Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

28: TAWANAN CANTIK BERBAJU PUTIH

Cun Giok mendekati kuil itu dengan cara bergerak cepat dari semak ke semak, dari pohon ke pohon. Karena gerakannya cepat bukan main, maka sukarlah mengikuti gerakannya dengan pandang mata. Ilmunya berlari cepat yang disebut Liok-te Hui-teng (Lari Terbang di Atas Bumi) memang telah mencapai titik tinggi sekali sehingga saking cepatnya dia bergerak, Cun Giok mendapat julukan Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan).

Akhirnya dia berhenti bergerak dan sembunyi di dalam pohon terdekat dengan kuil, dan dia melihat betapa tidak mungkin baginya untuk menghampiri kuil karena penjagaannya demikian ketat. Dia harus dapat mengalihkan perhatian penjaga yang jumlahnya hanya tiga orang di sebelah kiri agar terbuka jalan baginya untuk dapat memasuki kuil tua.

Cun Giok melompat turun ke belakang batang pohon agar tidak terlihat, dan mengambil lima butir batu kecil, lalu melompat lagi ke atas pohon. Kemudian, dari dalam sebatang pohon terdekat, dia menyambitkan lima butir batu kecil itu ke arah lima orang yang berjaga di bagian belakang kuil.

Cun Giok selain hebat gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya) juga dia mahir menggunakan senjata rahasia apa saja. Dia telah menguasai bidikan yang amat tepat yang disebut Pek-po-coan-yang (Timpuk Tepat Seratus Kaki). Karena ketika menyambit dia menggunakan sin-kang (tenaga sakti), maka luncuran lima buah kerikil itu cepat sekali dan lima orang perwira yang berada di situ tidak sempat mengelak.

Mereka sama sekali tidak menyangka akan diserang orang, maka batu-batu itu menyambar dengan tepat. Cun Giok telah mengukur dan membatasi tenaganya karena dia tidak ingin membunuh mereka, hanya cukup menimbulkan kegaduhan sehingga menarik tiga orang yang berjaga di sebelah kiri. Perhitungannya memang tepat. Lima orang itu berseru kaget, heran dan juga kesakitan. Batu kerikil yang mengenai tubuh mereka merobek baju berikut kulit tubuh mereka, mendatangkan rasa pedih dan nyeri.

Seruan lima orang itu tentu saja menarik perhatian tiga orang yang berjaga di bagian kiri dan berada paling dekat dengan mereka. Tiga orang itu segera berlarian ke arah belakang untuk membantu kalau-kalau lima orang rekan mereka terancam bahaya. Cun Giok menggunakan kesempatan ini untuk berkelebat masuk ke kuil melalui pintu di sebelah kiri yang telah ditinggalkan tiga orang penjaganya.

Kuil itu cukup luas, akan tetapi keadaannya sudah banyak yang rusak. Banyak ruangan tidak tertutup atap lagi dan tembok-temboknya ditumbuhi lumut. Karena sudah puluhan tahun tidak terpakai dan terawat, maka di dalamnya banyak tumbuh semak-semak. Cun Giok mencari-cari dan akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.

Gadis itu berada dalam sebuah kamar kosong di mana terdapat sebuah meja yang sudah lapuk. Gadis itu duduk membelakangi Cun Giok yang muncul di ambang pintu yang tak berdaun lagi, dan ia duduk bersila di atas lantai. Dari sikap duduknya, dengan punggung tegak lurus, Cun Giok maklum bahwa gadis itu sedang Siu-lian (samadhi).

Karena sejak semula ia mengira bahwa yang tertawan adalah Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, maka Cun Giok merasa heran sekali mengapa Ai Yin menyerah untuk ditawan begitu saja, padahal kenyataannya gadis itu tidak dibelenggu dan masih bebas dalam kamar itu. Rasanya tidak mungkin seorang gadis yang amat lihai, pemberani dan keras seperti Ai Yin begitu mudah mengalah!

“Nona Cu...!” Cun Giok memanggil lirih sambil melangkah masuk ke kamar itu.

Gadis itu bangkit dengan perlahan lalu memutar tubuhnya menghadapi Cun Giok. Terkejutlah pemuda itu ketika melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin!

“Ah, maafkan aku, Nona. Apakah Nona yang disebut Pek-eng Sianli?”

“Benar, siapa engkau dan mau apa datang ke sini?” tanya Pek-eng Sianli Liu Ceng dengan lembut.

Cun Giok merasa bodoh dan malu. Gadis ini sama sekali bukan Ai Yin walaupun tidak kalah cantiknya. Namun perbedaannya amat mencolok. Kalau Ai Yin keras hati dan galak, sebaliknya gadis ini lemah lembut dan sukarlah membayangkan bahwa gadis seperti ini pandai ilmu silat sehingga dijuluki Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih).

“Maaf, siapa pun adanya engkau, Nona, ketika mendengar bahwa ada seorang gadis yang ditawan oleh pasukan kerajaan, aku datang untuk menolong dan membebaskanmu.”

Gadis itu menghela napas panjang. “Ah, engkau membuat bebanku lebih berat lagi. Sekarang selain harus membela diri, aku juga harus melindungimu! Sobat, perbuatanmu ini baik sekali dan aku berterima kasih, akan tetapi juga bodoh.”

“Akan tetapi aku...”

“Awas...!” Gadis itu memotong kata-kata Cun Giok dan pada saat itu sebuah benda dilempar masuk ke kamar itu dan terdengar ledakan disusul mengepulnya asap kemerahan.

“Tahan napas!” Gadis itu, Ceng Ceng, berseru.

Cun Giok menurut dan selagi mereka digelapkan asap kemerahan tebal itu, sebuah tangan yang halus menyentuh lengannya.

“Cepat, telan ini...” Ceng Ceng berkata.

Cun Giok menerima dan ternyata gadis itu memberinya sebuah pel. Tanpa ragu dia memasukkannya ke dalam mulut dan menelannya. Dia merasa yakin bahwa gadis yang akan ditolongnya itu tidak akan tega meracuninya. Terasa betapa pel itu hancur di kerongkongannya dan rasanya pahit namun berbau harum.

“Sekarang boleh bernapas dan mari ikut aku. Pegang tanganku!” terdengar gadis itu berkata dan sebuah tangan yang telapakannya hangat dan halus memegang tangan Cun Giok.

Pemuda itu menurut saja ditarik keluar dari kamar itu menuju ke belakang. Dia pun berani bernapas dan ternyata asap kemerahan itu berbau amis, akan tetapi tidak mempengaruhi atau mengganggunya. Begitu mereka keluar dari kuil bagian belakang, tiba-tiba mereka dikepung banyak orang. Cun Giok maklum bahwa enam belas orang perwira yang tadi menjaga kuil, kini ditambah dengan enam orang perwira lain yang dilihatnya dalam perjalanan tadi. Semua berjumlah duapuluh dua orang dan mereka mengepung dengan pedang di tangan!

“Menyerahlah atau kalian berdua akan mati!” bentak seorang dari mereka sambil menodongkan pedangnya.

“Engkau larilah menyelamatkan diri, biar aku yang menahan mereka!” kata Ceng Ceng yang cepat bergerak ke depan. Kaki tangannya bergerak sedemikian cepatnya, tubuhnya berkelebatan menjadi bayangan putih dan dalam beberapa gebrakan saja empat orang telah roboh oleh tendangan kaki dan tamparan tangannya!

Kini mengertilah Cun Giok mengapa gadis itu dijuluki Dewi Bayangan Putih! Dia merasa kagum akan tetapi tentu saja dia tidak mau menaati permintaan gadis itu untuk melarikan diri: Biarpun gadis itu lihai, namun dikeroyok demikian banyaknya perwira yang memegang pedang sedangkan gadis itu bertangan kosong, dapat membahayakan gadis itu.

“Orang-orang yang curang. Begini banyaknya laki-laki mengeroyok seorang gadis!” bentaknya dan tiba-tiba tampak sinar keemasan bergulung-gulung dan para pengeroyok itu berpelantingan, pedang mereka ada yang patah dan banyak yang terlepas dari pegangan! Dalam waktu singkat, Cun Giok sudah merobohkan enam orang pengeroyok!

Tiba-tiba gadis itu berseru, “Kita pergi!” Dan Cun Giok merasa betapa tangannya dipegang gadis itu dan dibawa melompat! Biarpun dia tidak tahu mengapa gadis itu tadi menyerah saja ditawan dan kini melawan lalu tiba-tiba hendak melarikan diri, dia tidak sempat bertanya dan dia pun segera bergerak cepat, melepaskan tangannya dari pegangan gadis itu dan mereka berdua menggunakan ilmu berlari cepat bagaikan terbang!

Setelah jauh meninggalkan bukit itu dan tidak tampak ada perwira yang melakukan pengejaran, Ceng Ceng berhenti. Ia memandang Cun Giok dengan mata dilebarkan. Baru saja ia menggunakan ilmu Co-sang-hui (Terbang di Atas Rumput) dengan mengerahkan seluruh ginkangnya. Akan tetapi ternyata pemuda itu dapat mengimbanginya! Juga ia melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu merobohkan enam orang pengeroyok dengan pedangnya yang bersinar kuning emas!

Di lain pihak, Cun Giok juga merasa heran bukan main. Dia bermaksud menolong dan membebaskan gadis yang tadinya dikira Cu Ai Yin itu. Ternyata gadis berpakaian putih ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ketika melarikan diri tadi, dia yakin gadis itu memiliki gin-kang yang lebih hebat daripada tingkat Ai Yin. Dia yakin kalau gadis ini mampu membebaskan diri sendiri, akan tetapi mengapa ia membiarkan dirinya ditawan?

cerita silat online karya kho ping hoo

Cun Giok mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat lalu berkata tanpa menyembunyikan rasa kagumnya. “Nona, ternyata engkau lihai sekali. Mengapa engkau membiarkan dirimu ditawan dalam kuil itu? Aku yakin kalau engkau menghendaki, mereka tidak akan mampu menawanmu!”

Akan tetapi Ceng Ceng berkata, “Maaf, nanti saja kita bicara. Sekarang ada urusan yang lebih penting! Mari!” Ia lalu melanjutkan larinya.

Cun Giok cepat mengikutinya dan kembali mereka berdua berlari cepat memasuki sebuah dusun. Ceng Ceng menuju ke sebuah rumah sederhana dan di depan pintu itu ia disambut sepasang kakek dan nenek berusia sekitar enampuluhan tahun.

“Ah, syukur engkau dalam keadaan selamat, Nona!” kata nenek itu sambil memegang kedua tangan Ceng Ceng.

“Paman dan Bibi, tidak banyak waktu lagi. Kalian berdua harus segera pergi dari sini karena anjing-anjing Mongol itu tentu akan segera datang ke sini!”

Akan tetapi kakek itu menggelengkan kepalanya dan setelah menghela napas dia berkata, “Tidak, Nona. Karena membela kami berdua, Nona sampai ditangkap mereka. Sekarang Nona sudah dapat lolos, sebaiknya cepat melarikan diri dan jangan khawatir tentang diri kami. Kami adalah orang-orang tua yang miskin dan sama sekali tidak mempunyai kesalahan. Kalau mereka mau menangkap kami, biarlah. Akhirnya mereka akan tahu bahwa kami bukanlah orang-orang yang bersalah. Kami tidak dapat meninggalkan rumah dan dusun kami.”

“Benar, Nona. Selama ini, sebelum engkau datang bermalam di sini, kami tidak pernah diganggu orang. Kalau kami kedua orang tua melarikan diri, akan lari ke mana? Dan kami akan selalu dikejar-kejar sebagai pelarian. Melarikan diri membuktikan bahwa kami berdua mempunyai kesalahan. Padahal kami tidak bersalah apa-apa. Pergilah, Nona. Engkau masih muda dan engkau harus menjaga diri, jangan sampai terjatuh ke tangan orang-orang kejam itu,” kata Si Nenek.

Ceng Ceng merasa terharu dan ia pun mengerti akan pendirian mereka. Ia menghela napas beberapa kali, lalu mengambil dua potong emas dari saku bajunya dan menyerahkan kepada nenek itu. “Kalau begitu, saya akan pergi dan terimalah sedikit uang ini, Bibi. Selamat tinggal, Paman dan Bibi.”

Setelah dua potong emas itu diterima Si Nenek, Ceng Ceng lalu memberi isyarat kepada Cun Giok untuk pergi dari situ. Cepat mereka meninggalkan dusun itu dan Ceng Ceng berhenti di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan kecil yang sunyi. Cun Giok mengikutinya dan pemuda itu berkata.

“Nona, kalau boleh aku mengetahui, apakah yang telah terjadi dan siapa pula kakek dan nenek itu?”

Ceng Ceng menatap wajah pemuda itu beberapa saat lamanya. Baru sekarang ia memandang wajah pemuda itu dengan seksama. Wajah yang tampan, gagah dan sikapnya sopan dan lembut. Akan tetapi ia harus yakin dulu apakah pemuda ini dapat dipercaya? Dia harus mengenalnya lebih dulu sebelum menceritakan keadaan dirinya dan apa yang telah dialaminya.

“Maaf, sobat. Harap engkau memperkenalkan diri lebih dulu, baru saya akan dapat menceritakan segalanya. Saya tidak mungkin dapat bercerita kepada seorang yang tidak saya kenal.”

Cun Giok semakin kagum. Gadis ini selain cantik jelita, juga tutur sapa dan sikapnya amat lembut dan penuh kesopanan. “Tentu saja, Nona. Perkenalkan, aku bernama Pouw Cun Giok seorang kelana yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, sebatang kara yatim piatu tiada sanak keluarga. Kebetulan tadi dalam perjalanan, aku mendengar pembicaraan enam orang perwira yang bicara tentang Pek-eng Sianli yang ditawan di sebuah kuil tua di bukit itu. Tadinya aku mengira bahwa mungkin yang dimaksudkan mereka adalah Pek-hwa Sianli, seorang gadis pendekar yang pernah bertemu denganku. Maka, aku segera pergi ke kuil itu untuk menolongmu. Akan tetapi, ternyata yang akan kutolong itu bukan Pek-hwa Sianli, dan agaknya sama sekali tidak perlu kutolong. Bahkan engkau yang menyelamatkan aku dari asap beracun tadi dengan memberi pel penawarnya. Nah, yang membuat aku heran, bagaimana seorang pendekar wanita lihai seperti engkau ini membiarkan dirimu ditawan?”

Ceng Ceng tertarik. “Nanti dulu, engkau bermarga Pouw? Aku tahu akan keluarga Pouw yang amat terkenal di So-couw, apakah engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan mereka?

Cun Giok terkejut dan heran. “Keluarga Pouw di So-couw? Ah, Nona, benarkah engkau mengenal keluarga Pouw di So-couw? Siapakah di antara mereka yang engkau kenal?” tanya Cun Giok hendak menguji apakah benar gadis ini mengenal keluarga ayahnya di So-couw.

Ceng Ceng tersenyum. Ia memang seorang yang cerdik dan memiliki perasaan peka. Ia dapat menduga bahwa pemuda itu masih belum percaya bahwa ia mengenal keluarga Pouw di So-couw. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu agaknya memang anggauta keluarga yang amat terkenal itu.

“Ayahku bernama Liu Bok Eng dan tinggal di Nan-king. Apakah engkau tidak mengenal nama itu?”

Cun Giok menggelengkan kepalanya. “Tidak, Nona, aku tidak mengenal nama Ayahmu yang terhormat itu.”

“Ayahku adalah sahabat baik dari keluarga Pouw! Bahkan merupakan sahabat seperjuangan. Ayahku mengenal baik Kakek Pouw Bun dan Paman Pouw Keng In...”

“Ah, Pouw Keng In adalah Ayah kandungku, Nona Liu!” Cun Giok memotong, girang bahwa dia bertemu dengan puteri sahabat baik ayahnya.

Akan tetapi Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan pandang matanya yang menatap wajah Cun Giok amat tajam penuh selidik.

“Hemm, benarkah itu, sobat? Di mana sekarang tinggalnya Paman Pouw Keng In?”

Tiba-tiba wajah Cun Giok berubah muram. Ditanya tentang ayahnya, dia merasa sedih sekali. “Ayah... Ayah dan Ibuku sudah tiada, sudah meninggal...” dia menghela napas panjang, lalu melanjutkan. “Semua keluarga Ayah sudah meninggal. Kong-kong (Kakek) Pouw Bun, Ayah Pouw Keng In dan Ibuku, juga Bibi Pouw Sui Hong... semua sudah tiada, tinggal aku seorang diri...”

Kembali Ceng Ceng mengerutkan alisnya mendengar ini. Ia sudah mendengar dari ayahnya tentang pembantaian keluarga Pouw itu yang menurut ayahnya keluarga itu sudah habis sama sekali karena Pouw Keng In merupakan keturunan terakhir dan ketika dia tewas, belum mempunyai anak. Bagaimana sekarang tiba-tiba muncul seorang pemuda yang mengaku sebagai anak kandung Pouw Keng In? Akan tetapi, pemuda itu agaknya mengenal benar keluarga Pouw.

“Terus terang saja, aku banyak mendengar tentang keluarga Pouw dari Ayahku karena persahabatan antara Ayah dan mendiang Paman Pouw Keng In amat akrab. Akan tetapi, apa yang didengar Ayah, keluarga itu sudah terbasmi oleh pasukan Mongol dan menurut cerita Ayah, ketika Paman Pouw Keng In tewas terbunuh, dia tidak mempunyai anak. Bagaimana sekarang engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah anak kandungnya? Pula, kalau engkau benar anak kandung mendiang Paman Pouw Keng In, bagaimana engkau tidak mengenal nama Ayahku? Tentu mendiang Paman Pouw Keng In pernah menceritakan kepadamu tentang Ayahku yang menjadi sahabat baiknya itu!”

Dengan suara mengandung kedukaan Cun Giok menjawab. “Tidak aneh kalau engkau meragukan keteranganku, Nona Liu karena sesungguhnya, sejak lahir aku tidak pernah mendapat kesempatan melihat ayah dan ibuku. Ayah tewas terbunuh akan tetapi ibu ketika itu sedang mengandung dan sempat tertolong. Akan tetapi ketika ibu melahirkan aku, ibu meninggal dunia dan aku dirawat dan hidup bersama guruku. Bibi Pouw Sui Hong tertawan dan menjadi selir seorang pangeran. Aku… aku tak sempat bertemu ayah ibuku, bagaimana mungkin mereka dapat menceritakan tentang ayahmu?” Suaranya mengandung kedukaan sehingga Ceng Ceng yang halus perasaannya itu menjadi sangat terharu.

“Aduh, maafkan aku, Twako (Kakak), kalau aku tadi meragukan keteranganmu. Kiranya riwayatmu demikian menyedihkan. Kalau aku boleh bertanya, siapa gurumu itu?”

“Guruku adalah mendiang Suma Tiang Bun...”

“Ah! Ayah pernah bercerita tentang Suma Tiang Bun yang terkenal sebagai seorang pendekar patriot sejati yang gagah perkasa. Ayah mengenalnya dengan baik. Jadi, pendekar tua itu telah meninggal pula? Ceritamu semakin menarik, Twako. Maukah engkau melanjutkannya?”

Karena gadis itu ternyata puteri seorang yang menjadi sahabat ayah dan kakeknya, juga sudah mengenal baik gurunya, Cun Giok tidak ragu lagi untuk menceritakan pengalamannya.

“Setelah menjadi murid dan anak angkat guruku dan menerima gemblengan pula dari Kakek Guruku Pak-kong Lojin, aku lalu pergi ke kota raja untuk membalas musuh besarku. Akan tetapi aku telah berbuat dosa yang besar sekali. Mendengar bahwa Bibi Sui Hong menjadi selir Pangeran Lu Kok Kong, aku mengira hidupnya sengsara dan ia dipaksa oleh pangeran itu, maka pada suatu malam aku membunuh Pangeran Lu Kok Kong! Kemudian ternyata kepadaku bahwa pangeran itu sama sekali tidak jahat, bahkan dicinta oleh Bibi Pouw Sui Hong, juga mereka telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Lu Siang Ni.”

Pemuda itu menghentikan ceritanya dan wajahnya berubah pucat karena dia teringat akan semua itu dengan hati seperti diremas-remas rasanya.

“Ah...!” Ceng Ceng terkejut akan tetapi juga tertarik sekali. Melihat pemuda itu demikian berduka, ia tidak berani mendesaknya untuk melanjutkan ceritanya...

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 28

28: TAWANAN CANTIK BERBAJU PUTIH

Cun Giok mendekati kuil itu dengan cara bergerak cepat dari semak ke semak, dari pohon ke pohon. Karena gerakannya cepat bukan main, maka sukarlah mengikuti gerakannya dengan pandang mata. Ilmunya berlari cepat yang disebut Liok-te Hui-teng (Lari Terbang di Atas Bumi) memang telah mencapai titik tinggi sekali sehingga saking cepatnya dia bergerak, Cun Giok mendapat julukan Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan).

Akhirnya dia berhenti bergerak dan sembunyi di dalam pohon terdekat dengan kuil, dan dia melihat betapa tidak mungkin baginya untuk menghampiri kuil karena penjagaannya demikian ketat. Dia harus dapat mengalihkan perhatian penjaga yang jumlahnya hanya tiga orang di sebelah kiri agar terbuka jalan baginya untuk dapat memasuki kuil tua.

Cun Giok melompat turun ke belakang batang pohon agar tidak terlihat, dan mengambil lima butir batu kecil, lalu melompat lagi ke atas pohon. Kemudian, dari dalam sebatang pohon terdekat, dia menyambitkan lima butir batu kecil itu ke arah lima orang yang berjaga di bagian belakang kuil.

Cun Giok selain hebat gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya) juga dia mahir menggunakan senjata rahasia apa saja. Dia telah menguasai bidikan yang amat tepat yang disebut Pek-po-coan-yang (Timpuk Tepat Seratus Kaki). Karena ketika menyambit dia menggunakan sin-kang (tenaga sakti), maka luncuran lima buah kerikil itu cepat sekali dan lima orang perwira yang berada di situ tidak sempat mengelak.

Mereka sama sekali tidak menyangka akan diserang orang, maka batu-batu itu menyambar dengan tepat. Cun Giok telah mengukur dan membatasi tenaganya karena dia tidak ingin membunuh mereka, hanya cukup menimbulkan kegaduhan sehingga menarik tiga orang yang berjaga di sebelah kiri. Perhitungannya memang tepat. Lima orang itu berseru kaget, heran dan juga kesakitan. Batu kerikil yang mengenai tubuh mereka merobek baju berikut kulit tubuh mereka, mendatangkan rasa pedih dan nyeri.

Seruan lima orang itu tentu saja menarik perhatian tiga orang yang berjaga di bagian kiri dan berada paling dekat dengan mereka. Tiga orang itu segera berlarian ke arah belakang untuk membantu kalau-kalau lima orang rekan mereka terancam bahaya. Cun Giok menggunakan kesempatan ini untuk berkelebat masuk ke kuil melalui pintu di sebelah kiri yang telah ditinggalkan tiga orang penjaganya.

Kuil itu cukup luas, akan tetapi keadaannya sudah banyak yang rusak. Banyak ruangan tidak tertutup atap lagi dan tembok-temboknya ditumbuhi lumut. Karena sudah puluhan tahun tidak terpakai dan terawat, maka di dalamnya banyak tumbuh semak-semak. Cun Giok mencari-cari dan akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.

Gadis itu berada dalam sebuah kamar kosong di mana terdapat sebuah meja yang sudah lapuk. Gadis itu duduk membelakangi Cun Giok yang muncul di ambang pintu yang tak berdaun lagi, dan ia duduk bersila di atas lantai. Dari sikap duduknya, dengan punggung tegak lurus, Cun Giok maklum bahwa gadis itu sedang Siu-lian (samadhi).

Karena sejak semula ia mengira bahwa yang tertawan adalah Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, maka Cun Giok merasa heran sekali mengapa Ai Yin menyerah untuk ditawan begitu saja, padahal kenyataannya gadis itu tidak dibelenggu dan masih bebas dalam kamar itu. Rasanya tidak mungkin seorang gadis yang amat lihai, pemberani dan keras seperti Ai Yin begitu mudah mengalah!

“Nona Cu...!” Cun Giok memanggil lirih sambil melangkah masuk ke kamar itu.

Gadis itu bangkit dengan perlahan lalu memutar tubuhnya menghadapi Cun Giok. Terkejutlah pemuda itu ketika melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin!

“Ah, maafkan aku, Nona. Apakah Nona yang disebut Pek-eng Sianli?”

“Benar, siapa engkau dan mau apa datang ke sini?” tanya Pek-eng Sianli Liu Ceng dengan lembut.

Cun Giok merasa bodoh dan malu. Gadis ini sama sekali bukan Ai Yin walaupun tidak kalah cantiknya. Namun perbedaannya amat mencolok. Kalau Ai Yin keras hati dan galak, sebaliknya gadis ini lemah lembut dan sukarlah membayangkan bahwa gadis seperti ini pandai ilmu silat sehingga dijuluki Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih).

“Maaf, siapa pun adanya engkau, Nona, ketika mendengar bahwa ada seorang gadis yang ditawan oleh pasukan kerajaan, aku datang untuk menolong dan membebaskanmu.”

Gadis itu menghela napas panjang. “Ah, engkau membuat bebanku lebih berat lagi. Sekarang selain harus membela diri, aku juga harus melindungimu! Sobat, perbuatanmu ini baik sekali dan aku berterima kasih, akan tetapi juga bodoh.”

“Akan tetapi aku...”

“Awas...!” Gadis itu memotong kata-kata Cun Giok dan pada saat itu sebuah benda dilempar masuk ke kamar itu dan terdengar ledakan disusul mengepulnya asap kemerahan.

“Tahan napas!” Gadis itu, Ceng Ceng, berseru.

Cun Giok menurut dan selagi mereka digelapkan asap kemerahan tebal itu, sebuah tangan yang halus menyentuh lengannya.

“Cepat, telan ini...” Ceng Ceng berkata.

Cun Giok menerima dan ternyata gadis itu memberinya sebuah pel. Tanpa ragu dia memasukkannya ke dalam mulut dan menelannya. Dia merasa yakin bahwa gadis yang akan ditolongnya itu tidak akan tega meracuninya. Terasa betapa pel itu hancur di kerongkongannya dan rasanya pahit namun berbau harum.

“Sekarang boleh bernapas dan mari ikut aku. Pegang tanganku!” terdengar gadis itu berkata dan sebuah tangan yang telapakannya hangat dan halus memegang tangan Cun Giok.

Pemuda itu menurut saja ditarik keluar dari kamar itu menuju ke belakang. Dia pun berani bernapas dan ternyata asap kemerahan itu berbau amis, akan tetapi tidak mempengaruhi atau mengganggunya. Begitu mereka keluar dari kuil bagian belakang, tiba-tiba mereka dikepung banyak orang. Cun Giok maklum bahwa enam belas orang perwira yang tadi menjaga kuil, kini ditambah dengan enam orang perwira lain yang dilihatnya dalam perjalanan tadi. Semua berjumlah duapuluh dua orang dan mereka mengepung dengan pedang di tangan!

“Menyerahlah atau kalian berdua akan mati!” bentak seorang dari mereka sambil menodongkan pedangnya.

“Engkau larilah menyelamatkan diri, biar aku yang menahan mereka!” kata Ceng Ceng yang cepat bergerak ke depan. Kaki tangannya bergerak sedemikian cepatnya, tubuhnya berkelebatan menjadi bayangan putih dan dalam beberapa gebrakan saja empat orang telah roboh oleh tendangan kaki dan tamparan tangannya!

Kini mengertilah Cun Giok mengapa gadis itu dijuluki Dewi Bayangan Putih! Dia merasa kagum akan tetapi tentu saja dia tidak mau menaati permintaan gadis itu untuk melarikan diri: Biarpun gadis itu lihai, namun dikeroyok demikian banyaknya perwira yang memegang pedang sedangkan gadis itu bertangan kosong, dapat membahayakan gadis itu.

“Orang-orang yang curang. Begini banyaknya laki-laki mengeroyok seorang gadis!” bentaknya dan tiba-tiba tampak sinar keemasan bergulung-gulung dan para pengeroyok itu berpelantingan, pedang mereka ada yang patah dan banyak yang terlepas dari pegangan! Dalam waktu singkat, Cun Giok sudah merobohkan enam orang pengeroyok!

Tiba-tiba gadis itu berseru, “Kita pergi!” Dan Cun Giok merasa betapa tangannya dipegang gadis itu dan dibawa melompat! Biarpun dia tidak tahu mengapa gadis itu tadi menyerah saja ditawan dan kini melawan lalu tiba-tiba hendak melarikan diri, dia tidak sempat bertanya dan dia pun segera bergerak cepat, melepaskan tangannya dari pegangan gadis itu dan mereka berdua menggunakan ilmu berlari cepat bagaikan terbang!

Setelah jauh meninggalkan bukit itu dan tidak tampak ada perwira yang melakukan pengejaran, Ceng Ceng berhenti. Ia memandang Cun Giok dengan mata dilebarkan. Baru saja ia menggunakan ilmu Co-sang-hui (Terbang di Atas Rumput) dengan mengerahkan seluruh ginkangnya. Akan tetapi ternyata pemuda itu dapat mengimbanginya! Juga ia melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu merobohkan enam orang pengeroyok dengan pedangnya yang bersinar kuning emas!

Di lain pihak, Cun Giok juga merasa heran bukan main. Dia bermaksud menolong dan membebaskan gadis yang tadinya dikira Cu Ai Yin itu. Ternyata gadis berpakaian putih ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ketika melarikan diri tadi, dia yakin gadis itu memiliki gin-kang yang lebih hebat daripada tingkat Ai Yin. Dia yakin kalau gadis ini mampu membebaskan diri sendiri, akan tetapi mengapa ia membiarkan dirinya ditawan?

cerita silat online karya kho ping hoo

Cun Giok mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat lalu berkata tanpa menyembunyikan rasa kagumnya. “Nona, ternyata engkau lihai sekali. Mengapa engkau membiarkan dirimu ditawan dalam kuil itu? Aku yakin kalau engkau menghendaki, mereka tidak akan mampu menawanmu!”

Akan tetapi Ceng Ceng berkata, “Maaf, nanti saja kita bicara. Sekarang ada urusan yang lebih penting! Mari!” Ia lalu melanjutkan larinya.

Cun Giok cepat mengikutinya dan kembali mereka berdua berlari cepat memasuki sebuah dusun. Ceng Ceng menuju ke sebuah rumah sederhana dan di depan pintu itu ia disambut sepasang kakek dan nenek berusia sekitar enampuluhan tahun.

“Ah, syukur engkau dalam keadaan selamat, Nona!” kata nenek itu sambil memegang kedua tangan Ceng Ceng.

“Paman dan Bibi, tidak banyak waktu lagi. Kalian berdua harus segera pergi dari sini karena anjing-anjing Mongol itu tentu akan segera datang ke sini!”

Akan tetapi kakek itu menggelengkan kepalanya dan setelah menghela napas dia berkata, “Tidak, Nona. Karena membela kami berdua, Nona sampai ditangkap mereka. Sekarang Nona sudah dapat lolos, sebaiknya cepat melarikan diri dan jangan khawatir tentang diri kami. Kami adalah orang-orang tua yang miskin dan sama sekali tidak mempunyai kesalahan. Kalau mereka mau menangkap kami, biarlah. Akhirnya mereka akan tahu bahwa kami bukanlah orang-orang yang bersalah. Kami tidak dapat meninggalkan rumah dan dusun kami.”

“Benar, Nona. Selama ini, sebelum engkau datang bermalam di sini, kami tidak pernah diganggu orang. Kalau kami kedua orang tua melarikan diri, akan lari ke mana? Dan kami akan selalu dikejar-kejar sebagai pelarian. Melarikan diri membuktikan bahwa kami berdua mempunyai kesalahan. Padahal kami tidak bersalah apa-apa. Pergilah, Nona. Engkau masih muda dan engkau harus menjaga diri, jangan sampai terjatuh ke tangan orang-orang kejam itu,” kata Si Nenek.

Ceng Ceng merasa terharu dan ia pun mengerti akan pendirian mereka. Ia menghela napas beberapa kali, lalu mengambil dua potong emas dari saku bajunya dan menyerahkan kepada nenek itu. “Kalau begitu, saya akan pergi dan terimalah sedikit uang ini, Bibi. Selamat tinggal, Paman dan Bibi.”

Setelah dua potong emas itu diterima Si Nenek, Ceng Ceng lalu memberi isyarat kepada Cun Giok untuk pergi dari situ. Cepat mereka meninggalkan dusun itu dan Ceng Ceng berhenti di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan kecil yang sunyi. Cun Giok mengikutinya dan pemuda itu berkata.

“Nona, kalau boleh aku mengetahui, apakah yang telah terjadi dan siapa pula kakek dan nenek itu?”

Ceng Ceng menatap wajah pemuda itu beberapa saat lamanya. Baru sekarang ia memandang wajah pemuda itu dengan seksama. Wajah yang tampan, gagah dan sikapnya sopan dan lembut. Akan tetapi ia harus yakin dulu apakah pemuda ini dapat dipercaya? Dia harus mengenalnya lebih dulu sebelum menceritakan keadaan dirinya dan apa yang telah dialaminya.

“Maaf, sobat. Harap engkau memperkenalkan diri lebih dulu, baru saya akan dapat menceritakan segalanya. Saya tidak mungkin dapat bercerita kepada seorang yang tidak saya kenal.”

Cun Giok semakin kagum. Gadis ini selain cantik jelita, juga tutur sapa dan sikapnya amat lembut dan penuh kesopanan. “Tentu saja, Nona. Perkenalkan, aku bernama Pouw Cun Giok seorang kelana yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, sebatang kara yatim piatu tiada sanak keluarga. Kebetulan tadi dalam perjalanan, aku mendengar pembicaraan enam orang perwira yang bicara tentang Pek-eng Sianli yang ditawan di sebuah kuil tua di bukit itu. Tadinya aku mengira bahwa mungkin yang dimaksudkan mereka adalah Pek-hwa Sianli, seorang gadis pendekar yang pernah bertemu denganku. Maka, aku segera pergi ke kuil itu untuk menolongmu. Akan tetapi, ternyata yang akan kutolong itu bukan Pek-hwa Sianli, dan agaknya sama sekali tidak perlu kutolong. Bahkan engkau yang menyelamatkan aku dari asap beracun tadi dengan memberi pel penawarnya. Nah, yang membuat aku heran, bagaimana seorang pendekar wanita lihai seperti engkau ini membiarkan dirimu ditawan?”

Ceng Ceng tertarik. “Nanti dulu, engkau bermarga Pouw? Aku tahu akan keluarga Pouw yang amat terkenal di So-couw, apakah engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan mereka?

Cun Giok terkejut dan heran. “Keluarga Pouw di So-couw? Ah, Nona, benarkah engkau mengenal keluarga Pouw di So-couw? Siapakah di antara mereka yang engkau kenal?” tanya Cun Giok hendak menguji apakah benar gadis ini mengenal keluarga ayahnya di So-couw.

Ceng Ceng tersenyum. Ia memang seorang yang cerdik dan memiliki perasaan peka. Ia dapat menduga bahwa pemuda itu masih belum percaya bahwa ia mengenal keluarga Pouw di So-couw. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu agaknya memang anggauta keluarga yang amat terkenal itu.

“Ayahku bernama Liu Bok Eng dan tinggal di Nan-king. Apakah engkau tidak mengenal nama itu?”

Cun Giok menggelengkan kepalanya. “Tidak, Nona, aku tidak mengenal nama Ayahmu yang terhormat itu.”

“Ayahku adalah sahabat baik dari keluarga Pouw! Bahkan merupakan sahabat seperjuangan. Ayahku mengenal baik Kakek Pouw Bun dan Paman Pouw Keng In...”

“Ah, Pouw Keng In adalah Ayah kandungku, Nona Liu!” Cun Giok memotong, girang bahwa dia bertemu dengan puteri sahabat baik ayahnya.

Akan tetapi Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan pandang matanya yang menatap wajah Cun Giok amat tajam penuh selidik.

“Hemm, benarkah itu, sobat? Di mana sekarang tinggalnya Paman Pouw Keng In?”

Tiba-tiba wajah Cun Giok berubah muram. Ditanya tentang ayahnya, dia merasa sedih sekali. “Ayah... Ayah dan Ibuku sudah tiada, sudah meninggal...” dia menghela napas panjang, lalu melanjutkan. “Semua keluarga Ayah sudah meninggal. Kong-kong (Kakek) Pouw Bun, Ayah Pouw Keng In dan Ibuku, juga Bibi Pouw Sui Hong... semua sudah tiada, tinggal aku seorang diri...”

Kembali Ceng Ceng mengerutkan alisnya mendengar ini. Ia sudah mendengar dari ayahnya tentang pembantaian keluarga Pouw itu yang menurut ayahnya keluarga itu sudah habis sama sekali karena Pouw Keng In merupakan keturunan terakhir dan ketika dia tewas, belum mempunyai anak. Bagaimana sekarang tiba-tiba muncul seorang pemuda yang mengaku sebagai anak kandung Pouw Keng In? Akan tetapi, pemuda itu agaknya mengenal benar keluarga Pouw.

“Terus terang saja, aku banyak mendengar tentang keluarga Pouw dari Ayahku karena persahabatan antara Ayah dan mendiang Paman Pouw Keng In amat akrab. Akan tetapi, apa yang didengar Ayah, keluarga itu sudah terbasmi oleh pasukan Mongol dan menurut cerita Ayah, ketika Paman Pouw Keng In tewas terbunuh, dia tidak mempunyai anak. Bagaimana sekarang engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah anak kandungnya? Pula, kalau engkau benar anak kandung mendiang Paman Pouw Keng In, bagaimana engkau tidak mengenal nama Ayahku? Tentu mendiang Paman Pouw Keng In pernah menceritakan kepadamu tentang Ayahku yang menjadi sahabat baiknya itu!”

Dengan suara mengandung kedukaan Cun Giok menjawab. “Tidak aneh kalau engkau meragukan keteranganku, Nona Liu karena sesungguhnya, sejak lahir aku tidak pernah mendapat kesempatan melihat ayah dan ibuku. Ayah tewas terbunuh akan tetapi ibu ketika itu sedang mengandung dan sempat tertolong. Akan tetapi ketika ibu melahirkan aku, ibu meninggal dunia dan aku dirawat dan hidup bersama guruku. Bibi Pouw Sui Hong tertawan dan menjadi selir seorang pangeran. Aku… aku tak sempat bertemu ayah ibuku, bagaimana mungkin mereka dapat menceritakan tentang ayahmu?” Suaranya mengandung kedukaan sehingga Ceng Ceng yang halus perasaannya itu menjadi sangat terharu.

“Aduh, maafkan aku, Twako (Kakak), kalau aku tadi meragukan keteranganmu. Kiranya riwayatmu demikian menyedihkan. Kalau aku boleh bertanya, siapa gurumu itu?”

“Guruku adalah mendiang Suma Tiang Bun...”

“Ah! Ayah pernah bercerita tentang Suma Tiang Bun yang terkenal sebagai seorang pendekar patriot sejati yang gagah perkasa. Ayah mengenalnya dengan baik. Jadi, pendekar tua itu telah meninggal pula? Ceritamu semakin menarik, Twako. Maukah engkau melanjutkannya?”

Karena gadis itu ternyata puteri seorang yang menjadi sahabat ayah dan kakeknya, juga sudah mengenal baik gurunya, Cun Giok tidak ragu lagi untuk menceritakan pengalamannya.

“Setelah menjadi murid dan anak angkat guruku dan menerima gemblengan pula dari Kakek Guruku Pak-kong Lojin, aku lalu pergi ke kota raja untuk membalas musuh besarku. Akan tetapi aku telah berbuat dosa yang besar sekali. Mendengar bahwa Bibi Sui Hong menjadi selir Pangeran Lu Kok Kong, aku mengira hidupnya sengsara dan ia dipaksa oleh pangeran itu, maka pada suatu malam aku membunuh Pangeran Lu Kok Kong! Kemudian ternyata kepadaku bahwa pangeran itu sama sekali tidak jahat, bahkan dicinta oleh Bibi Pouw Sui Hong, juga mereka telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Lu Siang Ni.”

Pemuda itu menghentikan ceritanya dan wajahnya berubah pucat karena dia teringat akan semua itu dengan hati seperti diremas-remas rasanya.

“Ah...!” Ceng Ceng terkejut akan tetapi juga tertarik sekali. Melihat pemuda itu demikian berduka, ia tidak berani mendesaknya untuk melanjutkan ceritanya...