Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

27: HAJARAN BAGI KONGCU BERGAJUL

“Apakah kalian ini yang bernama Kim-kongcu dan Kui-kongcu?”

Seperti berebut, dua orang pemuda itu segera memperkenalkan diri masing-masing.

“Aku Kim Magu, putera Panglima Besar yang mengepalai seluruh pasukan di Propinsi Shan-tung!”

“Aku Kui Con. Ayahku adalah Kepala Kantor Pengadilan di Cin-yang!”

“Hemm, kalian yang mengutus Perwira Lai Koan merampas isteri Chao Kung dan adiknya?”

Dua orang pemuda itu terkejut. Mereka tadi sudah mendengar betapa Perwira Lai gagal membawa dua orang wanita keluarga Chao Kung itu karena diserang oleh seorang pemberontak wanita. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau gadis yang lemah lembut ini yang telah menghajar pasukan yang dipimpin Perwira Lai.

Mereka berdua makan minum di Rumah Pelesir Bunga Merah untuk menghibur diri karena kegagalan itu. Kim-kongcu yang memiliki ilmu silat cukup lumayan, sama sekali tidak takut terhadap seorang gadis muda yang cantik jelita dan lemah lembut ini.

“Ha-ha-hal Aku gagal mendapatkan Nona Siok Eng juga tidak mengapa asalkan mendapatkan gantinya seperti engkau, Nona manis!” kata Kim-kongcu dan dia sudah bangkit berdiri bersama Kui-kongcu.

Setelah yakin bahwa dua orang pemuda ini yang dicarinya, Ceng Ceng berkata, “Bagus, memang kalian berdua yang kucari!” Kakinya mencuat menendang meja hidangan itu.

Kui Con dan empat orang gadis penghibur menjerit karena mereka berlima tertimpa hidangan yang tadinya memenuhi meja, bahkan Kui-kongcu tertimpa meja sehingga mukanya membiru dan lengannya yang mencoba menangkis meja patah tulangnya. Empat orang gadis penghibur itu menjerit dan berlarian lalu berkumpul di sudut ruangan itu saling rangkul sambil menangis.

Ketika meja tertendang, hanya Kim Magu atau Kim-kongcu yang dapat menghindarkan diri. Dia cepat melompat ke samping, kemudian dengan marah dia mencabut goloknya dan menyerang Ceng Ceng dengan ganas.

Akan tetapi, kalau Perwira Lai Koan dan dua losin perajuritnya saja tidak mampu menandingi Ceng Ceng, apalagi Kim Magu yang tingkat kepandaiannya belum begitu tinggi ditambah lagi dia malas berlatih dan hanya memperbanyak pelesir, maka tentu saja berhadapan dengan Ceng Ceng, dia bukan merupakan lawan yang seimbang.

Ketika goloknya membacok, dengan sedikit menggeser kakinya saja Ceng Ceng sudah dapat menghindarkan diri dan ketika golok itu menyambar lewat, jari tangan Ceng Ceng menotok dan tubuh Kim Magu roboh terkulai dan tidak mampu bergerak lagi!

Melihat kedua orang muda itu tak mampu bergerak lagi, Kim-kongcu tertotok dan Kui-kongcu tertimpa meja, Ceng Ceng lalu menyeret tubuh mereka dengan mencengkeram rambut mereka keluar rumah itu. Para gadis penghibur dan pengurus rumah hiburan itu sudah sejak tadi lari mengungsi ke tempat lain.

Ceng Ceng mengambil tali yang terdapat di ruangan depan, lalu membawa keluar. Akan tetapi ketika ia menyeret tubuh dua orang pemuda bangsawan itu tiba di pintu depan, lima orang penjaga yang bertugas sebagai tukang pukul, menerjang dan mengeroyoknya!

Ceng Ceng melepaskan dua orang pemuda itu untuk menghadapi mereka. Dengan lincahnya ia bergerak dan sebentar saja, lima orang tukang pukul itu sudah roboh tak mampu bergerak karena tertotok jalan darah mereka oleh gadis yang amat lihai ini. Setelah merobohkan lima orang tukang pukul, Ceng Ceng menyeret lagi Kim-kongcu dan Kui-kongcu sampai tiba tepi jalan umum depan rumah pelesir itu.

Dengan cekatan ia lalu mengikat kedua kaki mereka dan menggantungkan tubuh mereka pada cabang pohon yang tumbuh di situ. Dua orang muda itu tergantung dengan kepala di bawah, mirip dua ekor kelelawar!

Setelah selesai menggantung dua orang pemuda itu, Ceng Ceng berkelebat masuk rumah pelesir, menemukan alat tulis dan menulis di atas kain sutera putih yang dirobeknya dari tirai kamar. Ceng Ceng menuliskan huruf-huruf besar yang indah di atas kain putih itu. Dua pemuda ini mengandalkan kekuasaan ayah mereka untuk memaksa dan memperkosa wanita. Ayah mereka tidak mampu mendidik anak ini!

Setelah selesai menulis, Ceng Ceng membawa kain itu keluar dan menggantungnya di cabang pohon, di antara tubuh kedua orang pemuda itu. Setelah melakukan ini, ia segera meninggalkan kota Cin-yang malam itu juga. Tentu saja kota Cin-yang menjadi gempar. Berbondong-bondong penduduk datang untuk menonton dua orang pemuda yang digantung dengan kepala di bawah pada pohon itu dan mereka yang membawa obor menerangi tempat itu.

Mereka juga membaca tulisan itu dan ramailah orang-orang membicarakannya. Tidak seorang pun berani atau mau menolong Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Takut terhadap gadis yang menghukum dua orang itu dan juga tidak mau karena mereka semua membenci dua orang pemuda hidung belang yang suka mengganggu wanita cantik. Karena mereka yang melihat Ceng Ceng hanya melihat bayangan putih berkelebat, maka orang-orang menjulukinya Pek-eng Sianli (Bidadari Bayangan Putih)!

Dapat dibayangkan betapa marahnya Kim Bayan dan Kui Hok mendengar bahwa putera mereka digantung. Cepat mereka membawa pasukan untuk menolong putera mereka. Dengan galak mereka membubarkan penduduk yang menonton dan membawa putera mereka pulang.

Kim Bayan yang menjadi panglima, tentu saja merasa malu sekali. Dia memarahi Kim Magu habis-habisan, akan tetapi juga marah kepada gadis yang menghina puteranya. Dia mengerahkan para pembantunya yang lihai untuk mencari gadis berpakaian putih itu. Juga Kui Hok menjadi marah kepada puteranya.

Dia hanya mengharapkan Kim Thai-ciangkun berhasil menangkap penjahat wanita berpakaian putih yang telah memberontak itu. Dia sudah mendengar bahwa wanita itu juga yang telah memukul roboh Perwira Lai Koan dan dua losin orang pengawalnya. Kota Cin-yang geger dengan adanya peristiwa itu akan tetapi sebagian besar dari mereka merasa bersyukur, apalagi mereka yang merasa mempunyai isteri atau anak gadis yang cantik.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim Thai-ciangkun dan Kui-thaijin menerima undangan dari Kepala Daerah Cin-yang, yaitu Pembesar Yo Bun San. Bagi Cin-yang, kedudukan Yo-thaijin ini yang paling tinggi. Dia yang berwenang mengatur kota Cin-yang sehingga biarpun Panglima Kim merupakan komandan seluruh pasukan di wilayah Shan-tung, namun di Cin-yang dia harus tunduk kepada Kepala Daerah.

Setelah mereka berdua datang, Yo-thaijin menyambut mereka dan mereka bertiga membicarakan urusan menggemparkan yang terjadi kemarin dan malam tadi. Yo-thaijin menceritakan kepada mereka berdua tentang Keluarga Chao Kung yang diganggu oleh Perwira Lai atas perintah Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Dia menceritakan betapa gadis berpakaian putih menolong keluarga terdiri dari empat orang itu dan membawa mereka kepadanya untuk minta perlindungan.

“Semua keributan itu timbul karena perbuatan Kim-kongcu dan Kui-kongcu sendiri!” demikian Yo Bun San mengakhiri keterangannya. “Dan yang melakukan perlawanan adalah gadis berpakaian putih yang tidak kami ketahui namanya itu. Keluarga Chao Kung sama sekali tidak bersalah. Oleh karena itu, kalau Kim-ciangkun dan Kui-thaijin hendak membalas dendam, carilah gadis berpakaian putih itu. Kami harap Ji-wi (Anda Berdua) tidak memusuhi keluarga Chao Kung yang sama sekali tidak mengenal gadis penolong mereka itu, sama sekali tidak bersalah, bahkan menjadi korban Perwira Lai yang mengumpulkan tenaga kerja secara sewenang-wenang.”

“Hemm, keluarga Chao memang tidak bersalah. Akan tetapi gadis pemberontak itu harus ditangkap dan dihukum mati! Saya telah mengerahkan para pembantu saya untuk mencari, mengejar dan menangkapnya!” kata Panglima Kim Bayan sambil mengepal tinju.

“Ah, yang menjadi gara-gara adalah Lai-ciangkun itu! Dia yang melakukan pemerasan! Dia yang merampas dua orang dari keluarga Chao itu! Kenapa putera-putera kami yang disalahkan?”

“Saya akan melaporkan ke kota raja dan Perwira Lai akan saya tangkap karena dia melakukan penyelewengan. Sayang selama ini tidak ada penduduk yang berani melapor sehingga kami tidak mengetahui akan perbuatannya. Akan tetapi, saya harap Kim Thai-ciangkun dan Kui-thaijin menegur agar putera ji-wi tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan nama ji-wi sendiri. Dan sekali lagi, kami akan menyuruh keluarga Chao Kung kembali ke rumah mereka dan kami harap jangan ada yang mengganggu mereka karena mereka sama sekali tidak bersalah. Mereka hanya menjadi korban dan ditolong oleh gadis pakaian putih itu. Gadis itulah yang harus disalahkan bukan keluarga Chao Kung.”

Pertemuan itu selesai dan pada hari itu juga, Perwira Lai Koan ditangkap dan dipenjara, menanti keputusan dari kota raja. Sebagai penggantinya, ditunjuk seorang perwira lain yang dipesan agar pemilihan tenaga kerja dilakukan sebagaimana mestinya, yaitu hanya mengambil seorang laki-laki saja dari sebuah keluarga, dan laki-laki itu pun mendapat upah sebagaimana mestinya seperti yang ditentukan pemerintah kerajaan.

Adapun Chao Kung sekeluarga boleh kembali ke rumah mereka dengan jaminan bahwa mereka tidak akan diganggu oleh para pejabat di Cin-yang. Tentu saja diam-diam Chao Kung, Siok Kan, Siok Hwa, dan Siok Eng berterima kasih sekali kepada Liu Ceng yang telah menyelamatkan mereka. Dengan rahasia mereka bersembahyang untuk keselamatan nona penolong itu, tidak berani terang-terangan karena mereka tahu bahwa gadis itu dianggap pemberontak dan menjadi buronan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pemuda itu berjalan santai menuju ke utara, ke kota raja. Pakaiannya sederhana dan wajahnya yang tampan dengan sinar mata lembut itu tampak muram. Pemuda berusia sekitar duapuluh dua tahun ini adalah Pouw Cun Giok yang dijuluki Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan).

Semenjak kematian Lu Siang Ni, adik misannya, Cun Giok merasa sedih dan batinnya tertekan. Dia pun tidak menggunakan marga Suma lagi karena Suma adalah marga gurunya yang sudah meninggal dunia. Dia keturunan marga Pouw, hanya satu-satunya dialah keturunan keluarga Pouw yang besar. Maka sejak kematian Siang Ni, dia menggunakan she (marga) Pouw.

Kini dia melangkah perlahan sambil melamun, terbenam ke dalam duka. Belum juga kesedihannya menipis karena kematian adik misannya, Lu Siang Ni secara amat menyedihkan itu, dia bertemu dengan Cu Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-liong Cu Liong Majikan Bukit Merak dan timbul pula keributan karena kehadirannya!

Ai Yin adalah seorang gadis yang amat baik, selain cantik jelita juga lihai ilmu silatnya. Gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, bahkan membelanya sampai berselisih dengan kakak seperguruan dan dengan ayahnya sendiri sehingga akhirrya gadis itu terpaksa pergi meninggalkan Bukit Merak! Kembali dia yang menjadi gara-gara sehingga Ai Yin bertentangan dengan ayahnya dan suhengnya sendiri!

Cun Giok merasa demikian sedih sehingga tubuhnya terasa lemas dan lelah. Melihat sebatang pohon besar yang rindang, dia segera menghentikan perjalanannya, duduk di bawah pohon itu yang melindungi dirinya dari sinar matahari yang mulai panas. Makin dalam pikirannya tenggelam. kepada masa lalu, mengenangkan keadaan dirinya sejak kecil, dia merasa semakin tertekan perasaan sedih.

Ayah kandungnya tewas terbunuh ketika dia belum lahir dan ibunya meninggal dunia ketika dia terlahir. Dia yatim piatu, tidak pernah melihat ayah ibunya. Kemudian, gurunya, Suma Tiang Bun, menjadi pengganti orang tuanya, akan tetapi gurunya itu kini pun telah tiada, juga terbunuh oleh pembunuh ayah kandungnya dulu. Oleh Panglima Kong Tek Kok, musuh besarnya yang telah dapat terbunuh oleh dia dan mendiang Lu Siang Ni, adik misannya.

Akan tetapi Siang Ni membunuh diri. Ibu Siang Ni, yaitu bibi¬nya, juga telah meninggal dunia. Dia telah kehilangan semua orang itu, semua anggauta keluarganya, dan dia hidup sebatang kara, tiada sanak keluarga, tiada teman, tiada tempat tinggal! Ke mana dia harus pergi? Bahkan gurunya yang menjadi pengganti orang tuanya telah tiada.

Satu-satunya orang yang dekat dengan dia hanyalah Pak-kong Lojin, sukongnya (kakek gurunya) yang juga kini dapat disebut menjadi gurunya karena dia telah menerima gemblengan dari Pak-kong Lojin yang hidup sebagai seorang petani miskin di Ta-pie-san. Akan tetapi kakek gurunya ini telah tua sekali, usianya sudah delapanpuluh lima tahun dan ingin hidup menyendiri di tempat sunyi itu.

Ketika tangannya hendak mengambil saputangan dalam saku bajunya untuk menghapus keringatnya, tiba-tiba jari tangannya menyentuh benda keras. Dikeluarkannya benda itu yang ternyata adalah sebuah tusuk sanggul terbuat dari perak dan membentuk sebatang pohon yang-liu (cemara). Tusuk konde pemberian Siok Eng sebagai tanda ikatan perjodohan!

Terbayanglah wajah Siok Eng dalam benaknya. Gadis yang manis, puteri Paman Siok Kan yang telah ditunangkan kepadanya. Mengapa selama ini dia tidak pernah ingat kepada Siok Eng? Harus diakuinya bahwa dia mau dijadikan calon suami Siok Eng karena itu sangat dikehendaki mendiang suhunya, Suma Tiang Bun. Dia tidak mau mengecewakan suhunya. Dan memang dia merasa suka kepada Siok Eng yang manis. Akan tetapi mengapa dia tidak pernah teringat kepadanya?

Dia meragu apakah dia mencinta gadis tunangannya itu! Bahkan setelah dia bertemu dengan adik misannya, Lu Siang Ni yang telah tewas, kemudian bertemu dengan Cu Ai Yin, melihat gadis-gadis cantik itu memiliki ilmu silat yang amat lihai, dia merasakan kekurangan pada diri Siok Eng. Siok Eng gadis yang lemah!

Adakah cinta di hatinya terhadap Siok Eng yang telah menjadi calon isterinya? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas, dia telah diikat tali perjodohan dengan gadis itu dan bukan sikap seorang jantan kalau mengingkari ikatan itu dan melanggar janji! Tidak, dia tidak akan melanggar janji! Akan tetapi dia merasa malu kalau harus berkunjung kepada tunangannya di Cin-yang itu.

Dia kini seorang pemuda yang tiada keluarga, tiada tempat tinggl, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak berpenghasilan. Bagaimana mungkin dia berkunjung dalam keadaan begini? Kalau sudah menikah dengan Siok Eng, apa yang dapat diberikan kepada isterinya? Rumah pun dia tidak punya!

Sering dia mendengar orang-orang berkata dengan wajah serius bahwa modal orang menikah dan membangun rumah tangga adalah cinta! Dulu dia sendiri membenarkan pendapat ini, akan tetapi setelah dia banyak merantau dan banyak melihat betapa rumah tangga yang dibangun bermodalkan cinta saja menjadi berantakan karena tidak dipenuhinya syarat-syarat lain kecuali cinta. Dia melihat betapa cinta merupakan batang pohon dan sebuah pohon baru dapat hidup sempuma kalau ada cabang, ranting, daun, bunga dan buahnya. Kalau hanya ada batangnya saja pohon itu akan mati juga pada akhimya.

Membentuk rumah tangga membutuhkan pertama memang cinta kedua pihak, akan tetapi bukan hanya itu. Ada pula syarat lain yang juga amat penting seperti sumber nafkah karena kalau perut kelaparan mana dapat mencinta? Hidup pun terancam kematian! Sumber nafkah, tempat tinggal, segala kebutuhan hidup di luar makan, hubungan antara anggauta keluarga, kecocokan watak dan selera, kesabaran, dan masih banyak lagi. Tanpa syarat-syarat lain itu, kalau hanya ada cinta saja, kehidupan rumah tangga tidak akan berjalan mulus.

Betapa banyaknya pasangan yang sebelum menikah bersumpah disaksikan bumi dan langit bahwa mereka saling mencinta sampai mati, baru menjadi suami isteri beberapa lamanya saja sudah bercerai dan saling membenci! Cinta mereka berubah menjadi benci yang demikian mendalam sehingga mereka tidak peduli akan nasib anak-anak mereka setelah terjadi perceraian!


Cun Giok membiarkan pikirannya melayang-layang, melamun tidak karuan. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh derap kaki kuda dan melihat serombongan orang berkuda datang dari arah selatan. Ketika dia melihat bahwa rombongan itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian perwira, Cun Giok cepat menyembunyikan diri dengan melompat ke atas dan terlindung daun-daun yang lebat.

Rombongan itu terdiri dari enam orang, semua berpakaian perwira yang gagah, dengan pedang tergantung di pinggang masing-masing. Mereka berhenti di bawah sebatang pohon yang tak begitu jauh dari tempat Cun Giok bersembunyi. Karena ingin mengetahui apa yang dilakukan rombongan itu, yang mungkin juga mencarinya sehubungan dengan bentrokan antara dia dan Kong Sek putera mendiang Panglima Kong Tek Kok itu.

Maka Cun Giok lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, melayang atau melompat dari pohon ke pohon lain tanpa menimbulkan suara berisik seperti seekor burung saja. Akhirnya dia berada di pohon besar, di atas enam orang yang menghentikan kuda mereka itu. Cun Giok mendengarkan percakapan mereka.

“Benarkah gadis pemberontak yang lihai itu telah tertangkap?” tanya seorang perwira tinggi kurus setengah tua kepada rekannya yang masih muda.

“Benar, Kim Thai-ciangkun sendiri yang turun tangan dan dibantu oleh belasan orang perwira, baru dia dapat menangkap perempuan itu! Kini ia ditawan di kelenteng tua di bukit depan itu, dijaga oleh para perwira pembantu. Kim Thai-ciangkun menanti anak buahnya mengambil sebuah kereta kerangkeng untuk membawanya ke Cin-yang di mana ia akan diadili dan dihukum!”

Maaf! Ada halaman yang hilang!

...tua. Maka kini dia cepat melompat menjauhi rombongan itu dan mempergunakan ilmunya berlari cepat, mendahului mereka menuju ke bukit itu. Di lereng bukit itu Cun Giok melihat sebuah kuil tua dan di luar kuil terdapat belasan orang pengawal yang melihat pakaiannya bukan perajurit-perajurit biasa.

Mereka adalah perwira-perwira pembantu Panglima Kim Bayan dan rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh. Lima orang perwira menjaga di depan kuil, lima lagi menjaga di belakang, dan di kanan dan kiri kuil masing-masing terdapat tiga orang perwira. Semua ada enambelas orang. Cun Giok dapat menduga bahwa mereka bukan perajurit sembarangan. Akan tetapi, bagaimana besar pun bahayanya, dia harus menyelamatkan Ai Yin.

Andaikata yang ditawan itu orang lain, kalau orang itu tidak bersalah, dia pun siap untuk menolongnya. Apalagi yang ditawan adalah Cu Ai Yin, gadis yang telah tiga kali menyelamatkan nyawanya. Pertama ketika menolong dia yang roboh pingsan di tepi sungai, kedua kalinya ketika dia diserang ayah gadis itu, dan ketiga ketika dia hendak dibunuh Kong Sek. Tentu dia akan siap menolong dan berani menempuh bahaya yang bagaimanapun besarnya!

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 27

27: HAJARAN BAGI KONGCU BERGAJUL

“Apakah kalian ini yang bernama Kim-kongcu dan Kui-kongcu?”

Seperti berebut, dua orang pemuda itu segera memperkenalkan diri masing-masing.

“Aku Kim Magu, putera Panglima Besar yang mengepalai seluruh pasukan di Propinsi Shan-tung!”

“Aku Kui Con. Ayahku adalah Kepala Kantor Pengadilan di Cin-yang!”

“Hemm, kalian yang mengutus Perwira Lai Koan merampas isteri Chao Kung dan adiknya?”

Dua orang pemuda itu terkejut. Mereka tadi sudah mendengar betapa Perwira Lai gagal membawa dua orang wanita keluarga Chao Kung itu karena diserang oleh seorang pemberontak wanita. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau gadis yang lemah lembut ini yang telah menghajar pasukan yang dipimpin Perwira Lai.

Mereka berdua makan minum di Rumah Pelesir Bunga Merah untuk menghibur diri karena kegagalan itu. Kim-kongcu yang memiliki ilmu silat cukup lumayan, sama sekali tidak takut terhadap seorang gadis muda yang cantik jelita dan lemah lembut ini.

“Ha-ha-hal Aku gagal mendapatkan Nona Siok Eng juga tidak mengapa asalkan mendapatkan gantinya seperti engkau, Nona manis!” kata Kim-kongcu dan dia sudah bangkit berdiri bersama Kui-kongcu.

Setelah yakin bahwa dua orang pemuda ini yang dicarinya, Ceng Ceng berkata, “Bagus, memang kalian berdua yang kucari!” Kakinya mencuat menendang meja hidangan itu.

Kui Con dan empat orang gadis penghibur menjerit karena mereka berlima tertimpa hidangan yang tadinya memenuhi meja, bahkan Kui-kongcu tertimpa meja sehingga mukanya membiru dan lengannya yang mencoba menangkis meja patah tulangnya. Empat orang gadis penghibur itu menjerit dan berlarian lalu berkumpul di sudut ruangan itu saling rangkul sambil menangis.

Ketika meja tertendang, hanya Kim Magu atau Kim-kongcu yang dapat menghindarkan diri. Dia cepat melompat ke samping, kemudian dengan marah dia mencabut goloknya dan menyerang Ceng Ceng dengan ganas.

Akan tetapi, kalau Perwira Lai Koan dan dua losin perajuritnya saja tidak mampu menandingi Ceng Ceng, apalagi Kim Magu yang tingkat kepandaiannya belum begitu tinggi ditambah lagi dia malas berlatih dan hanya memperbanyak pelesir, maka tentu saja berhadapan dengan Ceng Ceng, dia bukan merupakan lawan yang seimbang.

Ketika goloknya membacok, dengan sedikit menggeser kakinya saja Ceng Ceng sudah dapat menghindarkan diri dan ketika golok itu menyambar lewat, jari tangan Ceng Ceng menotok dan tubuh Kim Magu roboh terkulai dan tidak mampu bergerak lagi!

Melihat kedua orang muda itu tak mampu bergerak lagi, Kim-kongcu tertotok dan Kui-kongcu tertimpa meja, Ceng Ceng lalu menyeret tubuh mereka dengan mencengkeram rambut mereka keluar rumah itu. Para gadis penghibur dan pengurus rumah hiburan itu sudah sejak tadi lari mengungsi ke tempat lain.

Ceng Ceng mengambil tali yang terdapat di ruangan depan, lalu membawa keluar. Akan tetapi ketika ia menyeret tubuh dua orang pemuda bangsawan itu tiba di pintu depan, lima orang penjaga yang bertugas sebagai tukang pukul, menerjang dan mengeroyoknya!

Ceng Ceng melepaskan dua orang pemuda itu untuk menghadapi mereka. Dengan lincahnya ia bergerak dan sebentar saja, lima orang tukang pukul itu sudah roboh tak mampu bergerak karena tertotok jalan darah mereka oleh gadis yang amat lihai ini. Setelah merobohkan lima orang tukang pukul, Ceng Ceng menyeret lagi Kim-kongcu dan Kui-kongcu sampai tiba tepi jalan umum depan rumah pelesir itu.

Dengan cekatan ia lalu mengikat kedua kaki mereka dan menggantungkan tubuh mereka pada cabang pohon yang tumbuh di situ. Dua orang muda itu tergantung dengan kepala di bawah, mirip dua ekor kelelawar!

Setelah selesai menggantung dua orang pemuda itu, Ceng Ceng berkelebat masuk rumah pelesir, menemukan alat tulis dan menulis di atas kain sutera putih yang dirobeknya dari tirai kamar. Ceng Ceng menuliskan huruf-huruf besar yang indah di atas kain putih itu. Dua pemuda ini mengandalkan kekuasaan ayah mereka untuk memaksa dan memperkosa wanita. Ayah mereka tidak mampu mendidik anak ini!

Setelah selesai menulis, Ceng Ceng membawa kain itu keluar dan menggantungnya di cabang pohon, di antara tubuh kedua orang pemuda itu. Setelah melakukan ini, ia segera meninggalkan kota Cin-yang malam itu juga. Tentu saja kota Cin-yang menjadi gempar. Berbondong-bondong penduduk datang untuk menonton dua orang pemuda yang digantung dengan kepala di bawah pada pohon itu dan mereka yang membawa obor menerangi tempat itu.

Mereka juga membaca tulisan itu dan ramailah orang-orang membicarakannya. Tidak seorang pun berani atau mau menolong Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Takut terhadap gadis yang menghukum dua orang itu dan juga tidak mau karena mereka semua membenci dua orang pemuda hidung belang yang suka mengganggu wanita cantik. Karena mereka yang melihat Ceng Ceng hanya melihat bayangan putih berkelebat, maka orang-orang menjulukinya Pek-eng Sianli (Bidadari Bayangan Putih)!

Dapat dibayangkan betapa marahnya Kim Bayan dan Kui Hok mendengar bahwa putera mereka digantung. Cepat mereka membawa pasukan untuk menolong putera mereka. Dengan galak mereka membubarkan penduduk yang menonton dan membawa putera mereka pulang.

Kim Bayan yang menjadi panglima, tentu saja merasa malu sekali. Dia memarahi Kim Magu habis-habisan, akan tetapi juga marah kepada gadis yang menghina puteranya. Dia mengerahkan para pembantunya yang lihai untuk mencari gadis berpakaian putih itu. Juga Kui Hok menjadi marah kepada puteranya.

Dia hanya mengharapkan Kim Thai-ciangkun berhasil menangkap penjahat wanita berpakaian putih yang telah memberontak itu. Dia sudah mendengar bahwa wanita itu juga yang telah memukul roboh Perwira Lai Koan dan dua losin orang pengawalnya. Kota Cin-yang geger dengan adanya peristiwa itu akan tetapi sebagian besar dari mereka merasa bersyukur, apalagi mereka yang merasa mempunyai isteri atau anak gadis yang cantik.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim Thai-ciangkun dan Kui-thaijin menerima undangan dari Kepala Daerah Cin-yang, yaitu Pembesar Yo Bun San. Bagi Cin-yang, kedudukan Yo-thaijin ini yang paling tinggi. Dia yang berwenang mengatur kota Cin-yang sehingga biarpun Panglima Kim merupakan komandan seluruh pasukan di wilayah Shan-tung, namun di Cin-yang dia harus tunduk kepada Kepala Daerah.

Setelah mereka berdua datang, Yo-thaijin menyambut mereka dan mereka bertiga membicarakan urusan menggemparkan yang terjadi kemarin dan malam tadi. Yo-thaijin menceritakan kepada mereka berdua tentang Keluarga Chao Kung yang diganggu oleh Perwira Lai atas perintah Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Dia menceritakan betapa gadis berpakaian putih menolong keluarga terdiri dari empat orang itu dan membawa mereka kepadanya untuk minta perlindungan.

“Semua keributan itu timbul karena perbuatan Kim-kongcu dan Kui-kongcu sendiri!” demikian Yo Bun San mengakhiri keterangannya. “Dan yang melakukan perlawanan adalah gadis berpakaian putih yang tidak kami ketahui namanya itu. Keluarga Chao Kung sama sekali tidak bersalah. Oleh karena itu, kalau Kim-ciangkun dan Kui-thaijin hendak membalas dendam, carilah gadis berpakaian putih itu. Kami harap Ji-wi (Anda Berdua) tidak memusuhi keluarga Chao Kung yang sama sekali tidak mengenal gadis penolong mereka itu, sama sekali tidak bersalah, bahkan menjadi korban Perwira Lai yang mengumpulkan tenaga kerja secara sewenang-wenang.”

“Hemm, keluarga Chao memang tidak bersalah. Akan tetapi gadis pemberontak itu harus ditangkap dan dihukum mati! Saya telah mengerahkan para pembantu saya untuk mencari, mengejar dan menangkapnya!” kata Panglima Kim Bayan sambil mengepal tinju.

“Ah, yang menjadi gara-gara adalah Lai-ciangkun itu! Dia yang melakukan pemerasan! Dia yang merampas dua orang dari keluarga Chao itu! Kenapa putera-putera kami yang disalahkan?”

“Saya akan melaporkan ke kota raja dan Perwira Lai akan saya tangkap karena dia melakukan penyelewengan. Sayang selama ini tidak ada penduduk yang berani melapor sehingga kami tidak mengetahui akan perbuatannya. Akan tetapi, saya harap Kim Thai-ciangkun dan Kui-thaijin menegur agar putera ji-wi tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan nama ji-wi sendiri. Dan sekali lagi, kami akan menyuruh keluarga Chao Kung kembali ke rumah mereka dan kami harap jangan ada yang mengganggu mereka karena mereka sama sekali tidak bersalah. Mereka hanya menjadi korban dan ditolong oleh gadis pakaian putih itu. Gadis itulah yang harus disalahkan bukan keluarga Chao Kung.”

Pertemuan itu selesai dan pada hari itu juga, Perwira Lai Koan ditangkap dan dipenjara, menanti keputusan dari kota raja. Sebagai penggantinya, ditunjuk seorang perwira lain yang dipesan agar pemilihan tenaga kerja dilakukan sebagaimana mestinya, yaitu hanya mengambil seorang laki-laki saja dari sebuah keluarga, dan laki-laki itu pun mendapat upah sebagaimana mestinya seperti yang ditentukan pemerintah kerajaan.

Adapun Chao Kung sekeluarga boleh kembali ke rumah mereka dengan jaminan bahwa mereka tidak akan diganggu oleh para pejabat di Cin-yang. Tentu saja diam-diam Chao Kung, Siok Kan, Siok Hwa, dan Siok Eng berterima kasih sekali kepada Liu Ceng yang telah menyelamatkan mereka. Dengan rahasia mereka bersembahyang untuk keselamatan nona penolong itu, tidak berani terang-terangan karena mereka tahu bahwa gadis itu dianggap pemberontak dan menjadi buronan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pemuda itu berjalan santai menuju ke utara, ke kota raja. Pakaiannya sederhana dan wajahnya yang tampan dengan sinar mata lembut itu tampak muram. Pemuda berusia sekitar duapuluh dua tahun ini adalah Pouw Cun Giok yang dijuluki Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan).

Semenjak kematian Lu Siang Ni, adik misannya, Cun Giok merasa sedih dan batinnya tertekan. Dia pun tidak menggunakan marga Suma lagi karena Suma adalah marga gurunya yang sudah meninggal dunia. Dia keturunan marga Pouw, hanya satu-satunya dialah keturunan keluarga Pouw yang besar. Maka sejak kematian Siang Ni, dia menggunakan she (marga) Pouw.

Kini dia melangkah perlahan sambil melamun, terbenam ke dalam duka. Belum juga kesedihannya menipis karena kematian adik misannya, Lu Siang Ni secara amat menyedihkan itu, dia bertemu dengan Cu Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-liong Cu Liong Majikan Bukit Merak dan timbul pula keributan karena kehadirannya!

Ai Yin adalah seorang gadis yang amat baik, selain cantik jelita juga lihai ilmu silatnya. Gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, bahkan membelanya sampai berselisih dengan kakak seperguruan dan dengan ayahnya sendiri sehingga akhirrya gadis itu terpaksa pergi meninggalkan Bukit Merak! Kembali dia yang menjadi gara-gara sehingga Ai Yin bertentangan dengan ayahnya dan suhengnya sendiri!

Cun Giok merasa demikian sedih sehingga tubuhnya terasa lemas dan lelah. Melihat sebatang pohon besar yang rindang, dia segera menghentikan perjalanannya, duduk di bawah pohon itu yang melindungi dirinya dari sinar matahari yang mulai panas. Makin dalam pikirannya tenggelam. kepada masa lalu, mengenangkan keadaan dirinya sejak kecil, dia merasa semakin tertekan perasaan sedih.

Ayah kandungnya tewas terbunuh ketika dia belum lahir dan ibunya meninggal dunia ketika dia terlahir. Dia yatim piatu, tidak pernah melihat ayah ibunya. Kemudian, gurunya, Suma Tiang Bun, menjadi pengganti orang tuanya, akan tetapi gurunya itu kini pun telah tiada, juga terbunuh oleh pembunuh ayah kandungnya dulu. Oleh Panglima Kong Tek Kok, musuh besarnya yang telah dapat terbunuh oleh dia dan mendiang Lu Siang Ni, adik misannya.

Akan tetapi Siang Ni membunuh diri. Ibu Siang Ni, yaitu bibi¬nya, juga telah meninggal dunia. Dia telah kehilangan semua orang itu, semua anggauta keluarganya, dan dia hidup sebatang kara, tiada sanak keluarga, tiada teman, tiada tempat tinggal! Ke mana dia harus pergi? Bahkan gurunya yang menjadi pengganti orang tuanya telah tiada.

Satu-satunya orang yang dekat dengan dia hanyalah Pak-kong Lojin, sukongnya (kakek gurunya) yang juga kini dapat disebut menjadi gurunya karena dia telah menerima gemblengan dari Pak-kong Lojin yang hidup sebagai seorang petani miskin di Ta-pie-san. Akan tetapi kakek gurunya ini telah tua sekali, usianya sudah delapanpuluh lima tahun dan ingin hidup menyendiri di tempat sunyi itu.

Ketika tangannya hendak mengambil saputangan dalam saku bajunya untuk menghapus keringatnya, tiba-tiba jari tangannya menyentuh benda keras. Dikeluarkannya benda itu yang ternyata adalah sebuah tusuk sanggul terbuat dari perak dan membentuk sebatang pohon yang-liu (cemara). Tusuk konde pemberian Siok Eng sebagai tanda ikatan perjodohan!

Terbayanglah wajah Siok Eng dalam benaknya. Gadis yang manis, puteri Paman Siok Kan yang telah ditunangkan kepadanya. Mengapa selama ini dia tidak pernah ingat kepada Siok Eng? Harus diakuinya bahwa dia mau dijadikan calon suami Siok Eng karena itu sangat dikehendaki mendiang suhunya, Suma Tiang Bun. Dia tidak mau mengecewakan suhunya. Dan memang dia merasa suka kepada Siok Eng yang manis. Akan tetapi mengapa dia tidak pernah teringat kepadanya?

Dia meragu apakah dia mencinta gadis tunangannya itu! Bahkan setelah dia bertemu dengan adik misannya, Lu Siang Ni yang telah tewas, kemudian bertemu dengan Cu Ai Yin, melihat gadis-gadis cantik itu memiliki ilmu silat yang amat lihai, dia merasakan kekurangan pada diri Siok Eng. Siok Eng gadis yang lemah!

Adakah cinta di hatinya terhadap Siok Eng yang telah menjadi calon isterinya? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas, dia telah diikat tali perjodohan dengan gadis itu dan bukan sikap seorang jantan kalau mengingkari ikatan itu dan melanggar janji! Tidak, dia tidak akan melanggar janji! Akan tetapi dia merasa malu kalau harus berkunjung kepada tunangannya di Cin-yang itu.

Dia kini seorang pemuda yang tiada keluarga, tiada tempat tinggl, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak berpenghasilan. Bagaimana mungkin dia berkunjung dalam keadaan begini? Kalau sudah menikah dengan Siok Eng, apa yang dapat diberikan kepada isterinya? Rumah pun dia tidak punya!

Sering dia mendengar orang-orang berkata dengan wajah serius bahwa modal orang menikah dan membangun rumah tangga adalah cinta! Dulu dia sendiri membenarkan pendapat ini, akan tetapi setelah dia banyak merantau dan banyak melihat betapa rumah tangga yang dibangun bermodalkan cinta saja menjadi berantakan karena tidak dipenuhinya syarat-syarat lain kecuali cinta. Dia melihat betapa cinta merupakan batang pohon dan sebuah pohon baru dapat hidup sempuma kalau ada cabang, ranting, daun, bunga dan buahnya. Kalau hanya ada batangnya saja pohon itu akan mati juga pada akhimya.

Membentuk rumah tangga membutuhkan pertama memang cinta kedua pihak, akan tetapi bukan hanya itu. Ada pula syarat lain yang juga amat penting seperti sumber nafkah karena kalau perut kelaparan mana dapat mencinta? Hidup pun terancam kematian! Sumber nafkah, tempat tinggal, segala kebutuhan hidup di luar makan, hubungan antara anggauta keluarga, kecocokan watak dan selera, kesabaran, dan masih banyak lagi. Tanpa syarat-syarat lain itu, kalau hanya ada cinta saja, kehidupan rumah tangga tidak akan berjalan mulus.

Betapa banyaknya pasangan yang sebelum menikah bersumpah disaksikan bumi dan langit bahwa mereka saling mencinta sampai mati, baru menjadi suami isteri beberapa lamanya saja sudah bercerai dan saling membenci! Cinta mereka berubah menjadi benci yang demikian mendalam sehingga mereka tidak peduli akan nasib anak-anak mereka setelah terjadi perceraian!


Cun Giok membiarkan pikirannya melayang-layang, melamun tidak karuan. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh derap kaki kuda dan melihat serombongan orang berkuda datang dari arah selatan. Ketika dia melihat bahwa rombongan itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian perwira, Cun Giok cepat menyembunyikan diri dengan melompat ke atas dan terlindung daun-daun yang lebat.

Rombongan itu terdiri dari enam orang, semua berpakaian perwira yang gagah, dengan pedang tergantung di pinggang masing-masing. Mereka berhenti di bawah sebatang pohon yang tak begitu jauh dari tempat Cun Giok bersembunyi. Karena ingin mengetahui apa yang dilakukan rombongan itu, yang mungkin juga mencarinya sehubungan dengan bentrokan antara dia dan Kong Sek putera mendiang Panglima Kong Tek Kok itu.

Maka Cun Giok lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, melayang atau melompat dari pohon ke pohon lain tanpa menimbulkan suara berisik seperti seekor burung saja. Akhirnya dia berada di pohon besar, di atas enam orang yang menghentikan kuda mereka itu. Cun Giok mendengarkan percakapan mereka.

“Benarkah gadis pemberontak yang lihai itu telah tertangkap?” tanya seorang perwira tinggi kurus setengah tua kepada rekannya yang masih muda.

“Benar, Kim Thai-ciangkun sendiri yang turun tangan dan dibantu oleh belasan orang perwira, baru dia dapat menangkap perempuan itu! Kini ia ditawan di kelenteng tua di bukit depan itu, dijaga oleh para perwira pembantu. Kim Thai-ciangkun menanti anak buahnya mengambil sebuah kereta kerangkeng untuk membawanya ke Cin-yang di mana ia akan diadili dan dihukum!”

Maaf! Ada halaman yang hilang!

...tua. Maka kini dia cepat melompat menjauhi rombongan itu dan mempergunakan ilmunya berlari cepat, mendahului mereka menuju ke bukit itu. Di lereng bukit itu Cun Giok melihat sebuah kuil tua dan di luar kuil terdapat belasan orang pengawal yang melihat pakaiannya bukan perajurit-perajurit biasa.

Mereka adalah perwira-perwira pembantu Panglima Kim Bayan dan rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh. Lima orang perwira menjaga di depan kuil, lima lagi menjaga di belakang, dan di kanan dan kiri kuil masing-masing terdapat tiga orang perwira. Semua ada enambelas orang. Cun Giok dapat menduga bahwa mereka bukan perajurit sembarangan. Akan tetapi, bagaimana besar pun bahayanya, dia harus menyelamatkan Ai Yin.

Andaikata yang ditawan itu orang lain, kalau orang itu tidak bersalah, dia pun siap untuk menolongnya. Apalagi yang ditawan adalah Cu Ai Yin, gadis yang telah tiga kali menyelamatkan nyawanya. Pertama ketika menolong dia yang roboh pingsan di tepi sungai, kedua kalinya ketika dia diserang ayah gadis itu, dan ketiga ketika dia hendak dibunuh Kong Sek. Tentu dia akan siap menolong dan berani menempuh bahaya yang bagaimanapun besarnya!