanjin, tentu saja aku juga mau membantu. Ketua Hoa-san-pai itu adalah sahabat baik kakek guruku. Beliau akan senang kalau mendengar aku membantu pencarian obat untuk kakek yang terancam maut itu.”

Akhirnya Ceng Ceng tersenyum. “Apakah tidak akan mengganggu perjalananmu, Giok-ko?”

“Aku tidak mempunyai urusan pribadi apa pun. Engkau sudah tahu bahwa aku hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal. Bagaimana dapat terganggu?”

“Baiklah kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan.”

“Nanti dulu, Ceng-moi. Aku ingin sekali mengetahui, apakah engkau sudah tahu siapa yang melakukan pembunuhan terhadap susiokmu dan ketua Hoa-san-pai itu?” Ceng Ceng menggelengkan kepala. “Kalau begitu, ke mana kita akan mencarinya?”

“Giok-ko, Susiok Im Yang Yok-sian pernah bercerita kepadaku tentang ilmu pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang itu. Menurut Beliau, yang menguasai ilmu-ilmu pukulan berbisa yang amat hebat, termasuk Hek-tok Tong-sim-ciang adalah seorang datuk sesat yang amat terkenal puluhan tahun yang lalu. Nama julukannya adalah Ban-tok Kui-bo (Biang Iblis Selaksa Racun) dan datuk wanita itu menjadi Majikan Pulau Ular di Lautan Po-hai. Aku yakin bahwa andaikata pembunuh Susiok Im Yang Yok-sian bukan datuk itu, ia pasti memiliki obat penawar hawa beracun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang. Yang terpenting adalah mencarikan obat untuk ketua Hoa-san-pai, setelah itu barulah aku akan mencari pembunuh paman guruku.”

“Memang, pembunuh Lo-cianpwe Im Yang Yok-sian itu kejam sekali. Sudah sewajarnya kalau engkau hendak membalas dendam, Ceng-moi.” Akan tetapi pemuda itu merasa heran melihat Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.

“Tidak, Giok-ko, bukan membalas dendam kematian paman guruku. Balas dendam hanya akan memperpanjang mata rantai Karma sehingga akan terjadi balas membalas yang tidak pernah ada akhirnya. Kalau aku mencari pembunuh itu untuk membalas dendam dan aku berhasil membunuhnya karena dendam, tentu akan menimbulkan dendam pada pihaknya. Entah anggauta keluarganya atau muridnya akan membalas dendam kepadaku, dan mungkin kalau aku terbunuh, orang yang dekat denganku akan menaruh dendam pula. Demikian seterusnya, rantai Karma itu takkan pernah putus. Dendam kebencian, balas membalas kini sudah menjadi watak manusia di dunia. Apakah engkau tidak melihat betapa salahnya hal itu?”

Cun Giok tertegun. Baru sekarang dia mendengar ada orang mencela balas dendam dan mengatakan bahwa hal itu salah. Dia teringat akan diri sendiri. Dia membalas dendam atas kematian orang tuanya dan berhasil membunuh Panglima Kong Tek Kok, dan kini dia teringat kepada Kong Sek, murid Bu-tek Sin-liong Cu Liong itu. Kakak seperguruan Cu Ai Yin! Tentu Kong Sek juga mendendam kepadanya dan hendak membalaskan kematian ayahnya! Dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan Ceng Ceng tadi.

“Akan tetapi, kalau engkau tidak ingin membalas dendam atas kematian paman gurumu yang dibunuh orang, lalu untuk apa engkau hendak mencari pembunuh itu, Ceng-moi?”

“Aku memang akan mencari pembunuh itu, Giok-ko, bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk bertanya mengapa dia membunuh Susiok dan untuk melihat apakah dia orang yang suka melakukan kejahatan. Yang kutentang bukan orangnya, yang aku benci bukan orangnya, melainkan kejahatan. Aku menentang kejahatan, tidak peduli dilakukan oleh siapapun juga. Kejahatan harus ditentang dan dihentikan kalau kita menghendaki kehidupan ini aman tenteram dan untuk itulah kita belajar ilmu silat, bukan? Dengan demikian sedikit banyak kita sudah ikut menyejahterakan kehidupan di dunia.”

Cun Giok mendengarkan dengan heran dan kagum. Gadis yang luar biasa! Maka tanpa ragu lagi dia mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat dan berkata,

“Ceng-moi, engkau hebat! Aku kagum sekali kepadamu. Engkau memiliki kesempatan banyak untuk menjadi Dewi Kebajikan! Engkau dapat menentang kejahatan dengan ilmu silatmu dan engkau juga dapat menolong orang memerangi penyakit dengan ilmu pengobatanmu!”

“Aih, jangan terlalu memuji, Giok-ko. Pujian bahkan dapat menjerumuskan orang ke dalam jurang kesombongan. Setiap orang hidup dituntut untuk dapat bermanfaat bagi manusia dan dunia, dengan bakat, kemampuan, dan kepandaian masing-masing sehingga tidak sia-sialah hidup sebagai manusia di dunia ini. Ah, sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan ini!”

Mereka melanjutkan perjalanan, mempergunakan ilmu berlari cepat dengan tujuan ke timur, ke arah Lautan Po-hai di sebelah timur daratan Cina.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Siapakah Ban-tok Kui-bo (Biang Iblis Selaksa Racun) yang disebut oleh Ceng Ceng dan kini hendak dicari Ceng Ceng bersama Cun Giok itu?

Ban-tok Kui-bo tinggal di sebuah pulau kecil di Lautan Po-hai, sebuah pulau yang dinamakan Coa-to (Pulau Ular) karena memang dahulu pulau itu merupakan hutan lebat yang dihuni ratusan, bahkan ribuan ekor ular dari segala jenis yang beracun. Akan tetapi setelah Ban-tok Kui-bo tinggal di situ, ular-ular itu telah ditundukkannya dan bahkan menjadi peliharaannya karena wanita itu memang antara lain memiliki ilmu pawang ular.

Kini Kui-bo tinggal di pulau itu dan ia menguasai pulau kosong itu sebagai miliknya. Ia menjadi majikan pulau itu dan kini pulau yang menjadi perkampungan itu dihuni Si Biang Iblis bersama kurang lebih limapuluh keluarga yang jumlahnya sekitar seratus limapuluh orang. Para kepala keluarga itu menjadi anak buah Pulau Ular dan menerima pelajaran ilmu silat dari Ban-tok Kui-bo.

Rumah-rumah didirikan dan sebagai tempat tinggal Kui-bo, dibangun rumah yang cukup besar dan perabotan rumahnya cukup mewah. Sebelum menempati pulau kosong ini, Ban-tok Kui-bo telah mengumpulkan banyak harta benda sehingga ia mampu mengembangkan pulau itu dan kini anak buahnya bekerja sebagai nelayan dan juga ada yang bertani di pulau itu.

Ban-tok Kui-bo tinggal di rumah induk bersama seorang gadis yang menjadi murid utamanya. Berbeda dengan para anak buah yang hanya menerima pelajaran silat sekadarnya ditambah pengertian tentang penggunaan racun, gadis ini hampir mewarisi seluruh ilmu kepandaian Ban-tok Kui-bo. Mereka berdua tinggal di rumah induk, dilayani oleh beberapa orang pelayan.

Ban-tok Kui-bo berusia sekitar empatpuluh lima tahun. Ia memiliki tubuh yang langsing padat seperti tubuh seorang gadis remaja. Hal ini adalah karena ia memang belum pernah menikah dan selalu berlatih ilmu silat tinggi. Kulitnya putih bersih dan wajahnya sebetulnya cantik, akan tetapi kecantikannya itu menjadi pudar karena adanya codet (bekas luka) memanjang di pipi kirinya. Wajah yang sebetulnya cantik itu kini tampak aneh dan bahkan menyeramkan.

Dahulu, ketika masih gadis, ia belum diberi julukan Ban-tok Kui-bo. Ketika masih gadis ia bernama Gak Li dan biasa disebut Lili. Ia seorang gadis cantik jelita dan ketika itu belum ada cacat di wajahnya yang cantik. Lili tidak saja cantik, akan tetapi ia juga memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Maka tidak aneh kalau banyak pemuda, terutama para pendekar, tergila-gila kepadanya. Akan tetapi Lili telah menjatuhkan pilihannya kepada seorang pendekar muda bernama Tan Kun Tek.

Mereka berdua terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi, hati Lili menjadi pedih ketika ia mendapat kenyataan bahwa diam-diam Tan Kun Tek telah bertunangan dengan seorang gadis puteri seorang bangsawan. Kehancuran hatinya membuat wataknya berubah. Timbul perasaan bencinya kepada gadis tunangan kekasihnya itu dan pada suatu malam ia mendatangi rumah keluarga gadis itu dengan maksud hendak membunuhnya.

Akan tetapi sebelum ia turun tangan, muncul seorang tosu (pendeta To) yang menghalanginya dan dalam perkelahian yang seru, Lili akhirnya terluka dan kalah. Ia terpaksa melarikan diri, membawa luka goresan panjang di pipi kirinya dan setelah sembuh, luka itu masih membekas menjadi codet memanjang.

Semenjak itu Lili menghilang. Ia merasa malu untuk bertemu dengan Tan Kun Tek walaupun ia tahu bahwa sesungguhnya Tan Kun Tek juga cinta padanya, hanya saja pemuda itu sudah terikat perjodohan dengan gadis lain. Ia merasa rendah diri karena codetnya.

Peristiwa itu sama sekali mengubah watak Lili. Ia memperdalam ilmunya, bahkan tidak segan mempelajari ilmu dari para datuk sesat dan menguasai banyak ilmu sesat, di antaranya ilmu penggunaan racun-racun yang paling jahat sehingga setelah ia muncul di dunia kang-ouw lagi, kekejamannya menggunakan racun membunuh lawan membuat ia diberi julukan Ban-tok Kui-bo!

Lili tidak peduli, bahkan ia tidak pernah lagi menggunakan nama aselinya dan lebih suka dikenal sebagai Ban-tok Kui-bo. Setelah malang-melintang di dunia persilatan, mengalahkan banyak tokoh, ia lalu mengunjungi Hoa-san-pai hendak melampiaskan dendamnya kepada Goat-liang Sanjin, yaitu tosu yang menghalangi ia membunuh gadis tunangan Tan Kun Tek dan yang telah membuat mukanya terluka dan kini meninggalkan bekas codet...!

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 31

31: PANDANGAN GADIS YANG LUAR BIASA!

Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan mulai memeriksa keadaan Goat-liang Sanjin yang masih juga belum sadar. Setelah memeriksa denyut jantung dan keadaan peredaran darahnya, gadis itu menghela napas panjang.

“Bagaimana, Nona?” tanya Thian Huo Tosu dengan gelisah.

“Totiang, luka yang diderita Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin amat parah. Hawa beracun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang itu bukan hanya menggetarkan jantung, akan tetapi juga meracuni darah dan mengacaukan peredaran darah. Mendiang Susiok pernah memberitahu kepadaku tentang beberapa pukulan yang hanya dapat disembuhkan oleh pemukulnya dan Hek-tok Tong-sim-ciang ini salah satu di antaranya. Mungkin aku hanya dapat membantu meringankan penderitaannya saja, akan tetapi untuk dapat menyembuhkannya, aku harus dapat mencari pemukulnya.”

“Kalau begitu tolonglah semampu Nona, pinto sekalian para murid Hoa-san-pai akan berterima kasih sekali.”

Ceng Ceng menoleh kepada Cun Giok. “Giok-ko, maukah engkau menolongku? Aku membutuhkan bantuan sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat dan kukira engkau yang memiliki itu.”

“Tentu saja, Ceng-moi. Aku siap membantumu!” kata Cun Giok dan lima orang tosu itu mengangguk-angguk girang dan juga merasa malu karena tadi mereka mengeroyok dan berniat membunuh pemuda ini yang ternyata cucu murid Pak-kong Lojin yang mereka hormati dan kini pemuda itu masih hendak membantu Ceng Ceng menolong guru mereka!

Ceng Ceng minta kepada Thian Huo Tosu untuk membantu Goat-liang Sanjin yang, masih pingsan agar dapat duduk bersila dan tosu itu bersila di depan Goat-liang Sanjin sambil menahan kedua pundak kakek itu agar dapat duduk dan tidak terguling.

“Tahan saja agar jangan terguling, Totiang, dan jangan menggunakan tenaga dalam karena hal itu akan membahayakan Totiang sendiri,” kata Ceng Ceng. Kemudian ia menyuruh Cun Giok naik ke pembaringan dan duduk bersila di belakangnya sedangkan ia sendiri juga duduk bersila di belakang tubuh Goat-liang Sanjin yang sudah didudukkan dan kedua pundaknya ditahan Thian Huo Tosu dari depan.

“Giok-ko, kau kerahkan tenaga sakti Im yang dingin dan salurkan melalui punggungku untuk membantuku. Kita menggabungkan tenaga Im dan aku akan meneruskan tenaga itu ke dalam tubuh Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin untuk menahan tekanan hawa beracun yang amat panas itu. Pergunakan tenaga sakti sedang-sedang saja dan kurangi atau tambah menurut permintaanku nanti.”

“Baik, Ceng-moi,” kata Cun Giok dengan kagum kini dia melihat kelebihan yang lain lagi pada diri gadis yang dikaguminya itu.

Setelah memusatkan seluruh perhatiannya kepada kakek yang hendak ia obati, Ceng Ceng mulai menotok, menekan dan mengurut di sekitar punggung. Jari-jari tangannya terasa panas sekali seolah-olah hawa dalam tubuh kakek itu melawannya. Namun dengan tenaga sakti Im gabungan dengan Cun Giok, maka ia dapat mengalahkan rasa panas itu.

Sampai tidak kurang dari dua jam ia melakukan pengobatan. Thian Huo Tosu yang hanya menahan kedua pundak gurunya tanpa mengerahkan tenaga dalam, akhirnya terpengaruh juga oleh hawa dingin yang disalurkan Ceng Ceng sehingga dia mulai menggigil kedinginan! Untung baginya sebelum keadaannya lebih parah lagi, Goat-liang Sanjin mengeluh lalu terbatuk-batuk! Kakek itu telah sadar dari pingsannya.

Ceng Ceng menghentikan pengobatannya. Dengan girang Thian Huo Tosu membantu gurunya rebah telentang. Goat-liang Sanjin yang telentang itu membuka matanya dan dia melihat lima orang muridnya berada di dalam kamarnya bersama seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan.

“Di mana penyerang gelap itu?” Goat-liang Sanjin bertanya kepada para muridnya. “Apakah kalian berhasil menangkapnya?”

Lima orang tosu itu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai. “Hukumlah teecu berlima yang tidak berguna, Suhu. Teecu (murid) berlima gagal menangkapnya dan dia melarikan diri.”

Goat-liang Sanjin menghela napas panjang berkali-kali untuk mengurangi rasa nyeri di dadanya, lalu berkata dengan suara lirih. “Kalian tidak salah... orang itu memang lihai sekali...” Ketika dia melihat Cun Giok dan Ceng Ceng, dia melebarkan matanya. “Siapa... siapakah... mereka ini?”

Ceng Ceng makIum bahwa kakek itu telah lupa kepadanya, maka ia cepat berkata, “Lo-cianpwe mungkin sudah lupa kepada saya. Saya adalah murid dari mendiang Susiok Im Yang Yok-sian.”

Kakek itu mencoba bangkit saking kagetnya mendengar ini, akan tetapi Ceng Ceng cepat mencegahnya agar jangan bangkit dulu. “Kau bilang... mendiang...?”

Thian Huo Tosu lalu menerangkan. “Suhu, ketika teecu berlima melihat Suhu terluka parah, teecu segera pergi kepada Im Yang Yok-sian untuk mohon pertolongannya. Akan tetapi ketika teecu berlima tiba di sana, ternyata Beliau sudah tewas, terbunuh orang dengan pukulan yang sama dengan yang melukai Suhu.”

“Siancai...!” Kakek itu tampak lemas dan dia mengerutkan alisnya.

“Suhu, melihat Suhu pingsan selama dua hari, teecu sekalian menjadi bingung. Akan tetapi kemudian datang Nona Ceng Ceng dan ia bersama Pouw-sicu ini telah berhasil membuat Suhu siuman kembali.”

Goat-liang Sanjin kembali membuka matanya yang tadi terpejam, lalu dia memandang kepada Cun Giok. Melihat betapa mata kakek itu memandang penuh pertanyaan, Cun Giok tidak membiarkan kakek itu bicara lagi yang agaknya memeras tenaganya. Dia memberi hormat dan berkata,

“Lo-cianpwe, saya bernama Pouw Cun Giok, cucu murid Sukong Pak-kong Lojin di Ta-pie-san. Sukong pernah bercerita bahwa Lo-cianpwe adalah sahabat baiknya, maka ketika saya lewat di sini, saya ingin berkunjung dan bertemu Lo-cianpwe. Sungguh saya ikut bersedih melihat Lo-cianpwe berada dalam keadaan sakit.”

“Giok-ko dan Ngo-wi Totiang, saya kira lebih baik kalau kita biarkan Lo-cianpwe mengaso dan jangan dulu diajak banyak bicara. Sebaiknya Totiang buatkan bubur cair untuk memulihkan daya tahan tubuhnya.”

Semua orang setuju, apalagi melihat kakek itu mulai memejamkan mata seperti hendak tidur. Thian Bhok yang berwajah lucu bertubuh gemuk pendek itu yang segera membuatkan bubur untuk gurunya. Dia memang terkenal ahli masak dan dia yang menyuapi gurunya makan bubur cair. Mereka bercakap-cakap di ruangan dalam.

“Nona Ceng, bagaimana menurut pendapat Nona? Suhu kini tampak lebih sehat. Apakah Beliau akan dapat sembuh?” tanya Thian Huo Tosu.

Ceng Ceng menghela napas panjang. “Sulit mengatakan bahwa Beliau akan dapat sembuh, Totiang. Usahaku hanya dapat membuat panasnya menurun dan mengurangi rasa nyeri. Akan tetapi racun dari Hek-tok Tong-sim-ciang itu masih ada dan mengancam keselamatannya. Kalau daya tahan tubuhnya kuat, mungkin dia masih akan dapat bertahan selama seratus hari, akan tetapi melihat betapa Lo-cianpwe sudah tua, belum tentu Beliau akan dapat bertahan sampai tiga bulan.”

“Siancai...! Lalu, apakah ada obatnya yang dapat menyembuhkannya?” tanya Thian Kim Tosu yang tampan.

Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. “Seperti telah kukatakan tadi, pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang ini hanya dapat disembuhkan oleh orang yang memiliki ilmu itu.”

“Jadi kalau kami ingin melihat Suhu sembuh, kami harus dapat menemukan dan menangkap pembunuh itu?”

“Kiranya hanya begitulah, Totiang. Aku akan pergi mencarinya dan minta pertanggungan jawabnya, baik untuk pembunuhan yang dia lakukan terhadap Susiok Im Yang Yok-sian maupun untuk penyerangan yang dilakukan terhadap guru kalian.”

“Akan tetapi ini kewajiban kami, Nona Ceng Ceng! Kami yang akan mencarinya!” kata Thian Tho si muka hitam. Empat orang tosu yang lain membenarkan.

“Hemm, tahukah kalian siapa pembunuh itu dan dimana dapat menemukan dia.”

Lima orang tosu itu saling pandang dan mengangkat pundak.

“Nah, kalau kalian tidak tahu siapa dia dan di mana dia berada, bagaimana kalian akan dapat menemukannya?”

“Baiklah, Nona. Kami mengaku bodoh dan tidak mampu mencarinya. Akan tetapi apakah Nona mengetahuinya dan bagaimana kalau kami membantumu?” tanya Thian Huo Tosu.

“Aku belum yakin betul. Akan tetapi akan kucari dia sampai dapat. Mudah-mudahan sebelum seratus hari aku sudah bisa mendapatkan obat untuk guru kalian. Ingat, orang itu telah membunuh Susiok Im Yang Yok-sian. Aku harus menemukannya!”

Ceng Ceng dan Cun Giok lalu meninggalkan Hoa-san-pai dan mereka berdua kembali ke tempat tinggal mendiang Im Yang Yok-sian untuk melakukan upacara pemakaman jenazah Im Yang Yok-sian. Setelah pemakaman selesai, pada keesokan harinya Ceng Ceng dan Cun Giok meninggalkan Bukit Hoa-san. Setibanya di kaki bukit, Ceng Ceng berhenti.

“Giok-ko, di sini kita harus berpisah. Aku akan pergi mencari pembunuh Susiok Im Yang Yok-sian dan juga mencarikan obat untuk Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin.”

“Ceng-moi, melihat susiokmu dibunuh orang tanpa alasan dan ketua Hoa-san-pai dilukai berat, aku merasa berkewajiban untuk membantumu mencari pembunuh itu! Aku akan merasa bersalah dan tidak mengenal budi kalau sekarang aku tidak membantumu, Ceng-moi.”

Ceng Ceng merasa suka kepada pemuda ini. Setelah melakukan perjalanan jauh dan ketika menghadapi musuh gerombolan penjahat, pemuda ini telah memperlihatkan kegagahannya. Juga sikapnya sopan dan bijaksana sehingga ia sama sekali tidak merasa canggung melakukan perjalanan berdua dengannya. Mendengar pernyataan Cun Giok yang hendak membantunya, sebenarnya hatinya merasa girang sekali.

“Ah, Giok-ko. Aku hanya akan membuat engkau repot saja, padahal urusan ini tidak ada hubungannya denganmu.”

“Tentu saja ada hubungannya, Ceng-moi. Andaikata yang dibunuh secara pengecut dan kejam itu bukan susiokmu, apakah kiranya engkau dan aku akan tinggal diam dan tidak mencari pembunuh laknat itu? Nah, kalau engkau ingin mencari pembunuh itu dan mencarikan obat guna menyembuhkan Goat-liang Sanjin, tentu saja aku juga mau membantu. Ketua Hoa-san-pai itu adalah sahabat baik kakek guruku. Beliau akan senang kalau mendengar aku membantu pencarian obat untuk kakek yang terancam maut itu.”

Akhirnya Ceng Ceng tersenyum. “Apakah tidak akan mengganggu perjalananmu, Giok-ko?”

“Aku tidak mempunyai urusan pribadi apa pun. Engkau sudah tahu bahwa aku hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal. Bagaimana dapat terganggu?”

“Baiklah kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan.”

“Nanti dulu, Ceng-moi. Aku ingin sekali mengetahui, apakah engkau sudah tahu siapa yang melakukan pembunuhan terhadap susiokmu dan ketua Hoa-san-pai itu?” Ceng Ceng menggelengkan kepala. “Kalau begitu, ke mana kita akan mencarinya?”

“Giok-ko, Susiok Im Yang Yok-sian pernah bercerita kepadaku tentang ilmu pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang itu. Menurut Beliau, yang menguasai ilmu-ilmu pukulan berbisa yang amat hebat, termasuk Hek-tok Tong-sim-ciang adalah seorang datuk sesat yang amat terkenal puluhan tahun yang lalu. Nama julukannya adalah Ban-tok Kui-bo (Biang Iblis Selaksa Racun) dan datuk wanita itu menjadi Majikan Pulau Ular di Lautan Po-hai. Aku yakin bahwa andaikata pembunuh Susiok Im Yang Yok-sian bukan datuk itu, ia pasti memiliki obat penawar hawa beracun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang. Yang terpenting adalah mencarikan obat untuk ketua Hoa-san-pai, setelah itu barulah aku akan mencari pembunuh paman guruku.”

“Memang, pembunuh Lo-cianpwe Im Yang Yok-sian itu kejam sekali. Sudah sewajarnya kalau engkau hendak membalas dendam, Ceng-moi.” Akan tetapi pemuda itu merasa heran melihat Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.

“Tidak, Giok-ko, bukan membalas dendam kematian paman guruku. Balas dendam hanya akan memperpanjang mata rantai Karma sehingga akan terjadi balas membalas yang tidak pernah ada akhirnya. Kalau aku mencari pembunuh itu untuk membalas dendam dan aku berhasil membunuhnya karena dendam, tentu akan menimbulkan dendam pada pihaknya. Entah anggauta keluarganya atau muridnya akan membalas dendam kepadaku, dan mungkin kalau aku terbunuh, orang yang dekat denganku akan menaruh dendam pula. Demikian seterusnya, rantai Karma itu takkan pernah putus. Dendam kebencian, balas membalas kini sudah menjadi watak manusia di dunia. Apakah engkau tidak melihat betapa salahnya hal itu?”

Cun Giok tertegun. Baru sekarang dia mendengar ada orang mencela balas dendam dan mengatakan bahwa hal itu salah. Dia teringat akan diri sendiri. Dia membalas dendam atas kematian orang tuanya dan berhasil membunuh Panglima Kong Tek Kok, dan kini dia teringat kepada Kong Sek, murid Bu-tek Sin-liong Cu Liong itu. Kakak seperguruan Cu Ai Yin! Tentu Kong Sek juga mendendam kepadanya dan hendak membalaskan kematian ayahnya! Dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan Ceng Ceng tadi.

“Akan tetapi, kalau engkau tidak ingin membalas dendam atas kematian paman gurumu yang dibunuh orang, lalu untuk apa engkau hendak mencari pembunuh itu, Ceng-moi?”

“Aku memang akan mencari pembunuh itu, Giok-ko, bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk bertanya mengapa dia membunuh Susiok dan untuk melihat apakah dia orang yang suka melakukan kejahatan. Yang kutentang bukan orangnya, yang aku benci bukan orangnya, melainkan kejahatan. Aku menentang kejahatan, tidak peduli dilakukan oleh siapapun juga. Kejahatan harus ditentang dan dihentikan kalau kita menghendaki kehidupan ini aman tenteram dan untuk itulah kita belajar ilmu silat, bukan? Dengan demikian sedikit banyak kita sudah ikut menyejahterakan kehidupan di dunia.”

Cun Giok mendengarkan dengan heran dan kagum. Gadis yang luar biasa! Maka tanpa ragu lagi dia mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat dan berkata,

“Ceng-moi, engkau hebat! Aku kagum sekali kepadamu. Engkau memiliki kesempatan banyak untuk menjadi Dewi Kebajikan! Engkau dapat menentang kejahatan dengan ilmu silatmu dan engkau juga dapat menolong orang memerangi penyakit dengan ilmu pengobatanmu!”

“Aih, jangan terlalu memuji, Giok-ko. Pujian bahkan dapat menjerumuskan orang ke dalam jurang kesombongan. Setiap orang hidup dituntut untuk dapat bermanfaat bagi manusia dan dunia, dengan bakat, kemampuan, dan kepandaian masing-masing sehingga tidak sia-sialah hidup sebagai manusia di dunia ini. Ah, sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan ini!”

Mereka melanjutkan perjalanan, mempergunakan ilmu berlari cepat dengan tujuan ke timur, ke arah Lautan Po-hai di sebelah timur daratan Cina.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Siapakah Ban-tok Kui-bo (Biang Iblis Selaksa Racun) yang disebut oleh Ceng Ceng dan kini hendak dicari Ceng Ceng bersama Cun Giok itu?

Ban-tok Kui-bo tinggal di sebuah pulau kecil di Lautan Po-hai, sebuah pulau yang dinamakan Coa-to (Pulau Ular) karena memang dahulu pulau itu merupakan hutan lebat yang dihuni ratusan, bahkan ribuan ekor ular dari segala jenis yang beracun. Akan tetapi setelah Ban-tok Kui-bo tinggal di situ, ular-ular itu telah ditundukkannya dan bahkan menjadi peliharaannya karena wanita itu memang antara lain memiliki ilmu pawang ular.

Kini Kui-bo tinggal di pulau itu dan ia menguasai pulau kosong itu sebagai miliknya. Ia menjadi majikan pulau itu dan kini pulau yang menjadi perkampungan itu dihuni Si Biang Iblis bersama kurang lebih limapuluh keluarga yang jumlahnya sekitar seratus limapuluh orang. Para kepala keluarga itu menjadi anak buah Pulau Ular dan menerima pelajaran ilmu silat dari Ban-tok Kui-bo.

Rumah-rumah didirikan dan sebagai tempat tinggal Kui-bo, dibangun rumah yang cukup besar dan perabotan rumahnya cukup mewah. Sebelum menempati pulau kosong ini, Ban-tok Kui-bo telah mengumpulkan banyak harta benda sehingga ia mampu mengembangkan pulau itu dan kini anak buahnya bekerja sebagai nelayan dan juga ada yang bertani di pulau itu.

Ban-tok Kui-bo tinggal di rumah induk bersama seorang gadis yang menjadi murid utamanya. Berbeda dengan para anak buah yang hanya menerima pelajaran silat sekadarnya ditambah pengertian tentang penggunaan racun, gadis ini hampir mewarisi seluruh ilmu kepandaian Ban-tok Kui-bo. Mereka berdua tinggal di rumah induk, dilayani oleh beberapa orang pelayan.

Ban-tok Kui-bo berusia sekitar empatpuluh lima tahun. Ia memiliki tubuh yang langsing padat seperti tubuh seorang gadis remaja. Hal ini adalah karena ia memang belum pernah menikah dan selalu berlatih ilmu silat tinggi. Kulitnya putih bersih dan wajahnya sebetulnya cantik, akan tetapi kecantikannya itu menjadi pudar karena adanya codet (bekas luka) memanjang di pipi kirinya. Wajah yang sebetulnya cantik itu kini tampak aneh dan bahkan menyeramkan.

Dahulu, ketika masih gadis, ia belum diberi julukan Ban-tok Kui-bo. Ketika masih gadis ia bernama Gak Li dan biasa disebut Lili. Ia seorang gadis cantik jelita dan ketika itu belum ada cacat di wajahnya yang cantik. Lili tidak saja cantik, akan tetapi ia juga memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Maka tidak aneh kalau banyak pemuda, terutama para pendekar, tergila-gila kepadanya. Akan tetapi Lili telah menjatuhkan pilihannya kepada seorang pendekar muda bernama Tan Kun Tek.

Mereka berdua terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi, hati Lili menjadi pedih ketika ia mendapat kenyataan bahwa diam-diam Tan Kun Tek telah bertunangan dengan seorang gadis puteri seorang bangsawan. Kehancuran hatinya membuat wataknya berubah. Timbul perasaan bencinya kepada gadis tunangan kekasihnya itu dan pada suatu malam ia mendatangi rumah keluarga gadis itu dengan maksud hendak membunuhnya.

Akan tetapi sebelum ia turun tangan, muncul seorang tosu (pendeta To) yang menghalanginya dan dalam perkelahian yang seru, Lili akhirnya terluka dan kalah. Ia terpaksa melarikan diri, membawa luka goresan panjang di pipi kirinya dan setelah sembuh, luka itu masih membekas menjadi codet memanjang.

Semenjak itu Lili menghilang. Ia merasa malu untuk bertemu dengan Tan Kun Tek walaupun ia tahu bahwa sesungguhnya Tan Kun Tek juga cinta padanya, hanya saja pemuda itu sudah terikat perjodohan dengan gadis lain. Ia merasa rendah diri karena codetnya.

Peristiwa itu sama sekali mengubah watak Lili. Ia memperdalam ilmunya, bahkan tidak segan mempelajari ilmu dari para datuk sesat dan menguasai banyak ilmu sesat, di antaranya ilmu penggunaan racun-racun yang paling jahat sehingga setelah ia muncul di dunia kang-ouw lagi, kekejamannya menggunakan racun membunuh lawan membuat ia diberi julukan Ban-tok Kui-bo!

Lili tidak peduli, bahkan ia tidak pernah lagi menggunakan nama aselinya dan lebih suka dikenal sebagai Ban-tok Kui-bo. Setelah malang-melintang di dunia persilatan, mengalahkan banyak tokoh, ia lalu mengunjungi Hoa-san-pai hendak melampiaskan dendamnya kepada Goat-liang Sanjin, yaitu tosu yang menghalangi ia membunuh gadis tunangan Tan Kun Tek dan yang telah membuat mukanya terluka dan kini meninggalkan bekas codet...!